perspektif modus operandi korupsi mark up anggaran - Arsip ...

194
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 1 POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: Zuhri Sayfudin E0007251 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

Transcript of perspektif modus operandi korupsi mark up anggaran - Arsip ...

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI

(TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat

Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

Zuhri Sayfudin

E0007251

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA

Disusun oleh:

ZUHRI SAYFUDIN

NIM: E0007251

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta,......April 2011

Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

R.Ginting. S.H,M.H Isharyanto, S.H, S.Hum NIP. 195801051984031001 NIP. 197805012003121002

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI

PENDAPATAN DAN

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

Har

Tangga

1. Ismunarno, S.H.,M.Hu(Ketua)

2. R.Ginting,S.H.,M.H (Sekretaris)

3. Isharyanto,S.H.,M (Anggota)

Dekan Fakultas Hukum UNS,

Moh

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA

Oleh:

ZUHRI SAYFUDIN

NIM. E0007251

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

Hari : Senin

Tanggal : 29 April 2011

DEWAN PENGUJI

Ismunarno, S.H.,M.Hum :.................................................................

R.Ginting,S.H.,M.H :.................................................................

Isharyanto,S.H.,M.Hum :.................................................................

Mengetahui Dekan Fakultas Hukum UNS,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.

NIP. 19610930198601001 MOTTO

3

KORUPSI SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

ANGGARAN INDONESIA

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:

.................................................................

.................................................................

.................................................................

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka

mengubah keadaan diri mereka sendiri (Q:S Ar-Ra’d:11)

Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-

orang yang diberi ilmu beberapa derajat (Q:S Al-Mujadilah:11)

Pejuang sejati tidak pernah mengenal kata akhir dalam perjuangan, tidak tidak

perlu gemuruh tepuk tangan, tidak lemah karena cacian, tidak bangga dalam

penghargaan

Hidup bukan hanya kembang kempisnya nafas, tapi nafas perjuangan itulah

makna kehidupan dan pengorbanan itulah jiwa dalam perjuangan

(Mas Say FH UNS 2007)

PERSEMBAHAN

Dengan kerja keras dan pengharapan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Karya Tulis ini kupersembahkan untuk :

1. Pada khususnya bagi para penegak hukum di negeri ini khsususnya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Penulis berharap dengan karya tulis ini akan

dapat memberikan kontribusi Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) dalam upaya pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) daerah-daerah seluruh Indonesia.

2. Pada umumnya bagi negeri dan bangsaku Indonesia tercinta demi terjadi

reformasi hukum di seluruh penjuru negeri.

3. Orang tua tercinta Bapak Imam Jais dan Ibu Suyati dengan untaian doa,

tetesan air mata dan cucuran keringat dalam bekerja siang dan malam,

sehingga dapat menghantarkan Penulis pada harapan dan cita-citanya.

4. Ketiga kakak tersayang Penulis, Ismiati, Insiyah dan Siti Nurjanah yang

dengan ikhlas membantu biaya selama Penulis mencari ilmu dan

menyelesaikan kuliah. Selain itu motivasi dan support yang tiada henti disaat

Penulis mengalami hambatan dan masalah hidup selama menjalani kuliah.

PERNYATAAN

Nama : Zuhri Sayfudin

NIM : E0007251

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ”

POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI

(TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM

PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA ”

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan

hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum dan gelar yang

saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, .... April 2011

Yang Membuat Pernyataan

Zuhri Sayfudin NIM. E0007251

ABSTRAK

Zuhri Sayfudin. E.0007251. 2010. POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA . Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Pada hakikatnya penelitian ini hendak menggali dan mengkaji secara detail akan efektivitas dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk pemberantasan korupsi di daerah. Kerugiaan keuangan daerah disebabkan dengan adanya modus operandi dengan cara mark up penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pejabat daerah dengan memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD untuk kepentingan pribadi dan/ atau golongan tertentu. Permasalahan utama pada penelitian ini adalah sulitnya menerapkan aturan hukum guna menjerat para koruptor yang telah merugikan keuangan daerah. Selain itu dalam penegakan hukumnya ada 2 (dua) instansi yang berperan dalam penyidikan dan penuntutan yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan. Hambatan timbul ketika tidak ada koordinasi yang baik. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan jenis penelitian normatif yaitu dengan mengkaji aturan hukum di Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) guna menjerat para pelaku korupsi di daerah. Sifat penelitian ini adalah preskriptif dengan menggunakan teori-teori hukum dalam memperkuat paradigma dan argumentasi agar tujuan hukum yang hendak dijalankan dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi dapat memberikan kepastian hukum. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan mengakaji Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai delik hukum yang dapat digunakan untuk menetapkan kesalahan para pelaku koruptor di daerah. Pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi konkrit terhadap upaya pemberantasan korupsi di daerah mengingat vonis terhadap para pelakunya terdapat 2 (dua) muara yaitu dari Peradilan Umum dengan penyidik dari kejaksaan dan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan ujung tombak dari pemberantasan korupsi di daerah, jadi dalam upaya penyidikannya harus melakukan sinergisitas dan koordinasi dengan pihak kejaksaan agar tidak terjadi overlapping penegakan hukumnya. Kata Kunci: Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi, Modus Operandi Korupsi, Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

ABSTRACT

Zuhri Sayfudin. E.0007251. 2010. THE PATTERN OF AD HOC VERDICT JURISDICTION IN CORRUPTION CRIMINAL (TIPIKOR) AS THE EFFORTS TO WIPE THE CORRUPTION OUT IN THE PERSPECTIVE OF OPERANDI MODUS OF MARK UP CORRUPTION IN REGIONAL

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

INCOME AND EXPENSES IN INDONESIA. The Law Faculty, Sebelas Maret University.

This study is aimed at knowing and identifying in detail in the effectivity of Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal (TIPIKOR) in the efforts of wipe this criminal out. The loss of regional moneter is caused by operandi modus by marking up the spending of Regional Income and Expenses (APBD). That kind of criminal was done by the Council of Regional Citizenry Delegation (DPRD) and regional official by spending the APBD for their individual interest and/ or the certain groups.

The main problem of this study is the difficulty in applying the law in order to round the corruptors up who have made a loss in the regional moneter. In addition, in the maintenance of this law, there are two institutions which have the roles in investigating and prosecuting. They are Corruption Eradication Commision (KPK) and Judiciary. The problem occures when there is no good coordination between them.

In this study, the reseracher used normative research that was by analyzing the law in Undang-Undang No. 31 in the year of 1999 jo Undang-undang No.20 in the year of 2001 about corruption criminal eradication and Section 55 in KUHP in order to round the corruptors up in many regions. The characteristic of this study was perspective by using some theories of the law in supporting the paradigms and argumentations so that the goal of the law which will be conducted by Ad Hoc Jurisdiction can give the certainty of the law. The approach of this research used the rules approach by analyzing Undang-Undang No. 31 in the year of 1999 jo Undang-undang No.20 in the year of 2001 about corruption criminal eradication as a wide-open of law which can be used to determine many corruptors in the regions.

It is hoped that this study gives significant contribution and real solutions toward the efforts in wiping the corruptions out in the fact that there are two institution which handle this problem that are General Jurisdiction whose the investigating officers from the judiciary and Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal whose investigating officers from Corruption Eradication Commission (KPK). Corruption Eradication Commission (KPK) is the main side of corruption eradication in the regions, so in the process of investigation, this commission should have synergy and good coordination with jurisdiction in order to prevent the overlapping in the maintenance of the law.

Key words: Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal, Corruption Operandi Modus, Mark Up Corruption of Regonal Income and Expenses (APBD)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang atas segala curahan Anugrah, Rahmat, Berkah, Tasdid, Ta’yid, Taufik

dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

(Skripsi) yang berjudul “POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC

TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS

OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA” ini dengan baik dan lancar.

Penulisan Hukum disusun dan diajukan Penulis untuk melengkapi persyaratan

guna memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam proses menyelesaikan Penulisan

Hukum (Skripsi) ini Penulis menyadari banyak hambatan, tantangan dan kendala

yang datang baik dari internal maupun eksternal dari Penulis.

Banyaknya amanah di berbagai organisasi yang harus dilakukan Penulis

membuat tantangan tersendiri bagi Penulis untuk lebih pandai dalam mengatur

waktu guna menyelasaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini. Syukur Alhamdulillah

Penulis selama menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini selalu dapat

motivasi dan support dari berbagai pihak agar segera menyelesaiaknnya. Oleh

karena itu dengan penuh kerendahan hati Penulis sampaikan terima kasih yang

setinggi-tingginya, terutama kepada :

1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya.

2. Bapak R.Ginting, S.H,M.H selaku pembimbing I yang dengan penuh

kesabaran mengajarkan makna perjuangan kepada Penulis tentang fanatisme

terhadap hukum, sehingga idealisme dan semangat nasionalisme Penulis tetap

terjaga.

3. Bapak Isharyanto,S.H,M.Hum selaku pembimbing II yang dengan penuh

ketekunan mengajarkan tentang makna dan konsepsi hukum serta

mengarahkan agar tetap berpikir logis dan kritis serta tidak apatis terhadap

permasalahan bangsa

4. Bapak dan Ibu di rumah yang tidak pernah lelah untuk terus memberikan doa

siang dan malam kepada Penulis selama menyelesaikan skripsi agar dapat

berjalan dengan lancar. Dengan tetesan air mata dan cucuran keringat untuk

tetap bekerja di usia tuanya demi membiayai kuliah kepada Penulis.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

5. Kakak-kakak Penulis Ismiati, Insiyah dan Siti Nurjanah yang selalu

memberikan motivasi dan dukungannya kepada Penulis untuk terus

bersemangat dalam proses menyelesaiakan skripsi.

6. Bapak Sadikun, Bapak Samad, Bapak Sutris, Bapak Mat’in dari Pondok Tebu

Ireng dan Bapak Agus Subiyanto sebagai guru dan pembimbing spiritual

agama yang selalu memberikan nasehat dan doa demi kelancaran selama

menyelesaikan skripsi dari Penulis.

7. Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) yang selalu

memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih atas ilmu yang telah

diberikan dan mohon maaf jika di kelas sering berdebat jika terdapat sikap

dan kata-kata yang kurang berkenan di hati semuanya mohon dimaafkan.

8. Karyawan dan seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

(UNS) terima kasih atas semua fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan

kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mohon

maaf jika selama ini sering memberikan kritikan pedas baik di forum formal

dan informal serta bahkan mengerahkan massa untuk memberikan pressure

perbaikan sistem di fakultas tercinta ini. Penulis lakukan demi kecintaan pada

fakultas ini.

9. Kawan-kawan dan adik-adik seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Cabang

Surakarta. Teruskan perjuangan dan jalan masih panjang…yakusa (yakin

usaha sampai).

10. Kader-kader Penulis di Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa

Hukum Solo (DPC PERMAHI SOLO). Terima kasih yang masih

memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk menjadi Ketua Umum dan

memimpin PERMAHI di Solo. Terus tegakan panji-panji bendera PERMAHI

di Solo Raya jangan sampai organisasi yang didirikan dengan keringat dan

perjuangan ini akan redup dan kandas ditengah jalan. Lanjutkan estafet

perjuangan demi amanah reformasi hukum di negeri ini. Adik-adiku…dengan

rasa haru dan tetesan air mata perjuangan, Penulis tinggalkan PERMAHI

tolong tetap diperjuangkan dalam keadaan apa pun.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

11. Kawan-Kawan LKBH PERMAHI SOLO terima Penulis ucapkan telah

memberikan kepercayaan sebagai pimpinan tertinggi dan penaggung jawab

utama sampai sekarang. Teruskan fungsi advokasi dan bantuan hukum

terhadap masyarakat kecil dan jangan takut menghadapi kasus seberat apa

pun. Bela rakyat kecil dan tegakan keadilan.

12. Kader-kader Partai WALI CINTA (Mahasiswa Peduli dan Cinta Indonesia)

Universitas Sebelas Maret, Penulis sampaikan terima kasih telah memberikan

kepercayaan untuk menjadi Ketua Umum Dewan Pertimbangan Partai (DPP)

periode 2011-2012. Hal tersebut secara tidak langsung telah memberikan

spirit bagi Penulis untuk terus berkarya di segala bidang. Partai yang Penulis

didirikan ini harap terus diperjuangkan demi membawa perubahan birokrasi

di Universitas Sebelas Maret (UNS), jaga kader-kadernya dan tetap dijaga

koordinasi antara kader fakultas yang satu dengan yang lain. Semangat

nasionalisme harus tetap terjaga demi ideologi partai.

13. Teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan semangat untuk tetap menjaga idealisme sebagai

mahasiswa.

14. Adik-adik di Komunitas Debat Fakultas Hukum (KDFH) yang telah

memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk menjadi Ketua Dewan

Penasehat. Teruslah berkarya dan memberikan kontribusi bagi Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret tercinta.

15. Sahabat-sahabat di FOSMI FH UNS terima kasih selama bersilaturahmi

dalam pengurus dan berinteraksi tetap saling “watawa shaubil haq watawa

shaubil sobri”.

16. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan inspirasi, semangat dan

dukungan selama menjalani skripsi. Terima kasih Penulis ucapkan telah

memberikan kepercayaan dalam mengemban amanah untuk menjadi ketua

dan koordinator angkatan sampai sekarang ini. Kenangan terindah adalah

ketika susah dan senang kita rasakan bersama.

17. Teman-teman pengajian Al-Hikmah yang selalu memberikan dukungan dan

doa dalam susah dan senang.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

18. Teman-teman aktivis dan seperjuangan di seluruh Indonesia. Terima kasih

Penulis ucapkan berkat teman-teman semua ide, gagasan dan motivasi untuk

terus berjuang demi kejayaan bangsa dan negara sampai sekarang masih ada

untuk mencapai tujuan tersebut.

19. Teman-teman semua yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-satu. Berkat

teman-teman semua Penulis dapat tetap bersemangat selama menyelesaikan

penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa kualitas dari penulisan skripsi ini masih jauh

dari sempurna. Mudah-mudahan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak. Amin.

Surakarta,…April 2011

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI……………………….. iii

HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv

PERSEMBAHAN........................................................................................... v

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

PERNYATAAN .............................................................................................. vi

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 14

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 14

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 16

E. Metode Penelitian ..................................................................... 17

F. Sistematika Penulisan .............................................................. 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori ........................................................................ 29

1. Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ..................................... 30

2. Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) ................................................. 31

3. Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi

a) Pengertian tentang tindak pidana ............................. 34

b) Pengertian tentang korupsi ....................................... 37

c) Jenis-jenis tindak pidana korupsi ............................. 45

4. Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi Korupsi

a) Pengertian tentang modus operandi korupsi ................ 54

b) Jenis-jenis modus operandi korupsi ............................. 56

5. Tinjauan secara umum tentang Mark Up ............................ .. 63

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

6. Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD)

a) Pengertian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) ........................................................... .63

b) Aturan yuridis tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) .............................................. 64

c) Tujuan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) .............................................. 66

d) Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) ........................................................................ 66

e) Asas-asas umum pengelolaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) ....................................... 67

f) Norma dalam penyusunan Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) .............................................. 69

g) Prinsip dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) .............................................. 72

h) Ciri-ciri utama pengelolaan Anggaran dan Pendapatan

Belanja Daerah (APBD) .............................................. 73

i) Proses Penyusunan dan Proses Penetapan serta

Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) ........................................................... 74

j) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah

(APBD) ........................................................................ 75

B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 71

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan Sanksi Hukum Kepada Para Pelaku Tindak

Pidana Korupsi Terkait Modus Operandi Korupsi Mark

Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

di Daerah ................................................................................ 81

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

1. Proses perumusan, penyusunan dan penetapan besar

kecilnya dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) sebagai celah terjadinya tindak pidana

korupsi keuangan daerah .................................................. 81

a. Proses perumusan dan penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai

bentuk implementasi dari otonomi daerah ................. 84

b. Proses penetapan dan perubahan besar kecilnya dana

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) sebagai celah terjadinya tindak pidana

korupsi keuangan daerah ............................................ 95

2. Korupsi berjamaah antara anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah terkait

manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) ............................................................................. 105

3. Penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak pidana

korupsi dan delik-delik hukum sebagai sanksi terhadap

tindak pidana korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) ................................................... 132

a. Tinjauan secara umum para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ..................... 132

b. Pola penetapan kepada para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait

penggunaan delik-delik hukum dalam hukum pidana .. 125

B. Sinergisitas Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dengan

Konsep Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Peradilan Umum Sebagai Upaya Pemberantasan Modus

Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) di Indonesia ...................................... 143

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

1. Kedudukan lembaga peradilan dan pengadilan dalam

sistem hukum di Indonesia ................................................ 143

2. Sinergisitas dan koordinasi antara aparat penegak hukum

sebagai upaya pemberantasan korupsi .............................. 146

a. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi

Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) di Indonesia ........................................ 150

1) Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum

dalam jurisdiksi Pengadilan Ad Hoc Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) ...................................... 151

2) Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian

kepada para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam

perspektif Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) .................................................. 156

b. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Peradilan Umum Sebagai Upaya Pemberantasan

Modus Operandi Korupsi Mark Up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di

Indonesia ..................................................................... 164

1) Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum

dalam jurisdiksi Peradilan Umum ........................ 164

2) Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian

kepada para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam

perspektif Peradilan Umum .................................. 169

c. Dualisme Proses Penyelidikan, Penyidikan dan

Penuntutan Dari Peradilan Umum dan Pengadilan

Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi Mark Up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) di Daerah ............................................. 171

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………..176

B. Saran……………………………………………………………178

DAFTAR PUSTAKA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi

prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi

harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan

pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi (Kwik Kian Gie, 2006:

10). Korupsi masih belum dirasakan sesuatu yang belum merugikan publik.

Hal ini jelas berakar pada budaya masyarakat yang tidak ada ada pemisahan

nilai antara milik masyarakat (public domain) dan milik pribadi (private

domain) (Suhartono W. Pranoto, 2008: 80). Adanya kasus korupsi yang

mengatasnamakan demokrasi justru akan digunakan demi kepentingan politik

oleh golongan tertentu. Hal ini akan merusak sistem birokrasi dan

meruntuhkan konsep demokratisasi di Indonesia.

One remedy might be to focus on the political processes and conflicts that give rise to meaningful ideas of corruption. Some ‘neo-classical’ approaches do this, either by relying on both formal and social standards, or by creating a category of corruption ‘mediated’ through, and doing harm to the vitality of, democratic politics. In more settled systems, behavior classification definitions may work well, but in transitional or deeply divided societies, we may need to focus on the political conflicts shaping the idea of corruption, rather than searching for clearly defined categories of corrupt behavior (Johnston. M, 1996: 321).

Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal

reformasi koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak

menyusul terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis.

Beberapa kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi

politik. Para koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan

mengancam institusi-institusi antikorupsi (Kompas, 10 Desember 2010:

hal.2). Korupsi yang dilakukan oleh berbagai instansi dengan melibatkan para

pengambil otoritas tertinggi dalam instansi tersebut dapat menyebabkan celah

terjadinya tindak pidana korupsi oleh pihak-pihak lain. Mereka bekerja

bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongannya saja.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali

kemungkinan besar akan membawa bencana dan tidak saja terhadap

kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional serta menghambat

pembangunan nasional melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan

bernegara (Dudu Duswara Machmudin, 2007: 19). Menurut Stephen J.H

Dearden mengemukakan bahwa korupsi memperlambat penanaman modal

asing. Konsekuansi di bidang politik dan dibidang ekonomi. Menurut Sum

Manit memberi dampak signifikan dalam bidang sosial. Korupsi

mendemoralisasi populasi dan mengakibatkan berkurangnya keyakinan

institusi negara (OC Kaligis, 2008: 1). Akibat adanya korupsi yang terjadi di

berbagai instansi akan memberikan dampak terhadap keuangan pusat dan

daerah.

Dana publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi sangat besar.

Pada tahun 1995, menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah

terjadi 358 kebocoran dana negara sebesar RP.1.062 triliun. Pada tahun 1996

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22

departement dan lembaga pemerintah non departemen dengan total senilai Rp

3.22 milliar. Selain itu sepanjang tahun 1995-1996 ditemukan 18.578 kasus

korupsi dan penyelewengan dana senilai Rp 888,72 milliar. Pada era

reformasi tidak akan berubah menjadi lebih baik dari era sebelumnya dan

bahkan lebih buruk. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp.166,53 triliun atau sekitar 50

persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2003.

Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Satrio Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003 telah ditemukan 22

penyimpangan keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004 Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pemeriksaan terhadap 377

proyek dan asset senilai Rp.1.312 trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan

penyimpangan sekitar Rp 37,4 trilliun atau 2,85 persen dari nilai

keseluruhannya. Tidak mengherankan jika dalam laporan Tranparansi

Internasional Indonesia (TII) sebagaimana diungkapkan dalam siaran persnya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dari 146 negara yang disurvey Indonesia masuk dalam urutan kelima negara

terkorup di dunia dengan indeks prestasi korupsi 2,0 (OC Kaligis, 2008: 1).

Parameter tersebut menunjukan aparat penegak hukum di Indonesia lemah

dalam upaya pemberantasan korupsi dan korupsi merupakan alat bagi para

pejabat untuk mempertahankan kekuasaannya.

Negara Indanesia sekarang ini sudah menjadi negara yang mempunyai

citra buruk di dunia internasional. Hal ini disebabkan karena negara kita

merupakan negara koruptor. Dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) lewat STAR (Steall Asset Recovery) dan bank dunia punya daftar 10

besar kekayaan hasil curian yang disusun Transparansi Internasional

Indonesia (TII) tahun 2004 lalu. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa tiap

tahun kekayaan negara yang dikorupsi jumlahnya sangat besar bahkan

melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Kompas, 25

Oktober 2003: hal.3). Pada masa orde baru kebocoran uang negara masih 30

% setelah reformasi bergulir tahun 1998 indikasi tindak pidana korupsi yang

merusak perekonomian dan moral bangsa justru semakin besar. Menurut

laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) penyimpangan uang negara sudah

mencapai Rp 166,53 triliun atau sekitar 50 % pada periode Januari-Juni 2004

(Kompas, 2 Oktober 2004: hal.6). Ada sumber dari PERC (Political and

Economic Consultancy) yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia

menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar 8,03 milliar

dolar AS (Kompas, 11 Maret 2008: hal.10).

Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption

Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak

beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu

Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5)

diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia,

dan Thailand. (Media Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16). Dengan makin

terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi,

mengindikasikan bahwa mekanisme keuangan baik di tingkat pusat dan di

daerah masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

kleptokrat yang maniak dan haus untuk mencari keuntungan pribadi dengan

menggadaikan uang rakyat.

Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas untuk

menyesuaiakan diri dengan kondisi keuangan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN). Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial,

pendidikan, kesehatan, subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) harus

ditekan semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara

dalam membayar hutang (Marwan Batubara, 2007: 1-2/xv-xvi). Jumlah

hutang negara sampai bulan juni 2007 mencapai Rp 1.313,3 triliun rupiah

yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 534,7 triliun rupiah dan

surat berharga negara Rp 715,3 triliun rupiah surat-surat berharga valuta asing

Rp 63,4 triliun rupiah. Pendapatan negara dan hibah dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 direncanakan sebesar Rp 985,7

triliun rupiah meningkat Rp 90,7 T (10,1%) angka itu lebih rendah dari defisit

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2008 (Harian

Seputar Indonesia, 14 Hovember 2008: hal.6). Hal tersebut juga memaksa

pemerintah untuk melakukan penjualan aset-aset negara untuk menutupi

terjadinya defisit yang ironisnya harga tersebut sangat jauh dibawah harga

pasar dan penjualan ini memiliki dampak jangka panjang bagi kerugian

negara, karena aset-aset negara itu merupakan penyumbang rutin bagi

pemasukan negara dalam Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN).

Besar dan cepatnya pergerakan mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) yang dilakukan oleh pejabat daerah juga sangat menguras

keuangan dari pusat untuk secara berkelanjutan memberikan dana dan subsidi

pada tiap daerah. Pengadaan barang dan jasa yang berlebihan yang

seharusnya mampu dicukupi oleh daerah harus ditutupi dengan kucuran dana

dari pemerintah pusat. Kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) yang tidak terkelola dengan administrasi yang baik dan benar akan

memberikan celah bagi timbulnya praktek-praktek mark up di daerah.

Proses pembelian Helikopter jenis MI-2 terjadi antara tahun 2001

sampai dengan tahun 2004 dan bertempat di Provinsi Nanggroe Aceh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Darussalam (NAD). Pembelian Helikopter jenis MI-2 Merk PLC Rostov

Miliki Rusia ini dilatarbelakangi dengan kondisi NAD yang dilanda konflik

senjata. Selain itu pembelian Helikopter Jenis MI-2 tersebut adalah dalam

rangka keperluan dinas Gubernur dan para Pejabat Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Helikopter ini dibutuhkan karena lalu lintas perjalanan

darat sangat berbahaya akibat gangguan dari pemberontak Gerakan Aceh

Merdeka (GAM). Pada bulan Mei tahun 2001 dalam pertemuan para Bupati

atau Walikota se-Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bupati Biruen

mengemukakan usulan mengenai pengadaan helikopter tersebut. Usul itu

disambut baik oleh para Bupati atau Walikota se-Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD) dan untuk biaya pembelian helikopter tersebut para Bupati sepakat

untuk mengambil dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Setelah adanya kesepakatan dari 13 Bupati dan Walikota se-Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD). Dilakukan musyawarah dengan Dewan Perwakilan

Rakayat Daerah (DPRD) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Bawasda pun tidak merasa keberatan dengan usul pembelian helikopter

tersebut. Bahkan pada saat helikopter tersebut telah dibeli beberapa anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penerbangan perdana dengan

menggunakan helikopter tersebut. Penggunaan Dana Propinsi Nanngroe Aceh

Darussalam (NAD) untuk pengadaan Helilopter MI-2 telah dipertanggung

jawabkan oleh Abdullah Puteh selaku Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD) dan telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) (OC Kaligis, 2008: 1). Menurut Penulis salah satu bukti kongkrit

tersebut merupakan pola korupsi mark up dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang tersistematis dan seolah-olah tidak ada

peyalahgunaan wewenang jabatan. Ketidakjelasan yang ditunjukan dalam

sistem pengadaan barang dan jasa di daerah dengan dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat menunjukan data riil

dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan dari hal tersebut.

Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat dan mereka

saling bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi. Modus operandi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

korupsi mark up Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan

dengan mengatasnamakan untuk pembangunan dearah dan kesejahteraan

rakyat dengan melakukan pembelanjaan daerah atas barang dan jasa diluar

kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh daerah. Proses otonomi daerah

telah dijadikan alat dan senjata bagi para pejabat di daerah untuk

memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya saja.

Pada dasarnya otonomi daerah akan diberikan kepada daerah agar

daerah mampu menggali sumber dana dalam rangka membiayai segala

kegiatannya. Semakin besar dana yang digali otonomi daerah yang

diperlihatkan dengan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan makin luas untuk

diberi otonomi daerah (Syaukani dkk, 2002: 204).

Anggaran daerah disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah

berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap

daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Daerah

atau Provinsi dan Kabupaten Kota dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) setelah mendapat konfirmasi Dana Alokasi Umum

(DAU) yang didapatkan pada tahun anggaran dari pemerintah pusat (Marbun,

2005: 139).

Tahap penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

yaitu adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan pendapatan pajak dan retribusi tanpa tanpa harus

menambahkan beban masyarakat, tapi melalui penyederhanaan pungutan

efisiensi biaya administrasi pungutan memperkecil jumlah tunggakan dan

meneguhkan sanksi hukum bagi para penghindar pajak;

b. Meningkatkan efisiensi efektivitas dan penghematan di bidang belanja

daerah sesuai prioritas;

c. Memprioritaskan anggaran untuk membiayai kegiatan atau proyek pada

dinas teknis yang bertangungg jawab pada masyarakat secara langsung;

dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

d. Meningkatkan pemerintah daerah yang bersih dan berwibawa dengan

mengacu pada Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme (HAW Widjaja, 2001: 171). Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan otoritas dari

pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Antara keduanya harus saling bersinergisitas dan tidak boleh saling

mendominasi dalam tiap pengambilan kebijakan.

Akibat pemahaman yang distortif terhadap sistem pemerintahan

daerah tampak kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

memposisikan dirinya sebagai superior atau pun kedudukan lebih tinggi

daripada kepala daerah dengan bargaining position yang kuat dan

menentukan. Dengan posisi yang demikian itu sangat mudah bagi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendikte, menekan,

mengintervensi dan memberikan semacam mosi tidak percaya pada kepala

daerah. Dengan posisi yang demikian itu, potensi akan terjadinya

penyalahgunaan wewenang sangat terbuka lebar. Hal ini terbukti dengan

terjadinya praktek money politics dan political black mailing. Bahkan korupsi

baik yang berkenanaan dengan pilkada, pertanggungjawaban kepala daerah

maupun yang berkenaan dengan hak menentukan anggaran belanja Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Maraknya praktek yang demikian itu

bukan lagi menjadi rahasia umum meskipun sulit untuk membuktikannya.

Namun khusus berkenaan dengan hak menentukan anggaran belanja Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik besarannya maupun peruntukannya

acapkali menimbulkan kecurigaan yang bermuara pada tuduhan ataupun

dakwaan korupsi yang dilakukan oleh sementara anggota dewan di berbagai

daerah sebagaimana yang terungkap belakangan ini. Semua carut marut

korupsi yang melanda anggota Dewan di berbagai daerah bersumber pada

pemahaman yang distortif terhadap sistem pemerintahan dearah dan

kekeliruan di kalangan anggota dewan memposisikan Dewan Perwakilan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

Rakyat Daerah (DPRD) dalam kedudukan yang lebih tinggi ataupun superior

daripada kepala daerah (I Gede Pantja Astawa, 2009: 34).

Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut

David.B.Truman yaitu sebagai berikut:

”any politician whether legislator, administrator or judge whether elected or appointed is obligated to make decision that are guided in part by the relevant knowledge that is available to him” (Josef Riwu Kaho, 1988: 75).

Dengan demikian tugas pokok dari para pejabat daerah termasuk

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selain mereka sebagai

pejabat legislator dalam proses pembentukan peraturan daerah juga sebagai

ujung tombak dalam mengawal dan mengontrol sistem administrasi yang ada

di daerah. Aturan dan benteng hukum terkait prosedur administrasi

penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja dan Dearah (APBD) adalah

tanggung jawab utama dari para anggota dewan, karena merekalah yang

mempunyai wewenang dalam legalisasi pengesahan ketika mekanisme

pengajuan keuangan daerah akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan

dan Belanja Dearah (APBD) tersebut. Sedikit ada kesalahan dalam

pengawasan administrasi akan menjadikan celah bagi kebocoran anggaran

daerah mengalir pada pihak-pihak yang hendak melakukan modus operandi

mark up dana daerah.

Dalam hal hendak menganalisis hukum tentang perbuatan salah

administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat dipedomi

sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya adalah si

pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya

bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur suatu pekerjaan

tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi

kepentingan hukum negara. Salah perbuatan administrasi semacam ini ini

bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan

secara administrative pula, misalnya dengan mencabut, membatalkan, atau

melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat khilaf

(culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu yang dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

pekerjaan ini membawa kerugian negara tertentu. Kasus semacam ini masuk

pada perbuatan melawan hukum perdata dan bukan korupsi. Pada si pembuat

diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi pada Pasal 2 Undang-undang

No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos,

malainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak

secara tegas mencamtumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus.

Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut

kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatannya memperkaya,

misalnya mendepositkan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan

tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara

menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan. Si pembuat

sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak dapat

membawa dampak kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan

semacam ini masih ditoleransi sebagai kesalahan administratif. Sanksi

administratif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tetapi bukan sanksi pidana.

Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi. Si pembuat sadar dan mengerti

bahwa pekerjaan administrative tertentu meyalahi aturan dilakukan juga,

sehingga dapat membawa kerugiaan negara. Dalam hal ini masuk pada

persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktiaan mempertajam analisis

hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan

hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber

tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan dalam melakukan analisis

pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis (Adami Chazawi, 2008:

312).

Modus operandi korupsi telah berkembang pesat mulai dari cara

konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan

kejahatan berdimensi baru, seperti bank crime, crime as business,

manipulation crime, corporation crime, custom fraud, money laundring,

illegal logging, illegal fishing dan berbagai modus cyber crime lainnya.

(Rohim, 2008: 13). Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan tindak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

pidana korupsi banyak modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan

pribadi. Modus korupsi dalam penggelembungan dana Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan

mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk

diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai

pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)

mengungkapkan potensi penggelembungan anggaran atau mark up dalam

pengadaan barang dan jasa selama ini mencapai 200%. Hal itu ditunjukan

dari hasil investigasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat

70% kasus yang masuk merupakan pengadaan barang dan jasa bahkan

kemahalan produk (mark up) dapat mencapai 200%. Adanya alokasi untuk

pengadaan barang dan jasa mencapai Rp 450 triliun per tahun dengan potensi

kebocoran 40%-50% atau lebih dari Rp 200 triliun (Media Indonesia, 14

Desember 2010: hal.4).

Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat.

yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004 pada Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) perubahan tahun 2008 melonjak

menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada tahun 2009 transfer dana dari pusat ke

daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Meningkatnya transfer

dana dari pusat ke daerah tersebut seharusnya tidak diikuti dengan

peningkatan terjadinya penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi di

daerah. Bagaimanapun juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) merupakan uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya

untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat

(http://mnaimamali.blogspot.com/2008/08/modus-operandi-tindak

pidanakorupsi.html/ diakses tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB).

Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan sedikitnya sembilan

modus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tanpa tender. Modus yang

dipakai ialah pemalsuan, penyuapan, penggelapan, uang komisi, pemerasan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

perlakuan tidak adil terhadap investor, suap, sumbangan illegal, dan

penyalahgunaan wewenang. Hasil kajian Indonesian Corruption Watch

(ICW) masalah tender mendominasi tindak pidana korupsi yang ditangani

lembaga penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun komisi. Peneliti

bidang hukum Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah

menyebutkan pada periode 2004-2007, Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) menangani sedikitnya 57 kasus korupsi di antaranya terkait dengan

pengadaan barang dan jasa, dan sisanya merupakan kasus penyuapan dan

penyalahgunaan anggaran keuangan negara dan daerah. Periode 2008-2009

penggelembungan anggaran dan penunjukan langsung barang dan jasa masih

tetap dominan. Deputi Bidang Strategi dan Kebijakan Lembaga Kebijakan

Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Prabowo pun

menyadari bahwa penunjukan langsung barang dan jasa rawan korupsi.

Apalagi nilainya naik dari Rp 50 juta menjadi Rp l00 juta

(http://bataviase.co.id/content/korupsi-pengadaan-rp689-miliar / diakses

tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB).

Menurut Austin Wakeman Scott tentang kewenangan dari lembaga

pengadilan adalah sebagai berikut:

”Jurisdiction on this court in a suit in wich a state shall be a party are not to be interprefed as confering such jurisdiction in every case in wich the state efect to make it self strictly a party plaintiff of recerd and seek not to protect its own properly but only to vindicate to wrongs of some of its own laws or the public policy againt wrong does generally”. (Austin Wakeman Scott, 1964: 213).

Hal ini telah memberikan arahan adanya lembaga lembaga

pengadilan berguna untuk memberikan sanksi pada para pelaku tindak

kejahatan baik itu pada tersangka maupun terdakwa. Berdasarkan Pasal 24

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang berbunyi:

”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun

2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan

“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.

Dengan demikian Penulis mengartikan dari pengadilan khusus

berpijak dari Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang

kekuasaan kehakiman yang berbunyi

”Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”

Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan

Umum”. Hal ini berimplikasi bahwa pengadilan ad hoc Tindak Pidana

Korupsi yang sudah terbentuk di 5 (lima) kota yaitu di Semarang, Surabaya,

Jakarta, Makasar dan Medan maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

yang akan dibentuk di setiap provinsi di seluruh Indonesia kedudukannya di

bawah peradilan umum, sehingga akan timbul dualisme pengambilan

kebijakan dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Dualisme itu terjadi

karena penyidik dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Peradilan Umum

penyidiknya berasal dari kejaksaan. Pola keputusan dan kebijakan sebagai

upaya pemberantasan korupsi mark up di daerah juga akan mengalami

perbedaan. Jika sinergisitas dan koordinasi dilakukan dengan baik maka akan

menghasilkan putusan yang adil dan mempunyai kepastian hukum, sehingga

kepada para pelaku tindak pidana korupsi di daerah dapat menimbulkan efek

jera.

Berdasarkan dari pemaparan paradigma dan teoretis analitis yang

telah diuraikan dari Penulis pada latar belakang diatas, maka Penulis berharap

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

dengan kajian yang dilakukan dengan adanya keberadaan Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan mampu memfasilitasi upaya

pemberantasan modus operandi mark up pada tiap kegiatan yang dilakukan

oleh para pejabat daerah dalam panggunaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Untuk telaah lebih lanjut dalam upaya

pemberantasan korupsi di daerah, maka Penulis akan mengkaji hal tersebut

melalui judul yaitu sebagai berikut: ”POLA PUTUSAN PENGADILAN

AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA

PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS

OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN

BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah Dari berbagai uraian dan pemaparan terkait latar belakang masalah

tersebut di atas, maka Penulis memberikan beberapa rumusan masalah yaitu

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pola penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak

pidana korupsi terkait modus operandi korupsi mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam putusan Pengadilan Ad

Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)?

2. Bagaimanakah sinergisitas proses penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan

konsep proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Peradilan Umum

sebagai upaya pemberantasan modus operandi korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakuakan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah

memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan

rumusan masalah. Karena itu tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan

berdasarkan rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui

serangkaian metodologi penelitian. Oleh karenanya tujuan penelitian yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

baik adalah rumusannya operasional dan tidak bertele-tele. Dari tujuan inilah

dapat diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai

dalam penelitian itu. (M. Subana dan Sudrajat, 2001: 71). Berdasarkan hal ini

maka Penulis dalam penelitiannya memiliki 2 (dua) tujuan penelitian yaitu

tujuan objektif dan dan tujuan subyektif. Dengan demikian diharapkan dapat

menghasilkan manfaat yang logis dan konstruktif, sehingga mampu guna

menyelesaikan dan memecahkan permasalahan yang ada. Adapun jenis

penelitian yang Penulis gunakan adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pola penetapan sanksi hukum terhadap para

pelaku tindak pidana korupsi di daerah terkait modus operandi

korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

di Indonesia; dan

b. Untuk mengetahui sinergisitas antara proses penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) dengan konsep proses penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan Peradilan Umum terkait modus operandi korupsi

mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di

Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memahami, mengetahui dan menambah cakrawala ilmu

sistem birokrasi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan

wawasan terkait upaya pemberantasan korupsi yang ada di dalamnya

dengan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan

konsep putusan dari peradilan umum terkait modus operandi korupsi

mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di

Indonesia; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis agar mendapat gelar S1 atau

Sarjana Hukum dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian yang Penulis lakukan ini berharap akan memberikan

manfaat demi rekonstruksi dan reformasi hukum di Indonesia. Manfaat yang

didambakan Penulis adalah dapat memberikan ide dan masukan terhadap

semua pihak terutama pada penegak hukum guna pemberantasan korupsi di

daerah terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Adapun manfaat yang Penulis harapkan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat memberikan gagasan dan kritikan terhadap para penegak

hukum di Indonesia agar serius mencermati sistem birokrasi dalam

penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar

dana yang digunakan tidak terjadi penyimpangan terhadap arah

tindak pidana korupsi; dan

b. Dapat memberikan arahan dan kerangka berpikir yang logis terhadap

langkah yang harus diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) agar tetap bersinergisitas dengan konsep putusan

dari peradilan umum, sehingga tidak terjadi overlapping dalam

putusannya.

2. Manfaat Praktis

a. Guna memberikan solusi kongkrit terhadap perubahan dan reformasi

birokrasi di Indonesia yang lebih tersistematis dan akuntable dalam

upaya pemberantasan korupsi di daerah; dan

b. Guna mengembangkan daya pikir, logika dan merubah paradigma

Penulis agar tetap memperkokoh semangat nasionalisme dan

idealismenya dalam mengemban amanah reformasi di Indonesia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

E. Metode Penelitian

Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu

tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.

Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada

pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan

baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah

suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah

bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari

suatu gejala atau hipotesa yang ada (Bambang Sunggono, 1991: 21).

Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai

suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode,sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya

(Soerjono Soekanto, 2005: 43).

Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian

kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten

untuk memperoleh data yang lengkap dapat dipertanggung jawabkan secara

ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Penelitian hukum

merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35).

Tugas dalam penelitian adalah Pertama, mencandra (memberikan)

artinya menggambarkan secara jelas dan cermat hal-hal yang dipersoalkan.

Kedua, menerangkan kondisi-kondisi yang mendasari peristiwa. Ketiga,

menyusun teori-teori artinya mencari dan memasukan dalil-dalil (hukum atau

kausalitas mengenai suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Keempat,

membuat prediksi, ramalan, estimasi dan proyeksi peristiwa yang akan bakal

terjadi dari gejala-gejala yang akan timbul. Kelima, melakukan pengendalian

atau pengaraha artinya melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan

dan mengarahkan peristiwa-peristiwa atau gejala tertentu yang dikehendaki

(Sunaryati Hartono, 1994: 102-103).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Beni

Ahmad Saebeni, 2008: 13). Berkualitas atau tidaknya sebuah penelitian salah

satunya dapat diamati dari kekonsistenan benang merah penelitian mulai dari

rumusan masalah,tujuan penelitian, hingga kesimpulan hasil penelitian.

Untuk dapat menuntun peneliti dalam melakukan penelitian diperlukan

sebuah metode penelitian. Keberhasilan metode penelitian diharapkan dapat

menjadi cirri penelitian (M.Subana dan Sudrajat, 2001: 88).

Menurut Kamus Webster’s, penelitian adalah penyelidikan terhadap

suatu bidang ilmu yang dilakukan secara hati-hati penuh kesabaran dan ktitis

dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip. Menurut Hillway, penelitian adalah

suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-

hati dan sempurna terhadap sutau masalah, sehingga diperoleh pemecahan

yang tepat terhadap masalah tersebut (Supranto, 2003: 1).

Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis menggunakan metode

penelitian agar mendapatkan hasil penelitian yang logis dan tersistemetis.

Logis artinya antara judul, rumusan masalah dan pembahasannya mudah

dipahami dengan alur berpikir yang kongkrit dan jelas. Tersistematis artinya

antara bagian yang satu dengan yang lain tidak akan saling terputus dan dapat

memberikan penjelasan yang saling berhubungan. Dengan demikian adanya

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat menunjukan

sinergisitasnya dengan Pengadilan Umum dalam upaya pemberantasan modus

operandi korupsi mark up Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah

(APBD). Dengan metode penelitian ini diharapkan para pelaku mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat diputus dengan

berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Adapun Penulis memberikan

uraian dan penjelasan tentang metode penelitiannya yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas

hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang

dianut sang konsep dan atau sang pengembangnya (Sulistyowati Irianto,

2009: 121).

Penelitian hukum normative atau doctrinal research dari pendapat

Hutchinson yang artinya yaitu “Reasearch wich provides a systematic

exposition of rules governing a particular legal category, analyses the

relathionship between rules,explain areas of difficulty and

perhaps,predict future development” (Peter Mahmud Marzuki, 2006:

32).

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang

disusun secara sistematis, kemudian ditarik suatu kesimpulan (Soerjono

Soekanto, 2006: 15). Berdasarkan hal tersebut Penulis menggunakan

jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan penekanan pada

teori-teori hukum untuk memberikan penjelasan yang detail terhadap

masalah yang dirumuskan oleh Penulis. Penelitian hukum doktrinal ini

akan mampu memberikan deskripsi dan analisa yang tajam terhadap

beberapa variable hukum yang terdapat tinjuan pustaka. Adapun

beberapa variable tersebut yaitu: tinjauan secara umum tentang Putusan

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tinjauan secara

umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),

tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi, tinjauan secara

umum tentang Modus Operandi Korupsi, tinjauan secara umum tentang

Mark Up, dan tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Dengan penelitian hukum doktrinal ini akan

mampu menjawab dengan tuntas terhadap setiap permasalahan hukum

yang ada dalam penelitian.

2. Sifat Penelitian

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

preskiptif dan terapan sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum

mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,

konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud

Marzuki, 2006: 22).

Menururt Soerjono Soekanto penelitian preskriptif adalah

penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar

dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam

kerangka menyusun-menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006: 10).

Paradigma yang digunakan Penulis adalah bersifat preskriptif dengan

alasan ketika objek dari penelitian hukum ini berupa tindakan para

pelaku (pejabat daerah) korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) merupakan fenomena hukum yang harus diteliti

dengan valid dan kongkrit. Dalam memberikan hipotesis-hipotesis pada

gejala hukum yang terjadi di berbagai daerah terkait korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh para pelakunya,

maka dari itu dengan berbagai teori hukum yang digunkan akan dapat

memberikan deskripsi dan analisis yang jelas tentang perbuatan mereka

dari sudut pandang hukum. Dengan demikian arahan dan pola putusan

yang harus diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) dapat memberikan kepastian hukum.

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Suharsini ada beberapa tata kerja dalam kegiatan

penelitian yaitu sebagai berikut:

Kegiatan penelitian dirancang dan diarahkan untuk memecahkan

suatu masalah tertentu, yang dapat berupa jawaban masalah atau dapat

menentukan hubungan untuk variabel-variabel penelitian.Kegiatan

penelitian berpangkal pada masalah atau obyek yang dapat diobservasi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

Kegiatan penelitian memerlukan observasi dan deskripsi yang mapan

Kegiatan penelitian berkepentingan dengan penemuan baru. Prosedur

kegiatan penelitian dirancang secara teliti dan rasional. Kegiatan

penelitian menuntut keahlian. Kegaiatan penelitian ditandai dengan usaha

objektif dan logis. Kegiatan penelitian harus dilakukan secara cermat,

teliti, dan sabar serta memerlukan kebenaran, sebab hasil penelitian

kadangkala berlawanan dengan norma tata aturan yang berlaku dalam

suatu mayarakat dalam periode tertentu (Beni Ahmad Saebeni, 2008:16-

17).

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian

hukum terdapat lima pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan

(statue approach), penedekatan kasus (case approach), pendekatan

historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative

approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter

Mahmud Marzuki, 2009: 93).

Pendekatan (approach) yang digunakan dalam satu penelitian

normatif akan memungkinkan seseorang peneliti untuk memanfaatkan

hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk

kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah

karakter ilmu hukum sebagai ilmu normative. Dalam kaitannya dengan

penelitian normative dapat digunakan beberapa pendekatan berikut:

pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep

(conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),

pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),

pendekatan kasus (case approach). Pada pendekatan tersebut dapat

digabung, sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja

menggunakan dua pendekatan atau lebih sesuai, misalnya pendekatan

perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan perbandingan.

Namun dalam suatu penelitian normatif satu hal yang pasti adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Dikatakan pasti karena secara logika hukum, penelitian hukum normative

didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang

ada (Johnny Ibrahim, 2005: 246-247). Dalam penelitian hukum ini,

Penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue

approach) dengan alasan bahwa adanya Pengadilan Ad Hoc Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) telah diamanahkan oleh peraturan perundang-

undangan. Adanya pengadilan ini telah dijelaskan dalam Undang-undang

No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan

kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.46

Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu

substansi hukum dan aturan hukum tentang korupsi telah diatur dengan

jelas dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini berkaitan dengan

kebijakan yang diambil oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)

dan pejabat daerah sebagai tolak ukur terjadi dan tidaknya korupsi mark

up di daerah. Selain itu sinergisitas dan kedudukan hukum antara

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi dengan Pengadilan Umum

dapat ditinjau dari Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

kehakiman dan Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang Peradilan

Umum. Komparasi dari kedua aturan tersebut berdampak terhadap pola

keputusan dan upaya pemberantasasan modus operandi korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah mengingat

pihak penyidiknya terdapat dualisme yaitu dari pihak Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan.

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Bagian terpenting lain dalam proses penelitian ialah berkenaan

dengan data penelitian. Sebab inti dari suatu penelitian adalah

terkumpulnya data atau informasi, kemudian data tersebut diolah dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

dianalisis dan akhirnya hasil analisis itu diterjemahkan atau

diinterpretasikan (M.Subana dan Sudrajat, 2002: 115).

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan

bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan

hukum autoritatif yang artinya bahan hukum primer merupakan bahan

yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang

termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan,

catatan resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,jurnal-jurnal hukum dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,

2009: 141).

Menurut Lofland dan Lofland sumber data utama dalam

penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada

bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber

data tertulis,foto, dan statistik (Lexy J.Moleong, 2009 : 157).

Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa

data sekunder, yaitu data atau informasi hasil menelaah dokumen

penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan

seperti buku-buku, literature, koran, jurnal, maupun arsip-arsip yang

berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Menurut Seorjono

Seokanto, data sekunder dibidang hukum ditinjau dari kekuatan

mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat:

Dalam Penulisan Hukum ini penulis menggunakan bahan

hukum primer, yaitu: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang

No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.30

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),

Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.8 Tahun 2004 jo

Undang-undang No.58 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.

b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti:

1) Hasil karya ilmiah para sarjana dan ahli hukum; dan

2) Hasi-hasil jurnal hukum.

c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

hukum sekunder, misalnya; bahan dari media internet, kamus,

ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya (Soerjono Soekanto,

2001: 13).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk

memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan

hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan

hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat

pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis

dengan mempergunakan content analysis (Peter Mahmud

Marzuki,2006:21).

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang

sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka

atau “collecting by library” untuk mengumpulkan dan menyusun data

yang diperlukan (Lexy.J.Moleong, 2005: 216-217).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yaitu

dengan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan

content analysis . Dalam content analisis ini dapat menggunakan

participant observasion. Tahap ini mempunyai cirri-ciri yaitu sebagai

berikut:

a. Pengamat menjadi bagian dari gejala yang diamati;

b. Pengamat sudah sejak semula menjadi bagian;

c. Pengamat semula adalah pihak luar; dan

(Soekanto, Soerjono.2006:21-22).

Bernald Barelson mengartikan makna ”content analyisis” yaitu “content analysis is a reaserch technique for the objevtive, systematic and quantitative description of the manifest content of communication”. Selanjutnya Fred N.Kerlinger mengartikan content analysis yaitu “content analysis is a method of studying and analyzing and quantitative manner to measure variables” (Abdurrahman, 1999: 12).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Menurut Bogdan dan Biklen yang menyatakan bahwa analisis

data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan

apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen dalam

Lexy J. Moleong, 2005: 248).

Analisis terhadap data kualitatif adalah pemusatan perhatian pada

prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan suatu gejala yang ada

dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang dianalisis, gejala social

budaya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan

untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan

Ashshofa, 2004: 2).

Penelitian deskriptif secara lebih fokus memanfaatkan konsep-

konsep yang telah ada atau menciptakan konsep-konsep logika dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

ilmiah yang berfungsi klarifikatif terhadap fenomena sosial yang

dipermasalahkan. Dalam pelaksanaan penelitian yang menggunakan

metode deskriptif pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan

seleksitas data dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan kualitatif yakni pendekatan yang berupaya

memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa dengan menafikan segala

hal yang bersifat kuantitatif. Dengan demikian gejala yang ditemukan

tidak memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka, melainkan melalui

penafsiaran logis teoretis yang berlaku atau terbentuk begitu saja karena

realitas yang baru yang menjadi indikasi signifikan terciptanya konsep

baru (Sulistyowati Irianto, 2009:58).

Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat

sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau

untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada

tidaknya hubungan antara suatau gejala lain di dalam masyarkat.

Menurut Herbert Hynan penelitian deskriptif bertujuan untuk

menggambarkan sesuatu yang tepat dan suatu gejala dan pokok

perhatiannya adalah pengukuran yang cermat dari satu atau lebih variable

terikat (dependent variabel) dalam suatu kelompok penduduk tertentu

atau dalam sampel dari kelompok penduduk tertentu (Amiruddin dan

H.Zainal Asikin, 2004: 25-26).

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pembahasan, menganalisis, dan

mendeskripsikan secara detail isi dari penulisan hukum ini, maka Penulis

telah menyusun sistematika penulisan hukum dengan membagi dalam bab-

bab, yaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini Penulis memberikan uraian tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

penelitian dan metodologi penelitian serta sistematika

penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini Penulis memberikan uraian tentang pengertian-

pengertian hukum dari berbagai teori baik dalam tataran

yuridis maupun doktrin dari berbagai ahli hukum. Teori-teori

hukum yang Penulis uraiakan bersumber dari derivatif judul

dan permasalahan hukum serta beberapa variabel yang akan

dijabarkan pada bab-bab berikutnya. Penderivatifan tersebut

dibagi dalam dua (2) jenis yaitu sebagai berikut:

a. Kerangka Teori

1) Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad

Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

2) Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

3) Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi

4) Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi

Korupsi

5) Tinjauan secara umum tentang Mark Up

6) Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD)

b. Kerangka Pemikiran

Dalam pemaparan ini, Penulis mendeskripsikan logika dan

paradigma berpikir (mindsite) yang telah dikonstruksi

dalam bentuk bagan. Hal ini dimaksudkan agar mudah

memberikan pemahaman yang rasional terhadap masalah

dan out put akhir dalam penelitian ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini Penulis memberikan uraian secara detail dan

lengkap tentang tarik ulur antara rumusan masalah yang jadi

sumber utama dalam penulisan. Pada bab ini Penulis juga

memberikan pencerahan dan rasionalisasi terkait rumusan

masalah dengan teori yang dibangun. Teori-teori yang

dikonstruksi dan ditransformasikan untuk digunakan dalam

memberikan solusi kongkrit dan pemecahan masalah terhadap

yaitu sebagi berikut:

1. Bagaimanakah pola penetapan sanksi hukum kepada para

pelaku tindak pidana korupsi terkait modus operandi

korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dalam putusan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor)?

2. Bagaimanakah sinergisitas proses penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) dengan konsep proses penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan Peradilan Umum sebagai upaya

pemberantasan modus operandi korupsi mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?

Pada bab ini Penulis juga memberikan hasil terkait pola

putusan yang akan diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) akan efektif guna memberikan efek

jera pada pelaku tindak korupsi mark up Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBD). Selain itu Penulis juga

memberikan antara hubungan hukum dan sinergisitas

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan

Peradilan Umum agar tidak terjadi tumpang tindih dalam

memberikan putusan kepada para pelaku tindak pidana korupsi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) di

daerah-daerah seluruh Indonesia.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini Penulis memberikan uraian secara global dari

semua hasil penelitian dan pembahasan yang telah dihasilkan

pada kesimpulan. Selain pada kesimpulan, Penulis juga

memberikan saran atau pun rekomendasi terhadap hal-hal yang

harus dilakukan dan diperbaiki terhadap permasalahan dalam

penelitian hukum ini.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teoritis

a. Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad Hoc Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor)

Putusan adalah salah satu bentuk norma hukum yang bisa dikenal

dengan istilah vonis (Sudikno Mertokusumo, 1998: 175). Putusan

dikeluarkan hakim sebagai pelaksana tugas hakim yaitu mengkonstatir,

mengkualifisir, dan mengkonstituir peristiwa. Hakim memeriksa,

mengkualifikasi dan memutus perkara (Bambang Sutiyoso, 2009: 21).

Adapun putusan hakim dalam kaitan pemidaan terhadap tindak

pidana korupsi adalah yaitu: Putusan Bebas (vrijspraak). Dalam praktek

putusan bebas juga lazim disebut dengan putusan acquital yang berarti

bahwa terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak

pidana korupsi yang didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa

dibebaskan dari tuntutan hukum. Lebih tegasnya lagi terdakwa tidak

dijatuhi pidana (Lilik Mulyadi, 2000: 149).

Dalam kamus hukum disebutkan bahwa putusan adalah telah

diselesaikan dan telah ada kepastian. Putusan pengadilan adalah

penyelesaian pengadilan. Hal ini sesuai dengan ini Pasal 226 Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan tetap adalah

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai

dengan Pasal 259 dan 262 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Piadana

(KUHAP) (Sudarsono, 1992: 379-380).

Menurut Andi Hamzah, ada beberapa jensi putusan dalam kasus

pidana terutama kaitannya dengan putusan yang dapat diberikan kepada

para pelaku tindak pidana yaitu sebagai berikut: Pertama, Putusan akhir

adalah putusan pada akhir pemeriksaan di sidang yang berisi pertimbangan

menurut kenyataan, pertimbangan hukum dan putusan pokok perkara.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Kedua, Putusan bebas adalah terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum

yang ditujukan kepadanya. Ketiga, Putusan lepas adalah putusan yang

berupa tidak dipidananya atau tidak karena perbuatan yang didakwakan

terdapat alasan peniadaan pidana berupa alasan pembenar atau pemaaf.

Keempat, Putusan tanpa kehadiran terdakwa adalah suatu bentuk putusan

yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (dalam pelanggaran lalu lintas

atau delik ringan). Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim di sidang

pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas, atau lepas dari

segara tuntutan hakim atau suatu bentuk putusan yang berkuatan hukum

tetap. Putusan pengadilan adalah putusan yang diterima oleh terpidana dan

penuntut umum baik upaya hukum atau tanpa melalui upaya hukum atau

telah diputus oleh pengadilan kasasi (Mahkamah Agung) (Andi Hamzah,

2008: 125-126).

b. Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor)

Menurut Max Weber ada tiga (3) peradilan yaitu adalah sebagai

berikut:

1) Peradilan kadi adalah fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan

kebikasanaan sang pengadil. Tipe peradilan ini merupakan tidak

rasional karena bersifat arbiter dan tergantung hanya pada penentu

penguasa saja. Kelemahannya adalah sifatnya adalah partikularistik-

kasusistis;

2) Peradilan empiris adalah tipe peradilan yang lebih rasional, walau pun

belum semunya benar. Hakim dalam memutus perkara dapat

menggunakan analogi artinya memutus perkara yang terdahulu dalam

perkara sama dicoba untuk ditafsirkan guna menemukan relevansinya

atas perkara yang ditangani itu; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

3) Peradilan rasional adalah peradilan yang tergolong lebih rasional

dengan bekerja atas dasar organisasi birokrasi dan hasilnya berlaku

secara universal yang mengandalkan analisis-analisis yang logis guna

menggali berbagai makna dari konsep-konsep umum dan aturan

umum yang berlaku (Sotandyo Wignjosoebroto, 2008: 39).

Pengadilan adalah proses mengadili, keputusan hakim, dewan atau

majelis hakim yang mengadili perkara sidang hakim ketika mengadili

perkara rumah atau bangunan tempat mengadili perkara (Sudarsono, 1992:

379-349).

Menurut Harry C Bredemeire terkait pengadilan mempunyai

beberapa pengertian dan tugas utama yaitu sebagai berikut: Pertama,

pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat

antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan

diderita dari akibat putusan tersebut. Kedua, Pengadilan membutuhkan

evaluasi tuntutan-tuntutan yang saking bertentangan dan mengantisipasi

efek-efek dari suatu putusan. Ketiga, pengadilan membutuhkan suatu

kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk penyelesaian

konflik (Yesmil Anwar, 2009: vii).

Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009

tentang kekuasaan kehakiman disebutkan:

“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.

Dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang

kekuasaan kehakiman yang berbunyi:

”Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan

Peradilan Umum”. Pengadilan tipikor ini juga merupakan amanah dalam

Pasal 53 Undang Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi yang berbunnyi:

”Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”

Dalam penerapan pengadilan tindak pidana korupsi tidak serta

merta langsung dapat dilaksankan, tapi harus memperhatikan prinsip-

prinsip umumnya terlebih dahulu. Adapun prinsip umumnya itu adalah

sebagai berikut:

1) Independent dan tidak memihak (impartial)

Prinsip ini merupakan hal yang utama yang telah ditentukan

dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan ketentuan internasional. Peradilan yang independen

tidak memihak dan mampu memainkan peranan penting dalam upaya

memujudkan tata pemerintahan yang adil,jujur, terbuka dan

bertanggung jawab. Independensi adalah inti dari pemisahan

kekuasaan. Jika lembaga-lembaga pemerintah yang lain bertanggung

jawab pada rakyat hanya peradilan yang bertanggung jawab pada

nilai-nilai yang lebih tinggi dan pada standart kejujuran peradilan.

Prinsip independensi menghendaki agar institusi peradilan bebas dan

merdeka dari campur tangan, tekanan dan paksaan baik secara

langsung maupun tidak langsung dari pihak-pihak yang berada di luar

pengadilan. Prinsip tidak memihak pada dasarnya bahwa hakim dalam

mengadili harus tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil

dan seimbang hak-hak para pihak, sehingga bebas dan terhindar dari

benturan kepentingan (conflict of interest).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

2) Sederhana dan cepat

Salah satu yang dituntut publik ketika memasuki proses

peradilan mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem.

Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidak

adilan, akan tetapi harus didiingat bahwa tindakan yang prosedural

harus pula menjamin pemberian keadilan dan proses yang sederhana

harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan keputusan.

Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan juga

diharapkantidak memakan yang waktu. Proses pengadilan haruslah

cepat, jelas dan tepat waktu, jika proses yang lama dan tidak jelas

batas waktunya bukan hanya membuat pesimisme para pencari

keadilan tapi akan mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat

negatif. Oleh karena itu proses persidangan di pengadilan tipikor harus

dapat ditentukan dalam batas waktu yang tepat dan memadai.

3) Transparan

Prinsip ini bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi

sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada

kesempatan bagi publik untuk melekukan control dan koreksi. Hal ini

maksudnya adalah keterbukaan akan jadwal dan agenda persidangan,

kerterbukaan akan keputusan serta kinerja dari pengadilan tipikor

terutama dalam hal pengelolaan anggaran. Erat hubungannya dengan

konsep ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi dengan

syarat tidak membahayakan jalannya proses pengadilan. Berbeda

halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat

diakses oleh publik untuk dapat mengetahui landasan diambilnya

sebuah putusan.

4) Akuntable

Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya

akuntabilitas dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas. Ada beberapa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

hal yang harus diperhatikan yaitu adanya ketaatan pada hukum,

prosedur yang jelas, adil dan layak serta kontrol yang efektif. Sebagai

pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan

yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karena itu

diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling kurang

mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan

wewenang demi terjaminnya hak asasi manusia. Dalam menjalankan

mekanisme persidangan dapat dilakukan beberapa cara yaitu sebagai

berikut: Pertama, adalah dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan

sendiri, baik oleh “peer group” maupun atasan. Kedua, adalah pihak

eksternal yang dilakukan oleh para pihak yang berada diluar lembaga.

Ketiga, adalah oleh lembaga lain dalam hubungan horizontal dan

terakhir yang Keempat adalah secara vertikal yang dilakukan oleh

pihak yang memiliki hubungan vertical dengan personil atau lembaga

(Tim Taskforce, 2008: 26-28).

c. Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi

1) Pengertian tentang tindak pidana

Istilah tindak pidana dipakai sebagai “strafbaar feit”. Dalam

perundang-udangan dapat dijumpai istilah-istilah lain yang

maksudnya juga“strafbaar feit”, misalnya:

a. Peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Pasal 14

ayat (1));

b. Perbuatan pidana (Undang-undang No.1951 Undang-undang

mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan

susunan, kekuasaan dan cara pengadilan-pengadilan sipil Pasal 5

ayat (3) point b);

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat

No.2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonatie tijdelijke byzondre

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

straf bepalingen). S.1948 -7 Undang-undang Republik Indonesia

(dahulu) No.8 Tahun 1948 Pasal 3;

d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No.16 Tahun

1951 tentang peneyelesaian perselisihan perburuhan Pasal 19, 21

dan 22);

e. Tindak pidana (Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1953 tentang

pemilihan umum, Pasal 129);

f. Tindak pidana (Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1955 tentang

pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi,

Pasal 1); dan

g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No.4 Tahun 2964 tentang

kewajiban kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana

kerena melakukan tindakan pidana yang merupakan kejahatan,

Pasal 1).

Prof Muljatno Guru Besar pada Gajah Mada menganggap

lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” yang artinya

adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang

dilakukan. Menurut Drs.E. Utrecht S.H, memakai istilah peristiwa

pidana (Sudarto, 1990: 38-39).

Menurut Simons “strafbaar feit” adalah “een strafbaar

gestelde on rechmatige met schuld verband staande handeling van een

toerekeningsvatbaar”. Unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya

perbuatan manusia baik positif maupun negatif, berbuat atau tidak

berbuat atau membirakannya, diancam dengan pidana, melawan

hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan orang yang mampu

bertanggung jawab. Menurut Van Hammel unsur-unsur tindak

pidananya adalahp perbuatan manusia yang dirumuskan dengan

undang-undang, melawan hukum dengan kesalahan, dan patut

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

dipidana. Menurut E.Mezger unsur-unsur tindak pidananya adalah

perbuatan dalam arti yang luas dari manusia baik yang aktif atau

membiarkan, sifat melawan hukum, dapat dipertanggung jawabkan

kepada seseorang dan diancam dengan pidana. Menurut J.Bauman

unsur-unsur tindak pidananya adalah perbauatan yang memenuhi

rumusan delik, bersifar melawan hukum dan dilakukan dengan

kesalahan. Menurut Karni unsur-unsur tindak pidananya adalah

perbuatan yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah,

perbuatan patut dipertanggung jawabkan. Menurut Wirjono

Prodjodikoro unsur-unsur tindak pidananya adalah tindak-tindak

pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan

pidana. Menurut H.B.Vos unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya

kelakuan manusia, diancam pidana dalam undang-undang. Menurut

W.P.J Pompe unsur-unsur tindak pidananya adalah bersifat melawan

hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana.

Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan

manusia, memenuhi rumusan dalan undang-undang yang merupakan

syarat formil dan bersifat melawan hukum yang merupakan syarat

materiil (Sudarto, 1990: 40-43).

Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda “strafbaar feit”

yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam stratwet boek atau

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana berarti

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana

(Wirjono Prodjodikoro, 2002: 55).

Tindak pidana adalah melakukan sesuatu perbuatan dengan

maksud atau nyata-nyata memutar balikan, merongrong atau

penyelewengan ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Tindak

pidana adalah melakukan perbuatan yang diketahui atau patut

dikehendaki dapat memutar balikan, merongrong atau

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

menyelewengkan Pancasila atau haluan negara (Niniek Suparni, 1991:

40).

Tindak pidana adalah perbuatan yang suatu oleh peraturan

hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat

bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang (Moeljatno, 1993: 54).

2) Pengertian tentang korupsi

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, korupsi adalah

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 25).

Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, korupsi adalah

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 27).

Dalam kamus lengkap “Webster’s Third New International

Dictionary” korupsi adalah ajakan (dari seorang pejabat politik)

dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya

suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Selo Soemardjan, 1998:

29).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

Menurut Robert Glitgrard korupsi adalah tingkah laku yang

menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena

keuntungan status uang yang menyangkut pribadi (perorangan,

keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan

pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.Secara historis konsep

korupsi merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual. Kata

latin corruptus, “corrupt” menimbulkan serangkaian gambaran jahat;

kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada

kata tersebut (Selo Soemardjan, 1998: 29).

Korupsi adalah suatu perbuatan dengan menyalahgunakan

wewenang atau jabatan di dalam pemerintahan dengan memanfaatkan

celah-celah birokrasi yang ada untuk memperoleh keuntungan atau

kekayaan pribadi dalam rangka untuk memuaskan batinnya dan tindak

para apartur negra itu tidak berdasarkan hati nurani karena telah

menyebabkan kerugian negara serta perbuatan itu telah mengabaikan

kepentingan rakyat (Harum Pudjiarto, 1997: 26).

Menurut Syed Husein Alatas dalam makalahnya yang berjudul

“The Sosiological of Corruption” terjadinya korupsi adalah apabila

seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh

seorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian

istimewa pada kepentingan si pemberi. Sesungguhnya istilah ini

sering pula juga dikenakan pada pejabat yang menggunakan dana

publik yang mereka urus bagi kepentingan sendiri. Dengan kata lain

mereka yang bersalah melakukan penggelapan atas harga yang

seharusnya dibayar oleh publik (Harum Pudjiarto, 1997: 29).

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa

latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa

corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere suatu kata latin

yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa

seperti Inggris yaitu corruption, corrupt. Dalam bahasa Perancis yaitu

corruption dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Arti dari kata itu

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,

tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan

yang menghina atau memfitnah (Andi Hamzah, 2004: 4-5).

Menurut Grote Prins mengatakan pengertian korupsi adalah

“corruption=omkoping,noemt men het verschijnsel dat ambtenaren of

andere personen in dients der openbare zaak (zie echter hieronder

voor zogenaamd niet ambtelijk corruptie) zicht laten omkopen” (Andi

Hamzah, 2004: 5).

Menurut Hodes korupsi adalah serangakaian kejahatan dan

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang

dilakukan oleh pemimpin-pemimpin politik selama,sebelum dan

setelah meninggalkan kantor (OC Kaligis, 2008: 2).

Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan

uang, penerimaan uang sogok. Korupsi adalah tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Menurut Transparansi International (TI) korupsi adalah perilaku

pejabat baik politis maupun pegawai negeri yang tidak wajar dan tidak

logis agar memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat

dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang

dipercaya pada mereka (Firman Wijaya, 2008: 8).

Dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk

keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan

seseorang. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk

bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa bersifat swasta,

lembaga pemerintah atau lembaga nirlaba. Korupsi berarti memungut

uang bagi layanan yang sudan seharusnya diberikan atau

menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.

Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja

(Robert Klitgard, 2002:2-3).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

Arti kata korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya

diri sendiri dengan secara langsung atau tidak merugikan keuangan

dan perekonomian negara (J.C.T Simorangkir, 2000: 85).

Korupsi adalah suatu tingkah laku dan / atau tindakan

seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang

berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong

dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan

mementingkan diri pribadi atau keluarga atau kelompok atau

golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan

pengendalian diri, sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani

dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi dan tidak selaras dengan

mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakan nafsu duniawi

yang berlebihan, sehingga merugikan keuangan atau kekaayaa negara

dan / atau kepentingan masyarakat atau negara baik secara langsung

maupun tidak langsung (Juniadi Soewartojo, 1998: 11).

Dalam bahasa Inggris istilah korupsi dapat distilahkan berupa

white collar crime atau frauda atau corruption. Dalam kamus besar

bahasa Indonesia arti korup adalah busuk, buruk, rusak, suka memakai

barang (uang yang dipercayakan kepadanya dapat disogok melalui

kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Korupsi adalah penyelewengan

atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk

keuntungan pribadi atau orang lain.

Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary, korupsi adalah “a corrupting or state of being corrupt as a decay, deprativity, impurity, bibery an instance of making or becoming corrupt perverson an agency of influence that corrupt”.

Dalam International Encyclopedia of the Social Sciences,

korupsi adalah “…..corruption are those forms of misuse authority which result in some undue benefit to a favored individual (favoritism), relative (nepotism), coreligiost (communalism), and so forth. The political, social economic, anf financial cost of corrupt machines are incalculable but enormous whatever their inevitability or fuctional utility”.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Dalam Encyclopedia Britania, korupsi adalah “embezzlement crime generally defined as the fraudulent misappropriation of godos or another by a servant an agento r another person to whom possession of the goods”.

Menurut Onghokham, korupsi adalah suatu gejala sosial dan

politik serta adanya pemisahan antara keuangan pribadi dari seorang

pejabat negara dan keuangan jabatannya, penyalahgunaan wewenang

demi kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap

korupsi.

Menurut M.Alwi Dahlan, korupsi adalah penggunaan

wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seoarang petugas

atau pejabat yang menyimpang dari ketentuan dan peraturan mengenai

tugas dan kewajibannya untuk kepentingan atau keuntungan

perorangan baik pribadi, keluarga atau suatu kelompok.

Menurut Moegono, S.H bahwa korupsi adalah perbuatan

melawan hukum yang ada sangkut pautnya dengan jabatan atau

wewenang yang ada padanya untuk memperoleh penghasilan

tambahan bagi dirinya dan mayarakat.

Menurut W.F. Wertheim, bahwa korupsi adalah perilaku

pejabat yang menerima hadiah dari seseorang atau dalam bentuk balas

jasa yang lain atau dalam bentuk pemerasan dengan tujuan

mempengaruhi agar pengambilan keputusan yang menguntungkan

kepentingannya pribadi si pemberi hadiah, pejabat yang menggunakan

uang negara yang berada di bawah pengawasannya untuk kepentingan

pribadinya atau melakukan penggelapan uang masyarakat, pejabat

yang menerima balas jasa dari pihak ketiga untuk diteruskan kepada

keluarganya atau partainya atau kepada orang-orang yang mempunyai

hubungan pribadi dengannya dan pejabat yang melanggar asas

pemisahan keuangan pribadi dan keuangan masyarakat ( Juniadi

Soewartojo, 1998: 119-124).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

Pengertian dari korupsi atau tindak pidana korupsi adalah

tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatau

kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri, orang lain atau

suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau badan

hukum lain yang menggunakan modal atau keonggaran dari negara

atau masyarakat (Andi Hamzah, 2008: 201).

Korupsi secara harfiah menurut John M.Echols dan Hassan

Shadaly berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N Kramer SR

mengatakan kata korupsi sebagai suatu yang busuk, rusak, atau dapat

disuap. Dalam “The Lexion Webster Dictionary” kata korupsi berarti

kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak

bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang

menghina atau memfitnah. Pengertian korupsi menurut Gurnar

Myrdal dalam bukunya berjudul Asian Drama, Volume II adalah “to

include not only all forms of improper or selfish exercise of power and

influence attached to a public office or the special position one

occupies in the public life but also the activity bribers”. Menurut

Helbert Edelherz mengartikan korupsi yaitu sebagai berikut “White

collar crime an ilegal acts or service of ilegal acts committed by

nonphysical means and by concealmnet or guille to obtain or

property, to avoid tha payment or loss of Money or property, to obtain

business or personal advantage” (Ermansjah Djaja, 2008: 6-7).

Pendapat dari David M.Chalmer menguraikan arti istilah

korupsi adalah dalam berbagai bidang yakni yang menyangkut

masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang

ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum (Evi

Hartanti, 2005: 9).

Dalam kamus hukum disebutkan bahwa korup berarti

mempunyai 4 (empat) arti, Pertama adalah buruk, rusak dan busuk.

Kedua adalah suka menerima uang sogok . Ketiga adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

menyelewengkan uang atau uang perusahaan atau negara. Keempat

adalah menggunakan uang dengan menggunakan jabatan untuk

keuntungan pribadi. Selanjutnya korupsi adalah penyelewengan atau

penggelepan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang

bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, 1992:

300).

Menurut asal katanya korupsi berasal dari kata latin yaitu

“corruptio” dan dalam bahasa inggris menjadi “corruption” yang

selanjutnya dalam bahasa indonesia disebut korupsi. Korupsi secara

harfiah mengandung arti jahat atau busuk.

Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi merupakan suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara

salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan

suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.

Robert Glitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi

matematis yaitu dengan rumusan sebagai berikut:

(C=M+D-A)

Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official –

Accountability

Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan

diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu

kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas. Dalam arti

sempit korupsi berarti pengabaian standart perilaku tertentu oleh pihak

yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan

Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan

korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan

masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu

(Rohim, 2008: 1-2).

Menurut Harrington dan Sabine, korupsi adalah sebagai

perubahan atau disintegrasi dari keadaan yang diinginkan menjadi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

sebaiknya atau sesuatu yang lain yang kurang dinginkan (Syed Husein

Alatas, 1987: 234).

Menurut Jack Burden, korupsi adalah nama yang

digunakannya jika temannya melakukan dengan tidak mengharuskan

jika siapa saja yang mana yang harus dipakai dan korupsi adalah

proses sosial dan politik (A. Rahman Zainudin, 1999: 273).

Guru Besar dan Rektor Universitas Pharamadina Jakarta serta

Ketua Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, Nurchalis

Madjid menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan

yang biasanya dilakukan perangkat kekuasaan. Lebih jauh lagi korupsi

adalah kejahatan yang membangun sistem sehingga orang yang

berinteraksi dengan sistem yang korup dan hampir pasti akan

terkontaminasi. Korupsi mengandung makna dasar rusak total dalam

karakter dan kualitas dan menunjuk tindakan yang bercirikan tidak

bermoral, curang, jahat, dan tidak jujur (inmoral, perverse, venal, dis-

honest). Hal ini berlaku dalil crime by tha best is the worst dan

kejahatan yang dilakukan orang-orang terbaik adalah yang terburuk

(Ikahi, 2007: 21).

Menurut Transparansi Internasional korupsi adalah perilaku

pejabat publik baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang

secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya

mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan

publik yang dipercayakan kepada mereka (Adhi Setyo Tamtomo,

2010: 4).

Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan di sektor

pemerintahan (misuse of public office) untuk kepentingan pribadi.

Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi misalnya; penjualan

kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kick backs dalam

pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan pencurian

(embezzlement) dana-dana pemerintah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

(http://mnaimamali.blogspot.com/2008/08 /modus-operandi-tindak-

pidana-korupsi.html/diakses tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17 WIB ).

3) Jenis-jenis tindak pidana korupsi

a) Tindak pidana korupsi murni

Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana yang

substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan

perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang

menyangkut keuangan negara, perekonomian negara dan

pelaksanaan tugas atau pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana

pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam

kelompok ini dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 12B,13,15, 16 dan 23 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi. Hal ini menarik dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH).

Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal

dibentuknya tindak pidana korupsinkelompok ini dapat dibedakan

lagi menjadi empat kelompok yaitu: Pertama, tindak pidana yang

dibentuk dengan substansi untuk melindungi kepentingan hukum

terhadap keuangan negara dan perekonomian negara. Tindak

pidana korupsi ini dimuat dalam tiga pasal yakni Pasal 2, 3, dan 4.

Kedua, tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan

pekerjaan pegawai negeri atau orang-orang yang perkerjaannya

berhubungan dan menyangkut kepentingan umum. Tindak pidana

korupsi ini berasal dan termasuk terhadap penguasa umum dalam

Banb VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah Pasal 220, 231,

KUHP, dan pasal d (mengadopsi Pasal 209 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP)), serta Pasal 6 (mengadopsi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga,

tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau

orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang dari

perbuatan yang bersifat menipu. Tindak pidana korupsi ini

dirumuskan dalam Pasal 7 yang substansinya mengadopsi dari

rumusan Pasal 387 dan 388 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP). Keempat, tindak pidanakorupsi yang dibentuk

untuk melindungi kepentingan hukum mengenai terselenggaranya

tugas-tugas publik atau tugas perkerjaan atau jabatan yang

dimilikinya sebagai pegawai negeri atau berkedudukan dan

tugasnya untuk kepentingan umum. Pasal 8 (mengadopsi dari

Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)), Pasal

9 (mengadopsi dari Pasal 416 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)), Pasal 10 (mengadopsi dari Pasal 417 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)), Pasal 11 (mengadopsi

dari Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)),

Pasal 12 (mengadopsi dari Pasal 419, 420, 423, 425, 435 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) (Adami Chazawi,

2005: 20-21).

b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni

Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana

yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap

kepentimgan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas

penegak hukum dalam upaya pemebarantasan tindak pidana

korupsi. Tindak pidana tersebut hanya diatur dalam tiga pasal,

yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi (Adami Chazawi, 2005: 22).

c) Tindak Pidana Korupsi Umum

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

Tindak pidana umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana

korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang

berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada

setiap orang termasuk korporasi. Hal ini terdapat dalam Pasal 2,

3, 4, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 Undang-undang No.31 Tahun

1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak

Pidana Korupsi, Pasal 220 dan 231 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 23 (Adami Chazawi, 2005: 23).

d) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara

Negara

Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau

Penyelenggara Negara adalah tindak pidana korupsi yang hanya

dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai

negeri atau penyelanggara negara. Rumusan tindak pidana

pegawai negeri ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan

23 (mengadopsi Pasal 421, 422, 429, 430 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP)) Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi (Adami Chazawi, 2005: 23).

e) Tindak Pidana Korupsi Aktif

Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi

positif adalah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya

mencantumkan unsur perbuatan aktif. Tindak pidana korupsi aktif

ini terdapat dalam beberapa pasal sebagai berikut:

1. Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang

lain, atau suatu korporasi);

2. Pasal 3 yang perbuatannya ( menyalahgunakan wewenang,

menyalahgunakan kesempatan dan menyalahgunakan

sarana);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

3. Pasal 5 ayat (1) sub a perbuatannya member sesuatu,

menjanjikan sesuatu, ayat (1) sub b memberi sesuatu, ayat 2

perbuatannya menerima pemberian;

4. Pasal 6 ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya adalah

memberikan sesuatu dan menjanjikan sesuatu, ayat (2)

perbuatannya menerima pemberian dan menerima janji;

5. Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang;

6. Pasal 9 perbuatannya memalsu;

7. Pasal 10 sub a perbuatannya menggelapkan, menghancurkan

dan membuat tidak bisa dipakai. Sub b perbutannya

membantu orang lain;

8. Pasal 11 perbuatannya menerima hadiah dan memerima janji;

9. Pasal 12 sub a, b, c, dan d perbutannya menerima hadiah dan

menerima janji. Sub e perbutannya memaksa memberikan

sesuatu, memaksa meminta, memaksa menerima pembayaran

dengan potongan. Sub f perbutannya meminta pembayaran,

menerima pembayaran atau memotong pembayaran. Sub g

perbuatannya meminta pekerjaan atau pembayaran,

menerima pembayaran atau pekerjaan. Sub h perbuatannya

menggunakan tanah negara. Sub i perbuatannya turut serta

dalam pemborongan, pengadaan atau persewaaan;

10. Pasal 12B perbuatannyamenerima gratifikasi;

11. Pasal 13 perbuatannya member hadiah dan menerima janji;

12. Pasal 15 perbuatannya percobaan, pembantuan dan

permufakatan jahat;

13. Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan;

14. Pasal 21 perbuatannya mencegah, merintangi dan

menggagalkan;

15. Pasal 22 perbutannya tidak memberikan keterangan dan

member keterangan;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

16. Pasal 220 KUHP ayat (1) perbuatannya memberitahukan dan

mengadukan;

17. Pasal 231 KUHP ayat (1) perbutannya menarik suatu barang,

ayat (2) perbuatannya menghancurkan, merusak atau

membikin tidak dapat dipakai, ayat (3) perbuatannya

melakukan kejahatan;

18. Pasal 421 KUHP perbuatannya memaksa untuk melakukan,

memaksa untuk tidak melakukan dan memaksa untuk

membiarkan;

19. Pasal 422 KUHP perbutannya menggunakan sarana dengan

paksaan;

20. Pasal 429 KUHP ayat (1) perbutannya memaksa masuk, ayat

(2) perbuatannya memeriksa atau merampas; dan

21. Pasal 430 KUHP ayat (1) perbuatannya merampas, ayat (2)

perbuatannya memberikan keterangan (Adami Chazawi,

2005: 25-28).

f) Tindak Pidana Korupsi Pasif

Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana negatif

adalah tindak pidana yang melaang untuk tidak berbuat aktif. Hal

ini diartikan telah melanggar kewajiban hukumnya suatu tindak

pidana pasif tertentu. Dalam doktrin hukum dibedakan dalam

beberapa hal yaitu sebagai berikut: Pertama, tindak pidana pasif

murni artinya tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil

atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbutannya adalah

berupa perbuatan pasif. Semua yang ada Undang-undang No.31

Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Tindak Pidana Korupsi adalah berupa tindak pidana pasif murni..

Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni artinya berupa tindak

pidana yang pada dasarnya tindak pidana aktif, tetapi dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan

sesuatu.

Tindak pidana korupsi pasif terdapat dalam pasal-pasal

yaitu sebagai berikut:

1. Pasal 7 ayat (1) sub b,d dan ayat (2) yang membirakan

perbuatan curang;

2. Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain

menghilangkan, membirakan orang menghancurkan,

membiarkan orang lain merusak atau membiarkan orang lain

membuat hingga tidak dapat dipakai;

3. Pasal 23 jo 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan salah

satu kejahatan itu.

4. Pasal 24 perbutannya tidak memenuhi ketentuan

(Adami Chazawi, 2005: 28-29).

g) Discretionery corruption

Korupsi jenis ini adalah suatu jenis korupsi yang

dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan

sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang

dapat diterima oleh para anggota organisasi.

h) Ilegal Corruption

Korupsi jenis inin adalah Suatu tindakan yang ditujukan

untuk mengacaukan bahasa/maksud-maksud hukum, peraturan

dan norma-norma yang telah ada. Jenis korupsi ini bisa saja

dilakukan seseorang dengan tingkat efektifitas tertentu.

i) Mercenery Corruption

Korupsi jenis ini adalah tindakan korupsi yang

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, jenis

korupsi ini meliputi uang sogok dan semir.

j) Ideological Corruption

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Korupsi jenis ini adalah suatu jenis korupsi, baik yang

bersifat ilegal maupun discrisionery, yang dimaksudkan untuk

mengejar tujuan-tujuan kelompok (Guy Benvineste, 1994: 166-

167).

k) Pungutan liar

Adapun yang tergolong dalam jenis korupsi ini adalah

adanya korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai,

pemerasan, penyuapan, komisi dalam pemberian kredit bank,

komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin

(kenaikan pangkat dan penggunaan SKO), dan pungutan terhadap

uang perjalanan dan pungutan oleh pos-pos kegiatan (Juniadi

Soewartojo, 1998: 125-126).

l) Korupsi endemis (endemic corruption)

Jenis korupsi ini menurut Waterbuy artinya bentuk

korupsi yang memliki ruang lingkup dengan beberapa kegiatan

pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

m) Korupsi terencana (planned corruption)

Jenis korupsi ini artinya jenis korupsi dengan tujuan

politis dan secara direncanakan atau disengaja diadakan dan

dipertahankan sebagai pembentuk dana bagi keperluan

operasional pemerintahan yang secara sulit dibiayai melalui dana

anggaran yang memerlukan persetujuan dari Lembaga Perwakilan

Rakyat.

n) Korupsi pembangunan (development corruption)

Jenis korupsi ini artinya berkaiatan dengan peningkatan

kegiatan ekonomi pembangunan nasional dan berhubungan

dengan peningkatan usaha rumah tangga produksi yaitu fungsi

pemerintah sebagai pengatur perekonomian nasional yang

memiliki peranan penting serta hubungannya dengan industrialis,

importir, eksportir, pedagang, asahawan, produsen, penyalur, dan

lainnya. Hal ini dapat merubah celah-celah timbul dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

berkembangnya korupsi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi

nasional (Juniadi Soewartojo, 1998: 36-37).

o) Korupsi Konflik Of Interest Pengadaan

Menurut Sujanarko Direktur Pembinaan Jaringan Kerja

Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

(KPK, 2010: 3), jenis korupsi ini adalah bentuk adopsi dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (berasal dari Pasal 1

ayat (1) sub c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Tindak

Pidana Korupsi). Korupsi ini adalah bentuk dari isi Pasal 12 huruf

i Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20

Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi).

p) Political bribery

Menurut Piers Bierne dan James Messerchmidht yang

dimaksud political bribery adalah tipe korupsi dalam kekuasaan

di bidang legislative sebagai pembentuk undang-undang. Secara

politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena

dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering

berkaitan dengan aktivitas tertentu.

q) Political kickbacks

Adapun yang dimaksud dengan political kickbacks adalah

kegiatan-kegiatan yang berkaiatan sistem kontrak pekerjaan

borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi

peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang

bersangkuatan.

r) Election Fraud

Adapun yang dimaksud dengan election fraud adalah tipe

korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan

umum.

s) Corrupt Campaign Practice

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

Adapun yang dimaksud dengan Corrupt Campaign

Practice adalah tipe korupsi yang berkaitan dengan praktek

kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun negara

oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara (Ikahi,

2009: 46-47)

4) Faktor penyebab tindak pidana korupsi

Menurut Jeremy Pope kemiskinan merupakan penyebab

terjadinya korupsi. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) adanya modus operandi korupsi disebabkan

aspek individu pelaku korupsi seperti, tamak, moral dan iman yang

lemah sehingga tidak dapat menahan godaan nafsu serta penghasilan

kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar. Adanya aspek

organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya

kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung menutupi

korupsi di dalam organisasinya. Adanya aspek masyarakat tempat

individu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di

dalam masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi

(Rohim, 2008: 14-15).

Faktor penyebab terjadinya korupsi meluas di Inonesia adalah

pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi, penyalahgunaan

kesempatan untuk memperkaya diri, dan penyalahgunaan kekuasaan

untuk memperkaya diri. Menurut Andi Hamzah penyebab terjadinya

korupsi yaitu kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan

kebutuhan yang makin hari makin meningkat, latar belakang

kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab

meluasnya korupsi, manajemen yang kurang baik dan kontrol yang

kurang efektif dan efesien yang akan memberi peluang orang untuk

korupsi dan adanya modernisasi mengembangbiakan korupsi (Juniadi

Soewartojo, 1998: 31-32).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

d. Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi Korupsi

1) Pengertian tentang modus operandi korupsi

Pengertian Modus Operandi menurut Black’s Law Dictionary

adalah

“Methode of operating or doing things (M.O). Terms by police and

criminal investigators to describe the particuler method of criminal’s

activity. It refer to pattern of criminal behaviour so distinct that

separate crimes or wrongful conduct are recognize as work of same

person”. Dalam bahasa latin modus operandi berarti cara bertindak

atau prosedure. Jadi modus operandi adalah cara melaksanakan, cara

bertindak. Modus Operandi korupsi adalah cara-cara bagaimana

korupsi itu dilakukan (Rohim, 2008: 13).

Modus operandi korupsi diartikan oleh Earl. R. Sikes dalam

bukunya “State And Federal Corrupt Practices Legislation” adalah

“ contractors, hoping ti insure the election of friends who will be in a position to awards lucrative agreement between contracts, often contribute generouslyto the party funds. Trought corrupt between public official and contractors these contrutions have at times degenerated into outright stealing from taxpayer” (Artidjo Alkostar, 2008: 36).

Modus operandi korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi

itu dilakukan (http://bataviase.co.id/node/336605 / diakses tanggal 26

Oktober 2010 pukul 13.00 WIB).

2) Jenis-jenis modus operandi korupsi

Adapun yang termasuk dalam kategori jenis-jenis modus

operandi korupsi secara umum adalah sebagai berikut:

a) Pemberian uang suap atau sogok (bribery)

Uang sogok adalah dana yang besar yang digunakan untuk

menyogok para petugas. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

Inggris (Webster), halaman 120, yang digabungkan dengan Buku

Ensiklopedia Dunia halaman 487 yang menyatakan bahwa suap

adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau

barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai

otoritas atau yang dipercaya. Sebagai contoh para pejabat dan

membujuknya untuk merubah otoritasnya demi keuntungan orang

yang memberikan uang atau barang atau perjanjian lainnya

sebagai kompensasi sesuatu yang dia inginkan untuk menutupi

tuntutan lainnya yang masih kurang. Menurut Undang-Undang

No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau

penyelenggara dianggap pemberian uang suap apabila

berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya antara lain diatur dalam Pasal 5,6,11,

dan 12.

Disamping itu terdapat beberapa uang suap kepada orang

lain tetapi tidak termasuk suap, sehingga setiap orang bebas

melakukannya antara lain: Pertama, Uang jasa yaitu sejumlah

yang diberikan oleh seseorang terhadap orang tertentu yang sudah

melakukan suatu pekerjaan baginya. Uang sejenis ini adalah uang

tambahan diluar dari biaya wajib yang akan dibayar oleh

konsumen. Kedua, Uang administrasi yaitu terkait dalam

kepengurusan surat menyurat dengan pemerintah daerah maupun

pusat. Sebagian biaya administrasi surat-surat itu telah tercantum

biayanya, tetapi ada juga yang tidak tercantum. Ketiga, Uang

registrasi yaitu jika mendaftarkan sebuah institusi dari tingkat

daerah ke tingkat pusat atau mengurus surat-surat ke badan

pemerintah tentu akan dikenakan biaya administrasi dan sering

tidak tercantum (tidak ada harga pasti);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

b) Pemalsuan (Fraud)

Fraud merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi

dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau

kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.

Kegiatan yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan

fraudnya adalah meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan

serta menggunakan barang milik negara untuk kepentingan

pribadi;

c) Pemerasan (exortion)

Merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk

membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau

bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat

diikuti dengan ancaman fisik atau pun kekerasan;

d) Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion)

Merupakan perbuatan mempergunakan kewenanangan

yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih

kasih kepada kelompok atau perseorangan sementara bersikap

diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya;

e) Nepotisme (nepotism)

Nepotisme adalah memberikan jabatan kepada saudara-

saudara atau teman-temannya saja. Sedangkan Jhon M.Echols

mengatagorikan sebagai kata benda dengan mendahulukna

saudara khususnya dalam pemberian jabatan. Begitu pula dengan

istilah nepotisme yang berasal dari kata latin nepos yang artinya

cucu. Nepotisme dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan

perbuatan mengutamakan sanak keluarga, kawan dekat serta

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

anggota partai politik yang sepaham, tanpa memperhatikan

persyaratan yang ditentukan (Rohim, 2008: 20-29).

Menurut Mochtar Lubis cara atau modus operandi korupsi

adalah sebagai berikut: Pertama, penyuapan artinya seorang

pengusaha uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya

untuk suatu jasa bagi pemberi uang. Kedua, pemerasan artinya

orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran uang

atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang

diberikan. Ketiga, pencurian adalah orang yang berkuasa

menyalahgunakan kekuasaan dan mencuri harta rakyat langsung

atau tidak langsung (Juniadi Soewartojo, 1998: 126)).

Selain itu jenis-jenis modus operandi korupsi yang sering

terjadi adalah sebagai berikut:

a) Penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan jabatan;

b) Pembayaran fiktif;

c) Kolusi atau persekongkolan atau kongkalingkong;

d) Biaya perjalanan dinas fiktif;

e) Suap atau uang pelicin;

f) Pungutan tidak resmi;

g) Penyalahgunaan fasilitas atau inventaris kantor;

h) Imbalan tidak resmi;

i) Pemberian fasilitas secara tidak adil;

j) Bekerja tidak sesuai ketentuan dan prosedur;

k) Tidak disiplin waktu;

l) Komisi atau transaksi jual beli yang tidak disetor ke kas

negara;

m) Menunda atau memperlambat pembayaran;

n) Pengumpulan dana taktis;

o) Penyalahgunaan anggaran;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

p) Menerima hadiah, sumbangan, dan hibah berkaitan dengan

tugas atau jabatan;

q) Mark up;

r) Mark down;

s) Menurunkan kualitas atau spesifikasi teknis atau mengurangi

volume pekerjaan;

t) Merubah dan memanfaatkan kelemahan sistem teknologi

informasi; dan

u) Pertanggungjawaban tidak sesuai dengan realisasi

(http://www.facebook.com/topic.php?uid=194083176908&topic=

16084 / diakses tanggal 26 Oktober 2010 pukul 13.00 WIB).

Adapun ada delapan belas (18) jenis modus operandi

korupsi yang terjadi dalam tataran birokrasi daerah di Indonesia

yaitu sebagai berikut:

a) Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk

"membujuk" kepala daerah atau pejabat daeerah

mengintervensi proses pengadaan dalam rangka

memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai

kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang

kepada pejabat pusat maupun daerah;

b) Pengusaha mempengaruhi kepala daerah atau pejabat daerah

untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu

dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga

barang atau jasa dinaikkan (mark up) kemudian selisihnya

dibagi-bagikan;

c) Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang

mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka

memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up

harga barang atau nilai kontrak;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

d) Kepala daerah atau pejabat daerah memerintahkan

bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau

anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian

mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan

menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif;

e) Kepala daerah atau pejabat daerah memerintahkan

bawahannya menggunakan dana atau uang daerah untuk

kepentingan pribadi koleganya atau untuk kepentingan

pribadi kepala atau pejabat daerah dan kemudian

mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran

dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar,

bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya

fiktif;

f) Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar

pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan

dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang

tidak berlaku lagi;

g) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah

bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemerintah Daerah

dan melakukan mark down atas aset Pemerintah Daerah serta

mark up atas aset pengganti dari pengusaha atau rekanan;

h) Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka)

kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek;

i) Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan

menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan;

j) Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah

dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang

ditunjuk) dan dimaksudkan untuk mempermudah pencairan

dana tanpa melalui prosedur;

k) Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro atau

tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

l) Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya

alam kepada perusahaan yang tidak memiiki kemampuan

teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau

kelompoknya;

m) Kepala daerah menerima uang atau barang yang berhubungan

dengan proses perijinan yang dikeluarkannya;

n) Kepala daerah atau keluarga atau kelompoknya membeli

lebih dulu barang dengan harga yang murah dan kemudian

dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah

di mark up;

o) Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan

barang pribadinya menggunakan anggaran daerahnya;

p) Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu

dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan

Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus

(DAK);

q) Kepala daerah memberikan dana kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ; dan

r) Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi

dengan beban anggaran daerah

(http://nasional.kompas.com/read/2008/08/22/19465330/inilah.18.

modus.operandi.korupsi.di.daerah / diakses tanggal 10 Oktober

2010 pukul 17.00 WIB).

Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan

para pelaku dari perspektif Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) adalah sebagai berikut:

a) Modus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

1. Memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan

fasilitas anggota dewan;

2. Menyalurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) bagi anggota dewan melalui yayasan

fiktif;

3. Memanipulasi perjalanan dinas;

4. Menerima gratifikasi; dan

5. Menerima suap.

b) Modus Pejabat Daerah

1. Pengadaan barang dana jasa pemerintah dengan mark up

harga dan merubah spesifikasi barang;

2. Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan dan

tanpa prosedur;

3. Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana

kas daerah;

4. Manipulasi sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD);

5. Manipulasi dalam proses pengadaan atau perijinan atau

konsensi hutan;

6. Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)

penampung dana daerah;

7. Bantuan sosial tidak sesuai peruntukannya;

8. Menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) untuk keperluan keluarganya dan koleganya;

9. Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;

10. Ruislag atau tukar guling tanah dengan mark down

harga; dan

11. Penerimaan Fee Bank.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan

para pelaku dari perspektif Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) adalah sebagai berikut:

a) Penggelembungan dana program;

b) Program fiktif; dan

c) Investasi dana daerah ke lembaga keuangan yang tidak

pruden.

(http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-

modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal 26 Oktober 2010

pukul 14.00 WIB).

e. Tinjauan secara umum tentang Mark Up

Mark up adalah bentuk perubahan dari anggaran tanpa melihat

rasionalitas pendanaan yang menjadi argumentasi bagi anggaran yang

dilakukan berdasarkan perkiraan peningkatan pendapatan (Sony Yuwono

dkk. 2007: 488).

Mark up adalah bentuk tahapan dalam pengadaan barang dan jasa

dengan menggelembungkan anggaran uang akan diajukan dalam

pengerjaan sebuah tender pengadaan (Rohim, 2008: 38).

f. Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD)

1) Pengertian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD)

Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah

jantung pengelolaan lembaga pemerintahan daerah dan merupakan

denyut nadi yang merefleksikan dinamika keuangan daerah sekaligus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

merupakan suatu integral dari sistem keuangan negara (Sony Yowono

dkk, 2007: 67-68).

Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah

suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan

peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) yang telah disetujui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) (Sony Yowono dkk, 2007: 85).

Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah

suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan

peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah

(APBD) dan merupakan model penganggaran pemerintah daerah yang

ditetapkan dengan peraturan daerah (Hanif Nurcholis, 2005: 109).

Berdasarkan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.25 Tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Daerah yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) adalah

“suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan

berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah”.

Dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi:

“Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut

APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

ditetapkan dengan peraturan daerah”.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Undang-undang No.33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Daerah yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

“rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan

disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.

Peraturan Pemerintah Pasal 1 ayat (7) No.58 Tahun 2005

tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dimaksud Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah

“rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan

disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan

dengan peraturan daerah”.

Dalam Pasal 1 ayat (15) Peraturan Pemerintah No.08 Tahun

2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah

yang berbunyi

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut

APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang

disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

2) Aturan yuridis tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD)

Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah memberikan petunjuk

dan arah yang cukup jelas mengenai dasar-dasar pembiayaan

penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2

yang menegaskan bahwa: (1) Penyelenggaraan tugas daerah dalam

rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD), (2) Penyelenggaraan tugas pemerintah

pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi dalam rangka

pelaksanaan dekonsentrasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN). Meskipun Undang-undang No.25 Tahun

1999 telah diganti dengan Undang-undang No.33 Tahun 2004, namun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

mengenai dasar-dasar pembiayaan atau pendanaan sebagaimana

tersebut dalam Pasal 2 tersebut diatas, secara subtansi juga masih

diatur dalam aturan terbaru. Hal ini termuat dalam Bab III Pasal 4

mengenai dasar-dasar pendanaan pemerintahan daerah meliputi: (1)

Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), (2) Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan

oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Muhammad

Fauzan, 2006: 229-230).

Pasca reformasi tahap I terdapat aturan sebagai landasan

penyelenggaraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,

Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Tanggungjawab Daerah. Tahap reformasi II terdapat

aturan berupa Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang No.17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun

2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No.15 Tahun

2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab

Keungan Negara, Undang-undang No.32 tentang Pemerintah Daerah,

Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah, Keputusan Mentri Dalam Negeri

No.29 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan

Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

(Sony Yowono dkk, 2007: 42).

3) Tujuan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

Adapun yang menjadi tujuan dari pengelolaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:

a) Sebagai bentuk pertanggung jawaban, artinya pemerintah

daearah harus mempertanggung jawabkan tugas keuangannya

kepafa lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah;

b) Sebagai pemenuhan kewajiban keuangan, artinya keuangan

daerah harus ditata sedemikian rupa, sehingga mampu melunasi

semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang;

c) Sebagai bentuk kejujuaran, artinya urusan keuangan harus

diserahkan pada pegawai yang jujur dan kesempatan untuk

berbuat curang diperkecil;

d) Sebagai hasil guna dan daya guna, artinya kegiatan daerah

dengan tata cara mengurus keungan daerah harus sedemikian

rupa, sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan

dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan

biaya-biaya serendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya; dan

e) Sebagai pengendalian, artinya petugas keuangan pemerintah

daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta

petugas pengawasan harus melakukan penegndalian agar selalu

mendapat informasi yang diperluakan untuk memantau

pelaksanaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran (Adrian

Sutedi, 2009: 83).

4) Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Adapun yang menjadi fungsi utama dari penyelenggaraan dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai

berikut:

a) Otorisasi adalah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan

dan belanja pada tahun yang bersangkutan;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

b) Perencanaan adalah menjadi pedoman bagi manajemen dalam

merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan;

c) Pengawasan adalah menjadi pedoman untuk menilai apakah

kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan

ketentuan yang telah ditetapkan;

d) Alokasi adalah anggaran daerah harus diarahkan untuk

menciptakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran dan

pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan

efektivitas perekonomian;

e) Distribusi adalah kebijakan anggaran daerah harus

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; dan

f) Stabilisasi anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental

perekonomian daerah

(Sony Yowono dkk, 2007: 85-86).

5) Asas-asas umum pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD)

Adapun yang terkait asas-asas umum dalam pengelolaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu meliputi:

a) Dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan

yang berlaku, efesien, efektif, transparan dan bertanggung jawab

dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan;

b) Didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah

(APBD) dalam tahun anggaran tertentu pada tahun fiskal

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sama

dengan tahun fiskal;

c) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka

desentralisasi dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

d) Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yakni suatu sistem

anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau

out put dari perencanaan alokasi biayai atau in put yang

ditetapkan;

e) Dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) penganggaran pengeluaran harus didukung oleh adanya

kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup;

f) Pendapatan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) merupakan perkiraan yang teratur secara

rasional dan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi

untuk setiap jenis tertentu;

g) Semua transaksi keuangan daerah baik penerimaan maupun

pengeluaran dilaksanakan melalui kas daerah (Muhammad

Fauzan, 2006: 229-230).

h) Asas tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,

efisien, ekonomis, transparan, bertanggung jawab, memperhatikan

rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat (Adrian

Sutedi,

Adapun yang menjadi asas umum Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Pasal 15 Peraturan Mentri

Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah yang berbunyi:

” (1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. (2) Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. (3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. (4) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah”.

Adapun yang menjadi asas umum pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Pasal 122

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah yang berbunyi

”(1) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. (2) Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. (4) Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja. (5) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. (6) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. (7) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. (8) Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (9) Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. (10) Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Tim Redaksi Fokus Media, 2004: 16).

6) Norma dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(APBD)

Adapun norma yang terkait dalam penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:

a) Transparansi dan akuntabilitas yaitu merupakan anggaran daerah

salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang

baik, bersih dan bertanggung jawab;

b) Disiplin anggaran yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) harus beorientasi pada kebutuhan masyarakat

tanpa harus meninggalkan kesimbangan antara biaya

penyelenggaraan yang diusulkan harus dilakukan berdasarkan

asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

jawabkan. Pemilihan antara biaya yang bersifat rutin dan dengan

belanja yang bersifat pembangunan. Hal tersebut harus

diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi percampuradukan

kedua sistem anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan

kebocoran dana;

c) Keadilan anggaran yaitu pembiayaan pemerintah daerah

dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul

oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah wajib

mengelola sistem penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati

oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam

pemberiaan pelayanan;

d) Effisiensi dan efektivitas anggaran yaitu dana yang terdedia harus

digunakan dengan sebaik mungkin untuk menghasilkan

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal;

e) Format anggaran yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) disusun berdsarkan format defisit (defisit budget

format). Selisih antara pendaparan dan belanja mengakibatkan

terjadinya surplus atau defisit anggaran (HAW Widjaja, 2001:

69).

7) Prinsip dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD)

Adapun prinsip dalam disiplin anggaran yang harus

diperhatikan untuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia yaitu sebagai

berikut:

a) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur

secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber

pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan

batas tertinggi pengeluaran belanja;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

b) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya

kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan

tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau

tidak mencukupi kredit anggarannya dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) atau perubahannya; dan

c) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran

yang bersangkutan harus dimasukan dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan melalui rekening Kas

Umum Daerah (Adrian Sutedi, 2009: 76).

Adapun prinsip dalam disiplin anggaran yang harus

diperhatikan untuk penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia yaitu sebagai berikut:

a) Partisipasi masyarakat, artinya adalah pengambilan keputusan

dalam proses penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) sedapat mungkin melibatkan

partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak

dan kewajiban dalam pelaksanaannya;

b) Transparansi dan akuntabilitas anggaran, artinya adalah dalam

pelaksanaannya harus dapat menyajikan informasi secara terbuka

dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, saran,

sumber pendanaan pada setiap jenis belanja serta korelasi antara

besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai

dari suatau kegiatan yang dianggarkan;

c) Disiplin anggaran, artinya pendapatan yang direncanakan

merupakan perkiraan yang terukur secara rasional di dapat dicapai

untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang

dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;

d) Keadilan amggaran, artinya pungutan-pungutan daerah (pajak,

retribusi dan lainnya) yang dibebankan kepada masyarakat harus

mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

e) Efesiensi dan efektivitas anggaran, artinya pemanfaatan dana

yang tersedia secara optimal bertujuan untuk meningkatkan

pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; dan

f) Taat asas, artinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) yang disusun tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak boleh bertentangan

dengan kepentingan umum yaitu rencana peraturan dearah tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih

diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan

dan kepentingan public serta bukan membebani masyarakat

(Sony Yowono dkk, 2007: 126-127).

8) Ciri-ciri utama pengelolaan Anggaran dan Pendapatan Belanja

Daerah (APBD)

Adapun yang menjadi ciri-ciri dalam pengelolaan dari

penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

baik adalah sebagai berikut:

a) Sederhana, artinya sistem yang lebih sederhana akan mudah

dipahami dan dipelajari oleh mereka yang bertugas

menjalankannya lebih besar kemungkinan diikuti tanpa salah dan

cepat membawa hasil serta mudah diperiksa dari luar dan dalam.

Tujuan praktis yang hendak dicapai dalam penyusunan suatu

pengelolaan keuangan barangkali adalah untuk mencuptakan tata

cara yang sederhana sejalan dengan hasil atau tujuan yang hendak

dicapai;

b) Lengkap, artinya secara keseluruhan, pengelolaan keuangan

hendaknya dapat digunakan untuk mencapai semua tujuan

mengenai unsur utama pengelolaan keuangan. Kegiatan

menyusun anggaran harus menegakan keabsahan penerimaan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

pengeluaran serta menjaga agar daerah selalu dapat melunasi

kewajiban keuangan menjalankan pengawasan dari dalam;

c) Berhasil guna, artinya pengelolaan keuangan bersangkutan harus

dalam kenyataan mencapai tujuan-tujuan bersangkutan. Hal ini

kadang-kadang dapat diwujudkan melalui peraturan; misalnya,

peratuaran mengharuskan pemerintah daerah menyelesaikan

rencana anggarannya pada tanggal tertentu sebelum tahun

anggaran;

d) Daya guna, artinya daya guna melekat pegelolaan keuangan

bersangkutan harus dinaikan setinggi-tingginya. Hasil yang

ditetapkan harus dapat dicapai dengan biaya serendah-rendahnya

daru sudut jumlah petugas dan dana yang dibutuhkan atau hasil

yang harus dicapai sebesar-besarnya dengan menggunakan

petugas dan dana pada tingkat tertentu. Pengelolaan keuangan

bersangkutan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga

memperbesar daya guna yang menjadi alat bagi pemerintah

daerah untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya itu dan tidak

menghambatnya;

e) Mudah disesuaikan, artinya pengelolaan keuangan jangan dibuat

demikian kaku, sehingga sulit menerapkannya atau

meyesuikannya pada keadaan yang berbeda-beda. Karena itu,

jumlah pegawai, jumlah bagian yang mengurus keuangan yang

hendaknya jangan ditentukan dengan peraturan sedemikian rupa,

sehingga sulit manjalankannya tata usaha keuangan

bersangkuatan jika petugas kurang atau juga dan tata cara

mengubah anggaran yang dirancang, ketika harga stabil

diterapkan mentah-mentah pada waktu masa inflasi merajalela

pada ukuran dan volume pekerjaan telah jauh meningkat (Adrian

Sutedi, 2009: 85).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

91

9) Proses Penyusunan dan Proses Penetapan serta Perubahan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 20 No.105 Tahun

2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Daerah, disebutkan terkait penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:

“(1) APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal/pembangunan. (2) Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 22 No.105 Tahun

2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Daerah, disebutkan terkait Proses Penetapan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:

” (1) Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan. (2) Apabila rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan APBD tersebut. (3) Penyempurnaan rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disampaikan kembali kepada DPRD (4) Apabila rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak disetujui DPRD, pemerintah Daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangan Daerah”.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 23 No.105 Tahun

2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Daerah, disebutkan terkait Proses Penetapan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:

”(1)Perubahan APBD dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b. Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan; c. Terjadinya kebutuhan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92

mendesak. (2) Perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir”.

10) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah (APBD)

Berdasarkan Keputusan Mentri Dalam Negeri No.29 Tahun

2002 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:

a. Pendapatan;

b. Belanja (terdiri dari belanja aparatur, public, belanja bagi hasil

dan bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka); dan

c. Pembiayaan (terdiri dari penerimaan dan pengeluaran).

Berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai

berikut:

a. Pendapatan;

b. Belanja (terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung);

dan

c. Pembiayaan (terdiri dari penerimaan dan pengeluaran).

(Sony Yowono dkk, 2007: 107).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

2. Kerangka Pemikiran

Saling bersinergisitas

Apakah dapat memberikan kepastian hukum?

Bagaimana pola putusannya?

Apakah terjadi overlapping penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan?

Pelaku Mark Up:

1. Anggota DPRD

2. Gubernur/ Bupati/ Wali Kota

3. Pejabat Daerah Lainnya

Umbrella Act Berupa Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-

undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang

No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Adanya Pengadilan Ad Hoc Tipikor

Pola Putusan Peradilan

Umum di Daerah

Korupsi Sebagai ”Extra

Ordinary Crime”

Timbulnya Karakteristik, Pola

dan Tipe Modus Operandi

Korupsi di Daerah

Banyak Berbagai Modus

Operandi Korupsi Mark Up

APBD di Daerah Seluruh

Indonesia

Teori Korupsi Robert Glitgaard adalah

Corruption = Monopoly Power + Diskretion by

Official – Accountability

Pola Putusan Pengadilan Ad Hoc Tipikor

di Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

94

Keterangan:

Korupsi merupakan gurita dan monster bangsa yang merupakan

bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi menimbulkan

banyak kerugiaan dengan hancurnya perekonomina rakyat dan terkurasnya

keuangan negara. Infiltrasi dan transformasi sosial budaya makin mengalami

perubahan yang significant, sehingga akan memberikan implikasi terhadap

gaya dan pola hidup masyarakat. Para pelaku tindak pidana korupsi juga

terkena dampak adanya perubahan tersebut. Harmonisasi akibat perubahan

sosial budaya juga berdampak terhadap gaya dan cara para koruptor dalam

melakukan kejahatannya baik dari cara yang konvensional sampai pada cara

yang modern. Hal ini menyebabkan karakteristik dan anasir-anasir terhadap

tindak pidana korupsi itu sendiri menjadi makin bervariasi dan sulit untuk

diditeksi pola pemberantasannya. Epistimologi yang menjadi tolak ukur agar

korupsi dapat diberantas oleh para penegak hukum menjadi makin kabur dan

sulit untuk menetapkan penerapan sanksi pada para pelakunya.

Bentuk korupsi yang secara langsung berdampak pada lemahnya

perekonomian masyarakat daerah adalah korupsi yang terjadi di daerah

dengan memanfaatkan kewenangan para pejabat daerah dalam menggunakan

Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD). Jika bertolak dari teori

korupsi Robert Glitgaard tentang pengertian korupsi, maka banyak terjadinya

penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimilki oleh pejabat daerah

untuk bertindak bebas terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan. Menurut

Penulis gaya penyalahgunaan wewenang tersebut sama substansinya dengan

pendapat Lord Acton yang mempunyai paradigma adanya kekuasaan akan

cenderung untuk berlaku korup dan adanya kekuasaan atau wewenang yang

dimiliki makin kuat, maka akan mempunyai kecenderungan untuk berlaku

korup dengan bebas mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kehendaknya.

Kebebasan tersebut sejalan dengan pertanggung jawaban yang tidak

transparan pada publik terkait keuangan daerah yang tertuang dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran wajib dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

95

pemerintah daerah berupa pengeluaran rutin dan pembangunan tidak

dilaporkan secara transparan dan justru terkesan ditutupi.

Para pelaku yang terlibat langsung dalam proses manipulasi dalam

pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati atau

Wali Kota, Sekretaris Daerah dan para pejabat daerah lainnya. Proses mark

up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) titik mulanya berawal

dari adanya konstelasi politik dan kompromi dari semua pejabat daerah untuk

membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah agar dapat

mengakomodir kepentingan yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan

anggaran dan besarnya biaya belanja daerah dalam bentuk Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Daerah,

sehingga semua belanja yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang

berlaku. Hal yang lebih ironisnya lagi adalah belanja dan pembiayaan yang

dilakukan daerah mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan

kesejahteraan rakyat, sehingga besar dana yang dikeluarkan justru

menyimpang dari Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Di Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi baik di tingkat

pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah telah ada politic will

dari para stakeholder lewat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan

dikeluarkannya Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang

No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan

Undang-undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Upaya

pemerintah tersebut ternyata seiring dengan gaya modus operandi korupsi

yang makin modern dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi belum

dapat berjalan maksimal untuk memberikan efek jera pada mereka. Selain

sulitnya birokrasi yang sulit ditembus oleh para penegak hukum, tapi penegak

hukum itu sendiri justru banyak yang terlibat dalam kasus korupsi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

96

Keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga telah

ditunjukan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Substansi pokok dalam aturan tersebut adalah ada

empat (4) jenis peradilan yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan

Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Peradilan umum inilah yang

menjadi sentral dan legalisasi yuridis formil dari pemerintah untuk

dibentuknya badan-badan pengadilan khusus termasuk Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam konteks tata urutan kekuasaan

kehakiman di Indonesia badan-badan pengadilan khusus tersebut berada di

bawah Peradilan Umum. Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) dalam pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) pihak penyidiknya berasal dari Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) walaupun sudah ada pejabat daerah yang

sudah dihukum, tapi dengan pola dan gaya modus operandi korupsi yang

mengatasnamakan menjalankan Peraturan Derah dan otonomi daerah

menjadikan hambatan dan kendala yang serius bagi Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Peradilan Umum selain menjadi sentral legalisasi yuridis formal bagi

badan-badan pengadilan khusus yang berada di bawahnya juga menjadi

sumber masalah ketika Peradilan Umum juga berperan dalam pemberantasan

korupsi. Hal ini bermula dari ada perbedaan antara pihak penyidik baik di

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pihak penyidik di

Peradilan Umum. Pihak penyidik dari Peradilan Umum berasal dari kejaksaan

yang mempunyai otoritas penuh dalam pemberantasan korupsi di daerah.

Dalam keadaan demikian timbul permasalahan terkait sinergisitas antara

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum

dalam memproses para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Selain

perbedaan dari pihak penyidik juga terdapat perbedaan tentang cara dan

mekanisme birokrasi yang dimilikinya. Jika keduanya tidak saling melakukan

sinergisitas dan fungsi koordinasi yang baik tidak menutup kemungkinan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

97

akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam upaya penegakan hukum.

Hal ini jelas akan berimplikasi tidak mencerminkan rasa keadilan dan

kepastian hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah seluruh

Indonesia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

98

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan Sanksi Hukum Kepada Para Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Terkait Modus Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) di Daerah

Praktek korupsi di Indonesia sudah terjadi secara sistematis dan

meluas yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dari anggaran belanja

negara sebesar 760 triliun rupiah, sebesar 240 triliun rupiah adalah untuk

pengadaan barang dan jasa. Menurut survey Bappenas 40% dari 240 triliun

rupiah anggaran untuk pengadaan barang dan jasa hilang dikorupsi (Dudu

Duswara Machmudin, 2007: 61). Adanya proses kenaikan harga atau mark up

dari pengadaan barang dan jasa dengan memanfaatkan dana daerah lewat

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah memberikan

dampak pada kerugian keuangan daerah. Ironinya penetapan besar dan

kecilnya dana tersebut dilakukan oleh pejabat daerah yang mempunyai

otoritas penuh dalam legalisasinya. Penyimpangan aturan hukum dan

penyalahgunaan wewenang tersebut menyebabkan timbulnya upaya

penetapan bagi para koruptor dengan delik-delik hukumnya oleh para

penegak hukum dari pihak kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Proses penindakan kepada para pelaku tersebut banyak

mendapatkan hambatan. Hal tersebut disebabkan aturan birokrasi yang

berbelit-belit dan telah tersistematis serta terstruktur, sehingga akan

menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum dalam mengidentifikasi

unsur-unsur kesalahan sebelum menetapkan delik-delik pidana kepada para

pelaku tindak pidana korupsi tersebut.

Kualitas penindakan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak

hukum di Indonesia menurun. Kecenderungan itu terjadi pada semester II

tahun 2010 pada aparat kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) (Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal. 3). Dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

99

penetapan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mark up di daerah banyak

terjadi adanya over lapping antara penegak hukum yang satu dengan yang

lain. Menurut Penulis agar semua permasalahan hukum yang terjadi ketika

akan menetapkan status pada pelaku tindak pidana korupsi harus langsung

ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melibatkan

langsung para penyidik yang dimilikinya. Dengan demikian terjadinya over

lapping penindakan dapat dihindari dan pola penetapan yang dilakukan akan

lebih terarah dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi di daerah.

Banyak problematik yang dihadapi terkait mekanisme penetapan yang harus

dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu dapat

dipengaruhi sulitnya menembus aturan pada pengaturan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan bersama baik

dari kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Aturan hukum yang dijadikan pedoman penetapan dan bukti-bukti

administrasi dalam setiap pengeluaran keuangan daerah. Dari tingkat bawah

sampai ke atas semua pejabat daerah banyak yang terlibat secara langsung

dalam manipulasi keuangan daerah dengan mengatasnamakan demi

peningkatan pembangunan di daerah. Walaupun sulit dalam proses penetapan

para pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), akan tetapi pihak kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) tidak sedikit dalam menetapkan para pelaku tindak pidana

keuangan daerah baik telah ditetapkan sebagai tersangka maupun sebagai

terdakwa. Dalam proses penetapan kepada pelaku tersebut tetap akan

melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan di daerah dan kemudian

dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai

penegak hukukm utama dalam pemberantasan korupsi di daerah.

Sebanyak 13 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kota Cirebon periode tahun 1999-2004 telah dijadikan tersangka dalam

dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar

4,9 milliar. Adapun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

yang tidak dapat dipertanggung jawabkan adalah dari pengeluaran dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

100

tidak adanya kegiatan sebesar 2,8 milliar. Pengeluaran yang kegiatannya tidak

dilaksanakan sebesar Rp 980.500.000,00, pengeluaran yang tidak ada data

pendukung sebesar Rp 757.150.000,00, pengeluaran tanpa bukti sama sekali

sebesar Rp 40.000.000,00 dan dana yang tidak boleh dibebankan pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp

365.000.000,00. (http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7974&l=kasus-

korupsi-apbd-12-mantan-anggota-dprd-cirebon-dituntut-2-tahun / diakses

tanggal 30 Januari 2011 pukul 21.00 WIB). Penulis memberikan deskripsi

terhadap salah satu bentuk korupsi keuangan daerah yang ada di Cirebon

tersebut diatas. Hal ini dapat disebabkan pola korupsi yang dilakukan oleh

para pelaku tindak pidana korupsi yang sulit ditembus oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan para pelakunya. Korupsi

yang dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Cirebon merupakan pola modus operandi korupsi yang telah tersistematis

dengan memanfaatkan celah pada waktu penetapan besar dan kecilnya

anggaran yang akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD). Penanganan kasus korupsi yang masih ada di kepolisian dan

kejaksaan akan menjadikan hambatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) jika kasus yang belum dapat diselesaikan tersebut tidak segera

dilimpahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mempuyai

inisiatif terhadap problematik tersebut dengan melakukan supervisi dan

koordinasi kepada pihak kepolisian dan kejaksaan agar data dan berkas terkait

kasus yang ditangani segera didapatkan, sehingga proses penetepan kepada

pejabat daerah dapat dilaksanakan. Modus operandi korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di kota Cirebon tersebut

merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di setiap

daerah yang mayoritas masih belum terungkap ke publik.

1. Proses perumusan, penyusunan dan penetapan besar kecilnya dana

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai

celah terjadinya tindak pidana korupsi keuangan daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

101

a. Proses perumusan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) sebagai bentuk implementasi dari

otonomi daerah

Kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat sangat tergantung pada kemampuan pandangannya. Di

berbagai negara sumber keuangan daerah selalu memadai karena ada

perbedaan distribusi suatu pendapatan antara daerah pusat dan

pemerintah daerah selalu membayakan sumber daya yang

dimilikinya. Pendapatan dengan daerah tidak stabil terjadi, maka ada

kondisi yang tidak kondusif bagi revitalisasi pemerintah daerah

(Khairul Muluk, 2002: 45). Dengan adanya perbedaan dalam dalam

pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah yang

satu dengan yang lain telah memberikan sebuah pedoman bagi

pemerintah dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini

juga akan berimplikasi terhadap mekanisme perimbangan antara

keuangan pusat dan keuangan daerah. Proses pengelolaan terhadap

sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah juga

akan mempengaruhi kepada pengambilan kebijakan yang akan

ditetapkan oleh masing-masing daerah guna menambah sumber

pemasukan devisa.

Menurut Parson Desentralisasi adalah “sharing of the

governmental power by a central rulling group with other group

each hearing authority with a specific areal of the state” (Ni’matul

Huda, 2010: 29). Adanya proses otonomi daerah yang diprogramkan

oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam rangka ikut

menyejahterakan masyarakat di daerah merupakan solusi kongkrit

bagi permasalahan birokrasi yang dihadapi oleh setiap daerah.

Permasalahan yang dihadapi oleh daerah selain terkait kesenjangan

dalam pengelolaan sumber daya alam yang berbeda antara daerah

yang satu dengan yang lain juga terkait dengan pengelolaan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

102

keuangan daerah. Proses desentralisasi merupakan ruang gerak yang

diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

rangka melakukan pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah

yang akan didapatkan oleh pemerintah di daerah selain berasal dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada setiap tahunnya.

Dengan demikian dalam rangka mengelola keuangan daerah lewat

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) para pejabat

daerah di daerahnya masing-masing diberi kewenangan untuk

mengelola keuangannya tersebut.

Kebijakan pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan

menggunakan dua (2) pendekatan yaitu: Pertama, line item budget

adalah pendekatan penganggaran yang lebih menekankan pada mata

anggaran yang akan dikeluarkan daripada menekan sasaran yang

akan dicapai. Kedua, incremental adalah pendekatan penyusunan

anggaran pasti akan selalu dibandingkan dengan anggaran

sebelumnya berupa kenaikan atau penurunan anggaran dari setiap

mata anggaran sebelumnya (Sony Yuwono dkk, 2007: 45).

Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan

kebijakan makro dan sesuai dengan yang tersedia, mengalokasikan

sumber daya secara tepat sesuai denga kebijakan pemerintah daerah

dan mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran

yang baik. Penusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) diawali dengan penyampaian kebijakan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejalan dengan rencana

kerja pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan Rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk diubah dalam pembiayaan

pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

103

(RAPBD). Berdasarkan kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang telah disepakati dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemerintah daerah bersama

bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan

lain bagi setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).

Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) selanjutnya

menyusun Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Pemerintah

Daerah (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang

akan dicapai. Rencana kerja ini disertai dengan prakiraan belanja

untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.

Rencana kerja dan anggaran ini kemudian disampaikan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).

Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pengelola keuangan

daerah sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah

tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses

selanjutnya pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan

daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

disertai penjelasan dari dokumen-dokomen pendukungnya kepada

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dibahas dan disetujui.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disetujui

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini terinci sampai dengan

untuk organisasi, fungsi, program, kegiatan dan belanja (Adrian

Sutedi, 2009: 78).

Berdasarkan isi pokok dari Pasal 179 Undang-Undang No.32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar

pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran

terhitung mulai 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. Hal ini

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

104

adalah logis mengingat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah berasal dari

Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap daerah

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Daerah

(provinsi, kabupaten dan kota) dapat menyusun Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah mendapat

konfirmasi Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dengan

tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. Adapun penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU)

ditetapkan oleh daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) setiap daerah yang bersangkutan. Pembiayaan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga termasuk Dana

Alokasi Khusus (DAK) (Marbun, 2005: 139).

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber

dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah

sesuai dengan prioritas nasional. Untuk mengurangi ketimpangan

dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan

daerah diberikan kepada daerah Dana Alokasi Umum (DAU)

minimal 26% dari penerimaan dalam negeri netto. Dana Alokasi

Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk

membiayai kebutuhan khusus sebagai urusan daerah dan sesuai

prioritas nasional (Sony Yuwono dkk, 2007: 51).

Dengan demikian semua anggaran daerah terkait besar dan

kecilnya akan tergantung pada berubah dan tidaknya anggaran

melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Perubahan anggaran pada pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

105

Belanja Daerah (APBD) memungkinkan adanya pergeseran,

penambahan, atau pengurangan anggaran. Khusus terkait pergeseran

anggaran tidak akan mengubah peraturan daerah murni seperti

pergeseran perincian objek belanja. Kondisi tersebut akan sulit

dipantau secara manual karena kompleksitas transaksi dalam

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

yang memungkinkan terjadinya pergeseran yang tidak terpantau

dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

maupun pada dokumen pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD).

Adapun pada proses awal guna penetapan anggaran yang

harus disepakati bersama antara kepala daerah dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) adalah sebagai berikut:

Sumber : Sony Yuwono dkk, 2007: 54

Hal diatas mengindikasikan pada tahap awal perencanaan,

pelaksanaan dan pengendalian terhadap Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang harus dibahas dan disusun konsep

yang jelas untuk tahap selanjutnya. Pada tahap perencanaan input

Renja SKPD

Proses Penganggaran

RKPD KUA

PPAS

Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD

APBD

Laporan Pelaksanaan

Anggaran

Evaluasi, Hasil dan Pemeriksaan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

106

yang digunakan adalah aspirasi masyarakat melalui pejabat Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintah daerah sebagai

cikal bakal keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan

kebijakan strategis yang akhirnya memberi payung dan arah bagi

suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran

yang diusulkan juga harus mencerminkan kinerja, karena telah

diproses dengan menekankan aspek kinerja. Pada tahap pelaksanaan

input yang digunakan adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) yang sudah ditetapkan untuk kemudian

dilaksanakan dan dicatat melalui sistem akuntasi guna menghasilkan

laporan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), baik berupa laporan semesteran maupun tahunan sebagai

laporan pertanggung jawaban kepada daerah. Pada tahap

pelaksanaan penyampaian laporan pertanggung jawaban kepala

daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), proses

evaluasi laporan pertanggung jawaban serta keputusan evaluasi

berupa penerimaan atau penolakan laporan pertanggung jawaban

kepala daerah. Selain itu guna menetapkan besar dan kecilnya

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus melewati

peraturan daerah sebagai dasar hukum yang digunakan untuk

menentukan kebijakan umum. Adapun tahap penyusunan kebijakan

umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah

sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

107

Tahap Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Sumber : Sony Yuwono dkk, 2007: 120

Berdasarkan kronologis diatas, maka adanya siklus

perencanaan keuangan daerah dan penganggaran yang diwakili oleh

dokumen Rencana Keuangan Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai

Pemerintah Daerah

RKPD KUA

SE Renja SKPD

PPAS

RKA SKPD

TAPD

RAPBD

KDH DPRD

Raperda

APBD

Perda APBD

SKPD

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

108

titik awal siklus penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Atas dasar Rencana Keuangan Pemerintah

Daerah (RKPD) itulah disusun Kebijkan Umum Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA) dan Prioritas dan Plafon

Anggaran Sementara (PPAS) untuk mendapatkan point-point utama

dan paling strategis bagi aspek pengangguran dalam suatu prioritas

anggaran. Melalui surat edaran kepada daerah diharapkan Rencana

Kerja Anggaran (RKA) dan Satuan Kerja Pembangunan Daerah

(SKPD) yang dibuat oleh masing-masing Satuan Kerja

Pembangunan Daerah (SKPD) telah mencerminkan Kebijkan Umum

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA) dan Prioritas dan

Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dari seluruh dokumen Rencana

Kerja Anggaran (RKA) dan Satuan Kerja Pembangunan Daerah

(SKPD) dapat dikonsolidasikan ke dalam dokumen Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk

selanjutnya diproses menjadi peraturan daerah Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian penyusunan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan tahap

awal dari keseluruhan siklus pengelolaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dengan out put berupa Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang secara materiil dan

formil siap digunakan atau direalisasikan sebagai salah satu

komponen utama dalam pengelolaan keuangan daerah. Agar kualitas

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memenuhi

kriteria yang diinginkan ada berbagai syarat dan prosedur

penyusunan yang harus dipenuhi yaitu formulasi kebijakan anggaran

dan perencanaan operasional anggaran yang mengacu pada formulasi

kebijakan.

Penulis berpendapat bahwa seluruh proses penyusunan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal

mungkin dapat mewujudkan latar belakang pengambilan keputusan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

109

dalam penetapan awal kebijkan umum dan skala prioritas. Proses

penetapan alokasi dan distribusi sumber daya dengan melibatkan

partisipasi masyarakat. Untuk itu harus ada konkritisasi siapa yang

bertanggung jawab dan apa yang digunakan sebagai landasan

pertanggung jawaban baik antara eksekutif yang diwakili kepala

daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai

perwakilan dari pihak legislatif. Kedua lembaga tersebut merupakan

pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penyimpangan

keuangan daerah. Otoritas dan kekuasaan dari pejabat daerah

tersebut merupakan celah yang paling mudah untuk digunakan

memanipulasi besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD).

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang

disusun dengan pendekatan kinerja memuat:

1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi kerja;

2. Standart pelayanan yang diharapakan dan perkiraan biaya satuan

komponen kegiatan yang bersangkutan. Pengembangan standart

pelayanan dapat dilaksanakan secara bertahap dan harus

dilakukan secara berkesinambungan; dan

3. Bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, biaya

operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal atau pembangunan

(Hanif Nurcholis, 2005: 110).

Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

merupakan satu kesatuan yang terdiri atas pendapatan daerah,

belanja daerah, dan pembiayaan.

1. Pendapatan daerah, pendapatan daerah ini dirinci menurut

kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok

pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

110

Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dan

lain-lain pendapatan yang sah;

2. Belanja daerah, belanja daerah ini menurut organisasi, fungsi,

dan jenis belanja. Yang dimaksud dengan belanja menurut

organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan secretariat

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala daerah dan

wakil kepala daerah, sekretariat daerah, dinas daerah dan

lembaga teknis lainnya; dan

3. Pembiayaan, pembiayaan ini dirinci menurut sumber

pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan

penerimaan daerah, antara lain sisa lebih perhitungan tahun lalu,

penerimaan dan obligasi serta penerimaan dari penjualan asset

daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan

pengeluaran, antara lain pembayaran hutang pokok (Hanif

Nurcholis, 2005: 110-111).

Adapun stuktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) secara umum adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan daerah

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

1) Pajak;

2) Retribusi;

3) Hasil Badan Umum Milik Daerah (BUMD); dan

4) Lain-lain.

b. Dana Perimbangan

1) Dana Bagi Hasil;

2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);

3) BPHTB;

4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21; dan

5) Sumber Daya Alam (SDA);

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

111

c. Dana Alokasi Umum (DAU)

d. Dana Alokasi Khusus (DAK)

e. Pinjaman daerah

2. Pengeluaran daerah

a. Biaya Operasional Pemerintahan

1) Gaji Pegawai;

2) Biaya Perkantoran;

3) Biaya Pemeliharaan; dan

4) Biaya Perjalanan.

b. Biaya Investasi Modal

1) Pembangunan pasar;

2) Pembangunan terminal;

3) Pembangunan industri; dan

4) Pembangunan prasarana jalan

c. Surplus atau defisit

(Hanif Nurcholis, 2005: 110-111)

Adapun yang menjadi komponen Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai berikut: pendapatan daerah,

belanja operasional pemerintahan, belanja modal, surplus atau

deficit, asset daerah, pembiayaan, dana daerah, dan pinjaman

(pemerintah pusat, masyarakat, luar negeri). Salah satu komponen

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut adalah

surplus atau defisit. Surplus atau surplus anggaran adalah selisih

lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Sedangkan yang

dimaksud defisit atau defisit anggaran adalah selisih kurang

pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Jumlah pembiyaan sama

dengan jumlah surplus atau defisit anggaran.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

112

Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak

tersangka disediakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak

tersangka. Penganggaran dana cadangan dialokasikan dari sumber

penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Semua sumber penerimaan cadangan dan semua pengeluaran atas

beban dana cadangan dicatat dan dikelola dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu dibukukan dalam

rekening tersendiri yang memperlihatkan saldo awal setiap transaksi

penerimaan dan pengeluaran serta akhir saldo akhir tahun anggaran.

Posisi dana cadangan dilaporkan sebagai bagian yang tidak dapat

terpisahkan dengan laporan pertanggung jawaban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apabila diperkirakan

pendapatan daerah lebih kecil daripada rencana belanja daerah dapat

melakukan pinjaman. Pinjaman daerah dicantumkan pada anggaran

pembiayaan (Hanif Nurcholis, 2005: 110). Adanya struktur dan

komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

sebagai sumber dari keuangan daerah merupakan tolak ukur yang

digunakan oleh para pengambil kebijakan di daerah dalam

menetapkan proses selanjutnya. Mekanisme dalam perumusan,

penyusunan dan penetapannya terdapat perbedaan yang significant

dan banyak menimbulkan celah bagi modus operandi korupsi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah.

b. Proses penetapan dan perubahan besar kecilnya dana dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai

celah terjadinya tindak pidana korupsi keuangan daerah

Proses penetepan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) diajukan oleh pemerintah pusat kepada Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD). Kepala daerah menyampaikan rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

113

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian

membahasnya. Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

belum menyetujui dengan rancangan yang diajukan, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengembalikan lagi kepala

daerah untuk disetujui. Jika ternyata Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) tidak menyetujui, maka pemerintah daerah

menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

tahun sebelumnya untuk dijadikan dasar penyelenggaraan

pemerintah daerah. Jika dipandang perlu Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) bisa dirubah dan perubahan tersebut

dilakukan sehubungan dengan adanya yaitu sebagai berikut:

1. Kebijakan pemerintah pusat dan/ atau pemerintah daerah yang

bersifat strategis; dan

2. Penyesuaian akibat tidak tercapainya sasaran yang ditetapkan

pemerintah daerah.

Perubahan tersebut ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan

sebelum tahun anggaran tertentu berakhir. Jangka waktu 3 (tiga)

bulan dimaksudkan agar pelaksanaannya dapat selesai pada akhir

tahun anggaran tertentu.

Berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD), hal ini bermaksud penerimaan dari

semua sumber yang sah harus dibukukan oleh petugas dengan

benar. Hal yang termasuk penerimaan adalah semua manfaat

yang bernilai uang berupa komisi, rabat, potongan, dan bunga

sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/

atau jasa dan dari penyimpanan dan/ atau penempatan uang

daerah. Penerimaan ini harus dibukukan sebagai pendapatan

daerah dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran Anggaran Pendapatan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

114

Belanja Daerah (APBD) harus berdasarkan surat keputusan

otorisasi oleh pejabat yang berwenang. Setiap pengeluaran yang

dibebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

harus didukung bukti-bukti yang lengkap dan sah.

2. Pengelolaan Barang Daerah, hal ini bermaksud pengelolaan

barang daerah oleh kepala daerah dan pengelolaan ini meliputi

perencanaan, penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan,

penyimpanan dan penyaluran, pemeliharaan, pengahapusan dan

pengendalian. Pengelolaan barang daerah harus dicatat secara

benar. Pencatatan barang daerah dilakukan sesuai dengan

standar akuntasi daerah. Barang dan jasa yang dapat dibebankan

pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah

barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perangkat daerah dalam

rangka melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya. Pengadaan barang dan jasa tersebut harus

berdasarkan keputusan kepala daerah

3. Akuntasi Keuangan Pemerintah Daerah, hal ini bermaksud

pemerintah daerah harus memiliki standar akuntasi pemerintah

daerah. Dengan standar akuntasi ini penatausahaan dan

pertanggung jawaban keuangan daerah dapat dilakukan secara

konsisten dan sistematis

4. Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), hal ini bermaksud pada akhir tahun anggaran

pemerintah daerah harus memuat perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus memuat

perbandingan antara realisasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang akan ditetapkan. Disamping itu

juga harus memuat selisih antara realisasi penerimaan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

115

anggaran penerimaan dan selisih antara realisasi pengeluaran

dan anggaran pengeluaran dengan menjelaskan alasannya.

5. Pertanggung jawaban Keuangan Daerah, hal ini bermaksud

pertanggung jawaban keuangan daerah dilakukan oleh kepala

daerah. Pada setiap triwulan kepala daerah harus melaporkan

pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada akhir

tahun anggaran, kepala daerah harus melakukan Laporan

Pertanggung Jawaban (LPJ) Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD). Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) ini harus memuat

laporan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dan nota perhitungan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak

Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) kepala daerah. Laporan

Pertanggung Jawaban (LPJ) yang ditolak diminta untuk

disempurnakan oleh kepala daerah, selanjutnya dilakukan sidang

terbuka lagi. Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) yang ditolak

harus disertai alasan yang jelas. Jika untuk kedua kalinya

Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) ditolak maka Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengusulkan

pemberhentian kepala daerah kepada presiden.

6. Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, hal ini bermaksud

pengelolaan keuangan daerah diawasi oleh pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengawasan internal dan

pengawasan pemerintah. Pengawasan yang dilakukan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersifat pengawasan

terhadap sejauh mana sasaran yang ditetapkan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat tercapai.

Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

116

diangkat kepala daerah bertujuan agar semua penggunaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai

dengan peraturan yang ditetapkan yaitu: pembukuan,

tatalaksana, penyelenggaraan program dan manajemen

keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh

pemerintah bersifat pengawasan preventif yang bertujuan agar

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dibuat sesuai

dengan norma dan kriteria yang ditetapkan. Sehubungan dengan

pengawasan pemerintah untuk provinsi, provinsi harus

menyampaikan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD), perubahan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dan perhitungan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada menteri dalam

negeri paling lambat 15 hari setelah ditetapkan. Sedangkan

kabupaten atau kota harus menyampaiakan kepada gubernur

sebagai wakil pemerintah pusat paling lambat 15 hari setelah

ditetapkan.

7. Kerugian Keuangan Daerah, hal ini harus bermaksud jika setiap

kerugian daerah harus diganti oleh pelakunya. Kerugiaan

keuangan daerah harus nyata dan pasti jumlahnya. Orang atau

badan yang dengan sengaja atau lalai melakukan perbuatan yang

berakibat merugikan keuangan daerah harus mengganti

sejumlah uang yang merugikan keuangan daerah tersebut.

8. Sistem Informasi Keuangan Daerah, hal ini bermaksud dalam

rangka akuntabilitas public pemerintah pusat membuat sistem

informasi keuangan daerah yang bisa diakses dan diketahui oleh

masyarakat secara terbuka. Data yang dipakai untuk membuat

sistem informasi keuangan daerah tersebut berasal dari laporan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari seluruh

daerah di Indoensia.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

117

9. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,

hal ini bermaksud di tingkat pusat dengan keputusan presiden

dibentuk secretariat bidang keuangan pusat dan daerah serta hal-

hal yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah (Hanif

Nurcholis, 2005: 113-116).

Dalam Pasal 183 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang No.32

Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diterangkan bahwa

perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat

dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan

asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah

(APBD), kedaaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran

anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja

serta keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran

tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun

anggaran berjalan. Hal serupa juga dijelaskan dalam Peraturan

Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah

pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 mengenai

perubahan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan

perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan pemerintah daerah dalam rangka

penyusunan prakiraann perubahan atas Anggaran Pendapatn dan

Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya yang bersangkutan,

apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi

kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),

keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran

antas unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja, keadaan

yang menyebabkan salso anggaran lebih tahun sebelumnya harus

digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar

biasa. Pelaksanaan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

118

anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa yang menyebabkan

estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran Anggaran Pendapatn dan

Belanja Daerah (APBD) mengalami kenaikan atau penurunan lebih

besar daripada 50% yaitu selisih (gap) kenaikan antara pendapatan

dan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD). Perubahan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila terjadi

perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum

Anggaran (KUA), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan

pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis

belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun

sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan, keadaan darurat

dan keadaan luar biasa (Soni Yuwono dkk, 2008: 368).

Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai

dengan asumsi kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) terhadap keadaan yang menyebabkan hambatan

dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan

dan antar jenis belanja serta terjadi keadaan yang menyebabkan

saldo anggaran lebih pada anggaran tahun sebelumnya hanya

digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan selain itu

dalam keadaan darurat. Pemerintah daerah dapat melakukan

pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan selanjutnya

diusulkan dalam rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dan/ atau disamakan dalam Laporan

Realisasi Anggaran (LSA) (Adrian Sutedi, 2009: 79). Dalam proses

penetapan dan perubannya melibatkan banya pihak pejabat daerah

sebagai pejabat yang memiliki otoritas tertinggi guna mengelola

keuangan daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pejabat daerah

tersebut juga terdapat landasan yuridis yang dituangkan berupa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

119

hukum positif sebagai payung hukum dalam setiap pengambil

kebijakannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah.

Pasal 67:

“Setiap Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.

Pada Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, proses

penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal/pembangunan”. Selanjutnya di ayat (2) disebutkan “Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.

Sedangkan proses penetapan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dalam Pasal 22 disebutkan:

“(1) Kepala Daerah menyampaikan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan. (2) Apabila rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. (3) Penyempurnaan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disampaikan kembali kepada DPRD (4) Apabila rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

120

(APBD) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangan Daerah”.

Dalam Keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 29 tahun

2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang pedoman pengurusan,

pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan dan belanja daerah,

pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan

perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah

Pasal 49 ayat (1) :

“Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rencana peraturan daerah tentang APBD disahkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah”.

Pasal 49 ayat (5) :

“Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”.

Dalam menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) harus memperhatikan tolak ukur

standarisasi agar tidak disalah gunakan sebagai celah terjadinya

tindak pidana korupsi. Pada Pasal 26 ayat (1) Keputusan Mentri

Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang pengelolaan keuangan

daerah yang menyatakan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan sehubungan dengan:

a. Kebijakan pemerintah yang bersifat strategis;

b. Penyesuaian karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak

terpenuhi; dan

c. Terjadinya kebutuhan mendesak.

Substansi yang sama terkait perubahan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) juga disebutkan dalam Pasal 23

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

121

Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan

Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan bahwa:

“(1) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b. Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan; c. Terjadinya kebutuhan mendesak. (2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir”.

Dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

disebutkan yang pada intinya tindakan yang mengakibatkan

pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan

Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Selanjutnya dalam

Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang

pengelolaan keuangan daerah Pasal 55 ayat (2) disebutkan adanya

larangan mengeluarkan pengeluaran atas beban belanja daerah untuk

tujuan lain dari pada yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Bertolak dari berbagai aturan

tersebut diatas Penulis berpendapat bahwa dalam tahap penyusunan

sampai penetapan peraturan daerah akan melibatkan pihak legislatif

yang diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dengan pihak eksekutif yang diwakili oleh kepala daerah.

Dalam pembahasan dan penetapan tentang besar dan kecilnya dana

yang akan digunakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) kedua belah pihak sama-sama mempunyai

kepentingan untuk menaikan anggaran guna kepentingan pribadi dan

golongan tertentu. Kesepakatan tersebut ditetapkan dalam peraturan

daerah yang menjadi kesepakatan bersama. Peraturan daerah tersebut

telah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

122

umum. Selain mengeluarkan peraturan daerah sebagai salah satu

legalisasi terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah

daerah, kepala daerah selaku pemegang kekuasaan eksekutif juga

berwenang untuk mengeluarkan keputusan kepala daerah. Keputusan

kepala daerah tersebut banyak menimbulkan celah guna

mengamankan kepentingan pribadi saja jika kebijakan yang diambil

tidak melalui tahap musyawarah antara pejabat daerah daerah yang

satu dengan yang lain. Dalam proses pembuktian selanjutnya

peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut hanya

digunakan sebagai payung hukum untuk menutupi kesalahan mereka

dari jerat hukumnya. Selain menggunakan adanya aturan peraturan

daerah mereka juga menggunakan administrasi dari sekretaris daerah

untuk menutupi kesalahannya. Hal ini berdampak adanya kesulitan

untuk menentukan delik-delik hukum berupa ada dan tidaknya unsur

kesalahan dan sifat melawan hukum bagi pejabat daerah sebagai

pelaku tindak pidana korupsi.

2. Korupsi berjamaah antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah terkait manipulasi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Although malfeasance can occur at all levels of the political and economic system the bribery of top officials is especially troubling. High level or grand corruption involves large sums of money with multinational corporations frequently making the payoffs. The size of payoffs is not the most important measure of corruption’s impact. The costs in lost investment funds and distorted priorities may be high even if payoffs are low. Democracy and the free market are not necessarily a cure. A country that democratizies without creating and enforcing laws governing conflict of interest, financial enrichment and bribery risks undermining its fragile new institutions through private wealth seeking. A country that liberalizes it’s economy without a similar reform of the state risks creating severe pressures on officials to share in the new private wealth. Corrupt incentives exist in both market oriented democracies and autocracies. Governmental stability interacts with independent outside checks to encourage or check corruption. In

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

123

democracies, both those in tough re-election fights and those at the end of their political life are especially vulnerable to corrupt inducements. However, the complex organizational structure of democratic legislatures and the formal separation of powers increase the costs of bribery and may deter illicit deals (Rose Ackerman, S. 1996: 365).

Hukum dan kebijkan merupakan produk dari kepentingan politik.

Jika kompromi dan konstelasi politik dapat terkonsep dengan baik maka

akan berimplikasi terhadap lahirnya produk hukum yang baik, sebaliknya

jika kompromi politik hanya digunakan untuk dimanfaatkan demi

kepentingan pribadi dan golongan tertentu justru akan memberikan

dampak terhadap lahirnya produk hukum yang buruk.

Perkembangan politik lokal merupakan salah satu determinan

penting untuk menjelaskan kinerja karakteristik birokrasi di suatu daerah.

Hal tersebut merupakan salah satu bentuk konsekuensi adanya pengaruh

budaya. Masyarakat yang melingkupi organisasi birokrasi dan

pemerintahan birokrasi dalam mengembangkan sistem organisasi tidak

semata-mata didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan oleh

pemerintah pusat, melainkan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor

lokal (Agus Dwiyanto, 2001: 103). Adanya konstelasi politik dalam

setiap pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah

dan seluruh elemen-elemennya juga akan berdampak kepada baik dan

buruk tatanan birokrasi dalam pada proses restrukturisasi di dalam

pemerintah daerah tersebut. Jika tidak terjadi checks and balances

konstelasi politik sebagai salah satu alat pengambilan kebijkan dari

pejabat di daerah, maka akan terjadi proses fragmentasi pada golongan-

golongan tertentu yang justru akan menimbulkan ketimpangan pada

kualitas kebijakan yang dihasilkan.

Terkait hegemoni dalam pemerintahan yaitu adanya pergerakan

pemerintahan elemen penting yang paling mampu menunjukan

superioritas diantara yang lain akan cenderung melakukan hegemoni

untuk menguasai pemerintahan. Kecenderungan awal penguasaan elemen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

124

lain dimulai dari satu atau lebih kelompok minoritas yang kuat serta

memiliki lebih banyak sumber daya (Muhadam Labolo, 2005: 48).

Kekuasaan yang menunjukan korelasi terhadap superioritas kewenangan

justru menimbulkan tarik ulur kebijakan dengan pejabat di bawahnya.

Jika tidak ada koordinasi secara organisatoris dalam pengambilan

kebijakan, maka antara kekuasaan yang satu dengan yang lain akan

saling menjatuhkan guna melegalkan kepentingan masing-masing

golongan tertentu. Hal lain yang akan terjadi dalam konstelasi politik

tersebut adalah adanya kompromi politik dalam pengambilan kebijakan,

implikasinya akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang

mempunyai kepentingan.

Perbuatan mengadakan suatu permufakaatn itu sendiri sebenarnya

baru merupakan suatu voorbereidings handeling atau suatu tindakan

persiapan untuk melakukan kejahatan yang biasanya belum dapat

membuat seorang pelaku dijatuhi pidana. Seperti yang telah diketahui

untuk dapat meminta pertanggung jawaban menurut hukum pidana dari

seseorang yang hanya didakwa melakukan suatu poging atau suatu

percobaan itu pun yang ia lakukan harus sudah merupakan suatu bagian

van uitvoerings handeling atau suatu tindakan persiapan belaka.

Tentunya pembentuk undang-undang mempunyai cukup alasan untuk

melarang orang mengadakan suatu permufakatan untuk melakukan

kejahatan-kejahatan korupsi dan bahkan telah membuat permufakatan

seperti itu menjadi suatu kejahatan yang berdiri sendiri dan diancam

dengan pidana-pidana yang sama beratnya dengan tindak pidana korupsi

yang telah selesai dilakukan oleh para pelakunya (Lamintang, 2009: 47).

Jumlah tindak pidana korupsi terus meningkat setiap tahunnya.

Dari departement dalam negeri mengungkap fakta pada periode tahun

2010 sampai 2011 terdapat 156 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.

Diantaranya, 17 gubernur dan 1 wakil gubernur, 19 wali kota dan 8 wakil

wali kota, 92 bupati dan 19 wakil bupati, serta 1.432 anggota legislatif di

seluruh Indonesia

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

125

(http://www.ti.or.id/index.php/news/2011/03/16/mudahnya-pejabat-

publikterjerat korupsi-apbd/ diakses tanggal 5 Maret 2011 pukul 14.00

WIB). Fakta ini membuktikan bahwa tindak pidana korupsi dalam kasus

manipulasi keuangan daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) telah terstruktur dengan melibatkan banyak pihak guna

mendapat manfaat bersama.

Dalam kasus korupsi di lingkungan pemerintahan, karena adanya

birokrasi dan jabatan struktural sangat sulit korupsi hanya dilakukan oleh

seorang staff terlebih lagi kasus korupsi yang sudah menahun. Sangat

sulit untuk menentukan secara jelas menjadi tersangka yang kebanyakan

bukan tersangka sesungguhnya, tetapi seharusnya dengan perkiraan

hukum bukan perundang-undangan. Dalam praktek korupsi ini harus

dilakukan uji secara maksimal peran masing-masing antara bawahan dan

atasan haruslah jelas peran atas apa dan peran bawahan apa serta dalam

konteks kewenangan masing-masing perlu berarti pengambil keputusan

sendiri (Hartono, 2010: 34). Dalam konteks ini telah terjadi modus

operandi korupsi yang dilakukan oleh kalangan pejabat publik terhadap

aturan tertulis sebagai langkah awal dalam proses manipulasi keuangan

daerah. Aturan tersebut akan digunakan dalam menentukan besar dan

kecilnya keuangan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD).

Pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam

klasifikasi white collar crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta

menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) ke-8 mengenai “prevention of crime and treatment of

offenders” yang mengesahkan resolusi “corruption in goverment” di

Havana tahun 1990 dengan merumuskan tentang akibat korupsi. Akibat

tersebut yaitu korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of

public official) yang dapat menghancurkan efektivitas potensial dari

semua jenis program pemerintah (can destroy the potensial effectiveness

of all types of governmential programmes). Dampak lain yaitu dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

126

menghambat pembangunan (hinder devolopment) dan menimbulkan

korban individual kelompok masyarakat (victimize individuals and

groups). Asumsi konteks tersebut merupakan dasar adanya tindak pidana

korupsi yang bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional, dan

multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis,

sosiologis, budaya, dan ekonomi antar negara (Lilik Mulyadi, 2007: 36).

Para birokrat dan politisi daerah (yang kemudian disebut sebagai

elite penyelenggaraan pemerintah daerah) merupakan aktor-aktor yang

secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan

implementasi kebijakan. Oleh karena itu memahami secara mendalam

tentang bagaimana para elit penyelenggara pemerintah daerah tersebut

telah mengartikulasikan konsep hubungan kekuasaan pusat dan daerah

sangat penting.

Menurut Almond “keyakinan politik individu merupakan salah satu faktor penentu bagi perilaku politik individu yang bersangkutan (individualy political belief is one of the determinant factors for individual political conduct) dan lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan politik (politic belief) yang dimiliki oleh masing-masing individu pada gilirannya akan membentuk political self” (Syarif Hidayat, 2005: 284).

Menurut Professor Glanville Williams yaitu ”For mankind in the

mass it is impossible to tell whom the threat of punishment will restrain and whom it not for most it will succeed for some it will fail and the punishment must then be applied to those criminals in order to maintain the threat to person generally. Mentally dengared person. However can be separated from the mass by scientific test and being a defined class their segregation from punishment does not impair the efficacy of the sanction for people generally” (Michael Louis Corrado, 1994: 40-41).

Fungsi lembaga legislative menurut C.F Strong adalah sebagai berikut: “legislative are not the only source of legal rules. Constitutions are supplemented and modified by rules of law which merge from the interpretation of the courts and outside the real of legal rules. Constitution my be supplemented of modified or even nullited by usages customs and conventions” (Samuel Wahidin, 2008: 67).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

127

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam

kedudukannya sebagai lembaga legislatif daerah secara formal

menyalurkan dan merumuskan berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat

dan bersama-sama dengan kepala daerah, sehingga menjadi putusan

kebijaksanaan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan. Selanjutnya

segala putusan yang telah ditetapkan harus dikomunikasikan kepada

masyarakat yang pada hakikatnya merupakan respon terhadap aspirasi

rakyat (J.Kaloh, 2007: 55).

Keburukan mental yang cenderung bersifat korup bagi setiap

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya akan berdampak terhadap setiap kebijkan yang

diambilnya. Modus operandi korupsi yang dilakukan terkait mark up dari

manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah

adanya kesepakatan bersama kepala daerah dengan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait pembuatan peratutan daerah

dalam menetapkan besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dan

yang akan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) tersebut. Pola tindak pidana korupsi yang selanjutnya dilakukan

adalah manipulasi dana dari kepala daerah dengan melibatkan semua

pejabat daerah yang terkait seperti sekretaris daerah, bendahara daerah,

dan bidang-bidang yang terdapat di dalam birokrasi daerah tersebut.

Kepala daerah mengatasnamakan pengguanaan dana taktis dan atas nama

kepentingan organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Kebijakan tersebut diakomodir dengan mengeluarkan keputusan kepala

daerah. Penggunaan dana tersebut telah mendapat legalisasi dari

pemegang kekuasaan tertinggi yaitu dari kepala daerah dengan kebijakan

yang dikeluarkannya. Salah satu modus lain adalah dengan

memanfaatkan administrasi daerah sebagai legalisasinya, sehingga

seolah-olah penggunaan dana terebut sah berdasarkan hukum. Pola dan

karakteristik modus operandi korupsi yang dilakukan oleh para pelaku

tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

128

menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. Aturan

tertulis adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng

hukumnya dan pejabat pemerintah adalah benteng hukumnya. Ketiganya

saling bersinergisitas dengan membentuk pola-pola koordinasi organisasi

yang akan digunakan sebagai senjata pamungkas dalam manipulasi

keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi publik ini merupakan

bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi lainnya

Jenis-jenis utama korupsi adalah kolusi dalam lelang dengan

biaya harga tinggi bagi pemerintah daerah dan pejabat dapat bagian dari

pembayaran. Komisi dari pemasok agar persaiangan dalam pengadaan

barang dan jasa dapat diatur dan suap bagi pejabat yang berwenang

mengatur perilaku pemenang tender dengan mengizinkan kenaikan dan

perubahan pada spesifikasi kontrak walaupun sebenarnya tidak perlu.

Kontrak pengadaan barang dan jasa umumnya menyangkut uang dengan

jumlah yang besar dan melibatkan orang dalam dan orang luar

pemerintah yang punya nama atau punya pengaruh besar. Korupsi jenis

ini sangat merusak, karena mengakibatkan kekacauan pada insentif.

Hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah daerah dan

ketimpangan dalam distribusi kekuasaan dan kejayaan (Robert Glitgaard

dkk, 2002: 135). Adapun dalam pengadaan barang dan jasa harus

menganut prisip-prinsip yaitu sebagai berikut: Efisien, efektif,

transparan, terbuka, bersaing, adil, tidak diskriminatif dan akuntable

(Pusat Penelitian Pengkajian Pengembangan Keuangan Negara, 2010: 8).

Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan bersih perlu didukung dengan pengelolaan

keuangan yang efektif, efisien, transaparan dan akuntable. Untuk

peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara yang

dibelanjakan melalui proses pengadaan barang dan/ atau jasa pemerintah

diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi,

akuntabalitas serta prinsip persaingan atau kompetensi yang sehat dalam

proses pengadaan barang dan/ atau jasa pemerintah yang dibiayai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

129

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga diperoleh barang

dan/atau jasa pemerintah yang terjangkau dan berkualitas serta dapat

dipertanggung jawabkan baik dar segi fisik, keuangan, maupun manfaat

bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut pada Peraturan Presiden No.54 Tahun

2010 tentang pengadaan dan/ atau jasa pemerintah dimaksudkan untuk

memberikan pedoman pengaturan mengenai tata cara pengadaan barang

dan/ atau jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif sesuai dengan tata

kelola yang baik. Pengaturan mengenai mengenai tata cara barang

dan/atau jasa pemerintah dalam peraturan presiden tersebut dapat

meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara dan

percepatan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Pusat

Penelitian Pengkajian Pengembangan Keuangan Negara, 2010: 111-112).

Pengadaan barang dan jasa mulai saat pemerintah daerah

mengumumkan kebutuhannya akan sejumlah barang dan jasa dan

mengundang pemasok untuk memenuhi kebutuhan itu atau memberikan

pelayanan. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa langkah pernyataan

kebutuhan itu juga dikenal sebagai tahap “undangan untuk mengajukan

penawaran”. Dalam langkah kedua pemasok yang berminat mengajukan

penawaran. Pemerintah daerah menilai penawaran yang masuk memilih

pemenang. Dalam langkah ketiga, merundingkan kontrak dengan

pemenang. Dalam langkah keempat, pemasok melaksanakan kontrak

(Robert Glitgaard dkk, 2002: 136).

Adapun proses pengadaan barang dan jasa serta potensi terjadinya

korupsi adalah sebagai berikut:

Proses pengadaan A. Jenis korupsi dan masalah

B. Keadaan yang menyuburkan korupsi

C. Indikator Potensi Korupsi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

130

Langkah 1 Pemerintah mengumumnkan membutuhkan pemasok barang dan jasa

A 1 Spesifikasi terlalu rinci dan terlalu membatasi

B 1 Pemerintah tidak bisa menentukan spesifikasi dengan baik, teknologi atau proyek canggih pegawai tidak cakap, sistem gaji, karier dan imbalan buruk.

C 1 Spesifikasi tidak jelas atau tidak ada, merek tertentu atau fungsi alat mengharuskan kebutuhan kontrak dan pemasok membantu membuat spesifikasi

Langkah 2 Pemasok mengajukan penawaran untuk memenuhi kebutuhan

A 2 Kolusi penawaran diatur, penawaran ditekan, arisan pemasok, dan pembagian pasar

B 2 Persaingan hanya berdasarkan harga umum atau mutu, permintaan pemerintah daerah inelastic, penawaran dan identitas pemasok diumumkan, perusahaan sejenis, banyak peluang untuk berkomunikasi, pejabat pengada-an barang dan jasa mempunyai wewenang luas

C 2 Jumlah pemasok kecil, jumlah pasar konstan umtuk beberapa waktu, pola terbentuk setelah beberapa waktu, informasi bahkan harga penawaran lebih tinggi dari harga pasar, pemasok hanya itu-itu saja pada semua penawaran

Langkah 3 Pemerintah menilai penawaran-penawaran dan menentukan pemenang

A 3 Korupsi dalam birokrasi, suap, bagi rezeki, pertimbangan politik, hubungan majikan pelaksana tidan serasi, fokus pada biaya atau mutu, mengarah ke satu pemasok, perlakuan istimewa dan insentif pelaksana dan resiko tidak seimbang

B 3 Kontrak besar (dibandingkan dengan pasar), terlalu banyak aturan dan pengadaan menurut mutu atau biaya satu-satuunya ukuran untuk menentukan pemenang

C 3 Kontrak tidak diberikan pada pemasok harga terendah, kontrak diberikan pada pemasok tanpa pengalaman, kontrak ditawar pembeli, spesifikasi diubah setelah kebutuhan awal menimbulkan penagihan tinggi

Langkah 4 A 4 B 4 C 4

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

131

Pemasok melaksanakan kontrak

Korupsi expost penggelembunagan biaya tetap salah

Sumber tunggal, pemasok di banyak pasar, dan sektor swasta dan sektor pemerintah

Biaya naik, penambahan barang dari sumber tunggal, pembatalan pemenang, mutu rendah, perubahan spesifikasi dan produksi terlambat

Sumber: (Robert Glitgaard dkk, 2002: 135-138).

Secara umum dari mekanisme pengadaan barang dan/atau

jasa tersebut diatas, dapat dipahami untuk penentuan besarnya

penggunaan dana pemerintah yang diambil dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) harus berdasarkan keputusan dari kepala

daerah. Hal ini akan berdampak jika kepala daerah mempunyai sifat

berlaku korup dan demi kepentingan pribadi dan/ atau golongan sendri

akan menggunanakan dan mengalokasikan dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD). Kepala daerah sebagai otoritas tertinggi

dalam pemberian keputusan tentang besar dan kecilnya dana akan

menentukan para pihak yang akan dijadikan sebagai pemasok barang

dan/atau jasa yang akan digunakan oleh pemerintah daerah. Jika terdapat

kerjasama dan saling melakukan monopoli terhadap kesepakatan harga

antara kepala daerah dan pihak pemasok akan menimbulkan kerugian

bagi keuangan daerah. Selain problematik tersebut, pihak pemerintah

daerah juga tidak memiliki kemampuan untuk mendata secara detail

terkait semua kebutuhan yang akan dialokasikan bagi belanja daerah.

Dalam penggunaan teknologi modern wajar ketika pemasok bukan dari

pihak pemerintah daerah yang lebih tahu dan dapat memberikan saran

mengenai barang dan/atau jasayang diperlukan oleh pemerintah daerah.

Pada umumnya pihak pemerintah daerah juga tidak memiliki

kemampuan untuk menjelaskan secara detail tentang jenis dan objek

barang dan/atau jasa yang akan digunakan oleh pmerintah daerah. Dalam

keadaan ini akan membuka celah untuk melakukan negosiasi untuk

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

132

menaikan harga dari kesepakatan yang telah ditetapkan dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses mark up dana tersebut

telah menimbulkan bagi terjadinya korupsi dengan menentukan

pemenang lelang sebelum proses lelang dimulai. Berkaitan dengan

spesifikasi barang dan/atau jasa yang tidak jelas akan menyebabkan

masuknya penawaran berasal dari para pemasok yang tidak mampu

melaksanakan perkerjaan yang bersangkutan. Disampinh itu spesifikasi

yang sangat rinci dan sempit akan berdampak pada pembatasan jumlah

pemasok yang memasukan penawaran. Dalam hal spesifikasi terlalu

kabur terhadap biaya administrasi akan mengalami kenaikan dalam

proses evaluasi. Dala hal spesifikasi yang detail juga akan menimbulakan

terjadinya korupsi dan akan membatasi kewenangan pejabat dalam

pengambilan keputusan. Penyimpangan dana yang terjadi tidak hanya

terkait adanya pengadaan barang dan jasa tetapi juga kegiatan-kegiatan

lain yang bersumber dari penggunaan keuangan daerah lewat Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modus operandi yang telah

merugikan keuangan daerah dari pengggunaan dana Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak hanya terkait dari

pengadaan barang dan/ atau jasa saja.

Fakta lainnya yang punya dampak serius terhadap pelaksanaan

pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah masalah pembiayaan. Sumber

pembiayaan pemilihan kepala daerah (pilkada) berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD). Usulan dana dari Departemen Dalam Negeri Rp

926,56 Miliar, sebesar Rp 627,87 Milliar untuk anggaran pemilihan

kepala daerah (pilkada). Sebesar 142,42 Milliar untuk dukungan daearh

pemekaran dan dana fasilitasi pemilihan kepala daerah (pilkada) sebesar

Rp 185,30 Miliar. Dana tersebut masih digunakan dana cadangan untuk

daerah yang menyelenggarakan putaran 2 (dua). Sampai Rp 74 Milliar.

Ada dukungan dana oleh pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) setelah pengajuan dana pembiayaan pemilihan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

133

kepala daerah (pilkada) yang diajukan Komisi Pemilihan Umum Daerah

(KPUD) (Cecep Effendi, 2005: 18). Hal ini membuktikan bahwa kepala

daerah sebagai pemegang eksekutif tertinggi di daerah mempunyai

peluang paling besar untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Adapun terkait data korupsi yang melibatkan kepala daerah mark

up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai

berikut:

Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Jenis Korupsi

1. Pengadaan Barang dan/atau Jasa

2 12 8 14 18 16 16 86

2. Perizinan - - 5 1 3 1 - 10 3. Penyuapan - 7 2 4 13 12 19 57 4. Pungutan - - 7 2 3 - - 12 5. Penyalahgunaan

Anggaran - - 5 3 10 8 5 31

Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 196

Sumber: Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4

Sebanyak 17 gubernur dan 158 bupati serta wali kota terjerat

dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Sebagian besar kepala daerah diduga terlibat korupsi

pengadaan barang dan jasa. Lebih dari 90% kasus tindak pidana korupsi

yang melibatkan kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa

pemerintah. Total anggaran yang dikorupsi adalah sebesar Rp 1,9 triliun.

Secara keseluruhan tingkat kebocoran dalam proyek pengadaan barang

dan jasa pemerintah sejak tahun 2005-2010 mencapai 35%. Indikasi

kebocoran adalah banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu,

tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Banyaknya alat

yang dibeli tidak bisa dipakai dan masa pakai lebih pendek hanya

mencapai 30%-40%. Selain itu kebiasaan kewajiban untuk memberikan

fee oleh kontraktor, panitia pengadaan dan pimpinan proyek kepada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

134

atasan dengan dalih untuk belanja organisasi. Perbedaan harga barang

sejenis yang cukup mencolok antara satu instansi dan instansi lain serta

adanya beberapa invoice untuk satu jenis barang. Adanya modus

penyimpangan anggaran adalah dengan penunjukan langsung (94%) dan

penggelembungan harga (6%) (Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4).

Secara umum para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

dan kepala daerah telah mempunyai tugas dan wewenang yang telah

diberikan hukum tertulis, aka tetapi dalam prakteknya tidak dapat

berjalan sesuai rule of law yang ada.

Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia No.16 Tahun

2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah tentang tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Pasal 3

disebutkan: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai

tugas dan wewenang:

a. membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah

mengenai Anggaran Pendapatan dan Belnja Daerah (APBD) yang

diajukan oleh kepala daerah;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah

dan Anggaran Pendapatan dan Belnja Daerah (APBD);

d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri

Dalam Negeri bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota,

untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau

pemberhentian;

e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan

wakil kepala daerah;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

135

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional

yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah

lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan

daerah;

j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Hal tersebut juga sesuai dengan substansi dari Pasal 42 Undang-

Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu sebagai

berikut:

a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk

mendapat persetujuan bersama;

b. membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama dengan

kepala daerah;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah

dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah,

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kebijakan

pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan

daerah dan kerjasama internasional daerah;

d. mengusulakn pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah

kepada presiden melalui Mentri Dalam Negeri bagi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kepada Menteri

Dalam Negeri melalui gubernur bagi Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kabupaten atau Kota;

e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan

kepala daerah;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

136

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah

provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional

yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

h. meminta laporan keterangan pertanggung jawaban kepala daerah

dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;

i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

j. melakukan pengawasan dn meminta laporan Komisi Pemilihan

Umum Daerah (KPUD) dalam penyelanggaraan pemerintah daerah;

dan

k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah

dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah

(Marbun, 2005: 73).

Dalam Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang

Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah di Pasal 31

disebutkan bahwa

“(1) Kepala Daerah mengatur pengelolaan Barang Daerah, (2) Pencatatan Barang Daerah dilakukan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah Daerah, (3) Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, dan kepala dinas/lembaga teknis adalah pengguna dan pengelola barang bagi sekretariat Daerah/sekretariat DPRD/dinas daerah/lembaga teknis daerah yang dipimpinnya”. Selanjutnya di Pasal 32 disebutkan “(1) Pengadaan barang dan atau jasa hanya dapat dibebankan kepada APBD sepanjang barang dan atau jasa tersebut diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi perangkat daerah yang bersangkutan, (2) Pengadaan barang dan jasa atas beban APBD diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Daerah”.

Dalam Pasal 1 ayat (15) Peraturan Pemerintah No.08 Tahun 2006

tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang

berbunyi

”Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan atau dinas atau biro keuangan atau bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.”. Selanjutnya dalam Pasal 16 berbunyi”Satuan Kerja

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

137

Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada gubernur atau bupati atau walikota dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretaris daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan satuan polisi pamong praja sesuai dengan kebutuhan daerah”.

Kepala daerah adalah pimpinan lembaga yang melaksanakan

peraturan perundangan. Dalam wujud konkritnya, lembaga pelaksana

kebijakan daerah adalah organisasi pemerintahan. Kepala daerah

menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya. Kepala daerah provinsi

disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut Bupati dan kepala

daerah kota disebut walikota. Adapun yang menjadi tugas dan wewenang

dari kepala daerah adalah sebagai berikut:

a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD);

b. mengajukan rancangan peraturan daerah;

c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan

Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD);

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan

bersama;

e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundangundangan; dan

g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan (Hanif Nurcholis, 2005:118).

Keterkaitan penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala

daerah yaitu peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah

mendapat persetujuan bersama dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD). Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

138

Perwakilan Rakyat (DPRD), Gubernur, Bupati dan Wali kota. Untuk

melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa dari peraturan perundang-

undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau

keputusan kepala daerah (Marbun, 2005: 63). Dengan demikian setiap

kebijakan yang dibuat secara bersama-sama antara pejabat daerah yang

satu dengan yang lain akan berdampak terhadap pada besar dan kecilnya

dana yang akan dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD). Beban dana yang dikeluarkan dari ketentuan yang telah

ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

akan berpotensi terhadap kerugian keuangan daerah pada khususnya dan

kerugian keuangan negara pada umumnya. Parameter terhadap ada dan

tidaknya kerugian negara ini merupakan salah satu delik-delik hukum

yang akan digunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.

3. Penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak pidana korupsi

dan delik-delik hukum sebagai sanksi terhadap tindak pidana

korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

a. Tinjauan secara umum para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Dalam suatu pemerintahan daerah terdapat pejabat

pemerintah daerah yang bertanggunng jawab dan melaksanakan

tugas dan wewenangnya masing-masing. Pemerintah daerah

mempunyai perangkat daerah. Perangkat daerah adalah organisasi

atau lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab

kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Perangkat daerah terdiri atas

sekretaris daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

Sekretariat daerah adalaj unsur staf pemerintah daerah. Maksudnya

sebagai lembaga yang memberi dukungan data, informasi dan

perencanaan pemerintah daerah. Sekretariat daerah provinsi

merupakan unsure staf pemerintah provinsi dan dipimpin oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

139

seorang sekretaris daerah yang berada dibawah dan bertanggung

jawab kepada gubernur. Sekretariat daerah provinsi mempunyai

tugas membantu gubernur dlam melaksanakan tugas

penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan

tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada

seluruh perangkat daerah. Sekretariat daerah provinsi mempunyai

fungsi yaitu sebagai berikut: Pertama, pengkoordinasian perumusan

kebijakan pemerintah daerah provinsi. Kedua, penyelenggaraan

administrasi pemerintahan. Ketiga, Pengelolaan sumber daya

aparatur, keuangan, prasarana dan sarana pemerintahan daerah

provinsi. Keempat, pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh

gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sekretariat daerah

provinsi terdiri atas asisten pemerintah daerah, asisten sekretaris

daerah terdiri atas biro dan biro ini atas bagian-bagian serta bagian-

bagian ini terdiri dari sub bagian.

Sekretaris kabupaten atau kota merupakan unsur staf

pemerintah kabupaten atau kota dipimpin oleh seorang sekretaris

daerah yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada bupati

atau wali kota. Sekretaris daerah kabupaten atau kota mempunyai

tugas membantu bupai atau wali kota dalam melaksanakan tugas

penyelenggaraan pemerintahan, administrasi,organisasi dan

tatalaksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh

perangkat daerah. Sekretariat daerah kabupaten atau kota

mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut: Pertama, pengkoordinasian

perumusan kebijakan pemerintah daerah kabupaten atau kota.

Kedua, penyelenggaraan administasi pemerintahan. Ketiga,

pengelolaan sumber daya aparatur keuangan, prasarana dan sarana

pemerintah daerah kabupaten atau kota. Keempat, pelaksanaan tugas

lain yang diberikan oleh bupati atau wali kota sesuai dengan tugas

dan fungsinya. Sekretariat daerah kabupaten atau kota terdiri atas

asisten sekretaris daerah dan asisten sekretaris daerah ini terdiri dari

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

140

bagian serta sub bagian. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD). Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) provinsi merupakan merupakan unsur pelayanan terhadap

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi. Lembaga ini

dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertanggung jawab kepada

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan secara

administratif dibina oleh sekretaris daerah provinsi. Sekretaris

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi mempunyai

tugas memberikan pelayanan administratif kepada anggota Dewan

Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) provinsi. Sekretaris Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai fungsi yaitu sebagai

berikut: Pertama, fasilitasi rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah provinsi. Kedua, pelaksanaan urusan rumah tangga dan

perjalanan dinas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

provinsi. Ketiga, pengelolaan tata usaha Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) provinsi. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) kabupaten atau kota merupakan unsur pelayanan

terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau

kota. Lembaga ini dipimpin oleh seorang sekretaris yang

bertanggung jawab kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dan secara administratif dibina oleh sekretaris

daerah kabupaten atau kota. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) mempunyai tugas memberikan pelayanan

administratif kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) kabupaten atau kota. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) kabupaten atau kota mempunyai fungsi yaitu

sebagai berikut: Pertama, fasilitasi rapat anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota. Kedua, pelaksanaan

urusan rumah tangga dan perjalanan dinas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota. Ketiga,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

141

pengelolaan tata usaha Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

kabupaten atau kota (Hanif Nurcholis, 2005: 129-131).

Dua masalah sentral dalam kebijkan criminal dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan

perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi

apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat

dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan

kebijakan sosial atau kebijakan pembanguanan nasional. Ini berarti

pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang

telah ditetapkan. Denga demikian kebijakan hukum pidana termasuk

pula kebijakan dalam menangani dua masalah tersebut harus pula

dilakukan dengan yang berorientasi pada kebijkan (policy oriented

approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral

ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada

pembangunan hukum pada umumnya (Barda Nawawi Arief, 2009:

36). Para pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan semua

pejabat di daerah merupakan tindak kejahatan yang bersifat kolektif.

Sengaja dan tidaknya dari tindak kejahatan tersebut akan

menentukan tentang ada dan tidaknya unsur kesalahan dari para

pelaku. Kesalahan dan kesengajaan merupakan salah satu unsur guna

menentukan pertanggung jawaban secara pidana dari para pelaku.

b. Pola penetapan sanksi hukum kepada para pelaku mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait

penggunaan delik-delik hukum dalam hukum pidana

Undang-undang korupsi merumuskan sifat melawan hukum

dalam arti formil dan materiil dengan dasar pemikiran Pertama,

korupsi adalah kejahatan yang terkait nasib banyak orang dimana

uang negara yang dicuri biasa bermanfaat untuk meningkatkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

142

kesejahteraan rakyat. Kedua, kepentingan hukum yang dilindungi

pembentuk undang-undang adalah keuangan dan perekonomian

negara. Ketiga, kejahatan korupsi hampir dilakukan secara

terorganisasi dengan modus operandi korupsi, sehingga sering dapat

lolos dari rumusan melawan hukum formil (Amin Sutikno, 2007: 64-

65). Perbuatan sifat melawan hukum yang terdapat dalam aturan

hukum positif justru menimbulkan masalah baru sebagai upaya

pemberantasan korupsi dalam menjerat para pejabat di daerah yang

melakukan mark up terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD). Permasalahan timbul ketika terjadi tarik ulur antara

penetapan rumusan delik dan rumusan perbuatan melawan hukum

yang digunakan dalam proses penuntutan oleh para penegak hukum.

Makna perbuatan melawan hukum masih sangat multitafsir ketika

diharmonisasikan dengan konsep penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh para pejabat di daerah terkait manipulasi penggunaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal konsep

melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang adalah dua (2) hal

yang tidak boleh dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Keduanya harus berjalan bersama-sama dalam proses penetapan para

pelaku tindak pidana korupsi mark up dana keuangan di daerah.

Tarik ulur yang terjadi dalam penderivatifan makna perbuatan

melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang justru

menimbulkan implikasi terhadap lemahnya sanksi yang didapatkan

oleh para koruptor yang ada di daerah. Lemahnya sanksi yang

didapatkan oleh para koruptor dapat disebabkan kurang pahamnya

para penegak hukum dalam pemaknaan perbuatan melawan hukum

dan penyalahgunaan wewenang.

Menurut Penulis kontroversi dan perdebatan hukum selain

perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang juga

terdapat pada kata “dapat merugikan keuangan negara atau atau

perekonomian negara”. Pemaknaan dapat merugikan keuangan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

143

negara justru akan menjadikan celah hukum untuk disalah artikan

karena masih sangat multitafsir. Padahal klausula hukum tersebut

penting dan mutlak dibutuhkan dalam menentukan delik hukum

yang digunakan dalam menjerat para koruptor mark up dana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ada korelasi

dan hubungan yang tidak boleh dipisahkan terkait dapat merugikan

keuangan negara dengan perbuatan melawan hukum dan

penyalahgunaan wewenang. Walaupun terdapat adanya perbuatan

melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang akan tetapi tidak

terdapat adanya kerugiaan negara, hal ini akan digunakan oleh para

penasehat hukum koruptor sebagai celah hukum untuk meringankan

sanksi dan bahkan untuk melepaskan para koruptor dari segala

tuntutan hukum. Untuk menentukan ada dan tidaknya terkait

kerugian negara dari hasil mark up Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) ada lembaga yang mempunyai otoritas

untuk melakukan audit terhadap penyimpanagan tersebut.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan

terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan fungsinya sebagai

lembaga tertinggi negara memeriksa, menguji, dan menilai

penggunaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan sesuai dengan

tujuan penganggarannya atau tidak. Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) melakukan pengawasan penggunaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) dalam tahun anggaran yang berjalan.

Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan

kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD). Disamping itu Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) juga melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana

dekonsentrasi pada pemerintah provinsi dan dana tugas pembantuan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

144

baik pada pemerintah provinsi maupun pada pemerintah kabupaten

atau kota dan pengawasan ini bersifat represif (Hanif Nurcholis,

2005: 199).

Menurut Penulis berkenaan dengan korelasi dengan audit dan

investigasi terhadap ada dan tidaknya kerugiaan negara dalam

penetapan delik hukumnya harus menggunakan dengan ahli yang

dihadirkan dalam persidangan. Hasil dari judicial review dari

Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/ PUU-IV/ 2006 yang

menyatakan kata “dapat” tetap dipertahankan sepanjang

perhitungannya dilakukan oleh para ahli. Audit dan investigasi

tersebut dapat berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akan

tetapi dalam praktek yang ada dalam persidangan terdapat polemik

antara hasil audit dan investigasi antara Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP). Hal ini terjadi ketika pihak penyidik menggunakan kedua

lembaga tersebut, tetapi hasil audit dan investigasinya berbeda.

Walaupun atas putusan Mahkamah Agung (MA) hasil yang

digunakan adalah audit dan investigasi dari Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK), akan tetapi dalam praktek yang dilakukan oleh

para penyidik proses penuntutan masih menggunakan hasil dari

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk

menjerat para koruptor di daerah. Pihak kepolisian dan kejaksaan

dalam prakteknya masih sering menggunakan hasil dari Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ternyata

dalam proses persidangan hasil tersebut dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum. Hal ini akan berimplikasi terhadap sah dan

tidaknya legal opinion yang dikonstruksi oleh para penyidik dalam

menetapakan para pelaku menjadi tersangka maupun terdakwa.

Berdasarkan substansi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

145

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit

200 juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya substansi dalam

Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1

tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta

dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006:

26-27). Aturan hukum tersebut akan digunakan oleh para penegak

hukum guna memenuhi rumusan delik hukum dan penetapan bagi

para pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia.

Pola penetapan mantan anggota Dewan Perwakillan Rakyat

Daerah (DPRD) Kota Cirebon periode 2004-2009 menjadi tersangka

dugaan tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) adalah sebagai berikut:

1. Pada tanggal 11 Agustus 2004 terjadi pergantian keanggotaan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cirebon yaitu

berakhirnya keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) periode 1999-2004 dan diresmikannya keanggotaan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009;

2. Anggaran yang digunakan pada tahun 2004 adalah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004 (Peraturan

Daerah No.3 Tahun 2004 ditetapkan tanggal 12 Januari 2004),

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

146

dibahas dan ditetapkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) periode 1999-2004. Pos anggaran dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004

adalah untuk sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) dengan anggaran Rp 2.308.320.558 dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan anggaran Rp

6.489.020.940

3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perubahan

tahun 2004 (Peraturan Daerah No.9 Tahun 2004 ditetapkan

tanggal 2 Juli 2004), dibahas dan ditetapkan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004.

Perubahan ini mengacu kepada Surat Edaran (SE) Mentri Dalam

Negeri No.161/3211/SJ tanggal 29 Desember 2003 tentang

kedudukan keuangan Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) maka belanja kecuali gaji dipindah ke

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),

sehingga dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) tahun 2004 besaran pos anggaran menjadi

sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebesar

Rp 7.737.706.145 dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) sebesar Rp 1.091.634.953. Dengan demikian kedua

peraturan daerah tentang Angggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) tahun 2004 tersebut dibahas dan disetujui oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Dearah (DPRD) periode 2004-2009

sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan perencanaan

kebijakan anggaran dan kegiatan dalam Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) 2004.

Adapun penggunaan dari anggaran Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) tersebut digunakan sebagai berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004

menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

147

(APBD) dan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) 2004 dari bulan Januari 2004-Agustus 2004.

Besarnya biaya penunjang operasional Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) yang digunakan dari bulan Januari

2004-Agustus 2004 mencapai lebih dari Rp 4,6 miliar dari total

anggaran tahun 2004 yang tersedia sebesar Rp 4,9 miliar.

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009

menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) tahun 2004 dan perubahan (APBD) tahun 2004 bulan

Agustus 2004-Desember 2004. Besarnya biaya penunjang

operasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang

digunakan dari bulan agustus 2004-Desember 2004 tidak sampai

Rp 300.000.000 dari total anggaran tahun 2004 yang tersedia

sebesar Rp 4,9 miliar.

3. Kinerja dan anggaran yang dilakukan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009 dari

bulan Agustus 2004-Desember 2004 dengan anggaran yang

kurang dari Rp 300.000.000 tersebut sudah sesuai dengan hasil

keputusan Panitia Musyawarah berupa program atau jadwal

kegiatan bulanan serta dilengkapi surat tugas.

Dengan demikian terhadap dugaan adanya penyimpangan

dana daerah tersebut Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi terhadap biaya

penunjang operasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

tahun 2004 tanggal 19 Juni 2006 dengan kesimpulan terhadap

penyimpangan berupa pembayaran biaya operasional Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tidak benar kepada seluruh

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebesar Rp

4.983.960.000 untuk periode 1 Januari sampai 31 Desember 2004,

sehingga merugikan keuangan negara dan daerah. Berdasarkan

pemeriksaan audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

148

Pembangunan (BPKP) tersebut Kepolisian Daerah Jawa Barat

melakukan pemanggilan atau pemeriksaan atau penyidikan terhadap

seluruh mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

periode 1999-2004 dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) periode 2004-2009 sebanyak 19 orang (jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009

sebanyak 30 tapi 11 orang merupakan mantan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004). Ke-19

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut periode

tahun 2004-2009 ini hanya dipanggil 1 (satu kali) dengan status

sebagai saksi. Sebagai tindak lanjut pemanggilan atau pemeriksaan

atau penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Barat, mantan anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1999-2004 ditetapkan

sebagai tersangka dan saat ini sedang menjalani sidang di Pengadilan

Negeri Cirebon dengan tuntutan Jaksa hukuman 2 (dua) tahun dan

sudah melakukan pledoi dan tinggal menunggu vonis hakim.

Akhirnya dari ke-19 mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) 2004-2009 yang 5 (lima) diantaranya terpilih

kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

periode 2009-2014 yang semula sudah berkeyakinan sebagai saksi,

namun pada akhir bulan November 2010 mendapat panggilan dari

Polisi Daerah Jawa Barat untuk diperiksa lagi dengan status

tersangka.

Sumber: Data dan Notulensi Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum

(RDPU) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cirebon di Komisi

III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) pada tanggal 18 Januari

2011 pukul 10.00 WIB).

Ada 2 (dua) pendapat tentang sifat melawan hukum yaitu

sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

149

a. Berpandangan sempit yang mengatakan dengan perbuatan

melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan

dengan hak subjektif seseorang (hetzij met een anders subjektif

recht) dan juga bertentangan dengan kewajibannya sendiri

menurut undang-undang (hetzi met des daders eigen wethe lijke

plicht). Menurut Hofman menyimpulkan bahwa perbuatan

melawan hukum dalam pandangan ini adalah bertentanga

dengan udang-undang. Suatu perbuatan yang tidak bertentangan

dengan sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat adalah tidak

patut dan tidak merupakan suatu perbuatan melawan hukum;

dan

b. Berpandangan luas yang menyatakan bahwa seseorang

melakukan perbuatan yang melawan hukum (Komariah Emong

Supardjaja, 2002: 36-37).

Dalam ajaran sifat melawan hukum pidana terdapat 2 (dua)

ajaran yaitu sebagai berikut:

a. Sifat melawan hukum yang formil, maksudnya adanya suatu

perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatannya itu

diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam

undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan

itu dapat hapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-

udang; dan

b. Sifat melawan hukum yang materiil, maksudnya suatu perbuatan

itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam

undang-undang (hukum tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat

berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan

hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan

delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan

juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (Sudarto,

1990: 78).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

150

Selanjutnya dalam pengertian sifat melawan hukum yang

materiil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut:

a. Dalam fungsinya yang negatif, artinya yaitu mengakui

kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang

menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi

rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai penghapus

sifat melawan hukum; dan

b. Dalam fungsinya yang positif, artinya yaitu menganggap sesuatu

perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata

diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila

bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada

diluar undang-undang (Sudarto, 1990: 81).

Bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan

pidana . Hal ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu

dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah

harus dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik

yaitu apakah dalam rumusan unsure tersebut disebutkan dengan

nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak

dinyatakan, makalebih banyak delik yang tidak memuat unsur

melawan hukum di dalam rumusannya. Apakah konsekuensi dari

pada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu

menjadi unsur tiap-tiap delik? konsekuensinya ialah jika unsur

melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu

dianggap dengan diam-diam telah ada kecuali jika dibuktikan

sebaliknya oleh pihak terdakwa. Hal ini sama dengan konsep unsur

kemampuan bertanggung jawab. Konsekuensi yang lain adalah jika

hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada

atau tidak, maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

151

pidana dan dengan demikian tidak mungkin akan dijatuhi tindak

pidana (Moeljatno, 1993:134).

Persoalan pembuktian unsur sifat melawan hukum yang lebih

rumit ialah mengenai melawan hukum menurut Pasal 2 Undang-

undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena rumusan

tindak pidana pada pasal ini terlau umum dan abstrak, sehingga

cakupannya terutama perbuatan memperkaya sangatlah luas.

Keadaan ini sangat menguntungkan jaksa. Batasan cakupan itu

hanya karena dicantumkannya unsur melawan hukum di dalam

rumusan. Ada juga frasa kata “dapat” dalam frasa merugikan

keuangannatau perekonomian negara membuat kesulitan tersendiri

dalam pembuktian, sehingga jaksa harus menganalisis tentang

adanya kemungkinan atau potensial perbuatan memperkaya si

pembuat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara.

Karena kesulitan itu, menjadi penyebab dalam praktek hukum jaksa

selalu mencari kerugian nyata.

Prinsip umum hukum pembuktian ialah hanya membuktikan

unsur-unsur yang tersurat saja dalam rumusan tindak pidana.

Berpegang pada prinsip ini, maka jaksa wajib membuktikan unsure

melawan hukum dari perbuatan memperkaya yang dimaksud dalam

Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang

No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dan pada Pasal 3 dalam aturan ini jaksa wajib membuktikan adanya

wujud perbuatan menyalahgunakan kewenangan. Jika dapat

membuktikan, dengan demikian dianggap terbukti pula sifat

melawan hukumnya perbuatan menyalahgunakan kewenangan

tersebut. Keberadaan unsur melawan hukum terselubung dalam

tingkah laku yang terdapat dalam tindak pidana korupsi pada Pasal 3

tersebut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

152

Membuktikan unsur sifat melawan hukum pada Pasal 2

Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai

dengan mengungkapkan fakta-fakta oleh jaksa mengenai berbagai

ketentuan tertulis yang dilanggar, kemudian dibahas atau dianalisis

dalam requisitor. Pekerjaan menganalisis pembuktian dimulai

dengan memberi isi dan arti apa yang dimaksud dengan unsure

melawan hukum. Pada umumnya jaksa selalu memberikan arti

melawan hukum undang-undang. Hampir jaksa pasti mencari

sumber tertulis yang menyatakan atau membuktikan bahwa wujud

perbuatan memperkaya terdakwa sebagai melawan hukum tertulis.

Sumber hukum tertulis tersebut dicari di luar undang-undang tindak

pidana korupsi (Adami Chazawi, 2008: 309-310).

Bagian inti dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31

Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat serentak dapat menjadi

bukti. Hal ini dapat terjadi jika seorang pegawai negeri terbukti

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (bagian

inti dari Pasal 2 yang juga masuk dalam cakupan bagian inti dari

Pasal 3 dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi) yang dilakukan dengan menyalah gunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan (bagian inti dari Pasal 3 yang juga masuk

dalam cakupan bagian inti dari Pasal 3 yang juga masuk dalam

cakupan inti dari Pasal 2 secara melawan hukum) dan memenuhi

bagian inti yang sama dari Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut yaitu

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jika

dakwaan dari penuntut umum adalah dalam bentuk alternatif pada

kasus yang diterapkan bukan ajaran logische specialiteit, tapi

concurcus idealis (eendaadse samenloop) seperti yang diatur dalam

Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

153

yang berbunyi ”jika satu perbuatan masuk dalam lebih dari satu

aturan pidana maka yang dikenakan hanya salah satu diantara

aturan-aturan itu jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat

ancaman pidana yang paling berat” (Amin Sutikno, 2007: 30).

Sedikit sekali tindak pidana yang mencantumkan unsur

melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal 2, 12e

dan 23 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal

429 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 23 jo Pasal

430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) . Dengan

demikian hanya ada 4 (empat) pasal tindak pidana korupsi yang

tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Perbuatan yang

dilarang pada Pasal 3 dirumuskan dengan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan dan sarana. Pada perbuatan

menyalahgunakan kewenangan secara terselubung di dalamnya

terdapat sifar melawan hukum. Setiap menyalahgunakan

kewenangan berarti sekaligus mengandung sifat melawan hukum.

Menyalahgunakan kewenangan artinya si pembuat tidak punya hak

untuk berbuat yang menyalahi kewenangannya. Namun,

sesungguhnya frasa menyalahgunakan kewenangan adalah juga

melawan hukum. Membuktikan adanya wujud tertentu perbuatan

menyalahgunakan kewenangan pada dasarnya adalah membuktikan

bahwa si pembuat tidak memiliki hak (melawan hukum) untuk

menyalahgunakan kewenangannya.

Demikian juga Pasal 23 jo Pasal 421 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) dalam rumusan tindak pidana menurut

ketentuan pasal ini mengandung sifat melawan hukum secara tersirat

dalam unsur perbuatan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam setiap

perbuatan menyalahgunakan kekuasaan selalu mengandung sifat

unsur melawan hukum. Membuktikan telah terjadinya

menyalahgunakan kekuasaan sama artinya membuktikan adanya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

154

sifat melawan hukum dalam mewujudkan bentuk konkrit dari

perbuatan tersebut. Si pembuat tidaklah mempunyai hak (melawan

hukum) untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Pasal 23 jo Pasal 429 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) menggunakan frasa ”melampaui kekuasaan atau tanpa

mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalan aturan hukum”.

Pasal 23 jo Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menggunakan frasa”melampaui kekuasaannya”. Hanya dalam Pasal

2 dan Pasal 12e Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-

undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang secara tegas menggunakan frasa “melawan hukum”.

Semua istilah tersebut menggambarkan sifat tercela atau melawan

hukum perbuatan. Dengan menggunakan frasa yang berbeda yang

semuanya menggambarkan sifat tercelanya perbuatan tetap

mempuyai sisi yang berbeda dalam hal pembuktian. Uraian dalam

pembuktian dalam surat tuntutan mengenai unsur melawan hukum

yang tercantum dalam rumusan tersebut tidak harus dicari landasan

pada hukum tertulis saja. Akan tetapi dengan akal budi dan

ketajaman logika analisis seorang jaksa dapat mencari ketentuan

tertulis. Dapat dikatakan lebih mendekati pengertian perbuatan

melawan hukum perdata pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHperdt). Pengertian perbuatan melawan hukum

perdata dalam prakteknya juga digunakan dalam perbuatan melawan

hukun dalam pidana (Adami Chazawi, 2008: 306-307).

Bagian inti delik yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-

undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah melawan

hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Perbuatan melawan hukum ini dapat dijadikan bagian inti delik atau

sifat hukum khusus. Dengan demikian jika melawan hukum ini tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

155

terbukti maka putusan hakim adalah bebas. Hal ini berbeda dengan

rumusan Pasal 3 dimana perbuatan hukum melawan hukum tidak

dijadikan bagian inti delik (sifat melawan hukum umum atau diam-

diam). Dengan demikian walaupun rumusan delik telah terpenuhi

oleh terdakwa, tapi jika ditemukan alasan-alasan pembenar atau

pemaaf atas perbuatan terdakwa tersebut maka putusan hakim adalah

melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Indrianto Senoaji,

2007: 63). Untuk dakwaan yang disusun secara subsidaritas pada

asasnya dakwaan primair harus dibuktikan terlebih dahulu, jika

terbukti maka dakwaan subsidair tidak dipertimbangkan lagi. Jika

dakwaan primair tidak terbukti baru dakwaan subsidairnya

dibuktikan. Dalam Pasal 2 disebut sebagai pasal karet atau pasal

keranjang sampah. Hal ini maksudnya semua perbuatan korupsi

dapat masuk ke dalam Pasal 2 sebab ada rumusan melawan hukum.

Pasal 3 pun juga akan cocok dan masuk ke dalam Pasal 2 sebab

unsur penyalahgunaan jabatan atau wewenang sesungguhnya juga

perbuatan melawan hukum. Dengan meletakan Pasal 2 sebagai

dakwaan primair untuk perkara korupsi dengan sendirinya akan

menutup kesempatan pembuktian Pasal 3 sebagai dakwaan subsidier

karena penyalahgunaan wewenang atau jabatan dalam Pasal 3 itu

juga akan memenuhi unsur melawan hukum Pasal 2 dalam dakwaan

primair (Indrianto Senoaji, 2007: 65). Hal ini telah berimplikasi

terhadap sulitnya untuk menetapkan status hukum bagi pelaku

korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Penetapan menjadi tersangka dan terdakwa justru akan terhambat

dengan aturan hukum baik yang bersifat formil maupun materiil.

Hambatan yang lain adalah jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh

pelaku yang lebih dari 1 (satu orang) dan mereka saling mengadakan

kesepakatan bersama.

Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang

pembuat, tapi kadang-kadang dapat juga oleh beberapa orang.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

156

Mereka masing-masing disebut “peserta” itu mempunyai peranan di

dalamnya dengan ini akan menginjak ajaran penyertaan yang

termasuk persoalan yang sukar tetapi penting dalam hukum pidana.

Ajaran penyertaan itu menentukan tanggung jawab sebagai persoalan

pertanggung jawaban pidana. Pompe memandang penyertaan

(seperti juga pada “percobaan”) sebagai suatu bentuk khusus dari

tindak pidana (bijzandere veraschijningsvorm van hot strafbare feit),

oleh karena itu ”dapat dipidananya perbuatan” sebagaimana dalam

undang-undang diperluas (Winarno Budyatmo, 2009: 23).

Adapun bentuk-bentuk penyertaan berdasarkan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada 2 (dua) bentuk

penyertaan yaitu sebagai berikut:

1. Pembuat (dader) dalam Pasal 55; dan

2. Pembantuan dalam Pasal 56.

Dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) menyebutkan 4 (empat golongan) orang yang dipidana

sebagai pembuat ialah:

a. Mereka yang melakukan tindak pidana (pelaku atau pleger);

b. Mereka yang menyuruh lakukan tindak pidana (does pleger);

c. Mereka yang turut serta melakukan (medepleger);

d. Mereka yang dengan memberi dan menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakan kekuasaan ata martabat, dengan kekerasan

atau ancaman atau penyesatan dengan memberi kesempatan

sarana atau keterangan sengaja menganjurkan (membujuk)

orang lain supaya melakukan perbuatan (uitlokker)

Dalam pemidanaan mereka yang termasuk dalam 4 (empat)

macam pembuat itu tidak ada perbedaan. Pasal 56 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan siapa yang dipidana

sebagai pembentuk suatu kejahatan yaitu ada 2 (dua) golongan

sebagai berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

157

a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan;dan

b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

(Winarno Budyatmo, 2009: 23).

Pada Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) disebutkan:

“Dipidana sebagai pembuat delik: mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan,

mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan

menyalahgunakan kekusaan atau martabat dengan kekerasan

ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana

atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya

melakukan perbuatan”.

Dalam ayat (2) disebutkan:

“terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya”. Selanjutnya

dalam Pasal 56 disebutkan:

“(1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana

atau keterangan untuk melakukan kejahatan”. Dalam rumusan

hukum ini terdapat aktor-aktor yang terlibat pada tindak pidana

korupsi dana keuangan di daerah. Pelaku tersebut dapat berupa orang

yang melakukan, orang yang menyuruh lakukan, turut serta dalam

perbuatan dan penganjur. Terkait modus operandi korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di berbagai

daerah, Kepala Daerah merupakan pihak penganjur terhadap

penggunaan dana yang tidak dibebankan dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini menurut Penulis

terkait penganjuran telah memenuhi syarat sesuai pernyataan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

158

Winarno Budiyatmojo (2009: 41): Pertama, ada kesengajaan untuk

menggerakan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.

Kedua, dalam menggerakan tersebut harus menggunakan sarana-

sarana (upaya-upaya) seperti tersebut dalam undang-undang. Ketiga,

putusan kehendak dari pembuat materiil ditimbulkan karena hal

tersebut (Hazewinkel Suringa), ini mengenai persoalan psychische .

Keempat, yang digerakan melakukan tindak pidana atau percobaan

sebagai pelaksana dari timbulnya kehendak itu. Kelima, yang

dibujuk (pembuat materiil) harus dapat dipertanggung jawabkan

dalam hukum pidana. Penggunaan keuangan daerah tersebut dapat

berupa dana taktis yang dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan

pribadinya maupun untuk kegiatan oragnisasi tertentu. Kepala

Daerah selaku pemegang otoritas tertinggi juga mempunyai

wewenang untuk membuat kebijakan terkait proses dan penetapan

besar kecilnya pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh

pemerintah daerah. Selain itu dalam proses pembuatan peraturan

daerah dari pihak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) guna menetapkan besar kecilnya penggunaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk belanja daerah

banyak terjadi pelaku tindak pidana berupa turut serta dalam

membuat kebijakan bersama. Turut serta dalam perbuatan tindak

pidana tersebut juga dilakukan oleh para sekretaris daerah dalam

pembuatan administrasi daerah dan bendahara daerah terkait

pengeluaran keuangan daerah agar seolah-olah semua kegiatan dari

pejabat daerah sah berdasarkan hukum. Modus operandi korupsi

keuangan daerah akan menjadi makin rumit dengan adanya

gratifikasi agar meloloskan pasal-pasal titipan dari pihak-pihak

tertentu pada peraturan daerah dalam penetapan besar kecilnya

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihak yang

dapat menerima gratifikasi tersebut adalah para anggota Dewan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

159

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala daerah dan para pejabat

lainnya.

Ketentuan Pasal 38 A Undang-Undang No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat diperlukan

dalam pembuktian tindak pidana korupsi tentang gratifikasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) karena dalam rumusan

Pasal 12 B ayat (1) hanya disebutkan pegawai negeri atau

penyelenggara negara tidak ada menyebutkan terdakwa tindak

pidana korupsi sebagaimana dalam rumusan Pasal 37, 38 A, dan 38

B. Walaupun penyebutan terdakwa bagi pelaku tindak pidana

korupsi baru diberlakukan pada saat pemeriksaan di sidang

pengadilan, karena sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pelaku

tindak pidana korupsi yang disebutkan sebagai terdakwa adalah

seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang

pengadilan. Implikasi dari rumusan Pasal 38 A tersebut adalah

pembebanan beban pembuktian untuk perkara tindak pidana korupsi

tentang gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)

huruf a dan pembebanan beban pembuktian yang terbatas untuk

perkara tindak pidana korupsi tentang gratifikasi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf b tidak dapat dilakukan

pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan (Ermansjah

Djaja, 2008: 146). Dengan adanya proses penetapan kepada para

pelaku tindak pidana korupsi di daerah dan penetapan delik-delik

hukumnya sebagai alat penjerat pelaku tersebut, maka hasil akhir

akan ditentukan di dalam persidangan. Dialektika dan debat hukum

akan menjadi tolak ukur dari putusan yang akan dijatuhkan terhadap

tujuan hukum yang hendak dicapai, yaitu kepastian hukum,

kemanfaatan dan keadilan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

160

B. Sinergisitas Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dengan Konsep

Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Peradilan Umum

Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi Korupsi Mark Up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia

1. Kedudukan lembaga peradilan dan pengadilan dalam sistem hukum

di Indonesia

Sampai akhir tahun 2010 surat izin presiden masih menjadi

persoalan klasik dalam mengusut kasus korupsi yang melibatkan kepala

daerah. Dari sisi pelaku kalangan eksekutif tetap menjadi aktor utama

dalam beberapa korupsi yang ada (Kompas, 10 Desember 2010: hal. A).

Dalam upaya pemberantasan korupsi yang akan dan sedang dilakukan

oleh berbagai pihak dari aparat penegak hukum belum dapat mencapai

hasil yang dapat menjerat para pelaku untuk mendapatkan sanksi yang

tegas dan membuat efek jera. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai

aturan birokrasi yang tersistematis dan terstruktur dengan memanfaatkan

celah hukum dalam tata administrasinya. Proses penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh para penegak hukum

terjadi pada 2 (dua) instansi penegak hukum yang berbeda cara dan

strategi. Jika telaah lebih detail Penulis berpendapat adanya 2 (dua) tipe

proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan disebabkan oleh sistem

hukum ketatanegaraan di Indonesia. Kebijakan tentang kekuasaan

kehakiman berimplikasi terhadap fungsi dan kedudukan terhadap adanya

pembentukan pengadilan khusus yang harus berada dibawah Peradilan

Umum. Permasalahan timbul ketika Peradilan Umum juga melaksanakan

fungsi dan kinerja yang dilakukan oleh adanya pengadilan khsusus.

Konsekuensi dari kebijakan kekuasaan kehakiman dibawah satu

atap Mahkamah Agung (MA) yaitu:

1. Hanya ada 4 (empat) peradilan yaitu peradilan umum, peradilan

militer, peradilan agama, dan peradilan Tata Usaha Negara;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

161

2. Pembentukan badan-badan peradilan di luar 4 (empat) lingkungan

peradilan itu harus berada dibawah salah satu peradilan tersebut; dan

3. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan khsusus harus mengikuti

salah satu aturan hukum acara di 4 (empat) lingkungan peradilan

tersebut. (Komariah Emang Sapardjaja, 2005: 22).

Secara umum pada dasarnya dalam setiap lembaga peradilan

tujuan utamanya untuk menciptkan keadilan. Keadilan ini tidak hanya

akan memberikan hak-hak kepada tersangka maupun terdakwa ketika

vonis dijatuhkan, akan tetapi keadilan ini harus dipandang sebagai

keadilan yang bersifat public order dengan mengacu pada terciptanya

ketertiban dalam masyarakat. Di setiap daerah terdapat peradilan dan

bentuk-bentuk pengadilan khusus sesuai denga jurisdiksi hukumnya

masing-masing sebagai upaya penegakan hukum. Pola penegakan hukum

pidana tidak hanya dipengaruhi oleh professional dan tidaknya aparat

penegak hukum dalam menjerat para pelaku tindak pidana kejahatan,

akan tetapi juga akan dipengaruhi oleh budaya dan sistem yang

digunakan dalam lembaga tersebut.

Menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang cocok bagi

Indonesia adalah model yang mengacu kepada “dader-dader stratrecht”

yang disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model

yang mengacu realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan

yang harus dilindungi oleh hukum pidananya demi kepentingan negara,

kepentingan umum, kepentingan individu, dan kepentingan korporasi

kejahatan (Romli Atmasasmita, 2010: hal.13). Hal ini telah

mengindikasikan Indonesia telah mempunyai konsep dan karakteristik

tersendiri dalam penegakan hukum baik dalam tataran keadilan,

kepastian maupun kemanfaatan. Konsep tersebut telah diderivatifkan

dalam tata urutan kekuasaan kehakiman baik secara hubungan instruktif

maupun koordinatif dengan muara tertinggi di Mahkamah Agung (MA).

Analisis Penulis jika berdasarkan fungsi dan kedudukan dalam

perspektif kekuasaan kehakiman, maka adanya pengadilan ad hac Tindak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

162

Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bentuk pengadilan khusus yang

berada di bawah Peradilan Umum. Keduanya baik Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum juga sama-sama

melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada

Peradilan Umum biasanya dilakukan di Pengadilan Negeri pihak yang

menangani perkara berasal dari pihak kepolisian dan kejaksaan.

Disamping itu pada Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

pihak yang menangani perkara adalah mutlak dan hanya dilakukan oleh

para petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disetujui Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) pada tanggal 29 September 2009 mengamanatkan agar

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk di setiap ibu kota

kabupaten atau kota. Sedangkan dalam aturan peralihannya disebutkan

dalam jangka waktu dua tahun, maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) akan dibentuk disetiap provinsi. Sebagai tindak lanjut pada

tahap awal Mahkamah Agung (MA) akan membentuk Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi (Tipikor) di tujuh provinsi yakni, Bandung, Semarang,

Surabaya, Medan, Palembang, Samarinda dan Makassar. Untuk itulah,

Mahkamah Agung (MA) tengah melakukan seleksi hakim ad hoc untuk

mengisi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di tujuh daerah itu

baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding. Posisi calon hakim ad

hoc yang dibutuhkan sebanyak 61, yaitu untuk mengisi kursi hakim ad

hoc tingkat I sebanyak 28 orang, hakim ad hoc tingkat banding 28 orang

dan tingkat kasasi 5 orang

(http://antikorupsi.org/indo/content/view/16175/8/ diakses tanggal 30

Januari 2011 pukul 21.00 WIB).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) butuh tambahan penyidik

dan jaksa untuk mengantisipasi terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) di daerah. Sedikitnya ada 20 orang penyidik dan 12

jaksa yang akan direkrut. Ada tiga lokasi yang akan dijadikan tempat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

163

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni Bandung, Semarang

dan Surabaya. Tiga kota tersebut akan menjadi pusat peradilan bagi

perkara tindak pidana korupsi di masing-masing provinsi. Jika ada

perkara di lokasi lain, semua akan terpusat di Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat

(http://www.detiknews.com/read/2010/11/03/225629/1484829/10/pengad

ilan-tipikor-di-daerah-terbentuk-kpk-tambah-penyidik-jaksa/ diakses

tanggal 30 Januari 2011 pukul 21.30 WIB). Dengan adanya penambahan

pihak penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat

memberikan optimalisasi terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Jaksa

sebagai penyidik tambahan yang sudah terlepas dari instansi kejaksaan

sendiri dalam membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan

dapat mempercepat upaya pemberantasan korupsi di daerah.

2. Sinergisitas dan koordinasi antara aparat penegak hukum sebagai

upaya pemberantasan korupsi

Keterkaitan manajemen penanganan perkara tindak pidana

korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan

Kepolisian dalam hal koordinasi dan supervisi yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh kejaksaan dalam

sistem hukum nasional dapat dilihat dari:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan Republik

Indonesia dalam sistem ketatanegaraan. Sebagai badan yang

terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

jo. Pasal 41 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman) dengan fungsi yang sangat dominan

sebagai penyandang asas dominus litis. Pengendali proses

perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan

sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan berdasarkan alat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

164

bukti yang sah menurut undang-undang dan sebagai executive

ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan

dalam perkara pidana;

b. Pasal 1 butir 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah

Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk

melakukan penuntutan; dan

c. Pasal 2 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia yang menempatkan posisi dan fungsi

kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan

yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari

pengaruh kekuasaan pihak manapun.

2. Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan

penuntutan oleh kejaksaan sering timbul permasalahan antar

lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:

a. Koordinasi berkas perkara antara kejaksaan dan penyidik

kepolisian pada tahap pra penuntutan;

b. Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara kejaksaan

dan pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama

pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan

berkas perkara ke pengadilan; dan

c. Dualisme kewenangan penuntutan antara kejaksaan dan Komisi

Pemberantasan (KPK) terhadap perkara tindak pidana korupsi.

3. Bahwa permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang

tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan

kejaksaan yaitu:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

165

a. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menimbulkan

permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan

kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu

kepolisian dalam hal penyidikan dan pengadilan dalam proses

peradilan.

b. Kedudukan kejaksaan dalam konteks hukum nasional

berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia menempatkan lembaga ini berada

di lingkungan eksekutif yang menyebabkan kejaksaan tidak

mandiri dan independen.

c. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh undang-undang

baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan.

Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Keputusan Presiden

(Keppres) No. 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-

Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan yang demikian besar

berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin

membengkak yang mengesampingkan asas dominus litis

(sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar

(kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah

(http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=

35&idke=0&hal=1&id=56/ diakses tanggal 30 Januari 2011

pukul 21.30 WIB).

Adapun data terkait dengan bentuk dan hasil koordinasi

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan

instansi penengak hukum lainnya selama satu tahun di tahun 2010 yaitu

sebagai berikut:

Bulan Jawaban Gelar Perkara Analisis Pelimpahan Total

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

166

Permintaan Penyidik

POLRI Kejaksaan

POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan

Januari 9 6 - - - - - - 15

Februari 2 15 - - - - 5 10 32

Maret 2 5 1 - - - 3 4 15

April 10 9 - - - - 3 - 22

Mei 3 13 1 - - - - - 17

Juni 12 17 - - 1 - - - 30

Juli 4 12 1 8 - - 4 - 29

Agustus 1 6 - - 2 4 - - 13

September 3 8 - - - 6 - - 17

Oktober 9 9 - - 3 1 - - 22

November 5 15 5 5 1 7 - - 38

Desember 4 11 13 12 - - - - 40

Jumlah 64 126 21 25 7 18 15 14 290

Sumber: Data dan Notulensi Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) pada tanggal 31 Januari 2011 pukul 10.00 WIB

Berdasarkan data tersebut diatas dapat dicermati perbandingan

antara jawaban pihak penyidik di kepolisian dan kejaksaan terdapat

perbandingan dari waktu ke waktu. Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat melakukan

koordinasi dengan pihak aparat penegak hukum lainnya guna menelaah

lebih lanjut terhadap pada penanganan kasus yang dihadapi. Dengan

mengadakan fungsi koordinasi ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

akan mendapatkan bahan referensi maupun gagasan baru terkait masalah

korupsi yang dihadapi. Dengan mengetahui adanya gelar perkara yang

sudah dilaksanakan, analisis dan pelimpahan kasus yang ditangani oleh

penyidik lain akan berdampak tambahan referensi data yang diperoleh,

sehingga dapat dijadikan telaah lebih lanjut bagi upaya pemberantasan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

167

korupsi yang sedang dan akan ditangani oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK).

C. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Pengadilan Ad Hoc

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sebagai Upaya Pemberantasan Modus

Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) di Indonesia

1. Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam jurisdiksi

Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat tugas, wewenang dan kewajiban

dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebagai berikut:

Pasal 6

”Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”

Pasal 7

“Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

168

d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi”

Pasal 8

”(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan take over mechanism

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan, sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”.

Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidik melaksanakan fungsi

penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika penyelidik dalam melakukan

penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan

tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja

terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,

penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

169

Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan

sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada

informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan

baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dalam hal penyelidik

melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup,

penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan.

Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang

diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam

hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang

berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan lain. Dalam hal suatu tindak pidana

korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum

melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan

penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib

memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling

lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya

penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara

terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan

penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau

kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal

penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau

kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidikan yang

dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.

Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Penuntut umum melaksanakan fungsi penuntutan tindak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

170

pidana korupsi. Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari

penyidik paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak

tanggal diterimanya berkas tersebut wajib melimpahkan berkas perkara

tersebut kepada Pengadilan Negeri (Ermansjah Djaja, 2008: 224-227).

Kewenangan Jaksa Agung sebagai koordinator sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 39 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 telah

menjadi gugur dengan diterbitkannya Undang-Undang No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 42 yang berbunyi:

”Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan

dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi yang dilakukan bersam-sama oleh orang yang tunduk

pada peradilan militer dan peradilan umum”. Penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan tindak pidana korupsi yang bersifat koneksitas harus

mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Bab XI, Pasal 89

sampai dengan Pasal 94 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), karena rumusan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.30

Tahun 2002 berbunyi sebagai beikut: ”Penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara

pidana yang berlaku….” (Ermansjah Djaja, 2008: 160). Dengan

demikian jelas dalam penanganan kasus korupsi pihak Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki otoritas yang besar dalam

menyelesaikan setiap kasus korupsi. Kewenangan dan hukum acara yang

dimiliki akan menjadikan proses pembuktian kepada para pelaku tindak

pidana korupsi akan menjadi semakin mudah.

Dalam undang-undang korupsi menganut sistem pembuktian

negatif yaitu untuk dapat menghukum terdakwa korupsi harus dipenuhi

setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan

bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah

melakukannya (Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) jo Pasal 6 Undang-Undang No.4 Tahun 2004). Sedangkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

171

alat-alat bukti sah yang dapat dipergunakan untuk pembuktian ada 5 (

jenis) yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)). Dalam pembuktian korupsi memperkenalkan

penggunaan bukti-bukti baru yang diperoleh dan sarana elektronik dan

teknologi informasi. Dalam Pasal 26 A disebutkan yaitu sebagai berikut:

”Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”. (Amin Sutikno, 2007: 67).

Proses pembuktian yang dilakukan oleh para penyidik dari

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alat-alat bukti yang

semakin modern menuntut adanya keahlian khusus bagi penyidik

tersebut. Bukti-bukti yang akan dihadirkan dalam persidangan akan

menjadi dasar hukum untuk menetapkan para pelaku menjadi tersangka,

terdakawa atau bahkan sampai kepada terdakwa.

Berpijak dari pengertian sistem pembuktian dan pembebanan

pembuktian, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih

mengacu pada sistem pembebanan pembuktian (burden of proof). Pada

dasarnya sistem pembuktian sama dengan memberlakukan Pasal 183

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya bagi

hakim dengan menilai alat-alat bukti. Standar yang harus diturut untuk

menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ini

merupakan ketentuan azas pokok atau fondasi hukum pembuktian acara

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

172

pidana yang tidak dengan mudah disampingi oleh hukum pembuktian

dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik.

Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian

terbalik (Adami Chazawi, 2008: 110).

Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi

terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37A,

Pasal 38. Jika ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas dicermati,

maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana korupsi tentang

pembuktian membedakan antara 3 sistem. Pertama sistem terbalik,kedua

sistem biasa (seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), kewajiban pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan prinsip

negatif berdasarkan Undang-undang yang terbatas). Ketiga semi terbalik

atau bisa juga disebut sistem berimbang terbalik (Adami Chazawi, 2008:

112).

2. Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian kepada para pelaku

mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam

perspektif Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

Dalam segi kualitas dan profesionalisme antara pihak penyidik

yang terdapat di peradilan umum dengan pihak penyidik yang terdapat di

pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung memiliki

perbedaan. Salah satu bentuk kelebihan yang dimiliki oleh pihak

penyidik dari pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) adalah

profesionalisme dan mekanisme yang konkrit dalam menetapkan para

pelaku tindak pidana korupsi dengan delik-delik hukum yang

memberikan sanksi tegas dalam setiap putusannya. Konsep penyidikan

yang dilakukan oleh pihak kejaksaan di peradilan umum dalam praktek

tidak dapat berjalan dengan maksimal yang menyebabkan pola

pemberian sanksinya juga kurang tegas. Hal ini dapat terbukti dengan

masih banyaknya para pelaku korupsi yang di vonis bebas. Adapun

terkait jumlah perkara korupsi dan jenis putusannya adalah sebagai

berikut:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

173

No. Jumlah Perkara Korupsi Tahun

2008-2009 Jumlah Perkara Persentase (%)

1. Jumlah perkara korupsi 1.332 100%

2. Jumlah perkara belum diputus 63 4,73 %

3. Jumlah perkara sudah diputus 1.269 95,27%

4. Jumlah perkara korupsi yang

dihukum

1.055 83,14%

5. Jumlah perkara korupsi diputus

bebas

214 16,86%

Sumber:http://pakangean.net/index.php?option=com_content&view=arti

cle&id=118%3Ama luruskan-data-vonis-bebas-korupsi-milik-

icw&Itemid=28

Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (PUKAT

UGM) melansir rekor penja tuhan vonis terberat berada di tangan

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tiga kasus teratas yang

dijatuhi vonis terberat adalah kasus pajak PT Bank Jabar Banten dengan

terdakwa Eddi Setiadi, bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan

Pajak dengan vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juui subsider 6

bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor). Kasus suap di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI

Jakarta dengan terdakwa hakim Ibrahim dengan vonis 6 tahun penjara

dan denda Rp 200 juta rupiah yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor). Kasus lainnya adalah pembangunan lapangan terbang

di Kabupaten Banyuwangi dengan terdakwa bekas Bupati Samsul Hadi

berupa vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta rupiah subsider 2

bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi (PN Banyuwangi)

Di samping itu, rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri dan

tinggi adalah 1 tahun 5 bulan, Mahkamah Agung (MA) 2 tahun.

Sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 4 tahun 5 bulan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

174

Sektor yang paling sering dijadikan ajang korupsi masih ditempati oleh

pengadaan barang dan jasa yang ditemukan ada 33 kasus. Sementara itu,

peringkat kedua diambil oleh sektor kesejahteraan sosial dengan 13

kasus. Sedangkan posisi ketiga, menjadi milik sektor Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pendidikan dengan torehan

angka masing-masing 10 kasus. (http://bataviase.co.id/node/432207/

diakses tanggal 5 Maret 2011 pukul 14.00 WIB).

Adanya pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam

ketentuan Pasal 37 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-

undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dengan delik gratifikasi Pasal 12B maka korelasinya pembalikan

beban pembuktian pada ketentuan Pasal 37 berlaku pada tindak pidana

suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 atau lebih

(Pasal 12 B ayat (1) huruf a ). Kemudian korelasinya dengan Pasal 37 A

ayat (3) bahwa pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal

37 berlaku dalam aspek pembuktian tentang sumber (asal) harta benda

terdakwa dan lain-lain perkara pokok sebagaimana pasal-pasal yang

disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 A in casu hanya terhadap tindak

pidana korupsi suap gratifikasi yang tidak disebutkan dalam ketentuan

Pasal 37 A ayat (3) (Lilik Mulyadi, 2007: 41).

Dalam rumusan Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang No.20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat

ketentuan: “….harta benda miliknya yang belum didakwakan…”,

maksud dari rumusan ketentuan tersebut adalah harta benda milik

terdakwa yang belum dimuat dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh

penuntut u. umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada

pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara a contrario terhadap ketentuan

yang dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (1) dapat diketahui jika dari hasil

penyidikan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata

berhasil diungkap tentang harta benda yang diduga dari hasil tindak

pidana korupsi, maka secara pasti harta benda milik terdakwa harus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

175

didakwakan dan dimaksudkan dalam surat dakwaan penuntut umum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dalam surat dakwaan belum

dimasukan mengenai harta benda milik terdakwa yang diduga hasil

tindak pidana korupsi disebabkan dari hasil penyidikan belum berhasil

mengungkap semua atau baru terungkap sebagian saja harta benda milik

terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi dan baru dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan harta benda milik terdakwa terungkap

sebagai hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam pembuktian harta benda

milik terdakwa yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi yang sudah

dimasukan dalam surat dakwaan dan sudah dibacakan oleh penuntut

umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan di

sidang pengadilan. Pembuktiaannya tetap menjadi kewajiban penuntut

umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

bahwa: “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban

pembuktian”(Ermansjah Djaja, 2008: 150). Dengan demikian berarti

pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang

dimaksudkan dalam Pasal 38 B ayat (1) tidak diberlakukan pada semua

pembuktian harta milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi

sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal

14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal

12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

Undang No.31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Akan tetapi hanya diberlakukan pada pembuktian terhadap harta

benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi

sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal

14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang

Penberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal

12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang belum didakwakan dan belum dimasukan dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

176

surat dakwaan yang sudah dibacakan oleh penuntut umum Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan di sidang pengadilan.

Implikasi dari diberlakukannya ketentuan pembalikan beban

pembuktian atau pembuktian terbalik terhadap harta benda milik

terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang belum

didakwakan sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang

No.20 Tahun 2001, sehingga dirumuskan dalam Pasal 38 B ayat (2) yang

menentukan bahwa dalam hal terdakwa yang belum didakwakan adalah

bukan dari hasil tindak tindak pidana korupsi, maka harta benda milik

terdakwa tersebut dianggap diperoleh dan hakim berwenang memutuskan

seluruh aau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara, karena

hakim oleh Pasal 38 B ayat (2) telah diberi kewenang untuk itu. Akan

tetapi sangat perlu diperhatikan bahwa hakim baru dapat memutuskan

untuk merampas seluruh atau sebagian harta benda tersebut untuk negara,

jika ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 B ayat

(3), ayat (4), dan ayat (5) sudah dilaksanakan. Rumusan Pasal 38 B ayat

(3) menentukan bahwa tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa

yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang belum didakwakan

sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) diajukan oleh penuntut umum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat membacakan surat

tuntutan pada pokok perkara di sidang pengadilan. Keterkaitan langsung

antara Pasal 38 B ayat (3) dengan Pasal 38 B ayat (2) mengenai

kewenangan hakim memutuskan tentang perampasan harta benda milik

terdakwa, karena hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya

untuk suluruh atau sebagian harta benda milik terdakwa hasil tindak

pidana korupsi dirampas untuk negara tanpa adanya atau tidak

memberikan kesempatan kepada penuntut umum Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan perampasan harta benda

milik terdakwa tersebut. Hal itu karena telah diatur sebagaimana dalam

Pasal 38 B ayat (4) dan ayat (5) yang harus lebih dahulu dipenuhi

sesudah penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

177

mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (3).

Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat

mengajukan tuntutan sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (3) dan dengan

demikian juga hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2) bilamana persyaratan

yang dianut di dalam Pasal 38 B ayat (1) belum dipenuhi. Adapun

persyaratan tersebut adalah:

1. Pada saat berlangsungnya pemeriksaan di sidang pengadilan telah

terungkap tentang adanya harta benda milik terdakwa yang diduga

dari hasil tindak pidana korupsi; dan

2. Harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi

tersebut belum dimasukan dalam surat didakwaan yang belum

dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) di sidang pengadilan

(Ermansjah Djaja, 2008: 150). Dengan demikian adanya

persyaratan tersebut telah berimplikasi bukan hanya penuntut umum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan akan

tetapi juga mempergunakan persyaratan ysng harus terlebih dahulu

dipenuhi sebelum hakim mempergunakan wewenangnya untuk

memutuskan seluruh atau sebagian harta milik terdakwa tindak pidana

korupsi dirampas untuk negara. Tuntutan perampasan dari harta benda

milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi yang harus dilakukan

pada saat dibacakan tuntutannya , pada pokok perkara. Dalam tuntutan

yang dilakukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) tidak memerlukan adanya pembuktian yang konkrit terhadap harta

benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi, tetapi yang cukup

dengan menyatakan ada indikasi bahwa harta tersebut berasal dari hasil

tindak pidana korupsi dan hal tersebut dapat diketahui dari pemerikasaan

yang telah diketahui di dalam persidangan. Problematika ini dapat

berpijak bahwa hanya terdakwa yang mempunyai kewajiban untuk

membuktikan harta tersebut bukan hasil dari tindak pidana korupsi.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

178

Disisi lain jika penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

juga telah menyatakan bahwa hasil harta benda tersebut merupakan hasil

tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara. Hal itu tetap tidak

akan menyalahi aturan hukum, akan tetapi semua tuntutan itu tergantung

dari terdakwa mampu atau tidak di sidang pengadilan harta tersebu bukan

merupakan dari hasil tindak pidana korupsi. Hal ini telah sesuai dengan

isi Pasal 38 B ayat (4) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:

“Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi”.

Pembuktian pemerikasaan di sidang pengadilan sebagaimana

diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) terdakwa tindak pidana korupsi atau penasehat

hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut

umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ketentuan bahwa

terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Jika di

dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak

pidana korupsi tidak berhasil atau gagal membuktikan bahwa harta benda

milik terdakwa tindak pidana korupsi bukan berasal dari hasil tindak

pidana korupsi, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2)

harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi dianggap diperoleh

juga dari hasil tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan

seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Akan

tetapi jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata

terdakwa tindak korupsi bukan berasal ndari hasil tindak pidana korupsi,

maka hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) hakim

tidak berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut

dirampas untuk negara. Putusan hakim tentang perampasan seluruh atau

sebagian harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi sebagai

putusan pidana tambahan putusan dijatuhkan bersama-sama dengan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

179

pidana pokok pada saat hakim memutuskan perkara pokok tindak pidana

korupsi.

Di dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B ayat (6) terdapat kata dan

kalimat sebagai beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan

hukum….”. Maka kata “dibebaskan” tersebut adalah sama sebagaimana

yang dimaksud di dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat

bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas

perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang dimaksud

dengan kalimat “lepas dari segala tuntutan hukum” tersebut adalah sama

sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka

terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 38 ayat (6) menjelaskan

bahwa : “Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 B ayat (6) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah alasan

logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari

segala tuntutan hakum dari perkara pokok berarti terdakwa bukan

pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”. Berhubung

terdakwa telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari

segala tuntutan hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka

harta benda milik terdakwa yang semula diduga berasal dari tindak

pidana korupsi tidak dapat dianggap sebagai diperoleh dari tindak pidana

korupsi, sehingga penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

belum dapat mengajukan tuntutan rampasan untuk negara terhadap harta

benda milik terdakwa tersebut (Ermansjah Djaja, 2008: 154-156).

Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang digunakan ketika

memberikan vonis terhadap para pelaku tindak pidan korupsi mark up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) tergantung dari unsur

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

180

kesalahan dari pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan

delik-delik hukum yang ada hubungannya dengan perbuatan pelaku,

sehingga putusannya akan dapat memberikan kepastian hukum.

Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-

hati dapat terjebak pada persoalan kelasalah administrasi atau kesalahan

prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau

kesalahan adminsitrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan

amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya

semata-semata merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan

administrasi sesungguhnya adalah tempat atau letak sifat melawan

hukumnya perbuatan dari sudut formal. Namun jika dari jika terjadi dari

kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis sebagai potensial

menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum memperkaya

sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal ini

disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-

undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul

bentuk kerugian (Adami Chazawi, 2008: 310). Dalam pemberian vonis

yang diberikan oleh hakim Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) banyak dipengaruhi oleh legal opinion yang dikonstruksi

sebelum vonis dijatuhkan. Penafsiran terhadap pemaknaan undang-

undang sebagai dasar hukum yang digunakan juga akan berpengaruh

terhadap vonis yang dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun

materiil juga harus digunakan oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan.

Dalam penjatuhan vonis tidaj hanya kepastian hukum saja yang

diperhatikan, akan tetapi juga tentang keadilan dan kemanfaatan.

Kepastian hukum disini bermakna dengan adanya vonis hakim akan

memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan akan memberikan efek jera.

Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan dasar pertimbangan

hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan setelah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

181

adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan dari

para pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.

D. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Peradilan Umum

Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi Korupsi Mark Up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia

1. Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam jurisdiksi

Peradilan Umum

Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (8) “Penyelidik adalah pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan penyelidikan”. Selanjutnya dalan ayat

(9) disebutkan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai

tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Dalam

ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan”. Dalam ayat (13) disebutkan “Penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya” (Yesmil Anwar, 2009: 141).

Berkenaan dengan tugas dari pihak kepolisian termuat dalam

Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia Pasal 14 ayat 1 point (g) melakukan penyelidikan dan

penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara

pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun

wewenangnya terdapat di Pasal 16 ayat 1 point (i) yaitu menyerahkan

berkas perkara kepada penuntut umum. Selain pihak kepolisian yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

182

punya jurisdiksi dalam pemberantasan korupsi di daerah adalah pihak

kejaksaan.

Dalam bidang pidana, maka pihak kejaksaan mempunyai tugas

dan wewenang yaitu sebagai berikut:

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang; dan

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik

(Marwan Effendy, 2005: 128).

Kewajiban jaksa disidang pengadilan ialah membuktikan tindak

pidana yang didakwakan. Tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-

undang selalu mengandung banyak unsur. Satu persatu unsur-unsur

tersebut dibuktikan. Hal yang harus dibuktikan adalah menggali untuk

mengungkap fakta-fakta mengenai terbuktinya setiap unsure tindak

pidana dan membahas unsur-unsur tindak pidana atau analisis hukum

dalam surat tuntutan (Adami Chazawi, 2008: 288).

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana disebutkan Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan penyidikan adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

183

dengan bukti itu membuat tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya (Yahya Harahap, 2002: 110-111).

Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara

Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penyelidikan ini. Selanjutnya dalam ayat (5) disebutkan

bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindakan

pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Dalam ayat (7)

disebutkan penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan

supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di persidangan (Hartono dkk,

2001: 25).

Adapun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik mempunyai wewenang yaitu

sebagai berikut:

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang adanya tindak

pidana;

2. menerima keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri; dan

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Selanjutnya atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan

berupa:

1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; dan

4. membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

184

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) disebutkan yang menjadi wewenang dari

penyidik adalah sebagai berikut:

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana;

2. melakukan tindakan pertama pada saat di temapt kejadian;

3. menyuruh berhenti seorang tersangka danmemerikasa tanda

pengenal diri tersangka;

4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sabagai tersangka

atau saksi;

8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan permeriksaan perkara;

9. mengadakan penghentian penyidikan; dan

10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

(Andi Hamzah, 2005: 235-236).

Berdasarkan Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) disebutkan yang menjadi wewenang dari penuntut

umum adalah sebagai berikut:

1. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau penyidik pembantu;

2. mengadukan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan;

3. memberika perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan perkaranya

dilimpahkan oleh penyidik;

4. membuat surat dakwaan;

5. melimpahkan perkara ke pengadilan;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

185

6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan

baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada

sidang yang telah ditentukan;

7. menutup perkara demi kepentingan umum; dan

8. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini

(Andi Hamzah, 2005: 238).

2. Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian kepada para pelaku

mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam

perspektif Peradilan Umum

Jaksa penuntut umum berkewajiban membuktikan tentang telah

terjadinya tindak pidana korupsi yang didakwakan dan dilakukan oleh

terdakwa serta terdakwa bersalah karena melakukannya. Objek yang

wajib dibuktikan oleh masing-masing pihak berbeda, tapi agar dapat

menguntungkan bagi pembuktian jaksa penuntut umum, maka hasil akhir

pembuktian dari terdakwa haruslah ada hubungannya dengan hasil

pembuktian jaksa penuntut umum. Indikator adanya hubungan itu adalah,

Pertama, terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang adanya

keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber pendapatannya atau

sumber penambahan kekayaannnya. Kedua, jaksa dapat membuktikan

bahwa menurut sifat dan keadaannya serta berdasarkan akal, tindak

pidana yang didakwakan menghasilkan kekayaan. Hubungannya itu

terletak dalam kenyataan terdakwa yang tidak seimbang dengan

penghasilannya atau sumber kekayaan penambahan pasti ada kekayaan

yang lebih atau diluar kekayaan yang sebenarnya. Kekayaan yang

demikian inilah sebagai kekayaan yang oleh jaksa dapat dibuktikan

diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagaimana indikator yang kedua.

Pada kenyataannya kekayaan yang demikian ini adalah kekayaan yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

186

tidak jelas sebab perolehannya atau tidak jelas asal usulnya. Sedangkan

untuk terdapat pada indikator yang kedua maka tindak pidana korupsi

yang didakwakan haruslah tindak pidana korupsi yang menurut sifat dan

kenyataannya dapat menghasilkan kekayaan. Oleh karena itu tidak akan

mungkin diperoleh indikator yang kedua apabila jaksa mendakwakan

tindak pidana korupsi yang menurut sifat dan keadaannya tidak mungkin

mendapatkan kekayaan. Tidaklah mungkin terdapat hubungan antara

ketidakberhasilan terdakwa membuktikan tentang kekayaan yang halal

dengan hasil pembuktian jaksa mengenai tindak pidana korupsi yang

menurut sifat dan keadaannya tidak mungkin akan mendapatkan

kekayaannya. Oleh karena itu ketidak berhasilan terdakwa membuktikan

tentang sumber kekayaan yang halal tidak mungkin dapat dipergunakan

untuk memperkuat alat bukti jaksa bahwa terdakwa telah melakukan

korupsi. Dengan adanya dua indikator itulah, maka ketidak berhasilan

terdakwa membuktikan adanya keseimbangan antara kekayaan dengan

sumber pendapatannya atau sumber penambahan kekayaannya dapat

digunakan oleh jaksa untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa

terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Syarat dapatnya

memperkuat ialah jaksa telah menggunakan minimal dua alat bukti yang

sah. Apabila hasil pembuktian jaksa penuntut umum tidak memenuhi

syarat minimal pembuktian, maka tentu saja keadaan ketidakberhasilan

terdakwa membuktikan itu tidak dapat digunakan untuk memperkuat alat

bukti yang telah diajukan jaksa. Sebaliknya apabila hasil akhir

pembuktian oleh terdakwa dan jaksa penuntut umum tidak ada hubungan

indikator yang pertama dan indikator yang kedua tidak ada, maka jaksa

tidak menggunakan hasil pembuktian terdakwa yang demikian untuk

memperkuat alat bukti yang sudah ada mengenai tidak pidana yang

didakwakan. Dengan demikian, hasil pembuktian terdakwa tersebut tidak

dapat dipergunakan oleh jaksa untuk menuntut agar harta benda terdakwa

dijatuhkan pidana perampasan barang untuk negara (Adami Chazawi,

2008: 147-149). Dalam ruang lingkup peradilan umum yang mempunyai

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

187

kewenangan pertama kali adalah pengadilan negeri sebagai penentu akhir

dalam penetapan para pelaku tindak pidan korupsi mark up Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihak kepolisian sebagai

penyelidik harus melakukan fungsi koordinasi terhadap pihak kejaksaan

sebagai penyidik dalam setiap penanganan kasusnya.

3. Dualisme Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Dari

Peradilan Umum dan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi Mark Up

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Daerah

Hukum pidana merupakan hukum publik oleh karena itu yang

dipertimbangkan adalah kepentingan publik. Di dalam hukum pidana

ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup

bermasyarakat. Ada 3 (tiga) teori yaitu sebagai berikut:

1. Teori imbalan artinya dasar hukum pidana dicari dari kejahatan itu

sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang

lain, sehingga imbalan si pelaku juga harus diberi imbalan;

2. Teori maksud atau tujuan artinya adalah hukum dijatuhkan untuk

melaksanakan maksud atau tujuan hukum untuk memperbaiki

kehidupan masyarakat sebagai akibat jahat; dan

3. Teori gabungan artinya penjatuhan hukuman untuk mempertahankan

tata hukum dan masyarakat serta memperbaiki pribadi si penjahat

(Cecep Effendi, 2005: 22).

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum menjadi tiga

yaitu total enforcement, full enforcement dan actual enforcement. Total

enforcement adalah penegakan hukum sebagaimana yang dirumuskan

atau dituliskan oleh hukum pidana materiil atau hukum pidana

substantive atau substantive of crimes. Full enforcement adalah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

188

penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak

hukum. Actual enforcement adalah melakukan penegakan hukum yang

tersisa dan belum dilakukan oleh dua tahap tersebut diatas (Waluyadi,

2009: 2). Upaya penegakan hukum yang harus dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam

pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) di daerah terdapat hambatan yang signifikant, sehingga

menyebabkan lambatnya pemberantasan korupsi di daerah. Semua aparat

penegak hukum dari tingkat pusat hingga di daerah sama-sama

mempunyai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Justru

adanya jurisdiksi yang dimiliki oleh masing-masing aparat penegak

hukum tersebut akan berdampak bagi stagnanisasi dalam penindakannya.

Walaupun terdapat upaya koordinasi yang harus dilakukan, tetapi dalam

praktek sulit untuk direalisasikan karena masing-masing instansi penegak

hukum punya wilayah hukum yang wajib dilaksanakan dan akan

cenderung untuk menjaga martabat lembaganya masing-masing. Wilayah

hukum yang telah ada justru menjadi penghambat utama bagi

pelaksanaan proses hukum guna menjerat para pelaku korupsi di daerah.

Banyaknya dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pejabat daerah yang sering

dilaporkan masyarakat seringkali mentok ditingkat kepolisian dan

kejaksaan setempat. Hal ini menunjukan ketidak seriusan aparat penegak

hukum di daerah dalam upaya pemberantasan korupsi (Irfanudin, 2008:

69).

Mengenai minimnya aparat kepolisian dan kejaksaan yang

ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghadapi

kendala. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat memilih-

milih kasus mana yang harus ditangani. Apalagi berdasarkan siapa yang

terlibat di dalamnya. Adapun mengenai keberadaan penyidik Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berasal dari kejaksaan dan

kepolisian dapat menyebabkan minimnya penanganganan kasus yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

189

akan ditangani oleh kedua lembaga tersebut. Hal itu dapat menjadi

hambatan dalam menangani perkara, tapi bukan menjadi faktor

penghambat yang utama. Dengan hal itu Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) lebih memilih penyidik yang independent (Media Indonesia, 9

Maret 2011, hal. 4). Kredibilitas dan kapabilitas dari pihak penyidik yang

dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga akan menjadi

faktor penentu bagi berhasil dan tidaknya dalam penetepan kepada para

pelaku korupsi di daerah. Pihak penyidik yang berasal dari kepolisian dan

kejaksaan belum mampu memberikan kontribusi dalam menetapkan para

pelaku dari tersangka menjadi terdakwa. Selain masalah tersebut,

penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jumlahnya relatif

lebih sedikit disbanding dengan penyidik dari kejaksaan. Keterbatasan

jumlah penyidik ini juga akan berpengaruh pada pergerakan dan infiltrasi

penyidikan yang akan dilakukan di daerah menjadi berkurang. Adanya

tumpang tindih yang terjadi dalam menetapkan para pelaku tindak pidana

korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan

kurangnya pihak penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

akan menyebabkan tidak jelasnya mekanisme dari aparat penegak hukum

dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dari tahun ke tahun upaya

pemberantasan korupsi makin mengalami penurunan dan antara penegak

hukum yang satu dengan yang lain kurang ada koordinasi yang jelas.

Adapun terkait tren korupsi yang melibatkan kuantitas kasus dan

komparasi bagi para penegak hukumnya sebagai berikut:

Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Semester I Semester II Jumlah kasus: 176 Jumlah kasus: 272 Kerugian negara: Rp 2,1 triliun Kerugian negara: Rp 1,5 triliun Jumlah korupsi: 441 orang Jumlah korupsi: 716

Sektor Korupsi Sektor Korupsi Keuangan daerah: 38 kasus Keuangan daerah: 44 kasus Infrastruktur: 32 kasus Infrastruktur: 53 kasus

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

190

Sosial kemasyarakatan: 20 kasus Pejabat pelaksana teknis kegiatan

Aktor Aktor Komisiaris atau direktur perusahaan swasta

Karyawan atau staff pemerintah daerah

Kepala kantor atau kabag atau kasubag

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Pejabat pelaksana teknis kegiatan

Penganganan kasus Penanganan kasus

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 9

Kepolisian: 25 Kepolisian: 37 Kejaksaan: 137 Kejaksaan: 226

Sumber: Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3

Berdasarkan dari data tersebut maka terlihat bagi aparat penegak

hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih relatif sedikit

dalam penanganan korupsi di daerah. Pihak kepolisian dan kejaksaan

justru lebih banyak dalam penanganan kasus korupsi. Vonis yang

dijatuhkan di Peradilan Umum belum menunjukan adanya sanksi yang

tegas bagi para pelaku korupsi di daerah. Upaya pemberantasan korupsi

yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih

mengalami kelemahan terkait data yang masih berada di pihak kepolisian

dan kejaksaan belum tersentuh untuk dilimpahkan. Pihak kepolisian dan

kejaksaan sulit untuk menyerahkan berkas dan data ke Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) disebabkan kedua lembaga tersebut

menganggap mampu untuk menanganinya sendiri setiap kasus yang

ditangani. Disisi lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak

akan mengambil alih kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum

yang lain sebelum ada penyerahan data bersamaan dengan pelimpahan

kasus yang sedang ditangani. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

telah ada kewenangan guna mengambil alih kasus yang sedang ditangani

oleh aparat penegak hukum yang lain. Aturan yuridis yang dimiliki oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

191

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat dalam Pasal 8 ayat (2)

Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), akan tetapi dalam praktek sulit untuk dilaksanakan

mengingat pihak kejaksaan juga ingin menjaga kehormatan lembaganya

dalam penganganan kasus korupsi di daerah. Hal yang menjadi kendala

lain adalah tidak adanya parameter yang tepat terkait waktu pengambilan

alihan dari penegak hukum yang satu dengan yang lainnya. Parameter

yang tidak jelas tersebut menyebabkan lambatnya proses penegakan

hukum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelesaikan

kasus korupsi di daerah.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

192

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi merupakan senjata pamungkas guna menjerat para

pejabat daerah terkait perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan

jabatan serta wewenang yang dimilikinya untuk diseret dalam

persidangan. Akan tetapi pasal tersebut merupakan pasal “keranjang

sampah” dan pasal “roda bekas” yang dijadikan bahan untuk disalah

interpretasikan dan diputar balikkan fakta hukumnya ketika di dalam

persidangan agar para pelaku mark up korupsi di daerah tidak

mendapatkan hukuman berat dan bahkan agar dapat lepas dari kasus

korupsi yang didakwakan kepadanya. Dalam penyusunan, perumusan

dan penetapan besar kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) telah dimanfaatkan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dan para pejabat daerah demi kepentingan pribadi dan /

atau golongan tertentu. Manipulasi dengan mengubah pergeseran besar

kecilnya keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) telah menimbulkan celah terjadinya korupsi dengan modus

operandi mark up, sehingga banyak merugikan keuangan daerah pada

khususnya dan keuangan negara pada umumnya. Jika dikaitkan dengan

adanya unsur pembuktian, maka unsur sifat melawan hukum dari para

pelaku korupsi keuangan daerah hanya diperlukan ketika merupakan

suatu delik dalam unsur pidana dengan cara menganalisis hukum

mengenai pengertiannya yang tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur

delik hukum yang akan dibuktikan. Hal ini juga akan berimplikasi

terhadap penetapan dari sifat melawan hukum baik secara materiil

maupun formil. Sifat melawan hukum materiil positif yang terkandung

dalam unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana tertentu tidak

sama artinya dengan tindak pidana dari sudut materiil positif.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

193

2. Bahwa dalam penanganan kasus korupsi di daerah masih terdapat

dualisme dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari

pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan

Umum yang menyebabkan tidak berjalan efektifnya upaya penegakan

pemberantasan korupsi di daerah. Pihak penyidik dan penuntutan dari

Peradilan Umum berasal dari kejaksaan Republik Indonesia. Sedangkan

pihak penyelidikya berasal dari kepolisian. Kendala akan timbul jika

terjadi perbenturan kepentingan dari lembaga masing-masing pada tahap

penyidikan dan penuntutan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan pihak

kejaksaan. Dengan demikian berkurangnya eksistensi kewenangan dari

pihak kejaksaan selaku dominus litis yang berlaku universal disebabkan

masih adanya tumpang tindih dalam prosedur dan landasan normatifnya

dengan pihak penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan

menjadikan permasalahan dalam menjerat dan menetapkan sanksi hukum

terhadap para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD).

B. Saran

1. Sebaiknya Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo

Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi direvisi dengan menggunakan batas minimal hukuman

harus ditambah dari 4 tahun menjadi 9 tahun mengingat kerugian negara

yang menjadi parameter sebesar 1 milliar rupiah.

2. Agar tidak terjadi overlapping dalam proses penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan dari pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aktor

penegakan hukumnya antara Peradilan Umum dengan Polisi dan Jaksa

sebagai aktor penegak hukumnya harus sering melakukan koordinasi dan

tidak boleh bekerja sendiri-sendiri. Dengan demikian sebaiknya pada

proses penyidikan jika pihak kepolisian dan kejaksaan sudah tidak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

194

sanggup membuktikan kasus korupsi di daerah harus segera diserahkan

kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa harus diambil

secara paksa, sehingga penanganan kasus korupsi dapat ditangani dan

divonis secara langsung dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi

(Tipikor).

3. Sebaiknya dari proses tahap perumusan, penyusunan, penetapan besar

kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan

pengambil kebijakan di antara Kepala Daerah dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus mendapat kontrol secara detail

dari Departemen Dalam Negeri dengan sinergisitas antara pihak Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) agar ketika terjadi celah kebocoran

anggaran dapat segera dicegah.

4. Dalam proses penetapan sanksi hukum kepada para pelaku koruptor mark

up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah

sebaiknya delik hukum yang berupa “perbuatan melawan hukum”,

“penyalahgunaan wewenang” dan “dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara” harus dapat disinergisitaskan dengan baik

agar dalam penetapan, penyidikan dan penuntutan hukum dapat

mencerminkan kepastian hukum, sehingga sanksi yang tegas akan

didapatkan oleh para koruptor terkait manipulasi keuangan di daerah.