“Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila” - MPR RI

144
“Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila” Sekretariat Jenderal MPR RI Pusat Pengkajian

Transcript of “Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila” - MPR RI

“Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila”

Sekretariat Jenderal MPR RIPusat Pengkajian

Empat PilarKehidupan Berbangsa dan Bernegara

1. Pancasila

2. Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945

3. Negara Kesatuan Republik Indonesia

4. Bhinneka Tunggal Ika

iv

Susunan Dewan Redaksi

DEWAN PENGARAHPimpinan MPR RI

PENANGGUNG JAWABDrs. Eddie Siregar, M.Si.

PEMIMPIN REDAKSIMa’ruf Cahyono, S.H., M.H.

REDAKTUR PELAKSANAIndro Gutomo, S.H.Rharas Esthining Palupi, S.H., M.H.

EDITORNgesti D. Prasetyo, S.H., M.H.Ria Casmi Arsa, S.H., M.H

ISSN: 2085 - 4862

ALAMAT REDAKSIPusat Pengkajian, Sekretariat Jenderal MPR RIGedung Nusantara III, Lt. 6Jl. Jend. Gatot Subroto No. 6 Jakarta 10270Telp. (021) 57895224, Fax.: (021) 57895232E-mail: pusat [email protected]

v

Sambutan Pimpinan Mpr Ri

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaisalah satu pilar utama negara adalah hukum dasar yang wajib dipahamisecara utuh dan menyeluruh oleh seluruh komponen bangsa sebagailandasan konstitusional dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka memberikan pemahaman kepada masyarakat luas, makaupaya memasyarakatkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indone-sia Tahun 1945 harus terus menerus dilakukan agar kehidupan yangdemokratis dan konstitusional tetap terjaga dalam setiap sendi kehidupanberbangsa dan bernegara Indonesia guna mewujudkan masyarakat yangsejahtera, adil dan makmur.

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga demokrasi yangmemperjuangkan aspirasi rakyat, disamping menjalankan amanatkonstitusional sesuai kewenangnnya, juga mempunyai kewajiban untukmemasyarakatkan konstitusi negara dan pilar-pilar negara lainnya, yakniPancasila, NKRI dan Bhinneka Tungga Ika dalam rangka memperkokohideologi nasional, persatuan dan kesatuan bangsa.

Sesuai amanat Pasal 15 Ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pimpinan MPRmengoordinasikan seluruh Anggota MPR untuk memasyarakatkan “empatpilar kehidupan bernegara” ke seluruh komponen bangsa dalam berbagaibentuk, metode, dan kelompok sasaran pemasyarakatan agar menjangkauberbagai elemen masayarakat di seluruh wilayah tanah air.

vi

Pemasyarakatan “empat pilar kehidupan bernegara” telah dilakukan dalamberbagai kegiatan baik dalam forum formal maupun informal, publikasi dimedia cetak dan elektronik, serta berbagai kegiatan dalam bentuk seminar,diskusi terfokus, lokakarya maupun dialog publik lainnya di lingkunganeksekutif, legislatif, dunia akademik maupun oraganisasi kemasyarakatan .

Upaya memperkokoh “empat pilar kehidupan bernegara” dipandangsangat penting mengingat kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang dalammasa transisi demokrasi, menghadapi multidimensi persoalan bangsa baikdi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, penegakan hukum, serta ditengaraijuga adanya krisis kebangsaan yang berpotensi mengancam keutuhanpersatuan dan kesatuan bangsa.

Kesadaran memporkokoh empat pilar kehidupan bernegara merupakanikhtiar kita bersama dalam mewujudkan cita-cita proklamasi dan reformasisebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.

Dengan “empat pilar kehidupan bernegera”, Pancasila akan semakinkokoh sebagai ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 menjamin kehidupanyang demokratis dan konstitusional, serta NKRI semakin mempersatukansetiap perbedaan dalam wadah Bhinneka Tunggal Ika.

Penerbitan Jurnal Majelis adalah salah satu metode pemasyarakatan agarPanscasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika secarakonsepsional dapat dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsadan bernegara di Republik Indonesia tercinta.

Ketua MPR RI,

ttd,

Sidarto Danusubroto

vii

Perubahan paradigma dan perkembangan sistem ketatanegaraan Indo-nesia berjalan sangat pesat pasca amandemen konstitusi pada kurun waktu1999-2002. Era baru ketatanegaraan ditandai dengan pengejawantahankedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat. Merespon hal tersebutpenyelenggaraan ketatanegaraan saat ini semakin menuntut situasi dankondisi kenegarabangsaan untuk merespon gagasan demokrasi partisipatifbagi peningkatan derajat kesejahteraan rakyat Indonesia seutuhnya. Atasdasar itulah maka, kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RepublikIndonesia sebagai bagian dari sistem kelembagaan negara memiliki tanggungjawab dan peran strategis untuk mengaspirasi dan merepresentasikankehendak rakyat dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif danbermartabat. Banyak kemajuan yang telah dicapai dalam rangka upayapenguatan aspirasi masyarakat melalui program 4 (Empat) Pilar KehidupanBerbangsa dan Bernegara (Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dengan berbagai model kegiatanyang bertujuan untuk mendekatkan aspirasi masyarakat, penguatan ideologikebangsaan, dan merespon berbagai isu aktual kenegarabangsaan.

Namun demikian ditengah situasi dan kondisi kemajuan capaianprogram 4 (Empat) Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara masih teerdapatberbagai celah kelemahan dalam konteks aktualisasinya. Merespon haltersebut maka Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI membentukTim Kerja melalui Keputusan Pimpinan MPR RI Nomor 5/PIMP/2012 tanggal1 Oktober 2012 tentang Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan IndonesiaMajelis Permusyawaratan Rakyat Keanggotaan Tahun 2012-2014.Dibentuknya Tim kajian sistem ketatanegaraan dimaksud mengkaji berbagai

Sambutan KetuaTim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan

Indonesia MPR-RI

viii

isu pokok aspirasi masyarakat daerah terkait dengan konsep konstitusi,aspirasi usulan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,penguatan lembaga negera, kajian tentang implementasi 4 (empat) pilarkehidupan berbangsa dan bernegara, mengkaji berbagai keputusan MPR sertamengevaluasi mengenai produk undang-undang.

Atas dasar berbagai isu aktual ketatanegaraan sebagaimanadimaksudkan diatas maka penuangan berbagai gagasan kritis, kontributifdan konseptual mengenai dinamika ketatanegaraan Indonesia menjadi bagianyang penting dan tidak terpisahkan dari program pemasyarakatan danpengkajian 4 (empat) pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenaitu maka, hadirnya Jurnal Majelis sebagai media aspirasi ketatanegaraandiharapkan mampu meningkatkan nalar kritis warga negara dengan berbagailatar belakang keilmuan agar dapat berpartisipasi dalam merespon perbaikansistem ketatanegaraan Indonesia saat ini maupun dimasa yang akan datang.

Ketua Tim Kerja KajianSistem Ketatanegaraan Indonesia MPR-RI

ttd.

Dr. Ir. Mohammad Jafar Hafsah

ix

Pengantar Redaksi

Sebuah fakta sejarah sejak berdirinya bangsa Indonesia bahwa Pancasilatelah diterima oleh bangsa Indonesia secara aklamasi sebagai falsafah danideologi negara yang akan menjadi sumber inspirasi kehidupan bangsa In-donesia dalam mewujudkan cita-citanya menuju masyarakat yang adil,makmur dan sejahtera sebagaimana termaktub dalam pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pancasila di samping sebagai ideologi, dasar dan falsafah negara, jugamenjadi cita cita moral dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang selamabangsa Indonesia ada, telah memberi pandangan dan arah kepada bangsadan negara kita menjalani kehifdupan berenegara sesuai dengan jati dirinyayang membedakan dengan bangsa bangsa lain di dunia.

Kekuatan Pancasila sebagai ideologi yang mempersatukan bangsaIndonesai dalam wadah NKRI sejak kemerdekaan hingga hari ini adalahsuatu bukti bahwa Pancasila mampu mengahadapi berbagai macamgangguan dalam sebuah bangsa yang majemuk, penuh perbedaanberdasarkan suku, agama, bahasa dan budaya yang berpotensi menimbulkankonflik dan perpecahan.

Dalam kerangka itu, maka Pancasila sebagai salah satu pilar utama negaradari “empat pilar kehidupan bernegara” yakni Pancasila, UUD NRI Tahun1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus-menerus menerus dipahamidan diamalkan dalam kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan.

Penerbitan Jurnal Majelis oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat adalahbagian dari upaya MPR untuk memasyarakatkan empat pilar kehidupanbernegara kepada seluruh komponen bangsa, secara lebih dinamis dansistematias, untuk melengkapi berbagai bentuk, metode dan kegiatanpemasyarakatan”empat pilar kehidupan bernegara” yang sedangdilaksanakan.

x

Jurnal Majelis Edisi 04 Tahun 2012 ini menampilkan berbagai tulisan yangbersi gagasan dan pemikiran cerdas dari para insan cendekia mengenaiRevitalisasi Nilai-nilai Pancasila, beberapa tulisan yang dapat anda nikmatiadalah Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Perspektif Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disampaikan olehLukman Hakim Saifuddin, disusul dengan Pancasila,Tuhan Persepsi danKebhinekaan Dalam NKRI oleh Musa asy’arie.

Kami berharap penerbitan Jurnal Majelis Edisi 04 Tahun 2012 ini akanmembawa manfaat yang luas bagi para pembaca dan pihak-pihak yangberkepentingan untuk mengetahui dan mendalami secara konsepsionalmengenai “empat pilar kehidupan bernegara”, sebagai pilar utama negarayang akan melandasi dan memperkokoh penyelenggaraan kehidupankenegaraan maupun kemasyarakatan.

“Selamat membaca”. Terima kasih.

xi

Daftar Isi

Sambutan Pimpinan MPR RI .................................................................... viSambutan Ketua Tim Kerja Kajian Sistem Ketatanegaraan ................ viiPengantar Redaksi ....................................................................................... ixDaftar Isi ....................................................................................................... xi

Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Perspektif Undang UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Oleh: Lukman Hakim Saifuddin ............................................................................. 01

Pancasila Sebagai Penguat NKRIOleh: Farhan Hamid ............................................................................................... 15

Pancasila, Tuhan Persepsi dan Kebhinekaan dalam NKRIOleh: Musa Asy’arie ............................................................................................... 25

Revitalisasi Pancasila dalam Perspektif Pembangunan Negara(NKRI)Oleh: Yudi Latif ....................................................................................................... 37

Revitalisasi Nilai Luhur Pancasila dalam Kehidupan NasionalOleh: Budi Susilo Soepandji ..................................................................................... 55

Aktualiasi GBHN dalam Sistem Perencanaan PembangunanNasionalOleh: Junjungan SBP .............................................................................................. 67

Urgensi Pemanfataan Teknologi Informasi Geospasial SebagaiStrategi Penguatan Sistem Pertahanan NKRI Menuju NegaraMaritim yang HandalOleh: Bahrul Ulum Annafi ..................................................................................... 81

xii

Reaktualisasi Pancasila Sebagai Modal Paradigmatik dalamMengukuhkan NKRI Sebagai Negara Maritim yang BerdaulatOleh: Amelia Sri Kusumadewi ................................................................................. 91

Relevansi Sosial-Intelektual Pancasila Sebagai Sarana ReintegrasiBangsa IndonesiaOleh: Danu Budi Iswara ........................................................................................105

Revitalisasi Pancasila Sebagai Kristalisasi Budaya Bangsa Indone-siaOleh: Daud Aris Tanudirjo .....................................................................................119

1EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Lukman Hakim Saifuddin1

AbstraksiUntuk memahami nilai-nilai Pancasila yang otentik, kita perlu menolehpada suasana kebatinan di saat sila-sila dalam Pancasila dirumuskan.Pergolakan revolusi yang memaksa melakukan beberapa kali pergantiankonstitusi hingga era reformasi yang melakukan perubahan konstitusi,sila-sila dalam Pancasila tidak mengalami perubahan. sehingga pengertianyang otentik tentang Pancasila harus digali dari pemikiran pendiri bangsayang merumuskan Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila yang palingotentik terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945/Konstitusi). Nilai-niai dasardalam Pancasila haruslah dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh,artinya makna dan fungsi fundamental dari masing-masing nilai tidaksaling terpisah, sebaliknya saling mengutuhkan satu sama lain, meskimasing-masing sudah punya keunggulannya tersendiri.

AbstractTo understand the values of the authentic Pancasila, we need to look at themystical atmosphere at the time Pancasila precepts were formulated. Revo-lutionary upheaval that forces the perform from several changes on the

REVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAMPERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

1 Wakil Ketua MPR-RI

2 EDISI 04/TAHUN 2012

constitutional reform to changes on the constitution; the Pancasila preceptsnever experienceany alteration. Therefore, authentic understanding ofPancasila should be digested from the thought of the founding fathers whoformulated the idea of Pancasila. The most authentic precepts in Pancasilafound in the Preamble of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945.The basic values in Pancasila should be understood as a whole, meaning;the significance and the fundamental functions of each value is not sepa-rated, and on the other hand it gives advantageous to each other, althougheach has had its own superiority.

Key Word: Pancasila, 1945 Constitution.

A. PENDAHULUANKita perlu mendiskusikan kembali

secara mendalam apa yang dimaksuddengan nilai-nilai Pancasila itu? Nilaiapakah yang terkandung dalam sila-sila dalam Pancasila? Dengan mema-hami nilai-nilai Pancasila, kita dapatmelakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai Pancasila secara tepat, benar,dan sesuai dengan konteks ruang danwaktu.Untuk memahami nilai-nilaiPancasila yang otentik, kita perlumenoleh pada suasana kebatinan disaat sila-sila dalam Pancasila di-rumuskan. Apalagi sejak Indonesiamerdeka, di tengah-tengah pergola-kan revolusi yang memaksa melaku-kan beberapa kali pergantian kon-stitusi hingga era reformasi yangmelakukan perubahan konstitusi,sila-sila dalam Pancasila tidak me-ngalami perubahan. Sehingga pe-ngertian yang otentik tentangPancasila harus digali dari pemikiranpendiri bangsa yang merumuskanPancasila. Selain itu, pemaknaan

nilai-nilai Pancasila juga harusmempertimbangkan pula pandanganyang jauh ke depan agar sila-siladalam Pancasila selalu sesuai dengankebutuhan ruang dan waktu.

Sila-sila dalam Pancasila yang pal-ing otentik terdapat dalam Pembuka-an Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 (UUD1945/Konstitusi). Reformasi yangbermuara pada perubahan konstitusiadalah bentuk konkret langkahrevitalisasi nilai-nilai Pancasila dalambentuk penjabaran normatif dalamnorma-norma konstitusi. Hal itudilakukan sebagai jawaban atasfenomena merosotnya penghayatandan pengamalan Pancasila yangditandai maraknya berbagai konfliksosial, pelanggaran HAM, korupsi,kemiskinan dan lain sebagainya,yang ditengarai karena adanyakesenjangan sistem tata norma di satusisi dan kenyataan sosial di sisi lain-nya. Nilai-nilai dasar yang tercantumdalam pembukaan UUD 1945 itu

3EDISI 04/TAHUN 2012

betapapun pentingnya, karena sifat-nya belum operasional memerlukanelaborasi atau penjabaran yang tepatdalam instrumen hukum yang lebihkongkret, yaitu UUD 1945 dan per-aturan perundangan-undangan dibawahnya.

Agar perubahan UUD mempunyaiarah, tujuan, dan batasan yang jelas,serta hasil yang memuaskan, MPRmerumuskan kesepakatan dasar yangmenjadi acuan dalam perubahanUUD. Kesepakatan dasar tersebutadalah :a. Tidak mengubah Pembukaan

UUD 1945;b. Tetap mempertahankan Negara

Kesatuan Republik Indonesia(NKRI);

c. Mempertegas sistem pemerin-tahan presidensial;

d. Penjelasan UUD 1945 ditiadakanserta hal-hal normatif dalamPenjelasan dimasukkan ke dalampasal-pasal;

e. Perubahan dilakukan dengancara addendum2.

Kesepakatan dasar untuk tidakmengubah Pembukaan UUD 1945

mempunyai makna sangat dalam.Dengan kesepakatan itu, berarti sila-sila dalam Pancasila tidak mengalamiperubahan. Pancasila sebagai dasardan falsafah bangsa dan negara jugadipertahankan. Dalam PembukaanUUD 1945 itu dikatakan bahwapengisian kemerdekaan, perjalananroda pemerintahan, kehidupankebangsaan dan kenegaraan, sebagai-mana juga perumusan pasal-pasalUUD 1945, harus berdasarkan kepadalima sila dalam Pancasila yaitu,ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,kerakyatan dan permusyawaratan,serta keadilan sosial3.

Isu lain terkait Pancasila di masaperubahan UUD 1945 adalah apakahPancasila cukup dimuat dalam Pem-bukaan UUD 1945 saja atau dimuatdi pasal-pasal/ batang tubuh sebagaipenegasan. Isu seputar ini berlang-sung cukup alot, karena di SidangParipurna MPR pun tidak men-dapatkan titik temu. Alasan fraksiyang mendukung bahwa Pancasilaperlu dimasukkan ke dalam batangtubuh berpandangan bahwa ketikaPancasila disepakati sebagai dasar

2 Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , Jakarta:Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, hlm. 4

3 Alinea keempat Pembukaan UUD menyatakan: “Kemudian daripada itu untuk membentuksuatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdas-kan kehidupanbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdeka-an, perdamaianabadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatuUndang­Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan NegaraRepublik Indonesia yang berkedaulat-an rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan YangMaha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yangdipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta denganmewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

4 EDISI 04/TAHUN 2012

negara, maka ia perlu juga dipertegasdalam pasal-pasal/batang tubuhsehingga lebih implementatif. Namun,kalangan yang menolak usulan ituberpandangan bahwa sesuai denganPasal 37 UUD 1945, objek perubahanitu adalah pasal-pasal atau batangtubuh UUD 1945. Dikuatirkan, jikasila-sila dalam Pancasila dimuatdalam batang tubuh atau pasal-pasal,maka ia akan terkena perubahan.Padahal kita bersepakat untuk tidakmengubah sama sekali kelima silayang menjadi dasar negara kita.Setelah melalui berbagai perdebatandan lobi, akhirnya muncul kesepa-katan bahwa Pancasila tetap ada diPembukaan UUD 1945 saja dan tidakperlu disebutkan lagi secara utuhdalam batang tubuh.

Revitalisasi nilai-nilai Pancasilahasil perubahan konstitusi mencakupsubstansi dan area yang mendasardan luas. Secara umum revitalisasi ituuntuk mengembalikan pancasilakepada fungsinya sebagai dasarnegara dan ideologi nasional, yaitumembangun kembali spirit nasio-nalisme, meneguhkan kedaulatanrakyat dan kedaulatan hukum,penghormatan HAM, menghapusotoritarianisme dan segala ketidak-adilan warisan masa lalu. Revitalisasijuga dimaksudkan untuk menjagaintegritas nasional dan menguatkankemampuan bangsa dalam menjawabtantangan globalisasi.

Cakupan materi Perubahan UUD1945 yang terpenting (Soewoto2004:

40) meliputi: (1) mengurangi ke-kuasaan Presiden dengan caramendistribusikan kekuasaan secaravertikal dan membagikan kekuasaansecara horizontal, (2) Mengubahkekuasaan yang sentralistik ke arahdesentralistik dengan otonomidaerah, (3) Meningkatkan peran DPRmelakukan pengawasan terhadapkekuasaan eksekutif, (4) Mengubahstruktur keanggotaan MPR danmenggunakan sistem bikameral, (5)Mengembalikan hak atas kedaulatanrakyat dengan pemilu langsung, (6)Menjaga kekuasaan yang seimbangdengan menerapkan mekanisme“check and balance system”, (7) Menatakembali sistem peradilan dan pranatalunak untuk memulihkan kepercaya-an terhadap penegak keadilan, (8)Konstitusi yang rinci memuat HAM,kewajiban penyelenggara negara danpembatasan kekuasaan.

B. PEMBAHASANNilai-nilai Pancasila diakui me-

miliki keunggulan. Sejumlah ahlibahkan menyebutkan keunggulanPancasila setara dengan ideologi-ideo­logi besar dunia, seperti Sosialis­me, Marxisme dan lain-lain. Pancasilamerupakan paduan unik antaramoralitas agama dan naturalismeiptek, atau Barat yang sekuler danTimur yang religius. Pancasila me-nyentuh dimensi lahir dan dimensibatin dari peradaban menusia.Artinya, manusia atau bangsa yangingin maju dan kuat hendaknya

5EDISI 04/TAHUN 2012

memadukan nilai religius denganiptek. Atau dengan kata lain, budayadan peradaban akan berkembangmenjadi unggul dan luhur bila di-dasarkan pada nilai-nilai moral agamadan ilmu pengetahuan/teknologi.

Nilai-niai dasar dalam Pancasilaharuslah dipahami sebagai satukesatuan, artinya makna dan fungsifundamental dari masing-masingnilai tidak saling terpisah, sebaliknyasaling mengutuhkan satu sama lain,meski masing-masing sudah punyakeunggulannya tersendiri. Namunkalau tidak dilakukan hal yangdemikian, kita khawatir pemahamanparsial yang mungkin muncul akanmembawa alam pikiran kita padasikap pemujaan atau penolakan yangberlebihan terhadap Pancasila.

Nilai dasar “Ketuhanan YangMaha Esa”, bersama dengan nilai-nilai dasar yang lainnya membentuksatu kesatuan dasar Negara RepublikIndonesia yang dikenal denganPancasila. Rumusan yang baik diberi-kan mengenai hal ini4. Bagi negaradan bangsa Indonesia, nilai “Ke-tuhanan Yang Maha Esa” adalahsebagai landasan atau acuan spiritualdalam kehidupan bermasyarakat danbernegara. Nilai “Kemanusiaan YangAdil dan Beradab”, sebagai landasanmoral dan etiknya. Sila “PersatuanIndonesia” sebagai acuan sosialnya,dan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh

Hikmat Kebijaksanaan dalam Per-musyawaratan Perwakilan”, sebagaiacuan politiknya, sementara “Ke-adilan Sosial bagi Seluruh Rakyat In-donesia”, sebagai tujuan bersamadalam bernegara yang harus di-wujudkan. Beranjak pada diskursusparadigmatik tersebut maka aktuali-sasi nilai-nilai Pancasila dapatdisarikan sebagai berikut ini :

1. Ketuhanan Yang Maha EsaPenggunaan istilah Ketuhanan

dalam sila “Ketuhanan Yang MahaEsa” mempunyai makna yang men-dalam, kata itu mengedepankan sub-stansi keberagamaan di atas egoismeagama atau egoisme kelompok-kelompok dalam agama. Prinsip Ke-tuhanan ini mengharuskan masing-masing orang Indonesia bertuhandengan Tuhannya sendiri, yangKristen menyembah Tuhan menurutpetunjuk Isa al-Masih, yang Islambertuhan menurut petunjuk NabiMuhammad SAW, dan seterusnya.Negara yang rakyatnya pluralagamanya ini menjamin tiap-tiaporangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang leluasa.

Bunyi sila-sila Pancasila dalamPiagam Jakarta, 22 Juni 1945, sebagaicikal bakal dari Pembukaan UUD1945 adalah: “Ketuhanan, dengankewajiban menjalankan syari’at Islambagi pemeluk-pemeluknya, menurut

4 Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam perspaktif Islam, Jakarta: PustakaAlvabet, 2010, hlm. 27

6 EDISI 04/TAHUN 2012

dasar kemanusiaan yang adil danberadab, Persatuan Indonesia, Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmatkebijaksanaan dalam Per-musya-waratan/Perwakilan; serta denganmewujudkan suatu keadilan sosialbagi seluruh Rakyat Indonesia5.”Dalam Sidang Badan PenyelidikUsaha Persiapan Kemerdekaan(BPUPK) yang kedua, 10-17 Juli 1945,Piagam Jakarta itu diputuskansebagai Rancangan PembukaanUUD 1945.

Di sore hari 17 Agustus 1945,Mohammad Hatta yang baru sajamemproklamasikan kemerdekaan In-donesia, menerima keberatan ataspemuatan kalimat “dengan kewajibanmenjalankan syari’at Islam bagipemeluk-pemeluknya”, karena Pem-bukaan UUD merupakan pokok daritatanan kebangsaan, sehingga harusberlaku untuk seluruh masyarakatIndonesia dan tidak boleh adarumusan yang hanya berlaku untukkelompok tertentu. Pada pagi hari 18Agustus 1945, sebelum sidang PanitiaPersiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI), Hatta mengajak Ki BagusHadikusumo, KH. Wahid Hasyim,Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr.Teuku Mohammad Hasan untukmengadakan rapat pendahuluan.Hanya dalam 15 menit urusan selesai.Mereka sepakat mengganti 7 kata itu

dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”sehingga sila-sila dalam Pancasilaberbunyi “Ketuhanan Yang MahaEsa, menurut dasar kemanusiaanyang adil dan beradab, PersatuanIndonesia6,…”. Pada Jam 10.00 WIB,18 Agustus 1945, rapat PPKI dimulai.Bung Karno membacakan Pembuka-an UUD 1945 sesuai dengan rumusanyang telah disepakati Hatta dengantokoh-tokoh Islam lainnya. Saatitulah, muncul usulan kata “menurutdasar” dalam kalimat “KetuhananYang Maha Esa, menurut dasarkemanusiaan yang adil dan ber-adab…” dihilangkan. Yang meng-usulkan tidak mengungkapkanalasan dan Bung Karno yang me-mimpin sidang juga menerima tanpakaifiyah (bertanya-tanya)7.

Patut diduga, usulan meng-hilangkan kata “menurut dasar” ituterjadi agar alinea keempat Pem-bukaan UUD 1945 lebih enak dibacadan didengar. Walau begitu, peng-hilangan kata “menurut dasar” itutidak boleh dimaknai bahwa “Ke-tuhanan Yang Maha Esa” merupa-kan satu sila yang berdiri sendiri,terpisah dengan sila lainnya. Sebalik-nya, sila pertama itu harus dimaknaisesuai dengan rumusan semula yaitu:“Ketuhanan Yang Maha Esa, me-nurut dasar kemanusiaan yang adildan beradab, Persatuan Indonesia,

5 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2004,hlm. 213-214.

6 Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, hlm. 458-560.7 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Op. Cit. hlm. 472-473.

7EDISI 04/TAHUN 2012

Kerakyatan yang dipimpin olehhikmat kebijaksanaan dalam Per-musyawaratan/Perwakilan; sertadengan mewujudkan suatu keadilansosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

Pemaknaan seperti itu dipertegasdalam Penjelasan UUD 1945 (II.Pokok-pokok Pikiran dalam Pem-bukaan, Angka 4) bahwa “Pokokpikiran yang keempat yang ter-kandung dalam Pembukaan ialahnegara berdasar atas Ketuhanan YangMaha Esa menurut dasar kemanusia-an yang adil dan beradab.” Pen-jelasan UUD 1945 memang tidakdigunakan lagi, namun untuk me-mahami Konstitusi itu kita harustetap merujuk pada Penjelasan ituyang dapat dikatakan sumber otentik.

Pemaknaan agar sila pertamaharus berpijak pada sila berikutnyaatau sebaliknya sangat pentingkarena kini kita mulai memisahkanantara nilai Ketuhanan dengan nilaikemanusiaan. Seakan-akan, Ke-tuhanan satu hal dan kemanusiaanhal lain. Keduanya tidak terpisahkansatu sama lain. Pemahaman di atasbersumber dari ajaran-ajaran agamayang berkembang di Indonesia,bahwa ketuhanan tidak boleh ter-pisah dengan kema­nusiaan. Dalamal-Qur’an, misalnya, sering disebut-kan “orang-orang yang beriman danberamal shaleh” secara beriringanyang bermakna iman tanpa kemanu-siaan akan percuma dan begitu pulasebaliknya. Anggota MPR yangterlibat dalam perubahan UUD 1945

tampaknya memahami pesan pentingdari nilai Ketuhanan yang harusberdasar kemanusaiaan tadi. Karenaitu, sebelum Bab XI Agama Pasal 29“(1) Negara berdasar atas KetuhananYang Maha Esa…” dibentuk Bab XAHak Asasi Manusia dari Pasal 28Asampai Pasal 28J. Ini berarti, pelak-sanaan Bab XI Agama harus selaluberpijak pada bab sebelumnya, yaituHak Asasi Manusia.

2. Kemanusiaan yang Adil danBeradabSila kedua dalam Pancasila, “Ke-

manusiaan yang Adil dan Beradab”,Kemanusiaan di sini didasarkan padakeadilan dan peradaban. Sebelumperubahan UUD 1945, sila Kemanu-siaan tidak mendapatkan penjabaranmemadai dalam batang tubuh UUD1945. Perubahan UUD 1945 memper-tegas nilai-nilai kemanusiaan denganmemasukkan Hak Asasi Manusiadalam bab tersendiri, yaitu Bab XAHak Asasi Manusia yang terdiri dari10 Pasal dan 24 ayat.

Pasal 28A sampai Pasal 28I me-muat hak-hak asasi manusia. Pasal-pasal itu lalu ditutup dengan Pasal28J ayat (1) dan (2) bahwa: (1) Setiaporang wajib menghormati hak asasimanusia orang lain dalam tertibkehidupa\n bermasyarakat, ber-bangsa, dan bernegara. (2) Dalammenjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepadapembatasan yang ditetapkan denganundang-undang dengan maksud

8 EDISI 04/TAHUN 2012

semata-mata untuk menjamin penga-kuan serta penghormatan atas hakdan kebebasan orang lain dan untukmemenuhi tuntutan yang adil sesuaidengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertib-an umum dalam suatu masyarakatdemokratis.” Ini berarti, pelaksanaanhak asasi harus diiringi dengankewajibannya. Pasal 28J ayat (2)merupakan terjemahan dari Pasal 29ayat (2) DUHAM, sehingga penyeim-bangan antara hak dan kewajibanjuga merupakan ketentuan HAMyang berlaku secara universal. Bunyidari Pasal 29 ayat(2) DUHAM adalah:“(2) Dalam menjalankan hak-hak dankebebasan-kebebasannya, setiap or-ang harus tunduk hanya pada pem-batasan-pembatasan yang ditetapkanoleh undang-undang yang tujuan-nya semata-mata untuk menjaminpengakuan serta penghormatan yangtepat terhadap hak-hak dan ke-bebasan-kebebasan orang lain, danuntuk memenuhi tuntutan moralitas,ketertiban dan kesejahteraan umumdalam suatu masyarakat yangdemokratis.”

3. Persatuan IndonesiaKata persatuan dalam dalam sila

ketiga “Persatuan Indonesia” harusditerjemahkan dengan NegaraKesatuan Republik Indonesia (NKRI).Hal ini karena suasana kebatinanpara pendiri bangsa saat merumus-kan sila “Persatuan Indonesia”dipenuhi dengan keinginan yang

kuat untuk membentuk negarakesatuan sesuai dengan pahamunitarisme. Sidang Badan PenyelidikUsaha Persiapan Kemerdekaan yangpertama, 29 Mei-1 Juni 1945 dan yangkedua 10-17 Juli 1945 menyepakatisecara mufakat tanpa voting bahwaIndonesia yang akan merdeka harusberbentuk negara kesatuan sesuaidengan paham unitarisme. Dalamrapat PPKI 18 Agustus 1945 bentuknegara kesatuan sesuai dengan pahamunitarisme disepakati secara mufakat,tanpa penolakan sama sekali.

Kata persatuan juga menggambar-kan konsep menyatunya unsur-unsur yang berbeda dalam satu deraplangkah bersama karena memilikiimpian atau cita-cita dan inginmencapainya secara bersama-samapula. Keikaan yang bergerak dinamisdalam kebhinnekaan dan sebaliknyakebhinnekaan tumbuh subur dalamkeikaan secara seimbang.

Sebelum Perubahan UUD 1945,salah satu kesepakatan dasar semuapihak yang terlibat di dalamnyaadalah mempertahankan NKRI.Prinsip negara kesatuan itu kemu-dian dipertegas dalam perubahanUUD 1945. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945menyatakan: “Negara Indonesia ialahNegara Kesatuan yang berbentukRepublik.” Pasal 18 ayat (1) UUD 1945juga menegaskan bahwa “NegaraKesatuan Republik Indonesia dibagiatas daerah-daerah provinsi dandaerah provinsi itu dibagi ataskabupaten dan kota, yang tiap-tiap

9EDISI 04/TAHUN 2012

propinsi, kabupaten, dan kota itumempunyai pemerintahan daerah,yang diatur dengan undang-undang.”Ketentuan itu lalu diperkuat lagimelalui Pasal 37 ayat (5) UUD 1945bahwa “Khusus mengenai bentukNegara Kesatuan Republik Indonesiatidak dapat dilakukanperubahan.”

4. Kerakyatan yang Dipimpin olehHikmat Kebijaksanaan dalamPermusyawaratan/ Perwakilan

Dalam sila keempat Pancasila, adadua kata kunci, yaitu kerakyatan danpermusyawaratan/perwaki lan.Kerakyatan sebagai dasar Negaraberarti bahwa kepentingan rakyatlahyang harus menjadi sumber inspirasiseluruh kebijakan negara. Konsepkerakyatan merupakan kebalikandari konsep pemerintahan/kerajaanfeodal yang lebih berpusat padakepentingan raja atau elit, ataupemerintahan kapitalis yang lebihmelayani kepentingan kelas kaya.Konsep kerakyatan kini lebih dikenaldengan konsep pemerintahan dimanakedaulatan tertingginya di tanganrakyat atau pemerintahan demokrasi.

Kongres Pancasila, 30 Mei-1 Juni2009, di Yogyakarta mengartikankerakyatan dengan penguatanelemen masyarakat sipil (masyarakatmadani atau civil society), lalu men-

syarah permusyawaratan/ perwakilansebagai perwujudan dari checks andbalances (saling kontrol dan mengim-bangi) sehingga masing-masingpihak selalu mengutamakan ke-daulatan rakyat.”Kerakyatan yangdipimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam permusyawaratan/perwakilan”menekankan urgensi penguatanmasyarakat sipil sebagai syarat bagiadanya permusyawaratan/perwakil-an, sehingga proses perumusankepentingan publik yang dilakukandalam sebuah permusyawaratan/perwakilan berjalan sesuai denganaspirasi rakyat serta tidak dibelokkanuntuk kepentingan lainnya8.

Perubahan UUD 1945 penuhdengan ketentuan yang menyatakanbahwa kepentingan rakyat berada diatas segala-galanya. Banyak sebutanyang bermakna rakyat dalam UUD1945, seperti setiap orang, setiapwarga, manusia dan kemanusiaan,penduduk, warga negara, masya-rakat, fakir miskin, anak-anak, hajathidup orang banyak, pelayananumum, nusa dan bangsa, serta lainsebagainya. Intinya, semua keten-tuan dalam UUD 1945, mulai dariPembukaan sampai Aturan Tam-bahan merupakan perintah untukmengutamakan kepentingan rakyatdi atas segalanya.

8 Kesimpulan dan Rekomendasi Kongres Pancasila dalam Proceeding Kongres Pancasila, Pancasiladalam Berbagai Perspektif, Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009, Jakarta: Sekretariat Jenderal danKepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, hlm. 59-60.

10 EDISI 04/TAHUN 2012

5. Keadilan Sosial bagi SeluruhRakyat Indonesia

Sila kelima “Keadilan Sosial bagiSeluruh Rakyat Indonesia”, di situada dua kata yang digabung, yaitukeadilan sosial. Jika dipisah, keadilandapat bersifat individualistik. Namunjika digabung, maka keadilan yangdiperjuangkan adalah keadilan yangmenyeluruh untuk semua golongandan kelompok. Ada dua unsur utamadalam keadilan. Pertama kesetaraandi muka hukum (equality before thelaw). Perbedaan suku, ras, budaya,agama, miskin, kaya, orang besar,kawula alit, dan semisalnya tidakboleh menjadi alasan untuk men-diskriminasikan orang lain. Unsurkeadilan lainnya adalah terkait hak-hak yang melekat secara kondrati dansosial pada setiap individu ataukelompok. Maka praksis keadilandirumuskan dengan terpenuhinyahak-hak bagi setiap yang empunya.Yang dimaksud pemilik hak di sinitidak terbatas pada manusia, tetapijuga binatang, tumbuh-tumbuhandan lingkungan semesta. Untukmanusia hak-hak yang melekatpadanya adalah HAM yang meliputihak-hak sipil, hak-hak ekonomi,hak-hak politik dan sosial budaya.Alam dan lingkungan juga memilikihak-hak yang harus dipenuhi,misalnya hak untuk dilestarikan,tidak dirusak dan lain sebagainya.

Pasal-pasal dalam UUD 1945menekankan keadilan dalam segalaaspek kehidupan. Spirit UUD 1945

bahwa Indonesia adalah negarahukum merupakan pernyataan yangtegas bahwa keadilan harus diwujud-kan di bumi Indonesia, karenahukum tanpa keadilan tidak mem-punyai makna apapun. Pasal 18 ayat(5) UUD 1945 bahwa “Pemerintahandaerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerin-tahan yang oleh undang-undangditentukan sebagai urusan Peme-rintah Pusat” merupakan pesan ke-adilan dalam bidang pemerintahan.Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa“Bumi dan air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya di-kuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar besar kemakmuranrakyat” merupakan pesan keadilandalam bidang ekonomi. Ringkasnya,seluruh muatan UUD 1945 memerin-tahkan perwujudan keadilan sosialdalam segala aspek kehidupan.

C. PENUTUPReformasi telah menuntaskan

agenda penjabaran nilai-nilaiPancasila dalam UUD 1945 melaluiPerubahan UUD 1945 yang ber-langsung selama 1999-2002. Saatnyanilai-nilai dan ide-ide yang terumus-kan di dalam Pancasila dan UUD 1945sungguh-sungguh diwujudkandalam praktik bernegara, yakniperumusan legislasi dalam peraturanperundang-undangan dan kebijakanoperasionalnya, serta implemen-tasinya secara konsisten dan ber-tanggung jawab dalam kehidupan

11EDISI 04/TAHUN 2012

berbangsa dan bernegara sehari-harinya.

Waktu terus bergerak maju, tigabelas tahun sudah derap langkahreformasi kita ayunkan, kondisibangsa kita masih jauh dari harapan.Korupsi yang dahulu dikutukbukannya menghilang, tetapi rasa-nya malah semakin membesar,sementara rakyat masih diderakemiskinan, gizi buruk dan ke-hidupan yang tak layak. Demikianjuga aksi kekerasan dan prilakuintoleran masih menjadi momok yangmengerikan di tengah masyarakat.

Era Reformasi sebagai antitesis era-era sebelumnya, mengkampanyekandemokratisasi dan anti otorita-rianisme tentunya tidak boleh jatuhterpuruk hanya karena sebab-sebabyang sama, yaitu menelantarkanPancasila. Pancasila dan UUD 1945tidak boleh hanya menjadi sekadarhiasan atau retorika, ia harussungguh-sungguh diamalkan dalamkehidupan nyata. Inilah momentumyang membuat konsep “Empat Pilar”(4-P), yang berupa Pancasila, UUD1945, NKRI dan Bhinneka TunggalIka, perlu dikampanyekan.

Berbeda dengan masa lalu yangmenjadikan Pancasila sebagai alatuntuk melanggengkan kekuasaan,yang mengakibatkan Pancasilacenderung menjadi ideologi tertutupdengan indoktrinasi P4-nya, PedomanPenghayatan dan PengamalanPancasila, di era Reformasi kampanye4-P mengedepankan aspek pem-

budayaan nilai-nilai Pancasila danUUD 1945, yang dilakukan melaluikegiatan sosialisasi, disseminasi,pendidikan dan semacamnya. Dengankegiatan ini diharapkan pada giliran-nya dapat mempengaruhi bangunanpola pikir, pola perilaku, pola sikap,dan adat kebiasaan sehari-harimasyarakat.

Berdasarkan tantangan-tan-tangan itu, Pimpinan MPR periode2009-2014 memandang pentingnyapembudayaan Pancasila denganmengemasnya dalam konsep 4-P,yaitu pembudayaan Pancasila besertanorma-norma derivatifnya yangutama, yang kemudian dikenal luasdengan 4 Pilar Kehidupan Berbangsadan Bernegara.

Pembudayaan Empat Pilar itumeliputi (1) Pancasila sebagai dasarnegara dan ideologi nasional, (2)Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945sebagai sumber hukum dalamkehidupan berbangsa dan bernegara,(3) NKRI sebagai konsensus bentuknegara yang harus dipertahankan,(4) Bhinneka Tunggal Ika sebagaikaidah hidup bersama dalam kema-jemukan yang harus diamalkan.

Selama hampir tiga tahun masapengamatan, sebagaimana terlihatdalam survei-survei, terakhir dilaku-kan oleh BPS setahun yang lalu,kenyataan menunjukkan kecende-rungan adanya Pancasila dan UUD1945 dilupakan, NKRI diperhadapkankembali dengan bentuk-bentuk

12 EDISI 04/TAHUN 2012

negara yang lain baik dari kananmaupun kiri tertentu, BhinnekaTunggal Ika juga terancam denganmunculnya egoisme dan intoleransipada sebagian kalangan di dalammasyarakat. Meski demikian, darihasil survey itu terlihat pulaantusiasme masyarakat terhadapPancasila, mereka berpendapatPancasila penting untuk dipertahan-kan, dan menginginkan intensitasnilai Pancasila di dalam kurikulumpelajaran. Fakta-fakta itulah tan-tangan yang memberi motivasi padapimpinan MPR dengan kemampuandan kewenangannya yang terbatastetap semangat pantang menyerahmenggelorakan pembudayaan 4 Pilarkehidupan berbangsa dan bernegaradi tengah-tengah masyarakat.

Menyadari betapa penting upayainternalisasi nilai-nilai 4 Pilar Bangsapada diri setiap warganegara ditengah era globalisasi, dan dikaitkandengan kenyataan beratnya medan dilapangan akibat luasnya wilayahgeografis dan besarnya ragam seg-mentasi masyarakat, MPR melihatpentingnya ada lembaga khususdengan kewenangan besar yang

khusus bertugas melakukan kajian,pemasyarakatan, pendidikan, danpembudayaan 4 Pilar secara lebihsistematis, terstruktur, dan massif kesegenap lapisan masyarakat.

Gagasan Pimpinan MPR ini men-dapat tanggapan positif dari Presidensaat dijumpai Pimpinan MPR diIstana, juga dari para pimpinanlembaga negara dalam pertemuankonsultasi antar mereka. MPR tengahmelakukan serangkain kegiatan semi-nar dan focus group discussion yangmelibatkan berbagai lembaga negara,akademisi, dan tokoh masyarakat,guna menyerap aspirasi sekaligusmengkaji urgensi dan kelayakanlembaga khusus tersebut. Ide pem-bentukan lembaga khusus yangmendapat tanggapan positif darimasyarakat luas ini harus terusdimatangkan. Tapi kita dihadapkandengan pilihan-pilihan yang tidaksederhana, apakah akan membentuklembaga baru ditengah-tengahkritikan yang menentang gemarnyakita membentuk lembaga-lembagabaru, atau memanfaatkan lembaga/badan yang sudah ada dengan me-nambah tugas dan kewenangannya.

13EDISI 04/TAHUN 2012

DAFTAR PUSTAKA

Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: SekretariatJenderal MPR RI.

Masdar Farid Mas’udi, 2010, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam perspaktif Is-lam, Jakarta: Pustaka Alvabet.

Mohammad Hatta, 1979, Memoir, Jakarta: Tintamas.

Proceeding Kongres Pancasila, 2009, Pancasila dalam Berbagai Perspektif,Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009, Jakarta: Sekretariat Jenderal danKepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

RM. A. B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: BadanPenerbit FHUI.

14 EDISI 04/TAHUN 2012

15EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Ahmad Farhan Hamid1

AbstraksiPancasila selain sebagai dasar negara, juga menjadi ideologi yangmengilhami sikap, perilaku, bahkan karakter bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut, mutlak dimiliki setiapinsan Indonesia, khususnya dalam penguatan menjaga keutuhan negarakesatuan Republik Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilaiyang digali dari kearifan moral dan etika bangsa yang dirangkum dalampemikiran para founding fathers Indonesia. Kesadaran dan tanggung jawabuntuk menghadapi rentannya beragam konflik yang dapat menganggupersatuan bangsa, bukan hanya dibebankan kepada pemerintah saja namunkepada seluruh bangsa Indonesia. Pancasila sebagai penguat NegaraKesatuan Republik Indonesia adalah tanggung jawab bersama anakbangsa, bukan menjadi tanggung jawab pemerintah namun menjaditanggung jawab seluruh masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila,khususnya sila ‘Persatuan Indonesia’ harus dapat dipahami dan dimaknaisebagai semangat untuk memelihara keharmonisan dalam kemajemukanbangsa Indonesia.

PANCASILASEBAGAI PENGUAT NKRI

1 Wakil Ketua MPR RI Periode 2009-2014

16 EDISI 04/TAHUN 2012

AbstractPancasila is not only the fundamental of state; it is also the ideology inspir-ing the attitudes, behaviors, and even the characters of the nation of Indone-sia. The values contained in Pancasila are, absolutely owned by everyIndonesian, particularly in the process of strengthening the maintainance ofthe integrity of the unitary Republic of Indonesia. The values Pancasilaare the values digested from the wisdom of the nation’s morals and ethicssummarizedin the thinking of the founding fathers of Indonesia .Aware-ness and responsibility to deal with the vulnerability of various conflictsthat can disrupt the unity of the nation; are not merely burdened by thegovernment alone, but to the entire nation of Indonesia. Pancasila as thereinforcement of the Indonesian Republic is a responsibility of the nationand the next generation of the nation,it is not the government’s responsibil-ity but the responsibility of all Indonesian people. The values of Pancasila,especially sila (verse)‘unity of Indonesia’ should be understood and inter-preted as a spirit to maintain harmony in diversity of Indonesia.

Key Word: Pancasila, NKRI

A. PENDAHULUANIndonesia merupakan negara

bangsa yang lahir dari proses per-juangan panjang. Langkah per-juangan itu pun tidak serta mertaberhenti pada momentum proklamasikemerdekaan, namun akan bergulirhingga cita-cita mencapai masyarakatyang adil, makmur, dan sejahteradapat terwujud. Sehingga apa yangtelah dirumuskan dan diwariskandari para founding fathers Indonesiasebagai sebuah dasar negara (philo-sophische grondslaag) yang dikenalsebagai Pancasila, menjadi landasanlangkah seluruh anak bangsa dalamrangka menjaga kemerdekaan danmembangun negara demi keberlang-sungan hidup seluruh masyarakat

Indonesia. Hal itu terangkum dalamAlinea ke-4 Pembukaan UUD NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, yaitumemberikan perlindungan kepadamasyarakat, memberikan kesejah-teraan, memberikan pendidikan, danmemberikan kontribusi bagi tegak-nya ketertiban dunia. Cara untukmencapainya, ialah melalui landasanatau dasar ketuhanan, dasar kema-nusiaan, dasar persatuan, dasarmusyawarah, dan dasar keadilansosial. Lima dasar ini lah yangdisebut sebagai Pancasila.

Pancasila selain sebagai dasarnegara, juga menjadi ideologi yangmengilhami sikap, perilaku, bahkankarakter bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Panca-

17EDISI 04/TAHUN 2012

sila tersebut, mutlak dimiliki setiapinsan Indonesia, khususnya dalampenguatan menjaga keutuhan negarakesatuan Republik Indonesia. Tan-tangan Indonesia di tengah arusglobalisasi membutuhkan semangatdan tekad untuk menjaga keutuhannegara kesatuan Republik Indonesia.Hilangnya batas-batas antar negaradi era globalisasi dan perdaganganbebas, patut mendapatkan perhatianbesar bagi bangsa Indonesia yangmultikultur, multietnik, dan multi-religi. Pentingnya menjaga NegaraKesatuan Republik Indonesia adalahamanah dari Pancasila itu sendiri,yaitu sila ke-3 ‘Persatuan Indonesia,’maupun Pasal 1 Ayat 1 UUD Tahun1945, berbunyi ‘Negara Indonesiaialah Negara Kesatuan, yang ber-bentuk Republik.’ Amanah NegaraKesatuan tersebut telah terbuktiterjaga dalam perjalanan sejarahbangsa Indonesia. Pada tanggal 27Desember 1949, Indonesia memilikibentuk serikat, yaitu Republik Indo-nesia Serikat. Namun pada tanggal17 Agustus 1950, negara-negarabagian menyatukan diri kembalimenjadi Republik Indonesia.

Kembalinya RIS menjadi NegaraKesatuan Republik Indonesia, meru-pakan bukti bahwa bangsa Indonesiamemiliki cita-cita bersama sebagai-mana tertuang dalam PembukaanUUD Tahun 1945, yang tidak akantercapai tanpa nilai-nilai persatuandan kesatuan bangsa. Kesaktian akanhakikat yang terkandung dalam

Pancasila sebagai ideologi negaratelah teruji mampu dan tangguhmelawan politik devide et impera, peme-rintahan kolonial Hindia-Belanda.Sehingga di era globalisasi ini, bangsaIndonesia harus dapat menumbuh-kan kembali semangat dan tekadmenjaga keutuhan Negara KesatuanRepublik Indonesia. Praktek sentra-lisasi kekuasaan pada masa pemerin-tahan Orde Baru yang memarjinal-isasi kesejahteraan daerah memangsudah ditinggalkan dengan adanyasistem otonomi daerah, sebagaimanatertuang dalam Pasal 18, Pasal 18A,dan Pasal 18B UUD Tahun 1945. Akantetapi nilai-nilai Pancasila khususnyasemangat dari persatuan Indonesiaharus senantiasa menjadi penguatwujud dari negara itu sendiri. Se-hingga setiap masyarakat senantiasamemegang teguh nilai-nilai Pancasilademi menjaga keharmonisan dantoleransi antar warga negara demimemelihara stabilitas nasional.Muara dari stabilitas nasional ialahkondusifitas negara Indonesia untukmelaksanakan pem-bangunan demimengapai kesejahteraan yang ber-keadilan bagi seluruh bangsa Indo-nesia.

B. PEMBAHASAN1. Pancasila sebagai Buah Pemi-

kiran Pendiri Republik IndonesiaNilai-nilai Pancasila merupakan

nilai-nilai yang digali dari kearifanmoral dan etika bangsa yang dirang-kum dalam pemikiran para founding

18 EDISI 04/TAHUN 2012

fathers Indonesia. Setiap sila atau dasaryang ada di dalam Pancasila, yaitunilai-nilai yang terkandung didalam-nya merupakan warisan kebudayaanbangsa Indonesia sendiri. Unsur ke-tuhanan dapat dicermati melaluiupacara kenduri pada masa RajaMulawarman (Kerajaan Hindu Kutai-Kertanegara) sebagai wujud syukurterhadap sang pencipta, demikianhalnya Upacara Sekatenan dariKerajaan Demak. Unsur kemanusiaanyang adil dan beradab dapat dilihatdari sistem negara bangsa (kedatuan)Kerajaan Sriwijaya pada masaWangsa-Syailendra. Unsur persatuandapat dilihat pula melalui KerajaanMajapahit, melalui Sumpah PalapaGajah Mada. Demikian pula unsurmusyawarah mufakat, sudah lamadimiliki dalam budaya masyarakatJawa seperti rembugan, rebung tuo, ataurembug desa. Sedangkan unsur ke-sejahteraan sosial dapat dilihat dariupacara adat panen di Suku Sundaseperti Seren Taun, maupun SukuMakassar yang melakukan upacarapanen dengan sebutan Sao-raja.

Pada sudut pandang yang lain,nilai-nilai Pancasila merupakan buahpikiran dari para pendiri bangsayang merumuskan jiwa nasionalisme,patriotisme, bahkan unsur religiu-sitasnya menjadi intisari sebuahdasar/ideologi bernegara. Ide-idemengenai dasar negara (philosophischegrondslaag) muncul melalui pemikirandari para pendiri bangsa dalamSidang BPUPK(I), antara lain seperti

Prof. Dr. Supomo, Mr. Moh. Yamin,Mr. Moh Hatta, dan Ir. Sekarno.Beberapa hal yang diutarakan yaitu,Prof.Dr. Supomo menyatakan bahwaIndonesia hendaknya merupakannegara totaliter atau integralistik.Beliau mengemukakan pula mengenainegara yang bersifat sekuler, negaraharus memiliki badan permusya-waratan, sistem ekonomi Indonesiahendaknya berdasarkan asas keke-luargaan, tolong-menolong, dankooperasi, serta Indonesia berdasaratas semangat kebudayaan Indonesiaasli. Prof. Dr. Supomo menolak aliranindividualisme, liberalisme, Marx, danLenin, sebagai dasar negara Indone-sia, dan cenderung kepada negarayang integralistik, yaitu negara yangbersatu dengan seluruh rakyatnya,yang mengatasi seluruh golongan-golongan.

Moh Yamin mengemukakan dasarnegara dalam lima sila, yaitu perikebangsaan, peri kemanusiaan, periketuhanan, peri kerakyatan, dankesejahteraan rakyat. SedangkanMoh Hatta menitik beratkan dasarnegara mengikuti Revolusi Perancisserta Deklarasi Hak Asasi Manusia diAmerika Serikat. Kedua-duanyaadalah sesuatu yang mengutamakanpenghargaan terhadap hak-hakWarga Negara, yang pada dasarnyalebih dekat dengan teori indivi-dualistik. Menurutnya kalau hak-hak rakyat untuk mengeluarkansuara tidak dijamin maka mungkinakan terjadi disiplin buta, asal ikut

19EDISI 04/TAHUN 2012

pemimpin saja. Moh. Hatta meng-usulkan agar hak-hak rakyat dican-tumkan dalam konstitusi, seperti hakmenyatakan pendapat dengan lisandan tulisan, dan hak bersidang/berkumpul. Ir. Soekarno dalampidatonya pada tanggal 1 Juni 1945mengemukakan pemikirannya me-ngenai dasar negara ke dalam limasila, yaituNasionalisme (kebangsaanIndonesia), Internasionalisme (periKemanusiaan), Mufakat (demokrasi),Kesejahteraan sosial, dan KetuhananYang Maha Esa (Ketuhanan YangBerkebudayaan). Dari kelima rumus-an untuk dasar negara Indonesiatersebut kemudian diusulkan agardiberi nama “Pancasila” atas saransalah seorang ahli bahasa yang meru-pakan teman beliau. Ir. Soekarnomengusulkan agar Pancasila dijadi-kan dasar filsafat negara dan pan-dangan hidup bangsa Indonesia atau’Philosophische gronslag’ yang merupa-kan pandangan dunia setingkatdengan aliran-aliran besar dunia(weltanschauung) seperti liberalisme,komunisme, chauvinisme, kosmopo-litisme, maupun San Min Chui.

Sidang BPUPK(I) yang digelarsejak tanggal 29 Mei sampai 1 Juni1945 dilanjutkan kembali untukmelakukan perumusan dasar negaraIndonesia oleh Panitia Sembilan yangterdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta,AA. Maramis, Abikusno Tjokrosurjoso,K.H. Wachid Hasjim, H. Agus Salim,A. Kahar Muzakir, Achmad Subar-djo, dan Moh. Yamin. Pada tanggal

22 Juni Panitia Sembilan merumus-kan dasar negara dalam ‘piagamJakarta’/Jakarta Charter yang ber-bunyi, Ketuhanan dengan kewajibanmenjalankan syariat Islam bagipemeluk-pemeluknya, Kemanu-siaanyang adil dan beradab, PersatuanIndonesia, Kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan perwakilan, danKeadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia. Namun hasil rumusantersebut pada tanggal 18 Agustus1945 muncul penolakan dari kalang-an masyarakat Indonesia Timur yangdipimpin Latuharhary mengenai kata‘dengan kewajiban menjalankansyariat Islam bagi pemeluk-peme-luknya.’

Moh Hatta yang menerima usulanperubahan tersebut, setelah memintapertimbangan dari H. Agus Salimdan K.H. Wachid Hasjim, akhirnyamenghapus tujuh kata tersebut danmengantinya menjadi ‘KetuhananYang Maha Esa.’ Perjalanan peru-musan dasar negara yang disebutsebagai Pancasila akhirnya disahkanpada tanggal 18 Agustus 1945.Meskipun dalam perjalanannya,perumusan Pancasila mengalamidinamika, namun para founding fatherslebih mengutamakan kepentinganseluruh bangsa Indonesia. Merekasangat menyadari kebutuhan per-satuan dan toleransi demi mencapaitujuan yang lebih besar, yaitu masadepan bangsa dan negara Indonesia.Sikap toleransi yang ditunjukan para

20 EDISI 04/TAHUN 2012

pendiri republik memberikan maknabahwa persatuan dan kesatuan yangutuh lebih utama ketimbang kepen-tingan kelompok atau golongan,terlebih lagi dalam mewujudkannegara merdeka membutuhkansimpul kebersamaan agar cita-citakemerdekaan dan lepas dari belenggupenjajahan dapat segera tercapai.

2. Persatuan Indonesia sebagaiTanggung Jawab Menjaga Ke-utuhan NKRI

Pancasila sebagai buah pikiran,amanah, serta warisan luhur daripendiri negara Indonesia bukansekedar dasar negara tanpa diterap-kan nilai-nilainya dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Pada eraglobalisasi dan perdagangan bebasini, justru nilai-nilai Pancasila meru-pakan alat filter/ penyaring sekaliguskarakter/ jiwa bangsa dalam arusprogresifitas peradaban dunia.Bentuk-bentuk kebebasan yangmengatasnamakan hak individu danazasi manusia, tidak serta mertamenjadi eforia tanpa memperhatikanlingkungan dan hak orang lain.Pancasila memberikan panduanbahwa kebebasan setiap individutidak boleh bertentangan dengan hakorang lain, sehingga kebebasan punterikat dengan tanggung jawab,terikat dengan ketentuan hukum for-mal, adat, maupun nilai-nilai agamayang juga diakomodir di negara In-donesia. Bangsa yang besar danmultidimensi seperti Indonesia,

sangat rentan dengan isu-isu ke-bebasan yang mengatasnamakankepentingan Suku, Agama, maupunGolongan. Sehingga Pancasilakhususnya nilai Persatuan Indone-sia menjadi keniscayaan bagi setiapinsan Indonesia untuk sadar danbertanggung jawab memeliharanyademi menjaga keutuhan bangsa dannegara kesatuan Republik Indonesia.

Tidak jarang bangsa Indonesiamengalami konflik yang bersifatvertikal maupun horizontal. Konflikvertikal ialah konflik antara masya-rakat dengan pemerintah, sedangkankonflik horizontal biasanya terjadiantar kelompok masyarakat. Sebagaicontoh ialah masalah Agraria yangterkait dengan pelaksanaan dari Pasal33 ayat 3 UUD 1945 dan UU No. 5Tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok Agraria justru memicu konflik.Pengurusan otonomi daerah yangtidak berkeadilan memicu ekspolitasidan regulasi terhadap pertambangan,perkebunan dan kehutanan. Peme-rintah daerah melakukan pembukaanproyek dengan merampas hak-hakmasyarakat adat dan mengabaikanhak masyarakat. Sumber kehidupanmasyarakat daerah yang bergantungpada hasil hutan dan pertanianterancam dengan eksploitasi terusmenerus. Komisi Nasional HAK AsasiManusia (Komnas HAM) telahmenghimpun bahwa sistem pende-katan dalam penyelesaian konflik daripemerintah daerah yang tidakmelibatkan masyarakat pemilik lahan

21EDISI 04/TAHUN 2012

menimbulkan persoalan. Pemerintahcenderung menggunakan kekuatanmiliter untuk melakukan represiketimbang dialog yang mengedepan-kan musyarawah. Sementara masya-rakat semakin tersingkir dengan tidakadanya dukungan dari pemerintah.

Kasus yang terjadi di Bima antaramasyarakat dengan PT Sumber Min-eral Nusantara di Sumbawa, NusaTenggara Barat (NTB) merupakanbukti bahwa pemerintah daerah tidakberpihak pada kepentingan masya-rakat dengan tetap membuka ijineksplorasi. Hal ini memicu per-lawanan cukup keras dari masya-rakat setelah sebelumnya pemerintahdengan menggunakan tangan aparatmembubarkan secara paksa per-lawanan masyarakat di pelabuhanSape. Demikian pula konflik Mesujiyang terungkap akhir tahun 2011berawal dari ketidakberesan peme-rintah dan Badan PertanahanNasional (BPN), dalam mengaturkepemilikan lahan antara perusahaandan rakyat. Ditambah lagi denganketerlibatan aparat keamanan yangmelakukan pengamanan dengancara-cara yang tidak berpihak kepadawarga sekitar, maka tidak heran jikakemudian sejumlah korban meninggaldan luka-luka berjatuhan. Data yangdihimpun oleh Wahana LingkunganHidup Indonesia (WALHI) padatahun 2011 terdapat sekitar 103 kasussengketa lahan antara perusahaandan warga sekitar yang menyebab-kan 12 orang meninggal dunia dan

lebih dari 60 orang menjadi korbankekerasan seperti penembakan. Selainitu persoalan agraria telah memicukenaikan harga pangan, harga ke-butuhan pokok meningkat tetapipemerintah tidak memberikan per-hatian terhadap kebutuhan pupukdan pertanian. Masalah agrariadengan tidak berpihaknya pemerintahterhadap kepemilikan tanah olehpetani menyebabkan semakin sempit-nya lahan pertanian sehingga komo-ditas pangan sangat rentan dimain-kan para spekulan.

Konflik yang juga pernah terjadidan rentan ialah konflik antar warganegara. Sebagai contoh, ialah konflikdi Cikeusik-Pandeglang yang tidak-lah semata-mata karena adanyaperbedaan dalam hal kepercayaan.Kecemburuan sosial yang disebabkanoleh perbedaan struktur sosialmasyarakat dapat saja menjadipemicunya. Kelompok Ahmadiyahdiluar paradigma agama, dipandangdalam konteks ekonomi, bahwasebagian besar kelompok Ahmadiyahini hidup dalam kondisi ekonomiyang sedikit lebih mapan dibanding-kan masyarakat diluar kelompoknya.Kondisi ketimpangan sosial ekonomiini akan mendorong timbulnyakekerasaan dalam masyarakat. Selainitu juga kekerasan dalam konflikhorisontal dapat terjadi manakalakontrol sosial yang dilakukan olehaparat penegak hukum lemah.Peristiwa Cikeusik Pandeglang danTumenggung merupakan contoh

22 EDISI 04/TAHUN 2012

dari hal tersebut. Aparat penegakhukum memberikan kesan seolah-olah terlihat tidak berdaya meredakankonflik massa.

Kesadaran dan tanggung jawabuntuk menghadapi rentannyaberagam konflik yang dapat meng-ganggu persatuan bangsa, bukanhanya dibebankan kepada pemerin-tah saja namun kepada seluruhbangsa Indonesia. Namun tugasbesar yang memang dimiliki peme-rintah maupun tokoh masyarakatialah memasyarakatkan nilai-nilaiPancasila kepada masyarakat Indone-sia. Berbagai gejolak telah terjadisebagai akibat misalnya dalam penyu-sunan perundang-undangan, per-aturan, pembagian hasil eksploitasikekayaan daerah dan lain-lain harusdijadikan pelajaran berharga. Jika halseperti ini selalu diperhatikan dalammengambil kebijakan, maka inilahartinya kesatuan dan persatuanbenar-benar dianggap sebagai hargamati. Selain itu, tentu masih banyaklagi media atau instrument perekatuntuk menjaga persatuan dankesatuan bangsa, mulai dari yangamat sederhana hingga yang bersifatmendasar. Yang sederhana misalnyamelalui kegiatan olah raga, keseniandan lain-lain. Kebanggaan bersamabisa ditumbuhkan misalnya melaluiprestasi olah raga tingkat inter-nasional. Perekat persatuan yangbersifat nasional, misalnya dalambentuk organisasi, baik profesi, sosial,maupun keagamaan.

Bangsa ini misalnya juga bisadisatukan melalui organisasi ke-agamaan, seperti NU, Muhammadiyah,dan lain-lain. Orang dari berbagaisuku atau pulau menjadi merasa satu,oleh karena memiliki ikatan keber-samaan di organisasi social, termasukkeagamaan itu. Semua itu perludipelihara sebaik-baiknya. Pendekatanlain, yang tidak boleh dianggapsederhana adalah melalui pendidikandalam waktu yang panjang, ialahmelalui pendidikan kewarganegara-an. Melalui pendidikan ini sejak dinianak-anak sudah diperkenalkan danditanamkan rasa bangga dan men-cintai keanekaragaman itu. Pendidi-kan multicultural perlu dikembang-kan secara terus menerus. Hidupbersama dengan keanekaragamansuku, bahasa, budaya, agama danlain-lain memerlukan kesediaansaling untuk menerima dan membersecara adil dan jujur. Agama, tidakterkecuali Islam mengajarkan per-satuan. Bahwa manusia diciptakandalam keanekaragaman, terdiri ataslaki-laki dan perempuan, berbagaisuku yang beraneka ragam jenisnya,yang dari semua itu diharapkan agarsaling mengenal. Selanjutnya, merekajuga agar saling berupaya melakukanhal terbaik untuk semuanya.

C. PENUTUPPancasila sebagai penguat Negara

Kesatuan Republik Indonesia adalahtanggung jawab bersama anakbangsa, bukan menjadi tanggung

23EDISI 04/TAHUN 2012

jawab pemerintah namun menjaditanggung jawab seluruh masyarakatIndonesia. Nilai-nilai Pancasila,khususnya sila ‘Persatuan Indonesia’harus dapat dipahami dan dimaknaisebagai semangat untuk memeliharakeharmonisan dalam kemajemukanbangsa Indonesia. Bangsa ini me-miliki lambang berupa BurungGaruda dengan memegang tulisanBhineka Tunggal Ika. Negara inimemiliki bendera berwarna merahputih, lagu kebangsaan IndonesiaRaya, dan bahasa persatuan BahasaIndonesia. Melalui lambang atau jar-gon ini warga negara menjadi banggadan sekaligus merasa satu. Akantetapi hal yang perlu diingat bahwamasing-masing bagian juga memilikiidentitas yangt perlu diakui dandijadikan kebanggaan.

Identitas masing-masing bagianyang berbeda perlu diakui eksistensi-nya, dihargai dan bahkan harusdijadikan kebanggaan bersama.Bangsa Indonesia adalah merupakankumpulan dari suku Papua, Makassar,Kalimantan, Nusa Tenggara, Jawa,Sumatera dan lain-lain yang banyaksekali jumlahnya. Sebagai konse-kuensi dari pengakuan itu, makaharus dibangun rasa bangga danmenghargai tatkala saudara-saudaraPapua menggunakan bahasa suku-nya, dan pakaian adatnya, termasuktradisinya yang lain. Sikap yangsama juga harus diberikan tatkala

suku Jawa menggunakan bahasa,pakaian dan juga memelihara adatistiadatnya. Sikap serupa juga di-berikan kepada saudara-saudarasuku-suku di Kalimantan, Sulawesi,sumatera dan lain-lain.

Identitas nasional yang dikem-bangkan tidak perlu menghilangkanidentitas lokal. Suku-suku di Papuatidak perlu identitasnya diubah men-jadi seperti orang Jawa dan begitupula sebaliknya. Orang Maduraharus dibiarkan saja berpakaian alaMadura. Demikian pula orang Bali,Lombok, Sumbawa dan seterusnya.Mereka harus diberikan ruang untukberkreasi sebagaimana adanya.Masing-masing suku tentu memilikirasa, identitas atau budaya-nyasendiri-sendiri. Hal-hal seperti inilahsesungguhnya yang perlu dikem-bangkan tatkala bangsa ini menjagake-Bhinekaannya. Beragam konflikyang pernah terjadi harus menjadipelajaran berharga bagi bangsa Indo-nesia. Demikian pula potensi-potensikonflik harus dapat segera dipadam-kan agar kondusifitas negara Indo-nesia dalam kegiatan pembangunandan investasi berjalan dengan baiktanpa ada gangguan. Stabilitasnegara yang damai, per-satuan dankesatuan dari warga negara, sertakeutuhan lingkungan yang terjagadengan baik adalah syarat bagi ter-wujudnya harmonisasi negara dalammengelola pembangunan.

24 EDISI 04/TAHUN 2012

25EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Musa Asy’arie

AbstraksiKetika kita berbicara tentang sila pertama dalam Pancasila yaitu KetuhananYang Maha Esa, maka mau tidak mau kita akan membicarakan masalahagama, karena ketuhanan adalah sesuatu yang fundamental dalam agama,dan agama tanpa visi ketuhanan atau teologi tidaklah mungkin, bahkanvisi ketuhanan dalam agama pada dasarnya menyangkut hal yang prinsipdalam beragama yaitu keimanan dan kepasrahan. Radikalisme keagamaansebenarnya muncul sebagai wujud solidaritas sosial untuk melawankesenjangan ekonomi dan politik yang terjadi dalam masyarakat. Dalamkonteks Tuhan, maka persepsi tentang Tuhan pasti bukan Tuhan itu sendiri,karena Tuhan adalah absolute sedangkan persepsi tentang Tuhan adalahrelatif. Pancasila selama ini hanya dijadikan slogan, seperti ruang kosongyang bisa diisi dengan apa saja yang dimaui oleh penguasa. Pancasilaseperti kepala tanpa badan. Ideologi memang memerlukan perangkatteoritik, meliputi metodologi dan teknologi yang membuat Pancasila bisadijabarkan secara konkret dan terukur dalam realitas kehidupan berbangsadan bernegara yang adil dan makmur.

AbstractWhen we discuss about the first principle of Pancasila, namely Belief inGod Almighty, then inevitably we will discuss the issue of religion, becausethe divine is a fundamental thing in religion, and religion without a vision of

PANCASILA,TUHAN PERSEPSIDAN KEBHINEKAAN DALAM NKRI

26 EDISI 04/TAHUN 2012

divinity or theology is impossible, even the vision of the divine in the religionare basically regarding with the principles of religion, namely faith andsubmission. Religious Radicalism in fact emerged as a form of social soli-darity against the political and economic discrepency in society. In the con-text of God, then the perception of God is certainly not God Himself, be-cause God is absolute, while the perception of God is relative. Pancasila allthis time, is only used as a slogan, such as an empty space that can befilled with anything that is wished by the rulers. Pancasila is like a headwithout a body. Ideology does require theoretical tools, including method-ologies and technologies that makes it be able to be described concretely andmeasurable in the reality of life of the nationhood and statehood fairly andprosperously.

Key Word: Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika

A. PENDAHULUANKetika kita berbicara tentang sila

pertama dalam Pancasila yaituKetuhanan Yang Maha Esa, makamau tidak mau kita akan mem-bicarakan masalah agama, karenaketuhanan adalah sesuatu yang fun-damental dalam agama, dan agamatanpa visi ketuhanan atau teologitidaklah mungkin, bahkan visiketuhanan dalam agama padadasarnya menyangkut hal yangprinsip dalam beragama yaitukeimanan dan kepasrahan. Dalamperkembangannya ketika firmanTuhan diturunkan melalui seseorangyang dipilih-Nya, dan kemudiandiikuti oleh sekelompok orang dalamkehidupan yang terus berubah, makaagama akan menjadi budaya, menjadicara hidup komunitas budaya, dandi mana agama memberikan nilai-nilai yang menjadi landasan hidup

bagi kehidupan sosial budaya masya-rakat, maka agama akan berkembangmenjadi institusi sosial dan budayayang memperkuat dan berbasis padasolidaritas sosial umatnya.

Ketika itulah sebenarnya agamaitu telah menjadi suatu institusi sosialbudaya, dan mau tidak mau, telahmenyeretnya masuk dan terlibatdalam realitas kehidupan yang didalamnya terdapat pluralitas, konflikdan perubahan yang terus menerus.Maka realitas plural pun hadir sebagaisuatu keniscayaan dalam beragamayang tidak bisa dihindarkan. Akibat-nya agama sebagai institusi sosialbudaya pun terlibat dalam konflikkepentingan politik dan kekuasaanyang seringkali mengambil bentukkekerasan.Keanekaragaman, konflik,perubahan dan kebaruan terusberlangsung dalam sejarah kema-nusiaan di mana pun dan kapan pun.

27EDISI 04/TAHUN 2012

Keanekaragaman beragama adalahanak kandung yang sah dalamkehidupan yang tidak bisa ditolakoleh siapa pun, baik secara internaldalam kehidupan satu agama itusendiri, maupun dalam kehidupaneksternal yang menegaskan adanyaberbagai agama yang ada dalamkehidupan masyarakat.

Kita boleh mengatakan bahwaagama itu mutlak, karena diyakinidatangnya dari Tuhan, tetapi ketikaagama itu telah melembaga dalamsuatu institusi sosial budaya, makakemutlakan agama itu tidak ada lagi,karena sudah menjadi pemahamanyang bersifat institusional dan sangatdipengaruhi oleh kepentingan insti-tusinya (sosial, politik, ekonomi danbudaya) dan tingkat kemampuaninteleknya (pendidikannya), dansemuanya itu sesungguhnya tidakpernah bisa menempati suatu ke-mutlakan.

Radikalisme keagamaan sebenar-nya muncul sebagai wujud solidaritassosial untuk melawan kesenjanganekonomi dan politik yang terjadidalam masyarakat. Di sinilah di-lemma kemutlakan agama dijadikanlandasan melakukan perlawanansosial terhadap realitas kemiskinandan kesenjangan ekonomi dan politikyang seringkali memunculkan keke-rasan yang berdarah-darah. Dalamkonteks ini, maka ternyata funda-mentalisme agama yang sesungguh-nya dapat melawan fundamentalismeekonomi dan politik yang berbentuk

liberalisme ekonomi dan demokrasi.

B. PEMBAHASANTuhan adalah sesuatu yang fun-

damental dalam suatu kehidupanagama, agama tanpa Tuhan bukanagama lagi, tetapi Tuhan bukanagama itu sendiri, karena Tuhan tidakpernah beragama yang mana pun,tetapi Tuhan menjadi sumber agamayang mana pun juga. Agama adalahTuhan, tetapi Tuhan bukan agama.Dalam konteks kebertuhanan, pe-ranan persepsi sangat besar, karenasetiap orang yang beragama akanselalu mempersepsikan tentangTuhan yang menjadi sandaran dariagama yang dipeluknya. Jikalaupersepsi orang itu berbeda-bedatentang Tuhan, apakah bisa diartikanbahwa Tuhan itu berbeda-beda, dandengan demikian dapatkah dikatakanbahwa apakah Tuhan itu banyak?

Meskipun persepsi itu adalahsuatu keniscayaan bagi seseorang,tetapi persepsi itu sebenarnya relatif,karena sangat subyektif, tergantungdari mana melihatnya dan kapanwaktunya. Persepsi seseorang ter-hadap realitas bukanlah realitas itusendiri, tetapi hanya realitas artifisialyang dikonstruksikan, sehingga adadua realitas, yaitu 1) realitas itusendiri yang otonom, dan 2) realitasyang dikonstruk dalam persepsiseseorang terhadap realitas.

Dalam konteks Tuhan, makapersepsi tentang Tuhan pasti bukanTuhan itu sendiri, karena Tuhan

28 EDISI 04/TAHUN 2012

adalah absolute sedangkan persepsitentang Tuhan adalah relatif. Sese-orang boleh mempersepsikan Tuhan,tetapi harus ditegaskan bahwapersepsi tentang Tuhan, bukanTuhan itu sendiri. Alquran 42:11menegaskan yang artinya : tidak adasatu pun yang serupa dengan-Nya(Tuhan). Dengan kata lain persepsiyang mengkonstruksi Tuhan sesung-guhnya tidak serupa /tidak samadengan Tuhan itu sendiri.

Al-quran 6:74-79 bahkan men-ceritakan kisah nabi Ibrahim dalamkaitan dengan Tuhan persepsi yangdikonstruksikannya, yang artinya:dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkatakepada ayahnya Azar, “pantaskah engkaumenjadikan berhala-berhala itu sebagaiTuhan? Sesungguhnya aku melihatengkau dan kaummu dalam kesesatanyang nyata. Dan demikianlah Kamimemperlihatkan kepada Ibrahim kekuasa-an di langit dan di bumi dan agar diatermasuk orang-orang yang yakin. Ketikamalam telah menjadi gelap, dia melihatsebuah bintang, dia berkata “inilahTuhanku”, maka ketika bintang ituterbenam, dia berkata “aku tidak sukapada yang terbenam”. Lalu ketika diamelihat bulan terbit, dia berkata “inilahTuhanku”. Tetapi ketika bulan ituterbenam, dia berkata “sungguh, jikaTuhanku tidak memberi petunjukkepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian ketika diamelihat matahari terbit, dia berkata “inilahTuhanku, ini lebih besar!. Tetapi ketikamelihat matahari terbenam, dia berkata

“wahai kaumku, sungguh aku berlepasdiri dari apa yang kamu persekutukan”.Aku hadapkan wajahku kepada yangmenciptakan langit dan bumi denganpenuh kepasrahan (mengikuti) agamayang benar, dan aku bukanlah termasukorang-orang yang mempersekutukan.

Beranjak dari penjelasan diatasmaka dalam realitas kehidupan sosialkeagamaan persepsi tentang Tuhanitu, telah menjadi realitas fenomenalyang meluas. Setiap orang beragama,bahkan komunitas agama memper-sepsikan Tuhannya sendiri-sendiri.Akibatnya satu sama lain mempunyaipersepsi tentang Tuhannya yangberbeda. Memang nama Tuhan-nyamungkin sama, tetapi isi kesadaranyang dibentuk oleh persepsinyatentang Tuhan itu dalam diri sese-orang sebenarnya berbeda satu samalain.Adanya persepsi tentang Tuhanboleh saja, dan sangat wajar, tetapimenganggap bahwa persepsinyatentang tuhan itu Tuhan, patutdipertanyakan kebenarannya, karenaTuhan sesungguhnya berbedadengan tuhan yang dipersepsikan-nya, sehingga persepsi seseorangtentang tuhan adalah bukan Tuhan.Persepsi tentang Tuhan adalahtuhan, tetapi bukan Tuhan. Sesung-guhnya Tuhan itu tidak terbatas,sedangkan persepsi seseorang bersifatterbatas, keterbatasan persepsi sese-orang membuat keterbatasan men-konstruksi ketidak terbatasan men-jadi terbatas.Yang menjadi masalahadalah ketika persepsi seseorang

29EDISI 04/TAHUN 2012

tentang Tuhan itu dianggap Tuhan,yang kemudian dimutlakkan kebe-narannya. Padahal persepsi manusiatentang Tuhan sesungguhnya hanyatuhan belaka. Tuhan sesungguhnyatidak bisa dimonopoli oleh siapa pun,meskipun oleh seorang tokoh agama,kyai, pendeta atau siapa pun. Seorangkoruptor, bahkan seorang pelacurpun berhak untuk mempersepsikanTuhannya dan memohon ampunanatas segala kesalahannya.

Dalam konteks ini harus ditegas-kan bahwa persepsi tentang Tuhanitu, bukan Tuhan, tetapi hanyatuhan belaka. Akan tetapi dalamkenyataan sejarah, berlangsungnyaperang yang berdarah-darah yangmasih terjadi sampai saat ini, baikdalam kehidupan internal agama ataupun dalam kehidupan eksternalagama, sebenarnya terjadi karenamasing-masing memperebutkantuhan persepsi yang kemudiandimutlakkannya.Sungguh sangatironis dan memilukan. Tuhan dalampersepsi itu telah menjadi alat legiti-masi untuk menyerang kelompokyang lainnya yang dianggap berbedadengan persepsi Tuhannya dankemudian disesatkan, padahal yangsebenarnya terjadi adalah per-tarungan tuhan persepsi yangdimutlakkan kebenarannya, yangsesungguhnya bukan Tuhan itusendiri. Mereka sesungguhnya ber-perang bukan untuk Tuhan, tetapihanya untuk tuhan saja.

Karena itu, dalam suatu Negarayang menjamin dan menghormatikeaneka-ragaman, maka setiap agamaseharusnya dapat menyadarkan padaumatnya bahwa la ilaha illallah, tidakada tuhan selain Tuhan. Tuhan yangdipersepsikan seseorang atau komu-nitas beragama itu sesungguhnyabukan Tuhan. Jangan sampai umatberagama menyembah tuhan danmenjadikan tujuan hidupnya dankemudian memutlakkannya danberebut kebenaran yang kemudianmenimbulkan konflik tuhan persepsiyang berdarah-darah.

1. Ketuhanan YME, Agama danNegaraKetuhanan Yang Maha Esa se-

benarnya berada di atas TuhanPersepsi, karena Tuhan Yang MahaEsa telah melintasi batas-batas Tuhandalam suatu agama. Tuhan YangMaha Esa adalah Tuhan yang adadalam semua agama dan diakui olehsemua agama. Ketuhanan dalamPancasila sesungguhnya tidak lagimenjadi Tuhan persepsi, tetapi sudahmenjadi pengalaman kebertuhanandalam kehidupan bernegara danberbangsa.

Akan tetapi Ketuhanan YangMaha Esa itu kehilangan makna dankekuatannya, ketika terjatuh dalamTuhan Persepsi, sehingga masing-masing umat beragama mempunyaiTuhan persepsi yang dimutlakkan-nya sendiri-sendiri yang kemudianmempengaruhi dan membentuk

30 EDISI 04/TAHUN 2012

perilaku keagamaannya dalam ke-hidupan berbangsa dan bernegara, dimana orang lain yang berbedapersepsi Tuhannya dianggapnyasebagai sesuatu yang salah dan sesat,bahkan dilawannya.

Radikalisme keagamaan yangmemicu dan memacu konflik keke-rasan dalam upaya melawan kesen-jangan ekonomi politik dalam ke-hidupan berbangsa dan bernegarasesungguhnya bermula dari Tuhanpersepsi ini, yang telah melembagapada institusi sosial keagamaan yangkemudian menjadi alat legitimasikekerasan. Solidaritas sosial yangdibangun oleh dan dalam institusisosial keagamaan merupakan ke-kuatan yang dapat menggerakkanemosi massa.

Harus ada ketegasan Negaradalam meletakkan sila pertamaPancasila yaitu Ketuhanan YangMaha Esa, bukan sebagai Tuhanpersepsi, tetapi sebagai Tuhan empirikyang menjadi praktek hidup yangnyata dalam berperikemanusiaanyang adil dan beradab, dalam me-wujudkan persatuan Indonesia,dalam permusyawaratan yang di-pimpin oleh hikmah kebijakan sertadalam perilaku berkeadilan sosial.

Jika Negara tidak mampu mene-gaskan sila pertama Pancasila sebagaiideologi Negara yaitu KetuhananYang Maha Esa dalam praktek Tuhanempirik yang menjadi dasar daripraktek hidup keempat sila yangmengiringinya, maka Negara akan

terseret dalam konflik Tuhan persepsiyang berdarah-darah dan akansemakin sulit untuk menjadikan sila-sila berikutnya dalam praktek hidupberbangsa dan bernegara secaraaktual dan konkret.

Jika kita amati secara teliti, makakonflik-konflik kekerasan yangberbasis keagamaan yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia sesung-guhnya terjadi karena manipulasiverbalisme agama yang dimanfaatkanuntuk kepentingan politik kekuasaanyang ada di daerah itu. Verbalismekeagamaan dalam kekuatan komunalmenjadi pengikat emosi yang mudahdimanipulasi dan digerakkan sesuaidengan target politik kekuasaan yangada.

Sesungguhnya Tuhan yang men-ciptakan alam semesta seisinya yangberaneka ragam warna, bentuk danjenisnya itu adalah Tuhan yang satudan Tuhan yang satu itu dalammasyarakat besar dunia mempunyaibanyak nama sesuai dengan banyakbahasa yang dipakai oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia itu sendiri.

Jadi Tuhan yang satu itu sesung-guhnya mempunyai banyak nama,bahkan dalam Islam pun Tuhan yangsatu itu mempunyai 99 nama yangdisebut dengan asma’ul husna. Jikadalam Islam saja sudah ada 99 nama,apalagi dalam banyak agama-agamadi dunia ini, pastilah Tuhan yang satuitu punya banyak nama. Tuhan yangsatu itu pun menurunkan banyakkitab suci dan mengutus banyak nabi

31EDISI 04/TAHUN 2012

untuk menyampaikan kebenaran-Nya kepada umat manusia yang adadi muka bumi ini sesuai denganbahasa, budaya dan realita lokalitas-nya.

Sungguh merisaukan hati jikakonflik dan peperangan yang ber-darah-darah sepanjang sejarah umatmanusia di dunia itu disebabkankarena konflik memperebutkan namaTuhan yang sesungguhnya mem-punyai banyak nama, banyak nabi,banyak kitab suci dan banyakbahasa. Pada hakikatnya fanatismedan verbalisme keagamaan yangmembuat konflik memperebutkannama Tuhan menjadi kompleks dantidak kunjung selesai, karena di sanasesungguhnya ada perebutan ke-kuasaan, uang, kehormatan dankepentingan kelompok. AkibatnyaTuhan dalam kata, dalam nama itumenjadi mantera yang diucapkanberulang-ulang, dan kemudiandiperebutkan oleh masing-masingagama sampai berdarah-darah.

Pendidikan agama yang diajarkandalam kehidupan masyarakat yangplural, seharusnya dapat men-jangkau ke kedalaman spiritualitasagama yang menjadi energi yangtidak pernah kering untuk memper-juangkan nasib manusia di dunia danuntuk menegakkan kemanusiaandalam kehidupannya, sehinggaagama menjadi kekuatan yang nyatauntuk mencegah tindakan korupsidan penyelewengan kekuasaan.

Jika dalam Alquran dijelaskanbahwa manusia sebagai khalifahTuhan di muka bumi yang bertugasuntuk mewujudkan keadilan dankemakmuran, agar manusia menam-bahkan pada setiap ciptaan-Nya apayang dikehendakinya, untuk mem-bangun suatu peradaban yang tinggidi dunia ini, maka mengharuskankebertuhanan itu menjadi nyata,aktif, aktual dan terwujud dalamrealisasi dari wewenang yang di-pikulnya sebagai khalifatullah fil ardliuntuk meneruskan tugas penciptaan.

Dalam konteks ini, maka ke-miskinan, ketidak adilan dan pen-deritaan yang terjadi dalam masya-rakat yang beragama sesungguhnyaterjadi karena umat beragama itutidak lagi memerankan sebagai wakilTuhan di bumi. Jika mereka memeran-kan dirinya sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, pastilah mereka tidakakan miskin, pastilah kekuasaannyaakan menciptakan keadilan dankemakmuran. Jika tidak, pastilahakan dipertanyakan bagaimana wakilTuhan koq miskin? Bagaimanakekuasaan wakil Tuhan koq tidakadil. Tuhan yang mana yang di-wakilinya?

Karena itu, kebertuhanan bukan-lah sesuatu yang kosong, bukantanpa makna dan bukan tanpaaktualitas. Kebertuhanan adalahnyata, menjadi sumber kehidupanspiritualitas yang tidak pernahkering, menjadi sumber energiperadaban yang terus memancarkan

32 EDISI 04/TAHUN 2012

kreatifitas dan inovasi perubahan.Kebertuhanan tidak boleh mati dalamritus dan peribadatan, dan kemudianmenjadi tempat pelarian dari ke-gagalan dan ketidak-berdayaan.Kebertuhanan menjadi penandamoralitas kemanusiaan dan kepe-dulian sosial yang tinggi.

2. Pancasila dalam Negara ParadoksKita hidup dalam suatu Negara

yang penuh paradoks, dimana jarakantara kata dan perbuatan terasasemakin jauh, ada jurang yangmenganga semakin lebar antara cita-cita dan realitas. Bangsa ini telahberjuang mencapai kemerdekaandengan peluh darah, harta dannyawa yang tak terhitung jumlahnyauntuk mewujudkan keadilan dankemakmuran, agar dapat mencerdas-kan kehidupan bangsanya, untukmelindungi seluruh tumpah darahkita, sehingga terwujud perdamaiandunia yang abadi.

Akan tetapi kenyataannya ke-adilan dan kemakmuran itu terasasemakin jauh, dan upaya untukmencerdaskan kehidupan bangsanyasemakin mahal, kehidupan bangsapun terkoyak oleh konflik kekerasanyang terus saja berlangsung sehinggamengganggu ketenangan hidupbangsa secara keseluruhan. Negeri iniadalah negeri yang subur, bahkantongkat pun jadi tanaman katanya.Kita bisa menanam sepanjang waktudi hamparan tanah yang terbentangluas. Akan tetapi kenyataan yang

terbentang di depan mata kita me-nunjukkan bahwa kesuburan negeriini tidak mencukupi untuk dapatmemenuhi kebutuhan makan-anwarganya.

Kita suka makan tempe, tetapikedelenya bergantung pada impor.Bahkan Negara dengan wilayahlautan yang luas, ternyata garampun masih impor. Buah-buahan yangseharusnya tercukupi oleh produksisendiri kenyataannya masih ber-gantung pada impor juga, bahkanpisang pun import, apalagi berasyang menjadi bahan makanan pokokwarga pun bergantung dari pasokanluar negeri.Negeri ini adalah negeriyang kaya karena sumber dayaalamnya, di darat, di laut, di dalamperut bumi, hutan yang luas danlahan pertanian dan perkebunanyang subur, tetapi kenyataannyarakyat yang ada di negeri yang kayaini, tetap terlilit oleh kemiskinan danhutang yang amat banyak yang akanterus diwariskan dari generasi kegenerasi selanjutnya.

Kita dikenal sebagai bangsa yangreligious dan mempunyai filsafathidup yang mencerminkan pan-dangan moral yang kuat, tetapikenyataannya korupsi telah terjadi dimana-mana, di semua lembagaNegara, pemerintahan dan swasta.Di samping itu konflik kekerasanoleh manipulasi dan politisasi atasperbedaan suku, agama dan budayayang ada dalam kehidupan masya-rakat terus berlanjut yang sesung-

33EDISI 04/TAHUN 2012

guhnya bertentangan dengan prinispmoral dan agama mana pun. Me-ngapa semua fenomena paradoksterjadi dalam semua aspek kehidupankita. Tentu ada yang salah dalammanajemen politik ekonomi kitasehingga pengelolaan kekayaan alamyang ada tidak dapat menyejahtera-kan hidup rakyatnya. Tentu ada yangsalah dalam cara kita beragama,sehingga spiritualitas yang menjadisumber kekuatan agama menjadikering dan tidak mampu menopangperadaban yang tinggi.

Kemerdekaan yang telah kita raihtelah melahirkan banyak pemimpinyang menjadi kepala Negara, sejakBung Karno, Jenderal Soeharto,Habibie, Abdurrahman Wahid,Megawati dan Soesilo BambangYudoyono. Dengan kelebihan dankekurangannya masing masingsebagai manusia biasa, para pe-mimpin itu telah menorehkansejarahnya sendiri dalam mewujud-kan cita-cita dan tujuan kemerdekaanbangsanya.

Akan tetapi kita tidak bolehmenutup mata bahwa realitaskemiskinan, kesenjangan ekonomidan ketidak-adilan terasa makinmerajalela. Anehnya strategi pem-bangunan dengan prioritas pertum-buhan ekonomi terus dilanjutkan,padahal selama 40 tahun konseppembangunan itu dijalankan, padakenyataannya telah terbukti mencip-takan kesenjangan ekonomi yangmakin tajam, yang kaya makin kaya

dan yang miskin makin miskin,kesenjangan antara barat dan timurwilayah Indonesia, kesenjanganantara kota dan desa, kesenjanganantara yang berpendidikan tinggidan yang tidak berpendidikan.

Kita menyaksikan fenomenaadanya kepemimpinan nasional yangsesungguhnya tidak peduli lagidengan nasib rakyatnya, tetapimereka sesungguhnya hanya peduliterhadap nasib dirinya, kelompoknyadan partainya sendiri.Karena itu,kalau ada sebagian rakyat yangmelakukan kritik tajam dan melaku-kan tuntutan atas kepemimpinanyang ada, lantas dipertanyakanrakyat yang mana? Berapa? Bukanpada substansi apa yang dituntutnyadan mengapa?

Rakyat hanya diperalat untukmemberikan legitimasi kekuasaannyamelalui pemilu yang diselenggarakanyang penuh dengan money politics.Praktek jual beli suara dan dagangsapi dalam membagi kekuasaan, telahmembuat kekuasaan semakin jauhdari kepentingan rakyatnya, sebalik-nya semakin peduli terhadap nasibpemilik kapital yang telah meng-investasikan modalnya untuk mem-berikan dukungan dalam pemenanganpemilu dari seorang calon yangdidanainya.

Maka sempurnalah nasib yangmelanda kehidupan rakyat kita dimana pun mereka berada. Merekafrustrasi dan kemudian mengambiljalan pintas dengan caranya sendiri

34 EDISI 04/TAHUN 2012

untuk menyelesaikan masalah yangdihadapinya. Mereka pergi ke orangpintar atau dukun yang dianggapbisa menyelesaikan masalahnya.Mereka pun terjebak untuk berjudisebagai cara mendapatkan keber-untungan. Mereka terlilit hutangkarena sulitnya mendapatkanbantuan keuangan dengan bungayang rendah. Mereka tergusur danterpinggirkan dalam proses pem-bangunan dan mereka mudahterprovokasi untuk terlibat konflikkekerasan, dan mereka pun maudibayar untuk aksi demonstrasi dankekerasan itu.

Sementara itu, kekuatan konspi-ratif memainkan kekuasaan dalamsetiap usaha pengembangan bisnisskala besar dan skala nasional, baikdi pusat mapun di daerah-daerah.Pembusukan kekuasaan terjadi disemua birokrasi pemerintahan danNegara sehingga membentuk sistemdan mekanisme kerja yang korup,sehingga orang-orang baik daridunia akademik dan professionalyang masuk dalam sistem birokrasikekuasaan itu terseret dalam praktekyang busuk pula.

Kita terjebak dalam kebuntuan,karena setiap undang-undang danperaturan yang dibuat, selalu adajebakan-jebakan sehingga antaraoknum yang satu dengan yanglainnya bisa saling melindungi danmenghindar dari tanggung jawabatas perbuatan penyelewengankekuasaannya, dan antara pejabat

yang satu dengan yang lainnya punsaling mengunci, sehingga sistembirokrasi itu semakin busuk. Inilahyang membuat pengusutan korupsimakin sulit ditegakkan.

Kita terjebak dalam pemikiranjangka pendek, sehingga sikappragmatik semakin meluas di mana-mana, setiap orang hanya memikir-kan kepentingan dirinya sendiri,kepedulian sosial menjadi semakinjauh dan semuanya diukur hanyaoleh uang. Kekuasaan dan uangmenyatu seperti dua sisi mata uang.Korupsi merupakan bagian yang takterpisahkan dari kesatuan kekuasaandan uang. Pragmatisme telah me-rasuk dalam berbagai aspek ke-hidupan kita dalam berbangsa danbernegara. Demokrasi menjadisemakin pragmatik dan prosedural,terjauhkan dari pengayaan intelek-tual, apalagi pengayaan spiritual.

Sebagai bangsa yang religious,maka paradoks itu semakin nyata,karena ternyata religiusitas kita tidakmampu mencegah merajalelanyakorupsi, ketidak-adilan dan kon-spirasi destruktif, bahkan institusi-institusi sosial keagamaan sendiripun menjadi bagian dari sistempragmatisme politik dalam birokrasikekuasaan yang busuk, bahkankementeriaan agama masih belumterbebaskan sepenuhnya dari mani-pulasi kekuasaan dan korupsi. Apayang salah dalam beragama?

Fenomena sosial menunjukkanbahwa keberagamaan kita pada

35EDISI 04/TAHUN 2012

umumnya hanya terhenti padaformalisme peribadatan yang ber-dimensi lahir, bahkan terjebak dalamfanatisme yang sempit denganukuran-ukuran keberagamaan yanglahiriah sifatnya, pada bentuk-bentuksimbolik seperti upacara-upacarakeagamaan dan ritusnya yang verbal.Bahkan ukuran lahiriah yang verbalitu kemudian menjadi penanda yangutama dalam kehidupan sosialkeagamaan, bukan pada substansispiritual yang ada di balik sym-bolisme keagamaan.

Pencitraan keagamaan yang ver-bal dalam berbagai kegiatan ke-agamaan, termasuk dalam pendidikankeagamaan, pada perkembangannyaakan membentuk ikatan emosikomunal yang memandang ver-balisme agama sebagai agama itusendiri, yang kemudian menjadipengikat emosi di kalangan komu-nitas keagamaannya. Karena itu,dalam masyarakat yang plural dandinamis di tengah kemiskinan yangsarat ketidakadilan, maka verbalismedan ikatan emosi itu, mudah dimani-pulasi dan terprovokasi oleh adanyakonflik ekonomi dan politik dalamkehidupan masyarakat.

C. KESIMPULANRasanya Negara paradoks ini

harus segera dihentikan. Karena itudiperlukan manajemen politik ke-negaraan yang bertumpu pada lead-ership yang kuat secara moral untukdapat menegakkan hukum seadil-

adilnya. Manajemen politik ekonomiyang memungkinkan Negara yangkaya sumber daya alam ini dapatbermakna bagi rakyatnya dan ter-bebaskan dari kemiskinan absolute.Manajemen politik ekonomi yangmembuat Negara agraris ini mampumencukupi kebutuhan pangan dariwarganya. Manajemen politik yangmampu mengubah pembangunanskala prioritas ekonomi yang ber-tumpu pada pertumbuhan yangnyata-nyata telah melahirkan kesen-jangan ini, dapat diubah kepadaprioritas kebudayaan dengan fokuspembangunan manusia seutuhnyamelalui pendidikan yang mencerdas-kan. Karena itu penetapan 20% APBNuntuk pendidikan harus dijalankansecara efektif sehingga kualitassumber daya manusia dapat ber-kembang menjadi manusia penciptapekerjaan yang dapat membebaskanmasyarakat dari kemiskinan danpengangguran.

Dalam konteks keberagamaan,maka sesungguhnya diperlukansuatu kebertuhanan yang dapatmenyuburkan kehidupan kreatifuntuk meninggikan peradabanbangsa. Kebertuhanan agama yangmembangkitkan komitmen kema-nusiaan dan kepedulian sosial yangtinggi. Kebertuhanan yang menjadisumber kehidupan spiritual yangmencerahkan, mencerdaskan danmembebaskan dari kejatuhan per-adaban. Kebertuhanan yang men-jauhkan dari perbuatan korupsi,

36 EDISI 04/TAHUN 2012

menyatu dalam upaya menciptakankeadilan dan kesejahteraan bersama.Pancasila dan NKRI seharusnyamenjadi satunya ideologi denganpraktek politik, seperti satunya katadengan perbuatan. Tidak ada yangsalah dalam Pancasila, tetapi ketikaideologi Pancasila di jalankan dalampraktek politik di NKRI terbentangrealitas paradoks yang mengangalebar antara cita-cita dengan fakta,antara ide dan kenyataan, antaraderetan kata dengan deretan ke-nyataan perbuatan.

Tidak akan ada artinya Pancasiladalam kehidupan NKRI kalau kesen-jangan kaya miskin makin lebar,kesenjangan wilayah Barat danwilayah Timur makin tajam. Panca-sila dan NKRI akan makin rapuhkalau tidak ada keadilan, kemak-muran dan kehormatan dalamrealitas kehidupan berbangsa danbernegara secara konkret. Kalau tidakada keadilan, kesejahteraan dankedamaian dalam kehidupan ber-sama, maka Pancasila akan kehilangankesaktiannya dan NKRI akan terusterjebak dalam konflik berdarah.

Pancasila selama ini hanya di-jadikan slogan, seperti ruang kosongyang bisa diisi dengan apa saja yang

dimaui oleh penguasa. Pada zamanSoekarno atau orde lama, Pancasilaakhirnya diisi dengan demokrasiterpimpin yang cenderung kekiri-kirian, dan di masa Soeharto Panca-sila diisi dengan demokrasi Pancasilayang kenanan-kanan, dan sekarangdi era reformasi, Pancasila diisidengan liberalisme dengan demokrasikebablasan, sehingga tiada hari tanpademontrasi, dan semuanya bermuarapada uang.

Pancasila seperti kepala tanpabadan. Ideologi memang memerlukanperangkat teoritik, meliputi metodo-logi dan teknologi yang membuatPancasila bisa dijabarkan secarakonkret dan terukur dalam realitaskehidupan berbangsa dan bernegarayang adil dan makmur. Inilah yangselama ini sedang berlangsung diNKRI sehingga realitas kehidupanrakyat semakin jauh dari keadilandan kemakmuran yang dicita-citakanPancasila dan UUD’45. Kalau ke-adaan ini dibiarkan terus, makaPancasila kehilangan kesaktiannya,karena hanya menjadi slogan tanparealitas. Semoga Tuhan memudahkanjalan bagi bangsa ini untuk me-wujudkan cita-citanya.

37EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh: Yudi Latif1

AbstraksiDi luar dimensi keluasannya, letak strategis Indonesia, di titik persilanganantarbenua dan antarsamudera, membuat kepulauan ini sejak lamamenjadi kuala penyerbukan silang budaya dan peradaban dunia. Meskibegitu, kita tidak perlu gundah dengan pluralitas kebangsaan kita. Toh,Tuhan tidak sedang “bermain dadu” dalam keterliban-Nya dengan prosespenciptaan negeri ini. Keragaman tidak selalu berakhir dengan pertikaianasal tersedia sistem pengelolaan negara yang adekuat. Wacana tentangintegrasi nasional saat ini terlalu sering menempatkan ‘kebangsaan’ dalamposisi terdakwa. Dalam taburan ungkapan semacam, ‘melemahnya rasakebangsaan’, ‘bangsa sakit’, ‘bangsa yang memalukan, dan sejenisnya.Hakikat Indonesia adalah suatu cita-cita politik untuk mempersatukanunsur-unsur tradisi dan inovasi serta keragaman etnis, agama, budayadan kelas sosial ke dalam suatu “botol baru” bernama “negara-bangsa”

AbstractIn the outside of the width of dimensions, the strategic location of Indonesia,at the cross point of inter continent and inter-ocean; makes these islands

REVITALISASI PANCASILADALAM PERSPEKTIFPEMBANGUNAN NEGARA KESATUAN

REPUBLIK INDONESIA (NKRI)

1 Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia & Ketua Harian Pusat Studi Pancasila,Universitas Pancasila

38 EDISI 04/TAHUN 2012

become cross space between cultures and civilizations of the world. Even so,we do not need to be anxious by the plurality of our nationality. After all,God was”playing dice” in his involvement with the creation of this country.Diversity does not alwaysend upwith theoriginalcontentionin one conditionthere is an adequatemanagement system. The discourse of national inte-gration now often places the ‘nationality’ in the defendant’s position. Insuch this phrase; ‘the weak sense of nationalism’, ‘sick nation’, embarrasingnation’, and else. The nature of Indonesia is a political aspiration to unitethe elements of tradition and innovation, as well asdiversity of ethnic, reli-gious, cultural and social class into a”new bottle”called”nation-state”.

Key Word: Pancasila, NKRI

A. PENDAHULUANNegara Indonesia luas wilayah-

nya, besar penduduknya, dan be-ragam unsur budaya dan lingkungangeografisnya. Diperlukan pengerahankemauan dan kemampuan yang luarbisa untuk bisa menyatukan ke-bhinekaan Indonesia ke dalamkesatuan entitas negara-bangsa. In-donesia dapat dilukiskan sebagainegeri “untaian zamrud khatulis-tiwa”, yang mengikat lebih dari limaratus suku bangsa dan bahasa 2,ragam agama dan budaya di sepan-jang rangkaian tanah air yang mem-bentang dari 6Ú08´ LU hingga11Ú15´ LS, dan dari 94Ú45´ BT hingga141Ú05´ BT.

Secara geopolitik, Negara RepublikIndonesia, seperti pernah dikatakan

oleh Soekarno, adalah “negaralautan” (archipelago) yang ditaburioleh pulau-pulau, atau dalamsebutan umum dikenal sebagai“negara kepulauan”. Sebagai“negara kepulauan” terbesar didunia, Indonesia terdiri dari sekitar17.508 pulau (citra satelit terakhirmenunjukkan 18.108 pulau)sekitar6000 diantaranya berpenduduk(United Nations Environment Pro-gram, UNEP, 2003). Lautan menjadifaktor dominan. Dari 7,9 juta km2total luas wilayah Indonesia, 3,2 jutakm2 merupakan wilayah lautteritorial dan 2.9 juta km2 perairanZona Ekonomi Eks-klusif (ZEE), dansisanya sebanyak 1,8 juta km2 meru-pakan daratan. Dengan demikian,luas lautan Indonesia meliputi 2/3

2 Jika setiap suku bangsa dicirikan oleh bahasa etnik yang mereka pakai, maka para ahli linguistikmencatat lebih dari lima ratus bahasa etnik di Indonesia. Akan tetapi, kenyataan bahwa dua ataulebih suku bangsa yang berbeda bisa menggunakan satu bahasa yang sama, maka jumlah sukubangsa di Indonesia lebih banyak dari jumlah bahasa etnik. Meskipun pada umumnya, suku bangsadi Indonesia dicirikan dan dinamakan dengan nama bahasa etniknya. Untuk uraian lebih mendalam,lihat Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1997.

39EDISI 04/TAHUN 2012

dari total luas wilayah Indonesia3.Dengan panjang pantai 95.180,8 km,sementara panjang khatulistiwa40.070 kilometer, maka panjangpantai Indonesia dua kali lipat lebihdari panjang khatulistiwa. Jika petaIndonesia ditumpangkan pada petaAmerika Serikat dan Eropa, tampakjelas sifat kebaharian Indonesia. Diatas peta Amerika Serikat, Indonesiamem-bentang dari Laut Pasifik dibarat sampai Laut Atlantik di timur;sementara di atas peta Eropa, Indo-nesia membentang dari London dibarat sampai Laut Kaspia di timur.Luas Indonesia dengan lautnyakurang lebih sama dengan AmerikaSerikat dan lebih luas dari Uni Eropa.Bedanya, Indonesia terdiri atas ribuanpulau di sebuah wilayah laut yangsangat luas, sementara AmerikaSerikat adalah sebuah negara daratandan Eropa terdiri atas banyak negaradaratan (Soemarwoto, 2004).

Di tengah-tengah sebaran kep-ulauan yang luas itu, alam Indone-sia beraneka ragam; dari dataranaluvial seperti pantai utara pulauJawa hingga ke pegunungan yangditutupi salju abadi dan ratusanpuncak gunung berapi denganketinggian beribu meter. Di antaralautan dan daratan itu, secarakultural, konsep kewilayahan Indo-

nesia tidak membedakan penguasaanantara laut dan darat, oleh karena-nya, bangsa Indonesia merupakansatu-satunya bangsa di dunia yangmenamakan wilayahnya sebagaitanah-air.

Di luar dimensi keluasannya, letakstrategis Indonesia, di titik per-silangan antarbenua dan antarsamudera, membuat kepulauan inisejak lama menjadi kuala penyerbu-kan silang budaya dan peradabandunia. Tak heran, Indonesia menam-pilkan senyawa arkeologi peradabanyang berlapis, tempat unsur-unsurperadaban purba, tua, modern, danpasca-modern bisa hadir secarasimultan. Singkat kata, Indonesiaadalah bangsa majemuk paripurna(par excellence).

Meski begitu, kita tidak perlugundah dengan pluralitas kebangsa-an kita. Toh, Tuhan tidak sedang“bermain dadu” dalam keterliban-Nya dengan proses penciptaan negeriini. Keragaman tidak selalu berakhirdengan pertikaian asal tersedia sistempengelolaan negara yang adekuat.Kita juga tidak perlu terobsesi denganpenyeragaman kebangsaan, karenakeseragaman bukanlah ukurankedamaian dan kesejahteraan. Padakenyataannya, realitas sejagadkontemporer menunjukkan hanya

3 Masuk akal jika Soekarno pernah menyebut negara Indonesia bukan dengan sebutan “negarakepulauan”, melainkan “negara lautan yang ditaburi pulau-pulau”. Sebutuan terakhir ini lebih sesuaidengan istilah archipelago, yang berarti “kekuasaan lautan” (arch/archi = kekuasaan, pelago/pelagos= lautan).

40 EDISI 04/TAHUN 2012

sedikit negara yang terdiri dari satubangsa4. Sebaliknya, suatu negaradengan aneka bangsa lebih jamakditemukan. Sehingga yang terakhirini lebih tepat dikatakan sebagai “na-tions-state” ketimbang “nation state”.Sebutlah contohnya United Kingdom ofGreat Britain and Ireland dan NegaraPerancis. Jika orang-orang dariBritania raya ditanya: ‘what is yournationality? , maka jawabannya,bisajadi English, Wales, Scotish ataubahkan Irish. Namun jika ditanya:“what is your citizenship? , makajawabannya adalah British. Tengokjuga Perancis. Karena Negara Perancismerupakan hasil pengambilalihandari bekas kerajaan (dynasty state),maka seluruh penduduk di wilayahbekas jajahan Perancis mempunyaihak untuk menjadi warganegaraPerancis. Dengan demikian, negaraPerancis dihuni oleh warga-negaradengan imajinasi kebangsaan yangberagam. Singkat kata, suatu negaradengan banyak bangsa bukanlahsuatu yang mustahil. Kelangsungan-nya dimungkinkan asal didukungoleh keberadaan negara yang mampumenegakkan prinsip-prinsip supre-masi hukum, keamanan, ketertibandan keadilan. Dalam negara sepertiitu, hak-hak dan kewajiban politik

tidak diikatkan kepada kelompok(etnis, agama atau status group yanglain) melainkan kepada individusebagai warga negara yang memilikikedudukan yang sama di depanhukum.

Wacana tentang integrasi nasionalsaat ini terlalu sering menempatkan‘kebangsaan’ dalam posisi terdakwa.Dalam taburan ungkapan semacam,‘melemahnya rasa kebangsaan’,‘bangsa sakit’, ‘bangsa yang memalu-kan, dan sejenisnya. Seolah terkesanbahwa biang keladi dari kemelutsosial-politik saat ini bersumber darikrisis kebangsaan. Pluralitas kebang-saan lantas dicurigai sebagai bomwaktu, sedang mitos tentang kesatuandipercaya sebagai kata putus.

Cara pandang seperti itu bisamengaburkan esensi persoalan.Bahwa kekacauan yang terjadi dijagad kebangsaan tidak mesti ber-sumber dari rumah tangga kebang-saan itu sendiri. Centang perenangdi aras kebangsaan selama ini lebihsering merupakan limbah dari distorsipengelolaan negara. Oleh karena itu,kita perlu memeriksa ulang pema-haman tentang persoalan kenegaraan.

Tulisan ini menekankan penting-nya pembangunan negara (state build-ing), denganmerevitalisasi nilai-nilai

4 Bangsa (nation) adalah suatu ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikansebagai entitas dari suatu kinship (kerabat) yang biasanya diikat oleh suatu kemampuan self-rule.Sedang ‘negara’ (state) adalah suatu ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas politik yang tumbuhberdasarkan kontrak sosial yang meletakkan individu ke dalam kerangka kewargaan (citizenship).Dalam kerangka ini, individu dipertautkan dengan suatu komunitas politik (negara) dalam kedudukanyang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain, bangsa beroperasi atas prinsip kekariban.Sedang negara beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan.

41EDISI 04/TAHUN 2012

Pancasila dalam pengelolaan negara,sebagai ikhtiar untuk menjadikanpluralitas kebangsaan sebagai se-suatu yang positif dan konstuktif.

B. PEMBAHASANNama “Indonesia”, seperti yang

kita kenal saat ini, pada akar tunjang-nya tertancap suatu cita-cita politik.Dalam kata-kata Bung Hatta (1928),“Bagi kami, Indonesia menyatakansuatu tujuan politik, karena diamelambangkan dan mencita-citakansuatu tanah air di masa depan danuntuk mewujudkannya tiap orangIndonesia akan berusaha dengansegala tenaga dan kemampuannya.”

Hakikat Indonesia adalah suatucita-cita politik untuk mempersatu-kan unsur-unsur tradisi dan inovasiserta keragaman etnis, agama,budaya dan kelas sosial ke dalamsuatu “botol baru” bernama “negara-bangsa”. Hasrat persatuan itu secaranegatif karena didorong oleh ke-hendak menghadapi musuh bersama(negara kolonial) dan secara positifkarena hasrat untuk mencapai ke-bahagiaan bersama.

Dalam kaitan ini perlu dijelaskankonsepsi dasar tentang “negara-bangsa”. Bangsa (nation) adalah suatu‘konsepsi kultural’ tentang suatukomunitas politis yang secara kese-luruhan dibayangkan sebagai kerabatyang bersifat terbatas dan berdaulat(Anderson, 1991). Bayangan tentangkomunitas politis bersama ini bisatimbul karena kebersamaan persada

historis, kesamaan mitos dankenangan sejarah, berbagi budayapublik massa dan ekonomi bersama,kesamaan hak-hak legal dan ke-wajiban bagi semua anggota komu-nitas tersebut (Smith, 2001:19).Dalam komunitas politik modern,batas bayangan komunitas itu secarapolitik menjelma dalam bentuknegara-bangsa. Adapun yang di-maksud ‘negara’ (state) adalah suatu‘konsepsi politik’ tentang sebuahkesatuan politik yang berdaulat, yangtumbuh berdasarkan kesepakatanatau kontrak sosial yang meletakkanindividu ke dalam kerangka kewarga-negaraan (citizenship). Dalam kerangkaini, individu dipertautkan kepadasuatu unit politik (negara) dalamkedudukan yang sederajat di depanhukum. Dengan kata lain, bangsaberoperasi atas prinsip kekariban.Sedang negara beroperasi atas prinsiphukum dan keadilan.

Konsepsi negara-bangsa meng-isyaratkan perlu adanya keserasian(congruency) antara ‘unit kultural’(bangsa) dengan ‘unit politik’(negara). Inti persoalannya, bagai-mana menemukan bangun dan jiwakenegaraan yang cocok dengankarakter kebangsaan. Dalam realitas-nya, proses kemunculan “negara”dan “bangsa” dalam perkembangankeindonesiaan tidaklah berjalanserempak. Kelahiran negara-bangsaIndonesia agak berbeda dari pe-ngalaman kebanyakan masyarakatEropa Barat dan Eropa Tengah/

42 EDISI 04/TAHUN 2012

Timur. Di Eropa Barat, perkem-bangan kesadaran nasional berjalanparalel dengan terbentuknya negara-bangsa, sementara di Eropa Tengah/Timur, terbentuknya negara-bangsapada umumnya merupakan reaksiterhadap kesadaran (nasional) etno-kultural (Giesen, 1998: 2-3). BangsaIndonesia tidak seperti kebanyakanbangsa yang mengambil namanyadari kelompok etnik terdahulu: En-gland dari Angles, Finland dari Finns,France dari Franks, Russia dari Rus,Vietnam dari Viet, Thailand dari Thai,Malaysia dari Melayu, dan lainsebagainya. Ditinjau dari sudut ini,kesadaran kebangsaan Indonesia jelasbukanlah suatu perpanjangan darikesadaran etno-kultural. Di sisi lain,timbulnya kesadaran nasional Indo-nesia juga tidaklah paralel dengankehadiran negara.

Dalam konteks Indonesia, ke-sadaran nasional serta pembentukankesatubangsaan merupakan reaksiterhadap keberadaan negara (kolonial)yang asing. Perjuangan politik rakyatterjajah pada mulanya diorientasikanuntuk membentuk “negara dalamnegara” dengan tujuan untuk meng-hilangkah kata “Belanda” dari istilah“Hindia-Belanda” (Hatta, 1982: 197).Kehendak untuk mengganti negarakolonial “Hindia-Belanda” dengannegara merdeka “Hindia” (kemudiandiberna nama Indonesia) itulah yangmendorong timbulnya kesadarannasional Indonesia.

Dalam rangka mengganti negara-kolonial dengan negara impian itu,pada mulanya dicoba membentukkomunitas bayangan (nation) ber-dasarkan konsepsi “ento-nationalism”atau “cultural nationalism”. Cultural na-tionalism adalah suatu konsepsikebangsaan yang memandangbahwa humanitas secara inherendiorganisasikan ke dalam komunitashistoris, yang masing-masing di-warnai oleh kekuatan uniknyatersendiri, yang diekspresikan melaluikekhasan budaya, berbasiskan padapersada alamiah (naturan homelands)dengan tata pemerintahannya yangkhas. Percobaan ini antara laindilakukan oleh Budi Utomo yangmembatasi bayangan komunitasimpiannya berlandaskan kesamaanetnis (Jawa), dan Sarikat Islam ber-landaskan sentimen keagamaan.Tetapi semua eksperimen pembentu-kan konsepsi kebangsaan berlandas-kan anasir etno-religius belum ber-hasil mewujudkan blok historis ber-sama dari suatu masyarakat yangbegitu majemuk seperti Indonesia.Timbullah kesadaran baru untukmemperjuangkan suatu konsepsinasionalisme sipik-politik (civic-politi-cal nationalism); yakni suatu konsepsiyang memandang bangsa sebagaikomunitas politik dari kehendak ber-sama (political community of will) yangdibangun atas pembuatan keputusanyang bersifat rasional dari warganegara yang sederajat atas dasar

43EDISI 04/TAHUN 2012

kesamaan kehendak dan tumpahdarah (Hutchinson, 2005: 45-46).

Dengan demikian, dasar mengadadari bangsa Indonesia sebagai kualipeleburan aneka (suku) bangsa kedalam suatu bangsa tak lain karenacita-cita politik untuk menghadirkannegara yang dapat mempertemukannilai, kepentingan, dan cita-citabersama. Meskipun faktor budayamemainkan peran penting dalampersatuan bangsa, kunci pokok yangmempersatukan bangsa ini bukanlahkesamaan budaya, agama danetnisitas, melainkan karena adanyaNegara Persatuan yang menampungcita-cita politik bersama, mengatasisegala paham golongan dan perse-orangan. Jika negara merupakanfaktor pemersatu bangsa, makanegara pula yang menjadi faktorpemecah-belah bangsa. Dengandemikian, politik kenegaraan bagiIndonesia sangatlah vital untukmenjaga keutuhan dan keberlang-sungan bangsa.

Meskipun Indonesia menganutpolitical nationalism dengan menempat-kan negara sebagai unsur pemersatu,konsepsi kebangsaan Indonesia jugamengandung unsur-unsur culturalnationalism dengan kehendaknyauntuk mempertahankan warisanhistoris tradisi kekuasaan dan ke-budayaan sebelumnya dari berbagaikemajemukan etnis, budaya dan

agama. Kesadaran ini jelas tergambar-kan dalam bayangan para pendiribangsa tentang batas-batas teritorinegara Indonesia merdeka, yangsebagain besar anggota BPUPKseperti telah diuraikan di atasmenghendaki keberlanjutan dariwilayah kekuasaan sebelumnya,seperti Sriwijaya dan Majapahit.Pengandaian eksistensi bangsa Indo-nesia sebagai kelanjutan dari komu-nitas politik (kerajaan) sebelumnyabahkan diungkapkan oleh SutanSjahrir dalam pidatonya di depansidang Dewan Keamanan PBB, diLake Success Amerika Serikat, pada14Agustus 19475.

Selain itu, dalam konsepsi NegaraPersatuan Indonesia, ada pulapenghormatan terhadap ‘hak-hakasal-asul dari daerah-daerah yangbersifat istimewa’, seperti tertuangdalam pasal 18 UUD 1945. Pengertiantentang daerah istimewa itu dijelas-kan oleh Soepomo pada 15 Juli :

Daerah-daerah yang bersifat istimewaitu ialah pertama daerah kerajaan (Kooti),baik di Jawa maupun di luar Jawa,daerah-daerah yang dalam bahasaBelanda dinamakan ‘zelfbesturendelandschappen’. Kedua daerah-daerah kecilyang mempunyai susunan asli, ialah‘Dorfgemeinschaften’, daerah-daerah kecilyang mempunyai susunan rakyat asliseperti desa di Jawa, negeri di Minang-kabau, dusun dan marga di Palembang,

5 Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai sidang Dewan Keamanan PBB dan pidato Sjahrir diLake Success ini, lihat kembali pada bab terdahulu yang membahas sila ke-2.

44 EDISI 04/TAHUN 2012

huta dan kuria di Tapanuli, gampong diAceh. Maksud panitia ialah hendaknyaadanya daerah-daerah istimewa tadi.Ialah daerah kerajaan (zelfbesturendelandschappen) dan desa-desa itu dihormatidengan menghormati dan memperbaikisusunannya asli.”

Demikian pula halnya konsepsitentang “kebudayaan nasional” dan“bahasa nasional” (Indonesia),seperti tertuang dalam pasal 32 danpasal 36 UUD 1945. Bahwa usahamengembangkan kebudayaan nasionaldan bahasa Indonesia tetap meng-hendaki dipeliharanya keragamankebudayaan daerah (yang “lama” dan“asli”) dan bahasa daerah. Selain itu,para pejuang daerah pra-Indonesia,seperti Pangeran Diponegoro dariYogyakarta, Hasanuddin dari Ma-kassar, Pattimura dari Maluku, danlain-lain, diakui sebagai pahlawannasional.

Dengan demikian, Indonesiamemiliki konsepsi kebangsaan yangkhas. Dalam khazanah teori tentang“bangsa” (nation), konsepsi kebangsa-an Indonesia merupakan perpaduanantara perspektif ‘modernis” (modern-ist), di satu sisi, dengan perspektif‘primordialis’ (primordialist) dan‘perenialis’ (perennialist), di sisilainnya6.

Konsepsi kebangsaan Indonesiasebagai political/civic-nationalism yangberdiri di atas elemen-elemen cultural/

ethno-nationalism, menempatkan state-building dalam posisi yang santat vi-tal, sebagai semen perekat persatuanuntuk menghindari arus balikketerpautan warga pada sentimenethno-nationalism.Berbeda dengankeyakinan utopian kaum modernisyang percaya bahwa sekali negarabangsa terbentuk, negara nasionalakan beroperasi sebagai satu kesatuansosial yang koheren, yang pem-bangunannya akan diarahkan daripusat politik. Kenyataannya selaluada batas rasionalisasi dan kemam-puan negara-nasional untuk mem-berikan makna dan mempertahankandominasi terhadap penduduknya.

Bahkan Perancis, sebagai contohterbaik dari negara sipik (civic state),berbasis konsepsi nasion yang ber-sifat rasional dan voluntaris padakenyataannya tak bisa sepenuhnyamenghabisi simbol-simbol etno-komunal terdahulu. Universalismedari Revolusi Perancis berpijak padakonsepsi etnis terdahulu bahwaPerancis memiliki misi khususterhadap Eropa, sebagai pewarisperadaban Romawi dan Caroling dansebagai penjaga terpilih dari Ke-kristenan Katolik Eropa7. Lebih dariitu, meskipun Republik Perancismengembankan negara sekular yangtersentralisasi secara kuat, dalamkenyataannya tak pernah mampuuntuk mencerabut budaya Katolik

6 Untuk uraian lebih rinci mengenai teori-teori kebangsaan ini, lihat yudi latif (2011: 361-369)7 Lihat Armstrong (1982: bab 5).

45EDISI 04/TAHUN 2012

yang hidup di tengah-tengah warga-nya, yang mempertahankan sumber-sumber tandingan terhadap republi-kan yang berlanjut hingga saat ini8.

Perlu juga diingat bahwa peruba-han-perubahan alam yang tak ter-duga penyakit, kelaparan, kerusakanekologis, dan pergeseran pola fertilitasmemiliki dampak disruptif dalamrelasi antarpenduduk, yang padagilirannya juga mempengaruhikeampuhan nasionalisme politik.Ketidakmampuan pemerintah Britaniauntuk mengatasi kelaparan hebat diIrlandia pada pertengahan abad ke-19 menyebabkan alienasi secara per-manen orang-orang Katolik Irlandiadari pertautannya dengan Britania.

Di dalam ketidakpuasannya ter-hadap kinerja pemerintahan pusat,dan di dalam kompetisi antarkelompok etno-komunal, kerapkaliusaha untuk bertahan hidup diper-juangkan dengan kembali berpalingke sumber-sumber moral dan politikdari nasionalisme kultural. Dalampada itu, ketidakmampuan pemerin-tahan dan elit politik untuk membuatpolitik bermakna bagi warganya,mendorong mereka berpaling kesimbol dan sentimen etno-komunaldalam rangka memobilisasi dukunganmassa.

Untuk itu, nasionalisme politikaldituntut merealisasikan cita-citakemerdekaan dan tujuan nasional-nya. Untuk mempertahankan ke-

hendak bersama dan horizontal com-radeship, nasionalisme harus meme-cahkan masalah-masalah konkrit,yang sumber-sumber masalahnyatidak bisa melulu dialamatkan kepadakejahatan musuh dari luar.

Ketika nasionalisme politikal gagalmerealisasikan janji-janjinya, makaanasir-anasir nasionalisme kulturalakan menguat kembali. Hendaklahdisadari pula bahwa kesadaran (rasio-nalitas) nasionalisme politik tidaklahberoperasi dalam suatu tabula rasa,melainkan tumbuh di atas pola-polaketidaksadaran kolektif terdahulu,yang disebut Carl Gustav Jungsebagai archetypes. Yakni berbagaibentuk sumberdaya etno-kumunalseperti imaji, simbol, mitos dan ritusetno-religius yang diwariskan ribuantahun lamanya.

1. State Building dengan Nasio-nalisme ProgresifDalam konteks Indonesia, kon-

sepsi civic nationalism sebagai cita-citapolitik keindonesian menemukanmomentum perwujudannya dalamperjuangan politik menjelang kemer-dekaan dan selama revolusi kemer-dekaan. Tetapi, keampuhan nasio-nalisme politikal ini baru terujisebagai kekuatan nasionalismenegatif-defensif, ketika dihadapkanpada keburukan musuh bersama dariluar (penjajahan). Padahal, denganberlalunya kolonial, proyek kebang-

8 Lihat Hutchinson (2005: 38).

46 EDISI 04/TAHUN 2012

saan Indonesia yang berlandaskanpada penemuan “batas” dan “lawan”dengan kolonial itu tak bisa lagidipertahankan.

Dengan berlalunya kolonial, In-donesia tidak mampu mendefinisikandan melawan musuh baru yang lebihsublim: tirani, kemiskinan, kesen-jangan dan ancaman. Keberhasilanpara perintis kemerdekaan mem-bentuk kesadaran nasionalisme baru(nation building), tidak diikuti olehkeberhasilan dalam pembangunankenegaraan (state building) yangdiorientasikan kepada, apa yangdisebutkan dalam mukadimah UUD1945, upaya melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melak-sanakan ketertiban dunia berdasar-kan perdamaian abadi dan keadilansosial.

Untuk itu, perlu dihadirkan kon-sepsi nasionalisme yang lebih positifdan progresif. Nasionalisme yangtidak melulu bersandar pada apayang bisa kita lawan, melainkan jugapada apa yang bisa kita tawarkan.Nasionalisme sejati haruslah berartibukan sekadar mempertahankanmelainkan juga memperbaiki keadaannegeri. Para pendiri bangsa Indone-sia sesungguhnya telah mewariskankepada bangsa suatu kerangka dasarbagi pengembangan nasionalismeprogresif. Fondasi dasar ini tertuangdalam “philosofische grondslag”,

bernama Pancasila.Sebagai philosofische grondslag,

Pancasila merupakan kristalisasi darinilai-nilai dan falsafah perjuanganbangsa. Gagasan Pancasila yangpertama kali dikemukakan secarapublik pada 1 Juni 1945 bisa di-sejajarkan dengan dokumen-dokumenawal dari kelahiran Amerika Serikat,seperti misalnya Federalist Paper yangmengiringi rentetan sejarah semenjakDeclaration of Independence, ataupemikiran-pemikiran Montesquieudan Rousseau bagi kelahiran Perancissebagai Republik. Di sana ada suatupergulatan yang terus berjalan, yangkemudian berelasi erat dengan pe-ristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober1928, pergerakan Indonesia (ter-masuk Boedi Oetomo, PerhimpunanIndonesia, Indhische Partij, SarekatIslam, Taman Siswa dan sebagainya)dan Proklamasi Kemerdekaan 17Agustus 1945, berikut dengan ke-lahiran Undang-Undang Dasar 1945yang disahkan oleh Panitia PersiapanKemerdekaan Indonesia (PPKI) padatanggal 18 Agustus 1945.

Setelah Sumpah Pemuda meru-muskan sesuatu yang sifatnya tan-gible, yaitu mengenai tumpah darah,kebangsaan, dan menunjung bahasapersatuan, maka Pancasila adalahkonsekuensi penting dari pergulatanpara pendiri bangsa ini. Pada, ke-nyataanya, sequence ini amat pentingbagi bangsa dan negeri Indonesiayang keseluruhannya menjadi pri-bumi (native), bahkan bagi mereka

47EDISI 04/TAHUN 2012

yang menjadi imigran semenjak masalampau9. Beberapa bangsa hidupdengan warna imigran yang kuat,dan beberapa yang lain kesulitanmemilih bahasa persatuan. Sequenceini penting juga dengan memper-timbangkan bahwa bangsa Indone-sia adalah bangsa yang amat plural,yang mungkin menjadi satu-satunyabangsa dengan tingkat keragamanyang begitu kaya dan seringkaliekstrem.

Sebagai bangsa multikultural,Negara Indonesia berdasarkan Panca-sila adalah negara yang mengatasipaham golongan dan perseorangan.Dalam hal ini Bung Karno mengata-kan dalam pidatonya:

Sebagai tadi telah saya katakan, kitamendirikan Negara Indonesia, yang kitasemua harus mendukungnya. Semua buatsemua! Bukan Kristen buat Indonesia,bukan golongan Islam buat Indonesia,bukan Hadikoesoemo buat Indonesia,bukan Van Eck buat Indonesia, bukanNitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapiIndonesia buat Indonesia semua buatsemua! Jikalau saya peras yang limamenjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu,maka dapatlah saya satu perkataan In-donesia yang tulen, yaitu perkataan‘Gotong-royong’. Negara Indonesia yangkita dirikan haruslah Negara gotong-royong!”

Dalam kerangka falsafah gotongroyong itu, misi nasionalisme pro-

gresif dalam Indonesia merdeka telahdiantisipasi dalam kandungan nilaidari masing-masing dan keseluruhansilaPancasila. Dalam mengantisipasikemungkinan menguatnya funda-mentalisme agama, sila pertamamenekankan prinsip ketuhanan yangberkebudayaan dan berkeadaban.Seperti dinyatakan Bung Karno,“Hendaknya negara Indonesia ialahnegara yang tiap-tiap orangnya dapatmenyembah Tuhannya dengan carayang leluasa. Segenap rakyat hendak-nya ber-Tuhan secara kebudayaan,yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama. Ketuhanan yang berbudipekerti yang luhur, Ketuhanan yanghormat-menghormati satu sama lain.

Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasidan lokalisasi, dalam bentuk homo-genisasi dan partikularisasi identitas,prinsip “sosio-nasionalisme” yangtertuang dalam sila kedua dan ketigaPancasila telah memberikan jawabanyang jitu. Dalam prinsip “sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesiaadalah kebangsaan yang mengatasipaham perseorangan dan golongan,berdiri atas prinsip semua untuksemua. Saat yang sama, kebangsaanIndonesia juga kebangsaan yangberperikemanusiaan, yang mengarahpada persaudaraan, keadilan dankeadaban dunia. Dikatakan BungKarno, “Internasionalisme tidak

9 Denys Lombard dan Parakitri T. Simbolon (dalam Menjadi Indonesia) membuat banyak catatanmengenai perjalanan sejarah munculnya “Bangsa Indonesia”.

48 EDISI 04/TAHUN 2012

dapat hidup subur, kalau tidakberakar di dalam buminya nasio-nalisme. Nasionalisme tidak dapathidup subur, kalau tidak hidup dalamtaman-sarinya internasionalisme”.

Dalam mengantisipasi tirani danketidakadilan dalam politik danekonomi, prinsip “sosio-demokrasi”yang tertuang dalam sila keempat dankelima Pancasila, memberi solusiyang andal. Menurut prinsip ini,demokrasi politik harus bersejalandengan demokrasi ekonomi. Padaranah politik, demokrasi yang di-kembangkan adalah demokrasipermusyawaratan (deliberative democ-racy) yang bersifat imparsial, denganmelibatkan dan mempertimbanganpendapat semua pihak secara inklusif.Pada ranah ekonomi, negara harusaktif mengupayakan keadilan sosial,dalam rangka mengatasi dan meng-imbangi ketidaksetaraan yang yangterjadi di pasar, dengan jalan menjagaiklim kompetisi yang sehat, membelayang lemah, serta berinvestasi dalampublic goods yang menyangkut hajathidup orang banyak.

Demikianlah, para pendiri bangsaini telah mewariskan kepada kitasuatu falsafah berbangsa dan ber-negara yang begitu visioner dantahan banting (durable). Sayangsekali, keluasan daya jangkau dandaya jawab Pancasila itu belumbanyak dikembangkan dan diamal-kan secara jujur dan konsekuendalam kehidupan berbangsa danbernegara. Seperti dikatakan almar-

hum Nurcholish Madjid, “Disebab-kan oleh faktor kemudaan yang jugaberarti kekurangmatangan kitasemua sebagai bangsa baru, ide-ideterbaik para pendiri negara itu,dalam pelaksanannya sering ber-hadapan dengan apa yang dikatakanBung Hatta sebagai jiwa-jiwa kerdilsebagian pemimpin kita.”

Pembangunan kenegaraan yangdapat merawat civic nationalism men-syaratkan keberadaan para penye-lenggara negara yang memahi danmengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Dalam pesan Bung Hatta dikata-kan, “Indonesia, luas tanahnya, besardaerahnya, dan tersebar letaknya.Pemerintahan negara yang semacamitu hanya dapat diselenggarakan olehmereka yang mempunyai tanggungjawab yang sebesar-besarnya danmempunyai pandangan yang amatluas. Rasa tanggung jawab itu akanhidup dalam dada kita jika kitasanggup hidup dengan memikirkanlebih dahulu kepentingan masya-rakat, keselamatan nusa, dan ke-hormatan bangsa. Untuk mendapatrasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik dirikita dengan rasa cinta akan kebe-naran dan keadilan yang abadi. Hatikita harus penuh dengan cita-citabesar, lebih besar dan lebih lamaumurnya daripada kita sendiri.”

Untuk menghadirkan kepemim-pinan nasional yang sepadan denganhakikat dan tantangan keindonesianterasa perlu adanya usaha untuk

49EDISI 04/TAHUN 2012

melakukan revitalisasi nilai-nilaiPancasila. Keperluan ini terasa men-desak dengan menginsyafi suasanakehidupan kenegaraan yang berkem-bang selama ini. Setelah 14 tahunreformasi digulirkan, perkembangandemokrasi Indonesia ibarat berlari diatas landasan yang goyah. Peruba-han demi perubahan terus terjadi diatas kerapuhan basis moral kenegara-an. Politik sebagai teknik mengalamipencanggihan, tapi politik sebagai etikmengalami kemunduran.

Praktik politik cenderung meng-alami pengerdilan menjadi sekadarperjuangan kuasa demi kuasa; bukanpolitik sebagai perjuangan mewujud-kan kebajikan bersama. Politik danetika terpisah seperti terpisahnya airdengan minyak. Akibatnya, kebaji-kan dasar kehidupan bangsa sepertiketakwaan, perikemanusiaan, per-satuan, permusyawaratan dankeadilan mengalami kelumpuhan.Misi besar reformasi untuk meng-hadirkan pemerintahan yang bersih,bebas dari korupsi, kolusi dan nepo-tisme masih jauh dari harapan.Proses konsolidasi demokrasi ter-hambat oleh proses “demokratisasi”(perluasan dan pendalaman) korupsi.Praktik korupsi melanda seluruhlembaga dan instansi kenegaraan,serta merembes ke segala lapisan daripusat hingga daerah.

Seiring dengan laju korupsi,wajah negeri seperti tercermin dariwarta media menampakkan buruk

rupa: kemiskinan keteladanan,kehilangan keadilan dan perlin-dungan hukum, kesenjangan sosial,keretakan jalinan sosial, perluasantindak kekerasan, kejahatan danpremanisme, gurita narkoba, keru-suhan di wilayah tambang danperkebunan, kecelakaan transportasidan kerawanan sarana publik.

Pada titik genting krisis multi-dimensi ini, para penyelenggaranegara justru seperti kehilangan rasakrisis dan rasa tanggung jawab.Kepemimpinan eksekutif, legislatif,dan yudikatif lebih mempedulikan“apa yang dapat diambil dari negara”,bukan “apa yang dapat diberikanpada negara”. Kepemimpinan negarahidup dalam penjara narsisme yangtercerabut dari suasana kebatinanrakyatnya. Perhatian elit politik lebihtertuju pada upaya memanipulasipencitraan, bukan mengelola kenya-taan; lebih mengutamakan kenya-manan diri ketimbang kewajibanmemajukan kesejahteraan dankeadilan sosial.

Situasi inilah yang melahirkankrisis kepemimpinan. Pemimpin adakalau mereka hadir dalam alamkesadaran dan penderitaan rakyat-nya. Bung Karno mengatakan,“Mereka seharusnya belajar, bahwaseorang tidak dapat memimpin massarakyat jika tidak masuk ke dalamlingkungan mereka…. Demi tercapai-nya cita-cita kita, para pemimpinpolitik tidak boleh lupa bahwa

50 EDISI 04/TAHUN 2012

mereka berasal dari rakyat, bukanberada di atas rakyat.”

Untuk mengatasi krisis multi-dimensi tersebut, kita perlu kembalike titik “normal” (berlakunya norm).Dengan bantuan perspektif sosiologidalam menjelaskan krisis sosial,prioritas terpenting dalam usahapemulihan normalitas (keteraturan)itu adalah peran kepemimpinandalam mengaktualisasikan kapasitastransformatif dari kekuasaan. Kepe-mimpinan yang dapat mengakhirigerak sentripetal dari kekuasaanyang bersifat narsistik menuju geraksentrifugal yang berorientasi padakemaslahatan umum.

Meskipun kepemimpinan merupa-kan faktor permanen yang selaludiperlukan oleh setiap masyarakatdan segala zaman, masa krisis dankekacauan memerlukan peran kepe-mimpinan yang lebih besar dibandingmasa normal. Masa seperti ini,menurut Max Weber, membukakesempatan bagi munculnya pemim-pin-pemimpin karismatik denganpesan pembebasan dan pemulihantertib sosial. Pemimpin karismatikdalam arti ini bukan sekadar pemim-pin yang berwibawa, tetapi pemimpinyang dengan kewibawaannya mampumengkompensasikan kelumpuhanhukum dan institusi sosial, sehinggasituasi “anomali” (a-nomos, ketidak-teraturan) bisa ditransformasikanmenjadi situasi “normal” (berlaku-nya norm, keteraturan) kembali.

Kepempinan memainkan perankunci dalam reformasi tata kelolanegara. Berkaca dari keberhasilanreformasi birokrasi di negara-negaraKorea Selatan, China dan Thailandditemukan tiga faktor kunci (criticalsuccess factors) dalam reformasi tatakelola negara, yaitu: (1) adanyakepemimpinan yang kuat; (2) adanyakomitmen dan kesepahaman bersamayang kuat; dan (3) adanya agendareformasi yang jelas, bertahap danterukur. Dari ketiga faktor tersebut,faktor kepemimpinan merupakankunci pembuka kotak pandora, bagiperbaikan faktor-faktor lainnya.

Para pendiri bangsa Indonesiamenyadari benar pentingnya perankepemimpinan dalam pengelolaannegara. Desain konstitusionalUndang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945memberikan kepercayaan yang besarpada moral kenegarawanan penye-lenggara negara, seperti tercermindari pernyataan Prof. Soepomo.Dengan segala kerendahan hati,beliau menyadari bahwa rancangankonstitusi itu “jauh dari sempurna”.Meski demikian, segera ia katakan.“Paduka Tuan Ketua, yang sangatpenting dalam pemerintahan dandalam hidup negara, ialah semangat,semangat para penyelenggara negara,semangat para pemimpin pemerin-tahan. Meskipun kita membikinundang-undang yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan,

51EDISI 04/TAHUN 2012

apabila semangat para penyelenggaranegara, para pemimpin pemerintahanitu bersifat perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak adaartinya dalam praktek. Sebaliknyameskipun undang-undang dasar itutidak sempurna, akan tetapi jikalausemangat para penyelenggara peme-rintahan baik, undang-undang itutentu tidak akan merintangi jalannyanegara. Jadi yang paling pentingialah semangat.”

Yang dimaksud dengan “semangat”dalam pernyataan Prof. Soepomotersebut tak lain adalah “gairahpenghayatan alam Pancasila” (Karto-hadiprodjo, 2010). Bahwa semangatpenyelenggara negara itu harusmemancarkan nilai dan komitmenPancasila berikut pencarannya dalamUUD 1945.Hal ini dipertegas olehpokok pikiran keempat PembukaanUUD 1945, yang menyatakan:“Negara berdasar atas ke-Tuhanan,menurut dasar kemanusiaan yangadil dan beradab. Oleh karena ituundang-undang dasar harus me-ngandung isi yang mewajibkanpemerintah dan lain-lain penyeleng-gara negara, untuk memelihara budipekerti kemanusiaan yang luhur danmemegang teguh cita-cita moralrakyat yang luhur.”

Cita-cita moral rakyat yang harusdipegang teguh oleh para pemimpindan penyelenggara negara tersebuttak lain adalah moral “rakyat” secarakeseluruhan yang terkristalisasi

dalam Pancasila dan penjabarannyadalam konstitusi.Dengan dasarberfikir seperti itu dapat dikatakanbahwa krisis multidimensi yangmelanda negara Indonesia saat inimerupakan cerminan dari krisiskepemimpinan. Sedangkan krisiskepemimpinan itu sendiri men-cerminkan ketercerabutan parapemimpin dan penyeleggara negaradari semangat, moral dan karakterPancasila.

Akutnya krisis yang kita hadapimengisyaratkan, untuk memulihkan-nya perlu lebih dari sekadar politics asusual. Kita perlu visi politik baruyang mempertimbangkan kenyataanbahwa krisis nasional itu berakarjauh pada krisis moralitas dan etosyang melanda jiwa bangsa. Usaha“penyembuhan” perlu dilakukandengan memperkuat kembali fun-damen etis dan karakter bangsaberdasarkan falsafah dan pandanganbangsa Indonesia.

C. PENUTUPKeterbukaan dan kebebasan ruang

publik Orde Reformasi membawaeforia bagi pengekspresian identitas-identitas yang termajinalkan. Usahamembawa ragam ekspresi “pluralmonokulturalisme” ini ke dalamsituasi “multikulturalisme”dengankesediaan menerima perbedaan(pluralisme) sekaligus mencari titik-titik persamaan (kosmopolitanisme)menuntut adanya kerangka soli-daritas baru.

52 EDISI 04/TAHUN 2012

Kerangka solidaritas baru iniharus bertumpu pada premis-premisnasionalisme politikal yang berbasispada rasionalitas, kesukarelaan danpersemakmuran bersama. Padaakhirnya, seperti diisyaratkan JohnRaws, sumber persatuan dan komit-men kebangsaan dari negeri multi-kultural adalah “konsepsi keadilanbersama (a share conception of justice).“Meskipun suatu masyarakat bangsaterbagi dan pluralistik…kesepakatanpublik atas persoalan-persoalankeadilan sosial dan politik men-dukung persaudaraan sipik danmenjamin ikatan-ikatan asosiasi10.”

Setelah 14 tahun reformasidigulirkan, Indonesia telah meng-hasilkan banyak perubahan dari segiprosedural, namun belum membawakemajuan berarti secara substansial.Padahal, di benak kebanyakan rakyatyang telah lama mengalami penin-dasan, ketidakadilan dan kemiskinan,demokrasi melambangkan lebih darisekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif danpenggantian pemimpin-pemimpinotoriter. Demokrasi merepresentasi-kan kesempatan dan sumberdaya bagiperbaikan kualitas hidup serta bagikehidupan sosial yang lebih adil danmanusiawi.

Seturut dengan cita-cita repu-blikanisme demokratis, warga negara

harus menikmati persamaan hak-hakekonomi, sosial dan budaya agarkebebasan tidak mengarah padapenguasaan seseorang atau suatugolongan terhadap yang lain. Ke-bebasan tanpa keadilan hanya mem-buat tirani berganti wajah, dariwajah bengis militeristik menujuwajah lembut permainan prosedur.

Jika persoalan demokrasi kitaadalah defisit keadilan, bukan ke-bebasan, maka isu utamanya bukan-lah pergantian elit dan prosedurpolitik, melainkan pada kapasitastransformatif dari kekuasaan. Bagai-mana mengakhiri gerak sentripetaldari kekuasaan yang bersifat narsistikmenuju gerak sentrifugal yang ber-orientasi pada kemaslahatan umum.Malangnya, pergeseran dari rezimotoritatian menuju demokrasi di In-donesia belum menyentuh aspek ini,sehingga upaya-upaya reformasibelum mampu mewujudkan “a shareconception of justice”.

Perubahan fundamental dalampengelolaan negara merupakan satu-satunya cara mempertahankan“komunitas impian”, Indonesia.Wacana demokrasi dan reformasimenjadi sekadar kosmetika jika tidaksanggup mendorong reformasi(secara menyeluruh) dalam penye-lenggaraan negara. Itulah cita-citapolitik Indonesia masa depan.

10 Lihat Raws (1980: 540).

53EDISI 04/TAHUN 2012

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R. O’G, 1991,Imagined Communities: Reflections on the Origin andSpread of Nationalism. New York: Verso.

Benda, H. J., 1962, ‘Non-Western Intelligentsias as Political Elites’. In J. H.Kautsky (ed.) Political Change in Underdeveloped Countries. New York:John Wiley and Sons, Inc.

Bhabha, H. 1994, The Location of Culture, London: Routledge.

Eder, C. 1993, The New Politics of Class, London: Sage Publications

Foucault, M., 1979, “Truth and Power: an interview with Alessandro Fontanaand Pasquale Pasquino.” In Morris et.al. (eds) Michel Foucault: Power/Truth/Strategy. Sydney: Feral Publications.

Furnivall, J. S. 1980, Plural Societies. In H-D. Evers (ed.) Sociology of South-East Asia: Reading on Social Change and Development. Kuala Lumpur:Oxford University Press.

Gramsci, A., 1959, The Modern Prince and Other Writings. Trans. L. Marks. NewYork: International Publishers.

_________, 1971,Selections from the Prison Notebooks. Trans. and ed. by Q. Hoareand G. N. Smith. New York: International Publishers.

Hatta, M., 1998,Kebangsaan dan Kerakyatan. Karya Lengkap Bung Hatta, Buku1. Jakarta: LP3ES.

Huntington, S.P., 1991,The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Cen-tury. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

Laclau, E. & Mouffe, C., 1985,Hegemony & Socialist Strategy. London: Verso.

Nieuwenhuys, R., 1999,Mirror of the Indies. Singapore: Periplus.

Robison, R., 1978, ‘Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Bu-reaucratic State’. Indonesia, No. 25 (April). Pp. 17-39.

_________, 1981, “Culture, Politics, and Economy in the Political History ofthe New Order.” Indonesia, No. 31 (April). Pp. 1-29.

54 EDISI 04/TAHUN 2012

Schiller, A. A., 1955, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949. Bandung:The Hague.

Shils, E. 1972, The Intellectuals and the Powers and Other Essays. London: TheUniversity of Chicago Press.

Simbolon, P.T., 1995,Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.

Snyder, J., 2000,From Voting to Violance: Democratization and Nationalist Conflict.New York & London: WW Norton & Company.

Sularto, St., & Koekerits, T.J. (eds.), 1999,Federalisme untuk Indonesia. Jakarta:Kompas.

Touraine, A., 1981,The Voice and The Eye: An Analysis of Social Movements.Cambridge: Cambridge University Press.

Yudi Latif, 2011,Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan AktualitasPancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

55EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Budi Susilo Soepandji

AbstraksiNilai Dasar Pancasila Pada dasarnya semua bangsa di dunia, memilikilatar belakang sejarah, budaya dan peradaban yang dijiwai oleh sistemnilai dan filsafat, baik nilai-nilai moral keagamaan (theisme-religious)maupun nilai non-religious (sekular, atheisme). Bagi generasi penerusbukan suatu hal yang mudah mempertahankan komitmen para pemudapendahulu dan pendiri bangsa dalam memperjuangkan nilai-nilai luhurpancasila. Dinamika perkembangan lingkungan strategis, baik global,regional maupun nasional setiap jaman dan era kepemimpinan, sangatmempengaruhi tumbuh kembangnya pola pikir, pola sikap dan pola tindakgenerasi penerus dalam menyikapi berbagai permasalahan mendasar yangdihadapi bangsa. Pada era reformasi perkembangan situasi nasional cukupmemprihatinkan dengan banyaknya permasalahan yang muncul secarabergantian di seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, danbernegara.

AbstractThe basic values of Pancasila; basically all the nations of the world, havea historical background, culture and civilization imbued by the value sys-tems and philosophies, both religious moral values (theism-religious) anda non-religious (secular, atheism). For the future generations, it is not aneasy thing to maintain the commitment of the youth predecessor and founder

REVITALISASI NILAI LUHUR PANCASILADALAM KEHIDUPAN NASIONAL

56 EDISI 04/TAHUN 2012

of the nation in fighting the noble values of Pancasila. The dynamics ofthe development of the strategic environment, either global or regional andnational leadership in every age and era, greatly influence the growth ofmindset, attitude and pattern of generation in dealing with the fundamentalproblems faced by the nation. In the reformation era, the situation of na-tional development is quite alarming with the many problems that appearalternately in all aspects of life in society, nation, and state.

Key Word: Pancasila

A. PENDAHULUANBangsa Indonesia merupakan

bangsa yang lahir karena kemajemu-kan dan perbedaan yang dipersatu-kan oleh kesadaran kolektif untukhidup sebagai bangsa yang merdekadan berdaulat. Perjuangan panjangbangsa untuk bersatu, diwarnai olehkepahitan dan perjuangan fisik yangpanjang dari generasi pendahulubangsa untuk merdeka. Bukan meru-pakan hal yang mudah bagi parapendiri negara (founding fathers)menyepakati Pancasila, yang meru-pakan kristalisasi nilai-nilai luhurbangsa, dan menetapkannya sebagaidasar negara. Namun dengan niatluhur dan mengesampingkan kepen-tingan kelompok, agama maupungolongan, pada tanggal 18 agustus1945, dalam sidang pertamanya, PPKItelah menghasilkan kesepakatanuntuk mengesahkan Pancasila se-bagai dasar negara dan UUD NegaraRepublik Indonesia tahun 1945sebagai konsitusi negara.

Sebagai Dasar Negara, Pancasilamerupakan ideologi, pandangan dan

falsafah hidup yang harus dipedo-mani bangsa indonesia dalam prosespenyelenggaraan kehidupan ber-masyarakat, berbangsa dan ber-negara dalam mewujudkan cita-citaproklamasi kemerdekaan. Nilai-nilailuhur yang terkandung di dalamnyamerupakan nilai-nilai luhur yangdigali dari budaya bangsa dan me-miliki nilai dasar yang diakui secarauniversal dan tidak akan berubaholeh perjalanan waktu. Seiringdengan perjalanan waktu dan sejarahbangsa, kini apa yang telah diper-juangkan para pendiri dan pendahulubangsa tengah menghadapi batuujian keberlangsungannya. Globali-sasi dan euphoria reformasi yangsarat dengan semangat perubahan,telah mempengaruhi pola pikir, polasikap dan pola tindak generasipenerus bangsa dalam menyikapiberbagai permasalahan kebangsaan.

Pemahaman generasi penerusbangsa terkait nilai-nilai yang ter-kandung dalam empat pilar ke-hidupan berbangsa dan bernegara(Pancasila, UUD NRI Tahun 1945,

57EDISI 04/TAHUN 2012

NKRI dan Sesanti Bhinneka TunggalIka), semakin terdegradasi danterkikis oleh derasnya nilai-nilai baruyang tidak sesuai dengan jati diribangsa. Ironisnya, sementara nilai-nilai baru ini belum sepenuhnyadipahami dan dimengerti, namunnilai-nilai lama sudah mulai diting-galkan dan dilupakan. Tanpa disadari,generasi penerus bangsa bergeraksemakin menjauh dari Pancasilasebagai jati diri bangsa yang ber-cirikan semangat gotong royong.

B. PEMBAHASANNilai Dasar Pancasila Pada dasar-

nya semua bangsa di dunia, memilikilatar belakang sejarah, budaya danperadaban yang dijiwai oleh sistemnilai dan filsafat, baik nilai-nilai moralkeagamaan (theisme-religious) maupunnilai non-religious (sekular, atheisme).Tegasnya, setiap bangsa senantiasamenegakkan nilai-nilai peradaban-nya dengan dijiwai, dilandasi dandipandu oleh nilai-nilai religious ataunon-religious. Demikian pula halnyadengan bangsa Indonesia yangmajemuk dan multikultur, telahhidup dengan hidup keagamaan yangkuat sebagai landasan moral dalamkehidupan ketaanegaraannya. Keber-adaan peninggalan candi seperticandi borobudur, prambanan, dansitus peninggalan keagamaan lain-nya merupakan bukti tentang ke-hidupan bangsa Indonesia yangreligius sejak dulu. Dan hal ini men-jadi pedoman hidup dasar bangsa

Indonesia yang berketuhanan.Selanjutnya, prinsip yang ter-

tuang dalam sila kedua Pancasila,merupakan bentuk kesadaran bahwabangsa Indonesia sejak dulu telahmenjunjung nilai-nilai kemanusiaandan keadilan sesuai budaya bangsaindonesia yang beragam. Dalambudaya bangsa, manusia senantiasaditempatkan dan diperlakukan sesuaidengan kodrat sebagai mahlukciptaan Tuhan. Hal ini dapat dilihatdari berbagai seni budaya bangsayang mengagungkan manusia sesuaidengan kultur dan budaya yangberagam. Sementara itu, menyadarikeragaman dan pluralitas yangdimiliki bangsa dan belajar daripengalaman masa penjajahan, makapersatuan bangsa Indonesia menjadituntunan hidup bangsa Indonesiayang majemuk.

Justru dengan kemajemukan yangdimiliki, bangsa Indonesia memilikikekayaan budaya yang sangat hete-rogen. Prinsip persatuan indonesiabukan berarti menghilangkan eksis-tensi, ciri dan identitas masing-masing suku bangsa. Eksistensi, ciridan identitas masing-masing sukubangsa tetap terpelihara dan terjagakeberadaannya. Sila keempat meru-pakan bentuk kesadaran dan penge-jawantahan prinsip-prinsip ke-hidupan kelembagaan yang didasar-kan pada perilaku kehidupan gotongroyong yang telah mengakar dalamkehidupan bangsa Indonesia sejakdulu. Sifat kegotongroyongan dan

58 EDISI 04/TAHUN 2012

musyawarah mufakat telah menjadipilar kehidupan dalam kehidupanbermasyarakat secara turun temurun.

1. Globalisasi dan Era Reformasi.Menyadari tantangan sebagai

bangsa yang majemuk dan penting-nya persatuan bangsa, maka prinsip-prinsip kelembagaan yang didasar-kan pada musyawarah untuk mufakatmerupakan tuntunan bagi bangsaIndonesia dalam menjalankan ke-hidupan kelembagaan negara yangmenentukan masa depan bangsayang berkeadilan. Dengan demikianprinsip-prinsip keadilan merupakankristalisasi keinginan dan cita-citabangsa untuk mewujudkan suatumasyarakat yang adil dan makmur.

Bagi generasi penerus bukansuatu hal yang mudah memper-tahankan komitmen para pemudapendahulu dan pendiri bangsa dalammemperjuangkan nilai-nilai luhurpancasila. Dinamika perkembanganlingkungan strategis, baik global, re-gional maupun nasional setiap jamandan era kepemimpinan, sangat mem-pengaruhi tumbuh kembangnyapola pikir, pola sikap dan pola tindakgenerasi penerus dalam menyikapiberbagai permasalahan mendasaryang dihadapi bangsa. Di satu sisi,trauma generasi muda terhadap sikappolitik pemerintahan orde baru, telahmelahirkan generasi muda erareformasi yang cenderung apatis dantidak peduli terhadap nilai-nilai luhuryang terkandung dalam Pancasila.

Sementara disisi lain, era globalisasibeserta implikasinya telah merubahpersepsi ancaman terhadap eksistensisuatu negara. Ancaman bagi bangsadan negara, tidak lagi diwujudkandalam bentuk ancaman secara fisik,melainkan ancaman tampil dalamwujud dan bentuk ancaman yanglebih kompleks dan mencakupseluruh dimensi kehidupan nasional.

2. Potensi Ancaman dan BelaNegara.

Globalisasi yang didominasi olehkemajuan ilmu pengetahuan danteknologi informasi, telah merubahpola hubungan antar bangsa dalamberbagai aspek. Negara seolah tanpabatas (borderless), saling tergantung(interdependency) dan saling terhubung(interconected) antara satu negaradengan negara lainnya. Saat ini,tidak ada satu pun negara di duniayang mampu berdiri sendiri dalammemenuhi kebutuhan masyarakatdan warganya. Dominasi negara-negara maju terhadap negara-negaraberkembang semakin menguat me-lalui konsep pasar bebas dalamlingkup global maupun regional.

Tantangan terbesar generasipenerus saat ini adalah kemajuanteknologi informasi yang sangatcepat. Kemajuan teknologi informasitelah merubah hubungan antarnegara dan pola hubungan antarmanusia. Kehadiran internet danteknologi komunikasi ikutan lain-nya, memungkinkan manusia ber-

59EDISI 04/TAHUN 2012

hubungan dan berkomunikasi setiapsaat dan tanpa batas. Di satu sisi, halini dapat memberikan kontribusipositif bagi proses pembangunan danpeningkatan kualitas hidup masya-rakat. Namun disisi lain, teknologiinformasi dapat digunakan sebagaisarana melemahkan ketahananideologi, politik, ekonomi, sosialbudaya dan pertahanan keamanansuatu negara. Hal ini telah dibukti-kan dengan munculnya berbagaiketidakstabilan beberapa negara yangdiakibatkan oleh pembentukan opinipublik dan penyebaran dokumen-dokumen rahasia melalui situs-situsyang memanfaatkan jaringan internet.

Pada era reformasi perkembangansituasi nasional cukup memprihatin-kan dengan banyaknya permasalahanyang muncul secara bergantian diseluruh sendi kehidupan bermasya-rakat, berbangsa, dan bernegara.Dalam kehidupan bermasyarakat,terjadinya perubahan emosi, sikap,tingkah laku, opini, dan motivasimasyarakat, merupakan cerminanmenipisnya secara signifikan ter-hadap pemahaman, penghayatan,dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.Dampak demokratisasi yang tidakterkendali dan tidak didasari denganpemahaman nilai-nilai Pancasila telahmemunculkan sikap individualistisyang sangat jauh berbeda dengan

nilai-nilai Pancasila yang lebihmementingkan keseimbangan, kerja-sama, saling menghormati, kesama-an, dan kesederajatan dalam hu-bungan manusia dengan manusia.

Hal ini juga dirasakan dan di-ungkapkan oleh mantan Presiden BJHabibie dan Ibu Megawati dalamsambutannya di depan sidang MPRRI pada tanggal 1 Juni 2011 dalamrangka memperingati Pidato BungKarno 1 Juni 1945.Dalam sambutan-nya Bapak BJ Habibie manyampaikan“ ......sejak reformasi 1998, Pancasilaseolah-olah tenggelam dalam pusaransejarah masa lalu yang tak lagi relevanuntuk disertakan dalam dialektikareformasi. Pancasila seolah hilang darimemori kolektif bangsa. Pancasila semakinjarang diucapkan, dikutip, dan dibahasbaik dalam konteks kehidupan ketata-negaraan, kebangsaan maupun kemasya-rakatan. Pancasila seperti tersandar disebuah lorong sunyi justru di tengah denyutkehidupan bangsa Indonesia yang semakinhiruk-pikuk dengan demokrasi dankebebasan berpolitik”1. Ibu Megawatijuga menyampaikan bahwa “.....dalam kurun 13 tahun reformasi,menunjukkan kealpaan kita semuaterhadap dokumen penting sebagairujukan Pancasila dalam prosesketatanegaraan kita”2.

Ekspresi dan kegundahan keduatokoh nasional tersebut, tentu meru-

1 Pidato Bpk. BJ. Habibie dalam Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di MPR RI tgl 1 Juni2011.

2 Pidato Ibu Megawati dalam Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di MPR RI tanggal 1 juni2011.

60 EDISI 04/TAHUN 2012

pakan bentuk kegelisahan yangharus dijadikan tolok ukur memu-darnya pemahaman masyarakatterhadap nilai-nilai luhur Pancasila.Hingga saat ini, Pancasila masihtampak kokoh berdiri memper-satukan berbagai komponen bangsa,suku bangsa, golongan dan etnik dibawah NKRI. Namun, bangsa iniharus berani jujur untuk mengakuibahwa Pancasila sebagai dasar negaramulai kehilangan roh dan jiwa anakbangsanya.

Di tengah semakin kaburnyawujud dan bentuk ancaman yangberkembang dewasa ini, kerapuhanjiwa dan semangat kebangsaansesungguhnya merupakan potensiancaman terbesar bagi keberlang-sungan dan keutuhan bangsa. Halini berangkat dari pemikiran bahwapemahaman empat pilar wawasankebangsaan akan membangkitkansemangat dan kesadaran bela negaraseluruh warga negaranya dalammenghadapi berbagai bentuk an-caman. Empat pilar wawasan ke-bangsaan dan kesadaran bela negaramerupakan unsur soft power dalamspektrum bela negara. Lebih jauhlagi, dalam konteks sistem per-tahanan negara, pemahaman empatpilar wawasan kebangsaan merupa-kan kekuatan moral pertahanan nirmiliter setiap warganegara denganberbagai profesinya untuk berpartisi-pasi aktif dalam mempertahankannegara.

1. Euphoria Demokrasi di EraReformasi

Semua dampak euphoria refor-masi yang kita hadapi saat ini, perludisikapi oleh segenap komponenbangsa melalui pemahaman yangbenar, utuh dan menyeluruh dalamkonteks semangat persatuan dankesatuan bangsa. Semangat tersebutmerupakan kata kunci dari aktuali-sasi dan implementasi nilai-nilai luhurPancasila yang harus terus ditumbuhkembangkan oleh generasi penerus.Seluruh komponen bangsa harusmampu menyikapi berbagai permasa-lahan, perbedaan dan kemajemukandengan berpedoman pada empat pi-lar wawasan kebangsaan yangdibangun oleh para pendiri bangsa.Seluruh anak bangsa harus proaktifuntuk menciptakan, membina,mengembangkan dan memantapkanpersatuan dan kesatuan bangsa yangkerap menghadapi potensi perpe-cahan. Generasi penerus harusmampu menghidupkan kembali sikapdan budaya gotong royong, silah-turahmi dan musyawarah untukmufakat yang hakikinya merupakanciri bangsa Indonesia sejak dulu.

Primodialisme, masalah SARA,masalah ketidakadilan, masalahkorupsi dan kesenjangan sosialekonomi secara bertahap harus dapatdikurangi dan bahkan dihilangkan.Hal ini perlu ditegaskan mengingat,hal tersebut dapat menjadi titik retakrasa persatuan dan kesatuan bangsa

61EDISI 04/TAHUN 2012

bila tidak dapat ditemukan solusipemecahan masalahnya. Oleh karenaitu, pemuda harus mampu mempe-lopori untuk memahami, menghayatidan mengmplementasikan nilai-nilaiempat pilar Kehidupan berbangsadan bernegara sebagai daya tangkalterhadap berbagai potensi yangmengancam keutuhan NKRI.

Upaya politis sangat diperlukanmengingat Pancasila dan tiga pilarkebangsaan lainnya lahir melaluiproses politik yang melibatkanseluruh kelompok dan golongan.Teladan yang ditunjukkan pen-dahulu bangsa, harus dapat dijadi-kan contoh untuk menyusun rencanaaksi guna melakukan revitalisasinilai-nilai Pancasila. Proses politikharus didasarkan pada komitmenyang mengacu pada kepentinganbangsa dan negara dengan melibat-kan Supra struktur politik, Infrastruktur politik dan Sub strukturpolitik sesuai sistem politik yangberlaku. Oleh karena itu, soliditas dankohesivitas sistem politik Indonesiaakan sangat menentukan keber-hasilan revitalisasi nilai-nilai empatpilar wawasan kebangsaan.

Supra Struktur, Infra Strukturdan Sub Struktur harus mampumenciptakan suasana dan iklimpolitik yang kondusif bagi terjalin-nya komunikasi politik dan sosialisasipolitik yang sehat. Komunikasipolitik dan interaksi di antara ketiga-nya, harus dibangun berdasarkankeinginan untuk membangun kembali

kesadaran kolektif bangsa terkaitkonsensus empat pilar kehidupanberbangsa dan bernegara. Komuni-kasi politik yang sudah ditunjukkanpara tokoh politik dan pendiribangsa, harus menjadi inspirasi danteladan bagi para tokoh di era saatini. Walaupun hal ini terlihat sangatnormatif, namun fakta sejarah tidakdapat dipungkiri oleh segenap elemenpenerus bangsa.

Di tengah kehidupan demokratisyang berkembang, Partai politiksebagai salah satu unsur Suprastruktur politik memegang perandominan dan menentukan berhasiltidaknya revitalisasi nilai-nilai empatpilar wawasan kebangsaan. Hal inimengingat bahwa partai politikmerupakan salah satu pilar utamademokrasi. Sebagai pilar utamademokrasi, partai politik mengembanfungsi sebagai sarana komunikasipolitik, sosialisasi politik, saranarekruitmen kader-kader pemimpindan pengelola konflik (conflict manage-ment) diantara berbagai elemenmasyarakat. Oleh karena itu, tata lakupartai politik akan mempengaruhitata laku masyarakat dalam kehi-dupan bermasyarakat, berbangsa danbernegara.

Secara kelembagaan, revitalisasinilai-nilai empat pilar wawasankebangsaan menjadi tanggung jawabpenyelenggara negara sesuai denganstratifikasi dan tataran kewenanganyang dimiliki. Mengingat empat pi-lar wawasan kebangsaan merupakan

62 EDISI 04/TAHUN 2012

hasil keputusan politik, makalembaga negara seperti MPR-RI,DPR-RI dan Presiden RI selaku kepalapemerintahan merupakan tigalembaga negara yang menentukanarah keputusan politik yang akandisepakati. Penting untuk dicatat,bahwa sinkronisasi dan sinergitasdiantara ketiga lembaga negaratersebut akan tergantung dari ke-inginan untuk menyatukan berbagaiperbedaan pandangan dan kepen-tingan politik masing-masing. Di-harapkan, keterlibatan lembaga-lembaga tersebut mampu meng-hasilkan peraturan perundanganyang memperkuat upaya-upayarevitalisasi Pancasila secara demo-kratis dan bermartabat.

Dalam tataran regulasi dan kebija-kan yang merupakan penjabaran darikeputusan politik, keberadaan parapemangku kepentingan terkaitlainnya seperti: Kementerian koor-dinator politik dan keamanan,Kementerian Koordinator Kesejah-teraan Rakyat, Kementerian Per-tahanan, Kementerian Dalam Negeri,Kementerian Pendidikan Nasional,Kementerian Keuangan, LemhannasRI, Mahkamah Konstitusi, DewanPertahanan Nasional dan BappenasRI, memiliki peran sentral dalampeng-implementasian keputusanpolitik terkait revitalisasi nilai-nilaiempat pilar wawasan kebangsaan.Regulasi dan kebijakan yang di-wujudkan dalam bentuk peraturanperundang-undangan, merupakan

sarana yang mengatur terseleng-garanya upaya revitalisasi nilai-nilaiempat pilar wawasan kebangsaansecara komprehensif dan terpadu.Oleh karena itu, sinkronisasi kebija-kan, program, mekanisme, metodedan pengawasan merupakan pra-syarat keberhasilan upaya revitalisasi.

Pada tataran operasional, tokohmasyarakat, tokoh agama, tokohadat, organisasi politik, organisasimasyarakat, dosen dan guru merupa-kan pelaksana-pelaksana upayarevitalisasi yang bersentuhan lang-sung dengan masyarakat. Denganpembekalan yang memadai terkaitnilai-nilai empat pilar wawasankebangsaan, komponen bangsatersebut memainkan peran sebagaiagen perubahan (agent of change)mulai dari lingkungan keluarga,lingkungan pendidikan, lingkunganpemukiman hingga lingkungankerja. Pendidikan formal, informalmaupun non formal yang dimulaidari lingkungan keluarga hinggalingkungan pendidikan, merupakansarana yang efektif untuk menanam-kan pemahaman atas nilai-nilai empatpilar wawasan kebangsaan.

Sebagai rangkaian upaya yangterstruktur, upaya pada tataranoperasional akan bersifat praktisimplementatif. Pelibatan lembaga-lembaga tersebut untuk menghasil-kan peraturan perundangan yangmemperkuat upaya-upaya revitalisasiPancasila secara demokratis danbermartabat.Upaya yang bersifat

63EDISI 04/TAHUN 2012

praktis ditujukan untuk mendukungupaya-upaya politis melalui kegiatan-kegiatan seperti pendidikan, pe-nyuluhan dan training of trainer (tot)tenaga penyuluh dengan melibatkanperan aktif para pemangku kepen-tingan. Sedangkan upaya yangbersifat operasional dilakukan olehlembaga-lembaga pendidikan dasarhingga pendidikan tinggi. Hal inidilakukan mengingat lembaga pen-didikan merupakan ujung tombakpembentukan watak dan karakterbangsa, khususnya generasi mudayang efektif.

Dalam tataran operasional, satuhal penting dan mendasar yang perludikembangkan adalah teladan secaranyata. Tteladan merupakan katakunci dan kekuatan moral yang akanmenentukan berhasil tidaknya upayarevitalisasi nilai-nilai empat pilarwawasan kebangsaan yang dilaku-kan. Hal ini tidak terlepas dari poladan budaya bangsa Indonesia yangbersifat patriarchy dan paternalistik,sehingga teladan para pemimpinmerupakan sarana efektif untukmembangun watak dan karakterbangsa, khususnya di kalangangenerasi muda bangsa.

2. Konsep dan Pemikiran LemhannasRI.

Mengacu Peraturan PresidenNomor 67 Tahun 2006 tentangLembaga Ketahanan NasionalRepublik Indonesia (Lemhannas RI),salah satu tugas dan fungsi Lemhan-

nas RI adalah memantapkan nilai-nilaikebangsaan yang terkandung dalamUUD NRI Tahun 1945 dan nilai-nilaiPancasila sebagai ideologi bangsa.Dalam rangka melaksanakan tugasdan fungsinya, Lemhannas RI telahmelaksanakan berbagai kegiatandiskusi dan kajian serta survei sosialke seluruh pelosok tanah air, denganmelibatkan instansi pemerintah dankomponen bangsa lainnya, (akademisi,tokoh agama, tokoh masyarakat,LSM dan lain-lain) serta masyarakat.

Menyadari arti pentingnya pema-haman nilai-nilai empat pilar wawa-san kebangsaan bagi keutuhan NKRIdan semakin beratnya tantanganyang dihadapi, Lemhannas RI telahmengembangkan konsep pemikirandan upaya-upaya terobosan yangmemanfaatkan keberadaan danjaringan para alumninya yang ter-sebar luas di seluruh wilayah nusan-tara. Keberadaan para alumni yangbersumber dari berbagai komponenbangsa ini sebagai agen perubahan,tentu merupakan kekuatan potensialdalam rangka revitalisasi nilai-nilaiempat pilar wawasan kebangsaan.

Memanfaatkan keberadaan paraalumni dan bekerjasama secarasinergis dengan para pemangku ke-pentingan terkait lainnya, LemhannasRI yang telah memiliki programpendidikan dan pemantapan nilaikebangsaan terprogram, saat inisedang mengembangkan programkegiatan pemantapan nilai kebangsa-an maupun Training of Trainers (ToT)

64 EDISI 04/TAHUN 2012

yang ditujukan kepada: Dosen danGuru, Politisi, Media Massa danPengusaha.

Dosen dan Guru. Berdasarkanlaporan hasil survei BPS RI tentangSurvei Kehidupan Bernegara (SKB)yang dilakukan tanggal 27 Mei 2011hingga 29 Mei 2011, tampak denganjelas kepercayaan dan harapan masya-rakat yang begitu besar (43,4%) kepadatenaga pendidik (Guru dan Dosen)untuk memberikan edukasi dansosialisasi nilai-nilai Pancasila. Keper-cayaan yang begitu besar dari masya-rakat ini, harus direspon dengantanggung jawab tenaga pendidikuntuk selalu meningkatkan kemampuanprofesi, dan memberikan keteladanandalam tingkah laku di kehidupanmasyarakat sehari-hari. Profesitenaga pendidik (guru dan dosen)yang tersebar merata di seluruh tanahair dan selalu ada dalam setiap jenjangpendidikan mulai dari tingkatPendidikan Anak Usia Dini (PAUD)hingga pendidikan tingkat PascaSarjana, mempunyai nilai yangsangat strategis dalam pembentukankarakter bangsa melalui sosialisasinilai-nilai Pancasila. Dengan pertim-bangan itu, Lemhannas RI menem-patkan Dosen dan Guru sebagaiprioritas untuk diberi pembekalansebagai agen sosialisasi nilai-nilaiempat pilar wawasan kebangsaan.

Politisi. Sesuai dengan peran dantanggung jawabnya sebagai pimpinanmaupun anggota partai politik, parapolitisi sangat berperan dalam peru-

musan peraturan perundanganmaupun kebijakan publik. Pema-haman yang komprehensif terhadapnilai-nilai empat pilar wawasankebangsaan sangat dibutuhkan agarpara politisi dapat memberikansumbangsih pemikiran konstruktifdalam peraturan perundangan mau-pun kebijakan publik yang menge-depankan kepentingan bangsa me-ngutamakan persatuan dan kesatuanbangsa.

Media Massa. Di era demokrasi,media massa dapat dipandang se-bagai salah satu pilar yang mengawalterselenggaranya kehidupan demo-krasi yang sehat, ber-etika dan ber-martabat. Disamping itu, di tengahpesatnya kemajuan teknologi infor-masi dan komunikasi, peran mediamassa menjadi sangat penting danstrategis dalam mem-bentuk watakdan karakter bangsa. Dengan demi-kian, kalangan media massa perludiberi pembekalan dan perluasancakrawala pandang terkait artipentingnya pemahaman nilai-nilaiempat pilar wawasan kebangsa-an.Hal ini dimaksudkan agar kapa-sitasdan kemampuan yang dimiliki dapatmempercepat proses pembangunanwatak dan karakter bangsa yangmenjunjung tinggi Pancasila sebagaijati diri bangsanya.

Pengusaha. Pengusaha merupa-kan salah satu motor penggerakperekonomian bangsa. Dalam men-jalankan perannya, para pengusahasenantiasa dihadapkan pada pilihan

65EDISI 04/TAHUN 2012

dilematis antara kepentingan usahadan kepentingan bangsa. Di eraglobalisasi dan perdagangan bebas,para pengusaha dituntut untukmemiliki kemampuan memilih danmemilah agar perekonomian bangsadapat memajukan dan meningkatkankesejahteraan rakyat secara signifi-kan. Dengan pemahaman terhadapnilai-nilai empat pilar wawasankebangsaan, diharapkan para pe-ngusaha mampu memberikan kontri-busi bagi peningkatan kesejahteraandan kemajuan rakyat.

C. PENUTUPHarus diakui secara jujur, era

reformasi yang membawa semangatperubahan dan keterbukaan telahmembawa banyak perubahan positifmaupun negatif bagi kehidupannasional. Keterbukaan dan kebebasanindividu yang merupakan ciri demo-krasi barat semakin mendominasipola pikir, pola sikap dan pola tindakgenerasi penerus bangsa. Semangatgotong royong yang merupakan jiwadan semangat yang terkandungdalam Pancasila, mulai dikesamping-kan dan diabaikan. Tata nilai baruyang belum sepenuhnya dipahamidan diterima oleh bangsa Indonesiatelah mengakibatkan disharmonisasihubungan vertikal maupun hori-sontal di antara masyarakat Indone-sia yang majemuk.

Berbagai permasalahan bangsayang terjadi akhir-akhir ini, disebab-kan semakin lunturnya toleransi atasperbedaan dan kemajemukan diantara komponen bangsa. Permasa-lahan ini tidak dapat dibiarkanberlarut-larut karena akan melemah-kan sendi-sendi kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara. Olehkarena itu, seluruh komponenbangsa dalam susunan Supra struk-tur, Infra struktur dan Sub strukturpolitik harus mampu membangunkembali komunikasi politik yangdidasarkan atas kesadaran kolektifbangsa untuk mempertahankannilai-nilai empat pilar wawasankebangsaan.

Sebagai salah satu pemangkukepentingan terkait sosialisasi empatpilar wawasan kebangsaan, LemhannasRI bersama-sama dengan parapemangku kepentingan terkaitlainnya, telah dan sedang menyusunupaya revitalisasi nilai luhur Panca-sila dalam rangka memelihara jati dirike-Indonesia-an di kalangan generasipenerus. Mengingat empat pilarwawasan kebangsaan merupakankeputusan yang dihasilkan melaluiproses politik, maka upaya revitalisasiyang akan dilakukan harus melaluiproses politik yang melibatkan setiapelemen yang ada dalam sistem politikIndonesia.

66 EDISI 04/TAHUN 2012

67EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Junjungan SBP

AbstraksiMakna Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN) bagi fathers bukanlahsekadar butir-butir program tentang apa yang akan dilakukan olehpemerintah, tetapi lebih daripada itu Garis-Garis Besar haluan Negara(GBHN) merupakan pengejawantahan dari aspirasi rakyat yangmerumuskan dan penetapannya dilakukan oleh para wakil rakyat diMajelis Permusyawaratan Rakyat. Pasca reformasi sebagai rangkaiansejarah bangsa Indonesia berbagai perbedaan pendapat dan kontroversiakan pengertian fungsi Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN),akhirnya disudahi dengan jalan merubah Undang-Undang Dasar 1945.Sebagai konsekwensi dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945, inikehidupan berbangsa dan bernegara mengalami perubahan yang amatmendasar.

AbstractThe meaning of GBHN for founding fathers is not merelya grain of whatthe program will be conducted by the government, nevertheless it is morethan that. GBHN is the embodiment of the aspirations of the people formu-lating it and the establishment carried out by representatives in the MPR.Post-reformation as a serie of Indonesian histories in which a variety ofdifferent opinions and controvercies of the sense of function of GBHN, fi-

AKTUALIASI GBHN DALAM SISTEM PERENCANAANPEMBANGUNAN NASIONAL

68 EDISI 04/TAHUN 2012

nally ended by changing the UUD 1945. As a consequence of the changesin the UUD 1945, the life of the nation is experiencing a fundamentalchange.

Key Word : GBHN, National building

A. PENDAHULUANMajelis Permusyawaratan Rakyat

hasil pemilu 1999 telah mengambilbeberapa kebijakan yang merupakanrangkaian dalam rangka melakukanperubahan Undang-Undang Dasar1945, dimana salah satu diantaranyaadalah telah mengubah eksistensi,tugas dan wewenang Majelis Per-musyawaratan Rakyat Republik In-donesia (MPR-RI) yang tidak lagimenjadi lembaga tertinggi negarapemegang sepenuhnya kedaulatanrakyat, dan Presiden langsung dipiliholeh rakyat.

Konsekuensinya adalah Presidentidak lagi bertanggung jawab kepadaMajelis Permusyawaratan Rakyatdengan kata lain Presiden tidak harusmelaksanakan Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) dan MajelisPermusyawaratan Rakyat pun tidaklagi memiliki tugas menetapkanGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN). Padahal selama beberapadekade yang lalu arah perjalanannegara yang telah ditempuh olehbangsa Indonesia didasarkan padaUndang-Undang Dasar 1945, dimanaarah ataupun keinginan rakyatdituangkan didalam Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN).

Berdasarkan Undang-UndangDasar 1945 pembukaan Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN) inidilakukan oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat sebagai hasil dariakomodasi keinginan masyarakatIndonesia. Majelis PermusyawaratanRakyat merupakan representasi darimasyarakat Indonesia dalam melaku-kan proses kedaulatan rakyat. (pasal3 Undang-Undang Dasar 1945).Garis-Garis Besar haluan Negara(GBHN) merupakan haluan negaratentang penyelenggaraan negaradalam garis-garis besar. Hal inisebagai pernyataan kehendak rakyatsecara menyeluruh dan terpadu yangditetapkan oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat untuk lima tahunguna mewujudkan kesejahteraanrakyat yang berkeadilan. Kata haluandapat disebut sebagai suatu arahuntuk menuju ke suatu tempat. 63Prosiding FGD

Artinya, Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) menyangkut hal-halmendasar secara garis besar yangmenjadi pedoman bagi penyelenggaranegara untuk membuat perencanaan,perumusan program dan landasandalam menjalankan kebijaksanaanpenyelenggaraan pemerintah negara.

69EDISI 04/TAHUN 2012

lewat Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) segenap rakyat dapatmengetahui akan ke mana pemerintahmelangkah, akan ke mana bangsa dannegara ini dibawa dalam kurunwaktu lima tahun.

Jadi makna Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) bagi fathersbukanlah sekadar butir-butir pro-gram tentang apa yang akan dilaku-kan oleh pemerintah, tetapi lebihdaripada itu Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) merupakan penge-jawata dari aspirasi rakyat yangmerumuskan dan penetapannyadilakukan oleh para wakil rakyat diMajelis Permusyawaratan Rakyat.Pernyataan keingina rakyat yangtartuang dalam Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) inilah yangmenjadi acuan utama atas segalakiprah penyelenggara negara dalammewujudkan cita-cita bangsa ber-negara.

Ada sebuah filosofi cina kunoyang mengatakan bahwa “perjalananseribu batu dimulai dari langkahpertama” Apabila hal ini dianalogikanterhadap pencapaian cita-cita bangsasebagaimana yang tertuang dalamUndang-Undang Dasar 1945 makalangkah pertama dari pembangunannasioal adalah melakukan peren-canaan pembangunan yang merupa-kan bentuk operasional dari Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN).

Dengan adanya perencanaanpembangunan maka para penye-lenggara negara dalam melakukan

tugasnya mempunyai pedoman dantarget yang harus di capainya dalamkurun waktu tertentu. Sebagaicontoh Repelita (Rencana Pemba-ngunan Lima Tahun) adalah rencanapembangunan yang memiliki rentangwaktu selama lima tahun. Repelitadipergunakan sebagai penjabarandari Garis-Garis Besar haluan Negara(GBHN) pada masa awal pemerin-tahan Soeharto dengan tahun 1998.

Disamping itu pengukuran kinerjapemerintah, dalam hal ini presidenselaku mandataris Majelis Permusya-waratan Rakyat, bisa dilihat melaluikeberhasilan presiden dalam mener-jemahkan dan melaksanakan amanatGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) tersebut. Presiden pada saatitu merupakan mandataris MajelisPermusyawaratan Rakyat yangharus menjalankan keputusan-keputusan yang dihasilkan olehMajelis Permusyawaratan Rakyat,termasuk Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN). Contoh yang pal-ing aktual adalah ditolaknya per-tanggung jawaban presiden Habibieoleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.Dengan penolakan tersebut yangbersangkutan diberhrntikan dantidak dapat dipilih kembali menjadipresiden Republik Indonesia.

Harus kita akui bahwa sejalandengan perkembangan dan per-jalanan sejarah kebangsaan kita bagibeberapa kalangan memang terlihatadanya kesulitan dalam menempat-kan keberadaan atau kategori Garis-

70 EDISI 04/TAHUN 2012

Garis Besar haluan Negara (GBHN)ini, namun fakta mengungkapkanbahwa selama beberapa dekade Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN)ini telah menjadi suatu dokumenyang strategis bahkan dianggapsakti. Lebih jauh lagi maksud dantujuan dari Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) ini pun diartikanberbeda oleh satu orang denganlainnya. Apabila ini dikategorikansebagai visi, bukankah visi bangsasudah tercantum didalam konstitusi?. Apabila ini kehendak rakyat,bukankah konstitusi juga merupakanwujud tertulis dari kontrak sosialuntuk bangsa ini bernegara besertatujuan bernegara ?

Oleh karenanya maka untukmemahami maksud, tujuan sertakegunaan Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN), barangkali kitaharus memulai dengan meng-improvisasi atau meneliti suasanakebatinan ketika Undang-UndangDasar 1945 disusun oleh para found-ing gathers 65 Prosiding FGD. padasaat itu. Kalau saya melihat bahwapara founding fathers ketika itu inginmenegaskan bahwa visi bangsaharuslah dinamis, seiring denganberlalunya waktu. Untuk itu dari-pada merubah konstitusi setiap saat,lebih baik diciptakan suatu dokumenlain yakni Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) yang bisa dievaluasi,dianalisa, dirubah bahkan digantisetiap 5 tahun oleh lembaga yangberkewenangan membuat konstitusi,

yakni Majelis PermusyawaratanRakyat selaku manifestasi darikedaulatan rakyat.

Pasca reformasi sebagai rangkaiansejarah bangsa Indonesia berbagaiperbedaan pendapat dan kontroversiakan pengertian fungsi Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN), akhir-nya disudahi dengan jalan merubahUndang-Undang Dasar 1945. Didalam perubahan yang ketiga dankeempat Undang-Undang Dasar1945, kewenangan Majelis Permusya-waratan Rakyat menyusun Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN)telah dihilangkan. Majelis Permusya-waratan Rakyat, yang anggotanyaakan terdiri dari anggota DewanPerwakilan Rakyat dan anggotaDPD, hanya bertugas untuk me-rubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik Presiden danWakil Presiden terpilih, yang dipilihlangsung oleh rakyat, dan dapatmemberhentikan Presiden serta WakilPresiden dalam masa jabatannyaapabila yang bersangkutan melanggarhukum dan berkhianat terhadapnegara.

Sebagai konsekwensi dari peru-bahan Undang-Undang Dasar 1945,ini kehidupan berbangsa dan ber-negara mengalami perubahan yangamat mendasar, antara lain. MajelisPermusyawaratan Rakyat menjadineben dengan lembaga tinggi lain-nya, anggota Majelis Permusya-waratan Rakyat terdiri dari anggotaDewan Perwakilan Rakyat dan DPD,

71EDISI 04/TAHUN 2012

Presiden, Wakil Presiden, anggotaDewan Perwakilan Rakyat, AnggotaDPD dipilih secara langsung olehrakyat, dan tidak ada lagi Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN). Olehkarena itu aktualisasi Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN) tentu-nya akan menjadi penting karenamemberikan pengaruh pada sistemdan alat untuk mewujudkan cita-citabangsa bernegara.

B. PEMBAHASANGaris-Garis Besar haluan Negara

(GBHN) ditetapkan dengan maksudmemberikan arah penyelenggaraannegara dengan tujuan mewujudkankehidupan yang demokratis, ber-keadilan sosial, melindungi hak asasimanusia, menegakkan supremasihukum dalam tatanan masyarakatdan bangsa yang beradab, berakhlakmulia, mandiri, bebas, maju dansejahtera untuk kurun waktu limatahun kedepan. Keberhasilan pelak-sanaan penyelenggaraan negarauntuk mencapai cita-cita bangsa,tergantung pada peran aktif masya-rakat serta pada sikap mental, tekad,semangat, serta ketaatan dan disiplinpara penyelenggara negara. sehu-bungan dengan itu, semua kekuatansosial politik, organisasi kemasya-rakatan, dan lembaga kemasya-rakatan lainnya perlu menyusun pro-gram menurut fungsi dan kemam-puan masing-masing dalam melak-sanakan Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN).

Dari berbagai literatur yang adapada umumnya kegagalan perenca-naan pembangunan sebagai amanatGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) disatu negara terjadi olehkarena, pertama, penyusunan peren-canaan tidak tepat, mungkin karenainformasinya kurang lengkap ataumetodologinya belum dikuasai, atauperencanaannya sejak semula me-mang tidak realistis sehingga tidakmungkin pernah bisa terlaksana.Dalam hal terakhir ini, biasanya pe-ngaruh politis tertalu besar sehinggapertimbangan-pertimbangan teknisperencanaan diabaikan. Kedua,perencanaannya mungkin baik,tetapi pelaksanaannya tidak sepertiseharusnya. Dengan demikian,kegagalan yang terjadi adalah karenatidak berkaitnya perencanaan denganpelaksanaannya. Penyebab-nya,dapat karena 67 Prosiding FGD.

Aparat pelaksana yang tidak siapatau tidak kompeten, tetapi dapatjuga karena rakyat tidak punyakesempatan berpartisipasi sehinggatidak mendukungnya. Ketiga, peren-canaan mengikuti paradigma yangternyata sesuai dengan kondisi danperkembangan. Misalnya, orientasisemata-mata pada pertumbuhan yangmenyebabkan makin melebarnyakesenjangan. Dengan demikian, yangkeliru bukan semata-mata perencana-annya, tetapi falsafah atau konsep dibalik perencanaan itu. Keempat,karena perencanaan diartikan sebagaipengaturan total kehidupan manusia

72 EDISI 04/TAHUN 2012

sampai yang paling kecil sekalipu.Perencanaan di sini tidak memberi-kan kesempatan berkembangnyaprakarsa individu dan pengem-bangan kapasitas serta potensimasyarakat secara penuh. Sistem inibertentangan dengan hukum pena-waran dan permintaan karena peme-rintah mengatur semuanya. Peren-canaan seperti inilah yang disebutsebagai sistem perencanaan terpusat(centrally planned system).

Adapun prinsip PerencanaanPembangunan yang ideal adalahPrinsip partisipatif, menunjukkanbahwa rakyat atau masyarakat yangakan diuntungkan oleh (atau mem-peroleh manfaat dari) perencanaanharus turut serta dalam prosesnya.Dengan kata lain masyarakat menik-mati faedah perencanaan bukansemata-mata dari hasil (product) peren-canaan, tetapi dari keikutsertaandalam prosesnya.

Prinsip kesinambungan, menun-jukkan bahwa perencanaan tidakhanya berhenti pada satu tahap,tetapi harus berlanjut sehingga men-jamin adanya kemajuan terus mene-rus dalam kesejahteraan, dan jangansampai terjadi kemunduran (relapse).Juga diartikan perlu evaluasi danpengawasan dalam pelaksanaannyasehingga secara terus menerus dapatdiadakan koreksi dan perbaikanselama perencanaan dijalankan.

Prinsip holistik, dimaksudkanbahwa masalah dalam perencanaandan pelaksanaannya tidak dapat

hanya dilihat dari satu sisi (atausektor) tetapi harus dilihat dari ber-bagai aspek, dan dalam keutuhankonsep secara keseluruhan. Adapunsistem perencanaan yang berlakuberdasarkan konstitusi kita adalah,rakyat menetukan masa depan yangdikehendakinya. Majelis Permusya-waratan Rakyat sebagai penjelmaanrakyat yang memegang kedaulatannegara, dengan memperhatikanperkembangan, menentukan haluannegara dalam garis besar. Ini yangdisebut Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN). Segala apa yangdilakukan dengan nama pem-bangunan, harus didasarkan padaGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN). Presiden sebagai man-dataris Majelis PermusyawaratanRakyat berkewajiban melaksanakanGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) tersebut. Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) pada dasar-nya adalah kehendak politik, danlebih bersifat menujukkan arah.Untuk pelaksanaannya, Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN) kemu-dian dijabarkan dalam sebuah sistemperencanaan lima tahunan yangdinamakan rencana pembangunanlima tahun (repelita).

Berdasarkan amanat yang tersuratdalam Undang-Undang Dasar 1945,dapat disimpulkan bahwa parapendiri negara ini tidak ingin sistemperekonomian Indonesia menganutsalah satu ekstrim, tidak sosialis dantidak pula kapitalis. Didalam pen-

73EDISI 04/TAHUN 2012

jelasan pasal 33 Undang-UndangDasar 1945 sebelum diamandemen,mereka menginginkan kiprah sertara,seiring dan harmoni diantara masya-rakat, pemerintah dan swasta dalamperekonomian nasional, yakni me-lalui koperasi, BUMN/D dan peru-sahaan. Bahkan pemerintah dibatasihanya pada hal-hal yang berkaitandengan hajat hidup orang banyak.Kenyataan ini membuktikan bahwamereka, para pendiri bangsa, telahberpandangan jauh kedepan, bahwa-sannya Indonesia tidak akan dapatmenjalankan salah satu ekstrim darisistem perekonomian.69 ProsidingFGD

Sejak awal kemerdekaan, sistemperekonomian Indonesia dijalankansesuai amanat Undang-UndangDasar 1945 tersebut. Agar peranpemerintah dapat lebih efektif makapara pendiri negeri ini, dua tahunsetelah kemerdekaan yakni April1947, telah membentuk panitiapemikir siasat ekonomi, ketuanyapada saat itu tercatat Drs. MohammadHatta. Hasil dari panitia ini beruparencana dengan tajuk “Dasar Pokokdaripada Plan Mengatur EkonomiIndonesia”. Dokumen ini merupakantonggak awal atau bukti sejah akanterdapatnya renana pembangunanyang pertama dalam negara republinIndonesia. Keadaan negara pada saatitu mengakibatkan plan tersebuttidak dapat dilaksanakan, sampaiakhirnya dibuat dokumen lain berupaperencanaan beberapa sektor per-

ekonomian, rencana ini dikenalsebagai “Plan Produksi Tiga TahunRI”. Rentang waktu dari plan ituantara 1948 sampai dengan 1950. Planinipun tidak dapat dilaksanakan.Sampai akhirnya terbentuk RepublikIndonesia Serikat yang bersifat fed-eral. Dari tahun 1950 sampai dengan1952 telah dibuat berbagai jenisrencana darurat dalam menyelesai-kan masalah mendesak. Situasi dankondisi kehidupan bernegara padasaat itu menyebabkan berbagairencana ini pun gagal dilaksanakan.

Pada tahun 1952 terbentuklan BiroPerancang Negara, dibawah Kemen-trian Negara Urusan pembangunan,yang dijabat oleh Ir. H. Djuanda.Usaha meraka telah menghasilkanRencana Pembangunan Lima Tahun(RPLT) 1956-1960. Lagi-lagi hirukpikuk kehidupan politk dalam negeripada saat itu telah menghambatpelaksanaan RPLT ini. Sampai akhir-nya terdapat perubahan yang sangatmendasar dengan dikeluarnya dekritPresiden 5 Juli 1959, yang mengem-balikan konstitusi negara kepadaUndang-Undang Dasar 1945.

Sebagai tindak lanjut dari dekritPresiden dibentuklah Dewan Peran-cangan Nasional (Depernas) yangdiketuai oleh Mr. Muhammad Yamin.Tugas dari dewan ini adalah me-nyusun rencana pembangunannasional. Lembaga ini berhasilmenyusun Rencana PembangunanSemesta Berencana (ComprehensiveNational Development Plan) untuk

74 EDISI 04/TAHUN 2012

jangka waktu 1961-1969. MelaluiPenetapan Presiden No.12 tahun 1963(Penpres 12/1963), Depernas dirubahmenjadi Badan Perencanaan Pem-bangunan Nasional (Bappenas).Inilah tonggak sejarah berdirinyaBappenas.

Kehidupan politik bangsa ber-negara pada saat itu, yang ditandaidengan Perjuangan pembebasanIrian Barat, kemudian Penentanganberdirinya negara malaysia sertaberujung pada Pemberontakan G 30S/PKI, telah mengakibatkan terham-batnya proses pembangunan beren-cana. Akibatnya berbagai rencana ad-hoc telah disusun pada masa itu.Masa bergejolak ini berakhir denganmundurnya Presiden Soekarno yangditandai dengan penyerahan ke-kuasaannya kepada Mayjen Soehartomelalui Surat Perintah 11 Maret 1966(Supersemar).

Seiring dengan terbentuknyapemerintahan baru, dan dalamrangka memulihkan kondisi per-ekonomian nasional yang carutmarut akibat pemberontakan G 30 S/PKI tersebut, melalui InstruksiPresidum Kabinet No.15/EK/IN/1967,Bappenas telah ditugasi untuk mem-buat rencana pemulihan ekonomi,rencana yang dihasilkannya ber-nama Rencana Pembangunan LimaTahun I (Repelita I), untuk kurunwaktu tahun 1969 sampai dengantahun 1973. Era Repelita telahberlangsung sampai dengan Repelitake VI yang berakhir pada tahun 1998.

Proses perencanaan pada era Repelitaselalu didasarkan kepada Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN) yangdihasilkan oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat yang bersidang limatahun sekali.

Pada masa tersebut mekanismeperencanaan dan pengendalianpembangunan nasional, terutamapembangunan daerah, antara lainmengacu kepada Peraturan MenteriDalam Negeri No.9 Tahun 1982tentang Pedoman penyusunanPerencanaan dan Pengendalianpembangunan di Daerah atau yanglebih dikenal sebagai P5D. pedomanini pada dasarnya menganut peren-canaan berjenjang dari bawah keatasdari mulai tingkat desa sampaidengan tingkat nasional.Adapunproses perencanaan ini dimulaidengan Musbangdes ditingkatKelurahan atau Desa, kemudianTemu Karya Pembangunan ditingkatKecamatan, Rapat koordinasi pem-bangunan (Rakorbang) DT II dikabupaten atau kotamadya, yangterletak pada suatu wilayah pengem-bangan utama atau mempunyaikepentingan bersama dilakukankonsultasi Regional Pembangunan(Konregbang), untuk kemudianbermuara pada Konsultasi NasionalPembangunan (Konasbang) di tingkatpusat.

Didalam setiap pertemuan peren-canaan pembangunan sebetulnyadiharapkan terjadi interaksi antarpelaku (stake holders) pembangunan

75EDISI 04/TAHUN 2012

dan penerima manfaat hasil pem-bangunan yang berada di daerah.Misalnya saja pada penyelenggaraanMusbangdes masyarakat desa ataukelurahan selaku penerima manfaatlangsung dari hasil pembangunanseharusnya turut berpartisipasimenentukan jenis kegiatan yangakan dilaksanakan dan mengetahuidampak yang akan ditimbulkan serta“Social Cost” yang harus dibayar.

Pada dasarnya pertemuan inisudah sangat ideal dan memadainamun pada pelaksanaannya hakmasyarakat dan partisipasi masya-rakat ini hanya diwakili oleh LKMD,sedangkan Rakorbang yang berada dikabupaten/kota umumnya hanyadiikuti oleh aparat pemerintah danperwakilan DPRD yang biasanyadiwakili oleh anggota panitia ang-garan, tidak ada lagi keterlibatanmasyarakat awam didalam prosesperencanaan pembangunan selanjut-nya. Peserta dari birokrasi biasanyaberasal dari dinas-dinas sektoral.Yang diharapkan didalam penyeleng-garaan Rakorbang ini sebenarnyaadalah terjadinya pemadu-serasianantara pendekatan “top down” yangdimilik oleh instansi sektoral danpendekatan “bottom up” yang di-emban oleh instansi daerah berdasar-kan dari usulan masyarakat melaluiMusbangdes.

Pada prakteknya forum ini lebihbersifat pemangkasan usulan ataukeinginan daerah oleh instansidiatasnya dengan alasan prioritas dan

ketersediaan dana. Sebenarnya P5Dsendiri tidak tepat kalau dikatakansebagai mekanisme atau prosesperencanaan pembangunan. Kenapa?, karena apa yang dibicarakandidalam forum tersebut sebagiantersebar hanya pembicaraan ataudiskusi mengenai usulan-usulankegiatan yang “diminta” atau “diper-lukan” oleh “masyarakat” di daerah,yang akan didanai dan dilaksanakanoleh departemen atau instansi pusatdi daerah, atau kegiatan daerah yangakan didanai dari pemerintah pusat.Sedangkan banyak kegiatan-kegiatanlain yang dilakukan dan didanai olehpemerintah daerah dan masyarakatdaerah tidak sempat atau tidakpernah dianggap penting untukdibicarakan dan dikoordinasikandidalam Rakorbang.

Adapun mekanisme perencanaanprogram pembangunan atau lebihtepat penganggaran pembangunan ditingkat kebupaten atau kota hanyaterjadi pada proses pembuatanAPBD, yang titik beratnya lebihkepada alokasi anggaran untuk setiapkegiatan. Peserta didalam proses inilebih dipersempit lagi yaitu hanyaterbatas pada panitia anggaran dandinas yang berkepentingan. Sehinggaproses perencanaan dan pengang-garan rencana dalam arti yang se-benarnya sejauh ini belum terlaksanadengan baik.

Pelaksanaan pembangunan didaerah dengan menerapkan meka-nisme P5D ini secara umum ditemui

76 EDISI 04/TAHUN 2012

berbagai kekurangan antara lain :1. Desentralisasi tidak berjalan

dengan baik dan benar, terbuktidengan 1. masih banyaknyawewenang atau urusan yangsudah diserahkan kepada daerahmasih tetap ditangani oleh pusat.

2. Meskipun dana pembangunandari pusat untuk daerah ada yang2. bersifat “block grant” namunpada pelaksanaannya masihpenuh dengan berbagai inter-vensi dari pusat yang disalurkandengan melalui Pedoman Umum,Juklak, Juknis dan berbagaiPengarahan lainnya.

3. Partisipasi masyarakat selakupenerima manfaat dan penang-gung 3. resiko, sangat lemah,walaupun secara legal aspirasimasyarakat seharusnya dicermin-kan atau disuarakan oleh wakilrakyat di DPRD.

4. Hasil-hasil dari berbagai forumkoordinasi didaerah acap kali 4.tidak digubris oleh instansi pusatdengan berbagai alasan. Forumkoordinasi hanya sebagai ajangkenduri yang bersifat ritual setiaptahun.

5. Forum koordinasi ala P5D lebihbanyak kearah forum 5. penye-larasan “shopping list” ataudaftar kemauan ketimbang prosesperencanaan.

6. Mengingat proses birokrasi yangditempuh cukup memakan waktu6. yang panjang, maka masya-rakat tidak mendapatkan kepas-

tian kapan keinginannya akanterwujud.

Kelemahan dan kekurangandidalam proses perencanaan atautepatnya penganggaran pem-bangunan yang berjalan pada maalalu dikarenakan memang “para-digma pembangunan” yang dianutoleh pemerintah pada waktu ituadalah “pertumbuha”. Dimana titikberat investasi pemerintah ada padadepartemen sektoral selaku pelaksanapembangunan sektoral. Departementeknis memang mempunyai tanggungjawab untuk melaksanakan berbagaikegiatan pembangunan sektoralsebagai pengejawantahan dariinvestasi sektor yang diembannyadalam urunan terhadap pertum-buhan yang ditargetkan pada tahunanggaran yang bersangkutan.

Pada perkembangannya antaratahun 1998 sampai dengan 1999terjadi kevacuman dalam pelak-sanaan pembangunan, sebab apayang seharusnya dituangkan dalamRepelita IV dengan mengacu kepadaGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) tahun 1998 tidak dapatdisusun, hal ini terjadi sebagai akibatdari krisis total yang dimulai padatahun 1997 dengan krisis moneter,kemudian krisis ekonomi dan ber-lanjut dengan krisis sosial-ekonomi-politik. Sementara itu Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN) ter-akhir yang dihasilkan oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat adalahGaris-Garis Besar haluan Negara

77EDISI 04/TAHUN 2012

(GBHN) 1999-2004. Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) merupakanacuan yang mendasar bagi tersusun-nya rencana pembangunan untukkurun waktu tertentu.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentangPemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentangPerimbangan Keuangan antara Pusatdan Daerah maka daerah telah diberi-kan hampir seluruh kewenangan danpembiayaan atas pelayanan kepadamasyarakat. Sebagai konsekwensidari pemberian kewenangan yangamat luas bagi daerah disertai puladengan semakin leluasanya peme-rintah daerah untuk menggunakandana yang menjadi haknya, makaperan dan tanggung jawab peme-rintah daerah didalam perencanaanpembangunan akan semakin berat.Adanya desentralisasi dan otonomidaerah mengkibatkan jenis rencanapembangunan menjadi beragam,sesuai dengan jenis pemerintahanyang ada menurut Undang-Undangno. 22 tahun1999. Rencana-rencanatersebut tidak ada hubungan secarahierarki, sebagai contoh, RencanaPembangunan Kota bukan meru-pakan turunan atau penjabaran dariRencana Pembangunan Propinsi,dan seterusnya. Dengan mengacukepada jenis pemerintah yang ada,maka jenis rencana pembangunansetidaknya ada empat jenis yaitu: (1)Program Pembangunan Nasional, (2)Program Pembangunan Daerah

Propinsi, (3) Program PembangunanDaerah Kabupaten, dan (4) ProgramPembangunan Daerah Kota.

Sedangkan mekanisme dan prosesperencanaan pembangunan sebagai-mana disebutkan pada bagian lain,akan sangat berbeda, tidak ada lagiarahan dari atas dan usulan daribawah. Masing-masing jenis peme-rintahan dapat membuat dan mem-punyai masing-masing rencana pem-bangunannya, tanpa harus salingmenunggu atau saling ber-gantungsatu sama lainnya. Namun demikianuntuk melestarikan dan merekatkanpersatuan dan kesatuan bangsa, fo-rum koordinasi semacam “Rakor-bang” atau “Konasbang” masih tetapdiperlukan. Selain itu juga keter-kaitan dan saling mengacu, sertasaling melengkapi antar rencanapembangunan masih sangat di-harapkan.

Forum koordinasi pembangunanbukan lagi semacam forum pengajuandaftar keinginan, namun merupakanforum pemadu-serasian antaraRencana Pembangunan Nasionaldengan Rencana PembangunanPropinsi atau Kabupaten atau Kota,bahkan juga untuk pemadu-serasianrencana antar daerah yang ber-tetangga atau berada dalam satukendala alam bersama, misalnyadalam satu daerah aliran sungai, atauberada dalam kelompok penggunaprasarana bersama misalnya peng-guna pelabuhan regional bersama.Disamping itu juga peran pemerintah

78 EDISI 04/TAHUN 2012

pusat didalam perencanaan pem-bangunan masih diperlukan, ter-utama didalam bidang makro ekonomi,standarisasi, dan yang paling utamaadalah dalam hal penanggulangankesenjangan antar daerah, dan antarpenduduk, baik dari segi potensisumber daya maupun dari segipotensi lainnya yang akan ber-peluang untuk merusak sendi-sendikesatuan dan persatuan bangsa.

Mengingat kewenangan dalampenyelenggaraan pemerintahansebagian besar sudah berada di-tangan daerah ditambah lagi dengankemampuan keuangan daerah yangcukup beragam, maka perlu di-waspadai akan terjadinya berbagaidampak buruk dari “egoisme daerah”,misalnya: (a) hambatan arus barangdan jasa antar daerah, (b) hambatanarus perpindahan penduduk antardaerah, dan (c) perbedaan kapasitasdan kondisi masing-masing daerah.Dampak-dampak seperti ini seyogya-nya bisa diselesaikan didalam suatuforum koordinasi pembangunan.

Undang-Undang Dasar 1945sampai dengan perubahan yangkeempat telah mengamanatkanbeberapa hal yang dapat berdampak“revolusioner” pada tatanan hidupbangsa bernegara. Beberapa peru-bahan tersebut antara lain: (1)Presiden dan Wakil Presiden dipilihlangsung oleh rakyat dalam satupaket, (2) Majelis PermusyawaratanRakyat terdiri dari anggota DPD dan

DPR, (3) Jabatan Presiden dan WakilPresiden bersifat tetap waktu (fixedterm) sehingga tidak bisa diber-hentikan kecuali melanggar hukumdan (4) MPR tidak lagi membuatGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN).

Ketiadaan Garis-Garis Besarhaluan Negara (GBHN) merupakankonsekwensi logis dari pemilihanPresiden secara langsung. Sebab salahsatu aspek penilaian terhadap calonPresiden adalah visi atau rencana atauprogram yang ditawarkannya dalamupaya pemerintahannya mencapaicita-cita bangsa bernegara yangsecara eksplisit tersurat didalampembukaan Undang-Undang Dasar1945. Andai kata yang bersangkutandapat memenangi pemilihan umum,maka tawaran tersebut harus dapatdiwujudkannya pada masa jabatan-nya. Apabila tidak, maka yang ber-sangkutan akan dianggap gagal,akibatnya dia tidak akan dipilih lagioleh rakyat untuk jabatan berikutnya.

Dengan demikian pembuatanrencana, apapun namanya, pasti akanterus dilakukan. Masalahnya adalahsiapa yang harus membuatnya, danapa dasar pemikirannya, legitimasi-nya dituangkan dalam bentuk apa?.Lebih jauh lagi tahapan perencanaan-nya dan akuntabilitas dari peren-canaan tersebut. Disinilah perlunyaGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) memberikan arah bagisebuah perencanaan dan pelaksanaan

79EDISI 04/TAHUN 2012

pemerintahan, disamping untukmengawasi dan mengukur kinerjapemerintahan tersebut.

Sehubungan dengan itulah Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN)perlu diaktualisasikan dalam rangkamemberikan koridor bagi rencanakerja pemerintahan dimasa men-datang yang tentunya akan berisiRencana Strategis Pemerintahanyang sedang berlangsung selamamasa periode pemerintahan tersebut.Disamping itu hal ini mengingatbahwa walaupun rencana yangdibuat sifatnya dapat berubah karenakonstelasi politik (tidak akan adapartai peserta pemilu yang akanmendapatkan mayoritas suara), makaGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) akan menjadi acuan bersamadalam menjalankan pemerintahsecara koalisi.

C. PENUTUPUndang-Undang Dasar 1945 hasil

amandemen kesatua samapi dengankeempat telah mengamanatkanbeberapa perubahan yang fundamen-tal dan bersifat mendasar didalamkehidupan bangsa bernegara dalamwadah negara kesatuan republik In-donesia. Perubahan ini bersifat drastisdan dalam tempo yang berbarengan.Beberapa perubahan mendasartersebut, antara lain: (1) Presiden danWakil Presiden dipilih langsung olehrakyat dalam satu paket, (2) MPRterdiri dari anggota DPD dan DPR (3)

Jabatan Presiden dan Wakil Presidenbersifat tetap waktu (fixed term),sehingga tidak bisa diberhentikankecuali melanggar hukum dan (4)MPR tidak lagi membuat Garis-GarisBesar haluan Negara (GBHN).

Sehubungan dengan itu makaketiadaan Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) merupakan konse-kuensi loigs dari pemilihan Presidensecara langsung. Jadi aspek penilaiancalon Presiden adalah visi ataurencana atau program yang ditawar-kannya dalam upaya pemerintahan-nya mecapai cita-cita bangsa ber-negara yang secara eksplisit tersuratdidalam pembukaan Undang-UndangDasar 1945. Apabila yang bersang-kutan dapat memenangi pemilihanumum, maka tawaran tersebut harusdapat diwujudkannya pada masajabatannya. Apabila tidak, maka yangbersangkutan akan dianggap gagal,akibatnya dia tidak akan dipilih lagioleh rakyat untuk jabatan berikutnya.

Selanjutnya pembuatan rencana,apapun namanya, pasti akan terusakan dilakukan, karena hal itu meru-pakan tugas dan tanggung-jawabpemerintah. Masalahnya adalah siapayang harus membuatnya dan apadasar pemikirannya, legitimasinyadituangkan dalam bentuk apa?. Lebihjauh lagi bagaimana tahapan peren-canaan dan bagaimana akuntabilitasdari peren-canaan tersebut. Padahal,melalui Garis-Garis Besar haluanNegara (GBHN) dapat memberikan

80 EDISI 04/TAHUN 2012

kontribusi yang berarti bagi sebuahperencanaan dalam rangka menjalan-kan roda pemerintahan dan mutlakdiperlukan untuk mengawasi danmengukur kinerja pemerintahan.

Sehubungan dengan itulah Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN)perlu diaktualisasikan kembali dalamrangka memberikan koridor bagirencana kerja pemerintahan dimasamendatang yang tentunya akan berisirencana strategis pemerintahan yang

sedang berlangsung selama masaperiode pemerintahan tersebut.Sehubungan dengan itu walaupunrencana yang dibuat sifatnya dapatberubah karena konstelasi politikdimana dapat diramalkan tidak akanada partai peserta pemilu yang akanmendapatkan mayoritas suara, makaGaris-Garis Besar haluan Negara(GBHN) akan menjadi acuan bersamadalam menjalankan pemerintahsecara koalisi.

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang No.17 Tahun 2003, tentangKeuangan Negara, Jakarta.

Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002, Putusan Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik Indonesia, Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, Jakarta

Self, Peter, 1993, Government by the Market, London : MacMillan.

Supriady Bratakusumah, Deddy dan Dadang Solihin, 2001, OtonomiPenyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : PT. GramediaPustaka Utama.

Tjikroamidjojo, Bintoro, 1995, Perencanaan Pembangunan, Jakarta : PT. TokoBuku Gunung Agung.

81EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh:Bahrul Ulum Annafi

AbstraksiPembangunan sektor maritim merupakan prioritas penting dalam rangkamengukuhkan kedaulatan wilayah NKRI yang tangguh dan handal.Pengembangan teknologi informasi berbasis geospasial merupakankebutuhan mendasar dalam ranga menuju sitem pertahanan negara yangberbasis pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai bagiandari kemajuan peradaban tentunya pengembangan teknologi informasigeosapasial harus diarahkan pada kemanfaatan pembangunan sehinggadampak negatif dari kemajuan teknologi akan senantiasa dapat diminimalisasi.Keberadaan teknologi informasi geospasial dalam kontekspertahanan negara menjadi sangat penting sebagai sumber informasi terkaitdengan validitas kondisi geografi bangsa Indonesia. Pengertian InformasiGeospasial amat erat kaitannya dengan salah satu syarat terbentuknyasebuah negara yaitu adanya wilayah yang berkonotasi teritorial.

AbstractThe development of the maritime sector is a high priority in order to estab-lish the sovereignty of the NKRI which is tough and reliable. The develop-ment of technology-based geospatial information is a fundamental need inleading to the defense system based on the mastery of science and technol-

URGENSI PEMANFATAAN TEKNOLOGIINFORMASI GEOSPASIAL SEBAGAI STRATEGI

PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NKRI MENUJUNEGARA MARITIM YANG HANDAL

82 EDISI 04/TAHUN 2012

ogy. Most of the progress of civilization certainly the geosapatial informa-tion technology development should be directed to the benefit of the develop-ment so that the negative impact of technological advances will be able to beminimized. The existence of geospatial information technology in the con-text of the country’s defense is very important as a source of informationrelated The understanding of Geospatial information is closely related to acondition of the formation of a state: the existence of the territorial conno-tation-area.

Key Word: System, Maritime State

A. PENDAHULUANNegara Kesatuan Republik Indo-

nesia merupakan negara besardengan potensi kepulauan yangdilintasi zamrud khatulistiwa 1.Sebagai negara yang terkenal karenakekayaan sumber daya alam, telahmenjadikan bangsa Indonesia me-nyandang gelar sebagai “MacanAsia”. Namun demikian di tengahkebesaran dan gegap gempita yangada ternyata bangsa Indonesia me-miliki permasalahan yang cukupserius terkait dengan problem penge-lolaan kawasan bahari yang sangatkompleks. Permasalahan sebagai-mana dimaksud diantaranya terletakpada problematika pengelolaankawasan bahari dari sisi potensisumber daya alam, antisipasi ter-hadap perubahan iklim, pemanasanglobal (global warming) dan penge-lolaan potensi dini bencana alam

berupa badai, gempa bumi maupuntsunami. Adapun data mengenaipotensi bencana di Indonesia dapatdi paparkan sebagaimana berikut ini(dapat dilihat pada tabel 1).

Mengacu pada data diatas dari sisipengelolaan wilayah NKRI menurutBadan Perancanaan PembangunanNasional3 problematika penegasangaris batas Indonesia dengan negaratetangga merupakan tantangankedepan yang harus di hadapi bangsaIndonesia. Pada saat ini penegasangaris batas darat Indonesia-Malaysiamasih menyisakan 10 daerah ber-masalah. Selain itu, Indonesia, danTimor Leste juga belum sepenuhnyasepakat dengan garis batas daratuntuk daerah Noel Besi, Manusasi,dan Dilumil/Memo.

Berdasarkan Royal ProclamationTanggal 23 Februari 1981, secarasepihak Thailand mengumumkan

1 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia. hlm 293 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas), 2010, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014), diaksesdari http://www.bappenas. go.id, diakses pada tanggal 10 Januari 2011. hlm 7

83EDISI 04/TAHUN 2012

Tabel 1Daftar Kejadian Bencana Besar 2

2 Ringkasan Eksekutif, Telaah Sistem Terpadu Penanggulangan Bencana di Indonesia (Kebijakan,Strategi, dan Operasi), diaksesdarihttp://bpbdjateng.info/telaah/ringkasan.pdf, diakses pada tanggal25 Agustus 2011.

ZEE berjarak 200 NM dari baselinesThailand dan mengusulkan landaskontinen dengan ZEE berhimpit.Sementara itu, Malaysia mengklaimBlok Ambalat di laut Sulawesi dantidak konsisten dengan UNCLOS1982 meskipun ZEE belum ditetap-kan, sedangkan Indonesia berpen-dapat Blok Ambalat adalah sah secarahukum milik Indonesia.

Mengacu pada problematikapengelolaan Sumber Daya Alam,potensi wilayah, antisipasi pema-

nasan global, dan mitigasi bencanadini sebagaimana dimaksud diatasmenjadi hal yang sangat pentingdalam rangka membangun sistempertahanan negara yang handalmengingat bahwa beberapa aspektersebut memiliki implikasi baiksecara sosiologis, ekonomis, budaya,politis, yuridis, maupun aspek per-tahanan dan keamanan. Sebagai dayadukung dalam rangka mewujudkansistem pertahanan yang handalpengembangan ilmu pengetahuan

84 EDISI 04/TAHUN 2012

dan teknolgi menjadi kebutuhanmendasar bagi keberlanjutan visipembangunan di sektor maritim.

Optimalisasi pemanfaatan tek-nologi informasi geospasial merupa-kan salah satu jawaban dalam rangkamewujudkan sistem pertahanan yangtangguh di masa depan. Sebagai-mana di utarakan oleh Alwi Dahlan4

bahwa Masyarakat Informasi (Infor-mation Society) pada intinya adalahmasyarakat yang di tandai dengankebudayaan informasi. Kesadaraninformasi yang tinggi mengandalkaninformasi dalam segala bidang kehi-dupan serta mampu menghasilkan,mengolah, dan memanfaatkan infor-masi secara efektif dan efisien.

Di negara-negara maju teknologiinformasi geospasial sangat pentingbagi penguatan sistem keamanan danpertahanan negara. Pemanfaatanteknologi sebagaimana dimaksudmelingkupi permasalahan sengketaperbatasan, kebuntuan dalam pena-taan ruang, kesulitan dalam menen-tukan kawasan rawan bencana, kebu-tuhan informasi sumber daya alamyang akurat. Mekanisme peman-faatan informasi geospasial, mulaidari aktivitas survei untuk pengum-pulan data, pengolahan data se-hingga menjadi peta dan sisteminformasi geografis, penyimpanandan penyebarluasan, hingga peng-

gunaan informasi geospasial dapatmemberikan manfaat terhadap segalaaspek kehidupan bermasyarakat danbernegara5.

Maka dari itu dengan adanyaregulasi teknologi informasi geo-spasial sebagaimana termaktub didalam UU No 4 Tahun 2011 tentangInformasi Geospasial merupakaninstrumen yuridis dalam mendukungkebijakan di sektor pertahanannegara menuju kedaulatan maritimyang tangguh dan handal.

Adapun permasalahan yangpenulis angkat dalam naskah iniadalah :1. Apanya menjadi dasar urgensi

pemanfataan teknologi informasigeospasial sebagai strategi pe-nguatan sistem pertahanan NKRI ?

2. Bagaimana model pemanfaatanteknologi informasi geospasialsebagai strategi penguatan sistempertahanan NKRI menuju negaramaritim yang handal ?

B. PEMBAHASAN1. Pengertian dan Ruang Lingkup

Teknologi Informasi Geospasial.Informasi Geospasial, yang lazim

dikenal dengan peta, adalah infor-masi obyek permukaan bumi yangmencakup aspek waktu dan keruangan. Pengertian geo dalam geo-spasial, berarti geosfer yang mencakup

4 Alwi Dahlan dikutip dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, 2007, Merajut Kembali KeindonesiaanKita, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 109

5 Fahmi Amhar, Indonesia menunggu UU Informasi Geospasial , diakses dari http://www.geografi.ui.ac.id/node/87, diakses pada tanggal 20 Agustus 2011

85EDISI 04/TAHUN 2012

atmosfer (lapisan udara yang meliputipermukaan bumi), litosfer (lapisankulit bumi), pedosfer (tanah besertapembentukan dan zona-zonanya,sebagai bagian dari kulit bumi),hidrosfer (lapisan air yang menutupipermukaan bumi dalam berbagaibentuknya), biosfer (segenap unsur dipermukaan bumi yang membuatkehidupan dan proses biotik ber-langsung) dan antroposfer (manusiadengan segala aktivitas yang di-lakukannya di permukaan bumi6.Secara harfiah, SIG dapat diartikansebagai: “suatu komponen yangterdiri dari perangkat keras, perang-kat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersamasecara efektif untuk menangkap,menyimpan, memperbaiki, memper-baharui, mengelola, memanipulasi,mengintegrasikan, menganalisa, danmenampilkan data dalam suatuinformasi berbasis geografis7”.

2. Relevansi Teknologi InformasiGeospasial, Pertahanan Negara,dan Negara Maritim.

Ditengah ancaman, tantangan,dan hambatan baik yang bersifat

militer maupun nir militer men-jadikan bangsa Indonesia harusmengedepankan prinsip kewaspada-an dalam penyelenggaraan per-tahanan negara di sektor maritim.Hal ini disebabkan oleh karenakeamanan dan pertahanan negaramerupakan bagian dari tanggungjawab negara dalam mewujudkandinamisasi dan stabilitas ditengaharus globalisasi8.

Keberadaan teknologi informasigeospasial dalam konteks pertahanannegara menjadi sangat pentingsebagai sumber informasi terkaitdengan validitas kondisi geografibangsa Indonesia. Pengertian Infor-masi Geospasial amat erat kaitannyadengan salah satu syarat terbentuk-nya sebuah negara yaitu adanyawilayah yang berkonotasi teritorial.Wilayah merupakan salah satu syaratutama terbentuknya suatu negara,dalam pengertian tersedianya obyekyang ada di permukaan bumi denganlokasi yang pasti dan batas-batasyang diakui berdasarkan peraturanyang berlaku9.

6 Peter Hagget, 1978, Geography: Modern Synthesis dan R. Bintarto dan Surastopo Hadisumarno,1982, Metode Analisis Geografi, LP3ES dikutip dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undangtentang Informasi Geospasial, diakses dari http://www.bakosurtanal.go.id, diakses pada tanggal25 Agustus 2011.

7 Bakosurtanal,2010, Pengelolaan Data Geospasial, diakses dari http://www.bakosurtanal. go.id,diakses pada tanggal 25 Agustus 2011.

8 Kementerian Pertahanan RI, 2008, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, diakses dari http:/www.dephan.go.id, diakses pada tanggal 10 Agustus 2011. hlm 6

9 Mahendra Kurnia Putra, 2011, Hukum Kewilayahan Indonesia (Harmonisasi HukumPengembangan Kawasan Perbatasan NKRI Berbasis Teknologi Geospasial, Malang UB Press, hlm 45

86 EDISI 04/TAHUN 2012

3. Dasar urgensi pemanfataanteknologi informasi geospasialsebagai strategi penguatan sistempertahanan NKRI.

Pembangunan sektor maritimmerupakan prioritas penting dalamrangka mengukuhkan kedaulatanwilayah NKRI yang tangguh danhandal. Pengembangan teknologiinformasi berbasis geospasial meru-pakan kebutuhan mendasar dalamranga menuju sitem pertahanannegara yang berbasis pada pengua-saan ilmu pengetahuan dan tekno-logi. Sebagai bagian dari kemajuanperadaban tentunya pengembanganteknologi informasi geosapasial harusdiarahkan pada kemanfaatan pem-bangunan sehingga dampak negatifdari kemajuan teknologi akansenantiasa dapat di minimalisasi.Adapun dasar urgensitas peman-fataan teknologi informasi geospasialsebagai strategi penguatan sistempertahanan NKRI dilandasi olehbeberapa aspek antara lain :

(1) Aspek FilosofisLandasan filosofis urgensi peman-

fataan teknologi informasi geospasialadalah di dasarkan pada potretNegara Kesatuan Republik Indonesiasebagai sebuah negara kepulauanyang berciri nusantara dengan segalakekayaan sumber daya alam dansumber daya lainnya sebagai anu-gerah Tuhan Yang Maha Esa yangharus dikelola dengan baik, amanahdan penuh rasa tanggung jawab

untuk menjadi sumber kemak-muranbagi seluruh rakyat Indonesia, baikdi masa kini maupun di masa men-datang. Dengan demikian peman-faatan teknologi dan pembangunanakan mampu berjalan secara ber-sineregi, terarah, terpadu, terencana,dan berkelanjutan.

(2) Aspek SosiologisHasil temuan dan kajian dari

BAPPENAS menunjukkan bahwamasih terdapat kelemahan dalampengelolaan sektor pertahanan dankeamanan NKRI. Luasnya wilayahperairan Indonesia yang dihadapkanpada keterbatasan sarana dan pra-sarana penjagaan dan penga-wasanterutama kapal patroli, surveillancesystem, dan pos-pos pertahanan dankeamanan mengakibatkan masihbanyaknya area yang tidak terjang-kau operasi pengawasan dan peng-amanan. Akibatnya, banyak gangguankeamanan dan pelanggaran hukumdi wilayah laut yurisdiksi nasionalyang tidak dapat ditangani danberpotensi merugikan negara.

(3) Aspek YuridisAmanat Pasal 28F UUD NRI

Tahun 1945 mengaskan bahwa,Setiap orang berhak untuk ber-komunikasi dan memperoleh infor-masi untuk mengembangkan pribadidan lingkungan sosialnya, sertaberhak untuk mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah, danmenyampaikan informasi dengan

87EDISI 04/TAHUN 2012

menggunakan segala jenis saluranyang tersedia. Berpangkal darikonteks tersebut maka kelahiran UUNo 4 Tahun 2011 tentang informasiGeospasial merupakan instrumenyuridis yang diharapkan mampuberperan sebagai instrument pem-bangunan masyarakat dalam rangkapemanfaatan teknologi informasigeospasial yang berbasis pada peme-nuhan dan perlindungan hak kons-titusional warga negara atas infor-masi yang mencerdaskan kehidupanbangsa.

Secara berkelanjutan maka upayahukum diarahkan pada mekanismesinkronisasi dan harmonisasi per-undang-undangan dalam lingkuppembangunan di sekor maritimseperti UU tentang KeterbukaanInformasi Publik, UU tentang Per-tahanan Negara, UU tentang WilayahNegara, UU tentang Pemerintahandaerah, UU tentang Informasi Geo-spasial sehingga tercipta sinergitasyang baik antara mekanisme opera-sional, kelembagaan, tanggungjawab, kewenangan, dan sanksi.

(4) Aspek PolitisFungsi politik yang terlembaga

melalui partai politik yang memilikiperan sebagai media pendidikankewarganegaraan, representasi, aspi-rasi, agregasi dan artikulasi kepen-tingan diharapkan mampu men-dorong kebijakan strategis yang proterhadap pembangunan di sektormaritim sebagai konsekuensi atas

keberlanjutan kewenangan yangdimiliki yaitu sebagai fungsi legisla-tor, fungsi kontrol dan fungsianggaran.

(5) Aspek EkonomisPostur dan struktur pertahanan

negara saat ini tidak sebandingdengan luas dan karakteristikwilayah yurisdiksi nasional, jumlahdan sebaran penduduk, serta ancamandan gangguan keamanan nasional.Dalam lima tahun mendatang,pertahanan negara diperkirakanakan menghadapi ancaman dankerawanan yang lebih intens danlebih tinggi sebagai akibat instabilitaskawasan; perebutan penguasaan danpemanfaatan secara illegal sumberdaya alam dan sumber daya energi;serta peningkatan kapasitas non-stateactor baik dari sisi sumber dayamanusia, teknologi dan permodalan.Keberadaan politik anggaran yangpro terhadap pengembangan tekno-logi informasi geospasial sangat dibutuhkan dalam rangka mewujud-kan sistem pertahanan yang tangguhdan handal.

(6) Aspek GeografisWilayah Indonesia, termasuk

daerah rawan bencana, terutamabencana alam geologi, yang disebab-kan karena posisi Indonesia yangterletak pada pertemuan 3 (tiga)lempeng tektonik di dunia yaitu:Lempeng Australia di selatan,Lempeng Euro-Asia di bagian barat

88 EDISI 04/TAHUN 2012

dan Lempeng Samudra Pasifik dibagian timur, yang dapat menunjangterjadinya sejumlah ancaman ben-cana. Disamping itu wilayah daratanIndonesia sebagian besar kelanjutandari jalur pegunungan Sirkum Pasifikdan jalur Sirkum Mediteran. Dataranrendah dan luas ada di Sumatera,Kalimantan, Irian Jaya dan Jawa.Terdapat gunung api aktif sekitar 200dan yang 70 berada di Pulau Jawa10.

Secara umum, terestimasikanbahwa 83% wilayah Indonesiaadalah daerah dengan risiko bencanayang tinggi. Sejumlah 383 kabupatendari 440 kabupaten di Indonesiaadalah kawasan dengan resikobencana yang cukup tinggi Datastatistik menujukkan bahwa, 98%dari 220 juta jiwa penduduk Indone-sia adalah penduduk yang belummemiliki kesadaran tentang pengu-rangan resiko bencana11. Menyadariakan hal tersebut kehadiran tekno-logi informasi geospasial sangatpenting untuk mendeteksi secara diniancaman bencana yang terjadi.Kesiapsagaan dan kewaspadaannegara dalam mengatasi problemtersebut merupakan modal dalamrangka mewujudkan negara maritimyang tangguh dan handal.

4. Model pemanfaatan teknologiinformasi geospasial sebagai stra-tegi penguatan sistem pertahananNKRI menuju negara maritimyang handal.

Mengacu pada aspek-aspek pen-dukung urgensi pemanfaatan tekno-logi informasi geospasial bagi pe-nguatan sistem pertahanan sebagai-mana diuraikan diatas maka dibutuhkan adanya model pelaksanaandan penerapan teknologi informasigeospasial secara holistik dan kom-prehensif dalam menopang terwud-nya sistem pertahanan negaramaritim yang tangguh dan handal.Adapun model sebagaimana dimak-sud dapat di gambarkan berikut ini(dapat dilihat pada gambar 1).

Berdasarkan gambar diatas solusidan model pemanfataan terhadapteknologi informasi geospasialsebagai strategi penguatan sistempertahanan NKRI menuju negaramaritim diarahkan pada terwujud-nya Integrated Portal of Dynamic Infor-mation (Portal Terpadu InformasiDinamis). Model ini dimaksudkansebagai sistem portal terpadu, di manamemberikan kemudahan akses bagipengguna melalui jaringan internetyang telah membuka kebuntuan akankeragaman itu. Penyatuan data dan

10 Suratman Worosuprodjo, 2007. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berbasis Spasial DalamPembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada FakultasGeografi UGM, Yogyakarta. hlm 2

11 Indaru Setyo Nurprojo dan Khairu R. Sobandi, Kebijakan Penanggulangan Bencana Di EraEtonomi Daerah, Makalah disampaikan Pada Simposium Nasional Satu Dasawarsa PelaksanaanOtonomi Daerah di selenggarakan oleh PP OTODA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang1-2 Desember. hlm 1-2

89EDISI 04/TAHUN 2012

informasi geospasial dapat dilakukandengan lebih mudah, murah dancepat. Disamping itu gagasan Inte-grated Portal of Dynamic Information(Portal Terpadu Informasi Dinamis)diharapkan mampu menjembataniperkembangan informasi geospasialyang selama ini diterbitkan olehberbagai institusi. Di sinilah peranICT, yang dapat menjembatanikeragaman dan menyatukan datageospasial dalam suatu gerbangtertentu.

Dari sisi kelembagaan pem-bentukan Integrated Portal of DynamicInformation (Portal Terpadu InformasiDinamis) dipelopori oleh KementerianPertahanan dan Bakosurtanal sebagaibagian dari perwujudan institutionalbuilding dalam kerangka reformasipenataan kelembagaan sehinggapemanfataanya bisa diakses olehberbagai institusi terkait dalamrangka menstimulasi pengambilankebijakan disetor pertahanan dankemaritiman yang berbasi pada

Gambar 1

Model pemanfaatan teknologi informasi geospasial

90 EDISI 04/TAHUN 2012

pemanfaatan teknologi bagi pem-bangunan dan kemajuan bangsa In-donesia.

C. PENUTUP1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatasdapat disimpulkan :a) Bahwa dasar urgensitas peman-

fataan teknologi informasi geo-spasial sebagai strategi penguatansistem pertahanan NKRI di-landasi oleh aspek filosofis, sosio-logis, yuridis, politis, ekonomis,dan geografis sesuai dengankondisi ideal dan kondisi obyektifdi lapangan.

b) Bahwa pemanfaatan teknologiinformasi geospasial sebagaistrategi penguatan sistem per-tahanan NKRI menuju negaramaritim yang handal diarahkanpada terwujudnya Integrated Por-tal of Dynamic Information (PortalTerpadu Informasi Dinamis)sebagai sarana strategis dalampengambilan kebijakan danpelaksanaan pembangunan di

sektor pertahanan menuju negaramaritim yang tangguh dan han-dal.

2. SaranSeyogyanya untuk menjamin

kepastian hukum dan efektifitas pene-rapannya sebaiknya perlu dilakukansinkronisasi dengan peraturan per-undang-undangan lain yang terkait,reformasi tata kelola kelembagaannegara serta melakukan kajian yangmendalam terhadap kesiapan pusatdan daerah baik secara kelembagaanmaupun sarana dan prasarana, infra-struktur dalam menunjang terseleng-garanya proses informasi geospasial.Sehingga dalam implementasi di-lapangan suatu instrumen kelem-bagaan dan hukum dapat menjadiinstitusi dan payung hukum yangefektif dalam seluruh proses peren-canaan, pelaksanaan, koordinasi,pengawasan dan evaluasi dalamrangka meningkatkan kualitas per-tahanan menuju negara maritimyang handal.

91EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh:Amelia Sri Kusumadewi

AbstraksiBangsa ini pernah mengalami masa keemasan pada awal abad ke-9Masehi. Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengankapal bercadik, dengan alat navigasi, dengan modal kesederhanaan tersebutparas pelaut bumi nusantara telah mampu berlayar ke utara, lalu ke baratmemotong lautan Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hinggaPulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditasperdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan diNusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.Kejayaan masa Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan maritim nusantara, sepertiBugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasarkemaritiman Ammana Gappa di Sulawesi Selatan, Majapahit hinggaKerajaan Demak yang lahir di bumi nusantara adalah negara besar yangdisegani di kawasan Asia, maupun di seluruh dunia.

AbstractThis nation had experienced a golden age in the beginning of the 9th centuryAD. The history recorded that Indonesian people have been sailed awaywith the sailing vessel, without navigation tools, with the simplicity, Indo-nesian sailors have been able to sail to the north, tto the west, to cut the

REAKTUALISASI PANCASILA SEBAGAI MODALPARADIGMATIK DALAM MENGUKUHKAN NKRISEBAGAI NEGARA MARITIM YANG BERDAULAT

92 EDISI 04/TAHUN 2012

Indian Ocean to Madagascar and continue to the east; to Easter Island.With the more hectic flow of commodities trade through the sea, encourag-ing the emergence of the kingdoms in the archipelago which is patternedmaritime and having a large fleet. The glory era of Sriwijaya, the kingdomof maritime archipelago, such as the Bugis-Makassar, Sriwijaya,Tarumanegara, and the foundation stone builder of maritime AmmanaGappain South Sulawesi, Majapahit even Demak kingdom which wereborn on the earth of archipelago are respected major power in Asia andaround the world.

Key Word : Pancasila, NKRI, Souvereignty

A. PENDAHULUANLetak strategis wilayah NKRI yang

berada diantara dua benua yaitubenua Australia dan benua Asia sertadiapit oleh dua samudera yaitusamudera Hindia dan SamuderaPasifik merupakan kawasan poten-sial bagi jalur lalu-lintas antar negara.Disamping itu Indonesia merupakannegara kepulauan (Archipelagic states)1

yaitu suatu negara yang terdiri darisekumpulan pulau-pulau, perairanyang saling bersambung (Interconnect-ing waters) dengan karakteristikalamiah lainnya dalam pertalian yangerat sehingga membentuk satukesatuan. Berpangkal dari kontekstersebut potensi kelautan NKRI dapat

dilihat dari beberapa aspek antaralain :

Pertama, Dari sisi geografis per-temuan lempeng Pasifik, lempengEurasia dan lempeng SamudraHindia-Australia menjadikan letakgeografis Indonesia begitu unik danmemberikan kekayaan fenomena alamyang tidak terbatas. Rantai ke-pulauan Nusantara dari ujung baratsampai ke timur terbentang jalurmagnetik, jalur seismik dan jaluranomali gravitasi negatif terpanjangdi dunia, telah memberikan kekayaanvariasi jenis-jenis kedalaman lautdengan beragam biota laut dankeindahan estetikanya2.

1 Munadjat Danu Saputro, 1983, Wawasan Nusantara (Dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun1982, Bandung: Penerbit Alumni. hal 55 (Menurut Konvensi Hukum Laut tahun 1982, negara-negarakepulauan merupakan keseluruhan dari satu atau lebih kepulauan dan mungkin termasuk pulau-pulaulain. Kepulauan sendiri berarti sekelompok pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, yangmenghubungkan perairan dan ciri- ciri alam lain yang berhubungan begitu dekat dengan pulau-pulautersebut, air dan ciri-ciri alam dari suatu kesatuan yang geografis, ekonomis dan politik hakiki, atauyang secara historis telah dianggap demikian).

2 Daniel Mohammad Rosyid, 2010, Paradigma Pembangunan Kepulauan Indonesia Abad 21, PidatoPengukuhan Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi Jurusan Teknik Kelautan FakultasTeknologiKelautan ITS Surabaya, hlm 22

93EDISI 04/TAHUN 2012

Data statistik Kementerian Per-tahanan RI4 menyebutkan bahwaSebagai negara kepulauan Indonesia,memiliki (17.506 pulau) terbesar didunia, dengan perairan laut teritorial(3,2 juta km2) terluas di dunia (belumtermasuk 2,9 juta km2 perairan zonaekonomi eksklusif, terluas ke-12 didunia), dan 95.108 km garis pantaiyang terpanjang kelima di dunia.Sebagaimana diutarakan oleh JimlyAsshidiqie Dengan posisi tersebutmenempatkan bangsa Indonesiasendiri berada di tengah pergaulandunia (the cross road), semua pengaruhkebudayaan besar, semua pengaruhagama besar, semua pengaruhperadaban besar dunia berpartisipasidan berebut pengaruh di Indonesia5.

Dari sisi pereokonomian menye-butkan bahwa Sejumlah kajian padatahun 2008 mencatat PDB padasubsektor perikanan mencapai angkaRp136,43 triliun. Nilai ini mem-berikan kontribusi terhadap PDBkelompok pertanian menjadi sekitar19,13 persen atau kontribusi terhadapPDB nasional sebesar 2,75 persen.Hingga triwulan ke III 2009 PDBperikanan mencapai Rp128,8 triliunatau memberikan kontribusi 3,36persen terhadap PDB tanpa migas

Berdasarkan laporan dari PanitiaPengembangan Riset dan TeknologiKelautan serta Industri Maritim(1995)3, menyatakan bahwa di Indo-nesia terdapat 60 cekungan yangberpotensi mengandung minyak dangas bumi (hidrokarbon). Dari 60cekungan itu, 15 di antaranya telahberproduksi; 23 cekungan sudahdibor dan 22 cekungan belum dilaku-kan pemboran. Diperkirakan 60cekungan itu berpotensi menghasil-kan 106,2 miliar barel minyak mentah,namun baru 16,7 miliar barel yangdiketahui dengan pasti; 7,5 miliarbarel di antaranya sudah dieksploitasidan sisanya sebesar 89,5 miliar barelbelum terjamah.

Sedangkan Potensi kekayaantambang dasar laut seperti alu-minium, mangan, tembaga, zirco-nium, nikel, kobalt, biji besi non ti-tanium, vanadium, dan lain sebagai-nya yang sampai sekarang belumteridentifikasi dengan baik sehinggadiperlukan teknologi yang majuuntuk mengembangkan potensitersebut. Potret kemajemukan bangsasebagaimana dimaksud merupakanrefleksi karakteristik sekaligus jati diribangsa Indonesia sebagai bangsayang Berbhineka Tunggal Ika.

3 Renny Masmada, Makalah, Indonesia Sebagai Negara Maritim, diakses dari http://rennymasmada.dagdigdug.com/2010/03/26/indonesia-sebagai-negara-maritim/ diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.

4 Deden Doris, Makalah, Indonesia Sebagai Negara Maritim, diakses dari http://www.dmc.kemhan.go.id/ index.php?option=com_content&view=article &id=567:indonesia-sebagai-negara-maritim&catid=38:opiniartikel&Itemid=63, diakses pada tanggal 2 Agustus 2011.

5 Jimly Asshidiqie, Bahan Makalah disampaikan pada acara Seminar “Masa Depan Kebhinnekaandan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”. Diselenggarakan oleh Interna-tional Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008.

94 EDISI 04/TAHUN 2012

dan 3,12 persen terhadap PDBnasional6.

Mengacu pada konteks diatasmaka berdasarkan hasil penelitian,laut yang berada dibawah kedaulatanNKRI itu mempunyai 4 fungsi vital7:(1) Laut sebagai faktor integrasi teri-

torial wilayah nasional, yaitu:integrasi antara matra wilayahdarat, matra wilayah laut danmatra wilayah udara. Tanpamatra wilayah laut, Indonesiabukan Negara Kepulauan, inti-nya Negara Kepulauan tidak akaneksis, perlunya matra wilayahlaut merupakan faktor eksis-tensial bagi negara kepulauanIndonesia, “without sea there isnoarchipelagic state”.

(2) Laut merupakan fungsi vital bagisarana transportasi laut. Bilafungsi ini tidak berjalan, makaNKRI yang berciri khas NegaraKepulauan bisa terancam eksis-tesinya dilihat dari sudut politik,ekonomi, sosial, budaya dan per-tahanan, terutama dalam penye-lenggaraan Negara dan distribusikebutuhan hidup rakyat.

(3) Laut sebagai deposit sumber dayaalam. Baik yang ada dipermukaanlaut itu sendiri, didasar samuderaSea Bed, Continental Shelf karenaberisi kandungan sumber daya

alam yang memberikan jaminanterhadap kelangsungan hidupbangsa Indonesia dari abad keabad. Bila deposit ini tidak ter-pelihara dan terjamin pelak-sanaan fungsinya, maka kelang-sungan hidup rakyat dan eksis-tensi Negara Kepulauan Indone-sia bisa terancam.

(4) Laut sebagai sarana bagi per-tahanan dan keamanan Negara.Jika fungsi yang keempat ini tidakterlaksana, maka NKRI yangmerupakan Negara Kepulauanbisa terancam keutuhan daneksistensinya. Sejarah membukti-kan karena fungsi vital keempatini dijaga, maka NKRI dapatmelempar berbagai macam pem-berontakan dalam negeri, ter-masuk pembebasan Irian Barat(sekarang bernama Papua).

Empat fungsi vital tersebut meru-pakan fungsi eksistensial bagi kebe-radaan Indonesia sebagai negarakepulauan dan Negara KesatuanRepublik Indonesia.

B. PEMBAHASAN1. Ancaman dan Hambatan Penge-

lolaan Kawasan Bahari IndonesiaNamun demikian sebagai negara

yang berlimpah akan potensi SumberDaya Alam ternyata menimbulkan

6 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber DayaKelautan dan Perikanan, diakses dari http://www.google.com, diakses pada tanggal 5 Agustus 2011.

7 Dimyati Hartono, Membangun Negara Maritim Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik,Dan Pertahanan, Makalah disampikan pada Seminar dengan tema “Membangun Negara MaritimDalam Perspektif Ekonomi, Sosial, Budaya, Politik, dan Pertahanan” , diakses dari http://www.indomaritimeinstitute.org, diakses pada tanggal 10 Agustus 2011.

95EDISI 04/TAHUN 2012

berbagai pemasalahan seperti kabur-nya batas-batas wilayah negara,penyelundupan barang, pembalakanliar, Perdagangan manusia (traffick-ing), terorisme, perompakan laut8

serta eksploitasi sumber daya alam.Selain permasalahan diatas masihterdapat kekurang sigapan Peme-rintah RI dalam menjaga integritaswilayah kedaulatan. Indikasinyayaitu ±17.505 pulau yang dipubli-kasikan selama ini belum didukungoleh data secara resmi mengenainama dan posisi geografisnya.

Pada sisi administrasi data dankearsipan informasi tentang datapulau-pulau hingga saat ini berbeda-beda antara satu lembaga denganlembaga lainnya. LIPI menyebutkanada 6.127 nama pulau pada tahun1972, Pussurta (Pusat Survey danData) mencatat 5.707 nama pulaupada tahun 1987, dan pada tahun1992, Bakosurtanal menerbitkan Gaz-etteer nama-nama pulau dankepulauan Indonesia sebanyak 6.489pulau yang bernama. Perihal inimencerminkan bahwa bangsa Indo-nesia masih lemah dalam pengelolaanwilayah lautnya, karena dari 17.508pulau yang diklaim Indonesia hanyabeberapa persen saja yang sudah

memiliki nama9. Perihal ini harussegera diatasi mengingat bahwaancaman terhadap kedaulatanwilayah NKRI sewaktu-waktu bisadatang dari luar maupun dari dalamnegeri.

Laporan Institute for Defense, Se-curity and Peace Studies (IDSPS)10

menunjukkan bahwa minimnyakeberpihakan kepada sektor maritim(maritime policy) salah satunyamenyebabkan masih semrawutnyapenataan selat Malaka yang sejatinyamenjadi sumber devisa. Hal lainnyaadalah pelabuhan dalam negeribelum menjadi international hub port,ZEE yang masih terlantar, penamaandan pengembangan pulau-pulaukecil, terutama di wilayah perbatasannegara tidak kunjung tuntas, sertamakin maraknya praktik illegal fish-ing, illegal drug traficking, illegal people,dan semakin meningkatnya penye-lundupan di perairan Indonesia.Padahal, sejatinya posisi strategis In-donesia banyak memberikan manfaat,setidaknya dalam tiga aspek, yaitu;alur laut kepulauan bagi pelayaraninternasional (innocent passage, transitpassage, dan archipelagic sea lane pas-sage) berdasarkan ketentuan IMO;luas laut territorial yang di-

8 Catatan Negara Indonesia sebagai negara dengan tingkat kecelakaan dan perampokan di lautyang cukup tinggi (high risk country) oleh International Maritime Organisastion (IMO) semakinmemberikan gambaran yang sangat memprihatinkan dari peluang ekonomi di sektor kebaharian.

9 Ria Casmi Arrsa, 2008, Problematika NKRI Sebagai Negara Maritim, diakses dari http://www.legalitas.org, diakses pada tanggal 1 Juli 2011 hlm 1

10 Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS), 2009, Policy Paper, Pengelolaan danPengamanan Wilayah Perbatasan Negara, diakses dari http://www.google.com, diakses pada tanggal3 Agustus 2011.

96 EDISI 04/TAHUN 2012

laksanakan sejak Deklarasi Djuanda1957 sampai dengan UNCLOS 1982yang mempunyai sumberdaya ke-lautan demikian melimpah; dansumber devisa yang luar biasa jikadikelola dengan baik.

2. Refleksi Sejarah Potret KekuatanMaritim di Nusantara.

Mengacu pada potret potensiwilayah NKRI, hambatan dan tan-tangan sebagaimana diuraikan diatasmaka dalam menyongsong pering-atan hari Nusantara sangat dibutuh-kan adanya evaluasi diri terhadappelaksanaan visi pembangunansektor kemaritiman di Indonesia yangberbasis pada nilai-nilai kulturalbangsa Indonesia. Hal ini didasaripada konteks sebelum masa kemer-dekaan, Indonesia ternyata sudahdikenal dunia sebagai sebagai bangsayang memiliki peradaban maritimmaju.

Bahkan, bangsa ini pernah meng-alami masa keemasan pada awal abadke-9 Masehi. Sejarah mencatat bangsaIndonesia telah berlayar jauh dengankapal bercadik, dengan alat navigasi,dengan modal kesederhanaan ter-sebut paras pelaut bumi nusantaratelah mampu berlayar ke utara, laluke barat memotong lautan Hindiahingga Madagaskar dan berlanjut ketimur hingga Pulau Paskah. Dengankian ramainya arus pengangkutan

komoditas perdagangan melalui laut,mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorakmaritim dan memiliki armada lautyang besar.

Kejayaan masa Kerajaan Sriwijaya,Kerajaan maritim nusantara, sepertiBugis-Makassar, Sriwijaya, Taruma-negara, dan peletak dasar kemariti-man Ammana Gappa di SulawesiSelatan, Majapahit hingga KerajaanDemak yang lahir di bumi nusantaraadalah negara besar yang disegani dikawasan Asia, maupun di seluruhdunia. Sebagai kerajaan maritim yangkuat di Asia Tenggara, Sriwijaya(683-1030 M) telah mendasarkanpolitik kerajaannya pada penguasaanalur pelayaran dan jalur perdaganganserta menguasai wilayah-wilayahstrategis yang digunakan sebagaipangkalan kekuatan lautnya11.

Ketangguhan maritim pada masakejayaan Kerajaan sebagaimana dimaksud diatas juga ditunjukkan olehKerajaan Singosari di bawah peme-rintahan Prabu Kertanegara padaabad ke-13. Dengan kekuatan armadalaut yang tidak ada tandingannya,pada tahun 1275 Prabu Kertanegaramengirimkan ekspedisi bahari keKerajaan Melayu dan Campa untukmenjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak majuKerajaan Mongol ke Asia Tenggara.Secara berkelanjutan Puncak ke-

11 Y.Paonganan, 2010, Indonesia Menuju Negara Maritim, diakses dari http://indomaritimeinstitute.org/?p=501, diakses pada tanggal 5 Agustus 2011

97EDISI 04/TAHUN 2012

jayaan maritim nusantara terjadipada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya,Hayam Wuruk dan Patih GajahMada, Majapahit berhasil menguasaidan mempersatukan nusantaramelalui ikrar Sumpah Palapa yangberbunyi “ingsun tan hamukti, palapalamun durung purna hamusti nus-wantara” (saya tidak akan makan buahPalapa sebelum selesai mempersatukanNusantara). Disitu, dalam sumpahGajah Mada itu ada tekad, tekadmencapai sesuatu yaitu hamusti/menyatukan nuswantara/nusantaraNegara kepulauan. Tekad itu di-wujudkan dalam policy pembang-unannya yang kemudian membuatNegara kerajaan Majapahit itusebagai Negara besar yang kekuatan-nya didukung oleh kekuatan maritimdanmenguasai lautan, maka barudisebut Negara Maritim.Implikasidari visi tersebut makaPengaruhnyabahkan sampai ke negara-negaraasing seperti Siam, Ayuthia, Lagor,Campa (Kamboja), Anam, India,Filipina, China.

Mengacu dari sejarah perjalananbangsa sebagaimana di utarakandiatas tentunya sangat dibutuhkanadanya pemahaman dan peng-apilkasian terhadap kebanggaansejarah di masa lampau. Dalam halini Soekarno dalam sebuah pidatomengatakan jargon yang berbunyi“Jas Merah” yang artinya jangan

sekali-kali melupakan sejarah. Dalamkarya berbagai ahli sejarah sangatmenarik untuk mengkaji pendapatdari Rohlfes12 yang mengatakanbahwa karya ahli sejarah diarahkanpada sebuah tujuan untuk :1. Menemukan dan menyaring

sumber-sumber;2. Menyusun dalam kelompok-

kelompok, sumber-sumber me-nurut tolak ukur tertentu (ter-masuk yang bersifat hipotesis)

3. Menguraikan sumber-sumber,yakni menelusuri dan mengujihal yang dapat dipercaya berikutkekuatan pembuktian sumber-sumber ini;

4. Menafsirkan sumber-sumbertersebut dengan maksud melaku-kan rekonstruksi jalan perkem-bangan fakta-fakta (termasukkemungkinan terlebih dahulumenyusun sebuah hipotesiskerja);

5. Mendalami serta memahami danmelakukan verifikasi terhadapketerkaitan satu dengan yang lainatas keistimewaan-keistimewaankarakterstik yang diketemukan;

6. Penilaian fakta-fakta dan keter-kaitan-keterkaitan yang ditetap-kan.Sedangkan menurut B.Miskiewicz

seorang sejarawan asal Polandiamengutarakan bahwa :

12 Rohlfes, dalam John Gilisen dan frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum, Bandung: PT. Refika Aditama,hlm 8

98 EDISI 04/TAHUN 2012

“Tugas Sejarah adalah memeriksadengan teliti kejadian-kejadianhistoris,artinya menelusuri otentisitas dankesungguhan pengetahuan akan fakta-fakta, maupun hubungan satu denganyang lain di dalam proses sejarah tersebutdan dari sini menurunkan dalil-dalil,hukum-hukum, dan kecenderungan-kecenderungan masyarakat. Fakta tersebutditentukannya berdasarkan bahan-bahanyang digali dari sumber-sumber dari sinimelalui metode-metode penelitian yangterukur membaca kehidupan individualdan kemasyarakatan manusia.”

Berapngkal dari paradigma peng-galian aspek kesejarahan sebagai-mana dimaksudkan diatas dengansendirinya akan membawa padadimensi kejelasan asal muasal sebuahtatanan sosio-kultural masyarakatsebagai bentuk sejarah peradabanbangsa. Menguatnya identitas danjati diri sebuah banga diharapkanakan mampu meningkat kecintaandan kebanggaan terhadap tanah air,serta menjadi spirit dalam mem-bangun mengukuhkan visi pem-bangunan NKRI di sektor maritim.

3. Kontroversi Negara Maritim danKegamangan Pembangunan

Salah satu statement Ir. Sukarnopada National Maritime Convention(NMC) 1963 adalah “Untuk mem-bangun Indonesia menjadi negarabesar, negara kuat, negara makmur,negara damai yang merupakan na-tional building bagi negara Indone-sia. Maka negara dapat menjadi kuat

jika dapat menguasai lautan. Untukmenguasai lautan kita harus me-nguasai armada yang seimbang”.Sebagai sebuah negara kepulauanterbesar di dunia yang dua pertigaluas wilayahnya adalah laut, sungguhbutuh akan kekuatan armada lautyang memadai. Pasal 3 ayat 2Undang-Undang No.3 Tahun 2002tentang Pertahanan Negara secarategas menyatakan bahwa “Per-tahanan negara disusun denganmemperhatikan kondisi geografis In-donesia sebagai negara kepulauan”.Dengan demikian, jelas bahwa Indo-nesia secara yuridis mengakui dirinyasebagai negara maritim, dan dengandemikian diperlukan suatu posturpertahanan yang berwawasanmaritim.

Sebagai konsekuensi logis ter-hadap pembangunan di sektormaritim sebagaimana dijelaskandiatas maka kehadiran visi danparadigma pembangunan yang adasangat penting bagi terwujudnyapembangunan sektor maritim yangberkelanjutan. Paradoks maupunperbedaan pendapat di kalangan ahlidi bidang kemaritiman terkait denganstatus maupun karakteristik me-ngenai kontroversi Indonesia sebagainegara maritim merupakan wujudkegamangan para pengambil ke-bijakan dalam merumuskan visipembangunan nasional.

Banyak ahli yang berpendapatbahwa Indonesia adalah negarMaritim. Namun, pada sisi yang lain

99EDISI 04/TAHUN 2012

justru ada yang bertolak belakangdari pendapat tersebut. Salah satupendapat yang bertolak belakangadalah pandangan yang di sampikanoleh Hasyim Jalal13 yang menegaskanbahwa, Indonesia bukanlah negaramaritim. Indonesia hanyalah negarakepulauan yang bercita-cita inginmenjadi negara maritim. Secara Lebihlanjut menurut Hasyim Jalal negaramaritim adalah negara yang mampumengelola sumber daya laut. Sedang-kan negara kepulauan adalah negarayang terdiri dari banyak pulau.

Beberapa elemen bangsa yangmemahami betul potensi terbesar In-donesia sebagai Negara Kepulauanterus berjuang untuk menggelorakansemangat menjadikan Indonesiasebagai Negara Maritim. Sebagaicatatan, bahwa pengertian NegaraKepulauan dan Negara Maritimsangatlah jauh berbeda. NegaraKepulauan adalan ciri sebuah negarayang secara geografis terdiri atasbanyak pulau yang terikat dalamsuatu kesatuan negara. SedangkanNegara Maritim adalah sebuahnegara yang menguasai semuakekuatan strategis di lautan yangdidukung oleh kekuatan maritim baikitu aramada perdagangan, armadaperang, industri maritim sertakebijakan pembangunan negara yangberbasis maritim.

Jika mencermati istilah tentangnegara maritim, maka saat ini Indo-

nesia belum bisa dikategorikansebagai negara maritim tapi masihsebatas negara kepulauan. Namunjika ada kesepahaman dan adakomitmen para pemimpin bangsa iniuntuk menjadikan Indonesia sebagaiNegara Maritim yang besar dan kuatserta disegani dunia Internasional,peluangnya sangatlah besar. Modaldasar sebagai Negara Kepulauandengan posisi strategis serta kekayaansumber daya alam yang begitumelimpah memberikan peluang yangsangat besar bagi Indonesia untukmerealisasikan anugerah Tuhan YangMaha Esa untuk menjadikan Indo-nesia sebagai bangsa yang besar danpaling strategis di dunia. Selain itujuga bisa lebih dimaksimalkan pen-capaian cita-cita bangsa Indonesiamenuju masyarakat yang adil danmakmur.

4. Reaktualisasi Pancasila, Ke-niscayaan Mewujudkan NegaraMaritimMengacu pada konteks diatas

maka adanya kesepahaman para-digma dan visi pembangunan sangatdi butuhkan dalam menjawan pro-blematikan NKRI menuju kekuatanmaritim yang berdaulat. Sebagaimodal Pembangunan yang bersifatfundamental meng aktualisasikankembali nilai-nilai Pancasila menjadisebuah kenisacayaan dalam rangkamembangun fondasi paradigma dan

13 Hasyim Jalal, 2009, Pakar Hukum Laut: Indonesia Bukan Negara Maritim, http://news.okezone.com/read/2009/08/05/1/245209/pakar-hukum-laut-indonesia-bukan-negara-maritim

100 EDISI 04/TAHUN 2012

visi kemaritiman nasional yangholistik dan komprehensif. Kebe-radaan Pancasila dalam kontekspembangunan saat ini kian memudar,terkikis, terlupkan dan jutru kiantidak hadir dalam segenap sendi sendipenyelenggaraan berbangsa danbernegara. Menyongsong peringatanhari Nusantara, maka sangatlahpenting untuk mereaktualkan kem-bali keberadaan Pancasila mengingatbahwa Pancasila sebagai sebuahideologi tidak akan memiliki ruhtatakala hanya ada di dalam ide. Akantetapi keberadaan Pancasila akanmenjadi sebuah semangat tatkala dirumuskan dan dijalankan secarakonsekuen oleh setiap pengambilkebijakan di negara ini.

The founding leaders” Indonesiatelah meletakkan dasar-dasar dantujuan kebangsaan sebagaimanatermaktub dalam pembukaan UUD1945. Hakikat dari sebuah tujuanuntuk mendirikan negara RepublikIndonesia yang tiada lain denganmaksud melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia, memajukan kesejahteraanumum, mencerdaskan kehidupanbangsa, dan untuk ikut melaksana-kan ketertiban dunia berdasarkankemerdekaan, perdamaian abadi dankeadilan sosial14. Dalam hal inihendaknya dipahami bersama ter-

hadap sebuah konsensus yang men-jamin tegaknya konstitusionalisme dizaman modern pada umumnyadipahami bersandar pada tiga elemenkesepakatan (consensus) yaitu15 :1. Kesepakatan tentang tujuan atau

cita-cita bersama (the general goalsof society or general acceptance of thesame philosophy of government).

2. Kesepakatan tentang the rule oflaw sebagai landasan peme-rintahan atau penyelenggaraannegara (the basis of government).

3. Kesepakatan tentang bentukinstitusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the formof institutions and procedures).

Kesepakatan (consensus) pertama,yaitu berkenaan dengan cita-cita ber-sama sangat menentukan tegaknyakonstitusi dan konstitusionalisme disuatu negara. Karena cita-cita ber-sama itulah yang pada puncakabstraksinya paling mungkin men-cerminkan kesamaan-kesamaankepentingan di antara sesama wargamasyarakat yang dalam kenyataan-nya harus hidup di tengah pluralismeatau kemajemukan. Oleh karena itu,di suatu masyarakat untuk menjaminkebersamaan dalam kerangka kehi-dupan bernegara, diperlukan peru-musan tentang tujuan-tujuan ataucita-cita bersama yang biasa ju-gadisebut sebagai falsafah kenegaraan

14 Jimly Asshidiqie, Bahan disampaikan pada acara acara Konferensi Mahasiswa Indonesia dengantema “Kondisi, Harapan dan Konstribusi Nyata dari Pemuda” BEM KM UGM, diakses dari http://www.jimly.com, diakses pada tanggal 2 Juli 2011.

15 Jimly Asshidiqie, Ideologi, Pancasila dan Konstitusi, diakses dari http://www.jimly.com, diaksepada tanggal 29 Oktober 2009

101EDISI 04/TAHUN 2012

atau staatsidee (cita negara) yangberfungsi sebagai filosofische grondslagdan common platforms atau kalimatunsawa16 di antara sesama warga masya-rakat dalam konteks kehidupanbernegara.

Di Indonesia, dasar-dasar filosofisyang dimaksudkan itulah yang biasadisebut sebagai Pancasila yang berartilima sila atau lima prinsip dasaruntuk mencapai atau mewujudkanempat tujuan bernegara. Lima prinsipdasar Pancasila itu mencakup sila atauprinsip (i) Ketuhanan Yang MahaEsa; (ii) Kemanusiaan yang Adil danBeradab; (iii) Persatuan Indonesia;(iv) Kerakyatan yang Dipimpin olehHikmat Kebijaksanaan dalam Per-musyawaratan/Perwakilan;dan (v)Keadilan Sosial bagi Seluruh RakyatIndonesia. Kelima sila tersebut di-pakai sebagai dasar filosofis-ideologis

untuk mewujudkan empat tujuanatau cita-cita ideal bernegara, yaitu:(i) melindungi segenap bangsa Indo-nesia dan seluruh tumpah darah In-donesia; (ii) meningkatkan kesejah-teraan umum; (ii) mencerdaskankehidupan bangsa; dan (iv) ikutmelaksanakan ketertiban dunia ber-dasarkan kemerdekaan, perdamaianyang abadi, dan keadilan sosial17.

Sebagai bentuk kesepakatan luhurbangsa, Pancasila memiliki konseptata nilai yang mampu memberikanruh bagi kehidupan bangsa. Secaralebih detail kedudukan Pancasilasebagai sumber inspirasi pem-bangunan di sektor maritim adalahsebagaimana berikut ini (dapat dilihatpada gambar 2).

Berdasarkan ilustrasi tersebutdapat dijelaskan bahwa dalam rangkareaktualisasi Pancasila dalam konteks

16 Dalam istilah Arab Kalimah Sawa berarti kalimat, ide atau prinsip yang sama, yakni ide yangmenjadi common platform antara berbagai kelompok manusia (lihat dalam Nurcholis Madjid, 2008,Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: PT. Dian Rakyat bekerjasama dan Universitas Paramadina, hlm9)

17 Jimly, Asshidiqie, Ibid

Gambar 2 Pancasila sebagai Inspirasi Pembangunan Sektor Maritim

102 EDISI 04/TAHUN 2012

pembangunan di sektor maritimsebagai berikut dapat dijelaskansebagaimana berikut ini :

Sila Pertama, bahwa alam semestadan mahluk hidup merupakanciptaanNya. Pancasila merupakanbentuk ajaran teismereligious baiksecara makro kosmos dan mikrokosmos mengajarkan keseimbangandan keselarasan dengan alamsemesta. Oleh sebab itu pembangunansektor maritim harus memperhatikankelestarian dan kelangsungan fungsialam sebagai penyangga kehidupandan penghidupan bagi manusia dansegenap mahluk hidup seutuhnya.

Sila Kedua, Sebagai keberlanjutandari konsep Ketuhanan maka ama-nah pembangunan sektor maritimtidak boleh mencerminkan watakekspansif, diskriminatif, menindas,dan eksploitatif. Pada prinsipnya silakemanusiaan mengajarkan untukmemanusiakan manusia sebagaimahluk yang memilik harkat,martabat dan berperadaban dengandimensi akal dan nurani untukmengemban peran sebagai pengeloladi muka bumi.

Sila Ketiga, menginspirasikanbahwa visi pembangunan nasionaldalam rangka pengelolaaan SDAharus memperhatikan corak multi-kulturalisme bangsa Indonesia. Halini dilandasi bahwa setiap wilayah diIndonesia memiliki potensi yangberbeda-beda. Sangat penting untukdipertimbangkan melalui visi pem-bangunan sebagai upaya untuk

menghindarkan dari separatismemaupun primordialisme. Dengandemikian akan semakin memperkuatposisi Pancasila sebagai sarana integ-rasi bangsa.

Sila Keempat, Menginspirasikanbahwa dalam rangka pembentukankebijakan yang nasional, regional,maupun lokal harus mengedepankanprinsip perwakilan yang berlandas-kan pada musyawarah untuk ter-capainya mufakat. Penekanan ter-penting pada sila ini adalah keikut-sertaan secara aktif dari warga negarasebagai subyek sekaligus obyek pem-bangunan dalam mempengaruhiarah kebijakan pembangunan nasio-nal disektor kemaritiman.

Sila Kelima, Menginspirasikanbahwa pembangunan nasionalsektor maritim harus dapat dinikmatioleh segenap komponen anakbangsa. Sehingga praktek monopolipengelolaan sumber daya alam olehgolongan elit tertentu maupun inter-vensi pihak asing yang tidak ter-kontrol tidak dibenarkan dalamkonteks keadilan sosial bagi masya-rakat.

Berdasarkan konteks reaktualisasiyang bersumber pada Pancasilasebagai modal paradigmatik diatasdiharapkan mampu mengukuhkanbangsa Indonesia sebagai negaramaritim yang bermartabat dan ber-daulat di tengah pusaran globalisasidan modernisasi pembangunandalam kancah kompetisi percaturanantar bangsa.

103EDISI 04/TAHUN 2012

C. PENUTUP1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatasmaka dapat disimpulkan bahwadalam menyongsong peringatan harinusantara maka bangsa Indoesiasebagai negara yang merdeka danberdaulat membutuhkan adanyakesepahaman visi dan paradigmapembangunan sektor maritim yangberbasis pada aktualisasi nilai-nilaiPancasila sebagai kerangka para-digmatik menyeimbangkan pelak-sanaan pembangunan yang ber-tujuan untuk kesejahteraan masya-rakat dan optimalisasi potensiSumber Daya Alam yang terdapat dikawasan bahari Indonesia. dengankehadiran Pancasila sebagai saranaintegrasi bangsa di harapkan akansenantiasa memupuk jiwa nasio-nalisme bangsa Indonesia sebagaidasar menuju negara maritim yangberdaulat.

2. SaranSumbangsih saran yang ingin

disampaikan dalam penulisan karyailmiah ini adalah Pertama, seyogyanyapemerintah dengan alat keleng-kapannya segerap menyusun roadmap aktualisasi Pancasila dalamrangka memperkuat komitmenkebangsaan untuk mengukuhkanPancasila sebagai dasar ideologibangsa sekaligus sebagi modal para-digmatik dalam mengukuhkan NKRIsebagai negara maritim. Kedua,Dibutuhkan adanya kajian-kajianstrategis terhadap paradigma dan visistrategis pembangunan sektormaritim yang berbasis pada riset danbersifat lintas sektoral sebagaipengutan basisi intelektual dalammewujudkan NKRI sebagai negaramaritim yang berdaulat.

104 EDISI 04/TAHUN 2012

105EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Danu Budi Iswara, S.H.

AbstraksiProblematika kebangsaan sebagaimana dimaksud bahwa terdapat indikasitelah terjadi paradoks di tengah penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara. Selama 65 (enam puluh lima tahun)kemerdekaan dan 12 (dua belas tahun) perjalanan agenda reformasimenegaskan bahwa situasi geopolitik nasional bangsa Indonesia selaludihadapkan pada realitas konflik sosial, diskriminasi kelompok, gerakanseparatisme, dan serangkaian aksi terorisme yang berlatar belakang suku,agama, rasa (SARA) yang mana jika serentetan problematika tersebuttidak diselesaikan secara arif dan bijaksana maka dengan sendirinya akanmengancam integrasi nasional bangsa Indonesia. Namun ditengah relaitasdinamika sosial keberadaan Pancasila sebagaimana dimaksud hanya akanmenjadi menara gading jikalau tidak dikembangkan menjadi sebuah sistemsosial dan hanya akan bersifat kaku dan beku selayaknya tersimpan dalamkotak pandora jikalau tidak pernah dibuka ruang diskursus untukmengembangkan Pancasila dalam aspek intelektual.

AbstractThe nationality problem as mentioned are meant that there has been aparadox in the organization of the society life, nationhood and statehood.During the 65 (sixty-five years) independence and 12 (twelve years old) ofthe journey of the reformation agenda confirms that the geopolitical situa-

RELEVANSI SOSIAL-INTELEKTUAL PANCASILASEBAGAI SARANA REINTEGRASI BANGSA INDONESIA

106 EDISI 04/TAHUN 2012

tion of Indonesian is always faced with the reality of social conflict, groupsdiscrimination, separatist movements, and a serie of terrorism acts with theethnic backgrounds, religions, race (SARA); if the series of problems arenot solved wisely then it will threaten the national integration of Indonesia.However, in the middle of the social dynamics reality, the existence ofPancasila will be merely an ivory tower if it is not developed into a socialsystem, and it is likely to be stiff and frozen as it is stored in Pandora’sbox, if the discourse space to develop the intellectual aspects of Pancasila isnever opened.

Key Word: Pancasila, Reintegrasi, Indonesia

A. PENDAHULUANIndonesia merupakan potret

bangsa yang majemuk denganberbagai latar belakang corakkeagamaan, suku, etnis, dan budaya.Kemajemukan sebagaimana di-maksud terangkum dalam sesantisuci Bhineka Tunggal Ika sebagaiwujud kemutlakan hadirnya negarayang diproklamasikan pada tanggal17 Agustus 1945. Sebagai bangsayang majemuk tentunya keberadaanrasa toleransi, prinsip kekeluargaan,gotong royong dan musyawarahmufakat harus senantiasa di ke-depankan dalam menjawab proble-matika kebangsaan hari ini.

Problematika kebangsaan sebagai-mana dimaksud bahwa terdapatindikasi telah terjadi paradoks ditengah penyelenggaraan kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan ber-negara. Selama 65 (enam puluh limatahun) kemerdekaan dan 12 (dua

belas tahun) perjalanan agendareformasi menegaskan bahwa situasigeopolitik nasional bangsa Indonesiaselalu dihadapkan pada realitaskonflik sosial, diskriminasi kelompok,gerakan separatisme, dan serang-kaian aksi terorisme yang berlatarbelakang suku, agama, rasa (SARA)yang mana jika serentetan proble-matika tersebut tidak diselesaikansecara arif dan bijaksana makadengan sendirinya akan mengancamintegrasi nasional bangsa Indonesia.

Sebagai bentuk kongkrit hadirnyaproblematika geopolitik nasionalsebagaimana dimaksud diatas semisalPenyerangan terhadap aksi simpatikAKKBB, penutupan rumah ibadahJemaah Ahmadiyah, gerakan sepa-ratisme GAM, RMS, OPM, aksi-aksiterorisme dengan mengatas namakanjihad, kasus Nashr Hamid Abu Zayd,Guru Besar Universitas LeidenBelanda asal Mesir, yang dicekal

107EDISI 04/TAHUN 2012

beberapa waktu lalu saat hendakberbicara di Riau dan Malang1,konflik sosial di Ambon, Aceh, danPapua. Pada konteks tersebut penulisberpendapat bahwa kasus-kasuspelanggaran prinsip kebebasanberagama dan kekerasan massal terusbermunculan di tengah arus kencangdemokratisasi.

Jikalau dicermati lebih mendalambahwa ketimpangan dominasi telahterjadi di negeri ini antara kelompokmayoritas dan minoritas yang kiantermarjinalkan. Denyut Proklamasikemerdekaan yang dikumandangkanpada tanggal 17 Agustus 1945 olehSoekarno-Hattamerupakan titikkulminasi perjuangan anak bangsauntuk menyatakan diri keluar daripenderitaan dan belenggu penjajahanyang tidak manusiawi. Kemerdekaanbangsa Indonesia yang diperolehmerupakan hasil perjuangan bukansemata-mata hadiah maupun anu-gerah yang datang secara tiba-tiba.Kemerdekaan secara filosofis-politismerupakan jembatan emas bagibangsa Indonesia untuk melakukanpembangunan yang tiada lainbertujuan untuk melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melak-sanakan ketertiban dunia yang ber-dasarkan kemerdekaan, perdamaianabadi dan keadilan sosial.

Berpedoman pada koridor tersebutsebagai bangsa yang merdeka danberdaulat bangsa Indonesia tentunyatelah memiliki sebuah pandangandunia yang seharusnya mampumengilhami dan mengisi pem-bangunan bangsa. Pandangan dunia(welthanschaaung) sebagaimana di-maksud adalah keberadaan Pancasilasebagai bentuk kesepakatan luhur(modus vivendi) para pendiri bangsaakan tegak dan berdirinya NKRIdiatas potret kemajemukan bangsa2.

Namun ditengah relaitas dinamikasosial keberadaan Pancasila sebagai-mana dimaksud hanya akan menjadimenara gading jikalau tidak di-kembangkan menjadi sebuah sistemsosial dan hanya akan bersifat kakudan beku selayaknya tersimpan dalamkotak pandora jikalau tidak pernahdibuka ruang diskursus untuk me-ngembangkan Pancasila dalam aspekintelektual. Berpangkal pada faktatersebut diperlukan adanya sebuahformulasi strategis untuk menelaahmakna tekstual dan kontekstual

1 Nashr Hamid diundang ke Indonesia atas kerjasama Universitas Leiden dan Departemen Agama,namun dicekal ketika ia sudah sampai di Surabaya. Bagi Nashr Hamid peristiwa pencekalan inimerupakan kali kedua harus berhadapan dengan kaum fundamentalis. Pertama, pada 1995 ketikaNashr dijatuhi hukuman murtad oleh pengadilan Mesir, dan harus hijrah ke Belanda. Kedua di Indo-nesia, negeri yang oleh Nashr di sanjung-sanjung dalam setiap seminar internasional karenamasyarakatnya dikenal toleran dan moderat.

2 Mahfud, MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta; PenerbitPustaka LP3ES Indonesia. Hlm 70

108 EDISI 04/TAHUN 2012

relevansi Pancasila baik dari aspeksosial maupun aspek intelektual se-bagai corak karakteristik pandanganhidup bangsa Indonesia yang ber-peran sebagai visi strategis reintegrasinasional bangsa Indonesia bagi ter-wujudnya persatuan dan kesatuanbangsa Indonesia.

B. PEMBAHASANKata relevansi sendiri dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesiamengandung arti kesesuaian. Ber-dasarkan konteks tersebut maka diantara penilaian yang dapat ditemu-kan dari sejumlah publikasi beberapatahun terakhir tentang Pancasila, kitadapat mengelompokkan dua kategori4

yang nampaknya penting untukmendapatkan tanggapan yang

saksama, yaitu pertama, penilaianyang mempersoalkan relevansi sosialdari Pancasila, dan kedua, penilaianyang mempertanyakan relevansiintelektualnya5.

Penilaian terhadap relevansi sosialPancasila kadang dikaitkan denganhakikat prinsip-prinsip Pancasilayang bersifat umum (general), denganakibat yang cukup serius karenaPancasila dipandang “less successful asa unifying concept when leadership tried togive it policy content”6.

Prinsip-prinsip Pancasila yangbersifat umum, menurut penilaianini, memang membantu menjelaskanmengapa baik pemerintahan Soe-karno maupun Soeharto (danmungkin juga pemerintahan lain diIndonesia kelak) mendapatkan

4 Sesungguhnya ada jenis kritik lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori yang kitabuat di sini, yaitu kritik yang menggunakan pendekatan “teori konspirasi”. Misalnya, menunjukkanbahwa Pancasila adalah paham ‘yang diilhami oleh ideologi Zionisme dan Freemansory. Untuk kritikdan penilaian semacam ini, lihat, misalnya, Drs. Muhammad Thalib and Irfan S. Awwas, DoktrinZionisme dan Idiologi Pancasila: menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI (Wihdah Press:Yogyakarta, 1999); lihat juga Swara-Muslim,”Pancasila, Zionisme dan Freemansory” [http://swaramuslim.net/ more.php?id=2136_0_1_0_M]. Tulisan ini tidak akan menanggapi kritik dalamkategori ini karena alasan bahwa teori konspirasi mungkin berguna jika dimaksudkan untuk meyakinkandiri sendiri dan “anggota kelompoknya” (yang biasanya secara apriori telah mempercayai teori itu),tetapi tidak efektif dan pada umumnya gagal jika dimaksudkan untuk meyakinkan kelompok atauorang yang berada di luar dirinya, apalagi lawan bicaranya. Kelemahan utama semua teori konspirasiadalah memperlakukan ide sebagai benda; bahwa manusia dan idenya bukan dilihat sebagai sesuatuyang bergerak dan bisa berubah, karena itu fokus pembicaraannya adalah tentang “agen” dan bukan“subjek permasalahan”. Lihat dalam Agus Wahyudi, Makalah disampaikan pada “Kongres Pancasila”,yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi, diBalai Senat UGM 30 Mei-1 Juni 2009

5 Ignas Kleden juga menggambarkan hubungan keduanya sebagai konflik antara epistemologipengetahuan dan sosiologi pengetahuan, menjelaskan bahwa epistemologi pengetahuan “mengujivaliditas suatu sistem pengetahuan berdasarkan ukuran-ukuran rasional”, sedangkan sosiologipengetahuan “ingin menyelidiki asal-usul sosial dan pengaruh sosial dari sebuah sistem pengetahuan,di mana obyektifitas tercapai kalau semua prasangka sosial yang ada dalam sebuah paham sudahtereliminasi (lihat Ignas Kleden, “Pengantar: Relevansi Sosial atau Relevansi Intelektual: SebuahRekapitulasi”, dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (LP3ES: Jakarta, 1987), p. xi Lihat dalamAgus Wahyudi, Ibid

6 William H. Frederick and Robert L. Worden, dalam Agus Wahyudi, Ibid

109EDISI 04/TAHUN 2012

dukungan rakyat karena merekamenggunakan Pancasila, meskipunsetiap pemerintahan yang berbedaselalu memiliki orientasi kebijakan yangberbeda.

Sebuah studi yang dilakukanDauglas E. Ramage juga memberikanpenilaian yang sama. Pengamatanyang dilakukan di masa peme-rintahan Orde Baru untuk melihatbagaimana Pancasila dipergunakandan dipahami oleh berbagai aktorpolitik yang berbeda (yaitu, Abdur-rahman Wahid dengan NU, IkatanCendekiawan Muslim Indonesia,Angkatan Bersenjata Republik Indo-nesia, dan Kelompok NasionalisSekuler di bawah Megawati SoekarnoPutri) tersebut pada intinya mem-persoalkan satu kenyataan menarikmengapa Pancasila dapat diperguna-kan dengan berbagai cara yang salingbertentangan (kontradiktif) olehberbagai rejim dan kekuatan politikdi Indonesia. Menurut Ramage“Pancasila is readily appropriated for vari-ous and often contradictory purposes bydifferent kinds of actors”7.

Diskursus mengenai Pancasilamerupakan bagian dari telaahakademik aspek politik, filsafat, danhukum ketatanegaraan yang ber-sendikan pada akar kemajemukan(pluralism). Dalam hal ini kemaje-mukan merupakan ilham yangsenantiasa menjadi ruh bagi kehi-dupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.Secara faktual sejarah perjuangan

bangsa pada masa lampau untukkeluar dari belenggu kolonialismetelah menghantarkan bangsa inimenuju alam kebebasan untukmenentukan nasib sendiri melaluiproses pergulatan dan perdebatanpemikiran yang berujung pada Gen-eral consensus. Ikhtiar menuju bangsayang bebas, merdeka, dan berdaulatdiawali dengan pembentukan BadanPenyelidik Usaha-Usaha Kemer-dekaan (BPUPK) yang diresmikanoleh Pemerintah Jepang pada tanggal1 Maret 1945.

Tugas dari lembaga tersebutadalah untuk mempelajari danmenyelidiki hal-hal penting yangberhubungan dengan segi-segipolitik, ekonomi, tata pemerintahandan lain-lainya yang dibutuhkandalam usaha pembentukan negaraIndonesia yang merdeka dan ber-daulat. Selama masa tugasnyaBPUPKI mengadakan dua kali sidangumum. Sidang umum pertamadiselenggarakan dari tanggal 29 Mei- 1 Juni 1945, sementara sidang umumkedua dimulai dari tanggal 10 Juli-17Juli 1945. Didalam sidang umum yangpertama para anggota Badan Penye-lidik Usaha-Usaha Kemerdekaan In-donesia (BPUPKI) berbicara sertamembahas berbagai macam hal yangada kaitannya dengan persiapan In-donesia merdeka antara lain tentang

7 Lihat Douglas E. Ramage, dalam Agus Wahyudi, Ibid

110 EDISI 04/TAHUN 2012

syarat-syarat hukum suatu negara,bentuk negara, pemerintahan negaradan dasar Negara8.

Dalam studi kepustakaan Indone-sia imbuhan kata re- menjadikansuatu kata memiliki arti “kembali”.Maka dari itu dalam konteks metodedialektika sebagaimana dikembang-kan oleh Hegel bahwa terdapat tesis-antitesis dan sintesis. ruang lingkupintegrasi (sebagai tesis) dalam kontekskemajemukan akan dihadapkan padasituasi disintegrasi (sebagai antitesis)dengan demikian sintesis yang timbuldari benturan tersebut akan melahir-kan paradigma rintegrasi. Berpangkalpada konteks tersebut maka secaranyata situasi geopolitik nasionalbangsa Indonesia di hadapkan padajurang disintegrasi. Maka dari itupotret kemajemukan bangsa seharus-nya menjadi modal dasar pem-bangunan bukan sebaliknya yanghanya dijadikan instrumen politikyang hanya memecah belah per-satuan dan kesatuan bangsa.

Berpangkal dari uraian diatasmaka sangatlah jelas bahwa Ke-bhinekaan bangsa Indonesia adalahsuatu kenyataan. Bahkan kebhinne-kaan tersebut merupakan kekayaansebagai karunia Tuhan yang telahmenyatakan bahwa manusia dicipta-

kan bergolongan-golongan agarsaling kenal-mengenal. Karena itu,organisasi negara yang didirikanharus mengakomodasi keseluruhanperbedaan-perbedaan tersebut men-jadi suatu persatuan tanpa harusmemaksakan adanya kesatuan. Jikatidak ada mampu mengkamodasikankeragaman dalam satu ikatan ber-sama, mustahil dapat diorganisasikansebagai satu bangsa dan satu negara.Akan muncul pertentangan antarasatu budaya dengan budaya lainnyaatau antara satu agama denganagama lainnya9.

Oleh karena itu gagasan negarabangsa (nation state) yang dikemuka-kan para pendiri bangsa Indonesiabukanlah konsep negara bangsayang semata-mata mendasarkan diripada persamaan ras, bahasa, dan,agama. Negara bangsa adalah gaga-san tentang negara yang didirikanuntuk seluruh bangsa. Konsepnegara bangsa adalah negara yangdidirikan berdasarkan kesepakatanbersama yang menghasilkan hubu-ngan kontraktual dan transaksionalterbuka antara pihak-pihak yangmengadakan kesepakatan untukkepentingan seluruh rakyat10.

Para pendiri bangsa telah menya-dari perlunya menjaga dan melin-

8 A.M.W Pranarka, 1985, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan Proklamasi Centerfor Strategic and International Studies. Hlm 25

9 Jimly, Asshidiqie, Konstitusi dan Kebhinekaan, Makalah Bahan disampaikan pada acara Seminar“Masa Depan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Solusi”.Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism. Jakarta, 22 Juli 2008.

10 Jimly Asshidiqie, Ibid

111EDISI 04/TAHUN 2012

dungi kebhinnekaan bangsa. Hal itudapat dilihat dari tujuan nasionalyang dirumuskan dalam PembukaanUUD 1945 yang merupakan kese-pakatan bersama tentang tujuan ataucita-cita bersama (the general goals ofsociety or general acceptance of the samephilosophy of government) sebagai dasarkonstitusionalisme Indonesia. Salahsatu tujuan nasional adalah melin-dungi segenap bangsa Indonesia.Kata segenap menunjukkan bahwabangsa Indonesia terdiri dari berbagaisuku, ras, agama, dan perbedaan lain,yang semuanya harus dilindungi11.

Selain itu, para pendiri bangsajuga telah menyepakati falsafahkenegaraan yang berfungsi sebagaicommon platforms atau kalimatun sawa’di antara sesama warga masyarakatdalam kon­teks kehidupan bernegara.Prinsip dasar tersebut adalah Panca-sila yang meliputi lima dasar, yaitu(i) ke-Tuhanan Yang Maha Esa, (ii)Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,(iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerak-yatan Yang Dipimpin oleh HikmatKebijaksanaan dalam Permusya-waratan/ Perwakilan, dan (v) Ke-adilan Sosial bagi Seluruh RakyatIndonesia.

Berdasarkan uraian diatas makamenurut pandangan Noorsyamseorang pakar filsafat Pancasila mene-rangkan bahwa Pancasila dalamkonteks bernegara dan berbangsa

merupakan cita-cita luhur bangsayang digagas oleh para pendiribangsa (Founding fathers) tiada lainadalah untuk melindungi kebebasanwarga negara dan kehidupan masya-rakat dalam memenuhi kebutuhan-nya sebagai manusia yang sederajat.Cita-cita inilah yang merupakanlandasan dasar konstitusional penye-lenggaraan pemerintahan negara.

Bangsa Indonesia adalah bangsayang majemuk. Dari sudut bahasasaja, Indonesia memiliki ±665 bahasadaerah. Bahasa mencerminkan caraberpikir, cita rasa budaya dan tentuada kaitan dengan adat dan sistemhukum adat yang berbeda-beda. Darisisi geografis, bangsa Indonesia jugasangat plural, terdiri lebih dari 17.000ribu pulau dengan keragaman sukudari sisi antropologis. Indonesiasendiri berada di tengah pergaulandunia (the cross road), semua pengaruhkebudayaan besar, semua pengaruhagama besar, semua pengaruhperadaban besar dunia berpartisipasidan berebut pengaruh di Indonesia12.Berpangkal pada realitas sebagaimanatelah diuraikan maka tentunya adasebuah dasar keabsahan relevasiPancasila baik dari aspek sosial-intelektual yang melingkupinya.Relevansi sosial Pancasila merupakanmasalah penting dan harus di-tanggapi jika harus diterima menjadiasumsi bahwa prinsip-prinsip yang

11 Jimly Asshidiqie, Ibid12 Jimly Asshidiqie, Ibid

112 EDISI 04/TAHUN 2012

menjadi hakikat Pancasila, danterutama teori-teori yang diderivasi-kan dari prinsip-prinsipnya, dapatberfungsi atau bekerja dalam menen-tukan arah kehidupan negara.

Maka dari itu untuk mengetahuidasar relevansi sosial-intelektualkeberadaan Pancasila dalam penye-lenggaraaan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa, dan bernegarasebagaimana diutarakan oleh AgusWahyudi sangat dibutuhkan pema-haman terhadap keberlakuan teorikebaikan dan kebenaran dalamkerangka kontekstual perumusanPancasila sebagai dasar negara Indo-nesia yang merdeka dan berdaulat.

Teori kebaikan (theory of the good)adalah sebuah teori tentang moralpublik atau moral masyarakat yangdi dalamnya berisi kumpulan ajarantentang sifat atau ciri” (properties),terutama mengajarkan ciri-ciri atausifat-sifat (seperti apa) yang secarauniversal membuat sesuatu keadaanmenjadi lebih baik dibandingkandengan keadaaan lainnya; teorikebaikan mengajarkan tentang ciri-ciri atau sifat-sifat (properties) yangmembentuk nilai-nilai, terutamanilai-nilai impersonal (impersonal val-ues) yang tidak menunjuk padaindividu tertentu atau pada entitaskhusus lainnya13. Teori kebaikaninilah yang telah menguasai latarbelakang dan selanjutnya mewarnaiperkembangan wacana Pancasila di

sepanjang usia Republik hingga detikini.

Dalam konteks teori kebenaranadalah teori yang mengajarkan ten-tang apa yang menyebabkan sebuahpilihan benar dan apa yang menye-babkan pilihan yang lain salah.Dalam semua jenis pilihan yangtersedia; pilihan tersebut mungkinberupa keputusan pribadi diantaraberbagai tindakan yang berbeda, atauberupa keputusan sosial diantaraberbagai struktur dasar yang berbeda.

Dengan mengajukan teori kebe-naran sebagai pendekatan yang harusdipertimbangkan untuk mengem-bangkan Pancasila bukan berarti kitamenolak nilai kebaikan sama sekali.Sebab, setiap penilaian yang dapatdilakukan melalui pembedaan antarakedua teori itu pada dasarnya jugamemiliki praanggapan bahwa dalamsetiap keputusan tindakan akanselalu ada nilai yang dipersoalkan;terutama nilai yang netral, yangdalam dirinya sendiri tidak melibat-kan keadaan atau individu tertentu.

Dalam konteks kekinian kebe-radaan aspek relevasi sosial-intelek-tual Pancasila berbasis pada teorikebaikan dan kebenaran perlu dikem-bangkan menjadi sarana strategisdalam meminimalisasi reaitas konfliksosial yang berujung pada disinteg-rasi bangsa. Nilai kebaikan Pancasilayang paling mendasar yang tidak lainadalah nalar publik, pada level yang

13 Agus Wahyudi, Ibid

113EDISI 04/TAHUN 2012

terdalam, menyediakan nilai-nilaipolitik dan moral dasar untukmenentukan hubungan pemerintahdemokratik konstitusional denganwarganegaranya; dan hubunganwarga negara dengan warga negarayang lain. Dengan kata lain, nilai-nilai kebaikan Pancasila yang palingmendasar memberikan panduantentang bagaimana hubunganpolitik antara pemerintah dan warganegara; dan antar sesama warganegara.

Pancasila sebagai dasar negaraharus dicoba dibayangkan menjadikesepakatan yang langgeng (stableagreement) di antara orang-orang yangbertekad dapat saling bekerjasamadalam kehidupan sosial secara penuhdan terus menerus. Dengan kata lain,Pancasila sebagai dasar negara bukanhanya berfungsi untuk menyediakanlandasan bersama bagi masyarakatdalam rangka memberikan pem-benaran terhadap institusi-institusisosial dan politik, tetapi juga mem-bantu memastikan stabilitas dari satugenerasi ke generasi berikutnya.

Berpangkal dari uraian diatasmaka dalam konteks reintegrasibangsa Pancasila harus mampu hadirsebagai paradigma perubahan ter-hadap penyelesaian problematikakonflik sosial yang terjadi di masya-rakat. Menurut Parsudi Suparlandalam pemaparannya mengatakanbahwa ini permasalahan yang ber-

potensi mendisintegrasikan bangsaIndonesia adalah14 :(1) Corak bhineka tunggal ika

sebagai lambang negara yangmenekankan komposisinya padakenakeragaman sukubangsa dankesukubangsaan, dan bukannyapada kebudayaansebagai fokuskeanekaragaman sukubangsasebagai produk dari keaneka-ragaman kebudayaan tersebut;

(2) Sistem nasional yang otoriter-militeristis dan korup dalamsegala aspeknya sehingga terjadiberbagai bentuk pemanipulasianhukum dan SARA bagi berbagaikepentingan dan keuntunganoknum, yang menyebabkanmunculnya rasa ketidakadilan;

(3) Corak masyarakat yang tidakdemokratis walau diakui sebagaidemokratis.Berdasarkan uraian diatas di-

sintegrasi bangsa tidak akan lahirjikalau tidak diawali dengan adanyakonflik sosial yang terjadi. Konfliksosial disebut sebagai pertentanganatau perselisihan dapat terjadi padahubungan yang bersifat individualyang terjadi sebagai akibat perilakuatau perebutan kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan.Kepentingan itu bisa berkenaandengan harta, kedudukan ataujabatan, kehormatan, dan lainsebagainya.

14 Parsudi, Suparlan, 2003, Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku Bangsa atau Kebudayaan? ,Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII no 72 September-Desember 2003, Hlm 26

114 EDISI 04/TAHUN 2012

Konflik sosial berarti perten-tangan antara kelompok-kelompoksosial dalam masyarakat yang diikatatas dasar suku, ras, gender, ke-lompok, status ekonomi, status sosial,bahasa, agama, dan keyakinanpolitik, dalam suatu interaksi sosialyang bersifat dinamis. Baik dalammasyarakat homogin maupun dalammasyarakat majemuk konflik sosialmerupakan hal yang biasa terjadi,bahkan menjadi unsur dinamis yangmelahirkan berbagai kreatifitasmasyarakat. Konflik sosial mustahildihilangkan sama sekali. Yang harusdicegah adalah konflik yang men-jurus pada pengrusakan dan peng-hilangan salah satu pihak atau parapihak yang berkonflik. Oleh karenaitu konflik harus dikendalikan,dikelola, dan diselesaikan melaluihukum15.

Persatuan dan kesatuan bangsaIndonesia dalam konteks Kebhine-kaan dan mewujudkan konstitusio-nalisme adalah bagian integral dariupaya pelaksanaan UUD 1945. Halini dapat tercipta jika terjalin kon-solidasi diantara tiga polarisasi antaranegara, masyarakat dan lintas stake

holder (perguruan tinggi, ormas,partai politik, pelaku ekonomi, dansebagainya). Adapun bentuk peranmasing-masing antara lain :(1) Negara (State)

Menurut Jimly Asshidiqie orga-nisasi negara hadir dan diper-lukan oleh warga masyarakatpolitik agar kepentingan merekabersama dapat dilindungi ataudipromosikan melalui pembentu-kan dan penggunaan mekanismeyang disebut negara. Jika negara-bangsa yang didirikan disandar-kan pada prinsip kedaulatanrakyat dan ditujukan kepadaseluruh bangsa yang terdiri atasberagam suku, budaya, danagama, maka mekanisme demo-krasi menjadi satu-satunyapilihan dalam proses pemben-tukan kesepakatan bersama.Dalam konsepsi demokrasi meng-utamakan adanya dan penting-nya pluralisme dalam masya-rakat16.

Di sisi lain, demokrasi tidakmungkin terwujud jika disertaiabsolutisme dan sikap mau benarsendiri. Demokrasi mengharuskan

15 Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum, Makalah diakses darihttp://www.komnasham.go.id, diakse pada tanggal 20 November 2010

16 Jimly, Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua, Jakarta:Konstitusi Press, hlm. 257. Dalam hal ini hendaknya perlu dipahami bersama terhadap sebuah konsensusyang menjamin tegaknya konstitusionalis­me di zaman modern pada umumnya dipahami bersandarpada tiga elemen kese­pakatan (consensus) yaitu: Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama(the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government), Kesepakatantentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis ofgovernment), Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose-dur-prosedur ketatanegaraan(the form of institutions and procedures)

115EDISI 04/TAHUN 2012

sikap saling percaya dan saling meng-hargai antara warga masyarakat dibawah tujuan yang lebih besar, yaitukemaslahatan umum17. Oleh karenaitu upaya negara yang perlu di-lakukan adalah secara terus-menerusuntuk membangun budaya sadarberkonstitusi.

Budaya sadar berkonstitusi ter-cipta tidak hanya sekedar mengetahuinorma dasar dalam konstitusi. Lebihdari itu, juga dibutuhkan penga-laman nyata untuk melihat danmenerapkan konstitusi dalam praktikkehidupan bermasyarakat, berbangsadan bernegara. Tantangan lain yangdihadapi adalah munculnya pola-risasi dalam masyarakat karenaproses demokratisasi yang telah kitajalani. Kelompok yang cenderungeksklusif mencurigai prinsippluralisme sebagai bagian darigagasan HAM adalah bagian daribudaya barat yang individual-liberal.Kelompok ini tidak hanya berada ditingkat lokal, tetapi juga memilikijaringan antar negara. Eklusivitaskelompok tersebut didorong olehkeyakinan atas kebenaran yangdianut. Eklusivitas tersebut men-dorong tindakan yang tidak toleranterhadap kelompok lain dan senan-tiasa mengupayakan agar setiap aspekkehidupan berbangsa dan bernegaradiatur berdasarkan kebenaran yangdiyakininya.

Maka dari itu untuk tetap men-jamin tegaknya persatuan dankesatuan bangsa relevansi sosial-intelktual Pancasila yang berbasispada kebaikan dan kebenaran harusdiarahkan bagi terwujudnya pema-haman negara yang bercorak in-klusif. Dengan demikian eksklusivis-me dalam bernegara akan senantiasamampu diminimasilsasi sebagaikonsekuensi logis dasar kekeluargaandan toleransi yang berakar padakhasanah kebudayaan bangsa Indo-nesia.

(2) Masyarakat (Civil society)Realitas konflik di dalam masya-

rakat tidak bisa dihindarkan al inimerupakan konsekuensi dari sifatmanusia sebagai zoon politicon.Terhadap kekerasan yang dilakukantentu harus ditindak sesuai denganaturan hukum yang berlaku. Budayamematuhi aturan hukum merupakansalah satu ciri utama masyarakatberadab. Di sinilah letak peran sertamasyarakat dan negara yang utamakhususnya aparatur penegak hukum.Tetapi terhadap keyakinan danpikiran yang eksklusif, tentu tidakdapat dilakukan pelarangan, karenahal itu dengan sendirinya menyalahiprinsip kebhinnekaan dan demo-krasi. Yang harus dikedepankanadalah dialog yang mengedepankanprinsip kebaikan bersama, bukan

17 Nurcholish Madjid, 2003, Indonesia Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerja samadengan Universitas Paramadina Jakarta dan Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia, hlm 98-99.

116 EDISI 04/TAHUN 2012

memaksakan kebenaran masing-masing. Proses dialog tersebut hanyadapat terlaksana jika antar kelompokdalam masyarakat menjadikankesepakatan bersama untuk hidupsebagai satu bangsa dan satu negarasebagai titik berangkat, bukan darikeyakinan kebenaran masing-masing. Oleh karena itu, gagasankonstitusi sebagai kitab suci darisuatu agama civil atau syari’at negara(civil religion) perlu ditransformasikandan dikembangkan lebih lanjut.

(3) Lintas stake holdersInstitusi pendidikan memiliki

peran penting salah satunya adalahperguruan tinggi. Maka dari ituberlandaskan pada Tri dharma per-guruan tinggi perlu kiranya dikem-bangkan pusat kajian tentang Panca-sila, aktualisasi kurikulum Pancasila,ruang diskusi tentang Pancasilademikian halnya dengan ormas,partai politik, maupun pelakuekonomi meskipun berbeda latarbelakang ideologi politik maupunekonomi hendaknya tetap menge-depankan nilai-nilai universal sebagaiinstrumen strategis untuk mengem-balikan akar sejarah bangsa ini yangtercerabut oleh adanya ketidakpercayaan terhadap Pancasila sebagaiinstrumen reintegrasi bangsa.

Diharapkan keberadaan relevansisosial-intelektual Pancasila berbasispada teori kebaikan dan kebenaranakan mampu menjawab problematikakebangsaan hari ini yang lambat laun

akan berujung pada disintegrasibangsa. Upaya reintegrasi melaluipemahaman Pancasila sebagai dasarnegara sangat dibutuhkan guna me-ngukuhkan persatuan dan kesatuanbangsa sebagaimana telah diamanat-kan oleh para pendiri bangsa. Dengandemikian denyut dan detak semangatProklamasi 17 Agustus 1945 yang ber-sendikan Pancasila akan senantiasamengilhami dan mengiringi per-jalanan bangsa Indonesia untukterus membangun dan mensejah-terakan harkat dan martabat rakyatIndonesia di segenap wilayah ke-daulatan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI).

C. PENUTUPDasar keabsahan relevansi sosial-

intelektual Pancasila di dasarkan padakeberlakuan teori kebaikan dankebenaran sebagai fondasi mem-bangun cara strategis reintegrasibangsa Indonesia. Bentuk relevansisosial-inteletual yang berbasis padakeberlakuakn teori kebaikan dankebenaran harus dijabarkan dalamkonteks sosial yang melahirkanhubungan antara negara (state),masyarakat (civil society), dan lintasstake holder yang masing-masingpihak memiliki peran tersendiri.Sinergitas diantara para stakeholderdiharapkan mampu mengukuhkanparadigma integrasi bangsa Indone-sia yang merdeka dan berdaulat.Seyogyanya Majelis Permusya-waratan Rakyat RI dan Pemerintah

117EDISI 04/TAHUN 2012

menstimulasi dan memfasilitasimasyarakat untuk senantiasa me-ngembangankan khasanah keilmuanyang berbasis Pancasila melaluiaktifitas riset, kajian, sosialisasi, danPublikasi. Seyogyanya Majelis Per-musyawaratan Rakyat RI, Peme-

rintah (Eksekutif-Legislatif) baik ditingkat pusat dan daerah, bersinergiuntuk menjalin kemitraan kontri-butif melalui kerjasama pendirianPusat Kajian Pancasila yang akanberperan sebagai barometer keilmuanlintas sektoral.

DAFTAR PUSTAKA

A. M. W. Pranarka, 1985, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: YayasanProklamasi Center for Strategic and International Studies.

Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum,Makalah diakses dari http://www.komnasham.go.id, diakses padatanggal 20 November 2010.

Agus Wahyudi, 2009, Membangun Negara Pancasila dengan Teori Kebaikan danTeori Kebenaran, Makalah disampaikan pada “Kongres Pancasila”, yangdiselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada bekerjasama denganMahkamah Konstitusi, di Balai Senat UGM 30 Mei-1 Juni 2009

Endang Saifuddin Anshari, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Dan SejarahKonsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentangDasar Negara Republik Indonesia 1945-1959), Bandung, PustakaPerpustakaan Salman, ITB

Jazim Hamidi, 2004, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan ImplikasiHukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem KetatanegraanRI, Jakarta: KonPress.

Jimly Asshiddiqie, 2005 Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, CetakanKedua, Jakarta: Konstitusi Press

_______________, Bahan Makalah disampaikan pada acara Seminar “MasaDepan Kebhinnekaan dan Konstitusionalisme di Indonesia: Peluang, Tantangan,dan Solusi”. Diselenggarakan oleh International Center for Islam and Plu-ralism. Jakarta, 22 Juli 2008.

Mahfud, MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,Jakarta; Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.

118 EDISI 04/TAHUN 2012

Mukti Ali, 1986, Butir-Butir Manusia Ditinjau dari Segi Agama, dalam DarmantoJT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia: SebuahBunga Rampai, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mohammad Noor Syam, 2009, Sistem Filsafat Pancasila (Tegak Sebagai SistemKenegaraan Pancasila UUD-Proklamasi 1945), Makalah disajikan dalamKonggres Pancasila yang diselenggarakan oleh UGM-MKRIditerbitkan oleh Sekretariat Jendral MKRI

Nurcholish Madjid,2003, Indonesia Kita, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utamabekerja sama dengan Universitas Paramadina Jakarta danPerkumpulan Membangun Kembali Indonesia

Parsudi Suparlan, 2003, Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku Bangsa atauKebudayaan ?, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII no 72 Sep-tember-Desember 2003

Rawls,1997,”The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, inContemporery Political Philosophy: An Anthology, Robert E. Goodin andPhillip Pettit, (eds), Blackwell Oxford

Sudaryanto, 2007, Filsafat Politik Pancasila (Refleksi Atas Teks PerumusanPancasila), Yogyakarta: KEPEL PRESS.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

119EDISI 04/TAHUN 2012

Oleh :Daud Aris Tanudirjo

AbstraksiHasil pewarisan akan sangat ditentukan oleh keseimbangan antaraenkulturasi dan keteladanan. Proses enkulturasi yang dilakukan secarasadar diharapkan lebih mampu menumbuh kembangkan suatukebudayaan. Kebudayaan sebagai identitas atau jatidiri bangsa memangtidak statis. Namun, kalau unsur-unsur khas kebudayaan suatu bangsasemakin luntur dan digantikan oleh unsur-unsur budaya lain, makasesungguhnya bangsa itu sedang berproses menjadi bangsa lain.Kebudayaan juga seringkali menjadi aturan pencapaian suatu bangsa.Artinya, apabila kebudayaan suatu bangsa tidak mampu menghasilkankarya-karya budaya yang asli dan khas, tetapi hanya sekedar menirudan mencontoh, maka kebudayaan itu sudah berhenti berkembang.Sebaliknya, kebudayaan akan tetap ada dan berkembang apabila iamampu melalukan proses enkulturasi dengan tepat. Dalam konteks ini,pendidikan memegang peran penting, pendidikan semestinya tidak hanyamerupakan sarana transfer keterampilan dan pengertahuan, tetapi juganilai-nilai, sikap, dan gagasan sehingga akan merangsang pikiran yangkreatif.

AbstractThe results of the inheritance will be determined by the balance betweenenculturation and modelling. The process of enculturation is done consciously,and it is expected to be able to grow a culture. The culture as a cultural

REVITALISASI PANCASILA SEBAGAIKRISTALISASI BUDAYA BANGSA INDONESIA

120 EDISI 04/TAHUN 2012

identity or national identity is not static. However, if the typical elements ofthe culture of a nation are fading and replaced by the elements of othercultures, then surely the people are in the process to be the other nations.Culture is also often considered as a rule of achieving in a nation. That is,if the culture of a nation is not able to produce original and unique culturalworks, but merely emulate and imitate, then the culture it self has stoppedgrowing. On the other hand, the culture will remain and envolve if it is ableto pass through the process of enculturation appropriately. In this context,education plays an important role; education should not only be a means oftransfering skills and knowledge, but it should also be the means oftransfering the values, attitudes, and ideas that will stimulate creative thinking.

Key Word: Pancasila, Nation Culture

A. PENDAHULUANSetiap orang yang memahami

benar tentang arti dan peran Panca-sila bagi negara dan bangsa Indone-sia memang layak merasa gelisahterhadap perlakuan dan kiprahPancasila dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara pada satudasawarsa terakhir ini. Pancasilasudah disepakati sebagai daearNegara Kesatuan Republik Indonesia,dengan dicantumkan sebagai bagianMukadimah UUD 1945 dan jugadiakui sebagai jiwa seluruh bangsa,pandangan hidup, dan kepribadianbangsa Indonesia sesuai dengan TAPMPR RI no. II/MPR/1978, kini hampir-hampir tidak ada gaungnya lagi.Seakan seluruh masyarakat kitaenggan dan segan memperbincang-kan tentang Pancasila, apalagi men-jadi amalan dalam kehidupannya.Apakah ini berarti merupakan masaujian kedua bagi ‘kesaktian’ Pancasila ?

B. PEMBAHASAN1. Pancasila sebagai intisari budaya

bangsaTidak dapat disangkal bahwa

secara konseptual Pancasila meru-pakan salah satu karya budaya yangdihasilkan oleh para pendiri bangsaIndonesia pada saat menjelangkemerdekaan negara Indonesia, yangdipuncaki dengan pidato Bung Karnopada tanggal 1 Juni 1945. Namun,secara substansial sesungguhnyaPancasila telah ada dalam unsurkebudayaan komunitas dan suku-suku bangsa yang ada di KepulauanNusantara ini. Dengan kata lain,Pancasila pada hakekatnya adalahkristalisasi nilai-nilai luhur yanghadir dan berkembang dalam kehi-dupan bangsa Indonesia selama ber-abad-abad dan telah mengalamiberbagai ujian dalam proses ber-adatapsi terhadap lingkungan sosialdan alam. Pancasila merupakan

121EDISI 04/TAHUN 2012

intisari kebudayaan yang berakarjauh didalam kehidupan bangsa In-donesia yang begitu beragam,sehingga dapat dikatakan pila telahmenjadi watak dan ciri kepribadianbudaya bangsa. Oleh karena itu,Pancasila dapat disepakati sebagaidasar negara yang menjadi rujukanbersama dalam mengatur ketata-negaraan NKRI.

Dalam konteks analisis kebu-dayaan, peristiwa bersejarah men-jelang kemerdekaan bangsa Indone-sia pada tahun 1945 yang menye-pakati pancasila menjadi dasar negaradapat dilihat sebagai proses trans-formasi dari entitas Pancasila sebagaijatidiri budaya dan etnis (cultural andethnic identity) menjadi jatidiri bangsadan negara (national identity). Jatidiribudaya atau etnis pada dasarnyamuncul disetiap komunitas atau sukubangsa dan lebih menekankan padakesinambungan budaya dari masasilam hingga kini, sedangkan jatidiribangsa-negara lebih menekankanpada munculnya kesadaran akankebersamaan dalam konteks ber-bangsa dan bernegara (lebih jauhlihat Tanudirjo, 2007). Proses inimenjadi anat penting karena padatahap ini Pancasila telah disepakatisebagai ‘pemersatu bangsa’. Pancasilamenjadi pengikat persatuan dankesatuan semua komunitas yangtelah menyatakan bergabung dalamNKRI. Karena itu, jika bangsa Indo-nesia mulai melupakan Pancasilatentu ada ancaman yang serius

terhadap eksistensi NKRI itu sendiri.Dalam menyikapi masalah ini,mungkin diperlukan refleksi nasinaluntuk mengetahui mengapa hal inidapat terjadi.

2. Mekanisme BudayaUraian di atas setidaknya mem-

berikan sedikit gambaran bahwapancasila tidak lain adalah nilai-nilailulur budaya bangsa yang telahdiangkat menjadi jatidiri bangsa dannegara Republik Indonesia. Sebagaientitas yang lahir dalam bentukkarya budaya, keberlanjutan kebe-radaan Pancasila dan upaya pewa-risannya tentu akan mengikuti prosesbudaya. Dalam konteks kebudayaan,upaya pewarisan nilai-nilai budayadilakukan lewat proses enkulturasidan keteladanan (liat juga Barret,1984; Koentjaraningrat, 2005). Prosesenkulturasi atau pembudayaan padaumumnya dilakukan melalui pen-didikan dan pembiasaan. Pada dasar-nya, proses enkulturasi adalah upayamembentuk seseorang (pribadi)untuk memahami dan selanjutnyamematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku dalam ling-kungan budaya tempat ia hidup.Melalui proses ini diharapkanseseorang akan menjadikan norma-norma itu suatu kebiasaan yangmenjiwai kehidupannya sehingga iadapat mengendalikan diri secaraotomatis agar tetap berada padanorma-norma yang berlaku.

122 EDISI 04/TAHUN 2012

Selain proses enkulturasi, nilai-nilai dan prilaku dapat dimiliki olehseseorang melalui proses kete-ladanan, baik yang bersifat positifmaupun negatif. Pada hakekatnya,proses keteladanan berpangkal padakecendenderungan mahluk hidupuntuk mencontoh apa yang dilihatdan dialami, sehingga menjadi bagianyang ikut membentuk jatidirinya.Agak berbeda dengan proses enkul-turasi yang dilakukan dengankesadaran, proses menirukan ataumencontoh ini lebih banyak dilaku-kan secara naluriah (intuitive) dandibawah sadar. Justru karena prosesini bersifat naluriah dan bawahan,dampaknya terhadap pembentukanjatidiri akan cukup besar.

Hasil pewarisan akan sangatditentukan oleh keseimbangan antaraenkulturasi dan keteladanan. Prosesenkulturasi yang dilakukan secarasadar diharapkan lebih mampumenumbuh kembangkan suatukebudayaan. Kebudayaan sebagaiidentitas atau jatidiri bangsa memangtidak statis. Namun, kalau unsur-unsur khas kebudayaan suatubangsa semakin luntur dan diganti-kan oleh unsur-unsur budaya lain,maka sesungguhnya bangsa itusedang berproses menjadi bangsalain. Kebudayaan juga seringkalimenjadi aturan pencapaian suatubangsa. Artinya, apabila kebudayaansuatu bangsa tidak mampu meng-hasilkan karya-karya budaya yangasli dan khas, tetapi hanya sekedar

meniru dan mencontoh, maka kebu-dayaan itu sudah berhenti ber-kembang. Sebaliknya, kebudayaanakan tetap ada dan berkembangapabila ia mampu melalukan prosesenkulturasi dengan tepat. Dalamkonteks ini, pendidikan memegangperan penting. Pendidikan semesti-nya tidak hanya merupakan saranatransfer keterampilan dan penge-tahuan, tetapi juga nilai-nilai, sikap,dan gagasan sehingga akan merang-sang pikiran yang kreatif. Untuk itu,pendidikan tidak semestinya menjadiupaya indoktrinasi dan bersifatdogmatis, apalagi bersifat absolutis-me. Disisi lain, keberhasilan prosesenkulturasi dapat saja terhambatapabila proses keteladanan mengarahpada keteladanan negatif. Artinya,generasi penerus melihat melihat hal-hal yang tidak sesuai dan selarasdengan apa yang diperoleh melaluienkulturasi, dan justru meniru danmencontoh hal-hal yang keliru, baiksecara sadar ataupun tidak sadar.

Ketidakselarasan atau ketidak-cocokan anatara prosess enkulturasidan keteladanan akan memunculkankegamangan dan ketidakpastian bagigenerasi penerus yang sedangmencari dan membentuk jatidirinya.Karena itu, mereka tentu akanmencoba mencari-cari sendiri jati dirimereka diantara belantara budaya-budaya yang dapat mereka temui.Pada tahap ini, budaya luar dapatsaja menjadi alternatif pilihan yanglebih menarik.

123EDISI 04/TAHUN 2012

3. Analisis (Awal) KegagalanGejala peminggiran (marginalisasi)

pancasila dari kehidupan keseharianmaupun kehidupan berbangsa danbernegara di Indonesia memang amatmemprihatinkan. Mau atau tidak,gejala peminggiran ini harus dilihatsebagai suatu kegagalan prosesenkulturasi atau pembudayaanPancasila. Karena itu, disini akan di-coba dilakukan analisis awal tentangkemungkinan faktor penyebabkegagalan pewarisan nilai-nilai luhurPancasila sebagai kepribadianbangsa. Dalam makalah ini, setidak-nya ada tiga hal yang ditengaraimenjadi faktor penyebabnya. Per-tama adalah reduksi Pancasila sebagaiidentitas rezim Orde Baru. Keduaadalah kegagalan proses enkulturasimaupun keteladanan. Ketiga adalahkegagalan menyikapi proses globa-lisasi secara benar.

Sebagaimana telah disebutkan diatas, pada saat menjelang kemer-dekaan negara-bangsa Indonesia,Pancasila telah berhasil ditrans-formasikan dari kepribadian budayaetnis menjadi kepribadian anatujatidiri bangsa. Namun, peristiwa 30September 1965 menjadi titik tolakproses reduksi Pancasila oleh rezimOrde Baru. Keberhasilan menumpasPKI yang menentang Pancasila seolahmemberikan legitimasi kepada Peme-rintahan Orde Baru untuk berkuasakarena perannya sebagai potensibesar untuk menyelenggarakankekuasaannya. Karena itu Pancasila

dijadikan sebagai identitas rezim inisebagaimana terbukti dengan banyakupaya untuk mengagungkan Panca-sila (a.l. Kesaktian Pancasila, Monu-men Pancasila, Pemuda Pancasila, dll)dan bahkan merasa harus mem-formalisasikan Pancasila sebagai azastunggal. Bahkan, rezim Orde Barumerasa mereka-lah yang berhakmenafsirkan dan menyusun Pedo-man Penghayatan dan PengalamanPancasila.

Disadari atau tidak, proses itusesungguhnya sudah mereduksiPancasila, dari alat pemersatu bangsayang luwes menjadi sekedar alatpolitik rezim tertentu dalam rangkamelanggengkan kekuasaannya yangtentu bersifat kaku dan sepihak.Proses reduksi ini mengakibatkanPancasila seakan menjadi milik satukelompok saja dan fungsinya sebagaipemersatu bangsa melemah. Karena,perbedaan pendapat dengan rezimpenguasa seolah-olah atau dapatdituduh sebagai menentang Panca-sila atau tidak Pancasilais. Akibatnya,citra Pancasila semakin terpurukdimata masyarakat. Tidak meng-herankan, ketika rezim Orde Baruruntuh masih ada trauma terhadapPancasila dan ada keengganan yangkuat untuk menggunakan dan mem-bicarakan Pancasila. Itulah sebabnya,selama masa reformasi ini, Pancasilaingin dilupakan seperti halnyamasyarakat ingin melupakan OrdeBaru. Tentu saja kesalahpahamanmasyarakat ini tidak dapat dibiarkan

124 EDISI 04/TAHUN 2012

berlangsung terus.Beranjak dari uraian diatas maka

aspek pendidikan adalah bagianterpenting dari proses enkulturasi.Karena itu, apabila terjadi kegagalanenkulturasi maka yang pertamaharus dilihat adalah bagaimanasistem pendidikan telah dilaksanakandi Indonesia. Pada awal-awal masasetelah kemerdekaan, sistem pen-didikan yang merujuk pada pola-polasetempat masih cukup berperan,antara lain dimotori oleh TamanSiswa dengan konsep-konsep pen-didikan Ki Hajar Dewantara yanglebih berakar pada budaya setempat(Nusantara). Pada tahap ini, pen-didikan lebih diarahkan pada proses“memanusiakan manusia”. Karenaitu, aspek-aspek pewarisan nilai-nilaibudaya, budi luhur, tradisi, sejarah,dan keselarasan mendapat bagianyang cukup besar. Namun, dalamperjalanan zaman, peran sistempendidikan seperti itu semakin lamasemakin tergeser dengan pendidikanyang lebih cenderung menjadi saranamenghasilkan tenaga kerja.

Pendidikan menjadi bagian darirelasi-relasi produksi yang lebihmengutamakan pengetahuan danketerampilan kerja. Proses ini men-capai puncaknya ddengan muncul-nya konsep “link and match”. Konsepini jelas menunjukan bagaimanaproses pendidikan lebih diarahkanpada pemenuhan kebutuhan pasartenaga kerja, bukan pada prosespemenuhan kebutuhan menjadi

“lebih memanusiakan manusia”.Hasilnya tentu saja lebih banyakberupa manusia.pekerja-pelaksanadaripada manusia pemikir yangkreatif. Proses ini masih terus ber-langsung hingga kini dan semakinmemburuk ketika sekolah danperguruan semakin asik mengejarperingkat (rangking) daripada men-jadi bagian dari solusi peningkatankualitas bangsa.

Dalam sistem pendidikan sepertiitu, upaya membekali generasipenerus dengan nilai-nilai luhur danjiwa Pancasila memang dilakukan,antara lain lewat pelajaran yangterkait dengan Pancasila, kewarga-negaraan, dan Ilmu Budaya Dasar.Namun, dalam prakteknya pelajaranitu hanya sebagai pelengkap atauformalitas yang dirasakan tidakterlalu penting. Situasi ini diperburukdengan cara-cara pendidikan yangsalah karena lebih bersifat dogmatisdan terkesan sebagai indoktrinasi.Apalagi, proses pembelajaran punlebih diarahkan untuk menghafalrumusan-rumusan. Tentu saja cara-cara seperti ini justru mengakibatkanresistensi dan keengganan bagibanyak generasi penerus. Ssudahcukup lama pemikir IndonesiaSudjatmoko (1986) mengingatkan halini. Menurutnya, yang perlu di-ajarkan adalah metode-metodedengan konteks sejarah kemunculan-nya agar peserta didik dapat secarakritis memahami dan nantinya me-manfaatkannya secara kreatif. Bukan

125EDISI 04/TAHUN 2012

malah membuat doktrin-doktrinyang dianut dan diterapkan mentah-mentah pada situasi apapun.Memang cara terakhir ini hanya akanmenghasilkan generasi “penyontoh”dan peniru, yang dengan penuhkeyakinan berprinsip “apa yangberhasil ditempat lain aakan berhasilpula di negara ini”.

Kegagalan proses pendidikansemakin menjadi lengkap, ketikaproses pewarisan lewat keteladananpun tidak berjalan baik. Generasimuda secara nyata melihat bahwanilai-nilai luhur dan jiwa Pancasilayang disampaikan dalam prosespendidikan tidak mereka temui dalamkehidupan sehari-hari. Banyakpemikiran, kebijakan dan tingkahlaku yang ada ditengah masyarakatpada kenyataannya tidak sesuai danbukan cerminan dari apa yangdiajarkan dalam proses pendidikan.Pancasila ternyata tidak pernahmenjadi praksis dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Rezim OrdeBaru yang mendaku sebagai penye-lamat dan pembela Pancasila, bahkanjuga perumus {edoman Penghayatandan pengamalan Pancasila, juga rasaketidakpastian, kebingungan, ke-gamangan, dan bahkan ketidak-percayaan. Secara intuitif merekajustru lebih mudah mencontoh danmeniru fakta-fakta kehidupan sehari-hari yang sesungguhnya jauh daripancasila, termasuk juga budaya-budaya dari luar yang dianggap jauhlebih menarik. Kini, dampak proses

ini amat terasa, bangsa Indonesiamenjadi bangsa yang cenderungmaterialistis, konsumtif, tidak kreatif,kurang produktif, berkiblat padabudaya lain, dan amat tergantungpada pihak lain. Dengan demikian,semakin lama bangsa Indonesiasemakin jauh dari kepribadian danjatidirinya semula.

Ditengah krisis enkulturasi danketeladanan, masyarakat diharapkanpada proses global yang semakinmeningkat dalam beberapa dasawarsaterakhir ini. Situasi ini juga ikutberpengaruh terhadap peminggiranPancasila dalam kehidupan masya-rakat Indonesia. Proses global sering-kali dikenal secara luas sebagai‘globalisasi’. Namun, Friedman(1994) menyatakan bahwa proses glo-bal sebagai proses budaya bukanlahglobalisasi seperti yang ditafsirkansecara populer saat ini. Proses globaltidak sama dengan globalisasi, jikayang terakhir ini hanya dimaknaisebagai pertukaran barang dan jasasecara bebas antar wilayah tanpa adahambatan regulasi tertentu. Prosesglobal mempunyai dimensi interaksiyang lebih luas dan dapat diliatsebagai ‘meluasnya interaksi antarberagam cara hidup atau budayasedemikian rupa sehingga semuakomunitas yang terlibat di dalamnyamerasa hidup dalam satu kampungbesar (global village).

Terjadinya proses global dapatdiukur antara lain dengan mening-katnya saling keterhubungan (inter-

126 EDISI 04/TAHUN 2012

connection), saling ketergantungan (in-terdependency), serta adanya per-tukaran dan pergerakan manusia,citra (budaya), dan barang (exchangeof people image, and commodity).Akibatnya, proses global seringkalidianggap dapat ‘memampatkandunia’ sehingga terasa semakinsempit, tetapi pada saat yang samaproses ini justru meluaskan cakra-wala pandang manusia. Faktormeluasnya cakrawala pandang inimenyebabkan praktek-praktek sosialbudaya tidak lagi terikat atau dibatasioleh wilayah tertentu, tetapi dapatberlangsung di arena yang lebih luas(Robetson, 1992; Friedman, 1994).

Meningkatnya saling ketergan-tungan dan saling keterhubungansering menggerus struktur sosialkounitas tradisional yang biasanyaterpusat pada hubungan kekerabatandan menggantikannya denganstruktur sosial yang lebih terbukauntuk menampung pandangantentang dunia sebagai suatukampung besar. Suatu komunitasakan lebih mudah menerima pe-ngaruh budaya luar, termasukbudaya konsumtif pada tahap ini,pertukaran barang meningkat men-jadi pertukaran gagasan, nilai-nilai,dan manusia. Unsur budaya yangberkembang dalam suatu komunitastertentu akan lebih mudah tersebardan diambil alih oleh komunitas laintingkat dan kecepatan menyerapbudaya dominan akan tergantungsifat budaya lokal itu sendiri.

Komunitas yang memiliki resistensitinggi akan cenderung lebih lambatdan sedikit dipengaruhi oleh budayadominan dibandingkan komunitasyang lebih terbuka (Holton, 1998;Friedman, 1994; Waters, 1995).

Proses global tidak hanya terjadipada masa kini, tetapi pernah pulaterjadi dalam sejarah masa lampau. Dimasa lalu, proses ini dapat terjadidengan mengikuti adanya kolonisasi,ekspansi peradaban, eksplorasiperdagangan, dan penyebaran religi.Bangsa Indonesia yang terletakdipersimpangan dua samudra dandua benua menjadi salah satu bangsayang telah mengalami berbagaiproses global. Sejarah telah mem-buktikan bangsa kita mampu me-nyerap dengan baik budaya-budayayang dominan dengan mengadaptasidalam budaya lokal. Kemampuanseperti ini diakui oleh para sarjanabarat dan menjuluki bangsa inisebagai “local genius”. Namun, dalamproses global saat ini anat terasabahwa budaya dominan (western,materialistic) masuk begitu derassehingga menggerus pada kepri-badian bangsa, sehingga akar budayakita yang terkristalisasi dalam Panca-sila pun ikut terpinggirkan. Hal inidapat terjadi karena situasi pertamadan kedua di atas telah menying-kirkan Pancasila sebagai kepribadianbudaya bangsa. Generasi penerusyang sedang mencari-cari identitaskepribadian baru terpapar padatawaran-tawaran budaya global

127EDISI 04/TAHUN 2012

yang menggiurkan. Tanpa kepri-badian yang kuat, dapat dipahamiapabila pilihan-pilihan mereka jatuhpada budaya dari luar.

4. Revitalisasi Pancasila di BidangKebudayaan

Dari ulasan diatas dapat dilihatbahwa gejala peminggiran Pancasilayang terjadi dalam satu dasawarsa initidak disebabkan oleh satu situasisaja, tetapi beragam situasi yangsecara bersamaan memberikantekanan yang cukup kuat terhadapkeberadaan Pancasila di tengahkehidupan bangsa Indonesia. Ber-bagai keterpurukan yang terjadi diIndonesia membuktikan bahwabangsa ini telah kehilangan pe-gangan dan terombang-ambingdalam arus dan gelombang budayadunia. Betapapun sulitnya, berbagaiupaya harus dilakukan untukmenyelamatkan bangsa ini agar tidakmenjadi bangsa lain. Lalu apa yangharus dilakukan menghadapi kondisiini? Jawabannya tentu tidak mudah.Namun, yang pasti Pancasila harusdikembalikan kepada ‘fitrah’-nyasebagai pandangan dan jalan hidup(way of life), kepribadian budayabangsa, jiwa bangsa dan dasarnegara. Untuk itu sejumlah langkahdapat ditawarkan.

Salah satu langkah strategis yangyang perlu dilakukan adalah meng-adakan refleksi nasional tentangPancasila sebagai kepribadianbangsa. Sebagaimana dikemukakan

oleh Sudjatmoko (1986), kepribadiannasional (bangsa) adalah sumber rasadan harga diri bangsa itu. Tanpaharga diri kreatifitas tidak akanmemiliki akar. Kepribadian nasionalmerupakan endapan refleksi terusmenerus, sikap mawas diri dan usahamerenungkan hakekat diri sebagaibangsa secara terus menerus.Kepribadian nasional tidak hanyadibentuk dari fakta-fakta sejarah masalampau dan peristiwa yang terjadimasa kini, tetapi juga harus menjadivisi kedepan. Harapan mengenaimasa depan bangsa ini dan arah per-juangan bangsa selanjutnya. Karenaitu, setelah mengalami masa-masasuram, refleksi nasional tentangpancasila perlu dilakukan dalamrangka ‘merumuskan’ kembaliPancasila sebagai kepribadian budayabangsa sesuai dengan situasi duniakini dan esok, menetapkan visikedepan, dan mengambil langkah-langkah perjuangan bersama untukmencapai kesejahteraan bangsa.

Dalam ranah kebudayaan, perludisusun strategi kebudayaan yangsesuai dengan Pancasila sebagaikepribadian budaya bangsa. Untukmenciptakan pra kondisi yang sesuai,perlu dilakukan peninjauan kembalirumusan mengenai kebudayaandalam perubahan Keempat Undang-undang Dasar 1945 Bab XIII pasal 32ayat (1)1, yang sama sekali tidakmencerminkan konsep dan visi kebu-dayaan berasaskan pada Pancasila.Rumusan dalam perubahan Keempat

128 EDISI 04/TAHUN 2012

UUD 1945 sama sekali tidak mem-berikan tuntunan mengenai azas,arah, dan sasaran pengembangankebudayaan bangsa Indonesia.Rumusan yang baru, setidaknyaharus mencerminkan esensi Pancasilakristalisasi budaya itu sendiri.Kebudayaan bangsa yang berdasar-kan Pancasila semestinya didasarkanpada konsep keselarasan hubunganantara Tuhan – Manusia – Alam yangsejak lama telah terendapkan dalambudaya-budaya Nusantara dan tetapanat relevan bagi masa kini. Strategikebudayaan harus diarahkan untukmencapai tujuan meningkatkanharkat kemanusiaan manusia Indo-nesia, yang diwujudkan dalam satumasyarakat yang adil dan makmurmerata. Hal itu dapat dicapai apabiladidukung oleh kemampuan kreatif,pengembangan akal budi, dankearifan memilih yang terbaik bagiseluruh bangsa (dan bukan untukkepentingan pribadi). Strategikebudayaan bangsa harus mampumencapai sasaran pokoknya, yaitumenjamin eksistensi bangsa, meng-gerakan kehidupan bangsa, mem-bentuk dan membina kepribadianbangsa, serta menata kehidupanbangsa (lebih lanjut lihat poes-powardojo, 1989).

Langkah yang tidak kalahpenting adalah memperbaiki arah,

kebijakan, dan sistem pendidikannasional. Sistem pendidikan nasionalharus dikembangkan berdasar padanilai-nilai budaya setempat dengantujuan utama membentuk manusiaseutuhnya, yang seimbang perkem-bangan jasmani dan rohani, kemam-puan pikir dan keterampilan, sertapengetahuan dan keimanan. Penge-nalan terhadap sejarah dan per-jalanan budaya bangsa, yang selamadianggap remeh dan penting,seharusnya mendapat perhatian yanglebih besar, karena sesungguhnyajustru menjadi kekuatan dalam prosespembentukan manusia Indonesiayang sadar akan perlunya eksistensibangsanya dan kemampuan mene-rapkan pengetahuan secara kreatifdan tepat. Perlu dikembangkan pula“appropiate education” yang mampumengembangkan potensi lingkunganasalnya (menciptakan peluang kerja)dari pada menciptakan tenaga kerjadengan keterampilan baru yang akantergantung pada pasar tenaga kerja(mencari kerja). Dalam konteks ini,proses pembelajaran harus lebihdiutamakan pada upaya memberikanpencerahan dan bukan indoktrinasi,memberikan pengertian dan bukanhafalan. Cara-cara ini akan melahir-kan insan-insan yang kreatif, danbukan “penyontoh” dan “peniru”belaka.

1 Rumusan Bab XIII pasal 32 (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengahperadaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkannilai-nilai budayanya.

129EDISI 04/TAHUN 2012

C. PENUTUPAkhirnya, dalam situasi seperti ini,

dibutuhkan pola kepemimpinan yangmampu menjadi teladan yang baiksebagai pelaksana amanat Pancasilayang sejati. Pemimpin seperti ini akanmuncul apabila sistem kaderisasi danpromosi (pemilihan) pemimpinbenar-benar dilandasi pada sila-siladalam Pancasila. Sistem pemilihanyang sekarang diberlakukan (pilihlangsung) sesungguhnya tidak cocokdengan kepribadian budaya bangsayang sejak dahulu memang mem-percayai keperwakilan yang jujur.Bahkan, pola pemilihan pemimpinyang sekarang malah lebih jelek darimasa prasejarah. Dalam banyak sukubangsa di Indonesia, seseorang akandikui sebagai pemimpin apabila iatelah membuktikan diri mampumemberikan kesejahteraan bagimasyarakatnya. Hal ini dilaksanakandalam bentuk”pesta jasa” (feast ofmerit) dengan membagikansebagianhartanya untuk kesejahteraan masya-

rakat. Sebagai tanda, ia berhakmendirikan bangunan megalitik.Karena itu, mereka yang memilikibanyak bangunan megalitik (sudahbanyak jasanya) akan dapat di-anggkat menjadi pemimpin. Sebalik-nya, kini setiap orang dapat menjadipemimpin tanpa rekam jejak kepe-mimpinan yang jelas. Tidak jarangmereka hanya bermodalkan janji-janji belaka. Tatacara pemilihannyapun amat memboroskan sumberdayadan berpotensi menimbulkan konflikhorizontal. Sesungguhnya, pemi-lihan pemimpin dengan perwakilanberjenjang dengan lembaga tertinggi(MPR)sebagai pemegang kedaulatantertinggi, sebagaimana diamanatkanoleh sila ke-4 Pancasila lebih tepatbagi budaya bangsa Indonesia.Karena itu, upaya mengembalikansistem perwakilan dan kewenanganMPR sebagai lembaga tertingginegara akan membantu revitalisasipancasila.

130 EDISI 04/TAHUN 2012

DAFTAR PUSTAKA

Barrett, R.A. 1984. Culture and Conduct. Wadsworth Publishing Company

Friedman, J. 1994. Cultural identity and global process. Sage publication.

Holton, RJ. 1998. Globalization and the nation state. Mac Millan Press

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi, jilid I. Rineka Cipta

Poespowardojo, S. 1989. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis.Gramedia.

Sudjatmoko. 1986. Dayacipta sebagai unsur Mutlak dalam pembangunan :Konsepsi dan Institusionalisasi, dalam Dimensi Manusia dalamPembangunan : Pilihan Karangan. LP3S.

Sudjatmoko. 1986. Kesadaran Sejarah dan Pembangunan, dalam DimensiManusia dalam Pembangunan : Pilihan Karangan. Jakarta : LP3S.

Tanudirjo, D.A. 2007. Arkeologi dan Jatidiri Bangsa, dalam Relik no. 5 Sep-tember 2007, Hlm. 3 – 10.

Waters, M. 1995. Globalization. Routledge

S. Wiratmo,1979,Serba-serbi tentang Pancasila dan UUD 1945. Hanindita.

131EDISI 04/TAHUN 2012

132 EDISI 04/TAHUN 2012

KETENTUAN PENULISANJURNAL MAJELIS

Sebagaimana jurnal pada umumnya, Jurnal Majelis tampil dalam formatilmiah sebuah jurnal sehingga tulisan yang dikirim untuk dimuat hendaknyamemenuhi ketentuan tulisan ilmiah. Untuk memudahkan koreksi naskah,diharapkan penulisan catatan kaki (footnote) mengikuti ketentuan :1. Emmanuel Subangun, Negara Anarkhi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.

64-65.2. Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ketujuhbelas, (Jakarta: PT Pradnya

Paramita, 2001), hlm. 208-9.3. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari DeStructuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni,2003), hlm. 7.

4. “Jumlah BUMN Diciuitkan Jadi 50”, Repubika, 19 Oktober 2005.5. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http:/

/www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.Sedangkan untuk penulisan daftar pustaka sebagai berikut.

1. Asshiddiqie, Jimly, 2005. Sengketa Kewenangan Antar-lembaga Negara,cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi Press.

2. Burchi, Tefano, 1989. “Current Development and Trends in Water Re-source Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd Con-ference of the International Association for Water Kaw (AIDA) Alicante,Spain: AIDA, December 11-14.

3. Anderson, Benedict, 2004. “The Idea of Power in Javanese Culture”,dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.:Cornell University Press.

4. Jamin, Moh., 2005. “Implikasi Penyelenggaraan Pilkada Pasca PutusanMahkamah Konstitusi’, Jurnal Arena, Volume 2 Nomor 1, Juli 2005,Jakarta: Arena Institute.

5. Indonesia, Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,dan DPRD.

6. Republika, Jumlah BUMN Diciutkan Jadi 50", 19 Oktober 2005.7. Tjiptoherijanto, Prijono. jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http:/

/www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.Kami menerima tulisan, artikel kajian ilmiah dan/atau hasil penelitian

yang berbobot mengenai empat pilar kehidupan bernegara yaitu Pancasila,UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), danBhinneka Tunggal Ika. Secara khusus setiap edisi kami menyajikan temasesuai hasil rapat redaksi yang berkaitan tentang empat pilar kehidupanbernegara.