1
PERAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAMI
A. Pendahuluan
Jika diperhatikan secara seksama, ada fenomena
menarik yang muncul jelang pemilu legislatif tahun 2014
mendatang, yaitu lebih banyaknya baliho atau spanduk
calon-calon anggota legislatif perempuan untuk Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pusat maupun Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) provinsi atau kabupaten/kota yang
bertebaran baik di desa-desa maupun di perkotaan.
Realitas semakin banyaknya calon anggota legislatif
dari perempuan ini memunculkan pertanyaan : apakah ini
menandakan semakin baik dan meningkatnya taraf
pendidikan perempuan di Indonesia? Jawabannya bisa ya
bisa pula tidak.
Seorang perempuan yang hendak mencalonkan diri
menjadi anggota legislatif tentu meniscayakan
persyaratan berpendidikan yang cukup tinggi. Tetapi
2
mengukur peningkatan pendidikan perempuan dari sudut
ini sangatlah simplistis apalagi jika dikaitkan dengan
upaya kejar target yang dilakukan oleh partai-partai
peserta pemilu yang diwajibkan memenuhi kuota 30 %
keterwakilan perempuan di parlemen sesuai Undang-undang
No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-
undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik,
meskipun dua undang-undang ini oleh beberapa kalangan
masih dikritik karena bersifat diskriminatif dan
bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 27. Dalam
pasal itu disebutkan, segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
Ditambah lagi jika memperhatikan beberapa data
yang mengungkap tingkat pendidikan perempuan di
Indonesia, antara lain :
Dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, terdapat 25% penduduk perempuan
berusia 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah,
3
sedangkan 18 dari 100 orang laki-laik berumur di atas
15 tahun tidak memiliki ijazah.1 Dan penduduk buta
aksara di Indonesia usia di atas 15 tahun sebanyak 6,7
juta. Sebesar 60 persen dari jumlah tersebut adalah
perempuan.2
Kemudian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011
menyebutkan, perempuan Indonesia memiliki kecenderungan
tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Pada tahun yang sama, data BPS menyebut, angka
partisipasi murni (APM) perempuan jenjang SD 90 persen
lebih, APM perempuan jenjang SMP 69 persen lebih.
Sedang APM perempuan jenjang SMU 48 persen lebih.
Selain itu, angka perempuan yang melek huruf pun jauh
lebih rendah dibanding lelaki, 90 persen untuk
perempuan, sedangkan lelaki mencapai 95,59 persen.3
Fakta dan data tersebut di atas jelas masih
menggambarkan problem dan ironi tentang pendidikan
perempuan di Indonesia yang di tahun 2013 ini menurut
1 http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-20132 http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-20133 http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013
4
BPS data penduduk perempuan adalah sebanyak 118.010.413
orang atau 49,66 persen dari total jumlah penduduk
sebesar 237.641.326.4
Data tentang realitas pendidikan perempuan di Indonesia
di atas hanyalah sedikit gambaran tentang masih adanya
ketimpangan (bias) gender yang dialami kaum perempuan. Ada
banyak faktor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami
bias (ketimpangan) gender, sehingga mereka belum
setara. Pertama, budaya patriarkhi yang sedemikian lama
mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik,
yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan.
Ketiga, faktor ekonomi dimana sistem kapitalisme global
yang melanda dunia, seringkali justru mengeksploitasi
kaum perempuan. Keempat, faktor interpretasi teks-teks
agama yang bias gender.5
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk
mendeskripsikan peran perempuan dalam pendidikan
Islami. Beberapa sub pokok bahasan yang akan penulis
4 http://www.tempo.co. tanggal 26-04-20135 Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2008), h. 15
5
jelaskan adalah tentang makna peran perempuan,
pentingnya partisipasi perempuan dalam pendidikan,
gerakan gender equality dan dampaknya bagi pendidikan
generasi penerus bangsa dan konsep gender equality
dalam al-qur'an.
B. Makna Peran Perempuan
Membicarakan peran perempuan tak bisa lepas dari
pembicaraan tentang hak-hak perempuan yang dimilikinya.
Quraish Shihab menjelaskan, setidaknya ada tiga hak
yang dimiliki oleh perempuan yaitu : 1) Hak dalam
bidang politik, 2). Hak dalam memilih pekerjaan, dan
3). Hak dalam belajar.6
Dalam bidang politik hak perempuan dilegitimasi oleh
al-Qur’an. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan, salah
satu ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir
Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum
perempuan adalah yang tertera dalam surah Al-Tawbah
ayat 71:
6 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, http://media.isnet.org
6
Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruhuntuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang munkar,mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepadaAllah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Secara umum, ayat di atas dipahami sebagai
gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama
antarlelaki dan perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh
mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar. Kata
awliya', dalam pengertiannya, mencakup kerja sama,
bantuan dan penguasaan, sedang pengertian yang
dikandung oleh "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf"
mencakup segala segi kebaikan atau perbaikan kehidupan,
termasuk memberi nasihat (kritik) kepada penguasa.
Dengan demikian, setiap lelaki dan perempuan Perempuan
hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar
7
masing-masing mereka mampu melihat dan memberi saran
(nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan.7
Dalam catatan sejarah kenabian sendiri ada
sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-
peran ini (politik) bersama kaum laki-laki. Khadijah,
Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain,
Fathimah (anak), Zainab (cucu) dan Sukainah (cicit).
Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema
sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-
kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis.
Partisipasi perempuan juga muncul dalam
sejumlah“baiat” (perjanjian, kontrak) untuk kesetiaan dan
loyalitas kepada pemerintah. Sejumlah perempuan sahabat
nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al
Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama
laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan
penindasan dan ketidakadilan. Umar bin Khattab juga
pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas
7 Ibid
8
dan terpercaya, untuk jabatan manejer pasar di
Madinah.8
Terkait hak dalam memilih pekerjaan, Kalau kita
kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan
pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam
berbagai aktivitas. Para perempuan boleh bekerja dalam
berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya,
baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan
lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan
tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan,
serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta
dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan yaitu bahwa "perempuan mempunyai
hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
8 Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikel dalamhttp://www.islamlib.com
9
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan
pekerjaan tersebut"9
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum perempuan,
mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki
jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh
sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum
perempuan, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah
Al-'Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat
dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan
perempuan sebagai hakim.10
Kemudian tentang hak perempuan dalam belajar,
sebagaimana dijelaskan pula oleh Quraish Shihab11,
bahwa terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw.
yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik
kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun
9 Quraish, Membumikan….10 Ibid11 Ibid
10
perempuan. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah
membaca atau belajar.
“Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan...
Baik lelaki maupun perempuan diperintahkan untuk
menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut
untuk belajar. Para perempuan di zaman Nabi saw.
menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon
kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu
tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut
ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan
oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang
berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan
bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan
mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam
raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan.
Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada
kaum lelaki saja, tetapi juga kaum perempuan. Hal ini
11
terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab
yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan
tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
.…
Artinya : “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan merekadengan berfirman: "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakanamal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelakimaupun perempuan..." (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka
hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka
ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam
raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu,
sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan
keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
C. Pentingnya Partisipasi Perempuan Dalam Pendidikan
Salah satu hak kemanusiaan adalah menuntut ilmu.
12
Demikian juga perempuan bebas dalam menuntut ilmu.12
Lebih jelas, Ibrahim Amini mengungkapkan bahwa apabila
perempuan tidak bersuami, maka dia bisa mencari ilmu
dan tidak seorangpun yang mencegahnya untuk belajar.
Namun apabila ia menikah untuk melanjutkan pendidikan,
dia harus bermusyawarah dan saling memahami dengan
suaminya.13
Dalam konteks pendidikan Islam Pentingnya
pendidikan bagi perempuan tidak terlepas dari perannya
yang sangat sentral dalam pendidikan anak-anaknya
kelak. Artinya, perempuan merupakan figur inti bagi
pendidikan dalam ranah domestik-rumah tangganya. Pendek
kata, perempuan adalah ujung tombak pendidikan
masyarakat dalam mengembangkan budaya, sosial, sastra,
politik hingga agama.
Apabila kita kaji kembali sejarah Islam baik di
bidang politik, pertahanan negara, irfan, dan ilmu
hadits, maka kita akan melihat banyak perempuan teladan
12 Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007. Hal. 15
13 Ibid. Hal. 15
13
yang memiliki andil besar dalam perjuangan dan dakwah
Islam.14
Di zaman Rasulullah saw., seorang perempuan
bernama Khansa’ dikenal dengan andilnya yang cukup
besar dalam mendidik anak-anaknya, dengan memotivasi
dan mempersiapkan mental mereka, dan mengirim mereka ke
medan perang. Khansa’ merupakan penyair terkemuka pada
masa Jahiliyyah hingga ia memeluk Islam dan menjadi
perempuan penyair terkenal.
Banyak perempuan lain dalam Islam yang memiliki
peran strategis dalam melakukan transformasi sosial di
lingkungannya. Lemahnya pendidikan bagi perempuan akan
berpengaruh besar pada lemahnya umat Islam baik dari
segi budaya, politik, hukum dan sebagainya.
Peran perempuan yang demikian besar itu telah
dicatat oleh sejarah. Dimana peran pendidikan itulah
yang menjadi kekuatan besar dalam mengembangkan
peradaban umat. Dengan ini bisa dikatakan bahwa
emansipasi sudah berjalan dalam Islam sejak lama.14 Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan Ilahi.
Jakarta:Lentera.2005. Hal. 352
14
Di Indonesia sendiri, fakta yang menunjukkan
pendidikan agama bagi perempuan Indonesia sudah dimulai
sejak 1920-an. Bahkan, fenomena perempuan yang
berpartisipasi dalam budaya tinggi Islam, seperti
pembacaan Al-Quran, menjadi pegawai pemerintah,
pendidikan kegamaan tampak lebih nyata di Indonesia
ketimbang di Mesir”.15 Fenomena tersebut bertahan
hingga kini bahkan terus berkembang. Perempuan di
Indonesia secara positif berkompetisi dalam pembangunan
kebudayaan, pendidikan dan sosial dalam masyarakat
Islam.
Lebih-lebih, perempuan saat ini tingkat pendidikan
dan kesadaran terhadap pendidikannya terus meningkat.
Situasi ini memungkinkan perempuan berperan lebih besar
dalam membangun dan mengembangkan peradaban umat Islam
bahkan global.
Namun ada hal yang paradoxical dalam pembicaraan
mengenai pendidikan dan perempuan. Di satu sisi, peran
pendidik sering diidentikkan dengan perempuan,15 Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung: Mizan.
1999. Hal. 36
15
sementara di sisi lain akses kaum perempuan ke dunia
pendidikan masih merupakan masalah besar.
Pengajar atau guru sering diidentikkan dengan
perempuan, karena pekerjaan ini lebih mengutamakan
kesabaran, ketelatenan dan kepedulian. Hal-hal tersebut
identik dengan sikap feminine yang dimiliki oleh kaum
perempuan. Oleh karena itu, dalam tulisan-tulisan
klasik berbahasa Inggris, kata ganti untuk guru
seringkali digunakan kata ganti untuk orang ketiga
perempuan (she). Bahkan dalam Islam juga diajarkan bahwa
sekolah pertama bagi anak-anak adalah ibunya
(perempuan). Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan
dalam dunia pendidikan sesungguhnya sudah berlangsung
sejak sangat lama.16
Peran perempuan sebagai pengajar atau guru
ternyata seringkali tidak sebanding dengan tingkat
partisipasi perempuan sebagai peserta didik. Pada
umumnya, akses kaum perempuan untuk memperoleh16 Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah pada forum
diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN SyarifHidayatullah Jakarta, Senin, 18 Desember 2006
16
pendidikan formal, terutama di negara-negara berkembang
belum sebesar kaum laki-laki.
David Archer, sebagaimana dikutip Muhammad Zuhdi,
menyebutkan bahwa salah satu kegagalan yang sangat
serius di dunia pendidikan dalam upaya global mengejar
tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals)
adalah akses kaum perempuan di dunia pendidikan.
Menurut Archer lebih dari 100 juta anak di dunia tidak
memiliki akses ke sekolah, dan 59% dari mereka adalah
anak-anak perempuan. Lebih dari itu lebih dari satu
juta orang dewasa tidak bisa baca-tulis, dan dua
pertiganya adalah perempuan. Banyak persoalan sosial di
berbagai belahan dunia yang dapat dipecahkan atau
dikurangi jika anak-anak memiliki kemampuan baca-tulis
yang memadai.17
Rendahnya akses kaum perempuan ke dunia pendidikan
formal antara lain disebabkan oleh masih berkembangnya
anggapan bahwa laki-laki adalah tulang punggung
17 Ibid
17
keluarga, dan karenanya merekalah yang lebih perlu
memperoleh pendidikan agar kelak mendapat pekerjaan
yang layak. Sementara perempuan tidak memiliki tanggung
jawab sebesar laki-laki dalam hal memperoleh pekerjaan
dan memberikan nafkah kepada keluarga.
D. Gerakan Gender Equality Dan Dampaknya Bagi Pendidikan Generasi Penerus Bangsa
Sekarang ini, kita semua melihat bahwa kehidupan
masyarakat manusia sedang menuju pada tuntutan-tuntutan
demokratisasi, keadilan, dan penegakan hak-hak asasi
manusia. Semua tema ini meniscayakan adanya kesetaraan
manusia. Dan semua ini merupakan nilai-nilai yang tetap
diinginkan oleh kebuadayaan manusia di segala tempat
dan zaman. Tuhan juga tentu menghendaki semua nilai
terwujud dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu,
nilai-nilai tersebut seharusnya menjadi landasan bagi
semua kepentingan wacana-wacana kebudayaan, ekonomi,
hukum dan politik. Dengan begitu, dalam wacana-wacanaa
ini diharapkan tidak akan lagi ada pernyataan-
18
pernyataan yang memberi peluang bagi terciptanya sistem
kehidupan yang diskriminatif, subordinatif,
memarjinalkan manusia, siapapun orangnya dan apapun
jenis kelaminnya, laki-laki ataupun perempuan.18 Nilai-
nilai ideal tentang kesetaraan pun tak terkecuali
menjadi tuntutan dan wacana kritis dalam dunia
pendidikan Islam baru-baru ini.
Jika kita kembali membaca ulang tentang rumusan
tujuan pendidikan Islam antara lain bahwa Pendidikan
Islam bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan
jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan
indera. Karena itu pendidikan harus mencakup
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,
intelektual, imajinasi, fisik, ilmiah, bahasa, baik
secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong
semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai
kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan muslim terletak
pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah18 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007) hlm. 15-16
19
baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat
manusia”.19 Dalam rumusan tujuan pendidikan Islam ini
tidak dijumpai adanya diskriminasi antara laki-laki
ataupun perempuan yang bernotabene makhluk Allah yang
sama-sama sempurna.
Wacana tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan
ini lazim disebut sebagai kesetaraan gender. Dalam
memahami konsep gender, Mansour Fakih membedakannya
antara gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian seks
lebih condong pada pensifatan atau pembagian dua jenis
kelamin manusia berdasarkan ciri biologis yang melekat,
tidak berubah dan tidak dapat dipertukarkan. Dalam hal
ini sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau
'kodrat'. Sedangkan konsep gender adalah sifat yang
melekat pada laki-laki atau perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan.
Sehingga semua hal yang dapat dipertukarkan antara
19 Rumusan tujuan pendidikan Islam tersebut merupakan hasilkonferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam diMekkah pada 1977. Lihat Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam :Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Millenium III (Jakarta : KencanaPrenada Media Group, 2012) hlm. 64
20
sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari
waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, maupun
berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah
yang disebut dengan gender.20
Wacana gender merupakan isu penting di awal tahun
2000-an. Isu ini jauh-jauh hari telah diprediksi pada
tahun 1990-an oleh John Naisbit dan Patricia Aburdene,
sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi.. Kedua futurolog
suami istri ini melihat fenomena yang muncul pada abad
ke-20 sebagai titik tolak kebangkitan kaum perempuan.
Bermula dari gerakan feminism, yang mengejar kesetaraan
kaum perempuan dari kaum laki-laki. Kemudian, tuntutan
kaum feminism menuntut kesamaan dalam berbagai bidang
kehidupan manusia antara laki-laki dan perempuan.
Gencarnya gerakan kaum feminis dapat dipahami sebagai
counter atas sikap sosial yang tidak adil atas kaum
perempuan sepanjang masih terdapat adanya ketimpangan
sikap masyarakat terhadap kaum perempuan.21
20 Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 8-9
21 Jamali Sahrodi, Gender dalam Perspektif Masaruddin Umar, dalamjurnal Equalita vol. 8 No. 1 juli 2008, Pusat Studi Gender, Cirebon, h.
21
Secara etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa
Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’. 22 Dalam Webster’s
New World Dictionary , Edisi 1984 ‘gender’ diartikan
sebagai ‘perbedaan ya ng tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku’ .
Sementara itu dalam Concise Oxford Dictionary of Current English
Edisi 1990, kata ‘gender’ diartikan sebagai
‘penggolongan gramatikal terhadap kata-kata benda dan
kata-kata lain yang berkaitan dengannya, yang secara
garis besar berhubungan dengan jenis kelamin serta
ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan)’.
Secara terminologis, ‘gender’ oleh Hilary M. Lips
didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. H.T. Wilson mengartikan
‘gender’ sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai
akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
10522 Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia), Cet. XII, h. 265
22
Sementara itu, Elaine Showalter mengartikan ‘gender’
lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial budaya. Ia lebih
menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat
digunakan untuk menjelaskan sesuatu.23
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan
sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan
laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Allah
dan mana yang merupakan bentukan budaya yang
dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan.
Pembedaan ini sangat penting karena selama ini
seringkali dicampuradukan mana cirri manusia yang
kodrati dan dapat berubah atau diubah, dengan ciri
manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat
berubah atau diubah. Dengan kata lain, masyarakat tidak
membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat)
dan yang mana gender24.
23 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. (Jakarta:Paramadina, 1999), h. 33-34
24 Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : Arfino Raya,2011), hlm. 105
23
Wacana dan gerakan gender berangkat dari realitas
ketertindasan, dan keterpinggiran kaum perempuan dalam
banyak ranah kehidupan antara lain ranah pendidikan.
Padahal, sebagaimana dinyatakan Ramayulis, bahwa
pendidikan perempuan dalam ajaran Islam termasuk
kewajiban agama karena pengetahuan merupakan suatu
kebutuhan bagi manusia. Pendidikan bagi perempuan tidak
terbatas pada pendidikan agama saja tetapi meliputi
juga pendidikan rumah tangga, (cara mendidik dan
membesarkan anak), pendidikan social kemasyarakatan dan
pendidikan intelektual.25
Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat
ditelusuri dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa kesempatan
pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak
membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan
sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan tetap
mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang
bersangkutan (pasal 7). Selanjutnya Undang-undang25 Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia, 2012),
hlm. 409
24
tersebut direspon oleh pemerintah untuk membuat
kebijakan yang megakomodir isu gender dalam pendidikan
berupa Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
Instruksi Presiden tersebut kemudian juga dijabarkan
oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan melahirkan
kebijakan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
nomor 84 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang
menekankan kepada setiap satuan unit kerja bidang
pendidikan yang melakukan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, dan
program pembangunan bidang pendidikan agar
mengintegrasikan gender di dalamnya.
Meskipun kebijakan nasional di bidang pendidikan
seperti dipaparkan di atas sudah cukup memadai untuk
dijadikan acuan pembangunan pendidikan yang berwawasan
gender, namun dalam realitasnya masih saja terjadi
ketimpangan gender.
25
Sejumlah hasil penelitian mengungkapkan bahwa
kesenjangan gender bukan diakibatkan oleh satu faktor
tunggal, melainkan terdapat sejumlah faktor yang saling
kait mengkait. Setidaknya, dapat disebutkan empat
faktor utama, yakni faktor akses, kontrol, partisipasi
dan benefit. Faktor akses terlihat nyata dalam proses
penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang
cenderung bias laki-laki (bias toward male). Dalam kedua
proses ini harus diakui proporsi laki-laki sangat
dominan. Indikasinya dapat dilihat pada penulis buku-
buku pelajaran dalam berbagai bidang studi yang
mayoritas adalah laki-laki (85%). Selain itu, jumlah
tenaga pengajar lebih didominasi laki-laki. Akibatnya,
proses pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias against
female). Kondisi ini semakin diperburuk oleh kenyataan
bahwa sensitivitas gender masyarakat, baik laki-laki
dan perempuan masih sangat rendah.26
Pendidikan termasuk salah salah satu pranata sosial
yang paling bertanggung jawab melestarikan ketimpangan-26 Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : Membangun Pendidikan
Berkesetaraan (Jurnal Tadrîs. Volume 4. Nomor 1. 2009)
26
ketimpangan gender. Materi pengajaran agama yang
berkembang juga merupakan salah satu faktor yang
mungkin banyak mempengaruhi budaya patriarkhal. Materi-
materi ini harus dikaji ulang dan disusun kembali agar
ketimpangan-ketimpangan tidak lagi terjadi, dan
keadilan bagi perempuan- yang juga keadilan bagi semua
–akan terwujud.27
Ketimpangan gender dalam pendidikan, antara lain
berwujud kesenjangan memperoleh kesempatan yang
konsisten pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.
Perempuan cenderung memiliki kesempatan pendidikan yang
lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Semakin
tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar kesenjangan-
nya. Kesenjangan ini pada gilirannya membawa kepada
berbedanya rata-rata penghasilan laki-laki dan
perempuan.
E. Konsep Gender Equality dalam al-Qur'an
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa Al-Qur'an
memberikan pandangan optimistis terhadap kedudukan dan
27 Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami, hlm. 105
27
keberadaan perempuan. Semua ayat yang membicarakan
tentang Adam dan pasangannya, sampai keluar ke bumi,
selalu menekankan kedua belah pihak dengan menggunakan
kata ganti untuk dua orang (dlamir mutsanna), seperti
kata huma, misalnya keduanya memanfaatkan fasilitas
sorga (Q., s. al-Baqarah/2:35), mendapat kualitas
godaan yang sama dari setan (Q., s. al-A'rif/7:20),
sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima
akibat terbuang ke bumi (7:22), sama-sama memohon ampun
dan sama-sama diampuni.Tuhan (7:23). Setelah di bumi,
antara satu dengan lainnya saling melengkapi, "mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu juga adalah pakaian bagi
mereka" (Q., s. al-Baqarah/2:187).28
Ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah prestasi dan
kualitas tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin (Q.,
s. al-Hujurat/49:13). Al-Qur'an tidak menganut faham
the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis
kelamin tertentu, atau the first ethnic, yang
28 Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam, http://media.isnet.org
28
mengistimewakan suku tertentu. Pria dan wanita dan suku
bangsa manapun mempunyai potensi yang sama untuk
menjadi 'abid dan khalifah (Q., s. al-Nisa'/4:124 dan
s. al-Nahl/16:97).29
Sosok ideal, perempuan muslimah (syakhshiyah al-
ma'rah) digambarkan sebagai kaum yang memiliki
kemandirian politik/al-istiqlal al-siyasah (Q., s. al-
Mumtahanah/60:12), seperti sosok Ratu Balqis yang
mempunyai kerajaan "superpower"/'arsyun 'azhim (Q., s.
al-Naml/27:23); memiliki kemandirian ekonomi/al-
istiqlal al-iqtishadi (Q., s. al-Nahl/16:97), seperti
pemandangan yang disaksikan Nabi Musa di Madyan, wanita
mengelola peternakan (Q., s. al-Qashash/28:23),
kemandirian di dalam menentukan pilihan-pilihan
pribadi/al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini
kebenarannya, sekalipun harus berhadapan dengan suami
bagi wanita yang sudah kawin (Q., s. al-Tahrim/66:11)
atau menentang pendapat orang banyak (public opinion)
bagi perempuan yang belum kawin (Q., s.29 Ibid
29
al-Tahrim/66:12). Al-Qur'an mengizinkan kaum perempuan
untuk melakukan gerakan "oposisi" terhadap berbagai
kebobrokan dan menyampaikan kebenaran (Q., s. al-
Tawbah/9:71). Bahkan al-Qur'an menyerukan perang
terhadap suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Q.,
s. al-Nisa'/4:75).30
Gambaran yang sedemikian ini tidak ditemukan di
dalam kitab-kitab suci lain. Tidaklah mengherankan jika
pada masa Nabi ditemukan sejumlah perempuan memiliki
kemampuan dan prestasi besar sebagaimana layaknya kaum
laki-laki.
Untuk memilih tipe bagi manusia mukmin, Allah SWT
mencontohkan perempuan-perempuan sebagai teladan.
Sebagaimana tersebut dalam Al-Quran Surat At-Tahrim
ayat 11;
dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketikaia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu[1488] dalamfirdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku
30 Ibid
30
dari kaum yang zhalim.
dan memilih untuk memilih tipe bagi kaum kafir
sebagaimana dalam At-Tahrim ayat 10;
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh diantara hamba-hamba kami; lalu kedua isteri itu berkhianat[1487] kepada suaminya(masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersamaorang-orang yang masuk (jahannam)".
Dari kedua ayat tersebut, perlu dicermati bagaimana
Allah merepresentasikan kedua tipologi manusia yang
berlawanan tersebut kepada sosok perempuan. Ini
menunjukkan bahwa suatu transformasi baik yang bersifat
progresif (maju) atau degradatif (mundur) di berbagai
aspek kehidupan tidak lepas dari peranan kaum
perempuan; artinya peradaban dunia Islam tidak lepas
dari kaum muslimahnya.31
Disamping konsepsi kesetaraan gender yang tergambar
dalam al-Qur`an di atas, begitu pula ada beberapa31 Hj. Masyithoh, Peran Pendidikan Muslimah Dalam Mengembangkan
Kebudayaan, Pendidikan Dan Sosial Dalam Masyarakat Islam,Makalah dalam Seminar, “Islamic World: Women’s Role and Responsibility ofMuslim Women” 17 Des 2011
31
riwayat yang menjelaskan bahwa nabi tidak pernah
membedakan kesempatan untuk menggali pengetahuan
tentang keislaman bagi para sahabatnya baik laki-laki
maupun perempuan. Dalam riwayat lain misalnya, imam
Bukhori pernah menggambarkan bahwa istri nabi Muhammad
Saw yaitu Aisyah binti Abu Bakar ra pernah memuji para
perempuan Anshar yang selalu belajar sebagaimana
penuturannya : “perempuan terbaik adalah mereka yang
dari Anshar, merek tidak pernah malu untuk belajar
agama”. (riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud dan An-
Nasa`i). Bahkan mereka berani menuntut kepada Nabi Saw
ketika mereka merasakan bahwa hak belajar mereka tidak
terpenuhi bila dibandingkan dengan kesempatan yang
diberikan kepada sahabat laki-laki.32
Ditegaskan pula oleh Asghar Ali Engineer, bahwa
hak-hak wanita yang telah digariskan di dalam syariat
tidak hanya didasarkan pada teks Al-Qur`an, namun juga
pada sunnah Nabi dan pendapat para fuqaha (hakim).
Seorang hakim Mesir yang sangat terkenal, al- Shaikh32 Lihat tulisan Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang Memihak
Perempuan, dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret 2003, h. 20-24
32
Muhammad al- Khadari, dalam bukunya mengatakan bahwa,
sebagaimana dikutip Asghar, fiqh al- islami (hukum Islam)
didasarkan pada al-Qur’an, apa yang datang dari Rasul
Allah- ucapan dan perbuatannya, serta ara’ al fuqaha
(pendapat para hakim yang dipengaruhi oleh zamannya
masing-masing). Sehingga jelas sekali bahwa syariat itu
juga bercampur dengan pendapat orang yang tidak lepas
dari konteks zaman ketika dia hidup.33
Semuanya semakin menegaskan bahwa al-Qur`an, Sunnah
dan berbagai pendapat para ulama mengandung ajaran yang
tidak menegasikan hak-hak dan peran perempuan dalam
Islam. Kehadiran Islam di muka bumi ini termasuk
membawa misi kesamaan derajat manusia yang tak
memandang jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
sebagai pengejawantahan ajaran tauhid sebagai ajaran
utama dalam Islam. Di mata Tuhan yang menentukan
kualitas manusia hanyalah ketakwaan kepada-Nya.
F. Penutup
33 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. AgungPrihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V, h. 236
33
Demikian deskripsi tentang peran perempuan dalam
pendidikan Islami yang menguraikan beberapa sub topik
bahasan seperti tentang makna peran perempuan yang tak
bisa dilepaskan dari hak-hak yang dimiliki perempuan
baik hak dalam bidang politik, memilih pekerjaan maupun
hak dalam belajar (pendidikan).
Tentang pentingnya partisipasi perempuan dalam
pendidikan juga diulas bagaimana sesungguhnya perempuan
pun memiliki akses yang sama untuk mengaktualisasikan
diri dalam bidang pendidikan sebagai konsekwensi wajar
dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan bersama membangun peradaban manusia yang
harmonis dengan ditegakkannya keadilan, kesetaraan, dan
keharmonisan hubungan sesama manusia.
Dalam konteks pendidikan Islami, konsep-konsep
gender equality sedemikian rupa dielaborasi dan memiliki
landasan konseptual yang kuat karena diterakan dalam
al-Qur`an, hadits Nabi serta sejarah Islam sendiri.
Dengan demikian kesetaraan laki-laki dan perempuan
34
(gender equality) merupakan bagian yang inheren dengan
ajaran Islam itu sendiri. Meskipun oleh beberapa
kalangan ditentang dan ditolak karena dianggap sebagai
konsep dan gerakan dari barat yang berakar dari
feminisme barat yang bertentangan dengan nilai dan
ajaran Islam.
35
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis : Membaca al-Qur`an dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2008)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), cet. V
Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi diTengah Tantangan Millenium III (Jakarta : Kencana PrenadaMedia Group, 2012)
Faqihuddin Abdul Kodir, Menuju Pendidikan Yang MemihakPerempuan, dalam Swara Rahima edisi No. III, Maret2003
Hj. Masyithoh, Peran Pendidikan Muslimah DalamMengembangkan Kebudayaan, Pendidikan Dan SosialDalam Masyarakat Islam, Makalah dalam Seminar,“Islamic World: Women’s Role and Responsibility of Muslim Women”17 Des 2011
36
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agamadan Gender (Yogyakarta : LKiS, 2007)
Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan, artikeldalam http://www.islamlib.com
Ibrahim Amini. Bangga Jadi Muslimah. Jakarta:Al-Huda.2007
Iswah Adriana, Kurikulum Berbasis Gender : MembangunPendidikan Berkesetaraan (Jurnal
Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung : ArfinoRaya, 2011)
Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita; Pandangan Ilahi.Jakarta:Lentera.2005
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an,
http://media.isnet.org
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)
Muhammad Zuhdi, Pendidikan dan Perempuan, makalah padaforum diskusi bulanan Pusat Studi Wanita (PSW) UINSyarif Hidayatullah Jakarta, Senin, 18 Desember2006
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an.(Jakarta: Paramadina, 1999)
Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam,http://media.isnet.org
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kalam Mulia,2012)
Syafiq Hasyim (Ed.). Menakar “Harga: Perempuan. Bandung:Mizan. 1999
37
Website
http://finance.detik.com. Tanggal 05-03-2013
http://kampus.okezone.com. Tanggal 28-02-2013
http://www.portalkbr.com. Tanggal 12-08-2013
http://www.tempo.co. tanggal 26-04-2013
Top Related