148 137 NILAI-NILAI AJARAN ISLAM KESULTANAN BUTON

12
ETNOREFLIKA VOLUME 5 No. 2. Juni 2016 Halaman 137 - 148 137 NILAI-NILAI AJARAN ISLAM KESULTANAN BUTON 1 La Ode Muhammad Syahartijan 2 La Ode Jumaidin 3 Wa ode Sitti Nurbaena 4 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai-nilai ajaran yang berkembang di Kesultanan Buton melalui konsep Martabat Tujuah melalui tujuh tingkatan perwujudan atau tujuh kedudukan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang mendukung nilai pendidikan Islam di Kesultanan Buton pada abad ke- 19 Metode penelitian ini adalah menggunakan metode sejarah dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, studi kepustakaan serta observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai ajaran islam di Kesultanan Buton pada abad ke 19, melalui konsep Martabat Tujuh, tersosilisasi dengan baik pada masyarakat Buton, khususnya di kalangan Kaomu dan Walaka yang langsung diajarkan oleh pemerintah (Sultan). Sekolah-sekolah agama, madrasah, zawiyah, perpustakaan berkembang dengan pesat, yang berimplikasi pada taatnya masyarakat Buton terhadap ajaran agamanya yang diperlihatkan oleh rakyat dan pemimpin (Sultan) sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam sistem pemerintahan di Kesultanan Buton sampai pada abad ke-19. Kata kunci: nilai, ajaran Islam, kesultanan, Buton ABSTRACT This research aims at describing the values which are developed in Sultanate of Buton through the concept of Martabat Tujuh in seven level of implementation or seven positions. This research is also aimed to describe the supporting factors on Islam educational value in Sultanate of Buton in the 19th century. The method of this research is a historical method with using Qualitative approach. Techniques of data collection in this research are an interview, library research, and observation. The results show that Islam value in Sultanate of Buton in the 19th century, through the concept of Martabat Tujuh, was well isolating in Sultanate of Buton. Especially Kaomu and Walaka which is taught by the government (Sultan). Religious school, Islamic School, zawiyah, the libraries thrive, implying on the obedience of Butonese society to the teachings of their religion which are shown by the people and leaders (Sultan) as a unity that can not be separated in the system of government in the Sultanate of Buton until the 19th century. Keywords: value, Islamic education, sultanate, Buton 1 Hasil Penelitian 2 Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari, Pos-el: [email protected] 3 Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A. Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari, Pos-el: [email protected] 4 Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Buton

Transcript of 148 137 NILAI-NILAI AJARAN ISLAM KESULTANAN BUTON

ETNOREFLIKA

VOLUME 5 No. 2. Juni 2016 Halaman 137 - 148

137

NILAI-NILAI AJARAN ISLAM KESULTANAN BUTON1

La Ode Muhammad Syahartijan2

La Ode Jumaidin3

Wa ode Sitti Nurbaena4

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai-nilai ajaran yang berkembang di Kesultanan

Buton melalui konsep Martabat Tujuah melalui tujuh tingkatan perwujudan atau tujuh kedudukan.

Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor- faktor yang mendukung nilai pendidikan

Islam di Kesultanan Buton pada abad ke- 19 Metode penelitian ini adalah menggunakan metode

sejarah dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara, studi kepustakaan serta observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai

ajaran islam di Kesultanan Buton pada abad ke 19, melalui konsep Martabat Tujuh, tersosilisasi

dengan baik pada masyarakat Buton, khususnya di kalangan Kaomu dan Walaka yang langsung

diajarkan oleh pemerintah (Sultan). Sekolah-sekolah agama, madrasah, zawiyah, perpustakaan

berkembang dengan pesat, yang berimplikasi pada taatnya masyarakat Buton terhadap ajaran

agamanya yang diperlihatkan oleh rakyat dan pemimpin (Sultan) sebagai satu kesatuan yang tidak

bisa dipisahkan dalam sistem pemerintahan di Kesultanan Buton sampai pada abad ke-19.

Kata kunci: nilai, ajaran Islam, kesultanan, Buton

ABSTRACT

This research aims at describing the values which are developed in Sultanate of Buton

through the concept of Martabat Tujuh in seven level of implementation or seven positions. This

research is also aimed to describe the supporting factors on Islam educational value in Sultanate

of Buton in the 19th century. The method of this research is a historical method with using

Qualitative approach. Techniques of data collection in this research are an interview, library

research, and observation. The results show that Islam value in Sultanate of Buton in the 19th

century, through the concept of Martabat Tujuh, was well isolating in Sultanate of Buton.

Especially Kaomu and Walaka which is taught by the government (Sultan). Religious school,

Islamic School, zawiyah, the libraries thrive, implying on the obedience of Butonese society to the

teachings of their religion which are shown by the people and leaders (Sultan) as a unity that can

not be separated in the system of government in the Sultanate of Buton until the 19th century.

Keywords: value, Islamic education, sultanate, Buton

1 Hasil Penelitian

2 Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Jl.

H.E.A. Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari, Pos-el: [email protected] 3 Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo, Jl.

H.E.A. Mokodompit Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari, Pos-el: [email protected] 4 Dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Buton

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

138

A. PENDAHULUAN

Paham pendidikan Islam di

Kesultanan Buton didasarkan pada konsep

Martabat Tujuh yang berarti tujuh tingkat

perwujudan atau tujuh kedudukan (Addin,

2011). Dalam pengertian lain Martabat

Tujuh merupakan esensi penjabaran dari

ajaran wanda al wujud yang memandang

bahwa, wujud Tuhan wajibul wujud, yang

Esa, dapat dikenal tujuh tingkatan atau

martabat tujuh, yakni: (1) Martabat

Ahadiyyah atau Martabat An–al Ta’ayyun.

Martabat Zal al–bath adalah ibarat wujud

Allah semata–mata, tidak bernama dan

tidak bersifat, dan tidak berkaitan dengan

segala kaitan, sampai kaitan semata–mata

juga tidak terkait dengan zat Yang Maha

Esa; (2) Martabat Al–ta ‘tayyun Al–anwal,

yaitu ibarat ilmu Allah dengan zat-Nya dan

dengan segala maujud secara ijmal (global)

tanpa perbedaan antara sebagian dengan

sebagian yang lain, dan dinamai Al-

wahidayyah dan Al–haqiqah Al-

muhammadyah; (3) Martabat Atta’ayyun

sari, yaitu ibarat ilmu Allah dengan zat-

Nya, segala sifatnya, dan segala maujud

secara terperinci dan berbeda sebagian

dengan bagian yang lain. Martabat ini

dinamai Al–wahdiyyah Al–muhamadyyah;

(4) Martabat Alam Al–amah, yaitu ibarat

dari pada segala sesuatu yang wujud semata

yang sederhana (tidak tersusun); (5)

Martabat Alam Al–misal, yaitu ibarat segala

sesuatu yang wujud, yang tersusun halus,

yang kasar, yang belum terbagi-bagi dan

terpisah-pisah; (6) Martabat Alam Ajsam,

yaitu ibarat dari pada segala sesuatu yang

wujud, yang tersusun, yang kasar, yang

sudah terbagi–bagi dan terpisah-pisah; (7)

Martabat Alam Al–jamiah atau Martabat

“pengimpun” bagi martabat– martabat yang

enam terdahulu dan martabat ini merupakan

Martabat Tajalli atau penampakan tuhan

yang paling akhir dan kenyataan paling

akhir dan itulah yang disebut dengan Alam

Insan atau manusia (Yunus, 1995: 55).

Adapun materi yang dapat digunakan

untuk mengajarkan pendidikan Islam

meliputi unsur–unsur: dasar–dasar akkhlak,

dasar-dasar ibadah, tasawuf, serta

kepemimpinan. Bagaimana unsur–unsur

tersebut bisa menghasilkan manusia yang

insan kamil dalam suatu negara Kesultanan

Buton dapat dilihat dalam bentuk diagram

sebagai berikut:

Gambar 1.

Diagram Ajaran Islam pada periode

Kesultanan (abad XV – abad XX)

(Sumber: Alhadza, dkk, 2009)

Pendidikan Islam di Kesultanan Buton

merupakan program yang dijalankan oleh

lembaga-lembaga pendidikan informal

(dalam rumah tangga) dan lembaga

pendidikan non formal seperti, mesjid,

Zaawiyah. Oleh karena itu, arahnya jelas

akan meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman ilmu aqidah akhlak dan

pelaksanaan ibadah, serta ilmu tasawuf.

Dengan tersedianya sarana dan prasarana

dan didukung oleh sumber daya manusia

sebagai faktor pendukung dalam proses

proses pembelajaran, berimplikasi pada

tertanamnya subtansi ajaran Islam yang

berbasis tasawuf, sehingga output yang

dihasilkan mampu menghasilkan lahirnya

pemimpin di lingkungan kesultanan yang

ulama dan umara.

Dari beberapa pendapat yang

dikemukakan di atas, maka pola perkem-

bangan pendidikan Islam di Kesultanan

Buton sangat ditentukan oleh proses ber-

Bentuk Lem-

baga Pendidi-kan

Kurikulum

Informal (Rumah

Tangga)

Non

formal

(Zawiah

Masjid)

Dasar-dasar Akhlak

Dasar-dasar

Ibadah Tasawuf

Akhlak

Ibadah

Tasawuf Kepemimpinan

Sarana Prasarana

Metode

Sumber

Daya Manusia

Hasil Pendidikan

Faktor Pendukung

Faktor Penghambat

Pencapaian

Visi

Pendidikan

Etnoreflika, Vol. 5, No. 2, Juni 2016

139

pikir manusia. Pemahaman tentang keis-

laman secara paripurna sangat penting demi

untuk melahirkan manusia yang insan

kamil. Sehubungan dengan hal tersebut di-

atas, penelitian Zuhdi tahun 2010 tentang

Sejarah Buton yang terabaikan me-

nyinggung bahwa pemimpin –pemimpin di

Kesultanan Buton dalam menjalankan sis-

tem pemerintahan menggunakan pendeka-

tan unsur tasawuf.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui nilai-nilai ajaran yang berkem-

bang di Kesultanan Buton melalui konsep

Martabat Tujuh.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kota

Bau-Bau melalui pendekatan kualitatif.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan

studi literatur, mencari referensi-referrensi

dan naskah – naskah , dokumen-dokumen

yang mempunyai relevansi dengan nilai

nilai ajaran Islam di Kesultanan Buton

pada abad 19 serta melakukan interview

dengan tokoh tokoh sejarah, akademesi

yang banyak mengetahui tentang sistem

pemerintahan selama kesultanan Buton

berlangsung khususnya pada abad ke -19.

Data dalam penelitian ini adalah

naskah–naskah, dokumentasi (fisik maupun

non fisik) berupa gambar, foto, maupun

bangunan sejarah seperti mesjid keraton,

istana sultan maupun Lembaga–Pendidikan

formal–non formal yang masih terlihat,

hasil wawancara dengan informan serta

gejala–gejala yang muncul dalam

rangkaian ungkapan keberagaman masya-

rakat Buton pada zaman kesultanan yang

diasumsikan sebagai hasil hubungan dina-

mis yang terjadi dalam ajaran Islam.

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian sejarah melalui tata kerja sebagai

berikut: (1) pengumpulan data (heuristik),

yaitu langka awal untuk mengumpulkan

data yang dilakukan oleh peneliti melalui

penelitian kepustakaan (library research)

dan penelitian lapangan (field research);

(2) kritik sumber umumnya dilakukan ter-

hadap sumber–sumber pertama; (3)

penafsiran data (interpretasi), dan (4) penu-

lisan sejarah (historigrafi

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kesultanan Buton

Sistem pemerintahan dimasa Kera-

jaan Buton berbentuk Monarki karena

dikuasai oleh dinasti Wa Kaka yang secara

turun temurun berkuasa di Kerajaan Buton.

Pada masa kerajaan ini pula dari raja per-

tama hingga raja ke-5 tidak ditemukan

tanda-tanda pengaruh Islam. Bahkan yang

tampak adalah pengaruh kebudayaan Hindu

yang salah satunya terdapat pada nama-

nama raja. Disamping itu dalam aspek

keyakinan, juga dijumpai faham “reinkar-

nasi”. Majelis sara juga sebagai menteri

koordinator yang beranggotakan Mia

Patamiana, bertugas mengkoordinir tiap-

tiap kelompok dalam limbo-nya.

Pemimpin tinggi angkatan perang,

juga bertugas sebagai duta dalam hubungan

luar negeri. Pada masa kerajaan, jabatan ini

pertama kali dijabat oleh Sibatara dan

sekaligus sebagai penasehat raja.

Menteri khusus daerah seberang dan

perluasan wilayah menteri ini juga menjab-

at sebagai komando pasukan khusus

pengawal istana dipimpin oleh Kaudoro

dan Sangiariana. Pada masa pemerintahan

Bataraguru struktur pemerintahan kerajaan

bertambah yaitu dengan adanya jabatan ba-

ru seorang Sapati yang bertugas membantu

raja dalam pelaksanaan pemerintahan di

pusat kerajaan. Di masa modern saat ini,

sering dikenal sebagai perdana menteri. Pa-

da masa pemerintahan Raja Tuarade juga

terjadi pertambahan jabatan yaitu jabatan

kanepulu yang fungsinya membantu

Sapati/wakil dari Sapati.

Struktur pemerintahan dalam bidang

agama yaitu; Lakina Agama, Imam, Khatib,

Moji, Mokimu, dan Bisa. Implementasi sis-

tem pemerintahan Undang-undang Marta-

bat Tujuh menjalankan praktek kepem-

impinan Islam, menjadi fondasi dan suri

tauladan pada masa pemerintahan Sultan-

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

140

sultan berikutnya. Martabat Tujuh menjadi

tonggak perubahan yang mendasar dalam

struktur pemerintahan, hukum maupun adat

istiadat masyarakat Buton.

2. Praktek Demokrasi pada Kesultanan Buton

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap

negara memiliki bentuk dan sistem

pemerintahan yang sistemnya disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat dan negara.

Demikian halnya dengan Negara Kesul-

tanan Buton, bentuk dan sistem peme-

rintahannya berpedoman pada Martabat

Tujuh Sara Wolio yang di dalam praktik

pemerintahannya terdapat unsur demokrasi.

Kepala pemerintahan dipimpin oleh se-

orang Sultan yang dipilih oleh lembaga Sio-

limbona (legislatif). Sistem pemeritahan

Kesultanan Buton meng-gunakan sistem

presidensial Sultan ber-tindak langsung se-

bagai kepala negara dan kepala peme-

ritahan, serta bentuk pemerintahan meng-

gunakan monarki konstitusional, dalam

praktik penyelenggaraan pemeritahannya

terdapat unsur demokrasi.

3. Partisipasi efektif dalam Kesultanan Buton

Partisipasi yang dimaksudkan oleh

Robert Dahl dalam sebuah pemerintahan

demokrasi yaitu, peran semua lapisan

masyarakat untuk turun langsung memba-

has agenda-agenda yang berkaitan dengan

kebijakan, ataupun masalah umum, baik

berkaitan dengan politik ataupun kekua-

saan. Untuk konteks Kesultanan Buton,

partisipasi efektif yang dimaksudkan oleh

Robert Dahl telah dijalankan yang ditandai

dengan keikutsertaan lapisan sosial ma-

syarakat untuk ikut serta dalam membahas

sebuah kebijakan umum. Contoh kongkrit-

nya dalam hal penentuan kebijakan yang

menyangkut negara dan masyarakat luas.

Seorang Sultan tidak dapat memutuskan

kebijakan secara sepihak seperti halnya ra-

ja-raja. Sistem ini bertujuan untuk

meminimalkan bahaya penyelewengan

kekuasaan yang dampaknya bisa mengaki-

batkan tirani. Segala sesuatu yang

menyangkut keputusan maupun kebijakan

yang akan dikeluarkan oleh pemerintah.

Dalam hal pelaksanaan kewajiban dan

tanggung jawab sebagai aparat negara, di-

putuskan melalui musyawarah mufakat

yang melibatkan seluruh lapisan masyara-

kat Kesultanan Buton, baik dari jajaran

perwakilan pemerintah pusat, pemerintah

daerah (kadie), dan aliansi pemerintahan

(barata). Semua dilibatkan serta mempu-

nyai hak yang sama dalam proses musya-

warah tersebut.

Beberapa contoh dalam hal pera-

turan pembagian pajak di sebuah kecamatan

(kadie), pihak kesultanan akan meninjau

kecamatan tersebut melihat potensi apa

yang ada dalam kecamatan tersebut. Setelah

itu menentukan pajak apa yang akan

dikenakan oleh kecamatan, tentunya me-

lalui proses tahap musyawarah yang mem-

pertemukan pihak pemerintahan pusat (Sul-

tan dan Siolimbona) dan pihak pemimpin

kecamatan (Lakina dan Bonto) untuk mem-

bahas besaran pajak tersebut. Sejalan

dengan pandangan Al-Quran yang mene-

gaskan tentang prinsip “syura” (musya-

warah) untuk mengatur proses pembuatan

keputusan, Al-Quran dengan tegas me-

nyebutkan “semua keputusan mereka dipu-

tuskan melalui proses musyawarah antara

mereka”. Hal yang dimaksud dengan uru-

san mereka adalah bukan urusan pero-

rangan, kelompok ataupun elit tertentu uru-

san yang dimaksud dalam hal ini yakni

“urusan masyarakat pada umumnya” dan

milik masyarakat secara keseluruhan.

4. Status Sosial dalam Lingkup Kesultanan

Buton

Syarat demokrasi prosedural yang

dipaparkan oleh Dahl, mengenai persamaan

suara untuk konteks Kesultanan Buton

masih terbatas dalam hal partisipasi politik

belum menyentuh, kepersamaan hak dalam

pekerjaan ataupun status sosial lebih cenderung menempatkan hak yang sesuai

dengan proposinya. Kesultanan Buton

mempunyai klaster tersendiri untuk

pemangku jabatan-jabatan penting dalam

pemerintahannya. Statifikasi masyarakat

Etnoreflika, Vol. 5, No. 2, Juni 2016

141

Buton terjadi tidak lain karena alasan poli-

tik. Pada masa pemerintahannya, Dayanu

Ikhasanuddin melakukan pertemuan dan

sepakat dengan sapati yang saat itu dijabat

oleh La Singga dan Kanepulu dijabat oleh

La Bula. Petemuan ini didasari atas usul

Abdul Wahid, mengingat karena ketiga

orang ini mengawini anak dari Abdul Wa-

hid. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah

agar tidak terjadi penerus tahta yang hanya

berasal dari keturunan Sultan pertama hing-

ga yang keempat Dayanu Ikhsanuddin

(kepemimpinan tahta turun temurun).

Berkaitan dengan hal tersebut, dengan bijak

beliau menyarankan kepada ketiga menan-

tunya untuk musyawarah dalam membahas

pembagian kekuasaan dan untuk mengan-

tisipasi terjadinya ambisi jabatan dalam

menduduki posisi sultan. Sepakatlah ketiga

belah pihak bahwa hanya keturunan mereka

yang berhak menduduki ketiga jabatan

tinggi kerajaan, yaitu jabatan, Sultan,

Sapati dan Kanepulu.”

Keturunan dari mereka bertiga

inilah yang kemudian dikenal dengan go-

longan kaomo atau bisa disebut juga Lalaki.

Sementara itu, golongan walaka berasal

dari keturunan para Bonto atau kepala kam-

pong. Selain itu, terdapat pula golongan

Papara yaitu golongan yang tidak ada hub-

ungan darah dari kedua golongan tersebut.

Golongan papara ini adalah masyarakat

mendiami limbo ataupun kadie. Papara

sendiri terbagi atas tiga klaster yaitu:

a. Papara dari keturunan masyarakat asli

yang tunduk pada Kesultanan Buton atas

kemauannya sendiri (papara kantinale).

b. Papara yang datang dari luar dan tunduk

pada Kesultanan Buton karena tawanan

perang (tolubirana);

c. Papara yang datang menyerahkan

dirinya dengan tidak melalui perang (pe-

raka).

Sedangkan lapisan masyarakat

Buton yang paling terbawah adalah batua

(budak) yang dilahirkan dari ibu bapak

yang seorang budak juga. Jika ibunya saja

yang budak, maka anaknya tidak menjadi

budak karena dalam sistem kekera-

batan/kekeluargaan masyarakat Buton

menggunakan sistem patriaki.

Golongan budak di kala itu terdiri

dari tiga kategori yaitu:

a. Orang yang tunduk dibawah kekuasaan

kerajaan dengan paksa dalam adat dise-

but bente;

b. Musuh kerajaan yang kalah dalam pepe-

rangan;

c. Orang luar kerajaan yang dirampas dan

dijual kepada golongan kaomu dan wa-

laka.

5. Tanggung jawab Politik dalam Kesultanan

Buton

Hak-hak politik eksekutif (Sultan)

diawasi langsung oleh badan Siolimbo-

na (legislatif). Sultan dalam bertindak harus

melalui persetujuan aparat negara

Kesultanan (Pangka) dan persetujuan dari

lembaga Sio Limbona. Sistem pengawasan

dewan Sio liombona terhadap sultan, bersi-

fat langsung dan berkesinambungan (proak-

tif). Jadi tidak harus menunggu laporan dari

seorang rakyat atau karena adanya aksi

demonstrasi agar lembaga eksekutif “turun

gunung”. Tindakan-tindakan seorang Sultan

maupun pejabat negara disesuaikan dengan

budaya bangsa, kepentingan negara dan

kepen-tingan masyarakat yang

dipimpinnya, tidak berdasarkan kepent-

ingan kelompok atau preferensi perorangan.

Hal ini didasarkan oleh pasal 1, 3 dan 4 un-

dang-undang Mar-tabat Tujuh.

Pola rekruitmen pemimpin dalam

sistem dan bentuk pemerintahan Kesultanan

Buton bersifat tidak langsung. Masyarakat

atau rakyat menyalurkan aspirasinya lewat

dewan Siolimbona dan dewan inilah yang

memilih seorang Sultan. Dalam pelak-

sanaan pemeritahan sultan bertanggung ja-

wab langsung oleh rakyat yang dipimpinya.

Sedangkan rekruitmen dan tata cara peng-angkatan pejabat lainnya berdasarkan peng-

alaman dibidang yang akan dijabat ataupun

memiliki pengetahuan yang cukup sesui ja-

batan yang diemban. Selain pengetahuan,

dalam rekrutman tersebut diutamakan pula

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

142

model moralitas. Di samping hal tersebut,

pengangkatan sultan ataupun pejabat peme-

ritahan negara harus mempunyai syarat

yang tertera pada pasal 3, 5, dan 6 Undang-

undang Martabat Tujuh.

Khusus dengan Siolimbona, sistem

pengangkatannya hanya dapat melalui ka-

langan kaomu. Pejabat negara kesultanan,

selain sapati, dalam melaksanakan roda

pemerintahannya wajib bertanggung jawab

langsung kepada sultan. Perlu dijelaskan

bahwa walaupun sapati dalam sistem

pemerintahan adalah seba pemimpin dalam

melaksanakan pemerintahan, dalam men-

jalankan tugasnya tidak bertanggung jawab

terhadap sultan, tetapi terhadap dewan Sio-

limbona.

Siolimbona adalah jabatan yang hanya bisa

di tempati oleh golongan walaka, berfungsi sebagai

dewan penasehat tertinggi di kesultanan

Buton serta sebagai penyeleksi dan pelantik

calon sultan

Jika dilihat dari tata cara pengang-

katan para pejabat tersebut keahlian dan

kesempurnaan batinlah yang diutamakan.

Tidak seperti halnya era modern ini pejabat

atau pemimpin yang duduk dalam peme-

rintahan ada indikasi tidak berdasarkan

keahlian. Adapun pejabat yang ditempatkan

sesuai keahliannya itu hanya sedikit atau-

pun secara kebetualan. Dari beratus-ratus

jabatan kemungkinan hanya terdapat satu

atau dua orang pejabat yang sesuai dengan

keahliannya. Dewasa ini dalam rekruitmen

pejabat ada indikasi bahwa faktor moralitas

bukan merupakan hal yang sangat prinsipil

lagi. Ini dapat dilihat pada beberapa pejabat

negara yang terindikasi melakukan per-

buatan korupsi ataupun amoral yang ber-

lebihan.

6. Pengawasan Agenda dalam Ketersedian

Lembaga Negara di Kesultanan Buton

Kesultanan Buton dalam penerapan pemerintahannya menganut sistem pemi-

sahan kekuasaan ke dalam cabang-cabang

yang luas. Hal ini di dasari oleh pasal 1 UU

Martabat Tujuh. Cabang-cabang tersebut

terdiri dari; eksekutif (sultan), legislatif

(siolimbona) dan yudikatif (kanepulu). Hal

ini sejalan dengan teori pembagian kekua-

saan yang dikemukakan oleh Montesquieu

lebih dikenal dengan teori trias politika,

yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif,

untuk sistem pemerintahannya menganut

sistem presidensial dimana raja sebagai ke-

pala negara dan kepala pemerintahan. Pe-

merintahan Kesultanan Buton dalam menja-

lankan tugas negara dibantu oleh jajaran bi-

rokrasi yang berada pada wilayah ibukota

kesultanan maupun birokrasi yang bertugas

di luar ibukota.

Pemerintahan Kesultanan Buton diatur oleh

satu konstitusi tertulis yang oleh masyara-

kat Buton dikenal dengan undang-undang

Martabat Tujuh Sara Wolio. Dalam konsti-

tusi Undang-undang Murtabat Tujuh, im-

plementasi pemerintahan menggunakan sis-

tem “Resposible Government” (peme-

rintahan yang bertanggung jawab). Negara

mengunakan prinsip pemisahan lembaga

dan pemisahan daerah kekuasaan dengan

tujuan untuk menghindari kekuasaan yang

tumpah tindi (separation of powers). Pem-

bagian wilayah pemerintahan terdiri dari

wilayah pusat pemerintahan yang berada di

ibukota kesultanan, wilayah Barata, berada

di daerah-daerah Barata dan wilayah Kadie

berada di daerah-daerah Kadie. Masing-

masing wilayah tersebut dipimpin oleh se-

orang Bonto atau Lakina. Pemilihan kepala

wilayah, baik daerah Barata maupun Kadie,

dipilih langsung oleh masyarakatnya tanpa

campur tangan pemerintah pusat. Kebijakan

dan urusan rumah tangga daerah Barata

diserahkan sepenuhnya kepada daerah Ba-

rata (otonomi penuh). Khusus daerah Kadie

dalam perihal pemimpin apabila salah satu

Kadie tidak mempunyai seorang calon pe-

mimpin, seorang Bonto yang bertugas men-

gontrol pemerintahan di daerah Kadie di-

perbolehkan menjadi pemimpin Kadie.

Dengan persetujuan Sultan atas permintaan

masyarakat setempat. Daerah Barata di

samping mempunyai hak otonom, juga

merupakan daerah pertahanan keamanan

negara Kesultanan. Apabila ada penyerang-

Etnoreflika, Vol. 5, No. 2, Juni 2016

143

an dari luar, daerah Barata-lah yang meng-

adakan perlawanan terlebih dahulu. Kapi-

talao akan mengeluarkan kebijakan (ban-

tuan) apabila Barata yang bersangkutan

meminta batuan. Tanpa permintaan dari Ba-

rata, Kapitalao tidak berhak ikut campur

dalam kebijakan daerah Barata walaupun

kapitalao dalam negara modern adalah se-

orang menteri pertahanan dan keamanan.

Untuk lebih lanjutnya peneliti akan mem-

bahas sub bab mengenai lembaga-lembaga

negara Kesultanan Buton beserta seluruh

struktur pemerintahan dan pertahanannya

pada sub bab. 5.3 tentang Struktur Pe-

merintahan dan Pertahanan Kesultanan Bu-

ton Pasal 1 Undang-Undang Murtabat

Tujuh yang menjelaskan pokok adat ber-

dasarkan falsafah Buton.

7. Prosesi Pemilihan Raja/ Sultan Buton

Proses pemilihan pemimpin setiap

kesultanan di nusantara mempunyai taha-

pan yang berbeda-beda baik dari proses

penjaringan sultan dan tata cara pelan-

tikannya. Untuk Kesultanan Buton terdiri

dari beberapa tahapan, yakni: 1) melalui

sistem kepartaian; 2) tahap Fali (setelah

memperoleh calon dari tiap partai); 3) ke-

tiga tahap penetapan calon Sultan, dan ke-

empat

8. Keistimewaan Konstitusi Murtabat Tujuh

Berbicara tentang keistimewaan

suatu konstitusi berarti berbicara pula ten-

tang sejauh mana konstitusi itu dapat men-

sejahterakan dan menciptakan kedamaian

dalam masyarakatnya. Semua konstitusi

mempunyai keistimawaan. Keistimawaan

setiap undang-undang dapat dilihat pada se-

berapa konstribusi undang-undang tersebut

dapat menjamin ketentraman, keadilan dan

kenyamanan masyarakatnya keistimewaan

undang-undang Murtabat Tujuh: Pertama,

sebagai dasar ilmu dan sumber hukum da-

lam ketatanegaraan yang mengambil hik-

mat Al-Quran dan hadits yang dipersatukan

dalam kesatuan sistem yaitu sistem peme-

rintahan, berbangsa dan bernegara. Nilai-ni-

lai Murtabat tujuh bersifat universal dengan

kata lain nilai yang terkandung dalam mur-

tabat Tujuh dapat diterapkan kapan saja dan

dimana saja. Jika dilihat dari letak geografis

yang beranekaragam suku dan budaya serta

bahasa yang berbeda di Kesultanan Buton,

dapat dikatakan sebagai Nusantara mini.

Kendatipun masyarakat sangat plural dan

memiliki bahasa yang beraneka ragam, ni-

lai-nilai Murtabat Tujuh dapat menyatukan

seluruh lapisan masyarakat di Kesultanan

Buton.

Nilai yang bersifat universal ter-

sebut bisa dilihat pada falsafah yang ter-

kandung dalam Murtabat Tujuh yaitu

“Bincci-bhinciki kuli” (nilai rasa empati)

dalam pemaknaannya bisa diartikan men-

cubit kulit sendiri sebelum mencubit kulit

orang lain maksud dari falsafah tersebut

adalah mengenai rasa empati yang tinggi

serta rasa saling menghormati dan meng-

hargai. Nilai rasa tersebut dapat mem-

persatukan negara Kesultanan Buton. Binci-

bhinciki kuli dalam pergaulan sehari-hari

dimanifestasikan dalam bentuk: saling me-

nyayangi satu sama lain, saling menghor-

mati satu sama lain, saling memelihara satu

sama lain dan saling taat menaati. Taat me-

naati bukan karena kedudukan atau jabatan

seirang sehingga ia ditaati tetapi karena se-

tiap manusi memiliki hak lebih yaitu hak

asasi. Hak ini tidak boleh dilanggar oleh

siapapun.

Empat dasar inilah yang diterapkan

oleh masyarakat Buton dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Penerapan nilai-

nilai Murtabat tujuh tersebut dapat men-

ciptakan akhlak yang baik dan tidak me-

nyinggung perasaan orang lain. Dengan ter-

ciptanya akhlak yang baik, masing-masing

orang atau masyarakat akan bekerja sesuai

aturan yang dikehendaki oleh semua pihak.

Dengan demikian kerukunan, kedamaian

dan kesejahteraan yang diinginkan dapat

terwujudkan.

Kedua, undang-undang Murtabat tu-

juh digali dari ilmu Tasawuf khususnya il-

mu kebatinan yang mengadopsi dari Mur-

tabat Tujuh versi Ibnu Arabi dan digali dari

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

144

dua puluh sifat Allah SWT melalui jalan

ijtihad sehingga mampu bertahan dalam se-

gala zaman. Nilai yang terkandung dalam

undang-undang Murtabat Tujuh tiada lain

adalah memanusiakan manusia, menjadi

manusia Khaliffatullah, sejahtera Zahir

maupun bathin. Oleh sebab itu, rakyatnya

patuh dan tunduk terhadap pemerintah me-

lalui hukum adat. Seseorang yang tidak be-

radab dan beradat, jelas sekali orang terse-

but mengkhianati agamanya yang se-

harusnya dipanutinya. Sehingga pada ja-

mannya orang akan merasa malu kalau

dikatakan tidak beradat dan lebih baik mati

daripada dikatakan demikian.

Ketiga, nilai-nilai Murtabat Tujuh

bersifat horizontal dan vertical. Murtabat

Tujuh menjamin dan mengatur kehidupan

masyarakat bukan hanya kehidupan dunia

tapi juga kehidupan akhirat. Nilai-nilai ter-

sebut senantiasa dapat menjamin keten-

traman masyarakat Buton dari masa ke ma-

sa. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya

adalah:

a. Nilai agama yang mendalam;

b. Nilai kemanusiaan yang tinggi;

c. Nilai sosial yang kokoh;

d. Nilai persatuan yang kental;

e. Nilai kebangsaan yang tinggi;

f. Nilai kejujuran yang transparan.

9. Nilai Konstitusi Kesultanan Buton yang

Berhubungan dengan Proses Politik

Tidak ada sendi kehidupan, penge-

tahuan dan peradaban manusia yang tak

tersentuh gairah pemikiran politik. Po-litik

digunakan untuk beragam makna. “po-litik

bisa berarti seperangkat hipotesa mengenai

proses atau institusi pemerin-tahan, atau

juga bisa merujuk pada prinsip-prinsip dan

norma-norma yang mengontrol perilaku

politik. Aristoteles sepakat dengan Plato

bahwa manusia adalah hewan politik yang

bisa memenuhi wataknya hanya dalam po-lis, yakni: 1) bahwa negara adalah ins-titusi

moral yang ada untuk membantu manusia

mencapai kesempurnaanya; 2) bahwa nega-

ra yang benar berupaya menciptakan kese-

jahteraan bagi semua dan bukan hanya un-

tuk kebaikan sekelompok saja.

Politik dalam Kesultan Buton dise-

but gau/musyawarah. Permulaan segala

peraturan negara berasal dari pemufakatan

yang tidak lampau keputusan tetang negara

atau hasil proses politik di Kesultan Buton

tercapai dengan baik melaui proses pe-

mufakatan bersama. Nilai Murtabat Tujuh

yang berhubungan dengan politik adalah ni-

lai-nilai pengabdian masyarakat terhadap

negara yaitu:

a. Ainda indamo aurata sumanamo karo

(kepentingan diri orang banyak lebih uta-

ma dari harta benda), adalah wujud dari

pengabdian dan pengorabanan rakyat ter-

hadap sesama warga negara dan umat

manusia, harta benda yang dimiliki sebe-

rapapun harganya rela dikorbankan demi

keselamatan diri atau orang banyak.

Apalah artinya harta kalau diri atau ma-

syarakat lain tidak merasa aman dan

nyaman, harta tidak mempunyai nilai,

justru harta itu akan menimbulkan ke-

cemburuan masyarakat lain yang akan

mengakibatkan persatuan menjadi reng-

gang. Sehingga apabila kerenggangan ini

terjadi persatuan untuk mencapai tujuan

bersama negara untuk mewujudkan ke-

hidupan yang sejahterah demi kepen-

tingan sediri ataupun orang lain dan harta

bukanlah segala-galanya.

b. Ainda-ndamo karo somanamo lipu karo

(kepentingan negara lebih utama dari

kepentingan pribadi). Karo adalah diri

pribadi, orang seorang atau orang ba-

nyak, yang wajib dilindungi keselama-

tannya oleh negara atau pemerintah.

Namun untuk mempertahankan dan

membela kepentingan yang lebih tinggi

lipu (negara), karo atau warga negara

rela berkorban demi membela dan mem-

pertahankan lipu sekalipun mengorban-

kan nyawa mereka. Nilai ini wujud dari

pengabdian masyarakat terhadap kepen-

tingan negara.

c. Ainda-indamo lipu somanamo sara (ke-

pentingan pemerintah lebih utama dari

Etnoreflika, Vol. 5, No. 2, Juni 2016

145

negara). Sara atau negara berazaskan

musyawarah adalah milik bersama se-

luruh rakyat dan pemerintah. Negara wa-

jib dipelihara dan dipertahankan keutuh-

annya dari bahaya yang menganam dari

manapun datangnya. Namun apabila ke-

pentingan yang lebih tinggi dan lebih

utama menghendaki keselamatan peme-

rintah (sara), bagian- bagian negara ter-

tentu dalam keadaan terpaksa boleh di-

korbankan.

d. Ainda-indamo sara somanamo agama,

(agama lebih utama dari pemerintah).

Maksudnya apabila seorang atau bebe-

rapa orang aparat kesultanan berbuat me-

langgar peraturan negara atau melanggar

hukum yang berlaku, aparat yang ber-

sangkutan akan mempertanggungjawab-

kan tindakannya dihadapan agama.

10. Pengawasan Agenda dalam Ketersedian

Lembaga Negara di Kesultanan Buton

Kesultanan Buton dalam penerapan

pemerintahannya menganut sistem pemisa-

han kekuasaan ke dalam cabang-cabang

yang luas. Hal ini didasari oleh pasal 1 UU

Murtabat Tujuh. Cabang-cabang tersebut

terdiri dari; eksekutif (sultan), legislatif

(siolimbona) dan yudikatif (kenepulu). Hal

ini sejalan dengan teori pembagian kekua-

saan yang dikemukakan oleh Montesquieu

lebih dikenal dengan teori trias politika,

yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Untuk sistem pemerintahannya menganut

sistem presidensial, dimana raja sebagai ke-

pala negara dan kepala pemerintahan. Pe-

merintahan Kesultanan Butondalam men-

jalankan tugas negara dibantu oleh jajaran

birokrasi yang berada pada wilayah ibukota

kesultanan maupun birokrasi yang bertugas

diluar ibukota.

Pemerintahan Kesultanan Buton di-

atur oleh satu konstitusi tertulis yang oleh

masyarakat Buton dikenal dengan undang-undang Murtabat Tujuh Sara Wolio. Dalam

konstitusi Undang-undang Murtabat Tujuh,

implementasi pemerintahan menggunakan

sistem “Kesultanan Buton” sebagai sebuah

negara pernah eksis selama kurun waktu tu-

juh abad. Pada masa itu, diprediksi Islam

telah masuk di Buton pada abad ke–16 M.

Hal ini dapat dibagi atas dua periode, yakni:

Pertama, periode kerajaan yang dimulai

semenjak pembentukan delapan bonto se-

bagai cikal bakal berdirinya sebuah Kesul-

tanan Buton. Kedua, periode kesultanan

yaitu terbentuknya konstitusi martabat tu-

juh dan sifat dua puluh kesultanan Buton

yaitu pada masa Sultan Dayanu Ikhsanud-

din (Sultan IV) yaitu menyempurnakan ke-

tatanegaraan dan menjadikan Kesultanan

Buton sebagai negara yang berdasarkan atas

hukum dan konstitusi tertulis. Periode ke-

sultanan tersebut dapat bertahan kurang le-

bih 4(empat) abad lamanya, dengan 38 pe-

riodesasi kepemimpinan kesultanan.

Perkembangan agama Islam di Bu-

ton semakin cepat setelah datangnya seo-

rang mubaligh Islam bernama Syeikh Ab-

dul Wahid, kemudian diperkuat lagi setelah

Lakilaponto diangkat menjadi Raja Buton

VI (Madu, 1983). Upaya untuk mengem-

bangkan Agama Islam, bagi Raja Lakila-

ponto ini tidak hanya terbatas, bahkan

struktur dan sistem pemerintahan Buton di-

ubah dan menyesuaikan dengan ajaran Is-

lam. Berubahlah bentuk pemerintahan dari

kerajaan menjadi kesultanan. Dengan de-

mikian nama Kesultanan yang dipimpin

oleh Lakilaponto menjadi kesultanan Buton

rajanya bergelar Sultan Qaimuddin Kha-

lifatul Khamiz. Perkembangan Islam pada

masa pemerintahan Sultan Qaimuddin di-

tandai dengan adanya pengaruh dalam

berbagai bidang kehidupan masyarakat yai-

tu bidang politik, ekonomi dan sosial bu-

daya.

Usaha Sultan Qaimuddin menyebar-

kan Islam, juga dilakukan dengan men-

dirikan Masjid Kaliwu–liwuto berdasarkan

nama tempat didirikanya. Mesjid ini dijadi-

kan sebagai pusat kegiatan siar Islam, ter-

masuk tempat pelantikan Sultan Buton,

(Hafid, dkk 2009).

Proses pendidikan Islam pada peri-

ode ini masih sangat sederhana. Hal ini

disebabkan karena masyarakat penganut

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

146

Islam tersebut hanyalah masyarakat awam.

Meskipun pendidikan Islam masih bersifat

sangat sederhana, namun karena sudah ada

masjid maka sejak itu sudah ada pendidikan

informal di lingkungan rumah tetangga

(keluarga) dan pendidikan non formal di

mesjid (Mustafa, dkk 2009).

Pemimpin tertinggi dalam negara

kesultanan Buton dipegang oleh seorang

Sultan. Sultan memiliki kekuasaan, kebe-

saran dan kemuliaan dalam daerah/wilayah

kekuasaanya. Menurut adat mufakat disertai

pemahaman agama Islam Sultan diteladan-

kan sebagai Khalifatullah (bayang–bayang

Tuhan di Bumi). Dalam kondisi-kondisi

tertentu, Sultan memiliki hak istimewa, se-

lama tujuannya dipergunakan untuk kebaik-

an dan kemanfaatan bagi kepentingan ma-

syarakat umum dan Negara. Pedoman yang

menjadi dasar pegangan Sultan dalam adat

ditamsilkan atas dalil “Fa aalun Limaa

Yuriydu” artinya Sultan berbuat sekehen-

daknya dengan adil (Addin, 2011).

D. PENUTUP

Ajaran Islam diterima oleh masya-

rakat Buton sebagai suatu agama resmi, ju-

ga merupakan sebuah ideologi dimana aja-

ran ajar masyarakat Butonan terimple-

mentasi dalam kehidupan sehari-hari, terin-

tegrasi dalam undang-undang negara me-

lalui konsep Martabat Tujuh sebagai un-

dang-undang kesultanan Buton. Pendidikan

Islam pada masa kesultanan masih tampak

dengan jelas implementasinya yakni pada

setipoa keberagaman masyarakat Buton

yang mampu mengintegrasikan anatara ni-

lai-nilai luhur Al-Quran yang bersifat uni-

versal meskipun terlihat bahwa begitu do-

minanya pendekatan Tasawuf dalam proses

pendidikan Islam era kesultanan di abad ke

19, maka tradisi kepercayaan pra-Islam

juga sebagian masyarakatnya masih terikat

dengan tradisi tersebut, namun demikian ti-

dak mengurangi semangat keberagaman

DAFTAR PUSTAKA

Ganiu Syeikh, Abdul. Paeasa Mainawa

Ganiy Syeikh, Abdul. 1823. Naskah Mirat-

ul Jamani

Kaimuddin Muhammad Idrus. Bula Malino

Addin, Asnur, dkk. 2011. Struktur Pemerin-

tahan Kesultanan Buthuni. Bau-Bau:

Yayasan Fajar Al Buthuni Bau-Bau.

Addin, Asnur, dkk. 2011. Undang-Undang

Martabat Tujuh dan sifat Dua Puluh.

Bau-Bau: Yayasan Fajar Al Buthuni.

Addin, Asnur, dkk. 2011. Nilai – nilai

Agama Islam dalam Kehidupan

Bernegara di Kesultanan Buthuuni.

Bau-Bau: Yayasan Fajar Al Buthuni.

Alhadza, Abdullah, 2009. Sejarah Perkem-

bangan Pendidikan Islam di Sulawesi

Tenggara. Makalah dalam Seminar

Laporan Penelitian.

Abdullah, Muhammad. 2005. Naskah Ke-

agamaan dan Relevansinya dengan

Proses Islammisasi Buton abad XIV

sampai Abad XIX. Makalah dalam

Simposium Internasional Pernaskahan

Nusantara IX. Baruga Keraton Buton,

Bau – Bau 5 – 8 Agustus 2005.

Al Qurtubi. 1967. Al –jami’ Li Ahkam Al-

Quran Kairo: Dar Al-kitab Al –Arabi

Li Al –Tiba’ah Wa Al Nasyr H. 211

Abdul Gani, Ruslan. 1963. Penggunaan

Ilmu Sejarah. Jakarta: Prapanca.

Ahmad. 1994. Tafsir Ilmu Pendidikan da-

lam Perpektif Islam. Cet II, Bandung:

Rosda Karya. H. 147 -151.

Abdullah Taufik. 1992. Pemikiran Islam di

Nusantara dalam Perpektif Sejarah.

Prisma, Jakarta, LP3ES. Nomor – 3

Tahun XX Maret hlm. 16 – 27.

Ali Maulana, Muhammad. 1980. Islamologi

(Dinul Islam). Jakarta, Ikhtiar Baru

Van Hoeva:H.2.

Ahmad D, Marimba 1980. Pengantar Fil-

safat Pendidikan Islam. Bandung. Al –Maarif H.45 – 46

Al-Asya’ari, 1952. Kitab Al-Luma Firadd,

Ala Ahlal-Ziqwa Al-Bida. Beirut: Al

Matba;ah Al Kasulikiyyah.H.94 -95.

Etnoreflika, Vol. 5, No. 2, Juni 2016

147

Al-Ghazali, Imam, 1952 Ihya ‘Ulumal-Din,

Jilid III. Beirut:Dar Al-Fikr H.56

Burke, Peter, 2001. Sejarah dan Teori So-

sial. Yayasan Obor Indonesia, Ja-

karta.

Darajat Zakiah, 1994. Pendidikan Islam da-

lam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:

Ruhama.

Departeman Agama RI, 1993. Alqur’an dan

Terjemahanya. Jakarta: Intermasa.

Frederick, William H. Soeri Soeroto, 1984.

Pemahaman Sejarah Indonsia, Sebe-

lum dan Sesudah Revolusi. Jakarta:

LP3ES.

Hafid, Anwar, dkk. 2009. Sejarah Penyeba-

ran Islam di Sulawesi Tenggara.

Kendari: CV. Shadra Taman Surapati.

Herman DM. 2007. Sejarah dan Komu-

nikasi Pendidikan Islam. Bahan Ajar.

Hasan Ahmad. 1994. Early Development

of Islamic Law. Delhi: Adam Publis-

hing and Distributors.

Hayyan Abu, 1993. Tafsir Al- Bahr,Al-

Muhit. Beirut: Dar-AlKutub Al-Ilmiy-

yah H.514.

Hugiono, dan P.K Poerwantana, 1987.

Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Bina

Aksara.

Herry, Noer Ali dan Mudzier Suparta.

2000. Watak Pendidikan Islam. Jakar-

ta: Friska Agun Insani.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Seja-

rah. Yogyakarta: Yayasan Benteng

Budaya.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan

Ilmu Sosial Dalam Metodologi Se-

jarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Ki Hajar Dewantara, 1962. Bagian Pertama

Pendidikan. Yogyakarta: Majelis

Luhur Taman Siswa H. 14 -15.

Lechte, John. 2001. Lima Puluh Filsuf Kon-

temporer dari Strukturalisme ke Post

Moderniti. Yogyakarta: Canisius.

Mustafa P, dkk. 2009. Sejarah Perkem-

bangan Pendidikan Islam di Sulawesi

Tenggara. Kendari: CV. Shadra- Ta-

man Surapati.

Mudyahardjo, Redja. 2001. Filsafat Ilmu

Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Madu, La Ode.1983. Merintis Buton Wolio

Morikana. Surabaya.

Miskawih, Ibn. 1934. Tahzib Al-Akhlak Wa

Tahir Al –A’raq. Cet I. Mesir: Al-

Mathba’Ah Almishriyat H.40.

Nata Abudin, 2000. Metodologi Studi Islam

Cet IV: Jakarta: Raja Grafindo Per-

sada H. 292 -295.

Natsir M. 1954. Capita Selecta. Jakarta:

Van Hoeva. H. 53 -61.

Nasution, Harun. 1979. Islam ditinjau dari

berbagai Aspeknya. Jilid 1. Jakarta:

UI. Press.

Poerwadarminta, W.J.S. 1991. Kamus

Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Rifai Nur, 2009. Historiografi. Jakarta:

Puspem.

Razak, Nasruddin, 1977. Dinul Islam, Cet.

II Al –Ma’arif. H. 56

Supatra, 2000. Watak Pendidikan Islam.

Jakarta: Friska Agung Insani, H. 143-

148.

Shaliba, Jamil. 1978. Al –Mu’jam Al –

Falsafi, Juz I.. Mesir: Dar Al- Kitab

Al- Mishri, H.539.

Schacht Joseph. 1965. Pengantar Hukum

Islam. Bandung: Nuansa.

Turi, La Ode. 2007. Esensi Kepemimpinan

Bhinci Bhinciki Kuli (Suatu Tinjauan

Budaya Kepemimpinan Lokal Nusan-

tara) Khasanah Nusantara.

Uhbiyati Nur , 1998. Ilmu Pendidikan Is-

lam: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, cet

II.: Pustaka Setia. H. 29 -31. Bandung

Undang - Undang tentang Sistem Pendidi-

kan Nasional dan Peraturan Pelaksa-

naanya, 1993. ( UU RI No. 2 th. 1989

. : Sinar Grafika. Cet,IV. H.3 Jakarta

Wood Ward , Mark, R. 1999. Islam in Java,

Normative Piety and Mysticism. Ter-

jemahan Hairu Salim, HS, Islam Ja-

wa. Yogyakarta: LKIS.

La Ode Muhammad Syahartijan, La Ode Jumaidin, Wa Ode Sitti Nurbaena:

Nilai-Nilai Ajaran Islam Kesultanan Buton

148

Yatim, Badri. 1993. Sejarah Peradaban

Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Per-

sada.

Yunus, Rahim. 1995. Posisi Tasawuf Da-

lam Sistem Kekuasaan di Kesultanan

Buton Pada Abad ke-19. Jakarta: Inis.

Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton yang

Terabaikan Labu Rope Labu Wana.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Zuhairini, dkk. 1992. Sejarah Pendidikan

Islam. Cet. III. Jakarta Bumi Aksara.

H.13.