PERKEMBANGAN MANUSIA DALAM ISLAM
1. Latar belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang misterius dan sangat
menarik. Di katakan misterius karena semakin dikaji semakin
terungkap betapa banyak hal baru mengenai manusia yang belum
terungkapkan. Dan dikatakan menarik karena, sebagai subjek
sekaligus objek kajian yang tiada henti-hentinya terus
dilakukan manusia khususnya para ilmuwan. Oleh karena itu ia
telah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini dan kemudian
hari. Hampir semua lembaga pendidikan tertinggi mengkaji
manusia karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,
masyarakat dan lingkungan.
Para ahli telah mengkaji manusia menurut bidang studinya
masing-masing, tetapi hingga saat ini para ahli masih belum
mencapai kesepakatan tentang manusia. Hal ini terbukti dari
banyaknya penamaan manusia, misal homo sapien (manusia
berakal), homo ecominicus (manusia ekonomi) yang kadangkala
disebut economic animal (binatang ekonomi), al-insanu
hayawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berkata-kata)
dan sebagainya. Al-qur’an tidak mengolongkan manusia kedalam
kelompok binatang selama manusia menggunakan akalnya dan
karunia Tuhan lainnya. Namun, jika manusia tidak lagi akal
dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi
nilainya yakni pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta
panca indera secara baik dan benar, mak ia akan menurunkan
derajatnya sendiri menjadi binatang seperti yang dinyatakan
Allah dalam Al-qur’an :
Artinya:... “dan sesungguh,akan kami isi neraka
jahannambanyak dari kalangan jin dan manusia. mereka (jin
dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk
memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak
dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah),
punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat Allah).
Merekalagi. Mereka itulah orng orang yang lengah.” (Q.S Al-
A’raf:179)
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain
dengan bani Adam (Q.S. Al-Isra’:70), basyar (Q.S. Al-
kahfi:10), Al-Insan (Q.S. Al-Insan:1), An-Nas (Q.S. An-
Nas:1). Berbagai rumusan tentang manusia telah pula
diberikan orang. Salah satu diantaranya, berdasarkan studi
isi Al-Qur’an dan Al-Hadist, berbunyi (setelah disunting)
sebagai berikut: Al-Insan (manusia) adalah makhluk ciptaan
Allah yang memiliki potensi untuk beriman (kepada Allah),
dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan
wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung jawab
atas segala perbuatanya dan berakhlak.
Memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui
segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah
selain keterbatan para ilmuan untuk mengkajinya, juga
dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu
sendiri. Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha
untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak
sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara
sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang
mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang
penciptaan manusia.
II. Pembahasan
A. Asal Usul Manusia
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-
ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud"
(QS. Al Hijr (15) : 28-29)
Diantara sekian banyak penemuan manusia dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedemikian canggih, masih ada
satu permasalahan yang hingga kini belum mampu dijawab dan
dijabarkan oleh manusia secara eksak dan ilmiah. Masalah itu
ialah masalah tentang asal usul kejadian manusia. Banyak
ahli ilmu pengetahuan mendukung teori evolusi yang
mengatakan bahwa makhluk hidup (manusia) berasal dari
makhluk yang mempunyai bentuk maupun kemampuan yang
sederhana kemudian mengalami evolusi dan kemudian menjadi
manusia seperti sekarang ini. Hal ini diperkuat dengan
adanya penemuan-penemuan ilmiah berupa fosil seperti
jenis Pitheccanthropus dan Meghanthropus.
Di lain pihak banyak ahli agama yang menentang adanya proses
evolusi manusia tersebut. Hal ini didasarkan pada berita-
berita dan informasi-informasi yang terdapat pada kitab suci
masing-masing agama yang mengatakan bahwa Adam adalah
manusia pertama. Yang menjadi pertanyaan adalah termasuk
dalam golongan manakah Adam ? Apakah golongan fosil yang
ditemukan tadi atau golongan yang lain ? Lalu bagaimanakah
keterkaitannya ?
Kita sebagai umat yang mengakui dan meyakini rukun iman yang
enam, maka sudah sepantasnya kita mengakui bahwa Al Qur’an
adalah satu-satunya literatur yang paling benar dan bersifat
global bagi ilmu pengetahuan.
"Kitab (Al Qur’an) in tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib....." (QS. Al Baqarah (2) : 2-3)
Dengan memperhatikan ayat tersebut maka kita seharusnya
tidak perlu berkecil hati menghadapi orang-orang yang
menyangkal kebenaran keterangan mengenai asal usul manusia.
Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki unsur utama yang
dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu Iman kepada yang Ghaib. Ini
sebenarnya tampak pula dalam pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh mereka dalam menguraikan masalah tersebut
yaitu selalu diawali dengan kata kemungkinan, diperkirakan,
dsb. Jadi sebenarnya para ilmuwanpun ragu-ragu dengan apa
yang mereka nyatakan.
Tahapan kejadian manusia :
a) Proses Kejadian Manusia Pertama (Adam)
Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Adam
diciptakan oleh Allah dari tanah yang kering kemudian
dibentuk oleh Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya.
Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya
maka dia menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah di
dalam firman-Nya :
"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah
(32) : 7)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)
Disamping itu Allah juga menjelaskan secara rinci tentang
penciptaan manusia pertama itu dalah surat Al Hijr ayat 28
dan 29 . Di dalam sebuah Hadits Rasulullah saw bersabda :
"Sesunguhnya manusia itu berasal dari Adam dan Adam itu
(diciptakan) dari tanah". (HR. Bukhari)
b) Proses Kejadian Manusia Kedua (Siti Hawa)
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan
oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan berpasang-
pasangan. Demikian halnya dengan manusia, Allah berkehendak
menciptakan lawanjenisnya untuk dijadikan kawan hidup
(isteri). Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam salah sati
firman-Nya :
"Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa nyang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS.
Yaasiin (36) : 36)
Adapun proses kejadian manusia kedua ini oleh Allah
dijelaskan di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu :
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang sangat
banyak..." (QS. An Nisaa’ (4) : 1)
Di dalam salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dijelaskan :
"Maka sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang
rusuk Adam" (HR. Bukhari-Muslim)
Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka
secara tak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan
melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali
tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam
bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah
keturunan yang akan meneruskan generasinya.
c) Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan
Hawa)
Di dalam Al Qur’an proses kejadian manusia secara biologis
dejelaskan secara terperinci melalui firman-Nya :
Kejadian manusia ketiga adalah kejadian semua
keturunan Adam dan Hawa kecuali Nabi Isa a.s. Dalam proses
ini disamping dapat ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits
dapat pula ditinjau secara medis.
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari
suatu saripati (berasal) darki tanah. Kemudian Kami jadikan
saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian
Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Sucilah Allah , Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al
Mu’minuun (23) : 12-14)
.
Kemudian dalam salah satu hadits Rasulullah SAW bersabda :
"Telah bersabda Rasulullah SAW dan dialah yang benar dan
dibenarkan. Sesungguhnya seorang diantara kamu
dikumpulkannya pembentukannya (kejadiannya) dalam rahim
ibunya (embrio) selama empat puluh hari. Kemudian selama itu
pula (empat puluh hari) dijadikan segumpal darah. Kemudian
selama itu pula (empat puluh hari) dijadikan sepotong
daging. Kemudian diutuslah beberapa malaikat untuk meniupkan
ruh kepadanya (untuk menuliskan/menetapkan) empat kalimat
(macam) : rezekinya, ajal (umurnya), amalnya, dan buruk baik
(nasibnya)." (HR. Bukhari-Muslim)
Ungkapan ilmiah dari Al Qur’an dan Hadits 15 abad silam
telah menjadi bahan penelitian bagi para ahli biologi untuk
memperdalam ilmu tentang organ-organ jasad manusia.
Selanjutnya yang dimaksud di dalam Al Qur’an dengan
"saripati berasal dari tanah" sebagai substansi dasar
kehidupan manusia adalah protein, sari-sari makanan yang
kita makan yang semua berasal dan hidup dari tanah. Yang
kemudian melalui proses metabolisme yang ada di dalam tubuh
diantaranya menghasilkan hormon (sperma), kemudian hasil
dari pernikahan (hubungan seksual), maka terjadilah
pembauran antara sperma (lelaki) dan ovum (sel telur wanita)
di dalam rahim. Kemudian berproses hingga mewujudkan bentuk
manusia yang sempurna (seperti dijelaskan dalam ayat
diatas).
Para ahli dari barat baru menemukan masalah pertumbuhan
embrio secara bertahap pada tahun 1940 dan baru dibuktikan
pada tahun 1955, tetapi dalam Al Qur’an dan Hadits yang
diturunkan 15 abad lalu hal ini sudah tercantum. Ini sangat
mengagumkan bagi salah seorang embriolog terkemuka dari
Amerika yaitu Prof. Dr. Keith Moore, beliau
mengatakan : "Saya takjub pada keakuratan ilmiyah pernyataan
Al Qur’an yang diturunkan pada abad ke-7 M itu". Selain iti
beliau juga mengatakan, "Dari ungkapan Al Qur’an dan hadits
banyak mengilhami para scientist (ilmuwan) sekarang untuk
mengetahui perkembangan hidup manusia yang diawali dengan
sel tunggal (zygote) yang terbentuk ketika ovum (sel kelamin
betina) dibuahi oleh sperma (sel kelamin jantan). Kesemuanya
itu belum diketahui oleh Spalanzani sampai dengan
eksperimennya pada abad ke-18, demikian pula ide tentang
perkembangan yang dihasilkan dari perencanaan genetik dari
kromosom zygote belum ditemukan sampai akhir abad ke-19.
Tetapi jauh ebelumsnya Al Qur’an telah menegaskan dari
nutfah Dia (Allah) menciptakannya dan kemudian (hadits
menjelaskan bahwa Allah) menentukan sifat-sifat dan
nasibnya."
Sebagai bukti yang konkrit di dalam penelitian ilmu genetika
(janin) bahwa selama embriyo berada di dalam kandungan ada
tiga selubung yang menutupinya yaitu dinding abdomen (perut)
ibu, dinding uterus (rahim), dan lapisan tipis amichirionic
(kegelapan di dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan
kegelapan dalam selaput yang menutup/membungkus anak dalam
rahim). Hal ini ternyata sangat cocok dengan apa yang
dijelaskan oleh Allah di dalam Al Qur’an :
"...Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi
kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam perut,
kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang
menutup anak dalam rahim)..." (QS. Az Zumar (39) : 6).
B. Dinamika Perkembangan Manusia
Anak yang baru lahir membawa sifat-sifat keturunan, tapi ia
tak berdaya dan tak mampu, baik secara fisik maupun mental.
Bakat dan mental yang diwariskan orang tuanya merupakan
benih yang perlu dikembangkan. Sebagaimana hadits yang
artinya “ setiap anak itu dilahirkan menurut fitrahnya, maka
hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang
Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi” (HR. Bukhari).
Semua anggota jasmani membutuhkan bimbingan untuk tumbuh.
Demikian juga jiwanya, membutuhkan bimbingan untuk
berkembang sesuai iramanya masing-masing, sehingga suatu
waktu anak bisa membimbing diri sendiri. Anak yang baru
lahir belum mampu menghadapi kehidupan, tapi itu tergantung
lingkungan. Anak tumbuh dan berkembang di lingkungan yang
baik, maka ia akan baik, Demikian juga sebaliknya.
Bakat kurang berperan dalam membentuk pribadi anak, karena
bakat tidak akan tumbuh dan berkembang pada situasi yang tak
sesuai. Bakat akan tumbuh dan berkembang pada situasi yang
sesuai. Bakat atau sifat keturunan dengan interaksi
lingkungan mempengaruhi perkembangan anak. Hal itu senada
dengan pendapat Morgan,3 yang menyatakan bahwa gen mengatur
sifat menurun tertentu yang mengandung satuan informasi
genetika. Sebagai manusia yang berpotensi, maka dalam diri
anak ada suatu daya yang dapat tumbuh dan berkembang di
sepanjang usianya, potensi anak sebagai daya yang tersedia,
sedang pendidikan sebagai alat ampuh untuk mengembangkan
daya itu. Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan
manusia, karena itu mutlak diperlukan. Anak yang baru lahir
pun memerlukan pendidikan, bahkan sejak ia dalam kandungan
ibunya. Pada umumnya sikap dan kepribadian anak ditentukan
oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan, yang
dilalui sejak kecil. Pendidikan merupakan kebutuhan hidup
dan tuntutan kejiwaan. Anak yang baru lahir selalu menuntut
penyempurnaan dirinya, bahkan sejak ia dalam kandungan
ibunya. Anak dalam kandungan ibunya mengalami proses
pematangan diri, baik fisik, mental, dan emosional. Hubungan
batin antara ibu dan anak dalam kandungan terjalin sangat
erat sekali.
Kita ambil contoh tentang konsep jiwa, di mana dari kalangan
psiko-behavoristik, tidak begitu tertarik dengan
membicarakan hakikat jiwa. Mereka bahkan tidak mempedulikan
perbedan jiwa manusia dengan jiwa binatang. Yang terpenting
adalah bagaimana memberi rangsangan atau stimulus pada jiwa
tersebut agar mampu meresponnya dalam bentuk perilaku.
Berbeda dengan Islam yang membicarakan hakikat mental dan
kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses
dedukatif, yang digali dari nash (Al-Quran dan Al-Sunnah)
dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan
belum memasuki wilayah empiris-eksperimental. Di mana aspek-
aspek kejiwaan dalam Islam meliputi al-ruh, al-nafs, al-
kalb, al-dhomir, al-lubb, al-fuad, al-sirr, al-fitrah, dan
sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki
eksistensi, dinamisme, pemikiran Islam. Sebagai satu
organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang
aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada
daya upaya (ikhtiarnya). Jadi Islam mengakui adanya
kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berfikir,
berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam
kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah
SWT. Sebagai akibat dari gagasan tersebut perlu diadakan
reorientasi paradigma atau epistimologi psikologi, yang
meliputi mode of thought dan mode inquiry. Artinya sumber
kajian psikologi yang dijadikan acuan tidak hanya dari
pemikiran rasional dan penelitian empiris eskperi-mental,
melainkan juga bersumber dari wahyu dan pemikiran ilhami.
Oleh karena itu, dalam psikologi Islam tidak hanya sekedar
mengubah perilaku psikologi sesuai dengan tugas-tugas
perkembangan psikologi manusia, tetapi juga berdasarkan
tuntunan dari Allah SWT.
Seperti psikologi modern, psikologi Islam juga membahas
berbagai aspek perkembangan, meliputi aspek perkembangan
fisik, kognitif, emosional, sosial, moral dan lain-lain.
1). Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan
Istilah "proses" perkembangan yang digunakan dalam kajian
ini untuk menunjukkan adanya tahapan, pola, aspek, faktor
yang terlibat dalam perkembangan manusia. Perkembangan
berarti segala perubahan kualitatif dan kuantitatif yang
menyertai pertumbuhan dan proses kematangan manusia.
Pertumbuhan dan kematangan merupakan pengertian umum dari
perkembangan. Definisi tersebut menjelaskan pemahaman
perkembangan dari sisi yang luas, sebagai "proses menyeluruh
ketika individu beradaptasi dengan lingkungan." Adapun ruang
lingkup definisi ini mencakup rentang kehidupan manusia
diantaranya mencakup perkembangan prakelahiran, bayi, anak-
anak, remaja, orang dewasa dan usia lanjut, serta kehidupan
pascakematian. Menurut Salisu Shehu, pertumbuhan dan
perkembangan merupakan proses yang gradual, memiliki pola
tertentu, merupakan proses kumulatif dan simultan, melampaui
keberadaan fenomenal duniawi, dan melewati periode kritis
dan sensitif tertentu.
(1). Pertumbuhan dan Perkembangan Merupakan Proses yang
Bertahap
Allah menciptakan manusia dari berbagai tahap progresif
pertumbuhan dan perkembangan. Dengan kata lain, kehidupan
manusia memiliki pola dalam tahapan-tahapan tertentu
termasuk tahapan dari pembuahan sampai kematian. Tahapan
yang terjadi yang dilewati manusia dalam pertumbuhan dan
perkembangannya terjadi bukan karena faktor peluang atau
kebetulan, namun ini merupakan sesuatu yang dirancang,
ditentukan dan ditetapkan langsung oleh Allah swt,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Furqaan ayat 2 di
bawah ini:
Artinya: "Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi,
dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya
dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala
sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-
rapinya". (QS. Al-Furqaan ayat2).
Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan dari segala sesuatu
telah ditentukan dengan cara demikian rupa sehingga setiap
aspek secara porporsional terlengkapi. Dalam pertumbuhan dan
perkembangan manusia tidak terjadi serta merta dalam satu
waktu, namun melalui tahapan yang telah ditentukan ukurannya
yang membuatnya berjalan dalam proses yang berangsur-angsur
atau gradual.
(2). Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia Memiliki
Pola Tertentu
Menurut Al-Qur’an, pertumbuhan dan perkembangan manusia
memiliki pola umum yang dapat diterapkan pada manusia,
meskipun terdapat perbedaan individual. Pola yang terjadi
adalah bahwa setiap individu tumbuh dari keadaan yang lemah
menuju keadaan yang kuat dan kemudian kembali melemah.
Dengan kata lain, pertumbuhan dan perkembangan, sesuai
dengan hukum alam, ada kenaikan dan penurunan. Ketika
seseorang secara berangsur-angsur mencapai puncak
perkembangannya, baik fisik maupun kognitif, dia mulai
menurun berangsur-angsur. Al-Qur’an menyatakan sebagai
berikut:
Artinya:"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan
lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah
itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Mengetahui lagi
Maha Kuasa". (QS. Ar-Rum:54)
Artinya:"Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu;
dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang
paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa". (QS. Al-Nahl:70)
Dengan demikian, terlihat bahwa pola yang disebutkan
dalam ayat ini dapat diterapkan pada semua manusia. Hal ini
mengacu pada tahap pertama penciptaan manusia di dalam rahim
sampai persalinan. Manusia sangat lemah dalam tahap awal
ini, baik secara fisik maupun mental. Lemahnya manusia pada
awal kehidupan ini juga mencakup pada lemahnya keadaan
mental seseorang.
(3). Perkembangan Manusia Merupakan Proses Kumulatif dan
Simultan
Jika setiap ayat Al-Qur’an yang membicarakan perkembangan
manusia dan tahap-tahapnya dibahas secara seksama disintesis
dan dianalisis, akan terlihat bahwa Al-Qur’an menyatakan
postulat perkembangan manusia secara alamiah bersifat
kumulatif. Dengan kata lain, setiap perkembangan baru yang
dicapai atau dialami individu merupakan penambahan dari
perkembangan sebelumnya. Dengan cara ini, perkembangan
meningkatkan satu aspek dengan dasar peningkatan sebelumnya
sampai pencapaian tahap puncak. Al-Qur’an juga mengajarkan
bahwa perkembangan manusia merupakan proses simultan dari
aspek-aspek yang berhubungan. Hal ini berarti, segala aspek
perkembangan fisik mental, sosial, emosional, dan moral
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dengan ungkapan
lain bahwa satu aspek dari perkembangan tidak dapat menunggu
satu aspek lainnya berkembang penuh, ketika memulai
perkembangannya.
(4). Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia: Melampaui
Keberadaan Fenomenal
Duniawi Jika teori psikologi modern hanya mencakup kehidupan
duniawi yang sementara, Al-Qur’an memproyeksikan kehidupan
manusia di atas kehidupan ini. Al-Qur’an mengkaji kehidupan
saat ini sebagai dasar kehidupan lain yang lebih permanen
dan kekal. Manusia akan mengalami transformasi kepada bentuk
kehidupan lain yang pertumbuhan dan perkembangannya bersifat
transendental dan lebih tinggi. Pertumbuhan dan perkembangan
ini, bagaimanapun, dapat berakhir dengan kenikmatan atau
penyiksaan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa berbagai
ayat Al-Qur’an yang mengatakan tahapan-tahapan perkembangan
dikaitkan langsung dengan kehidupan setelah mati.
Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk mempelajari manusia
secara komprehensif, aspek kehidupan sesudah mati harus
disertakan. Hal ini karena ketakutan akan kematian dan apa
yang terjadi di dalamnya merupakan bagian
alamiah dari manusia dan mempengaruhi disposisi dan
perkembangan manusia. Tanpa hal ini, pengetahuan kita
tentang manusia akan bersifat primitif dan parsial.
(5). Pertumbuhan dan Perkembangan Manusia: Melewati Periode
Kritis dan Sensitif Tertentu
Jika beberapa ayat dan hadis Nabi dipelajari lebih seksama,
akan terungkap bahwa Islam memiliki perhatian besar tentang
periode dan fase perkembangan manusia. Periode dan fase
formatif secara esensial sangat penting, karena meletakkan
dasar bagi perkembangan selanjutnya, yang dalam hal ini,
seluruh periode prakelahiran, bayi, anak-anak, dan remaja
dianggap sensitif.
Sensitivitas tahap prakelahiran, misalnya, tradisi Muslim
yang membiasakan diri untuk memberi doa ketika bersenggama.
Hal ini bermakna sebagai doa kepada Allah untuk memohon
perlindungan dari pengaruh setan dan pemberian stimulus
suara. Suara di sini dapat berfungsi sebagai pelindung dari
segala halangan yang dapat menyebabkan retardasi dalam
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan anak.
Setelah kelahiran, Nabi menyuruh umat muslim untuk sensitif
dan hati-hati dalam merawat anak-anak mereka. Namun, periode
lain yang dianggap sangat kritikal dan sensitif adalah
periode remaja. Periode ini merupakan masa transisi dari
anak-anak menuju kedewasaan, yang menandai awal dari
tanggung jawab legal (taklif).
2). Periode dan Tugas-Tugas Perkembangan
Periodesasi dalam psikologi Islam adalah sebagai berikut:
a) Periode pra-konsepsi
Yaitu, periode perkembangan manusia sebelum masa
pembuahan sperma dan ovum.
Tugas-tugas perkembangan periode ini, yang diperankan
orang tua adalah
(1) mencari pasangan hidup yang baik. Pertimbangan baik
buruk mengenai pasangan hidup ditentukan oleh empat
aspek, yaitu kecantikan-keterampilan, kekayaan,
keturunan, dan agama. Keempat aspek ini paling
ditonjolkan oleh Nabi Muhammad adalah aspek agama,
sebab agama akan membawa keberuntungan hidup di dunia
dan akherat
(2) segera menikah secara sah setelah cukup umur dan
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hamil sebelum
menikah akan mengakibatkan efek psikologis negatif pada
perkembangan kehidupan anak, terutama perkembangan
kehidupan keagamaannya
(3) membangun keluarga yang sakinah (damai dan
sejahtera) di atas prinsip cinta-kasih (mawadah) dan
kasih sayang (rahmah) dengan landasan iman dan taqwa
(4) selalu berdoa kepada Allah SWT, agar diberi
keturunan yang baik (durriyah thayyibah).
Meskipun dalam periode ini wujud manusia belum
terbentuk, namun perlu dikemukakan, sebab hal itu yang
berkaitan dengan "bibit" manusia. Pasangan yang ideal
(mukafah), baik dari aspek kecantikan-keterampilan,
kekayaan, keturunan, apalagi agamanya, akan melahirkan
generasi yang berkualitas. Sebaliknya, sosok orang tua
pemabuk, penzina, penjudi, pembunuh akan mewariskan
genetik yang tidak berkualitas.
b) Periode pra-natal
Yaitu, periode perkembangan manusia yang dimulai dari
pembuahan sperma dan ovum sampai masa kelahiran.
Periode ini dibagi menjadi empat fase,
(1) fase nutfah (zigot) yang dimulai sejak pembuahan
sampai usia 40 hari dalam kandungan;
(2) fase ’alaqoh (embrio) selama 40 hari;
(3) fase mudhgah (janin) selama 40 hari; dan
(4) fase peniupan ruh ke dalam janin setelah genap
empat bulan, yang mana janin manusia telah terbentuk
secara baik, kemudian ditentukan hukum-hukum
perkembangannya, seperti masalah-masalah yang berkaitan
dengan perilaku (sifat, karakter, dan bakat), kekayaan,
batas usia, dan bahagia-celakanya. Fase tersebut
menunjukkan bahwa nyawa kehidupan (al-hayat) telah ada
sejak adanya pembuahan, namun ruh baru ditiupkan
setelah usia empat bulan dalam kandungan.
Tugas-tugas perkembangan yang diperankan orang tua adalah
a. Memelihara suasana psikologis yang damai dan tentram,
agar secara psikologis janin dapat berkembang secara
normal. Bayi yang dilahirkan dari keluarga broken home,
akan mewarisi sifat-sifat atau karakter orang tua yang
buruk.
b. Senantiasa meningkatkan ibadah dan meninggalkan
maksiat, terutama bagi ibu, agar janinnya mendapat
sinaran cahaya hidayah dari Allah SWT; dan
c. Berdoa kepada Allah SWT, terutama sebelum 4 bulan dalam
kandungan, sebab masa-masa ini hukum-hukum perkembangan
akan ditetapkan
c) Periode kelahiran sampai meninggal dunia
a. Fase wiladah
Dimulai dari kelahiran sampai kira-kira minggu keempat.
Tugas-tugas perkembangan yang dilakukan oleh orang tua
adalah:
1) Membacakan azan di telinga kanan dan membacakan
iqomah di telinga kiri ketika anak baru dilahirkan. Hal
ini dilakukan, selain mengingatkan bayi akan perjanjian
di alam primordial, juga agar suara pertama kali yang
didengar dan direkam dalam memori bayi tidak lain
hanyalah kalimat-kalimat yang indah (thayyibah), yang
memuat pengagungan dan mengesakan Allah, pengakuan
Muhammad serta ajakan shalat agar menjadi orang yang
beruntung.
2) Memotong aqiqah, dua kambing untuk anak laki-laki
dan seekor kambing untuk anak perempuan. Pemotongan
ini, selain menunjukkan rasa syukur kepada Allah, juga
sebagai lambang atau simbol pengorbanan dan kepedulian
orang tua terhadap kelahiran bayinya, agar anaknya
nanti menjadi anak yang salih dan menuruti keinginan
baik orang tuanya.
3) Memberi nama yang baik, yaitu nama yang secara
psikologis meningkatkan atau berkolerasi dengan
perilaku yang baik.
4) Membiasakan hidup bersih dan suci.
5) Memberi ASI sampai usia dua tahun (QS. Al-Baqarah:
233).
ASI selain memiliki komposisi gizi yang sesuai dengan
kebutuhan bayi, juga menambah keakraban, kehangatan,
dan kasih sayang sang ibu dengan bayinya. Kekurangan
ASI dapat mengakibatkan perilaku negatif, seperti tidak
menuruti perintah orang tuanya, karena secara pskologis
hubungan mereka tidak akrab.
b. Fase kanak-kanak (al-thifl)
Yaitu fase yang dimulai dari usia sebulan sampai usia
sekitar tujuh tahun. Tugas-tugas perkembangannya adalah
sebagai berikut:
1) Pertumbuhan potensi-potensi indera dan psikologis,
seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 78:
Artinya: "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar
kamu bersyukur".(QS.Al-Nahl:78)
2) Mempersiapkan diri anak dengan cara membiasakan dan
melatih hidup yang baik. Seperti dalam berbicara,
makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan, dan
berperilaku. Pembiasaan ini terutama pada aspek-aspek
afektif (al-infi’ali), sebab jika aspek ini tidak
dibiasakan sedini mungkin maka ketika masa dewasanya
akan sulit dilakukan.
3) Pengenalan aspek-aspek doktrinal agama, terutama
yang berkaitan dengan keimanan.
c. Fase tamyiz
Yaitu fase di mana anak mulai membedakan yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah. Fase ini dimulai
usia sekitar tujuh tahun sampai 12 atau 13 tahun.
Tugas-tugas perkembangannya adalah:
1) Perubahan persepsi kongkrit menuju pada persepsi
yang abstrak, misalnya persepsi ide-ide ketuhanan,
alam akherat, dan sebagainya.
2) Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui
institusi sekolah, baik yang berkaitan dengan aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam hal ini
Nabi SAW, artinya: Perintahlah anak-anak kalian
melakukan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan
pukullah ia jika meninggalkannya apabila berusia
sepuluh tahun, dan pisahkan ranjangnya. (HR. Ahmad
Dawud dan Al-Hakim dari Abd Allah ibn Amar).
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa usia tujuh tahun
merupakan usia mulai berkembangnya kesadaran akan
perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, sehingga
Nabi SAW, memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik
shalat kepada anak-anaknya. Ketika usia sepuluh tahun,
tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk,
benar dan salah mendekati sempurna, sehingga Nabi SAW,
memerintahkan kepada orang tua untuk memukul anaknya
yang meninggalkan shalat. Makna "memukul" di sini tidak
berarti bersifat fisik, seperti memukul kepala atau
anggota tubuh lainnya, melainkan bersifat psikis,
seperti menggugah kesadaran, memarahi atau
memperingati.
Fase baligh
Merupakan fase di mana anak telah sampai dewasa. Usia
ini anak telah memiliki kesadaran penuh akan dirinya,
sehingga ia diberi beban tanggung jawab (taklif),
terutama tanggung jawab agama dan sosial. Menurut
Ikhwan al-Shafa, periode ini disebut dengan alam al-
ardh al-stani (alam petunjuk kedua), di mana manusia
dituntut untuk meengaktualisasikan perjanjian yang
pernah disepakati pada alam al-ardh awal (alam petunjuk
pertama), yakni di alam arwah. Sedangkan menurut Al-
ghazali menyebutnya dengan fase ’aqil, fase di mana
tingkah intelektual seseorang dalam kondisi puncaknya,
sehingga ia mampu membedakan perilaku yang benar dan
salah, baik atau buruk. Kondisi ’aqil menjadi salah
satu syarat wajib bagi seseorang untuk menerima satu
beban agama, sementara kondisi gila (junun) menjadi
penghalang bagi penerimaan kewajiban agama.
Penentuan fase ini agak sulit, sebab kriterianya boleh
jadi berdasarkan pertumbuhan biologis atau tingkat
kematangan psikologis. Para psikolog, menentukan bahwa
fase ini ditandai dengan kemampuan seseorang dalam
memahami suatu beban taklif, baik menyangkut dasar-
dasar kewajiban, jenis-jenis kewajiban, dan prosedur
atau cara pelaksanaannya. Kemampuan “memahami”
menunjukkan adanya kematangan akal pikiran, yang mana
hal itu menandakan kesadaran seseorang dalam
berperilaku, sehingga ia pantas diberi taklif.
Sementara dari kalangan biolog, penentuan fase ini
dimulai sejak adanya (al-ihtilam) atau menstruasi (al-
haidh) pertama kali bagi perempuan (menarche). Kedua
gejala biologis ini menunjukkan tingkat kematangan atau
kedewasaan seseorang dan ia pantas menerima beban
kewajiban. Seperti dalam firman Allah:
Artinya : Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa
yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut
yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi
(tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (Q.S. An-
nisaa:6)
Karena itulah maka fase ini diperkirakan dimulai antara
usia 12-15 tahun.
Tugas-tugas perkembangannya adalah sebagai berikut:
1) Memahami segala titah (al-khitbah) Allah SWT, dengan
memper dalam ilmu pengetahuan.
2) Menginternalisasikan keimanan dan pengetahuannya
dalam tingkah laku nyata, baik yang berhubungan
dengan diri sendiri, keluarga, komunitas sosial, alam
semesta, maupun pada Tuhan.
3) Memiliki kesediaan untuk mempertanggung jawabkan apa
yang diperbuat, sebab pada fase ini, seseorang telah
memiliki kesadaran dan kebebasan penuh terhadap apa
yang dilakukan. Segala tindakannya memiliki implikasi
baik buruk yang di akherat akan mendapatkan balasannya.
4) Membentengi diri dari segala perbuatan maksiat dan
mengisi diri dengan perbuatan baik, sebab masa puber
merupakan masa di mana dorongan erotis mulai tumbuh dan
berkembang dengan pesat. Oleh karena itu, Nabi SAW
memberikan penghargaan yang besar bagi pemuda yang
tumbuh dalam peribadatan kepada Allah.
5) Menikah jika telah memiliki kemampuan, baik
kemampuan fisik maupun psikis.
6) Membina keluarga yang sakinah, yaitu keluarga dalam
menempuh bahtera kehidupan selalu dalam keadaan
cinta(mawadah) dan kasih sayang (rahmah) dengan
landasan keimanan dan ketakwaan.7) Mendidik anak-
anaknya dengan pendidikan yang bermanfaat bagi diri
sendiri, keluarga, sosial dan agama. Anak merupakan
amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan dan
sekaligus sebagai investasi non-material untuk
kehidupan di akherat kelak.
d. Fase kearifan dan bijaksana
Yaitu fase di mana seseorang telah memiliki tingkat
kesadaran dan kecerdasan emosional, moral, spiritual
dan agama secara mendalam. Al-Ghazali menyebut fase ini
dengan fase auliya’ wa anbiya’, yaitu fase di mana
perilaku manusia dituntut seperti perilaku yang
diperankan oleh kekasih dan Nabi Allah. Fase ini
dimulai usia 40 tahun sampai meninggal dunia.
Tugas-tugas perkembangannya adalah sebagai berikut:
1) Transinternalisasi sifat-sifat rasul yang agung,
sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rosul pada
usia 40 tahun. Sifat-sifat yang dimaksud adalah jujur
(shidiq), dapat dipercaya dan bertanggung jawab
(amanah), menyampaikan kebenaran (tabligh), dan
memiliki kecerdasan spiritual (fathanah).
2) Meningkatkan kesadaran akan peran sosial dengan
niatan amal shalih.
3) Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan (taqarub)
kepada Allah SWT, melalui perluasan diri dengan
mengamalkan ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat malam,
puasa sunnah, berzikir atau wirid.
4) Mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin, sebab
usia-usia seperti ini mendekati masa-masa kematian.
Seseorang akan menyesali diri jika dalam hidupnya,
terutama di usia senja, tidak melakukan suatu aktivitas
yang bermanfaat bagi orang lain atau bagi Tuhannya,
sebab jika batas kematian telah tiba maka tidak akan
dapat ditunda sedetikpun.
Fase ini, seseorang terkadang tidak mampu
mengaktualisasikan potensinya, bahkan kesadarannya
menurun atau bahkan menghilang. Kondisi ini karena
menuanya syaraf-syaraf atau organ tubuh lainnya,
sehingga menjadikan kepikunan (al-baram). Karena
demikian kondisi kesadarannya sehingga ia terbebas dari
segala tuntutan agama.
e. Fase kematian
Yaitu fase di mana nyawa telah hilang dari jasad
manusia. Hilangnya nyawa menunjukkan pisahnya ruh dan
jasad manusia, yang merupakan akhir dari kehidupan
dunia. Kematian terjadi ada yang dikarenakan batas
kehidupan (ajal) telah tiba, sehingga tanpa sebab apa
pun jika ajal ini telah tiba maka manusia mengalami
kematian, ada pula karena organ-organ kehidupan fisik
yang vital terjadi kerusakan atau terputus, seperti
karena penyakit, dibunuh, bunuh diri, dan sebagainya.
Tugas-tugas perkembangan pada fase ini adalah:
1) Memberikan wasiat kepada keluarga jika terdapat
masalah yang perlu diselesaikan, seperti wasiat tentang
pengembalian hutang, mewakafkan sebagian hartanya untuk
keperluan agama, dan sebagainya.
2) Tidak mengingat apapun kecuali berzikir kepada Allah
SWT.
3) Mendengarkan seksama talqin yang dibacakan oleh
keluarganya kemudian menirukannya.
4) Bagi orang yang hidup maka diwajibkan untuk
memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan
menguburkannya
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Perkembangan kehidupan manusia bukanlah diprogram
secara deterministik, seperti robot, mesin atau
otomatis. Manusia secara fitri memiliki kebebasan dan
kemerdekaan dalam mengaktualisasikan potensinya. Ia
berhak memiliki dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Herediter dalam Perkembangan Sebagaimana yang
diisyaratkan dalam hadits Nabi bahwa pemilihan jodoh
itu harus dilihat dari empat segi, yaitu harta,
keturunan, kecantikan dan agama. Nabi kemudian
menganjurkan untuk memilih agamanya agar kelak rumah
tangganya menjadi bahagia dan selamat. Hadits ini
menunjukkan pentingnya faktor hereditas dalam
perkembangan anak, sehingga jauh-jauh sebelumnya ia
telah memilih garis keturunan yang baik, agar anaknya
nanti memiliki bawaan yang baik pula.
Di dalam Al-Qur’an banyak ditemukan sosok yang memiliki
perkembangan kehidupan yang salih di mana perkembangan
itu dipengaruhi oleh faktor keturunan orang tua. Islam
menganjurkan kepada umatnya agar setiap memiliki
keturunan yang berkepribadian tangguh, baik, dan ahli
beribadah, bukan keturunan yang lemah. Perlu dicatat
bahwa di dalam kebaikan garis keturunan itu juga ada
yang menurunkan keturunan yang buruk, jahat, dan zalim
(QS. Al-Shaffat: 113).
b. Pengaruh Lingkungan dalam Perkembangan
Bukti yang terkenal berkaitan dengan pengaruh
lingkungan dalam perkembangan adalah hadis di mana
Rasulullah Saw, mengatakan bagaimana orang tua
mempengaruhi agama, moral, dan psikologi umum dari
sosialisasi dan perkembangan anak-anak mereka. Hadis
ini merupakan bukti tekstual yang paling terkenal dari
pengaruh lingkungan terhadap seseorang. Yang artinya:
“Tiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah (suci
membawa disposisi Islam). Orang tuanyalah yang membuat
ia Yahudi (jika mereka Yahudi), Nasrani (jika mereka
Nasrani), atau Majusi (jika mereka Majusi)”. (HR.
Muslim)
Dalam Hadis lain, Nabi Muhammad Saw, menunjukkan
bagaimana teman dapat mempengaruhi seluruh perilaku,
karakter dan perbuatan seseorang. Dengan memberikan
perumpamaan, Nabi Muhammad Saw, bersabda yang artinya
“Persamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti
pedagang minyak kesturi dan peniup api tukang besi. Si
pedagang minyak kesturi mungkin akan memberinya padamu,
atau engkau membeli kepadanya, atau setidaknya engkau
dapat memperoleh bau yang harum darinya, tapi si peniup
api tukang besi mungkin akan membuat pakaianmu
terbakar, atau kamu akan mendapatkan bau tidak sedap
daripadanya”. (HR Bukhari).
Nabi Muhammad Saw mengingatkan kepada kita bagaimana
persahabatan yang baik dapat mempengaruhi karakter
seseorang menjadi baik dan bagaimana teman yang jahat
dapat membuat orang melakukan hal yang buruk. Dengan
demikian, lingkungan dapat mempengaruhi keseluruhan
perkembangan psikologis seseorang, termasuk
perkembangan kognitif.
c. Pengaruh ketentuan Allah dalam Perkembangan
Bukti yang subtansial yang memperlihatkan bahwa
herediter dan lingkungan semata-mata tidak dengan
sendirinya menentukan pola perkembangan individu, ada
hal yang lebih utama dari persoalan tersebut, yaitu
segalanya tergantung kehendak Allah. Sebagaimana firman
Allah yang berarti “jadilah! Maka terjadilah ia”
Contohnya adalah riwayat Nabi Isa As Ibn Maryam. Allah
membuatnya dapat berbicara dalam buaiannya. Sebagaimana
kita ketahui, perkembangan bahasa merupakan bagian
integral dari perkembangan kognitif. Dalam situasi
normal, anak mulai berbicara pada usia dua tahun
sepatah dua patah kata, dan sejalan dengan hal itu
mereka mulai mengembangkan perbendaharaan bahasa.
Kenyataan bahwa Nabi Isa As dapat berbicara pada masa
buaian menunjukkan kenkuatan Allah. Hal ini bukan
faktor herediter, juga bukan produk stimulasi
intelektual dari lingkungan. Hal tersebut lebih
merupakan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan.
Kekuatan-Nya yang tidak terbatas, kehendak-Nya dan
kemampuan-Nya untuk melakukan segala sesuatu.
Meskipun herediter dan lingkungan merupakan faktor yang
tidak dapat diragukan sebagai faktor yang mempengaruhi
perkembangan manusia, ada faktor yang lebih signifikan
dan dominan. Faktor ini adalah kehendak dan kekuatan
Allah yang tidak terbatas. Faktor inilah yang memantau
dan menjaga besarnya kekuatan alam dan pengasuhan
(nature-nurtune forces) yang mempengaruhi kehidupan dan
perkembangan manusia. Hal ini dapat diterapkan pada
semua aspek perkembangan.
Peran kehendak Allah dalam menentukan perkembangan
individual seperti yang dinyatakan dalam pendekatan
Islam akan membantu memahami proses perkembangan yang
lebih baik dari pendekatan psikologi Barat dalam
berbagai cara. Perlu disadari, bahwa tidak semua
konstruk dan kecenderungan psikologi dapat secara ketat
dipengaruhi pengaruh herediter dan lingkungan. Karena
bagaimanapun individu kadang-kadang menunjukkan
kecenderungan tertentu yang jelas menyimpang dari
penjelasan pengaruh herediter dan lingkungan. Kasus
kemampuan bicara Nabi Isa As dan lain-lain dalam buaian
merupakan kesaksian terhadap hal ini. Dalam hal ini,
jika tidak diatribusikan kepada kehendak Allah, hanya
kebohongan yang merupakan penjelasan fakta ini.
III. Kesimpulan
Jika kebanyakan dari dari kalangan psiko-behavoristik, tidak
begitu tertarik dengan membicarakan hakikat jiwa. Mereka
bahkan tidak mempedulikan perbedan jiwa manusia dengan jiwa
binatang. Yang terpenting adalah bagaimana memberi
rangsangan atau stimulus pada jiwa tersebut agar mampu
meresponnya dalam bentuk perilaku. Maka hal ini berbeda
dengan Islam yang membicarakan hakikat mental dan
kehidupannya. Sumber data yang digunakan berasal dari proses
dedukatif, yang digali dari nash (Al-Quran dan Al-Sunnah)
dan hasil pemikiran para filosof atau sufi abad klasik, dan
belum memasuki wilayah empiris-eksperimental.
Dari bab yang telah kami paparkan ini kami dapat mengambil
kesimpulan bahwa seperti halnya pada psikologi modern,
psikologi Islam juga membahas berbagai aspek perkembangan
manusia yang meliputi aspek perkembangan fisik, kognitif,
emosional, sosial, moral dan lain-lain. Yang tak kalah
hebatnya, bakan hal ini telah lama tertulis dalam Al-Quran,
sebelum banyak para ilmuan mengkajinya.