Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi dalam Al-Qur'an

15
1 KORUPSI SEBAGAI PERMASALAHAN TEOLOGIS: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi Dalam Al-Qur’an Oleh: Irfan Awaluddin 1 Dalam Islam, tauhid adalah suatu panggilan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia bertujuan menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi. Ali Syariati seperti dikutip Farid Esack (2000:128) A. Mukaddimah Sejarah korupsi barangkali sama tuanya dengan sejarah manusia itu sendiri. Korupsi adalah profesi sampingan paling tua di dunia, yaitu memberi dan menerima uang suap (Patrick Glynn et.al., 1999:10). Menurut sejarah, bentuk korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau sekitar tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu tahun sebelum Isa (Syed Hossein Alatas, 1987: 1-2) Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan. Korupsi punya karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem pemerintahan, sistem sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada peradaban Islam di Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang Spanyol) hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah hancur karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan hedonis yang merajalela di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup para penguasanya (Akbar S. Ahmed, 1997: 111-116) Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi menjadi lebih terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan terbatas langkahnya. Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek pencucian uang (money laundry) sampai transaksi narkoba pun semakin sulit 1 Penulis adalah peneliti ICIS (International Conference of Islamic Scholars) Jakarta

Transcript of Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi dalam Al-Qur'an

1

KORUPSI SEBAGAI PERMASALAHAN TEOLOGIS:

Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi Dalam Al-Qur’an

Oleh: Irfan Awaluddin 1

Dalam Islam, tauhid adalah suatu panggilan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang

muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia bertujuan menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi.

Ali Syariati seperti dikutip Farid Esack (2000:128)

A. Mukaddimah

Sejarah korupsi barangkali sama tuanya dengan sejarah manusia itu

sendiri. Korupsi adalah profesi sampingan paling tua di dunia, yaitu memberi dan

menerima uang suap (Patrick Glynn et.al., 1999:10). Menurut sejarah, bentuk

korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau

sekitar tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu

tahun sebelum Isa (Syed Hossein Alatas, 1987: 1-2)

Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan.

Korupsi punya karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem

pemerintahan, sistem sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa

menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada peradaban Islam di

Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang Spanyol)

hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah

hancur karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan

hedonis yang merajalela di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup

para penguasanya (Akbar S. Ahmed, 1997: 111-116)

Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi

menjadi lebih terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan

terbatas langkahnya. Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek

pencucian uang (money laundry) sampai transaksi narkoba pun semakin sulit

1 Penulis adalah peneliti ICIS (International Conference of Islamic Scholars) Jakarta

2

dilacak. Bahkan modernisasi menjadi ongkos bagi proses perubahan dan

modernisasi itu sendiri (Sayyed Hossain Alatas, 1987:154).

Dengan sistem korupsi yang lebih canggih itu, para penegak hukum

kelabakan dibuatnya. Berbagai gerakan perlawanan korupsi pun sontak mendunia,

semua negara ikut serta di dalamnya.

Patrick Glynn dan dua orang kawannya dari Forum Ekonomi Dunia

(1999:9) mengistilahkan fenomena ini sebagai globalisasi korupsi. Di tahun 1990-

an, tulis Glynn, gerakan sedunia menentang korupsi telah menjalar seperti api

kebakaran di seluruh dataran politik dunia, pemerintahan berjatuhan, partai yang

sudah lama berkuasa telah kehilangan kekuasaan, dan secara beruntun para

petinggi negara dari presiden sampai anggota parlemen dituntut menjadi tersangka

kasus korupsi. Hal ini besar kemungkinannya karena didukung oleh beberapa

orang pemikir yang menjadikan korupsi sebagai hal yang positif meski hanya

dalam hal perdagangan bebas, korupsi adalah “grease in the wheel of commerse”

sebagai pelumas dari roda perdagangan, korupsi berperan untuk mempercepat

prosedur dan transaksi yang bertele-tele (Alvaro Cuerzo-Cazurra, 2006: 808).

Di tengah maraknya praktek korupsi di belahan dunia, Indonesia pun tak

mahu tertinggal. Bahkan ‘prestasi’ korupsi Indonesia selalu muncul di urutan

teratas, jauh mengalahkan negara-negara jiran. Padahal, secara kuantitatif,

Indonesia adalah negara berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi

paradoks sekaligus ironi yang nyata di depan mata.

Penulis lebih setuju jika korupsi ditarik sebagai persoalan teologis.

Artinya, tingkat keimanan seseorang, pada skala yang lebih kecil, seharusnya

mampu menahan nafsu untuk melakukan sesuatu yang dilarang agamanya. Karena

tindakan mengambil harta yang bukan haknya adalah tindakan mengingkari

Tuhan. Karena itu pula fakta tingginya tindakan korupsi, untuk tidak

menyebutnya terlalu gegabah, tak bisa secara langsung dihubungkan dengan

perilaku beribadah sebuah masyarakat, perilaku beribadah tak lain tak bukan

merupakan bentuk luar dari aqidah seseorang, karena ia bentuk luar (eksoteris)

3

maka sangat mudah untuk direkayasa. Sementara nilai-nilai batiniah (isoteris)

mereka belum tentu mencerminkan perilakunya.

Al-Qur’an mengurai anatomi korupsi dari dasar munculnya tindakan.

Ketundukkan terhadap hukum, yang merupakan karakteristik orang yang beriman,

menjadi jantung permasalahannya. Di dalam tulisan ini penulis berupaya untuk

menghubungkan antara larangan al-Qur’an untuk tidak memakan harta dengan

bathil dengan konsep keimanan. Mengapa larangan demikian hanya berlaku untuk

orang beriman saja?

Solusi yang ditawarkan al-Qur’an untuk pemberantasan korupsi ini pun

sangat tegas, yaitu pemurnian keimanan. Karena tanpa keimanan, hukum pun

hanya hebat bagi dirinya sendiri, hukum tak lebih berharga daripada hanya

tumpukkan buku tebal undang-undang saja. Untuk mengarah kepada solusi itu,

penulis menawarkan langkah-langkah strategis dan konkrit, salah satunya adalah

dengan mengusulkan penambahan kurikulum anti korupsi di dunia pendidikan.

B. Korupsi dan Ekspresi Endemiknya

Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang arti

harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran (Andi

Hamzah,1991:7). Secara umum korupsi didefinisikan sebagai the abuse of public

resources for private gain, penyalahgunaan sumberdaya publik untuk keuntungan

pribadi (The Encyclopedia of Democracy: 1995, 310), korupsi juga diistilahkan

sebagai white collar crime atau fraud (Juniadi Soewartojo: 1997, 119). Di istilah

media-media berbahasa Arab kata korupsi diistilahkan dengan al-fasad, atau

kerusakan, di dalam salah satu index al-Qur’an kata korupsi pun ditunjukkan

kepada ayat-ayat yang mengandung kata fasad (lihat. Al-Qur’an Tafsir per Kata

Alhidayah, 2011: 617).

Belakangan kata korupsi dipadankan dengan hal yang lebih spesifik. Jika

dalam konteks politik, political corruption didefinisikan sebagai penyimpangan

4

jabatan publik (Encyclopedia Americana: 2004, 22), maka dalam konteks teknis-

teologis, kata korupsi sendiri dipakai untuk mengistilahkan upaya merubah teks

kitab suci yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (Muhammet Tarakci

dan Suleyman Sayar, 227).

Sebagai tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi

diistilahkan al-Qur’an dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik,

jenis maupun motif pengambilannya. Di antaranya adalah ghulul (penggelapan),

risywah (suap), khianat, mukabarah (eksploitasi), ghasab (menguasai milik orang

lain), sariqah (pencurian), intikhab (merampas) dan ikhtilash (mencopet) dan

terakhir aklu suht (memanfaatkan barang haram).

Mengapa korupsi bisa terjadi? secara dasariah korupsi berkaitan dengan

faktor psikokultural (Bambang Widjoyanto, et.al: 2010, xvi-xvii). Artinya, ada

makna kolektif yang khas mengenai korupsi dalam masyarakat yang

memungkinkan praktik tersebut merebak luas; namun makna kolektif ini juga

sekaligus hadir secara kognitif di dalam benak setiap individu.

Secara filosofis (F. Budi Hardiman, 2005: 127), koruptor merupakan

penjelmaan dari docile bodies (tubuh-tubuh yang patuh), ia digerakkan dengan

kode punishment atau reward. Ia menjelma menjadi rangkaian mesin-mesin rezim

yang membuat korupsi tak tampak sebagai kesalahan moral, melainkan sebagai

jatah yang “sewajarnya” diterima.

Secara makro, fenomena korupsi dalam sistem bernegara juga dapat

dipotret sebagai “korupsi akbar”. Moody-Stewart, yang dikutip oleh Rose-

Ackerman (2006: 37), menjelaskan bahwa korupsi akbar terdapat pada tingkat

tertinggi pemerintahan serta melibatkan proyek-proyek dan program pokok

pemerintah. Karena rezim korup menjadikan suap, sogok, cari muka, penjilatan

sebagai mode of being (F.Budi Hardiman, 2005:131) .

Dan secara teologis, korupsi adalah permasalahan aqidah, permasalahan

iman kepada Tuhan. Di mana persepsinya untuk taat kepada hukum (perintah atau

larangan) maupun pandangannya terhadap harta dipengaruhi oleh tingkat

5

tauhidnya. Maka, tindakan sekecil apa pun yang di ambil seseorang, pada

dasarnya hal itu cerminan dari tauhidnya.

C. Paradoks Korupsi di Negara Muslim

Indonesia sering menyatakan diri sebagai bangsa yang religius,

menempatkan agama sebagai hal penting dalam kehidupan. Dilihat dari semangat

menjalankan ritual keagamaan, Indonesia selalu yang terunggul; jumlah jama’ah

haji Indonesia terbanyak sedunia, tak kalah dengan jumlah masjid dan mushalla

yang juga terbanyak di dunia, jumlah jamaah shalat (setidaknya untuk momen-

momen tertentu seperti shalat Jum’at dan shalat Ied) bisa dipastikan selalu

membludak. Bahkan penelitian Nikkie Keddie, seperti dikutip Azyumardi Azra

(1999: xvi), menunjukkan bahwa Muslim Indonesia lebih rajin melaksanakan

shalat dibandingkan dengan Muslim Iran pada masa rezim Syah Iran.

Meski demikian, Indonesia pun tercatat sebagai negara terkorup di

kawasan Asia dan dunia (Shalahuddin Wahid: 137). Jika angka korupsi Indonesia

itu tinggi, maka seharusnya jumlah jama’ah hajinya menyusut atau bahkan

maraknya pembangunan masjid musholla di pinggir-pinggir jalan itu seharusnya

terhenti. Buktinya kan tidak, tingginya angka korupsi tidak lantas menurunkan

semangat untuk melaksanakan ibadah ritual.

Paradoks ini merupakan masalah besar yang tak mudah difahami begitu

saja. Lantas paradoks ini pun mengundang komentar sekaligus cemoohan. Jika

Nurcholish Madjid (2004: 111) menilainya sebagai bukti rendahnya tingkat

moralitas kaum Muslim Indonesia, karena tindakan fasiq seperti korupsi ini hanya

dilakukan oleh orang-orang yang tak bermoral, maka Gunnar Myrdal, kutip

Nurcholish Madjid (2004: 112), mencemoohnya sebagai akibat sikap lembek dan

serba memudahkan (leniency and easy going).

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan tidak ada, bahkan

mungkin sudah ada sejak bangsa ini mengibarkan bendera kemerdekaan. Sejak

6

pembentukan panitia khusus, Operasi Budhi, pembentukan Tim Pemberantasan

Korupsi (TPK), KPKN sampai KPK, korupsi tetap lestari. Ia sungguh sangat sulit

ditundukkan (Tarmizi Taher, 2005: 110). Barangkali yang membuat keberhasilan

lembaga-lembaga anti korupsi tersebut rendah adalah karena ia sarat kepentingan

penguasa, yang penting ada, meskipun tak bekerja.

Mengapa Indonesia sulit melepaskan diri dari jerat korupsi? Theodore M.

Smith, seperti dikutip oleh Munawar Fuad Noeh (1997: 50-52), memaparkan 5

faktor sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Yang pertama sejak zaman kolonial,

bibit korupsi sudah mulai ditanam dalam bentuk gaji pegawai yang amat rendah

atau dalam bentuk komersialisasi jabatan. Kedua, faktor kebudayaan juga turut

menyumbangkan korupsi mudah berkembang baik, seperti budaya ewuh pakewuh

(sungkan), ketakutan berlebih terhadap konflik dan pengidaman berlebih kepada

harmoni sosial, sedikit banyak, tekan Smith, budaya ini menghambat gerakan anti

korupsi.

Ketiga, variabel ekonomi berupa rendahnya gaji PNS dan tingginya

kebutuhan membuat mereka tak berdaya untuk korupsi, keempat, variabel

struktur, di mana kekuasaan yang sentralistik mengakibatkan pemerasan menjadi

mudah. Dan yang terakhir variabel partai politik, karena dana parpol yang belum

mapan, acap kali parpol berharap banyak pada bantuan negara.

Agaknya pendekatan Bibit S. Rianto (2009: 26) terkait sulitnya

memberantas korupsi di Indonesia ini bisa mewakili. Bibit mentamsilkan hakikat

korupsi seperti gunung es di atas permukaan air laut yang memiliki 3 lapisan.

Lapisan pertama adalah lapisan teratas (di atas permukaan laut) yang diistilahkan

sebagai Tindak Pidana Korupsi (TPK). Di lapis kedua, persis di bawah permukaan

air laut, adalah kerawanan korupsi (corruption hazard) yang meiputi lokasi

(masuknya uang negara) manusia, barang maupun kegiatan. Di lapis ketiga,

lapisan paling bawah dari permukaan air laut, terdapat Potensi Masalah Penyebab

Korupsi (PMPK) yang meliputi sistem, integritas moral, renumerasi, kontrol dan

tingkat kepatuhan terhadap hukum (Bibit S. Rianto, 2009: 26-28).

7

Dari persepsi Bibit ini terlihat jelas mengapa korupsi sulit diatasi.

Walaupun kita berhasil menghancurkan permukaannya, selalu muncul lagi

gunung es yang baru sebab di bawah permukaan air laut masih terdapat

bongkahan yang lebih besar. Meski koruptor tertangkap semua, koruptor baru

pasti akan muncul lagi sepanjang akar masalah korupsi tidak kita hancurkan.

D. Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis

Ingatkah kita pada pepatah Latin yang mengatakan corruptio optimi

pessima; kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan terburuk. Seorang Muslim

tidak melakukan korupsi, jika kedapatan korupsi maka sebenarnya saat itu ia

sedang tidak Muslim, atau paling tidak hal itu merupakan cerminan dari tauhidnya

yang tipis, setipis tissue.

Rasulullah saw. bersabda:

“Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. bersabda: "Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman." (H.R. Bukhari)

Mafhum muwafaqah dari hadist ini adalah “Koruptor tidak mungkin

korupsi dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, ucap Nurcholish Majid

(2004), jelas tahu Allah melarangnya, tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan

perbuatan syirik modern, tulis Din Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku

Koruptor Itu Kafir (2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai

Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money.

Sebagai permasalahan teologis, korupsi merupakan bukti akan rendahnya

tingkat kepatuhan terhadap hukum. Karena kepatuhan hukum ini merupakan

refleksi dari perilaku orang-orang yang beriman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)

8

Anjuran untuk taat ini jelas ditujukan hanya untuk orang-orang yang

beriman. Mengapa hanya orang beriman? Karena hukum hanya dihormati oleh

mereka yang menghargainya, dan hukum Islam hanya diikuti oleh mereka yang

mengimani Allah secara nyata.

Karena itu, seketat apapun hukum dibuat, jika masyarakatnnya tidak

memiliki kesadaran taat hukum maka hukum itu akan sia-sia. Lihat saja jumlah

pelanggaran lalu lintas setiap hari, hampir bisa dipastikan di setiap ruas jalan

setiap hari ada saja yang melanggar di sana. Betapapun UU Tindak Pidana

Korupsi selalu dirubah menyesuaikan dengan tuntutan zaman, hal itu tidak akan

berarti banyak karena para pejabat negara ini belum sadar akan hukum, jangan

heran jika tindakan korupsi ini mudah menyebar. Karena korupsi secara teologis

hanya menyebar kepada sesama orang-orang yang tidak sadar hukum.

Korupsi pun sangat berkaitan dengan pelanggaran terhadap keadilan. Di

mana keadilan menjadi ukuran untuk tidak berbuat melampaui batasnya. Hal ini

pun dipertegas Hasan Bashri, seperti dikutip Ibn Kastir (2000: 214), yang

mengemukakan bahwa yang kata “wa la ta’tadu” (“janganlah kamu berlebihan”),

pada surat al-Baqarah: 190, adalah termasuk tindakan ghulul atau korupsi. Karena

korupsi pada konteks ini merupakan tindakan melanggar keadilan. Perintah untuk

tidak berlebih-lebihan atau i’tida ini pun tertuang pada al-Maidah ayat 2 dan ayat

87. Dan sekali lagi, semua ayat ini hanya ditujukan bagi orang-orang beriman

yang sadar hukum.

Artinya, dalam konteks teologi, tindakan korupsi ini lebih merupakan buah

daripada keadaan tauhid seseorang yang rapuh sehingga tidak mematuhi aturan

Allah (untuk tidak mengambil harta dengan bathil) karena hal itu melawan

keadilan. Dan Karena pada dasarnya hukum hanya berlaku bagi mereka yang

telah sadar hukum, dan keadaan sadar hukum dalam Islam terbangun dari

keimanan yang kuat kepada Allah.

Sehingga pandangan seseorang terhadap harta pun ditentukan atas dasar

tauhidnya. Di mana harta tidak boleh melalaikan seseorang untuk mengingat

9

Allah dan mematuhi ajarannya, karena hakikat harta adalah cobaan (al-Taghabun:

15) supaya harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya saja (al-Hasyr: 7)

karena itu Allah memerintahkan untuk cinta memberi dan membela yang lemah

(QS. Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9, al-Ma’arij: 24 dan al-Dzariyat: 19).

Karena itu pula korupsi sebenarnya bukan sekedar masalah renumerasi

yang rendah bagi para pejabat, toh banyak pula yang bergaji besar tapi tetap

korupsi. Singapura dan China yang menggunakan strategi Carrot and Stick pada

awal pemberantasan korupsi dengan menaikkan standar gaji para pegawai negara

juga tidak bisa menjadi ukuran, karena bagi manusia yang serakah – sebagai

manifestasi kesadaran teologinya – memiliki satu pulau emas saja tidak cukup.

Dalam hal ini cukuplah kita bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad,

Tsamud dan Fir’aun. Kehancuran mereka itu bukan saja disebabkan karena

kekafiran mereka terhadap konsep tauhid Allah tetapi sikap syirk ini selanjutnya

melahirkan sikap-sikap yang sebenarnya dilarang oleh Allah dalam bentuk cinta

harta yang tanpa batas, karena itu mereka hancur tak bersisa (al-Fajr: 6-14).

E. Anatomi Pemberantasan Korupsi Menurut Al-Qur’an

Bagaimanakah al-Qur’an memetakan pemberantasan korupsi? Ayat di

bawah ini adalah ayat yang sering dikaitkan dengan pelarangan korupsi:

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)

10

Ayat-ayat larangan seperti ini hanya muncul pada periode Madinah atau

biasa diistilahkan sebagai ayat Madaniyyah. Di lihat dari lawan bicaranya

(mukhatab) ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman, karena huruf waw di

awal ayat ini adalah ‘athaf kepada ayat sebelumnya yang memerintahkan puasa.

Artinya larangan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman, dan orang

beriman adalah mereka yang telah menyadari untuk patuh terhadap hukum Allah,

dan orang yang beriman itu adalah orang yang beradab (masyarakat Madani).

Karena itu solusi utama yang diperintahkan al-Qur’an adalah purifikasi

keimanan.

“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)

Karena tolok ukur mengetahui keimanan seseorang terlihat dari

keberhasilannya dalam mencegah diri dari perilaku keji dan tercela, termasuk

korupsi (Muhammad Ray Akbar, 2008:157).

Dengan iman yang mantap, tak perlu lagi bicara bagaimana supremasi

hukum ditegakkan, dengan sendirinya orang-orang beriman ini akan

menghargainya. Inilah landasan teologis penyelasaian korupsi dalam al-Qur’an.

Lalu hukuman seperti apa yang harus dijatuhkan untuk para koruptor?

Terlepas dari perdebatan tentang apakah korupsi termasuk ke dalam jarimah

hudud (karena mengqiyaskannya dengan sariqah) atau jarimah ta’zir (karena

tidak adanya dalil yang sharih tentang hukuman korupsi), dalam beberapa kasus,

Islam pada dasarnya lebih mendahulukan hukuman moral-psikologis sebelum ia

ditetapkan sebagai tindakan pidana (jarimah).

Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mencela tindakan korupsi dengan

menyatakan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Islam, lebih dari

itu beliau juga memberikan hukuman secara moral-psikologis (Ahmad Baidowi,

11

2009: 148), yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan

dorongan untuk korupsi.

Abu Daud (1994: 626) meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah

memerintahkan para sahabat untuk mensolatkan seorang sahabat yang terbunuh

saat perang Khaibar – padahal seorang yang syahid tidak perlu disholatkan. Hal

itu dikarenakan ia telah berkhianat kepada Allah karena mengambil manik-manik

Yahudi yang harganya tidak lebih dari dua dirham.

Dalam riwayat yang lain Rasulullah saw. pernah memecat Ibnul Attabiah,

seorang yang bertugas mengumpulkan zakat dari kafilah bani Sulaiman. Ia dipecat

gara-gara menerima hadiah (Ahmad Baidowi, 2009: 149).

Adalah Umar bin Khattab yang menolak pemberian berupa makanan gula-

gula dari seorang amir Azerbaijan, Umar malah membagi-baginya kepada orang

miskin seraya berkata “Barang itu haram untukku, kecuali kalau kaum Muslim

juga memakannya” (Nasiruddin Al-Barabbasi, 2009: 69)

Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala

kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau di pengadilan seperti yang

disinggung dalam sebuah hadist “tidak diperbolehkan kesaksian laki-laki dan

perempuan yang berkhianat” (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah). Dan harta

dari hasil korupsi yang diberikan dalam bentuk bantuan maupun sumbangan harus

ditolak seperti yang diutarakan dalam hadist berikut:

ول غیر طھور وال صدقة من غل ب ال تقبل صالة

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan (tidak diterima) sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim)

Sebagai puncak hukuman moral, Allah melarang untuk mensolatkan

jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena mereka inkar (baca:kafir), mengelak

dari prinsip-prinsip aqidah (QS. Al-Taubah: 84).

12

Sebagai langkah strategis, penerapan kurikulum anti korupsi di dunia

pendidikan dapat menjadi alternatif jawaban. Supaya generasi penerus bangsa bisa

lebih awal memandang korupsi sebagai perbuatan hina dina. Dan lebih dari itu

pendidikan Indonesia harus menciptakan warganya untuk sadar hukum dan

berlaku taat kepadanya, dan tak kalah penting juga pendidikan berperan untuk

menanamkan aqidah yang kuat kepada setiap anak didik. Atau menurut Bibit

S.Rianto, upaya inilah sebenarnya yang akan mencerabut tindakan korupsi sampai

akar-akarnya, sampai lapisan gunung es paling dasar.

Di samping itu penulis kira masyarakat pun harus membuat konsensus

untuk menjatuhkan sanksi moral bagi para koruptor. Agar efek jera yang didapat

tak hanya berakhir di meja hijau, tapi sang koruptor pun masih harus tersudut

dengan sanksi-sanki yang ia terima dari masyarakat.

Penutup

Korupsi dilakukan secara sistematis dan taktis, karena itu ia sulit

diberantas. Korupsi pun sulit diberantas karena berdimensi plural, ia muncul

karena faktor psikokultural, faktor filosofis, faktor sosiopolitis sampai faktor

teologis.

Korupsi bersifat teologis karena tindakan culas mengelabui harta negara

untuk masuk menjadi harta pribadi merupakan bentuk dari tipisnya aqidah sang

pelaku. Korupsi hadir secara terurut; di mana tindakan korup timbul dari

rendahnya kesadaran hukum seseorang, yang mana ia timbul karena tingkat

kepercayaannya kepada Tuhan masih rapuh.

Secara teologis korupsi pun merupakan bentuk perlawanan terhadap

keadilan. Di mana larangan untuk i’tida (berlebih-lebihan), atau kata yang

sinonim dengannya, menampakkan bahwa berlebih-lebihan adalah bentuk

melawan keadilan untuk menempatkan posisi harta pada posisinya yang tepat

(untuk mendekatkan diri kepada Allah).

13

Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, tepat kiranya untuk segera

menerapkan hukuman moral bagi para pelaku korupsi. Di samping pula hukuman

pidana pun harus tetap dijatuhkan. Namun, untuk menghadirkan efek jera yang

lebih berat, para koruptor harus djatuhkan hukuman moral, sebagai efek jera

berantai bagi sang pelaku.

Sebagai langkah strategis, dunia pendidikan sudah saatnya menambahkan

kurikulum anti korupsi di dalamnya, agar persepsi korupsi sebagai tindakan

pengingkaran terhadap agama dan negara dapat tertanam sejak dini.

Sebagai penutup, penulis merasa perlu untuk mengangkat keteladanan para

negarawan Indonesia di masa awal kemerdekaan. Mereka ini adalah teladan

penerapan civic virtues dalam dirinya, yang menjunjung tinggi kejujuran,

kebajikan dan keutamaan moral (Amich Alhumami, 2011: 222-223). Kita butuh

sosok Sutan Sjahrir baru yang meskipun seorang negarawan tapi ia melego mesin

jahit untuk menyambung hidup, atau sosok Mohammad Natsir yang tetap

mengenakan jas tambalan ketika mengemban tugas negara. Meskipun berjasa

besar terhadap negara namun mereka tak pernah mengambil manfaat untuk

kepentingan pribadi.

Wallahu a’lam bi al-shawab

14

DAFTAR PUSTAKA

Ackerman, Susan Rose, Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006.

Ahmed, Akbar S., Living Islam, Mizan, Bandung, 1997.

Akbar, Muhammad Ray, Mengapa Harus Korupsi, Jakarta, Akbar, 2008

Alatas, Syed Hossain, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987

Al-Barabbasi, Nasiruddin, Kisah-Kisah Islam Anti Korupsi, Mizan Media Utama, Bandung, 2009.

Alhumami, Amich, “Koruptor itu Kafir” dalam Jurnal Gagasan, Vol.2, No.1, 2011

Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Rosdakarya, Bandung, 1999.

Baidowi, Ahmad, “Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam” dalam Esensia, Vol.10, No.2 2009

Cuervo-Cazurra, Alvaro, “Who cares about corruption?” dalam Journal of International Business Studies, Vol. 37, No.6 2006

Elliot, Kimberly Ann, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

Encyclopedia Americana, “Corruption, Political” Vol. 8, Scholastic Library Publishing, USA, 2004.

Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,1991

Hardiman, F. Budi, Memahami Negativitas, Diskursus Tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005

Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz 2, Muassasah Qurthubah, Kairo, 2000

Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Universitas Paramadina, Jakarta, 2004.

Noeh, Munawar Fuad, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi, Zikrul-Hakim, Jakarta, 1997.

Patrick Glynn, et al.,”Globalisasi Korupsi”, dalam Kimberly Ann Elliot, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

15

Purnomo, Aloys Budi, “Global Responsibility Melawan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.

Rianto, Bibit S, Koruptor Go to Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia, Hikmah, Bandung, 2009.

Soewartojo, Juniadi, Korupsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.

Taher, Tarmizi, “Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.

The Encyclopedia of Democracy, “Corruption” Vol. I, Congressional Quarterly, 1995.

Wahid, Shalahuddin, “Agama, Budaya dan Pemberantasan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.

Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1999.

Widjoyanto, Bambang ed., Koruptor Itu Kafir, Mizan, Bandung, 2010.