Pendidikannya Manusia

21
Pendidikannya Manusia! Bacalah! Tulislah! lalu Kawinkanlah! akan lahir karyamu... Minggu, 23 Juni 2013 Studi Konsep Pendidikan Muhammadiyah & NU GERAKAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA STUDI KASUS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU) Oleh Syahrul, S.Pd.I I. Pendahuluan Belum ada kata sepakat di antra intelektual muslim dalam merumuskan penggunaan istilah atau terminologi pendidikan Islam. Secara garis besarnya muncul tiga istilah yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Intelektual muslim yang otoritatif di bidangnya, Syed M. Naquib al-Attas, lebih cendrung menggunakan istilah ta’dib dari pada istilah yang lain dengan argumen yang ilmiah. Baginya, masalah mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai- nilai adab dalam arti luas. Hal ini lebih disebabkan oleh rancunya pemahaman konsep tarbiyah, ta’lim, dan adab. Sebab jika konsep ta’dib ini diterapkan secara komprehensif, integral, dan sistematis dalam praktik pendidikan Islam, pelbagai persoalan pengembangan sumber daya manusia Muslim diharapkan dapat diatasi. Lagi pula, dalam sejarah Islam proses pendidikan Muslim lebih cendrung pada pengertian ta’dib daripada terbiyah atau ta’lim. Alasan yang lebih mendasar lagi adalah adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang. 1 [1] Kemudian 1[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al- Attas, Bandung: Mizan, 2003, h. 24

Transcript of Pendidikannya Manusia

Pendidikannya Manusia! Bacalah! Tulislah! lalu Kawinkanlah! akan lahir karyamu...

Minggu, 23 Juni 2013Studi Konsep Pendidikan Muhammadiyah & NU

GERAKAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA STUDI KASUS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH

DAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)

Oleh Syahrul, S.Pd.I

I.       Pendahuluan Belum ada kata sepakat di antra intelektual muslim dalam

merumuskan penggunaan istilah atau terminologi pendidikan Islam.Secara garis besarnya muncul tiga istilah yaitu tarbiyah, ta’lim danta’dib. Intelektual muslim yang otoritatif di bidangnya, Syed M.Naquib al-Attas, lebih cendrung menggunakan istilah ta’dib daripada istilah yang lain dengan argumen yang ilmiah. Baginya,masalah mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai-nilai adab dalam arti luas. Hal ini lebih disebabkan olehrancunya pemahaman konsep tarbiyah, ta’lim, dan adab. Sebab jikakonsep ta’dib ini diterapkan secara komprehensif, integral, dansistematis dalam praktik pendidikan Islam, pelbagai persoalanpengembangan sumber daya manusia Muslim diharapkan dapat diatasi.Lagi pula, dalam sejarah Islam proses pendidikan Muslim lebihcendrung pada pengertian ta’dib daripada terbiyah atau ta’lim. Alasanyang lebih mendasar lagi adalah adab berkaitan erat dengan ilmu,sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anakdidik kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepatterhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.1[1] Kemudian

1[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, h. 24

dalam langkah konkretnya dalam mengaplikasikan ide dan gagasanyalahir International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Dalam konteks ke-Indonesian, sejarah tentunya tidakmelupakan peran dan konstribusi dua organisasi islam Indonesia(Muhammadiyah dan NU) baik pra kemerdekaan maupun pascakemerdekaan dalam memajukan bangsa ini khususnya duniapendidikan. Muhammadiyah yang menggariskan gerakannya sebagaigerakan yang moderat kemudian melakukan gerakan nyata dengan amalusaha di bidang pendidikan melahirkan ribuan sekolah dasar danmenengah, serta ratusan tingkat menengah atas serta tingkatperguruan tinggi dan universitas yang tersebar di seluruhIndonesia. Tentunya sangat menarik mengkaji dan menganalisiskunci kesuksesan Muhammadiyah.

Organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1926 di Surabayayang bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) juga memberikankonstribusi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya dengankonsep yang khas yang melekat pada organisasi ini, Deliar Noermenyebutnya dengan kalangan tradisi. Sudah masyhur kemudian NUdikenal dengan sistem pondok pesantren tradisionalnya. sepertipondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh Hasjim Asj’ari,pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab Hasbullah, dan pesantrenDen Anyar tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Merakaadalah tokoh dari NU dan pesatren mereka juga sangat identikdengan pesantren NU. Dalam makalah ini kemudian akan dibahassistem dan karakteristik lembaga pondok pesantren.

Sejarah menulis bahwa pondok pesantren di Indonesia telahada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan lembagapendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehinggasebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun)berasal dari peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkanidentitas dirinya di jalur pendidikan melalui pondok pesantren.Meskipun semua pondok pesantren yang didirikan oleh tokoh-tokohNU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya (NU). Pondokmenjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendirisekaligus pemimpinnya.

Berbicara pendidikan tidak pernah lepas dengan ideologi yangmelatar belakanginya. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan dengan jelas berbagai bentukideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan pemetaannya ada

dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varianmasing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif denganvariasi: fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme;kedua, ideologi liberalis dengan variasi: liberalism,liberasionisme, dan anarkisme.2[2] Dengan ideologi Aswaja(ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental mempertahankan tradisitentunya akan sangat jelas masuk pada kategori berideologikonservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan sepertiitu.

Ideologi secara etimologi dibentuk dari kata idea, berartipemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan.Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau gagasan.3[3] Menurut Sastra Pratedjamembatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologiadalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi padatindakan yang diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur.Muhammadiyah sebagai organisasi Islam merumuskan dalam Muktamarprinsip-prinsip dan keyakinan hidup (ideologi). Beberapa rumusantersebut adalah Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah,Kepribadian Muhammadiyah serta Keyakinan dan Cita-Cita HidupMuhammadiyah.4[4] Berdasarkan rumusan di atas maka terlihatsecara jelas –mengikuti pemetaan W.F O’neil- bahwa Muhammadiyahberideologi konservatif yang mempertahankan tradisi keislamannamun tetap progresif melakukan pembaharuan.5[5] Ideologi inikemudian menjadi inspirasi ideologi Pendidikan Muhammadiyah.

Makalah yang singkat ini tentunya sangat jauh darikesempurnaan mengupas dan menjelaskan konsep pendidikan duaorganisasi terbesar di Indonesia bahkan dunia ini. Untukmembatasi tema makalah agar tidak meluas maka dirumuskan rumusanmasalahnya. pertama, bagaimana latar belakang berdirinya

2[2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4

3[3] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009, h. 145

4[4] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, h. 146

5[5] Gambaran lebih rinci dijelaskan oleh Amin Abdullah pada tema Paradigma Pendidikan Muhammadiyah

Muhammadiyah dan NU secara singkat?. Kedua, bagaimana konseppendidikan Muhammadiyah dan NU?. Oleh karena itu sistimatikapenulisan dimulai pada Bab I yang berisi pendahuluan, kemudianBab II pembahasan yang dimulai pembahasan Muhammadiyah kemudianNU dan Bab III kesimpulan, yang berisi persamaan dan perbedaanMuhammadiyah dan NU.

II.    Pembahasan Kelahiran Muhammadiyah

Salah satu organisasi social Islam yang terpenting diIndonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai saatsekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan diYogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji AhmadDahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapaorang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembagapendidikan yang bersifat permanen. Dahlan dilahirkan diYogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dariseorang Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Ibrahim, penghulu.6[6] Dalamkeluarga yang cinta ilmu dan riwayat pendidikannya dasar sertastudinya ke Arab selama dua kali mengantarkan Ahmad Dahlanmemiliki jiwa yang kritis terhadap realitas social yang menimpaumat Islam saat itu.

Lahirnya pemikiran modern di awal abad ke-20 melaluiorganisasi Muhammadiyah ini tidak dapat dilepaskan dengan situasidan kondisi sosial politik yang dihadapi umat Islam saat itu.Kondisi sosial politik kala itu di mana umat Islam berada dalamcengkraman kolonial Belanda merupakan faktor eksternal munculnyaorganisasi Muhammadiyah. Faktor internal yang turut mendoronglahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam kalaitu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisiHindu-Buddha dalam menjalankan ibadah ritual. Rendahnyapartisipasi umat Islam dalam pendidikan. Sikap keberagamaan umatyang masih belum rasional, banyak bercampur dengan syirik,khurafat, bid’ah dan taqlid akibat dari besarnya pengaruhkeyakinan Hindu dan animism serta proses Islamisasi yang berbausufisme dan mistisisme. Sistem pendidikan yang lebih menekankanpada kemampuan mengaji bukan mengkaji sehingga menimbulkanpemikiran yang tradisional kurang rasional. Gencarnya gerakan

6[6] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 84

kristenisasi dan westernisasi kala itu yang memperkenalkan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat tanpa diimbangi dengan pendidikan agamaoleh pemerintah Belanda.7[7]

Selain kesadara pendirinya, berdiriya organisasiMuhammadiyah juga tidak lepas dari jasa-jasa tokoh Boedi Oetomoyang menganjurkan agar Ahmad Dahlan mendirikan organisasi untukmenyebarkan fahamnya yang moderat. Pertimbangannya adalah agarsekolahan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan tidak berhenti ditengah jalan ketika ia sudah tidak ada. Pengaruh Boedi Oetomosedikit banyak telah mempengaruhi Ahmad Dahlan untuk mendirikanorganisasi Muhammadiyah sampai sekarang telah menjadi organisasipembaharuan terbesar di Indonesia bahkan di dunia.8[8] SelainBoedi Oetomo, Ahmad Dahlan juga aktif di organisasi Jami’at Khair,organisasi modern pada masa itu. Ahmad Dahlan kemudian banyakbelajar keorganisasian di sini yang kemudian menjadi bekal beliaudalam mendirikan Muhammadiyah dan memanajnya secara modern.

Kritik Terhadap Dunia PendidikanBakat dalam diri Ahmad Dahlan menjadi pendidik memang sangat

terlihat ketika mengajar di Kweekschool Gubernamen Jetis. Initerbukti beliau disukai oleh murid-muridnya sehingga menjadisalah satu guru favorit. Metode induktif, ilmiah, naqliah danTanya jawab sehingga murid-muridnya benar-benar mengetahui apayang disampaikan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan metodepengajaran yang weton atau bandongan yang sedang berjalan padasaat itu. Metode weton atau bandongan adalah sebuah modelpengajian, di mana seorang kyai atau ustadz membacakan danmenjabarkan isi kandungan kitab kuning sementara murid atausantri mendengarkan dan memberikan makna. Sementara metodesorogan berlaku sebaliknya, yaitu santri atau murid membacasedangkan kyai atau ustdaz mendengarkan sambil memberikanpembetulan-pembetulan, komentar atau bimbingan yang diperlukan.9

7[7] H. Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm. 256

8[8] Slamet Abdullah & Muslich KS, Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010, h. 3-4

9[9] Slamet Abdullah & Muslich KS, h. 42

[9] Metode ini masih bisa dijumpai dan dipertahankan di pondok-pondok tradisional. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya.

Sistem pendidikan klasikal di atas telah membuat stagnasipemikiran karena ajaran agama tidak pernah dikritisi serta tidakdiijtihadi ulang agar nilainya mampu bermanfaat bagi umat. Sistempendidikan ini menurut Ahmad Dahlan harus diubah dengan sistembaru yang lebih kritis, transformative dan demokratis agar mampumenghasilkan para mujtahid handal yang dapat mengijtihadi hukumsesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan peradaban manusia.10[10]

Usaha-usaha yang mula-mula dilakukan Muhammadiyah adalahmendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Tahun1918 didirikan sekolah baru bernama “al-Qim al-Arqa”, dua tahunkemudian dari sekolah ini mendirikan pondok muhammadiyah diKauman. Tahun 1923 Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8 jenissekolah dengan jumlah murid 1019 murid, dan terdiri dari 73guru.11[11] Dalam usianya yang tidak lagi muda, Muhammadiyahtetap progresif melakukan dakwahnya. Salah satu bidang dakwahyang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah peran Muhammadiyahdalam mencerdaskan manusia Indonesia melalui dunia pendidikan.Data tahun 2003 Muhammadiyah telah memiliki Sekolah Dasar (SD)berjumlah 1128, Madrasah Ibtida’iyyah (MI) 1768, Sekolah LanjutanTingkat Pertama (SLTP) 1179, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534,Sekolah Menengah Umum (SMU) 509, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)249, Madrasah Aliyah (MA) 171, dan jumlah perguruan tinggiMuhammadiyah (PTM) adalah 143.12[12] Banyak faktor yangberkonstribusi dalam mengeksiskan keberlangsungan amal usahapendidikan ini.

Menurut Geertz titik berat program Muhammadiyah adalah dibidang pendidikan, yang sistem pengajarannya berpolakan sistemsekolah negeri. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut bukandimaksud untuk menciptakan sendiri suatu sistem pendidikan Islam,melainkan untuk mengorganisasi sistem pendidikan Swasta yang

10[10] Slamet Abdullah & Muslich KS, h. 42

11[11] Abudin Nata (ed), h, 259

12[12] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 29

sejajar dengan sistem nasional. Memang sejak awal kelahirannyaMuhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan pendidikan colonial,sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan danbukan dalam materi atau isi tujuan pendidikan.13[13] gerakan yangbersifat akomodatif.

Belakangan Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah yangmirip dengan pesantren. Pada dasarnya, reorientasi kelembagaandan reorientasi tujuan pengajaran Muhammadiyah tersebutdidasarkan oleh perkembangan dan tuntutan yang muncul yangmengitarinya untuk melakukan pembaruan. Kontekstualisasipengajaran tersebut diharapkan agar secara kualitatif pendidikanyang dikelola oleh Muhammadiyah dapat dipertanggungjawabkan.

Bukan berarti Persyerikatan Muhammadiyah tidak membangunPesantren dan sekolah agama. H.S. Prodjokusumo, 1987, dalamMuhammadiyah, Pendidikan Pesantren, dan Pembangunan, member penjelasantentang Sekolah Muhammadiyah di Zaman penjajahan.Diklasifikasikan menjadi dua yaitu sekolah agama dan sekolahumum. Sekolah agama terdiri dari; Muallimin, Muallimat (samadengan Muallimin bedanya siswanya putrid), Diniyah Ibtidaiyah(sekolah agama 3 tahun), Diniyah Wustho (sekolah agama tingkatmenengah), sekolah Tabligh (sekolah agama lanjutan atas),Kuliyatul Muballighin.

Sekolah Umum terdiri dari: Volks School Moehammadijah(sekolah dasar 3 tahun), Vervolg School (lanjutan dari VolksSchool), Normal School (sekolah guru setelah Vervolg), CursusVoor Volks Onderwijzer (CVO), Hollandsch Inlandsche School (HIS),Schakel School, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), AlgemeeneMiddlebare School (AMS), dan Hollandsch Inlandsche Kweekschool(HIK).14[14]

Falsafah dan Paradigma Pendidikan MuhammadiyahUntuk melakukan rekonstruksi paradigma, elemen penting yang

perlu diperhatikan oleh sistem pendidikan Muhammadiyah meliputifaktor-faktor yang terkait dengan akuntabilitas. Elemen pentingyang dimaksud antara lain; pertama, Visi pendidikan Muhammadiyah.

13[13] Abudin Nata (ed), h. 263

14[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadina, 2010, h.444

Kedua, Misi Pendidikan Muhammadiyah. Ketiga, Tujuan PendidikanMuhammadiyah. Keempat, Sasaran pendidikan Muhammadiyah. Kelima,Kebijaksanaan Pendidikan Muhammadiyah. Keenam, Program pendidikanMuhammadiyah. Ketujuh, Kegiatan Pendidikan Muhammadiyah. Dankedelapan, Indikator Kinerja.15[15]

Pendidikan yang diselenggarakan umat manusia selaludidasarkan pada pandangan hidup atau falsafah yang dianutmasyarakat manusia yang bersangkutan, karena setiap masyarakatmempunyai falsafah dan pandangan hidupnya sendiri. Pandanganhidup masyarakat itulah yang memberi arah ke mana pendidikan akanmenuju dan bagaimana cara memindahkan nilai-nilai tersebut.Pandangan hidup pulalah yang menentukan tujuan pendidikan suatumasyarakat.16[16] Begitu pula halnya Muhammadiyah sebagaiorganisasi social yang berasaskan Islam. Dalam pendidikanMuhammadiyah telah merumuskan kerangka filosofisnya.

Dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah,yakni pada Bab II, terdapat penjelasan tentang Rumusan FilsafatPendidikan Muhammadiyah. Beberapa poin dari keputusan tersebut.Pertama, hakikat pendidikan dalam pandangan Muhammadiyah.Terdapat pernyatan; “Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkunganyang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiranAllah SwT sebagai Rabb dan menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS).Dengan kesadaran spiritual makrifat (iman/tauhid) dan penguasaan IPTEKS, seseorangmampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri memenuhi kebutuhanhidupnya secara mandiri, peduli sesame manusia yang menderita akibat kebodohandan kemiskinan, senantiasa menyebarluaskan kemakmuran, mencegah kemungkaranbagi pemuliaan kemanusiaan dalam rangka kehidupan bersama yang ramahlingkungan dalam sebuah bangsa dan tata pergaulan dunia yang adil, beradab dansejahtera sebagai ibadah kepada Allah. Pendidikan Muhammadiyah merupakanpendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan danantara iman dan kemajuan yang holistic.

Kedua, visi dan misi pendidikan Muhammadiyah. VisiMuhammadiyah dinyatakan sebagai berikut: “terbentuknya manusiapembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKSsebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sedangkan misidirumuskan sebagai berikut: (1) mendidik manusia memiliki

15[15] Said Tuhuleley (ed), h. 98-100

16[16] Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001, h. 95

kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat); (2) membentuk manusiaberkemajuan yang memiliki etos tajdid, berfikir cerdas,alternatif dan berwawasan luas; (3) mengembangkan potensi manusiaberjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, kompetitif danjujur; (4) membina peserta didik agar menjadi manusia yangmemiliki kecakapan hidup dan keterampilan social, teknlogi,informasi dan komunikasi; (5) membimbing peserta didik agarmenjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan menciptakan danmengapresiasi karya seni-budaya; (6) membentuk kaderPersyerikatan, umat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli danbertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

Ketiga, nilai-nilai dasar pendidikan Muhammadiyah (NDPM).Sebagai berikut: (1) Pendidikan Muhammadiyah diselenggarakanmerujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnahNabi; (2) ruhul ikhlas untuk mencari ridla Allah SwT menjadidasar dan inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amalusaha di bidang pendidikan; (3) menerapkan prinsip kerja sama(musyarakah) dengan tetap memelihara sikap kritis, baik pada masaHindia Belanda, Dai Nippon (Jepang), Orde Lama, Orde Baru, hinggapasca ORBA; (4) selalu memelihara dan menghidup-hidupkan prinsippembaharuan (tajdid), inovasi dalam menjalankan amal usaha dibidang pendidikan; (5) memiliki kultur untuk memihak kepada kaumyang mengalami kesengsaraan (dhuafa dan mustadh’afin) denganmelakukan proses-proses kreatif sesuai denga tantangan danperkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia; (6)memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth danmoderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dankesucian hati.

Keempat, unsur-unsur pendidikan. Aspek-aspek pendidikanmeliputi: (1) pembelajar; (2) pembelajaran; (3) pendidik; (4)Persyerikatan; (5) manajerial; (6) Kurikulum; (7)Kemasyarakatan.17[17] Keempat nilai ini masih dalam datarn konsepfilosofis masih perlu penjabaran yang lebih lanjut agar dapataplikatis di ranah praksis di sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Dalam Filsafat Pendidikan setidaknya mengenal tiga aliranfilsafat, yaitu: esensialisme/perenialisme, progresivisme, danrekonstruksi social. Esensialisme berpandangan bahwa tugas

17[17] Tulisan Prof. Dr. Syamsul Arifin dengan judul AIK Sebagai Praksis Pendidikan Nilai, Suara Muhammadiyah 04/98 I 16-28 Februari 2013

pendidikan melestarikan budaya. Progresivisme berpadandanganbahwa tugas pendidikan adalah mengembangkan kemampuan subyekdidik agar dapat berkembang optimal. Rekonstruksi socialberpandangan adanya aspek individual dan adanya aspektanggungjawab kemasyarakatan.18[18] Dalam hal ini Muhammadiyahsecara eksplisit masuk tiga kategori di atas yaituesensialisme/perenialisme, progresivisme, sekaligus rekonstruksisocial.

Amin Abdullah dalam makalah Filosofi dan Paradigma PendidikanMuhammadiyah19[19] mengungkapkan empat paradigma pendidikanMuhammadiyah. Pertama, paradigma pembaharuan pendidikan Islamyang bercorak kritis-hermeneutis. Muhammadiyah senantiasamenyatukan dimensi ajaran “kembali kep ada al-Qur’an dan Sunnah”dengan dimensi “ijtihad” dan “Tajdid” social keagamaan. Keduanyadapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Lewat ijtihad dantajdid sosio-kulturalnya, Muhammadiyah sengaja meniru danmelaksanakan sistem pendidikan “sekolah” untuk tidak menyebutnyadengan sistem pendidikan Barat yang mengajarkan ilmu secara lebihutuh-komprehensif, baik dalam wilayah natural maupun social ataubehavioral science dengan tidak meninggalkalkan ilmu-ilmu agamaIslam.

Kedua, adalah paradigma pembaharuan pendidikan agama Islamyang bercorak esensialis sekaligus perennialis. Nilai-nilai yangesensial yang termuat dalam kitab suci al-Qur’an dan juga Sunnahharus berlaku dan diamalkan secara abadi (perennial). contohparadigma pembaharuan pemikiran Islam model esensialis-perennialis lebih menekankan dimensi “purifikasi” aqidah danibadah dan bukan dinamisasi kehidupan social dan pendidikankeagamaan. Ketiga, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yangbercorak rekonstruksi social (social reconstruction). Dalammengaktualisasikan dan merealisasikan cita-cita danperjuangannya, metode pembaharuan pemikiran pendidikan Islammodel Muhammadiyah menggunakan sistem organisasi.

Keempat, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yangbercorak progressif. Titik tekan paradigma ini antara lain adalah

18[18] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 35-40

19[19] Said Tuhuleley (ed), h. 49

sifatnya yang selalu berorientasi ke depan (future oriented). Dengandemikian, semangat untuk memperbaiki, mengoreksi, danmenyempurnakan cara berpikir dan mekanisme kerja yang sekarangini sedang berjalan selalu diperioritaskan.

Konklusinya kemudian dapat ditarik bahwa Paradigmapendidikan Muhammadiyah pada dataran keilmuan adalah menyatukanilmu dengan wahyu, dan ditampilkan dalam antologi yangmendudukkan wahyu dan sunnah Rasul sebagai acuan. Sementara padadataran oprasional adalah agar umat Islam mampu berkiprah diseluruh sektor kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, danberada dalam seluruh strata kehidupan dan seluruh stratakeahlian.20[20]

Profil Singkat Madrasah Muallimin Muhammadiyah YogyakartaPondok Pesantren Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta mula-

mula didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun1920 dengan nama“Qismul Arqa” atau sering disebut “Hogere School” yang berartisekolah menengah tinggi. Tahun 1923 nama tersebut diganti menjadi“Kweekschool Islam” lalu berubah lagi menjadi “KweekschoolMuhammadiyah”. Pelajarnya masih campuran, putra-putri. Akhirnyapada kongres Muhammadiyah tahun1930 di Yogyakarta diganti namanyamenjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimat.

Setelah mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah yangcukup panjang, lalu timbul gagasan untuk menyesuaikan denganperkembangan zaman dan lebih meningkatkan kualitas pendidikan danpengajaran. Pada tahun 1980 di bawah kepemimpinan HMS. IbnuJuraimi, terjadilah perubahan system pendidikan Mu’allimin yangsangat mendasar. Jikalau pada masa sebelumnya asrama belummenjadi satu kesatuan system dengan madrasah, maka sejak tahun1980 itulah mu’allimin mulai menganut system “long lifeeducation”. Pada system ini madrasah hanyalah merupakan subsystem dari pondok pesantren.

Perpaduan antara kebutuhan persyarikatan (yakni: pencetakankader-kader) dan kebutuhan umat saat itu (yakni: keinginan untukmemperoleh ijazah formal yang diakui oleh Negara, sehingga dapatmelanjutkan pendidikan keperguruan tinggi umum maupun agama)merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Langkahnya,pertama, memasukkan kurikulum madrasah Tsanawiyah dan Aliyah

20[20] Said Tuhuleley (ed), h. 49 & 51

sesuai kurikulum 1975 (SKB 3 menteri pada masa Menteri AgamaProf. Dr. Mukti Ali) ke dalam kurikulum Mu’allimin. Kedua, parasiswa diwajibkan tinggal di dalam Asrama/Pondok. Ketiga,pengajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris lebih diintensifkanlagi dengan tujuan mencetak siswa Mu’allimin yang handal dalamberbahasa asing, baik secara aktif maupun pasif.21[21]

Nahdlatul Ulama’ (NU)Benteng perlawanan terhadap golongan pembaharu yang

didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk NahdlatulUlama. Didirakan dalam tahun 1926.22[22] Kehadiran dan kelahiranNU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yangplural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan.Terdapat pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NUoleh para ulama tradisional waktu itu. Jika diteliti secaraseksama, sejak kelahirannya, NU telah dihadapkan pada pertarunganideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi keagamaan yangada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalahideologi yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbedadengan ormas keagamaan lainnya, kehadiran NU merupakan bagiandari desakan local untuk merawat tradisi yang saat itu terancamoleh kalangan reformis atau modernis (baca: Muhammadiyah,Syarikat Islam dan al-Irsyad). Ini adalah faktor dari dalam atauinternal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU,langsung atau tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadapfaham wahabisme di satu sisi dan menguatnya kelompok pembeharuandi Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin al-Afghani dan RasyidRidho.23[23] Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yangmerespon berdirinya NU.

Sedikit menyinggung sejarah pendidikan NU, Pada Muktamar NUke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli pendidikandengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-

21[21] Selengkapnya bisa dibaca di situs resminya, www.muallimin.sch.id/index.php/profile. akses 20 juni 2013

22[22] Deliar Noer, h, 241

23[23] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islamdi Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h. 22

pesantren besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. WahabChasbullah, Denanyar yang dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, danNganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin Seror Putih. Pada MuktamarNU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon kecenderungan naiknyakuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para Muktamirinsepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidangpendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yangdiketuai oleh Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden.Pada perkembangan selanjutnya, terbentuklah Lembaga PendidikanMaârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU ke-20 (1959) di Jakarta.

Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga Muktamar NU ke-30(1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan sektorpendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan KonbesNU tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkanTaushiyah Pondok Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembaliposisi bidang pendidikan untuk menjadi prioritas program NU.Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah itu, tepatnyatanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang JawaTimur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah KerjaPerguruan Tinggi NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkanformat, strategi dan guidlines (garis panduan) pengembanganpendidikan di lingkungan NU.24[24]

Tidak bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan pesantrenadalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di wilayahNU berawal dari keberadaan pesantren. para kiai pesantren, dahulukala, ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagianbesar mendirikan pesantren sebagai institusi pendidikan. Olehkarena pendidikan pesantren, maka keilmuan yang diutamakan adalahkeagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan karena kitabfiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminyadiperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mestimemiliki perangkat keilmuan nahwu-sharaf.

Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan NU sebelum madrasahadalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada dalamnaungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI(Lembaga Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikanmadrasah berada dalam naungan NU, yang penanganannya diserahkan

24[24] Artikel%20Pendidikan%20Network%20-%20MENGENAL%20PENDIDIKAN%20NAHDHATUL%20ULAMA.htm. akses 8 Juni 2013

kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah NU-Maârifdidirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yangpenting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlahbanyak. Persoalan kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidakbegitu dipedulikan. Akan tetapi pada perkembangan berikutnya,sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana keberadaansekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensipokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.

Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang esensial; 1). Al-I’timadalannafsi (berdikari), dan 2). Fil Ijtimaâiyah (memasyarakat), artinyadihidupi oleh masyarakat. Madrasah atau pesantren itu didirikanoleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketikamasyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya dipesantren atau madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya olehkiai, kemudian mereka membangun kamar sendiri. Hal itu sekarangbergeser, pesantren atau madrasah tidak berdikari, mereka jugamencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri sekarang tidakotomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jaditidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkananaknya ke pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggungjawab wali santri.25[25]

Sistem Pesantren Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga

Pendidikan Islam di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulantulisan dari berbagai sumber. Salah satu judul yang menarikadalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik danUnsur-Unsur Kelembagaan. tulisan ini mencoba untuk memotret sekilasgambaran sistem pesantren dan karakteristiknya. Berangkat daridefinisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembagapendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam denganmenekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilakusehari-hari.

Definisi lain yang diberikan oleh Sudjoko Prasodjo,pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnyadengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmuagama Islam kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang

25[25] Ibid

ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan parasantri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantrentersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yangdisebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai,mesjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atauasrama tempat tinggal para santri.

Karakteristik pendidikan pesantren 1.      Materi Pelajaran dan Metode Pelajaran

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantrenhanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau matapelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agamayang dikaji ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’iddan ilmu kalam, fiqh dan ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis,bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwu, sharaf, bayan,ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf. Kitab yangdikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahanyang lazim disebut kitab kuning.

Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikanpesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan. Metode wetonanadalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajarandengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran.Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadapkiai atau guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yangdipelajarinya. Metode hafalan ialah suatu metode di mana santrimenghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yangdipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebihmudah untuk dihafalkan.

2.      Jenjang Pendidikan Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti

dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.Umumnya, kenaikan tingkat seseorang santri ditandai dengan tamatdan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santritelah menguasai satu kitab atau beberapa kitab dan telah lulusimtihan (Ujian) yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah kekitab lain. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengannaiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tapi padapenguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang palingrendah sampai yang paling tinggi.

3.      Fungsi Pesantren Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan,

tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar agama.Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsipesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmuIslam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam, dan ketiga, reproduksiulama. Di samping itu pesantren juga menjadi sentral konsultasimasyarakat yang dating dengan berbagai keperluan seperti mintanasihat, minta doa, dll.

4.      Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren Setidak-tidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh

pesantren: (1) Theocentric, (2) suka rela dalam pengabdian; (3)kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (7) kebebasanterpimpin; (8) kemandirian; (9) pesantren adalah tempat mencariilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11) belajar dipesantren bukan mencari ijazah; (12) restu kiai, artinya semuaperbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangatbergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.

5.      Sarana dan tujuan pesantrenDalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh

cirri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau komplekspesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisikkini sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yangmemiliki gedung yang megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihatdari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalampergaulan sehari-hari.

Mengenai tujuan pesantren, sampai kini belum ada suaturumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantrenyang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnyasama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat sertameningkatkan ibadah kepada Allah. Hasil wawancara Mastuhuterhadap pengurus pesantren layak untuk dituliskan, tujuanpendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkankepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwakepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat denganjalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitumenjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad(mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas dan teguhdalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan

kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami walmuslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkankepribadian Indonesia.

6.      Kehidupan Kiai dan Santri Kegiatan di pesantren berkisar pada pembagian waktu

berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian waktupagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda denganpengertian di luar.

Setidak-tidaknya ada delapan cirri pendidikan pesantren,sebagai berikut: (1) Adanya hubungan yang akrab antara santridengan kiainya; (2) Kepatuhan santri kepada kiai; (3) Hidup hematdan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren;(4) Kemandirian amat terasa di pesantren; (5) Jiwa tolongmenolong dan suasana persaudaraan (ukhwah) sangat mewarnaipergaulan di pesantren; (6) Disiplin sangat dianjurkan dipesantren; (7) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuanmerupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri;(8) Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftarrantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri

Profil singkat Ponpes Tebuireng Pondok pesantren tebu irang didirikan oleh Kyai Hasyim

Asy’aripada tahun 1899 M. secara singkat, periodesasikepemimpinan tebuireng sebagai berikut:

Periode I : KH. Muhammad hasyim Asy’ari : 1899-1947Periode II : KH. Abdul Wahid Hsyim : 1947-1950Periode III : KH. Abdul Karim Hasyim :1950-1951Periode IV : KH. Ahmad Baidhawi :1951-1952Periode V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953-1965Periode VI : KH. Muhammad Yusuf Hasyim :1965-2006Periode VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006- sekarang

Sebagai pesantren tradisional, pondok pesantren tebuirengpada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya yangsangat berarti bagi negeri ini, yang sedang melawan penjajahBelanda dan jepang. Seiring dengan perjalan waktu pondokpesantren tebuireng tumbuh demikian pesatnya, santri yangberdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam. Untuk

kepentingan, pondok pesantren tebuireng beberapa kali telahmelakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan denganpendidikan. Pada zaman itu system pengajarn yang digunakan adalahmetode sorogan, metode weton atau bandongan atau halqah. Kenaikantingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yangkhatam dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khususberkisar tentang pengetahuan agama islam, ilmu syari’at danbahasa Arab. Sesuai dengan misi utama berdirinya pondok

Perubahan system pendidikan di pesantren ini pertama kalidiadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M, yakni denganpenerapan system madrasi (klasikal) dengan mendirikan MadrasahSalafiyah Syafi’iyah. System pengajaran disajikan secaraberjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.Hingga pada tahun 1929 M, kembali dirintis pembaharuan, yaknidengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulumpengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh oleh pesantrenmanapun pada waktu itu.26[26] Ponpes Tebuireng saat ini di bawahnaungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan beberapa unitpendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah TsanawiyahSalafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hsyim, Madrasah AliyahSalafiyah Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah,dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari.

III. Kesimpulan Yang bisa disimpulkan dari penjelasan singkat dalam makalah ini yaitu;

1.      Adanya kesamaan ideology pendidikan yakni konservatis, meskipun Muhammadiyah lebih progresif dengan konsep tajdidnya sedangkan NU lebih pada tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi.

2.      Memiliki kesamaan dalam merespon perkembangan zaman, dalam konteks pendidikan Muhammadiyah memasukkan system kepondokan (asrama) ke dalam system madrasah. Sedangan NU memasukkan system pendidikan Madrasah (metode klasikal) ke dalam system pondok.

3.      Lahirnya Muhammadiyah merupakan respon terhadap kondisi umat islam di Indonesia yang irasional, sedangkan NU lahir dari antithesis gerakan pembaharuan Timur Tengah dan Muhammadiyah.

26[26] Untuk lebih rinci dan mendalam dapat dibaca di situs resminya, Tebuireng.org/pages/1/profil.html

Daftar Pustaka Tuhuleley, Said (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan,

Yogyakarta: SM, 2003

Slamet Abdullah & Muslich KS, Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Nata, H. Abuddin (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001

Mansur Suryanegara, Ahmad, Api Sejarah, Bandung: Salamadani, 2010

Pasha, Musthafa Kamal & Darban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009

A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010

Suara Muhammadiyah (SM), NO. 04 TH KE-98. 16 – 28 FEB 2013

Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001

Artikel PendidikanNetworkMENGENALPENDIDIKANNAHDHATULULAMA.htm. akses juni 2013

www.muallimin.sch.id/index.php/profile. akses 20 juni 2013

www.Tebuireng.org/pages/1/profil.html. akses 20 juni 2013

Diposkan oleh syahrul hadi di 02.25

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke FacebookReaksi: 

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Analog Clock

My Followers

Hidangan 2013 (11)

o November (2)

o Juni (3)

Studi Konsep Pendidikan Muhammadiyah & NU

Kaidah-Kaidah Tafsir

Pendidikan Islam VS Pendidikan Islam

o Mei (2)

o Maret (2)

o Januari (2)

2012 (1)

it's me