HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 1
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
HAK ASASI MANUSIA DALAM AJARAN BUDDHA Majaputera Karniawan, Alexander Candra
ProgramStudi Pendidikan Keagamaan Buddha
Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda
ABSTRACT
Objectives – This study aims to look at the values of Human Rights in Buddhism, along with applicable contextual and
comprehensive solutions so that they can be applied in everyday life.
Design/Methodology/Approach – The research method of this journal is a qualitative-basic theory that uses data sourced from
the Sutta Pitaka and the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights, then analyzes it so that it
obtains values, contextual solutions, comprehensive solutions and then draw conclusions.
Findings - The results of this study indicate the existence of human rights values with Buddhist teachings as contained in the
Sutta Pitaka with the Republic of Indonesia Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights.
Research Limitations – The limitations of this study are based on theories, as well as the implications of the sources.
Key words : Human Rights, Laws, Buddhism, and the Sutta Pitaka
ABSTRAK
Tujuan – Penelitian ini bertujuan melihat nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Ajaran Buddha, berikut Solusi aplikatif secara
kontekstual maupun secara menyeluruh agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Desain/Metodologi/Pendekatan – Metode penelitian jurnal ini adalah Kwalitatif-Teori Dasar yang mempergunakan data yang
bersumber dari Sutta Pitaka dan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, kemudian
menganalisanya sehingga mendapatkan nilai-nilai, solusi kontekstual, solusi menyeluruh dan kemudian mengambil
kesimpulan.
Temuan – Hasil penelitian ini menunjukan adanya nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan Ajaran Buddha yang tertuang dalam
Sutta Pitaka dengan Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Keterbatasan Penelitian – Keterbatasan penelitian ini berdasarkan teori-teori, juga implikasi narasumber.
Kata kunci : Hak Asasi Manusia, Undang Undang, Ajaran Buddha, dan Sutta Pitaka
Riwayat Artikel :
Diterima pada tanggal : Januari 2021 Disetujui pada tanggal : Mei 2021
Alamat Korespondensi :
Majaputera Karniawan
Pendidikan Keagamaan Buddha
Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda
Jl. Pulo Gebang Permai No.107, RT13/RW04, Kel. Pulo Gebang, Kec. Cakung, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 13950
E-mail: [email protected]
PENDAHULUAN Era reformasi semenjak tahun 1998 Pemerintah Indonesia sudah banyak perubahan Hak Asasi Manusia.
Kemudian pemerintah telah merumuskan definisi tentang Hak Asasi Manusia, yang populer dan berlaku secara
hukum diindonesia adalah devinisi menurut Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia
yang menerangkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah; ―Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia‖. Didalam artikelnya, Zakky (2018) menulis bahwa ada empat ciri-ciri
khusus yang terdapat dalam Hak Asasi Manusia, yaitu: (1) Hak Asasi Manusia bersifat hakiki. Ini adalah ciri
pokok HAM yang utama. Artinya hak asasi dimiliki semua manusia dan bahkan sudah dimiliki secara otomatis
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 2
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
sejak lahir; (2) Hak Asasi Manusia bersifat universal dan menjangkau semua orang. Artinya hak asasi manusia
berlaku untuk semua orang di dunia tanpa terkecuali dan tidak memandang status, suku, agama, jenis kelamin, usia
dan golongan.; (3) Hak Asasi Manusia sifatnya tetap atau tidak dapat dicabut. Artinya hak asasi manusia tidak
dapat dihilangkan atau diambil oleh pihak lain secara sepihak dan akan selalu ada sejak lahir sampai ia meninggal.;
(4) Hak asasi manusia bersifat utuh atau tidak dapat dibagi. Artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak
yang ada secara utuh seperti hak hidup, hak sipil, hak berpendidikan, hak politik dan hak-hak lainnya. Adapun
beberapa tragedi sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusiadi Indonesia, baik yang sudah selesai maupun yang belum
selesai lihat pada pada Tabel 1
Tabel 1. Sejarah Pelanggaran HAM
NO TANGGAL KEJADIAN SUMBER
1 09/05/1993 Kasus Pembunuhan
Marsinah
https://www.liputan6.com/news/read/2944610/marsinah-misteri-di-
hutan-wilangan-24-tahun-lalu
2
12/05/1998 Tragedi penembakan
mahasiswa (Tragedi
Mei Trisakti)
https://www.liputan6.com/news/read/2948521/petang-mencekam-di-
kampus-trisakti-12-mei-1998
3
13/11/1998 Tragedi penembakan
mahasiswa (Tragedi
semanggi 1)
https://news.okezone.com/read/2016/11/14/337/1541326/pelanggaran-
ham-berat-tragedi-semanggi-harus-segera-diungkap
4
24/09/1999 Tragedi penembakan
mahasiswa (Tragedi
semanggi 2)
http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/ob3A4JYK-jejak-duka-
tragedi-semanggi-2
5 12/10/2002 Tragedi Bom Bali 1
(Selesai)
http://mediaindonesia.com/read/detail/126861-2002-tragedi-bom-bali-
1
6 01/10/2005 Tragedi Bom Bali 2
(Selesai)
https://www.liputan6.com/global/read/2329497/1-10-2005-bom-bali-
2-renggut-23-nyawa
Sumber: Pengolahan Sendiri
Bahkan dalam wawancara oleh BBC News, Presiden Joko Widodo mengakui masih ada kasus-kasus
penegakkan HAM yang belum bisa dituntaskan, termasuk pelanggaran-pelanggaran dimasa lalu. "Saya meyadari
masih banyak pekerjaan besar, pekerjaan rumah terkait dengan penegakan HAM yang belum bisa tuntas
diselesaikan, termasuk di dalamnya pelanggaran HAM masa lalu, hal ini membutuhkan kerja kita semuanya kerja
bersama antara pemerintah pusat dan daerah dan seluruh komponen masyarakat, " (Presiden Joko Widodo, dalam
BBC News Indonesia 10/12/12). Berbagai kejadian pelanggaran HAM dimasa lalu di indonesia merupakan suatu
pelajaran berharga agar tidak timbul lagi kejadian serupa dimasa mendatang. Bahkan dewasa ini, Hak Asasi
Manusia [HAM] mulai digalakkan berbagai aktivis dan keberadaannya diakui dan dilindungi Undang-Undang
Dasar dan berbagai produk hukum lainnya. Antara Hak Asasi dan Ajaran Buddha masing-masing berlandaskan dari
bidang ilmu yang berbeda. Ajaran Buddha Gotama sendiri banyak menekankan kepada semangat [Viriya] dalam
pengikisan Kualitas-kualitas yang tidak bermanfaat [Akusala Dhamma] dan mengembangkan Kualitas-kualitas
batin yang bermanfaat [Kusala Dhamma] (AN5.204 Bala Sutta). Sementara nilai-nilai universal HAM berasal
mula dari pemikiran filosofi dan filosof barat dan juga dari keyakinan ―semua orang berpikir dalam pola dan corak
yang seragam.‖ (Renteln, 1990: 47-50). Kemudian nilai-nilai HAM diterima oleh bangsa Indonesia sejak
diterbitkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia [Universal Declaration Of Human Rights] pada tahun 1948
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB], karena sebagai anggota PBB Indonesia memiliki tanggung jawab untuk
menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut (Piagam Hak Asasi Manusia, TAP MPR NO.
XVII/MPR/1998). Namun kita semua pastilah bisa mendapatkan nilai nilai hak asasi dalam nafas ajaran Buddha.
Orang akan dengan mudahnya berkata ajaran-ajaran Buddhis sejalan dengan hak asasi karena Ajaran Buddha
terkenal karena Metta atau cinta kasih universalnya kepada semua mahluk, yang mana bentuknya bukan mencintai
karena kemelekatan dan ego keakuan, melainkan suatu bentuk cinta kasih dan niat baik yang ditujukan kepada
semua mahluk tanpa diskriminasi apapun (U Jotalankara, 2004). Namun yang menjadi masalah adalah jarangnya
pengupasan secara literatur tekstual tentang nasihat-nasihat original Sang Buddha yang disandingkan dengan nilai-
nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku di Indonesia. Amat jarang sekali adanya satu bentuk kajian Dhamma
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 3
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
Sang Buddha yang disajikan dalam rangka menemukan nilai-nilai hak asasi manusia dalam hukum Indonesia
(Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia) dengan Ajaran Buddha. Sehingga
kadang kala umat Buddha maupun kalangan umat beragama lainnya kurang mendapatkan mengerti dan melihat
apa-apa saja nilai Hak Asasi Manusia dalam pandangan yang diajarkan oleh Sang guru agung, yakni Sang Buddha.
Berangkat dari pelajaran HAM dimasa lalu dan untuk melihat serta memberitahukan pada dunia dan Indonesia
bagaimana pandangan Ajaran Buddha terhadap HAM, maka dibuatlah jurnal penelitian ini.
METODE
Didalam Penelitian ini untuk mengupas sebuah teori dasar mempergunakan metode penelitian Qualitative
berdasarkan pendapat ahli lainnya. Menurut Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme
yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial yang
diinterpretasikan oleh setiap individu. Kemudian (Danim,2002) Penelitian kualitatif dapat dipercaya kebenaran
adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap orang-orang melalui interaksinya dengan
situasi sosial mereka. Didalam metode kualitatif dasar adalah berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu
peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri. Penelitian yang
menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam, dan dapat
diasumsikan kebenaran menurut penelitian pada saat itu.
Metode penelitian Kwalitatif Teori Dasar dimana meneliti dan mengkaji teori-teori Ajaran Buddha yang
tertuang dalam teks Dhamma kitab suci Sutta Pitaka, yang berisi sepuluh asas Hak Asasi Manusia sesuai dengan
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia. Pendapat lainnya mengenai penelitian
Kwalitatif Dasar dari (Flick,Kardorff, dan Seiken,2004) bahwa ―Qualitative research claims to describe
lifeworlds ‗from the inside out‘, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to
contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns
and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by
actors caught up in their unquestioned daily routine‖. Menurut Sugiyono (2012:13) Metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post-positivisme, digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument
kunci, pengambilan sampel, sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan
makna daripada generalisasi. Sugiyono (2012:35-36) juga mengemukakan bahwa bila masalah penelitian masih
belum jelas, masih remang-remang atau mungkin masih gelap. Kondisi semacam ini cocok diteliti dengan metode
kualitatif, karena peneliti kualitatif akan langsung masuk ke obyek, melakukan penjelajahan dengan grant tour
question, sehingga masalah akan dapat ditemukan dengan jelas. Melalui penelitian model ini, peneliti akan
melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek. Ibarat orang akan mencari sumber minyak, tambang emas dan lainnya.
Sedangkan metode Teori Dasar [Grounded Theory] adalah suatu metode riset yang berupaya untuk
mengembangkan teori tersembunyi dibalik data, dimana data ini dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis
(Martin dan Turner, 1986). Sedangkan Muhadjir (2002) mengatakannya dengan sebutan ―Teori Berdasarkan Data‖.
Menurut Jotalankara (2013:101) Teks Dhamma merupakan doktrin dan disiplin, atau tiga keranjang, atau tiga
kelompok [Tipitaka], lebih lanjut PANJIKA (2000:3) menjelaskan kalau Tipitaka merupakan kitab suci Agama
Buddha yang terbagi menjadi tiga keranjang atau tiga kelompok, yaitu: (1) Vinaya pitaka, berisi hal-hal yang
berkaitan dengan peraturan monastik Bhikkhu dan Bhikkhuni; (2) Sutta Pitaka merupakan lima kumpulan yang
berisi khotbah-khotbah Sang Buddha; (3) Abhidhamma pitaka berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun
analistis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, logika, etika, dan metafisika.
HASIL
Dari berbagai data-data yang diperoleh dan implikasi teori, kemudian diolah didalam penelitian kompilasi teori-
teori. Kemudian diolah berdasarkan penelitian sebelumnya, teori-teori dasar yang sudah ada, dan lalu diambil
kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dengan cara mengkaji teori-teori Ajaran Sang Buddha yang terdapat
dalam Sutta Pitaka, ditemukanlah nilai-nilai Ajaran Buddha yang sesuai dengan Sepuluh Jenis Hak Asasi Manusia
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 4
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
sesuai Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia dalam berbagai sutta. penelitian juga
memberikan solusi baik secara kontekstual dengan jenis hak asasi yang dimaksud maupun secara menyeluruh.
Tabel 2. Hubungan Uu No.39 Tahun 1999 Dengan Sutta Ajaran Budha
NO UU RI NO.39
TAHUN 1999
SUMBER
SUTTA
HUBUNGANN
YA DENGAN
PASAL
SOLUSI KONTEKSTUAL SOLUSI
MENYELURUH
1 Pasal 9 DN26, 31, 33;
SN3.2
Mendukung
Hak Asasi
Untuk hidup
Melaksanakan 5 aturan moralitas (sila)
dan menghindari 4 kekotoran
perbuatan, penjelasan 3 akar kejahatan.
RE
FL
EK
SI B
ER
UL
AN
G-U
LA
NG
(PA
CC
AV
EK
KH
ITV
Ā P
AC
CA
VE
KK
HIT
VĀ
) MN
61
. AM
BA
LA
ṬṬ
HIK
AR
ĀH
UL
OV
ĀD
A
SU
TT
A &
ME
NG
EM
BA
NG
KA
N E
MP
AT
KE
DIA
MA
N L
UH
UR
(BR
AH
MA
VIH
AR
A) A
N4
.12
5 P
AṬ
HA
MA
ME
TT
Ā S
UT
TA
2 Pasal 10 POIN 1 MN81, 82,
143;
SN42.9
AN8.54
Dhp.21
Mendukung
Hak Asasi
Berkeluarga dan
melanjutkan
keturunan
Kebebasan memilih pilihan hidup
antara menjadi petapa atau umat awam,
juga mengetahui 8 bahaya bagi
kelangsungan keluarga & cara
mengatasinya.
3 Pasal 11 & 12 DN 33;
SN16.6;
AN7.6; KP5;
UD6.4; Dhp
69, 152
Mendukung
Hak Asasi
mengembangka
n diri
Memiliki 7 Jenis kekayaan, melatih 3
cara mengembangkan kebijaksanaan,
tidak menganggap pengetahuan –
wawasan sendiri sebagai kebenaran
absolut
4 Pasal 17 DN17;
SN3.7, 10.12;
AN3.28,
5.203;
Dhp137-140
Mendukung
Hak Asasi
memperoleh
keadilan
Dengan kejujuran memenangkan
pengakuan, Miliki moralitas, dalam
memimpin tegakkan kedermawanan,
pengendalian diri & penghindaran.
Jangan mendera orang tidak bersalah
atau 10 jenis bahaya menanti.
5 Pasal 21 AN3.57; 3.65;
8.12
Mendukung
Hak Asasi atas
kebebasan
pribadi
Tidak ada ekslusivitas pemberian dana;
Kebebasan memilih ajaran namun
harus diselidiki dahulu, jangan
menerima ajaran karena hanya
tradisi,turun temurun,kabar
angina,kumpulan
teks,logika,pertimbangan,penalaran,ber
pikir sepertinya pengajar cukup
kompeten, atau karena berpikir ―Dia
Guru Kami‖.
6 Pasal 30 DN5, 31;
SN3.5;
Dhp.160
Mendukung
Hak Asasi atas
rasa aman
Mengatasi ancaman keamanan dengan
pemberdayaan ekonomi – pemberian
bantuan tepat sasaran, Jangan hanya
mengandalkan perlindungan eksternal
namun juga perlindungan internal, juga
demi keamanan hindari berada dijalan
pada waktu yang tidak tepat.
7 Pasal 36 & 38 DN5, 31;
AN8.54;
Dhp.78
Mendukung
Hak Asasi atas
kesejahteraan
Meningkatkan kesejahteraan dengan
pemberdayaan ekonomi – pemberian
bantuan tepat sasaran, Kewajiban
memperhatikan kesejahteraan pekerja,
mengembangkan empat kesempurnaan
untuk menuju kesuksesan
8 Pasal 44 DN5, 26, 29;
AN5.214;
Dhp.133
Mendukung
Hak Asasi turut
serta dalam
pemerintahan
Mengajak masyarakat yang kompeten
untuk mensukseskan program
pemerintah, dalam memberi masukan
jangan sampai keliru – harus benar.
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 5
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
Karena merebaknya pendapat-pendapat
salah merupakan salah satu faktor
kemerosotan usia harapan hidup
manusia, juga hindari ucapan kasar dan
terlalu banyak bicara. Bijaklah
berbicara.
9 Pasal 49 poin 2
& 51 poin 1
DN31;
SN3.16;
AN5.33, 7.21,
8.49
Mendukung
Hak Asasi
wanita
Penjelasan mengenai kelahiran anak
perempuan sama dengan anak laki-laki
bahkan bisa lebih baik, empat kwalitas
keberhasilan perempuan, tuntunan Hak
dan kewajiban istri.
10 Pasal 52 poin 1
& 2
DN31; MN12;
AN4.63, 5.7,
7.21; KP5
Mendukung
Hak Asasi anak
Penegakan perlindungan anak, hindari
kekerasan pada anak, jika balita – anak
lalai dan membuat sakit diri sendiri,
upayakan tindakan protektif dengan
pengobatan yang tepat meski harus
menyakiti si anak (demi kebaikan
anak), tuntunan bakti –hak dan
kewajiban anak kepada orang tua.
Sumber: Pengolahan Sendiri
1. Hak Untuk Hidup :
Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, Pasal 9 menyebutkan tentang
penjelasan hak ini, yaitu:
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dalam DN 31. Sigālaka Sutta [Atau lebih dikenal Sigalovada Sutta] ditemukan adanya Empat Kekotoran
Perbuatan [Kammakilesā] yang harus ditinggalkan oleh seorang siswa Ariya. Yang pertama adalah kekotoran
perbuatan berupa membunuh [Pāṇātipāta Kammakilesā], kedua kekotoran perbuatan berupa mengambil apa
yang tidak diberikan [Adinnādāna Kammakilesā]. Yang ketiga adalah kekotoran perbuatan berupa
pelanggaran seksual [Kāmesumicchācāra Kammakilesā], dan yang keempat adalah kekotoran perbuatan
berupa berbohong [Musāvāda Kammakilesā]. Jika kita amati dengan seksama, keempat jenis kekotoran
perbuatan ini sangat berperan dalam menghambatnya atau bahkan merampas pemenuhan hak asasi untuk
hidup sesuai pasal diatas. Mengapakah empat kekotoran perbuatan ini penting untuk ditinggalkan seseorang?
Bukankah lebih baik membunuh daripada dibunuh? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan memberikan
pertanyaan balasan berupa ―Bagaimana mungkin seseorang mengharapkan kehidupan dan kesejahteraan
hidupnya dengan melakukan perbuatan yang kelak akan mencelakainya, memberikan penderitaan dan
ketidaknyamanan padanya?‖
Empat kekotoran perbuatan akan memberikan buah Karma yang buruk bagi pelakunya, empat
kekotoran perbuatan ini juga membuat moralitas [Sila] seseorang menjadi merosot, dan jika kita kembali
kepada dasar teori, disana disebutkan bahwa merosotnya moral adalah penyebab dari rusaknya alam dan
malapetaka bagi manusia (DN26. Cakkavatti Sīhanāda Sutta), itu artinya semakin banyak orang yang
melakukan empat kekotoran perbuatan ini, maka dapat dipastikan lingkungan sekitarnya turut terdampak dan
sulitnya terpenuhi Hak Asasi untuk hidup karena manusia terbutakan oleh perbuatan jahat dan gemar
melakukan kejahatan. Maka dari itu tegakkanlah lima aturan moralitas [Pancasila – Pañca sikkhāpadāni]
dalam DN33. Sangīti Sutta ini, yaitu (1) Menghindari pembunuhan [Pāṇātipātā veramaṇī], (2) Menghindari
perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan [Adinnādānā veramaṇī], (3) Menghindari pelanggaran seksual
[Kāmesumicchācārā veramaṇī], (4) Menghindari berbohong [Musāvādā veramaṇī], (5) Menghindari meminu
minuman keras dan obat-obatan yang menyebabkan kelambanan [Surā-meraya-majja-pamādaṭṭhānā
veramaṇī]. Lalu darimanakah sumbernya empat kekotoran perbuatan ini? Seperti yang kita tau, keempat
kekotoran perbuatan kelak akan mencelakai, memberikan penderitaan, dan ketidak nyamanan pada
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 6
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
pembuatnya. Dengan merujuk pada SN3.2. Purisa Sutta, Buddha membabarkan kepada Raja Pasenadi dari
Kosala mengenai tiga hal yang ketika muncul dalam diri seseorang, muncul untuk mencelakai, memberikan
penderitaan dan ketidaknyamanan padanya, yaitu: (1) Keserakahan [Lobha], (2) Kebencian [Dosa], dan (3)
Delusi [Moha1]. Lobha, Dosa, Moha juga dikenal sebagai tiga akar kejahatan/tiga akar tidak bermanfaat [Ti
akusalamūlā] (DN 33. Saṅgīti Sutta). Dengan demikian maka dapat disimpulkan Untuk pemenuhan Hak Asasi
untuk hidup dalam pandangan Ajaran Buddha seseorang harus bisa meninggalkan tiga akar kejahatan, dengan
ditinggalkannya tiga akar kejahatan maka empat kekotoran perbuatan juga ditinggalkan, dengan
ditinggalkannya empat kekotoran perbuatan maka moralitas [Sila] akan meningkat. Jika orang yang
mengalami peningkatan moralitas disuatu wilayah semakin banyak, maka wilayah itu akan terhindar dari
malapetaka dan bencana, juga merosotnya tingkat kejahatan diwilayah itu, dan pastilah wilayah itu menjadi
tempat yang nyaman, ramah, juga membahagiakan untuk ditinggali.
2. Hak Berkeluarga Dan Melanjutkan Keturunan
Dalam Pasal 10 poin 1 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi:
―Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.‖
Dalam Ajaran Buddha, dikenal dua jenis kehidupan, yakni sebagai Perumah Tangga dan sebagai Pertapa.
Namun Sang Buddha sendiri tidak pernah memaksakan para perumah tangga untuk menjalani pertapaan dan
menjadi bhikkhu [biksu], bahkan beliau tidak memberikan penahbisan pertapaan kepada mereka yang belum
mendapat restu dari orangtuanya seperti perumah tangga Raṭṭhapāla yang harus meminta izin dahulu kepada
kedua orang tuanya agar dapat memasuki pertapaan dan menjadi bhikkhu (MN82. Raṭṭhapāla Sutta), demikian
juga ada para siswa Buddha dari kalangan perumah tangga diantaranya seperti Ghaṭikāra yang tidak mau
memasuki kehidupan pertapaan dan tetap menyokong kedua orang tuanya yang buta (MN81. Ghaṭikāra Sutta)
juga Anāthapiṇḍika yang tetap menjadi perumah tangga sampai akhir hayatnya (MN143. Anāthapiṇḍikovāda
Sutta). Kebebasan memilih pilihan hidup juga masih berlaku hingga saat ini. Namun apapun pilihan hidup
yang kita pilih, baik itu menjadi perumah tangga atau menjadi seorang bhikkhu, tentu memiliki konsekuensi
masing-masing dan kita harus siap menerima konsekuensinya dan siap menjalaninya dengan senang hati dan
sepenuh hati. Tak kalah penting kita harus siap bertanggung jawab dengan segala kewajibannya. Karena sudah
menjadi hal yang wajar dan berlaku di manapun, pada siapapun, bahwa setiap kehidupan atau pilihan hidup
yang kita pilih memiliki konsekuensi dan tanggung jawab masing-masing. (Cattapiyo:2016). Dalam SN42.9.
Kula Sutta, Sang Buddha memberikan pernyataan kepada kepala desa yang bernama Asibandhakaputta kalau
beliau memuji sikap simpati terhadap para keluarga, perlindungan para keluarga, belas kasih terhadap para
keluarga. Juga dalam sutta yang sama, Sang Buddha membabarkan ada Delapan sebab dari kehancuran sebuah
keluarga, yakni: (1) Raja [Rāja], (2) Pencuri [Cora], (3) Api [Aggi], (4) Air [Udaka]; atau (5) Mereka tidak
menemukan apa yang mereka simpan [Nihitaṃ vā ṭhānā vigacchati]; atau (6) Kegagalan dalam usaha
[Duppayuttā vā kammantā vipajjanti]; atau (7) Terdapat dalam keluarga seorang pemboros yang
menghamburkan [Vikirati], berfoya-foya [Vidhamati], dan membuang-buang kekayaannya [Viddhaṃseti]; dan
(8) Ketidak-kekalan [Anicca]. Kita semua mengetahui kalau membentuk suatu keluarga dan melakukan upaya
perkawinan tanpa perencanaan yang matang sudah tentu lebih besar berisiko kegagalan dalam berkeluarga.
Maka kita perlu untuk memperhatikan kedelapan sebab kehancuran keluarga. Hal ini amat sangat berharga
untuk diperhatikan baik oleh diri sendiri, keluarga, para pemimpin pemerintahan, juga siapapun yang
menginginkan terpenuhinya. Sebab nomor 1 hingga 5 dapat diantisipasi dengan
Ketidaklengahan/Kewaspadaan [Appamāda] karena mereka yang tidak lengah tidak mati, sebaliknya yang
lengah tak ubahnya telah mati (Dhp.21 Appamādavaggo). Sebab nomor 6 dan 7 bisa dihindari dengan
merawat empat hal yang mengarah pada kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dalam kehidupan ini
(AN8.54. Dīghajāṇu Sutta) yakni: (1) Kesempurnaan dalam inisiatif – terampil dan rajin juga dapat
melaksanakan serta mengatur pekerjaannya dengan benar [Uṭṭhānasampadā]. (2) Kesempurnaan dalam
perlindungan – mampu menjaga kekayaan yang telah dikumpulkan dengan baik [Ārakkhasampadā]. (3)
Pertemanan yang baik [Kalyāṇamittatā], dan (4) Kehidupan yang seimbang – tidak terlalu boros juga tidak
terlalu berhemat [Samajīvitā]. Sebab nomor 8 tidak dapat dihindari karena ketidak kekalan [Anicca] termasuk
dalam salah satu dari Tilakkhana, yaitu tiga corak yang mencengkram segala sesuatu dalam semesta alam
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 7
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
(PANJIKA, 2000:20). Maka dari itu perlu untuk ―Berusahalah hari ini juga, karena siapa tau kematian ada
diesok hari‖ (PARITTA SUCI, 2005:134).
3. Hak Untuk Mengembangkan Diri
Dalam Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, disebutkan bahwa:
―Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.‖
Kemudian lanjut pada pasal 12 juga disebutkan bahwa: ―Setiap orang berhak atas perlindungan bagi
pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas
hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan
sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.‖ Dari kedua pasal diatas, kuncinya adalah pendidikan, pendidikan
ditujukan agar menjadi manusia yang berakhlak mulia bahagia dan sejahtera. Dalam pandangan ajaran
Buddha, Orang yang dangkal pengetahuannya akan menjadi tua bagaikan lembu, dagingnya bertambah namun
kebijaksanaannya tidak berkembang (Dhp.152 Jarā vaggo), maka dari itu penting mengembangkan
pengetahuan agar dapat menambah kebijaksanaan. Dalam mendukung perkembangan diri seseorang, ia dapat
mengumpulkan ―Tujuh jenis kekayaan [Satta dhanāni]‖ (AN7.6. Vitthatadhana Sutta) yang akan
mendukungnya agar mendapatkan pengetahuan, berakhlak mulia, dan berkebijaksanaan. Yakni: (1) Kekayaan
keyakinan [Saddhādhana], (2) Kekayaan perilaku bermoral [Sīladhana], (3) Kekayaan rasa malu terhadap
perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran [Hirīdhana], (4) Kekayaan rasa takut terhadap perbuatan
buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran [Ottappadhana], (5) Kekayaan pembelajaran [Sutadhana], (6)
Kekayaan kedermawanan [Cāgadhana], dan (7) Kekayaan kebijaksanaan [Paññādhana]. Pembelajaran itu
penting untuk menambah pengetahuan, bahkan Sang Buddha mengatakan memiliki pengetahuan luas dan
keterampilan, juga memiliki moralitas dan tutur kata yang baik sebagai ―Berkah utama‖ [Maṅgalamuttamaṃ]
(KN, Khuddakapāṭha 5. Maṅgala Sutta). Dengan pengetahuan maka kebijaksanaan bertambah, namun
kebijaksanaan tidak hanya dapat ditambah dengan pembelajaran saja, ada tiga cara yang bisa ditempuh untuk
menambah dan mengembangkan kebijaksanaan seseorang (DN33. Sangīti Sutta) yaitu: pengembangan melalui
pemikiran [Cintāmaya paññā], pengembangan melalui mendengar pembelajaran [Sutamayā paññā], dan
pengembangan melalui pengembangan batin – meditasi [Bhāvānāmaya paññā]. Meskipun Sang Buddha
mendukung Pengembangan diri melalui pengetahuan, namun Sang Buddha tidak setuju dengan sikap jumawa,
merasa paling benar dan paling pandai karena pengetahuan. Sang Buddha pernah menegur Bhikkhu Bhaṇḍa,
murid dari Bhikkhu Ānanda dan Bhikkhu Abhiñjika, murid dari Bhikkhu Anuruddha karena bersaing satu
sama lain dengan beradu pengetahuan dan beradu siapa yang dapat berbicara lebih banyak, lebih baik, dan
lebih lama (SN16.6 Ovāda Sutta), bahkan beliau memberikan teguran keras dengan berkata: ―Kalau begitu jika
kalian tidak pernah mendengarkan Aku mengajarkan Dhamma demikian, apakah yang kalian, manusia tidak
tahu diri, ketahui dan lihat, setelah meninggalkan keduniawian dalam Dhamma dan Disiplin yang telah
dibabarkan dengan sempurna, kalian saling bersaing satu sama lain sehubungan dengan pelajaran kalian,
tentang siapa yang dapat berbicara lebih banyak, siapa yang dapat berbicara lebih baik, siapa yang dapat
berbicara lebih lama?‖ (SN16.6 Ovāda Sutta) Sang Buddha juga mengajarkan kalau tingkatan pengetahuan
langsung setiap orang berbeda-beda dan tidak selalu berpandangan sama, akan sangat berbahaya jika hanya
mengandalkan sisi pengetahuan sendiri, menggenggam erat pandangan sendiri, dan menganggapnya sebagai
kebenaran yang paling benar, mutlak, dan absolut. Hal ini Buddha tuangkan dalam Perumpamaan Gajah dan
Orang Buta (KN.Udāna 6.4 Paṭhamanānātitthiya Sutta) Dalam perumpamaan itu, Buddha menceritakan
sebelumnya di kota Sāvatthī terdapat seorang Raja yang mengumpulkan orang-orang yang telah buta sejak
lahir dari kotanya, setelah mereka berkumpul raja itu memperlihatkan seekor gajah pada mereka. Kemudian ia
memperlihatkan kepala gajah kepada beberapa orang-orang buta itu sambil berkata ―Tuan-tuan inilah gajah‖.
Demikian juga ia memperlihatkan telinga gajah kepada beberapa orang buta lainnya dengan mengatakan
―Tuan-tuan inilah gajah‖. Hal yang sama ia lakukan ke kelompok orang-orang buta lainnya dengan masing-
masing kelompok diperlihatkan dengan bagian tubuh gajah yang berbeda-beda antara lain gading gajah,
belalai gajah, badan gajah, kaki gajah, paha gajah, ekor gajah, dan ujung ekor gajah. Kemudian setelah orang-
orang buta itu puas melihat gajah dengan keterbatasan mereka, mereka kembali berkumpul kehadapan raja,
raja kemudian meminta mereka menjelaskan seperti apakah gajah itu.
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 8
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
Kelompok yang diperlihatkan kepala gajah mengatakan gajah itu seperti kendi; Kelompok yang diperlihatkan
telinga gajah mengatakan gajah seperti kipas; Kelompok yang diperlihatkan gading gajah menjelaskan gajah
seperti mata bajak; Kelompok yang diperlihatkan belalai gajah menjelaskan gajah seperti galah bajak;
Kelompok yang diperlihatkan badan gajah mengatakan gajah seperti lumbung; Kelompok yang diperlihatkan
kaki gajah mengatakan gajah seperti tiang; Kelompok yang diperlihatkan paha gajah mengatakan gajah seperti
lesung; Kelompok yang diperlihatkan ekor gajah mengatakan gajah seperti penumbuk; Kelompok yang
diperlihatkan ujung ekor gajah mengatakan gajah seperti sapu. Kemudian, karena perbedaan pandangan,
pengetahuan, dan pendapat, juga masing-masing merasa paling benar, mereka saling berdebat dan beradu
argument menjelaskan gajah dengan versi mereka sendiri. Kemudian mereka saling memukul satu sama lain
dengan tinju mereka sementara sang raja senang dan menikmati kejadian itu. Dengan nasihat perumpamaan
gajah dari Sang Buddha tersebut, hendaknya kita tidak perlu terjebak dalam perbedaan pandangan dan
menganggap pengetahuan hasil pengembangan diri kita paling baik dan paling benar, serta menjelekan
pengetahuan dan pandangan orang lain. Apa yang kita ketahui bisa saja hanya sebagian kecil dari sekian
banyak pengetahuan yang ada dialam semesta ini, sebagai orang yang menerima Hak asasi untuk
mengembangkan diri melalui pendidikan tidak selayaknya saling menjatuhkan dengan pengetahuan yang
dimiliki, baik kepada sesama maupun kepada semua mahluk. Juga ingatlah dengan hukum Kamma Niyama
yang selalu ada dan menjangkau semua mahluk hidup dialam semesta. Perlu disadari bahwa sepanjang
perbuatan buruk belum masak, orang dungu mengiranya seperti madu. Akan tetapi jika perbuatan buruk telah
masak, ia jatuh menderita (Dhp69. Bāla Vaggo)
4. Hak Memperoleh Keadilan
Dalam Pasal 17 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia disebutkan bahwa:
―Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.‖ Kuncinya dari pasal
tersebut adalah Penegakkan hukum yang jujur dan adil serta tanpa diskriminasi. Ada beberapa hal dalam
ajaran Buddha yang menuntun terpenuhinya hak ini. Menurut Sang Buddha dalam SN10.12 Āḷavaka Sutta,
Kebenaran adalah rasa yang paling manis. Kemudian disutta yang sama Buddha juga menjelaskan bahwa
dengan kejujuran seseorang memenangkan pengakuan. Maka dari itu, menurut ajaran Buddha nilai kejujuran
dan kebenaran harus ada pada mereka yang mengharapkan keadilan, juga para penegak hukum. Lebih lanjut
lagi, setiap orang yang menginginkan kehidupan yang bahagia dan adil juga perlu melandasi dirinya dengan
moralitas yang baik, terlebih lagi jika seorang pemimpin. Pemimpin yang baik sudah pasti disenangi
pengikutnya sementara pemimpin durjana bahkan tidak akan diakui sebagai pemimpin dalam setiap diri
pengikutnya. Dalam DN17. Mahāsudassana Sutta, Menjelang beliau mencapai wafat agung di Kusinārā,
Buddha menceritakan kehidupan masa lalunya sebagai seorang raja dengan nama Mahāsudassana, beliau
adalah seorang raja pemutar roda yang memerintah dengan adil dan jujur sesuai dengan kebenaran [Dhamma],
waktu itu Kusinārā bernama Kusāvatī, ibu kota utama dari kerajaan milik Mahāsudassana. Singkat kata
Kusāvatī adalah kota luar biasa dengan banyak pohon emas, perak, beryl, dan harta berharga lainnya.
Mengapakah beliau disebut sebagai raja pemutar roda? Itu karena beliau memiliki pusaka roda [Cakkaratana]
yang diperoleh ketika ia melaksanakan Uposatha di hari kelima belas. [Kata uposatha adalah hari uposatha,
ibadat uposatha, sila uposatha; DUBD:2015. Sila uposatha terbagi menjadi dua jenis, bisa merujuk pada 8
latihan sila uposatha – AN8.42 Vitthatūposatha Sutta; maupun 9 latihan sila uposatha – AN9.18
Navaṅguposatha Sutta]. Setelah itu raja memercikan air dari kendi emas ke pusaka roda tersebut dan pusaka
roda itu berputar menuju keempat penjuru diikuti oleh raja dan barisan bala tentaranya, setiap penjuru yang
dilalui pusaka roda itu menjadi takluk, kemudian raja-raja disetiap penjuru yang dilalui pusaka roda itu datang
dan menghadap Raja Mahāsudassana dan siap menunggu perintah darinya, namun Sang Raja bukan
memerintah dengan sewenang-wenang, justru beliau memerintahkan para raja yang ditaklukannya untuk
menjalani Enam perintah yang mana lima pertama diantaranya mencakup Lima aturan moralitas [Pancasila],
yaitu: (1) Jangan membunuh. (2) Jangan mengambil apa yang tidak diberikan. (3) Jangan melakukan
hubungan seksual yang salah. (4) Jangan berbohong. (5) Jangan meminum minuman keras. (6) Makanlah
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 9
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
secukupnya. Setelah pusaka roda menahlukan keempat penjuru, pusaka roda kembali ke ibukota Kusāvatī dan
berhenti di depan istana raja ketika Raja sedang memimpin persidangan. Sejak saat itu raja semakin
berpengaruh, dan daerah yang dipimpinnya semakin makmur dan kaya dengan berbagai permata dan
penduduk serta para pemimpinnya karena bermoral baik dan makan secukupnya, kehidupan mereka menjadi
bahagia. Kemudian beliau berpikir ―Dari kamma apakah ini berbuah, dari kamma apakah ini berakibat,
sehingga aku sekarang begitu kuat dan berkuasa?‖ Kemudian ia berpikir: ―Ini adalah buah, akibat dari tiga
jenis kamma: memberi [dāna], pengendalian-diri [dama], dan penghindaran [saṃyama].‖ Dengan melihat
kualitas kepemimpinan dari Raja Mahāsudassana yang sesuai dengan Dhamma, maka kemajuan diperoleh,
demikianlah dalam sudut pandang ajaran Buddha, kepemimpinan dan penegakkan hukum harus berlandaskan
pada minimal lima aturan moralitas yang baik, semakin tinggi standart s saja yang bisa didapatkan bukan
kemajuan. Dalam ajaran Buddha, orang yang tidak jujur dan senang berbohong disebut orang yang ucapannya
bagaikan kotoran [puggalo gūthabhāṇī] (AN3.28. Gūthabhāṇī Sutta) orang seperti ini tidak dapat dipercaya
ucapannya sekalipun dihadapan sidang pengadilan, ia akan berkata tidak tau pada sesuatu yang ia ketahui, juga
sebaliknya ia akan berpura-pura tau padahal ia tidak tau. Jika suatu lembaga hukum ataupun dalam suatu
sidang diisi penuh dengan tipikal orang seperti ini, maka orang-orang baik akan kehilangan kepercayaaannya
pada lembaga tersebut ataupun pada sidang tersebut. Hal ini tercatat dalam SN3.7. Aḍḍakaraṇa Sutta. Dalam
sutta itu Raja Pasenadi dari Kosala merasa jemu dan meninggalkan ruang pengadilan, karena terdapat banyak
khattiya kaya, brahmana kaya, juga perumah tangga kaya membicarakan kebohongan dengan bebas demi
kenikmatan indria [kāma]. Dalam sutta yang sama, Buddha menjelaskan pada Sang Raja bahwa hal itu akan
membawa mereka menuju bahaya dan penderitaan mereka dalam waktu yang lama. Kata Khattiya secara
harfiah adalah orang keturunan kaum arya, orang yang berkasta kesatria [Status sosialnya tertinggi, selalu
disebutkan paling awal. Semua raja maupun kepala suku masuk dalam golongan ini]. Lebih lanjut dalam Dhp.
137-140 Daṇḍavaggo, Buddha menjelaskan barang siapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak
mencelakai dan tidak mendera, ia akan menemui salah satu dari sepuluh keadaan, yakni: (1) Perasaan
menyengat, (2) Keterpurukan, (3) Cacat tubuh, (4) Sakit keras, (5) Gangguan jiwa, (6) Usikan raja, (7)
Hasutan menyakitkan, (8) Kehilangan sanak keluarga, (9) Kemusnahan harta benda, (10) Kebakaran rumah.
Ataupun setelah ajalnya tiba ia masuk neraka. Lebih lanjut Dhammadhīro (2014:61) menjelaskan istilah tidak
mendera disini mengacu kepada orang suci yang tidak mendera siapapun. Demikianlah dalam pandangan
ajaran Buddha kunci dari terciptanya Hak memperoleh keadilan adalah adanya kejujuran dan juga keadilan itu
sendiri, dengan kejujuran seseorang memenangkan pengakuan. Selain itu perlu untuk melandasi diri dengan
moralitas yang baik, terlebih jika seorang pemimpin, karena orang yang tidak bermoral, yang ucapannya
bagaikan kotoran dan mencelakai mereka yang tidak mendera dengan cara apapun (termasuk memberikan
kesaksian palsu) maka akan segera ia menemui salah satu diantara 10 hal buruk, ataupun ia berakhir dineraka.
5. Hak Atas Kebebasan Pribadi
Pada Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia disebutkan bahwa:
―Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani‖. Lebih lanjut pada Pasal 22 Poin 1
dan 2 Juga disebutkan:
1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.‖
Dalam ajaran Buddha sangat menjunjung asas kebebasan pribadi, Sang Buddha sendiri tidak pernah
memaksakan seseorang untuk mengikutinya atau mempercayai ajarannya. Beliau salah satu dari sedikit guru
dan pemimpin aliran keyakinan yang tidak pernah mengancam dan mengecam orang yang tidak meyakini
ajaran beliau ataupun memaksakan orang untuk menjadi pengikutnya. Hal ini beliau sampaikan saat berada
ditengah-tengah Kesaputta, tempat bermukim para penduduk Kālāma. (AN3.65. Kesamutti Sutta), saat itu para
penduduk Kālāma sedang mengalami kebingungan karena banyaknya pertapa dan Brahmana sekte lain yang
datang mengunjungi Kesaputta silih berganti, masing-masing dari mereka mengemukakan doktrin ajaran
mereka sendiri namun menjelek-jelekan doktrin ajaran lainnya. Karena hal ini juga, selain menjadi bingung
para penduduk Kālāma juga menjadi ragu-ragu mana diantara doktrin mereka yang benar. Kemudian Buddha
mengatakan sekaligus mengajak para penduduk Kālāma agar jangan semata-mata menerima suatu hal hanya
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 10
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
karena (1) Menuruti tradisi lisan, (2) Ajaran turun-temurun, (3) Kabar angin, (4) Kumpulan teks, (5) Logika,
(6) Penalaran, (7) Pertimbangan, dan (8) Penerimaan pandangan setelah merenungkan pembabar yang
tampaknya cukup kompeten, atau (9) Karena berpikir: ‗Petapa itu adalah guru kami.‘ Beliau kemudian
menyatakan kepada penduduk Kālāma, jika kalian mengetahui untuk diri ‗Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat;
hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan
mengarah menuju bahaya dan penderitaan,‘ maka kalian harus meninggalkannya. Juga sebaliknya, jika
diketahui ‗Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;
hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,‘ maka
kalian harus hidup sesuai dengannya. Lebih lanjut lagi, Buddha juga menginstruksikan kepada Jenderal Sīha
(AN8.12. Sīha Sutta), yang pada awalnya sang jendral adalah pengikut petapa Nigaṇṭha Nātaputta, untuk
meneliti dan menyelidiki ajarannya walaupun sang jendral sendiri sudah tergugah oleh khotbah Dhamma dari
Sang Buddha. Beliau mengatakan ―Selidikilah, Sīha! Baik sekali bagi seorang terkenal sepertimu untuk
melakukan penyelidikan.‖ Yang karena hal ini dikatakan, maka Sang Jendral mengungkapkan
kebahagiaannya, karena jika para anggota petapa sekte lain yang mendapatkan Jenderal Sīha sebagai siswa
mereka, maka mereka akan membawa spanduk ke seluruh Vesālī sambil mengumumkan: ‗Jenderal Sīha telah
menjadi siswa kami.‘ Sedangkan Sang Buddha malah meminta sang jendral untuk menyelidiki ajarannya.
Lebih lanjut Sang Buddha juga meminta agar Jenderal Sīha harus mempertimbangkan untuk tetap melanjutkan
memberi dana kepada para Nigaṇṭha ketika mereka mendatangi sang jendral. Dan karena hal ini, sang jendral
kembali mengungkapkan kesenangannya dan merasa bahagia. Nilai-nilai toleransi dan kebebasan pribadi
sangat terlihat dalam Ajaran Buddha, bahkan Sang Buddha tidak pernah memaksakan orang-orang dan para
pengikutnya dengan klaim hanya memberikan persembahan dana kepada beliau ataupun siswa-siswa beliau
saja maka suatu pemberian akan berbuah besar dan sangat berbuah, juga beliau tidak pernah menghalang-
halangi pengikutnya maupun orang lain untuk memberikan persembahan dana kepada para petapa sekte lain
(AN3.57 Vacchagotta Sutta). Dalam sutta yang sama, beliau juga menegaskan bahkan pemberian berupa air
pencuci piring yang ditujukan kepada mahluk-mahluk ditempat sampah ataupun saluran air agar mereka dapat
bertahan hidup, itu saja sudah menghasilkan jasa kebajikan apalagi pemberian yang ditujukan pada manusia,
juga beliau menegaskan bahwa pemberian yang diberikan kepada seseorang yang berperilaku bermoral lebih
berbuah daripada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang tidak bermoral, dan masih disutta yang
sama, beliau menjelaskan penerima persembahan dana yang paling baik adalah siapapun seorang yang telah
meninggalkan lima faktor, yaitu (1) Keinginan indria [Kāmacchanda], (2) Niat buruk [Byāpāda], (3)
Ketumpulan dan kantuk [Thina-middha], (4) Kegelisahan dan penyesalan [Uddhaccakukkucca], dan (5)
Keragu-raguan [Vicikicchā]; dan memiliki lima faktor, yaitu: (1) Perilaku bermoral [Sīla], (2) Konsentrasi
[Samādhi], (3) Kebijaksanaan [Paññā], (4) Kebebasan [Vimutti], dan (5) Pengetahuan dan penglihatan pada
kebebasan [Vimuttiñāṇadassana] dari seorang yang melampaui latihan. Dari berbagai uraian temuan sutta
diatas, sangatlah jelas bahwa ajaran Buddha Dhamma sangat seiring sejalan dengan Hak Asasi kebebasan
pribadi. Bahkan, Buddha tidak memaksa orang lain untuk menjadi pengikutnya untuk bisa belajar Dhamma
dari beliau. Hal-hal ini amat jarang ditemukan pada ajaran lain.
6. Hak Atas Rasa Aman
Dalam Pasal 30 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia, disebutkan bahwa
―Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu.‖ Menurut Buzan (1991) salah satu penyebab dari ancaman keamanan
adalah karena faktor ekonomi. Dalam DN5. Kūṭadanta Sutta, Sang Buddha menceritakan pada kehidupan
lampau beliau sebagai seorang Brahmana Kerajaan yang bertugas sebagai penasihat Raja Mahāvijita. Dikala
itu Sang Raja ingin mengadakan upacara pengorbanan yang besar, namun negerinya sendiri tidak aman karena
banyaknya para pencuri yang menyerang dan merusak negeri, desa-desa dan pemukiman-pemukiman, bahkan
di perbatasan dikuasai oleh perampok. Sang penasihat juga menyampaikan Jika raja mengutip pajak atas
wilayah itu, itu adalah suatu kesalahan. Namun sang penasihat tidak menyarankan pemberantasan para
penjahat dan perampok itu dengan cara mengeksekusi mereka, memberi hukuman penjara, atau dengan
menyita, mengancam dan pengusiran semata karena sang penasihat yang bijaksana berpendapat bahwa dengan
cara-cara seperti itu gangguan itu tidak akan berakhir. Mereka yang selamat kelak akan kembali mengganggu
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 11
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
negeri sang raja. Sang Penasihat menyarankan pada raja agar memberikan rasa aman dengan cara pemenuhan
pemberdayaan ekonomi pada negerinya yang dilanda oleh para perampok, Bukan hanya dengan upaya paksa
berupa pembasmian dengan kekuatan militer. Dengan pemberian bantuan yang tepat sasaran; Kepada rakyat-
rakyat kerajaan yang hidup dari pencaharian bertani dan beternak sapi, raja disarankan untuk membagikan
benih dan makanan ternak; Kepada yang berdagang, diberikan modal usaha; dan yang bekerja melayani
pemerintahan diberikan upah yang sesuai. Sang Penasihat juga menambahkan kalau orang-orang itu, karena
tekun pada pekerjaan mereka, tidak akan mengganggu kerajaan ini. Juga penghasilan kerajaan akan bertambah
dan rakyat pun menjadi sejahtera dan bahagia. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara ekonomi dan
stabilitas keamanan dalam sudut pandang Ajaran Buddha, maka dari itu sebagai masukan untuk pemenuhan
Hak asasi atas rasa aman perlu juga pemerintah memperhatikan faktor ekonomi masyarakatnya. Kemudian
juga, dengan alasan keamanan sebaiknya seseorang tidak berkeliaran dijalan pada waktu yang tidak tepat
(misalkan malam hari, tengah malam atau saat jalanan sepi). Dalam DN31. Sigālaka Sutta, Buddha
menerangkan Ada enam bahaya pada kebiasaan perbuatan berkeliaran di jalanan pada waktu yang tidak tepat,
yaitu: (1) Seseorang tidak memiliki pertahanan dan tanpa perlindungan, dan (2) Demikian pula dengan istri
dan anak-anaknya, juga (3) Hartanya; (4) Ia dicurigai atas suatu tindak kejahatan, (5) Ia bisa menjadi korban
laporan palsu, dan (6) Ia mengalami segala jenis ketidaknyamanan. Maka dari itu sebaiknya kita yang
menginginkan Hak atas rasa aman kita terpenuhi sebaiknya menghindari berada dijalan pada waktu yang tidak
tepat. Akan tetapi bukankah keamanan dijamin oleh apparat keamanan negara? Iya memang tetapi perlu
diketahui dalam Ajaran Buddha ada dua macam perlindungan (SN3.5. Attarakkhita Sutta), yaitu (1)
Perlindungan Eksternal [Bāhirā rakkhā] seperti pasukan gajah, pasukan infanteri, prajurit berkuda, dan lain
sebagainya dan (2) Perlindungan Internal [Ajjhattikā rakkhā] berupa perbuatan baik dan pengendalian diri.
Dalam sutta tersebut Buddha membenarkan pernyataan Raja Pasenadi dari Kosala yang menyebutkan bahwa
mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui jasmani [Kāya duccarita], ucapan [Vāci
duccarita], dan pikiran [Mano duccarita] walaupun bahkan sekelompok pasukan gajah, sekelompok prajurit
berkuda, sekelompok prajurit kereta, atau sekelompok prajurit infanteri melindungi mereka, namun mereka
tetap tidak terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan itu adalah eksternal [Bāhirā rakkhā],
bukan internal [Ajjhattikā rakkhā]. Demikian sebaliknya, mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan baik
melalui jasmani [kāya succarita], ucapan [vāci succarita], dan pikiran [mano succarita] walaupun tanpa
perlindungan sekelompok pasukan gajah, sekelompok prajurit berkuda, sekelompok prajurit kereta, ataupun
sekelompok prajurit infanteri, namun mereka tetap terlindungi. Karena alasan apakah? Karena perlindungan
itu adalah internal [Ajjhattikā rakkhā], bukan eksternal [Bāhirā rakkhā]. Kemudian Sang Buddha juga
menyebutkan tiga perlindungan internal [Ajjhattikā rakkhā] lainnya, yaitu: (1) pengendalian melalui jasmani
[Kāyena saṃvaro], (2) Pengendalian melalui ucapan [Vācāya saṃvaro], dan (3) Pengendalian melalui pikiran
[Manasā saṃvaro]. Merujuk pada sutta ini, perlindungan jenis eksternal saja tidaklah cukup, seseorang juga
perlu menegakkan perlindungan internal pada dirinya, karena pada dasarnya diri sendirilah pelindung diri,
sosok lain siapakah yang dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan
mendapat perlindungan nan sulit diperoleh (Dhp. 160 Attavaggo).
7. Hak Atas Kesejahteraan
Mengacu pada KBBI, Kesejahteraan adalah ― n hal atau keadaan sejahtera; Keamanan, Keselamatan,
Ketentraman.‖ Kata ini berasal dari kata dasar Sejahtera yang adalah ―a Aman sentosa, dan makmur; selamat
(terlepas dari segala macam gangguan). Sementara itu, Pasal 36 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999
Tentang Hak asasi manusia poin 1 dan 2 menyebutkan:
1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi
pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
2. Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.
Lebih lanjut dalam Pasal 38 undang-undang yang sama, juga disebutkan:
1. Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat
ketenagakerjaan yang adil.
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 12
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau
serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat
kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan
kehidupan keluarganya.
Kuncinya dari kedua pasal diatas adalah seseorang berhak memiliki kekayaan dengan cara yang benar demi
kesejahteraan diri, keluarga, bangsa, dan masyarakat; juga berhak menerima upah yang sesuai. Sang Buddha
mendukung penuh hak atas kesejahteraan, juga mendukung upaya mensejahterakan masyarakat. jika kita
penjelasan mengenai DN 5 Kūṭadanta Sutta seperti pada bagian Hak Atas Rasa Aman, disana sudah dijelaskan
kalau Sang Buddha yang kala itu terlahir sebagai penasihat Raja Mahāvijita mendukung raja mengatasi
gangguan keamanan dengan memperbaiki ekonomi rakyat dengan memberikan bantuan yang tepat sasaran
sesuai bidang keahlian provesi, juga mendukung pemberian upah layak kepada para pekerja. Juga dalam
DN31 Sigālaka Sutta, Buddha juga menjelaskan lima cara seorang majikan melayani para pelayan dan
pekerjanya sebagai cara menghormati arah penjuru bawah, yakni dengan (1) Mengatur pekerjaan mereka
sesuai kekuatan mereka, (2) Dengan memberikan makan dan upah, (3) Dengan merawat mereka ketika mereka
sakit, (4) Dengan berbagi makananan lezat dengan mereka, dan (5) Dengan memberikan hari libur pada waktu
yang tepat. Demikian pandangan Ajaran Buddha mengenai mendukung kesejahteraan rakyat dan pemberian
upah serta perlakuan yang layak kepada para pekerja dan pelayan. Lebih lanjut, Sang Buddha juga pernah
mengajarkan kalau ada Empat Kesempurnaan yang membawa kesejahteraan bagi perumah tangga dikehidupan
ini (AN8.54. Dīghajāṇu Sutta) yakni: (1) Kesempurnaan dalam inisiatif [Uṭṭhānasampadā] – Yaitu apapun
bidang pekerjaan dan usaha yang digeluti dilaksanakan dengan terampil dan rajin, juga memiliki penilaian
yang baik agar dapat melaksanakan dan mengaturnya dengan benar; (2) Kesempurnaan dalam perlindungan
[Ārakkhasampadā] – Yakni memberikan perlindungan dan penjagaan atas kekayaan yang telah ia peroleh
melalui inisiatif dan kegigihan; (3) Pertemanan yang baik [Kalyāṇamittatā] – Yakni berteman dengan teman
yang baik dan memiliki moralitas juga berusaha meniru mereka sejauh apapun mereka sempurna dalam
Keyakinan [Saddhāsampanno], Moralitas [Sīlasampanno], Kedermawanan [Cāgasampanno], dan
Kebijaksanaan [Paññāsampanno] karena alasan apa pertemanan yang baik itu perlu? Dhp78 Paṇḍitavaggo
menjelaskan tak sepatutnya bergaul dengan teman-teman nista dan durjana, namun bergaullah dengan teman-
teman baik, dengan orang-orang mulia; Dan (4) Kehidupan yang seimbang [Samajīvitā] – Yakni mengetahui
pendapatan dan pengeluarannya dan menjalani kehidupan seimbang yang tidak terlalu boros juga tidak terlalu
berhemat. Demikianlah pandangan Ajaran Buddha mengenai Hak Atas Kesejahteraan, selain dengan
pemberdayaan ekonomi dan upah yang layak, untuk menunjang kesejahteraan dan kebahagiaan juga harus
mengusahakan dan mengembangkan empat kesempurnaan agar tercipta kesejahteraan yang didambakan setiap
insan.
8. Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan
Dalam Pasal 44 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi: ―Setiap
orang berhak sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau
usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik
dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.‖ Didalam
sistem pemerintahan dijaman dahulu lebih banyak sistem kerajaan, demikian juga dengan sistem pemerintahan
yang ada dijaman Sang Buddha lebih banyak kerajaan. Namun siapa yang menyangka, ternyata pada masa itu,
masyarakat yang kompeten juga turut serta dalam rencana pemerintah. Bukan hanya kaum bangsawan saja.
Hal ini terdapat dalam DN5, Kūṭadanta Sutta. Dimana Sang Brahmana kerajaan [yang adalah kehidupan
lampau Sang Buddha] mengajarkan kepada Sang Raja Mahāvijita untuk mengikut sertakan para khattiya
[Ksatria], Brahmana-brahmana, para penasihat, dan Para perumah tangga kaya yang ada dinegeri tersebut,
untuk memuluskan rencana Sang Raja menyelenggarakan upacara pengorbanan besar. Dalam memberikan
saran atau masukan, haruslah memperhatikan isi kebenaran dari isi saran tersebut dan jangan sampai keliru,
jika tidak dan saran itu terbukti tidak benar maka orang yang mengajarkan saran itu, hal yang disarankan, dan
ia yang mengikuti saran itu akan mendapatkan keburukan, demikian sebaliknya. Jika saran ataupun masukan
itu benar, maka orang yang mengajarkan saran itu, hal yang disarankan, dan ia yang mengikuti saran itu akan
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 13
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
mendapatkan jasa yang besar (DN29 Pāsādika Sutta) dalam DN26. Cakkavatti Sīhanāda Sutta Buddha juga
menyampaikan kalau salah satu sebab merosotnya usia harapan hidup manusia adalah karena meningkatnya
pendapat-pendapat yang salah, maka sebaiknya kita perlu berhati hati berpendapat dan memberi masukan,
jangan sampai pendapat-pendapat itu malah merugikan masyarakat juga diri sendiri. Dalam meyampaikan
pendapat, hindarilah ucapan kasar kepada siapapun karena mereka yang engkau katai akan balik
mengataimmu; sesungguhnya pertengkaran adalah penderitaan dan tuntut balas dapat menghampirimu (Dhp.
133 Daṇḍavaggo), juga hindari terlalu banyak berbicara, karena orang yang terlalu banyak berbicara dekat
dengan lima bahaya (AN5.214 Bahubhāṇi Sutta) yaitu (1) Ia berbohong; (2) Ia memecah-belah; (3) Ia berkata
kasar; (4) Ia bergosip; (5) Setelah kematian, ia terlahir kembali di alam sengsara. Demikian sebaliknya, orang
yang bijak berbicara akan terhindar dari kelima bahaya itu.
9. HAK WANITA
Dijaman Sang Buddha dahulu, kelahiran para wanita dipandang sebelah mata, terlebih bagi keluarga kerajaan
karena dianggap tidak bisa meneruskan kerajaan atau menjadi ahli waris marga kerajaan. Namun Sang Buddha
tidak mendiskreditkan seorang perempuan kalah hebat dari laki-laki, beliau bahkan memberikan nasihat
kepada Raja Pasenadi dan Ratu Mallikā kalau seorang anak perempuan bahkan bisa lebih baik daripada anak
laki-laki, mungkin saja jika seorang perempuan menjadi lebih baik, bijaksana, dan bermoral dari seorang laki-
laki. Bahkan putera yang dilahirkan oleh ibu seperti itu, bisa saja menjadi pahlawan bahkan orang yang
memerintah wilayahnya (SN3.16. Mallikā Sutta). Lebih lanjut, Buddha memberi tahu dan mengajarkan kepada
sejumblah orang Licchavi tentang tujuh prinsip ketidakmunduran suku vajji, yang salah satunya adalah selama
para Vajji tidak menculik perempuan-perempuan dan anak-anak gadis dari keluarga mereka dan memaksa
mereka untuk hidup bersama, maka hanya pertumbuhan yang menanti mereka, bukan kemunduran (AN7.21.
Sārandada Sutta). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia
Pasal 49 Poin 2 yang menyebutkan bahwa: ―Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.‖ Sang Buddha sangat mendukung agar para wanita
dapat memperoleh keberhasilan, hal itu beliau terangkan kepada umat awam wanita Visākhā, kalau ada empat
kualitas yang mengarahkan perempuan pada kemenangan dikehidupan sekarang (AN8.49. Paṭhamaidhalokika
Sutta) yaitu: (1) Seorang perempuan mampu melakukan pekerjaannya; (2) Ia mengatur bantuan rumah tangga;
(3) Ia bersikap menyenangkan bagi suaminya, dan (4) Ia menjaga pendapatan suaminya.‖ Sebab wanita pada
umumnya kelak akan menikah, Sang Buddha juga memberikan nasihat mengenai hak dan kewajiban seorang
istri kepada suaminya (DN31. Sigālaka Sutta), apabila mereka telah direkatkan dengan ikatan pernikahan.
Yaitu Hak istri mendapatkan lima cara bagi seorang suami untuk melayani istri mereka sebagai arah barat: (1)
Dengan menghormatinya, (2) Tidak meremehkannya, (3) Setia kepadanya, (4) Memberikan kekuasaan
kepadanya, (5) Memberikan perhiasan kepadanya. Sementara ada Kewajiban istri, yaitu lima cara bagi seorang
istri yang dilayani dapat membalas: (1) Dengan melakukan pekerjaannya dengan benar, (2) Bersikap baik
kepada para pelayan, (3) Setia kepadanya, (4) Menjaga tabungan, dan (5) Terampil dan rajin dalam semua
yang harus ia lakukan. Lebih lanjut dalam AN5.33. Uggaha Sutta, Sang Buddha juga pernah memberikan lima
nasihat tentang menjadi istri yang baik bagi suaminya. Hal ini beliau babarkan kepada Anak-anak gadis dari
seorang bernama Uggaha, cucu Meṇḍaka. Kelima nasihat itu adalah: (1) Bangun lebih pagi sebelum suami
bangun tidur dan pergi tidur setelah suami pergi tidur, melakukan apa pun yang harus dilakukan, bertingkah
laku menyenangkan dan ramah dalam bertutur kata; (2) Menghormati, menghargai, dan memuliakan mereka
yang dihormati oleh suami; (3) Terampil dan tekun dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, juga
memiliki penilaian benar sehubungan dengan tugas-tugas agar dapat menjalankan dan mengurusnya dengan
benar; (4) Mencari tahu apa yang telah dikerjakan dan belum diselesaikan oleh para pembantu rumah tangga,
mencari tahu kondisi mereka yang sakit dan membagikan porsi makanan yang selayaknya kepada para pekerja
dan pembantu rumah tangga; (5) Menjaga dan melindungi pendapatan apa pun yang dibawa pulang oleh suami
dan tidak akan memboroskan, mencuri, membuang-buang atau menghambur-hamburkan pendapatannya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi manusia
yang berbunyi: ―Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang
sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 14
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
anak-anaknya dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.‖Didalam Ajaran Buddha mendukung
penuh Hak wanita, juga menjabarkan kewajiban-kewajiban wanita ketika mereka sudah bersuami dan tanpa
mendiskreditkan wanita, wanita sangat layak dilindungi dan dihargai dalam pandangan Ajaran Buddha.
10. Hak Anak
Perlindungan anak seringkali terabaikan, padahal hak asasi ini sudah ada dan berlaku bahkan sejak anak masih
dalam kandungan. Hal ini merujuk pada pasal 52 Poin 1 dan 2 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999
Tentang Hak asasi manusia yang berbunyi:
1. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
2. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh
hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Buddha pernah memberitahukan kepada orang-orang Licchavi tentang prinsip ketidakmunduran suku vajji,
yang salah satunya menyebutkan perlindungan wanita dan anak-anak (AN7.21. Sārandada Sutta). Dengan
merujuk pada sutta tersebut, jika perlindungan kepada perempuan dan anak-anak ditegakkan maka hanya
kemajuan yang akan didapat, bukan kemunduran. Lebih lanjut, sebaiknya orang yang sudah dewasa tidak
melalukan tindakan kekerasan dalam mendidik anak-anak. Bahkan, sewaktu Sang Buddha masih menjadi
Boddhisatva, beliau pernah mendapatkan gangguan dan perbuatan tidak menyenangkan [Diludahi, Dikencingi,
Dilemparkan bongkahan-bongkahan tanah hingga telinga beliau ditusuk kayu] oleh anak-anak pengembala,
namun beliau tidak melakukan kejahatan lagi kepada mereka bahkan dalam pikiran beliau sendiri. Beliau
dengan sabar menerima dan menahankan gangguan itu dan tidak membalas mereka (MN12. Mahāsīhanāda
Sutta). Terkadang anak bayi dan balita suka melakukan kesalahan yang tidak wajar seperti memakan batu,
kelereng, memasukan pasir ke telinga, atau kehidung, dan lain sebagainya. Upaya protektif dengan tindakan
pengobatan langsung yang tepat, atau jika merasa tidak mampu mengatasi segera dilarikan ketenaga
pengobatan. harus segera dilakukan demi kesejahteraan dan kebahagiaan anak itu, sekalipun tindakan
pengobatan yang dilakukan akan melukai sang bayi. Hal ini Buddha terangkan dalam perumpamaan pengasuh
bayi. Contohnya seorang bayi kecil, yang tidak tahu apa-apa, berbaring pada punggungnya, memasukkan
sebatang kayu atau kerikil ke dalam mulutnya karena kelengahan pengasuhnya. Pengasuhnya akan segera
merawatnya dan berusaha untuk mengeluarkannya. Jika ia tidak dapat dengan cepat mengeluarkannya, maka
ia akan merangkul kepala anak itu dengan tangan kirinya dan, dengan menekukkan jari tangan kanannya, ia
akan mengeluarkannya bahkan jika ia harus melukainya hingga berdarah. Karena alasan apakah? Anak itu
akan mengalami kesakitan—hal ini Aku tidak membantahnya—tetapi pengasuh itu terpaksa melakukan itu
demi kebaikan dan kesejahteraan anak itu, demi belas kasihan padanya.‖ (AN5.7. Kāma Sutta). Disamping
orang tua harus melindungi anaknya, anak juga harus menghormati dan menjunjung orang tua, Buddha
mengajarkan sebagai anak haruslah membantu ayah dan ibu juga bekerja bebas dari pertentangan
(KN.Khuddakapāṭha 5, Maṅgalasutta dalam PARITTA SUCI CHANTING PAGI DAN SORE 2015:93).
Dalam AN4.63. Brahma Sutta, Sang Buddha menyebutkan kalau ayah dan ibu adalah Brahma, Guru-guru
pertama, dan Dewata-dewata pertama yang layak menerima pemberian dari anak-anaknya karena alasan
mereka sangat membantu bagi anak-anak mereka, mereka juga membesarkan, memelihara, dan menunjukan
dunia pada anak-anak mereka. Karena telah disokong dan dibesarkan, sedemikian besar jasa orang tua pada
anaknya, maka anak-anak juga memiliki kewajiban kepada orangtuanya (DN31 Sigālaka Sutta), yaitu: (1) Ia
harus berpikir: ―Setelah disokong mereka, aku harus menyokong mereka. (2) Harus melakukan tugas-tugas
mereka untuk mereka. (3) Harus menjaga tradisi keluarga. (4) Berusaha menjaga warisan bagian milik si anak.
(Khusus poin 4 menggunakan terjemahan dari buku Sigalovada Sutta 2010:12). (5) Setelah orangtua
meninggal dunia, sebagai anak akan membagikan persembahan mewakili mereka, dan karena menerima
pelayanan dari anaknya, dalam lima cara orang tua dapat membalas kebajikan anaknya yaitu: (1) Mereka harus
menjauhkannya dari kejahatan, (2) Mendukungnya dalam melakukan kebaikan, (3) Mengajarinya suatu
keterampilan, (4) Mencarikan istri yang pantas dan, (5) Pada waktunya mewariskan warisan kepadanya.
11. Analistis Lebih Mendalam Mengenai Akar Dari Segala Macam Tindak Kejahatan
Menurut KBBI, arti kata Jahat adalah sangat jelek, buruk; sangat tidak baik. Sedangkan kata Kejahatan berarti
perbuatan yang jahat – Yang melanggar hukum. Juga menurut Pasal 7 Poin B Undang-Undang Republik
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 15
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kejahatan terhadap kemanusiaan
dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Dalam Pasal 9 Undang-Undang yang sama menjelaskan
yang termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 poin B adalah
―Satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a) Pembunuhan;
b) Pemusnahan;
c) Perbudakan;
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) Penyiksaan;
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasarpersamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) Penghilangan orang secara paksa; dan
i) Kejahatan apartheid.
Di dalam pandangan Ajaran Buddha, segala bentuk perbuatan baik itu perbuatan bermanfaat –perbuatan baik,
dan perbuatan tidak bermanfaat –perbuatan buruk munculnya dari dalam diri, yaitu melalui pikiran, pikiran
memiliki kemampuan mencipta, yaitu kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru (KBBI v2.1.)
sesuai dengan Dhp.1-2 Yamakavaggo, segala perihal dipelopori oleh cipta, dipimpin oleh cipta, jika dengan
cipta keruh seseorang bertutur atau bertindak maka derita akan mengikutinya. Demikianlah sebaliknya jika
dengan cipta jernih seseorang bertutur atau bertindak, maka kebahagiaan yang akan menyertainya.
Dhammadhīro, 2014:3 & 193 menjelaskan kata keruh mengacu pada manoduccarita [keburukan batiniah] 3,
yaitu: Abhijjha [keinginan memiliki pemilikan pihak lain], byapada [kegeraman], micchaditthi [pandangan
keliru], sedangkan kata jernih merujuk pada manosucarita [perbuatan baik batiniah] 3 yaitu: Anabhijjha
[ketidak inginan memiliki pemilikan pihak lain], Abyapada [ketidakgeraman], Sammaditthi [pandangan
benar]. Lebih lanjut Sang Buddha menjelaskan ada tiga akar tidak bermanfaat – tiga akar kejahatan
[Akusalamūlā, PANJIKA, 2000:91]. Tiga akar itu sebagai sebab dari segala macam perbuatan buruk yang
tidak bermanfaat (AN3.69. Akusalamūla Sutta) yaitu: Akar tidak bermanfaat Keserakahan [Lobha
akusalamūla], Akar tidak bermanfaat Kebencian [Dosa akusalamūlaṃ], Akar tidak bermanfaat Delusi –
Kegelapan batin [Moha akusalamūla]. Dalam sutta yang sama Buddha menyebutkan dengan pikiran dikuasai
oleh Keserakahan, atau Kebencian, atau Delusi maupun ketiganya maka ia akan mengakibatkan penderitaan
pada orang lain, selain itu perbuatan buruknya akan berbalik menimpa dirinya sendiri bagaikan debu halus
yang ditebar melawan angin (Dhp.125 Pāpavaggo). Dari berkembangnya ketiga jenis akar tidak bermanfaat
inilah maka akan hadir Empat cara melakukan kesalahan [Agata-gamanāni], yaitu melalui Keinginan
[Chandāgati], kebencian [Dosāgati], delusi [Mohāgati], ketakutan [Bhayāgati] (DN33.Saṅgīti Sutta). Dari
empat cara melakukan kesalahan ini, terjadilah sepuluh perbuatan tidak bermanfaat [Akusala-kammapathā],
yaitu: (1) Membunuh, (2) Mengambil apa yang tidak diberikan, (3) Perilaku seksual yang salah, (4)
Berbohong, (5) Fitnah, (6) Berkata-kata kasar, (7) Bergosip, (8) Keserakahan ingin memiliki milik pihak lain,
(9) Kedengkian, (10) Pandangan salah (DN33.Saṅgīti Sutta). Juga dijelaskan dalam AN5.241
Paṭhamaduccarita Sutta mengenai bahaya dalam perbuatan buruk, yaitu: (1) Seseorang menyalahkan diri
sendiri. (2) Para bijaksana, setelah menyelidiki, mencelanya. (3) Ia memperoleh reputasi buruk. (4) Ia
meninggal dunia dalam kebingungan. (5) Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, ia terlahir kembali di
alam sengsara. Sang Buddha mengingatkan dalam Dhp.121 Pāpavaggo agar tidak menyepelekan keburukan
dengan berpikir keburukan kecil tidak akan berakibat, belangga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air,
demikian juga orang bodoh dipenuhi keburukan yang ditimbun sedikit demi sedikit. Kemudian bagaimana
cara mengatasinya? Bukankah kita tau kalau pikiran sulit dikekang dan cenderung mengarah ke obyek yang
menyenangkan (Dhp.35 Cittavaggo)? Juga terkadang kita kesulitan menentukan apakah perbuatan itu baik
atau tidak baik? Cara efektif untuk menjinakan pikiran dan mengatasi semua masalah kejahatan yang dapat
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 16
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
dipilih adalah dengan melakukan ―Metode refleksi berulang-ulang [Paccavekkhitvā-paccavekkhitvā]‖ sesuai
dengan MN61. Ambalaṭṭhikarāhulovāda Sutta. Saat itu Sang Buddha menanyakan kepada Rāhula apakah
gunanya cermin? Rāhula menjawab untuk merefleksikan. Kemudian Sang Buddha memberikan nasihat kalau
suatu perbuatan melalui (1) Jasmani, (2) Ucapan, (3) Pikiran harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-
ulang. Kemudian Sang Buddha memberikan tiga tahap nasihat lebih lanjut kepada Rāhula: 1) Ketika
ingin melakukan suatu perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran, pertimbangkan apakah
perbuatan yang ingin dilakukan mengarah pada penderitaan diri sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain,
atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil
yang menyakitkan? Jika iya maka kau tidak boleh melakukan perbuatan itu. Jika tidak maka kau boleh
melakukan perbuatan itu. 2) Saat sedang melakukan suatu perbuatan baik melalui jasmani, ucapan,
maupun pikiran, pertimbangkan apakah perbuatan yang ingin dilakukan mengarah pada penderitaan diri
sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan
dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan? Jika iya maka engkau harus menghentikan
perbuatan itu. Jika tidak maka kau boleh melakukan perbuatan itu. 3) Setelah melakukan suatu
perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, maupun pikiran, pertimbangkan apakah perbuatan yang ingin
dilakukan mengarah pada penderitaan diri sendiri, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan
keduanya? Apakah ini adalah perbuatan dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?
Jika iya maka maka kau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan
menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah itu kau harus
menjalani pengendalian di masa depan. Jika tidak maka kau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira,
berlatih siang dan malam dalam kondisi-kondisi bermanfaat. Untuk penggambaran lebih jelasnya, bisa
diperhatikan melalui bagan dibagian Lampiran. Setelah melatih refleksi berulang-ulang, lebih lanjut kita dapat
melatih empat kediaman luhur [Brahmavihara] yaitu berdiam dalam pikiran yang dipenuhi dan memancarkan
Cinta kasih [Mettāsahagatena cetasā], Kasih sayang [Karuṇāsahagatena cetasā], kegembiraan altruistik
[Muditāsahagatena cetasā], dan keseimbangan batin [Upekkhāsahagatena cetasā] (AN4.125 Paṭhamamettā
Sutta) Dengan melatih merefleksikan perbuatan dan mengembangkan empat kediaman luhur, seseorang
berlatih mengendalikan diri sendiri langsung dari sumbernya, yaitu cipta pikiran yang dibersihkan dari
kualitas-kualitas batin yang tidak bermanfaat dan ditumbuh kembangkan kualitas batin yang bermanfaat.
Berlatihlah sebelum melatih, karena konon diri sendiri sulit dilatih (Dhp.159 Attavago).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Di dalam hukum Indonesia Hak Asasi Manusia adalah Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Ajaran Buddha 2000 tahun silam, Sang Buddha sudah terkenal sebagai pembela kesetaraan
Hak dan Martabat manusia karena beliau menentang sistem kasta. Hal ini adalah bukti Sang Buddha mengakui
kesetaraan derajat Hak Asasi Manusia dan Harga diri setiap manusia. Dalam perspektif Ajaran Buddha, Hak Asasi
Manusia tidak hanya menyangkut Interaksi antar-umat manusia, tetapi juga berhubungan dengan alam sekitarnya.
Apabila alam sekitarnya rusak maka umat manusia juga akan mengalami malapetaka. Melindungi lingkungan
hidup juga berarti melindungi manusia, merusak lingkungan hidup berarti menciptakan malapetaka bagi kehidupan
manusia. Ajaran Buddha mendukung dan sejalan dengan Hak Asasi Manusia, bahkan lebih dari itu dapat dikatakan
Ajaran Buddha menghargai Hak Asasi Semua Mahluk karena Ajaran Buddha tidak mengajarkan membunuh,
bahkan mengajarkan untuk menghindari pembunuhan mahluk hidup juga sebaliknya mengajarkan untuk
mengembangkan cinta kasih, kasih sayang, kegembiraan altruistik, dan keseimbangan batin kepada semua mahluk.
Saran
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 17
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
Penelitian ini merupakan pembuka jalan untuk melakukan penelitian lanjut, mengenai praktek praktek dilakukan
oleh pengikut Ajaran Buddha didalam strata sosial dimasyarakat. Untuk melakukan kewajiban dan hak sebagai
warga negara dan berbangsa, serta saling mengharga hak lainnya.
DAFTAR RUJUKAN Pengelolaan referensi artikel menggunakan Mendeley, dengan Style APA 6th edition Buzan, Barry. 1991, People, State, And Fear ; A Agenda For Interational Security Studies In The Post Cold Era 2nd edition,
Harvester Whatsheaf, London.
Cattapiyo, Bhikkhu. 2016, HIDUP ADALAH PILIHAN, Dhammacakka Online, Diakses pada 26 Maret 2018 11:33,
http://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=729
Cittajayo, Bhikkhu. 2018, SISTEMATIKA KEBAHAGIAAN PERUMAH TANGGA, Dhammacakka Online, Diakses 14
April 2018 16:10, http://www.dhammacakka.org/?channel =ceramah&mode=detailbd&id=848
Cranston, M. 1973, What Are Human Rights?, Basics Books, New York.
Danim, S. 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.
Dhammadhīro Mahāthera, Bhikkhu. 2005, PARITTA SUCI, Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia,Jakarta.
Dhammadhīro Mahāthera, Bhikkhu. 2014, Pustaka Dhammapada Pāli – Indonesia, Yayasan Saṅgha Theravāda Indonesia,
Jakarta.
Firmansyah. 2015, HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA [SKRIPSI], Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam UIN Raden Fatah, Palembang.
Flick, uwe., Kardorff, Ernst von., dan Steinke, Ines. 2004, A Companion to Qualitative Research, Sage, London.
Indrati, Maria Farida. 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Badan Pengawas Obat dan Makanan (JDIH-BADAN
POM), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Diakses 12 April 2018 12:35,
https://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf
Lion of Bluesky. 2015, Digital Universal Buddhist Dictionary (DUBD), Android Version (1.0.0), Diakses 28 Maret 2018
12:20.
Mariam Budiharjo. 1985, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
Martin, Patricia Yancey., dan Turner, Barry A. 1986, ‗Grounded Theory and Organizational Research‘, The Journal of Applied
Behavioral Science, Vol 22, No.2.
Muhadjir, N. 2002, Filsafat Ilmu: Positivisme, Postpositivisme, dan Postmodernisme, Reka Sarasin, Yogyakarta.
Mukti Wijaya Krishnanda. 2003, Wacana Buddha Dhamma, Yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta.
PANJIKA (Pandit Jinaratana Kaharuddin). 2000, RAMPAIAN DHAMMA, Penerbit DPP PERVITUBI, Jakarta.
Renteln, Alison Dundes. 1990, lnternational Human Rights: Universalism versus Relativism, Sage Publications, London.
Sugiyono. 2012, Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D), Alfabeta, Bandung.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005, Metode Penelitian Pendidikan, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.
SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Dīgha Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April
2018 pukul 16:30.
SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Dīgha Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April
2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/dn
SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Majjhima Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20
April 2018 pukul 16:30.
SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Majjhima Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20
April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/mn
SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Saṃyutta Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00
Hingga 20 April 2018 pukul 16:30.
SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Saṃyutta Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20
April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/sn
SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Aṅguttara Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20
April 2018 pukul 16:30.
SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Aṅguttara Nikāya, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20
April 2018 pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/an
Karniawan, Candra, Hak Asasi Manusia | 18
Jurnal Dharma Acariya Nusantara: Volume : 1 Nomor : 1 Tahun 2021
Halaman : 1-18
Tersedia secara online
http://e-journal.nalanda.ac.id/index.php/dvj/
SuttaCentral (Offline Legacy Version), 2005. Udāna, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April 2018
pukul 16:30.
SuttaCentral (Online Legacy Version), 2005. Udāna, Diakses mulai dari 26 Maret 2018 pukul 11:00 Hingga 20 April 2018
pukul 16:30, https://legacy.suttacentral.net/ud
U Jotalankara, Sayadaw. 2013, Ajaran-Ajaran Dasar Buddhisme, Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Jani Tandi
Wiharja dari buku The Basic Teaching Of Theravada Buddhism 2004, Penerbit Yayasan Prasadha Jinarakkhita
Buddhist Institute, Jakarta.
Vajhiradhammo, Bhikkhu. 2013, KONSEP MASYARAKAT BUDDHIS, HUKUM DAN HAK – HAK ASASI MANUSIA
MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA, Blog Pustaka Dhamma, Diakses 20 April 2018 10:35,
http://tanhadi.blogspot.co.id/2013/07/konsep-masyarakat-buddhis-hukum-dan-hak.html
Vipassana Graha. 2015, PARITTA SUCI CHANTING PAGI DAN SORE, Bandung.
Vihara Padumuttara. 2010, Digha Nikaya, Vagga III, Sutta ke 31 : Sigalovada Sutta, Tangerang.
Yoga Permana, I Putu. 2014, KBBI v2.1., Diakses melalui aplikasi windows phone pada 28/3/2018 22:12.
Zakky. 2018, Ciri-Ciri HAM Lengkap Beserta Hakikat & Sifat HAM (Hak Asasi Manusia), Zona Refrensi, Diakses 19 April
2018 22:32, https://www.zonareferensi.com/ciri-ciri-ham/ UNDANG-UNDANG
KETETAPAN MPR NO. XVII/MPR/1998, Diakses 15 April 2018 12:04,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, Diakses 21 April 2018 20:51
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI
MANUSIA, Diakses 14 April 2018 15:25
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Diakses 12 April 2018
12:35,
Sumber berita lainnya.
https://berita.bhagavant.com/2018/04/18/dalai-lama-sistem-kasta-india-sangat-buruk.html , Diakses 20 April 2018
10:50
https://www.liputan6.com/global/read/2329497/1-10-2005-bom-bali-2-renggut-23-nyawa , Diakses 19 April 2018
23:00
https://www.liputan6.com/news/read/2944610/marsinah-misteri-di-hutan-wilangan-24-tahun-lalu , Diakses 25
April 2018 22:45
https://www.liputan6.com/news/read/2948521/petang-mencekam-di-kampus-trisakti-12-mei-1998 , Diakses 19
April 2018 23:04
http://mediaindonesia.com/read/detail/126861-2002-tragedi-bom-bali-1 , Diakses 19 April 2018 22:51
https://news.okezone.com/read/2016/11/14/337/1541326/pelanggaran-ham-berat-tragedi-semanggi-harus-segera-
diungkap , Diakses 19 April 2018 22:45
http://video.metrotvnews.com/melawan-lupa/ob3A4JYK-jejak-duka-tragedi-semanggi-2 , Diakses 19 April 2018
22:48
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42297493 , Diakses 19 April 2018 22:40