HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA

18
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 1 Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021 Halaman : 1-18 Tersedia secara online http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/ HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA Majaputera Karniawan, Alexander Candra ProgramStudi Pendidikan Keagamaan Buddha Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda ABSTRACT Objectives This study aims to look at the values of Human Rights in Buddhism, along with applicable contextual and comprehensive solutions so that they can be applied in everyday life. Design/Methodology/Approach The research method of this journal is a qualitative-basic theory that uses data sourced from the Sutta Pitaka and the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, then analyzes it so that it obtains values, contextual solutions, comprehensive solutions and then draw conclusions. Findings - The results of this study indicate the existence of human rights values with Buddhist teachings as contained in the Sutta Pitaka with the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights. Research Limitations The limitations of this study are based on theories, as well as the implications of the sources. Key words : Human Rights, Laws, Buddhism, and the Sutta Pitaka ABSTRAK Tujuan Penelitian ini bertujuan melihat nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Ajaran Buddha, berikut Solusi aplikatif secara kontekstual maupun secara menyeluruh agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Desain/Metodologi/Pendekatan Metode penelitian jurnal ini adalah Kwalitatif-Teori Dasar yang mempergunakan data yang bersumber dari Sutta Pitaka dan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kemudian menganalisanya sehingga mendapatkan nilai-nilai, solusi kontekstual, solusi menyeluruh dan kemudian mengambil kesimpulan. Temuan Hasil penelitian ini menunjukan adanya nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan Ajaran Buddha yang tertuang dalam Sutta Pitaka dengan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini berdasarkan teori-teori, juga implikasi narasumber. Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Undang Undang, Ajaran Buddha, dan Sutta Pitaka Riwayat Artikel : Diterima pada tanggal : Januari 2021 Disetujui pada tanggal : Mei 2021 Alamat Korespondensi : Majaputera Karniawan Pendidikan Keagamaan Buddha Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jl. Pulo Gebang Permai No.107, RT13/RW04, Kel. Pulo Gebang, Kec. Cakung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13950 E-mail: [email protected] PENDAHULUAN Era reformasi semenjak tahun 1998 Pemerintah Indonesia sudah banyak perubahan Hak Asasi Manusia. Kemudian pemerintah telah merumuskan definisi tentang Hak Asasi Manusia, yang populer dan berlaku secara hukum diindonesia adalah devinisi menurut Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia yang menerangkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah; ―Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia‖. Didalam artikelnya, Zakky (2018) menulis bahwa ada empat ciri-ciri khusus yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia, yaitu: (1) Hak Asasi Manusia bersifat hakiki. Ini adalah ciri pokok HAM yang utama. Artinya hak asasi dimiliki semua manusia dan bahkan sudah dimiliki secara otomatis

Transcript of HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 1

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA Majaputera Karniawan, Alexander Candra

ProgramStudi Pendidikan Keagamaan Buddha

Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda

ABSTRACT

Objectives – This study aims to look at the values of Human Rights in Buddhism, along with applicable contextual and

comprehensive solutions so that they can be applied in everyday life.

Design/Methodology/Approach – The research method of this journal is a qualitative-basic theory that uses data sourced from

the Sutta Pitaka and the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, then analyzes it so that it

obtains values, contextual solutions, comprehensive solutions and then draw conclusions.

Findings - The results of this study indicate the existence of human rights values with Buddhist teachings as contained in the

Sutta Pitaka with the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights.

Research Limitations – The limitations of this study are based on theories, as well as the implications of the sources.

Key words : Human Rights, Laws, Buddhism, and the Sutta Pitaka

ABSTRAK

Tujuan – Penelitian ini bertujuan melihat nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Ajaran Buddha, berikut Solusi aplikatif secara

kontekstual maupun secara menyeluruh agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Desain/Metodologi/Pendekatan – Metode penelitian jurnal ini adalah Kwalitatif-Teori Dasar yang mempergunakan data yang

bersumber dari Sutta Pitaka dan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kemudian

menganalisanya sehingga mendapatkan nilai-nilai, solusi kontekstual, solusi menyeluruh dan kemudian mengambil

kesimpulan.

Temuan – Hasil penelitian ini menunjukan adanya nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan Ajaran Buddha yang tertuang dalam

Sutta Pitaka dengan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Keterbatasan Penelitian – Keterbatasan penelitian ini berdasarkan teori-teori, juga implikasi narasumber.

Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Undang Undang, Ajaran Buddha, dan Sutta Pitaka

Riwayat Artikel :

Diterima pada tanggal : Januari 2021 Disetujui pada tanggal : Mei 2021

Alamat Korespondensi :

Majaputera Karniawan

Pendidikan Keagamaan Buddha

Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda

Jl. Pulo Gebang Permai No.107, RT13/RW04, Kel. Pulo Gebang, Kec. Cakung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota

Jakarta 13950

E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN Era reformasi semenjak tahun 1998 Pemerintah Indonesia sudah banyak perubahan Hak Asasi Manusia.

Kemudian pemerintah telah merumuskan definisi tentang Hak Asasi Manusia, yang populer dan berlaku secara

hukum diindonesia adalah devinisi menurut Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia

yang menerangkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah; ―Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan

keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia‖. Didalam artikelnya, Zakky (2018) menulis bahwa ada empat ciri-ciri

khusus yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia, yaitu: (1) Hak Asasi Manusia bersifat hakiki. Ini adalah ciri

pokok HAM yang utama. Artinya hak asasi dimiliki semua manusia dan bahkan sudah dimiliki secara otomatis

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 2

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

sejak lahir; (2) Hak Asasi Manusia bersifat universal dan menjangkau semua orang. Artinya hak asasi manusia

berlaku untuk semua orang di dunia tanpa terkecuali dan tidak memandang status, suku, agama, jenis kelamin, usia

dan golongan.; (3) Hak Asasi Manusia sifatnya tetap atau tidak dapat dicabut. Artinya hak asasi manusia tidak

dapat dihilangkan atau diambil oleh pihak lain secara sepihak dan akan selalu ada sejak lahir sampai ia meninggal.;

(4) Hak asasi manusia bersifat utuh atau tidak dapat dibagi. Artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak

yang ada secara utuh seperti hak hidup, hak sipil, hak berpendidikan, hak politik dan hak-hak lainnya. Adapun

beberapa tragedi sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusiadi Indonesia, baik yang sudah selesai maupun yang belum

selesai lihat pada pada Tabel 1

Tabel 1. Sejarah Pelanggaran HAM

NO TANGGAL KEJADIAN SUMBER

1 09/05/1993 Kasus Pembunuhan

Marsinah

https://www.liputan6.com/news/read/2944610/marsinah-misteri-di-

hutan-wilangan-24-tahun-lalu

2

12/05/1998 Tragedi penembakan

mahasiswa (Tragedi

Mei Trisakti)

https://www.liputan6.com/news/read/2948521/petang-mencekam-di-

kampus-trisakti-12-mei-1998

3

13/11/1998 Tragedi penembakan

mahasiswa (Tragedi

semanggi 1)

https://news.okezone.com/read/2016/11/14/337/1541326/pelanggaran-

ham-berat-tragedi-semanggi-harus-segera-diungkap

4

24/09/1999 Tragedi penembakan

mahasiswa (Tragedi

semanggi 2)

http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/ob3A4JYK-jejak-duka-

tragedi-semanggi-2

5 12/10/2002 Tragedi Bom Bali 1

(Selesai)

http://mediaindonesia.com/read/detail/126861-2002-tragedi-bom-bali-

1

6 01/10/2005 Tragedi Bom Bali 2

(Selesai)

https://www.liputan6.com/global/read/2329497/1-10-2005-bom-bali-

2-renggut-23-nyawa

Sumber: Pengolahan Sendiri

Bahkan dalam wawancara oleh BBC News, Presiden Joko Widodo mengakui masih ada kasus-kasus

penegakkan HAM yang belum bisa dituntaskan, termasuk pelanggaran-pelanggaran dimasa lalu. "Saya meyadari

masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah terkait dengan penegakan HAM yang belum bisa tuntas

diselesaikan, termasuk di dalamnya pelanggaran HAM masa lalu, hal ini membutuhkan kerja kita semuanya kerja

bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan seluruh komponen masyarakat, " (Presiden Joko Widodo, dalam

BBC News Indonesia 10/12/12). Berbagai kejadian pelanggaran HAM dimasa lalu di indonesia merupakan suatu

pelajaran berharga agar tidak timbul lagi kejadian serupa dimasa mendatang. Bahkan dewasa ini, Hak Asasi

Manusia [HAM] mulai digalakkan berbagai aktivis dan keberadaannya diakui dan dilindungi Undang-Undang

Dasar dan berbagai produk hukum lainnya. Antara Hak Asasi dan Ajaran Buddha masing-masing berlandaskan dari

bidang ilmu yang berbeda. Ajaran Buddha Gotama sendiri banyak menekankan kepada semangat [Viriya] dalam

pengikisan Kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat [Akusala Dhamma] dan mengembangkan Kualitas-kualitas

batin yang bermanfaat [Kusala Dhamma] (AN5.204 Bala Sutta). Sementara nilai-nilai universal HAM berasal

mula dari pemikiran filosofi dan filosof barat dan juga dari keyakinan ―semua orang berpikir dalam pola dan corak

yang seragam.‖ (Renteln, 1990: 47-50). Kemudian nilai-nilai HAM diterima oleh bangsa Indonesia sejak

diterbitkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [Universal Declaration Of Human Rights] pada tahun 1948

oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB], karena sebagai anggota PBB Indonesia memiliki tanggung jawab untuk

menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut (Piagam Hak Asasi Manusia, TAP MPR NO.

XVII/MPR/1998). Namun kita semua pastilah bisa mendapatkan nilai nilai hak asasi dalam nafas ajaran Buddha.

Orang akan dengan mudahnya berkata ajaran-ajaran Buddhis sejalan dengan hak asasi karena Ajaran Buddha

terkenal karena Metta atau cinta kasih universalnya kepada semua mahluk, yang mana bentuknya bukan mencintai

karena kemelekatan dan ego keakuan, melainkan suatu bentuk cinta kasih dan niat baik yang ditujukan kepada

semua mahluk tanpa diskriminasi apapun (U Jotalankara, 2004). Namun yang menjadi masalah adalah jarangnya

pengupasan secara literatur tekstual tentang nasihat-nasihat original Sang Buddha yang disandingkan dengan nilai-

nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku di Indonesia. Amat jarang sekali adanya satu bentuk kajian Dhamma

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 3

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

Sang Buddha yang disajikan dalam rangka menemukan nilai-nilai hak asasi manusia dalam hukum Indonesia

(Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia) dengan Ajaran Buddha. Sehingga

kadang kala umat Buddha maupun kalangan umat beragama lainnya kurang mendapatkan mengerti dan melihat

apa-apa saja nilai Hak Asasi Manusia dalam pandangan yang diajarkan oleh Sang guru agung, yakni Sang Buddha.

Berangkat dari pelajaran HAM dimasa lalu dan untuk melihat serta memberitahukan pada dunia dan Indonesia

bagaimana pandangan Ajaran Buddha terhadap HAM, maka dibuatlah jurnal penelitian ini.

METODE

Didalam Penelitian ini untuk mengupas sebuah teori dasar mempergunakan metode penelitian Qualitative

berdasarkan pendapat ahli lainnya. Menurut Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme

yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang

diinterpretasikan oleh setiap individu. Kemudian (Danim,2002) Penelitian kualitatif dapat dipercaya kebenaran

adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang melalui interaksinya dengan

situasi sosial mereka. Didalam metode kualitatif dasar adalah berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu

peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Penelitian yang

menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam, dan dapat

diasumsikan kebenaran menurut penelitian pada saat itu.

Metode penelitian Kwalitatif Teori Dasar dimana meneliti dan mengkaji teori-teori Ajaran Buddha yang

tertuang dalam teks Dhamma kitab suci Sutta Pitaka, yang berisi sepuluh asas Hak Asasi Manusia sesuai dengan

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia. Pendapat lainnya mengenai penelitian

Kwalitatif Dasar dari (Flick,Kardorff, dan Seiken,2004) bahwa ―Qualitative research claims to describe

lifeworlds ‗from the inside out‘, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to

contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns

and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by

actors caught up in their unquestioned daily routine‖. Menurut Sugiyono (2012:13) Metode penelitian kualitatif

adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument

kunci, pengambilan sampel, sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan

trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan

makna daripada generalisasi. Sugiyono (2012:35-36) juga mengemukakan bahwa bila masalah penelitian masih

belum jelas, masih remang-remang atau mungkin masih gelap. Kondisi semacam ini cocok diteliti dengan metode

kualitatif, karena peneliti kualitatif akan langsung masuk ke obyek, melakukan penjelajahan dengan grant tour

question, sehingga masalah akan dapat ditemukan dengan jelas. Melalui penelitian model ini, peneliti akan

melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek. Ibarat orang akan mencari sumber minyak, tambang emas dan lainnya.

Sedangkan metode Teori Dasar [Grounded Theory] adalah suatu metode riset yang berupaya untuk

mengembangkan teori tersembunyi dibalik data, dimana data ini dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis

(Martin dan Turner, 1986). Sedangkan Muhadjir (2002) mengatakannya dengan sebutan ―Teori Berdasarkan Data‖.

Menurut Jotalankara (2013:101) Teks Dhamma merupakan doktrin dan disiplin, atau tiga keranjang, atau tiga

kelompok [Tipitaka], lebih lanjut PANJIKA (2000:3) menjelaskan kalau Tipitaka merupakan kitab suci Agama

Buddha yang terbagi menjadi tiga keranjang atau tiga kelompok, yaitu: (1) Vinaya pitaka, berisi hal-hal yang

berkaitan dengan peraturan monastik Bhikkhu dan Bhikkhuni; (2) Sutta Pitaka merupakan lima kumpulan yang

berisi khotbah-khotbah Sang Buddha; (3) Abhidhamma pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun

analistis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika.

HASIL

Dari berbagai data-data yang diperoleh dan implikasi teori, kemudian diolah didalam penelitian kompilasi teori-

teori. Kemudian diolah berdasarkan penelitian sebelumnya, teori-teori dasar yang sudah ada, dan lalu diambil

kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dengan cara mengkaji teori-teori Ajaran Sang Buddha yang terdapat

dalam Sutta Pitaka, ditemukanlah nilai-nilai Ajaran Buddha yang sesuai dengan Sepuluh Jenis Hak Asasi Manusia

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 4

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

sesuai Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia dalam berbagai sutta. penelitian juga

memberikan solusi baik secara kontekstual dengan jenis hak asasi yang dimaksud maupun secara menyeluruh.

Tabel 2. Hubungan Uu No.39 Tahun 1999 Dengan Sutta Ajaran Budha

NO UU RI NO.39

TAHUN 1999

SUMBER

SUTTA

HUBUNGANN

YA DENGAN

PASAL

SOLUSI KONTEKSTUAL SOLUSI

MENYELURUH

1 Pasal 9 DN26, 31, 33;

SN3.2

Mendukung

Hak Asasi

Untuk hidup

Melaksanakan 5 aturan moralitas (sila)

dan menghindari 4 kekotoran

perbuatan, penjelasan 3 akar kejahatan.

RE

FL

EK

SI B

ER

UL

AN

G-U

LA

NG

(PA

CC

AV

EK

KH

ITV

Ā P

AC

CA

VE

KK

HIT

) MN

61

. AM

BA

LA

ṬṬ

HIK

AR

ĀH

UL

OV

ĀD

A

SU

TT

A &

ME

NG

EM

BA

NG

KA

N E

MP

AT

KE

DIA

MA

N L

UH

UR

(BR

AH

MA

VIH

AR

A) A

N4

.12

5 P

AṬ

HA

MA

ME

TT

Ā S

UT

TA

2 Pasal 10 POIN 1 MN81, 82,

143;

SN42.9

AN8.54

Dhp.21

Mendukung

Hak Asasi

Berkeluarga dan

melanjutkan

keturunan

Kebebasan memilih pilihan hidup

antara menjadi petapa atau umat awam,

juga mengetahui 8 bahaya bagi

kelangsungan keluarga & cara

mengatasinya.

3 Pasal 11 & 12 DN 33;

SN16.6;

AN7.6; KP5;

UD6.4; Dhp

69, 152

Mendukung

Hak Asasi

mengembangka

n diri

Memiliki 7 Jenis kekayaan, melatih 3

cara mengembangkan kebijaksanaan,

tidak menganggap pengetahuan –

wawasan sendiri sebagai kebenaran

absolut

4 Pasal 17 DN17;

SN3.7, 10.12;

AN3.28,

5.203;

Dhp137-140

Mendukung

Hak Asasi

memperoleh

keadilan

Dengan kejujuran memenangkan

pengakuan, Miliki moralitas, dalam

memimpin tegakkan kedermawanan,

pengendalian diri & penghindaran.

Jangan mendera orang tidak bersalah

atau 10 jenis bahaya menanti.

5 Pasal 21 AN3.57; 3.65;

8.12

Mendukung

Hak Asasi atas

kebebasan

pribadi

Tidak ada ekslusivitas pemberian dana;

Kebebasan memilih ajaran namun

harus diselidiki dahulu, jangan

menerima ajaran karena hanya

tradisi,turun temurun,kabar

angina,kumpulan

teks,logika,pertimbangan,penalaran,ber

pikir sepertinya pengajar cukup

kompeten, atau karena berpikir ―Dia

Guru Kami‖.

6 Pasal 30 DN5, 31;

SN3.5;

Dhp.160

Mendukung

Hak Asasi atas

rasa aman

Mengatasi ancaman keamanan dengan

pemberdayaan ekonomi – pemberian

bantuan tepat sasaran, Jangan hanya

mengandalkan perlindungan eksternal

namun juga perlindungan internal, juga

demi keamanan hindari berada dijalan

pada waktu yang tidak tepat.

7 Pasal 36 & 38 DN5, 31;

AN8.54;

Dhp.78

Mendukung

Hak Asasi atas

kesejahteraan

Meningkatkan kesejahteraan dengan

pemberdayaan ekonomi – pemberian

bantuan tepat sasaran, Kewajiban

memperhatikan kesejahteraan pekerja,

mengembangkan empat kesempurnaan

untuk menuju kesuksesan

8 Pasal 44 DN5, 26, 29;

AN5.214;

Dhp.133

Mendukung

Hak Asasi turut

serta dalam

pemerintahan

Mengajak masyarakat yang kompeten

untuk mensukseskan program

pemerintah, dalam memberi masukan

jangan sampai keliru – harus benar.

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 5

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

Karena merebaknya pendapat-pendapat

salah merupakan salah satu faktor

kemerosotan usia harapan hidup

manusia, juga hindari ucapan kasar dan

terlalu banyak bicara. Bijaklah

berbicara.

9 Pasal 49 poin 2

& 51 poin 1

DN31;

SN3.16;

AN5.33, 7.21,

8.49

Mendukung

Hak Asasi

wanita

Penjelasan mengenai kelahiran anak

perempuan sama dengan anak laki-laki

bahkan bisa lebih baik, empat kwalitas

keberhasilan perempuan, tuntunan Hak

dan kewajiban istri.

10 Pasal 52 poin 1

& 2

DN31; MN12;

AN4.63, 5.7,

7.21; KP5

Mendukung

Hak Asasi anak

Penegakan perlindungan anak, hindari

kekerasan pada anak, jika balita – anak

lalai dan membuat sakit diri sendiri,

upayakan tindakan protektif dengan

pengobatan yang tepat meski harus

menyakiti si anak (demi kebaikan

anak), tuntunan bakti –hak dan

kewajiban anak kepada orang tua.

Sumber: Pengolahan Sendiri

1. Hak Untuk Hidup :

Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, Pasal 9 menyebutkan tentang

penjelasan hak ini, yaitu:

1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

2. Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam DN 31. Sigālaka Sutta [Atau lebih dikenal Sigalovada Sutta] ditemukan adanya Empat Kekotoran

Perbuatan [Kammakilesā] yang harus ditinggalkan oleh seorang siswa Ariya. Yang pertama adalah kekotoran

perbuatan berupa membunuh [Pāṇātipāta Kammakilesā], kedua kekotoran perbuatan berupa mengambil apa

yang tidak diberikan [Adinnādāna Kammakilesā]. Yang ketiga adalah kekotoran perbuatan berupa

pelanggaran seksual [Kāmesumicchācāra Kammakilesā], dan yang keempat adalah kekotoran perbuatan

berupa berbohong [Musāvāda Kammakilesā]. Jika kita amati dengan seksama, keempat jenis kekotoran

perbuatan ini sangat berperan dalam menghambatnya atau bahkan merampas pemenuhan hak asasi untuk

hidup sesuai pasal diatas. Mengapakah empat kekotoran perbuatan ini penting untuk ditinggalkan seseorang?

Bukankah lebih baik membunuh daripada dibunuh? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan memberikan

pertanyaan balasan berupa ―Bagaimana mungkin seseorang mengharapkan kehidupan dan kesejahteraan

hidupnya dengan melakukan perbuatan yang kelak akan mencelakainya, memberikan penderitaan dan

ketidaknyamanan padanya?‖

Empat kekotoran perbuatan akan memberikan buah Karma yang buruk bagi pelakunya, empat

kekotoran perbuatan ini juga membuat moralitas [Sila] seseorang menjadi merosot, dan jika kita kembali

kepada dasar teori, disana disebutkan bahwa merosotnya moral adalah penyebab dari rusaknya alam dan

malapetaka bagi manusia (DN26. Cakkavatti Sīhanāda Sutta), itu artinya semakin banyak orang yang

melakukan empat kekotoran perbuatan ini, maka dapat dipastikan lingkungan sekitarnya turut terdampak dan

sulitnya terpenuhi Hak Asasi untuk hidup karena manusia terbutakan oleh perbuatan jahat dan gemar

melakukan kejahatan. Maka dari itu tegakkanlah lima aturan moralitas [Pancasila – Pañca sikkhāpadāni]

dalam DN33. Sangīti Sutta ini, yaitu (1) Menghindari pembunuhan [Pāṇātipātā veramaṇī], (2) Menghindari

perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan [Adinnādānā veramaṇī], (3) Menghindari pelanggaran seksual

[Kāmesu­micchā­cārā veramaṇī], (4) Menghindari berbohong [Musāvādā veramaṇī], (5) Menghindari meminu

minuman keras dan obat-obatan yang menyebabkan kelambanan [Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā

veramaṇī]. Lalu darimanakah sumbernya empat kekotoran perbuatan ini? Seperti yang kita tau, keempat

kekotoran perbuatan kelak akan mencelakai, memberikan penderitaan, dan ketidak nyamanan pada

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 6

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

pembuatnya. Dengan merujuk pada SN3.2. Purisa Sutta, Buddha membabarkan kepada Raja Pasenadi dari

Kosala mengenai tiga hal yang ketika muncul dalam diri seseorang, muncul untuk mencelakai, memberikan

penderitaan dan ketidaknyamanan padanya, yaitu: (1) Keserakahan [Lobha], (2) Kebencian [Dosa], dan (3)

Delusi [Moha1]. Lobha, Dosa, Moha juga dikenal sebagai tiga akar kejahatan/tiga akar tidak bermanfaat [Ti

akusalamūlā] (DN 33. Saṅgīti Sutta). Dengan demikian maka dapat disimpulkan Untuk pemenuhan Hak Asasi

untuk hidup dalam pandangan Ajaran Buddha seseorang harus bisa meninggalkan tiga akar kejahatan, dengan

ditinggalkannya tiga akar kejahatan maka empat kekotoran perbuatan juga ditinggalkan, dengan

ditinggalkannya empat kekotoran perbuatan maka moralitas [Sila] akan meningkat. Jika orang yang

mengalami peningkatan moralitas disuatu wilayah semakin banyak, maka wilayah itu akan terhindar dari

malapetaka dan bencana, juga merosotnya tingkat kejahatan diwilayah itu, dan pastilah wilayah itu menjadi

tempat yang nyaman, ramah, juga membahagiakan untuk ditinggali.

2. Hak Berkeluarga Dan Melanjutkan Keturunan

Dalam Pasal 10 poin 1 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi:

―Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.‖

Dalam Ajaran Buddha, dikenal dua jenis kehidupan, yakni sebagai Perumah Tangga dan sebagai Pertapa.

Namun Sang Buddha sendiri tidak pernah memaksakan para perumah tangga untuk menjalani pertapaan dan

menjadi bhikkhu [biksu], bahkan beliau tidak memberikan penahbisan pertapaan kepada mereka yang belum

mendapat restu dari orangtuanya seperti perumah tangga Raṭṭhapāla yang harus meminta izin dahulu kepada

kedua orang tuanya agar dapat memasuki pertapaan dan menjadi bhikkhu (MN82. Raṭṭhapāla Sutta), demikian

juga ada para siswa Buddha dari kalangan perumah tangga diantaranya seperti Ghaṭikāra yang tidak mau

memasuki kehidupan pertapaan dan tetap menyokong kedua orang tuanya yang buta (MN81. Ghaṭikāra Sutta)

juga Anāthapiṇḍika yang tetap menjadi perumah tangga sampai akhir hayatnya (MN143. Anāthapiṇḍikovāda

Sutta). Kebebasan memilih pilihan hidup juga masih berlaku hingga saat ini. Namun apapun pilihan hidup

yang kita pilih, baik itu menjadi perumah tangga atau menjadi seorang bhikkhu, tentu memiliki konsekuensi

masing-masing dan kita harus siap menerima konsekuensinya dan siap menjalaninya dengan senang hati dan

sepenuh hati. Tak kalah penting kita harus siap bertanggung jawab dengan segala kewajibannya. Karena sudah

menjadi hal yang wajar dan berlaku di manapun, pada siapapun, bahwa setiap kehidupan atau pilihan hidup

yang kita pilih memiliki konsekuensi dan tanggung jawab masing-masing. (Cattapiyo:2016). Dalam SN42.9.

Kula Sutta, Sang Buddha memberikan pernyataan kepada kepala desa yang bernama Asibandhakaputta kalau

beliau memuji sikap simpati terhadap para keluarga, perlindungan para keluarga, belas kasih terhadap para

keluarga. Juga dalam sutta yang sama, Sang Buddha membabarkan ada Delapan sebab dari kehancuran sebuah

keluarga, yakni: (1) Raja [Rāja], (2) Pencuri [Cora], (3) Api [Aggi], (4) Air [Udaka]; atau (5) Mereka tidak

menemukan apa yang mereka simpan [Nihitaṃ vā ṭhānā vigacchati]; atau (6) Kegagalan dalam usaha

[Duppayuttā vā kammantā vipajjanti]; atau (7) Terdapat dalam keluarga seorang pemboros yang

menghamburkan [Vikirati], berfoya-foya [Vidhamati], dan membuang-buang kekayaannya [Viddhaṃseti]; dan

(8) Ketidak-kekalan [Anicca]. Kita semua mengetahui kalau membentuk suatu keluarga dan melakukan upaya

perkawinan tanpa perencanaan yang matang sudah tentu lebih besar berisiko kegagalan dalam berkeluarga.

Maka kita perlu untuk memperhatikan kedelapan sebab kehancuran keluarga. Hal ini amat sangat berharga

untuk diperhatikan baik oleh diri sendiri, keluarga, para pemimpin pemerintahan, juga siapapun yang

menginginkan terpenuhinya. Sebab nomor 1 hingga 5 dapat diantisipasi dengan

Ketidaklengahan/Kewaspadaan [Appamāda] karena mereka yang tidak lengah tidak mati, sebaliknya yang

lengah tak ubahnya telah mati (Dhp.21 Appamādavaggo). Sebab nomor 6 dan 7 bisa dihindari dengan

merawat empat hal yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dalam kehidupan ini

(AN8.54. Dīghajāṇu Sutta) yakni: (1) Kesempurnaan dalam inisiatif – terampil dan rajin juga dapat

melaksanakan serta mengatur pekerjaannya dengan benar [Uṭṭhānasampadā]. (2) Kesempurnaan dalam

perlindungan – mampu menjaga kekayaan yang telah dikumpulkan dengan baik [Ārakkhasampadā]. (3)

Pertemanan yang baik [Kalyāṇamittatā], dan (4) Kehidupan yang seimbang – tidak terlalu boros juga tidak

terlalu berhemat [Samajīvitā]. Sebab nomor 8 tidak dapat dihindari karena ketidak kekalan [Anicca] termasuk

dalam salah satu dari Tilakkhana, yaitu tiga corak yang mencengkram segala sesuatu dalam semesta alam

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 7

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

(PANJIKA, 2000:20). Maka dari itu perlu untuk ―Berusahalah hari ini juga, karena siapa tau kematian ada

diesok hari‖ (PARITTA SUCI, 2005:134).

3. Hak Untuk Mengembangkan Diri

Dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, disebutkan bahwa:

―Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.‖

Kemudian lanjut pada pasal 12 juga disebutkan bahwa: ―Setiap orang berhak atas perlindungan bagi

pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas

hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan

sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.‖ Dari kedua pasal diatas, kuncinya adalah pendidikan, pendidikan

ditujukan agar menjadi manusia yang berakhlak mulia bahagia dan sejahtera. Dalam pandangan ajaran

Buddha, Orang yang dangkal pengetahuannya akan menjadi tua bagaikan lembu, dagingnya bertambah namun

kebijaksanaannya tidak berkembang (Dhp.152 Jarā vaggo), maka dari itu penting mengembangkan

pengetahuan agar dapat menambah kebijaksanaan. Dalam mendukung perkembangan diri seseorang, ia dapat

mengumpulkan ―Tujuh jenis kekayaan [Satta dhanāni]‖ (AN7.6. Vitthatadhana Sutta) yang akan

mendukungnya agar mendapatkan pengetahuan, berakhlak mulia, dan berkebijaksanaan. Yakni: (1) Kekayaan

keyakinan [Saddhādhana], (2) Kekayaan perilaku bermoral [Sīladhana], (3) Kekayaan rasa malu terhadap

perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran [Hirīdhana], (4) Kekayaan rasa takut terhadap perbuatan

buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran [Ottappadhana], (5) Kekayaan pembelajaran [Sutadhana], (6)

Kekayaan kedermawanan [Cāgadhana], dan (7) Kekayaan kebijaksanaan [Paññādhana]. Pembelajaran itu

penting untuk menambah pengetahuan, bahkan Sang Buddha mengatakan memiliki pengetahuan luas dan

keterampilan, juga memiliki moralitas dan tutur kata yang baik sebagai ―Berkah utama‖ [Maṅgalamuttamaṃ]

(KN, Khuddakapāṭha 5. Maṅgala Sutta). Dengan pengetahuan maka kebijaksanaan bertambah, namun

kebijaksanaan tidak hanya dapat ditambah dengan pembelajaran saja, ada tiga cara yang bisa ditempuh untuk

menambah dan mengembangkan kebijaksanaan seseorang (DN33. Sangīti Sutta) yaitu: pengembangan melalui

pemikiran [Cintāmaya paññā], pengembangan melalui mendengar pembelajaran [Sutamayā paññā], dan

pengembangan melalui pengembangan batin – meditasi [Bhāvānāmaya paññā]. Meskipun Sang Buddha

mendukung Pengembangan diri melalui pengetahuan, namun Sang Buddha tidak setuju dengan sikap jumawa,

merasa paling benar dan paling pandai karena pengetahuan. Sang Buddha pernah menegur Bhikkhu Bhaṇḍa,

murid dari Bhikkhu Ānanda dan Bhikkhu Abhiñjika, murid dari Bhikkhu Anuruddha karena bersaing satu

sama lain dengan beradu pengetahuan dan beradu siapa yang dapat berbicara lebih banyak, lebih baik, dan

lebih lama (SN16.6 Ovāda Sutta), bahkan beliau memberikan teguran keras dengan berkata: ―Kalau begitu jika

kalian tidak pernah mendengarkan Aku mengajarkan Dhamma demikian, apakah yang kalian, manusia tidak

tahu diri, ketahui dan lihat, setelah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah

dibabarkan dengan sempurna, kalian saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kalian,

tentang siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat

berbicara lebih lama?‖ (SN16.6 Ovāda Sutta) Sang Buddha juga mengajarkan kalau tingkatan pengetahuan

langsung setiap orang berbeda-beda dan tidak selalu berpandangan sama, akan sangat berbahaya jika hanya

mengandalkan sisi pengetahuan sendiri, menggenggam erat pandangan sendiri, dan menganggapnya sebagai

kebenaran yang paling benar, mutlak, dan absolut. Hal ini Buddha tuangkan dalam Perumpamaan Gajah dan

Orang Buta (KN.Udāna 6.4 Paṭhamanānātitthiya Sutta) Dalam perumpamaan itu, Buddha menceritakan

sebelumnya di kota Sāvatthī terdapat seorang Raja yang mengumpulkan orang-orang yang telah buta sejak

lahir dari kotanya, setelah mereka berkumpul raja itu memperlihatkan seekor gajah pada mereka. Kemudian ia

memperlihatkan kepala gajah kepada beberapa orang-orang buta itu sambil berkata ―Tuan-tuan inilah gajah‖.

Demikian juga ia memperlihatkan telinga gajah kepada beberapa orang buta lainnya dengan mengatakan

―Tuan-tuan inilah gajah‖. Hal yang sama ia lakukan ke kelompok orang-orang buta lainnya dengan masing-

masing kelompok diperlihatkan dengan bagian tubuh gajah yang berbeda-beda antara lain gading gajah,

belalai gajah, badan gajah, kaki gajah, paha gajah, ekor gajah, dan ujung ekor gajah. Kemudian setelah orang-

orang buta itu puas melihat gajah dengan keterbatasan mereka, mereka kembali berkumpul kehadapan raja,

raja kemudian meminta mereka menjelaskan seperti apakah gajah itu.

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 8

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

Kelompok yang diperlihatkan kepala gajah mengatakan gajah itu seperti kendi; Kelompok yang diperlihatkan

telinga gajah mengatakan gajah seperti kipas; Kelompok yang diperlihatkan gading gajah menjelaskan gajah

seperti mata bajak; Kelompok yang diperlihatkan belalai gajah menjelaskan gajah seperti galah bajak;

Kelompok yang diperlihatkan badan gajah mengatakan gajah seperti lumbung; Kelompok yang diperlihatkan

kaki gajah mengatakan gajah seperti tiang; Kelompok yang diperlihatkan paha gajah mengatakan gajah seperti

lesung; Kelompok yang diperlihatkan ekor gajah mengatakan gajah seperti penumbuk; Kelompok yang

diperlihatkan ujung ekor gajah mengatakan gajah seperti sapu. Kemudian, karena perbedaan pandangan,

pengetahuan, dan pendapat, juga masing-masing merasa paling benar, mereka saling berdebat dan beradu

argument menjelaskan gajah dengan versi mereka sendiri. Kemudian mereka saling memukul satu sama lain

dengan tinju mereka sementara sang raja senang dan menikmati kejadian itu. Dengan nasihat perumpamaan

gajah dari Sang Buddha tersebut, hendaknya kita tidak perlu terjebak dalam perbedaan pandangan dan

menganggap pengetahuan hasil pengembangan diri kita paling baik dan paling benar, serta menjelekan

pengetahuan dan pandangan orang lain. Apa yang kita ketahui bisa saja hanya sebagian kecil dari sekian

banyak pengetahuan yang ada dialam semesta ini, sebagai orang yang menerima Hak asasi untuk

mengembangkan diri melalui pendidikan tidak selayaknya saling menjatuhkan dengan pengetahuan yang

dimiliki, baik kepada sesama maupun kepada semua mahluk. Juga ingatlah dengan hukum Kamma Niyama

yang selalu ada dan menjangkau semua mahluk hidup dialam semesta. Perlu disadari bahwa sepanjang

perbuatan buruk belum masak, orang dungu mengiranya seperti madu. Akan tetapi jika perbuatan buruk telah

masak, ia jatuh menderita (Dhp69. Bāla Vaggo)

4. Hak Memperoleh Keadilan

Dalam Pasal 17 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia disebutkan bahwa:

―Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,

pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses

peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang

obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.‖ Kuncinya dari pasal

tersebut adalah Penegakkan hukum yang jujur dan adil serta tanpa diskriminasi. Ada beberapa hal dalam

ajaran Buddha yang menuntun terpenuhinya hak ini. Menurut Sang Buddha dalam SN10.12 Āḷavaka Sutta,

Kebenaran adalah rasa yang paling manis. Kemudian disutta yang sama Buddha juga menjelaskan bahwa

dengan kejujuran seseorang memenangkan pengakuan. Maka dari itu, menurut ajaran Buddha nilai kejujuran

dan kebenaran harus ada pada mereka yang mengharapkan keadilan, juga para penegak hukum. Lebih lanjut

lagi, setiap orang yang menginginkan kehidupan yang bahagia dan adil juga perlu melandasi dirinya dengan

moralitas yang baik, terlebih lagi jika seorang pemimpin. Pemimpin yang baik sudah pasti disenangi

pengikutnya sementara pemimpin durjana bahkan tidak akan diakui sebagai pemimpin dalam setiap diri

pengikutnya. Dalam DN17. Mahāsudassana Sutta, Menjelang beliau mencapai wafat agung di Kusinārā,

Buddha menceritakan kehidupan masa lalunya sebagai seorang raja dengan nama Mahāsudassana, beliau

adalah seorang raja pemutar roda yang memerintah dengan adil dan jujur sesuai dengan kebenaran [Dhamma],

waktu itu Kusinārā bernama Kusāvatī, ibu kota utama dari kerajaan milik Mahāsudassana. Singkat kata

Kusāvatī adalah kota luar biasa dengan banyak pohon emas, perak, beryl, dan harta berharga lainnya.

Mengapakah beliau disebut sebagai raja pemutar roda? Itu karena beliau memiliki pusaka roda [Cakkaratana]

yang diperoleh ketika ia melaksanakan Uposatha di hari kelima belas. [Kata uposatha adalah hari uposatha,

ibadat uposatha, sila uposatha; DUBD:2015. Sila uposatha terbagi menjadi dua jenis, bisa merujuk pada 8

latihan sila uposatha – AN8.42 Vitthatūposatha Sutta; maupun 9 latihan sila uposatha – AN9.18

Navaṅguposatha Sutta]. Setelah itu raja memercikan air dari kendi emas ke pusaka roda tersebut dan pusaka

roda itu berputar menuju keempat penjuru diikuti oleh raja dan barisan bala tentaranya, setiap penjuru yang

dilalui pusaka roda itu menjadi takluk, kemudian raja-raja disetiap penjuru yang dilalui pusaka roda itu datang

dan menghadap Raja Mahāsudassana dan siap menunggu perintah darinya, namun Sang Raja bukan

memerintah dengan sewenang-wenang, justru beliau memerintahkan para raja yang ditaklukannya untuk

menjalani Enam perintah yang mana lima pertama diantaranya mencakup Lima aturan moralitas [Pancasila],

yaitu: (1) Jangan membunuh. (2) Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. (3) Jangan melakukan

hubungan seksual yang salah. (4) Jangan berbohong. (5) Jangan meminum minuman keras. (6) Makanlah

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 9

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

secukupnya. Setelah pusaka roda menahlukan keempat penjuru, pusaka roda kembali ke ibukota Kusāvatī dan

berhenti di depan istana raja ketika Raja sedang memimpin persidangan. Sejak saat itu raja semakin

berpengaruh, dan daerah yang dipimpinnya semakin makmur dan kaya dengan berbagai permata dan

penduduk serta para pemimpinnya karena bermoral baik dan makan secukupnya, kehidupan mereka menjadi

bahagia. Kemudian beliau berpikir ―Dari kamma apakah ini berbuah, dari kamma apakah ini berakibat,

sehingga aku sekarang begitu kuat dan berkuasa?‖ Kemudian ia berpikir: ―Ini adalah buah, akibat dari tiga

jenis kamma: memberi [dāna], pengendalian-diri [dama], dan penghindaran [saṃyama].‖ Dengan melihat

kualitas kepemimpinan dari Raja Mahāsudassana yang sesuai dengan Dhamma, maka kemajuan diperoleh,

demikianlah dalam sudut pandang ajaran Buddha, kepemimpinan dan penegakkan hukum harus berlandaskan

pada minimal lima aturan moralitas yang baik, semakin tinggi standart s saja yang bisa didapatkan bukan

kemajuan. Dalam ajaran Buddha, orang yang tidak jujur dan senang berbohong disebut orang yang ucapannya

bagaikan kotoran [puggalo gūthabhāṇī] (AN3.28. Gūthabhāṇī Sutta) orang seperti ini tidak dapat dipercaya

ucapannya sekalipun dihadapan sidang pengadilan, ia akan berkata tidak tau pada sesuatu yang ia ketahui, juga

sebaliknya ia akan berpura-pura tau padahal ia tidak tau. Jika suatu lembaga hukum ataupun dalam suatu

sidang diisi penuh dengan tipikal orang seperti ini, maka orang-orang baik akan kehilangan kepercayaaannya

pada lembaga tersebut ataupun pada sidang tersebut. Hal ini tercatat dalam SN3.7. Aḍḍakaraṇa Sutta. Dalam

sutta itu Raja Pasenadi dari Kosala merasa jemu dan meninggalkan ruang pengadilan, karena terdapat banyak

khattiya kaya, brahmana kaya, juga perumah tangga kaya membicarakan kebohongan dengan bebas demi

kenikmatan indria [kāma]. Dalam sutta yang sama, Buddha menjelaskan pada Sang Raja bahwa hal itu akan

membawa mereka menuju bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Kata Khattiya secara

harfiah adalah orang keturunan kaum arya, orang yang berkasta kesatria [Status sosialnya tertinggi, selalu

disebutkan paling awal. Semua raja maupun kepala suku masuk dalam golongan ini]. Lebih lanjut dalam Dhp.

137-140 Daṇḍavaggo, Buddha menjelaskan barang siapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak

mencelakai dan tidak mendera, ia akan menemui salah satu dari sepuluh keadaan, yakni: (1) Perasaan

menyengat, (2) Keterpurukan, (3) Cacat tubuh, (4) Sakit keras, (5) Gangguan jiwa, (6) Usikan raja, (7)

Hasutan menyakitkan, (8) Kehilangan sanak keluarga, (9) Kemusnahan harta benda, (10) Kebakaran rumah.

Ataupun setelah ajalnya tiba ia masuk neraka. Lebih lanjut Dhammadhīro (2014:61) menjelaskan istilah tidak

mendera disini mengacu kepada orang suci yang tidak mendera siapapun. Demikianlah dalam pandangan

ajaran Buddha kunci dari terciptanya Hak memperoleh keadilan adalah adanya kejujuran dan juga keadilan itu

sendiri, dengan kejujuran seseorang memenangkan pengakuan. Selain itu perlu untuk melandasi diri dengan

moralitas yang baik, terlebih jika seorang pemimpin, karena orang yang tidak bermoral, yang ucapannya

bagaikan kotoran dan mencelakai mereka yang tidak mendera dengan cara apapun (termasuk memberikan

kesaksian palsu) maka akan segera ia menemui salah satu diantara 10 hal buruk, ataupun ia berakhir dineraka.

5. Hak Atas Kebebasan Pribadi

Pada Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia disebutkan bahwa:

―Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani‖. Lebih lanjut pada Pasal 22 Poin 1

dan 2 Juga disebutkan:

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.‖

Dalam ajaran Buddha sangat menjunjung asas kebebasan pribadi, Sang Buddha sendiri tidak pernah

memaksakan seseorang untuk mengikutinya atau mempercayai ajarannya. Beliau salah satu dari sedikit guru

dan pemimpin aliran keyakinan yang tidak pernah mengancam dan mengecam orang yang tidak meyakini

ajaran beliau ataupun memaksakan orang untuk menjadi pengikutnya. Hal ini beliau sampaikan saat berada

ditengah-tengah Kesaputta, tempat bermukim para penduduk Kālāma. (AN3.65. Kesamutti Sutta), saat itu para

penduduk Kālāma sedang mengalami kebingungan karena banyaknya pertapa dan Brahmana sekte lain yang

datang mengunjungi Kesaputta silih berganti, masing-masing dari mereka mengemukakan doktrin ajaran

mereka sendiri namun menjelek-jelekan doktrin ajaran lainnya. Karena hal ini juga, selain menjadi bingung

para penduduk Kālāma juga menjadi ragu-ragu mana diantara doktrin mereka yang benar. Kemudian Buddha

mengatakan sekaligus mengajak para penduduk Kālāma agar jangan semata-mata menerima suatu hal hanya

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 10

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

karena (1) Menuruti tradisi lisan, (2) Ajaran turun-temurun, (3) Kabar angin, (4) Kumpulan teks, (5) Logika,

(6) Penalaran, (7) Pertimbangan, dan (8) Penerimaan pandangan setelah merenungkan pembabar yang

tampaknya cukup kompeten, atau (9) Karena berpikir: ‗Petapa itu adalah guru kami.‘ Beliau kemudian

menyatakan kepada penduduk Kālāma, jika kalian mengetahui untuk diri ‗Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;

hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan

mengarah menuju bahaya dan penderitaan,‘ maka kalian harus meninggalkannya. Juga sebaliknya, jika

diketahui ‗Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;

hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,‘ maka

kalian harus hidup sesuai dengannya. Lebih lanjut lagi, Buddha juga menginstruksikan kepada Jenderal Sīha

(AN8.12. Sīha Sutta), yang pada awalnya sang jendral adalah pengikut petapa Nigaṇṭha Nātaputta, untuk

meneliti dan menyelidiki ajarannya walaupun sang jendral sendiri sudah tergugah oleh khotbah Dhamma dari

Sang Buddha. Beliau mengatakan ―Selidikilah, Sīha! Baik sekali bagi seorang terkenal sepertimu untuk

melakukan penyelidikan.‖ Yang karena hal ini dikatakan, maka Sang Jendral mengungkapkan

kebahagiaannya, karena jika para anggota petapa sekte lain yang mendapatkan Jenderal Sīha sebagai siswa

mereka, maka mereka akan membawa spanduk ke seluruh Vesālī sambil mengumumkan: ‗Jenderal Sīha telah

menjadi siswa kami.‘ Sedangkan Sang Buddha malah meminta sang jendral untuk menyelidiki ajarannya.

Lebih lanjut Sang Buddha juga meminta agar Jenderal Sīha harus mempertimbangkan untuk tetap melanjutkan

memberi dana kepada para Nigaṇṭha ketika mereka mendatangi sang jendral. Dan karena hal ini, sang jendral

kembali mengungkapkan kesenangannya dan merasa bahagia. Nilai-nilai toleransi dan kebebasan pribadi

sangat terlihat dalam Ajaran Buddha, bahkan Sang Buddha tidak pernah memaksakan orang-orang dan para

pengikutnya dengan klaim hanya memberikan persembahan dana kepada beliau ataupun siswa-siswa beliau

saja maka suatu pemberian akan berbuah besar dan sangat berbuah, juga beliau tidak pernah menghalang-

halangi pengikutnya maupun orang lain untuk memberikan persembahan dana kepada para petapa sekte lain

(AN3.57 Vacchagotta Sutta). Dalam sutta yang sama, beliau juga menegaskan bahkan pemberian berupa air

pencuci piring yang ditujukan kepada mahluk-mahluk ditempat sampah ataupun saluran air agar mereka dapat

bertahan hidup, itu saja sudah menghasilkan jasa kebajikan apalagi pemberian yang ditujukan pada manusia,

juga beliau menegaskan bahwa pemberian yang diberikan kepada seseorang yang berperilaku bermoral lebih

berbuah daripada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang tidak bermoral, dan masih disutta yang

sama, beliau menjelaskan penerima persembahan dana yang paling baik adalah siapapun seorang yang telah

meninggalkan lima faktor, yaitu (1) Keinginan indria [Kāmacchanda], (2) Niat buruk [Byāpāda], (3)

Ketumpulan dan kantuk [Thina-middha], (4) Kegelisahan dan penyesalan [Uddhacca­kukkucca], dan (5)

Keragu-raguan [Vicikicchā]; dan memiliki lima faktor, yaitu: (1) Perilaku bermoral [Sīla], (2) Konsentrasi

[Samādhi], (3) Kebijaksanaan [Paññā], (4) Kebebasan [Vimutti], dan (5) Pengetahuan dan penglihatan pada

kebebasan [Vimutti­ñāṇadassana] dari seorang yang melampaui latihan. Dari berbagai uraian temuan sutta

diatas, sangatlah jelas bahwa ajaran Buddha Dhamma sangat seiring sejalan dengan Hak Asasi kebebasan

pribadi. Bahkan, Buddha tidak memaksa orang lain untuk menjadi pengikutnya untuk bisa belajar Dhamma

dari beliau. Hal-hal ini amat jarang ditemukan pada ajaran lain.

6. Hak Atas Rasa Aman

Dalam Pasal 30 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, disebutkan bahwa

―Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk

berbuat atau tidak berbuat sesuatu.‖ Menurut Buzan (1991) salah satu penyebab dari ancaman keamanan

adalah karena faktor ekonomi. Dalam DN5. Kūṭadanta Sutta, Sang Buddha menceritakan pada kehidupan

lampau beliau sebagai seorang Brahmana Kerajaan yang bertugas sebagai penasihat Raja Mahāvijita. Dikala

itu Sang Raja ingin mengadakan upacara pengorbanan yang besar, namun negerinya sendiri tidak aman karena

banyaknya para pencuri yang menyerang dan merusak negeri, desa-desa dan pemukiman-pemukiman, bahkan

di perbatasan dikuasai oleh perampok. Sang penasihat juga menyampaikan Jika raja mengutip pajak atas

wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Namun sang penasihat tidak menyarankan pemberantasan para

penjahat dan perampok itu dengan cara mengeksekusi mereka, memberi hukuman penjara, atau dengan

menyita, mengancam dan pengusiran semata karena sang penasihat yang bijaksana berpendapat bahwa dengan

cara-cara seperti itu gangguan itu tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan kembali mengganggu

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 11

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

negeri sang raja. Sang Penasihat menyarankan pada raja agar memberikan rasa aman dengan cara pemenuhan

pemberdayaan ekonomi pada negerinya yang dilanda oleh para perampok, Bukan hanya dengan upaya paksa

berupa pembasmian dengan kekuatan militer. Dengan pemberian bantuan yang tepat sasaran; Kepada rakyat-

rakyat kerajaan yang hidup dari pencaharian bertani dan beternak sapi, raja disarankan untuk membagikan

benih dan makanan ternak; Kepada yang berdagang, diberikan modal usaha; dan yang bekerja melayani

pemerintahan diberikan upah yang sesuai. Sang Penasihat juga menambahkan kalau orang-orang itu, karena

tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Juga penghasilan kerajaan akan bertambah

dan rakyat pun menjadi sejahtera dan bahagia. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara ekonomi dan

stabilitas keamanan dalam sudut pandang Ajaran Buddha, maka dari itu sebagai masukan untuk pemenuhan

Hak asasi atas rasa aman perlu juga pemerintah memperhatikan faktor ekonomi masyarakatnya. Kemudian

juga, dengan alasan keamanan sebaiknya seseorang tidak berkeliaran dijalan pada waktu yang tidak tepat

(misalkan malam hari, tengah malam atau saat jalanan sepi). Dalam DN31. Sigālaka Sutta, Buddha

menerangkan Ada enam bahaya pada kebiasaan perbuatan berkeliaran di jalanan pada waktu yang tidak tepat,

yaitu: (1) Seseorang tidak memiliki pertahanan dan tanpa perlindungan, dan (2) Demikian pula dengan istri

dan anak-anaknya, juga (3) Hartanya; (4) Ia dicurigai atas suatu tindak kejahatan, (5) Ia bisa menjadi korban

laporan palsu, dan (6) Ia mengalami segala jenis ketidaknyamanan. Maka dari itu sebaiknya kita yang

menginginkan Hak atas rasa aman kita terpenuhi sebaiknya menghindari berada dijalan pada waktu yang tidak

tepat. Akan tetapi bukankah keamanan dijamin oleh apparat keamanan negara? Iya memang tetapi perlu

diketahui dalam Ajaran Buddha ada dua macam perlindungan (SN3.5. Attarakkhita Sutta), yaitu (1)

Perlindungan Eksternal [Bāhirā rakkhā] seperti pasukan gajah, pasukan infanteri, prajurit berkuda, dan lain

sebagainya dan (2) Perlindungan Internal [Ajjhattikā rakkhā] berupa perbuatan baik dan pengendalian diri.

Dalam sutta tersebut Buddha membenarkan pernyataan Raja Pasenadi dari Kosala yang menyebutkan bahwa

mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui jasmani [Kāya duccarita], ucapan [Vāci

duccarita], dan pikiran [Mano duccarita] walaupun bahkan sekelompok pasukan gajah, sekelompok prajurit

berkuda, sekelompok prajurit kereta, atau sekelompok prajurit infanteri melindungi mereka, namun mereka

tetap tidak terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan itu adalah eksternal [Bāhirā rakkhā],

bukan internal [Ajjhattikā rakkhā]. Demikian sebaliknya, mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan baik

melalui jasmani [kāya succarita], ucapan [vāci succarita], dan pikiran [mano succarita] walaupun tanpa

perlindungan sekelompok pasukan gajah, sekelompok prajurit berkuda, sekelompok prajurit kereta, ataupun

sekelompok prajurit infanteri, namun mereka tetap terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan

itu adalah internal [Ajjhattikā rakkhā], bukan eksternal [Bāhirā rakkhā]. Kemudian Sang Buddha juga

menyebutkan tiga perlindungan internal [Ajjhattikā rakkhā] lainnya, yaitu: (1) pengendalian melalui jasmani

[Kāyena saṃvaro], (2) Pengendalian melalui ucapan [Vācāya saṃvaro], dan (3) Pengendalian melalui pikiran

[Manasā saṃvaro]. Merujuk pada sutta ini, perlindungan jenis eksternal saja tidaklah cukup, seseorang juga

perlu menegakkan perlindungan internal pada dirinya, karena pada dasarnya diri sendirilah pelindung diri,

sosok lain siapakah yang dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan

mendapat perlindungan nan sulit diperoleh (Dhp. 160 Attavaggo).

7. Hak Atas Kesejahteraan

Mengacu pada KBBI, Kesejahteraan adalah ― n hal atau keadaan sejahtera; Keamanan, Keselamatan,

Ketentraman.‖ Kata ini berasal dari kata dasar Sejahtera yang adalah ―a Aman sentosa, dan makmur; selamat

(terlepas dari segala macam gangguan). Sementara itu, Pasal 36 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999

Tentang Hak asasi manusia poin 1 dan 2 menyebutkan:

1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi

pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.

2. Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

Lebih lanjut dalam Pasal 38 undang-undang yang sama, juga disebutkan:

1. Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat

ketenagakerjaan yang adil.

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 12

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau

serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

4. Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat

kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan

kehidupan keluarganya.

Kuncinya dari kedua pasal diatas adalah seseorang berhak memiliki kekayaan dengan cara yang benar demi

kesejahteraan diri, keluarga, bangsa, dan masyarakat; juga berhak menerima upah yang sesuai. Sang Buddha

mendukung penuh hak atas kesejahteraan, juga mendukung upaya mensejahterakan masyarakat. jika kita

penjelasan mengenai DN 5 Kūṭadanta Sutta seperti pada bagian Hak Atas Rasa Aman, disana sudah dijelaskan

kalau Sang Buddha yang kala itu terlahir sebagai penasihat Raja Mahāvijita mendukung raja mengatasi

gangguan keamanan dengan memperbaiki ekonomi rakyat dengan memberikan bantuan yang tepat sasaran

sesuai bidang keahlian provesi, juga mendukung pemberian upah layak kepada para pekerja. Juga dalam

DN31 Sigālaka Sutta, Buddha juga menjelaskan lima cara seorang majikan melayani para pelayan dan

pekerjanya sebagai cara menghormati arah penjuru bawah, yakni dengan (1) Mengatur pekerjaan mereka

sesuai kekuatan mereka, (2) Dengan memberikan makan dan upah, (3) Dengan merawat mereka ketika mereka

sakit, (4) Dengan berbagi makananan lezat dengan mereka, dan (5) Dengan memberikan hari libur pada waktu

yang tepat. Demikian pandangan Ajaran Buddha mengenai mendukung kesejahteraan rakyat dan pemberian

upah serta perlakuan yang layak kepada para pekerja dan pelayan. Lebih lanjut, Sang Buddha juga pernah

mengajarkan kalau ada Empat Kesempurnaan yang membawa kesejahteraan bagi perumah tangga dikehidupan

ini (AN8.54. Dīghajāṇu Sutta) yakni: (1) Kesempurnaan dalam inisiatif [Uṭṭhānasampadā] – Yaitu apapun

bidang pekerjaan dan usaha yang digeluti dilaksanakan dengan terampil dan rajin, juga memiliki penilaian

yang baik agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar; (2) Kesempurnaan dalam perlindungan

[Ārakkhasampadā] – Yakni memberikan perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia peroleh

melalui inisiatif dan kegigihan; (3) Pertemanan yang baik [Kalyāṇamittatā] – Yakni berteman dengan teman

yang baik dan memiliki moralitas juga berusaha meniru mereka sejauh apapun mereka sempurna dalam

Keyakinan [Saddhāsampanno], Moralitas [Sīlasampanno], Kedermawanan [Cāgasampanno], dan

Kebijaksanaan [Paññāsampanno] karena alasan apa pertemanan yang baik itu perlu? Dhp78 Paṇḍitavaggo

menjelaskan tak sepatutnya bergaul dengan teman-teman nista dan durjana, namun bergaullah dengan teman-

teman baik, dengan orang-orang mulia; Dan (4) Kehidupan yang seimbang [Samajīvitā] – Yakni mengetahui

pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang yang tidak terlalu boros juga tidak terlalu

berhemat. Demikianlah pandangan Ajaran Buddha mengenai Hak Atas Kesejahteraan, selain dengan

pemberdayaan ekonomi dan upah yang layak, untuk menunjang kesejahteraan dan kebahagiaan juga harus

mengusahakan dan mengembangkan empat kesempurnaan agar tercipta kesejahteraan yang didambakan setiap

insan.

8. Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan

Dalam Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi: ―Setiap

orang berhak sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau

usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik

dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.‖ Didalam

sistem pemerintahan dijaman dahulu lebih banyak sistem kerajaan, demikian juga dengan sistem pemerintahan

yang ada dijaman Sang Buddha lebih banyak kerajaan. Namun siapa yang menyangka, ternyata pada masa itu,

masyarakat yang kompeten juga turut serta dalam rencana pemerintah. Bukan hanya kaum bangsawan saja.

Hal ini terdapat dalam DN5, Kūṭadanta Sutta. Dimana Sang Brahmana kerajaan [yang adalah kehidupan

lampau Sang Buddha] mengajarkan kepada Sang Raja Mahāvijita untuk mengikut sertakan para khattiya

[Ksatria], Brahmana-brahmana, para penasihat, dan Para perumah tangga kaya yang ada dinegeri tersebut,

untuk memuluskan rencana Sang Raja menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Dalam memberikan

saran atau masukan, haruslah memperhatikan isi kebenaran dari isi saran tersebut dan jangan sampai keliru,

jika tidak dan saran itu terbukti tidak benar maka orang yang mengajarkan saran itu, hal yang disarankan, dan

ia yang mengikuti saran itu akan mendapatkan keburukan, demikian sebaliknya. Jika saran ataupun masukan

itu benar, maka orang yang mengajarkan saran itu, hal yang disarankan, dan ia yang mengikuti saran itu akan

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 13

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

mendapatkan jasa yang besar (DN29 Pāsādika Sutta) dalam DN26. Cakkavatti Sīhanāda Sutta Buddha juga

menyampaikan kalau salah satu sebab merosotnya usia harapan hidup manusia adalah karena meningkatnya

pendapat-pendapat yang salah, maka sebaiknya kita perlu berhati hati berpendapat dan memberi masukan,

jangan sampai pendapat-pendapat itu malah merugikan masyarakat juga diri sendiri. Dalam meyampaikan

pendapat, hindarilah ucapan kasar kepada siapapun karena mereka yang engkau katai akan balik

mengataimmu; sesungguhnya pertengkaran adalah penderitaan dan tuntut balas dapat menghampirimu (Dhp.

133 Daṇḍavaggo), juga hindari terlalu banyak berbicara, karena orang yang terlalu banyak berbicara dekat

dengan lima bahaya (AN5.214 Bahubhāṇi Sutta) yaitu (1) Ia berbohong; (2) Ia memecah-belah; (3) Ia berkata

kasar; (4) Ia bergosip; (5) Setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara. Demikian sebaliknya, orang

yang bijak berbicara akan terhindar dari kelima bahaya itu.

9. HAK WANITA

Dijaman Sang Buddha dahulu, kelahiran para wanita dipandang sebelah mata, terlebih bagi keluarga kerajaan

karena dianggap tidak bisa meneruskan kerajaan atau menjadi ahli waris marga kerajaan. Namun Sang Buddha

tidak mendiskreditkan seorang perempuan kalah hebat dari laki-laki, beliau bahkan memberikan nasihat

kepada Raja Pasenadi dan Ratu Mallikā kalau seorang anak perempuan bahkan bisa lebih baik daripada anak

laki-laki, mungkin saja jika seorang perempuan menjadi lebih baik, bijaksana, dan bermoral dari seorang laki-

laki. Bahkan putera yang dilahirkan oleh ibu seperti itu, bisa saja menjadi pahlawan bahkan orang yang

memerintah wilayahnya (SN3.16. Mallikā Sutta). Lebih lanjut, Buddha memberi tahu dan mengajarkan kepada

sejumblah orang Licchavi tentang tujuh prinsip ketidakmunduran suku vajji, yang salah satunya adalah selama

para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa

mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran (AN7.21.

Sārandada Sutta). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia

Pasal 49 Poin 2 yang menyebutkan bahwa: ―Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam

pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau

kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.‖ Sang Buddha sangat mendukung agar para wanita

dapat memperoleh keberhasilan, hal itu beliau terangkan kepada umat awam wanita Visākhā, kalau ada empat

kualitas yang mengarahkan perempuan pada kemenangan dikehidupan sekarang (AN8.49. Paṭhamaidhalokika

Sutta) yaitu: (1) Seorang perempuan mampu melakukan pekerjaannya; (2) Ia mengatur bantuan rumah tangga;

(3) Ia bersikap menyenangkan bagi suaminya, dan (4) Ia menjaga pendapatan suaminya.‖ Sebab wanita pada

umumnya kelak akan menikah, Sang Buddha juga memberikan nasihat mengenai hak dan kewajiban seorang

istri kepada suaminya (DN31. Sigālaka Sutta), apabila mereka telah direkatkan dengan ikatan pernikahan.

Yaitu Hak istri mendapatkan lima cara bagi seorang suami untuk melayani istri mereka sebagai arah barat: (1)

Dengan menghormatinya, (2) Tidak meremehkannya, (3) Setia kepadanya, (4) Memberikan kekuasaan

kepadanya, (5) Memberikan perhiasan kepadanya. Sementara ada Kewajiban istri, yaitu lima cara bagi seorang

istri yang dilayani dapat membalas: (1) Dengan melakukan pekerjaannya dengan benar, (2) Bersikap baik

kepada para pelayan, (3) Setia kepadanya, (4) Menjaga tabungan, dan (5) Terampil dan rajin dalam semua

yang harus ia lakukan. Lebih lanjut dalam AN5.33. Uggaha Sutta, Sang Buddha juga pernah memberikan lima

nasihat tentang menjadi istri yang baik bagi suaminya. Hal ini beliau babarkan kepada Anak-anak gadis dari

seorang bernama Uggaha, cucu Meṇḍaka. Kelima nasihat itu adalah: (1) Bangun lebih pagi sebelum suami

bangun tidur dan pergi tidur setelah suami pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah

laku menyenangkan dan ramah dalam bertutur kata; (2) Menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka

yang dihormati oleh suami; (3) Terampil dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, juga

memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan

benar; (4) Mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga,

mencari tahu kondisi mereka yang sakit dan membagikan porsi makanan yang selayaknya kepada para pekerja

dan pembantu rumah tangga; (5) Menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suami

dan tidak akan memboroskan, mencuri, membuang-buang atau menghambur-hamburkan pendapatannya.

Hal ini sesuai dengan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia

yang berbunyi: ―Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang

sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 14

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.‖Didalam Ajaran Buddha mendukung

penuh Hak wanita, juga menjabarkan kewajiban-kewajiban wanita ketika mereka sudah bersuami dan tanpa

mendiskreditkan wanita, wanita sangat layak dilindungi dan dihargai dalam pandangan Ajaran Buddha.

10. Hak Anak

Perlindungan anak seringkali terabaikan, padahal hak asasi ini sudah ada dan berlaku bahkan sejak anak masih

dalam kandungan. Hal ini merujuk pada pasal 52 Poin 1 dan 2 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999

Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi:

1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.

2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh

hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Buddha pernah memberitahukan kepada orang-orang Licchavi tentang prinsip ketidakmunduran suku vajji,

yang salah satunya menyebutkan perlindungan wanita dan anak-anak (AN7.21. Sārandada Sutta). Dengan

merujuk pada sutta tersebut, jika perlindungan kepada perempuan dan anak-anak ditegakkan maka hanya

kemajuan yang akan didapat, bukan kemunduran. Lebih lanjut, sebaiknya orang yang sudah dewasa tidak

melalukan tindakan kekerasan dalam mendidik anak-anak. Bahkan, sewaktu Sang Buddha masih menjadi

Boddhisatva, beliau pernah mendapatkan gangguan dan perbuatan tidak menyenangkan [Diludahi, Dikencingi,

Dilemparkan bongkahan-bongkahan tanah hingga telinga beliau ditusuk kayu] oleh anak-anak pengembala,

namun beliau tidak melakukan kejahatan lagi kepada mereka bahkan dalam pikiran beliau sendiri. Beliau

dengan sabar menerima dan menahankan gangguan itu dan tidak membalas mereka (MN12. Mahāsīhanāda

Sutta). Terkadang anak bayi dan balita suka melakukan kesalahan yang tidak wajar seperti memakan batu,

kelereng, memasukan pasir ke telinga, atau kehidung, dan lain sebagainya. Upaya protektif dengan tindakan

pengobatan langsung yang tepat, atau jika merasa tidak mampu mengatasi segera dilarikan ketenaga

pengobatan. harus segera dilakukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan anak itu, sekalipun tindakan

pengobatan yang dilakukan akan melukai sang bayi. Hal ini Buddha terangkan dalam perumpamaan pengasuh

bayi. Contohnya seorang bayi kecil, yang tidak tahu apa-apa, berbaring pada punggungnya, memasukkan

sebatang kayu atau kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan segera

merawatnya dan berusaha untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat dengan cepat mengeluarkannya, maka

ia akan merangkul kepala anak itu dengan tangan kirinya dan, dengan menekukkan jari tangan kanannya, ia

akan mengeluarkannya bahkan jika ia harus melukainya hingga berdarah. Karena alasan apakah? Anak itu

akan mengalami kesakitan—hal ini Aku tidak membantahnya—tetapi pengasuh itu terpaksa melakukan itu

demi kebaikan dan kesejahteraan anak itu, demi belas kasihan padanya.‖ (AN5.7. Kāma Sutta). Disamping

orang tua harus melindungi anaknya, anak juga harus menghormati dan menjunjung orang tua, Buddha

mengajarkan sebagai anak haruslah membantu ayah dan ibu juga bekerja bebas dari pertentangan

(KN.Khuddakapāṭha 5, Maṅgalasutta dalam PARITTA SUCI CHANTING PAGI DAN SORE 2015:93).

Dalam AN4.63. Brahma Sutta, Sang Buddha menyebutkan kalau ayah dan ibu adalah Brahma, Guru-guru

pertama, dan Dewata-dewata pertama yang layak menerima pemberian dari anak-anaknya karena alasan

mereka sangat membantu bagi anak-anak mereka, mereka juga membesarkan, memelihara, dan menunjukan

dunia pada anak-anak mereka. Karena telah disokong dan dibesarkan, sedemikian besar jasa orang tua pada

anaknya, maka anak-anak juga memiliki kewajiban kepada orangtuanya (DN31 Sigālaka Sutta), yaitu: (1) Ia

harus berpikir: ―Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. (2) Harus melakukan tugas-tugas

mereka untuk mereka. (3) Harus menjaga tradisi keluarga. (4) Berusaha menjaga warisan bagian milik si anak.

(Khusus poin 4 menggunakan terjemahan dari buku Sigalovada Sutta 2010:12). (5) Setelah orangtua

meninggal dunia, sebagai anak akan membagikan persembahan mewakili mereka, dan karena menerima

pelayanan dari anaknya, dalam lima cara orang tua dapat membalas kebajikan anaknya yaitu: (1) Mereka harus

menjauhkannya dari kejahatan, (2) Mendukungnya dalam melakukan kebaikan, (3) Mengajarinya suatu

keterampilan, (4) Mencarikan istri yang pantas dan, (5) Pada waktunya mewariskan warisan kepadanya.

11. Analistis Lebih Mendalam Mengenai Akar Dari Segala Macam Tindak Kejahatan

Menurut KBBI, arti kata Jahat adalah sangat jelek, buruk; sangat tidak baik. Sedangkan kata Kejahatan berarti

perbuatan yang jahat – Yang melanggar hukum. Juga menurut Pasal 7 Poin B Undang-Undang Republik

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 15

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kejahatan terhadap kemanusiaan

dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Dalam Pasal 9 Undang-Undang yang sama menjelaskan

yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 poin B adalah

―Satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya

bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a) Pembunuhan;

b) Pemusnahan;

c) Perbudakan;

d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar

(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi

secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasarpersamaan paham politik,

ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal

sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) Penghilangan orang secara paksa; dan

i) Kejahatan apartheid.

Di dalam pandangan Ajaran Buddha, segala bentuk perbuatan baik itu perbuatan bermanfaat –perbuatan baik,

dan perbuatan tidak bermanfaat –perbuatan buruk munculnya dari dalam diri, yaitu melalui pikiran, pikiran

memiliki kemampuan mencipta, yaitu kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru (KBBI v2.1.)

sesuai dengan Dhp.1-2 Yamakavaggo, segala perihal dipelopori oleh cipta, dipimpin oleh cipta, jika dengan

cipta keruh seseorang bertutur atau bertindak maka derita akan mengikutinya. Demikianlah sebaliknya jika

dengan cipta jernih seseorang bertutur atau bertindak, maka kebahagiaan yang akan menyertainya.

Dhammadhīro, 2014:3 & 193 menjelaskan kata keruh mengacu pada manoduccarita [keburukan batiniah] 3,

yaitu: Abhijjha [keinginan memiliki pemilikan pihak lain], byapada [kegeraman], micchaditthi [pandangan

keliru], sedangkan kata jernih merujuk pada manosucarita [perbuatan baik batiniah] 3 yaitu: Anabhijjha

[ketidak inginan memiliki pemilikan pihak lain], Abyapada [ketidakgeraman], Sammaditthi [pandangan

benar]. Lebih lanjut Sang Buddha menjelaskan ada tiga akar tidak bermanfaat – tiga akar kejahatan

[Akusalamūlā, PANJIKA, 2000:91]. Tiga akar itu sebagai sebab dari segala macam perbuatan buruk yang

tidak bermanfaat (AN3.69. Akusalamūla Sutta) yaitu: Akar tidak bermanfaat Keserakahan [Lobha

akusalamūla], Akar tidak bermanfaat Kebencian [Dosa akusalamūlaṃ], Akar tidak bermanfaat Delusi –

Kegelapan batin [Moha akusalamūla]. Dalam sutta yang sama Buddha menyebutkan dengan pikiran dikuasai

oleh Keserakahan, atau Kebencian, atau Delusi maupun ketiganya maka ia akan mengakibatkan penderitaan

pada orang lain, selain itu perbuatan buruknya akan berbalik menimpa dirinya sendiri bagaikan debu halus

yang ditebar melawan angin (Dhp.125 Pāpavaggo). Dari berkembangnya ketiga jenis akar tidak bermanfaat

inilah maka akan hadir Empat cara melakukan kesalahan [Agata-gamanāni], yaitu melalui Keinginan

[Chandāgati], kebencian [Dosāgati], delusi [Mohāgati], ketakutan [Bhayāgati] (DN33.Saṅgīti Sutta). Dari

empat cara melakukan kesalahan ini, terjadilah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat [Akusala-kammapathā],

yaitu: (1) Membunuh, (2) Mengambil apa yang tidak diberikan, (3) Perilaku seksual yang salah, (4)

Berbohong, (5) Fitnah, (6) Berkata-kata kasar, (7) Bergosip, (8) Keserakahan ingin memiliki milik pihak lain,

(9) Kedengkian, (10) Pandangan salah (DN33.Saṅgīti Sutta). Juga dijelaskan dalam AN5.241

Paṭhamaduccarita Sutta mengenai bahaya dalam perbuatan buruk, yaitu: (1) Seseorang menyalahkan diri

sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia

meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di

alam sengsara. Sang Buddha mengingatkan dalam Dhp.121 Pāpavaggo agar tidak menyepelekan keburukan

dengan berpikir keburukan kecil tidak akan berakibat, belangga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air,

demikian juga orang bodoh dipenuhi keburukan yang ditimbun sedikit demi sedikit. Kemudian bagaimana

cara mengatasinya? Bukankah kita tau kalau pikiran sulit dikekang dan cenderung mengarah ke obyek yang

menyenangkan (Dhp.35 Cittavaggo)? Juga terkadang kita kesulitan menentukan apakah perbuatan itu baik

atau tidak baik? Cara efektif untuk menjinakan pikiran dan mengatasi semua masalah kejahatan yang dapat

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 16

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

dipilih adalah dengan melakukan ―Metode refleksi berulang-ulang [Paccavekkhitvā-paccavekkhitvā]‖ sesuai

dengan MN61. Ambalaṭṭhikarāhulovāda Sutta. Saat itu Sang Buddha menanyakan kepada Rāhula apakah

gunanya cermin? Rāhula menjawab untuk merefleksikan. Kemudian Sang Buddha memberikan nasihat kalau

suatu perbuatan melalui (1) Jasmani, (2) Ucapan, (3) Pikiran harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-

ulang. Kemudian Sang Buddha memberikan tiga tahap nasihat lebih lanjut kepada Rāhula: 1) Ketika

ingin melakukan suatu perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran, pertimbangkan apakah

perbuatan yang ingin dilakukan mengarah pada penderitaan diri sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain,

atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil

yang menyakitkan? Jika iya maka kau tidak boleh melakukan perbuatan itu. Jika tidak maka kau boleh

melakukan perbuatan itu. 2) Saat sedang melakukan suatu perbuatan baik melalui jasmani, ucapan,

maupun pikiran, pertimbangkan apakah perbuatan yang ingin dilakukan mengarah pada penderitaan diri

sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan

dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan? Jika iya maka engkau harus menghentikan

perbuatan itu. Jika tidak maka kau boleh melakukan perbuatan itu. 3) Setelah melakukan suatu

perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran, pertimbangkan apakah perbuatan yang ingin

dilakukan mengarah pada penderitaan diri sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan

keduanya? Apakah ini adalah perbuatan dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?

Jika iya maka maka kau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan

menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah itu kau harus

menjalani pengendalian di masa depan. Jika tidak maka kau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira,

berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat. Untuk penggambaran lebih jelasnya, bisa

diperhatikan melalui bagan dibagian Lampiran. Setelah melatih refleksi berulang-ulang, lebih lanjut kita dapat

melatih empat kediaman luhur [Brahmavihara] yaitu berdiam dalam pikiran yang dipenuhi dan memancarkan

Cinta kasih [Mettāsahagatena cetasā], Kasih sayang [Karuṇāsahagatena cetasā], kegembiraan altruistik

[Muditāsahagatena cetasā], dan keseimbangan batin [Upekkhāsahagatena cetasā] (AN4.125 Paṭhamamettā

Sutta) Dengan melatih merefleksikan perbuatan dan mengembangkan empat kediaman luhur, seseorang

berlatih mengendalikan diri sendiri langsung dari sumbernya, yaitu cipta pikiran yang dibersihkan dari

kualitas-kualitas batin yang tidak bermanfaat dan ditumbuh kembangkan kualitas batin yang bermanfaat.

Berlatihlah sebelum melatih, karena konon diri sendiri sulit dilatih (Dhp.159 Attavago).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Di dalam hukum Indonesia Hak Asasi Manusia adalah Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung

tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. Ajaran Buddha 2000 tahun silam, Sang Buddha sudah terkenal sebagai pembela kesetaraan

Hak dan Martabat manusia karena beliau menentang sistem kasta. Hal ini adalah bukti Sang Buddha mengakui

kesetaraan derajat Hak Asasi Manusia dan Harga diri setiap manusia. Dalam perspektif Ajaran Buddha, Hak Asasi

Manusia tidak hanya menyangkut Interaksi antar-umat manusia, tetapi juga berhubungan dengan alam sekitarnya.

Apabila alam sekitarnya rusak maka umat manusia juga akan mengalami malapetaka. Melindungi lingkungan

hidup juga berarti melindungi manusia, merusak lingkungan hidup berarti menciptakan malapetaka bagi kehidupan

manusia. Ajaran Buddha mendukung dan sejalan dengan Hak Asasi Manusia, bahkan lebih dari itu dapat dikatakan

Ajaran Buddha menghargai Hak Asasi Semua Mahluk karena Ajaran Buddha tidak mengajarkan membunuh,

bahkan mengajarkan untuk menghindari pembunuhan mahluk hidup juga sebaliknya mengajarkan untuk

mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan batin kepada semua mahluk.

Saran

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 17

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

Penelitian ini merupakan pembuka jalan untuk melakukan penelitian lanjut, mengenai praktek praktek dilakukan

oleh pengikut Ajaran Buddha didalam strata sosial dimasyarakat. Untuk melakukan kewajiban dan hak sebagai

warga negara dan berbangsa, serta saling mengharga hak lainnya.

DAFTAR RUJUKAN Pengelolaan referensi artikel menggunakan Mendeley, dengan Style APA 6th edition Buzan, Barry. 1991, People, State, And Fear ; A Agenda For Interational Security Studies In The Post Cold Era 2nd edition,

Harvester Whatsheaf, London.

Cattapiyo, Bhikkhu. 2016, HIDUP ADALAH PILIHAN, Dhammacakka Online, Diakses pada 26 Maret 2018 11:33,

http://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=729

Cittajayo, Bhikkhu. 2018, SISTEMATIKA KEBAHAGIAAN PERUMAH TANGGA, Dhammacakka Online, Diakses 14

April 2018 16:10, http://www.dhammacakka.org/?channel =ceramah&mode=detailbd&id=848

Cranston, M. 1973, What Are Human Rights?, Basics Books, New York.

Danim, S. 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.

Dhammadhīro Mahāthera, Bhikkhu. 2005, PARITTA SUCI, Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia,Jakarta.

Dhammadhīro Mahāthera, Bhikkhu. 2014, Pustaka Dhammapada Pāli – Indonesia, Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia,

Jakarta.

Firmansyah. 2015, HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA [SKRIPSI], Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah, Palembang.

Flick, uwe., Kardorff, Ernst von., dan Steinke, Ines. 2004, A Companion to Qualitative Research, Sage, London.

Indrati, Maria Farida. 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (JDIH-BADAN

POM), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Diakses 12 April 2018 12:35,

https://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf

Lion of Bluesky. 2015, Digital Universal Buddhist Dictionary (DUBD), Android Version (1.0.0), Diakses 28 Maret 2018

12:20.

Mariam Budiharjo. 1985, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.

Martin, Patricia Yancey., dan Turner, Barry A. 1986, ‗Grounded Theory and Organizational Research‘, The Journal of Applied

Behavioral Science, Vol 22, No.2.

Muhadjir, N. 2002, Filsafat Ilmu: Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, Reka Sarasin, Yogyakarta.

Mukti Wijaya Krishnanda. 2003, Wacana Buddha Dhamma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta.

PANJIKA (Pandit Jinaratana Kaharuddin). 2000, RAMPAIAN DHAMMA, Penerbit DPP PERVITUBI, Jakarta.

Renteln, Alison Dundes. 1990, lnternational Human Rights: Universalism versus Relativism, Sage Publications, London.

Sugiyono. 2012, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), Alfabeta, Bandung.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005, Metode Penelitian Pendidikan, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Dīgha Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April

2018 pukul 16:30.

SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Dīgha Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April

2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/dn

SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Majjhima Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20

April 2018 pukul 16:30.

SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Majjhima Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20

April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/mn

SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Saṃyutta Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00

Hingga 20 April 2018 pukul 16:30.

SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Saṃyutta Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20

April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/sn

SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Aṅguttara Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20

April 2018 pukul 16:30.

SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Aṅguttara Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20

April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/an

Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 18

Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021

Halaman : 1-18

Tersedia secara online

http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/

SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Udāna, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April 2018

pukul 16:30.

SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Udāna, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April 2018

pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/ud

U Jotalankara, Sayadaw. 2013, Ajaran-Ajaran Dasar Buddhisme, Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Jani Tandi

Wiharja dari buku The Basic Teaching Of Theravada Buddhism 2004, Penerbit Yayasan Prasadha Jinarakkhita

Buddhist Institute, Jakarta.

Vajhiradhammo, Bhikkhu. 2013, KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM DAN HAK – HAK ASASI MANUSIA

MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA, Blog Pustaka Dhamma, Diakses 20 April 2018 10:35,

http://tanhadi.blogspot.co.id/2013/07/konsep-masyarakat-buddhis-hukum-dan-hak.html

Vipassana Graha. 2015, PARITTA SUCI CHANTING PAGI DAN SORE, Bandung.

Vihara Padumuttara. 2010, Digha Nikaya, Vagga III, Sutta ke 31 : Sigalovada Sutta, Tangerang.

Yoga Permana, I Putu. 2014, KBBI v2.1., Diakses melalui aplikasi windows phone pada 28/3/2018 22:12.

Zakky. 2018, Ciri-Ciri HAM Lengkap Beserta Hakikat & Sifat HAM (Hak Asasi Manusia), Zona Refrensi, Diakses 19 April

2018 22:32, https://www.zonareferensi.com/ciri-ciri-ham/ UNDANG-UNDANG

KETETAPAN MPR NO. XVII/MPR/1998, Diakses 15 April 2018 12:04,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, Diakses 21 April 2018 20:51

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI

MANUSIA, Diakses 14 April 2018 15:25

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Diakses 12 April 2018

12:35,

Sumber berita lainnya.

https://berita.bhagavant.com/2018/04/18/dalai-lama-sistem-kasta-india-sangat-buruk.html , Diakses 20 April 2018

10:50

https://www.liputan6.com/global/read/2329497/1-10-2005-bom-bali-2-renggut-23-nyawa , Diakses 19 April 2018

23:00

https://www.liputan6.com/news/read/2944610/marsinah-misteri-di-hutan-wilangan-24-tahun-lalu , Diakses 25

April 2018 22:45

https://www.liputan6.com/news/read/2948521/petang-mencekam-di-kampus-trisakti-12-mei-1998 , Diakses 19

April 2018 23:04

http://mediaindonesia.com/read/detail/126861-2002-tragedi-bom-bali-1 , Diakses 19 April 2018 22:51

https://news.okezone.com/read/2016/11/14/337/1541326/pelanggaran-ham-berat-tragedi-semanggi-harus-segera-

diungkap , Diakses 19 April 2018 22:45

http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/ob3A4JYK-jejak-duka-tragedi-semanggi-2 , Diakses 19 April 2018

22:48

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42297493 , Diakses 19 April 2018 22:40