PERKEMBANGAN MANUSIA

35
PERKEMBANGAN MANUSIA DALAM ISLAM 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk Allah yang misterius dan sangat menarik. Di katakan misterius karena semakin dikaji semakin terungkap betapa banyak hal baru mengenai manusia yang belum terungkapkan. Dan dikatakan menarik karena, sebagai subjek sekaligus objek kajian yang tiada henti-hentinya terus dilakukan manusia khususnya para ilmuwan. Oleh karena itu ia telah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tertinggi mengkaji manusia karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan. Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya masing-masing, tetapi hingga saat ini para ahli masih belum mencapai kesepakatan tentang manusia. Hal ini terbukti dari banyaknya penamaan manusia, misal homo sapien (manusia berakal), homo ecominicus (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut economic animal (binatang ekonomi), al-insanu hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berkata-kata) dan sebagainya. Al-qur’an tidak mengolongkan manusia kedalam kelompok binatang selama manusia menggunakan akalnya dan karunia Tuhan lainnya. Namun, jika manusia tidak lagi akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi

Transcript of PERKEMBANGAN MANUSIA

PERKEMBANGAN MANUSIA DALAM ISLAM

1. Latar belakang

Manusia adalah makhluk Allah yang misterius dan sangat

menarik. Di katakan misterius karena semakin dikaji semakin

terungkap betapa banyak hal baru mengenai manusia yang belum

terungkapkan. Dan dikatakan menarik karena, sebagai subjek

sekaligus objek kajian yang tiada henti-hentinya terus

dilakukan manusia khususnya para ilmuwan. Oleh karena itu ia

telah menjadi sasaran studi sejak  dahulu, kini dan kemudian

hari. Hampir semua lembaga pendidikan tertinggi mengkaji

manusia karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,

masyarakat  dan lingkungan.     

Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya

masing-masing, tetapi hingga saat ini para ahli masih belum

mencapai kesepakatan tentang manusia. Hal ini terbukti dari

banyaknya penamaan manusia, misal homo sapien (manusia

berakal), homo ecominicus (manusia ekonomi) yang kadangkala

disebut economic animal (binatang ekonomi), al-insanu

hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berkata-kata)

dan sebagainya. Al-qur’an tidak mengolongkan manusia kedalam

kelompok binatang  selama manusia menggunakan akalnya dan

karunia Tuhan lainnya. Namun, jika manusia tidak lagi akal

dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi

nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta

panca indera secara baik dan benar, mak ia akan menurunkan

derajatnya sendiri menjadi binatang seperti yang dinyatakan

Allah dalam Al-qur’an :

Artinya:... “dan sesungguh,akan kami isi neraka

jahannambanyak dari kalangan jin dan manusia. mereka (jin

dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk

memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak

dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),

punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah).

Merekalagi. Mereka itulah orng orang yang lengah.” (Q.S Al-

A’raf:179)

            Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain

dengan bani Adam (Q.S. Al-Isra’:70), basyar  (Q.S. Al-

kahfi:10), Al-Insan (Q.S. Al-Insan:1), An-Nas (Q.S. An-

Nas:1). Berbagai rumusan tentang manusia telah pula

diberikan orang. Salah satu diantaranya, berdasarkan studi

isi Al-Qur’an dan Al-Hadist, berbunyi (setelah disunting)

sebagai berikut: Al-Insan (manusia) adalah makhluk ciptaan

Allah yang memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah),

dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan

wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab

atas segala  perbuatanya dan berakhlak.

         Memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui

segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah

selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga

dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu

sendiri. Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha

untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak

sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara

sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang

mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang

penciptaan manusia.

II. Pembahasan

A.  Asal Usul Manusia

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para

malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia

dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang

diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan

kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-

ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud"

(QS. Al Hijr (15) : 28-29)

Diantara sekian banyak penemuan manusia dalam bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sedemikian canggih, masih ada

satu permasalahan yang hingga kini belum mampu dijawab dan

dijabarkan oleh manusia secara eksak dan ilmiah. Masalah itu

ialah masalah tentang asal usul kejadian manusia. Banyak

ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang

mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari

makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang

sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi

manusia seperti sekarang ini. Hal ini diperkuat dengan

adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti

jenis Pitheccanthropus dan Meghanthropus.

Di lain pihak banyak ahli agama yang menentang adanya proses

evolusi manusia tersebut. Hal ini didasarkan pada berita-

berita dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci

masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam adalah

manusia pertama. Yang menjadi pertanyaan adalah termasuk

dalam golongan manakah Adam ? Apakah golongan fosil yang

ditemukan tadi atau golongan yang lain ? Lalu bagaimanakah

keterkaitannya ?

Kita sebagai umat yang mengakui dan meyakini rukun iman yang

enam, maka sudah sepantasnya kita mengakui bahwa Al Qur’an

adalah satu-satunya literatur yang paling benar dan bersifat

global bagi ilmu pengetahuan.

"Kitab (Al Qur’an) in tidak ada keraguan padanya; petunjuk

bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada

yang ghaib....." (QS. Al Baqarah (2) : 2-3)

Dengan memperhatikan ayat tersebut maka kita seharusnya

tidak perlu berkecil hati menghadapi orang-orang yang

menyangkal kebenaran keterangan mengenai asal usul manusia.

Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki unsur utama yang

dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu Iman kepada yang Ghaib. Ini

sebenarnya tampak pula dalam pernyataan-pernyataan yang

dikeluarkan oleh mereka dalam menguraikan masalah tersebut

yaitu selalu diawali dengan kata kemungkinan, diperkirakan,

dsb. Jadi sebenarnya para ilmuwanpun ragu-ragu dengan apa

yang mereka nyatakan.

Tahapan kejadian manusia :

a) Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)

            Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam

diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian

dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya.

Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya

maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di

dalam firman-Nya :

"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan

Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah

(32) : 7)

 

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari

tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang

diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)

Disamping itu Allah juga menjelaskan secara rinci tentang

penciptaan manusia pertama itu dalah surat Al Hijr ayat 28

dan 29 . Di dalam sebuah Hadits Rasulullah saw bersabda :

"Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu

(diciptakan) dari tanah". (HR. Bukhari)

b) Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)

            Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan

oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-

pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak

menciptakan lawanjenisnya untuk dijadikan kawan hidup

(isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah sati

firman-Nya :

"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa nyang ditumbuhkan oleh bumi dan dari

diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS.

Yaasiin (36) : 36)

Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah

dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :

"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah

menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah

memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat

banyak..." (QS. An Nisaa’ (4) : 1)

Di dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari

dan Muslim dijelaskan :

"Maka sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang

rusuk Adam" (HR. Bukhari-Muslim)

Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka

secara tak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan

melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali

tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam

bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah

keturunan yang akan meneruskan generasinya.

c) Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan

Hawa)

Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis

dejelaskan secara terperinci melalui firman-Nya :

            Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua

keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses

ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits

dapat pula ditinjau secara medis.

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari

suatu saripati (berasal) darki tanah. Kemudian Kami jadikan

saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang

kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal

darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,

dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu

tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian

Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha

Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al

Mu’minuun (23) : 12-14)

.

Kemudian dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda :

"Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan

dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu

dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim

ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu

pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian

selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong

daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan

ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat

(macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan buruk baik

(nasibnya)." (HR. Bukhari-Muslim)

Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam

telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk

memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia.

Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan

"saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar

kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang

kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang

kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh

diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil

dari pernikahan (hubungan seksual), maka terjadilah

pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita)

di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk

manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat

diatas).

Para ahli dari barat baru menemukan masalah pertumbuhan

embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan baru dibuktikan

pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang

diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum. Ini sangat

mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari

Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau

mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan

Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain iti

beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits

banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk

mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan

sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin

betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya

itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan

eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide tentang

perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari

kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19.

Tetapi jauh ebelumsnya Al Qur’an telah menegaskan dari

nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits

menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan

nasibnya."

Sebagai bukti yang konkrit di dalam penelitian ilmu genetika

(janin) bahwa selama embriyo berada di dalam kandungan ada

tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen (perut)

ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic

(kegelapan di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan

kegelapan dalam selaput yang menutup/membungkus anak dalam

rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa yang

dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :

"...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi

kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam perut,

kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang

menutup anak dalam rahim)..." (QS. Az Zumar (39) : 6).

B. Dinamika Perkembangan Manusia

Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia

tak berdaya dan tak mampu, baik secara fisik maupun mental.

Bakat dan mental yang diwariskan orang tuanya merupakan

benih yang perlu dikembangkan. Sebagaimana hadits yang

artinya “ setiap anak itu dilahirkan menurut fitrahnya, maka

hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang

Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi” (HR. Bukhari).

Semua anggota jasmani membutuhkan bimbingan untuk tumbuh.

Demikian juga jiwanya, membutuhkan bimbingan untuk

berkembang sesuai iramanya masing-masing, sehingga suatu

waktu anak bisa membimbing diri sendiri. Anak yang baru

lahir belum mampu menghadapi kehidupan, tapi itu tergantung

lingkungan. Anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang

baik, maka ia akan baik, Demikian juga sebaliknya.

Bakat kurang berperan dalam membentuk pribadi anak, karena

bakat tidak akan tumbuh dan berkembang pada situasi yang tak

sesuai. Bakat akan tumbuh dan berkembang pada situasi yang

sesuai. Bakat atau sifat keturunan dengan interaksi

lingkungan mempengaruhi perkembangan anak. Hal itu senada

dengan pendapat Morgan,3 yang menyatakan bahwa gen mengatur

sifat menurun tertentu yang mengandung satuan informasi

genetika. Sebagai manusia yang berpotensi, maka dalam diri

anak ada suatu daya yang dapat tumbuh dan berkembang di

sepanjang usianya, potensi anak sebagai daya yang tersedia,

sedang pendidikan sebagai alat ampuh untuk mengembangkan

daya itu. Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan

manusia, karena itu mutlak diperlukan. Anak yang baru lahir

pun memerlukan pendidikan, bahkan sejak ia dalam kandungan

ibunya. Pada umumnya sikap dan kepribadian anak ditentukan

oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan, yang

dilalui sejak kecil. Pendidikan merupakan kebutuhan hidup

dan tuntutan kejiwaan. Anak yang baru lahir selalu menuntut

penyempurnaan dirinya, bahkan sejak ia dalam kandungan

ibunya. Anak dalam kandungan ibunya mengalami proses

pematangan diri, baik fisik, mental, dan emosional. Hubungan

batin antara ibu dan anak dalam kandungan terjalin sangat

erat sekali.

Kita ambil contoh tentang konsep jiwa, di mana dari kalangan

psiko-behavoristik, tidak begitu tertarik dengan

membicarakan hakikat jiwa. Mereka bahkan tidak mempedulikan

perbedan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting

adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa

tersebut agar mampu meresponnya dalam bentuk perilaku.

Berbeda dengan Islam yang membicarakan hakikat mental dan

kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses

dedukatif, yang digali dari nash (Al-Quran dan Al-Sunnah)

dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan

belum memasuki wilayah empiris-eksperimental. Di mana aspek-

aspek kejiwaan dalam Islam meliputi al-ruh, al-nafs, al-

kalb, al-dhomir, al-lubb, al-fuad, al-sirr, al-fitrah, dan

sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki

eksistensi, dinamisme, pemikiran Islam. Sebagai satu

organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang

aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada

daya upaya (ikhtiarnya). Jadi Islam mengakui adanya

kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berfikir,

berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam

kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah

SWT. Sebagai akibat dari gagasan tersebut perlu diadakan

reorientasi paradigma atau epistimologi psikologi, yang

meliputi mode of thought dan mode inquiry. Artinya sumber

kajian psikologi yang dijadikan acuan tidak hanya dari

pemikiran rasional dan penelitian empiris eskperi-mental,

melainkan juga bersumber dari wahyu dan pemikiran ilhami.

Oleh karena itu, dalam psikologi Islam tidak hanya sekedar

mengubah perilaku psikologi sesuai dengan tugas-tugas

perkembangan psikologi manusia, tetapi juga berdasarkan

tuntunan dari Allah SWT.

Seperti psikologi modern, psikologi Islam juga membahas

berbagai aspek perkembangan, meliputi aspek perkembangan

fisik, kognitif, emosional, sosial, moral dan lain-lain.

      

1). Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan

Istilah "proses" perkembangan yang digunakan dalam kajian

ini untuk menunjukkan adanya tahapan, pola, aspek, faktor

yang terlibat dalam perkembangan manusia. Perkembangan

berarti segala perubahan kualitatif dan kuantitatif yang

menyertai pertumbuhan dan proses kematangan manusia.

Pertumbuhan dan kematangan merupakan pengertian umum dari

perkembangan. Definisi tersebut menjelaskan pemahaman

perkembangan dari sisi yang luas, sebagai "proses menyeluruh

ketika individu beradaptasi dengan lingkungan." Adapun ruang

lingkup definisi ini mencakup rentang kehidupan manusia

diantaranya mencakup perkembangan prakelahiran, bayi, anak-

anak, remaja, orang dewasa dan usia lanjut, serta kehidupan

pascakematian. Menurut Salisu Shehu, pertumbuhan dan

perkembangan merupakan proses yang gradual, memiliki pola

tertentu, merupakan proses kumulatif dan simultan, melampaui

keberadaan fenomenal duniawi, dan melewati periode kritis

dan sensitif tertentu.

(1). Pertumbuhan dan Perkembangan Merupakan Proses yang

Bertahap

Allah menciptakan manusia dari berbagai tahap progresif

pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain, kehidupan

manusia memiliki pola dalam tahapan-tahapan tertentu

termasuk tahapan dari pembuahan sampai kematian. Tahapan

yang terjadi yang dilewati manusia dalam pertumbuhan dan

perkembangannya terjadi bukan karena faktor peluang atau

kebetulan, namun ini merupakan sesuatu yang dirancang,

ditentukan dan ditetapkan langsung oleh Allah swt,

sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Furqaan ayat 2 di

bawah ini:

Artinya: "Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi,

dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya

dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala

sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-

rapinya". (QS. Al-Furqaan ayat2).

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan dari segala sesuatu

telah ditentukan dengan cara demikian rupa sehingga setiap

aspek secara porporsional terlengkapi. Dalam pertumbuhan dan

perkembangan manusia tidak terjadi serta merta dalam satu

waktu, namun melalui tahapan yang telah ditentukan ukurannya

yang membuatnya berjalan dalam proses yang berangsur-angsur

atau gradual.

(2). Pertumbuhan  dan  Perkembangan  Manusia  Memiliki 

Pola  Tertentu

Menurut  Al-Qur’an, pertumbuhan dan perkembangan manusia

memiliki pola umum yang dapat diterapkan pada manusia,

meskipun terdapat perbedaan individual. Pola yang terjadi

adalah bahwa setiap individu tumbuh dari keadaan yang lemah

menuju keadaan yang kuat dan kemudian kembali melemah.

Dengan kata lain, pertumbuhan dan perkembangan, sesuai

dengan hukum alam, ada kenaikan dan penurunan. Ketika

seseorang secara berangsur-angsur mencapai puncak

perkembangannya, baik fisik maupun kognitif, dia mulai

menurun berangsur-angsur. Al-Qur’an menyatakan sebagai

berikut:

Artinya:"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan

lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah

itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah

kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa

yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi

Maha Kuasa". (QS. Ar-Rum:54)

Artinya:"Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu;

dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang

paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi

sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Kuasa". (QS. Al-Nahl:70)

Dengan demikian, terlihat bahwa pola yang disebutkan

dalam ayat ini dapat diterapkan pada semua manusia. Hal ini

mengacu pada tahap pertama penciptaan manusia di dalam rahim

sampai persalinan. Manusia sangat lemah dalam tahap awal

ini, baik secara fisik maupun mental. Lemahnya manusia pada

awal kehidupan ini juga  mencakup  pada  lemahnya  keadaan 

mental seseorang.

(3). Perkembangan Manusia Merupakan Proses Kumulatif dan

Simultan

Jika setiap ayat Al-Qur’an yang membicarakan perkembangan

manusia dan tahap-tahapnya dibahas secara seksama disintesis

dan dianalisis, akan terlihat bahwa Al-Qur’an menyatakan

postulat perkembangan manusia secara alamiah bersifat

kumulatif. Dengan kata lain, setiap perkembangan baru yang

dicapai atau dialami individu merupakan penambahan dari

perkembangan sebelumnya. Dengan cara ini, perkembangan

meningkatkan satu aspek dengan dasar peningkatan sebelumnya

sampai pencapaian tahap puncak. Al-Qur’an juga mengajarkan

bahwa perkembangan manusia merupakan proses simultan dari

aspek-aspek yang berhubungan. Hal ini berarti, segala aspek

perkembangan fisik mental, sosial, emosional, dan moral

tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan ungkapan

lain bahwa satu aspek dari perkembangan tidak dapat menunggu

satu aspek lainnya berkembang penuh, ketika memulai

perkembangannya.

(4). Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia: Melampaui

Keberadaan Fenomenal

Duniawi Jika teori psikologi modern hanya mencakup kehidupan

duniawi yang sementara, Al-Qur’an memproyeksikan kehidupan

manusia di atas kehidupan ini. Al-Qur’an mengkaji kehidupan

saat ini sebagai dasar kehidupan lain yang lebih permanen

dan kekal. Manusia akan mengalami transformasi kepada bentuk

kehidupan lain yang pertumbuhan dan perkembangannya bersifat

transendental dan lebih tinggi. Pertumbuhan dan perkembangan

ini, bagaimanapun, dapat berakhir dengan kenikmatan atau

penyiksaan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa berbagai

ayat Al-Qur’an yang mengatakan tahapan-tahapan perkembangan

dikaitkan langsung dengan kehidupan setelah mati.

Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk mempelajari manusia

secara komprehensif, aspek kehidupan sesudah mati harus

disertakan. Hal ini karena ketakutan akan kematian dan apa

yang terjadi di dalamnya merupakan bagian

alamiah dari manusia dan mempengaruhi disposisi dan

perkembangan manusia. Tanpa hal ini, pengetahuan kita

tentang manusia akan bersifat primitif dan parsial.

(5). Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia: Melewati Periode

Kritis dan Sensitif Tertentu

Jika beberapa ayat dan hadis Nabi dipelajari lebih seksama,

akan terungkap bahwa Islam memiliki perhatian besar tentang

periode dan fase perkembangan manusia. Periode dan fase

formatif secara esensial sangat penting, karena meletakkan

dasar bagi perkembangan selanjutnya, yang dalam hal ini,

seluruh periode prakelahiran, bayi, anak-anak, dan remaja

dianggap sensitif.

Sensitivitas tahap prakelahiran, misalnya, tradisi Muslim

yang membiasakan diri untuk memberi doa ketika bersenggama.

Hal ini bermakna sebagai doa kepada Allah untuk memohon

perlindungan dari pengaruh setan dan pemberian stimulus

suara. Suara di sini dapat berfungsi sebagai pelindung dari

segala halangan yang dapat menyebabkan retardasi dalam

pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak.

Setelah kelahiran, Nabi menyuruh umat muslim untuk sensitif

dan hati-hati dalam merawat anak-anak mereka. Namun, periode

lain yang dianggap sangat kritikal dan sensitif adalah

periode remaja. Periode ini merupakan masa transisi dari

anak-anak menuju kedewasaan, yang menandai awal dari

tanggung jawab legal (taklif).

2). Periode dan Tugas-Tugas Perkembangan

Periodesasi dalam psikologi Islam adalah sebagai berikut:

a) Periode pra-konsepsi

Yaitu, periode perkembangan manusia sebelum masa

pembuahan sperma dan ovum.

Tugas-tugas perkembangan periode ini, yang diperankan

orang tua adalah

(1) mencari pasangan hidup yang baik. Pertimbangan baik

buruk mengenai pasangan hidup ditentukan oleh empat

aspek, yaitu kecantikan-keterampilan, kekayaan,

keturunan, dan agama. Keempat aspek ini paling

ditonjolkan oleh Nabi Muhammad adalah aspek agama,

sebab agama akan membawa keberuntungan hidup di dunia

dan akherat

(2) segera menikah secara sah setelah cukup umur dan

telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hamil sebelum

menikah akan mengakibatkan efek psikologis negatif pada

perkembangan kehidupan anak, terutama perkembangan

kehidupan keagamaannya

(3) membangun keluarga yang sakinah (damai dan

sejahtera) di atas prinsip cinta-kasih (mawadah) dan

kasih sayang (rahmah) dengan landasan iman dan taqwa

(4) selalu berdoa kepada Allah SWT, agar diberi

keturunan yang baik (durriyah thayyibah).

Meskipun dalam periode ini wujud manusia belum

terbentuk, namun perlu dikemukakan, sebab hal itu yang

berkaitan dengan "bibit" manusia. Pasangan yang ideal

(mukafah), baik dari aspek kecantikan-keterampilan,

kekayaan, keturunan, apalagi agamanya, akan melahirkan

generasi yang berkualitas. Sebaliknya, sosok orang tua

pemabuk, penzina, penjudi, pembunuh akan mewariskan

genetik yang tidak berkualitas.

b) Periode pra-natal

Yaitu, periode perkembangan manusia yang dimulai dari

pembuahan sperma dan ovum sampai masa kelahiran.

Periode ini dibagi menjadi empat fase,

(1) fase nutfah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan

sampai usia 40 hari dalam kandungan;

(2) fase ’alaqoh (embrio) selama 40 hari;

(3) fase mudhgah (janin) selama 40 hari; dan

(4) fase peniupan ruh ke dalam janin setelah genap

empat bulan, yang mana janin manusia telah terbentuk

secara baik, kemudian ditentukan hukum-hukum

perkembangannya, seperti masalah-masalah yang berkaitan

dengan perilaku (sifat, karakter, dan bakat), kekayaan,

batas usia, dan bahagia-celakanya. Fase tersebut

menunjukkan bahwa nyawa kehidupan (al-hayat) telah ada

sejak adanya pembuahan, namun ruh baru ditiupkan

setelah usia empat bulan dalam kandungan.

Tugas-tugas perkembangan yang diperankan orang tua adalah

a. Memelihara suasana psikologis yang damai dan tentram,

agar secara psikologis janin dapat berkembang secara

normal. Bayi yang dilahirkan dari keluarga broken home,

akan mewarisi sifat-sifat atau karakter orang tua yang

buruk.

b. Senantiasa meningkatkan ibadah dan meninggalkan

maksiat, terutama bagi ibu, agar janinnya mendapat

sinaran cahaya hidayah dari Allah SWT; dan

c. Berdoa kepada Allah SWT, terutama sebelum 4 bulan dalam

kandungan, sebab masa-masa ini hukum-hukum perkembangan

akan ditetapkan

c) Periode kelahiran sampai meninggal dunia

a. Fase wiladah

Dimulai dari kelahiran sampai kira-kira minggu keempat.

Tugas-tugas perkembangan yang dilakukan oleh orang tua

adalah:

1) Membacakan azan di telinga kanan dan membacakan

iqomah di telinga kiri ketika anak baru dilahirkan. Hal

ini dilakukan, selain mengingatkan bayi akan perjanjian

di alam primordial, juga agar suara pertama kali yang

didengar dan direkam dalam memori bayi tidak lain

hanyalah kalimat-kalimat yang indah (thayyibah), yang

memuat pengagungan dan mengesakan Allah, pengakuan

Muhammad serta ajakan shalat agar menjadi orang yang

beruntung.

2) Memotong aqiqah, dua kambing untuk anak laki-laki

dan seekor kambing untuk anak perempuan. Pemotongan

ini, selain menunjukkan rasa syukur kepada Allah, juga

sebagai lambang atau simbol pengorbanan dan kepedulian

orang tua terhadap kelahiran bayinya, agar anaknya

nanti menjadi anak yang salih dan menuruti keinginan

baik orang tuanya.

3) Memberi nama yang baik, yaitu nama yang secara

psikologis meningkatkan atau berkolerasi dengan

perilaku yang baik.

4) Membiasakan hidup bersih dan suci.

5) Memberi ASI sampai usia dua tahun (QS. Al-Baqarah:

233).

ASI selain memiliki komposisi gizi yang sesuai dengan

kebutuhan bayi, juga menambah keakraban, kehangatan,

dan kasih sayang sang ibu dengan bayinya. Kekurangan

ASI dapat mengakibatkan perilaku negatif, seperti tidak

menuruti perintah orang tuanya, karena secara pskologis

hubungan mereka tidak akrab.

b. Fase kanak-kanak (al-thifl)

Yaitu fase yang dimulai dari usia sebulan sampai usia

sekitar tujuh tahun. Tugas-tugas perkembangannya adalah

sebagai berikut:

1) Pertumbuhan potensi-potensi indera dan psikologis,

seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 78:

Artinya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu

dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia

memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar

kamu bersyukur".(QS.Al-Nahl:78)

2) Mempersiapkan diri anak dengan cara membiasakan dan

melatih hidup yang baik. Seperti dalam berbicara,

makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan

berperilaku. Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek

afektif (al-infi’ali), sebab jika aspek ini tidak

dibiasakan sedini mungkin maka ketika masa dewasanya

akan sulit dilakukan.

3) Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama

yang berkaitan dengan keimanan.

c. Fase tamyiz

Yaitu fase di mana anak mulai membedakan yang baik dan

yang buruk, yang benar dan yang salah. Fase ini dimulai

usia sekitar tujuh tahun sampai 12 atau 13 tahun.

Tugas-tugas perkembangannya adalah:

1) Perubahan persepsi kongkrit menuju pada persepsi

yang abstrak, misalnya persepsi ide-ide ketuhanan, 

alam akherat, dan sebagainya.

2) Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui

institusi sekolah, baik yang berkaitan dengan aspek

kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam hal ini

Nabi SAW, artinya: Perintahlah anak-anak kalian

melakukan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan

pukullah ia jika meninggalkannya apabila berusia

sepuluh tahun, dan pisahkan ranjangnya. (HR. Ahmad

Dawud dan Al-Hakim dari Abd Allah ibn Amar).

Hadits di atas mengisyaratkan bahwa usia tujuh tahun

merupakan usia mulai berkembangnya kesadaran akan

perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, sehingga

Nabi SAW, memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik

shalat kepada anak-anaknya. Ketika usia sepuluh tahun,

tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk,

benar dan salah mendekati sempurna, sehingga Nabi SAW,

memerintahkan kepada orang tua untuk memukul anaknya

yang meninggalkan shalat. Makna "memukul" di sini tidak

berarti bersifat fisik, seperti memukul kepala atau

anggota tubuh lainnya, melainkan bersifat psikis,

seperti menggugah kesadaran, memarahi atau

memperingati.

Fase baligh

Merupakan fase di mana anak telah sampai dewasa. Usia

ini anak telah  memiliki kesadaran penuh akan dirinya,

sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif),

terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut

Ikhwan al-Shafa, periode ini disebut dengan alam al-

ardh al-stani (alam petunjuk kedua), di mana manusia

dituntut untuk meengaktualisasikan perjanjian yang

pernah disepakati pada alam al-ardh awal (alam petunjuk

pertama), yakni di alam arwah. Sedangkan menurut Al-

ghazali menyebutnya dengan fase ’aqil, fase di mana

tingkah intelektual seseorang dalam kondisi puncaknya,

sehingga ia mampu membedakan perilaku yang benar dan

salah, baik atau buruk. Kondisi ’aqil menjadi salah

satu syarat wajib bagi seseorang untuk menerima satu

beban agama, sementara kondisi gila (junun) menjadi

penghalang bagi penerimaan kewajiban agama.

Penentuan fase ini agak sulit, sebab kriterianya boleh

jadi berdasarkan pertumbuhan biologis atau tingkat

kematangan psikologis. Para psikolog, menentukan bahwa

fase ini ditandai dengan kemampuan seseorang dalam

memahami suatu beban taklif, baik menyangkut dasar-

dasar kewajiban, jenis-jenis kewajiban, dan prosedur

atau cara pelaksanaannya. Kemampuan “memahami”

menunjukkan adanya kematangan akal pikiran, yang mana

hal itu menandakan kesadaran seseorang dalam

berperilaku, sehingga ia pantas diberi taklif.

Sementara dari kalangan biolog, penentuan fase ini

dimulai sejak adanya (al-ihtilam) atau menstruasi (al-

haidh) pertama kali bagi perempuan (menarche). Kedua

gejala biologis ini menunjukkan tingkat kematangan atau

kedewasaan seseorang dan ia pantas menerima beban

kewajiban. Seperti dalam firman Allah:

Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup

umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu

mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka

serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah

kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan

dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)

sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara

pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri

(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa

yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut

yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta

kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi

(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah

Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (Q.S. An-

nisaa:6)

Karena itulah maka fase ini diperkirakan dimulai antara

usia 12-15 tahun.

Tugas-tugas perkembangannya adalah sebagai berikut:

1) Memahami segala titah (al-khitbah) Allah SWT, dengan

memper dalam ilmu pengetahuan.

2) Menginternalisasikan keimanan dan pengetahuannya

dalam tingkah  laku  nyata, baik yang berhubungan

dengan diri sendiri, keluarga, komunitas sosial, alam

semesta, maupun pada Tuhan.

3) Memiliki kesediaan untuk mempertanggung jawabkan apa

yang diperbuat, sebab pada fase ini, seseorang telah

memiliki kesadaran dan kebebasan penuh terhadap apa

yang dilakukan. Segala tindakannya memiliki implikasi

baik buruk yang di akherat akan mendapatkan balasannya.

4) Membentengi diri dari segala perbuatan maksiat dan

mengisi diri dengan perbuatan baik, sebab masa puber

merupakan masa di mana dorongan erotis mulai tumbuh dan

berkembang dengan pesat. Oleh karena itu, Nabi SAW

memberikan penghargaan yang besar bagi pemuda yang

tumbuh dalam peribadatan kepada Allah.

5) Menikah jika telah memiliki kemampuan, baik

kemampuan fisik maupun psikis.

6) Membina keluarga yang sakinah, yaitu keluarga dalam

menempuh bahtera kehidupan selalu dalam keadaan

cinta(mawadah) dan kasih sayang (rahmah) dengan

landasan keimanan dan ketakwaan.7) Mendidik anak-

anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat bagi diri

sendiri, keluarga, sosial dan agama. Anak merupakan

amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan dan

sekaligus sebagai investasi non-material untuk

kehidupan di akherat kelak.

d. Fase kearifan dan bijaksana

Yaitu fase di mana seseorang telah memiliki tingkat

kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual

dan agama secara mendalam. Al-Ghazali menyebut fase ini

dengan fase auliya’ wa anbiya’, yaitu fase di mana

perilaku manusia dituntut seperti perilaku yang

diperankan oleh kekasih dan Nabi Allah. Fase ini

dimulai usia 40 tahun sampai meninggal dunia.

Tugas-tugas perkembangannya adalah sebagai berikut:

1) Transinternalisasi sifat-sifat rasul yang agung,

sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rosul pada

usia 40 tahun. Sifat-sifat yang dimaksud adalah jujur

(shidiq), dapat dipercaya dan bertanggung jawab

(amanah), menyampaikan kebenaran (tabligh), dan

memiliki kecerdasan spiritual (fathanah).

2) Meningkatkan kesadaran akan peran sosial dengan

niatan amal shalih.

3) Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan (taqarub)

kepada Allah SWT, melalui perluasan diri dengan

mengamalkan ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat malam,

puasa sunnah, berzikir atau wirid.

4) Mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin, sebab

usia-usia seperti ini mendekati masa-masa kematian.

Seseorang akan menyesali diri jika dalam hidupnya,

terutama di usia senja, tidak melakukan suatu aktivitas

yang bermanfaat bagi orang lain atau bagi Tuhannya,

sebab jika batas kematian telah tiba maka tidak akan

dapat ditunda sedetikpun.

Fase ini, seseorang terkadang tidak mampu

mengaktualisasikan potensinya, bahkan kesadarannya

menurun atau bahkan menghilang. Kondisi ini karena

menuanya syaraf-syaraf atau organ tubuh lainnya,

sehingga menjadikan kepikunan (al-baram). Karena

demikian kondisi kesadarannya sehingga ia terbebas dari

segala tuntutan agama.

e. Fase kematian

Yaitu fase di mana nyawa telah hilang dari jasad

manusia. Hilangnya nyawa menunjukkan pisahnya ruh dan

jasad manusia, yang merupakan akhir dari kehidupan

dunia. Kematian terjadi ada yang dikarenakan batas

kehidupan (ajal) telah tiba, sehingga tanpa sebab apa

pun jika ajal ini telah tiba maka manusia mengalami

kematian, ada pula karena organ-organ kehidupan fisik

yang vital terjadi kerusakan atau terputus, seperti

karena penyakit, dibunuh, bunuh diri, dan sebagainya.

Tugas-tugas perkembangan pada fase ini adalah:

1) Memberikan wasiat kepada keluarga jika terdapat

masalah yang perlu diselesaikan, seperti wasiat tentang

pengembalian hutang, mewakafkan sebagian hartanya untuk

keperluan agama, dan sebagainya.

2) Tidak mengingat apapun kecuali berzikir kepada Allah

SWT.

3) Mendengarkan seksama talqin yang dibacakan oleh

keluarganya kemudian menirukannya.

4) Bagi orang yang hidup maka diwajibkan untuk

memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan

menguburkannya

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan

Perkembangan kehidupan manusia bukanlah diprogram

secara deterministik, seperti robot, mesin atau

otomatis. Manusia secara fitri memiliki kebebasan dan

kemerdekaan dalam mengaktualisasikan potensinya. Ia

berhak memiliki dan menentukan jalan hidupnya sendiri.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

dalam Islam adalah sebagai berikut:

a. Pengaruh Herediter dalam Perkembangan Sebagaimana yang

diisyaratkan dalam hadits Nabi bahwa pemilihan jodoh

itu harus dilihat dari empat segi, yaitu harta,

keturunan, kecantikan dan agama. Nabi kemudian

menganjurkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah

tangganya menjadi bahagia dan selamat. Hadits ini

menunjukkan pentingnya faktor hereditas dalam

perkembangan anak, sehingga jauh-jauh sebelumnya ia

telah memilih garis keturunan yang baik, agar anaknya

nanti memiliki bawaan yang baik pula.

Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan sosok yang memiliki

perkembangan kehidupan yang salih di mana perkembangan

itu dipengaruhi oleh faktor keturunan orang tua. Islam

menganjurkan kepada umatnya agar setiap memiliki

keturunan yang berkepribadian tangguh, baik, dan ahli

beribadah, bukan keturunan yang lemah. Perlu dicatat

bahwa di dalam kebaikan garis keturunan itu juga ada

yang menurunkan keturunan yang buruk, jahat, dan zalim

(QS. Al-Shaffat: 113).

b. Pengaruh Lingkungan dalam Perkembangan

Bukti yang terkenal berkaitan dengan pengaruh

lingkungan dalam perkembangan adalah hadis di mana

Rasulullah Saw, mengatakan bagaimana orang tua

mempengaruhi agama, moral, dan psikologi umum dari

sosialisasi dan perkembangan anak-anak mereka. Hadis

ini merupakan bukti tekstual yang paling terkenal dari

pengaruh lingkungan terhadap seseorang. Yang artinya:

“Tiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (suci

membawa disposisi Islam). Orang tuanyalah yang membuat

ia Yahudi (jika mereka Yahudi), Nasrani (jika mereka

Nasrani), atau Majusi (jika mereka Majusi)”. (HR.

Muslim)

Dalam Hadis lain, Nabi Muhammad Saw, menunjukkan

bagaimana teman dapat mempengaruhi seluruh perilaku,

karakter dan perbuatan seseorang. Dengan memberikan

perumpamaan, Nabi Muhammad Saw, bersabda yang artinya

“Persamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti

pedagang minyak kesturi dan peniup api tukang besi. Si

pedagang minyak kesturi mungkin akan memberinya padamu,

atau engkau membeli kepadanya, atau setidaknya engkau

dapat memperoleh bau yang harum darinya, tapi si peniup

api tukang besi mungkin akan membuat pakaianmu

terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau tidak sedap

daripadanya”. (HR Bukhari).

Nabi Muhammad Saw mengingatkan kepada kita bagaimana

persahabatan yang baik dapat mempengaruhi karakter

seseorang menjadi baik dan bagaimana teman yang jahat

dapat membuat orang melakukan hal yang buruk. Dengan

demikian, lingkungan dapat mempengaruhi keseluruhan

perkembangan psikologis seseorang, termasuk

perkembangan kognitif.

c. Pengaruh ketentuan Allah dalam Perkembangan

Bukti yang subtansial yang memperlihatkan bahwa

herediter dan lingkungan semata-mata tidak dengan

sendirinya menentukan pola perkembangan individu, ada

hal yang lebih utama dari persoalan tersebut, yaitu

segalanya tergantung kehendak Allah. Sebagaimana firman

Allah yang berarti “jadilah! Maka terjadilah ia”

Contohnya adalah riwayat Nabi Isa As Ibn Maryam. Allah

membuatnya dapat berbicara dalam buaiannya. Sebagaimana

kita ketahui, perkembangan bahasa merupakan bagian

integral dari perkembangan kognitif. Dalam situasi

normal, anak mulai berbicara pada usia dua tahun

sepatah dua patah kata, dan sejalan dengan hal itu

mereka mulai mengembangkan perbendaharaan bahasa.

Kenyataan bahwa Nabi Isa As dapat berbicara pada masa

buaian menunjukkan kenkuatan Allah. Hal ini bukan

faktor herediter, juga bukan produk stimulasi

intelektual dari lingkungan. Hal tersebut lebih

merupakan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan.

Kekuatan-Nya yang tidak terbatas, kehendak-Nya dan

kemampuan-Nya untuk melakukan segala sesuatu.

Meskipun herediter dan lingkungan merupakan faktor yang

tidak dapat diragukan sebagai faktor yang mempengaruhi

perkembangan manusia, ada faktor yang lebih signifikan

dan dominan. Faktor ini adalah kehendak dan kekuatan

Allah yang tidak terbatas. Faktor inilah yang memantau

dan menjaga besarnya kekuatan alam dan pengasuhan

(nature-nurtune forces) yang mempengaruhi kehidupan dan

perkembangan manusia. Hal ini dapat diterapkan pada

semua aspek perkembangan.

Peran kehendak Allah dalam menentukan perkembangan

individual seperti yang dinyatakan dalam pendekatan

Islam akan membantu memahami proses perkembangan yang

lebih baik dari pendekatan psikologi Barat dalam

berbagai cara. Perlu disadari, bahwa tidak semua

konstruk dan kecenderungan psikologi dapat secara ketat

dipengaruhi pengaruh herediter dan lingkungan. Karena

bagaimanapun individu kadang-kadang menunjukkan

kecenderungan tertentu yang jelas menyimpang dari

penjelasan pengaruh herediter dan lingkungan. Kasus

kemampuan bicara Nabi Isa As dan lain-lain dalam buaian

merupakan kesaksian terhadap hal ini. Dalam hal ini,

jika tidak diatribusikan kepada kehendak Allah, hanya

kebohongan yang merupakan penjelasan fakta ini.

           

III.       Kesimpulan

Jika kebanyakan dari dari kalangan psiko-behavoristik, tidak

begitu tertarik dengan membicarakan hakikat jiwa. Mereka

bahkan tidak mempedulikan perbedan jiwa manusia dengan jiwa

binatang. Yang terpenting adalah bagaimana memberi

rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar mampu

meresponnya dalam bentuk perilaku. Maka hal ini berbeda

dengan Islam yang membicarakan hakikat mental dan

kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses

dedukatif, yang digali dari nash (Al-Quran dan Al-Sunnah)

dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan

belum memasuki wilayah empiris-eksperimental.

Dari bab yang telah kami paparkan ini kami dapat mengambil

kesimpulan bahwa seperti halnya pada psikologi modern,

psikologi Islam juga membahas berbagai aspek perkembangan

manusia yang  meliputi aspek perkembangan fisik, kognitif,

emosional, sosial, moral dan lain-lain. Yang tak kalah

hebatnya, bakan hal ini telah lama tertulis dalam Al-Quran,

sebelum banyak para ilmuan mengkajinya.