PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN

32
MAKALAH PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN Disusun guna memenuhi tugas matakuliah hukum dan peraturan perikanan dan kelautan yang dibimbing oleh bapak Dr. H Rudianto Disusun oleh; Catur A. Pamungkas 125080600111052 Septian Bagaskara 125080600111065 Nur Farida Purwanti 12508060011168 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN 1

Transcript of PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN

MAKALAH

PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA KELAUTAN

Disusun guna memenuhi tugas matakuliah hukum dan peraturan

perikanan dan kelautan yang dibimbing oleh bapak Dr. H Rudianto

Disusun oleh;

Catur A. Pamungkas 125080600111052

Septian Bagaskara 125080600111065

Nur Farida Purwanti 12508060011168

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

1

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah

daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi

daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi

oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan

perembesan air asin. Ke arah laut mencakup bagian laut yang masih

dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti

sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan

manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz, 1972;

Soegiarto, 1976;Beatly, 1994 dalam Direktorat Jenderal Pesisir

dan Pulau Kecil 2003).

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan

wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut,

serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan

yang sangat kaya Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri

bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan

mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.

(Clark, 1996).

2

Masyarakat merupakan pelaku utama bagi pembangunan, maka

diperlukan kualitas sumber daya manusia yang berpotensial,

sehingga masyarakat dapat bergerak pada arah pembangunan untuk

menuju cita-cita rakyat Indonesia, yaitu bangsa yang makmur dan

berkepribadian yang luhur, terlebih lagi pada zaman yang semakin

hari bertambah tuntutan yang harus dipenuhi diera modern ini

maupun yang akan datang, masyarakat dituntut untuk mempunyai

ketrampilan atau kompetensi dalam dirinya supaya dirinya menjadi

manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, bagi bangsa dan

Negara, untuk menggali potensi yang dimiliki oleh manusia maka

diperlukan adanya pendidikan. Dunia pendidikan memang dunia yang

tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Karena selama manusia

itu ada, perbincangan tentang pendidikan akan tetap ada di dunia,

sehingga mustahil manusia hidup tanpa pendidikan di dalamnya,

kerena itu ada sebuah tanggung jawab untuk mengetengahkan apa dan

bagaimana pendidikan itu yang harus kita bagun dan konstruksi

kalau kita masih ingin dianggap sebagai manusia(Oktama,2013).

Sumber daya alam yang melimpah belum tentu merupakan jaminan

bahwa suatu Negara atau wilayah itu akan makmur, bila pendidikan

sumber daya manusianya kurang mendapat perhatian. Upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan tugas bersama

dan berjangka waktu yang panjang karena menyangkut pendidikan

bangsa disepanjang daerah pesisir mata pencaharian penduduk

umumnya nelayan dan pedagang. Pekerjaan sebagai nelayan dipilih

karena sesuai dengan keterampilan masyarakat setempat, sementara

sumber daya yang tersedia hanya laut beserta isinya yang

3

mempunyai nilai ekonomi. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi

masyarakat yang tinggal di sepanjang pesisir laut selain menjadi

nelayan atau pedagang yang berhubungan dengan laut. masyarakat

nelayan mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda

dengan masyarakat yang tinggal di wilayah daratan. Karakteristik

yang menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan adalah

memiliki struktur relasi patron-klien sangat kuat, etos kerja

tinggi, memanfaatkan kemampuan diri dan adaptasi optimal,

kompetitif dan berorientasi prestasi, apresiatif terhadap

keahlian, kekayaan dan kesuksesan hidup, terbuka dan ekpresif,

solidaritas sosial tinggi, sistem pembagian kerja berbasis seks

(laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum

perempuan), dan berperilaku konsumtif(Kusnadi, 2009:39).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah;

Apa pengertian dari nelayan?

Bagaimana kondisi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya

laut?

Solusi apa yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan

dan ketrampilan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya

laut?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah;

Menjelaskan pengertian dari nelayan,

4

Menjelaskan kondisi nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya

laut,

Mendeskripsikan solusi yang diambil oleh Kementrian

Pendidikan Nasional, kementrian kelautan dan perikanan

serta kementrian tenaga kerja dalam meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan nelayan dalam pemanfaatan

sumberdaya laut,

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kehidupan Nelayan

Secara umum nelayan yang dimaksud di sini mengacu pada orang

yang secara aktif melakukan usaha penangkapan ikan atau binatang

air di laut atau di perairan umum, seperti penebar dan penarik

pukat, pengemudi perahu layar dan pawang. Secara umum pengertian

perikanan menerangkan telur dan anak-anak ikan, teripang, karang

dan udang-udang.Semua kegiatan ekonomi yang berkaitan dalam

bidang penangkapan ikan, budidaya ikan, dan usaha orang-orang di

pesisir pantai yang berhubungan dengan laut atau istilahnya

nelayan. Nelayan adalah orang yang melakukan aktivitas

penangkapan ikan di laut atau air tawar.(Sarjulis, 2011)

Kondisi nelayan saat ini sangat dilematis, dengan sumber

daya alam laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan berjalan

ditempat. Adalah hal yang rasional apabila nelayan hidup dalam

kesejahteraan. Namun pada kenyataannya, sebagian besar nelayan

masih merupakan masyarakat tertinggal dibanding komunitas

5

masyarakat lain. Nelayan sering disebut sebagai masyarakat

termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the

poor). Itu disebabkan salah satunya karena tingkat pendidikan

mereka masih rendah. Masa depan kelestarian pengelolaan potensi

kelautan kita membutuhkan kearifan dan sumberdaya manusia yang

memiliki kompetensi untuk mengelola dan memanfaatkannya. Kondisi

bergantung pada musim sangat berpengaruh pada tingkat

kesejahteraan nelayan, terkadang beberapa pekan nelayan tidak

melaut dikarenakan musim yang tidak menentu. Rendahnya Sumber

Daya Manusia (SDM) dan peralatan yang digunakan nelayan

berpengaruh pada cara dalam menangkap ikan, keterbatasan dalam

pemahaman akan teknologi, menjadikan kualitas dan kuantitas

tangkapan tidak mengalami perbaikan.

Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat

kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola hidup.

Tidak pantas jika kita menyebutkan nelayan pemalas, karena jika

dilihat dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun

kendalanya adalah pola hidup konsumtif, dimana pada saat

penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik,

melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.

Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada

lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi.  Deskripsi

diatas merupakan pusaran masalah yang terjadi pada masyarakat

nelayan umumnya di Indonesia.

Terdapat 5 (lima) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan

masyarakat nelayan, diantaranya:

6

1.     Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan

masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup

dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian

dalam menjalankan usahanya.

2.    Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya

belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya

manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga

sangat rendah.

3.    Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi

masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat

penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik,

melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.

4.    Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir

memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para

nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada

tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.

5.    Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan

pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan

terkait penanggulangan kemiskinan yang selalu menjadikan

masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro

nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang

akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.

Berdasarkan pada sejumlah variables yang mempengaruhi

pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada sembilam permasalahan

teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin.

7

Pertama, pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti

mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin

dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok

(populasi) SDI.

Ketiga, sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil

tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan

(pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang

baik (Best Handling Practices).  Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di

tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga

jualnya murah.  Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan

tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container)

yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar.  Selain

itu, banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es

berarti menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan

atau hasil tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum

mendapatkan ikan, maka rugi besar.

Keempat, hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil

tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI),

atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi

dengan pabrik es atau cold storagedan tidak memenuhi persyaratan

standar sanitasi dan higienis.  Sehingga, semakin memperburuk

mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan.  Hampir

semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di

pelabuhan perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan

nusantara (PPN) yang pada umumnya sudah memenuhi persyaratan

8

sanitasi dan higienis, karena mereka harus membayar biaya tambat-

labuh yang mahal (tidak terjangkau).

Kelima, di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar

atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam

setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.  Bagi

nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain,

saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak adaincome, sehingga

mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya

mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per

bulan.  Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran

setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak

ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga

dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.

Keenam, pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan

ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak

season) tiba, harga jual mendadak turun drastis.  Lebih dari itu,

nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara

(middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. 

Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah

dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir. 

Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua

tingkatan.

Ketujuh, kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain,

BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari

pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan,

tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama.  Sehingga,9

nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan

harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat

pabrik.  Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari

pada yang semestinya.

Kedelapan, harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya

terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke

tahun, atau kalaupun naik relatif lamban.  Hal ini tentu dapat

mengurangi pendapatan nelayan.

Kesembilan, sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda

kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih

menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah

ABK.  Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30

GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera,

bahkan kaya.  Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.

Kesepuluh, pencurian ikan yang dilakukan oleh negara-negara

tetangga, di antaranya Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand.

Dengan lemahnya tindakan pemerintah terhadap penyelesaian batas

perairan terkait Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara tetangga

yang tidak tuntas selama puluhan tahun menyebabkan gerbang

terdepan itu menjadi lahan empuk pencurian.

Konstalasi sumberdaya pesisir dan laut selalu berdampak

terhadap komunitas nelayan kecil hampir di seluruh wilayah

nusantara ini. Eksistensi nelayan tradisional hampir selalu tidak

pernah diperhitungkan. Posisi tawar mereka sangat kecil

dibandingkan dengan keberadaan nelayan besar atau para pengusaha

10

perikanan skala besar. Bahkan anggapan terburuk yang telah di

labelkan terhadap para nelayan kecil ini adalah sebagai perusak

lingkungan. Disisi lain hal ini tak dapat dipungkiri, aktifitas

illegal fishing (bom ikan) oleh nelayan tradisional masih terus

berlanjut, walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah

untuk mengurangi kegiatan illegal ini, namun tingkat kriminal

terhadap lingkungan ini masih cukup tinggi. Kondisi ini

diperparah dengan lemahnya pengawasan dan model pengelolaan

sumberdaya pesisir-laut yang tidak ramah lingkungan.

Nasib nelayan tradisional di perbatasan sangat miskin

dibanding nelayan asing yang kehidupannya gemerlap. Dari segi

peralatan dan kapal pun, nelayan Indonesia yang tinggal di

perbatasan sangat jauh berbeda dari nelayan asing.

2.2 Permasalahan Pendidikan Dalam Masyarakat Nelayan

Masyarakat nelayan sering dinilai lebih terbelakang daripada

masyarakat perkotaan dalam hal derap pembangunan, dalam arti

seluas-luasnya. Padahal mereka dapat mencukupi hidup keseharian

jika bisa memenejnya dengan baik. Namun semua itu hanya bersifat

memenuhi kebutuhan primer saja. Kemiskinan yang terjadi pada

masyarakat nelayan disebabkan karena kebijakan yang terlalu

terkonsentrasi pada pembangunan wilayah darat. Sedangkan

pembangunan sektor kelautan kurang mendapatkan perhatian serius

dari pemerintah dan sering terpinggirkan dan juga Masyarakat

pantai masih belum banyak dikaji oleh para sejarawan. Padahal

11

nelayan yang usahanya menangkap ikan telah memberikan kontribusi

bagi pertumbuhan sosial ekonomi daerah setempat(Sarjulis, 2011)

Pada keluarga nelayan yang kebanyakan berada di

daerah pesisir, pada umumnya tingkat pendidikannya rendah

yaitu lulusan SD dan juga lulusan SMP dan bahkan ada

juga yang tidak pernah sekolah. Tanpa menutup kemungkinan

ada yang sekolah sampai tingkat menengah keatas bagi

mereka yang tergolong mampu. Pada keluarga yang mampu

dalam kondisi ekonominya biasanya termotivasi untuk

menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi ataupun

setidaknya lebih tinggi daripada pendidikan orang tuanya.

kurang perhatiannya orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya

dan karena masalah ekonomi yang kurang, kesulitan-kesulitan

ekonomi tidak memberikan kesempatan bagi rumah tangga

nelayan meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka.

Di samping itu, kemudahan akses untuk bekerja di sektor

perikanan tangkap, tuntutan ekonomi keluarga dan kesulitan

dalam mencari peluang kerja lainnya sebagai akibat

kegagalan pembangunan pedesaan, telah memperkuat barisan nelayan

dengan tingkat kualitas sumber daya yang rendah. Dalam benak

pikiran mereka, yang terpenting adalah bisa bekerja

(menangkap ikan), dapat penghasilan dan bisa makan setiap

hari (Kusnadi, 2003:85)

Nelayan masih tetap berada dalam taraf sosial ekonomi yang

sederhana seperti nelayan yang turun ke laut masih mengandalkan

12

alat penagkapan yang masih tradisonal. Nelayan tradisonal masih

mengandalkan perahu dayung. Walaupun sudah ada sebagian nelayan

yang memiliki perahu yang digerakkan dengan mesin tempel, tetapi

alat tangkap yang digunakan masih berupa pancing, jaring, jala,

dan pukat. Karena itu hasil yang diperoleh sangat terbatas dan

tidak mampu bersaing dengan daerah lain.Selain itu adanya

keterbatasan pendidikan, kemampuan dan keterampilan serta

teknologi

yang dipunyai, membuat mereka kurang mampu menghadapi tantangan

alam. Karena hasil tangkapan tidak menentu, yang bergantung pada

musim dan cuaca.(Sarjulis, 2011)

Kondisi kehidupan sosial ekonomi nelayan dengan penghasilan

yang tidak menentu dan tidak mampu menhadapi tantangan alam yang

buruk dengan peralatan yang sederhana meskipun sudah ada

peralatan yang di gerak oleh mesin namun semua itu belum mampu

membuat masyarakat nelayan masih berada tetap posisi garis

kemiskinan secara ekonomi terutama pada buruh nelayan Mereka

tidak berdaya dalam mengikuti perkembangan teknologi penagkapan

ikan. Bahkan kadang-kadang mereka menghadapi resiko yang sangat

besar dari laut. Mereka sering di timpa gelombang pasang sehingga

menghancurkan komplek pemukiman dan peralatan dalam menagkap ikan

(Sarjulis, 2011)

Umumnya, nelayan bisa bertahan hanya dan hanya jika didorong

semangat hidup yang kuat dengan motto kerja keras agar kehidupan

mereka menjadi lebih baik. Nelayan tradisional berjuang keras

13

melawan terpaan gelombang laut yang dahsyat pada saat pasang naik

untuk mendapatkan ikan. Dengan hanya mengandalkan kemampuan mesin

tempel misalnya, nelayan dapat berada pada radius 500 M dari

pinggir pantai dan dengan cara seperti ini nelayan akan

mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan bila menangkap ikan

di bibir (tepi pantai) pada radius 200 M, yang ikannya sudah

langka.(Kompas Com, 26 Maret 2009)

Bagi para nelayan pekerjaan menangkap ikan adalah pekerjaan

turun temurun tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang

modern.Sehingga pada usia meningkat remaja anak nelayan mulai

diajak berlayar dan ikut melaut oleh orang tuanya atau pamannya,

sehingga diantara mereka putus sekolah. Kini harus dipahami bahwa

kehidupan nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi.

Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun kehidupan

nelayan menjadi meningkat pendidikan dan kesejahterannya.

Asumsi yang ditegakkan, kesejahteraan akan dapat ditingkatkan

jika tingkat pendidikan anak nelayan ditingkatkan. Karena

berbekal ilmu pengetahuan yang cukup akan mengangkat harkat dan

martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya

yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. “Usaha ke

arah ini haruslah bermuara pada peningkatan kemakmuran nelayan,

terutama nelayan kecil dan petani ikan” (Indrawadi, 2009).

Kondisi masyarakat nelayan di wilayah Indonesia yang

identik dengan kemiskinan dan pendidikan yang rendah, hal

ini tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat pendidikan

14

yang dimiliki anak mereka. Masalah ketersediaan biaya

untuk melanjutkan sekolah berkaitan erat dengan kondisi

sosial dan ekonomi orang tua. masih kurang perhatiannya

orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak

mereka. Kebanyakan orang tua menyuruh anaknya bekerja setelah

tamat dari SD dan SMP, baik itu menjadi buruh atau membantu

orang tua melaut dan lain sebagainya. Hal ini juga tidak

lepas dari pendapatan orang tua dan jenis pekerjaan pada

lingkungan masyarakat tersebut.(Oktama,2013)

kondisi kehidupan nelayan yang tidak memungkinkan anak

nelayan memasuki sekolah formal karena keberadaan anak nelayan

dimaksudkan untuk membantu ayahnya mencari ikan ke laut.secara

empirik anak nelayan pada usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah

Mengah Pertama (SMP) angka putus sekolahnya cenderung tinggi,

anak putus sekolah akan berpotensi untuk bekerja menjadi buruh

atau pekerja kasar di mana mereka berada.Terdapat dua faktor yang

mempengaruhi anak untuk bersekolah, yaitu faktor internal (dalam

diri) dan faktor eksternal (luar diri) siswa. Aspek internal

meliputi kemampuan, minat, motivasi, nilai-nilai dan sikap,

ekspektasi (harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah. Pada

aspek eksternal meliputi latar belakang ekonomi orang tua,

persepsi orangtua tentang pendidikan, jarak sekolah dari rumah,

hubungan guru-murid, usaha yang dilakukan pemerintah (meliputi

pemberian bantuan dan pengadaan sarana dan prasarana). Banyaknya

siswa-siswa yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk banyaknya

15

anak-anak putus sekolah bisa dilihat dari kedua aspek tersebut

(Hasanuddin, 2000).

Pendidikan yang dimiliki anak nelayan di wilayah Indonesia

umumnya masih tergolong sangat rendah, hal ini tergambar

dari data pada tahun 2006 dalam HSNI (Himpunan Nelayan

Seluruh Indonesia) hanya ada 1-1,3% anak nelayan yang lulus

jalur sarjana, 3% lulus SMA, 6% lulus SMP dan sisanya 85%

hanya lulusan SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang

dimiliki anak nelayan ini tentunya dipengaruhi dari

rendahnya pendidikan dan rendahnya persepsi orang tua

mereka terhadap pendidikan, semakin tinggi tingkat

pendidikan orang tua maka akan semakin baik persepsi

mereka tentang pendidikan anaknya, sebaliknya semakin rendah

tingkat pendidikan orang tua maka akan semakin rendah pula

persepsi mereka tentang pendidikan anaknya. Orang tua dalam hal

ini mempunyai tanggung jawab penuh didalam pendidikan anaknya,

akan tetapi tidak sedikit dari orang tua yang dalam hal

ini bermata pancaharian sebagai nelayan kurang

memperhatikan pendidikan anaknya, waktu mereka hanya

dihabiskan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup

mereka, rendahnya perekonomian keluarga juga turut

memberikan pengaruh bagi mereka untuk menyekolahkan anaknya.

( Oktama,2003)

Alasan petani-nelayan berusahatani-melaut adalah : untuk

mencukupi kebutuhan keluarga, sesuai dengan sumber daya yang ada,

16

meneruskan pekerjaan orang tua. Disamping itu, alasan lain adalah

karena sulitnya mencari pekerjaan, adanya keterbatasan

pengetahuan dan kemampuan, tidak membutuhkan pendidikan yang

tinggi dan tidak ada pekerjaan lain. Petani-nelayan yang berlatar

pendidikan rendah menyadari bahwa Indonesia adalah negara agraris

dan petani-nelayan adalah tulang punggung perekonomian negara

(Azahari, A. 2002).

Dalam kehidupan nelayan, orang tua beranggapan bahwa anak

laki-lakinyalah yang nanti akan membantu melunaskan utang pada

tengkulak. Di lain pihak, anak-anak muda nelayan juga cukup

memahami kesulitan hidup orang tuanya sehingga keinginan untuk

membantu orang tuanya pun cukup besar. Di samping itu, sebagian

besar anak nelayan pun masih ingin bekerja di bidang kenelayanan

untuk menambah pendapatan keluarga (Mulyadi. 2005).

2.3 Rendahnya Pemanfaatan Sumberdaya Laut oleh Nelayan.

Kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia terkenal dengan

kekayaan dan keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber

alam yang dapat pulih (Renewable) maupun yang tidak dapat pulih

(Un-renewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan

dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan

iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan

pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi

pembangunan nasional (Anggoro, 2000).

17

Peluang yang dimiliki adalah kekayaan sumber daya alam dan

sumber daya manusianya yang potensial untuk di tumbuhkembangkan

pendayagunaannya. Sumber daya alam pulau-pulau kecil mempunyai

arti penting bagi kegiatan perikanan, konservasi dan preservasi

lingkungan, wisata bahari dan kegiatan jasa lingkungan lain yang

terkait.(Mardijono 2014)

Seiring dengan banyaknya peluang usaha muncul permasalahan-

permasalahan pembangunan terutama berkaitan dengan pengelolaan

sumber daya alam yang over eksploitasi dan tidak bertanggung

jawab. Permasalahan-permasalahan yang muncul secara umum

disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu akibat perubahan alam dan

adanya aktifitas manusia. Akan tetapi permasalahan yang terbesar

pada kenyataannya disebabkan oleh adanya aktifitas yang dilakukan

manusia seperti kerusakan ekosistem yang banyak terjadi di

wilayah-wilayah pesisir.Akibat adanya ekploitasi yang berlebihan

dan aktifitas manusia lainnya, menyebabkan penurunan kuantitas

maupun kualitas sumberdaya alam termasuk berbagai jenis flora dan

fauna. Selain itu ditemukan konflik antar stakeholder yang masih

sering terjadi akibat tumpang tindih kepentingan dalam

pemanfaatan ruang pesisir. Hal ini disebabkan adanya banyak

perbedaan persepsi diantara para pelaku pembangunan (stakeholders)

dalam hal pengelolaan kawasan yang berhubungan dengan pengambilan

kebijakan menyeluruh terhadap penataan ruang dan pengelolaan

kawasan yang berimbang. Konflik masalah penentuan batas antar

wilayah secara spasial maupun pengelolaan kawasan serta

pemanfaatan sumberdaya alam yang makin marak juga merupakan

18

permasalahan tersendiri.Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi

telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap sumberdaya

poesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi penurunan kualitas dan

daya dukung ekosistem pasisir dan laut terutama akibat dari

penambangan pasir laut, reklamasi pantai, konversi lahan pesisir

serta penangkapan ikan secara destruktif.

Komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan

homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim

di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat.

Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan

terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang

sederhana, sehingga produktivitas kecil. Sementara itu,

kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan

menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka.

Dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan dapat

dibedakan dalam dua katagori, yaitu nelayan modern dan

nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi

penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan

tradisional. Ukuran modernitas bukan semata-mata karena

penggunaan motor untuk mengerakkan perahu, melainkan juga

besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat

eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan

modernitas teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh

pada kemampuan jelajah operasional mereka. Pada masyarakat

nelayan Pekerjaan menangkap ikan dikerjakan oleh lelaki

karena merupakan pekerjaan yang penuh resiko, sehingga

19

keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh.

Kalaupun nelayan pekerja memiliki alat produksi sendiri ternyata

alat tangkap ikan yang dimiliki tersebut belum dilengkapi

dengan alat teknologi tangkap ikan, dan modal usaha, sehingga

penghasilannya tidak seperti bila mereka menggunakan alat

teknologi tangkap ikan yang baik. Bagi para nelayan memang

tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan

dengan ancaman gelombang laut, ombak, cuaca, dan

kemungkinan terjadi karam saat akan melaut ke tengah lautan

untuk menangkap ikan adalah pekerjaan turun temurun tanpa

pernah belajar sebagai nelayan yang modern(Badiran.2009)

2.4 Solusi Menanggulangi Kemiskinan Nelayan

Rekomendasi yang harus  dilakukan dalam menanggulangi

kemiskinan nelayan yang erat kaitannya dengan Sumber Daya Manusia

adalah:

1.     Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan. Dalam

hal ini konteksnya adalah nelayan sebagai kepala rumah tangga,

dan nelayan sebagai seperangkat keluarga. Nelayan yang buta huruf

minimal bisa membaca atau lulus dalam paket A atau B. Anak

nelayan diharapkan mampu menyelesaikan pendidikan tingkat

menengah. Sehingga kedepan akses perkembangan tekhnologi

kebaharian, peningkatan ekonomi lebih mudah

dilakukan.  Pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan

human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan

pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata

20

dan bermutu baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah

akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan.

Demikian pula halnya dengan pendidikan memadai, paling tidak

dapat dijadikan modal untuk mencari dan menciptakan peluang-

peluang kerja yang dapat menjadi sumber kehidupan dan peningkatan

kesejahteraan. Dalam banyak hal, terjadinya kemiskinan nelayan

bukan semata-mata karena masalah ekonomi akan tetapi salah satu

penyebabnya ialah pendidikan yang rendah.

Dilihat dari sumberdaya manusia nelayan paling tinggi hanya

80 % tamat sekolah dasar, bahkan banyak yang tidak tamat atau

tidak sekolah sama sekali. Fakta tersebut menyiratkan kemampuan

nelayan mengelola sumberdaya alam pesisir sangat terbatas. Ini

disebabkan karena mereka identik dengan berbagai prilaku sosial

yang tidak menguntungkan selama ini, misalnya budaya konsumtif,

menyebabkan mereka terjebak pada lingkaran utang dan kemiskinan.

Hal itu tentu jauh dari harapan untuk mengelola potensi

sumberdaya kelautan yang tidak terbatas secara berkelanjutan,

maka diperlukan regenerasi nelayan yang memiliki kemandiran,

kompetensi dan kapasitas yang memadai pula.

2.    Perlunya merubah pola kehidupan nelayan. Hal ini terkait

dengan pola pikir dan kebiasaan. Pola hidup konsumtif harus

dirubah agar nelayan tidak terpuruk ekonominya saat paceklik.

Selain itu membiasakan budaya menabung supaya tidak terjerat

rentenir. Selain itu perlu membangun diverifikasi mata pekerjaan

khusus dipersiapkan menghadapi masa paceklik, seperti pengolahan

ikan menjadi makanan, pengelolaan wialyah pantai dengan

21

pariwisata dan bentuk penguatan ekonomi lain, sehingga bisa

meningkatkan harga jual ikan, selain hanya mengandalakan ikan

mentah.

3.    Peningkatan kualitas perlengkapan nelayan dan fasilitas

pemasaran. Perlunya dukungan kelengkapan tekhnologi perahu maupun

alat tangkap, agar kemampuan nelayan Indonesia bisa sepadan

dengan nelayan bangsa lain. Begitupula fasilitas pengolahan dan

penjualan ikan, sehingga harga jual ikan bisa ditingkatkan.

4.    Perlunya sebuah kebijakan sosial dari  pemerintah yang

berisikan program yang memihak nelayan, Kebijakan pemerintah

terkait penanggulangan kemiskinan harus sesuai dengan kondisi,

karakteristik dan kebutuhan masyarakat nelayan. Kebijakan yang

lahir berdasarkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat

nelayan, bukan lagi menjadikan nelayan sebagai objek program,

melainkan sebagai subjek. Selain itu penguatan dalam hal hukum

terkait zona tangkap, penguatan armada patroli laut, dan

pengaturan alat tangkap yang tidak mengeksploitasi kekayaan laut

dan ramah lingkungan.

2.5 Solusi yang diambil Pemerintah Melalui Kementerian.

2.5.1 Kemenerian Pendidikan Nasional

Pemberdayaan anak nelayan ternyata tidak bisa diseragamkan,

tetapi harus disesuaikan dengan kondisi aktual masyarakat

22

setempat. Misalnya saja pendidikan manajemen keuangan yang

diharapkan memungkinkan mereka terbebas dari jeratan tengkulak,

memasuki lapangan

kerja dengan kualitas pengetahuan yang terbatas, dan tekanan

kebutuhan yang terus bervariasi dan meningkat. Kondisi aktual ini

harus diberikan solusi dengan memerhatikan budaya dan kondisi

psikologis mereka. Jika kondisi nyata kehidupan nelayan ini tidak

diperhatikan, dipastikan program pemberdayaan pendidikan akan

gagal karena pemberdayaan pendidikan anak nelayan tidak terlepas

dari pemberdayaan masyarakat pesisir. Program pendidikan anak

nelayan yang disediakan oleh pemerintah terutama dilakukan

melalui jalur sekolah. Hal ini sama dengan anak Indonesia

lainnya, karena itu fungsi pendidikan di sekolah adalah

mengembangkan kemampuan peserta didik seoptimal mungkin(Badiran,

2009).

Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden

No. 15 tahun 1974 memberikan kepada Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan tanggung jawab menyeluruh mengenai bidang pendidikan

dan latihan baik pemerintah maupun swasta, termasuk menyusun

program pendidikan. Dalam prakteknya pemerintah hanya

melaksanakan pengendalian secara terbatas tidak melaksanakannya

secara optimal terhadap lembaga-lembaga pendidikan swasta yang

lebih dari separuh jumlah sekolah lanjutan. Kemudian SKB sebagai

penyelenggara pendidikan non formal tidak banyak yang berbasis di

daerah nelayan, sehingga programnya tidak banyak menyentuh anak

nelayan. Persoalan lain yang tidak kalah penting yang dihadapi

23

adalah, sebagian masyarakat pesisir masih beranggapan bahwa

pendidikan itu tidak penting. Karena untuk keterampilan yang

digunakan oleh nelayan sudah diterima secara turun temurun dan

tidak diperlukan melalui proses pendidikan di sekolah(Badiran,

2009).

Dengan menerapkan prinsip tentang fungsi sekolah khususnya

pada tingkat wajib belajar, maka menurut Soedijarto (1997:237)

sistem pendidikan di Indonesia harus mengakomodasikan peserta

didik yang demikian heterogen baik dipandang dari segi sosial

ekonomi, sosial kultural, maupun kemampuan dasar kognitifnya.

Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan

kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar

yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan

peserta didik untuk mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh

karena itu sentuhan pendidikan bagi anak nelayan dan masyarakat

lainnya dalam bentuk pendidikan formal sudah disediakan oleh

pemerintah maupun yayasan swasta dalam bentuk pendidikan formal

seperti Sekolah dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah

Mengah Pertama (SMP), dan Madrasah Tsanawiyah (MTsN). Melalui

pendidikan formal ini peserta didik memiliki sikap dan kemampuan

serta pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk

hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi anak yang putus sekolah

atau kesulitan ekonomi disediakan pemerintah pendidikan formal

melalui wadah SMP Terbuka dengan sistem belajar pamong yang

disediakan di rumah warga atau tempat lain yang disepakati.

Sebagai tanda lulus ujian mereka para peserta didik pada SMP

24

terbuka memperoleh ijazah SMP yang sama dengan siswa SMP lainnya.

Disamping program SMP Terbuka pemerintah juga menyediakan layanan

pendidikan melalui lembaga Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) anak-

anak putus sekolah atau yang kurang mampu secara ekonomi melalui

jalur pendidikan non formal yang dibina di tempat warga atau

tempat lain yang disepakati, para peserta didik setelah lulus

ujian berhak mendapat ijazah paket A untuk memberikan kesempatan

pada warga memperoleh kesempatan mengikuti sekolah dasar (SD),

atau paket B yang

dikembangkan sebagai alternatif pendidikan jenjang setara SMP.

Sejak krisis ekonomi berdampak pada tingginya biaya

operasional melaut dan diperparah hancurnya laut akibat rusaknya

terumbu karang oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab

membuat ikan yang diperoleh semakin sedikit. Sementara biaya yang

dikeluarkan nelayan sangat besar sehingga mereka menjadi

terkatung-katung dalam kemiskinan. Pada tahun 2001 program

pesisir dikenal dengan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir

(PEMP). Program ini bertujuan untuk nelayan. Pemerintah membuat

program khusus untuk para nelayan guna mendorong perkembangan

sosial ekonomi dan budaya Adanya bantuan yang diberikan oleh

Dinas Perikanan dan Kelautan para nelayan berhasil mendirikan

Bank Perkeriditan Rakyat (BPR), pembenahan Tempat Pelelang Ikan

(TPI), dan pembagunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)

khusus untuk nelayan.Selain itu Pemerintah Daerah dan Dinas

Kelautan dan Perikan juga ikut memberikan bantuan berupa

25

peralatan penangkap ikan, seperti jaring udang atau nangkalong

dan pembangunan rumah tempat tinggal nelayan(Sarjulis, 2011).

Pada tahun 2001 program pesisir dikenal dengan Pemerdayaan

Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) guna mendorong perkembangan

sosial dan budaya kesejahteraan masyarakat nelayan namun program

yang telah dilaksanakan ini tidak mampu seepenuhnya merubah pola

kehidupan nelayan. Disamping itu terlihat dari pendapatan ikan

yang berkurang sehingga hasil tangkapan nelayan sedikit.

Berkurangnya jumlah ikan ini juga merupakan akibat dari para

pengusaha yang memiliki alat tangkapan yang telah mempergunakan

kemajuan teknologi. Dengan kemajuan teknologi alat tangkapan dan

persaingan bebas dalam dunia usaha telah menggilas para nelayan

skala kecil(Sarjulis, 2011).

2.5.2 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah dan terus

memberikan perhatian dan dukungan anggaran baik melalui Anggaran

Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK)

untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan di daerah.

Diantaranya Provinsi Bengkulu, pada tahun 2014 KKP telah

mengalokasikan kegiatan dan anggaran sebesar Rp. 23,3 Milyar.

Bengkulu merupakan wilayah pesisir yang berhadapan langsung

dengan Samudera Hindia, dimana gelombang lautnya cukup tinggi dan

rawan akan bencana gempa. Sehingga nelayan nya harus terus kita

perhatikan. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan,

26

Sharif C. Sutardjo, pada kunjungan kerja di PPP Pulau Baai,

Provinsi Bengkulu.

Adapun tujuan dan manfaat dari program bantuan untuk wilayah

pesisir di barat sumatera ini diantaranya, untuk meningkatkan

produksi, mutu hasil tangkapan dan produktivitas nelayan dengan

menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Kedua,

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, serta dapat

meningkatkan daya saing nelayan khususnya dalam memperoleh hasil

dari ikan hasil tangkapan. Program ini secara langsung juga untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah (dalam

hal ini adalah masyarakat nelayan) dan untuk menjamin

keberlanjutan usaha penangkapan ikan skala kecil (nelayan

tradisional).diharapkan, seluruh bantuan, fasilitas dan alokasi

anggaran untuk pembangunan kelautan dan perikanan di Bengkulu dan

Pulau Baai khususnya, dapat dimanfaatkan dan dioperasionalkan

secara maksimal agar memberikan kontribusi nyata dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Dengan tujuan agar

kegiatan dan anggaran tersebut dapat disinergikan dengan sumber

pembiayaan lainnya, baik itu dari kementerian/lembaga terkait,

pemerintah daerah, maupun swadaya para pelaku usaha(KKP, 2014).

2.5.3 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui program

padat karya menargetkan penyerapan tenaga kerja sebanyak 11.264

orang pada 2012. Pelaksanaan program padat karya ini bertujuan

menyerap pengangguran di daerah pesisir, meningkatkan daya beli

27

dan membantu pertumbuhan ekonomi pesisir di Indonesia, Sasaran

utama dari Program padat karya itu adalah kawasan pesisir yang

tersebar di seluruh Indonesia yang memiliki tingkat pengangguran

yang cukup tinggi.

Program padat karya terbagi menjadi dua kegiatan yaitu padat

karya produktif dengan target penyerapan 8.184 orang dan padat

karya infrastruktur dengan target sebanyak 3.080 orang.

Menakertrans menyebut dengan adanya program padat karya itu maka

akan tercipta pekerjaan sementara yang dapat menambah penghasilan

masyarakat sekaligus terbangunnya sarana, prasarana dan usaha

produktif masyarakat pesisir.

Pada dasarnya pemerintah hanya membantu memfasilitasi

pelaksanaan padat karya ini. Semua berdasarkan usulan dan

pertimbangan masyarakat setempat dengan memperhatikan potensi

sumber daya alam yang tersedia. Program padat karya itu

berorientasi pada prinsip "Dari, oleh dan untuk Masyarakat,"

dengan mengutamakan semangat gotong royong dan rasa solidaritas

dari masyarakat di pesisir yang berada di wilayah kabupaten/kota

dan provinsi di Indonesia.

Program padat karya infrastruktur akan difokuskan pada

pembuatan dan rehabilitasi fisik seperti gpembangunan dan

pengerasan jalan di desa, pembangunan jembatan dan saluran air di

pesisir. Sedangkan padat karya produktif lebih diutamakan pada

pemberdayaan usaha seperti budidaya ikan, udang dan rumputlaut.

28

Tidak hanya itu, ternak sapi, kambing dan ayam dan kerajinan

tangan anyaman juga akan di galakkan.

Dalam pelaksanaannya, program padat karya itu didampingi oleh

petugas lapangan padat karya (PLPK) yang bertugas merencanakan,

mengkoordinasikan dan mengawasi. Pelaksanaan program padat karya

ini dapat mengurangi angka pengangguran di pesisir dan

memperluasan kesempatan kerja baru sehingga mampu menambah

lapangan kerja bagi tenaga kerja baru(Antaranews, 2012).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara umum nelayan yang dimaksud di sini mengacu pada orang

yang secara aktif melakukan usaha penangkapan ikan atau binatang

air di laut atau di perairan umum, seperti penebar dan penarik

pukat, pengemudi perahu layar dan pawing.

Kondisi nelayan saat ini sangat dilematis, dengan sumber

daya alam laut yang luar biasa, nasib nelayan seakan berjalan

ditempat. Adalah hal yang rasional apabila nelayan hidup dalam

kesejahteraan. Namun pada kenyataannya, sebagian besar nelayan

masih merupakan masyarakat tertinggal dibanding komunitas

masyarakat lain. Kondisi lain yang turut berkontribusi

memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai

29

kebiasaan atau pola hidup. Tidak pantas jika kita menyebutkan

nelayan pemalas, karena jika dilihat dari daur hidup nelayan yang

selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola hidup

konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung

untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk

membeli kebutuhan sekunder.

Rekomendasi yang harus  dilakukan dalam menanggulangi

kemiskinan nelayan yang erat kaitannya dengan Sumber Daya Manusia

adalah Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat nelayan,

Perlunya merubah pola kehidupan nelayan, Peningkatan kualitas

perlengkapan nelayan dan fasilitas pemasaran dan pemerintah wajib

turut serta menanggulangi kemiskinan nelayan melalui kementerian

pendidikan, kemenerian perikanan dan kelautan sera melalui

kemenerian tenaga kerja dan transmigrasi.

Daftar Pustaka

Antaranews, 2012. Program padat karya serap 11.264 tenaga kerja.

http://www.antaranews.com. Di akses pada 9 maret 2014.

30

Antaranews.2014. dalam http://www.antaranews.com. Diakses pada

tanggal 8 Maret 2014 Pukul 15.17

Bangazul.2014.dalam http://bangazul.com. Diakses pada tanggal 8

Maret 2014 Pukul 14.00

Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis

Publisher, Boca Raton, FL.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan

Kawasan Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi

dan Taman laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil, Jakarta.

Indrawadi, 2009. Nasib Nelayan dan Potensi Kelautan.

http://www.geocities.com/minangbahari/artikel/nasibnelay

an.html

KKP, 2014. Ekonomi Pesisir Barat Sumatera Jadi Perhatian KKP.

http://www.kkp.go.id. Di akses pada 9 maret 2014.

Kompas.

2014.dalamhttp://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/06/2

5/nasib-pelaut-indonesia-467049.html diakses pada

tanggal 8 Maret 2014 pukul 15.15

Kompas.Com, 2009. Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan

Lindungi Laut

Kusnadi, 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi

Pesisir.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

31

Mardijono.2014.Persepsi dan Partisipasi Nelayan Terhadap

Pengelolaan Kawasan Konservasi laut Kota

Batam(tesis) .Universitas dipenogoro. Semarang

Oktama, 2013. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Terhadap Tingkat

Pendidikan Anak Keluarga Nelayan di Kelurahan Sugihwaras

Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang. Universitas

negeri semarang, 2013.

Sarjulis 2011.Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan

Tanjung Mutiara Kabupaten Agam(1970 – 2009).UNIVERSITAS

ANDALAS PADANG

Slideshare.2014.dalam http://www.slideshare.net. Diakses pada

tanggal 8 Maret 2014 Pukul 14.12

Soedijarto, H. 1997. Memantapkan Kinerja Sistem Pendidikan

Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki

Abad Ke 21. Jakarta: Depdikbud

32