Kesultanan Cirebon

50
LAPORAN KEGIATAN PRAKTIKUM LAPANGAN KE KESULTANAN CIREBON Diajukan untuk memenuhi tugas individu Kuiah Kerja Lapangan ke-1 oleh Elis Setiawati NIM 1305099 2B PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

Transcript of Kesultanan Cirebon

LAPORAN KEGIATAN

PRAKTIKUM LAPANGAN KE KESULTANAN CIREBON

Diajukan untuk memenuhi tugas individu Kuiah Kerja

Lapangan ke-1

oleh

Elis Setiawati

NIM 1305099

2B

PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2014

PENDAHULUAN

Dalam rangka praktikum lapangan (kuliah lapangan)

yang dilaksanakan pada Sabtu, 17 Mei 2014 ke Keraton

Kasepuhan Cirebon merupakan praktikum pertama yang

dilaksanakan untuk mahasiswa Pendidikan Sosiologi UPI

angkatan 2013. Dalam praktikum lapangan ini setidaknya

kami mengunjungi dua tempat yang memiliki ciri khas dan

keistimewaan tersendiri di daerah Cirebon, yaitu

Keraton Kasepuhan Cirebon yang berada tidak jauh dari

Kota Cirebon dan desa adat yang berada di Dusun

Keputihan, Desa Kertasari, Kecamatan Weru Kabupaten

Cirebon. Kegiatan ini dilakukan untuk memenuhi salah

satu kontrak mata kuliah praktikum lapangan yang

dilaksanakan setiap tahunnya untuk tiap angkatan

masing-masing.

Kegiatan ini tidak semata-mata hanya untuk

memenuhi kontrak mata kuliah saja atau sekedar

praktikum lapangan untuk mengetahui masyarakat kota

tersebut, tetapi dengan adanya praktikum ini kita dapat

mengenal dan mengamati masyarakat Cirebon secara

langsung. Dengan terjun langsung ke lapangan setidaknya

dapat memberikan pemahaman tentang kehidupan masyarakat

khususnya di Keraton Kasepuhan cirebon dan umumnya

masyarakat luas.

Dengan adanya praktikum lapangan ke Keraton

Kasepuhan Cirebon, kita dapat mengetahui seluk beluk

wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon, sejarah berdirinya

keraton, adat istiadat atau tradisi yang dilaksanakan

setiap tahunnya di keraton, dan banyak hal lain

sebagainya.

LAPORAN KEGIATAN PRAKTIKKUM LAPANGAN KE KERATON

KASEPUHAN CIREBON

A. Kesultanan Cirebon

1. Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan islam yang

ternama di Jawa Barat. Kerajaan ini berkuasa pada abad

ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan cirebon

adalah di pantai utara pulau jawa. Lokasi perbatasan

antara jawa tengah dan jawa barat membuat kesultanan

Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan

Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan

yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak

didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan

Sunda.

Pada awalnya, cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang

dibangun oleh Ki Gedeng Tapa. Demikian dikatakan oleh

serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah

Babad Tanah Sunda. Lama-kelamaan cirebon berkembang

menjadi sebuah desa yang ramai yang diberi nama

caruban. Diberi nama demikian karena di sana bercampur

para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan

adat istiadat.

Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar

masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan

nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang

pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari

istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari

udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa

sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon.

Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya

Alam dari pedalaman, cirebon menjadi salah satu

pelabuhan penting di pesisir utara jawa. Dari pelaburan

cirebon, kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung

antar-kepulauan nusantara maupun dengan bagian dunia

lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota

pesisir lainnya Cirebon juga tumbuh menjadi pusat

penyebaran islam di jawa barat.

Alkisah, hiduplah Ki gedeng Tapa, seorang saudagar

kaya di pelabuhan Muarajati. Ia mulai membuka hutan,

membangun sebuah gubuk pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun

jawa), bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu,

mulailah para pendatang menetap dan membentuk

masyarakat baru di desa caruban. Kuwu atau kepala desa

pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah

Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi atau

wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang.

Walangsungsang adalah putra prabu Siliwangi dan Nyi Mas

Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa.

Setelah ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang

bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai Kuwu pengganti

ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.

Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran

cakrabuana tidak meneruskannya, melainkan mendirikan

istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon.

Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama

kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana (…. –

1479). Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana

disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja

Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati,

serta aktif menyebarkan islam.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan

oleh keponakannya. Keponakan Cakrabuana tersebut

merupakan buah perkawinan antara adik cakrabuana, yakni

Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir.

Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif

Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif

Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati,

atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba

Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman

Khalifatura Rasulullah.

Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang

pesat dimulai oleh syarif Hidayatullah. Ia kemudian

diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan cirebon dan

banten, serta menyebar islam di majalengka, Kuningan,

kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Syarif

Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah

kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam

cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adlah

pangeran Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu

syarif hidayatullah. Namun, Pangeran dipati carbon

meninggal lebuh dahulu pada tahun 1565.

Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan

mengukuhkan pejabat istana yang memegang kenali

pemerintahan selama syarif Hidayatullah atau Sunan

Gunung Jati melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut

adalah Fatahillah atauFadillah Khan. Fatahillah

kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan

cirebon sejak tahun 1568.

Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua

kemungkinan pertama, para sultan Gunung Jati, yaitu

Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran

Bratakelana, meninggal lebih dahulu, sedangkan putra

yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin (pangeran

Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri

sejak tahun 1552 M. Kedua, Fatahillah adalah menantu

Sunan Gunung Jati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu,

putri sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan

kemampuannya dalam memerintah Cirebon (1546 – 1568)

mewakili Sunan Gunug Jati. Sayang, hanya dua tahun

Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal

pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu

Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas

kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah

cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah

panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649,

pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh

cucunya yang bernama pangeran Karim, karena ayahnya

yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia

terlebih dahulu. Selanjutnya, pangeran karim dikenal

dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan

Girilaya.

Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon

terjepit di antara dua kekuatan, yaitu kekuatan Banten

dan kekuatan mataram. Banten curiga, sebab cirebot

dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram

pun menuduh cirebon tidak lagi sungguh-suingguh

mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan

Ageng dari banten adalah sama-sama keturunan pajajaran.

Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya

panembahan Girilaya saat berkunjung ke Kartasura. Ia

lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan

posisi sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri.

Perlu diketahui, panembahan Girilaya adalah juga

menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan

meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya

dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan

Girilaya di tahan di mataram.

Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi

kekosongan penguasa. Sultan ageng tirtayasa segera

dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti

panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten.

Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan pasukan

dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada

saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari mataram.

Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan

Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan

dibawa kembali ke Cirebon. Bersama satu lagi putra

panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai

penguasa kesultanan Cirebon.

Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu

pangeran murtawijaya, pangeran Kartawijaya, dan

pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun

1677, kesultanan cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga

bagian itu dipimpin oleh tiga anak panembahan Girilaya,

yakni :

1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan,

dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677

– 1703)

2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan

gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677

– 1723)

3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan

gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau

Panembahan Tohpati (1677 – 1713)

Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan”

bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh

Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik

menjadi sultan Cirebon di Ibukota banten. Sebagai

sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,

rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun pangeran

wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan

hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan

atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai

kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan

keraton.

Pergantian kepemimpinan para sultan di cirebon

selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa

pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu

terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya,

yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri

membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan

Kacirebonan.

Kehendak raja kanoman didukung oleh pemerintah

belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada

tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu

agar putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak

atas gelar sultan. Cukup dengan gelar pangeran saja.

Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu

penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara

tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV

lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 –

1811).

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial

belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon,

sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di

wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya

terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, ketika

kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi

dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon.

B. Keraton Kasepuhan Cirebon

1. Sejarah Keraton kasepuhan Cirebon

Pada abad XV (± tahun 1430) Pangeran Cakrabuana,

putra mahkota Padjajaran membangun kraton yang kemudian

diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati, maka

kratonnya dinamai Kraton Pakungwati (hingga sekarang

dikenal dengan sebutan Dalem Agung Pakungwati).

Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan

sepupunya Syekh Syarif Hidayatullah (putra Ratu Mas

Lara santang adik Pangeran Cakrabuana) lebih dikenal

dengan sebutan Sunan Gunung Jati, kemudian Sunan Gunung

Jati dinobatkan sebagai Pimpinan atau Kepala Negara di

Cirebon dan bersemayam di Kraton Pakungwati. Semenjak

itu Cirebon merupakan pusat pengembangan Agama Islam di

Jawa dengan adanya WaliSanga yang dipimpin Sunan Gunung

Jati dan peninggalan-peninggalannya diantaranya Masjid

Agung Sang Cipta Rasa.

Pada abad XVI Sunan Gunung Jati wafat, kemudian

Pangeran Emas Moch. Arifin cicit dari Sunan Gunung Jati

bertahta menggantikannya. Kemudian pada tahun candra

sangkala Tunggal tata Gunaning wong atau 1451 Saka

yaitu tahun 1529 beliau mendirikan kraton baru

disebelah barat daya Dalem Agung Pakungwati, kraton ini

dinamai Kraton Pakungwati dan beliaupun bergelar

Panembahan Pakungwati I.

Kraton Pakungwati mengambil dari nama Ratu Ayu

Pakungwati putri Pangeran Cakrabuwana yang menikah

dengan Sunan Gunung Jati. Putrid ini cantik rupawan,

penyayang rakyat, berbudi luhur dan dapat mendampingi

suami di bidang pembinaan Negara dan Agama.

Pada tahun kurang lebih 1549 M, masjid Agung Sang

Cipta Rasa kebakaran, Ratu Ayu Pakungwati yang sudah

tua itu turut memadamkan api, api dapat dipadamkan

namun Ratu Ayu Pakungwati kemudian wafat. Semenjak itu

nama/sebutan Pakungwati dimuliakan dan diabadikan oleh

nasab Sunan Gunung Jati.

Pada tahun kurang lebih 1679 M didirikan Kraton

Kanoman oleh Sultan Anom I (Sultan Badridin) maka

semenjak itu Kraton Pakungwati disebut Kraton Kasepuhan

hingga sekarang dan sultannya bergelar Sultan Sepuh.

Kasepuhan artinya tempat yang sepuh/tua, jadi antara

Kasepuhan dan Kanoman itu awalnya yang tua dan yang

muda (kakak beradik).

Lokasi bangunan Kraton Kasepuhan membujur dari utara

ke selatan atau menghadap ke utara, karena kraton-

kraton di Jawa semuanya menghadap ke Utara artinya

menghadap magnet dunia, arti falsafahnya Sang Raja

mengharapkan kekuatan.

Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang

pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala

Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang

diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu

adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya

dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap

rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk.

Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang

cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid

Agung Sang Cipta Rasa.

Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya

adalah tempat perekonomian yaitu pasar -- sekarang adalah

pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk

Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di

sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun

ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu

terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai

sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh

kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung

pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya

terdapat masjid.

Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan

terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut

Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya

para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang

disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur

disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira

keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di

alun-alun.

Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri

terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata

kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil

atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah

duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya

bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks

candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada

tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif

Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu

berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini

merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun

1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif

bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah

utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan

bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini

terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng

yang jika diartikan adalah tahun 1451.

Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka =

1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih

asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami

pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti

Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang

berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun

pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil

terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama

dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di

tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang

utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika

dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang

melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini

merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan

atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah

kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah

tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam.

Bangunan ini tempat para pengawal pribadi

sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama

Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua

Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat

Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama

Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring

Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring

adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat

pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai

sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan

Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2

kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul

Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga

semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang

merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-

laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal

dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling

kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk

penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.

2. Silsilah Sultan Kasepuhan Cirebon

1. Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah)

2. P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin)

3. P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning)

4. Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul

Arifin)

5. P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)

6. Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan

Girilaya)

7. P. Syamsudin Martawidjaja (Sultan Sepuh I)

8. P. Djamaludin (Sultan Sepuh II)

9. P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)

10. P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)

11. P. Sjafiudin/Sultan Matangadji (Sultan Sepuh

V)

12. P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)

13. P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)

14. P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII)

15. P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)

16. P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)

17. P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)

18. P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)

19. P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (Sultan

Sepuh XIII)

20. P.R.A Arief Natadiningrat. SE (Sultan Sepuh

XIV)

3. Pengertian dan Peranan Keraton Kesepuhan  terhadap

pemeliharaan kebudayaan di Cirebon

Pada abad ke-15, pangeran Cakrabuana Putra Mahkota

Pajajaran membangun keraton yang kemudian diserahkan

kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati, Istri dari sunan

Gunung Jati, maka keratonnya di sebut Keraton

Pakungwati. Sejak didirikannya Keraton Kanoman pada

tahun 1679 oleh Sultan Anom I, Maka semenjak itu

Keraton Pakungwati bergelar Keraton Kesepuhan.

Keraton Kesepuhan adalah keraton termegah dan paling

terawat di Cirebon. Makna disetiap sudut Arsitektur

keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman

depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan

terdapat pendopo didalamnya.

Keraton memiliki musium yang cukup lengkap dan

berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah

satu koleksi yang di keramatkan yaitu Kereta Singa

Barong. Kereta Singa Barong saat ini tidak lagi

dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 syawal

untuk di mandikan.

Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama

yang berwarna putih, didalamnya terdapat ruang tamu,

ruang tidur dan singgasana raja.

Lokasi bangunan Keraton Kesepuhan membujur dari

utara ke selatan atau menghadap ke utara, karena

keraton-keraton di Jawa semuanya menghadap ke utara

artinya menghadap magnet dunia, arti falsafahnya sang

raja mengharapkan kekuatan.

Sebagai pusat dakwah Islam, keraton memegang peranan

yang sangat vital, ini jelas terlihat dari sejarah yang

menyebutkan bahwa Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan

Gunung Jati) selain berperan sebagai seorang sultan,

beliau juga adalah seorang hakim atau Qadi. Ajaran

agama Islam yang di bawa wali sanga ini memiliki

pemahaman bahwa Islam adalah agama yang Transformatif

yang bisa berakulturasi dengan budaya masyarakat di

wilayah penyebarannya masing-masing. Oleh karena itu

Keraton harus mampu menjadi ujung tombak dan juga pusat

dakwah ajaran Islam di wilayah kekuasaannya.

4. Arsitektur dan Interior

Apabila kita perhatikan ruang luar Keraton

Kesepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpaduan unsur-

unsur Eropa seperti meriam dan Patung Singa dihalaman

muka, Furnitur dan meja kaca gaya Perancis tempat para

tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran

Bali dan Pintu Kayu model ukiran Perancis yang

menampakkan gambaran kosmopolitan Keraton Kesepuhan yan

tersimpan dalam musium Keraton.

Kegemaran Kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan

arsitektur model Eropa yang mengisi bagian dalam

Keraton Kesepuhan. Perhatikan bagaimana model dan

ukiran ruang pertemuan sultan dengan para menteri yang

di buat dengan model hampir sama dalam interior

kerajaan perancis dibawah dinasti Bourbon, seperti

model kursi, meja dan lampu gantung. Bagaimanapun

terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita

memperhatikan sembilan kain berwarna di latar belakang

singgasana raja yang melambangkan sosok wali sanga. Di

sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'di

lokalkan'.

Hal yang menarik dari Keraton Kesepuhan adalah

adanya piring-piring porselin asli Tiongkok yang

menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak

cuma di Keraton, Piring-piring porselin itu bertebaran

hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.

5. Urutan-urutan Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon

Keraton Kesepuhan Cirebon mempunyai bangunan-

bangunan bersejarah dengan urutan Baluarti Keraton

meliputi:

1.      Alun-alun

Semenjak zaman Sunan Gunung Jati, alun-alun depan

kraton dinamai Sangkala Buwana. Ditengah-tengahnya

tumbuh sepasang beringin jenggot, namun semenjak tahun

1930 M beringin itu sudah tidak ada lagi. Tanggal 6

November 1988 alun-alun diperindah disesuaikan dengan

pola keindahan tata kota oleh Pemda Kodya Cirebon

dengan seizin Sultan Sepuh Kasepuhan. Dahulu alun-alun

fungsinya untuk rapat akbar atau apel besar dan baris

berbaris para prajurit atau latihan perang-perangan

juga pentas perayaan negara.

2.      Masjid Agung

Sebelah barat alun-alun berdiri bangunan masjid yang

dibangun pada tahun 1422 Saka atau 1500 M oleh Wali

Sanga dan masjid itu dinamai Sang Cipta Rasa. Sang=

Keagungan, Cipta=dibangun, Rasa=digunakan, artinya:

bangunan besar ini pergunakanlah untuk ibadah dan

kegiatan agama.

3.      Panca Ratna

Sebelah selatan alun-alun atau sebelah barat jalan

menuju keraton berdiri bangunan tanpa dinding yang

dinamai Panca Ratna. Panca artinya lima, yang dimaksud

disini adalah hakekatnya Panca Indera atau gelaran yang

lima yaitu Pangucap, Pangirup (hidung), pangrungu

(telinga), pandeleng (mata), dan napsu. Panca juga

diartikan dengan “jalannya”, Ratna dengan “sengsem atau

suka”, maksudnya jalannya kesukaan.

Panca Ratna fungsinya untuk tempat Seba atau menghadap

para penggede desa atau kampong yang diterima oleh

Demang atau Wedana Keraton. Para penggede itu setiap

hari sabtu pertama diharuskan bermain “sodor berkuda”

yaitu semacam perang rider, permainan itu disebut

Sabton. Sultan sangat suka melihat permainan ini,

biasanya melihat dari Siti Inggil dengan para

pengiringnya.

4.      Panca Niti

Sebelah timur jalan menuju Keraton terdapat bangunan

tanpa dinding yang dinamai Panca Niti. Panca=jalan, dan

Niti dari kata Nata atau Raja, namun yang dimaksud

disini adalah Atasan. Fungsinya :

a.       Tempat perwira yang sedang melatih perang-

perangan prajurit,

b.      Tempat istirahat setelah berbaris,

c.       Tempat Jaksa yang akan menuntut hukuman mati

terdakwa kepada Hakim, dan pertimbangan apakah terdakwa

itu mendapat Grasi dari Raja,

d.      Tempat petugas yang mengatur keramaian atau

pentasan yang diadakan Negara.

5.       Kali Sipadu

Sebelah selatan Panca Ratna dan Panca Niti membentang

selokan dari barat ke timur yang dinamai Kali Sipadu

berfungsi sebagai pembatas antara masyarakat umum dan

penghuni baluarti Kraton Kasepuhan.

6.      Kreteg Pangrawit

Diatas Kali Sipadu ada jembatan menuju Kraton yang

dinamai Kreteg Pangrawit. Kreteg artinya perasaan,

pangrawit berarti kecil namun maksudnya lembut/halus

atau baik. Artinya orang yang melintasi jembatan ini

diharapkan yang bermaksud baik-baik saja yang telah

diperiksa oleh kemitan Panca Ratna.

7.      Lapangan Giyanti

Setelah melewati jembatan pangrawit sebelah barat jalan

terdapat lapangan yang dinamai Lapangan Giyanti,

dahulunya taman yang dibangun oleh Pangeran Arya Carbon

Kararangen (Pangeran Giyanti).

8.      Siti Inggil

Sebelah timur lapangan Giyanti terdapat bangunan dari

bata merah berbentuk podium yang dinamai Siti Inggil.

Siti artinya tanah dan inggil=tinggi (dari bahasa

Cierebon). Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah

berupa Candi Bentar. Candi=tumpukan, Bentar=bata. Tiap

pilar diatasnya terdapat Candi Laras. Candi=tumpukan,

Laras=sesuai. Artinya : Peraturan itu harus sesuai

dengan ketentuan hukum.

Pada Siti Inggil berdiri lima buah bangunan tanpa

dinding beratap sirap, deretan depan dari barat ketimur

yaitu :

a.       Mande Pendawa Lima, bertiang lima menandakan

Rukun Islam. Fungsinya untuk duduk pengawal Raja.

b.      Mande Malang Semirang atau Mande Jajar, tiang

tengahnya (yang berukir) enam buah melambangkan Rukun

Iman, seluruhnya terdapat 20 tiang, ini melambangkan

sifat yang 20 (sifat Ketuhanan). Malang Semirang

khususnya unutk tempat duduk Raja apabila melihat acara

di alun-alun dan juga apabila sedang mengadili

terdakwa.

c.       Mande Semar Tinandu : bertiang dua

melambangkan Dua Kalimat Syahadat, fungsinya untuk

tempat duduk Penghulu atau Penasihat Raja.

d.      Deretan belakang dari barat ke timur terdapat

Mande Karesmen yaitu Mande=bangunan, Karesmen=kesenian,

fungsinya untuk tempat membunyikan Gamelan Sekaten pada

tanggal 1 syawal dan 10 Dzulhijah waktunya ba’da shalat

‘id, jelasnya tempat membunyikan gamelan yang di anggap

sopan dan diperbolehkan oleh para Muthabiin di masa

lalu.

e.       Mande Pengiring, fungsinya untuk tempat duduk

prajurit pengiring Raja, juga untuk tempat Hakim

menyidang terdakwa yang dituntut hukuman mati oleh

Jaksa.

Disebelah selatan Mande Pengiring terdapat dua buah

batu yang diberi nama ingga dan Yoni, melambangkan Adam

dan Hawa. Batu ini merupakan koleksi benda bersejarah.

Pada Siti Inggil, gapura depannya bergaya Bali yang

dinamakan Gapura Adi, gapura belakangnya dinamai Gapura

Banteng, karena di kaki gapura terdapat gambar banteng,

ini melambangkan kekuatan dan keberanian Aparatur

Negara.

Pada bangunan Siti Inggil terdapat pohon Tanjung yaitu

lambing Nanjung dalam bertahta, ada pepatah pawikon

yang berbunyi :

“Nanjung Ratu Waskitha Swalaning Paranala”

Artinya : “jadi Raja harus mengetahui penderitaan

rakyatnya.”

Di halaman depan Siti Inggil di tanam pohon sawo Kecik

(kecik=becik atau baik). Artinya diharapkan manusia itu

berkelakuan baik dan benar. Ada vakom sangkrit yang

berbunyi : “Satyam ewa jayatin” artinya kebenaran

adalah keunggulan.

Dihalaman Siti Inggil juga terdapat meja batu dari

Kalingga dan bangku batu dari Gujarat yang di bawa oleh

Dr. Raffles (orang Inggris yang tertarik pada sejarah

dunia) yang kemudian menyusun sejarah Indonesia.

Kemudian hasil penyusunannya diajarkan di sekolah-

sekolah masa colonial Belanda, kemudian ia menjadi

Gubernur Jenderal van Java tahun 1813-1818. Siti Inggil

engalami pemugaran oleh Dinas Held Keunde Belanda pada

tahun 1934-1938 namun tidak merubah bentuk aslinya.

9.      Pengada

Sebelah selatan Siti Inggil terdapat bangunan tanpa

dinding menghadap ke barat yang dinamai Pengada atau

Kubeng artinya keliling (stelincup). Pengada fungsinya

untuk tempat Panca Lima. Panca diartikan

jalannya=gerakan, Lima yang di maksud adalah lima unsur

aparat yaitu Demang Dalem, Camat Dalem, Lurah Dalem,

Laskar Dalem dan Kaum Dalem. Tepatnya Pengada itu

tempat tugas kelima unsur aparat itu. Di depan Pengada

ditanami pohon Kepel. Kepel=genggam artinya lima orang

petugas saling menggenggam atau bersatu (bertanggung

jawab bersama dalam menjalankan tugas). Di depan

Pengada sebelah selatan ada pintu gerbang yang dinamai

Gerbang Pengada, dahulunya berdaun pintu seroja kayu

dan di jaga dua orang laskar bertombak. Sebelah timur

gerbang Pengada terdapat gerbang bentar, disana ada

penjaga lonceng maka gerbang itu disebut Gerbang

Lonceng, sekarang loncengnya sudah tidak ada lagi.

10.  Kemandungan

Masuk gerbang Pengada kita akan sampai ke halaman yang

dinamai Kemandungan, dahulunya di dekat gerbang

Loncecng ada bangunan yang dinamai Gedung Kemandungan =

andalan (cagaran), gedung ini untuk penyimpanan senjata

atau alat perang, sebelah selatannya ada sumur yang

dinamai Sumur Kemandungan untuk mencuci senjata (alat

perang) pada setiap tanggal 1 sampai dengan tanggal 10

Muharram. Sekarang gedung Kemandungan sudah tidak ada

dan senjatanya dipindahkan ke gedung museum.

11.  Langgar Agung

Sebelah barat Kemandungan berdiri bangunan yang dinamai

Langgar Agung atau Mushola untuk tempat shalat orang-

orang dalem, shalat terawih, shalat Idul Fitri dan Idul

Adha Sultan, kerabat dan Kaum Dalem. Didepan Langgar

Agung ada cungkup untuk tempat bedug, bedugnya dinamai

Sang Magiri yang artinya bila bedug di pukul sebagai

isyarat untuk memperingatkan masuknya waktu shalat agar

semuanya mengerjakan shalat. Ada hadist yang berbunyi :

“ajilu bishalati qoblal fawt wa ajilu qoblal mawt =

bershalatlah sebelum lewat waktunya dan bertaubatlah

sebelum mati.”

Langgar Agung sampai ekarang masih digunakan untuk

pelaksanaan selamatan bubur slabuk pada tanggal 10

Muharram, apem pada tanggal 15 Syafar, Mauludan pada

tanggal 12 Rabiul Awwal (ba’da Shalat Isya sampai

selesai), ta’jilan pada bulan Ramadhan, selamatan

lebaran pada tanggal 1 Syawal dan penyembelihan Qurban

pada tanggal 8 Dzulhijjah (‘Idul Adha) oleh pihak

Keraton.

12.  Pintu Gledegan

Dari Kemandungan arah ke selatan melalui gerbang yang

dinamai pintu Gledegan sekarang berdaun pintu teralis

dari besi, dahulu di jaga dua orang Laskar/prajurit

bertomba. Bila ada orang yang akan masuk maka akan

diperiksa dengan suara menggelegar/menggeledeg seperti

petir. Oleh sebab itu gerbang ini dinamai Pintu

Gledegan.

13.  Taman Bunderan Dewan daru

Setelah melewati pintu Gledegan kita akan menemui

sebuah taman yang dinamai Taman Bunderan Dewan Daru.

Taman ini dibuat Plan soen rolaknya dari batu cadas, di

taman ini terdapat 8 buah pohon Dewan Daru. Oleh karena

itu, dinamai Taman Bunderan Dewan Daru (bentuknya

bundar). Maknanya adalah bunderan berarti sepakat,

dewan=dewa atau makhluk halus, Daru=cahaya, artinya:

jadilah orang yang menerangi sesama mereka yang hidup

dalam rasa kegelapan.

Ditaman ini terdapat yaitu:

a.       Nandi (patung lembu kecil) = lambang

kepercayaan Hindu sebagai koleksi.

b.      Pohon Soka sebagai lambang suka (hidup bersuka

hati).

c.       Patung 2 ekor Macan Putih merupakan lambang

Padjajaran.

d.      Meja dan bangku batu sama dengan yang ada di

halaman depan Siti Inggil.

e.       Dua buah meriam persembahan dari Prabu

Kabunangka Pakuan, meriam ini dinamai Ki Santoma dan

Nyi Santomi.

14.  Museum Benda Kuno

Sebelah barat Taman Bunderan Dewan daru berdiri

bangunan museum yang pernah di pugar oleh departemen P

& K Dinas Purbakala pada tahun 1974-1975 M, dan

bentuknya berubah menjadi bentuk huruf E tapi tembok

tengahnya (yang bagian atas pilarnya terdapat memolo

bunga teratai kudup) masih asli. Pintu musim bagian

tengah khusus untuk masuk “Orang Dinas” yang

berkepentingan saja, sementara untuk pengunjung wisata

masuk dari pintu sebelah selatan dan keluar dari pintu

sebelah utara.

Museum ini digunakan sebagai tempat penyimpanan barang-

barang antik peninggalan sejarah seperti barang

kerajinan dari dalam dan luar negeri, alat upacara

adat, dan juga senjata sebagai koleksi diantaranya :

a.       Seperangkat gamelan degung persembahan dari Ki

Gede Kawungcaang Banten tahun 1426 M karena puterinya

Dewi Kawung Anten dinikahi Sunan Gunung Jati. Degung

ini merupakan duplikat dari degung pusaka Padjajaran.

b.      Seperangkat gamelan berlaras slendro dan wayang

Purwa dari Cirebon tahun 1748 M yang merupakan

peninggalan Sultan Sepuh IV, gamelan ini dinamai Si

Ketuyung.

c.       Vitrin I : berisi Pagoda Graken untuk tempat

jamu, peti Kandaga dari Suasa untuk tempat perhiasan,

dan kaca rias (cermin). Semuanya peninggalan tahun 1506

M.

d.      Empat buah rebana peninggalan Sunan Kalijaga

tahun 1412 M dan Genta (bel) yang dinamai Bergawang,

dahulu sebagai tanda pelantikan Sunan Gunung Jati atau

Syekh Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Auliya Negara

Cirebon oleh Dewan Wali Sanga, yang menguasai daerah

Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Majalengka pada tahun

1429 M.

e.       Seperangkat gamelan Sekaten persembahan dari

Sultan Demak III (Sultan Trenggono) pada waktu

pernikahan Ratu Mas Nyawa (adik Sultan Trenggono)

dengan Pangeran Bratakelana putera Sunan Gunung Jati

tahun 1495 M. gamelan ini digunakan sebagai alat

propaganda untuk memikat orang-orang Hindu masuk Islam,

hingga sekarang gamelan Sekaten ini dibunyikan setiap

hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha di Siti Inggil.

f.       Vitrin II: berisi tempat tinta dari Cina tahun

1967 M, Ani-ani untuk potong padi, gelas minum dari VOC

tahun 1745 M. alat upacara Raja yaitu dua buah

jantungan, dua buah Manggaran, dan dua buah Nagan

terbuat dari perak (sekarang digunakan untuk upacara

Gerebeg Mulud), standar lilin Kristal dari Perancis

tahun 1738 M, lumbung padi (miniature) terbuat dari

uang kepeng Cina, empat buah kerang buntet dari Laut

Banda, ukiran kayu berbentuk naga badannya saling

melilit disebut Naga Tunggul Wulung, menurut

kepercayaan dulu sebagai tumbal (mascot), Naga Tunggul

Wulung itu pengawalnya 3 Pohaci (Dewi Padi), satu set

perhiasan pengantin untuk putera Raja tahun 1526 M

terbuat dari logam kuningan sari, dan lain-lain.

g.      Vitrin III: berisi 24 buah baju logam disebut

Harnas/Malin juga disebut baju Kere dari Portugis tahun

1527 M.

h.      Tiga buah peti kayu berukir dari Cina dean 6

buah peti dari Mesir pada zaman Sunan Gunung Jati.

i.        Vitrin IV : berisi Kujang, Cundrik Pedang,

dan Trisula.

j.        Vitrin V : berisi beberapa buah mata tombak.

k.      Vitrin VI : berisi bedil berlidi (penyocok

mesiu) dari Mesir, bedil dobel Loop, dan pedang dari

Portugis.

l.        Diruang pintu tengah terdapat dua buah meriam

dari Kalingga India persembahan dari Patih Keling yang

di-Islam-kan oleh Sunan Gunung Jati tahun 1423 M,

kemudian Ki patih beserta anak buahnya turun temurun

mengabdi untuk menjaga makam Sunan Gunung Jati hingga

sekarang.

m.    Vitrin VII : berisi barang keramik dari Cina

tahun 1424 M, dibawahnya berisi senjata/keris-keris

persembahan dari masyarakat.

n.      Vitrin VIII : berisi beberapa buah Genta

kerajinan cina, beberapa buah kendi terbuat dari buah

labu, 4 buah patung kayu dari Bali yang disebut Krisna

Murti. Krisna=Wisnu, Murti=kuasa, ini menggambarkan

Dewa Wisnu dilahirkan ke dunia untuk mencegah kemurkaan

manusia, jin, dan hewan. Beberapa buah piring dan

mangkuk persembahan dari Sultan Aryadilah Palembang,

kelapa Janggi penemuan Pangeran Cakrabuwana dari Laut

Aden sewaktu pulang dari Haji tahun 1390 M, dan lain-

lain.

o.      Rak berisi beberapa buah tombak seligi.

p.      Ditembok sebelah barat terdapat panah beserta

gendewanya, disampingnya rak berisi beberapa buah

tombak.

q.      Vitrin IX : berisi Kujang dan Cundrik dari

Padjajaran sejak zaman Pangeran Cakra Buwana lalu

diberikan kepada Sunan Gunung Jati.

r.        Beberapa buah meriam dari Cina tahun 1676 M

dan meriam dari Portugis tahun 1527 M. pada waktu itu

portugis memonopoli perdagangan di Sunda Kelapa dan

menduduki Sunda Kelapa kemudian di usir oleh Tubagus

Paseh (Fatahillah) menantu Sunan Gunung Jati dengan

bantuan sisa Laskar Pajang, kemudian Portugis mundur ke

Sumatera dan akhirnya ke Malaka, diantara meriam dari

Cina dan Portugis terdapat alat debus dari Banten

persembahan Sultan Hasanudin Banten tahun 1552 M untuk

Panembahan Pakung Wati, dibawahnya terdapat batu peluru

bandil (bahasa Arab disebut Hajar Rajam) unutk perang

pada masa dulu.

s.       Rak berisi beberapa buah tombak Cis untuk

khotbah.

t.        Vitrin X : berisi 48 buah tombak dwisula, 37

buah Trisula, 40 buah Catur Sula, yang kesemuanya di

buat oleh Sultan Sepuh V mandainya (dibuat) di Desa

Malanghaji tahun 1776 M, beberapa buah peninggalan

kompeni Belanda tahun 1745 M dan senjata-senjata

persembahan dari masyarakat untuk dimusiumkan.

u.      Di sudut ruangan terdapat satu set meja kursi

hitam model Eropa tahun 1845 M, disampingnya terdapat

ukiran kayu motif Wadasan ditumbuhi pohon teratai dari

Cina persembahan kapten Cina dari Pekalongan yang

bernama Tan Tjoeng Lay yang ahli bahasa Belanda,

Inggris, Tak Tje, Melayu,  Jawa, dan Sunda juga suka

dengan ilmu Kejawen. Kemudian masuk Islam dam mengabdi

pada Sultan Sepuh I, di beri gelar Tumenggung Ariya

Wira Cula tahun 1676-1697 M.

v.      Vitrin XI : berisi beberapa mata tombak zaman

Sultan Sepuh V.

w.    Vitrin XII : berisi Pagoda Graken, mangkok besar

dan Kendi Keramik dari Mongolia dinasti Ming, dan

cangkir dari Cina tahun 1424 M.

x.      Meja Vitrin I : berisi mata tombak ditatrap

emas, keris Sekin karya empu zaman Sunan Gunung Jati,

mata tombak besar tatrap emas khusus untuk Ki Bergawa

perwira kuat berbadan besar seperti Samson atau

Hercules dan Badik dari Makasar.

y.      Meja Vitrin II : berisi busana putera-puteri

Sultan masa Sultan Sepuh X.

z.       Vitrin XII : berisi mata tombak dan keris.

aa.   Di pojok sebelah timur terdapat ukiran kayu

Ganesha naik gajah karya Panembahan Girilaya tahun 1582

M.

bb.  Seperangkat alat Tedak Siti Mudun Lemah (Turun

Tanah) terdiri atas : 1 buah sangkar bamboo, 1 buah

kursi dan tangga kecil berundaga lima untuk upacara

turun tanah anak umur tujuh bulan, acaranya setelah

undangan kumpul, Si Anak di papah lalu kakinya

diinjakkan pada ambalan tangga dan terakhir dimasukkan

sangkar yang didalamnya ada tanah kemudian kakinya

diinjakkan ke tanah. Kemudian di suruh memilih. Jika

mengambil padi maka berbakat menjadi petani, jika uang

maka pedagang, pensil jadi pegawai, buku maka jadi ahli

ilmu, Qur’an ahli Agama, emas banyak harta, pisau jadi

tentara. Peralatan ini peninggalan Sultan Sepuh XI

tahun 1899 M.

cc.   Di sekeliling tembok musium terdapat beberapa

buah ukiran kayu diantaranya ukiran kayu Mantingan yang

menggambarkan manusia purba dari Desa Mantingan,

Kerajaan Pajang pada zaman Panembahan Pakung Wati I

yang bersahabat dengan Sultan Pajang dan berjodoh

dengan puteri Pajang, Ratu Mas Gulampok Angroros tahun

1510 M, ukiran kayu menggambarkan dua makhluk prabangsa

berhadap-hadapan karya Panembahan Pakung Wati I dikala

melihat awan bergumpal di langit berbentuk binatang

lalu di gambar di tanah kemudian di buatlah ukirannya.

15.  Musium Kereta

Sebelah timur Taman Bunderan Dewan Daru berdiri

bangunan yang berfungsi untuk tempat penyimpanan kereta

pusaka yang dinamai Kereta Singa Barong. Singa dari

Sing Ngarani (bahasa Cirebon), Barong dari bareng-

bareng. Jadi Singa Barong itu artinya Sing ngarani

bareng-bareng, arti bahasa Indonesianya yang memberi

nama bersama-sama.

Kereta ini dibuat tahun 1549 M atas prakarsa Panembahan

Pakung Wati I mengambil pola makhluk prabangsa.

arsiteknya Panembahan Losari, Werk Bas Dalem Gebang

Sepuh dan pemahatnya Ki Nataguna dari Kaliwulu. Kereta

Singa Barong perwujudan dari tiga binatang jadi satu

yaitu : 1). Belalai gajah melambangkan persahabatan

dengan India yang beragama Hindu; 2). Kepala Naga

melambangkan persahabatan dengan Cina yang beragama

Budha; 3). sayap dan badan mengambil dari Buraq

melambangkan persahabatan dengan Mesir yang beragama

Islam. Ketiga kebudayaan tersebut menjadi satu

(Hindu,Budha,Islam) digambarkan dengan Tri Sula di

belalai. Tri=tiga, Sula=tajam, yang di maksud adalah

“tajamnya alam pikiran manusia yaitu Cipta, Karsa, dan

Rasa. Ada sastra Jawa yang berbunyi “Witing guna saka

kaweruh dayane satuhu” yang artinya adalah asalnya

kebijaksanaan itu dari pengetahuan jalankanlah dengan

mantap dan baik.

kereta ini dahulunya digunakan untuk Upacara Kirab

Keliling Kota Cirebon setiap tanggal 1 sura atau

Muharram dengan di tarik oleh 4 ekor kerbau bule.

semenjak tahun 1942 M sudah tidak dipakai lagi. Didalam

musium kereta juga terdapat 2 buah Tandu Jempana dari

Cina persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten

Tan Boen Wee tahun 1676 M. Tandu Jempana ini untuk

permaisuri dan putera mahkota.

Tandu Garuda Mina dibuat tahun 1777 di Gempol

Palimanan, tandu ini dipergunakan untuk mengarak anak

yang mau khitan. Dimusium juga terdapat pedang-pedang

dari Portugis dan Belanda, 2 buah meriam dari Mongolia

tahun 1424 M yang berbentuk naga. Di belakang kereta

terdapat tombak-tombak panjang berbendera kuning yang

disebut Blandrang, biasanya tombak-tombak ini dibawa

oleh Prajurit Panyutran sebagai barisan kehormatan,

juga terdapat Tunggul Gada/Tunggul Manik sebagai

lambing penerangan, dan Payung Keropak sebagai lambing

pengayoman. Dimusium juga terdapat seperangkat Angklung

kuno persembahn dari masyarakat daerah Kuningan.

16.  Tugu Manunggal

Sebelah selatan Taman Bunderan Dewan Daru terdapat batu

pendek di kelilingi 8 buah pot bunga, maksudnya lambing

kepercayaan Islam menyembah kepada Allah yang satu dzat

sifatnya . Tugu ini dinamai Tugu Manunggal.

17.  Lunjuk

Sebelah barat Tugu Manunggal berdiri bangunan yang

disebut Lunjuk yang artinya petunjuk. Fungsinya untuk

tempat staf harian yang tugasnya melayani tamu yang mau

menghadap Raja (mencatat dan melaporkan).

18.  Sri Manganti

Sebelah timur Tugu Manunggal berdiri bangunan tanpa

dinding yang disebut Sri Manganti. Sri = Raja, Manganti

= menunggu. Artinya : tempat menunggu keputusan Raja

setelah melapor di Lunjuk.

19.  Kuncung dan Kutagara Wadasan

Sebelah selatan Tugu Manunggal terdapat bangunan

beratap sirap disebut Kuncung (poni) fungsinya untuk

tempat parkir kendaraan Raja/Sultan, dibangun tahun

1678 M oleh Sultan Sepuh I. Kuncung bergebang putih

dibuat mengandung seni khas Cirebon, bawahnya berukir

Wadasan yang melambangkan “manusia hidup harus

mempunyai pondasi yang kuat”, atasnya berukir Mega

Mendungan yang melambangkan ‘jika sudah menjadi

pemimpin atau Raja harus dapat mengayomi bawahannya

atau rakyatnya.Gapura ini disebut Kutagara Wadasan.

20.  Jinem Pangrawit

Sebelah selatan Kuncung terdapat ruangan sebagai

serambi depan keraton yang disebut Jinem Pangrawit.

Jinem = Kejineman (tempat tugas), Pangrawit dari kata

rawit (kecil) yang di maksud halus atau bagus (baik),

fungsinya untuk tempat tugas Pangeran Patih atau Wakil

Sultan menerima tamu.

21.  Pintu Buk Bacem

Sebelah barat dan timur Jinem Pangrawit terdapat pintu

gerbang beratap tembok lengkung (hoeg/buk) berdaun

pintu kayu. Kayunya di bacem dulu (direndam dengan di

beri ramuan) sehingga disebut Pintu Buk Bacem. Pintu

yang di sebelah barat untuk pengunjung wisata, dan yang

sebelah timur untuk keluar-masuk penghuni Keraton tiap

hari.

22.  Gajah Nguling

Sebelah dalam Jinem Pangrawit terdapat bangunan tanpa

dinding bertiang putih disebut Loos Gajah Nguling

mengambil dari gajah sedang nguling (menguak)

belalainya bengkok, bentuk bangunan ini pun tidak lurus

seperti belalai gajah sedang menguak. Maksudnya tidak

boleh boros harus irit. Loos ini dibangun oleh Sultan

Sepuh IX tahun 1845 M, fungsinya sebagai penghubung

Jinem Pangrawit dengan Bangsal Pringgandani.

23.  Bangsal Pringgandani

Sebelah dalam atau selatan Loos Gajah Nguling terdapat

ruangan yang dinamai Bangsal Pringgandani mengambil

nama dari cerita pewayangan, fungsinya untuk pisowan

(menghadap) para Bupati Cirebon, Kuningan, Indramayu,

Majalengka, dan digunakan juga sebagai tempat sidang

para warga Keraton.

24.  Langgar Alit

Sebelah barat Bangsal Pringgandani berdiri bangunan

tanpa dinding yang dinamai Langgar Alit. Fungsinya

untuk tempat tadarus setelah shalat Tarawih kemudian

membunyikan Terbang/Gembyung pada tanggal 15 Ramadhan

diadakan selamatan khatam Qur’an ke I, tanggal 17

Ramadhan peringatan Nuzulul Qur’an, tanggal 29 Ramadhan

Maleman, tanggal 30 Ramadhan khatam ke II, tanggal 1

Syawal ba’da Isya penghulu dan kaum menerima zakat

Fitrah dari Sultan Sepuh sekeluarga, tanggal 27 rajab

ba’da Isya diadakan ‘Isra Mi’raj (rajaban), tanggal 15

sya’ban diadakan Nisfu Sya’ban (Rewahan), dan

peringatan hari-hari besar Islam hingga sekarang.

Langgar Alit pernah di pugar bersamaan dengan Siti

Inggil, dan lantainya diganti dengan marmer. Sebelah

utara Langgar Alit sejajar tembok terdapat pintu yang

disebut Pintu Putri. Pintu ini menuju ke Kaputren, umum

tidak boleh melalui pintu ini.

25.  Jinem Arum

Sebelah timur Bangsal Pringgandani berdiri bangunan

tanpa dinding dinamai Jinem Arum yang fungsinya untuk

ruang tunggu wargi yang mau menghadap Sultan.

26.  Kaputran

Sebelah timur Jinem Arum berdiri bangunan menghadap ke

utara yang dinamai Kaputren, fungsinya untuk tempat

tinggal putera Sultan yang laki-laki.

27.  Bangsal Prabayaksa

Sebelah dalam Bangsal Pringgandani terdapat ruangan

yang disebut Bangsal Prabayaksa. Praba = sayap, Yaksa =

besar, maksudnya “Sultan melindungi rakyat dengan kedua

tangannya yang besar seperti induk ayam melindungi

anaknya dengan kedua sayapnya.” Yang dimaksud berarti

Besar kekuasaannya. Bangsal Prabayaksa dibangun tahun

1682 oleh Sultan Sepuh I, dan fungsinya untuk tempat

siding para menteri Negara Keraton Kasepuhan. Di

Bangsal Prabayaksa terdapat meja/kursi bercat kuning

gading dibuat tahun 1738 M, juga lampu kristal dari

Perancis tahun 1738, dan lampu storlop prasman dari VOC

taun 1745, ditembok bangsal terpasang tegel-tegel

proselen berwarna biru dan cokelat dari VOC, tegel

cokelat gambarnya mengandung cerita dari Injil juga

piring-piring keramik dari Cina dinasti Han Boe Tjie

tahun 1424 M, tiga buah lukisan dari Belanda, dan satu

buah dari Jerman tahun 1745 M.

Ditembok Bangsal Prabayaksa terdapat empat buah relief

karya Pangeran Arya Carbon Kararangen tahun 1710 (adik

Sultan Sepuh II). Relief ini dinamai Kembang Kanigaran

artinya Lambang kenegaraan yang dimaksud adalah Sri

Sultan dalam memegang tampuk kenegaraan harus welas

asih pada rakyatnya.

28.  Kaputren

Sebelah barat relief terdapat pintu menuju bangunan

yang dinamai Kaputren yang fungsinya untuk tempat

tinggal puteri sultan.

29.  Dalem Arum

Sebelah timur relief terdapat pintu menuju ruangan yang

disebut Dalem Arum atau Kedaton yang fungsinya untuk

tempat tinggal Sultan dan keluarganya turun temurun

hingga sekarang, umum dilarang masuk.

30.  Bangsal Agung Panembahan

Sebelah selatan Bangsal Prabayaksa naik tangga terdapat

ruangan yang disebut Bangsal Agung Panembahan.

Fungsinya untuk tempat singgasana Gusti Panembahan.

Didalam Bangsal Agung Panembahan terdapat kursi

Singgasana dengan mejanya berkaki gambar ular yang

melambangkan dahulu ucapan Raja merupakan hokum,

dibelakang singgasana terdapat tempat tidur yang

disebut Ranjang Kencana untuk istirahat siang

Raja/Sultan. Sebelah kanan dan kiri singgasana terdapat

meja dan kursi untuk permaisuri dan putera Mahkota bila

berkenan hadir.

Sekarang Bangsal Panembahan dipergunakan untuk sesaji

sarana Panjang Jimat (selamatan Maulud) yang

mengerjakan kaum Masjid Agung dan disaksikan oleh

Sultan, Raden Ayu, dan kerabat keraton, waktunya ba’da

Isya tanggal 12 Rabiul Awwal, setelah selesai kemudian

diiring menuju Langgar Agung.

Lantai Bangsal Agung Panembahan masih asli tahun 1529,

sedangkan lantai Bangsal Prabayaksa dan Pringgandani

sudah diganti tahun 1934, dan Jinem Pangrawit tahun

1997.

31.  Pungkuran

Sebelah selatan Bangsal Agung Panembahan terdapat

ruangan tanpa dinding merupakan Serambi belakan yang

disebut Pungkuran atau Buritan karena letaknya paling

belakang. Fungsinya untuk tempat sesaji sarana maulid

Nabi Muhammad SAW.

32.  Dapur Mulud

Didepan Kaputren agak ke barat berdiri bangunan

menghadap ke timur yang dinamai Dapur Mulud yang

fungsinya untuk tempat memasak selamatan Maulid Nabi,

yang memasaknya ibu-ibu Kaum Masjid Agung.

33.  Pamburatan

Sebelah selatan Kaputren terdapat bangunan yang dinamai

Pamburatan (Pengguratan) untuk tempat menggurat

(ngerik) kayu-kayu wangi bahan boreh (param) pelengkap

selamatan Maulid Nabi SAW.

6.  Tadisi yang ada dalam Keraton Kasepuhan Cirebon

a. Syawalan Gunung Jati

Setiap awal bula syawal masyarakat wilayah Cirebon

umumnya melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di

samping itu juga untuk melakukan tahlilan.

b. Ganti Welit

Upacara yag dilaksanakan setiap tahun di Makam

Kramat Trusmi untuk mengganti atap makam keluarga Ki

Buyut Trusmi yang menggunakan Welit (anyaman daun

kelapa). Upacara dilakukan oleh masyarakat Trusmi.

Biasanya dilaksanakan pada tanggal 25 bulan Mulud.

c. Rajaban

Upacara dan ziarah ke makam Pangeran Panjunan dan

Pangeran Kejaksan di Plangon. Umumnya dihadiri oleh

para kerabat dari keturunan dari kedua Pangeran

tersebut. Dilaksanakan setiap 27 Rajab. Terletak di

obyek wisata Plangon Kelurahan Babakan Kecamatan Sumber

kurang lebih 1 Km dari pusat kota Sumber.

d. Ganti Sirap

Upacara yang dilaksanakan setiap 4 tahun sekali di

makam kramat Ki Buyut Trusmi untuk mengganti atap makam

yang menggunakan Sirap. Biasanya dimeriahkan dengan

pertunjukan wayang Kulit dan Terbang.

e. Muludan

Upacara adat yang dilaksanakan setiap bulan Mulud

(Maulud) di Makam Sunan Gunung Jati. Yaitu kegiatan

membersihkan / mencuci Pusaka Keraton yang dikenal

dengan istilah Panjang Jimat. Kegiatan ini dilaksanakan

pada tanggal 8 s/d 12 Mulud. Sedangkan pusat kegiatan

dilaksanakan di Keraton.

Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,±

700 tahun setelah beliau wafat (P.S. Sulendraningrat,

1978:85) upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan

sebagai peringatan hari kelahiran kepada junjungan

besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud

berasal dari bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah

arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi di Cirebon telah

dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan

Gunung Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran.

Berbeda dengan masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana

yang hanya dilakukan dengan cara sederhana. Upacara

Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun

hingga sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut

sebagai upacara “IRING-IRINGAN PANJANG JIMAT” (P.S.

Sulendraningrat, 1978:86).

f. Salawean Trusmi

Salah satu kegiatan ziarah yang dilaksanakan di

Makam Ki Buyut Trusmi. Di samping itu juga dilaksanakan

tahlilan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tanggal 25

bulan Mulud.

g. Nadran

Nadran atau pesta laut seperti umumnya dilaksanakan

oleh nelayan dengan tujuan untuk keselamatan dan

upacara terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah

memberikan rezeki. Dilaksanakan dihampir sepanjang

pantai (tempat berlabuh nelayan) dengan waktu kegiatan

bervariasi.

h. Upacara Pajang Jimat

Salah satu upacara yang dilakukan di Kerajaan

Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat

memiliki beberapa pengertian, Pajang yang berarti terus

menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan Jimat yang

berarti, dipuja-puja (dipundi-pundi/dipusti-pusti) di

dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW

(P.S. Sulendraningrat, 1978:87). Pajang Jimat merupakn

sebuah piring besar (berbentuk elips) yang terbuat dari

kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah

khusus, yakni benda pusaka Kraton Cirebon, yang

merupakan pemberian Hyang Bango kepada Pangeran

Cakrabuana ketika mencari agama Nabi (Islam).

Upacara Pajang Jimat pada Kraton Cirebon dilakukan

pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya’, upacara

penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli

agama di lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat

dimulai dari ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam

selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah

diatur. Adapun tatacara dan atribut dalam upacara

Pajang Jimat, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Beberapa lilin dipasang diatas standarnya.

2. Dua buah manggaran, dan buah nagan da dua buah

jantungan.

3. Kembang goyak (kembang bentuuk sumping) 4 kaki.

4. Serbad dua guci dan duapuluh botl bir tengahan.

5. Boreh/parem.

6. Tumpeng.

7. Ancak sangar (panggung) 4 buah yang keluar dari

pintu Pringgadani.

8. 4 buah dongdang yang berisi makanan, menyusul

belakangan, keluar dari pintu barat Bangsal

Pringgandani, ke teras Jinem.

Upacara irig-iringan Pajang Jimat di Kraton Kasepuhan

Cirebon ini sebagai gambaran peranan seorang dukun bayi

(bidan). Jam 24.00 Pajang Jimat kembali dari Langgar

Keraton masukke Kraton dengan melalui pintu sebelah

barat menuju Kaputren, maka berakhirlah acara Upacara

Maulid Nabi (P.S. sulendraningrat, 1978:87-94).

PENUTUP

Mengunjungi Keraton Kasepuhan seakan-akan

mengunjungi Kota Cirebon tempo dulu. Keberadaan Keraton

Kasepuhan juga kian mengukuhkan bahwa di kota Cirebon

pernah terjadi akulturasi. Akulturasi yang terjadi

tidak saja antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan

Sunda, tapi juga dengan berbagai kebudayaan di dunia,

seperti Cina,India, Arab, dan Eropa. Hal inilah yang

membentuk identitas dan tipikal masyarakat Cirebon

dewasa ini, yang bukan Jawa dan bukan Sunda. Kesan

tersebut sudah terasa sedari awal memasuki lokasi

keraton. Keberadaan dua patung macan putih di

gerbangnya, selain melambangkan bahwa Kesultanan

Cirebon merupakan penerus Kerajaan Padjajaran, juga

memperlihatkan pengaruh agama Hindu sebagai agama resmi

Kerajaan Padjajaran. Gerbangnya yang menyerupai pura di

Bali, ukiran daun pintu gapuranya yang bergaya Eropa,

pagar Siti Hingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang

mengelilingi keraton terbuat dari bata merah khas

arsitektur Jawa, merupakan bukti lain terjadinya

akulturasi.

Nuansa akulturasi kian kentara ketika memasuki

ruang depannya yang berfungsi sebagai museum. Selain

berisi berbagai pernak-pernik khas kerajaan Jawa pada

umumnya, seperti kereta kencana singa barong, dua tandu

kuno, dan berbagai jenis senjata pusaka berusia ratusan

tahun, di museum ini pengunjung juga dapat melihat

berbagai koleksi cinderamata berupa perhiasan dan

senjata dari luar negeri, seperti senapan Mesir, meriam

Mongol, dan zirah Portugis. Singgasana raja yang

terbuat dari kayu sederhana dengan latar sembilan warna

bendera yang melambangkan Wali Songo. Hal ini

membuktikan bahwa Kesultanan Cirebon juga terpengaruh

oleh budaya Jawa dan agama Islam. Selain itu, di

halaman belakang pengunjung dapat melihat taman istana

dan beberapa sumur dari mata air yang dianggap keramat

dan membawa berkah. Kawasan ini ramai dikunjungi

peziarah pada upacara panjang jimat yang digelar pihak

keraton setiap tahun untuk memperingati Maulid Nabi

Muhammad SAW .