10 Tahun: Mengukur Efektivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)di Indonesia
Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi dalam Al-Qur'an
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis: Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi dalam Al-Qur'an
1
KORUPSI SEBAGAI PERMASALAHAN TEOLOGIS:
Mengurai Anatomi Pemberantasan Korupsi Dalam Al-Qur’an
Oleh: Irfan Awaluddin 1
Dalam Islam, tauhid adalah suatu panggilan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang
muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia bertujuan menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi.
Ali Syariati seperti dikutip Farid Esack (2000:128)
A. Mukaddimah
Sejarah korupsi barangkali sama tuanya dengan sejarah manusia itu
sendiri. Korupsi adalah profesi sampingan paling tua di dunia, yaitu memberi dan
menerima uang suap (Patrick Glynn et.al., 1999:10). Menurut sejarah, bentuk
korupsi seperti penyuapan telah terjadi sejak masa Hammurabi dari Babilonia atau
sekitar tahun 1200 SM, bahkan di India kasus korupsi sudah terjadi sejak seribu
tahun sebelum Isa (Syed Hossein Alatas, 1987: 1-2)
Korupsi bak penyakit endemik, mudah menyebar dan sulit dilawan.
Korupsi punya karakteristik penghancur yang kuat, ia merusak sistem
pemerintahan, sistem sosial sampai sistem kepribadian. Korupsi pun bisa
menjatuhkan sebuah peradaban, apa yang terjadi pada peradaban Islam di
Andalusia bisa diangkat sebagai contoh kecil. Andalusia (sekarang Spanyol)
hancur di tangan tentara Ratu Isabella dan Raja Ferdinand, Andalusia mudah
hancur karena keropos, bukan saja karena gaya hidup bermewah-mewahan
hedonis yang merajalela di kalangan istana, akan tetapi juga karena perilaku korup
para penguasanya (Akbar S. Ahmed, 1997: 111-116)
Tibanya era modernisasi di abad 20 dituduh membuat sistem korupsi
menjadi lebih terselubung, arus uang via dunia maya membuat sistem pengawasan
terbatas langkahnya. Korupsi pun semakin mendapat celah lebar di sini, praktek
pencucian uang (money laundry) sampai transaksi narkoba pun semakin sulit
1 Penulis adalah peneliti ICIS (International Conference of Islamic Scholars) Jakarta
2
dilacak. Bahkan modernisasi menjadi ongkos bagi proses perubahan dan
modernisasi itu sendiri (Sayyed Hossain Alatas, 1987:154).
Dengan sistem korupsi yang lebih canggih itu, para penegak hukum
kelabakan dibuatnya. Berbagai gerakan perlawanan korupsi pun sontak mendunia,
semua negara ikut serta di dalamnya.
Patrick Glynn dan dua orang kawannya dari Forum Ekonomi Dunia
(1999:9) mengistilahkan fenomena ini sebagai globalisasi korupsi. Di tahun 1990-
an, tulis Glynn, gerakan sedunia menentang korupsi telah menjalar seperti api
kebakaran di seluruh dataran politik dunia, pemerintahan berjatuhan, partai yang
sudah lama berkuasa telah kehilangan kekuasaan, dan secara beruntun para
petinggi negara dari presiden sampai anggota parlemen dituntut menjadi tersangka
kasus korupsi. Hal ini besar kemungkinannya karena didukung oleh beberapa
orang pemikir yang menjadikan korupsi sebagai hal yang positif meski hanya
dalam hal perdagangan bebas, korupsi adalah “grease in the wheel of commerse”
sebagai pelumas dari roda perdagangan, korupsi berperan untuk mempercepat
prosedur dan transaksi yang bertele-tele (Alvaro Cuerzo-Cazurra, 2006: 808).
Di tengah maraknya praktek korupsi di belahan dunia, Indonesia pun tak
mahu tertinggal. Bahkan ‘prestasi’ korupsi Indonesia selalu muncul di urutan
teratas, jauh mengalahkan negara-negara jiran. Padahal, secara kuantitatif,
Indonesia adalah negara berpenganut Islam terbanyak di dunia. Fakta ini menjadi
paradoks sekaligus ironi yang nyata di depan mata.
Penulis lebih setuju jika korupsi ditarik sebagai persoalan teologis.
Artinya, tingkat keimanan seseorang, pada skala yang lebih kecil, seharusnya
mampu menahan nafsu untuk melakukan sesuatu yang dilarang agamanya. Karena
tindakan mengambil harta yang bukan haknya adalah tindakan mengingkari
Tuhan. Karena itu pula fakta tingginya tindakan korupsi, untuk tidak
menyebutnya terlalu gegabah, tak bisa secara langsung dihubungkan dengan
perilaku beribadah sebuah masyarakat, perilaku beribadah tak lain tak bukan
merupakan bentuk luar dari aqidah seseorang, karena ia bentuk luar (eksoteris)
3
maka sangat mudah untuk direkayasa. Sementara nilai-nilai batiniah (isoteris)
mereka belum tentu mencerminkan perilakunya.
Al-Qur’an mengurai anatomi korupsi dari dasar munculnya tindakan.
Ketundukkan terhadap hukum, yang merupakan karakteristik orang yang beriman,
menjadi jantung permasalahannya. Di dalam tulisan ini penulis berupaya untuk
menghubungkan antara larangan al-Qur’an untuk tidak memakan harta dengan
bathil dengan konsep keimanan. Mengapa larangan demikian hanya berlaku untuk
orang beriman saja?
Solusi yang ditawarkan al-Qur’an untuk pemberantasan korupsi ini pun
sangat tegas, yaitu pemurnian keimanan. Karena tanpa keimanan, hukum pun
hanya hebat bagi dirinya sendiri, hukum tak lebih berharga daripada hanya
tumpukkan buku tebal undang-undang saja. Untuk mengarah kepada solusi itu,
penulis menawarkan langkah-langkah strategis dan konkrit, salah satunya adalah
dengan mengusulkan penambahan kurikulum anti korupsi di dunia pendidikan.
B. Korupsi dan Ekspresi Endemiknya
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang arti
harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran (Andi
Hamzah,1991:7). Secara umum korupsi didefinisikan sebagai the abuse of public
resources for private gain, penyalahgunaan sumberdaya publik untuk keuntungan
pribadi (The Encyclopedia of Democracy: 1995, 310), korupsi juga diistilahkan
sebagai white collar crime atau fraud (Juniadi Soewartojo: 1997, 119). Di istilah
media-media berbahasa Arab kata korupsi diistilahkan dengan al-fasad, atau
kerusakan, di dalam salah satu index al-Qur’an kata korupsi pun ditunjukkan
kepada ayat-ayat yang mengandung kata fasad (lihat. Al-Qur’an Tafsir per Kata
Alhidayah, 2011: 617).
Belakangan kata korupsi dipadankan dengan hal yang lebih spesifik. Jika
dalam konteks politik, political corruption didefinisikan sebagai penyimpangan
4
jabatan publik (Encyclopedia Americana: 2004, 22), maka dalam konteks teknis-
teologis, kata korupsi sendiri dipakai untuk mengistilahkan upaya merubah teks
kitab suci yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (Muhammet Tarakci
dan Suleyman Sayar, 227).
Sebagai tindakan pengambilan terhadap yang bukan haknya, korupsi
diistilahkan al-Qur’an dengan ungkapan yang berbeda-beda tergantung teknik,
jenis maupun motif pengambilannya. Di antaranya adalah ghulul (penggelapan),
risywah (suap), khianat, mukabarah (eksploitasi), ghasab (menguasai milik orang
lain), sariqah (pencurian), intikhab (merampas) dan ikhtilash (mencopet) dan
terakhir aklu suht (memanfaatkan barang haram).
Mengapa korupsi bisa terjadi? secara dasariah korupsi berkaitan dengan
faktor psikokultural (Bambang Widjoyanto, et.al: 2010, xvi-xvii). Artinya, ada
makna kolektif yang khas mengenai korupsi dalam masyarakat yang
memungkinkan praktik tersebut merebak luas; namun makna kolektif ini juga
sekaligus hadir secara kognitif di dalam benak setiap individu.
Secara filosofis (F. Budi Hardiman, 2005: 127), koruptor merupakan
penjelmaan dari docile bodies (tubuh-tubuh yang patuh), ia digerakkan dengan
kode punishment atau reward. Ia menjelma menjadi rangkaian mesin-mesin rezim
yang membuat korupsi tak tampak sebagai kesalahan moral, melainkan sebagai
jatah yang “sewajarnya” diterima.
Secara makro, fenomena korupsi dalam sistem bernegara juga dapat
dipotret sebagai “korupsi akbar”. Moody-Stewart, yang dikutip oleh Rose-
Ackerman (2006: 37), menjelaskan bahwa korupsi akbar terdapat pada tingkat
tertinggi pemerintahan serta melibatkan proyek-proyek dan program pokok
pemerintah. Karena rezim korup menjadikan suap, sogok, cari muka, penjilatan
sebagai mode of being (F.Budi Hardiman, 2005:131) .
Dan secara teologis, korupsi adalah permasalahan aqidah, permasalahan
iman kepada Tuhan. Di mana persepsinya untuk taat kepada hukum (perintah atau
larangan) maupun pandangannya terhadap harta dipengaruhi oleh tingkat
5
tauhidnya. Maka, tindakan sekecil apa pun yang di ambil seseorang, pada
dasarnya hal itu cerminan dari tauhidnya.
C. Paradoks Korupsi di Negara Muslim
Indonesia sering menyatakan diri sebagai bangsa yang religius,
menempatkan agama sebagai hal penting dalam kehidupan. Dilihat dari semangat
menjalankan ritual keagamaan, Indonesia selalu yang terunggul; jumlah jama’ah
haji Indonesia terbanyak sedunia, tak kalah dengan jumlah masjid dan mushalla
yang juga terbanyak di dunia, jumlah jamaah shalat (setidaknya untuk momen-
momen tertentu seperti shalat Jum’at dan shalat Ied) bisa dipastikan selalu
membludak. Bahkan penelitian Nikkie Keddie, seperti dikutip Azyumardi Azra
(1999: xvi), menunjukkan bahwa Muslim Indonesia lebih rajin melaksanakan
shalat dibandingkan dengan Muslim Iran pada masa rezim Syah Iran.
Meski demikian, Indonesia pun tercatat sebagai negara terkorup di
kawasan Asia dan dunia (Shalahuddin Wahid: 137). Jika angka korupsi Indonesia
itu tinggi, maka seharusnya jumlah jama’ah hajinya menyusut atau bahkan
maraknya pembangunan masjid musholla di pinggir-pinggir jalan itu seharusnya
terhenti. Buktinya kan tidak, tingginya angka korupsi tidak lantas menurunkan
semangat untuk melaksanakan ibadah ritual.
Paradoks ini merupakan masalah besar yang tak mudah difahami begitu
saja. Lantas paradoks ini pun mengundang komentar sekaligus cemoohan. Jika
Nurcholish Madjid (2004: 111) menilainya sebagai bukti rendahnya tingkat
moralitas kaum Muslim Indonesia, karena tindakan fasiq seperti korupsi ini hanya
dilakukan oleh orang-orang yang tak bermoral, maka Gunnar Myrdal, kutip
Nurcholish Madjid (2004: 112), mencemoohnya sebagai akibat sikap lembek dan
serba memudahkan (leniency and easy going).
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan tidak ada, bahkan
mungkin sudah ada sejak bangsa ini mengibarkan bendera kemerdekaan. Sejak
6
pembentukan panitia khusus, Operasi Budhi, pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), KPKN sampai KPK, korupsi tetap lestari. Ia sungguh sangat sulit
ditundukkan (Tarmizi Taher, 2005: 110). Barangkali yang membuat keberhasilan
lembaga-lembaga anti korupsi tersebut rendah adalah karena ia sarat kepentingan
penguasa, yang penting ada, meskipun tak bekerja.
Mengapa Indonesia sulit melepaskan diri dari jerat korupsi? Theodore M.
Smith, seperti dikutip oleh Munawar Fuad Noeh (1997: 50-52), memaparkan 5
faktor sebagai jawaban atas pertanyaan ini. Yang pertama sejak zaman kolonial,
bibit korupsi sudah mulai ditanam dalam bentuk gaji pegawai yang amat rendah
atau dalam bentuk komersialisasi jabatan. Kedua, faktor kebudayaan juga turut
menyumbangkan korupsi mudah berkembang baik, seperti budaya ewuh pakewuh
(sungkan), ketakutan berlebih terhadap konflik dan pengidaman berlebih kepada
harmoni sosial, sedikit banyak, tekan Smith, budaya ini menghambat gerakan anti
korupsi.
Ketiga, variabel ekonomi berupa rendahnya gaji PNS dan tingginya
kebutuhan membuat mereka tak berdaya untuk korupsi, keempat, variabel
struktur, di mana kekuasaan yang sentralistik mengakibatkan pemerasan menjadi
mudah. Dan yang terakhir variabel partai politik, karena dana parpol yang belum
mapan, acap kali parpol berharap banyak pada bantuan negara.
Agaknya pendekatan Bibit S. Rianto (2009: 26) terkait sulitnya
memberantas korupsi di Indonesia ini bisa mewakili. Bibit mentamsilkan hakikat
korupsi seperti gunung es di atas permukaan air laut yang memiliki 3 lapisan.
Lapisan pertama adalah lapisan teratas (di atas permukaan laut) yang diistilahkan
sebagai Tindak Pidana Korupsi (TPK). Di lapis kedua, persis di bawah permukaan
air laut, adalah kerawanan korupsi (corruption hazard) yang meiputi lokasi
(masuknya uang negara) manusia, barang maupun kegiatan. Di lapis ketiga,
lapisan paling bawah dari permukaan air laut, terdapat Potensi Masalah Penyebab
Korupsi (PMPK) yang meliputi sistem, integritas moral, renumerasi, kontrol dan
tingkat kepatuhan terhadap hukum (Bibit S. Rianto, 2009: 26-28).
7
Dari persepsi Bibit ini terlihat jelas mengapa korupsi sulit diatasi.
Walaupun kita berhasil menghancurkan permukaannya, selalu muncul lagi
gunung es yang baru sebab di bawah permukaan air laut masih terdapat
bongkahan yang lebih besar. Meski koruptor tertangkap semua, koruptor baru
pasti akan muncul lagi sepanjang akar masalah korupsi tidak kita hancurkan.
D. Korupsi Sebagai Permasalahan Teologis
Ingatkah kita pada pepatah Latin yang mengatakan corruptio optimi
pessima; kejahatan oleh orang baik adalah kejahatan terburuk. Seorang Muslim
tidak melakukan korupsi, jika kedapatan korupsi maka sebenarnya saat itu ia
sedang tidak Muslim, atau paling tidak hal itu merupakan cerminan dari tauhidnya
yang tipis, setipis tissue.
Rasulullah saw. bersabda:
“Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. bersabda: "Tidaklah berzina orang yang berzina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah mencuri orang yang mencuri ketika ia mencuri dalam keadaan beriman." (H.R. Bukhari)
Mafhum muwafaqah dari hadist ini adalah “Koruptor tidak mungkin
korupsi dalam keadaan beriman”. Koruptor itu fasiq, ucap Nurcholish Majid
(2004), jelas tahu Allah melarangnya, tapi tetap korupsi. Korupsi juga merupakan
perbuatan syirik modern, tulis Din Syamsuddin dalam kata sambutannya di buku
Koruptor Itu Kafir (2010: xxx), karena koruptor tidak lagi meyakini Allah sebagai
Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money.
Sebagai permasalahan teologis, korupsi merupakan bukti akan rendahnya
tingkat kepatuhan terhadap hukum. Karena kepatuhan hukum ini merupakan
refleksi dari perilaku orang-orang yang beriman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa: 59)
8
Anjuran untuk taat ini jelas ditujukan hanya untuk orang-orang yang
beriman. Mengapa hanya orang beriman? Karena hukum hanya dihormati oleh
mereka yang menghargainya, dan hukum Islam hanya diikuti oleh mereka yang
mengimani Allah secara nyata.
Karena itu, seketat apapun hukum dibuat, jika masyarakatnnya tidak
memiliki kesadaran taat hukum maka hukum itu akan sia-sia. Lihat saja jumlah
pelanggaran lalu lintas setiap hari, hampir bisa dipastikan di setiap ruas jalan
setiap hari ada saja yang melanggar di sana. Betapapun UU Tindak Pidana
Korupsi selalu dirubah menyesuaikan dengan tuntutan zaman, hal itu tidak akan
berarti banyak karena para pejabat negara ini belum sadar akan hukum, jangan
heran jika tindakan korupsi ini mudah menyebar. Karena korupsi secara teologis
hanya menyebar kepada sesama orang-orang yang tidak sadar hukum.
Korupsi pun sangat berkaitan dengan pelanggaran terhadap keadilan. Di
mana keadilan menjadi ukuran untuk tidak berbuat melampaui batasnya. Hal ini
pun dipertegas Hasan Bashri, seperti dikutip Ibn Kastir (2000: 214), yang
mengemukakan bahwa yang kata “wa la ta’tadu” (“janganlah kamu berlebihan”),
pada surat al-Baqarah: 190, adalah termasuk tindakan ghulul atau korupsi. Karena
korupsi pada konteks ini merupakan tindakan melanggar keadilan. Perintah untuk
tidak berlebih-lebihan atau i’tida ini pun tertuang pada al-Maidah ayat 2 dan ayat
87. Dan sekali lagi, semua ayat ini hanya ditujukan bagi orang-orang beriman
yang sadar hukum.
Artinya, dalam konteks teologi, tindakan korupsi ini lebih merupakan buah
daripada keadaan tauhid seseorang yang rapuh sehingga tidak mematuhi aturan
Allah (untuk tidak mengambil harta dengan bathil) karena hal itu melawan
keadilan. Dan Karena pada dasarnya hukum hanya berlaku bagi mereka yang
telah sadar hukum, dan keadaan sadar hukum dalam Islam terbangun dari
keimanan yang kuat kepada Allah.
Sehingga pandangan seseorang terhadap harta pun ditentukan atas dasar
tauhidnya. Di mana harta tidak boleh melalaikan seseorang untuk mengingat
9
Allah dan mematuhi ajarannya, karena hakikat harta adalah cobaan (al-Taghabun:
15) supaya harta tidak berputar hanya di kalangan orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
karena itu Allah memerintahkan untuk cinta memberi dan membela yang lemah
(QS. Ali Imran: 134, Al-Insan: 8-9, al-Ma’arij: 24 dan al-Dzariyat: 19).
Karena itu pula korupsi sebenarnya bukan sekedar masalah renumerasi
yang rendah bagi para pejabat, toh banyak pula yang bergaji besar tapi tetap
korupsi. Singapura dan China yang menggunakan strategi Carrot and Stick pada
awal pemberantasan korupsi dengan menaikkan standar gaji para pegawai negara
juga tidak bisa menjadi ukuran, karena bagi manusia yang serakah – sebagai
manifestasi kesadaran teologinya – memiliki satu pulau emas saja tidak cukup.
Dalam hal ini cukuplah kita bercermin kepada kehancuran kaum ‘Aad,
Tsamud dan Fir’aun. Kehancuran mereka itu bukan saja disebabkan karena
kekafiran mereka terhadap konsep tauhid Allah tetapi sikap syirk ini selanjutnya
melahirkan sikap-sikap yang sebenarnya dilarang oleh Allah dalam bentuk cinta
harta yang tanpa batas, karena itu mereka hancur tak bersisa (al-Fajr: 6-14).
E. Anatomi Pemberantasan Korupsi Menurut Al-Qur’an
Bagaimanakah al-Qur’an memetakan pemberantasan korupsi? Ayat di
bawah ini adalah ayat yang sering dikaitkan dengan pelarangan korupsi:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
10
Ayat-ayat larangan seperti ini hanya muncul pada periode Madinah atau
biasa diistilahkan sebagai ayat Madaniyyah. Di lihat dari lawan bicaranya
(mukhatab) ayat ini ditujukan kepada orang-orang beriman, karena huruf waw di
awal ayat ini adalah ‘athaf kepada ayat sebelumnya yang memerintahkan puasa.
Artinya larangan ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman, dan orang
beriman adalah mereka yang telah menyadari untuk patuh terhadap hukum Allah,
dan orang yang beriman itu adalah orang yang beradab (masyarakat Madani).
Karena itu solusi utama yang diperintahkan al-Qur’an adalah purifikasi
keimanan.
“Kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An-Nisa: 146)
Karena tolok ukur mengetahui keimanan seseorang terlihat dari
keberhasilannya dalam mencegah diri dari perilaku keji dan tercela, termasuk
korupsi (Muhammad Ray Akbar, 2008:157).
Dengan iman yang mantap, tak perlu lagi bicara bagaimana supremasi
hukum ditegakkan, dengan sendirinya orang-orang beriman ini akan
menghargainya. Inilah landasan teologis penyelasaian korupsi dalam al-Qur’an.
Lalu hukuman seperti apa yang harus dijatuhkan untuk para koruptor?
Terlepas dari perdebatan tentang apakah korupsi termasuk ke dalam jarimah
hudud (karena mengqiyaskannya dengan sariqah) atau jarimah ta’zir (karena
tidak adanya dalil yang sharih tentang hukuman korupsi), dalam beberapa kasus,
Islam pada dasarnya lebih mendahulukan hukuman moral-psikologis sebelum ia
ditetapkan sebagai tindakan pidana (jarimah).
Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mencela tindakan korupsi dengan
menyatakan korupsi sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Islam, lebih dari
itu beliau juga memberikan hukuman secara moral-psikologis (Ahmad Baidowi,
11
2009: 148), yang sekaligus menjadi shock teraphy ampuh dalam menahan
dorongan untuk korupsi.
Abu Daud (1994: 626) meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
memerintahkan para sahabat untuk mensolatkan seorang sahabat yang terbunuh
saat perang Khaibar – padahal seorang yang syahid tidak perlu disholatkan. Hal
itu dikarenakan ia telah berkhianat kepada Allah karena mengambil manik-manik
Yahudi yang harganya tidak lebih dari dua dirham.
Dalam riwayat yang lain Rasulullah saw. pernah memecat Ibnul Attabiah,
seorang yang bertugas mengumpulkan zakat dari kafilah bani Sulaiman. Ia dipecat
gara-gara menerima hadiah (Ahmad Baidowi, 2009: 149).
Adalah Umar bin Khattab yang menolak pemberian berupa makanan gula-
gula dari seorang amir Azerbaijan, Umar malah membagi-baginya kepada orang
miskin seraya berkata “Barang itu haram untukku, kecuali kalau kaum Muslim
juga memakannya” (Nasiruddin Al-Barabbasi, 2009: 69)
Para pelaku korupsi juga diberikan sanksi dengan ditolak segala
kesaksiannya seperti kesaksian dalam pernikahan atau di pengadilan seperti yang
disinggung dalam sebuah hadist “tidak diperbolehkan kesaksian laki-laki dan
perempuan yang berkhianat” (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Majah). Dan harta
dari hasil korupsi yang diberikan dalam bentuk bantuan maupun sumbangan harus
ditolak seperti yang diutarakan dalam hadist berikut:
ول غیر طھور وال صدقة من غل ب ال تقبل صالة
“Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan (tidak diterima) sedekah dari hasil korupsi.” (HR. Muslim)
Sebagai puncak hukuman moral, Allah melarang untuk mensolatkan
jenazah koruptor. Mengapa dilarang? Karena mereka inkar (baca:kafir), mengelak
dari prinsip-prinsip aqidah (QS. Al-Taubah: 84).
12
Sebagai langkah strategis, penerapan kurikulum anti korupsi di dunia
pendidikan dapat menjadi alternatif jawaban. Supaya generasi penerus bangsa bisa
lebih awal memandang korupsi sebagai perbuatan hina dina. Dan lebih dari itu
pendidikan Indonesia harus menciptakan warganya untuk sadar hukum dan
berlaku taat kepadanya, dan tak kalah penting juga pendidikan berperan untuk
menanamkan aqidah yang kuat kepada setiap anak didik. Atau menurut Bibit
S.Rianto, upaya inilah sebenarnya yang akan mencerabut tindakan korupsi sampai
akar-akarnya, sampai lapisan gunung es paling dasar.
Di samping itu penulis kira masyarakat pun harus membuat konsensus
untuk menjatuhkan sanksi moral bagi para koruptor. Agar efek jera yang didapat
tak hanya berakhir di meja hijau, tapi sang koruptor pun masih harus tersudut
dengan sanksi-sanki yang ia terima dari masyarakat.
Penutup
Korupsi dilakukan secara sistematis dan taktis, karena itu ia sulit
diberantas. Korupsi pun sulit diberantas karena berdimensi plural, ia muncul
karena faktor psikokultural, faktor filosofis, faktor sosiopolitis sampai faktor
teologis.
Korupsi bersifat teologis karena tindakan culas mengelabui harta negara
untuk masuk menjadi harta pribadi merupakan bentuk dari tipisnya aqidah sang
pelaku. Korupsi hadir secara terurut; di mana tindakan korup timbul dari
rendahnya kesadaran hukum seseorang, yang mana ia timbul karena tingkat
kepercayaannya kepada Tuhan masih rapuh.
Secara teologis korupsi pun merupakan bentuk perlawanan terhadap
keadilan. Di mana larangan untuk i’tida (berlebih-lebihan), atau kata yang
sinonim dengannya, menampakkan bahwa berlebih-lebihan adalah bentuk
melawan keadilan untuk menempatkan posisi harta pada posisinya yang tepat
(untuk mendekatkan diri kepada Allah).
13
Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, tepat kiranya untuk segera
menerapkan hukuman moral bagi para pelaku korupsi. Di samping pula hukuman
pidana pun harus tetap dijatuhkan. Namun, untuk menghadirkan efek jera yang
lebih berat, para koruptor harus djatuhkan hukuman moral, sebagai efek jera
berantai bagi sang pelaku.
Sebagai langkah strategis, dunia pendidikan sudah saatnya menambahkan
kurikulum anti korupsi di dalamnya, agar persepsi korupsi sebagai tindakan
pengingkaran terhadap agama dan negara dapat tertanam sejak dini.
Sebagai penutup, penulis merasa perlu untuk mengangkat keteladanan para
negarawan Indonesia di masa awal kemerdekaan. Mereka ini adalah teladan
penerapan civic virtues dalam dirinya, yang menjunjung tinggi kejujuran,
kebajikan dan keutamaan moral (Amich Alhumami, 2011: 222-223). Kita butuh
sosok Sutan Sjahrir baru yang meskipun seorang negarawan tapi ia melego mesin
jahit untuk menyambung hidup, atau sosok Mohammad Natsir yang tetap
mengenakan jas tambalan ketika mengemban tugas negara. Meskipun berjasa
besar terhadap negara namun mereka tak pernah mengambil manfaat untuk
kepentingan pribadi.
Wallahu a’lam bi al-shawab
14
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, Susan Rose, Korupsi dan Pemerintahan, Sebab, Akibat dan Reformasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006.
Ahmed, Akbar S., Living Islam, Mizan, Bandung, 1997.
Akbar, Muhammad Ray, Mengapa Harus Korupsi, Jakarta, Akbar, 2008
Alatas, Syed Hossain, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987
Al-Barabbasi, Nasiruddin, Kisah-Kisah Islam Anti Korupsi, Mizan Media Utama, Bandung, 2009.
Alhumami, Amich, “Koruptor itu Kafir” dalam Jurnal Gagasan, Vol.2, No.1, 2011
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Rosdakarya, Bandung, 1999.
Baidowi, Ahmad, “Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam” dalam Esensia, Vol.10, No.2 2009
Cuervo-Cazurra, Alvaro, “Who cares about corruption?” dalam Journal of International Business Studies, Vol. 37, No.6 2006
Elliot, Kimberly Ann, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Encyclopedia Americana, “Corruption, Political” Vol. 8, Scholastic Library Publishing, USA, 2004.
Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta,1991
Hardiman, F. Budi, Memahami Negativitas, Diskursus Tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005
Katsir, Ibn. Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Juz 2, Muassasah Qurthubah, Kairo, 2000
Madjid, Nurcholish, Indonesia Kita, Universitas Paramadina, Jakarta, 2004.
Noeh, Munawar Fuad, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi, Zikrul-Hakim, Jakarta, 1997.
Patrick Glynn, et al.,”Globalisasi Korupsi”, dalam Kimberly Ann Elliot, ed., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
15
Purnomo, Aloys Budi, “Global Responsibility Melawan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.
Rianto, Bibit S, Koruptor Go to Hell, Mengupas Anatomi Korupsi di Indonesia, Hikmah, Bandung, 2009.
Soewartojo, Juniadi, Korupsi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Taher, Tarmizi, “Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.
The Encyclopedia of Democracy, “Corruption” Vol. I, Congressional Quarterly, 1995.
Wahid, Shalahuddin, “Agama, Budaya dan Pemberantasan Korupsi”, dalam Irwan Suhanda, ed., Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005.
Wibisono, Christianto, Menelusuri Akar Krisis Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1999.
Widjoyanto, Bambang ed., Koruptor Itu Kafir, Mizan, Bandung, 2010.