perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI
(TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat
Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Zuhri Sayfudin
E0007251
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA
Disusun oleh:
ZUHRI SAYFUDIN
NIM: E0007251
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,......April 2011
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
R.Ginting. S.H,M.H Isharyanto, S.H, S.Hum NIP. 195801051984031001 NIP. 197805012003121002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI
PENDAPATAN DAN
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:
Har
Tangga
1. Ismunarno, S.H.,M.Hu(Ketua)
2. R.Ginting,S.H.,M.H (Sekretaris)
3. Isharyanto,S.H.,M (Anggota)
Dekan Fakultas Hukum UNS,
Moh
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA
Oleh:
ZUHRI SAYFUDIN
NIM. E0007251
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:
Hari : Senin
Tanggal : 29 April 2011
DEWAN PENGUJI
Ismunarno, S.H.,M.Hum :.................................................................
R.Ginting,S.H.,M.H :.................................................................
Isharyanto,S.H.,M.Hum :.................................................................
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum UNS,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum.
NIP. 19610930198601001 MOTTO
3
KORUPSI SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
ANGGARAN INDONESIA
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skrpsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:
.................................................................
.................................................................
.................................................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri (Q:S Ar-Ra’d:11)
Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu beberapa derajat (Q:S Al-Mujadilah:11)
Pejuang sejati tidak pernah mengenal kata akhir dalam perjuangan, tidak tidak
perlu gemuruh tepuk tangan, tidak lemah karena cacian, tidak bangga dalam
penghargaan
Hidup bukan hanya kembang kempisnya nafas, tapi nafas perjuangan itulah
makna kehidupan dan pengorbanan itulah jiwa dalam perjuangan
(Mas Say FH UNS 2007)
PERSEMBAHAN
Dengan kerja keras dan pengharapan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Karya Tulis ini kupersembahkan untuk :
1. Pada khususnya bagi para penegak hukum di negeri ini khsususnya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Penulis berharap dengan karya tulis ini akan
dapat memberikan kontribusi Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dalam upaya pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) daerah-daerah seluruh Indonesia.
2. Pada umumnya bagi negeri dan bangsaku Indonesia tercinta demi terjadi
reformasi hukum di seluruh penjuru negeri.
3. Orang tua tercinta Bapak Imam Jais dan Ibu Suyati dengan untaian doa,
tetesan air mata dan cucuran keringat dalam bekerja siang dan malam,
sehingga dapat menghantarkan Penulis pada harapan dan cita-citanya.
4. Ketiga kakak tersayang Penulis, Ismiati, Insiyah dan Siti Nurjanah yang
dengan ikhlas membantu biaya selama Penulis mencari ilmu dan
menyelesaikan kuliah. Selain itu motivasi dan support yang tiada henti disaat
Penulis mengalami hambatan dan masalah hidup selama menjalani kuliah.
PERNYATAAN
Nama : Zuhri Sayfudin
NIM : E0007251
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: ”
POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI
(TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM
PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA ”
adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, .... April 2011
Yang Membuat Pernyataan
Zuhri Sayfudin NIM. E0007251
ABSTRAK
Zuhri Sayfudin. E.0007251. 2010. POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA . Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Pada hakikatnya penelitian ini hendak menggali dan mengkaji secara detail akan efektivitas dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk pemberantasan korupsi di daerah. Kerugiaan keuangan daerah disebabkan dengan adanya modus operandi dengan cara mark up penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pejabat daerah dengan memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD untuk kepentingan pribadi dan/ atau golongan tertentu. Permasalahan utama pada penelitian ini adalah sulitnya menerapkan aturan hukum guna menjerat para koruptor yang telah merugikan keuangan daerah. Selain itu dalam penegakan hukumnya ada 2 (dua) instansi yang berperan dalam penyidikan dan penuntutan yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan. Hambatan timbul ketika tidak ada koordinasi yang baik. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan jenis penelitian normatif yaitu dengan mengkaji aturan hukum di Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) guna menjerat para pelaku korupsi di daerah. Sifat penelitian ini adalah preskriptif dengan menggunakan teori-teori hukum dalam memperkuat paradigma dan argumentasi agar tujuan hukum yang hendak dijalankan dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi dapat memberikan kepastian hukum. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dengan mengakaji Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai delik hukum yang dapat digunakan untuk menetapkan kesalahan para pelaku koruptor di daerah. Pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi konkrit terhadap upaya pemberantasan korupsi di daerah mengingat vonis terhadap para pelakunya terdapat 2 (dua) muara yaitu dari Peradilan Umum dengan penyidik dari kejaksaan dan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan ujung tombak dari pemberantasan korupsi di daerah, jadi dalam upaya penyidikannya harus melakukan sinergisitas dan koordinasi dengan pihak kejaksaan agar tidak terjadi overlapping penegakan hukumnya. Kata Kunci: Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi, Modus Operandi Korupsi, Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
ABSTRACT
Zuhri Sayfudin. E.0007251. 2010. THE PATTERN OF AD HOC VERDICT JURISDICTION IN CORRUPTION CRIMINAL (TIPIKOR) AS THE EFFORTS TO WIPE THE CORRUPTION OUT IN THE PERSPECTIVE OF OPERANDI MODUS OF MARK UP CORRUPTION IN REGIONAL
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
INCOME AND EXPENSES IN INDONESIA. The Law Faculty, Sebelas Maret University.
This study is aimed at knowing and identifying in detail in the effectivity of Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal (TIPIKOR) in the efforts of wipe this criminal out. The loss of regional moneter is caused by operandi modus by marking up the spending of Regional Income and Expenses (APBD). That kind of criminal was done by the Council of Regional Citizenry Delegation (DPRD) and regional official by spending the APBD for their individual interest and/ or the certain groups.
The main problem of this study is the difficulty in applying the law in order to round the corruptors up who have made a loss in the regional moneter. In addition, in the maintenance of this law, there are two institutions which have the roles in investigating and prosecuting. They are Corruption Eradication Commision (KPK) and Judiciary. The problem occures when there is no good coordination between them.
In this study, the reseracher used normative research that was by analyzing the law in Undang-Undang No. 31 in the year of 1999 jo Undang-undang No.20 in the year of 2001 about corruption criminal eradication and Section 55 in KUHP in order to round the corruptors up in many regions. The characteristic of this study was perspective by using some theories of the law in supporting the paradigms and argumentations so that the goal of the law which will be conducted by Ad Hoc Jurisdiction can give the certainty of the law. The approach of this research used the rules approach by analyzing Undang-Undang No. 31 in the year of 1999 jo Undang-undang No.20 in the year of 2001 about corruption criminal eradication as a wide-open of law which can be used to determine many corruptors in the regions.
It is hoped that this study gives significant contribution and real solutions toward the efforts in wiping the corruptions out in the fact that there are two institution which handle this problem that are General Jurisdiction whose the investigating officers from the judiciary and Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal whose investigating officers from Corruption Eradication Commission (KPK). Corruption Eradication Commission (KPK) is the main side of corruption eradication in the regions, so in the process of investigation, this commission should have synergy and good coordination with jurisdiction in order to prevent the overlapping in the maintenance of the law.
Key words: Ad Hoc Jurisdiction of Corruption Criminal, Corruption Operandi Modus, Mark Up Corruption of Regonal Income and Expenses (APBD)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang atas segala curahan Anugrah, Rahmat, Berkah, Tasdid, Ta’yid, Taufik
dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
(Skripsi) yang berjudul “POLA PUTUSAN PENGADILAN AD HOC
TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS
OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA” ini dengan baik dan lancar.
Penulisan Hukum disusun dan diajukan Penulis untuk melengkapi persyaratan
guna memperoleh derajat S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam proses menyelesaikan Penulisan
Hukum (Skripsi) ini Penulis menyadari banyak hambatan, tantangan dan kendala
yang datang baik dari internal maupun eksternal dari Penulis.
Banyaknya amanah di berbagai organisasi yang harus dilakukan Penulis
membuat tantangan tersendiri bagi Penulis untuk lebih pandai dalam mengatur
waktu guna menyelasaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini. Syukur Alhamdulillah
Penulis selama menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini selalu dapat
motivasi dan support dari berbagai pihak agar segera menyelesaiaknnya. Oleh
karena itu dengan penuh kerendahan hati Penulis sampaikan terima kasih yang
setinggi-tingginya, terutama kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret beserta jajarannya.
2. Bapak R.Ginting, S.H,M.H selaku pembimbing I yang dengan penuh
kesabaran mengajarkan makna perjuangan kepada Penulis tentang fanatisme
terhadap hukum, sehingga idealisme dan semangat nasionalisme Penulis tetap
terjaga.
3. Bapak Isharyanto,S.H,M.Hum selaku pembimbing II yang dengan penuh
ketekunan mengajarkan tentang makna dan konsepsi hukum serta
mengarahkan agar tetap berpikir logis dan kritis serta tidak apatis terhadap
permasalahan bangsa
4. Bapak dan Ibu di rumah yang tidak pernah lelah untuk terus memberikan doa
siang dan malam kepada Penulis selama menyelesaikan skripsi agar dapat
berjalan dengan lancar. Dengan tetesan air mata dan cucuran keringat untuk
tetap bekerja di usia tuanya demi membiayai kuliah kepada Penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
5. Kakak-kakak Penulis Ismiati, Insiyah dan Siti Nurjanah yang selalu
memberikan motivasi dan dukungannya kepada Penulis untuk terus
bersemangat dalam proses menyelesaiakan skripsi.
6. Bapak Sadikun, Bapak Samad, Bapak Sutris, Bapak Mat’in dari Pondok Tebu
Ireng dan Bapak Agus Subiyanto sebagai guru dan pembimbing spiritual
agama yang selalu memberikan nasehat dan doa demi kelancaran selama
menyelesaikan skripsi dari Penulis.
7. Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) yang selalu
memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih atas ilmu yang telah
diberikan dan mohon maaf jika di kelas sering berdebat jika terdapat sikap
dan kata-kata yang kurang berkenan di hati semuanya mohon dimaafkan.
8. Karyawan dan seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
(UNS) terima kasih atas semua fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan
kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mohon
maaf jika selama ini sering memberikan kritikan pedas baik di forum formal
dan informal serta bahkan mengerahkan massa untuk memberikan pressure
perbaikan sistem di fakultas tercinta ini. Penulis lakukan demi kecintaan pada
fakultas ini.
9. Kawan-kawan dan adik-adik seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Cabang
Surakarta. Teruskan perjuangan dan jalan masih panjang…yakusa (yakin
usaha sampai).
10. Kader-kader Penulis di Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa
Hukum Solo (DPC PERMAHI SOLO). Terima kasih yang masih
memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk menjadi Ketua Umum dan
memimpin PERMAHI di Solo. Terus tegakan panji-panji bendera PERMAHI
di Solo Raya jangan sampai organisasi yang didirikan dengan keringat dan
perjuangan ini akan redup dan kandas ditengah jalan. Lanjutkan estafet
perjuangan demi amanah reformasi hukum di negeri ini. Adik-adiku…dengan
rasa haru dan tetesan air mata perjuangan, Penulis tinggalkan PERMAHI
tolong tetap diperjuangkan dalam keadaan apa pun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
11. Kawan-Kawan LKBH PERMAHI SOLO terima Penulis ucapkan telah
memberikan kepercayaan sebagai pimpinan tertinggi dan penaggung jawab
utama sampai sekarang. Teruskan fungsi advokasi dan bantuan hukum
terhadap masyarakat kecil dan jangan takut menghadapi kasus seberat apa
pun. Bela rakyat kecil dan tegakan keadilan.
12. Kader-kader Partai WALI CINTA (Mahasiswa Peduli dan Cinta Indonesia)
Universitas Sebelas Maret, Penulis sampaikan terima kasih telah memberikan
kepercayaan untuk menjadi Ketua Umum Dewan Pertimbangan Partai (DPP)
periode 2011-2012. Hal tersebut secara tidak langsung telah memberikan
spirit bagi Penulis untuk terus berkarya di segala bidang. Partai yang Penulis
didirikan ini harap terus diperjuangkan demi membawa perubahan birokrasi
di Universitas Sebelas Maret (UNS), jaga kader-kadernya dan tetap dijaga
koordinasi antara kader fakultas yang satu dengan yang lain. Semangat
nasionalisme harus tetap terjaga demi ideologi partai.
13. Teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret
yang telah memberikan semangat untuk tetap menjaga idealisme sebagai
mahasiswa.
14. Adik-adik di Komunitas Debat Fakultas Hukum (KDFH) yang telah
memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk menjadi Ketua Dewan
Penasehat. Teruslah berkarya dan memberikan kontribusi bagi Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret tercinta.
15. Sahabat-sahabat di FOSMI FH UNS terima kasih selama bersilaturahmi
dalam pengurus dan berinteraksi tetap saling “watawa shaubil haq watawa
shaubil sobri”.
16. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan inspirasi, semangat dan
dukungan selama menjalani skripsi. Terima kasih Penulis ucapkan telah
memberikan kepercayaan dalam mengemban amanah untuk menjadi ketua
dan koordinator angkatan sampai sekarang ini. Kenangan terindah adalah
ketika susah dan senang kita rasakan bersama.
17. Teman-teman pengajian Al-Hikmah yang selalu memberikan dukungan dan
doa dalam susah dan senang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
18. Teman-teman aktivis dan seperjuangan di seluruh Indonesia. Terima kasih
Penulis ucapkan berkat teman-teman semua ide, gagasan dan motivasi untuk
terus berjuang demi kejayaan bangsa dan negara sampai sekarang masih ada
untuk mencapai tujuan tersebut.
19. Teman-teman semua yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-satu. Berkat
teman-teman semua Penulis dapat tetap bersemangat selama menyelesaikan
penulisan skripsi.
Penulis menyadari bahwa kualitas dari penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna. Mudah-mudahan penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak. Amin.
Surakarta,…April 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI……………………….. iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv
PERSEMBAHAN........................................................................................... v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
PERNYATAAN .............................................................................................. vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 14
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 14
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 16
E. Metode Penelitian ..................................................................... 17
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ........................................................................ 29
1. Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ..................................... 30
2. Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) ................................................. 31
3. Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi
a) Pengertian tentang tindak pidana ............................. 34
b) Pengertian tentang korupsi ....................................... 37
c) Jenis-jenis tindak pidana korupsi ............................. 45
4. Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi Korupsi
a) Pengertian tentang modus operandi korupsi ................ 54
b) Jenis-jenis modus operandi korupsi ............................. 56
5. Tinjauan secara umum tentang Mark Up ............................ .. 63
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
6. Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD)
a) Pengertian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) ........................................................... .63
b) Aturan yuridis tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) .............................................. 64
c) Tujuan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) .............................................. 66
d) Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) ........................................................................ 66
e) Asas-asas umum pengelolaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) ....................................... 67
f) Norma dalam penyusunan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) .............................................. 69
g) Prinsip dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) .............................................. 72
h) Ciri-ciri utama pengelolaan Anggaran dan Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) .............................................. 73
i) Proses Penyusunan dan Proses Penetapan serta
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) ........................................................... 74
j) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah
(APBD) ........................................................................ 75
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 71
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penetapan Sanksi Hukum Kepada Para Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Terkait Modus Operandi Korupsi Mark
Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
di Daerah ................................................................................ 81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
1. Proses perumusan, penyusunan dan penetapan besar
kecilnya dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) sebagai celah terjadinya tindak pidana
korupsi keuangan daerah .................................................. 81
a. Proses perumusan dan penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai
bentuk implementasi dari otonomi daerah ................. 84
b. Proses penetapan dan perubahan besar kecilnya dana
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) sebagai celah terjadinya tindak pidana
korupsi keuangan daerah ............................................ 95
2. Korupsi berjamaah antara anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah terkait
manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) ............................................................................. 105
3. Penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak pidana
korupsi dan delik-delik hukum sebagai sanksi terhadap
tindak pidana korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) ................................................... 132
a. Tinjauan secara umum para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ..................... 132
b. Pola penetapan kepada para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait
penggunaan delik-delik hukum dalam hukum pidana .. 125
B. Sinergisitas Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dengan
Konsep Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Peradilan Umum Sebagai Upaya Pemberantasan Modus
Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Indonesia ...................................... 143
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
1. Kedudukan lembaga peradilan dan pengadilan dalam
sistem hukum di Indonesia ................................................ 143
2. Sinergisitas dan koordinasi antara aparat penegak hukum
sebagai upaya pemberantasan korupsi .............................. 146
a. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi
Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) di Indonesia ........................................ 150
1) Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum
dalam jurisdiksi Pengadilan Ad Hoc Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) ...................................... 151
2) Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian
kepada para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
perspektif Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) .................................................. 156
b. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Peradilan Umum Sebagai Upaya Pemberantasan
Modus Operandi Korupsi Mark Up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Indonesia ..................................................................... 164
1) Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum
dalam jurisdiksi Peradilan Umum ........................ 164
2) Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian
kepada para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
perspektif Peradilan Umum .................................. 169
c. Dualisme Proses Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Dari Peradilan Umum dan Pengadilan
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi Mark Up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) di Daerah ............................................. 171
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………..176
B. Saran……………………………………………………………178
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberantasan korupsi memang mutlak diperlukan dan harus menjadi
prioritas utama dari pemerintah. Konsep dan kegiatan pemberantasan korupsi
harus berjalan berkesinambungan karena sangat sulit mencari birokrat dan
pengusaha kakap yang belum terjangkit oleh korupsi (Kwik Kian Gie, 2006:
10). Korupsi masih belum dirasakan sesuatu yang belum merugikan publik.
Hal ini jelas berakar pada budaya masyarakat yang tidak ada ada pemisahan
nilai antara milik masyarakat (public domain) dan milik pribadi (private
domain) (Suhartono W. Pranoto, 2008: 80). Adanya kasus korupsi yang
mengatasnamakan demokrasi justru akan digunakan demi kepentingan politik
oleh golongan tertentu. Hal ini akan merusak sistem birokrasi dan
meruntuhkan konsep demokratisasi di Indonesia.
One remedy might be to focus on the political processes and conflicts that give rise to meaningful ideas of corruption. Some ‘neo-classical’ approaches do this, either by relying on both formal and social standards, or by creating a category of corruption ‘mediated’ through, and doing harm to the vitality of, democratic politics. In more settled systems, behavior classification definitions may work well, but in transitional or deeply divided societies, we may need to focus on the political conflicts shaping the idea of corruption, rather than searching for clearly defined categories of corrupt behavior (Johnston. M, 1996: 321).
Pemberantasan korupsi di Indonesia semakin berat. Jika pada awal
reformasi koruptor terfragmentasi, sekarang mereka semakin kompak
menyusul terkonsolidasinya kekuatan lama berupa eli-elit politik dan bisnis.
Beberapa kasus menunjukan koruptor saling melindungi melalui negoisasi
politik. Para koruptor menjadi lebih berani membajak, menganggu, dan
mengancam institusi-institusi antikorupsi (Kompas, 10 Desember 2010:
hal.2). Korupsi yang dilakukan oleh berbagai instansi dengan melibatkan para
pengambil otoritas tertinggi dalam instansi tersebut dapat menyebabkan celah
terjadinya tindak pidana korupsi oleh pihak-pihak lain. Mereka bekerja
bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan golongannya saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
kemungkinan besar akan membawa bencana dan tidak saja terhadap
kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional serta menghambat
pembangunan nasional melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara (Dudu Duswara Machmudin, 2007: 19). Menurut Stephen J.H
Dearden mengemukakan bahwa korupsi memperlambat penanaman modal
asing. Konsekuansi di bidang politik dan dibidang ekonomi. Menurut Sum
Manit memberi dampak signifikan dalam bidang sosial. Korupsi
mendemoralisasi populasi dan mengakibatkan berkurangnya keyakinan
institusi negara (OC Kaligis, 2008: 1). Akibat adanya korupsi yang terjadi di
berbagai instansi akan memberikan dampak terhadap keuangan pusat dan
daerah.
Dana publik di Indonesia yang hilang akibat korupsi sangat besar.
Pada tahun 1995, menurut laporan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah
terjadi 358 kebocoran dana negara sebesar RP.1.062 triliun. Pada tahun 1996
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya kebocoran dana 22
departement dan lembaga pemerintah non departemen dengan total senilai Rp
3.22 milliar. Selain itu sepanjang tahun 1995-1996 ditemukan 18.578 kasus
korupsi dan penyelewengan dana senilai Rp 888,72 milliar. Pada era
reformasi tidak akan berubah menjadi lebih baik dari era sebelumnya dan
bahkan lebih buruk. Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
penyimpangan uang negara sudah mencapai Rp.166,53 triliun atau sekitar 50
persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2003.
Sebagaimana dilaporkan oleh Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Satrio Budihardjo Joedono sejak pertengahan 2003 telah ditemukan 22
penyimpangan keungan negara. Dalam semester satu tahun 2004 Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) juga melakukan pemeriksaan terhadap 377
proyek dan asset senilai Rp.1.312 trlliun. Dari jumlah tersebut menemukan
penyimpangan sekitar Rp 37,4 trilliun atau 2,85 persen dari nilai
keseluruhannya. Tidak mengherankan jika dalam laporan Tranparansi
Internasional Indonesia (TII) sebagaimana diungkapkan dalam siaran persnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dari 146 negara yang disurvey Indonesia masuk dalam urutan kelima negara
terkorup di dunia dengan indeks prestasi korupsi 2,0 (OC Kaligis, 2008: 1).
Parameter tersebut menunjukan aparat penegak hukum di Indonesia lemah
dalam upaya pemberantasan korupsi dan korupsi merupakan alat bagi para
pejabat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Negara Indanesia sekarang ini sudah menjadi negara yang mempunyai
citra buruk di dunia internasional. Hal ini disebabkan karena negara kita
merupakan negara koruptor. Dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) lewat STAR (Steall Asset Recovery) dan bank dunia punya daftar 10
besar kekayaan hasil curian yang disusun Transparansi Internasional
Indonesia (TII) tahun 2004 lalu. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa tiap
tahun kekayaan negara yang dikorupsi jumlahnya sangat besar bahkan
melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Kompas, 25
Oktober 2003: hal.3). Pada masa orde baru kebocoran uang negara masih 30
% setelah reformasi bergulir tahun 1998 indikasi tindak pidana korupsi yang
merusak perekonomian dan moral bangsa justru semakin besar. Menurut
laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) penyimpangan uang negara sudah
mencapai Rp 166,53 triliun atau sekitar 50 % pada periode Januari-Juni 2004
(Kompas, 2 Oktober 2004: hal.6). Ada sumber dari PERC (Political and
Economic Consultancy) yang menyatakan tentang korupsi di Indonesia
menempati urutan nomor tiga dengan jumlah kekayaan sebesar 8,03 milliar
dolar AS (Kompas, 11 Maret 2008: hal.10).
Transparansi International Indonesia (TII) mencatat Corruption
Perseption Indeks (CPI) Indonesia pada tahun 2010 stagnan atau tidak
beranjak sama dengan tahun sebelumnya dengan skor 2,8. Dengan angka itu
Indonesia berada di posisi 110 dari 178 negara dan diurutan kelima (ke-5)
diantara negara anggota ASEAN yakni dibawah Singapura, Brunei, Malaysia,
dan Thailand. (Media Indonesia, 27 Oktober 2010: hal.16). Dengan makin
terpuruknya posisi Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi,
mengindikasikan bahwa mekanisme keuangan baik di tingkat pusat dan di
daerah masih banyak didominasi oleh para birokrat dengan karakteristik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
kleptokrat yang maniak dan haus untuk mencari keuntungan pribadi dengan
menggadaikan uang rakyat.
Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas untuk
menyesuaiakan diri dengan kondisi keuangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial,
pendidikan, kesehatan, subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM) harus
ditekan semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara
dalam membayar hutang (Marwan Batubara, 2007: 1-2/xv-xvi). Jumlah
hutang negara sampai bulan juni 2007 mencapai Rp 1.313,3 triliun rupiah
yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp 534,7 triliun rupiah dan
surat berharga negara Rp 715,3 triliun rupiah surat-surat berharga valuta asing
Rp 63,4 triliun rupiah. Pendapatan negara dan hibah dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009 direncanakan sebesar Rp 985,7
triliun rupiah meningkat Rp 90,7 T (10,1%) angka itu lebih rendah dari defisit
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2008 (Harian
Seputar Indonesia, 14 Hovember 2008: hal.6). Hal tersebut juga memaksa
pemerintah untuk melakukan penjualan aset-aset negara untuk menutupi
terjadinya defisit yang ironisnya harga tersebut sangat jauh dibawah harga
pasar dan penjualan ini memiliki dampak jangka panjang bagi kerugian
negara, karena aset-aset negara itu merupakan penyumbang rutin bagi
pemasukan negara dalam Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN).
Besar dan cepatnya pergerakan mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang dilakukan oleh pejabat daerah juga sangat menguras
keuangan dari pusat untuk secara berkelanjutan memberikan dana dan subsidi
pada tiap daerah. Pengadaan barang dan jasa yang berlebihan yang
seharusnya mampu dicukupi oleh daerah harus ditutupi dengan kucuran dana
dari pemerintah pusat. Kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang tidak terkelola dengan administrasi yang baik dan benar akan
memberikan celah bagi timbulnya praktek-praktek mark up di daerah.
Proses pembelian Helikopter jenis MI-2 terjadi antara tahun 2001
sampai dengan tahun 2004 dan bertempat di Provinsi Nanggroe Aceh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Darussalam (NAD). Pembelian Helikopter jenis MI-2 Merk PLC Rostov
Miliki Rusia ini dilatarbelakangi dengan kondisi NAD yang dilanda konflik
senjata. Selain itu pembelian Helikopter Jenis MI-2 tersebut adalah dalam
rangka keperluan dinas Gubernur dan para Pejabat Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Helikopter ini dibutuhkan karena lalu lintas perjalanan
darat sangat berbahaya akibat gangguan dari pemberontak Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Pada bulan Mei tahun 2001 dalam pertemuan para Bupati
atau Walikota se-Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bupati Biruen
mengemukakan usulan mengenai pengadaan helikopter tersebut. Usul itu
disambut baik oleh para Bupati atau Walikota se-Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) dan untuk biaya pembelian helikopter tersebut para Bupati sepakat
untuk mengambil dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Setelah adanya kesepakatan dari 13 Bupati dan Walikota se-Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD). Dilakukan musyawarah dengan Dewan Perwakilan
Rakayat Daerah (DPRD) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Bawasda pun tidak merasa keberatan dengan usul pembelian helikopter
tersebut. Bahkan pada saat helikopter tersebut telah dibeli beberapa anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan penerbangan perdana dengan
menggunakan helikopter tersebut. Penggunaan Dana Propinsi Nanngroe Aceh
Darussalam (NAD) untuk pengadaan Helilopter MI-2 telah dipertanggung
jawabkan oleh Abdullah Puteh selaku Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) (OC Kaligis, 2008: 1). Menurut Penulis salah satu bukti kongkrit
tersebut merupakan pola korupsi mark up dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang tersistematis dan seolah-olah tidak ada
peyalahgunaan wewenang jabatan. Ketidakjelasan yang ditunjukan dalam
sistem pengadaan barang dan jasa di daerah dengan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat menunjukan data riil
dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan dari hal tersebut.
Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat dan mereka
saling bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi. Modus operandi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
korupsi mark up Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan
dengan mengatasnamakan untuk pembangunan dearah dan kesejahteraan
rakyat dengan melakukan pembelanjaan daerah atas barang dan jasa diluar
kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh daerah. Proses otonomi daerah
telah dijadikan alat dan senjata bagi para pejabat di daerah untuk
memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya saja.
Pada dasarnya otonomi daerah akan diberikan kepada daerah agar
daerah mampu menggali sumber dana dalam rangka membiayai segala
kegiatannya. Semakin besar dana yang digali otonomi daerah yang
diperlihatkan dengan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan makin luas untuk
diberi otonomi daerah (Syaukani dkk, 2002: 204).
Anggaran daerah disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah
berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap
daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Daerah
atau Provinsi dan Kabupaten Kota dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) setelah mendapat konfirmasi Dana Alokasi Umum
(DAU) yang didapatkan pada tahun anggaran dari pemerintah pusat (Marbun,
2005: 139).
Tahap penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yaitu adalah sebagai berikut:
a. Meningkatkan pendapatan pajak dan retribusi tanpa tanpa harus
menambahkan beban masyarakat, tapi melalui penyederhanaan pungutan
efisiensi biaya administrasi pungutan memperkecil jumlah tunggakan dan
meneguhkan sanksi hukum bagi para penghindar pajak;
b. Meningkatkan efisiensi efektivitas dan penghematan di bidang belanja
daerah sesuai prioritas;
c. Memprioritaskan anggaran untuk membiayai kegiatan atau proyek pada
dinas teknis yang bertangungg jawab pada masyarakat secara langsung;
dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d. Meningkatkan pemerintah daerah yang bersih dan berwibawa dengan
mengacu pada Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (HAW Widjaja, 2001: 171). Penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan otoritas dari
pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Antara keduanya harus saling bersinergisitas dan tidak boleh saling
mendominasi dalam tiap pengambilan kebijakan.
Akibat pemahaman yang distortif terhadap sistem pemerintahan
daerah tampak kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
memposisikan dirinya sebagai superior atau pun kedudukan lebih tinggi
daripada kepala daerah dengan bargaining position yang kuat dan
menentukan. Dengan posisi yang demikian itu sangat mudah bagi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendikte, menekan,
mengintervensi dan memberikan semacam mosi tidak percaya pada kepala
daerah. Dengan posisi yang demikian itu, potensi akan terjadinya
penyalahgunaan wewenang sangat terbuka lebar. Hal ini terbukti dengan
terjadinya praktek money politics dan political black mailing. Bahkan korupsi
baik yang berkenanaan dengan pilkada, pertanggungjawaban kepala daerah
maupun yang berkenaan dengan hak menentukan anggaran belanja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Maraknya praktek yang demikian itu
bukan lagi menjadi rahasia umum meskipun sulit untuk membuktikannya.
Namun khusus berkenaan dengan hak menentukan anggaran belanja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik besarannya maupun peruntukannya
acapkali menimbulkan kecurigaan yang bermuara pada tuduhan ataupun
dakwaan korupsi yang dilakukan oleh sementara anggota dewan di berbagai
daerah sebagaimana yang terungkap belakangan ini. Semua carut marut
korupsi yang melanda anggota Dewan di berbagai daerah bersumber pada
pemahaman yang distortif terhadap sistem pemerintahan dearah dan
kekeliruan di kalangan anggota dewan memposisikan Dewan Perwakilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Rakyat Daerah (DPRD) dalam kedudukan yang lebih tinggi ataupun superior
daripada kepala daerah (I Gede Pantja Astawa, 2009: 34).
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut
David.B.Truman yaitu sebagai berikut:
”any politician whether legislator, administrator or judge whether elected or appointed is obligated to make decision that are guided in part by the relevant knowledge that is available to him” (Josef Riwu Kaho, 1988: 75).
Dengan demikian tugas pokok dari para pejabat daerah termasuk
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selain mereka sebagai
pejabat legislator dalam proses pembentukan peraturan daerah juga sebagai
ujung tombak dalam mengawal dan mengontrol sistem administrasi yang ada
di daerah. Aturan dan benteng hukum terkait prosedur administrasi
penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja dan Dearah (APBD) adalah
tanggung jawab utama dari para anggota dewan, karena merekalah yang
mempunyai wewenang dalam legalisasi pengesahan ketika mekanisme
pengajuan keuangan daerah akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Dearah (APBD) tersebut. Sedikit ada kesalahan dalam
pengawasan administrasi akan menjadikan celah bagi kebocoran anggaran
daerah mengalir pada pihak-pihak yang hendak melakukan modus operandi
mark up dana daerah.
Dalam hal hendak menganalisis hukum tentang perbuatan salah
administrasi dalam hubungannya dengan korupsi, kiranya dapat dipedomi
sebagai berikut: Adanya kesalahan administrasi murni, maksudnya adalah si
pembuat khilaf (culpoos) tidak menyadari apa yang diperbuatnya
bertentangan dengan ketentuan yang ada mengenai prosedur suatu pekerjaan
tertentu. Perbuatan khilaf ini tidak membawa dampak kerugian apapun bagi
kepentingan hukum negara. Salah perbuatan administrasi semacam ini ini
bukan korupsi. Pengembalian atau pembetulan kesalahan dapat dilakukan
secara administrative pula, misalnya dengan mencabut, membatalkan, atau
melalui klausula pembetulan sebagaimana mestinya. Si pembuat khilaf
(culpoos) dalam melaksanakan prosedur pekerjaan tertentu yang dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
pekerjaan ini membawa kerugian negara tertentu. Kasus semacam ini masuk
pada perbuatan melawan hukum perdata dan bukan korupsi. Pada si pembuat
diwajibkan untuk mengganti kerugiaan. Korupsi pada Pasal 2 Undang-undang
No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan bentuk tindak pidana culpoos,
malainkan tindak pidana dolus. Setiap rumusan tindak pidana yang tidak
secara tegas mencamtumkan unsur culpoos adalah tindak pidana dolus.
Kesengajaan itu tersirat di dalam unsur perbuatannya. Seperti Pasal 2 tersebut
kesengajaan si pembuat tersirat di dalam perbuatannya memperkaya,
misalnya mendepositkan uang negara atas nama pribadi tidak disadari dan
tidak dikehendaki. Namun kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan dengan cara
menganalisisnya karena tidak dicantumkan dalam rumusan. Si pembuat
sengaja mengelirukan pekerjaan administrasi tertentu, tetapi tidak dapat
membawa dampak kerugiaan kepentingan hukum negara. Kesalahan
semacam ini masih ditoleransi sebagai kesalahan administratif. Sanksi
administratif dapat dijatuhkan pada si pembuat, tetapi bukan sanksi pidana.
Kejadian ini bukan tindak pidana korupsi. Si pembuat sadar dan mengerti
bahwa pekerjaan administrative tertentu meyalahi aturan dilakukan juga,
sehingga dapat membawa kerugiaan negara. Dalam hal ini masuk pada
persoalan korupsi. Tinggal jaksa dalam pembuktiaan mempertajam analisis
hukum mengenai perbuatan maupun akibatnya, termasuk sifat melawan
hukum perbuatan mengenai sumber tertulisnya. Jika tidak ditemukan sumber
tertulis akal budi dan kecerdasan jaksa diperlukan dalam melakukan analisis
pembuktian dengan mencari diluar hukum tertulis (Adami Chazawi, 2008:
312).
Modus operandi korupsi telah berkembang pesat mulai dari cara
konvensional sampai kepada pemanfaatan hi-tech yang memunculkan
kejahatan berdimensi baru, seperti bank crime, crime as business,
manipulation crime, corporation crime, custom fraud, money laundring,
illegal logging, illegal fishing dan berbagai modus cyber crime lainnya.
(Rohim, 2008: 13). Gaya dan tipe cara para pejabat untuk melakukan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
pidana korupsi banyak modus yang dilakukan guna memperoleh kekayaan
pribadi. Modus korupsi dalam penggelembungan dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) memberikan infiltrasi pada birokrasi dengan
mengkamuflasekan dana real menjadi abstrak, sehingga akan sulit untuk
diidentifikasi untuk direalisasikan menjadi dana yang nyata guna membiayai
pembangunan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP)
mengungkapkan potensi penggelembungan anggaran atau mark up dalam
pengadaan barang dan jasa selama ini mencapai 200%. Hal itu ditunjukan
dari hasil investigasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat
70% kasus yang masuk merupakan pengadaan barang dan jasa bahkan
kemahalan produk (mark up) dapat mencapai 200%. Adanya alokasi untuk
pengadaan barang dan jasa mencapai Rp 450 triliun per tahun dengan potensi
kebocoran 40%-50% atau lebih dari Rp 200 triliun (Media Indonesia, 14
Desember 2010: hal.4).
Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
transfer dana dari pusat ke daerah semakin meningkat lebih dari dua kali lipat.
yang semula hanya Rp 129,7 triliun pada tahun 2004 pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) perubahan tahun 2008 melonjak
menjadi Rp 292,4 triliun. Bahkan pada tahun 2009 transfer dana dari pusat ke
daerah akan meningkat lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Meningkatnya transfer
dana dari pusat ke daerah tersebut seharusnya tidak diikuti dengan
peningkatan terjadinya penyimpangan, salah urus, dan tindakan korupsi di
daerah. Bagaimanapun juga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) merupakan uang rakyat yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat
(http://mnaimamali.blogspot.com/2008/08/modus-operandi-tindak
pidanakorupsi.html/ diakses tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB).
Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan sedikitnya sembilan
modus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa tanpa tender. Modus yang
dipakai ialah pemalsuan, penyuapan, penggelapan, uang komisi, pemerasan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
perlakuan tidak adil terhadap investor, suap, sumbangan illegal, dan
penyalahgunaan wewenang. Hasil kajian Indonesian Corruption Watch
(ICW) masalah tender mendominasi tindak pidana korupsi yang ditangani
lembaga penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun komisi. Peneliti
bidang hukum Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah
menyebutkan pada periode 2004-2007, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menangani sedikitnya 57 kasus korupsi di antaranya terkait dengan
pengadaan barang dan jasa, dan sisanya merupakan kasus penyuapan dan
penyalahgunaan anggaran keuangan negara dan daerah. Periode 2008-2009
penggelembungan anggaran dan penunjukan langsung barang dan jasa masih
tetap dominan. Deputi Bidang Strategi dan Kebijakan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Prabowo pun
menyadari bahwa penunjukan langsung barang dan jasa rawan korupsi.
Apalagi nilainya naik dari Rp 50 juta menjadi Rp l00 juta
(http://bataviase.co.id/content/korupsi-pengadaan-rp689-miliar / diakses
tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17.00 WIB).
Menurut Austin Wakeman Scott tentang kewenangan dari lembaga
pengadilan adalah sebagai berikut:
”Jurisdiction on this court in a suit in wich a state shall be a party are not to be interprefed as confering such jurisdiction in every case in wich the state efect to make it self strictly a party plaintiff of recerd and seek not to protect its own properly but only to vindicate to wrongs of some of its own laws or the public policy againt wrong does generally”. (Austin Wakeman Scott, 1964: 213).
Hal ini telah memberikan arahan adanya lembaga lembaga
pengadilan berguna untuk memberikan sanksi pada para pelaku tindak
kejahatan baik itu pada tersangka maupun terdakwa. Berdasarkan Pasal 24
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi:
”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman disebutkan
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.
Dengan demikian Penulis mengartikan dari pengadilan khusus
berpijak dari Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang berbunyi
”Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan
Umum”. Hal ini berimplikasi bahwa pengadilan ad hoc Tindak Pidana
Korupsi yang sudah terbentuk di 5 (lima) kota yaitu di Semarang, Surabaya,
Jakarta, Makasar dan Medan maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
yang akan dibentuk di setiap provinsi di seluruh Indonesia kedudukannya di
bawah peradilan umum, sehingga akan timbul dualisme pengambilan
kebijakan dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. Dualisme itu terjadi
karena penyidik dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Peradilan Umum
penyidiknya berasal dari kejaksaan. Pola keputusan dan kebijakan sebagai
upaya pemberantasan korupsi mark up di daerah juga akan mengalami
perbedaan. Jika sinergisitas dan koordinasi dilakukan dengan baik maka akan
menghasilkan putusan yang adil dan mempunyai kepastian hukum, sehingga
kepada para pelaku tindak pidana korupsi di daerah dapat menimbulkan efek
jera.
Berdasarkan dari pemaparan paradigma dan teoretis analitis yang
telah diuraikan dari Penulis pada latar belakang diatas, maka Penulis berharap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dengan kajian yang dilakukan dengan adanya keberadaan Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akan mampu memfasilitasi upaya
pemberantasan modus operandi mark up pada tiap kegiatan yang dilakukan
oleh para pejabat daerah dalam panggunaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Untuk telaah lebih lanjut dalam upaya
pemberantasan korupsi di daerah, maka Penulis akan mengkaji hal tersebut
melalui judul yaitu sebagai berikut: ”POLA PUTUSAN PENGADILAN
AD HOC TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) SEBAGAI UPAYA
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MODUS
OPERANDI KORUPSI MARK UP ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DAERAH (APBD) DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah Dari berbagai uraian dan pemaparan terkait latar belakang masalah
tersebut di atas, maka Penulis memberikan beberapa rumusan masalah yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pola penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak
pidana korupsi terkait modus operandi korupsi mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam putusan Pengadilan Ad
Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)?
2. Bagaimanakah sinergisitas proses penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan
konsep proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Peradilan Umum
sebagai upaya pemberantasan modus operandi korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dilakuakan karena memiliki tujuan. Tujuannya adalah
memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan
rumusan masalah. Karena itu tujuan penelitian sebaiknya dirumuskan
berdasarkan rumusan masalahnya. Tujuan penelitian dicapai melalui
serangkaian metodologi penelitian. Oleh karenanya tujuan penelitian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
baik adalah rumusannya operasional dan tidak bertele-tele. Dari tujuan inilah
dapat diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai
dalam penelitian itu. (M. Subana dan Sudrajat, 2001: 71). Berdasarkan hal ini
maka Penulis dalam penelitiannya memiliki 2 (dua) tujuan penelitian yaitu
tujuan objektif dan dan tujuan subyektif. Dengan demikian diharapkan dapat
menghasilkan manfaat yang logis dan konstruktif, sehingga mampu guna
menyelesaikan dan memecahkan permasalahan yang ada. Adapun jenis
penelitian yang Penulis gunakan adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pola penetapan sanksi hukum terhadap para
pelaku tindak pidana korupsi di daerah terkait modus operandi
korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
di Indonesia; dan
b. Untuk mengetahui sinergisitas antara proses penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dengan konsep proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan Peradilan Umum terkait modus operandi korupsi
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memahami, mengetahui dan menambah cakrawala ilmu
sistem birokrasi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan
wawasan terkait upaya pemberantasan korupsi yang ada di dalamnya
dengan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan
konsep putusan dari peradilan umum terkait modus operandi korupsi
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di
Indonesia; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis agar mendapat gelar S1 atau
Sarjana Hukum dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian yang Penulis lakukan ini berharap akan memberikan
manfaat demi rekonstruksi dan reformasi hukum di Indonesia. Manfaat yang
didambakan Penulis adalah dapat memberikan ide dan masukan terhadap
semua pihak terutama pada penegak hukum guna pemberantasan korupsi di
daerah terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Adapun manfaat yang Penulis harapkan adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan gagasan dan kritikan terhadap para penegak
hukum di Indonesia agar serius mencermati sistem birokrasi dalam
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar
dana yang digunakan tidak terjadi penyimpangan terhadap arah
tindak pidana korupsi; dan
b. Dapat memberikan arahan dan kerangka berpikir yang logis terhadap
langkah yang harus diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) agar tetap bersinergisitas dengan konsep putusan
dari peradilan umum, sehingga tidak terjadi overlapping dalam
putusannya.
2. Manfaat Praktis
a. Guna memberikan solusi kongkrit terhadap perubahan dan reformasi
birokrasi di Indonesia yang lebih tersistematis dan akuntable dalam
upaya pemberantasan korupsi di daerah; dan
b. Guna mengembangkan daya pikir, logika dan merubah paradigma
Penulis agar tetap memperkokoh semangat nasionalisme dan
idealismenya dalam mengemban amanah reformasi di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
E. Metode Penelitian
Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu
tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi.
Akan tetapi dengan mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada
pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan
baik untuk mencapai suatu maksud. Adapun pengertian penelitian adalah
suatu kegiatan yang terencana yang dilakukan dengan metode ilmiah
bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran dari
suatu gejala atau hipotesa yang ada (Bambang Sunggono, 1991: 21).
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai
suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode,sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya
(Soerjono Soekanto, 2005: 43).
Metode penelitian adalah jalan yang dilakukan berupa serangkaian
kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten
untuk memperoleh data yang lengkap dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Penelitian hukum
merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 35).
Tugas dalam penelitian adalah Pertama, mencandra (memberikan)
artinya menggambarkan secara jelas dan cermat hal-hal yang dipersoalkan.
Kedua, menerangkan kondisi-kondisi yang mendasari peristiwa. Ketiga,
menyusun teori-teori artinya mencari dan memasukan dalil-dalil (hukum atau
kausalitas mengenai suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain). Keempat,
membuat prediksi, ramalan, estimasi dan proyeksi peristiwa yang akan bakal
terjadi dari gejala-gejala yang akan timbul. Kelima, melakukan pengendalian
atau pengaraha artinya melakukan tindakan-tindakan guna mengendalikan
dan mengarahkan peristiwa-peristiwa atau gejala tertentu yang dikehendaki
(Sunaryati Hartono, 1994: 102-103).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Beni
Ahmad Saebeni, 2008: 13). Berkualitas atau tidaknya sebuah penelitian salah
satunya dapat diamati dari kekonsistenan benang merah penelitian mulai dari
rumusan masalah,tujuan penelitian, hingga kesimpulan hasil penelitian.
Untuk dapat menuntun peneliti dalam melakukan penelitian diperlukan
sebuah metode penelitian. Keberhasilan metode penelitian diharapkan dapat
menjadi cirri penelitian (M.Subana dan Sudrajat, 2001: 88).
Menurut Kamus Webster’s, penelitian adalah penyelidikan terhadap
suatu bidang ilmu yang dilakukan secara hati-hati penuh kesabaran dan ktitis
dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip. Menurut Hillway, penelitian adalah
suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-
hati dan sempurna terhadap sutau masalah, sehingga diperoleh pemecahan
yang tepat terhadap masalah tersebut (Supranto, 2003: 1).
Berdasarkan hal tersebut, maka Penulis menggunakan metode
penelitian agar mendapatkan hasil penelitian yang logis dan tersistemetis.
Logis artinya antara judul, rumusan masalah dan pembahasannya mudah
dipahami dengan alur berpikir yang kongkrit dan jelas. Tersistematis artinya
antara bagian yang satu dengan yang lain tidak akan saling terputus dan dapat
memberikan penjelasan yang saling berhubungan. Dengan demikian adanya
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat menunjukan
sinergisitasnya dengan Pengadilan Umum dalam upaya pemberantasan modus
operandi korupsi mark up Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah
(APBD). Dengan metode penelitian ini diharapkan para pelaku mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat diputus dengan
berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Adapun Penulis memberikan
uraian dan penjelasan tentang metode penelitiannya yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas
hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang
dianut sang konsep dan atau sang pengembangnya (Sulistyowati Irianto,
2009: 121).
Penelitian hukum normative atau doctrinal research dari pendapat
Hutchinson yang artinya yaitu “Reasearch wich provides a systematic
exposition of rules governing a particular legal category, analyses the
relathionship between rules,explain areas of difficulty and
perhaps,predict future development” (Peter Mahmud Marzuki, 2006:
32).
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang
disusun secara sistematis, kemudian ditarik suatu kesimpulan (Soerjono
Soekanto, 2006: 15). Berdasarkan hal tersebut Penulis menggunakan
jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan penekanan pada
teori-teori hukum untuk memberikan penjelasan yang detail terhadap
masalah yang dirumuskan oleh Penulis. Penelitian hukum doktrinal ini
akan mampu memberikan deskripsi dan analisa yang tajam terhadap
beberapa variable hukum yang terdapat tinjuan pustaka. Adapun
beberapa variable tersebut yaitu: tinjauan secara umum tentang Putusan
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tinjauan secara
umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),
tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi, tinjauan secara
umum tentang Modus Operandi Korupsi, tinjauan secara umum tentang
Mark Up, dan tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dengan penelitian hukum doktrinal ini akan
mampu menjawab dengan tuntas terhadap setiap permasalahan hukum
yang ada dalam penelitian.
2. Sifat Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskiptif dan terapan sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum
mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum,
konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2006: 22).
Menururt Soerjono Soekanto penelitian preskriptif adalah
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam
kerangka menyusun-menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006: 10).
Paradigma yang digunakan Penulis adalah bersifat preskriptif dengan
alasan ketika objek dari penelitian hukum ini berupa tindakan para
pelaku (pejabat daerah) korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) merupakan fenomena hukum yang harus diteliti
dengan valid dan kongkrit. Dalam memberikan hipotesis-hipotesis pada
gejala hukum yang terjadi di berbagai daerah terkait korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh para pelakunya,
maka dari itu dengan berbagai teori hukum yang digunkan akan dapat
memberikan deskripsi dan analisis yang jelas tentang perbuatan mereka
dari sudut pandang hukum. Dengan demikian arahan dan pola putusan
yang harus diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dapat memberikan kepastian hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Suharsini ada beberapa tata kerja dalam kegiatan
penelitian yaitu sebagai berikut:
Kegiatan penelitian dirancang dan diarahkan untuk memecahkan
suatu masalah tertentu, yang dapat berupa jawaban masalah atau dapat
menentukan hubungan untuk variabel-variabel penelitian.Kegiatan
penelitian berpangkal pada masalah atau obyek yang dapat diobservasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Kegiatan penelitian memerlukan observasi dan deskripsi yang mapan
Kegiatan penelitian berkepentingan dengan penemuan baru. Prosedur
kegiatan penelitian dirancang secara teliti dan rasional. Kegiatan
penelitian menuntut keahlian. Kegaiatan penelitian ditandai dengan usaha
objektif dan logis. Kegiatan penelitian harus dilakukan secara cermat,
teliti, dan sabar serta memerlukan kebenaran, sebab hasil penelitian
kadangkala berlawanan dengan norma tata aturan yang berlaku dalam
suatu mayarakat dalam periode tertentu (Beni Ahmad Saebeni, 2008:16-
17).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian
hukum terdapat lima pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan
(statue approach), penedekatan kasus (case approach), pendekatan
historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter
Mahmud Marzuki, 2009: 93).
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam satu penelitian
normatif akan memungkinkan seseorang peneliti untuk memanfaatkan
hasil-hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk
kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah
karakter ilmu hukum sebagai ilmu normative. Dalam kaitannya dengan
penelitian normative dapat digunakan beberapa pendekatan berikut:
pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep
(conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),
pendekatan kasus (case approach). Pada pendekatan tersebut dapat
digabung, sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja
menggunakan dua pendekatan atau lebih sesuai, misalnya pendekatan
perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan perbandingan.
Namun dalam suatu penelitian normatif satu hal yang pasti adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
penggunaan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Dikatakan pasti karena secara logika hukum, penelitian hukum normative
didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang
ada (Johnny Ibrahim, 2005: 246-247). Dalam penelitian hukum ini,
Penulis akan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) dengan alasan bahwa adanya Pengadilan Ad Hoc Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) telah diamanahkan oleh peraturan perundang-
undangan. Adanya pengadilan ini telah dijelaskan dalam Undang-undang
No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-undang No.46
Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu
substansi hukum dan aturan hukum tentang korupsi telah diatur dengan
jelas dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal ini berkaitan dengan
kebijakan yang diambil oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)
dan pejabat daerah sebagai tolak ukur terjadi dan tidaknya korupsi mark
up di daerah. Selain itu sinergisitas dan kedudukan hukum antara
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi dengan Pengadilan Umum
dapat ditinjau dari Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman dan Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum. Komparasi dari kedua aturan tersebut berdampak terhadap pola
keputusan dan upaya pemberantasasan modus operandi korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah mengingat
pihak penyidiknya terdapat dualisme yaitu dari pihak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Bagian terpenting lain dalam proses penelitian ialah berkenaan
dengan data penelitian. Sebab inti dari suatu penelitian adalah
terkumpulnya data atau informasi, kemudian data tersebut diolah dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dianalisis dan akhirnya hasil analisis itu diterjemahkan atau
diinterpretasikan (M.Subana dan Sudrajat, 2002: 115).
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan
bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum autoritatif yang artinya bahan hukum primer merupakan bahan
yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang
termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan,
catatan resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2009: 141).
Menurut Lofland dan Lofland sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada
bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber
data tertulis,foto, dan statistik (Lexy J.Moleong, 2009 : 157).
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder, yaitu data atau informasi hasil menelaah dokumen
penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan
seperti buku-buku, literature, koran, jurnal, maupun arsip-arsip yang
berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Menurut Seorjono
Seokanto, data sekunder dibidang hukum ditinjau dari kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat:
Dalam Penulisan Hukum ini penulis menggunakan bahan
hukum primer, yaitu: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang
No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.8 Tahun 2004 jo
Undang-undang No.58 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum.
b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer seperti:
1) Hasil karya ilmiah para sarjana dan ahli hukum; dan
2) Hasi-hasil jurnal hukum.
c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
hukum sekunder, misalnya; bahan dari media internet, kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya (Soerjono Soekanto,
2001: 13).
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan
hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan
hukum ini adalah studi dokumen. Studi dokumen adalah suatu alat
pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis
dengan mempergunakan content analysis (Peter Mahmud
Marzuki,2006:21).
Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang
sangat penting dalam penulisan. Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka
atau “collecting by library” untuk mengumpulkan dan menyusun data
yang diperlukan (Lexy.J.Moleong, 2005: 216-217).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yaitu
dengan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan
content analysis . Dalam content analisis ini dapat menggunakan
participant observasion. Tahap ini mempunyai cirri-ciri yaitu sebagai
berikut:
a. Pengamat menjadi bagian dari gejala yang diamati;
b. Pengamat sudah sejak semula menjadi bagian;
c. Pengamat semula adalah pihak luar; dan
(Soekanto, Soerjono.2006:21-22).
Bernald Barelson mengartikan makna ”content analyisis” yaitu “content analysis is a reaserch technique for the objevtive, systematic and quantitative description of the manifest content of communication”. Selanjutnya Fred N.Kerlinger mengartikan content analysis yaitu “content analysis is a method of studying and analyzing and quantitative manner to measure variables” (Abdurrahman, 1999: 12).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Menurut Bogdan dan Biklen yang menyatakan bahwa analisis
data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan
data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan dan Biklen dalam
Lexy J. Moleong, 2005: 248).
Analisis terhadap data kualitatif adalah pemusatan perhatian pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan suatu gejala yang ada
dalam kehidupan manusia atau pola-pola yang dianalisis, gejala social
budaya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan
untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku (Burhan
Ashshofa, 2004: 2).
Penelitian deskriptif secara lebih fokus memanfaatkan konsep-
konsep yang telah ada atau menciptakan konsep-konsep logika dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
ilmiah yang berfungsi klarifikatif terhadap fenomena sosial yang
dipermasalahkan. Dalam pelaksanaan penelitian yang menggunakan
metode deskriptif pengumpulan data dilaksanakan dengan melakukan
seleksitas data dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif yakni pendekatan yang berupaya
memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa dengan menafikan segala
hal yang bersifat kuantitatif. Dengan demikian gejala yang ditemukan
tidak memungkinkan untuk diukur oleh angka-angka, melainkan melalui
penafsiaran logis teoretis yang berlaku atau terbentuk begitu saja karena
realitas yang baru yang menjadi indikasi signifikan terciptanya konsep
baru (Sulistyowati Irianto, 2009:58).
Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu atau
untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatau gejala lain di dalam masyarkat.
Menurut Herbert Hynan penelitian deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan sesuatu yang tepat dan suatu gejala dan pokok
perhatiannya adalah pengukuran yang cermat dari satu atau lebih variable
terikat (dependent variabel) dalam suatu kelompok penduduk tertentu
atau dalam sampel dari kelompok penduduk tertentu (Amiruddin dan
H.Zainal Asikin, 2004: 25-26).
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, menganalisis, dan
mendeskripsikan secara detail isi dari penulisan hukum ini, maka Penulis
telah menyusun sistematika penulisan hukum dengan membagi dalam bab-
bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini Penulis memberikan uraian tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
penelitian dan metodologi penelitian serta sistematika
penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Penulis memberikan uraian tentang pengertian-
pengertian hukum dari berbagai teori baik dalam tataran
yuridis maupun doktrin dari berbagai ahli hukum. Teori-teori
hukum yang Penulis uraiakan bersumber dari derivatif judul
dan permasalahan hukum serta beberapa variabel yang akan
dijabarkan pada bab-bab berikutnya. Penderivatifan tersebut
dibagi dalam dua (2) jenis yaitu sebagai berikut:
a. Kerangka Teori
1) Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad
Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
2) Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
3) Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi
4) Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi
Korupsi
5) Tinjauan secara umum tentang Mark Up
6) Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD)
b. Kerangka Pemikiran
Dalam pemaparan ini, Penulis mendeskripsikan logika dan
paradigma berpikir (mindsite) yang telah dikonstruksi
dalam bentuk bagan. Hal ini dimaksudkan agar mudah
memberikan pemahaman yang rasional terhadap masalah
dan out put akhir dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini Penulis memberikan uraian secara detail dan
lengkap tentang tarik ulur antara rumusan masalah yang jadi
sumber utama dalam penulisan. Pada bab ini Penulis juga
memberikan pencerahan dan rasionalisasi terkait rumusan
masalah dengan teori yang dibangun. Teori-teori yang
dikonstruksi dan ditransformasikan untuk digunakan dalam
memberikan solusi kongkrit dan pemecahan masalah terhadap
yaitu sebagi berikut:
1. Bagaimanakah pola penetapan sanksi hukum kepada para
pelaku tindak pidana korupsi terkait modus operandi
korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dalam putusan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor)?
2. Bagaimanakah sinergisitas proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dengan konsep proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan Peradilan Umum sebagai upaya
pemberantasan modus operandi korupsi mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
Pada bab ini Penulis juga memberikan hasil terkait pola
putusan yang akan diambil oleh Pengadilan Ad Hoc Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) akan efektif guna memberikan efek
jera pada pelaku tindak korupsi mark up Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBD). Selain itu Penulis juga
memberikan antara hubungan hukum dan sinergisitas
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan
Peradilan Umum agar tidak terjadi tumpang tindih dalam
memberikan putusan kepada para pelaku tindak pidana korupsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) di
daerah-daerah seluruh Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini Penulis memberikan uraian secara global dari
semua hasil penelitian dan pembahasan yang telah dihasilkan
pada kesimpulan. Selain pada kesimpulan, Penulis juga
memberikan saran atau pun rekomendasi terhadap hal-hal yang
harus dilakukan dan diperbaiki terhadap permasalahan dalam
penelitian hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teoritis
a. Tinjauan secara umum tentang Putusan Pengadilan Ad Hoc Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor)
Putusan adalah salah satu bentuk norma hukum yang bisa dikenal
dengan istilah vonis (Sudikno Mertokusumo, 1998: 175). Putusan
dikeluarkan hakim sebagai pelaksana tugas hakim yaitu mengkonstatir,
mengkualifisir, dan mengkonstituir peristiwa. Hakim memeriksa,
mengkualifikasi dan memutus perkara (Bambang Sutiyoso, 2009: 21).
Adapun putusan hakim dalam kaitan pemidaan terhadap tindak
pidana korupsi adalah yaitu: Putusan Bebas (vrijspraak). Dalam praktek
putusan bebas juga lazim disebut dengan putusan acquital yang berarti
bahwa terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak
pidana korupsi yang didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa
dibebaskan dari tuntutan hukum. Lebih tegasnya lagi terdakwa tidak
dijatuhi pidana (Lilik Mulyadi, 2000: 149).
Dalam kamus hukum disebutkan bahwa putusan adalah telah
diselesaikan dan telah ada kepastian. Putusan pengadilan adalah
penyelesaian pengadilan. Hal ini sesuai dengan ini Pasal 226 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan tetap adalah
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai
dengan Pasal 259 dan 262 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Piadana
(KUHAP) (Sudarsono, 1992: 379-380).
Menurut Andi Hamzah, ada beberapa jensi putusan dalam kasus
pidana terutama kaitannya dengan putusan yang dapat diberikan kepada
para pelaku tindak pidana yaitu sebagai berikut: Pertama, Putusan akhir
adalah putusan pada akhir pemeriksaan di sidang yang berisi pertimbangan
menurut kenyataan, pertimbangan hukum dan putusan pokok perkara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Kedua, Putusan bebas adalah terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum
yang ditujukan kepadanya. Ketiga, Putusan lepas adalah putusan yang
berupa tidak dipidananya atau tidak karena perbuatan yang didakwakan
terdapat alasan peniadaan pidana berupa alasan pembenar atau pemaaf.
Keempat, Putusan tanpa kehadiran terdakwa adalah suatu bentuk putusan
yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (dalam pelanggaran lalu lintas
atau delik ringan). Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim di sidang
pengadilan yang dapat berupa pemidanaan, atau bebas, atau lepas dari
segara tuntutan hakim atau suatu bentuk putusan yang berkuatan hukum
tetap. Putusan pengadilan adalah putusan yang diterima oleh terpidana dan
penuntut umum baik upaya hukum atau tanpa melalui upaya hukum atau
telah diputus oleh pengadilan kasasi (Mahkamah Agung) (Andi Hamzah,
2008: 125-126).
b. Tinjauan secara umum tentang Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor)
Menurut Max Weber ada tiga (3) peradilan yaitu adalah sebagai
berikut:
1) Peradilan kadi adalah fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan
kebikasanaan sang pengadil. Tipe peradilan ini merupakan tidak
rasional karena bersifat arbiter dan tergantung hanya pada penentu
penguasa saja. Kelemahannya adalah sifatnya adalah partikularistik-
kasusistis;
2) Peradilan empiris adalah tipe peradilan yang lebih rasional, walau pun
belum semunya benar. Hakim dalam memutus perkara dapat
menggunakan analogi artinya memutus perkara yang terdahulu dalam
perkara sama dicoba untuk ditafsirkan guna menemukan relevansinya
atas perkara yang ditangani itu; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
3) Peradilan rasional adalah peradilan yang tergolong lebih rasional
dengan bekerja atas dasar organisasi birokrasi dan hasilnya berlaku
secara universal yang mengandalkan analisis-analisis yang logis guna
menggali berbagai makna dari konsep-konsep umum dan aturan
umum yang berlaku (Sotandyo Wignjosoebroto, 2008: 39).
Pengadilan adalah proses mengadili, keputusan hakim, dewan atau
majelis hakim yang mengadili perkara sidang hakim ketika mengadili
perkara rumah atau bangunan tempat mengadili perkara (Sudarsono, 1992:
379-349).
Menurut Harry C Bredemeire terkait pengadilan mempunyai
beberapa pengertian dan tugas utama yaitu sebagai berikut: Pertama,
pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat
antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan
diderita dari akibat putusan tersebut. Kedua, Pengadilan membutuhkan
evaluasi tuntutan-tuntutan yang saking bertentangan dan mengantisipasi
efek-efek dari suatu putusan. Ketiga, pengadilan membutuhkan suatu
kemauan para pihak untuk menggunakan pengadilan untuk penyelesaian
konflik (Yesmil Anwar, 2009: vii).
Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No.48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman disebutkan:
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”.
Dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman yang berbunyi:
”Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Dalam Pasal 2 Undang-undang No.46 Tahun 2008 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan “Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Peradilan Umum”. Pengadilan tipikor ini juga merupakan amanah dalam
Pasal 53 Undang Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi yang berbunnyi:
”Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”
Dalam penerapan pengadilan tindak pidana korupsi tidak serta
merta langsung dapat dilaksankan, tapi harus memperhatikan prinsip-
prinsip umumnya terlebih dahulu. Adapun prinsip umumnya itu adalah
sebagai berikut:
1) Independent dan tidak memihak (impartial)
Prinsip ini merupakan hal yang utama yang telah ditentukan
dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan ketentuan internasional. Peradilan yang independen
tidak memihak dan mampu memainkan peranan penting dalam upaya
memujudkan tata pemerintahan yang adil,jujur, terbuka dan
bertanggung jawab. Independensi adalah inti dari pemisahan
kekuasaan. Jika lembaga-lembaga pemerintah yang lain bertanggung
jawab pada rakyat hanya peradilan yang bertanggung jawab pada
nilai-nilai yang lebih tinggi dan pada standart kejujuran peradilan.
Prinsip independensi menghendaki agar institusi peradilan bebas dan
merdeka dari campur tangan, tekanan dan paksaan baik secara
langsung maupun tidak langsung dari pihak-pihak yang berada di luar
pengadilan. Prinsip tidak memihak pada dasarnya bahwa hakim dalam
mengadili harus tidak membeda-bedakan dan menghargai secara adil
dan seimbang hak-hak para pihak, sehingga bebas dan terhindar dari
benturan kepentingan (conflict of interest).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
2) Sederhana dan cepat
Salah satu yang dituntut publik ketika memasuki proses
peradilan mereka harus mendapat kemudahan yang didukung sistem.
Proses yang berbelit-belit akan membuahkan kefrustasian dan ketidak
adilan, akan tetapi harus didiingat bahwa tindakan yang prosedural
harus pula menjamin pemberian keadilan dan proses yang sederhana
harus pula menjamin adanya ketelitian dalam pengambilan keputusan.
Proses di pengadilan yang harus ditempuh para pencari keadilan juga
diharapkantidak memakan yang waktu. Proses pengadilan haruslah
cepat, jelas dan tepat waktu, jika proses yang lama dan tidak jelas
batas waktunya bukan hanya membuat pesimisme para pencari
keadilan tapi akan mengundang kecurigaan atau dugaan yang bersifat
negatif. Oleh karena itu proses persidangan di pengadilan tipikor harus
dapat ditentukan dalam batas waktu yang tepat dan memadai.
3) Transparan
Prinsip ini bukanlah keterbukaan yang tanpa batas akan tetapi
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kebutuhan, asalkan ada
kesempatan bagi publik untuk melekukan control dan koreksi. Hal ini
maksudnya adalah keterbukaan akan jadwal dan agenda persidangan,
kerterbukaan akan keputusan serta kinerja dari pengadilan tipikor
terutama dalam hal pengelolaan anggaran. Erat hubungannya dengan
konsep ini adalah kebebasan untuk memperoleh informasi dengan
syarat tidak membahayakan jalannya proses pengadilan. Berbeda
halnya dengan keterbukaan putusan pengadilan yang harus dapat
diakses oleh publik untuk dapat mengetahui landasan diambilnya
sebuah putusan.
4) Akuntable
Pemberian kekuasaan membawa konsekuensi adanya
akuntabilitas dalam kerangka pelaksanaan akuntabilitas. Ada beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
hal yang harus diperhatikan yaitu adanya ketaatan pada hukum,
prosedur yang jelas, adil dan layak serta kontrol yang efektif. Sebagai
pemegang kekuasaan untuk melakukan proses peradilan kewenangan
yang tanpa batas akan membahayakan publik. Oleh karena itu
diperlukan mekanisme kontrol untuk mencegah atau paling kurang
mereduksi adanya penyimpangan hukum dan penyalahgunaan
wewenang demi terjaminnya hak asasi manusia. Dalam menjalankan
mekanisme persidangan dapat dilakukan beberapa cara yaitu sebagai
berikut: Pertama, adalah dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan
sendiri, baik oleh “peer group” maupun atasan. Kedua, adalah pihak
eksternal yang dilakukan oleh para pihak yang berada diluar lembaga.
Ketiga, adalah oleh lembaga lain dalam hubungan horizontal dan
terakhir yang Keempat adalah secara vertikal yang dilakukan oleh
pihak yang memiliki hubungan vertical dengan personil atau lembaga
(Tim Taskforce, 2008: 26-28).
c. Tinjauan secara umum tentang Tindak Pidana Korupsi
1) Pengertian tentang tindak pidana
Istilah tindak pidana dipakai sebagai “strafbaar feit”. Dalam
perundang-udangan dapat dijumpai istilah-istilah lain yang
maksudnya juga“strafbaar feit”, misalnya:
a. Peristiwa pidana (Undang-Undang Dasar Sementara 1950 Pasal 14
ayat (1));
b. Perbuatan pidana (Undang-undang No.1951 Undang-undang
mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan dan cara pengadilan-pengadilan sipil Pasal 5
ayat (3) point b);
c. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-undang Darurat
No.2 Tahun 1951 tentang perubahan ordonatie tijdelijke byzondre
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
straf bepalingen). S.1948 -7 Undang-undang Republik Indonesia
(dahulu) No.8 Tahun 1948 Pasal 3;
d. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No.16 Tahun
1951 tentang peneyelesaian perselisihan perburuhan Pasal 19, 21
dan 22);
e. Tindak pidana (Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1953 tentang
pemilihan umum, Pasal 129);
f. Tindak pidana (Undang-undang Darurat No.7 Tahun 1955 tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi,
Pasal 1); dan
g. Tindak pidana (Penetapan Presiden No.4 Tahun 2964 tentang
kewajiban kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana
kerena melakukan tindakan pidana yang merupakan kejahatan,
Pasal 1).
Prof Muljatno Guru Besar pada Gajah Mada menganggap
lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” yang artinya
adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang
dilakukan. Menurut Drs.E. Utrecht S.H, memakai istilah peristiwa
pidana (Sudarto, 1990: 38-39).
Menurut Simons “strafbaar feit” adalah “een strafbaar
gestelde on rechmatige met schuld verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar”. Unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya
perbuatan manusia baik positif maupun negatif, berbuat atau tidak
berbuat atau membirakannya, diancam dengan pidana, melawan
hukum, dilakukan dengan kesalahan, dan orang yang mampu
bertanggung jawab. Menurut Van Hammel unsur-unsur tindak
pidananya adalahp perbuatan manusia yang dirumuskan dengan
undang-undang, melawan hukum dengan kesalahan, dan patut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
dipidana. Menurut E.Mezger unsur-unsur tindak pidananya adalah
perbuatan dalam arti yang luas dari manusia baik yang aktif atau
membiarkan, sifat melawan hukum, dapat dipertanggung jawabkan
kepada seseorang dan diancam dengan pidana. Menurut J.Bauman
unsur-unsur tindak pidananya adalah perbauatan yang memenuhi
rumusan delik, bersifar melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan. Menurut Karni unsur-unsur tindak pidananya adalah
perbuatan yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah,
perbuatan patut dipertanggung jawabkan. Menurut Wirjono
Prodjodikoro unsur-unsur tindak pidananya adalah tindak-tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
pidana. Menurut H.B.Vos unsur-unsur tindak pidananya adalah adanya
kelakuan manusia, diancam pidana dalam undang-undang. Menurut
W.P.J Pompe unsur-unsur tindak pidananya adalah bersifat melawan
hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana.
Menurut Moeljatno unsur-unsur tindak pidananya adalah perbuatan
manusia, memenuhi rumusan dalan undang-undang yang merupakan
syarat formil dan bersifat melawan hukum yang merupakan syarat
materiil (Sudarto, 1990: 40-43).
Tindak pidana atau dalam bahasa Belanda “strafbaar feit”
yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam stratwet boek atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana berarti
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana
(Wirjono Prodjodikoro, 2002: 55).
Tindak pidana adalah melakukan sesuatu perbuatan dengan
maksud atau nyata-nyata memutar balikan, merongrong atau
penyelewengan ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Tindak
pidana adalah melakukan perbuatan yang diketahui atau patut
dikehendaki dapat memutar balikan, merongrong atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
menyelewengkan Pancasila atau haluan negara (Niniek Suparni, 1991:
40).
Tindak pidana adalah perbuatan yang suatu oleh peraturan
hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pidana itu diingat
bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang (Moeljatno, 1993: 54).
2) Pengertian tentang korupsi
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 25).
Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006: 27).
Dalam kamus lengkap “Webster’s Third New International
Dictionary” korupsi adalah ajakan (dari seorang pejabat politik)
dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya
suap) untuk melakukan pelanggaran tugas (Selo Soemardjan, 1998:
29).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Menurut Robert Glitgrard korupsi adalah tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena
keuntungan status uang yang menyangkut pribadi (perorangan,
keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.Secara historis konsep
korupsi merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual. Kata
latin corruptus, “corrupt” menimbulkan serangkaian gambaran jahat;
kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan. Ada nada moral pada
kata tersebut (Selo Soemardjan, 1998: 29).
Korupsi adalah suatu perbuatan dengan menyalahgunakan
wewenang atau jabatan di dalam pemerintahan dengan memanfaatkan
celah-celah birokrasi yang ada untuk memperoleh keuntungan atau
kekayaan pribadi dalam rangka untuk memuaskan batinnya dan tindak
para apartur negra itu tidak berdasarkan hati nurani karena telah
menyebabkan kerugian negara serta perbuatan itu telah mengabaikan
kepentingan rakyat (Harum Pudjiarto, 1997: 26).
Menurut Syed Husein Alatas dalam makalahnya yang berjudul
“The Sosiological of Corruption” terjadinya korupsi adalah apabila
seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh
seorang dengan maksud mempengaruhi agar memberikan perhatian
istimewa pada kepentingan si pemberi. Sesungguhnya istilah ini
sering pula juga dikenakan pada pejabat yang menggunakan dana
publik yang mereka urus bagi kepentingan sendiri. Dengan kata lain
mereka yang bersalah melakukan penggelapan atas harga yang
seharusnya dibayar oleh publik (Harum Pudjiarto, 1997: 29).
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa
latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa
corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere suatu kata latin
yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa
seperti Inggris yaitu corruption, corrupt. Dalam bahasa Perancis yaitu
corruption dan Belanda yaitu corruptie (korruptie). Arti dari kata itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah (Andi Hamzah, 2004: 4-5).
Menurut Grote Prins mengatakan pengertian korupsi adalah
“corruption=omkoping,noemt men het verschijnsel dat ambtenaren of
andere personen in dients der openbare zaak (zie echter hieronder
voor zogenaamd niet ambtelijk corruptie) zicht laten omkopen” (Andi
Hamzah, 2004: 5).
Menurut Hodes korupsi adalah serangakaian kejahatan dan
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang
dilakukan oleh pemimpin-pemimpin politik selama,sebelum dan
setelah meninggalkan kantor (OC Kaligis, 2008: 2).
Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok. Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Menurut Transparansi International (TI) korupsi adalah perilaku
pejabat baik politis maupun pegawai negeri yang tidak wajar dan tidak
logis agar memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercaya pada mereka (Firman Wijaya, 2008: 8).
Dalam arti luas korupsi berarti menggunakan jabatan untuk
keuntungan pribadi. Jabatan adalah kedudukan kepercayaan
seseorang. Seseorang diberi wewenang atau kekuasaan untuk
bertindak atas nama lembaga. Lembaga itu bisa bersifat swasta,
lembaga pemerintah atau lembaga nirlaba. Korupsi berarti memungut
uang bagi layanan yang sudan seharusnya diberikan atau
menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.
Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja
(Robert Klitgard, 2002:2-3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Arti kata korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya
diri sendiri dengan secara langsung atau tidak merugikan keuangan
dan perekonomian negara (J.C.T Simorangkir, 2000: 85).
Korupsi adalah suatu tingkah laku dan / atau tindakan
seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang
berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong
dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan
mementingkan diri pribadi atau keluarga atau kelompok atau
golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan
pengendalian diri, sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani
dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi dan tidak selaras dengan
mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakan nafsu duniawi
yang berlebihan, sehingga merugikan keuangan atau kekaayaa negara
dan / atau kepentingan masyarakat atau negara baik secara langsung
maupun tidak langsung (Juniadi Soewartojo, 1998: 11).
Dalam bahasa Inggris istilah korupsi dapat distilahkan berupa
white collar crime atau frauda atau corruption. Dalam kamus besar
bahasa Indonesia arti korup adalah busuk, buruk, rusak, suka memakai
barang (uang yang dipercayakan kepadanya dapat disogok melalui
kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Korupsi adalah penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk
keuntungan pribadi atau orang lain.
Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary, korupsi adalah “a corrupting or state of being corrupt as a decay, deprativity, impurity, bibery an instance of making or becoming corrupt perverson an agency of influence that corrupt”.
Dalam International Encyclopedia of the Social Sciences,
korupsi adalah “…..corruption are those forms of misuse authority which result in some undue benefit to a favored individual (favoritism), relative (nepotism), coreligiost (communalism), and so forth. The political, social economic, anf financial cost of corrupt machines are incalculable but enormous whatever their inevitability or fuctional utility”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dalam Encyclopedia Britania, korupsi adalah “embezzlement crime generally defined as the fraudulent misappropriation of godos or another by a servant an agento r another person to whom possession of the goods”.
Menurut Onghokham, korupsi adalah suatu gejala sosial dan
politik serta adanya pemisahan antara keuangan pribadi dari seorang
pejabat negara dan keuangan jabatannya, penyalahgunaan wewenang
demi kepentingan pribadi khususnya dalam soal keuangan dianggap
korupsi.
Menurut M.Alwi Dahlan, korupsi adalah penggunaan
wewenang atau pengaruh yang ada pada kedudukan seoarang petugas
atau pejabat yang menyimpang dari ketentuan dan peraturan mengenai
tugas dan kewajibannya untuk kepentingan atau keuntungan
perorangan baik pribadi, keluarga atau suatu kelompok.
Menurut Moegono, S.H bahwa korupsi adalah perbuatan
melawan hukum yang ada sangkut pautnya dengan jabatan atau
wewenang yang ada padanya untuk memperoleh penghasilan
tambahan bagi dirinya dan mayarakat.
Menurut W.F. Wertheim, bahwa korupsi adalah perilaku
pejabat yang menerima hadiah dari seseorang atau dalam bentuk balas
jasa yang lain atau dalam bentuk pemerasan dengan tujuan
mempengaruhi agar pengambilan keputusan yang menguntungkan
kepentingannya pribadi si pemberi hadiah, pejabat yang menggunakan
uang negara yang berada di bawah pengawasannya untuk kepentingan
pribadinya atau melakukan penggelapan uang masyarakat, pejabat
yang menerima balas jasa dari pihak ketiga untuk diteruskan kepada
keluarganya atau partainya atau kepada orang-orang yang mempunyai
hubungan pribadi dengannya dan pejabat yang melanggar asas
pemisahan keuangan pribadi dan keuangan masyarakat ( Juniadi
Soewartojo, 1998: 119-124).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Pengertian dari korupsi atau tindak pidana korupsi adalah
tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatau
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri, orang lain atau
suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara atau daerah atau badan
hukum lain yang menggunakan modal atau keonggaran dari negara
atau masyarakat (Andi Hamzah, 2008: 201).
Korupsi secara harfiah menurut John M.Echols dan Hassan
Shadaly berarti jahat atau busuk, sedangkan menurut A.I.N Kramer SR
mengatakan kata korupsi sebagai suatu yang busuk, rusak, atau dapat
disuap. Dalam “The Lexion Webster Dictionary” kata korupsi berarti
kebusukan, keburukan, kejahatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah. Pengertian korupsi menurut Gurnar
Myrdal dalam bukunya berjudul Asian Drama, Volume II adalah “to
include not only all forms of improper or selfish exercise of power and
influence attached to a public office or the special position one
occupies in the public life but also the activity bribers”. Menurut
Helbert Edelherz mengartikan korupsi yaitu sebagai berikut “White
collar crime an ilegal acts or service of ilegal acts committed by
nonphysical means and by concealmnet or guille to obtain or
property, to avoid tha payment or loss of Money or property, to obtain
business or personal advantage” (Ermansjah Djaja, 2008: 6-7).
Pendapat dari David M.Chalmer menguraikan arti istilah
korupsi adalah dalam berbagai bidang yakni yang menyangkut
masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi di bidang
ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum (Evi
Hartanti, 2005: 9).
Dalam kamus hukum disebutkan bahwa korup berarti
mempunyai 4 (empat) arti, Pertama adalah buruk, rusak dan busuk.
Kedua adalah suka menerima uang sogok . Ketiga adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
menyelewengkan uang atau uang perusahaan atau negara. Keempat
adalah menggunakan uang dengan menggunakan jabatan untuk
keuntungan pribadi. Selanjutnya korupsi adalah penyelewengan atau
penggelepan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang
bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sudarsono, 1992:
300).
Menurut asal katanya korupsi berasal dari kata latin yaitu
“corruptio” dan dalam bahasa inggris menjadi “corruption” yang
selanjutnya dalam bahasa indonesia disebut korupsi. Korupsi secara
harfiah mengandung arti jahat atau busuk.
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara
salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan
suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.
Robert Glitgaard merumuskan korupsi dalam sebuah proposisi
matematis yaitu dengan rumusan sebagai berikut:
(C=M+D-A)
Corruption = Monopoly Power + Diskretion by Official –
Accountability
Korupsi terjadi dimana terdapat monopoli atas kekuasaan dan
diskresi (hak untuk melakukan penyimpangan kepada suatu
kebijakan), tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas. Dalam arti
sempit korupsi berarti pengabaian standart perilaku tertentu oleh pihak
yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendefinisikan
korupsi sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan
masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu
(Rohim, 2008: 1-2).
Menurut Harrington dan Sabine, korupsi adalah sebagai
perubahan atau disintegrasi dari keadaan yang diinginkan menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
sebaiknya atau sesuatu yang lain yang kurang dinginkan (Syed Husein
Alatas, 1987: 234).
Menurut Jack Burden, korupsi adalah nama yang
digunakannya jika temannya melakukan dengan tidak mengharuskan
jika siapa saja yang mana yang harus dipakai dan korupsi adalah
proses sosial dan politik (A. Rahman Zainudin, 1999: 273).
Guru Besar dan Rektor Universitas Pharamadina Jakarta serta
Ketua Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, Nurchalis
Madjid menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan
yang biasanya dilakukan perangkat kekuasaan. Lebih jauh lagi korupsi
adalah kejahatan yang membangun sistem sehingga orang yang
berinteraksi dengan sistem yang korup dan hampir pasti akan
terkontaminasi. Korupsi mengandung makna dasar rusak total dalam
karakter dan kualitas dan menunjuk tindakan yang bercirikan tidak
bermoral, curang, jahat, dan tidak jujur (inmoral, perverse, venal, dis-
honest). Hal ini berlaku dalil crime by tha best is the worst dan
kejahatan yang dilakukan orang-orang terbaik adalah yang terburuk
(Ikahi, 2007: 21).
Menurut Transparansi Internasional korupsi adalah perilaku
pejabat publik baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka (Adhi Setyo Tamtomo,
2010: 4).
Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan di sektor
pemerintahan (misuse of public office) untuk kepentingan pribadi.
Korupsi yang didefinisikan seperti itu meliputi misalnya; penjualan
kekayaan negara secara tidak sah oleh pejabat, kick backs dalam
pengadaan di sektor pemerintahan, penyuapan, dan pencurian
(embezzlement) dana-dana pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
(http://mnaimamali.blogspot.com/2008/08 /modus-operandi-tindak-
pidana-korupsi.html/diakses tanggal 10 Oktober 2010 pukul 17 WIB ).
3) Jenis-jenis tindak pidana korupsi
a) Tindak pidana korupsi murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan
perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang
menyangkut keuangan negara, perekonomian negara dan
pelaksanaan tugas atau pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana
pekerjaan yang bersifat publik. Tindak pidana yang masuk dalam
kelompok ini dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 12B,13,15, 16 dan 23 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi. Hal ini menarik dari Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH).
Atas dasar kepentingan hukum yang dilindungi dalam hal
dibentuknya tindak pidana korupsinkelompok ini dapat dibedakan
lagi menjadi empat kelompok yaitu: Pertama, tindak pidana yang
dibentuk dengan substansi untuk melindungi kepentingan hukum
terhadap keuangan negara dan perekonomian negara. Tindak
pidana korupsi ini dimuat dalam tiga pasal yakni Pasal 2, 3, dan 4.
Kedua, tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan
pekerjaan pegawai negeri atau orang-orang yang perkerjaannya
berhubungan dan menyangkut kepentingan umum. Tindak pidana
korupsi ini berasal dan termasuk terhadap penguasa umum dalam
Banb VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah Pasal 220, 231,
KUHP, dan pasal d (mengadopsi Pasal 209 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP)), serta Pasal 6 (mengadopsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga,
tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau
orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang dari
perbuatan yang bersifat menipu. Tindak pidana korupsi ini
dirumuskan dalam Pasal 7 yang substansinya mengadopsi dari
rumusan Pasal 387 dan 388 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Keempat, tindak pidanakorupsi yang dibentuk
untuk melindungi kepentingan hukum mengenai terselenggaranya
tugas-tugas publik atau tugas perkerjaan atau jabatan yang
dimilikinya sebagai pegawai negeri atau berkedudukan dan
tugasnya untuk kepentingan umum. Pasal 8 (mengadopsi dari
Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)), Pasal
9 (mengadopsi dari Pasal 416 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)), Pasal 10 (mengadopsi dari Pasal 417 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)), Pasal 11 (mengadopsi
dari Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)),
Pasal 12 (mengadopsi dari Pasal 419, 420, 423, 425, 435 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)) (Adami Chazawi,
2005: 20-21).
b) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana
yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap
kepentimgan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
penegak hukum dalam upaya pemebarantasan tindak pidana
korupsi. Tindak pidana tersebut hanya diatur dalam tiga pasal,
yakni Pasal 21, 22, dan 24 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi (Adami Chazawi, 2005: 22).
c) Tindak Pidana Korupsi Umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tindak pidana umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang
berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada
setiap orang termasuk korporasi. Hal ini terdapat dalam Pasal 2,
3, 4, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 Undang-undang No.31 Tahun
1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 220 dan 231 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 23 (Adami Chazawi, 2005: 23).
d) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara
Negara
Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau
Penyelenggara Negara adalah tindak pidana korupsi yang hanya
dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai
negeri atau penyelanggara negara. Rumusan tindak pidana
pegawai negeri ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan
23 (mengadopsi Pasal 421, 422, 429, 430 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)) Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi (Adami Chazawi, 2005: 23).
e) Tindak Pidana Korupsi Aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi
positif adalah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif. Tindak pidana korupsi aktif
ini terdapat dalam beberapa pasal sebagai berikut:
1. Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang
lain, atau suatu korporasi);
2. Pasal 3 yang perbuatannya ( menyalahgunakan wewenang,
menyalahgunakan kesempatan dan menyalahgunakan
sarana);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
3. Pasal 5 ayat (1) sub a perbuatannya member sesuatu,
menjanjikan sesuatu, ayat (1) sub b memberi sesuatu, ayat 2
perbuatannya menerima pemberian;
4. Pasal 6 ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya adalah
memberikan sesuatu dan menjanjikan sesuatu, ayat (2)
perbuatannya menerima pemberian dan menerima janji;
5. Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang;
6. Pasal 9 perbuatannya memalsu;
7. Pasal 10 sub a perbuatannya menggelapkan, menghancurkan
dan membuat tidak bisa dipakai. Sub b perbutannya
membantu orang lain;
8. Pasal 11 perbuatannya menerima hadiah dan memerima janji;
9. Pasal 12 sub a, b, c, dan d perbutannya menerima hadiah dan
menerima janji. Sub e perbutannya memaksa memberikan
sesuatu, memaksa meminta, memaksa menerima pembayaran
dengan potongan. Sub f perbutannya meminta pembayaran,
menerima pembayaran atau memotong pembayaran. Sub g
perbuatannya meminta pekerjaan atau pembayaran,
menerima pembayaran atau pekerjaan. Sub h perbuatannya
menggunakan tanah negara. Sub i perbuatannya turut serta
dalam pemborongan, pengadaan atau persewaaan;
10. Pasal 12B perbuatannyamenerima gratifikasi;
11. Pasal 13 perbuatannya member hadiah dan menerima janji;
12. Pasal 15 perbuatannya percobaan, pembantuan dan
permufakatan jahat;
13. Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan;
14. Pasal 21 perbuatannya mencegah, merintangi dan
menggagalkan;
15. Pasal 22 perbutannya tidak memberikan keterangan dan
member keterangan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
16. Pasal 220 KUHP ayat (1) perbuatannya memberitahukan dan
mengadukan;
17. Pasal 231 KUHP ayat (1) perbutannya menarik suatu barang,
ayat (2) perbuatannya menghancurkan, merusak atau
membikin tidak dapat dipakai, ayat (3) perbuatannya
melakukan kejahatan;
18. Pasal 421 KUHP perbuatannya memaksa untuk melakukan,
memaksa untuk tidak melakukan dan memaksa untuk
membiarkan;
19. Pasal 422 KUHP perbutannya menggunakan sarana dengan
paksaan;
20. Pasal 429 KUHP ayat (1) perbutannya memaksa masuk, ayat
(2) perbuatannya memeriksa atau merampas; dan
21. Pasal 430 KUHP ayat (1) perbuatannya merampas, ayat (2)
perbuatannya memberikan keterangan (Adami Chazawi,
2005: 25-28).
f) Tindak Pidana Korupsi Pasif
Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana negatif
adalah tindak pidana yang melaang untuk tidak berbuat aktif. Hal
ini diartikan telah melanggar kewajiban hukumnya suatu tindak
pidana pasif tertentu. Dalam doktrin hukum dibedakan dalam
beberapa hal yaitu sebagai berikut: Pertama, tindak pidana pasif
murni artinya tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil
atau yang pada dasarnya semata-mata unsur perbutannya adalah
berupa perbuatan pasif. Semua yang ada Undang-undang No.31
Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi adalah berupa tindak pidana pasif murni..
Kedua, tindak pidana pasif yang tidak murni artinya berupa tindak
pidana yang pada dasarnya tindak pidana aktif, tetapi dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan
sesuatu.
Tindak pidana korupsi pasif terdapat dalam pasal-pasal
yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) sub b,d dan ayat (2) yang membirakan
perbuatan curang;
2. Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain
menghilangkan, membirakan orang menghancurkan,
membiarkan orang lain merusak atau membiarkan orang lain
membuat hingga tidak dapat dipakai;
3. Pasal 23 jo 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan salah
satu kejahatan itu.
4. Pasal 24 perbutannya tidak memenuhi ketentuan
(Adami Chazawi, 2005: 28-29).
g) Discretionery corruption
Korupsi jenis ini adalah suatu jenis korupsi yang
dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan
sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang
dapat diterima oleh para anggota organisasi.
h) Ilegal Corruption
Korupsi jenis inin adalah Suatu tindakan yang ditujukan
untuk mengacaukan bahasa/maksud-maksud hukum, peraturan
dan norma-norma yang telah ada. Jenis korupsi ini bisa saja
dilakukan seseorang dengan tingkat efektifitas tertentu.
i) Mercenery Corruption
Korupsi jenis ini adalah tindakan korupsi yang
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, jenis
korupsi ini meliputi uang sogok dan semir.
j) Ideological Corruption
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Korupsi jenis ini adalah suatu jenis korupsi, baik yang
bersifat ilegal maupun discrisionery, yang dimaksudkan untuk
mengejar tujuan-tujuan kelompok (Guy Benvineste, 1994: 166-
167).
k) Pungutan liar
Adapun yang tergolong dalam jenis korupsi ini adalah
adanya korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai,
pemerasan, penyuapan, komisi dalam pemberian kredit bank,
komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin
(kenaikan pangkat dan penggunaan SKO), dan pungutan terhadap
uang perjalanan dan pungutan oleh pos-pos kegiatan (Juniadi
Soewartojo, 1998: 125-126).
l) Korupsi endemis (endemic corruption)
Jenis korupsi ini menurut Waterbuy artinya bentuk
korupsi yang memliki ruang lingkup dengan beberapa kegiatan
pemerintahan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
m) Korupsi terencana (planned corruption)
Jenis korupsi ini artinya jenis korupsi dengan tujuan
politis dan secara direncanakan atau disengaja diadakan dan
dipertahankan sebagai pembentuk dana bagi keperluan
operasional pemerintahan yang secara sulit dibiayai melalui dana
anggaran yang memerlukan persetujuan dari Lembaga Perwakilan
Rakyat.
n) Korupsi pembangunan (development corruption)
Jenis korupsi ini artinya berkaiatan dengan peningkatan
kegiatan ekonomi pembangunan nasional dan berhubungan
dengan peningkatan usaha rumah tangga produksi yaitu fungsi
pemerintah sebagai pengatur perekonomian nasional yang
memiliki peranan penting serta hubungannya dengan industrialis,
importir, eksportir, pedagang, asahawan, produsen, penyalur, dan
lainnya. Hal ini dapat merubah celah-celah timbul dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
berkembangnya korupsi sesuai dengan pertumbuhan ekonomi
nasional (Juniadi Soewartojo, 1998: 36-37).
o) Korupsi Konflik Of Interest Pengadaan
Menurut Sujanarko Direktur Pembinaan Jaringan Kerja
Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(KPK, 2010: 3), jenis korupsi ini adalah bentuk adopsi dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (berasal dari Pasal 1
ayat (1) sub c Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Tindak
Pidana Korupsi). Korupsi ini adalah bentuk dari isi Pasal 12 huruf
i Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi).
p) Political bribery
Menurut Piers Bierne dan James Messerchmidht yang
dimaksud political bribery adalah tipe korupsi dalam kekuasaan
di bidang legislative sebagai pembentuk undang-undang. Secara
politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena
dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering
berkaitan dengan aktivitas tertentu.
q) Political kickbacks
Adapun yang dimaksud dengan political kickbacks adalah
kegiatan-kegiatan yang berkaiatan sistem kontrak pekerjaan
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi
peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang
bersangkuatan.
r) Election Fraud
Adapun yang dimaksud dengan election fraud adalah tipe
korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan
umum.
s) Corrupt Campaign Practice
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Adapun yang dimaksud dengan Corrupt Campaign
Practice adalah tipe korupsi yang berkaitan dengan praktek
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun negara
oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara (Ikahi,
2009: 46-47)
4) Faktor penyebab tindak pidana korupsi
Menurut Jeremy Pope kemiskinan merupakan penyebab
terjadinya korupsi. Menurut Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) adanya modus operandi korupsi disebabkan
aspek individu pelaku korupsi seperti, tamak, moral dan iman yang
lemah sehingga tidak dapat menahan godaan nafsu serta penghasilan
kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar. Adanya aspek
organisasi, seperti kurang adanya teladan dari pimpinan, tidak adanya
kultur organisasi yang benar dan manajemen cenderung menutupi
korupsi di dalam organisasinya. Adanya aspek masyarakat tempat
individu dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakat yang ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi
(Rohim, 2008: 14-15).
Faktor penyebab terjadinya korupsi meluas di Inonesia adalah
pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi, penyalahgunaan
kesempatan untuk memperkaya diri, dan penyalahgunaan kekuasaan
untuk memperkaya diri. Menurut Andi Hamzah penyebab terjadinya
korupsi yaitu kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat, latar belakang
kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab
meluasnya korupsi, manajemen yang kurang baik dan kontrol yang
kurang efektif dan efesien yang akan memberi peluang orang untuk
korupsi dan adanya modernisasi mengembangbiakan korupsi (Juniadi
Soewartojo, 1998: 31-32).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
d. Tinjauan secara umum tentang Modus Operandi Korupsi
1) Pengertian tentang modus operandi korupsi
Pengertian Modus Operandi menurut Black’s Law Dictionary
adalah
“Methode of operating or doing things (M.O). Terms by police and
criminal investigators to describe the particuler method of criminal’s
activity. It refer to pattern of criminal behaviour so distinct that
separate crimes or wrongful conduct are recognize as work of same
person”. Dalam bahasa latin modus operandi berarti cara bertindak
atau prosedure. Jadi modus operandi adalah cara melaksanakan, cara
bertindak. Modus Operandi korupsi adalah cara-cara bagaimana
korupsi itu dilakukan (Rohim, 2008: 13).
Modus operandi korupsi diartikan oleh Earl. R. Sikes dalam
bukunya “State And Federal Corrupt Practices Legislation” adalah
“ contractors, hoping ti insure the election of friends who will be in a position to awards lucrative agreement between contracts, often contribute generouslyto the party funds. Trought corrupt between public official and contractors these contrutions have at times degenerated into outright stealing from taxpayer” (Artidjo Alkostar, 2008: 36).
Modus operandi korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi
itu dilakukan (http://bataviase.co.id/node/336605 / diakses tanggal 26
Oktober 2010 pukul 13.00 WIB).
2) Jenis-jenis modus operandi korupsi
Adapun yang termasuk dalam kategori jenis-jenis modus
operandi korupsi secara umum adalah sebagai berikut:
a) Pemberian uang suap atau sogok (bribery)
Uang sogok adalah dana yang besar yang digunakan untuk
menyogok para petugas. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Inggris (Webster), halaman 120, yang digabungkan dengan Buku
Ensiklopedia Dunia halaman 487 yang menyatakan bahwa suap
adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau
barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai
otoritas atau yang dipercaya. Sebagai contoh para pejabat dan
membujuknya untuk merubah otoritasnya demi keuntungan orang
yang memberikan uang atau barang atau perjanjian lainnya
sebagai kompensasi sesuatu yang dia inginkan untuk menutupi
tuntutan lainnya yang masih kurang. Menurut Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara dianggap pemberian uang suap apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya antara lain diatur dalam Pasal 5,6,11,
dan 12.
Disamping itu terdapat beberapa uang suap kepada orang
lain tetapi tidak termasuk suap, sehingga setiap orang bebas
melakukannya antara lain: Pertama, Uang jasa yaitu sejumlah
yang diberikan oleh seseorang terhadap orang tertentu yang sudah
melakukan suatu pekerjaan baginya. Uang sejenis ini adalah uang
tambahan diluar dari biaya wajib yang akan dibayar oleh
konsumen. Kedua, Uang administrasi yaitu terkait dalam
kepengurusan surat menyurat dengan pemerintah daerah maupun
pusat. Sebagian biaya administrasi surat-surat itu telah tercantum
biayanya, tetapi ada juga yang tidak tercantum. Ketiga, Uang
registrasi yaitu jika mendaftarkan sebuah institusi dari tingkat
daerah ke tingkat pusat atau mengurus surat-surat ke badan
pemerintah tentu akan dikenakan biaya administrasi dan sering
tidak tercantum (tidak ada harga pasti);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
b) Pemalsuan (Fraud)
Fraud merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi
dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau
kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain.
Kegiatan yang dianggap signifikan dalam intensitas kemunculan
fraudnya adalah meninggikan anggaran dalam pengajuan kegiatan
serta menggunakan barang milik negara untuk kepentingan
pribadi;
c) Pemerasan (exortion)
Merupakan perbuatan memaksa seseorang untuk
membayar atau memberikan sejumlah uang atau barang atau
bentuk lain sebagai ganti dari seorang pejabat publik untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perbuatan tersebut dapat
diikuti dengan ancaman fisik atau pun kekerasan;
d) Penyalahgunaan jabatan atau wewenang (abuse of discretion)
Merupakan perbuatan mempergunakan kewenanangan
yang dimiliki untuk melakukan tindakan yang memihak atau pilih
kasih kepada kelompok atau perseorangan sementara bersikap
diskriminatif terhadap kelompok atau perseorangan lainnya;
e) Nepotisme (nepotism)
Nepotisme adalah memberikan jabatan kepada saudara-
saudara atau teman-temannya saja. Sedangkan Jhon M.Echols
mengatagorikan sebagai kata benda dengan mendahulukna
saudara khususnya dalam pemberian jabatan. Begitu pula dengan
istilah nepotisme yang berasal dari kata latin nepos yang artinya
cucu. Nepotisme dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan
perbuatan mengutamakan sanak keluarga, kawan dekat serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
anggota partai politik yang sepaham, tanpa memperhatikan
persyaratan yang ditentukan (Rohim, 2008: 20-29).
Menurut Mochtar Lubis cara atau modus operandi korupsi
adalah sebagai berikut: Pertama, penyuapan artinya seorang
pengusaha uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya
untuk suatu jasa bagi pemberi uang. Kedua, pemerasan artinya
orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran uang
atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang
diberikan. Ketiga, pencurian adalah orang yang berkuasa
menyalahgunakan kekuasaan dan mencuri harta rakyat langsung
atau tidak langsung (Juniadi Soewartojo, 1998: 126)).
Selain itu jenis-jenis modus operandi korupsi yang sering
terjadi adalah sebagai berikut:
a) Penyalahgunaan wewenang atau penyalahgunaan jabatan;
b) Pembayaran fiktif;
c) Kolusi atau persekongkolan atau kongkalingkong;
d) Biaya perjalanan dinas fiktif;
e) Suap atau uang pelicin;
f) Pungutan tidak resmi;
g) Penyalahgunaan fasilitas atau inventaris kantor;
h) Imbalan tidak resmi;
i) Pemberian fasilitas secara tidak adil;
j) Bekerja tidak sesuai ketentuan dan prosedur;
k) Tidak disiplin waktu;
l) Komisi atau transaksi jual beli yang tidak disetor ke kas
negara;
m) Menunda atau memperlambat pembayaran;
n) Pengumpulan dana taktis;
o) Penyalahgunaan anggaran;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
p) Menerima hadiah, sumbangan, dan hibah berkaitan dengan
tugas atau jabatan;
q) Mark up;
r) Mark down;
s) Menurunkan kualitas atau spesifikasi teknis atau mengurangi
volume pekerjaan;
t) Merubah dan memanfaatkan kelemahan sistem teknologi
informasi; dan
u) Pertanggungjawaban tidak sesuai dengan realisasi
(http://www.facebook.com/topic.php?uid=194083176908&topic=
16084 / diakses tanggal 26 Oktober 2010 pukul 13.00 WIB).
Adapun ada delapan belas (18) jenis modus operandi
korupsi yang terjadi dalam tataran birokrasi daerah di Indonesia
yaitu sebagai berikut:
a) Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk
"membujuk" kepala daerah atau pejabat daeerah
mengintervensi proses pengadaan dalam rangka
memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai
kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang
kepada pejabat pusat maupun daerah;
b) Pengusaha mempengaruhi kepala daerah atau pejabat daerah
untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu
dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga
barang atau jasa dinaikkan (mark up) kemudian selisihnya
dibagi-bagikan;
c) Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang
mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka
memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up
harga barang atau nilai kontrak;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
d) Kepala daerah atau pejabat daerah memerintahkan
bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana atau
anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian
mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan
menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif;
e) Kepala daerah atau pejabat daerah memerintahkan
bawahannya menggunakan dana atau uang daerah untuk
kepentingan pribadi koleganya atau untuk kepentingan
pribadi kepala atau pejabat daerah dan kemudian
mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran
dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar,
bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya
fiktif;
f) Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar
pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan
dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
tidak berlaku lagi;
g) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah
bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemerintah Daerah
dan melakukan mark down atas aset Pemerintah Daerah serta
mark up atas aset pengganti dari pengusaha atau rekanan;
h) Para kepala daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka)
kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek;
i) Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan
menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan;
j) Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah
dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang
ditunjuk) dan dimaksudkan untuk mempermudah pencairan
dana tanpa melalui prosedur;
k) Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro atau
tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
l) Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya
alam kepada perusahaan yang tidak memiiki kemampuan
teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya;
m) Kepala daerah menerima uang atau barang yang berhubungan
dengan proses perijinan yang dikeluarkannya;
n) Kepala daerah atau keluarga atau kelompoknya membeli
lebih dulu barang dengan harga yang murah dan kemudian
dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah
di mark up;
o) Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan
barang pribadinya menggunakan anggaran daerahnya;
p) Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu
dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan
Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus
(DAK);
q) Kepala daerah memberikan dana kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dalam proses penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ; dan
r) Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi
dengan beban anggaran daerah
(http://nasional.kompas.com/read/2008/08/22/19465330/inilah.18.
modus.operandi.korupsi.di.daerah / diakses tanggal 10 Oktober
2010 pukul 17.00 WIB).
Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan
para pelaku dari perspektif Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah sebagai berikut:
a) Modus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
1. Memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan
fasilitas anggota dewan;
2. Menyalurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) bagi anggota dewan melalui yayasan
fiktif;
3. Memanipulasi perjalanan dinas;
4. Menerima gratifikasi; dan
5. Menerima suap.
b) Modus Pejabat Daerah
1. Pengadaan barang dana jasa pemerintah dengan mark up
harga dan merubah spesifikasi barang;
2. Penggunaan sisa dana tanpa dipertanggungjawabkan dan
tanpa prosedur;
3. Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana
kas daerah;
4. Manipulasi sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD);
5. Manipulasi dalam proses pengadaan atau perijinan atau
konsensi hutan;
6. Gratifikasi dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)
penampung dana daerah;
7. Bantuan sosial tidak sesuai peruntukannya;
8. Menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) untuk keperluan keluarganya dan koleganya;
9. Menerbitkan Peraturan Daerah untuk upah pungut pajak;
10. Ruislag atau tukar guling tanah dengan mark down
harga; dan
11. Penerimaan Fee Bank.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Adapun jenis modus operandi korupsi yang dilakukan
para pelaku dari perspektif Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) adalah sebagai berikut:
a) Penggelembungan dana program;
b) Program fiktif; dan
c) Investasi dana daerah ke lembaga keuangan yang tidak
pruden.
(http://mukhsonrofi.wordpress.com/2010/08/05/kpk-beber-
modus-korupsi-daerah/ diakses tanggal 26 Oktober 2010
pukul 14.00 WIB).
e. Tinjauan secara umum tentang Mark Up
Mark up adalah bentuk perubahan dari anggaran tanpa melihat
rasionalitas pendanaan yang menjadi argumentasi bagi anggaran yang
dilakukan berdasarkan perkiraan peningkatan pendapatan (Sony Yuwono
dkk. 2007: 488).
Mark up adalah bentuk tahapan dalam pengadaan barang dan jasa
dengan menggelembungkan anggaran uang akan diajukan dalam
pengerjaan sebuah tender pengadaan (Rohim, 2008: 38).
f. Tinjauan secara umum tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)
1) Pengertian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)
Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah
jantung pengelolaan lembaga pemerintahan daerah dan merupakan
denyut nadi yang merefleksikan dinamika keuangan daerah sekaligus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
merupakan suatu integral dari sistem keuangan negara (Sony Yowono
dkk, 2007: 67-68).
Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang telah disetujui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) (Sony Yowono dkk, 2007: 85).
Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah
(APBD) dan merupakan model penganggaran pemerintah daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah (Hanif Nurcholis, 2005: 109).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (13) Undang-undang No.25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah
“suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan
berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah”.
Dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang berbunyi:
“Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut
APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah”.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Undang-undang No.33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
“rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Peraturan Pemerintah Pasal 1 ayat (7) No.58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang dimaksud Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
“rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan
dengan peraturan daerah”.
Dalam Pasal 1 ayat (15) Peraturan Pemerintah No.08 Tahun
2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
yang berbunyi
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
2) Aturan yuridis tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)
Dalam Undang-Undang No.25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah memberikan petunjuk
dan arah yang cukup jelas mengenai dasar-dasar pembiayaan
penyelenggaraan pemerintah daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2
yang menegaskan bahwa: (1) Penyelenggaraan tugas daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), (2) Penyelenggaraan tugas pemerintah
pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah provinsi dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Meskipun Undang-undang No.25 Tahun
1999 telah diganti dengan Undang-undang No.33 Tahun 2004, namun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
mengenai dasar-dasar pembiayaan atau pendanaan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 2 tersebut diatas, secara subtansi juga masih
diatur dalam aturan terbaru. Hal ini termuat dalam Bab III Pasal 4
mengenai dasar-dasar pendanaan pemerintahan daerah meliputi: (1)
Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), (2) Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan
oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (Muhammad
Fauzan, 2006: 229-230).
Pasca reformasi tahap I terdapat aturan sebagai landasan
penyelenggaraan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Tanggungjawab Daerah. Tahap reformasi II terdapat
aturan berupa Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Undang-undang No.17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang No.15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab
Keungan Negara, Undang-undang No.32 tentang Pemerintah Daerah,
Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, Keputusan Mentri Dalam Negeri
No.29 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan
Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
(Sony Yowono dkk, 2007: 42).
3) Tujuan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Adapun yang menjadi tujuan dari pengelolaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:
a) Sebagai bentuk pertanggung jawaban, artinya pemerintah
daearah harus mempertanggung jawabkan tugas keuangannya
kepafa lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah;
b) Sebagai pemenuhan kewajiban keuangan, artinya keuangan
daerah harus ditata sedemikian rupa, sehingga mampu melunasi
semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang;
c) Sebagai bentuk kejujuaran, artinya urusan keuangan harus
diserahkan pada pegawai yang jujur dan kesempatan untuk
berbuat curang diperkecil;
d) Sebagai hasil guna dan daya guna, artinya kegiatan daerah
dengan tata cara mengurus keungan daerah harus sedemikian
rupa, sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan
biaya-biaya serendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya; dan
e) Sebagai pengendalian, artinya petugas keuangan pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta
petugas pengawasan harus melakukan penegndalian agar selalu
mendapat informasi yang diperluakan untuk memantau
pelaksanaan dan pengeluaran dengan rencana dan sasaran (Adrian
Sutedi, 2009: 83).
4) Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Adapun yang menjadi fungsi utama dari penyelenggaraan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai
berikut:
a) Otorisasi adalah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan
dan belanja pada tahun yang bersangkutan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
b) Perencanaan adalah menjadi pedoman bagi manajemen dalam
merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan;
c) Pengawasan adalah menjadi pedoman untuk menilai apakah
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan;
d) Alokasi adalah anggaran daerah harus diarahkan untuk
menciptakan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perekonomian;
e) Distribusi adalah kebijakan anggaran daerah harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; dan
f) Stabilisasi anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian daerah
(Sony Yowono dkk, 2007: 85-86).
5) Asas-asas umum pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)
Adapun yang terkait asas-asas umum dalam pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu meliputi:
a) Dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, efesien, efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan;
b) Didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah
(APBD) dalam tahun anggaran tertentu pada tahun fiskal
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sama
dengan tahun fiskal;
c) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka
desentralisasi dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
d) Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
disusun dengan pendekatan anggaran kinerja yakni suatu sistem
anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau
out put dari perencanaan alokasi biayai atau in put yang
ditetapkan;
e) Dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) penganggaran pengeluaran harus didukung oleh adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup;
f) Pendapatan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) merupakan perkiraan yang teratur secara
rasional dan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi
untuk setiap jenis tertentu;
g) Semua transaksi keuangan daerah baik penerimaan maupun
pengeluaran dilaksanakan melalui kas daerah (Muhammad
Fauzan, 2006: 229-230).
h) Asas tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,
efisien, ekonomis, transparan, bertanggung jawab, memperhatikan
rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat (Adrian
Sutedi,
Adapun yang menjadi asas umum Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Pasal 15 Peraturan Mentri
Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah yang berbunyi:
” (1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. (2) Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. (3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. (4) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah”.
Adapun yang menjadi asas umum pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Pasal 122
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah yang berbunyi
”(1) Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD. (2) Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (3) Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. (4) Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja. (5) Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan baths tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja. (6) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD. (7) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. (8) Kriteria keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (9) Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. (10) Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Tim Redaksi Fokus Media, 2004: 16).
6) Norma dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD)
Adapun norma yang terkait dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:
a) Transparansi dan akuntabilitas yaitu merupakan anggaran daerah
salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik, bersih dan bertanggung jawab;
b) Disiplin anggaran yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) harus beorientasi pada kebutuhan masyarakat
tanpa harus meninggalkan kesimbangan antara biaya
penyelenggaraan yang diusulkan harus dilakukan berdasarkan
asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
jawabkan. Pemilihan antara biaya yang bersifat rutin dan dengan
belanja yang bersifat pembangunan. Hal tersebut harus
diklasifikasikan secara jelas agar tidak terjadi percampuradukan
kedua sistem anggaran yang dapat menimbulkan pemborosan dan
kebocoran dana;
c) Keadilan anggaran yaitu pembiayaan pemerintah daerah
dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul
oleh segenap lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah wajib
mengelola sistem penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam
pemberiaan pelayanan;
d) Effisiensi dan efektivitas anggaran yaitu dana yang terdedia harus
digunakan dengan sebaik mungkin untuk menghasilkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal;
e) Format anggaran yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) disusun berdsarkan format defisit (defisit budget
format). Selisih antara pendaparan dan belanja mengakibatkan
terjadinya surplus atau defisit anggaran (HAW Widjaja, 2001:
69).
7) Prinsip dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)
Adapun prinsip dalam disiplin anggaran yang harus
diperhatikan untuk penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia yaitu sebagai
berikut:
a) Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur
secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi pengeluaran belanja;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
b) Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya
kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan
tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau
tidak mencukupi kredit anggarannya dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) atau perubahannya; dan
c) Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran
yang bersangkutan harus dimasukan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dan dilakukan melalui rekening Kas
Umum Daerah (Adrian Sutedi, 2009: 76).
Adapun prinsip dalam disiplin anggaran yang harus
diperhatikan untuk penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia yaitu sebagai berikut:
a) Partisipasi masyarakat, artinya adalah pengambilan keputusan
dalam proses penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) sedapat mungkin melibatkan
partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak
dan kewajiban dalam pelaksanaannya;
b) Transparansi dan akuntabilitas anggaran, artinya adalah dalam
pelaksanaannya harus dapat menyajikan informasi secara terbuka
dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, saran,
sumber pendanaan pada setiap jenis belanja serta korelasi antara
besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai
dari suatau kegiatan yang dianggarkan;
c) Disiplin anggaran, artinya pendapatan yang direncanakan
merupakan perkiraan yang terukur secara rasional di dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang
dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja;
d) Keadilan amggaran, artinya pungutan-pungutan daerah (pajak,
retribusi dan lainnya) yang dibebankan kepada masyarakat harus
mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
e) Efesiensi dan efektivitas anggaran, artinya pemanfaatan dana
yang tersedia secara optimal bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; dan
f) Taat asas, artinya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang disusun tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum yaitu rencana peraturan dearah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih
diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan
dan kepentingan public serta bukan membebani masyarakat
(Sony Yowono dkk, 2007: 126-127).
8) Ciri-ciri utama pengelolaan Anggaran dan Pendapatan Belanja
Daerah (APBD)
Adapun yang menjadi ciri-ciri dalam pengelolaan dari
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
baik adalah sebagai berikut:
a) Sederhana, artinya sistem yang lebih sederhana akan mudah
dipahami dan dipelajari oleh mereka yang bertugas
menjalankannya lebih besar kemungkinan diikuti tanpa salah dan
cepat membawa hasil serta mudah diperiksa dari luar dan dalam.
Tujuan praktis yang hendak dicapai dalam penyusunan suatu
pengelolaan keuangan barangkali adalah untuk mencuptakan tata
cara yang sederhana sejalan dengan hasil atau tujuan yang hendak
dicapai;
b) Lengkap, artinya secara keseluruhan, pengelolaan keuangan
hendaknya dapat digunakan untuk mencapai semua tujuan
mengenai unsur utama pengelolaan keuangan. Kegiatan
menyusun anggaran harus menegakan keabsahan penerimaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
pengeluaran serta menjaga agar daerah selalu dapat melunasi
kewajiban keuangan menjalankan pengawasan dari dalam;
c) Berhasil guna, artinya pengelolaan keuangan bersangkutan harus
dalam kenyataan mencapai tujuan-tujuan bersangkutan. Hal ini
kadang-kadang dapat diwujudkan melalui peraturan; misalnya,
peratuaran mengharuskan pemerintah daerah menyelesaikan
rencana anggarannya pada tanggal tertentu sebelum tahun
anggaran;
d) Daya guna, artinya daya guna melekat pegelolaan keuangan
bersangkutan harus dinaikan setinggi-tingginya. Hasil yang
ditetapkan harus dapat dicapai dengan biaya serendah-rendahnya
daru sudut jumlah petugas dan dana yang dibutuhkan atau hasil
yang harus dicapai sebesar-besarnya dengan menggunakan
petugas dan dana pada tingkat tertentu. Pengelolaan keuangan
bersangkutan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga
memperbesar daya guna yang menjadi alat bagi pemerintah
daerah untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya itu dan tidak
menghambatnya;
e) Mudah disesuaikan, artinya pengelolaan keuangan jangan dibuat
demikian kaku, sehingga sulit menerapkannya atau
meyesuikannya pada keadaan yang berbeda-beda. Karena itu,
jumlah pegawai, jumlah bagian yang mengurus keuangan yang
hendaknya jangan ditentukan dengan peraturan sedemikian rupa,
sehingga sulit manjalankannya tata usaha keuangan
bersangkuatan jika petugas kurang atau juga dan tata cara
mengubah anggaran yang dirancang, ketika harga stabil
diterapkan mentah-mentah pada waktu masa inflasi merajalela
pada ukuran dan volume pekerjaan telah jauh meningkat (Adrian
Sutedi, 2009: 85).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
9) Proses Penyusunan dan Proses Penetapan serta Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 20 No.105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah, disebutkan terkait penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:
“(1) APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal/pembangunan. (2) Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 22 No.105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah, disebutkan terkait Proses Penetapan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:
” (1) Kepala Daerah menyampaikan rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan. (2) Apabila rancangan APBD tidak disetujui DPRD, Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan APBD tersebut. (3) Penyempurnaan rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disampaikan kembali kepada DPRD (4) Apabila rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak disetujui DPRD, pemerintah Daerah menggunakan APBD tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangan Daerah”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pasal 23 No.105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah, disebutkan terkait Proses Penetapan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yaitu sebagai berikut:
”(1)Perubahan APBD dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b. Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan; c. Terjadinya kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
mendesak. (2) Perubahan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir”.
10) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daearah (APBD)
Berdasarkan Keputusan Mentri Dalam Negeri No.29 Tahun
2002 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:
a. Pendapatan;
b. Belanja (terdiri dari belanja aparatur, public, belanja bagi hasil
dan bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka); dan
c. Pembiayaan (terdiri dari penerimaan dan pengeluaran).
Berdasarkan Peraturan Mentri Dalam Negeri No.13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai
berikut:
a. Pendapatan;
b. Belanja (terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung);
dan
c. Pembiayaan (terdiri dari penerimaan dan pengeluaran).
(Sony Yowono dkk, 2007: 107).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
2. Kerangka Pemikiran
Saling bersinergisitas
Apakah dapat memberikan kepastian hukum?
Bagaimana pola putusannya?
Apakah terjadi overlapping penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan?
Pelaku Mark Up:
1. Anggota DPRD
2. Gubernur/ Bupati/ Wali Kota
3. Pejabat Daerah Lainnya
Umbrella Act Berupa Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No.30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-
undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang
No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Adanya Pengadilan Ad Hoc Tipikor
Pola Putusan Peradilan
Umum di Daerah
Korupsi Sebagai ”Extra
Ordinary Crime”
Timbulnya Karakteristik, Pola
dan Tipe Modus Operandi
Korupsi di Daerah
Banyak Berbagai Modus
Operandi Korupsi Mark Up
APBD di Daerah Seluruh
Indonesia
Teori Korupsi Robert Glitgaard adalah
Corruption = Monopoly Power + Diskretion by
Official – Accountability
Pola Putusan Pengadilan Ad Hoc Tipikor
di Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Keterangan:
Korupsi merupakan gurita dan monster bangsa yang merupakan
bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi menimbulkan
banyak kerugiaan dengan hancurnya perekonomina rakyat dan terkurasnya
keuangan negara. Infiltrasi dan transformasi sosial budaya makin mengalami
perubahan yang significant, sehingga akan memberikan implikasi terhadap
gaya dan pola hidup masyarakat. Para pelaku tindak pidana korupsi juga
terkena dampak adanya perubahan tersebut. Harmonisasi akibat perubahan
sosial budaya juga berdampak terhadap gaya dan cara para koruptor dalam
melakukan kejahatannya baik dari cara yang konvensional sampai pada cara
yang modern. Hal ini menyebabkan karakteristik dan anasir-anasir terhadap
tindak pidana korupsi itu sendiri menjadi makin bervariasi dan sulit untuk
diditeksi pola pemberantasannya. Epistimologi yang menjadi tolak ukur agar
korupsi dapat diberantas oleh para penegak hukum menjadi makin kabur dan
sulit untuk menetapkan penerapan sanksi pada para pelakunya.
Bentuk korupsi yang secara langsung berdampak pada lemahnya
perekonomian masyarakat daerah adalah korupsi yang terjadi di daerah
dengan memanfaatkan kewenangan para pejabat daerah dalam menggunakan
Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD). Jika bertolak dari teori
korupsi Robert Glitgaard tentang pengertian korupsi, maka banyak terjadinya
penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimilki oleh pejabat daerah
untuk bertindak bebas terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan. Menurut
Penulis gaya penyalahgunaan wewenang tersebut sama substansinya dengan
pendapat Lord Acton yang mempunyai paradigma adanya kekuasaan akan
cenderung untuk berlaku korup dan adanya kekuasaan atau wewenang yang
dimiliki makin kuat, maka akan mempunyai kecenderungan untuk berlaku
korup dengan bebas mengeluarkan kebijakan sesuai dengan kehendaknya.
Kebebasan tersebut sejalan dengan pertanggung jawaban yang tidak
transparan pada publik terkait keuangan daerah yang tertuang dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran wajib dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
pemerintah daerah berupa pengeluaran rutin dan pembangunan tidak
dilaporkan secara transparan dan justru terkesan ditutupi.
Para pelaku yang terlibat langsung dalam proses manipulasi dalam
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati atau
Wali Kota, Sekretaris Daerah dan para pejabat daerah lainnya. Proses mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) titik mulanya berawal
dari adanya konstelasi politik dan kompromi dari semua pejabat daerah untuk
membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah agar dapat
mengakomodir kepentingan yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan
anggaran dan besarnya biaya belanja daerah dalam bentuk Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Daerah,
sehingga semua belanja yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang
berlaku. Hal yang lebih ironisnya lagi adalah belanja dan pembiayaan yang
dilakukan daerah mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan
kesejahteraan rakyat, sehingga besar dana yang dikeluarkan justru
menyimpang dari Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Di Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi baik di tingkat
pemerintah pusat maupun di tingkat pemerintah daerah telah ada politic will
dari para stakeholder lewat Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dengan
dikeluarkannya Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang
No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Undang-undang No.46 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Upaya
pemerintah tersebut ternyata seiring dengan gaya modus operandi korupsi
yang makin modern dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi belum
dapat berjalan maksimal untuk memberikan efek jera pada mereka. Selain
sulitnya birokrasi yang sulit ditembus oleh para penegak hukum, tapi penegak
hukum itu sendiri justru banyak yang terlibat dalam kasus korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi juga telah
ditunjukan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Substansi pokok dalam aturan tersebut adalah ada
empat (4) jenis peradilan yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara dan Peradilan Umum. Peradilan umum inilah yang
menjadi sentral dan legalisasi yuridis formil dari pemerintah untuk
dibentuknya badan-badan pengadilan khusus termasuk Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam konteks tata urutan kekuasaan
kehakiman di Indonesia badan-badan pengadilan khusus tersebut berada di
bawah Peradilan Umum. Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dalam pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) pihak penyidiknya berasal dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) walaupun sudah ada pejabat daerah yang
sudah dihukum, tapi dengan pola dan gaya modus operandi korupsi yang
mengatasnamakan menjalankan Peraturan Derah dan otonomi daerah
menjadikan hambatan dan kendala yang serius bagi Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Peradilan Umum selain menjadi sentral legalisasi yuridis formal bagi
badan-badan pengadilan khusus yang berada di bawahnya juga menjadi
sumber masalah ketika Peradilan Umum juga berperan dalam pemberantasan
korupsi. Hal ini bermula dari ada perbedaan antara pihak penyidik baik di
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pihak penyidik di
Peradilan Umum. Pihak penyidik dari Peradilan Umum berasal dari kejaksaan
yang mempunyai otoritas penuh dalam pemberantasan korupsi di daerah.
Dalam keadaan demikian timbul permasalahan terkait sinergisitas antara
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum
dalam memproses para pelaku tindak pidana korupsi di daerah. Selain
perbedaan dari pihak penyidik juga terdapat perbedaan tentang cara dan
mekanisme birokrasi yang dimilikinya. Jika keduanya tidak saling melakukan
sinergisitas dan fungsi koordinasi yang baik tidak menutup kemungkinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
akan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam upaya penegakan hukum.
Hal ini jelas akan berimplikasi tidak mencerminkan rasa keadilan dan
kepastian hukum untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah seluruh
Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penetapan Sanksi Hukum Kepada Para Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Terkait Modus Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Daerah
Praktek korupsi di Indonesia sudah terjadi secara sistematis dan
meluas yang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dari anggaran belanja
negara sebesar 760 triliun rupiah, sebesar 240 triliun rupiah adalah untuk
pengadaan barang dan jasa. Menurut survey Bappenas 40% dari 240 triliun
rupiah anggaran untuk pengadaan barang dan jasa hilang dikorupsi (Dudu
Duswara Machmudin, 2007: 61). Adanya proses kenaikan harga atau mark up
dari pengadaan barang dan jasa dengan memanfaatkan dana daerah lewat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah memberikan
dampak pada kerugian keuangan daerah. Ironinya penetapan besar dan
kecilnya dana tersebut dilakukan oleh pejabat daerah yang mempunyai
otoritas penuh dalam legalisasinya. Penyimpangan aturan hukum dan
penyalahgunaan wewenang tersebut menyebabkan timbulnya upaya
penetapan bagi para koruptor dengan delik-delik hukumnya oleh para
penegak hukum dari pihak kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Proses penindakan kepada para pelaku tersebut banyak
mendapatkan hambatan. Hal tersebut disebabkan aturan birokrasi yang
berbelit-belit dan telah tersistematis serta terstruktur, sehingga akan
menimbulkan kesulitan bagi para penegak hukum dalam mengidentifikasi
unsur-unsur kesalahan sebelum menetapkan delik-delik pidana kepada para
pelaku tindak pidana korupsi tersebut.
Kualitas penindakan tindak pidana korupsi oleh aparat penegak
hukum di Indonesia menurun. Kecenderungan itu terjadi pada semester II
tahun 2010 pada aparat kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) (Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal. 3). Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
penetapan terhadap pelaku tindak pidana korupsi mark up di daerah banyak
terjadi adanya over lapping antara penegak hukum yang satu dengan yang
lain. Menurut Penulis agar semua permasalahan hukum yang terjadi ketika
akan menetapkan status pada pelaku tindak pidana korupsi harus langsung
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan melibatkan
langsung para penyidik yang dimilikinya. Dengan demikian terjadinya over
lapping penindakan dapat dihindari dan pola penetapan yang dilakukan akan
lebih terarah dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi di daerah.
Banyak problematik yang dihadapi terkait mekanisme penetapan yang harus
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu dapat
dipengaruhi sulitnya menembus aturan pada pengaturan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan bersama baik
dari kepala daerah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Aturan hukum yang dijadikan pedoman penetapan dan bukti-bukti
administrasi dalam setiap pengeluaran keuangan daerah. Dari tingkat bawah
sampai ke atas semua pejabat daerah banyak yang terlibat secara langsung
dalam manipulasi keuangan daerah dengan mengatasnamakan demi
peningkatan pembangunan di daerah. Walaupun sulit dalam proses penetapan
para pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), akan tetapi pihak kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tidak sedikit dalam menetapkan para pelaku tindak pidana
keuangan daerah baik telah ditetapkan sebagai tersangka maupun sebagai
terdakwa. Dalam proses penetapan kepada pelaku tersebut tetap akan
melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan di daerah dan kemudian
dikoordinasikan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
penegak hukukm utama dalam pemberantasan korupsi di daerah.
Sebanyak 13 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Kota Cirebon periode tahun 1999-2004 telah dijadikan tersangka dalam
dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar
4,9 milliar. Adapun dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang tidak dapat dipertanggung jawabkan adalah dari pengeluaran dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
tidak adanya kegiatan sebesar 2,8 milliar. Pengeluaran yang kegiatannya tidak
dilaksanakan sebesar Rp 980.500.000,00, pengeluaran yang tidak ada data
pendukung sebesar Rp 757.150.000,00, pengeluaran tanpa bukti sama sekali
sebesar Rp 40.000.000,00 dan dana yang tidak boleh dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp
365.000.000,00. (http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=7974&l=kasus-
korupsi-apbd-12-mantan-anggota-dprd-cirebon-dituntut-2-tahun / diakses
tanggal 30 Januari 2011 pukul 21.00 WIB). Penulis memberikan deskripsi
terhadap salah satu bentuk korupsi keuangan daerah yang ada di Cirebon
tersebut diatas. Hal ini dapat disebabkan pola korupsi yang dilakukan oleh
para pelaku tindak pidana korupsi yang sulit ditembus oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan para pelakunya. Korupsi
yang dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Cirebon merupakan pola modus operandi korupsi yang telah tersistematis
dengan memanfaatkan celah pada waktu penetapan besar dan kecilnya
anggaran yang akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Penanganan kasus korupsi yang masih ada di kepolisian dan
kejaksaan akan menjadikan hambatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) jika kasus yang belum dapat diselesaikan tersebut tidak segera
dilimpahkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mempuyai
inisiatif terhadap problematik tersebut dengan melakukan supervisi dan
koordinasi kepada pihak kepolisian dan kejaksaan agar data dan berkas terkait
kasus yang ditangani segera didapatkan, sehingga proses penetepan kepada
pejabat daerah dapat dilaksanakan. Modus operandi korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di kota Cirebon tersebut
merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus korupsi yang terjadi di setiap
daerah yang mayoritas masih belum terungkap ke publik.
1. Proses perumusan, penyusunan dan penetapan besar kecilnya dana
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai
celah terjadinya tindak pidana korupsi keuangan daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
a. Proses perumusan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) sebagai bentuk implementasi dari
otonomi daerah
Kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat sangat tergantung pada kemampuan pandangannya. Di
berbagai negara sumber keuangan daerah selalu memadai karena ada
perbedaan distribusi suatu pendapatan antara daerah pusat dan
pemerintah daerah selalu membayakan sumber daya yang
dimilikinya. Pendapatan dengan daerah tidak stabil terjadi, maka ada
kondisi yang tidak kondusif bagi revitalisasi pemerintah daerah
(Khairul Muluk, 2002: 45). Dengan adanya perbedaan dalam dalam
pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah yang
satu dengan yang lain telah memberikan sebuah pedoman bagi
pemerintah dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini
juga akan berimplikasi terhadap mekanisme perimbangan antara
keuangan pusat dan keuangan daerah. Proses pengelolaan terhadap
sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah juga
akan mempengaruhi kepada pengambilan kebijakan yang akan
ditetapkan oleh masing-masing daerah guna menambah sumber
pemasukan devisa.
Menurut Parson Desentralisasi adalah “sharing of the
governmental power by a central rulling group with other group
each hearing authority with a specific areal of the state” (Ni’matul
Huda, 2010: 29). Adanya proses otonomi daerah yang diprogramkan
oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam rangka ikut
menyejahterakan masyarakat di daerah merupakan solusi kongkrit
bagi permasalahan birokrasi yang dihadapi oleh setiap daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh daerah selain terkait kesenjangan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang berbeda antara daerah
yang satu dengan yang lain juga terkait dengan pengelolaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
keuangan daerah. Proses desentralisasi merupakan ruang gerak yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam
rangka melakukan pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah
yang akan didapatkan oleh pemerintah di daerah selain berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada setiap tahunnya.
Dengan demikian dalam rangka mengelola keuangan daerah lewat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) para pejabat
daerah di daerahnya masing-masing diberi kewenangan untuk
mengelola keuangannya tersebut.
Kebijakan pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan
menggunakan dua (2) pendekatan yaitu: Pertama, line item budget
adalah pendekatan penganggaran yang lebih menekankan pada mata
anggaran yang akan dikeluarkan daripada menekan sasaran yang
akan dicapai. Kedua, incremental adalah pendekatan penyusunan
anggaran pasti akan selalu dibandingkan dengan anggaran
sebelumnya berupa kenaikan atau penurunan anggaran dari setiap
mata anggaran sebelumnya (Sony Yuwono dkk, 2007: 45).
Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan
kebijakan makro dan sesuai dengan yang tersedia, mengalokasikan
sumber daya secara tepat sesuai denga kebijakan pemerintah daerah
dan mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaan pengelolaan anggaran
yang baik. Penusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) diawali dengan penyampaian kebijakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejalan dengan rencana
kerja pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk diubah dalam pembiayaan
pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
(RAPBD). Berdasarkan kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang telah disepakati dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemerintah daerah bersama
bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan
lain bagi setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) selanjutnya
menyusun Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Pemerintah
Daerah (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang
akan dicapai. Rencana kerja ini disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
Rencana kerja dan anggaran ini kemudian disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pengelola keuangan
daerah sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses
selanjutnya pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan
daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
disertai penjelasan dari dokumen-dokomen pendukungnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dibahas dan disetujui.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disetujui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini terinci sampai dengan
untuk organisasi, fungsi, program, kegiatan dan belanja (Adrian
Sutedi, 2009: 78).
Berdasarkan isi pokok dari Pasal 179 Undang-Undang No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran
terhitung mulai 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
adalah logis mengingat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah berasal dari
Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Daerah
(provinsi, kabupaten dan kota) dapat menyusun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah mendapat
konfirmasi Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dengan
tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Adapun penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU)
ditetapkan oleh daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) setiap daerah yang bersangkutan. Pembiayaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga termasuk Dana
Alokasi Khusus (DAK) (Marbun, 2005: 139).
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber
dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai dengan prioritas nasional. Untuk mengurangi ketimpangan
dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan
daerah diberikan kepada daerah Dana Alokasi Umum (DAU)
minimal 26% dari penerimaan dalam negeri netto. Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan khusus sebagai urusan daerah dan sesuai
prioritas nasional (Sony Yuwono dkk, 2007: 51).
Dengan demikian semua anggaran daerah terkait besar dan
kecilnya akan tergantung pada berubah dan tidaknya anggaran
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Perubahan anggaran pada pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Belanja Daerah (APBD) memungkinkan adanya pergeseran,
penambahan, atau pengurangan anggaran. Khusus terkait pergeseran
anggaran tidak akan mengubah peraturan daerah murni seperti
pergeseran perincian objek belanja. Kondisi tersebut akan sulit
dipantau secara manual karena kompleksitas transaksi dalam
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
yang memungkinkan terjadinya pergeseran yang tidak terpantau
dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
maupun pada dokumen pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Adapun pada proses awal guna penetapan anggaran yang
harus disepakati bersama antara kepala daerah dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) adalah sebagai berikut:
Sumber : Sony Yuwono dkk, 2007: 54
Hal diatas mengindikasikan pada tahap awal perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian terhadap Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang harus dibahas dan disusun konsep
yang jelas untuk tahap selanjutnya. Pada tahap perencanaan input
Renja SKPD
Proses Penganggaran
RKPD KUA
PPAS
Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD
APBD
Laporan Pelaksanaan
Anggaran
Evaluasi, Hasil dan Pemeriksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
yang digunakan adalah aspirasi masyarakat melalui pejabat Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintah daerah sebagai
cikal bakal keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah dan
kebijakan strategis yang akhirnya memberi payung dan arah bagi
suatu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran
yang diusulkan juga harus mencerminkan kinerja, karena telah
diproses dengan menekankan aspek kinerja. Pada tahap pelaksanaan
input yang digunakan adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang sudah ditetapkan untuk kemudian
dilaksanakan dan dicatat melalui sistem akuntasi guna menghasilkan
laporan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), baik berupa laporan semesteran maupun tahunan sebagai
laporan pertanggung jawaban kepada daerah. Pada tahap
pelaksanaan penyampaian laporan pertanggung jawaban kepala
daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), proses
evaluasi laporan pertanggung jawaban serta keputusan evaluasi
berupa penerimaan atau penolakan laporan pertanggung jawaban
kepala daerah. Selain itu guna menetapkan besar dan kecilnya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus melewati
peraturan daerah sebagai dasar hukum yang digunakan untuk
menentukan kebijakan umum. Adapun tahap penyusunan kebijakan
umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Tahap Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Sumber : Sony Yuwono dkk, 2007: 120
Berdasarkan kronologis diatas, maka adanya siklus
perencanaan keuangan daerah dan penganggaran yang diwakili oleh
dokumen Rencana Keuangan Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai
Pemerintah Daerah
RKPD KUA
SE Renja SKPD
PPAS
RKA SKPD
TAPD
RAPBD
KDH DPRD
Raperda
APBD
Perda APBD
SKPD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
titik awal siklus penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Atas dasar Rencana Keuangan Pemerintah
Daerah (RKPD) itulah disusun Kebijkan Umum Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA) dan Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) untuk mendapatkan point-point utama
dan paling strategis bagi aspek pengangguran dalam suatu prioritas
anggaran. Melalui surat edaran kepada daerah diharapkan Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dan Satuan Kerja Pembangunan Daerah
(SKPD) yang dibuat oleh masing-masing Satuan Kerja
Pembangunan Daerah (SKPD) telah mencerminkan Kebijkan Umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (KUA) dan Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Dari seluruh dokumen Rencana
Kerja Anggaran (RKA) dan Satuan Kerja Pembangunan Daerah
(SKPD) dapat dikonsolidasikan ke dalam dokumen Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk
selanjutnya diproses menjadi peraturan daerah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Dengan demikian penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan tahap
awal dari keseluruhan siklus pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dengan out put berupa Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang secara materiil dan
formil siap digunakan atau direalisasikan sebagai salah satu
komponen utama dalam pengelolaan keuangan daerah. Agar kualitas
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memenuhi
kriteria yang diinginkan ada berbagai syarat dan prosedur
penyusunan yang harus dipenuhi yaitu formulasi kebijakan anggaran
dan perencanaan operasional anggaran yang mengacu pada formulasi
kebijakan.
Penulis berpendapat bahwa seluruh proses penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) semaksimal
mungkin dapat mewujudkan latar belakang pengambilan keputusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
dalam penetapan awal kebijkan umum dan skala prioritas. Proses
penetapan alokasi dan distribusi sumber daya dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Untuk itu harus ada konkritisasi siapa yang
bertanggung jawab dan apa yang digunakan sebagai landasan
pertanggung jawaban baik antara eksekutif yang diwakili kepala
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
perwakilan dari pihak legislatif. Kedua lembaga tersebut merupakan
pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penyimpangan
keuangan daerah. Otoritas dan kekuasaan dari pejabat daerah
tersebut merupakan celah yang paling mudah untuk digunakan
memanipulasi besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
disusun dengan pendekatan kinerja memuat:
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi kerja;
2. Standart pelayanan yang diharapakan dan perkiraan biaya satuan
komponen kegiatan yang bersangkutan. Pengembangan standart
pelayanan dapat dilaksanakan secara bertahap dan harus
dilakukan secara berkesinambungan; dan
3. Bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, biaya
operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal atau pembangunan
(Hanif Nurcholis, 2005: 110).
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
merupakan satu kesatuan yang terdiri atas pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan.
1. Pendapatan daerah, pendapatan daerah ini dirinci menurut
kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok
pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dan
lain-lain pendapatan yang sah;
2. Belanja daerah, belanja daerah ini menurut organisasi, fungsi,
dan jenis belanja. Yang dimaksud dengan belanja menurut
organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran seperti
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan secretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala daerah dan
wakil kepala daerah, sekretariat daerah, dinas daerah dan
lembaga teknis lainnya; dan
3. Pembiayaan, pembiayaan ini dirinci menurut sumber
pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan
penerimaan daerah, antara lain sisa lebih perhitungan tahun lalu,
penerimaan dan obligasi serta penerimaan dari penjualan asset
daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan
pengeluaran, antara lain pembayaran hutang pokok (Hanif
Nurcholis, 2005: 110-111).
Adapun stuktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan daerah
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
1) Pajak;
2) Retribusi;
3) Hasil Badan Umum Milik Daerah (BUMD); dan
4) Lain-lain.
b. Dana Perimbangan
1) Dana Bagi Hasil;
2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
3) BPHTB;
4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21; dan
5) Sumber Daya Alam (SDA);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
c. Dana Alokasi Umum (DAU)
d. Dana Alokasi Khusus (DAK)
e. Pinjaman daerah
2. Pengeluaran daerah
a. Biaya Operasional Pemerintahan
1) Gaji Pegawai;
2) Biaya Perkantoran;
3) Biaya Pemeliharaan; dan
4) Biaya Perjalanan.
b. Biaya Investasi Modal
1) Pembangunan pasar;
2) Pembangunan terminal;
3) Pembangunan industri; dan
4) Pembangunan prasarana jalan
c. Surplus atau defisit
(Hanif Nurcholis, 2005: 110-111)
Adapun yang menjadi komponen Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai berikut: pendapatan daerah,
belanja operasional pemerintahan, belanja modal, surplus atau
deficit, asset daerah, pembiayaan, dana daerah, dan pinjaman
(pemerintah pusat, masyarakat, luar negeri). Salah satu komponen
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut adalah
surplus atau defisit. Surplus atau surplus anggaran adalah selisih
lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Sedangkan yang
dimaksud defisit atau defisit anggaran adalah selisih kurang
pendapatan daerah terhadap belanja daerah. Jumlah pembiyaan sama
dengan jumlah surplus atau defisit anggaran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak
tersangka disediakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak
tersangka. Penganggaran dana cadangan dialokasikan dari sumber
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Semua sumber penerimaan cadangan dan semua pengeluaran atas
beban dana cadangan dicatat dan dikelola dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yaitu dibukukan dalam
rekening tersendiri yang memperlihatkan saldo awal setiap transaksi
penerimaan dan pengeluaran serta akhir saldo akhir tahun anggaran.
Posisi dana cadangan dilaporkan sebagai bagian yang tidak dapat
terpisahkan dengan laporan pertanggung jawaban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Apabila diperkirakan
pendapatan daerah lebih kecil daripada rencana belanja daerah dapat
melakukan pinjaman. Pinjaman daerah dicantumkan pada anggaran
pembiayaan (Hanif Nurcholis, 2005: 110). Adanya struktur dan
komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sebagai sumber dari keuangan daerah merupakan tolak ukur yang
digunakan oleh para pengambil kebijakan di daerah dalam
menetapkan proses selanjutnya. Mekanisme dalam perumusan,
penyusunan dan penetapannya terdapat perbedaan yang significant
dan banyak menimbulkan celah bagi modus operandi korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah.
b. Proses penetapan dan perubahan besar kecilnya dana dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai
celah terjadinya tindak pidana korupsi keuangan daerah
Proses penetepan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) diajukan oleh pemerintah pusat kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Kepala daerah menyampaikan rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian
membahasnya. Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
belum menyetujui dengan rancangan yang diajukan, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengembalikan lagi kepala
daerah untuk disetujui. Jika ternyata Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) tidak menyetujui, maka pemerintah daerah
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
tahun sebelumnya untuk dijadikan dasar penyelenggaraan
pemerintah daerah. Jika dipandang perlu Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) bisa dirubah dan perubahan tersebut
dilakukan sehubungan dengan adanya yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah pusat dan/ atau pemerintah daerah yang
bersifat strategis; dan
2. Penyesuaian akibat tidak tercapainya sasaran yang ditetapkan
pemerintah daerah.
Perubahan tersebut ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan
sebelum tahun anggaran tertentu berakhir. Jangka waktu 3 (tiga)
bulan dimaksudkan agar pelaksanaannya dapat selesai pada akhir
tahun anggaran tertentu.
Berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), hal ini bermaksud penerimaan dari
semua sumber yang sah harus dibukukan oleh petugas dengan
benar. Hal yang termasuk penerimaan adalah semua manfaat
yang bernilai uang berupa komisi, rabat, potongan, dan bunga
sebagai akibat dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/
atau jasa dan dari penyimpanan dan/ atau penempatan uang
daerah. Penerimaan ini harus dibukukan sebagai pendapatan
daerah dan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Pengeluaran Anggaran Pendapatan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Belanja Daerah (APBD) harus berdasarkan surat keputusan
otorisasi oleh pejabat yang berwenang. Setiap pengeluaran yang
dibebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
harus didukung bukti-bukti yang lengkap dan sah.
2. Pengelolaan Barang Daerah, hal ini bermaksud pengelolaan
barang daerah oleh kepala daerah dan pengelolaan ini meliputi
perencanaan, penentuan kebutuhan, penganggaran, pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran, pemeliharaan, pengahapusan dan
pengendalian. Pengelolaan barang daerah harus dicatat secara
benar. Pencatatan barang daerah dilakukan sesuai dengan
standar akuntasi daerah. Barang dan jasa yang dapat dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perangkat daerah dalam
rangka melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya. Pengadaan barang dan jasa tersebut harus
berdasarkan keputusan kepala daerah
3. Akuntasi Keuangan Pemerintah Daerah, hal ini bermaksud
pemerintah daerah harus memiliki standar akuntasi pemerintah
daerah. Dengan standar akuntasi ini penatausahaan dan
pertanggung jawaban keuangan daerah dapat dilakukan secara
konsisten dan sistematis
4. Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), hal ini bermaksud pada akhir tahun anggaran
pemerintah daerah harus memuat perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus memuat
perbandingan antara realisasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang akan ditetapkan. Disamping itu
juga harus memuat selisih antara realisasi penerimaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
anggaran penerimaan dan selisih antara realisasi pengeluaran
dan anggaran pengeluaran dengan menjelaskan alasannya.
5. Pertanggung jawaban Keuangan Daerah, hal ini bermaksud
pertanggung jawaban keuangan daerah dilakukan oleh kepala
daerah. Pada setiap triwulan kepala daerah harus melaporkan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pada akhir
tahun anggaran, kepala daerah harus melakukan Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) ini harus memuat
laporan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dan nota perhitungan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam sidang pleno terbuka menerima atau menolak
Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) kepala daerah. Laporan
Pertanggung Jawaban (LPJ) yang ditolak diminta untuk
disempurnakan oleh kepala daerah, selanjutnya dilakukan sidang
terbuka lagi. Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) yang ditolak
harus disertai alasan yang jelas. Jika untuk kedua kalinya
Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) ditolak maka Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat mengusulkan
pemberhentian kepala daerah kepada presiden.
6. Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah, hal ini bermaksud
pengelolaan keuangan daerah diawasi oleh pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pengawasan internal dan
pengawasan pemerintah. Pengawasan yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersifat pengawasan
terhadap sejauh mana sasaran yang ditetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat tercapai.
Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
diangkat kepala daerah bertujuan agar semua penggunaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan yaitu: pembukuan,
tatalaksana, penyelenggaraan program dan manajemen
keuangan. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah bersifat pengawasan preventif yang bertujuan agar
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dibuat sesuai
dengan norma dan kriteria yang ditetapkan. Sehubungan dengan
pengawasan pemerintah untuk provinsi, provinsi harus
menyampaikan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dan perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada menteri dalam
negeri paling lambat 15 hari setelah ditetapkan. Sedangkan
kabupaten atau kota harus menyampaiakan kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat paling lambat 15 hari setelah
ditetapkan.
7. Kerugian Keuangan Daerah, hal ini harus bermaksud jika setiap
kerugian daerah harus diganti oleh pelakunya. Kerugiaan
keuangan daerah harus nyata dan pasti jumlahnya. Orang atau
badan yang dengan sengaja atau lalai melakukan perbuatan yang
berakibat merugikan keuangan daerah harus mengganti
sejumlah uang yang merugikan keuangan daerah tersebut.
8. Sistem Informasi Keuangan Daerah, hal ini bermaksud dalam
rangka akuntabilitas public pemerintah pusat membuat sistem
informasi keuangan daerah yang bisa diakses dan diketahui oleh
masyarakat secara terbuka. Data yang dipakai untuk membuat
sistem informasi keuangan daerah tersebut berasal dari laporan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari seluruh
daerah di Indoensia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
9. Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
hal ini bermaksud di tingkat pusat dengan keputusan presiden
dibentuk secretariat bidang keuangan pusat dan daerah serta hal-
hal yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah (Hanif
Nurcholis, 2005: 113-116).
Dalam Pasal 183 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang No.32
Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diterangkan bahwa
perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat
dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan
asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah
(APBD), kedaaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran
anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja
serta keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran
tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun
anggaran berjalan. Hal serupa juga dijelaskan dalam Peraturan
Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah
pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 mengenai
perubahan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan
perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan pemerintah daerah dalam rangka
penyusunan prakiraann perubahan atas Anggaran Pendapatn dan
Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya yang bersangkutan,
apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi
kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antas unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja, keadaan
yang menyebabkan salso anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar
biasa. Pelaksanaan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa yang menyebabkan
estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran Anggaran Pendapatn dan
Belanja Daerah (APBD) mengalami kenaikan atau penurunan lebih
besar daripada 50% yaitu selisih (gap) kenaikan antara pendapatan
dan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Perubahan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila terjadi
perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum
Anggaran (KUA), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis
belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun
sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan, keadaan darurat
dan keadaan luar biasa (Soni Yuwono dkk, 2008: 368).
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai
dengan asumsi kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) terhadap keadaan yang menyebabkan hambatan
dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan
dan antar jenis belanja serta terjadi keadaan yang menyebabkan
saldo anggaran lebih pada anggaran tahun sebelumnya hanya
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan selain itu
dalam keadaan darurat. Pemerintah daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan selanjutnya
diusulkan dalam rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan/ atau disamakan dalam Laporan
Realisasi Anggaran (LSA) (Adrian Sutedi, 2009: 79). Dalam proses
penetapan dan perubannya melibatkan banya pihak pejabat daerah
sebagai pejabat yang memiliki otoritas tertinggi guna mengelola
keuangan daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pejabat daerah
tersebut juga terdapat landasan yuridis yang dituangkan berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
hukum positif sebagai payung hukum dalam setiap pengambil
kebijakannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Pasal 67:
“Setiap Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.
Pada Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, proses
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal/pembangunan”. Selanjutnya di ayat (2) disebutkan “Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.
Sedangkan proses penetapan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dalam Pasal 22 disebutkan:
“(1) Kepala Daerah menyampaikan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mendapatkan persetujuan. (2) Apabila rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pemerintah Daerah berkewajiban menyempurnakan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. (3) Penyempurnaan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disampaikan kembali kepada DPRD (4) Apabila rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
(APBD) sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), pemerintah daerah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun sebelumnya sebagai dasar pengurusan Keuangan Daerah”.
Dalam Keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 29 tahun
2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang pedoman pengurusan,
pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan dan belanja daerah,
pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan
perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah
Pasal 49 ayat (1) :
“Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rencana peraturan daerah tentang APBD disahkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah”.
Pasal 49 ayat (5) :
“Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”.
Dalam menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) harus memperhatikan tolak ukur
standarisasi agar tidak disalah gunakan sebagai celah terjadinya
tindak pidana korupsi. Pada Pasal 26 ayat (1) Keputusan Mentri
Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang pengelolaan keuangan
daerah yang menyatakan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan sehubungan dengan:
a. Kebijakan pemerintah yang bersifat strategis;
b. Penyesuaian karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak
terpenuhi; dan
c. Terjadinya kebutuhan mendesak.
Substansi yang sama terkait perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) juga disebutkan dalam Pasal 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan bahwa:
“(1) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b. Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan; c. Terjadinya kebutuhan mendesak. (2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir”.
Dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000
tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
disebutkan yang pada intinya tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan
Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Selanjutnya dalam
Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang
pengelolaan keuangan daerah Pasal 55 ayat (2) disebutkan adanya
larangan mengeluarkan pengeluaran atas beban belanja daerah untuk
tujuan lain dari pada yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Bertolak dari berbagai aturan
tersebut diatas Penulis berpendapat bahwa dalam tahap penyusunan
sampai penetapan peraturan daerah akan melibatkan pihak legislatif
yang diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dengan pihak eksekutif yang diwakili oleh kepala daerah.
Dalam pembahasan dan penetapan tentang besar dan kecilnya dana
yang akan digunakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) kedua belah pihak sama-sama mempunyai
kepentingan untuk menaikan anggaran guna kepentingan pribadi dan
golongan tertentu. Kesepakatan tersebut ditetapkan dalam peraturan
daerah yang menjadi kesepakatan bersama. Peraturan daerah tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
umum. Selain mengeluarkan peraturan daerah sebagai salah satu
legalisasi terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
daerah, kepala daerah selaku pemegang kekuasaan eksekutif juga
berwenang untuk mengeluarkan keputusan kepala daerah. Keputusan
kepala daerah tersebut banyak menimbulkan celah guna
mengamankan kepentingan pribadi saja jika kebijakan yang diambil
tidak melalui tahap musyawarah antara pejabat daerah daerah yang
satu dengan yang lain. Dalam proses pembuktian selanjutnya
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut hanya
digunakan sebagai payung hukum untuk menutupi kesalahan mereka
dari jerat hukumnya. Selain menggunakan adanya aturan peraturan
daerah mereka juga menggunakan administrasi dari sekretaris daerah
untuk menutupi kesalahannya. Hal ini berdampak adanya kesulitan
untuk menentukan delik-delik hukum berupa ada dan tidaknya unsur
kesalahan dan sifat melawan hukum bagi pejabat daerah sebagai
pelaku tindak pidana korupsi.
2. Korupsi berjamaah antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dengan Kepala Daerah terkait manipulasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Although malfeasance can occur at all levels of the political and economic system the bribery of top officials is especially troubling. High level or grand corruption involves large sums of money with multinational corporations frequently making the payoffs. The size of payoffs is not the most important measure of corruption’s impact. The costs in lost investment funds and distorted priorities may be high even if payoffs are low. Democracy and the free market are not necessarily a cure. A country that democratizies without creating and enforcing laws governing conflict of interest, financial enrichment and bribery risks undermining its fragile new institutions through private wealth seeking. A country that liberalizes it’s economy without a similar reform of the state risks creating severe pressures on officials to share in the new private wealth. Corrupt incentives exist in both market oriented democracies and autocracies. Governmental stability interacts with independent outside checks to encourage or check corruption. In
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
democracies, both those in tough re-election fights and those at the end of their political life are especially vulnerable to corrupt inducements. However, the complex organizational structure of democratic legislatures and the formal separation of powers increase the costs of bribery and may deter illicit deals (Rose Ackerman, S. 1996: 365).
Hukum dan kebijkan merupakan produk dari kepentingan politik.
Jika kompromi dan konstelasi politik dapat terkonsep dengan baik maka
akan berimplikasi terhadap lahirnya produk hukum yang baik, sebaliknya
jika kompromi politik hanya digunakan untuk dimanfaatkan demi
kepentingan pribadi dan golongan tertentu justru akan memberikan
dampak terhadap lahirnya produk hukum yang buruk.
Perkembangan politik lokal merupakan salah satu determinan
penting untuk menjelaskan kinerja karakteristik birokrasi di suatu daerah.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk konsekuensi adanya pengaruh
budaya. Masyarakat yang melingkupi organisasi birokrasi dan
pemerintahan birokrasi dalam mengembangkan sistem organisasi tidak
semata-mata didasarkan pada kebijakan yang telah ditentukan oleh
pemerintah pusat, melainkan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor
lokal (Agus Dwiyanto, 2001: 103). Adanya konstelasi politik dalam
setiap pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
dan seluruh elemen-elemennya juga akan berdampak kepada baik dan
buruk tatanan birokrasi dalam pada proses restrukturisasi di dalam
pemerintah daerah tersebut. Jika tidak terjadi checks and balances
konstelasi politik sebagai salah satu alat pengambilan kebijkan dari
pejabat di daerah, maka akan terjadi proses fragmentasi pada golongan-
golongan tertentu yang justru akan menimbulkan ketimpangan pada
kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Terkait hegemoni dalam pemerintahan yaitu adanya pergerakan
pemerintahan elemen penting yang paling mampu menunjukan
superioritas diantara yang lain akan cenderung melakukan hegemoni
untuk menguasai pemerintahan. Kecenderungan awal penguasaan elemen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
lain dimulai dari satu atau lebih kelompok minoritas yang kuat serta
memiliki lebih banyak sumber daya (Muhadam Labolo, 2005: 48).
Kekuasaan yang menunjukan korelasi terhadap superioritas kewenangan
justru menimbulkan tarik ulur kebijakan dengan pejabat di bawahnya.
Jika tidak ada koordinasi secara organisatoris dalam pengambilan
kebijakan, maka antara kekuasaan yang satu dengan yang lain akan
saling menjatuhkan guna melegalkan kepentingan masing-masing
golongan tertentu. Hal lain yang akan terjadi dalam konstelasi politik
tersebut adalah adanya kompromi politik dalam pengambilan kebijakan,
implikasinya akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang
mempunyai kepentingan.
Perbuatan mengadakan suatu permufakaatn itu sendiri sebenarnya
baru merupakan suatu voorbereidings handeling atau suatu tindakan
persiapan untuk melakukan kejahatan yang biasanya belum dapat
membuat seorang pelaku dijatuhi pidana. Seperti yang telah diketahui
untuk dapat meminta pertanggung jawaban menurut hukum pidana dari
seseorang yang hanya didakwa melakukan suatu poging atau suatu
percobaan itu pun yang ia lakukan harus sudah merupakan suatu bagian
van uitvoerings handeling atau suatu tindakan persiapan belaka.
Tentunya pembentuk undang-undang mempunyai cukup alasan untuk
melarang orang mengadakan suatu permufakatan untuk melakukan
kejahatan-kejahatan korupsi dan bahkan telah membuat permufakatan
seperti itu menjadi suatu kejahatan yang berdiri sendiri dan diancam
dengan pidana-pidana yang sama beratnya dengan tindak pidana korupsi
yang telah selesai dilakukan oleh para pelakunya (Lamintang, 2009: 47).
Jumlah tindak pidana korupsi terus meningkat setiap tahunnya.
Dari departement dalam negeri mengungkap fakta pada periode tahun
2010 sampai 2011 terdapat 156 kepala daerah menjadi tersangka korupsi.
Diantaranya, 17 gubernur dan 1 wakil gubernur, 19 wali kota dan 8 wakil
wali kota, 92 bupati dan 19 wakil bupati, serta 1.432 anggota legislatif di
seluruh Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
(http://www.ti.or.id/index.php/news/2011/03/16/mudahnya-pejabat-
publikterjerat korupsi-apbd/ diakses tanggal 5 Maret 2011 pukul 14.00
WIB). Fakta ini membuktikan bahwa tindak pidana korupsi dalam kasus
manipulasi keuangan daerah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) telah terstruktur dengan melibatkan banyak pihak guna
mendapat manfaat bersama.
Dalam kasus korupsi di lingkungan pemerintahan, karena adanya
birokrasi dan jabatan struktural sangat sulit korupsi hanya dilakukan oleh
seorang staff terlebih lagi kasus korupsi yang sudah menahun. Sangat
sulit untuk menentukan secara jelas menjadi tersangka yang kebanyakan
bukan tersangka sesungguhnya, tetapi seharusnya dengan perkiraan
hukum bukan perundang-undangan. Dalam praktek korupsi ini harus
dilakukan uji secara maksimal peran masing-masing antara bawahan dan
atasan haruslah jelas peran atas apa dan peran bawahan apa serta dalam
konteks kewenangan masing-masing perlu berarti pengambil keputusan
sendiri (Hartono, 2010: 34). Dalam konteks ini telah terjadi modus
operandi korupsi yang dilakukan oleh kalangan pejabat publik terhadap
aturan tertulis sebagai langkah awal dalam proses manipulasi keuangan
daerah. Aturan tersebut akan digunakan dalam menentukan besar dan
kecilnya keuangan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam
klasifikasi white collar crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta
menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) ke-8 mengenai “prevention of crime and treatment of
offenders” yang mengesahkan resolusi “corruption in goverment” di
Havana tahun 1990 dengan merumuskan tentang akibat korupsi. Akibat
tersebut yaitu korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of
public official) yang dapat menghancurkan efektivitas potensial dari
semua jenis program pemerintah (can destroy the potensial effectiveness
of all types of governmential programmes). Dampak lain yaitu dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
menghambat pembangunan (hinder devolopment) dan menimbulkan
korban individual kelompok masyarakat (victimize individuals and
groups). Asumsi konteks tersebut merupakan dasar adanya tindak pidana
korupsi yang bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional, dan
multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis,
sosiologis, budaya, dan ekonomi antar negara (Lilik Mulyadi, 2007: 36).
Para birokrat dan politisi daerah (yang kemudian disebut sebagai
elite penyelenggaraan pemerintah daerah) merupakan aktor-aktor yang
secara langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan. Oleh karena itu memahami secara mendalam
tentang bagaimana para elit penyelenggara pemerintah daerah tersebut
telah mengartikulasikan konsep hubungan kekuasaan pusat dan daerah
sangat penting.
Menurut Almond “keyakinan politik individu merupakan salah satu faktor penentu bagi perilaku politik individu yang bersangkutan (individualy political belief is one of the determinant factors for individual political conduct) dan lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan politik (politic belief) yang dimiliki oleh masing-masing individu pada gilirannya akan membentuk political self” (Syarif Hidayat, 2005: 284).
Menurut Professor Glanville Williams yaitu ”For mankind in the
mass it is impossible to tell whom the threat of punishment will restrain and whom it not for most it will succeed for some it will fail and the punishment must then be applied to those criminals in order to maintain the threat to person generally. Mentally dengared person. However can be separated from the mass by scientific test and being a defined class their segregation from punishment does not impair the efficacy of the sanction for people generally” (Michael Louis Corrado, 1994: 40-41).
Fungsi lembaga legislative menurut C.F Strong adalah sebagai berikut: “legislative are not the only source of legal rules. Constitutions are supplemented and modified by rules of law which merge from the interpretation of the courts and outside the real of legal rules. Constitution my be supplemented of modified or even nullited by usages customs and conventions” (Samuel Wahidin, 2008: 67).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam
kedudukannya sebagai lembaga legislatif daerah secara formal
menyalurkan dan merumuskan berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat
dan bersama-sama dengan kepala daerah, sehingga menjadi putusan
kebijaksanaan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan. Selanjutnya
segala putusan yang telah ditetapkan harus dikomunikasikan kepada
masyarakat yang pada hakikatnya merupakan respon terhadap aspirasi
rakyat (J.Kaloh, 2007: 55).
Keburukan mental yang cenderung bersifat korup bagi setiap
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya akan berdampak terhadap setiap kebijkan yang
diambilnya. Modus operandi korupsi yang dilakukan terkait mark up dari
manipulasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah
adanya kesepakatan bersama kepala daerah dengan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terkait pembuatan peratutan daerah
dalam menetapkan besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dan
yang akan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tersebut. Pola tindak pidana korupsi yang selanjutnya dilakukan
adalah manipulasi dana dari kepala daerah dengan melibatkan semua
pejabat daerah yang terkait seperti sekretaris daerah, bendahara daerah,
dan bidang-bidang yang terdapat di dalam birokrasi daerah tersebut.
Kepala daerah mengatasnamakan pengguanaan dana taktis dan atas nama
kepentingan organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Kebijakan tersebut diakomodir dengan mengeluarkan keputusan kepala
daerah. Penggunaan dana tersebut telah mendapat legalisasi dari
pemegang kekuasaan tertinggi yaitu dari kepala daerah dengan kebijakan
yang dikeluarkannya. Salah satu modus lain adalah dengan
memanfaatkan administrasi daerah sebagai legalisasinya, sehingga
seolah-olah penggunaan dana terebut sah berdasarkan hukum. Pola dan
karakteristik modus operandi korupsi yang dilakukan oleh para pelaku
tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. Aturan
tertulis adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng
hukumnya dan pejabat pemerintah adalah benteng hukumnya. Ketiganya
saling bersinergisitas dengan membentuk pola-pola koordinasi organisasi
yang akan digunakan sebagai senjata pamungkas dalam manipulasi
keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi publik ini merupakan
bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi lainnya
Jenis-jenis utama korupsi adalah kolusi dalam lelang dengan
biaya harga tinggi bagi pemerintah daerah dan pejabat dapat bagian dari
pembayaran. Komisi dari pemasok agar persaiangan dalam pengadaan
barang dan jasa dapat diatur dan suap bagi pejabat yang berwenang
mengatur perilaku pemenang tender dengan mengizinkan kenaikan dan
perubahan pada spesifikasi kontrak walaupun sebenarnya tidak perlu.
Kontrak pengadaan barang dan jasa umumnya menyangkut uang dengan
jumlah yang besar dan melibatkan orang dalam dan orang luar
pemerintah yang punya nama atau punya pengaruh besar. Korupsi jenis
ini sangat merusak, karena mengakibatkan kekacauan pada insentif.
Hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah daerah dan
ketimpangan dalam distribusi kekuasaan dan kejayaan (Robert Glitgaard
dkk, 2002: 135). Adapun dalam pengadaan barang dan jasa harus
menganut prisip-prinsip yaitu sebagai berikut: Efisien, efektif,
transparan, terbuka, bersaing, adil, tidak diskriminatif dan akuntable
(Pusat Penelitian Pengkajian Pengembangan Keuangan Negara, 2010: 8).
Peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih perlu didukung dengan pengelolaan
keuangan yang efektif, efisien, transaparan dan akuntable. Untuk
peningkatan efisiensi dan efektifitas penggunaan keuangan negara yang
dibelanjakan melalui proses pengadaan barang dan/ atau jasa pemerintah
diperlukan upaya untuk menciptakan keterbukaan, transparansi,
akuntabalitas serta prinsip persaingan atau kompetensi yang sehat dalam
proses pengadaan barang dan/ atau jasa pemerintah yang dibiayai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga diperoleh barang
dan/atau jasa pemerintah yang terjangkau dan berkualitas serta dapat
dipertanggung jawabkan baik dar segi fisik, keuangan, maupun manfaat
bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut pada Peraturan Presiden No.54 Tahun
2010 tentang pengadaan dan/ atau jasa pemerintah dimaksudkan untuk
memberikan pedoman pengaturan mengenai tata cara pengadaan barang
dan/ atau jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif sesuai dengan tata
kelola yang baik. Pengaturan mengenai mengenai tata cara barang
dan/atau jasa pemerintah dalam peraturan presiden tersebut dapat
meningkatkan iklim investasi yang kondusif, efisiensi belanja negara dan
percepatan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Pusat
Penelitian Pengkajian Pengembangan Keuangan Negara, 2010: 111-112).
Pengadaan barang dan jasa mulai saat pemerintah daerah
mengumumkan kebutuhannya akan sejumlah barang dan jasa dan
mengundang pemasok untuk memenuhi kebutuhan itu atau memberikan
pelayanan. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa langkah pernyataan
kebutuhan itu juga dikenal sebagai tahap “undangan untuk mengajukan
penawaran”. Dalam langkah kedua pemasok yang berminat mengajukan
penawaran. Pemerintah daerah menilai penawaran yang masuk memilih
pemenang. Dalam langkah ketiga, merundingkan kontrak dengan
pemenang. Dalam langkah keempat, pemasok melaksanakan kontrak
(Robert Glitgaard dkk, 2002: 136).
Adapun proses pengadaan barang dan jasa serta potensi terjadinya
korupsi adalah sebagai berikut:
Proses pengadaan A. Jenis korupsi dan masalah
B. Keadaan yang menyuburkan korupsi
C. Indikator Potensi Korupsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
Langkah 1 Pemerintah mengumumnkan membutuhkan pemasok barang dan jasa
A 1 Spesifikasi terlalu rinci dan terlalu membatasi
B 1 Pemerintah tidak bisa menentukan spesifikasi dengan baik, teknologi atau proyek canggih pegawai tidak cakap, sistem gaji, karier dan imbalan buruk.
C 1 Spesifikasi tidak jelas atau tidak ada, merek tertentu atau fungsi alat mengharuskan kebutuhan kontrak dan pemasok membantu membuat spesifikasi
Langkah 2 Pemasok mengajukan penawaran untuk memenuhi kebutuhan
A 2 Kolusi penawaran diatur, penawaran ditekan, arisan pemasok, dan pembagian pasar
B 2 Persaingan hanya berdasarkan harga umum atau mutu, permintaan pemerintah daerah inelastic, penawaran dan identitas pemasok diumumkan, perusahaan sejenis, banyak peluang untuk berkomunikasi, pejabat pengada-an barang dan jasa mempunyai wewenang luas
C 2 Jumlah pemasok kecil, jumlah pasar konstan umtuk beberapa waktu, pola terbentuk setelah beberapa waktu, informasi bahkan harga penawaran lebih tinggi dari harga pasar, pemasok hanya itu-itu saja pada semua penawaran
Langkah 3 Pemerintah menilai penawaran-penawaran dan menentukan pemenang
A 3 Korupsi dalam birokrasi, suap, bagi rezeki, pertimbangan politik, hubungan majikan pelaksana tidan serasi, fokus pada biaya atau mutu, mengarah ke satu pemasok, perlakuan istimewa dan insentif pelaksana dan resiko tidak seimbang
B 3 Kontrak besar (dibandingkan dengan pasar), terlalu banyak aturan dan pengadaan menurut mutu atau biaya satu-satuunya ukuran untuk menentukan pemenang
C 3 Kontrak tidak diberikan pada pemasok harga terendah, kontrak diberikan pada pemasok tanpa pengalaman, kontrak ditawar pembeli, spesifikasi diubah setelah kebutuhan awal menimbulkan penagihan tinggi
Langkah 4 A 4 B 4 C 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Pemasok melaksanakan kontrak
Korupsi expost penggelembunagan biaya tetap salah
Sumber tunggal, pemasok di banyak pasar, dan sektor swasta dan sektor pemerintah
Biaya naik, penambahan barang dari sumber tunggal, pembatalan pemenang, mutu rendah, perubahan spesifikasi dan produksi terlambat
Sumber: (Robert Glitgaard dkk, 2002: 135-138).
Secara umum dari mekanisme pengadaan barang dan/atau
jasa tersebut diatas, dapat dipahami untuk penentuan besarnya
penggunaan dana pemerintah yang diambil dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) harus berdasarkan keputusan dari kepala
daerah. Hal ini akan berdampak jika kepala daerah mempunyai sifat
berlaku korup dan demi kepentingan pribadi dan/ atau golongan sendri
akan menggunanakan dan mengalokasikan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Kepala daerah sebagai otoritas tertinggi
dalam pemberian keputusan tentang besar dan kecilnya dana akan
menentukan para pihak yang akan dijadikan sebagai pemasok barang
dan/atau jasa yang akan digunakan oleh pemerintah daerah. Jika terdapat
kerjasama dan saling melakukan monopoli terhadap kesepakatan harga
antara kepala daerah dan pihak pemasok akan menimbulkan kerugian
bagi keuangan daerah. Selain problematik tersebut, pihak pemerintah
daerah juga tidak memiliki kemampuan untuk mendata secara detail
terkait semua kebutuhan yang akan dialokasikan bagi belanja daerah.
Dalam penggunaan teknologi modern wajar ketika pemasok bukan dari
pihak pemerintah daerah yang lebih tahu dan dapat memberikan saran
mengenai barang dan/atau jasayang diperlukan oleh pemerintah daerah.
Pada umumnya pihak pemerintah daerah juga tidak memiliki
kemampuan untuk menjelaskan secara detail tentang jenis dan objek
barang dan/atau jasa yang akan digunakan oleh pmerintah daerah. Dalam
keadaan ini akan membuka celah untuk melakukan negosiasi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
menaikan harga dari kesepakatan yang telah ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses mark up dana tersebut
telah menimbulkan bagi terjadinya korupsi dengan menentukan
pemenang lelang sebelum proses lelang dimulai. Berkaitan dengan
spesifikasi barang dan/atau jasa yang tidak jelas akan menyebabkan
masuknya penawaran berasal dari para pemasok yang tidak mampu
melaksanakan perkerjaan yang bersangkutan. Disampinh itu spesifikasi
yang sangat rinci dan sempit akan berdampak pada pembatasan jumlah
pemasok yang memasukan penawaran. Dalam hal spesifikasi terlalu
kabur terhadap biaya administrasi akan mengalami kenaikan dalam
proses evaluasi. Dala hal spesifikasi yang detail juga akan menimbulakan
terjadinya korupsi dan akan membatasi kewenangan pejabat dalam
pengambilan keputusan. Penyimpangan dana yang terjadi tidak hanya
terkait adanya pengadaan barang dan jasa tetapi juga kegiatan-kegiatan
lain yang bersumber dari penggunaan keuangan daerah lewat Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Modus operandi yang telah
merugikan keuangan daerah dari pengggunaan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak hanya terkait dari
pengadaan barang dan/ atau jasa saja.
Fakta lainnya yang punya dampak serius terhadap pelaksanaan
pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah masalah pembiayaan. Sumber
pembiayaan pemilihan kepala daerah (pilkada) berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Usulan dana dari Departemen Dalam Negeri Rp
926,56 Miliar, sebesar Rp 627,87 Milliar untuk anggaran pemilihan
kepala daerah (pilkada). Sebesar 142,42 Milliar untuk dukungan daearh
pemekaran dan dana fasilitasi pemilihan kepala daerah (pilkada) sebesar
Rp 185,30 Miliar. Dana tersebut masih digunakan dana cadangan untuk
daerah yang menyelenggarakan putaran 2 (dua). Sampai Rp 74 Milliar.
Ada dukungan dana oleh pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) setelah pengajuan dana pembiayaan pemilihan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
kepala daerah (pilkada) yang diajukan Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) (Cecep Effendi, 2005: 18). Hal ini membuktikan bahwa kepala
daerah sebagai pemegang eksekutif tertinggi di daerah mempunyai
peluang paling besar untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Adapun terkait data korupsi yang melibatkan kepala daerah mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah sebagai
berikut:
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Jenis Korupsi
1. Pengadaan Barang dan/atau Jasa
2 12 8 14 18 16 16 86
2. Perizinan - - 5 1 3 1 - 10 3. Penyuapan - 7 2 4 13 12 19 57 4. Pungutan - - 7 2 3 - - 12 5. Penyalahgunaan
Anggaran - - 5 3 10 8 5 31
Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 196
Sumber: Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4
Sebanyak 17 gubernur dan 158 bupati serta wali kota terjerat
dalam tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Sebagian besar kepala daerah diduga terlibat korupsi
pengadaan barang dan jasa. Lebih dari 90% kasus tindak pidana korupsi
yang melibatkan kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Total anggaran yang dikorupsi adalah sebesar Rp 1,9 triliun.
Secara keseluruhan tingkat kebocoran dalam proyek pengadaan barang
dan jasa pemerintah sejak tahun 2005-2010 mencapai 35%. Indikasi
kebocoran adalah banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu,
tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Banyaknya alat
yang dibeli tidak bisa dipakai dan masa pakai lebih pendek hanya
mencapai 30%-40%. Selain itu kebiasaan kewajiban untuk memberikan
fee oleh kontraktor, panitia pengadaan dan pimpinan proyek kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
atasan dengan dalih untuk belanja organisasi. Perbedaan harga barang
sejenis yang cukup mencolok antara satu instansi dan instansi lain serta
adanya beberapa invoice untuk satu jenis barang. Adanya modus
penyimpangan anggaran adalah dengan penunjukan langsung (94%) dan
penggelembungan harga (6%) (Media Indonesia, 9 Maret 2011, hal. 4).
Secara umum para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dan kepala daerah telah mempunyai tugas dan wewenang yang telah
diberikan hukum tertulis, aka tetapi dalam prakteknya tidak dapat
berjalan sesuai rule of law yang ada.
Pada peraturan pemerintah Republik Indonesia No.16 Tahun
2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tentang tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Pasal 3
disebutkan: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai
tugas dan wewenang:
a. membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah
mengenai Anggaran Pendapatan dan Belnja Daerah (APBD) yang
diajukan oleh kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
dan Anggaran Pendapatan dan Belnja Daerah (APBD);
d. mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota,
untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau
pemberhentian;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah
lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut juga sesuai dengan substansi dari Pasal 42 Undang-
Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yaitu sebagai
berikut:
a. membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan gubernur untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersama dengan
kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), kebijakan
pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan
daerah dan kerjasama internasional daerah;
d. mengusulakn pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah
kepada presiden melalui Mentri Dalam Negeri bagi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui gubernur bagi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Kabupaten atau Kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
kepala daerah;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional
yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggung jawaban kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dn meminta laporan Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) dalam penyelanggaraan pemerintah daerah;
dan
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah
dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
(Marbun, 2005: 73).
Dalam Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah di Pasal 31
disebutkan bahwa
“(1) Kepala Daerah mengatur pengelolaan Barang Daerah, (2) Pencatatan Barang Daerah dilakukan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah Daerah, (3) Sekretaris Daerah, Sekretaris DPRD, dan kepala dinas/lembaga teknis adalah pengguna dan pengelola barang bagi sekretariat Daerah/sekretariat DPRD/dinas daerah/lembaga teknis daerah yang dipimpinnya”. Selanjutnya di Pasal 32 disebutkan “(1) Pengadaan barang dan atau jasa hanya dapat dibebankan kepada APBD sepanjang barang dan atau jasa tersebut diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi perangkat daerah yang bersangkutan, (2) Pengadaan barang dan jasa atas beban APBD diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Daerah”.
Dalam Pasal 1 ayat (15) Peraturan Pemerintah No.08 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang
berbunyi
”Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan atau dinas atau biro keuangan atau bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.”. Selanjutnya dalam Pasal 16 berbunyi”Satuan Kerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada gubernur atau bupati atau walikota dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretaris daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan satuan polisi pamong praja sesuai dengan kebutuhan daerah”.
Kepala daerah adalah pimpinan lembaga yang melaksanakan
peraturan perundangan. Dalam wujud konkritnya, lembaga pelaksana
kebijakan daerah adalah organisasi pemerintahan. Kepala daerah
menyelenggarakan pemerintahan di daerahnya. Kepala daerah provinsi
disebut gubernur, kepala daerah kabupaten disebut Bupati dan kepala
daerah kota disebut walikota. Adapun yang menjadi tugas dan wewenang
dari kepala daerah adalah sebagai berikut:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD);
b. mengajukan rancangan peraturan daerah;
c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD);
d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan
bersama;
e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundangundangan; dan
g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (Hanif Nurcholis, 2005:118).
Keterkaitan penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah yaitu peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Perwakilan Rakyat (DPRD), Gubernur, Bupati dan Wali kota. Untuk
melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa dari peraturan perundang-
undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau
keputusan kepala daerah (Marbun, 2005: 63). Dengan demikian setiap
kebijakan yang dibuat secara bersama-sama antara pejabat daerah yang
satu dengan yang lain akan berdampak terhadap pada besar dan kecilnya
dana yang akan dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Beban dana yang dikeluarkan dari ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
akan berpotensi terhadap kerugian keuangan daerah pada khususnya dan
kerugian keuangan negara pada umumnya. Parameter terhadap ada dan
tidaknya kerugian negara ini merupakan salah satu delik-delik hukum
yang akan digunakan untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi.
3. Penetapan sanksi hukum kepada para pelaku tindak pidana korupsi
dan delik-delik hukum sebagai sanksi terhadap tindak pidana
korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
a. Tinjauan secara umum para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dalam suatu pemerintahan daerah terdapat pejabat
pemerintah daerah yang bertanggunng jawab dan melaksanakan
tugas dan wewenangnya masing-masing. Pemerintah daerah
mempunyai perangkat daerah. Perangkat daerah adalah organisasi
atau lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggung jawab
kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Perangkat daerah terdiri atas
sekretaris daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
Sekretariat daerah adalaj unsur staf pemerintah daerah. Maksudnya
sebagai lembaga yang memberi dukungan data, informasi dan
perencanaan pemerintah daerah. Sekretariat daerah provinsi
merupakan unsure staf pemerintah provinsi dan dipimpin oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
seorang sekretaris daerah yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada gubernur. Sekretariat daerah provinsi mempunyai
tugas membantu gubernur dlam melaksanakan tugas
penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan
tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada
seluruh perangkat daerah. Sekretariat daerah provinsi mempunyai
fungsi yaitu sebagai berikut: Pertama, pengkoordinasian perumusan
kebijakan pemerintah daerah provinsi. Kedua, penyelenggaraan
administrasi pemerintahan. Ketiga, Pengelolaan sumber daya
aparatur, keuangan, prasarana dan sarana pemerintahan daerah
provinsi. Keempat, pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sekretariat daerah
provinsi terdiri atas asisten pemerintah daerah, asisten sekretaris
daerah terdiri atas biro dan biro ini atas bagian-bagian serta bagian-
bagian ini terdiri dari sub bagian.
Sekretaris kabupaten atau kota merupakan unsur staf
pemerintah kabupaten atau kota dipimpin oleh seorang sekretaris
daerah yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada bupati
atau wali kota. Sekretaris daerah kabupaten atau kota mempunyai
tugas membantu bupai atau wali kota dalam melaksanakan tugas
penyelenggaraan pemerintahan, administrasi,organisasi dan
tatalaksana serta memberikan pelayanan administrasi kepada seluruh
perangkat daerah. Sekretariat daerah kabupaten atau kota
mempunyai fungsi yaitu sebagai berikut: Pertama, pengkoordinasian
perumusan kebijakan pemerintah daerah kabupaten atau kota.
Kedua, penyelenggaraan administasi pemerintahan. Ketiga,
pengelolaan sumber daya aparatur keuangan, prasarana dan sarana
pemerintah daerah kabupaten atau kota. Keempat, pelaksanaan tugas
lain yang diberikan oleh bupati atau wali kota sesuai dengan tugas
dan fungsinya. Sekretariat daerah kabupaten atau kota terdiri atas
asisten sekretaris daerah dan asisten sekretaris daerah ini terdiri dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
bagian serta sub bagian. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) provinsi merupakan merupakan unsur pelayanan terhadap
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi. Lembaga ini
dipimpin oleh seorang sekretaris yang bertanggung jawab kepada
pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan secara
administratif dibina oleh sekretaris daerah provinsi. Sekretaris
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi mempunyai
tugas memberikan pelayanan administratif kepada anggota Dewan
Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) provinsi. Sekretaris Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai fungsi yaitu sebagai
berikut: Pertama, fasilitasi rapat anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah provinsi. Kedua, pelaksanaan urusan rumah tangga dan
perjalanan dinas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
provinsi. Ketiga, pengelolaan tata usaha Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) provinsi. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) kabupaten atau kota merupakan unsur pelayanan
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau
kota. Lembaga ini dipimpin oleh seorang sekretaris yang
bertanggung jawab kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan secara administratif dibina oleh sekretaris
daerah kabupaten atau kota. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) mempunyai tugas memberikan pelayanan
administratif kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) kabupaten atau kota. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) kabupaten atau kota mempunyai fungsi yaitu
sebagai berikut: Pertama, fasilitasi rapat anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota. Kedua, pelaksanaan
urusan rumah tangga dan perjalanan dinas anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota. Ketiga,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
pengelolaan tata usaha Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
kabupaten atau kota (Hanif Nurcholis, 2005: 129-131).
Dua masalah sentral dalam kebijkan criminal dengan
menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan
perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi
apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat
dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan
kebijakan sosial atau kebijakan pembanguanan nasional. Ini berarti
pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang
telah ditetapkan. Denga demikian kebijakan hukum pidana termasuk
pula kebijakan dalam menangani dua masalah tersebut harus pula
dilakukan dengan yang berorientasi pada kebijkan (policy oriented
approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral
ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tapi juga pada
pembangunan hukum pada umumnya (Barda Nawawi Arief, 2009:
36). Para pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan semua
pejabat di daerah merupakan tindak kejahatan yang bersifat kolektif.
Sengaja dan tidaknya dari tindak kejahatan tersebut akan
menentukan tentang ada dan tidaknya unsur kesalahan dari para
pelaku. Kesalahan dan kesengajaan merupakan salah satu unsur guna
menentukan pertanggung jawaban secara pidana dari para pelaku.
b. Pola penetapan sanksi hukum kepada para pelaku mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terkait
penggunaan delik-delik hukum dalam hukum pidana
Undang-undang korupsi merumuskan sifat melawan hukum
dalam arti formil dan materiil dengan dasar pemikiran Pertama,
korupsi adalah kejahatan yang terkait nasib banyak orang dimana
uang negara yang dicuri biasa bermanfaat untuk meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
kesejahteraan rakyat. Kedua, kepentingan hukum yang dilindungi
pembentuk undang-undang adalah keuangan dan perekonomian
negara. Ketiga, kejahatan korupsi hampir dilakukan secara
terorganisasi dengan modus operandi korupsi, sehingga sering dapat
lolos dari rumusan melawan hukum formil (Amin Sutikno, 2007: 64-
65). Perbuatan sifat melawan hukum yang terdapat dalam aturan
hukum positif justru menimbulkan masalah baru sebagai upaya
pemberantasan korupsi dalam menjerat para pejabat di daerah yang
melakukan mark up terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Permasalahan timbul ketika terjadi tarik ulur antara
penetapan rumusan delik dan rumusan perbuatan melawan hukum
yang digunakan dalam proses penuntutan oleh para penegak hukum.
Makna perbuatan melawan hukum masih sangat multitafsir ketika
diharmonisasikan dengan konsep penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh para pejabat di daerah terkait manipulasi penggunaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal konsep
melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang adalah dua (2) hal
yang tidak boleh dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.
Keduanya harus berjalan bersama-sama dalam proses penetapan para
pelaku tindak pidana korupsi mark up dana keuangan di daerah.
Tarik ulur yang terjadi dalam penderivatifan makna perbuatan
melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang justru
menimbulkan implikasi terhadap lemahnya sanksi yang didapatkan
oleh para koruptor yang ada di daerah. Lemahnya sanksi yang
didapatkan oleh para koruptor dapat disebabkan kurang pahamnya
para penegak hukum dalam pemaknaan perbuatan melawan hukum
dan penyalahgunaan wewenang.
Menurut Penulis kontroversi dan perdebatan hukum selain
perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang juga
terdapat pada kata “dapat merugikan keuangan negara atau atau
perekonomian negara”. Pemaknaan dapat merugikan keuangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
negara justru akan menjadikan celah hukum untuk disalah artikan
karena masih sangat multitafsir. Padahal klausula hukum tersebut
penting dan mutlak dibutuhkan dalam menentukan delik hukum
yang digunakan dalam menjerat para koruptor mark up dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ada korelasi
dan hubungan yang tidak boleh dipisahkan terkait dapat merugikan
keuangan negara dengan perbuatan melawan hukum dan
penyalahgunaan wewenang. Walaupun terdapat adanya perbuatan
melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang akan tetapi tidak
terdapat adanya kerugiaan negara, hal ini akan digunakan oleh para
penasehat hukum koruptor sebagai celah hukum untuk meringankan
sanksi dan bahkan untuk melepaskan para koruptor dari segala
tuntutan hukum. Untuk menentukan ada dan tidaknya terkait
kerugian negara dari hasil mark up Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) ada lembaga yang mempunyai otoritas
untuk melakukan audit terhadap penyimpanagan tersebut.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pengawasan
terhadap penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan fungsinya sebagai
lembaga tertinggi negara memeriksa, menguji, dan menilai
penggunaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan sesuai dengan
tujuan penganggarannya atau tidak. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) melakukan pengawasan penggunaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dalam tahun anggaran yang berjalan.
Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilaporkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Disamping itu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) juga melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana
dekonsentrasi pada pemerintah provinsi dan dana tugas pembantuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
baik pada pemerintah provinsi maupun pada pemerintah kabupaten
atau kota dan pengawasan ini bersifat represif (Hanif Nurcholis,
2005: 199).
Menurut Penulis berkenaan dengan korelasi dengan audit dan
investigasi terhadap ada dan tidaknya kerugiaan negara dalam
penetapan delik hukumnya harus menggunakan dengan ahli yang
dihadirkan dalam persidangan. Hasil dari judicial review dari
Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/ PUU-IV/ 2006 yang
menyatakan kata “dapat” tetap dipertahankan sepanjang
perhitungannya dilakukan oleh para ahli. Audit dan investigasi
tersebut dapat berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akan
tetapi dalam praktek yang ada dalam persidangan terdapat polemik
antara hasil audit dan investigasi antara Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Hal ini terjadi ketika pihak penyidik menggunakan kedua
lembaga tersebut, tetapi hasil audit dan investigasinya berbeda.
Walaupun atas putusan Mahkamah Agung (MA) hasil yang
digunakan adalah audit dan investigasi dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), akan tetapi dalam praktek yang dilakukan oleh
para penyidik proses penuntutan masih menggunakan hasil dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk
menjerat para koruptor di daerah. Pihak kepolisian dan kejaksaan
dalam prakteknya masih sering menggunakan hasil dari Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan ternyata
dalam proses persidangan hasil tersebut dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum. Hal ini akan berimplikasi terhadap sah dan
tidaknya legal opinion yang dikonstruksi oleh para penyidik dalam
menetapakan para pelaku menjadi tersangka maupun terdakwa.
Berdasarkan substansi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
200 juta dan paling banyak 1 milyar”. Selanjutnya substansi dalam
Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50 juta
dan paling banyak 1 milyar” (Komisi Pemberantsan Korupsi, 2006:
26-27). Aturan hukum tersebut akan digunakan oleh para penegak
hukum guna memenuhi rumusan delik hukum dan penetapan bagi
para pelaku korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) di daerah-daerah seluruh Indonesia.
Pola penetapan mantan anggota Dewan Perwakillan Rakyat
Daerah (DPRD) Kota Cirebon periode 2004-2009 menjadi tersangka
dugaan tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah sebagai berikut:
1. Pada tanggal 11 Agustus 2004 terjadi pergantian keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cirebon yaitu
berakhirnya keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) periode 1999-2004 dan diresmikannya keanggotaan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009;
2. Anggaran yang digunakan pada tahun 2004 adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004 (Peraturan
Daerah No.3 Tahun 2004 ditetapkan tanggal 12 Januari 2004),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
dibahas dan ditetapkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) periode 1999-2004. Pos anggaran dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2004
adalah untuk sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dengan anggaran Rp 2.308.320.558 dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan anggaran Rp
6.489.020.940
3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perubahan
tahun 2004 (Peraturan Daerah No.9 Tahun 2004 ditetapkan
tanggal 2 Juli 2004), dibahas dan ditetapkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004.
Perubahan ini mengacu kepada Surat Edaran (SE) Mentri Dalam
Negeri No.161/3211/SJ tanggal 29 Desember 2003 tentang
kedudukan keuangan Pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) maka belanja kecuali gaji dipindah ke
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
sehingga dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tahun 2004 besaran pos anggaran menjadi
sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebesar
Rp 7.737.706.145 dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebesar Rp 1.091.634.953. Dengan demikian kedua
peraturan daerah tentang Angggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tahun 2004 tersebut dibahas dan disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Dearah (DPRD) periode 2004-2009
sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan perencanaan
kebijakan anggaran dan kegiatan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) 2004.
Adapun penggunaan dari anggaran Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) tersebut digunakan sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
(APBD) dan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) 2004 dari bulan Januari 2004-Agustus 2004.
Besarnya biaya penunjang operasional Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) yang digunakan dari bulan Januari
2004-Agustus 2004 mencapai lebih dari Rp 4,6 miliar dari total
anggaran tahun 2004 yang tersedia sebesar Rp 4,9 miliar.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) tahun 2004 dan perubahan (APBD) tahun 2004 bulan
Agustus 2004-Desember 2004. Besarnya biaya penunjang
operasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
digunakan dari bulan agustus 2004-Desember 2004 tidak sampai
Rp 300.000.000 dari total anggaran tahun 2004 yang tersedia
sebesar Rp 4,9 miliar.
3. Kinerja dan anggaran yang dilakukan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009 dari
bulan Agustus 2004-Desember 2004 dengan anggaran yang
kurang dari Rp 300.000.000 tersebut sudah sesuai dengan hasil
keputusan Panitia Musyawarah berupa program atau jadwal
kegiatan bulanan serta dilengkapi surat tugas.
Dengan demikian terhadap dugaan adanya penyimpangan
dana daerah tersebut Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) melakukan audit investigasi terhadap biaya
penunjang operasional Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
tahun 2004 tanggal 19 Juni 2006 dengan kesimpulan terhadap
penyimpangan berupa pembayaran biaya operasional Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tidak benar kepada seluruh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebesar Rp
4.983.960.000 untuk periode 1 Januari sampai 31 Desember 2004,
sehingga merugikan keuangan negara dan daerah. Berdasarkan
pemeriksaan audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Pembangunan (BPKP) tersebut Kepolisian Daerah Jawa Barat
melakukan pemanggilan atau pemeriksaan atau penyidikan terhadap
seluruh mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
periode 1999-2004 dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) periode 2004-2009 sebanyak 19 orang (jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 2004-2009
sebanyak 30 tapi 11 orang merupakan mantan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) periode 1999-2004). Ke-19
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut periode
tahun 2004-2009 ini hanya dipanggil 1 (satu kali) dengan status
sebagai saksi. Sebagai tindak lanjut pemanggilan atau pemeriksaan
atau penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Barat, mantan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1999-2004 ditetapkan
sebagai tersangka dan saat ini sedang menjalani sidang di Pengadilan
Negeri Cirebon dengan tuntutan Jaksa hukuman 2 (dua) tahun dan
sudah melakukan pledoi dan tinggal menunggu vonis hakim.
Akhirnya dari ke-19 mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) 2004-2009 yang 5 (lima) diantaranya terpilih
kembali sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
periode 2009-2014 yang semula sudah berkeyakinan sebagai saksi,
namun pada akhir bulan November 2010 mendapat panggilan dari
Polisi Daerah Jawa Barat untuk diperiksa lagi dengan status
tersangka.
Sumber: Data dan Notulensi Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cirebon di Komisi
III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) pada tanggal 18 Januari
2011 pukul 10.00 WIB).
Ada 2 (dua) pendapat tentang sifat melawan hukum yaitu
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
a. Berpandangan sempit yang mengatakan dengan perbuatan
melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hak subjektif seseorang (hetzij met een anders subjektif
recht) dan juga bertentangan dengan kewajibannya sendiri
menurut undang-undang (hetzi met des daders eigen wethe lijke
plicht). Menurut Hofman menyimpulkan bahwa perbuatan
melawan hukum dalam pandangan ini adalah bertentanga
dengan udang-undang. Suatu perbuatan yang tidak bertentangan
dengan sesuatu yang menurut pergaulan masyarakat adalah tidak
patut dan tidak merupakan suatu perbuatan melawan hukum;
dan
b. Berpandangan luas yang menyatakan bahwa seseorang
melakukan perbuatan yang melawan hukum (Komariah Emong
Supardjaja, 2002: 36-37).
Dalam ajaran sifat melawan hukum pidana terdapat 2 (dua)
ajaran yaitu sebagai berikut:
a. Sifat melawan hukum yang formil, maksudnya adanya suatu
perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbuatannya itu
diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam
undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan
itu dapat hapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-
udang; dan
b. Sifat melawan hukum yang materiil, maksudnya suatu perbuatan
itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam
undang-undang (hukum tertulis) saja, akan tetapi harus dilihat
berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan
hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan
delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan
juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (Sudarto,
1990: 78).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
Selanjutnya dalam pengertian sifat melawan hukum yang
materiil dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut:
a. Dalam fungsinya yang negatif, artinya yaitu mengakui
kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang
menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi
rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai penghapus
sifat melawan hukum; dan
b. Dalam fungsinya yang positif, artinya yaitu menganggap sesuatu
perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata
diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila
bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada
diluar undang-undang (Sudarto, 1990: 81).
Bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan
pidana . Hal ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu
dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah
harus dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik
yaitu apakah dalam rumusan unsure tersebut disebutkan dengan
nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak
dinyatakan, makalebih banyak delik yang tidak memuat unsur
melawan hukum di dalam rumusannya. Apakah konsekuensi dari
pada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu
menjadi unsur tiap-tiap delik? konsekuensinya ialah jika unsur
melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu
dianggap dengan diam-diam telah ada kecuali jika dibuktikan
sebaliknya oleh pihak terdakwa. Hal ini sama dengan konsep unsur
kemampuan bertanggung jawab. Konsekuensi yang lain adalah jika
hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada
atau tidak, maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
pidana dan dengan demikian tidak mungkin akan dijatuhi tindak
pidana (Moeljatno, 1993:134).
Persoalan pembuktian unsur sifat melawan hukum yang lebih
rumit ialah mengenai melawan hukum menurut Pasal 2 Undang-
undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena rumusan
tindak pidana pada pasal ini terlau umum dan abstrak, sehingga
cakupannya terutama perbuatan memperkaya sangatlah luas.
Keadaan ini sangat menguntungkan jaksa. Batasan cakupan itu
hanya karena dicantumkannya unsur melawan hukum di dalam
rumusan. Ada juga frasa kata “dapat” dalam frasa merugikan
keuangannatau perekonomian negara membuat kesulitan tersendiri
dalam pembuktian, sehingga jaksa harus menganalisis tentang
adanya kemungkinan atau potensial perbuatan memperkaya si
pembuat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara.
Karena kesulitan itu, menjadi penyebab dalam praktek hukum jaksa
selalu mencari kerugian nyata.
Prinsip umum hukum pembuktian ialah hanya membuktikan
unsur-unsur yang tersurat saja dalam rumusan tindak pidana.
Berpegang pada prinsip ini, maka jaksa wajib membuktikan unsure
melawan hukum dari perbuatan memperkaya yang dimaksud dalam
Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan pada Pasal 3 dalam aturan ini jaksa wajib membuktikan adanya
wujud perbuatan menyalahgunakan kewenangan. Jika dapat
membuktikan, dengan demikian dianggap terbukti pula sifat
melawan hukumnya perbuatan menyalahgunakan kewenangan
tersebut. Keberadaan unsur melawan hukum terselubung dalam
tingkah laku yang terdapat dalam tindak pidana korupsi pada Pasal 3
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Membuktikan unsur sifat melawan hukum pada Pasal 2
Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai
dengan mengungkapkan fakta-fakta oleh jaksa mengenai berbagai
ketentuan tertulis yang dilanggar, kemudian dibahas atau dianalisis
dalam requisitor. Pekerjaan menganalisis pembuktian dimulai
dengan memberi isi dan arti apa yang dimaksud dengan unsure
melawan hukum. Pada umumnya jaksa selalu memberikan arti
melawan hukum undang-undang. Hampir jaksa pasti mencari
sumber tertulis yang menyatakan atau membuktikan bahwa wujud
perbuatan memperkaya terdakwa sebagai melawan hukum tertulis.
Sumber hukum tertulis tersebut dicari di luar undang-undang tindak
pidana korupsi (Adami Chazawi, 2008: 309-310).
Bagian inti dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31
Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat serentak dapat menjadi
bukti. Hal ini dapat terjadi jika seorang pegawai negeri terbukti
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (bagian
inti dari Pasal 2 yang juga masuk dalam cakupan bagian inti dari
Pasal 3 dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi) yang dilakukan dengan menyalah gunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan (bagian inti dari Pasal 3 yang juga masuk
dalam cakupan bagian inti dari Pasal 3 yang juga masuk dalam
cakupan inti dari Pasal 2 secara melawan hukum) dan memenuhi
bagian inti yang sama dari Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut yaitu
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jika
dakwaan dari penuntut umum adalah dalam bentuk alternatif pada
kasus yang diterapkan bukan ajaran logische specialiteit, tapi
concurcus idealis (eendaadse samenloop) seperti yang diatur dalam
Pasal 63 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
yang berbunyi ”jika satu perbuatan masuk dalam lebih dari satu
aturan pidana maka yang dikenakan hanya salah satu diantara
aturan-aturan itu jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana yang paling berat” (Amin Sutikno, 2007: 30).
Sedikit sekali tindak pidana yang mencantumkan unsur
melawan hukum dalam rumusan tindak pidana, ialah Pasal 2, 12e
dan 23 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal
429 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan 23 jo Pasal
430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) . Dengan
demikian hanya ada 4 (empat) pasal tindak pidana korupsi yang
tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Perbuatan yang
dilarang pada Pasal 3 dirumuskan dengan menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan dan sarana. Pada perbuatan
menyalahgunakan kewenangan secara terselubung di dalamnya
terdapat sifar melawan hukum. Setiap menyalahgunakan
kewenangan berarti sekaligus mengandung sifat melawan hukum.
Menyalahgunakan kewenangan artinya si pembuat tidak punya hak
untuk berbuat yang menyalahi kewenangannya. Namun,
sesungguhnya frasa menyalahgunakan kewenangan adalah juga
melawan hukum. Membuktikan adanya wujud tertentu perbuatan
menyalahgunakan kewenangan pada dasarnya adalah membuktikan
bahwa si pembuat tidak memiliki hak (melawan hukum) untuk
menyalahgunakan kewenangannya.
Demikian juga Pasal 23 jo Pasal 421 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dalam rumusan tindak pidana menurut
ketentuan pasal ini mengandung sifat melawan hukum secara tersirat
dalam unsur perbuatan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam setiap
perbuatan menyalahgunakan kekuasaan selalu mengandung sifat
unsur melawan hukum. Membuktikan telah terjadinya
menyalahgunakan kekuasaan sama artinya membuktikan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
sifat melawan hukum dalam mewujudkan bentuk konkrit dari
perbuatan tersebut. Si pembuat tidaklah mempunyai hak (melawan
hukum) untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Pasal 23 jo Pasal 429 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menggunakan frasa ”melampaui kekuasaan atau tanpa
mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalan aturan hukum”.
Pasal 23 jo Pasal 430 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menggunakan frasa”melampaui kekuasaannya”. Hanya dalam Pasal
2 dan Pasal 12e Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-
undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang secara tegas menggunakan frasa “melawan hukum”.
Semua istilah tersebut menggambarkan sifat tercela atau melawan
hukum perbuatan. Dengan menggunakan frasa yang berbeda yang
semuanya menggambarkan sifat tercelanya perbuatan tetap
mempuyai sisi yang berbeda dalam hal pembuktian. Uraian dalam
pembuktian dalam surat tuntutan mengenai unsur melawan hukum
yang tercantum dalam rumusan tersebut tidak harus dicari landasan
pada hukum tertulis saja. Akan tetapi dengan akal budi dan
ketajaman logika analisis seorang jaksa dapat mencari ketentuan
tertulis. Dapat dikatakan lebih mendekati pengertian perbuatan
melawan hukum perdata pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHperdt). Pengertian perbuatan melawan hukum
perdata dalam prakteknya juga digunakan dalam perbuatan melawan
hukun dalam pidana (Adami Chazawi, 2008: 306-307).
Bagian inti delik yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-
undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Perbuatan melawan hukum ini dapat dijadikan bagian inti delik atau
sifat hukum khusus. Dengan demikian jika melawan hukum ini tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
terbukti maka putusan hakim adalah bebas. Hal ini berbeda dengan
rumusan Pasal 3 dimana perbuatan hukum melawan hukum tidak
dijadikan bagian inti delik (sifat melawan hukum umum atau diam-
diam). Dengan demikian walaupun rumusan delik telah terpenuhi
oleh terdakwa, tapi jika ditemukan alasan-alasan pembenar atau
pemaaf atas perbuatan terdakwa tersebut maka putusan hakim adalah
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Indrianto Senoaji,
2007: 63). Untuk dakwaan yang disusun secara subsidaritas pada
asasnya dakwaan primair harus dibuktikan terlebih dahulu, jika
terbukti maka dakwaan subsidair tidak dipertimbangkan lagi. Jika
dakwaan primair tidak terbukti baru dakwaan subsidairnya
dibuktikan. Dalam Pasal 2 disebut sebagai pasal karet atau pasal
keranjang sampah. Hal ini maksudnya semua perbuatan korupsi
dapat masuk ke dalam Pasal 2 sebab ada rumusan melawan hukum.
Pasal 3 pun juga akan cocok dan masuk ke dalam Pasal 2 sebab
unsur penyalahgunaan jabatan atau wewenang sesungguhnya juga
perbuatan melawan hukum. Dengan meletakan Pasal 2 sebagai
dakwaan primair untuk perkara korupsi dengan sendirinya akan
menutup kesempatan pembuktian Pasal 3 sebagai dakwaan subsidier
karena penyalahgunaan wewenang atau jabatan dalam Pasal 3 itu
juga akan memenuhi unsur melawan hukum Pasal 2 dalam dakwaan
primair (Indrianto Senoaji, 2007: 65). Hal ini telah berimplikasi
terhadap sulitnya untuk menetapkan status hukum bagi pelaku
korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Penetapan menjadi tersangka dan terdakwa justru akan terhambat
dengan aturan hukum baik yang bersifat formil maupun materiil.
Hambatan yang lain adalah jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh
pelaku yang lebih dari 1 (satu orang) dan mereka saling mengadakan
kesepakatan bersama.
Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang
pembuat, tapi kadang-kadang dapat juga oleh beberapa orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
Mereka masing-masing disebut “peserta” itu mempunyai peranan di
dalamnya dengan ini akan menginjak ajaran penyertaan yang
termasuk persoalan yang sukar tetapi penting dalam hukum pidana.
Ajaran penyertaan itu menentukan tanggung jawab sebagai persoalan
pertanggung jawaban pidana. Pompe memandang penyertaan
(seperti juga pada “percobaan”) sebagai suatu bentuk khusus dari
tindak pidana (bijzandere veraschijningsvorm van hot strafbare feit),
oleh karena itu ”dapat dipidananya perbuatan” sebagaimana dalam
undang-undang diperluas (Winarno Budyatmo, 2009: 23).
Adapun bentuk-bentuk penyertaan berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada 2 (dua) bentuk
penyertaan yaitu sebagai berikut:
1. Pembuat (dader) dalam Pasal 55; dan
2. Pembantuan dalam Pasal 56.
Dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menyebutkan 4 (empat golongan) orang yang dipidana
sebagai pembuat ialah:
a. Mereka yang melakukan tindak pidana (pelaku atau pleger);
b. Mereka yang menyuruh lakukan tindak pidana (does pleger);
c. Mereka yang turut serta melakukan (medepleger);
d. Mereka yang dengan memberi dan menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekuasaan ata martabat, dengan kekerasan
atau ancaman atau penyesatan dengan memberi kesempatan
sarana atau keterangan sengaja menganjurkan (membujuk)
orang lain supaya melakukan perbuatan (uitlokker)
Dalam pemidanaan mereka yang termasuk dalam 4 (empat)
macam pembuat itu tidak ada perbedaan. Pasal 56 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan siapa yang dipidana
sebagai pembentuk suatu kejahatan yaitu ada 2 (dua) golongan
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan;dan
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk
melakukan kejahatan.
(Winarno Budyatmo, 2009: 23).
Pada Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) disebutkan:
“Dipidana sebagai pembuat delik: mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan,
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan
menyalahgunakan kekusaan atau martabat dengan kekerasan
ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”.
Dalam ayat (2) disebutkan:
“terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan beserta akibat-akibatnya”. Selanjutnya
dalam Pasal 56 disebutkan:
“(1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana
atau keterangan untuk melakukan kejahatan”. Dalam rumusan
hukum ini terdapat aktor-aktor yang terlibat pada tindak pidana
korupsi dana keuangan di daerah. Pelaku tersebut dapat berupa orang
yang melakukan, orang yang menyuruh lakukan, turut serta dalam
perbuatan dan penganjur. Terkait modus operandi korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di berbagai
daerah, Kepala Daerah merupakan pihak penganjur terhadap
penggunaan dana yang tidak dibebankan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini menurut Penulis
terkait penganjuran telah memenuhi syarat sesuai pernyataan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
Winarno Budiyatmojo (2009: 41): Pertama, ada kesengajaan untuk
menggerakan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.
Kedua, dalam menggerakan tersebut harus menggunakan sarana-
sarana (upaya-upaya) seperti tersebut dalam undang-undang. Ketiga,
putusan kehendak dari pembuat materiil ditimbulkan karena hal
tersebut (Hazewinkel Suringa), ini mengenai persoalan psychische .
Keempat, yang digerakan melakukan tindak pidana atau percobaan
sebagai pelaksana dari timbulnya kehendak itu. Kelima, yang
dibujuk (pembuat materiil) harus dapat dipertanggung jawabkan
dalam hukum pidana. Penggunaan keuangan daerah tersebut dapat
berupa dana taktis yang dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan
pribadinya maupun untuk kegiatan oragnisasi tertentu. Kepala
Daerah selaku pemegang otoritas tertinggi juga mempunyai
wewenang untuk membuat kebijakan terkait proses dan penetapan
besar kecilnya pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
pemerintah daerah. Selain itu dalam proses pembuatan peraturan
daerah dari pihak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) guna menetapkan besar kecilnya penggunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk belanja daerah
banyak terjadi pelaku tindak pidana berupa turut serta dalam
membuat kebijakan bersama. Turut serta dalam perbuatan tindak
pidana tersebut juga dilakukan oleh para sekretaris daerah dalam
pembuatan administrasi daerah dan bendahara daerah terkait
pengeluaran keuangan daerah agar seolah-olah semua kegiatan dari
pejabat daerah sah berdasarkan hukum. Modus operandi korupsi
keuangan daerah akan menjadi makin rumit dengan adanya
gratifikasi agar meloloskan pasal-pasal titipan dari pihak-pihak
tertentu pada peraturan daerah dalam penetapan besar kecilnya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihak yang
dapat menerima gratifikasi tersebut adalah para anggota Dewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala daerah dan para pejabat
lainnya.
Ketentuan Pasal 38 A Undang-Undang No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat diperlukan
dalam pembuktian tindak pidana korupsi tentang gratifikasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) karena dalam rumusan
Pasal 12 B ayat (1) hanya disebutkan pegawai negeri atau
penyelenggara negara tidak ada menyebutkan terdakwa tindak
pidana korupsi sebagaimana dalam rumusan Pasal 37, 38 A, dan 38
B. Walaupun penyebutan terdakwa bagi pelaku tindak pidana
korupsi baru diberlakukan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan, karena sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pelaku
tindak pidana korupsi yang disebutkan sebagai terdakwa adalah
seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan. Implikasi dari rumusan Pasal 38 A tersebut adalah
pembebanan beban pembuktian untuk perkara tindak pidana korupsi
tentang gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf a dan pembebanan beban pembuktian yang terbatas untuk
perkara tindak pidana korupsi tentang gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf b tidak dapat dilakukan
pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan (Ermansjah
Djaja, 2008: 146). Dengan adanya proses penetapan kepada para
pelaku tindak pidana korupsi di daerah dan penetapan delik-delik
hukumnya sebagai alat penjerat pelaku tersebut, maka hasil akhir
akan ditentukan di dalam persidangan. Dialektika dan debat hukum
akan menjadi tolak ukur dari putusan yang akan dijatuhkan terhadap
tujuan hukum yang hendak dicapai, yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
B. Sinergisitas Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Dengan Konsep
Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Peradilan Umum
Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi Korupsi Mark Up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
1. Kedudukan lembaga peradilan dan pengadilan dalam sistem hukum
di Indonesia
Sampai akhir tahun 2010 surat izin presiden masih menjadi
persoalan klasik dalam mengusut kasus korupsi yang melibatkan kepala
daerah. Dari sisi pelaku kalangan eksekutif tetap menjadi aktor utama
dalam beberapa korupsi yang ada (Kompas, 10 Desember 2010: hal. A).
Dalam upaya pemberantasan korupsi yang akan dan sedang dilakukan
oleh berbagai pihak dari aparat penegak hukum belum dapat mencapai
hasil yang dapat menjerat para pelaku untuk mendapatkan sanksi yang
tegas dan membuat efek jera. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
aturan birokrasi yang tersistematis dan terstruktur dengan memanfaatkan
celah hukum dalam tata administrasinya. Proses penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh para penegak hukum
terjadi pada 2 (dua) instansi penegak hukum yang berbeda cara dan
strategi. Jika telaah lebih detail Penulis berpendapat adanya 2 (dua) tipe
proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan disebabkan oleh sistem
hukum ketatanegaraan di Indonesia. Kebijakan tentang kekuasaan
kehakiman berimplikasi terhadap fungsi dan kedudukan terhadap adanya
pembentukan pengadilan khusus yang harus berada dibawah Peradilan
Umum. Permasalahan timbul ketika Peradilan Umum juga melaksanakan
fungsi dan kinerja yang dilakukan oleh adanya pengadilan khsusus.
Konsekuensi dari kebijakan kekuasaan kehakiman dibawah satu
atap Mahkamah Agung (MA) yaitu:
1. Hanya ada 4 (empat) peradilan yaitu peradilan umum, peradilan
militer, peradilan agama, dan peradilan Tata Usaha Negara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
2. Pembentukan badan-badan peradilan di luar 4 (empat) lingkungan
peradilan itu harus berada dibawah salah satu peradilan tersebut; dan
3. Hukum acara yang berlaku pada pengadilan khsusus harus mengikuti
salah satu aturan hukum acara di 4 (empat) lingkungan peradilan
tersebut. (Komariah Emang Sapardjaja, 2005: 22).
Secara umum pada dasarnya dalam setiap lembaga peradilan
tujuan utamanya untuk menciptkan keadilan. Keadilan ini tidak hanya
akan memberikan hak-hak kepada tersangka maupun terdakwa ketika
vonis dijatuhkan, akan tetapi keadilan ini harus dipandang sebagai
keadilan yang bersifat public order dengan mengacu pada terciptanya
ketertiban dalam masyarakat. Di setiap daerah terdapat peradilan dan
bentuk-bentuk pengadilan khusus sesuai denga jurisdiksi hukumnya
masing-masing sebagai upaya penegakan hukum. Pola penegakan hukum
pidana tidak hanya dipengaruhi oleh professional dan tidaknya aparat
penegak hukum dalam menjerat para pelaku tindak pidana kejahatan,
akan tetapi juga akan dipengaruhi oleh budaya dan sistem yang
digunakan dalam lembaga tersebut.
Menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang cocok bagi
Indonesia adalah model yang mengacu kepada “dader-dader stratrecht”
yang disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model
yang mengacu realistik yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan
yang harus dilindungi oleh hukum pidananya demi kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan individu, dan kepentingan korporasi
kejahatan (Romli Atmasasmita, 2010: hal.13). Hal ini telah
mengindikasikan Indonesia telah mempunyai konsep dan karakteristik
tersendiri dalam penegakan hukum baik dalam tataran keadilan,
kepastian maupun kemanfaatan. Konsep tersebut telah diderivatifkan
dalam tata urutan kekuasaan kehakiman baik secara hubungan instruktif
maupun koordinatif dengan muara tertinggi di Mahkamah Agung (MA).
Analisis Penulis jika berdasarkan fungsi dan kedudukan dalam
perspektif kekuasaan kehakiman, maka adanya pengadilan ad hac Tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bentuk pengadilan khusus yang
berada di bawah Peradilan Umum. Keduanya baik Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan Umum juga sama-sama
melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Pada
Peradilan Umum biasanya dilakukan di Pengadilan Negeri pihak yang
menangani perkara berasal dari pihak kepolisian dan kejaksaan.
Disamping itu pada Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
pihak yang menangani perkara adalah mutlak dan hanya dilakukan oleh
para petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang disetujui Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 29 September 2009 mengamanatkan agar
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk di setiap ibu kota
kabupaten atau kota. Sedangkan dalam aturan peralihannya disebutkan
dalam jangka waktu dua tahun, maka Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) akan dibentuk disetiap provinsi. Sebagai tindak lanjut pada
tahap awal Mahkamah Agung (MA) akan membentuk Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) di tujuh provinsi yakni, Bandung, Semarang,
Surabaya, Medan, Palembang, Samarinda dan Makassar. Untuk itulah,
Mahkamah Agung (MA) tengah melakukan seleksi hakim ad hoc untuk
mengisi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di tujuh daerah itu
baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding. Posisi calon hakim ad
hoc yang dibutuhkan sebanyak 61, yaitu untuk mengisi kursi hakim ad
hoc tingkat I sebanyak 28 orang, hakim ad hoc tingkat banding 28 orang
dan tingkat kasasi 5 orang
(http://antikorupsi.org/indo/content/view/16175/8/ diakses tanggal 30
Januari 2011 pukul 21.00 WIB).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) butuh tambahan penyidik
dan jaksa untuk mengantisipasi terbentuknya Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) di daerah. Sedikitnya ada 20 orang penyidik dan 12
jaksa yang akan direkrut. Ada tiga lokasi yang akan dijadikan tempat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni Bandung, Semarang
dan Surabaya. Tiga kota tersebut akan menjadi pusat peradilan bagi
perkara tindak pidana korupsi di masing-masing provinsi. Jika ada
perkara di lokasi lain, semua akan terpusat di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat
(http://www.detiknews.com/read/2010/11/03/225629/1484829/10/pengad
ilan-tipikor-di-daerah-terbentuk-kpk-tambah-penyidik-jaksa/ diakses
tanggal 30 Januari 2011 pukul 21.30 WIB). Dengan adanya penambahan
pihak penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat
memberikan optimalisasi terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Jaksa
sebagai penyidik tambahan yang sudah terlepas dari instansi kejaksaan
sendiri dalam membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan
dapat mempercepat upaya pemberantasan korupsi di daerah.
2. Sinergisitas dan koordinasi antara aparat penegak hukum sebagai
upaya pemberantasan korupsi
Keterkaitan manajemen penanganan perkara tindak pidana
korupsi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan
Kepolisian dalam hal koordinasi dan supervisi yaitu sebagai berikut:
1. Bahwa eksistensi kewenangan penuntutan oleh kejaksaan dalam
sistem hukum nasional dapat dilihat dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang mengatur secara implisit keberadaan Kejaksaan Republik
Indonesia dalam sistem ketatanegaraan. Sebagai badan yang
terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
jo. Pasal 41 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman) dengan fungsi yang sangat dominan
sebagai penyandang asas dominus litis. Pengendali proses
perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan
sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan berdasarkan alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
bukti yang sah menurut undang-undang dan sebagai executive
ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan
dalam perkara pidana;
b. Pasal 1 butir 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah
Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
melakukan penuntutan; dan
c. Pasal 2 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang menempatkan posisi dan fungsi
kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan
yaitu sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
2. Bahwa pada kenyataannya dalam pelaksanaan kewenangan
penuntutan oleh kejaksaan sering timbul permasalahan antar
lembaga penegak hukum lainnya dalam hal:
a. Koordinasi berkas perkara antara kejaksaan dan penyidik
kepolisian pada tahap pra penuntutan;
b. Pertanggungjawaban penguasaan penahanan antara kejaksaan
dan pengadilan terhadap status pengalihan penahanan selama
pemeriksaan di persidangan dan peralihan pada saat pelimpahan
berkas perkara ke pengadilan; dan
c. Dualisme kewenangan penuntutan antara kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan (KPK) terhadap perkara tindak pidana korupsi.
3. Bahwa permasalahan tersebut terjadi karena masih adanya tumpang
tindih konsepsi yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan
kejaksaan yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
a. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menimbulkan
permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan
kejaksaan dan subsistem penegakan hukum lainnya yaitu
kepolisian dalam hal penyidikan dan pengadilan dalam proses
peradilan.
b. Kedudukan kejaksaan dalam konteks hukum nasional
berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia menempatkan lembaga ini berada
di lingkungan eksekutif yang menyebabkan kejaksaan tidak
mandiri dan independen.
c. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh undang-undang
baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan.
Hal ini dapat dilihat dengan terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-
Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan yang demikian besar
berdampak terhadap struktur ketatanegaraan yang semakin
membengkak yang mengesampingkan asas dominus litis
(sebagai pengendali proses perkara) dan prinsip een on deelbaar
(kejaksaan satu dan tidak terpisah-pisah
(http://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=28&idsu=
35&idke=0&hal=1&id=56/ diakses tanggal 30 Januari 2011
pukul 21.30 WIB).
Adapun data terkait dengan bentuk dan hasil koordinasi
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dengan
instansi penengak hukum lainnya selama satu tahun di tahun 2010 yaitu
sebagai berikut:
Bulan Jawaban Gelar Perkara Analisis Pelimpahan Total
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
Permintaan Penyidik
POLRI Kejaksaan
POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan POLRI Kejaksaan
Januari 9 6 - - - - - - 15
Februari 2 15 - - - - 5 10 32
Maret 2 5 1 - - - 3 4 15
April 10 9 - - - - 3 - 22
Mei 3 13 1 - - - - - 17
Juni 12 17 - - 1 - - - 30
Juli 4 12 1 8 - - 4 - 29
Agustus 1 6 - - 2 4 - - 13
September 3 8 - - - 6 - - 17
Oktober 9 9 - - 3 1 - - 22
November 5 15 5 5 1 7 - - 38
Desember 4 11 13 12 - - - - 40
Jumlah 64 126 21 25 7 18 15 14 290
Sumber: Data dan Notulensi Hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR) pada tanggal 31 Januari 2011 pukul 10.00 WIB
Berdasarkan data tersebut diatas dapat dicermati perbandingan
antara jawaban pihak penyidik di kepolisian dan kejaksaan terdapat
perbandingan dari waktu ke waktu. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat melakukan
koordinasi dengan pihak aparat penegak hukum lainnya guna menelaah
lebih lanjut terhadap pada penanganan kasus yang dihadapi. Dengan
mengadakan fungsi koordinasi ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
akan mendapatkan bahan referensi maupun gagasan baru terkait masalah
korupsi yang dihadapi. Dengan mengetahui adanya gelar perkara yang
sudah dilaksanakan, analisis dan pelimpahan kasus yang ditangani oleh
penyidik lain akan berdampak tambahan referensi data yang diperoleh,
sehingga dapat dijadikan telaah lebih lanjut bagi upaya pemberantasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
korupsi yang sedang dan akan ditangani oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
C. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Pengadilan Ad Hoc
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sebagai Upaya Pemberantasan Modus
Operandi Korupsi Mark Up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) di Indonesia
1. Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam jurisdiksi
Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat tugas, wewenang dan kewajiban
dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu sebagai berikut:
Pasal 6
”Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara”
Pasal 7
“Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi”
Pasal 8
”(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik
(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan take over mechanism
(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan, sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”.
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyelidik melaksanakan fungsi
penyelidikan tindak pidana korupsi. Jika penyelidik dalam melakukan
penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan
tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada
informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
baik secara biasa maupun elektronik atau optik. Dalam hal penyelidik
melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup,
penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyelidikan.
Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam
hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang
berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain. Dalam hal suatu tindak pidana
korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan
penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib
memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya
penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara
terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam hal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai melakukan
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal
penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidikan yang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Penuntut adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Penuntut umum melaksanakan fungsi penuntutan tindak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
pidana korupsi. Penuntut umum setelah menerima berkas perkara dari
penyidik paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya berkas tersebut wajib melimpahkan berkas perkara
tersebut kepada Pengadilan Negeri (Ermansjah Djaja, 2008: 224-227).
Kewenangan Jaksa Agung sebagai koordinator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 telah
menjadi gugur dengan diterbitkannya Undang-Undang No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 42 yang berbunyi:
”Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan
dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang dilakukan bersam-sama oleh orang yang tunduk
pada peradilan militer dan peradilan umum”. Penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang bersifat koneksitas harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Bab XI, Pasal 89
sampai dengan Pasal 94 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), karena rumusan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No.30
Tahun 2002 berbunyi sebagai beikut: ”Penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku….” (Ermansjah Djaja, 2008: 160). Dengan
demikian jelas dalam penanganan kasus korupsi pihak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memiliki otoritas yang besar dalam
menyelesaikan setiap kasus korupsi. Kewenangan dan hukum acara yang
dimiliki akan menjadikan proses pembuktian kepada para pelaku tindak
pidana korupsi akan menjadi semakin mudah.
Dalam undang-undang korupsi menganut sistem pembuktian
negatif yaitu untuk dapat menghukum terdakwa korupsi harus dipenuhi
setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah dan ditambah dengan keyakinan
bahwa tindak pidana korupsi telah terjadi dan terdakwa bersalah
melakukannya (Pasal 283 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) jo Pasal 6 Undang-Undang No.4 Tahun 2004). Sedangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
alat-alat bukti sah yang dapat dipergunakan untuk pembuktian ada 5 (
jenis) yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)). Dalam pembuktian korupsi memperkenalkan
penggunaan bukti-bukti baru yang diperoleh dan sarana elektronik dan
teknologi informasi. Dalam Pasal 26 A disebutkan yaitu sebagai berikut:
”Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna”. (Amin Sutikno, 2007: 67).
Proses pembuktian yang dilakukan oleh para penyidik dari
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan alat-alat bukti yang
semakin modern menuntut adanya keahlian khusus bagi penyidik
tersebut. Bukti-bukti yang akan dihadirkan dalam persidangan akan
menjadi dasar hukum untuk menetapkan para pelaku menjadi tersangka,
terdakawa atau bahkan sampai kepada terdakwa.
Berpijak dari pengertian sistem pembuktian dan pembebanan
pembuktian, maka kekhususan dalam hukum acara pidana korupsi lebih
mengacu pada sistem pembebanan pembuktian (burden of proof). Pada
dasarnya sistem pembuktian sama dengan memberlakukan Pasal 183
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya bagi
hakim dengan menilai alat-alat bukti. Standar yang harus diturut untuk
menyatakan terbuktinya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan tetap terikat pada ketentuan
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ini
merupakan ketentuan azas pokok atau fondasi hukum pembuktian acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
pidana yang tidak dengan mudah disampingi oleh hukum pembuktian
dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem terbalik.
Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian
terbalik (Adami Chazawi, 2008: 110).
Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam perkara korupsi
terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b, Pasal 37, Pasal 37A,
Pasal 38. Jika ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas dicermati,
maka dapat disimpulkan bahwa hukum pidana korupsi tentang
pembuktian membedakan antara 3 sistem. Pertama sistem terbalik,kedua
sistem biasa (seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), kewajiban pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan prinsip
negatif berdasarkan Undang-undang yang terbatas). Ketiga semi terbalik
atau bisa juga disebut sistem berimbang terbalik (Adami Chazawi, 2008:
112).
2. Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian kepada para pelaku
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
perspektif Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Dalam segi kualitas dan profesionalisme antara pihak penyidik
yang terdapat di peradilan umum dengan pihak penyidik yang terdapat di
pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung memiliki
perbedaan. Salah satu bentuk kelebihan yang dimiliki oleh pihak
penyidik dari pengadilan ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) adalah
profesionalisme dan mekanisme yang konkrit dalam menetapkan para
pelaku tindak pidana korupsi dengan delik-delik hukum yang
memberikan sanksi tegas dalam setiap putusannya. Konsep penyidikan
yang dilakukan oleh pihak kejaksaan di peradilan umum dalam praktek
tidak dapat berjalan dengan maksimal yang menyebabkan pola
pemberian sanksinya juga kurang tegas. Hal ini dapat terbukti dengan
masih banyaknya para pelaku korupsi yang di vonis bebas. Adapun
terkait jumlah perkara korupsi dan jenis putusannya adalah sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
No. Jumlah Perkara Korupsi Tahun
2008-2009 Jumlah Perkara Persentase (%)
1. Jumlah perkara korupsi 1.332 100%
2. Jumlah perkara belum diputus 63 4,73 %
3. Jumlah perkara sudah diputus 1.269 95,27%
4. Jumlah perkara korupsi yang
dihukum
1.055 83,14%
5. Jumlah perkara korupsi diputus
bebas
214 16,86%
Sumber:http://pakangean.net/index.php?option=com_content&view=arti
cle&id=118%3Ama luruskan-data-vonis-bebas-korupsi-milik-
icw&Itemid=28
Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (PUKAT
UGM) melansir rekor penja tuhan vonis terberat berada di tangan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Tiga kasus teratas yang
dijatuhi vonis terberat adalah kasus pajak PT Bank Jabar Banten dengan
terdakwa Eddi Setiadi, bekas Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak dengan vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juui subsider 6
bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor). Kasus suap di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI
Jakarta dengan terdakwa hakim Ibrahim dengan vonis 6 tahun penjara
dan denda Rp 200 juta rupiah yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor). Kasus lainnya adalah pembangunan lapangan terbang
di Kabupaten Banyuwangi dengan terdakwa bekas Bupati Samsul Hadi
berupa vonis 6 tahun penjara dan denda Rp 50 juta rupiah subsider 2
bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi (PN Banyuwangi)
Di samping itu, rata-rata vonis yang dijatuhkan pengadilan negeri dan
tinggi adalah 1 tahun 5 bulan, Mahkamah Agung (MA) 2 tahun.
Sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 4 tahun 5 bulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
Sektor yang paling sering dijadikan ajang korupsi masih ditempati oleh
pengadaan barang dan jasa yang ditemukan ada 33 kasus. Sementara itu,
peringkat kedua diambil oleh sektor kesejahteraan sosial dengan 13
kasus. Sedangkan posisi ketiga, menjadi milik sektor Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pendidikan dengan torehan
angka masing-masing 10 kasus. (http://bataviase.co.id/node/432207/
diakses tanggal 5 Maret 2011 pukul 14.00 WIB).
Adanya pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam
ketentuan Pasal 37 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-
undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan delik gratifikasi Pasal 12B maka korelasinya pembalikan
beban pembuktian pada ketentuan Pasal 37 berlaku pada tindak pidana
suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 atau lebih
(Pasal 12 B ayat (1) huruf a ). Kemudian korelasinya dengan Pasal 37 A
ayat (3) bahwa pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan Pasal
37 berlaku dalam aspek pembuktian tentang sumber (asal) harta benda
terdakwa dan lain-lain perkara pokok sebagaimana pasal-pasal yang
disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 A in casu hanya terhadap tindak
pidana korupsi suap gratifikasi yang tidak disebutkan dalam ketentuan
Pasal 37 A ayat (3) (Lilik Mulyadi, 2007: 41).
Dalam rumusan Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat
ketentuan: “….harta benda miliknya yang belum didakwakan…”,
maksud dari rumusan ketentuan tersebut adalah harta benda milik
terdakwa yang belum dimuat dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh
penuntut u. umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
pemeriksaan di sidang pengadilan. Secara a contrario terhadap ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (1) dapat diketahui jika dari hasil
penyidikan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata
berhasil diungkap tentang harta benda yang diduga dari hasil tindak
pidana korupsi, maka secara pasti harta benda milik terdakwa harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
didakwakan dan dimaksudkan dalam surat dakwaan penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika dalam surat dakwaan belum
dimasukan mengenai harta benda milik terdakwa yang diduga hasil
tindak pidana korupsi disebabkan dari hasil penyidikan belum berhasil
mengungkap semua atau baru terungkap sebagian saja harta benda milik
terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi dan baru dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan harta benda milik terdakwa terungkap
sebagai hasil dari tindak pidana korupsi. Dalam pembuktian harta benda
milik terdakwa yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi yang sudah
dimasukan dalam surat dakwaan dan sudah dibacakan oleh penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan. Pembuktiaannya tetap menjadi kewajiban penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
bahwa: “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian”(Ermansjah Djaja, 2008: 150). Dengan demikian berarti
pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang
dimaksudkan dalam Pasal 38 B ayat (1) tidak diberlakukan pada semua
pembuktian harta milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Penberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Akan tetapi hanya diberlakukan pada pembuktian terhadap harta
benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
sebagaimana didakwakan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal
14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Penberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal
12 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang belum didakwakan dan belum dimasukan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
surat dakwaan yang sudah dibacakan oleh penuntut umum Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan di sidang pengadilan.
Implikasi dari diberlakukannya ketentuan pembalikan beban
pembuktian atau pembuktian terbalik terhadap harta benda milik
terdakwa yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang belum
didakwakan sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) Undang-Undang
No.20 Tahun 2001, sehingga dirumuskan dalam Pasal 38 B ayat (2) yang
menentukan bahwa dalam hal terdakwa yang belum didakwakan adalah
bukan dari hasil tindak tindak pidana korupsi, maka harta benda milik
terdakwa tersebut dianggap diperoleh dan hakim berwenang memutuskan
seluruh aau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara, karena
hakim oleh Pasal 38 B ayat (2) telah diberi kewenang untuk itu. Akan
tetapi sangat perlu diperhatikan bahwa hakim baru dapat memutuskan
untuk merampas seluruh atau sebagian harta benda tersebut untuk negara,
jika ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 38 B ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5) sudah dilaksanakan. Rumusan Pasal 38 B ayat
(3) menentukan bahwa tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa
yang diduga dari hasil tindak pidana korupsi yang belum didakwakan
sebagaimana dimaksud Pasal 38 B ayat (1) diajukan oleh penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat membacakan surat
tuntutan pada pokok perkara di sidang pengadilan. Keterkaitan langsung
antara Pasal 38 B ayat (3) dengan Pasal 38 B ayat (2) mengenai
kewenangan hakim memutuskan tentang perampasan harta benda milik
terdakwa, karena hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya
untuk suluruh atau sebagian harta benda milik terdakwa hasil tindak
pidana korupsi dirampas untuk negara tanpa adanya atau tidak
memberikan kesempatan kepada penuntut umum Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan perampasan harta benda
milik terdakwa tersebut. Hal itu karena telah diatur sebagaimana dalam
Pasal 38 B ayat (4) dan ayat (5) yang harus lebih dahulu dipenuhi
sesudah penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (3).
Penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat
mengajukan tuntutan sebagaimana dalam Pasal 38 B ayat (3) dan dengan
demikian juga hakim tidak dapat mempergunakan wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2) bilamana persyaratan
yang dianut di dalam Pasal 38 B ayat (1) belum dipenuhi. Adapun
persyaratan tersebut adalah:
1. Pada saat berlangsungnya pemeriksaan di sidang pengadilan telah
terungkap tentang adanya harta benda milik terdakwa yang diduga
dari hasil tindak pidana korupsi; dan
2. Harta benda milik terdakwa yang diduga hasil tindak pidana korupsi
tersebut belum dimasukan dalam surat didakwaan yang belum
dibacakan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) di sidang pengadilan
(Ermansjah Djaja, 2008: 150). Dengan demikian adanya
persyaratan tersebut telah berimplikasi bukan hanya penuntut umum
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengajukan tuntutan akan
tetapi juga mempergunakan persyaratan ysng harus terlebih dahulu
dipenuhi sebelum hakim mempergunakan wewenangnya untuk
memutuskan seluruh atau sebagian harta milik terdakwa tindak pidana
korupsi dirampas untuk negara. Tuntutan perampasan dari harta benda
milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi yang harus dilakukan
pada saat dibacakan tuntutannya , pada pokok perkara. Dalam tuntutan
yang dilakukan oleh penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) tidak memerlukan adanya pembuktian yang konkrit terhadap harta
benda milik terdakwa dari hasil tindak pidana korupsi, tetapi yang cukup
dengan menyatakan ada indikasi bahwa harta tersebut berasal dari hasil
tindak pidana korupsi dan hal tersebut dapat diketahui dari pemerikasaan
yang telah diketahui di dalam persidangan. Problematika ini dapat
berpijak bahwa hanya terdakwa yang mempunyai kewajiban untuk
membuktikan harta tersebut bukan hasil dari tindak pidana korupsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
Disisi lain jika penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
juga telah menyatakan bahwa hasil harta benda tersebut merupakan hasil
tindak pidana korupsi dan dirampas untuk negara. Hal itu tetap tidak
akan menyalahi aturan hukum, akan tetapi semua tuntutan itu tergantung
dari terdakwa mampu atau tidak di sidang pengadilan harta tersebu bukan
merupakan dari hasil tindak pidana korupsi. Hal ini telah sesuai dengan
isi Pasal 38 B ayat (4) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
“Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi”.
Pembuktian pemerikasaan di sidang pengadilan sebagaimana
diatur dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) terdakwa tindak pidana korupsi atau penasehat
hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut
umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ketentuan bahwa
terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Jika di
dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata terdakwa tindak
pidana korupsi tidak berhasil atau gagal membuktikan bahwa harta benda
milik terdakwa tindak pidana korupsi bukan berasal dari hasil tindak
pidana korupsi, maka sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2)
harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi dianggap diperoleh
juga dari hasil tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan
seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Akan
tetapi jika di dalam pemeriksaan persidangan khusus tersebut ternyata
terdakwa tindak korupsi bukan berasal ndari hasil tindak pidana korupsi,
maka hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 B ayat (2) hakim
tidak berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara. Putusan hakim tentang perampasan seluruh atau
sebagian harta benda milik terdakwa tindak pidana korupsi sebagai
putusan pidana tambahan putusan dijatuhkan bersama-sama dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
pidana pokok pada saat hakim memutuskan perkara pokok tindak pidana
korupsi.
Di dalam rumusan ketentuan Pasal 38 B ayat (6) terdapat kata dan
kalimat sebagai beikut “….dibebaskan….lepas dari segala tuntutan
hukum….”. Maka kata “dibebaskan” tersebut adalah sama sebagaimana
yang dimaksud di dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. Adapun yang dimaksud
dengan kalimat “lepas dari segala tuntutan hukum” tersebut adalah sama
sebagaimana yang dimaksud did lam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka
terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 38 ayat (6) menjelaskan
bahwa : “Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 B ayat (6) Undang-Undang No.20 Tahun 2001 adalah alasan
logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari
segala tuntutan hakum dari perkara pokok berarti terdakwa bukan
pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut”. Berhubung
terdakwa telah diputuskan oleh hakim bebas dan dinyatakan lepas dari
segala tuntutan hukum dari pokok perkara tindak pidana korupsi, maka
harta benda milik terdakwa yang semula diduga berasal dari tindak
pidana korupsi tidak dapat dianggap sebagai diperoleh dari tindak pidana
korupsi, sehingga penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belum dapat mengajukan tuntutan rampasan untuk negara terhadap harta
benda milik terdakwa tersebut (Ermansjah Djaja, 2008: 154-156).
Dengan demikian dasar hukum bagi hakim yang digunakan ketika
memberikan vonis terhadap para pelaku tindak pidan korupsi mark up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) tergantung dari unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
kesalahan dari pelaku. Kesalahan tersebut akan dikomparasikan dengan
delik-delik hukum yang ada hubungannya dengan perbuatan pelaku,
sehingga putusannya akan dapat memberikan kepastian hukum.
Terlalu fokus dalam mencari sumber tertulis, jika tidak berhati-
hati dapat terjebak pada persoalan kelasalah administrasi atau kesalahan
prosedur semata. Walaupun tidak berarti kesalahan prosedur atau
kesalahan adminsitrasi adalah bukan korupsi. Hakim dapat menjatuhkan
amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum, jika pertimbangannya
semata-semata merupakan kesalahan administrasi. Kesalahan
administrasi sesungguhnya adalah tempat atau letak sifat melawan
hukumnya perbuatan dari sudut formal. Namun jika dari jika terjadi dari
kesalahan administrasi tersebut dapat dianalisis sebagai potensial
menimbulkan kerugian negara, sehingga melawan hukum memperkaya
sudah terbukti dan korupsi sudah dapat dinyatakan terbukti pula. Hal ini
disebabkan Pasal 2 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-
undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak mensyaratkan secara mutlak harus nyata telah timbul
bentuk kerugian (Adami Chazawi, 2008: 310). Dalam pemberian vonis
yang diberikan oleh hakim Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) banyak dipengaruhi oleh legal opinion yang dikonstruksi
sebelum vonis dijatuhkan. Penafsiran terhadap pemaknaan undang-
undang sebagai dasar hukum yang digunakan juga akan berpengaruh
terhadap vonis yang dijatuhkan. Pemaknaan baik secara formal maupun
materiil juga harus digunakan oleh hakim sebelum vonis dijatuhkan.
Dalam penjatuhan vonis tidaj hanya kepastian hukum saja yang
diperhatikan, akan tetapi juga tentang keadilan dan kemanfaatan.
Kepastian hukum disini bermakna dengan adanya vonis hakim akan
memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan akan memberikan efek jera.
Kemanfaatan dan keadilan harus dipergunakan dasar pertimbangan
hakim sebagai upaya menyelamatkan keuangan daerah dengan setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
adanya putusan tersebut seluruh harta yang didapat hasil perampasan dari
para pelaku tindak pidana korupsi akan dikembalikan kepada negara.
D. Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Peradilan Umum
Sebagai Upaya Pemberantasan Modus Operandi Korupsi Mark Up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
1. Landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam jurisdiksi
Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (8) “Penyelidik adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk melakukan penyelidikan”. Selanjutnya dalan ayat
(9) disebutkan “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Dalam
ayat (10) “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan”. Dalam ayat (13) disebutkan “Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya” (Yesmil Anwar, 2009: 141).
Berkenaan dengan tugas dari pihak kepolisian termuat dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia Pasal 14 ayat 1 point (g) melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun
wewenangnya terdapat di Pasal 16 ayat 1 point (i) yaitu menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum. Selain pihak kepolisian yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
punya jurisdiksi dalam pemberantasan korupsi di daerah adalah pihak
kejaksaan.
Dalam bidang pidana, maka pihak kejaksaan mempunyai tugas
dan wewenang yaitu sebagai berikut:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang; dan
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik
(Marwan Effendy, 2005: 128).
Kewajiban jaksa disidang pengadilan ialah membuktikan tindak
pidana yang didakwakan. Tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-
undang selalu mengandung banyak unsur. Satu persatu unsur-unsur
tersebut dibuktikan. Hal yang harus dibuktikan adalah menggali untuk
mengungkap fakta-fakta mengenai terbuktinya setiap unsure tindak
pidana dan membahas unsur-unsur tindak pidana atau analisis hukum
dalam surat tuntutan (Adami Chazawi, 2008: 288).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana disebutkan Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
dengan bukti itu membuat tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya (Yahya Harahap, 2002: 110-111).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana disebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan ini. Selanjutnya dalam ayat (5) disebutkan
bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindakan
pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Dalam ayat (7)
disebutkan penuntutan adalah tindakan penuntut untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di persidangan (Hartono dkk,
2001: 25).
Adapun berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) penyelidik mempunyai wewenang yaitu
sebagai berikut:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang adanya tindak
pidana;
2. menerima keterangan dan barang bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; dan
4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selanjutnya atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan
berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; dan
4. membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) disebutkan yang menjadi wewenang dari
penyidik adalah sebagai berikut:
1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di temapt kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka danmemerikasa tanda
pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sabagai tersangka
atau saksi;
8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan permeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan; dan
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
(Andi Hamzah, 2005: 235-236).
Berdasarkan Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) disebutkan yang menjadi wewenang dari penuntut
umum adalah sebagai berikut:
1. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
2. mengadukan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan;
3. memberika perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
4. membuat surat dakwaan;
5. melimpahkan perkara ke pengadilan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
6. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan;
7. menutup perkara demi kepentingan umum; dan
8. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini
(Andi Hamzah, 2005: 238).
2. Pola penetapan sanksi hukum dan pembuktian kepada para pelaku
mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam
perspektif Peradilan Umum
Jaksa penuntut umum berkewajiban membuktikan tentang telah
terjadinya tindak pidana korupsi yang didakwakan dan dilakukan oleh
terdakwa serta terdakwa bersalah karena melakukannya. Objek yang
wajib dibuktikan oleh masing-masing pihak berbeda, tapi agar dapat
menguntungkan bagi pembuktian jaksa penuntut umum, maka hasil akhir
pembuktian dari terdakwa haruslah ada hubungannya dengan hasil
pembuktian jaksa penuntut umum. Indikator adanya hubungan itu adalah,
Pertama, terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang adanya
keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber pendapatannya atau
sumber penambahan kekayaannnya. Kedua, jaksa dapat membuktikan
bahwa menurut sifat dan keadaannya serta berdasarkan akal, tindak
pidana yang didakwakan menghasilkan kekayaan. Hubungannya itu
terletak dalam kenyataan terdakwa yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber kekayaan penambahan pasti ada kekayaan
yang lebih atau diluar kekayaan yang sebenarnya. Kekayaan yang
demikian inilah sebagai kekayaan yang oleh jaksa dapat dibuktikan
diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagaimana indikator yang kedua.
Pada kenyataannya kekayaan yang demikian ini adalah kekayaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
tidak jelas sebab perolehannya atau tidak jelas asal usulnya. Sedangkan
untuk terdapat pada indikator yang kedua maka tindak pidana korupsi
yang didakwakan haruslah tindak pidana korupsi yang menurut sifat dan
kenyataannya dapat menghasilkan kekayaan. Oleh karena itu tidak akan
mungkin diperoleh indikator yang kedua apabila jaksa mendakwakan
tindak pidana korupsi yang menurut sifat dan keadaannya tidak mungkin
mendapatkan kekayaan. Tidaklah mungkin terdapat hubungan antara
ketidakberhasilan terdakwa membuktikan tentang kekayaan yang halal
dengan hasil pembuktian jaksa mengenai tindak pidana korupsi yang
menurut sifat dan keadaannya tidak mungkin akan mendapatkan
kekayaannya. Oleh karena itu ketidak berhasilan terdakwa membuktikan
tentang sumber kekayaan yang halal tidak mungkin dapat dipergunakan
untuk memperkuat alat bukti jaksa bahwa terdakwa telah melakukan
korupsi. Dengan adanya dua indikator itulah, maka ketidak berhasilan
terdakwa membuktikan adanya keseimbangan antara kekayaan dengan
sumber pendapatannya atau sumber penambahan kekayaannya dapat
digunakan oleh jaksa untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Syarat dapatnya
memperkuat ialah jaksa telah menggunakan minimal dua alat bukti yang
sah. Apabila hasil pembuktian jaksa penuntut umum tidak memenuhi
syarat minimal pembuktian, maka tentu saja keadaan ketidakberhasilan
terdakwa membuktikan itu tidak dapat digunakan untuk memperkuat alat
bukti yang telah diajukan jaksa. Sebaliknya apabila hasil akhir
pembuktian oleh terdakwa dan jaksa penuntut umum tidak ada hubungan
indikator yang pertama dan indikator yang kedua tidak ada, maka jaksa
tidak menggunakan hasil pembuktian terdakwa yang demikian untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada mengenai tidak pidana yang
didakwakan. Dengan demikian, hasil pembuktian terdakwa tersebut tidak
dapat dipergunakan oleh jaksa untuk menuntut agar harta benda terdakwa
dijatuhkan pidana perampasan barang untuk negara (Adami Chazawi,
2008: 147-149). Dalam ruang lingkup peradilan umum yang mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
kewenangan pertama kali adalah pengadilan negeri sebagai penentu akhir
dalam penetapan para pelaku tindak pidan korupsi mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pihak kepolisian sebagai
penyelidik harus melakukan fungsi koordinasi terhadap pihak kejaksaan
sebagai penyidik dalam setiap penanganan kasusnya.
3. Dualisme Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Dari
Peradilan Umum dan Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi Mark Up
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Daerah
Hukum pidana merupakan hukum publik oleh karena itu yang
dipertimbangkan adalah kepentingan publik. Di dalam hukum pidana
ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup
bermasyarakat. Ada 3 (tiga) teori yaitu sebagai berikut:
1. Teori imbalan artinya dasar hukum pidana dicari dari kejahatan itu
sendiri karena kejahatan telah menimbulkan penderitaan bagi orang
lain, sehingga imbalan si pelaku juga harus diberi imbalan;
2. Teori maksud atau tujuan artinya adalah hukum dijatuhkan untuk
melaksanakan maksud atau tujuan hukum untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat sebagai akibat jahat; dan
3. Teori gabungan artinya penjatuhan hukuman untuk mempertahankan
tata hukum dan masyarakat serta memperbaiki pribadi si penjahat
(Cecep Effendi, 2005: 22).
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum menjadi tiga
yaitu total enforcement, full enforcement dan actual enforcement. Total
enforcement adalah penegakan hukum sebagaimana yang dirumuskan
atau dituliskan oleh hukum pidana materiil atau hukum pidana
substantive atau substantive of crimes. Full enforcement adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
penegakan hukum yang dilakukan secara maksimal oleh aparat penegak
hukum. Actual enforcement adalah melakukan penegakan hukum yang
tersisa dan belum dilakukan oleh dua tahap tersebut diatas (Waluyadi,
2009: 2). Upaya penegakan hukum yang harus dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian dan kejaksaan dalam
pemberantasan korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) di daerah terdapat hambatan yang signifikant, sehingga
menyebabkan lambatnya pemberantasan korupsi di daerah. Semua aparat
penegak hukum dari tingkat pusat hingga di daerah sama-sama
mempunyai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Justru
adanya jurisdiksi yang dimiliki oleh masing-masing aparat penegak
hukum tersebut akan berdampak bagi stagnanisasi dalam penindakannya.
Walaupun terdapat upaya koordinasi yang harus dilakukan, tetapi dalam
praktek sulit untuk direalisasikan karena masing-masing instansi penegak
hukum punya wilayah hukum yang wajib dilaksanakan dan akan
cenderung untuk menjaga martabat lembaganya masing-masing. Wilayah
hukum yang telah ada justru menjadi penghambat utama bagi
pelaksanaan proses hukum guna menjerat para pelaku korupsi di daerah.
Banyaknya dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pejabat daerah yang sering
dilaporkan masyarakat seringkali mentok ditingkat kepolisian dan
kejaksaan setempat. Hal ini menunjukan ketidak seriusan aparat penegak
hukum di daerah dalam upaya pemberantasan korupsi (Irfanudin, 2008:
69).
Mengenai minimnya aparat kepolisian dan kejaksaan yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghadapi
kendala. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat memilih-
milih kasus mana yang harus ditangani. Apalagi berdasarkan siapa yang
terlibat di dalamnya. Adapun mengenai keberadaan penyidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berasal dari kejaksaan dan
kepolisian dapat menyebabkan minimnya penanganganan kasus yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
akan ditangani oleh kedua lembaga tersebut. Hal itu dapat menjadi
hambatan dalam menangani perkara, tapi bukan menjadi faktor
penghambat yang utama. Dengan hal itu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) lebih memilih penyidik yang independent (Media Indonesia, 9
Maret 2011, hal. 4). Kredibilitas dan kapabilitas dari pihak penyidik yang
dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga akan menjadi
faktor penentu bagi berhasil dan tidaknya dalam penetepan kepada para
pelaku korupsi di daerah. Pihak penyidik yang berasal dari kepolisian dan
kejaksaan belum mampu memberikan kontribusi dalam menetapkan para
pelaku dari tersangka menjadi terdakwa. Selain masalah tersebut,
penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jumlahnya relatif
lebih sedikit disbanding dengan penyidik dari kejaksaan. Keterbatasan
jumlah penyidik ini juga akan berpengaruh pada pergerakan dan infiltrasi
penyidikan yang akan dilakukan di daerah menjadi berkurang. Adanya
tumpang tindih yang terjadi dalam menetapkan para pelaku tindak pidana
korupsi mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan
kurangnya pihak penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
akan menyebabkan tidak jelasnya mekanisme dari aparat penegak hukum
dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dari tahun ke tahun upaya
pemberantasan korupsi makin mengalami penurunan dan antara penegak
hukum yang satu dengan yang lain kurang ada koordinasi yang jelas.
Adapun terkait tren korupsi yang melibatkan kuantitas kasus dan
komparasi bagi para penegak hukumnya sebagai berikut:
Tren korupsi sepanjang tahun 2011 adalah sebagai berikut:
Semester I Semester II Jumlah kasus: 176 Jumlah kasus: 272 Kerugian negara: Rp 2,1 triliun Kerugian negara: Rp 1,5 triliun Jumlah korupsi: 441 orang Jumlah korupsi: 716
Sektor Korupsi Sektor Korupsi Keuangan daerah: 38 kasus Keuangan daerah: 44 kasus Infrastruktur: 32 kasus Infrastruktur: 53 kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Sosial kemasyarakatan: 20 kasus Pejabat pelaksana teknis kegiatan
Aktor Aktor Komisiaris atau direktur perusahaan swasta
Karyawan atau staff pemerintah daerah
Kepala kantor atau kabag atau kasubag
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Pejabat pelaksana teknis kegiatan
Penganganan kasus Penanganan kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) : 14
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 9
Kepolisian: 25 Kepolisian: 37 Kejaksaan: 137 Kejaksaan: 226
Sumber: Media Indonesia, 24 Februari 2011, hal.3
Berdasarkan dari data tersebut maka terlihat bagi aparat penegak
hukum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih relatif sedikit
dalam penanganan korupsi di daerah. Pihak kepolisian dan kejaksaan
justru lebih banyak dalam penanganan kasus korupsi. Vonis yang
dijatuhkan di Peradilan Umum belum menunjukan adanya sanksi yang
tegas bagi para pelaku korupsi di daerah. Upaya pemberantasan korupsi
yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih
mengalami kelemahan terkait data yang masih berada di pihak kepolisian
dan kejaksaan belum tersentuh untuk dilimpahkan. Pihak kepolisian dan
kejaksaan sulit untuk menyerahkan berkas dan data ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) disebabkan kedua lembaga tersebut
menganggap mampu untuk menanganinya sendiri setiap kasus yang
ditangani. Disisi lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tidak
akan mengambil alih kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum
yang lain sebelum ada penyerahan data bersamaan dengan pelimpahan
kasus yang sedang ditangani. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
telah ada kewenangan guna mengambil alih kasus yang sedang ditangani
oleh aparat penegak hukum yang lain. Aturan yuridis yang dimiliki oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat dalam Pasal 8 ayat (2)
Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), akan tetapi dalam praktek sulit untuk dilaksanakan
mengingat pihak kejaksaan juga ingin menjaga kehormatan lembaganya
dalam penganganan kasus korupsi di daerah. Hal yang menjadi kendala
lain adalah tidak adanya parameter yang tepat terkait waktu pengambilan
alihan dari penegak hukum yang satu dengan yang lainnya. Parameter
yang tidak jelas tersebut menyebabkan lambatnya proses penegakan
hukum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelesaikan
kasus korupsi di daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi merupakan senjata pamungkas guna menjerat para
pejabat daerah terkait perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan
jabatan serta wewenang yang dimilikinya untuk diseret dalam
persidangan. Akan tetapi pasal tersebut merupakan pasal “keranjang
sampah” dan pasal “roda bekas” yang dijadikan bahan untuk disalah
interpretasikan dan diputar balikkan fakta hukumnya ketika di dalam
persidangan agar para pelaku mark up korupsi di daerah tidak
mendapatkan hukuman berat dan bahkan agar dapat lepas dari kasus
korupsi yang didakwakan kepadanya. Dalam penyusunan, perumusan
dan penetapan besar kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) telah dimanfaatkan oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dan para pejabat daerah demi kepentingan pribadi dan /
atau golongan tertentu. Manipulasi dengan mengubah pergeseran besar
kecilnya keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) telah menimbulkan celah terjadinya korupsi dengan modus
operandi mark up, sehingga banyak merugikan keuangan daerah pada
khususnya dan keuangan negara pada umumnya. Jika dikaitkan dengan
adanya unsur pembuktian, maka unsur sifat melawan hukum dari para
pelaku korupsi keuangan daerah hanya diperlukan ketika merupakan
suatu delik dalam unsur pidana dengan cara menganalisis hukum
mengenai pengertiannya yang tidak dapat dipisahkan dengan unsur-unsur
delik hukum yang akan dibuktikan. Hal ini juga akan berimplikasi
terhadap penetapan dari sifat melawan hukum baik secara materiil
maupun formil. Sifat melawan hukum materiil positif yang terkandung
dalam unsur melawan hukum dalam rumusan tindak pidana tertentu tidak
sama artinya dengan tindak pidana dari sudut materiil positif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
2. Bahwa dalam penanganan kasus korupsi di daerah masih terdapat
dualisme dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dari
pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Peradilan
Umum yang menyebabkan tidak berjalan efektifnya upaya penegakan
pemberantasan korupsi di daerah. Pihak penyidik dan penuntutan dari
Peradilan Umum berasal dari kejaksaan Republik Indonesia. Sedangkan
pihak penyelidikya berasal dari kepolisian. Kendala akan timbul jika
terjadi perbenturan kepentingan dari lembaga masing-masing pada tahap
penyidikan dan penuntutan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang memiliki kewenangan penuntutan yang sama dengan pihak
kejaksaan. Dengan demikian berkurangnya eksistensi kewenangan dari
pihak kejaksaan selaku dominus litis yang berlaku universal disebabkan
masih adanya tumpang tindih dalam prosedur dan landasan normatifnya
dengan pihak penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan
menjadikan permasalahan dalam menjerat dan menetapkan sanksi hukum
terhadap para pelaku mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
B. Saran
1. Sebaiknya Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi direvisi dengan menggunakan batas minimal hukuman
harus ditambah dari 4 tahun menjadi 9 tahun mengingat kerugian negara
yang menjadi parameter sebesar 1 milliar rupiah.
2. Agar tidak terjadi overlapping dalam proses penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan dari pihak Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai aktor
penegakan hukumnya antara Peradilan Umum dengan Polisi dan Jaksa
sebagai aktor penegak hukumnya harus sering melakukan koordinasi dan
tidak boleh bekerja sendiri-sendiri. Dengan demikian sebaiknya pada
proses penyidikan jika pihak kepolisian dan kejaksaan sudah tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
sanggup membuktikan kasus korupsi di daerah harus segera diserahkan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa harus diambil
secara paksa, sehingga penanganan kasus korupsi dapat ditangani dan
divonis secara langsung dari Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor).
3. Sebaiknya dari proses tahap perumusan, penyusunan, penetapan besar
kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan
pengambil kebijakan di antara Kepala Daerah dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus mendapat kontrol secara detail
dari Departemen Dalam Negeri dengan sinergisitas antara pihak Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) agar ketika terjadi celah kebocoran
anggaran dapat segera dicegah.
4. Dalam proses penetapan sanksi hukum kepada para pelaku koruptor mark
up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah
sebaiknya delik hukum yang berupa “perbuatan melawan hukum”,
“penyalahgunaan wewenang” dan “dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara” harus dapat disinergisitaskan dengan baik
agar dalam penetapan, penyidikan dan penuntutan hukum dapat
mencerminkan kepastian hukum, sehingga sanksi yang tegas akan
didapatkan oleh para koruptor terkait manipulasi keuangan di daerah.
Top Related