Peran Perempuan Dalam Pendidikan Islam

37
1 PERAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMI A. Pendahuluan Jika diperhatikan secara seksama, ada fenomena menarik yang muncul jelang pemilu legislatif tahun 2014 mendatang, yaitu lebih banyaknya baliho atau spanduk calon-calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi atau kabupaten/kota yang bertebaran baik di desa-desa maupun di perkotaan. Realitas semakin banyaknya calon anggota legislatif dari perempuan ini memunculkan pertanyaan : apakah ini menandakan semakin baik dan meningkatnya taraf pendidikan perempuan di Indonesia? Jawabannya bisa ya bisa pula tidak. Seorang perempuan yang hendak mencalonkan diri menjadi anggota legislatif tentu meniscayakan persyaratan berpendidikan yang cukup tinggi. Tetapi

Transcript of Peran Perempuan Dalam Pendidikan Islam

1

PERAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMI

A. Pendahuluan

Jika diperhatikan secara seksama, ada fenomena

menarik yang muncul jelang pemilu legislatif tahun 2014

mendatang, yaitu lebih banyaknya baliho atau spanduk

calon-calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) pusat maupun Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) provinsi atau kabupaten/kota yang

bertebaran baik di desa-desa maupun di perkotaan.

Realitas semakin banyaknya calon anggota legislatif

dari perempuan ini memunculkan pertanyaan : apakah ini

menandakan semakin baik dan meningkatnya taraf

pendidikan perempuan di Indonesia? Jawabannya bisa ya

bisa pula tidak.

Seorang perempuan yang hendak mencalonkan diri

menjadi anggota legislatif tentu meniscayakan

persyaratan berpendidikan yang cukup tinggi. Tetapi

2

mengukur peningkatan pendidikan perempuan dari sudut

ini sangatlah simplistis apalagi jika dikaitkan dengan

upaya kejar target yang dilakukan oleh partai-partai

peserta pemilu yang diwajibkan memenuhi kuota 30 %

keterwakilan perempuan di parlemen sesuai Undang-undang

No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-

undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik,

meskipun dua undang-undang ini oleh beberapa kalangan

masih dikritik karena bersifat diskriminatif dan

bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 27. Dalam

pasal itu disebutkan, segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya.

Ditambah lagi jika memperhatikan beberapa data

yang mengungkap tingkat pendidikan perempuan di

Indonesia, antara lain :

Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak, terdapat 25% penduduk perempuan

berusia 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah,

3

sedangkan 18 dari 100 orang laki-laik berumur di atas

15 tahun tidak memiliki ijazah.1 Dan penduduk buta

aksara di Indonesia usia di atas 15 tahun sebanyak 6,7

juta. Sebesar 60 persen dari jumlah tersebut adalah

perempuan.2

Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011

menyebutkan, perempuan Indonesia memiliki kecenderungan

tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Pada tahun yang sama, data BPS menyebut, angka

partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90 persen

lebih, APM perempuan jenjang SMP 69 persen lebih.

Sedang APM perempuan jenjang SMU 48 persen lebih.

Selain itu, angka perempuan yang melek huruf pun jauh

lebih rendah dibanding lelaki, 90 persen untuk

perempuan, sedangkan lelaki mencapai 95,59 persen.3

Fakta dan data tersebut di atas jelas masih

menggambarkan problem dan ironi tentang pendidikan

perempuan di Indonesia yang di tahun 2013 ini menurut

1 http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-20132 http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-20133 http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013

4

BPS data penduduk perempuan adalah sebanyak 118.010.413

orang atau 49,66 persen dari total jumlah penduduk

sebesar 237.641.326.4

Data tentang realitas pendidikan perempuan di Indonesia

di atas hanyalah sedikit gambaran tentang masih adanya

ketimpangan (bias) gender yang dialami kaum perempuan. Ada

banyak faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami

bias (ketimpangan) gender, sehingga mereka belum

setara. Pertama, budaya patriarkhi yang sedemikian lama

mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik,

yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan.

Ketiga, faktor ekonomi dimana sistem kapitalisme global

yang melanda dunia, seringkali justru mengeksploitasi

kaum perempuan. Keempat, faktor interpretasi teks-teks

agama yang bias gender.5

Dalam makalah ini penulis mencoba untuk

mendeskripsikan peran perempuan dalam pendidikan

Islami. Beberapa sub pokok bahasan yang akan penulis

4 http://www.tempo.co. tanggal 26-04-20135 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2008), h. 15

5

jelaskan adalah tentang makna peran perempuan,

pentingnya partisipasi perempuan dalam pendidikan,

gerakan gender equality dan dampaknya bagi pendidikan

generasi penerus bangsa dan konsep gender equality

dalam al-qur'an.

B. Makna Peran Perempuan

Membicarakan peran perempuan tak bisa lepas dari

pembicaraan tentang hak-hak perempuan yang dimilikinya.

Quraish Shihab menjelaskan, setidaknya ada tiga hak

yang dimiliki oleh perempuan yaitu : 1) Hak dalam

bidang politik, 2). Hak dalam memilih pekerjaan, dan

3). Hak dalam belajar.6

Dalam bidang politik hak perempuan dilegitimasi oleh

al-Qur’an. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, salah

satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir

Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum

perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah

ayat 71:

6 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, http://media.isnet.org

6

Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian

mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruhuntuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar,mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepadaAllah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai

gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama

antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang

kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh

mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar. Kata

awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama,

bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang

dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf"

mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan,

termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa.

Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Perempuan

hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar

7

masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran

(nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.7

Dalam catatan sejarah kenabian sendiri ada

sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-

peran ini (politik) bersama kaum laki-laki. Khadijah,

Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain,

Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit).

Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema

sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-

kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis.

Partisipasi perempuan juga muncul dalam

sejumlah“baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan

loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat

nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al

Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama

laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan

penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga

pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas

7 Ibid

8

dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di

Madinah.8

Terkait hak dalam memilih pekerjaan, Kalau kita

kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan

pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika

dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam

berbagai aktivitas. Para perempuan boleh bekerja dalam

berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya,

baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan

lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan

tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan,

serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta

dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari

pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut

pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai

hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut

8 Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikel dalamhttp://www.islamlib.com

9

membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan

pekerjaan tersebut"9

Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang

dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum perempuan,

mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki

jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh

sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum

perempuan, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah

Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat

dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan

tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan

perempuan sebagai hakim.10

Kemudian tentang hak perempuan dalam belajar,

sebagaimana dijelaskan pula oleh Quraish Shihab11,

bahwa terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw.

yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik

kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun

9 Quraish, Membumikan….10 Ibid11 Ibid

10

perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah

membaca atau belajar.

“Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan...

Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk

menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut

untuk belajar. Para perempuan di zaman Nabi saw.

menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon

kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu

tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut

ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan

oleh Nabi saw.

Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang

berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan

bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan

mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam

raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan.

Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada

kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini

11

terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab

yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan

tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:

.…

Artinya : “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan merekadengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakanamal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelakimaupun perempuan..." (QS 3:195).

Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,

mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka

hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka

ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam

raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu,

sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan

bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan

keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.

C. Pentingnya Partisipasi Perempuan Dalam Pendidikan

Salah satu hak kemanusiaan adalah menuntut ilmu.

12

Demikian juga perempuan bebas dalam menuntut ilmu.12

Lebih jelas, Ibrahim Amini mengungkapkan bahwa apabila

perempuan tidak bersuami, maka dia bisa mencari ilmu

dan tidak seorangpun yang mencegahnya untuk belajar.

Namun apabila ia menikah untuk melanjutkan pendidikan,

dia harus bermusyawarah dan saling memahami dengan

suaminya.13

Dalam konteks pendidikan Islam Pentingnya

pendidikan bagi perempuan tidak terlepas dari perannya

yang sangat sentral dalam pendidikan anak-anaknya

kelak. Artinya, perempuan merupakan figur inti bagi

pendidikan dalam ranah domestik-rumah tangganya. Pendek

kata, perempuan adalah ujung tombak pendidikan

masyarakat dalam mengembangkan budaya, sosial, sastra,

politik hingga agama.

Apabila kita kaji kembali sejarah Islam baik di

bidang politik, pertahanan negara, irfan, dan ilmu

hadits, maka kita akan melihat banyak perempuan teladan

12 Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007. Hal. 15

13 Ibid. Hal. 15

13

yang memiliki andil besar dalam perjuangan dan dakwah

Islam.14

Di zaman Rasulullah saw., seorang perempuan

bernama Khansa’ dikenal dengan andilnya yang cukup

besar dalam mendidik anak-anaknya, dengan memotivasi

dan mempersiapkan mental mereka, dan mengirim mereka ke

medan perang. Khansa’ merupakan penyair terkemuka pada

masa Jahiliyyah hingga ia memeluk Islam dan menjadi

perempuan penyair terkenal.

Banyak perempuan lain dalam Islam yang memiliki

peran strategis dalam melakukan transformasi sosial di

lingkungannya. Lemahnya pendidikan bagi perempuan akan

berpengaruh besar pada lemahnya umat Islam baik dari

segi budaya, politik, hukum dan sebagainya.

Peran perempuan yang demikian besar itu telah

dicatat oleh sejarah. Dimana peran pendidikan itulah

yang menjadi kekuatan besar dalam mengembangkan

peradaban umat. Dengan ini bisa dikatakan bahwa

emansipasi sudah berjalan dalam Islam sejak lama.14 Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan Ilahi.

Jakarta:Lentera.2005. Hal. 352

14

Di Indonesia sendiri, fakta yang menunjukkan

pendidikan agama bagi perempuan Indonesia sudah dimulai

sejak 1920-an. Bahkan, fenomena perempuan yang

berpartisipasi dalam budaya tinggi Islam, seperti

pembacaan Al-Quran, menjadi pegawai pemerintah,

pendidikan kegamaan tampak lebih nyata di Indonesia

ketimbang di Mesir”.15 Fenomena tersebut bertahan

hingga kini bahkan terus berkembang. Perempuan di

Indonesia secara positif berkompetisi dalam pembangunan

kebudayaan, pendidikan dan sosial dalam masyarakat

Islam.

Lebih-lebih, perempuan saat ini tingkat pendidikan

dan kesadaran terhadap pendidikannya terus meningkat.

Situasi ini memungkinkan perempuan berperan lebih besar

dalam membangun dan mengembangkan peradaban umat Islam

bahkan global.

Namun ada hal yang paradoxical dalam pembicaraan

mengenai pendidikan dan perempuan. Di satu sisi, peran

pendidik sering diidentikkan dengan perempuan,15 Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung: Mizan.

1999. Hal. 36

15

sementara di sisi lain akses kaum perempuan ke dunia

pendidikan masih merupakan masalah besar.

Pengajar atau guru sering diidentikkan dengan

perempuan, karena pekerjaan ini lebih mengutamakan

kesabaran, ketelatenan dan kepedulian. Hal-hal tersebut

identik dengan sikap feminine yang dimiliki oleh kaum

perempuan. Oleh karena itu, dalam tulisan-tulisan

klasik berbahasa Inggris, kata ganti untuk guru

seringkali digunakan kata ganti untuk orang ketiga

perempuan (she). Bahkan dalam Islam juga diajarkan bahwa

sekolah pertama bagi anak-anak adalah ibunya

(perempuan). Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan

dalam dunia pendidikan sesungguhnya sudah berlangsung

sejak sangat lama.16

Peran perempuan sebagai pengajar atau guru

ternyata seringkali tidak sebanding dengan tingkat

partisipasi perempuan sebagai peserta didik. Pada

umumnya, akses kaum perempuan untuk memperoleh16 Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah pada forum

diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN SyarifHidayatullah Jakarta, Senin, 18 Desember 2006

16

pendidikan formal, terutama di negara-negara berkembang

belum sebesar kaum laki-laki.

David Archer, sebagaimana dikutip Muhammad Zuhdi,

menyebutkan bahwa salah satu kegagalan yang sangat

serius di dunia pendidikan dalam upaya global mengejar

tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals)

adalah akses kaum perempuan di dunia pendidikan.

Menurut Archer lebih dari 100 juta anak di dunia tidak

memiliki akses ke sekolah, dan 59% dari mereka adalah

anak-anak perempuan. Lebih dari itu lebih dari satu

juta orang dewasa tidak bisa baca-tulis, dan dua

pertiganya adalah perempuan. Banyak persoalan sosial di

berbagai belahan dunia yang dapat dipecahkan atau

dikurangi jika anak-anak memiliki kemampuan baca-tulis

yang memadai.17

Rendahnya akses kaum perempuan ke dunia pendidikan

formal antara lain disebabkan oleh masih berkembangnya

anggapan bahwa laki-laki adalah tulang punggung

17 Ibid

17

keluarga, dan karenanya merekalah yang lebih perlu

memperoleh pendidikan agar kelak mendapat pekerjaan

yang layak. Sementara perempuan tidak memiliki tanggung

jawab sebesar laki-laki dalam hal memperoleh pekerjaan

dan memberikan nafkah kepada keluarga.

D. Gerakan Gender Equality Dan Dampaknya Bagi Pendidikan Generasi Penerus Bangsa

Sekarang ini, kita semua melihat bahwa kehidupan

masyarakat manusia sedang menuju pada tuntutan-tuntutan

demokratisasi, keadilan, dan penegakan hak-hak asasi

manusia. Semua tema ini meniscayakan adanya kesetaraan

manusia. Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap

diinginkan oleh kebuadayaan manusia di segala tempat

dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai

terwujud dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu,

nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi

semua kepentingan wacana-wacana kebudayaan, ekonomi,

hukum dan politik. Dengan begitu, dalam wacana-wacanaa

ini diharapkan tidak akan lagi ada pernyataan-

18

pernyataan yang memberi peluang bagi terciptanya sistem

kehidupan yang diskriminatif, subordinatif,

memarjinalkan manusia, siapapun orangnya dan apapun

jenis kelaminnya, laki-laki ataupun perempuan.18 Nilai-

nilai ideal tentang kesetaraan pun tak terkecuali

menjadi tuntutan dan wacana kritis dalam dunia

pendidikan Islam baru-baru ini.

Jika kita kembali membaca ulang tentang rumusan

tujuan pendidikan Islam antara lain bahwa Pendidikan

Islam bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian

manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan

jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan

indera. Karena itu pendidikan harus mencakup

pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,

intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, bahasa, baik

secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong

semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai

kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak

pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah18 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan

Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007) hlm. 15-16

19

baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat

manusia”.19 Dalam rumusan tujuan pendidikan Islam ini

tidak dijumpai adanya diskriminasi antara laki-laki

ataupun perempuan yang bernotabene makhluk Allah yang

sama-sama sempurna.

Wacana tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan

ini lazim disebut sebagai kesetaraan gender. Dalam

memahami konsep gender, Mansour Fakih membedakannya

antara gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks

lebih condong pada pensifatan atau pembagian dua jenis

kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang melekat,

tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam hal

ini sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau

'kodrat'. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang

melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi

secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan.

Sehingga semua hal yang dapat dipertukarkan antara

19 Rumusan tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan hasilkonferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam diMekkah pada 1977. Lihat Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam :Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III (Jakarta : KencanaPrenada Media Group, 2012) hlm. 64

20

sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari

waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, maupun

berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah

yang disebut dengan gender.20

Wacana gender merupakan isu penting di awal tahun

2000-an. Isu ini jauh-jauh hari telah diprediksi pada

tahun 1990-an oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene,

sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi.. Kedua futurolog

suami istri ini melihat fenomena yang muncul pada abad

ke-20 sebagai titik tolak kebangkitan kaum perempuan.

Bermula dari gerakan feminism, yang mengejar kesetaraan

kaum perempuan dari kaum laki-laki. Kemudian, tuntutan

kaum feminism menuntut kesamaan dalam berbagai bidang

kehidupan manusia antara laki-laki dan perempuan.

Gencarnya gerakan kaum feminis dapat dipahami sebagai

counter atas sikap sosial yang tidak adil atas kaum

perempuan sepanjang masih terdapat adanya ketimpangan

sikap masyarakat terhadap kaum perempuan.21

20 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 8-9

21 Jamali Sahrodi, Gender dalam Perspektif Masaruddin Umar, dalamjurnal Equalita vol. 8 No. 1 juli 2008, Pusat Studi Gender, Cirebon, h.

21

Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa

Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’. 22 Dalam Webster’s

New World Dictionary , Edisi 1984 ‘gender’ diartikan

sebagai ‘perbedaan ya ng tampak antara laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku’ .

Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English

Edisi 1990, kata ‘gender’ diartikan sebagai

‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan

kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara

garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta

ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’.

Secara terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M. Lips

didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap

laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan

‘gender’ sebagai suatu dasar untuk menentukan

perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada

kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai

akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.

10522 Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:

Gramedia), Cet. XII, h. 265

22

Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’

lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan

dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih

menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat

digunakan untuk menjelaskan sesuatu.23

Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan

sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan

laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Allah

dan mana yang merupakan bentukan budaya yang

dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan.

Pembedaan ini sangat penting karena selama ini

seringkali dicampuradukan mana cirri manusia yang

kodrati dan dapat berubah atau diubah, dengan ciri

manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat

berubah atau diubah. Dengan kata lain, masyarakat tidak

membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat)

dan yang mana gender24.

23 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta:Paramadina, 1999), h. 33-34

24 Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : Arfino Raya,2011), hlm. 105

23

Wacana dan gerakan gender berangkat dari realitas

ketertindasan, dan keterpinggiran kaum perempuan dalam

banyak ranah kehidupan antara lain ranah pendidikan.

Padahal, sebagaimana dinyatakan Ramayulis, bahwa

pendidikan perempuan dalam ajaran Islam termasuk

kewajiban agama karena pengetahuan merupakan suatu

kebutuhan bagi manusia. Pendidikan bagi perempuan tidak

terbatas pada pendidikan agama saja tetapi meliputi

juga pendidikan rumah tangga, (cara mendidik dan

membesarkan anak), pendidikan social kemasyarakatan dan

pendidikan intelektual.25

Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat

ditelusuri dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa kesempatan

pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak

membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan

sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan tetap

mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang

bersangkutan (pasal 7). Selanjutnya Undang-undang25 Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2012),

hlm. 409

24

tersebut direspon oleh pemerintah untuk membuat

kebijakan yang megakomodir isu gender dalam pendidikan

berupa Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

Instruksi Presiden tersebut kemudian juga dijabarkan

oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan melahirkan

kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang

menekankan kepada setiap satuan unit kerja bidang

pendidikan yang melakukan perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, dan

program pembangunan bidang pendidikan agar

mengintegrasikan gender di dalamnya.

Meskipun kebijakan nasional di bidang pendidikan

seperti dipaparkan di atas sudah cukup memadai untuk

dijadikan acuan pembangunan pendidikan yang berwawasan

gender, namun dalam realitasnya masih saja terjadi

ketimpangan gender.

25

Sejumlah hasil penelitian mengungkapkan bahwa

kesenjangan gender bukan diakibatkan oleh satu faktor

tunggal, melainkan terdapat sejumlah faktor yang saling

kait mengkait. Setidaknya, dapat disebutkan empat

faktor utama, yakni faktor akses, kontrol, partisipasi

dan benefit. Faktor akses terlihat nyata dalam proses

penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang

cenderung bias laki-laki (bias toward male). Dalam kedua

proses ini harus diakui proporsi laki-laki sangat

dominan. Indikasinya dapat dilihat pada penulis buku-

buku pelajaran dalam berbagai bidang studi yang

mayoritas adalah laki-laki (85%). Selain itu, jumlah

tenaga pengajar lebih didominasi laki-laki. Akibatnya,

proses pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias against

female). Kondisi ini semakin diperburuk oleh kenyataan

bahwa sensitivitas gender masyarakat, baik laki-laki

dan perempuan masih sangat rendah.26

Pendidikan termasuk salah salah satu pranata sosial

yang paling bertanggung jawab melestarikan ketimpangan-26 Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : Membangun Pendidikan

Berkesetaraan (Jurnal Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009)

26

ketimpangan gender. Materi pengajaran agama yang

berkembang juga merupakan salah satu faktor yang

mungkin banyak mempengaruhi budaya patriarkhal. Materi-

materi ini harus dikaji ulang dan disusun kembali agar

ketimpangan-ketimpangan tidak lagi terjadi, dan

keadilan bagi perempuan- yang juga keadilan bagi semua

–akan terwujud.27

Ketimpangan gender dalam pendidikan, antara lain

berwujud kesenjangan memperoleh kesempatan yang

konsisten pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.

Perempuan cenderung memiliki kesempatan pendidikan yang

lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Semakin

tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar kesenjangan-

nya. Kesenjangan ini pada gilirannya membawa kepada

berbedanya rata-rata penghasilan laki-laki dan

perempuan.

E. Konsep Gender Equality dalam al-Qur'an

Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa Al-Qur'an

memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan

27 Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami, hlm. 105

27

keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan

tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi,

selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan

kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti

kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas

sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas

godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20),

sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima

akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun

dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi,

antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka

adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi

mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).28

Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan

kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q.,

s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham

the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis

kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang

28 Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam, http://media.isnet.org

28

mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku

bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk

menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan

s. al-Nahl/16:97).29

Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-

ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki

kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-

Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang

mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s.

al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-

istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti

pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita

mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23),

kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan

pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini

kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami

bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11)

atau menentang pendapat orang banyak (public opinion)

bagi perempuan yang belum kawin (Q., s.29 Ibid

29

al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan

untuk melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai

kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-

Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang

terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q.,

s. al-Nisa'/4:75).30

Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di

dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika

pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki

kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum

laki-laki.

Untuk memilih tipe bagi manusia mukmin, Allah SWT

mencontohkan perempuan-perempuan sebagai teladan.

Sebagaimana tersebut dalam Al-Quran Surat At-Tahrim

ayat 11;

dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketikaia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu[1488] dalamfirdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku

30 Ibid

30

dari kaum yang zhalim.

dan memilih untuk memilih tipe bagi kaum kafir

sebagaimana dalam At-Tahrim ayat 10;

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh diantara hamba-hamba kami; lalu kedua isteri itu berkhianat[1487] kepada suaminya(masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersamaorang-orang yang masuk (jahannam)".

Dari kedua ayat tersebut, perlu dicermati bagaimana

Allah merepresentasikan kedua tipologi manusia yang

berlawanan tersebut kepada sosok perempuan. Ini

menunjukkan bahwa suatu transformasi baik yang bersifat

progresif (maju) atau degradatif (mundur) di berbagai

aspek kehidupan tidak lepas dari peranan kaum

perempuan; artinya peradaban dunia Islam tidak lepas

dari kaum muslimahnya.31

Disamping konsepsi kesetaraan gender yang tergambar

dalam al-Qur`an di atas, begitu pula ada beberapa31 Hj. Masyithoh, Peran Pendidikan Muslimah Dalam Mengembangkan

Kebudayaan, Pendidikan Dan Sosial Dalam Masyarakat Islam,Makalah dalam Seminar, “Islamic World: Women’s Role and Responsibility ofMuslim Women” 17 Des 2011

31

riwayat yang menjelaskan bahwa nabi tidak pernah

membedakan kesempatan untuk menggali pengetahuan

tentang keislaman bagi para sahabatnya baik laki-laki

maupun perempuan. Dalam riwayat lain misalnya, imam

Bukhori pernah menggambarkan bahwa istri nabi Muhammad

Saw yaitu Aisyah binti Abu Bakar ra pernah memuji para

perempuan Anshar yang selalu belajar sebagaimana

penuturannya : “perempuan terbaik adalah mereka yang

dari Anshar, merek tidak pernah malu untuk belajar

agama”. (riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud dan An-

Nasa`i). Bahkan mereka berani menuntut kepada Nabi Saw

ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak

terpenuhi bila dibandingkan dengan kesempatan yang

diberikan kepada sahabat laki-laki.32

Ditegaskan pula oleh Asghar Ali Engineer, bahwa

hak-hak wanita yang telah digariskan di dalam syariat

tidak hanya didasarkan pada teks Al-Qur`an, namun juga

pada sunnah Nabi dan pendapat para fuqaha (hakim).

Seorang hakim Mesir yang sangat terkenal, al- Shaikh32 Lihat tulisan Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang Memihak

Perempuan, dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret 2003, h. 20-24

32

Muhammad al- Khadari, dalam bukunya mengatakan bahwa,

sebagaimana dikutip Asghar, fiqh al- islami (hukum Islam)

didasarkan pada al-Qur’an, apa yang datang dari Rasul

Allah- ucapan dan perbuatannya, serta ara’ al fuqaha

(pendapat para hakim yang dipengaruhi oleh zamannya

masing-masing). Sehingga jelas sekali bahwa syariat itu

juga bercampur dengan pendapat orang yang tidak lepas

dari konteks zaman ketika dia hidup.33

Semuanya semakin menegaskan bahwa al-Qur`an, Sunnah

dan berbagai pendapat para ulama mengandung ajaran yang

tidak menegasikan hak-hak dan peran perempuan dalam

Islam. Kehadiran Islam di muka bumi ini termasuk

membawa misi kesamaan derajat manusia yang tak

memandang jenis kelamin laki-laki maupun perempuan

sebagai pengejawantahan ajaran tauhid sebagai ajaran

utama dalam Islam. Di mata Tuhan yang menentukan

kualitas manusia hanyalah ketakwaan kepada-Nya.

F. Penutup

33 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. AgungPrihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V, h. 236

33

Demikian deskripsi tentang peran perempuan dalam

pendidikan Islami yang menguraikan beberapa sub topik

bahasan seperti tentang makna peran perempuan yang tak

bisa dilepaskan dari hak-hak yang dimiliki perempuan

baik hak dalam bidang politik, memilih pekerjaan maupun

hak dalam belajar (pendidikan).

Tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam

pendidikan juga diulas bagaimana sesungguhnya perempuan

pun memiliki akses yang sama untuk mengaktualisasikan

diri dalam bidang pendidikan sebagai konsekwensi wajar

dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam

kehidupan bersama membangun peradaban manusia yang

harmonis dengan ditegakkannya keadilan, kesetaraan, dan

keharmonisan hubungan sesama manusia.

Dalam konteks pendidikan Islami, konsep-konsep

gender equality sedemikian rupa dielaborasi dan memiliki

landasan konseptual yang kuat karena diterakan dalam

al-Qur`an, hadits Nabi serta sejarah Islam sendiri.

Dengan demikian kesetaraan laki-laki dan perempuan

34

(gender equality) merupakan bagian yang inheren dengan

ajaran Islam itu sendiri. Meskipun oleh beberapa

kalangan ditentang dan ditolak karena dianggap sebagai

konsep dan gerakan dari barat yang berakar dari

feminisme barat yang bertentangan dengan nilai dan

ajaran Islam.

35

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2008)

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V

Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi diTengah Tantangan Millenium III (Jakarta : Kencana PrenadaMedia Group, 2012)

Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang MemihakPerempuan, dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret2003

Hj. Masyithoh, Peran Pendidikan Muslimah DalamMengembangkan Kebudayaan, Pendidikan Dan SosialDalam Masyarakat Islam, Makalah dalam Seminar,“Islamic World: Women’s Role and Responsibility of Muslim Women”17 Des 2011

36

Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agamadan Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007)

Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikeldalam http://www.islamlib.com

Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007

Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : MembangunPendidikan Berkesetaraan (Jurnal

Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : ArfinoRaya, 2011)

Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan Ilahi.Jakarta:Lentera.2005

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an,

http://media.isnet.org

Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)

Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah padaforum diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UINSyarif Hidayatullah Jakarta, Senin, 18 Desember2006

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an.(Jakarta: Paramadina, 1999)

Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam,http://media.isnet.org

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia,2012)

Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung:Mizan. 1999

37

Website

http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-2013

http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-2013

http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013

http://www.tempo.co. tanggal 26-04-2013