Majalah_15x.pdf - Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia

46
“Saya merasa bagaikan semut di kaki Gunung Sumeru (sebuah tempat suci dalam ajaran Buddha yang sangat tinggi dan besar–red).” Tanggal 6 November 2010, Master Cheng Yen untuk pertama kalinya mengungkapkan hal ini dalam ceramahnya. Saat itu, Gunung Merapi di Jawa Tengah sedang dalam puncak aktivitasnya. Dua kali gunung tersebut meletus juga mengeluarkan awan panas, membuat masyarakat yang tinggal di lerengnya harus mengungsi. Master mengingatkan bahwa bencana ini adalah peringatan dari alam bagi manusia. Sejak itu, ungkapan tentang “semut” ini beberapa kali disampaikan kembali dalam berbagai ceramah beliau sepanjang tahun 2011. Master Cheng Yen merasa kecil dan tak berdaya, bahwa masih banyak orang tetap menjalani pola hidup mereka yang lama, mengejar kesenangan pribadi, dan merusak lingkungan. Sebagai seorang guru yang mengharapkan kemajuan pelatihan diri para muridnya, setiap saat Master Cheng Yen berusaha memberi bimbingan lewat perkataan maupun mencontohkan lewat tindakan. Hanya saja dibanding pengaruh buruk yang meluas dalam masyarakat masa kini, bimbingan tersebut bagai aliran jernih yang belum dapat menetralisir polutan yang ada. Di sisi lain, respon para insan Tzu Chi terhadap ungkapan hati sang guru ini sangat menarik. Mereka justru meneladani kekuatan semut serta mendeklarasikan diri sebagai pasukan semut yang siap mendukung Master dan mewujudkan visi Tzu Chi: menyucikan hati manusia, mewujudkan masyarakat aman dan tenteram dan dunia bebas dari bencana. Ukurannya yang kecil membuat semut sering dianggap hewan yang tak terlalu berarti. Padahal sesungguhnya semut adalah hewan terkuat kedua di dunia binatang terbukti dengan ia dapat mengangkat beban seberat 50 kali berat tubuhnya. Selain itu, semut adalah spesies binatang yang ada di hampir semua belahan dunia. Kelebihan utama semut ada pada cara hidupnya yang berkelompok. Dalam satu koloni, semut memiliki sistem kemasyarakatan yang rapi dengan pembagian kerja yang teratur. Prinsip semut yang bekerja secara berkelompok ini mirip dengan insan Tzu Chi. Seperti semut, insan Tzu Chi giat melakukan pekerjaan kemanusiaan bersama-sama, melakukan sharing untuk saling menginspirasi, dan – yang banyak dilakukan setahun terakhir ini – menyelami Dharma. Maka, Tzu Chi disebut sebagai jalan pelatihan diri yang lapang dan luas. Untuk menebarkan cinta kasih dalam hati lebih banyak orang, terlebih dahulu insan Tzu Chi harus menjernihkan batin mereka sendiri dari kekotoran batin. Dan hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Namun dengan melakukannya secara bersama-sama, insan Tzu Chi saling mendukung, saling menyemangati, dan saling mengingatkan, sehingga pelatihan diri terasa lebih ringan dan menyenangkan. Dengan kekuatan semut pula, insan Tzu Chi menyambut ulang tahun ke- 45 Tzu Chi dengan menggelar pementasan isyarat tangan Sutra Pertobatan Air Samadhi di berbagai titik di Taiwan. Pementasan tersebut melibatkan ribuan insan Tzu Chi. Berbulan-bulan mereka berlatih menghafal syair Dharma, berikrar untuk bervegetarian, melakukan bedah buku, dan menyatakan pertobatan, dengan harapan dapat mencerahkan diri sendiri dan lebih banyak orang. Dalam ceramahnya tanggal 10 Juli 2011, Master Cheng Yen mengatakan, ”Meski kita adalah semut kecil di kaki Gunung Sumeru, tetapi kekuatan kita yang kecil juga dapat membawa pengaruh. Dengan menghimpun kekuatan yang kecil, kita dapat menggerakkan seluruh Gunung Sumeru.” Semut Dunia Tzu Chi Pemimpin Umum Agus Rijanto Wakil Pemimpin Umum Agus Hartono Pemimpin Redaksi Ivana Redaktur Pelaksana Apriyanto Staf Redaksi Hadi Pranoto, Juliana Santy, Lienie Handayani, Teddy Lianto, Veronika Usha Editor Foto Anand Yahya Tata Letak/Desain Siladhamo Mulyono Ricky Suherman Sekretaris Redaksi Erich Kusuma Website: Heriyanto Kontributor Tim Dokumentasi Kantor Perwakilan & Penghubung Tzu Chi di Makassar, Surabaya, Medan, Bandung, Tangerang, Batam, Pekanbaru, Padang, Yogyakarta, Lampung, Bali, Singkawang, dan Tanjung Balai Karimun e-mail: [email protected] Dunia Tzu Chi diterbitkan dan berada di bawah naungan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Gedung ITC Lt. 6 Jl. Mangga Dua Raya Jakarta 14430 Indonesia Tel. (021) 6016332 Fax. (021) 6016334 www.tzuchi.or.id Untuk mendapatkan Dunia Tzu Chi secara cuma- cuma, silahkan menghubungi kantor Tzu Chi terdekat. Dicetak oleh: PT. Siem & Co (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Foto: Rangga Setiadi TzuChi Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 DUNIA M e n e b a r C i n t a K a s i h U n i v e r s a l Dunia Tzu Chi Vol. 11, No.2, Mei - Agustus 2011 Daur Ulang Sampah, Daur Ulang Batin

Transcript of Majalah_15x.pdf - Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia

“Saya merasa bagaikan semut di kaki Gunung Sumeru (sebuah tempat suci dalam ajaran Buddha yang sangat tinggi dan besar–red).” Tanggal 6 November 2010, Master Cheng Yen untuk pertama kalinya mengungkapkan hal ini dalam ceramahnya. Saat itu, Gunung Merapi di Jawa Tengah sedang dalam puncak aktivitasnya. Dua kali gunung tersebut meletus juga mengeluarkan awan panas, membuat masyarakat yang tinggal di lerengnya harus mengungsi. Master mengingatkan bahwa bencana ini adalah peringatan dari alam bagi manusia.

Sejak itu, ungkapan tentang “semut” ini beberapa kali disampaikan kembali dalam berbagai ceramah beliau sepanjang tahun 2011. Master Cheng Yen merasa kecil dan tak berdaya, bahwa masih banyak orang tetap menjalani pola hidup mereka yang lama, mengejar kesenangan pribadi, dan merusak lingkungan. Sebagai seorang guru yang mengharapkan kemajuan pelatihan diri para muridnya, setiap saat Master Cheng Yen berusaha memberi bimbingan lewat perkataan maupun mencontohkan lewat tindakan. Hanya saja dibanding pengaruh buruk yang meluas dalam masyarakat masa kini, bimbingan tersebut bagai aliran jernih yang belum dapat menetralisir polutan yang ada. Di sisi lain, respon para insan Tzu Chi terhadap ungkapan hati sang guru ini sangat menarik. Mereka justru meneladani kekuatan semut serta mendeklarasikan diri sebagai pasukan semut yang siap mendukung Master dan mewujudkan visi Tzu Chi: menyucikan hati manusia, mewujudkan masyarakat aman dan tenteram dan dunia bebas dari bencana.

Ukurannya yang kecil membuat semut sering dianggap hewan yang tak terlalu berarti. Padahal sesungguhnya semut adalah hewan terkuat kedua di dunia binatang terbukti dengan ia dapat mengangkat beban seberat 50 kali berat tubuhnya. Selain itu, semut adalah spesies binatang yang ada di hampir semua belahan dunia. Kelebihan utama semut ada pada cara hidupnya yang berkelompok. Dalam satu koloni, semut memiliki sistem kemasyarakatan yang rapi dengan pembagian kerja yang teratur. Prinsip semut yang bekerja secara berkelompok ini mirip dengan insan Tzu Chi. Seperti semut, insan Tzu Chi giat melakukan pekerjaan kemanusiaan bersama-sama, melakukan sharing untuk saling menginspirasi, dan – yang banyak dilakukan setahun terakhir ini – menyelami Dharma.

Maka, Tzu Chi disebut sebagai jalan pelatihan diri yang lapang dan luas. Untuk menebarkan cinta kasih dalam hati lebih banyak orang, terlebih dahulu insan Tzu Chi harus menjernihkan batin mereka sendiri dari kekotoran batin. Dan hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Namun dengan melakukannya secara bersama-sama, insan Tzu Chi saling mendukung, saling menyemangati, dan saling mengingatkan, sehingga pelatihan diri terasa lebih ringan dan menyenangkan.

Dengan kekuatan semut pula, insan Tzu Chi menyambut ulang tahun ke-45 Tzu Chi dengan menggelar pementasan isyarat tangan Sutra Pertobatan Air Samadhi di berbagai titik di Taiwan. Pementasan tersebut melibatkan ribuan insan Tzu Chi. Berbulan-bulan mereka berlatih menghafal syair Dharma, berikrar untuk bervegetarian, melakukan bedah buku, dan menyatakan pertobatan, dengan harapan dapat mencerahkan diri sendiri dan lebih banyak orang. Dalam ceramahnya tanggal 10 Juli 2011, Master Cheng Yen mengatakan, ”Meski kita adalah semut kecil di kaki Gunung Sumeru, tetapi kekuatan kita yang kecil juga dapat membawa pengaruh. Dengan menghimpun kekuatan yang kecil, kita dapat menggerakkan seluruh Gunung Sumeru.”

Semut

Dunia Tzu ChiPemimpin Umum

Agus Rijanto

Wakil Pemimpin UmumAgus Hartono

Pemimpin RedaksiIvana

Redaktur PelaksanaApriyanto

Staf RedaksiHadi Pranoto, Juliana Santy,

Lienie Handayani, Teddy Lianto, Veronika Usha

Editor FotoAnand Yahya

Tata Letak/DesainSiladhamo Mulyono

Ricky Suherman

Sekretaris RedaksiErich Kusuma

Website:Heriyanto

KontributorTim Dokumentasi Kantor

Perwakilan & Penghubung Tzu Chi di Makassar,

Surabaya, Medan, Bandung, Tangerang,

Batam, Pekanbaru, Padang, Yogyakarta, Lampung, Bali,

Singkawang, dan Tanjung Balai Karimun

e-mail: [email protected]

Dunia Tzu Chi diterbitkan dan berada di bawah naungan Yayasan Buddha Tzu Chi

Indonesia, Gedung ITC Lt. 6Jl. Mangga Dua Raya Jakarta

14430 IndonesiaTel. (021) 6016332 Fax. (021) 6016334www.tzuchi.or.id

Untuk mendapatkan Dunia Tzu Chi secara cuma-cuma, silahkan menghubungi kantor Tzu Chi terdekat.

Dicetak oleh:PT. Siem & Co

(Isi di luar tanggung jawab percetakan)

Foto

: Ran

gga

Set

iadi

TzuChiVol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

D U N I A

M e n e b a r C i n t a K a s i h U n i v e r s a l

Dunia Tzu C

hiVol. 11, N

o.2, Mei - A

gustus 2011

ISSN 1907-6940

Memilah sampah untuk dijadikan bahan daur ulang adalah

ungkapan syukur kita pada bumi yang telah memberikan kehidupan.

Di depo pelestarian lingkungan kita berlatih untuk

saling berbagi dan peduli pada lingkungan.

Daur Ulang Sampah,Daur Ulang Batin

Tzu ChiD U N I A

Menebar Cinta Kasih UniversalVol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

4. FEATURE: BERSAHABAT DENGAN BERUK

Di Sumatera Barat terutama di Payakumbuh beruk menjadi hewan yang sangat berguna dalam membantu warga memetik kelapa.

12. SAJIAN UTAMA: DAUR ULANG SAMPAH, DAUR ULANG BATIN

Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi menjadi tempat untuk melatih ego, kesabaran, dan kerendahan hati.

21. KISAH HUMANIS: ECO DUO Dua sahabat yang saling mengisi

kekurangan satu sama lain di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi. Wu adalah korban wabah polio, dan Qu adalah tunanetra.

28. DEDIKASI: SAKSI PEMBANGUNAN RUMAH KITATelah banyak relawan yang menyumbang-kan tenaga dan waktunya menyambut rumah baru Tzu Chi Indonesia.

2

32. INSPIRASI KEHIDUPAN: SEMANGAT MEWARISKAN

KEMURAHAN HATI Memberi berarti menemukan sungai

bermata air. Semangat ini yang selalu dibabarkan oleh Biksu Piyasilo dengan menyebarkan welas asih.

38. RUANG HIJAU: MEMILAH SAMPAH PLASTIK

Mengenal berbagai jenis plastik dan nilai ekonomisnya dan untuk mempermudah proses pemilahan sampahnya.

40. MOZAIK PERISTIWA: Waisak di Tzu Chi Indonesia, kebahagiaan

para penerima bantuan program Bebenah Kampung di Cilincing, dan hari pertama di Sekolah Tzu Chi Pantai Indah Kapuk.

46. POTRET RELAWAN: TAN SOEI TJOE

Tzu Chi menjadi tempat bagi Tan Soei Tjoe dalam berkarya dan bersumbangsih kepada sesama serta tempat pelatihan diri.

52. LENSA: DEPO PELESTARIAN

LINGKUNGANFilosofi Tzu Chi dalam menjalankan misi pelestarian lingkungan adalah sampah diubah menjadi emas, emas menjadi cinta kasih, dan cinta kasih menyebar ke seluruh penjuru dunia untuk berbagi rasa sesama manusia.

56. JALINAN KASIH: KEKUATAN TEKAD UNTUK

SEMBUH Kekuatan doa dan usaha dari sang

suami, membuat Jini yang telah didiagnosa kesembuhannya hanya 1000:1 bisa melewati masa kritis.

60. JALINAN KASIH: BERBAGI SEMANGAT UNTUK SEMBUH Bong Bu Jang dahulu adalah pasien penerima bantuan, kini ia bergabung bersama relawan Tzu Chi lainnya turut aktif dalam kunjungan kasih.

64. PESAN MASTER CHENG YEN: BERSAMA-SAMA MENCIPTAKAN BERKAH DAN MELINDUNGI BUMIMasalah sampah menjadi isu penting bagi dunia. Para Bodhisatwa berusaha segenap tenaga untuk melindungi bumi.

66. JEJAK LANGKAH MASTERCHENG YEN: MENYELARASKAN BATIN PADA KEBAJIKAN DAN CINTA KASIHJika setiap orang mampu menenangkan batin masing-masing, maka masyarakat akan damai sejahtera, barulah orang-orang diberkahi dan dunia terbebas dari bencana.

68. TZU CHI NUSANTARA Kegiatan kantor perwakilan dan

penghubung.

76. RUANG RELAWAN Kisah dari para relawan.

78. KOLOM KITA Artikel dan foto dari relawan untuk relawan.

80. TZU CHI INTERNASIONAL Bantuan untuk korban bencana Tornado

di Missouri, AS.

Bagi Anda yang ingin berpartisipasi menebar cinta kasih melalui bantuan dana, Anda dapat mentransfer melalui:

BCA Cabang Mangga Dua RayaNo. Rek. 335 301 132 1a/n Yayasan Budha Tzu Chi Indonesia

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang berdiri pada tanggal 28 September 1994, merupakan kantor cabang dari Yayasan Buddha Tzu Chi Internasional yang berpusat di Hualien, Taiwan. Sejak didirikan oleh Master Cheng Yen pada tahun 1966, hingga saat ini Tzu Chi telah memiliki cabang di 53 negara.

Tzu Chi merupakan lembaga sosial kemanusiaan yang lintas suku, agama, ras, dan negara yang mendasarkan aktivitasnya pada prinsip cinta kasih universal.

Aktivitas Tzu Chi dibagi dalam 4 misi utama:1. Misi Amal

Membantu masyarakat tidak mampu maupun yang tertimpa bencana alam/musibah.

2. Misi KesehatanMemberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan mengadakan pengobatan gratis, mendirikan rumah sakit, sekolah kedokteran, dan poliklinik.

3. Misi PendidikanMembentuk manusia seutuhnya, tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, tapi juga budi pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan.

4. Misi Budaya KemanusiaanMenjernihkan batin manusia melalui media cetak, elektronik, dan internet dengan berlandaskan budaya cinta kasih universal.

3

32 682821 80

124 46 60

Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu ChiDunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Beruk merupakan binatang pintar, dan sering dijadikansahabat manusia untuk tugas pemetik kelapa.Biasanya, petani kelapa di Payakumbuhmemanfaatkan beruk untuk memanjatpohon-pohon kelapanya yangmenjulang tinggi.

Bersahabat dengan

Menyaksikan beruk memanjat pohon kelapa yang menjulang tinggi untuk memetik kelapa menjadi pengalaman yang unik. Di sini beruk tidak hanya terampil

memetik kelapa, tapi juga bisa membedakan kelapa yang muda atau tua.

Naskah: Apriyanto Foto: Anand Yahya

Desa Kota Tengah Batu Hampar, Kecamatan. Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, di Payahkumbu, Sumatera Barat terkenal dengan pemandangan alamnya nan asri.

Di kabupaten ini sawah-sawah masih terbentang luas dengan gugusan gunung kars khas Sumatera Barat sebagai latar belakang. Umumnya mata pencaharian penduduk Limapuluh Kota adalah bertani atau beternak sapi dan bebek.

Selain padi, kelapa adalah tanaman yang banyak tumbuh di daerah itu. Karena di Sumatera Barat, kelapa merupakan salah satu bahan pokok kuliner, dan telah menjadi salah satu komoditas pasar. Namun pohon-pohon kelapa yang tumbuh di Sumatera Barat menjulang sangat tinggi. Dan tentunya dibutuhkan tenaga serta keterampilan esktra untuk memetik

kelapa. Karena itulah masyarakat di Sumatera Barat terutamanya di Pariaman dan Payakumbuh banyak menggunakan beruk untuk memetik kelapa.

Di Desa Kota Tengah inilah saya berkenalan dengan John Hendri dan Uni istrinya yang saat itu sedang memanen padi di tengah pesawahan. Menurut sejumlah warga John Hendri adalah salah

7Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi

satu pawang yang memiliki beruk bernama Desi yang terampil memetik kelapa dari pohonnya. Di tengah hari yang panas di tepian sawah, John Hendri yang berkulit gelap dan bertubuh langsing menceritakan lika-liku kehidupannya, taraf ekonominya, dan usahanya mencari tambahan penghasilan selain menjadi buruh tani. John berkisah bahwa sejak kecil ia telah ditinggal pergi oleh ayahnya dan kehidupan pun menjadi demikian keras karena John harus membantu ibunya membanting tulang mencari nafkah. Di usianya yang masih belia John sudah terbiasa melakukan tugas-tugas berat pria dewasa demi beberapa rupiah penyambung hidup keluarganya. Di saat waktu terus bergulir menuju zaman maju, kehidupan John masih berada dalam ambang kemiskinan. John ingat betul kala itu, di tengah krisis perekonomian keluarganya, ia sempat jatuh hati pada Uni dan berharap menikahinya dengan segala keterbatasan ekonomi.

Akhirnya dengan sifat yang pantang menyerah pada keadaan, John berhasil meminang Uni dan dengan sedikit tabungan pribadinya John membeli seekor beruk yang kemudian ia latih agar terampil memetik kelapa.

Hewan Sahabat ManusiaDi Sumatera Barat, khususnya di Payakumbuh

dan Pariaman beruk dikenal sebagai hewan yang pandai dan bisa membantu tugas manusia. Hewan yang berasal dari ordo primata ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan kera pada umumnya. Tubuhnya berukuran sedang, panjang tubuh 47 sampai 58,5 cm, panjang ekor 14 sampai 23 cm dengan berat 3,5 sampai 9 kg. Tubuhnya tertutup oleh mantel rambut berwarna coklat keabu-abuan dan kemerahan. Di bagian kepala, leher, punggung sampai ekor berwarna gelap dan di bagian lain berwarna terang. Dilihat dari samping, hewan ini memiliki moncong ke depan seperti babi.

Di habitatnya satwa ini hidup di atas pohon dan berkelompok antara 5 sampai 40 ekor. Beruk memakan beberapa jenis pakan buah, biji-bijian, kuncup tanaman, insekta, dan mamalia kecil. Se-

HABITAT ALAMI. Hutan-hutan di Sumatera Barat yang masih lebat memungkinkan hewan-hewan liar seperti beruk bisa berkembang dengan baik.

8 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 9Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi

PRIMATA PINTAR. Sejak usia satu tahun beruk dilatih untuk memanjat pohon kelapa dan mendengarkan perintah dari sang pemilik untuk memetik kelapa.

SIMBIOSIS MUTUALISME. Kecerdasan dan kekuatan yang dimiliki oleh beruk menjadi alasan bagi warga di Kabupaten Limapuluh Kota, Payakumbuh, Sumatera Barat menjadikannya sahabat untuk membantu memetik kelapa (atas). Selain menerima pesanan memetik kelapa John Hendri juga melayani pengupasan dan pemarutan kelapa secara tradisional. Menurutnya kelapa di Payakumbuh banyak dicari orang lantaran kualitas santannya yang baik (kanan).

nalurinya sebagai hewan liar tetap terasah. ”Kalau dia sering-sering diajak jalan, naluri liarnya tidak hilang, karena dia bisa mencari makan sendiri selama di perjalanan semisal belalang atau semut,” terang John.

Maka tidak heran bila sang beruk sangat dekat dengan John. Kedekatan inilah yang akhirnya menjalin ikatan emosional antara John dengan beruk miliknya.

Kesetiaan Sang Beruk Suatu hari di pertengahan tahun 2004 udara

begitu panas menyengat sampai ke ubun-ubun kepala. Warga kebanyakan enggan keluar rumah dan lebih memilih tinggal di rumah atau berbaring santai di bawah rindangnya pepohonan. Siang itu, seperti biasa John berangkat berkeliling kampung untuk mencari orderan petik kelapa. Udara yang sangat panas tidak membuatnya malas untuk berkeliling kampung mencari konsumen. Begitu juga sang beruk, terik matahari yang menyengat tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja.

Ketika sampai di persimpangan jalan Desa Kota Tengah Batu Hampar, John bertemu dengan seorang warga yang biasa menggunakan jasanya. Setelah bercakap-cakap, akhirnya John menuju kebun kelapa yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Di bawah pohon kelapa yang menjulang tinggi, John mengelus beruknya dengan kasih sayang layaknya dua orang sahabat karib. Sang beruk pun lantas memanjat pohon kelapa sambil menoleh ke bawah memerhatikan John, seakan dia ingin mengucapkan, “Saya siap menunggu perintah tuan.”

Tidak berapa lama butir-butir kelapa pun berjatuhan dari batangnya yang tinggi. John pun segera mengumpulkannya untuk diserahkan kepada sang pemilik. Sesudah berkeliling kampung selama seharian memetik kelapa dengan perolehan yang lumayan, John segera pulang, karena tubuhnya terasa lemas diterpa udara panas.

Setibanya di rumah John merasa pening dan badannya menggigil. Uni yang melihat John limbung segera memapahnya ke kamar tidur. Dikarenakan sakit, maka malam harinya, Uni menggantikan John memberi makan sang beruk. Mengetahui yang memberi makan bukan John, sang beruk tak bergeming dari tempat duduknya di pojokan kandang. Bahkan hingga esok harinya, sang beruk tetap menunggu John dengan sikap tidak mau makan. Dua hari berikutnya setelah John pulih dari sakit, sang beruk baru menunjukkan keceriaannya dengan melompat kesana-kemari begitu melihat John datang ke kandang sambil membawa seikat pisang matang.

Atas dasar saling mengasihi inilah, John tidak pernah membiarkan beruknya kekurangan

makanan atau terlantar tak terawat. Pada hari-hari berikutnya hubungan John dengan beruknya seolah tak dapat dipisahkan. Kemana John pergi sang beruk selalu berada di sampingnya. Bahkan setelah sang beruk berusia lanjut dan tak mampu lagi bekerja, John masih tetap mengasihinya. Hal inilah yang membedakan John dengan pawang beruk lainnya. Di saat pawang-pawang lain menelantarkan beruknya yang tak lagi produktif, John justru tetap merawatnya layaknya beruk itu masih muda. Atau saat pawang lain melepaskan beruk yang sudah tua ke tengah hutan, John tetap melindunginya sebagai bagian dari keluarga. Maka saat John kembali memiliki beruk muda untuk dilatih memetik kelapa, kasih sayangnya kepada beruk pertama miliknya tak pernah berubah atau berkurang. ”Kasihan kalau sudah tua ditelantarkan. Dulu waktu muda dia kan yang membantu saya mencari uang,” kata John. ◙

BERKELILING MENCARI NAFKAH. Sehari-hari untuk mencari pesanan memetik kelapa, John bersama beruk miliknya berkeliling desa menggunakan sepeda.

11Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi

sungguhnya tidak sulit memelihara beruk sebab secara pakan ia bisa mengonsumsi makanan yang biasa dimakan oleh manusia. Hanya saja memelihara beruk diperlukan perhatian khusus, yaitu kasih sayang.

Demikian pula dengan beruk milik John Hendri. John memperlakukannya dengan sangat baik bagaikan anak sendiri. Setiap pagi, ia rutin memberikan makan beruknya berupa nasi putih dengan lauk telur ayam kampung. Sesudah itu, John biasa membelainya atau mengajak beruknya becanda. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keakraban dan kontak emosional di antara mereka. Maka tidak heran bila beruk milik John sangat manja padanya dan sangat cemburu bila melihat John bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. ”Dia (beruk) bisa marah kalau ada istri saya datang. Dia tidak suka ada perempuan atau anak-anak dekat dengan saya,” kata John tersenyum.

Agar beruk itu terampil memanjat kelapa, setiap hari John melatihnya dengan cara menaruh kelapa di sebuah kayu yang kemudian diletakkan di batang pohon kelapa. Lalu John memerintahkan beruknya agar mengambil kelapa tersebut dari tempat yang paling rendah. Jika berhasil, letak kelapa terus di-tinggikan hingga sampai lokasi yang paling tinggi. Teknik latihan seperti ini John terapkan pada beruk-nya selama hampir satu bulan, dengan tujuan agar sang beruk memahami betul tugasnya.

Setelah berusia lebih dari satu tahun dan sang beruk sudah memahami betul tugasnya adalah memetik kelapa, pada saat itulah John mulai menawarkan jasa memetik kelapa ke para penduduk

desa. Berhubung pohon kelapa di desa John tinggi-tinggi, maka banyak warga yang akhirnya meminta bantuan John untuk memetik kelapa menggunakan beruk. Dibandingkan petikan manusia, seekor beruk mampu memetik kelapa hingga 300 butir per hari. Suatu hasil yang mengagumkan hingga tak heran jika John Hendri mampu menghidupi seorang istri dan dua anaknya dari usaha memetik kelapa menggunakan beruk. Penghasilannya pun menjadi lumayan, dari hidup sangat pas-pasan, kini penghasilan John bisa untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari dan menyekolahkan kedua anaknya. Sebagai pemilik beruk John biasa menerima upah Rp 500 untuk satu butir kelapa atau terkadang sang pemilik kelapa membayarnya dengan membagi hasil buah kelapa yang telah dipetik. Jika John berhasil memetik 10 kelapa maka ia memperoleh 3 butir kelapa sebagai upahnya.

Menurut John, beruk yang terampil tidak hanya pandai memetik kelapa, tetapi juga bisa membedakan umur buah kelapa. ”Dia (beruk) bisa membedakan kelapa muda atau tua. Kita tinggal perintahkan ambil kelapa yang tua atau muda,” terangnya.

Karenanya, dalam memelihara beruk diperlukan kecermatan, ketelitian serta kasih sayang. Untuk menjaga stamina dan keterampilan beruk miliknya, John selalu memberikan buah-buahan yang ber-kualitas baik ditambah suplemen berupa telur dan madu seminggu sekali. Selain itu, John juga selalu meluangkan waktu mengajak beruk miliknya berjalan-jalan melintasi area pesawahan atau kebun. Tujuannya adalah agar sang beruk tidak merasa jenuh dan

10 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

PERSAHABATAN. Untuk menjadikan seekor beruk terampil memetik kelapa, John selalu memberikan perhatian dan kasih sayang layaknya anggota keluarga.

Foto

: Hen

dra

(He

Qi B

arat

)

Daur Ulang Sampah-Daur Ulang BatinSebagian orang menganggap limbah sebagai barang yang tak bernilai, identik dengan kotor. Tapi bagi para relawan yang bekerja di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi, limbah dapat diubah menjadi cinta kasih dan salah satu media pelatihan diri sekaligus wujud tanggung jawab terhadap lingkungan.

Oleh | Apriyanto

Sajian Utama

Semua ini bermula ketika suatu waktu di Kanada saat memasuki masa pensiun, Thomas berusaha mencari program televisi yang memberikan kesejukan bagi batinnya. Dengan antena parabola akhirnya ia menemukan Da Ai TV Taiwan dan langsung tertarik menyaksikan drama-drama kisah nyata. Hari-hari berikutnya adalah momen dimana Thomas semakin berusaha mencari tahu tentang Tzu Chi melalui ceramah Master Cheng Yen. Sejak itulah ia mulai memahami kalau cinta kasih itu tidak hanya dibagikan kepada banyak orang, tetapi juga kepada lingkungan hidup. Sedikit, demi sedikit pandangannya terhadap sampah yang bercitra negatif mulai berubah. Jika dahulu ia sangat menjauhi sampah dan berusaha tidak bersentuhan dengan sampah, setelah melihat kepedulian Master Cheng Yen pada pelestarian lingkungan, ia mulai memilah sampah rumahnya. Ia juga mulai menerapkan penghematan dalam penggunaan air dan barang-barang lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Sampai pada tahap ini Thomas mulai mendisiplinkan dirinya untuk berdamai dengan sampah. Meski saat itu ia sendiri belum secara militan menerapkan gaya hidup ramah lingkungan, namun pandangannya pada pelestarian lingkungan sudah mulai kritis.

Sementara pandangannya mulai terjernihkan, Thomas mulai mengubah dirinya menjadi teladan

sesuai yang dianjurkan dalam Mazhab Tzu Chi. Namun sekembalinya ke Indonesia, ia mulai merasa kehilangan sang sahabat pembimbing– Da Ai TV. Karena telah menjadi kebutuhan batin, maka Thomas mulai mencari-cari program televisi kerohanian yang ada di Indonesia. Tak disangka saat pencarian sedang bergulir ia menemukan DAAI TV Indonesia. “Programnya sama, tapi bahasanya Indonesia. Berarti DAAI TV ada di Indonesia,” aku Thomas. Sejak itulah ia mulai kembali menyaksikan DAAI TV hingga terbersit suatu keinginan untuk menjadi relawan.

Setelah sekian lama mencari keberadaan Tzu Chi tanpa kenal lelah, akhirnya di penghujung tahun 2010, Thomas berhasil menjadi relawan di Depo Pelestarian Lingkungan Muara Karang. Di sinilah ia bersama Polin dan Agus Yatim bahu-membahu memilah sampah-sampah daur ulang.

Thomas yang berpostur tinggi, berkulit bersih, dan murah senyum, memberikan citra bahwa ia adalah pria yang terpelajar dari kalangan ekonomi yang baik. Namun di depo pelestarian lingkungan ia tak segan-segan memeras keringat memanggul kardus, memilah kertas dan plastik diantara tumpukan sampah yang menggunung laiknya pekerja kasar. Dari tumpukan sampah di depo pelestarian lingkungan pula ia mulai memiliki

PARA KSATRIA LINGKUNGAN. Di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi, para relawan berlatih memilah limbah sekaligus sampah batin. Sikap saling menghargai dan menghormati menjadi tujuan dari setiap pelatihan diri.

Kanal Kali Pakin, Jakarta Kota semestinya menjadi salah satu alternatif yang baik untuk wisata kota tua selain sebagai pengalih Banjir

Kanal Barat. Rencananya kanal yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa itu dapat membawa para wisatawan dari Pelabuhan Sunda Kelapa menuju Gedung Panjang, di Jalan Pakin. Tapi kenyataannya kanal itu memiliki cerita yang gelap. Warga sekitar yang tinggal di bantaran kanal itu menyebutnya sebagai kali mati – tempat hanyutnya sampah.

Laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan gaya hidup tak ramah lingkungan menyebabkan kanal itu tak lagi mengalir dengan lancar, karena diselimuti oleh tumpukan sampah. Saat banjir tiba, kanal itu menghamburkan lumpur bersama dengan apungan sisa makanan, gelas plastik, botol air mineral, botol soda, dan bangkai hewan. Semua itu kerapkali menggenangi lokasi pemukiman yang padat penduduk, hingga menyebabkan banyak warga sekitar yang menderita penyakit bawaan air, berupa infeksi kulit dan diare.

Namun dibalik kecemasan akan ancaman kerusakan lingkungan yang parah ternyata masih banyak orang-orang yang peduli pada lingkungan. Dan berikut ini adalah kisah orang-orang yang dengan skala besar maupun kecil memberikan warna pada pelestarian lingkungan.

Para Ksatria LingkunganDi tengah orang-orang metropolis yang hidup

glamor, individualis, dan konsumtif, Hudoyo Teguharja yang biasa dipanggil Thomas adalah orang yang bisa menjauhkan budaya itu. Pensiunan Human Resources Development yang pernah bekerja di Eropa ini memiliki gaya yang unik. Saat kebanyakan orang-orang seusianya merencanakan liburan ke luar negeri dan beristirahat di vila-vila, Thomas yang telah berusia 59 tahun justru menghabiskan waktunya dengan memilah sampah selama berjam-jam di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi. Bagi kebanyakan orang, duduk sambil memilah sampah terasa begitu membosankan karena tidak sekadar membutuhkan perhatian, tapi juga menguras tenaga. Namun apa yang benar-benar mengesankan banyak relawan adalah waktu yang Thomas luangkan untuk memilah sampah, yaitu 8 jam sehari selama 6 hari dalam seminggu. “Ia di sini memang benar-benar sebagai relawan. Tapi waktu kerjanya seperti karyawan,” Kata Polin Chandra relawan sekaligus sahabatnya di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi, Muara Karang, Jakarta Utara.

“Melihat Master Cheng Yen begitu peduli pada bumi ini, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk turut melestarikan lingkungan,” kata Thomas.

Men

cint

ai Li

ngku

ngan

Mel

atih

Bat

in

Henry Tando (He Qi Utara)

Apr

iyan

to

15Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi14 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

DAUR ULANG BATIN. Bersama Polin, Thomas (kanan) belajar banyak mengenai daur ulang dan pelatihan diri. Di depo pelestarian lingkungan ia tak hanya menguras keringatnya, tapi juga kekotoran batinnya.

barang yang masuk, berarti kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan di sekitar Pluit, Jakarta Utara sudah mulai terbangkitkan. Selain menyumbangkan barang-barang daur ulang, ternyata beberapa warga sekitar Muara Karang pun ada yang rutin datang ke depo setiap hari Sabtu dan Minggu untuk sekadar membantu memilah sampah. Di sinilah letak tantangan yang sesungguhnya menurut Thomas. Dengan banyaknya orang yang hadir, maka karakteristik kepribadiannya pun semakin bervariasi. Jika di hari kerja ia sudah kompak dengan kinerja Polin dan Agus, maka pada hari Sabtu dan Minggu ia harus menyesuaikan diri dan mempraktikkan kesabarannya kepada orang lain. “Di sini yang datang setiap Sabtu dan Minggu orangnya banyak, kepribadiannya juga bervariasi. Tapi di situlah letak keunikannya, bahwa kita harus berlatih diam, belajar mendengarkan, dan sabar,” akunya. “Dulu saya banyak menasihati orang dan

tak pernah mendengarkan orang lain. Di sini saya belajar mengamati ke dalam, belajar mengamati reaksi-reaksi diri saya – mengolah sampah batin.”

Bagi Thomas kekotoran batin adalah sumber utama dari kerusakan lingkungan. Ini disebabkan karena sebagian besar manusia hidup konsumtif dan hanya bisa menggunakan alam tanpa berusaha untuk mengembalikannya pada keadaan semula. Perilaku seperti ini ternyata telah mengubah permukaan bumi secara cepat dan nyata. Maka daur ulang adalah salah satu cara sederhana untuk menjaga lingkungan dari kerusakan yang lebih parah. Di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi, para relawan diajarkan untuk mencintai bumi dan dengan tulus merawatnya. Karena itu relawan yang praktik di depo pelestarian lingkungan selalu memiliki kesadaran untuk membawa sampahnya sendiri, bersikap hemat, dan menerapkan prinsip 5R (Rethink, Reduce, Reuse, Repair,Recycle).

Mengubah Banyak PandanganPrinsip 5R yang selalu dianjurkan oleh Master

Cheng Yen ini ternyata telah mengubah banyak pandangan dan gaya hidup jutaan relawan Tzu Chi di dunia. Di Indonesia selain Thomas dan relawan daur ulang lainnya juga ada Liang Kui Sun yang selalu rutin mengantarkan sampah daur ulangnya ke Tzu Chi. Setiap pagi setelah ia selesai berjualan makanan di daerah Kota, Kui Sun langsung menyempatkan dirinya mendatangi toko-toko kenalannya untuk menjemput sampah daur ulang. Sedikitnya dalam sehari Kui Sun bisa membawa satu atau dua karung sampah daur ulang. Sesampainya di rumah barang-barang itu langsung ia bersihkan dan disortir berdasarkan jenisnya. Dan setelah cukup banyak ia langsung mengantarnya sendiri ke Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi di Cengkareng.

Buat Kui Sun menerapkan misi pelestarian lingkungan adalah tanggung jawabnya dalam membantu dan menyelamatkan umat manusia. “Membantu banyak orang itu banyak caranya. Menerapkan daur ulang juga merupakan cara menolong umat manusia dari ancamam kerusakan lingkungan selain membersihkan kekotoran batin sendiri,” jelas Kui Sun. Liang Kui Sun pria berusia 62 tahun yang sangat mencintai Master Cheng Yen ini berprinsip, bahwa setiap perbuatan baik harus dilakukan dengan penuh ketulusan. Karenanya meskipun ia tidak sering datang ke pelestarian lingkungan ulang untuk memilah sampah, tetapi ia telah menyediakan rumahnya sebagai posko pelestarian lingkungan dari limbah yang ia kumpulkan.

keyakinan yang cukup besar pada banyak orang untuk membersihkan sampahnya sendiri. “Sampah di Indonesia memang cukup memprihatinkan. Kesadaran masyarakat kita pada lingkungan masih terbatas. Kali menjadi tempat pembuangan sampah. Bahkan di lingkungan elit sekalipun kesadaran masyarakatnya pada pengolahan sampah masih sangat kurang,” katanya.

Karena itu, setelah menyerap banyak pengetahuan di depo daur ulang, Thomas mulai tergerak untuk menyuluhkan pelestarian lingkungan di Sasana Tai Chi tempatnya berolahraga dengan cara mengumpulkan sampah-sampah plastik yang berserakan di sana. Apa yang ia jumpai di tempat olahraga itu memang cukup menggemaskan. Jumlah sampah plastik sisa air minum mineral dan makanan bertebaran dalam jumlah yang banyak. Berbekal keyakinannya pada misi pelestarian lingkungan, ia mulai mendemonstrasikan gaya hidup ramah lingkungan dengan cara mengumpulkan kertas, gelas, dan botol plastik air mineral untuk dibuang ke bak sampah. “Saya sengaja mendemonstrasikan di depan banyak orang, agar mereka sadar akan pentingnya pelestarian lingkungan,” tutur Thomas.

Tapi apa yang ia lakukan tidak seperti apa yang ia harapkan. Teman-teman di Sasana Tai Chi banyak yang mencelanya dan menjadikan Thomas sebagai bahan lelucon. Karena situasi yang tak lagi kondusif,

akhirnya Thomas tak lagi mendemonstrasikan aksi-nya di depan banyak orang, melainkan ia kerjakan secara diam-diam setelah situasi sepi. Biasanya sesudah menyelesaikan tugasnya di sasana, Thomas langsung menuju Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi sambil membawa sampah daur ulang. Menurut Thomas di sinilah tempat diubahnya sampah non organik menjadi emas dan sampah batin–ego, ketamakan, kemarahan menjadi cinta kasih. Sebab di tempat ini para relawan tak sekadar memisahkan sampah-sampah berdasarkan jenisnya-kertas, plastik, dan logam, tetapi juga berlatih kesabaran, ketekunan, dan kerelaan merendahkan hati sebagai pekerja kasar. Di tempat ini pula para relawan dengan sukarela menyentuh barang-barang yang dianggap tak lagi bernilai ekonomis untuk menjadi sebongkah cinta kasih. “Barang-barang di sini harus dipisahkan dengan benar, karena itu akan berpengaruh pada harga penjualannya,” jelas Thomas. “Dengan penjualan yang bagus tentu dana yang diterima Tzu Chi untuk membantu sesama pun akan semakin baik.”

Mengolah Sampah BatinMeski setiap hari Thomas bersama Polin dan

Agus Yatim harus bekerja keras dalam menyortir barang daur ulang yang masuk, tetapi ia tetap merasa puas. Alasannya adalah dengan banyaknya

MENGERJAKAN SENDIRI. Di antara waktu luang-nya, Liang Kui Sun membersihkan sendiri limbah-limbah plastik yang ia kumpulkan dari para relasinya.

PELATIHAN DIRI. Sampah menjadi emas, emas menjadi cinta kasih begitulah slogan Tzu Chi di depo pelestarian lingkungan. Atas dasar cinta kasih pula, para relawan Tzu Chi bersumbangsih mengumpulkan limbah demi meringankan beban bumi.

TURUT BAHAGIA. Satu hal yang membuat Thomas bahagia adalah jika ada orang yang turut memilah sampahnya sendiri dan bergaya hidup hemat.

Riadi Pracipta (He Qi Barat)Apriyanto

Ria

di P

raci

pta

(He

Qi B

arat

)

17Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi16 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Men

cint

ai Li

ngku

ngan

Mel

atih

Bat

in

Menurutnya Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi selain menjadi tempat berlatih mencintai lingkungan juga menjadi tempat berlatih hidup sehat. Di sini Lan Fang tak hanya menerima dan memilah sampah daur ulang, tapi juga menjelaskan kepada setiap pengunjung tentang dampak negatif dari gaya hidup konsumtif. Di dalam hanggar yang penuh sesak dengan barang daur ulang, Lan Fang menjelaskan secara terperinci tentang masa urai setiap benda dan menyarankan untuk menghindari penggunaan barang-barang sekali pakai. “Kayu akan terurai setelah 20 tahun, yang paling lama adalah plastik dan popok bayi bisa mencapai seribuan tahun. Makanya hindari pemakaian popok bayi sekali pakai,” kata Lan Fang sambil menunjuk alat peraga yang terpasang di dinding depo.

Atas sumbangsih Lan Fang bersama relawan Tzu Chi lainnya dalam mensosialisasikan pelestarian lingkungan sedikitnya lebih dari selusin sekolah swasta kerapkali mengunjungi depo guna mencari tahu prosedur pemilahan sampah dan usia penguraian setiap barang.

Maret 2011 lalu, Taman Kanak-kanak Tarakanita Gading Serpong datang mengunjungi depo pelestarian lingkungan Tangerang. Hari itu para siswa Taman Kanak-kanak diajarkan untuk cermat

memilih barang yang akan dibeli dan juga diajarkan bagaimana memanfaatkan barang-barang daur ulang menjadi produk kreatif, seperti kursi kecil yang terbuat dari tiga kaleng susu, bingkai foto, kotak mainan, dan hiasan meja.

Banyaknya sekolah atau instansi yang berkunjung ke Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi telah membuat Lan Fang tersenyum. Ini mempresentasikan bahwa kesadaran untuk membentuk gaya hidup ramah lingkungan sudah mulai menjadi tren.

Dari semua yang telah dikerjakan oleh para relawan pelestarian lingkungan sesungguhnya mereka berharap pengelolaan sampah sedapat mungkin dimulai dari diri kita sendiri. Dan yang saat ini dibutuhkan bukan sekadar para relawan pelestari lingkungan, tetapi juga kesadaran kita untuk menerapkan prinsip 5R. Karena ini adalah proses yang belum berakhir, terutama seiring berkembangnya populasi. Pada akhirnya jika kita ingin menyelamatkan bumi, memiliki sungai yang bersih, udara yang segar, dan kehidupan alam yang mengagumkan, kita harus mengubah gaya hidup serta membiasakan diri pada etika lingkungan. ◙

Dengan adanya kamar-kamar kosong di rumah-nya, Kui Sun menggunakannya sebagai pul barang-barang bekas sebelum atau sesudah dipilah. Menurut Kui Sun plastik menjadi barang yang paling banyak menjadi sampah, mulai dari peralatan rumah tangga hingga sebagai pembungkus. Permasalahannya adalah tidak semua plastik dapat didaur ulang dengan sempurna. Beberapa diantaranya hanya bisa didaur ulang untuk produk tertentu saja, semisal plastik jenis pvc dan kantong kresek.

Di depan rumahnya yang penuh sesak oleh barang, Kui Sun dengan gambalang menerangkan empat syarat umum agar limbah plastik dapat didaur ulang, yakni harus digolongkan berdasarkan jenis dan warnanya, harus dalam keadaan bersih, dan belum teroksidasi. Makanya untuk hasil yang maksimal ia sendiri yang mengerjakan pemisahan, pemotongan, dan pencucian.

Depo EdukatifSama halnya dengan di Depo Pelestarian

Lingkungan Tzu Chi Tangerang. Di sini limbah plastik yang datang dari para donatur dan relawan dipisahkan secara teliti berdasarkan jenis, warna, dan permintaan. “Plastik-plastik dipisahkan menjadi botol plastik air mineral, botol plastik minuman ringan, gelas plastik, jeriken, dan plastik jenis

mainan. Khususnya untuk botol plastik bekas minuman, relawan secara cermat memisahkan labelnya lalu melepaskan tutupnya yang digolongkan berdasarkan warna,” jelas Kwok Lan Fang, wanita berusia 60 tahun yang menghabiskan hari-harinya sebagai relawan di depo pelestarian lingkungan.Yang membuat ia begitu antusias meluangkan waktunya di depo pelestarian lingkungan adalah rasa tanggung jawabnya pada para donatur yang menyumbangkan barang daur ulang ke Tzu Chi.

Setiap pagi dengan mengendarai mobil sendiri Lan Fang lantas menuju Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi dari tempat tinggalnya di Jembatan Lima. Sebagai seorang yang telah bergaya hidup ramah lingkungan Lan Fang tak cuma membawa sampah pribadinya ke depo pelestarian lingkungan, tapi juga sampah non organik dari banyak kenalannya yang telah ia sosialisasikan. Biasanya sebelum berangkat menuju Tangerang, Lan Fang terlebih dahulu mendatangi tempat tinggal atau toko kenalannya untuk mengangkut sampah daur ulang. Namun yang paling menarik adalah di usianya yang tak lagi muda ia tetap bugar dan jauh dari berbagai penyakit seperti: darah tinggi, gula darah, dan kolesterol. “Jika hati senang semua penyakit akan hilang. Selama saya menjadi relawan badan saya semakin sehat,” ungkapnya.

19Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi18 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

MENGHARGAI BENDA. Menjadi relawan Tzu Chi yang bertugas di depo pelestarian lingkungan membuat Kwok Lan Fang (paling kanan) semakin menghargai setiap barang yang ia gunakan dan selalu berpikir ulang sewaktu akan membeli barang-barang yang tak diperlukan.

BELAJAR DI DEPO. Di depo pelestarian lingkungan, para murid dari berbagai sekolah belajar gaya hidup ramah lingkungan.

Men

cint

ai Li

ngku

ngan

Mel

atih

Bat

in

Kur

niaw

an (H

e Q

i Tim

ur)

Had

i Pra

noto

Menantang terpaan angin dingin dan tatapan orang-orang yang terlihat penasaran, Wu Xiu Yu (depan) membonceng Qu Su Min dengan skuternya yang telah dimodifikasi, menuju depo pelestarian lingkungan. Berdua, mereka dapat melakukan lebih banyak hal baik bersama-sama dibanding melakukannya secara terpisah, mengingat kekurangan mereka masing-masing: Wu adalah korban wabah polio, dan Qu tunanetra. Bersama-sama, mereka telah menyalakan kembali percikan harapan dan kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain.

Eco Duo

Saya duduk di seberang Qu Su Min yang berusia 52 tahun ini, menjulurkan leher agar dapat melihat lebih dekat matanya yang telah kehilangan penglihatan itu. Lalu saya

memejamkan mata dan mencoba untuk menirukan apa yang sedang dikerjakannya –melipat koran bekas. “Seberapa sulit baginya melakukan hal ini?” pikir saya ketika mulai meraba-raba kertas koran itu.

Sebagaimana yang saya alami, melipat koran tanpa bantuan indra penglihatan ternyata jauh lebih sulit dari yang saya bayangkan. Meski telah berusaha semampunya, saya tidak bisa melipat koran menjadi tumpukan rapi seperti yang dihasilkan Qu. Tumpukan koran saya selalu tampak lebih mirip kertas kusut dibanding terlipat rapi, sangat jauh dibanding tumpukan koran Qu yang tersusun rapi dan sempurna.

Qu mengatakan bahwa relawan Tzu Chi lain di depo tersebut telah mengajarinya cara melipat koran, memisahkan komponen kaset, dan mengerjakan tugas-tugas lainnya. Ia menunjukkan pada saya betapa mahirnya ia melakukan tugas-tugas yang tampak mustahil bagi seorang tunanetra. Sebagai contoh, ia menunjukkan caranya memilah botol menurut jenisnya. Ia mengambil sebuah botol bir kosong dan menggerakkan jari-jarinya di atasnya, meraba tutup, permukaan botol, label, dan bagian bawah botol. Lalu ia menyatakan hasil penilaiannya, “Ini adalah botol bir Taiwan, labelnya lebih besar dari yang lain.” Ia mengulang prosedur yang sama terhadap beberapa botol lain dan menjelaskan penilaiannya secara berurutan, “Yang satu ini memiliki dasar bulat, jadi ini botol bir Tsingtao; yang ini bentuk botolnya lebih panjang, jadi ini botol Kirin Ichiban; dan bentuk lengkung di dasar botol ini berarti...” –ia berhenti sejenak untuk memberi efek jeda–“Heineken.” Saya terkagum-kagum saat ia selesai, setiap tebakannya selalu tepat.

Meski Qu sendiri tidak minum bir, ia bisa mengalahkan seorang pecandu alkohol dalam permainan menentukan merek botol. Ia tersenyum lebar di akhir demonstrasinya itu. Kebahagiaan dan rasa puas dirinya itu membuat saya sulit membayangkan bahwa sebelum ia mulai menjadi relawan di depo pelestarian lingkungan delapan tahun lalu, hidupnya diselimuti awan tebal yang membuat dunianya semakin gelap.

Mengerjakan daur ulang telah mengubah Qu dari orang yang sangat tertekan menjadi seorang yang

telah menemukan kembali makna hidupnya. “Dalam hidup saya, saya berutang rasa terima kasih pada banyak orang. Tapi perihal keterlibatan saya dalam daur ulang ini, pertama-tama saya harus berterima kasih pada Wu Xiu Yu,” kata Qu, menunjuk wanita mungil yang duduk di sampingnya. “Dia membantu saya keluar dari isolasi diri saya di rumah, dan memperkenalkan saya pada dunia daur ulang.”

Qu adalah warga negara Korea keturunan Tionghoa. Ia dulu tinggal di Incheon, Korea, tetapi sekarang telah menjadi penduduk Kaohsiung, Taiwan selatan. Demam tinggi saat ia masih kecil

Kisah Humanis

23Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi22 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

telah merusak saraf penglihatannya. Pada awalnya, meski penglihatannya lemah, Qu masih bisa melihat bentuk dan warna. Ia bisa melihat langit yang biru, rumput hijau, dan bunga yang berwarna-warni. Ia bisa membedakan antara serangga, ikan, dan burung. Namun, secara bertahap gambaran-gambaran itu semakin kabur, dan warna-warna menjadi semakin gelap dan gelap. Ia benar-benar buta pada saat berusia 27 tahun.

Jatuh ke dalam kebutaan total telah membuatnya hancur. “Saya hanya ingin mati,” kata Qu. Senyumnya langsung berubah menjadi wajah penuh

kesedihan. “Rasa sedihnya tak dapat digambarkan,” sekitar sepuluh kali ia mengulangi pernyataan ini. Dibandingkan dengan mereka yang buta sejak lahir dan yang tidak mengetahui keindahan yang hilang dari mereka, rasa kehilangan Qu itu menjadi jauh lebih sulit diterima. Ia telah melihat keindahan dunia sebelum semua itu diambil darinya untuk selamanya. Rasa kehilangan yang luar biasa menggerogotinya tanpa henti dan tanpa ampun.

Bersamaan dengan ketiadaan penglihatannya, hilang pula kemampuannya untuk melakukan hal-hal sederhana sehari-hari. “Toilet di rumah saya di Incheon

Naskah: Chen Shi HuiFoto: Huang Shi Ze

KERJA SAMA. Sewaktu Qu Su Min meraba, melipat, dan menumpuk koran-koran lama, Wu Xiu Yu membantu secukupnya.

25Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi24 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

adalah tipe tradisional, di mana kita harus berjongkok di atasnya dan bukan duduk di kursi toilet,” kata Qu. “Bentuk itu menjadi tantangan bagi saya. Karena saya tidak bisa melihatnya, maka saya bisa saja terpeleset ke dalamnya.” Ini hanyalah salah satu contoh ketidaknyamanan yang disebabkan kebutaannya. Qu pun harus belajar dari awal lagi untuk melakukan hal-hal lainnya. Aktivitas rutin seperti makan, minum, atau berpakaian tiba-tiba menjadi rumit dan membuat frustrasi.

Qu selalu merasa bangga akan kemandiriannya selama ini, tetapi kini ia harus bergantung pada orang lain dalam hampir semua kebutuhannya. Rasa frustrasi dan kehilangan harga diri memperdalam depresinya dan membuatnya terpuruk. Karena ikut merasakan kesedihan putrinya, sang ibu membawa Qu ke dokter untuk menjalani perawatan, yang mana hanya membuat Qu kecewa lagi dan lagi ketika para dokter itu memberitahunya bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk menyembuhkannya.

Pada tahun 1990, ketika Qu berusia 31 tahun, seorang kerabat mengenalkannya pada seorang pria di Taiwan, seorang veteran yang tiga puluh empat tahun lebih tua darinya, yang kemudian menjadi

suaminya. Meskipun laki-laki itu jauh lebih tua, ia menghargai Qu. Dua tahun kemudian, Qu melahirkan anak tunggal mereka.

Dari luar, Qu tampak sebagai seorang ibu dan istri yang memadai. Ia mampu memasak untuk keluarganya, mencuci pakaian, dan memenuhi kebutuhan anaknya. Tapi jauh di dalam hati, ia memikul beban berat. Kenyataan pedih bahwa ia tak akan pernah dapat melihat anaknya sungguh membebaninya. “Saya sangat menyayangi putra saya,” kata Qu, “keinginan saya yang terbesar adalah dapat melihat wajahnya. Tetapi ketika saya menghadapi kenyataan bahwa harapan itu mustahil untuk terwujud, saya menjadi lebih tertekan dari sebelumnya.”

Ketika anaknya tumbuh, Qu menyadari bahwa kemunculannya bersama dengan putranya di depan umum akan menyebabkan putranya menjadi bahan tertawaan di antara teman-teman sebaya. Maka untuk melindungi harga diri putranya, Qu terus mengurung diri dalam rumah. Rumahnya menjadi penjaranya.

“Sebelum bertemu Xiu Yu, saya sering berpikir bahwa tinggal di lantai enam adalah hal yang baik,” kata Qu. Ketika saya menanyakan alasannya, jawaban Qu membuat saya benar-benar terkejut. “Karena

aku cukup melompat ke luar jendela dan mengakhiri semua penderitaan saya,” katanya.

Untungnya, seperti kata pepatah, “Tuhan selalu meninggalkan sebuah pintu yang tidak terkunci”, di saat Qu berada di jurang terdalamnya, ia bertemu dengan Wu Xiu Yu.

Tetangga dan TemanQu dan Wu bertemu sebagai tetangga. Mereka

berdua tinggal di Zuoying, Kaohsiung, di kompleks perumahan terbesar untuk personil Angkatan Laut (AL) di Taiwan Selatan. Mereka telah beberapa kali saling melihat satu sama lain jauh sebelum resmi berkenalan.

“Saya pikir Su Min terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia jarang menanggapi jika saya menyapanya,” kata Wu, “belakangan baru saya menyadari bahwa dia tidak bisa melihat.”

Demikian pula sebaliknya, penilaian awal Qu terhadap Wu pun tidak terlalu baik. Qu menganggap Wu bukanlah ibu yang baik karena ia tak pernah menunggui anaknya di tepi kolam renang selama pelajaran berenang. Ketika mereka berdua akhirnya lebih saling mengenal, Qu yang selalu berbicara terus terang, menanyakan alasannya pada Wu. Sebagai pengganti jawaban, Wu meraih tangan Qu dan memandunya untuk menyentuh kaki dan punggungnya. Qu kemudian menyadari bahwa kaki Wu mengalami kelainan dan punggungnya sangat

bungkuk –itulah penyebab Wu memilih untuk tidak mendekati kolam renang. Saat itulah mereka mulai saling berempati satu sama lain.

Khas orang-orang dari daerah asalnya, Qu tak pernah ragu untuk menyatakan pikirannya. Wu sebaliknya, lebih berhati-hati. Ketika Qu mulai berbicara dan membuat obrolan mereka semakin hangat, barulah Wu mulai menceritakan kisahnya.

Wu mengatakan bahwa ia sebaya dengan Qu, lahir tahun 1959, saat Taiwan sedang terperosok dalam epidemi polio. Wu terinfeksi ketika ia berusia sekitar dua tahun. Penyakit itu menyebabkan tubuhnya cacat dan lumpuh. Ia berhenti sekolah karena teman-temannya mengejeknya. Mereka bahkan melemparinya dengan batu. Karena hal itu, dan juga karena menempuh jarak yang jauh tidak mudah baginya, maka Wu menolak untuk melanjutkan sekolah setelah ia lulus dari sekolah dasar. “Baru belakangan ini saya mengetahui bahwa saya termasuk korban dari apa yang disebut campus bullying (penindasan antar murid di sekolah–red),” katanya, merujuk pada beberapa kasus penindasan di sekolah baru-baru ini.

Ketika Wu berbicara tentang masa lalu, ia sesekali berhenti dan memperhatikan Qu yang sedang melipat dan menumpuk koran, mengawasi beberapa detil yang mungkin terlewatkan akibat kebutaan Qu. Sesungguhnya akan jauh lebih mudah bagi Wu untuk berbicara dengan saya dalam bahasa ibunya yaitu Tai yu (bahasa daerah Taiwan), tapi dia

DUET LINGKUNGAN. Dengan keterbatasan kondisi fisiknya, tidak mudah bagi Wu untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itulah ia lebih suka melewatkan waktu dengan melakukan daur ulang dan aktivitas kerelawanan lainnya. Ia dan Wu bagaikan kaki dan mata bagi yang lain.

Menanam kebajikan di jalan Tzu Chimenjadi salah satu wujud bakti Nelly

pada orang tuanya.

MENEMUKAN DAN MENAPAKI JALAN.

Pasangan Qu dan Wu menghadiri kegiatan Tzu Chi di Aula Jing Si

Kaohsiung. Kini, tanpa terbelenggu oleh keterbatasan fisik mereka, pasangan ini telah menemukan

sebuah jalan yang lapang dalam kehidupan.

27Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi26 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

bersikeras menggunakan Mandarin agar Qu bisa ikut mendengarkan.

Ada sebuah lagu yang ditulis oleh Huang Xiao Qi, seorang penyanyi tunanetra Taiwan, yang berjudul “You Are My Eyes” (Engkau Adalah Mataku) yang mungkin tepat menggambarkan hubungan Qu dan Wu:Engkau adalah mataku, membantuku merasakan perubahan musim.Engkau adalah mataku, membawaku memasuki dan meninggalkan keramaian.Engkau adalah mataku, membacakanku bertumpuk buku.Karena engkau adalah mataku,aku melihat dunia di depan mataku.

Wu mungkin tidak dapat membacakan bertumpuk buku bagi Qu, ataupun membantunya merasakan keindahan perubahan musim, tetapi ia benar-benar telah membawa Qu memasuki keramaian dan mem-buka dunianya dengan mengajaknya melakukan daur ulang, yang dilakukannya sekurangnya tiga hari dalam seminggu.

“Su Min tidak tahu apa-apa tentang daur ulang ketika pertama kali saya mengajaknya untuk ikut serta,” kata Wu, “Dia juga merasa sangat tidak nyaman dengan keterbatasan penglihatannya. Awalnya, dia tidak terlalu tertarik untuk ikut.” Namun, Wu terus mendorongnya. Rasa ingin tahu dan dorongan untuk mempelajari hal baru membawa Qu mengambil langkah pertama untuk maju. Akhirnya ia setuju untuk mencoba melakukan daur ulang.

Tidaklah mudah bagi salah satu dari mereka untuk memulai sendirian, tetapi bersama-sama mereka dapat melakukannya dengan lebih baik. Wu memimpin jalan, dan Qu membantu meneguhkan hatinya.

PerjalananSuatu pagi, seperti hari Senin,

Kamis, dan Jumat yang lain, Qu menerima panggilan telepon di rumahnya -- itu adalah Wu yang mem-

beritahukan bahwa ia telah menunggu Qu di lantai bawah. Qu kemudian meraba sepanjang perjalanannya dari sofa, keluar melalui pintu depan dan turun dengan lift ke lantai pertama. Beberapa lama kemudian, saat ia muncul di pintu gedung apartemen, Wu mulai memberikan petunjuk arah padanya agar dapat meraih skuter. “Maju... Lagi... Berhenti! Mundur sedikit... Nah sekarang kamu bisa naik!” teriak Wu. Ketika Qu telah duduk di skuter, Wu pun bergerak memulai bagian yang lebih menantang dari perjalanan mereka.

Dengan kecepatan kurang dari 20 mil per jam, Wu menjaga agar skuter tetap ada di dekat pinggir jalan untuk menghindari pengendara lain. Meski demikian, tetap saja beberapa pengendara melewati duo ini sambil membunyikan klakson dengan tidak sabar. Suara klakson yang menusuk membuat mereka berdua lebih sering merapat ke tepi jalan. Mereka sangat lega ketika akhirnya tiba di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi di Jalan Nanping.

Wu dengan lembut mengarahkan Qu untuk turun sebelum ia sendiri melepaskan dirinya dari kendaraan dengan empat roda itu. Butuh sedikit waktu bagi mereka untuk turun dari kendaraan itu. Kemudian Wu yang bersandar pada kruknya, menggamit lengan Qu sebagai penyangga tambahan saat mereka melangkah maju bersama-sama. Dengan arahan dari Wu, pasangan ini beringsut ke depan sampai mereka tiba di posisi mereka di antara gunung-gunung kecil barang yang dibuang di depo pelestarian lingkungan tersebut. Meski belum mencapai bangku dimana mereka dapat duduk dengan nyaman, mereka telah merasa sangat rileks.

“Anda harus menulis lebih banyak tentang mereka berdua. Mereka benar-benar mengagumkan,” kata salah satu relawan di dekat mereka. Relawan lain menambahkan, “Bukan hal mudah bagi mereka untuk keluar rumah, tetapi mereka tetap datang ke sini tiga kali seminggu. Hanya orang yang benar-benar ingin mengabdi yang dapat melakukan hal itu.” Para relawan di depo pelestarian lingkungan terinspirasi oleh teladan duo ini.

Wu dan Qu merasa bahwa mereka telah menerima lebih banyak dari yang mereka berikan dengan melakukan daur ulang. “Apa yang kami lakukan di sini memang mengulang-ulang hal yang sama,” aku mereka, “tapi melakukan hal yang sama terus-menerus memiliki efek seperti mencuci dan menggosok, itu dapat menghapuskan kerisauan kita dan membantu kita berpikir jernih.”

Bagi Qu, melakukan daur ulang telah membuka pintu baru dalam kehidupannya. Ini telah mem-bangkitkan sifat optimisnya dan memberikan keberanian untuk mencoba hal baru. Contohnya, dua tahun lalu ia bertemu dengan Chen Xiu Yu, seorang guru guzheng (sitar petik tradisional Cina) ternama. Chen kemudian memberikan pelajaran musik gratis pada Qu, sesuatu yang tidak akan berani coba dilakukan Qu di masa lalu. Kepribadian Qu yang bersemangat dan kemauannya untuk berbagi juga membuatnya menjadi pembicara yang disenangi. Sekarang ia sering diundang untuk berbagi tentang perjalanannya keluar dari kesulitan hidup sebelumnya dan membantu orang lain keluar dari perangkap mental mereka.

Wu juga telah menemukan jalan hidupnya. Meskipun ia perlu melakukan beberapa pekerjaan perakitan ringan di rumah untuk menambah pendapatan keluarga, ia tidak peduli dengan keuangannya. “Menggarap ladang ber-kah lebih penting daripada mencari kekayaan duniawi. Saya masih harus menempuh perjalanan panjang di dunia daur ulang ini,” katanya.

Secara terpisah Wu dan Qu adalah dua orang yang kurang beruntung yang menghadapi banyak tantangan, tetapi secara bersama-sama sinergi mereka telah melambungkan mereka melampaui segala rintangan dan membuat mereka semakin percaya diri dan dengan mantap menapakkan kaki dalam kehidupan.

RUMAH CINTA.Depo Pelestarian Lingkungan

Tzu Chi di Nanping terasa bagaikan rumah yang hangat dan nyaman bagi Qu dan Wu.

Kekompakan mereka untuk saling menopang, menginspirasi banyak

relawan lainnya.

MENEMBUS RINTANGAN.Chen Xiu Yu (kiri) yang merupakan guru Guzheng

Qu mengajarinya untuk merasakan getaran dan ritme alat musik lewat bahu dan tangannya

sewaktu ia memainkan alat musik tersebut.

diterjemahkan oleh Ivana dari Tzu Chi Quarterly edisi Spring 2011

Saksi Pembangunan Rumah KitaTelah cukup lama para relawan Tzu Chi Indonesia merindukan “rumah” sendiri

untuk mewadahi berbagai kegiatan mereka. Tak lama lagi harapan itu akan terjawab. Para relawan pemerhati bangunan Aula Jing Si Indonesia dengan bangga

dan tekun terus mengiringi proses pembangunan rumah kita bersama.

Dua tahun telah berlalu sejak Tzu Chi Indonesia mencanangkan pembangunan Aula Jing Si di daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

Aula Jing Si merupakan tempat bersemayamnya jiwa Tzu Chi dan telah dibangun di beberapa kota di dunia. Di Indonesia, bangunan ini terdapat dalam suatu kompleks Tzu Chi Center yang juga mencakup pusat kegiatan, Sekolah Tzu Chi (Tzu Chi School), gedung operasional DAAI TV, juga ruang pameran budaya kemanusiaan Tzu Chi. Bagi relawan Tzu Chi, Aula Jing Si memiliki makna khusus sehingga proses pembangunannya pun dikelola secara khusus. Di antaranya, bahwa sejak tiang pondasi dipancangkan ada sekelompok relawan–yang disebut relawan pemerhati pembangunan Aula Jing Si–yang terus mendampingi dan mengamati proses pembangunan hingga saat ini.

Demi Rumah KitaAdalah Hardiman Tiang atau biasa dipanggil

Abun yang pertama kali diminta untuk menjadi koordinator kelompok relawan ini. Saat itu baru lewat sebulan dari pencanangan pembangunan Aula Jing Si tanggal 10 Mei 2009. Abun diminta oleh Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk membentuk dan mengepalai kelompok relawan yang tugasnya adalah menjembatani pemenuhan kriteria pembangunan Aula Jing Si yang dimiliki Tzu Chi dengan pihak kontraktor. Kriteria yang dimaksud tidak hanya mengenai wujud dan kualitas bangunan, namun juga mencakup proses pembangunannya.

Abun menerangkan perbedaan antara Aula Jing Si dan bangunan yang lain yaitu pada budaya humanis Tzu Chi. Aula Jing Si diharapkan memiliki kualitas yang baik, menampilkan keindahan budaya Tzu Chi, dan kokoh. Selain itu, bila di kawasan proyek, para pekerja bangunan umumnya memiliki budaya merokok, berjudi, juga minum minuman keras, salah

satu tugas relawan pemerhati bangunan justru men-jaga agar di kawasan proyek pembangunan Aula Jing Si bebas dari hal-hal tersebut. Relawan pemerhati bangunan juga bertanggung jawab mengingatkan para seniman bangunan–sebutan untuk pekerja bangunan Aula Jing Si–untuk menjaga keselamatan dengan mengenakan helm, memakai sepatu proyek, serta safety belt saat bekerja di ketinggian. Setiap hari relawan Tzu Chi bergiliran memasak dan menyediakan makan siang vegetarian bagi para seniman bangunan dan setiap bulan diadakan baksos kesehatan untuk memeriksa kondisi kesehatan mereka.

Saat ini, ada 40 relawan laki-laki yang tergabung dalam relawan pemerhati bangunan. Tak mudah bagi Abun untuk mengumpulkan serta membina komitmen para relawan ini. “Para shixiong kebanyakan masing-masing punya usaha sendiri, jadi mereka punya pemikirannya sendiri. Maka kita harus tahu bagaimana cara merangkul mereka,” ungkap Abun. Ia memiliki taktik tersendiri dalam mengajak para shixiong itu untuk bergabung, di antaranya yang paling ampuh yaitu dengan menggugah kesadaran mereka bahwa Aula Jing Si adalah rumah semua insan Tzu Chi. “Dengan begitu shixiong-shixiong itu akan merasa ikut memiliki dan merasa perlu ikut mengemban tugas di sana,” papar Abun lagi.

Tujuh hari seminggu, selalu ada relawan pemerhati bangunan yang piket di lokasi proyek. Mereka biasa berkumpul di Ruang Owner–sebuah kontainer yang dirancang menjadi kantor kecil di sebelah kanan bangunan Aula Jing Si. Di dalam ruangan tersebut Abun menempelkan selembar kertas berisi daftar nama relawan dan nama hari Senin sampai Minggu. Dengan begitu, relawan dapat mengisi sendiri hari piket mereka. Di samping kertas itu, tertulis visi dan misi relawan pemerhati bangunan dan ditutup dengan ucapan: “Gan en, tanpa shixiong semua misi kita tak akan terlaksana dengan baik.”

Dedikasi

Ana

nd Y

ahya

Hen

ry T

ando

(He

Qi U

tara

)A

nand

Yah

ya

28 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

arsitek atau sipil, yang penting dia punya cinta kasih dan punya hati,” tambah Bambang yang berlatar belakang seorang agen penjualan barang impor.

Dengan mengunjungi secara rutin lokasi proyek pembangunan, para relawan pemerhati bangunan ini sungguh merupakan saksi mata pembangunan Aula Jing Si Indonesia. “Rasanya seperti melihat anak kecil yang sedang tumbuh, makin lama makin besar,” kata Bambang. Mereka semua berharap Aula Jing Si nantinya benar-benar dapat menjadi rumah insan Tzu Chi dan masyarakat umum.

Mencari Titik TemuPenempatan relawan untuk memonitor mutu

hasil kerja kontraktor pembangunan Aula Jing Si tentu juga tak terhindarkan dari dilema. Terutama pada tahap awal pembangunan, cukup sulit untuk menemukan kesepakatan dan kesepahaman antara relawan dan kontraktor. Niat baik para relawan untuk menjaga agar bangunan Aula Jing Si kokoh dan memenuhi standar budaya humanis Tzu Chi seolah berbalik menjadi hal yang menyulitkan pihak kontraktor.

Di tengah usahanya menjembatani perbedaan tersebut, secara kebetulan Abun bertemu Hing Kok–relawan yang juga membuka jasa kontraktor di luar negeri–dan mengajaknya bergabung. Atas usulan dari Hing Kok, kemudian relawan dan Pulau Intan yang merupakan kontraktor yang dipercaya membangun Aula Jing Si, sepakat menggunakan sebuah Work Instruction (pedoman kerja) sebagai dasar penilaian mutu bersama. Sejak diterbitkannya buku Work Instruction yang mencakup poin-poin

yang perlu diperiksa dan standar kualitas bangunan, berbagai perbedaan pandangan pun mulai teratasi. Bahkan, setelah interaksi sekian lama, kedua pihak justru saling bersyukur.

Wendy, project manager pembangunan Aula Jing Si mengatakan sangat berterima kasih kepada relawan Tzu Chi karena Pulau Intan mendapat kesempatan untuk belajar budaya Tzu Chi, “Ini kita jadikan proyek percontohan kita, untuk menularkan budaya Tzu Chi ke proyek-proyek Pulau Intan yang lainnya ke depan.” Menurutnya perubahan paling mendasar adalah masalah kebersihan dan merokok di kalangan seniman bangunan. Sementara salah satu relawan, Andy Setioharto pun mengungkapkan, “Kita harus berterima kasih pada Pulau Intan yang sudah memberi kesempatan untuk kita belajar bersama-sama. Manfaat yang didapat kita jadi tahu apa yang semula kita tidak tahu, untuk pengecoran misalnya kita jadi tahu bahwa ternyata ada kawat-kawat yang perlu diperhatikan.”

Aula Jing Si Indonesia masih akan melalui proses panjang hingga sepenuhnya terselesaikan dan dapat digunakan para relawan serta masyarakat untuk menjalankan kegiatan kemanusiaan. Dengan tegar, relawan pemerhati bangunan Aula Jing Si bertekad untuk menuntaskan misi mereka: membantu pengawasan pembangunan rumah kita dengan motto “kokoh ribuan tahun”. ◙ Ivana

Menyaksikannya TumbuhWijaya Leomanto memilih pagi hari di Rabu

dan Jumat sebagai jadwal piketnya. Relawan yang bekerja di sebuah pabrik kancing di Depok, Jawa Barat itu memang mendapat off dari kantornya pada hari-hari tersebut. Daripada membiarkannya kosong, Wijaya memilih untuk mengisi waktu itu dengan menjadi relawan pemerhati bangunan. “Saya sih sebenarnya nggak ada ilmu dalam bidang konstruksi sama sekali. Jadi di sini kita sambil belajar, terasa fun juga,” kata relawan yang bergabung sejak Maret 2010 ini. Biasanya ia bertugas di lokasi proyek Aula Jing Si dari jam 9 sampai 11, dan kemudian bergegas menuju ke kantornya untuk bekerja sampai malam. Meski waktunya menjadi lebih padat karenanya, Wijaya sangat bahagia karena baginya bangunan Aula Jing Si sangat penting untuk menjadi tempat perenungan bagi semua relawan Tzu Chi.

Pagi itu Wijaya bertugas bersama Calvin Supargo, Andy Setioharto, Willy, dan Bambang Beng Hwa–semuanya mengenakan sepatu proyek dan helm. Jadwal mereka adalah memeriksa ubin yang telah dipasang pada lantai dasar Gedung Gan En. Dengan berbekal balok kayu, mereka menyisir lantai sambil mengetuk-ketuk untuk memeriksa kepadatan di bawah ubin. Di beberapa titik, mereka menemukan

ubin yang saat diketuk berbunyi nyaring menandakan adanya ruang kosong di bawahnya. Calvin kemudian menandai ubin dengan spidol hitam sementara Wijaya mencatat kode lokasi itu di formulir laporan yang dipegangnya. Selain lantai, mereka juga memeriksa ubin pada dinding kamar mandi. Beberapa ubin yang terpasang kurang rata kembali dicatat dan ditandai. Catatan-catatan ini akan dibawa oleh Abun ke rapat dengan pihak kontraktor.

Inspeksi berlanjut semakin ke atas, di mana ada yang sudah dipasangi ubin, dan ada yang baru dirapikan dinding bangunannya. Di salah satu bagian tampak seorang pekerja tidak memakai helmnya. Spontan Bambang memberi kode dengan mengangkat tangan dan memegang helmnya sendiri. Seniman bangunan itu langsung mengerti dan memakai kembali helm pengaman. “Mungkin karena menggunakan helm itu tidak leluasa bagi mereka, jadi kalau kita pas liat paling kita peragakan saja,” kata Bambang menerangkan. Ia juga menambahkan bahwa karena tugas mereka adalah menjaga budaya humanis Tzu Chi, jadi tidak setiap relawan pemerhati bangunan harus memiliki latar belakang kontraktor. “Kita kan bisa ikut yang umum, misalnya mengingatkan untuk jaga kebersihan atau keamanan. Kalau untuk itu kan tidak butuh latar belakang harus dari bidang

MENJADI JEMBATAN. Relawan pemerhati bangunan Aula Jing Si sepenuh hati berupaya menjaga budaya humanis Tzu Chi di lokasi proyek pembangunan serta memberi perhatian pada para seniman bangunan.

SAKSI PEMBANGUNAN. Sekitar 40 relawan pemerhati bangunan Aula Jing Si inilah yang menjadi saksi “pertumbuhan” calon pusat kegiatan Tzu Chi di Indonesia.

Anand Yahya

30 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 Henry Tando (He Qi Utara)

SemangatMewariskan KemurahanHatiNaskah : Apriyanto

Siang itu terasa panas dan lengket oleh cahaya matahari yang menyengat. Jalanan yang berdebu dan berangkal batu membuat perjalanan terasa berat karena keringat yang terus mengucur serta debu yang menyesakkan dada. Tapi Biksu Piyasilo dengan langkah yang mantap meneruskan perjalanannya mengunjungi para umat yang telah lama menantikannya.

Sebagaimana daerah pesisir lainnya, Teluk Naga memiliki lahan yang kering dengan pertanian yang umumnya berladang. Tanah kering ber-

warna keputihan, kali-kali dangkal berair keruh sesak oleh tanaman gulma. Rumah-rumah berdinding bilik beratapkan seng atau berdinding bata beratapkan genting tanah yang kusam, menjadi pemandangan yang mudah dijumpai di daerah ini.

Masyarakat di daerah ini masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan menjadi permasalahan serius di daerah ini. Belum lagi masalah anak-anak yang putus sekolah, hidup di

jalanan, dan mencari nafkah sebagai petugas parkir motor.

Biksu Piyasilo yang bernama asli Lie Yan Tjoan adalah anak ke-6 dari 9 bersaudara. Ayahnya Gouw Tjun Yang telah meninggal saat Yan Tjoan berusia 28 tahun. Tinggallah Lie Yap Moy ibunya yang berperan sebagai orang tua tunggal ketika itu.

Sejak kecil hingga berusia 28 tahun, Yan Tjoan yang beragama Buddha belum pernah mempelajari Dharma (ajaran Buddha) terlebih memahami esensi-nya. Lalu, hampir seperti sudah diatur, terjadi peristiwa yang nyaris merenggut nyawa Yan Tjoan.

Inspirasi Kehidupan

Selama berhari-hari ia menderita sakit tipus. Demam yang begitu tinggi membuat tubuhnya kian hari kian lemah dan bayang-bayang kematian seolah datang menghampirinya. Peristiwa itu ter-nyata telah menorehkan rasa takut dan khawatir di hatinya. Takut akan kematian, takut akan neraka. “Buruk sekali, sangat menakutkan. Kalau waktu itu saya meninggal, mungkin saya akan terlahir di alam setan,” kenangnya. Dan setelah melihat hiruk pikuk kehidupan duniawi yang berakumulasi dalam pergulatan batin akhirnya Yan Tjoan membulatkan tekad untuk menjadi seorang biksu.

Pengasingan diri membuat Yam Tjoan semakin mantap memilih hidup sebagai seorang biarawan di Thailand, hingga tak pernah terpikirkan lagi olehnya untuk kembali ke Indonesia. Namun jodoh berkata lain. Dari Indonesia ia mendapatkan berita kalau kakaknya yang ke-5 meninggal dunia dan ia harus menghadiri upacara pemakamannya.

Sebagai seorang biarawan, Biksu Piyasilo (nama baru Yan Tjoan-red) hidup dengan hampir sepenuhnya bebas dari harta benda. Maka saat tiba di Indonesia, ia tidak lagi bisa tinggal bersama keluarga dan harus tinggal di sebuah wihara. Dengan tinggal di wihara

MENEBAR CINTA KASIH. Secara rutin sebulan sekali Biksu Piyasilo pergi mengunjungi dusun-dusun terbelakang di Kampung Melayu untuk membagikan sembako.

33Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi32 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Hok

Cun

itulah Biksu Piyasilo kemudian memahami derita yang dialami oleh masyarakat Kampung Melayu. Kemiskinan, masalah anak jalanan, kekurangan tenaga pengajar, dan sikap apatis terhadap biarawan membuat ia ter-panggil untuk tinggal lebih lama di Indonesia. Dan setelah meminta izin dari gurunya di Thailand akhirnya ia menetap di Indonesia dengan membawa satu tujuan: membantu masyarakat di Kampung Melayu.

Cara Sederhana Mengatasi KesulitanCara termudah dan terbaik untuk mengatasi

kesulitan hidup adalah dengan beramal dan membekali diri dengan pengetahuan. Beramal dapat memberikan kebahagiaan bagi seseorang dan menghilangkan ketamakan dalam dirinya. Sedangkan pengetahuan akan memberikan pandangan yang luas. Pesan inilah yang terus didengungkan oleh Biksu Piyasilo kepada sejumlah masyarakat di Kampung Melayu, Tangerang, Banten.

Kepada umat Buddha yang hidup dalam kemiskinan, Biksu Piyasilo menyarankan agar mereka

selalu berdana atau berbagi setiap hari. “Setiap hari mereka berdana, setiap hari pula mereka menanamkan jasa kebajikan,” kata Biksu Piyasilo

Tanpa membeda-bedakan miskin dan kaya setiap hari, pagi dan siang, Biksu Piyasilo mendatangi rumah-rumah umat Buddhis di Kampung Melayu. Tujuannya adalah melatih kemurahan hati mereka dan mengikis kekotoran batinnya. Setiap kali pindapatta, (meminta dana makanan dari umat) Biksu Piyasilo selalu mendatangi rumah yang terburuk di daerah itu, lalu menerima persembahan dari mereka. Selain menanamkan sikap murah hati, Biksu Piyasilo juga mengajarkan bagaimana mengatasi kesulitan batin dan membentuk pribadi yang luhur melalui nasihat bijak.

Lama-kelamaan umat-umat yang sering di-datangi oleh Biksu Piyasilo merasakan manfaat dari kegiatan ini. Mereka lebih merasa bahagia dan mudah ikhlas walaupun kehidupan mereka masih dalam kekurangan. Antusias masyarakat akhirnya menjadi tinggi. Semakin hari, semakin bertambah

MEMETIK PELAJARAN. Melalui kegiatan bakti sosial Biksu Piyasilo bermaksud menanamkan kemurahan hati dan kepedulian para umat Buddha kepada sesama di Kampung Melayu tanpa memandang perbedaan suku, agama, dan ras.

jumlah keluarga yang ikut berpartisipasi dalam acara itu. “Inilah cara terbaik untuk mengangkat kehidupan ekonomi mereka. Tetapi caranya bukan memberi kepada mereka, melainkan mereka harus memberi. Sebab dengan berdana mereka akan mendapatkan jasa pahala yang besar,” terang Biksu Piyasilo.

Berita ini pun akhirnya tersebar ke desa-desa di Kampung Melayu. Umat-umat yang penasaran dan ingin memperoleh sejumput kebahagiaan batin banyak yang berkunjung ke kuti (pondok tinggal) Biksu Piyasilo. Bahkan banyak dari mereka yang mengundang Biksu Piyasilo untuk makan bersama di desa mereka.

Kebiasaan ini ternyata telah membentuk gaya hidup baru pada umat Buddha di Desa Kampung Melayu. Makanan yang berlimpah dari para umat yang berdana, mereka manfaatkan untuk membangun keakraban–makan bersama, bercengkrama bersama. Bahkan tidak sedikit umat-umat yang sebelumnya tidak saling kenal menjadi akrab dan saling bertukar bantuan berkat situasi itu. Imbasnya para umat

dari desa-desa yang pernah disinggahi oleh Biksu Piyasilo menjadi saling kenal, saling akrab, dan saling memberi bantuan.

Makanan-makanan kering dalam kemasan yang berlimpah pun didanakan kembali oleh Biksu Piyasilo kepada anak-anak jalanan atau keluarga-keluarga non Buddhis yang tak berpunya. Semuanya dikemas dalam bentuk paket sembako yang dibagikan setiap satu bulan sekali. Bekerja sama dengan Hok Cun relawan Tzu Chi, Biksu Piyasilo semakin aktif melancarkan kegiatan sosialnya. Selain di Kampung Melayu, paket sembako juga ia bagikan kepada pasien-pasien yang ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, panti asuhan, dan warga tak berpunya di daerah Bogor.

Perbuatan Bajik Lewat Daur UlangSebagai seorang yang memilih hidup dalam

pengasingan, Biksu Piyasilo merasa simpati terhadap aktivitas sosial Tzu Chi, terutama daur ulang. Maka setiap kali ia mengajar meditasi, Biksu Piyasilo mengimbau kepada siswa meditasi agar menambah

HIDUP RUKUN. Berdana makanan menjadi saat-saat membangun gotong royong, keakraban dan persaudaraan antar sesama warga di Kampung Melayu.

35Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi34 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Hok

Cun

Anand Yahya

perbuatan bajik mereka melalui pelestarian ling-kungan. Tidak lupa ia juga menerangkan, bahwa dengan mengumpulkan sampah daur ulang se-seorang telah berbuat kebajikan. Sebab sampah yang didonasikan ke Tzu Chi akan digunakan kembali untuk membantu masyarakat yang tidak mampu.

Pada pertemuan berikutnya, ketika kelas meditasi kembali diadakan para pesertanya sudah siap mendonasikan barang-barang daur ulang yang mereka kumpulkan sendiri. Bahkan salah satu peserta yang biasanya menjual sendiri barang-barang daur ulangnya kini melalui penjelasan Biksu Piyasilo, dengan sukarela memberikan sampahnya kepada Tzu Chi. Setelah terkumpul cukup banyak, Biksu Piyasilo menyerahkan barang-barang daur ulang ini kepada Hok Cun untuk didonasikan kepada Tzu Chi. Dan kebiasaan ini terus berlangsung hingga saat ini.

Dengan menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada masyarakat, Biksu Piyasilo berharap kelak masyarakat di Kampung Melayu bisa berubah ke tingkat ekonomi yang lebih baik. Sebagaimana daerah Isan di Thailand. Daerah yang semula tertinggal tersebut kini

mengalami kemajuan yang sangat pesat, lantaran masyarakatnya gemar berbuat kebajikan. “Dahulu daerah itu terbelakang. Daerah minus. Kehidupan perekonomian warga kurang berkembang. Tetapi karena ada sebab baik akhirnya Isan berkembang seperti sekarang. Karena umat tanpa mereka sadari, mereka menanam kebajikan dan itu dilakukan dengan bahagia. Lama-lama kebajikan yang mereka lakukan menjadi banyak dan seperti yang kita lihat sekarang, Isan sudah sangat maju,” terang Biksu Piyasilo.

Setidaknya dari kebiasaan berbuat baik ini Biksu Piyasilo berharap masyarakat di desa-desa Kampung Melayu memperoleh sejumput kebahagiaan batin.

Begitu banyak masyarakat tidak mampu di desa Kampung Melayu. Tetapi Biksu Piyasilo tidak pernah patah semangat untuk terus menyusuri pelosok-pelosok kampung di desa itu, menemukan keluarga yang tak berpunya membimbingnya dan mengajari cara pandai memanfaatkan hidup untuk berbagi terhadap sesama. “Saya ingin mengubah mereka menjadi pandai memberi bukan pandai menerima,” tandasnya. ◙

37Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi36 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

MENGASAH EMPATI. Biksu Piyasilo menanamkan kemurahan hati pada masyarakat melalui memberi dengan ikhlas meski mereka tak berpunya (atas). Biksu Piyasilo selalu tinggal di tempat-tempat berbeda di Kampung Melayu. Setiap tempat yang ia datangi, selalu ia terapkan kebiasaaan pindapatta (bawah). TURUN LANGSUNG. Bersama Hok Cun, relawan Tzu Chi, Biksu Piyasilo mengunjungi Kampung

Dadap Kamal. Ia merasa antusias pada Tzu Chi, karenanya ia menganjurkan murid-muridnya untuk mengumpulkan sampah daur ulang dan disumbangkan ke Tzu Chi.

Apr

iyan

to

Ana

nd Y

ahya

Hok

Cun

Plastik adalah benda yang menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kehidupan sehari-hari, plastik banyak digunakan diantaranya sebagai pembungkus

makanan, minuman, obat-obatan, sabun, detergen, minyak, dan lain-lain. Kepraktisan dalam penggunaannya menyebabkan plastik menjadi pilihan banyak orang, meski plastik merupakan salah satu benda yang tidak ramah lingkungan karena sulit diurai oleh tanah -- butuh waktu ratusan tahun agar plastik bisa terurai secara alamiah. Dan satu-satunya cara yang paling baik untuk menangani sampah plastik adalah dengan mendaur ulangnya.

Tapi tahukah Anda kalau banyak jenis plastik yang berbahaya bagi kesehatan, khususnya jika digunakan sebagai media pembungkus makanan. Jenis-jenis plastik dapat digolongkan berdasarkan kandungan bahan kimia yang ada pada plastik tersebut dan bahan pembuatannya.

MemilahSampah Plastik

Ruang Hijau

1. PETE atau PET (Polyethylene Teraphthalate)Biasanya jenis plastik ini berupa botol transparan dan tembus pandang seperti botol air mineral ataupun botol minuman sari buah. Botol jenis ini sebenarnya hanya sekali pakai saja dan tidak dapat digunakan sebagai tempat air minum dalam keadaan panas, karena zat kimia yang terdapat pada plastik jenis ini dapat luntur dan bila termakan ataupun terminum sangat berbahaya bagi kesehatan. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 1)

2. HDPE (High Density Polyethylene)Plastik jenis ini sama dengan jenis PETE, dan biasanya diproduksi dalam bentuk botol sebagai wadah minuman, detergen, sabun cair dan bedak. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 2)

3. V atau PVC (Polyvinyl Chloride)Plastik jenis ini sangat berbahaya bila digunakan sebagai pembungkus makanan, karena kandungan zat berbahaya yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah luntur bila terkena panas dan makanan yang banyak mengandung minyak. Kita perlu waspada, dalam penggunaan sehari-hari, masih banyak dijumpai untuk wadah ataupun pembungkus makanan dan minuman. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 3)

4. LDPE (Low Density Polyethylene)Jenis plastik ini biasa digunakan untuk wadah makanan atau minuman, ciri khusus dari plastik jenis ini adalah lembek namun memiliki daya elastis yang cukup kuat. Jenis plastik ini tergolong baik untuk pembungkus ataupun wadah makanan, karena bahan kimia yang terdapat di dalamnya tidak mudah luntur ataupun larut meskipun digunakan untuk pembungkus makanan ataupun minuman dengan suhu tinggi. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 4)

5. PP (Polypropylene)Plastik jenis inilah yang tepat bila digunakan untuk pembungkus ataupun wadah makanan dan minuman karena tidak memberikan efek yang besar bagi kesehatan manusia, sehingga sangat cocok bila digunakan untuk tempat makanan bagi bayi. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 5)

6. PS (Polystyrene)Plastik jenis ini lebih dikenal sebagai Styrofoam, dan di dalamnya terdapat bahan kimia jenis Styrine yang sangat berbahaya bagi otak dan sistem syaraf. Jadi plastik jenis ini sebenarnya tidak layak bila digunakan untuk wadah makanan ataupun minuman. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 6)

7. Other (Polycarbonate)Plastik jenis ini juga baik untuk pembungkus makanan dan minuman, karena tahan terhadap panas dan dapat digunakan berkali-kali. Biasanya plastik ini digunakan untuk pembungkus makanan, minuman energi ataupun minuman kesehatan dan lain-lain. (Kode untuk plastik jenis ini adalah 7)

Kode dari jenis plastik pembungkus ataupun botol minuman anda, dapat dilihat pada bagian bawah botol, kode plastik tersebut biasanya berada dalam gambar segitiga.

Selain berbeda manfaat, ternyata plastik-plastik ini juga memiliki perlakuan yang berbeda saat didaur ulang. Menurut Polin, relawan Tzu Chi yang aktif di depo pelestarian lingkungan Tzu Chi, jenis plastik yang bermacam-macam ini juga memiliki harga yang berbeda-beda saat akan dijual ke pengepul. “Makanya kita pisahkan dulu berdasarkan jenisnya. Jerigen sendiri, botol plastik sendiri, dan lainnya,” kata Polin, “dari botol plastik itu kita pilah lagi, dari warnanya dan tutupnya dipilah lagi.” Pemilahan ini sendiri sesuai dengan permintaan dari pihak pembeli dan agar plastik yang diolah kembali tersebut memiliki kualitas, jenis, bahan, dan warna yang sama. Hampir semua jenis plastik bisa didaur ulang, tak terkecuali kantong plastik .

Jadi, jangan buang dulu sampah-sampah plastik Anda, karena setiap benda pada dasarnya dapat digunakan/diolah kembali. Untuk memudahkan proses pemilahan sampah, sebaiknya sampah-sampah organik dan non-organik dipilah sesuai jenisnya. Mari bantu upaya pelestarian lingkungan dengan memilah sampah dari sumbernya (rumah tangga). Dari berbagai sumber, disadur oleh Hadi Pranoto

Ria

di P

raci

pta

(He

Qi B

arat

)

38 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Foto

: Ana

nd Y

ahya

Berikut jenis-jenis plastik dan kodenya yang sering kita jumpai sehari-hari:

batin, merefleksikan diri, dan melenyapkan ke-gelapan batin.

Acara dilanjutkan dengan pradaksina (meditasi berjalan). Pada prosesi ini, kekhusyukan dan antusias para peserta nampak dalam setiap langkah dalam barisan yang rapi. Sebelum meditasi berjalan dilaksanakan, Wen Yu (pembawa acara hari itu) menjelaskan makna dari meditasi itu adalah memuja budi luhur Buddha. Dengan berjalan mengitari rupang Buddha kita berharap Buddha senantiasa ada diantara kita. Dan diharapkan Dharma (Ajaran kebenaran-red) senantiasa ada di dalam hati setiap manusia. “Semoga dalam hati setiap orang ada Buddha dan di dalam setiap perbuatan ada Dharma,” jelasnya.

Kesederhanaan yang IndahPersiapan untuk tiga perayaan besar ini telah

disiapkan oleh para relawan sejak satu minggu sebelumnya. Mulai dari melakukan survei lokasi, mempersiapkan denah dan peralatan yang dibutuhkan sampai mendekorasi tempat diselenggarakannya acara. Kali ini acara disiapkan di gedung Aula Jing Si lantai 4 untuk prosesi perayaan Waisak dan lantai 2 sebagai tempat diselenggarakannya pameran poster misi dan jejak langkah Tzu Chi.

Selain dihadiri oleh para relawan Tzu Chi, hadir pula para donatur, tamu undangan dan masyarakat umum lainnya. Peringatan ini sendiri bersifat lintas agama dan dapat diikuti oleh umat dari beragam agama. Salah seorang pengunjung yang mengikuti upacara ini, Tatiana Huang, merasa perayaan Waisak di Tzu Chi agak berbeda, namun karena juga memperingati Hari Ibu, ia pun menjadi sedih saat teringat jasa-jasa ibunya yang sempat sakit dan melakukan operasi. “Karena selama ini kadang suka agak keras sama ibu,” ungkapnya.

Para pengunjung yang hadir pun tampak antusias dan dengan seksama memerhatikan rekaman sejarah yang tertuang dalam poster-poster tersebut. “Kita jadi tahu sejarah Tzu Chi dari awal. Banyak (manfaat) yang bisa kita ambil dan menjadi tahu jika Tzu Chi itu dibangun dengan tidak mudah pada awalnya,” kata Lia, salah seorang pengunjung yang datang bersama keluarga besarnya. Begitu pula dengan seorang pengunjung yang bernama Willy. Walaupun terlambat mengikuti prosesi upacara pemandian Buddha rupang, namun ia tetap hadir datang untuk melihat pameran poster. “Pameran ini bagus, mendidik, dan positif,” ungkap pria yang sudah menjadi donatur Tzu Chi ini. Apriyanto/Juliana Santy

Perayaan Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia

Embun Kesejukan di Tengah Bumi

Mozaik Peristiwa

Bongkahan-bongkahan kristal indah yang tingginya tak lebih dari 40 cm itu terpajang di atas meja berenda hijau di tengah dan

sebelah luar Jiang Jing Tang, sebuah ruang yang diperuntukkan sebagai bhaktisala, bagian utama Aula Jing Si Tzu Chi Indonesia. Di tengah bongkahan kristal tersebut terpahat wujud Buddha tengah mengasihi bumi. Para relawan Tzu Chi menyebutnya sebagai Buddha rupang.

Buddha rupang dalam mazhab Tzu Chi memang berbeda dengan Buddha rupang pada umumnya. Semasa perancangan Buddha rupang tersebut, Master Cheng Yen berharap agar Buddha rupang ini menampilkan konsep agama Buddha humanis yaitu aktif terjun ke berbagai aspek kehidupan. Setelah melalui proses yang panjang dalam pembuatannya, sekarang Buddha rupang ini selalu digunakan oleh insan Tzu Chi di seluruh dunia dalam perayaan Waisak.

Membalas Budi LuhurPerayaan Waisak di Tzu Chi jatuh setiap

minggu kedua di bulan Mei. Perayaan besar yang selalu diadakan setiap tahun oleh insan

Tzu Chi di berbagai negara ini memiliki makna memperingati Hari Waisak untuk membalas budi luhur Buddha, memperingati Hari Tzu Chi Sedunia untuk membalas budi luhur semua makhluk, dan memperingati Hari Ibu Internasional untuk membalas budi luhur orang tua.

Sejak pagi hari pada 8 Mei 2011 insan Tzu Chi Indonesia telah menyambut tamu undangan, donatur Tzu Chi serta masyarakat umum dengan nyanyian dan tepuk tangan di depan tangga Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta Utara. Pada pukul 10.00, iring-iringan prosesi pemandian rupang Buddha berjalan khidmat, dengan lebih kurang 4.000 peserta dari berbagai kalangan menghadiri acara hari Waisak, hari Tzu Chi sedunia dan hari Ibu Internasional. Dengan prosesi yang terbilang sederhana para relawan dan tamu undangan berjalan beriringan menuju altar Buddha yang berasap tipis di atas kolam kecil berair wangi. Di sini para peserta menjalankan prosesi pemandian rupang Buddha dengan membungkukkan badan dan menyentuh air wangi–maknanya adalah dengan memandikan Buddha rupang sama artinya dengan menyucikan

Hen

ry T

ando

(He

Qi U

tara

)

PROSESI PEMANDIAN ruPang BUDDHA. Setelah melakukan prosesi pemandian rupang Buddha, peserta mengambil bunga yang sudah disiapkan di atas altar.

Kur

niaw

an (H

e Q

i Tim

ur)

41Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi40 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

tangan dan berperilaku jujur. Meski kehidupannya sangat sederhana Nahwari menjalani hidupnya dengan penuh kebahagiaan. Maka tatkala rumahnya yang berada di RT 005/04 Cilincing ini menjadi salah satu rumah yang terpilih untuk diperbaiki, kebahagiaan Nahrawi atau yang akrab dipanggil Pak Nah ini pun semakin besar.

Ditinggal oleh istri tercinta pada tahun 2006, Nahrawi yang sejak muda berprofesi sebagai petugas keamanan ini pun tinggal bersama ke-4 anaknya: Nani, Ribut, Narto, dan Sadin. Dengan rumah yang sempit dan kurang layak huni inilah Nahrawi beserta anak dan cucunya tinggal di gubuk yang sederhana. “Kalau hujan bukan bocor lagi, banjir. Nggak bisa tidur, nungguin air surut dan buangin ke jalan. Bukan cuma hujan aja, kalau pas air lagi pasang juga kebanjiran,” kata Nahrawi.

Kini bayangan air hujan menetes masuk ke rumahnya sudah jauh dari benaknya. Terlebih rumahnya pun sudah ditinggikan dari jalan. “Beribu gembira dah. Sebelumnya nggak kebayang bisa punya rumah kayak gini. Kata orang-orang ngimpi apa luh, Nah, bisa punya rumah gini,” terang Nahrawi.

Hampir setiap ada kegiatan kemasyarakatan di kampungnya Nahrawi selalu turun tangan membantu. Sikap Nahwari yang ringan tangan ini pula yang membuat masyarakat di sekitarnya merasa senang dan tanpa segan membantu pria yang kini menjadi pekerja lepas harian ini. “Dari mudanya baik, banyak jasanya dan membantu, jadi ketika sudah tua meski tanpa diminta warga pun langsung memberi,” terang warga lainnya. Sikap ini pula yang kemudian membawanya untuk selalu membantu setiap kali ada kegiatan pembongkaran rumah di Cilincing. Dari 43 rumah yang dibongkar termasuk rumahnya sendiri, Nahrawi hampir dipastikan tak pernah absen membantu. “Bantu terus, pokoknya selama bisa bantu kita bantu,” ungkapnya.

Di penghujung wawancara, Nahrawi dengan sigap mengambil dan mengayuh sepedanya untuk kembali ke lokasi tempat diadakannya penyerahan kunci . “Saya harus bantuin relawan (Tzu Chi) untuk bongkar tenda dan cabutin bendera,” katanya pamit.

Serah Terima Kunci Program Bebenah Kampung Cilincing, Jakarta Utara

“Rumahku, Surgaku”

Dimulai pertama kali di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat pada tahun 2006, Program Bebenah Kampung Tzu Chi terus

bergulir ke beberapa wilayah di Jakarta lainnya, seperti Kelapa Gading, Pademangan, dan menyusul Cilincing Jakarta Utara. Program Bebenah Kampung Tzu Chi ini mengusung Program “3S” (Sehat Rumah, Sehat Lingkungan, dan Sehat Ekonominya) yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tinggal di rumah yang kurang layak.

Setelah dilakukan peletakan batu pertama pada tanggal 2 April 2011 lalu, akhirnya pada tanggal 17 Juni 2011 dilakukan penyerahan kunci kepada 12 orang dari 43 penerima bantuan Program Bebenah Kampung Tzu Chi di wilayah Cilincing Jakarta Utara. Kedua belas warga yang berbahagia itu adalah Supini, Urbanus, Zainudin, Markum, Suparmi, Rian, Nastiah, Nahrawi, Suryati, Eko Budiyanto, Akun, dan Marisan. Wajah kedua belas orang ini tak dapat menyembunyikan kebahagiaan mereka tatkala menerima kunci rumah mereka yang baru.

“Kita telah menjalin jodoh yang baik hari ini dan mudah-mudahan beberapa warga sudah bisa

menempati rumah barunya,” kata Hong Tjhin, mewakili pihak Tzu Chi Indonesia, “kita akan meneruskan kembali survei di wilayah Cilincing ini karena memang masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan.” Walikota Jakarta Utara H. Bambang Sugiyono dalam sambutannya menyampaikan harapannya agar warga yang telah menerima rumah ini dapat menjaga, merawat, dan menjadi teladan bagi warga lainnya dalam menerapkan pola hidup yang baik dan sehat. “Jadikan rumah ini surganya di dunia. Kalau kita sudah menganggap rumah itu surga kita, maka kita akan hidup bahagia.” Diharapkan meskipun kondisi masyarakat di wilayah Cilincing masih banyak yang kurang mampu tetapi dengan adanya program bebenah kampung dan pola hidup yang baik dan sehat ini lingkungan dan kehidupan masyarakatnya menjadi sehat.

Pak Nah yang CeriaUsianya sudah kepala lima, tetapi sikap dan

gaya hidup Nahwari (56 tahun) tetap tak berubah. Di mata para tetangga, Nahrawi adalah sosok yang menyenangkan, dapat menghibur orang lain, ringan

Ria

nto

Bud

iman

(H

e Q

i Tim

ur)

Hadi Pranoto

KUNCI KEBAHAGIAAN. Bersama-sama warga yang lain, Nahrawi (ketiga dari kiri) menerima kunci rumahnya yang telah direnovasi dalam Program Bebenah Kampung di Cilincing, Jakarta Utara.

Ana

nd Y

ahya

43Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi42 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Hadi Pranoto

Mulainya Kegiatan Belajar Mengajar di Sekolah Tzu Chi

Hari Pertama di Sekolah Tzu Chi

Pagi hari di hari Senin 11 Juli 2011, mungkin menjadi pagi yang berbeda bagi Nicholas Andrew, siswa kelas 1 Sekolah Tzu Chi Pantai

Indah Kapuk (PIK) Jakarta Utara. Sejak pukul 05.30 WIB, Nicholas sudah bangun dari tidurnya. Ia harus bergegas mandi dan berpakaian untuk kemudian bersiap-siap berangkat bersama mamanya (Natalia) dari Kelapa Gading menuju sekolah barunya: Sekolah Tzu Chi. Sarapan pagi pun dilakukannya di dalam mobil. Upaya Nicholas tak sia-sia, berangkat dari rumahnya pukul 06.30 WIB, ia pun tiba di sekolah lebih awal dari teman-temannya. Pukul 07.00 WIB ia sudah sampai di Sekolah Tzu Chi, meski kegiatan belajar sendiri baru akan dimulai setengah jam lagi.

Datang lebih awal, kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh Nicholas dan mamanya untuk berkeliling-keliling melihat kondisi sekolah yang baru diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) RI Prof. Dr. Mohammad Nuh pada Minggu siang 10 Juli 2011. Natalia juga tampak

aktif bertanya-tanya tentang Sekolah Tzu Chi kepada para guru yang ditemuinya.

Aktivitas ini mungkin terasa berat bagi Nicholas yang sebelumnya hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di TK-nya yang juga berada di wilayah Kelapa Gading. “Kalau dulu masuknya juga agak siang, jam 8.30,” kata Nicholas yang mengaku sangat bersemangat untuk masuk ke sekolah hari itu. Menurut Natalia, meski harus bangun lebih awal dari biasanya, Nicholas justru sudah sangat siap menghadapi hari pertamanya belajar. “Dia bangun sendiri, semangat sekali untuk ke sekolah,” terang Natalia yang sengaja mengambil cuti hari itu untuk mengantar sang buah hati memasuki hari pertamanya bersekolah di sekolah dasar.

Menurut Koh Hui Ping, Direktur Sekolah Tzu Chi, “Hari pertama ini memang belum dilakukan kegiatan belajar mengajar, lebih diutamakan kepada pengenalan siswa terhadap sekolah, guru, dan juga teman-temannya.” Dengan begitu, diharapkan para siswa dapat beradaptasi dengan sekolah dan

Had

i Pra

noto

lingkungannya terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai.

Harapan Orang TuaSeperti orang tua lainnya, Natalia pun berharap

bisa memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Hal itulah yang mendorongnya menyekolahkan putranya di Sekolah Tzu Chi. “Saya berharap selain pintar secara akademik, Nicholas juga berbudi pekerti luhur, bisa menghormati, dan mencintai sesama,” ungkap Natalia. Dan tatkala Natalia melihat secara langsung kegiatan di Sekolah Tzu Chi hari itu, harapan itu rasanya tak akan sia-sia. Sejak awal masuk, murid-murid sudah diajarkan untuk bersikap santun, rapi, dan menghargai sesama, yang dicontohkan oleh para guru dan relawan komite Tzu Chi yang berbaris rapi menyambut setiap murid yang datang.

Kiprah Tzu Chi di Indonesia selama kurang lebih 15 tahun di Indonesia membuat banyak masyarakat mengenal Tzu Chi, baik dari kegiatan-kegiatan kemanusiaannya maupun visi dan misi pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Master Cheng Yen. Salah satunya adalah Uniyan, warga

Taman Palem Cengkareng, Jakarta Barat ini memilih menyekolahkan anaknya di Sekolah Tzu Chi karena ia mengetahui bahwa pendidikan di Tzu Chi sangat menekankan pentingnya memiliki sikap dan budi pekerti yang luhur. “Jadi anak-anak sejak dini sudah diajarkan untuk berperilaku dan memiliki karakter yang baik, selain juga tentunya penguasaan bahasa asing (Inggris dan Mandarin–red), “ kata Uniyan.

Hal lain yang menyentuh bagi Uniyan sehingga mempercayakan pendidikan Therie Yuntra Uniyan, putra pertamanya di Sekolah Tzu Chi ini adalah tentang sikap kebersamaan dan kesederhanaan, “Salah satu contohnya, di sini baik seragam, tas, maupun sepatu semua sama, nggak peduli mereka anak siapa semuanya sama.” Menurut Uniyan, hal ini sangat berbeda di sekolah lain yang dilihatnya, setiap anak seolah-olah bersaing menggunakan baju, tas, maupun sepatu terbaiknya untuk pergi ke sekolah. “Master Cheng Yen pendiri Tzu Chi sangat bijaksana, hal ini yang membuat di Sekolah Tzu Chi pun menjadi bijaksana, sama sekali tidak mengutamakan kemewahan,” tegas Uniyan yang datang bersama sang istri menemani putra mereka di hari pertamanya bersekolah. Hadi Pranoto

45Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi44 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

MENGELILINGI GEDUNG SEKOLAH. Karena datang lebih awal, Natalia (tengah) dan Nicholas berkeliling serta bertanya tentang kondisi Sekolah Tzu Chi kepada Direktur Sekolah Tzu Chi, Koh Hui Ping (kiri).

Had

i Pra

noto

Tan Soei TjoeGalang Hati, Galang Cinta KasihAda orang bijak yang mengatakan, jika ingin mendapat mendapat teman yang baik maka berkumpullah di tempat yang baik. Hal itulah yang dirasakan oleh Tan Soei Tjoe yang merasa bahwa Tzu Chi merupakan “rumah” yang cocok baginya.

Berawal dari sebuah undangan perayaan Waisak, langkah kaki Tan Soei Tjoe seolah menemukan pijakan yang tepat. Ajakan dari salah seorang

teman sekolahnya dulu membuatnya mantap melangkah di jalan Tzu Chi sekaligus menjadi murid Master Cheng Yen yang baik. Di Tzu Chi pula Tan Soei Tjoe atau yang akrab dipanggil Soei Tjoe semakin memahami bahwa berbuat baik dan menjadi bijaksana adalah sesuatu yang harus berjalan beriringan, agar perbuatan baik yang kita lakukan tidak membuat orang justru mengalami ketergantungan ataupun merasa direndahkan.

“Sebelum bergabung di Tzu Chi saya juga suka kerja sosial, cuma waktu itu kurang bijaksana. Saya sering bilang sama Hansip (petugas keamanan –red) di

rumah saya, kalau ada orang sakit atau meninggal dan butuh bantuan, tolong kasih tahu saya,” kata

Tan Soei Tjoe, “cuma waktu itu saya langsung kasih uang ke petugas keamanan itu, saya

nggak berinteraksi dengan penerima bantuan, dan nggak tahu juga siapa

yang nerima.” Setelah bergabung di Tzu Chi, Soei Tjoe pun menyadari

bahwa dalam memberikan bantuan bukan hanya materi

yang diutamakan, namun perhatian dan cinta

kasih pada penerima bantuan juga harus

dilakukan.

Para Pasien yang Berkesan Pertama kali terjun sebagai relawan di tahun

1996, Tan Soei Tjoe langsung ikut kegiatan pembagian beras dari Taiwan yang dibagikan kepada masyarakat kurang mampu di Jakarta. Seiring keaktifannya di Tzu Chi, sepulang dari Taiwan, Soei Tjoe kemudian diserahi tanggung jawab untuk menangani pasien bantuan pengobatan khusus Tzu Chi. “Dulu perusahaan belum begitu sibuk, jadi kemana aja masih gampang,” terangnya.

Semua kegiatan di Tzu Chi selalu bernilai positif dan bermakna bagi Soei Tjoe, namun pendampingan pasien pengobatanlah yang selalu memberi kesan mendalam di hatinya. “Saat kita melihat pasien itu pulih dan bangkit lagi semangat hidupnya kita juga akan merasa senang. Mereka bahagia kita juga ikut bahagia. Hal-hal seperti itu kan sesuatu yang nggak bisa dibeli dengan uang,” tandasnya. B a h k a n b e b e r a p a pasien yang pernah didampinginya sampai sekarang pun masih ada yang menelepon d a n m e m b e r i n y a ucapan selamat setiap Perayaan Tahun Baru Imlek.

Foto

: Ana

nd Y

ahya

Tan Soei Tjoe

Potret Relawan

Dok

. Prib

adi

“Terus terang saya senang sekali, mereka masih ingat saya. Kalau mereka ada yang hajatan juga mereka undang saya,” kata Soei Tjoe yang selalu menyempatkan hadir.

Melihat dan berinteraksi langsung dengan mereka yang menderita sakit dan hidup kekurangan membuat Soei Tjoe semakin mensyukuri berkah yang dimilikinya. “Kalau melihat ke atas terus kita nggak akan pernah merasa puas, tetapi kalau kita sesekali melihat ke bawah, maka kita akan sangat bersyukur karena ternyata kita jauh lebih beruntung,” ujarnya, “bukan hanya lebih beruntung dari segi materi, tubuh kita yang sehat pun menjadi satu hal yang patut disyukuri.”

Lahan Pembelajaran BatinAda banyak alasan mengapa wanita kelahiran

Medan 60 tahun silam ini merasa senang dan nyaman menjadi relawan Tzu Chi. “Karena kita bisa dapat teman yang baik. Yang kedua kita bisa melatih diri, karena kalau turun ke lapangan itu bisa menjadi pembelajaran bagi kita. Contohnya dulu kalau mau belanja saya seenak hati aja, padahal uang itu kan bisa kita pakai untuk bantu orang, kenapa kita pakai untuk foya-foya. Dulu nggak kepikiran sampe gitu, sekarang kalau mau belanja dah pegang barang juga mikir lagi, saya dah punya belum,”

ungkapnya sembari tertawa mengenang masa-masa ia suka memburu barang-barang bermerek.

Menjadi relawan di dalam sebuah “keluarga” yang besar, tentunya terkadang juga terdapat kesalahpahaman maupun hal-hal yang kurang mengenakkan, namun bagi mereka yang memang bertekad untuk melatih diri maka hal-hal tersebut tak akan mudah menggoyahkan semangat. “Pasti ada asam manisnya, kadang kita dah kerja keras, ngorbanin waktu dan tenaga, tapi tetap saja masih terlihat salah di mata orang lain. Tapi ya itu, kita mikir lagi, kita kan ikut Tzu Chi bukan buat siapa-siapa, tapi buat kita sendiri, ya akhirnya balik lagi,” tegasnya.

Begitu pula jika terjadi perselisihan dengan relawan lainnya, Soei Tjoe pun menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar. “Saat itu mungkin kita kesal, tetapi setelah itu nggak lagi, seperti kata Master Cheng Yen, ‘melangkah ke depan kita nggak usah lihat ke belakang lagi’,” ujarnya. Dalam sebuah ceramahnya Master Cheng Yen pernah mengatakan bahwa untuk menjaga keharmonisan antar sesama relawan yang perlu dikembangkan adalah sikap rendah hati, toleran, dan selalu melihat kelebihan orang lain. “Bagian yang lancip tentu akan menusuk hati, mengapa kita tidak membuatnya menjadi bulat? Kita harus membuatnya menjadi memuaskan semua pihak, harus penuh pengertian, kita juga harus senantiasa berterima kasih pada orang lain.” (Master Cheng Yen).

Anand Yahya

49Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi48 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Bagi ibu 3 anak ini Master Cheng Yen adalah sosok yang sangat anggun dan bijaksana. Meski hampir setiap tahun pulang ke “kampung halaman batin” di Hualien Taiwan, namun Tan Soei Tjoe tetap tak bisa menyembunyikan rasa harunya saat bertemu Master Cheng Yen. “Ketika bertemu Master Cheng Yen selalu terharu dan ingin menangis. Beliau yang sosoknya begitu kecil tetapi mau memikul beban yang sangat besar bagi manusia di seluruh dunia, ini membuat saya bertekad untuk menjadi murid yang baik dan melakukan apa yang beliau ajarkan,” tegasnya. Dan ajaran Master Cheng Yen inilah yang turut mengubah sikapnya, terutama dalam hal berbakti kepada kedua orang tua. “Dulu saya anggap kalau sudah ngasih uang ke orang tua rasanya sudah cukup, tetapi setelah ikut kegiatan Tzu Chi beda, kita sama orang tua lebih perhatian, ngajak ngobrol dan lebih sering mengunjungi mereka,” ungkap Soei Tjoe.

Memulai Usaha dari NolMenikah pada tahun 1976, awalnya kehidupan

ekonomi Tan Soei Tjoe dan suaminya Toh Siang Heng tak terlalu baik. Mengandalkan keterampilannya dalam hal pembukuan, Tan Soei Tjoe pun merantau ke Jakarta pada tahun 1979 dan bekerja di sebuah perusahaan di Tangerang. Toh Siang Heng sendiri mencoba membuka bisnis kecil-kecilan bersama teman-temannya.

Dari buah perkawinan mereka pasangan ini dikaruniai 3 anak: Veronica (34 tahun), Andrew S. (27 tahun), dan Elisha S. (25 tahun). Kini kedua anak perempuannya tinggal di negeri orang bersama suami mereka. “Ada yang di Amerika dan Kanada,” terang Soei Tjoe. Sementara putranya sendiri tinggal di Jakarta dan sempat membantu menjalankan bisnis kedua orang tuanya sampai kemudian membuka usaha sendiri. Mulai dari suami dan anak-anaknya, tidak ada yang berkeberatan jika istri dan mama mereka aktif di Tzu Chi. “Mereka sudah tahu saya suka Tzu Chi,” tegasnya. Hanya jika saat anak-anaknya sedang berkunjung dan berada di Indonesia maka Tan

Soei Tjoe pun praktis mengurangi aktivitasnya di Tzu Chi. “Kalau mereka pas di Jakarta terus saya malah nggak di rumah nanti mereka protes, ‘dah jauh-jauh datang malah Mamanya nggak ada’,“ cerita Tan Soei Tjoe sambil tersenyum.

Menjadi relawan Tzu Chi yang aktif sekaligus menjadi pengusaha yang cukup sukses di bidangnya mungkin menjadi kombinasi sempurna yang tidak selalu dimiliki oleh orang lain. Secara terbuka Soei Tjoe menceritakan perjalanan bisnis yang dirintis bersama suaminya hingga sukses seperti sekarang. “Kita usaha dari nol. Modalnya cuma 2 juta rupiah, sewain gudang dan masukin barang. Kemudian suami saya diajak temannya untuk usaha ekspedisi dan kami coba. Ternyata berhasil dan jalan sampai sekarang,” paparnya.

Ada satu prinsip dalam berusaha yang menurut Tan Soei Tjoe harus dimiliki oleh setiap orang, yaitu kejujuran. “Kepercayaan itu paling penting dalam usaha apapun. Kami juga sering dengar Ceramah Master Cheng Yen untuk selalu jujur dan menjadi orang yang baik, jadi ketika ada ‘keinginan aneh-aneh’ agar keuntungan makin berlipat ganda, kami selalu ingatkan itu, jadi kebawa dalam setiap langkah kami,” tegasnya.

Toh Siang Heng sendiri belum aktif menjadi relawan Tzu Chi, namun ia selalu mendukung istrinya mengikuti kegiatan Tzu Chi. Bahkan saat Soei Tjoe diam-diam “memindahkan” sejumlah besar tabungan mereka untuk disumbangkan ke Tzu Chi, Toh Siang Heng pun memakluminya. “Waktu itu saya ragu, apakah suami saya izinkan atau tidak. Saat itu yayasan sedang membutuhkan dana pembangunan, jadi saya langsung sumbangin ke Tzu Chi,” ungkap Soei Tjoe sembil tertawa. Soei Tjoe bisa leluasa mengeluarkan dana karena memang urusan keuangan perusahaan ditangani olehnya.

Soei Tjoe terkejut karena reaksi suaminya cukup positif ketika mengetahui uang mereka digunakan Soei Tjoe untuk sumbangan Rong Dong (komite

MEMBIMBING TUNAS MASA DEPAN. Tahun 1996 Soei Tjoe aktif sebagai relawan Tzu Chi yang membantu biaya pendidikan anak-anak jalanan yang dibina oleh Yayasan Kasih Mandiri. Ia sangat bahagia ketika melihat anak-anak asuhnya itu tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.

Sut

ar D

ok. T

zu C

hi

51Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi50 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

kehormatan yang menyumbangkan uang sebesar 1 juta NT atau 300 juta rupiah). “Dia nggak marah, jadi untuk yang ketiga dan keempat saya nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi,” ujarnya. Bahkan sumbangan Rong Dong itu pun salah satunya tercatat atas nama sang suami.

Menumbuhkan Bibit Kerelawanan di Perumahan Cinta Kasih

Sebagai relawan yang hadir di masa-masa awal Tzu Chi di Indonesia, Soei Tjoe paham betul lika-liku dan perkembangan Tzu Chi Indonesia, khususnya saat tahun 2002 dimana kala itu Tzu Chi membangun perumahan bagi warga yang terkena relokasi bantaran Kali Angke. Prinsip Tzu Chi bukan hanya membantu dari segi fisik dan materi saja, namun juga membantu para penerima bantuan untuk memulihkan kehidupannya dan memiliki keinginan untuk mem-bantu sesama. Berkat ketulusan dan kegigihan Soei Tjoe dan relawan lainnya, kini di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi telah bermunculan bibit-bibit kerelawanan yang membuat warga yang semula dibantu kini turut bersumbangsih membantu sesama. “Sebenarnya ide awal pembentukan relawan di rusun ini datang dari Su Hui Shijie (seorang relawan Tzu Chi asal Taiwan–red),

namun karena kendala bahasa akhirnya saya yang bisa lebih mudah berbaur dan berinteraksi dengan mereka,” kata Soei Tjoe.

Pelan-pelan Soei Tjoe merangkul dan mengajak warga mengikuti kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Mulai dari kunjungan kasih sampai pendampingan bagi warga penerima bantuan program Bebenah Kampung Tzu Chi di Kampung Belakang, Kamal, Jakarta Barat. “Mereka malah bisa menginspirasi warga di sana, karena mereka kan punya pengalaman hidup yang hampir sama dengan warga di Kampung Belakang,” ujarnya. Kini rutin sebulan sekali para relawan dari Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi datang untuk menggalang dana dan hati di wilayah Kampung Belakang. Awalnya Soei Tjoe pun merasa risih dan sungkan saat mencoba menggalang dana kepada warga di Kampung Belakang, terlebih setelah melihat kehidupan warga di sana yang minim. “Saya datangi mereka setiap bulan, tapi bukan untuk minta sumbangan, melainkan memberi perhatian. Suatu saat saya pancing mereka untuk jadi donatur Tzu Chi, eh ternyata mereka mau, dari situ saya jadi tambah semangat,” kenangnya. Bahkan ada warga yang bersedia menyumbang dalam jumlah besar, namun disarankan oleh Soei Tjoe untuk sesuai dengan kemampuannya saja. “Yang penting

kan keikhlasan dan rutin berdananya,” terangnya. Tujuan dari penggalangan dana ini sendiri tak lain untuk menumbuhkan rasa syukur warga sekaligus juga menanam pahala baik bagi mereka. “Seperti Master Cheng Yen bilang sebaiknya warga yang dibantu juga dapat bersumbangsih sebagai bekal pahala mereka,” tegas Soei Tjoe, “supaya mereka juga tahu bahwa dengan uang seribu atau dua ribu itu bisa untuk membantu orang lain. Saya berharap mereka tumbuh keinginan untuk memberi, tidak hanya menerima saja.”

Tidak mudah untuk mengajak warga Perumahan Cinta Kasih melakukan kegiatan amal kemanusiaan, sementara di sisi lain mereka sendiri masih harus berjuang memperbaiki kehidupan ekonominya. Hanya cinta kasih dan tekad yang kuatlah yang bisa membawa para warga ini meleburkan diri dalam misi kemanusiaan. “Dulu orang mungkin menyangka saya ngasih apa ke mereka, tetapi sebenarnya nggak, karena yang mereka butuhkan sebenarnya adalah cinta kasih yang tulus,” ungkap Soei Tjoe. “Saya sama relawan manapun sama, kalau saya mau pergi kemana saya cuma siapin makanan, cuma segitu aja, nggak ada perlakuan khusus,” jelasnya.

Tak heran jika warga Perumahan Cinta Kasih menganggap Soei Tjoe layaknya kakak mereka. “Kadang mereka kalau ada kesulitan bilang ke saya, kalau saya bisa saya bantu. Tetapi mereka tetap bayar kok, saya (juga) nggak mau mereka menjadi manja,” katanya, “seperti di Dadap, ada yang pinjam 100 ribu buat bikin akte anaknya, ya saya pinjamin, dan mereka bayar. Saya didik mereka untuk membayar walaupun dengan cara mencicil.”

Pernah juga Sofie Shijie, seorang relawan di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi saat itu “kepepet” untuk membayar uang kuliah anaknya. Oleh Soei Tjoe pun diberikan. Karena untuk biaya pendidikan dan masa depan anak itu dan keluarganya, Soei Tjoe pun sudah mengikhlaskan: dibayar syukur, tidak pun tak apa-apa. Tapi tanpa disangka, saat anak itu lulus kuliah dan bekerja, uang itu pun dikembalikan kepadanya. “Saya sangat terharu, saya langsung cerita ke orang-orang, padahal waktu dia (Sofie) pinjam saya

nggak ngomong-ngomong,” kata Soei Tjoe bangga, “jadi kedekatan saya dengan mereka (warga rusun) bukan dibangun dengan uang.”

Sebagai Wakil Ketua komunitas relawan He Qi Barat, Soei Tjoe merasa perlu mengajak semua relawan, khususnya di wilayah He Qi Barat untuk dapat pulang ke kampung halaman batin insan Tzu Chi di Hualien, Taiwan. “Karena kami sendiri merasa kalau dah ketemu Master Cheng Yen perasaannya beda. Kalau ketemu langsung seolah-oleh kita di-charge,” tandas Soei Tjoe. Untuk itu ia pun membentuk tabungan relawan dengan tujuan agar setiap orang bisa memiliki kesempatan bertemu dengan Master Cheng Yen. Tabungan itu sendiri dipegang atas nama tiga relawan: Tan Soei Tjoe, Se Ing, dan Johnny.

Di tengah-tengah kesibukannya mengurus perusahaan, Tan Soei Tjoe masih berupaya untuk bisa menjadi “teladan” bagi relawan-relawan muda di bawahnya. Sebagai Wakil Ketua He Qi Barat ia memegang tanggung jawab yang cukup besar untuk memastikan berbagai kegiatan di wilayah He Qi Barat terlaksana dengan baik, sekaligus menjaga keharmonisan relawan di sana. “Master Cheng Yen aja yang badannya kecil begitu mau memikul tanggung jawab yang sangat besar. Bangun tidur aja dia dah mikirin manusia, kenapa kita dikasih tugas yang ringan aja nggak mau,” tegasnya.

◙ Seperti dituturkan kepada Hadi Pranoto

Roa

nn (H

e Q

i Bar

at)

MENGGALANG HATI. Bukan besar kecilnya sumbangan yang penting, namun keikhlasan para penerima bantuan untuk bersumbangsih yang diharapkan para relawan.

MENGHAPUS DERITA. Dengan bersumbangsih sebagai relawan Tzu Chi, Tan Soei Tjoe melihat dan merasakan betapa banyak orang yang membutuhkan pertolongan. Sikap welas asih akan semakin subur di dalam jiwa jika kita sering merawatnya.

Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi

Master Cheng Yen menyerukan program pelestarian lingkungan pada tahun 1990. Saat itu para insan Tzu Chi memulainya

dari lingkungan terdekat mereka. Relawan dari berbagai tingkat usia dan latar belakang sosial yang berbeda dengan tekun mengumpulkan sampah daur ulang agar dapat diproses lebih layak. Dalam menjalankan misi pelestarian lingkungan, Yayasan Buddha Tzu Chi mempunyai filosofi “Sampah diubah menjadi emas, emas menjadi cinta kasih, dan cinta kasih menyebar ke seluruh penjuru dunia untuk berbagi rasa sesama manusia.”

Di Indonesia ada 4 wilayah di Jakarta dan sekitarnya yang menjadi lokasi Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi. Keempat wilayah tersebut adalah Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan wilayah Gading Serpong ,dan sekitarnya.

Setiap satu minggu sekali truk-truk depo pelestarian lingkungan berkeliling mengambil barang-barang ke rumah-rumah, perkantoran, dan membawanya ke depo pelestarian lingkungan di wilayahnya masing-masing. Lalu secara bergiliran para relawan setiap minggu mengadakan pemilahan barang-barang yang dapat didaur ulang kembali.

PARA KSATRIA LINGKUNGAN. Di Tzu Chi melestarikan lingkungan adalah gabungan antara kepedulian, ketulusan, kerendahan hati, dan cinta kasih terhadap sesama.

L E N S A Naskah: Anand Yahya

Had

i Pra

noto

Ji S

huK

urni

awan

(He

Qi T

imur

)

MENJEMPUT BOLA. Biasanya para relawan menjemput sampah daur ulang dari rumah-rumah warga.

MELINDUNGI BUMI. Di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi, sampah daur ulang dipilah berdasarkan jenisnya. Di sini para relawan berlatih kesabaran untuk memilah tumpukan sampah yang menggunung.

53Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi52 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

BERKESINAMBUNGAN. Rutin seminggu sekali para relawan Tzu Chi datang ke depo pelestarian lingkungan guna memilah sampah daur ulang.

SOSIALISASI DI TEMPAT. Para relawan Tzu Chi sering mensosialisasikan pelestarian lingkungan kepada warga dan meminta warga memilah sampahnya sendiri.

DIPILAH BERDASARKAN JENIS DAN WARNA. Selain dipisahkan berdasarkan jenisnya, plastik daur ulang juga dipilah berdasarkan warna.

Vero

nika

Ush

a

Ana

nd Y

ahya

Ana

nd Y

ahya

55Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi54 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011K

urni

awan

(He

Qi T

imur

)

Dokter mendiagnosa kesembuhan Jini hanyalah seribu berbanding satu. Suami Jini dengan tegas menjawab, “Jika pun ada seribu berbanding satu, maka dialah orangnya.”

Kehidupan rumah tangga Suwandi (60 tahun) mulai berubah sejak Jini istrinya terkena penyakit berat. “29 Juli 2009, pada hari itu

saya pergi ke Bogor bersama istri. Setelah itu kami kembali ke rumah dan saya lanjut pergi ke Tangerang. Setelah dari Tangerang, saya pulang untuk mengajak istri belanja di supermarket. Saat itu kita masih ketawa-ketawa. Saat pulang ke rumah pun tidak ada masalah apa-apa. Terus malam harinya sekitar jam 10, dia bangun untuk ke toilet, setelah itu dia merasa badannya tidak enak. Kira-kira jam 11 malam dia memanggil saya, dan bilang kalau badannya tidak enak sekali. Saya langsung panggil taksi. Saat taksi datang dia sudah pingsan dan saya langsung bawa ke rumah sakit,” cerita Suwandi mengenang saat hari pertama istrinya Jini Chandra (51 tahun) terserang sakit.

Saat tiba di rumah sakit, Jini langsung mendapat perawatan intensif di ruang Intensive Care Unit (ICU). Seminggu di ruang ICU, kondisi Jini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kesembuhan. Suwandi pun menjadi cemas. Kecemasan Suwandi

semakin bertambah saat mendengar seorang temannya yang dirawat di rumah sakit dalam waktu yang singkat saja ternyata membutuhkan biaya yang sangat besar. Saat itu kondisi usaha Suwandi sedang tidak baik, dan ia pun harus membiayai kuliah kedua anaknya. Usaha Suwandi adalah mengirimkan barang-barang keperluan rumah tangga, seperti rantang, alat-alat pel dan barang lainnya ke berbagai daerah di Pulau Jawa.

Hingga pada suatu hari seorang temannya menyarankannya untuk mengajukan permohonan bantuan pengobatan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Setelah mengajukan permohonan bantuan, tak lama berselang, relawan Tzu Chi pun menyurvei keadaan keluarga Suwandi. Dari hasil survei tersebut akhirnya diputuskan Jini disetujui

Jalinan Kasih

KekuatanTekad untukSembuhOleh: Juliana Santy

untuk dibantu pengobatannya. Saat itu kondisi Jini masih belum membaik. Di mulut Jini terpasang sebuah alat, dan alat tersebut harus dilepas setelah tujuh hari agar tidak menimbulkan infeksi. Saat itu banyak dahak di dalam tenggorokannya dan dapat menimbulkan sesak napas, oleh karena itu bagian lehernya pun harus dioperasi untuk dibuatkan saluran pembuangan.

Namun beberapa saat sebelum operasi, Suwandi memutuskan untuk membatalkan operasi karena ia melihat seorang pasien lain yang mendapat operasi yang sama, kondisinya tiga bulan pascaoperasi tidak kunjung membaik. Operasi itu juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Saat itu Suwandi memutuskan membawa pulang istrinya dari ICU untuk merawat sang istri di rumah. Dokter memberikan sinyal bahaya

jika hal tersebut dilakukan. “Dokter mengatakan jika alat-alat medis dicabut maka sudah tidak ada harapan,” ungkap Suwandi yang tetap kukuh dengan niatnya, “lalu saya bilang, jangan cabut di sini, Dok, cabut di rumah saja biar dia pergi (wafat) di rumah.” Dokter menyetujui keputusan Suwandi dengan syarat ia menandatangani sebuah surat pernyataan yang isinya tidak akan menuntut pihak rumah sakit jika terjadi sesuatu terhadap istrinya. Akhirnya setelah dirawat selama 11 hari di ruang ICU, Jini pun dibawa pulang ke rumahnya.

Penyakit yang diderita Jini sangat berbahaya, yaitu pecahnya pembuluh darah pada bagian batang otak. “Dokter yang sudah ahli menangani kasus ini saja mengatakan, beribu-ribu pasiennya hanya dua orang yang selamat melewati penyakit ini, jika

MENITI HARAPAN. Dua tahun telah berlalu, kesehatan Jini semakin lama semakin menunjukkan perkembangan yang baik, hingga membuat relawan Tzu Chi tersentuh dan bahagia melihat sebuah tekad besar untuk sembuh yang dimiliki Jini.

Juliana Santy

57Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi56 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

pun bisa hanyalah seribu berbanding satu,” cerita Suwandi. Dengan tegas dan yakin Suwandi pun menjawab, “Jika pun ada seribu berbanding satu, maka dialah orangnya.”

Saat tiba di rumah, suster pun melepas alat bantu yang menempel di tubuh Jini. Suwandi harus melepas sendiri sebuah alat bantu yang terdapat pada mulut sang istri karena alat itu merupakan bagian yang paling vital. Tak ada pilihan lagi yang dapat ia lakukan saat itu. “Saya tarik keluar,” aku Suwandi, dan saat itu langsung terdengar suara jeritan dari sang istri. Suwandi pun mengira bahwa istrinya benar-benar akan segera pergi meninggalkannya. Ia pun sudah bersiap-siap dan sempat meminta orang datang untuk membacakan doa.

Tapi Tuhan berkehendak lain, Jini masih bernyawa dan tidak pergi meninggalkannya. Suwandi pun segera memanggil sinshe (pengobatan alternatif). “Sinshe itu menepuk-nepuk bagian tubuh Jini, dan hasilnya reak yang terdapat pada tenggorokan Jini pun keluar dan membuatnya bisa bernapas,” kata Suwandi. Meskipun begitu Jini masih belum dapat berbicara dan makan. Sebelas hari berlalu, kondisi Jini yang tidak menggunakan alat bantu apapun sangatlah membahayakan nyawanya. Suwandi pun menghubungi relawan untuk mencari informasi

tentang dokter yang dapat membantunya memasang alat-alat medis tersebut.

Relawan Tzu Chi segera membantu Suwandi mencarikan sebuah jalan keluar. Relawan menyarankan agar Jini kembali dirawat di rumah sakit, dan Suwandi mengikuti saran tersebut. Pada pengobatan di rumah sakit untuk kedua kalinya ini, Jini tidak dirawat di ruangan ICU, sehingga Suwandi dan anak-anaknya dapat terus menjaga Jini setiap hari, pagi hingga malam secara bergantian. Namun meskipun begitu, keadaan Jini tetap tak kunjung membaik, hingga Suwandi pun kemudian memutuskan untuk memberikan obat tradisional. “Sebelumnya dalam sehari ia harus disedot dahaknya hingga 20 kali, namun setelah diberikan obat tradisional dalam sehari hanya 2 hingga 3 kali saja,” terang Suwandi. Pelan-pelan,

kondisi Jini mulai membaik. Suwandi pun kembali meminta agar istrinya boleh dibawa pulang dan dirawat di rumah. Saat itu ia dibantu seorang suster. Suwandi merawat istrinya dengan penuh kesabaran dan sebuah keyakinan bahwa sang istri akan kembali sembuh. Hingga pada suatu hari, setelah Suwandi memberikan obat kepada istrinya, sang istri pun mulai mengeluarkan dahak dan dapat mengeluarkan suara untuk berbicara.

Suwandi sangat senang melihat keadaan istrinya saat itu, ia pun segera menghubungi seorang relawan Tzu Chi, Anna Tukiman, untuk mengabarkan kabar gembira tersebut. Saat men dapat kabar tersebut, Anna terkejut dan ia merasa sangat senang mendengar perkembangan kesehatan Jini. Saat itulah Jini mulai perlahan-lahan menunjukkan keadaan yang semakin membaik.

Hikmah dari CobaanCobaan hidup yang menerpa Suwandi dan

keluarganya memberikan hikmah tersendiri bagi mereka. Sebelum sang istri sakit, Suwandi adalah sosok yang emosional. Ia mudah sekali marah hingga anak-anak pun takut mendengar suaranya. Berbeda dengan Jini, ia adalah sosok yang sangat sabar dan tidak mudah marah. Hingga pada saat merawat sang istrilah, ia melihat dan

TEKAD KUAT. Keadaan sakit tak mampu menghalangi niat Jini untuk ikut bersumbangsih menjadi donatur Tzu Chi melalui sebuah celengan bambu.

Julia

na S

anty

menyadari kemauan dan tekad yang besar dari sang istri untuk sembuh. Suwandi pun mulai berubah menjadi sosok yang sabar dan penuh cinta kasih. Semakin hari keharmonisan semakin tampak. Setiap hari Suwandi merawat Jini dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang besar. Ia memberikan terapi dengan memijat tangan dan kaki sang istri agar sarafnya tetap berfungsi. Suwandi juga mengajarkan sang istri untuk mulai belajar duduk. Bahkan sebelumnya Suwandi memasang karet di langit-langit kamarnya dan mengikat ujung karet satunya lagi pada kaki sang istri. Ia pun menarik-narik karet tersebut agar kaki sang istri dapat bergerak naik dan turun. Hal tersebut ia lakukan agar kaki sang istri dapat membaik.

Meskipun ada anak-anak yang dapat menjaga mamanya setelah mereka selesai bekerja dan kuliah, namun Suwandi yang harus bekerja mencari nafkah bagi keluarga tetap tidak mau meninggalkan sang istri dari sisinya. Ia ingin selalu merawat sang istri karena ia yakin bersamanyalah sang istri akan dapat terjaga dengan baik. Saat bekerja mengantarkan barang pesanan, Suwandi membawa istrinya di dalam mobil boks miliknya. “Ia saya baringkan pada kursi depan dengan kaki menekuk menghadap jendela mobil dan kepalanya bersandar pada paha saya,” ujarnya. Dalam keadaan seperti itu, Suwandi pernah membawa sang istri hingga ke Jawa Tengah dan menempuh perjalanan 16 hingga 17 jam. “Kalau saya tidak bawa dia, di rumah nggak ada orang, anak-anak kerja dan kuliah. Kalau suster yang menjaga juga tidak maksimal, jadi lebih baik saya bawa dia supaya saya bisa jaga,” ungkap Suwandi.

Tekad untuk SembuhKini kondisi Jini sudah mulai membaik. Walau-

pun ia masih belum dapat berjalan, namun ia sudah dapat berbicara. Bahkan Jini pun sudah dapat menggerakkan jari-jari tangannya perlahan-lahan untuk menulis. Sejak awal hingga saat ini, relawan Tzu Chi selalu berkunjung untuk memberikan hiburan dan semangat bagi Jini. Mengingat kisah awal keadaan Jini hingga saat ini, relawan merasa terharu dan sangat bahagia. Terlebih Suwandi dan Jini juga telah secara rutin menjadi donatur Tzu Chi sejak beberapa bulan lalu. “Setiap kali kita datang, kita pasti melihat perkembangan yang baik darinya,” ucap Meny Shijie, relawan Tzu Chi. Kekuatan dan kemauan dari seorang Jini memberikan dorongan motivasi tersendiri bagi insan Tzu Chi, dan kehadiran mereka pun menjadi motivasi bagi Jini untuk kembali menjadi sehat. Hal ini terbukti pada saat kunjungan relawan saat itu, Jini berkata, “Saat kalian datang lagi, saya nanti harus sudah bisa jalan.” ◙

59Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi58 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Ucapkan kata yang baik setiap saat,bangunlah ikrar dan lakukan

perbuatan baik setiap hari. Dengan cara ini akan tercipta

atmosfer kehidupan yang baik dan menjauhkan manusia dari bencana.

~Master Cheng Yen~

Oleh: Apriyanto/Juliana Santy

Dari saling memperhatikan dengan penuh ketulusan dan dihargai layaknya satu keluarga, Bong Bu Jang yang mulanya adalah pasien penerima bantuan, kini bersama dengan relawan Tzu Chi lainnya turut aktif dalam kegiatan kunjungan kasih.

Berbagi Semangat untuk Sembuh

Setelah sekian lama merasa putus asa oleh penyakit yang dideritanya, kini semangat hidup Bong Bu Jang kembali bersemi seiring dengan tumbuhnya

rasa kepedulian pada dirinya terhadap sesama. Semua ini tidaklah muncul begitu saja di dalam dirinya, melainkan melalui sebuah proses yang ia alami sendiri sebagai suatu pengalaman yang mengesankan akan arti menghargai dan mengasihi terhadap sesama. “Selama saya sakit, relawan Tzu Chi selalu datang memperhatikan saya. Tak ada di antara mereka yang mencemooh saya, mereka semuanya memperhatikan saya seperti dalam satu keluarga,” ucapnya.

Kini kehidupan Bong Bu Jang telah kembali berangsur-angsur normal. Setelah sembuh dari sakit yang dideritanya sejak dua tahun lalu, ia kembali bekerja dan dapat melakukan aktivitasnya lagi tanpa

beban yang mengikutinya. Jalinan jodoh baik yang ia miliki dengan Tzu Chi pun semakin erat lagi saat ia memutuskan untuk mendaftarkan dirinya serta anak-anaknya menjadi donatur Tzu Chi dan ikut ber-sumbangsih menjadi relawan Tzu Chi. Berawal dari pasien penerima bantuan, ia pun menjadi donatur dan mulai ikut terlibat dalam kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi, terutama kegiatan pada misi amal dengan mengikuti berbagai kegiatan kunjungan kasih.

Mencoba Berbagai Pengobatan AlternatifPenyakit kanker getah bening yang diderita

selama beberapa tahun telah membuat Bong Bu Jang merasa putus asa. Semula penyakit yang diderita Bong Bu Jang ini berawal dari sakit gigi biasa yang lama-

Jalinan Kasih

Apr

iyan

to

kelamaan berkembang menjadi sebuah benjolan kecil di rahang kiri bagian bawah. Bong Bu Jang yang tidak memahami kesehatan medis, lantas mengabaikan kondisinya. Pengobatannya pun hanya ia lakukan dengan cara memijat benjolan tersebut. Namun semakin lama diabaikan, benjolan ini justru semakin tumbuh menjadi lebih besar dan mulai mengganggu penampilan Bong Bu Jang. Saudara-saudara Bong Bu Jang menyarankan agar ia menjalani pengobatan alternatif. Sebab menurut mereka, pengobatan medis yang umumnya melalui jalan operasi dapat merugikan diri Bong Bu Jang. “Menurut mereka jangan dioperasi nanti sakit sarafnya bisa lari ke otak dan bisa lumpuh,” kata Bong Bu Jang.

Dari kepercayaan inilah akhirnya Bong Bu Jang menjalani pengobatan alternatif. Dari satu pengobatan

ke pengobatan lainnya hingga ke berbagai daerah. Mulai dari pelosok Jawa Barat hingga ke pelosok Kalimantan Barat telah ia sambangi demi menemukan pengobatan alternatif yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Namun kenyataannya selama setahun ia mencari pengobatan alternatif yang tepat dan uang yang ia miliki telah banyak yang terkuras, tapi selama itu pula Bong Bu Jang tak memperoleh kesembuhan, justru semakin hari dirinya semakin lemah karena benjolan di bagian lehernya semakin besar.

Pengobatan alternatif yang dilakukannya semakin memperburuk kondisi kesehatannya. Benjolan tersebut terus mengeluarkan cairan yang beraroma tak sedap. Selera makan Bong Bu Jang menjadi turun drastis karena penyakit itu tidak hanya meninggalkan luka dan lubang-lubang di leher, tetapi

TAHU BERSYUKUR. Bong Bu Jang ingin dapat menyemangati pasien-pasien yang sakit sepertinya dan menjadikan

dirinya sebagai contoh semangat untuk sembuh.

61Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi60 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

juga memberikan rasa sakit yang amat sangat. Ia pun sempat menggunakan pampers (popok bayi) untuk menahan cairan darah yang terus keluar. Namun pampers pun tak mampu menampung banyaknya darah yang keluar, hingga setiap dua jam sekali ia harus mengganti pampers.

Di tengah ketidakberdayaannya karena penyakit yang semakin parah dan kondisi keuangan yang semakin menipis lantaran pekerjaannya yang terlantar, salah satu rekan usahanya menyarankan agar Bu Jang mengajukan permohonan bantuan pengobatan ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Namun pengetahuannya yang tidak mendalam terhadap Tzu Chi membuat ia menolak untuk mengajukan permohonan dan tetap mencari pengobatan alternatif. Didorong oleh kondisi yang semakin parah dari hari ke hari, akhirnya Bong Bu Jang memberanikan diri untuk mengajukan permohonan pengobatan ke Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi di daerah Mangga Dua, Jakarta Utara. Dari permohonan pengobatan inilah akhirnya Bu Jang bertemu dengan Johny, relawan Tzu Chi.

Setelah relawan melakukan survei dan rapat untuk memutuskan apakah ia mendapatkan

bantuan atau tidak, akhirnya ia pun diputuskan untuk mendapatkan bantuan pengobatan. Namun ia terhalang kendala karena alamat domisili pada surat yang ia berikan berbeda dengan yang saat ini. Ia pun berusaha mengurus surat tersebut melalui pihak lingkungan setempat, tapi surat tersebut tak kunjung usai, hingga ia pun merasa lelah dan putus asa. Hingga pada saat itu ia mendapatkan informasi pengobatan alternatif lainnya. Ia pun memutuskan untuk melakukan pengobatan alternatif kembali dan setelah pengobatan itu ia merasa lebih baik dan tidak sakit lagi. Saat relawan melakukan kunjungan kasih yang kedua kalinya, ia pun mengatakan kepada relawan bahwa kondisinya telah membaik sehingga ia tidak memerlukan pengobatan medis lagi. Saat itu relawan tetap berharap dan menyarankannya untuk mulai berobat lagi ke pengobatan medis jika kambuh kembali.

Perhatian dari RelawanKesehatannya saat itu tak bertahan lama,

penyakitnya justru bertambah parah. Johny yang bertugas sebagai relawan pendamping selalu

Julia

na S

anty

John

y C

andr

ina

(He

Qi B

arat

)

memberikan perhatian dan semangat kepada Bu Jang yang saat itu sudah memiliki pandangan yang pesimis terhadap dirinya. Bahkan Bu Jang sudah berencana akan kembali ke kampung halamannya di Kalimantan Barat, karena ia merasa usianya yang tak akan lama lagi. Beruntung Bong Bu Jang akhirnya membatalkan niatnya dan memutuskan untuk melakukan pengobatan di rumah sakit.

Berkat kasih sayang dan perhatian tanpa henti dari relawan Tzu Chi, akhirnya Bu Jang berbesar hati untuk menjalankan pengobatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setelah dilakukan biopsi selama beberapa minggu akhirnya kemoterapi Bong Bu Jang mulai dilaksanakan pada pertengahan tahun 2009. Setelah ia mendapatkan kemoterapi sebanyak 5 kali, kondisi Bong Bu Jang terlihat semakin membaik. Benjolannya sudah semakin mengecil dan tak lagi mengeluarkan cairan yang berbau tak sedap. Setelah selesai menjalani 6 kali kemoterapi dokter yang menanganinya menyatakan Bong Bu Jang telah sembuh.

Rasa haru dan gembira langsung meluap-luap dalam hati Bong Bu Jang. Kini tidak hanya kesehatan dan kehidupan normal yang kembali diperolehnya, tetapi kesempatan hidup yang lebih baik pun terhampar di hadapannya. Karenanya setelah Bu Jang kembali bugar, ia langsung mengikuti sederetan kegiatan kunjungan kasih yang diadakan oleh relawan Tzu Chi. Tidak hanya sebatas itu, Bong Bu Jang juga rutin menjadi donatur tetap Tzu Chi setiap bulannya. Bahkan kini ia mendaftarkan istri dan ketiga anaknya untuk menjadi donatur Tzu Chi.

Kesembuhan Bong Bu Jang juga tak lepas dari peranan sang istri, Suhaeni yang terus merawatnya dengan penuh kesabaran dan perhatian yang besar. Saat orang lain merasa jijik dan menghindar setelah melihat keadaan suaminya, Suhaeni tetap merawatnya dengan penuh kasih sembari merawat ketiga anak mereka. Dalam sehari Suhaeni ber-kali-kali mengganti pembalut luka pada leher Bu Jang dan memandikan suaminya setiap hari. Saat suaminya merasa kedinginan maka ia akan me-masakkan air hangat untuk mandi sang suami. Melihat sosok istrinya dan ketiga anak-nya yang masih sangat kecil,

Bong Bu Jang pun semakin memiliki tekad untuk sembuh.

Semangat Bong Bu Jang untuk menjadi relawan pun timbul karena melihat Johny yang selalu datang yang begitu bersemangat mengunjunginya dan memberikan perhatian kepada dirinya. Perhatian dari relawan Tzu Chi tersebut telah membuatnya merasa tergugah. “Kok ada ya orang seperti dia, saudara saya aja seminggu baru muncul, orang lain kok lebih perhatian kepada kita, inilah yang bikin saya senang,” cerita Bong Bu Jang. Dalam seminggu bisa berkali-kali Johny memberikan perhatian kepadanya untuk mengajaknya berobat ke rumah sakit. Hal tersebut menjadi semangat hidup baginya, “Kenapa saya tidak ikut menengok orang lain lagi, apalagi saya sudah sembuh, saya contohin lagi supaya orang itu semangat lagi seperti saya. Saya berharap para pasien lain tidak salah jalan lagi terus berobat di alternatif kan hanya buang-buang biaya,” ucap Bong Bu Jang.

“Ia merupakan salah satu orang yang mempunyai rasa syukur yang besar dari yang ia peroleh,” komentar Johny. Sebaliknya Bong Bu Jang merasa di Tzu Chi ini ia menemukan arti kekeluargaan, kepedulian, dan penghargaan sebagai manusia yang utuh selama menjadi pasien penerima bantuan. “Saya senang bergabung di Tzu Chi. Relawannya bagus semua, penuh semangat memperhatikan pasien. Karena itu saya ingin membagikan semangat saya kepada pasien lainnya,” terangnya. ◙

BERKESADARAN. Berawal dari pasien yang mendapatkan bantuan pengobatan, jalinan jodoh Bong Bu Jang (kedua dari kanan) dengan Tzu Chi semakin terjalin erat saat ia dan keluarganya memutuskan untuk menjadi donatur dan ikut bersumbangsih menjadi relawan Tzu Chi.

JALAN KESEMBUHAN. Benjolan kecil di bagian leher Bong Bu Jang (gambar kiri) semakin lama semakin membesar dan menimbulkan rasa sakit yang amat besar. Namun setelah menjalani pengobatan, Bong Bu Jang kembali pulih dan kembali bersemangat menjalani hidup baru bersama keluarganya.

63Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi62 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Apr

iyan

to

Pesan Master Cheng Yen

Bersama-sama MenciptakanBerkah & Melindungi BumiMasalah sampah menjadi isu penting bagi duniaMemulihkan kondisi bumi yang telah tercemarPara Bodhisatwa daur ulang memiliki tekad yang luhur

Berusaha segenap tenaga untuk melindungi bumi

Kota Napoli sungguh kota yang indah, namun terlihat sampah berserakan di mana-mana. Di Kota Napoli, Italia, selama sepuluh tahun terakhir ini, sampah terus menjadi pemicu utama terjadinya konflik di wilayah tersebut. Pemerintah ingin membuka Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang baru, namun warga setempat menolaknya karena tidak ingin ada TPA di sekitar rumahnya. Selain itu, terdapat mafia yang mengendalikan volume sampah untuk memperoleh keuntungan. Karena itu, seluruh kota menjadi penuh dengan sampah. Sesungguhnya, bukankah sampah-sampah itu diciptakan oleh warga setempat? Pemerintah dapat mensosialisasikan serta mendidik masyarakat tentang kegiatan daur ulang agar mereka dapat mendaur ulang sumber daya alam hingga menjadi barang baru.

Taiwan juga pernah menghadapi masalah sampah 20 tahun yang lalu. Saat itu banyak konflik yang terjadi. Saya sungguh khawatir melihatnya. Karena itu, Tzu Chi mulai mensosialisasikan kegiatan daur ulang. Tahun lalu adalah peringatan 20 tahun misi pelestarian lingkungan Tzu Chi. Kini kita dapat melihat banyak orang dari luar negeri yang datang ke Taiwan untuk mempelajari prinsip kegiatan daur ulang. Mereka merasa sungguh luar biasa melihat botol plastik diolah menjadi serat sintesis dan kain yang berkualitas baik. Selimut Tzu Chi Taiwan adalah selimut pertama di dunia yang terbuat dari

hasil daur ulang. Tzu Chi di Taiwan telah berhasil membuatnya. Sesungguhnya, kegiatan daur ulang di Taiwan bisa demikian berhasil berkat setiap Bodhisatwa daur ulang yang turut mengulurkan sepasang tangannya untuk melindungi bumi dengan penuh cinta kasih. Karena itu, kegiatan daur ulang di Taiwan bisa begitu berhasil.

Para relawan daur ulang di Fujian, Tiongkok juga sangat aktif dalam melakukan daur ulang. Pemerintah setempat terus berharap Tzu Chi dapat lebih mensosialisasikan kegiatan daur ulang di sana. Di Taiwan, Tzu Chi memiliki lebih dari 5.000 titik depo pelestarian lingkungan, namun di Tiongkok, Tzu Chi belum memiliki depo yang resmi dan luas. Meski depo pelestarian lingkungan di sana sangat kecil, namun mereka melakukan daur ulang dengan penuh kesungguhan hati. Setiap Bodhisatwa daur ulang berkontribusi dengan penuh rasa syukur. Mereka melindungi bumi pertiwi dengan cinta kasih tanpa pamrih. Setiap Bodhisatwa daur ulang memiliki niat dan tekad yang sama. Dengan penuh cinta kasih dan welas asih, mereka bertekad untuk menggarap ladang berkah dan menciptakan berkah demi melindungi bumi. Saya yakin setiap insan Tzu Chi memiliki misi yang sama.

Meski depo pelestarian lingkungan di Kota Qinyu sangatlah kecil, para relawan di sana tetap melakukannya dengan sukarela. Para relawan tersebut sadar bahwa pertama, mereka ingin

melindungi bumi. Kedua, pendapatan dari hasil daur ulang dapat digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan. Selain melakukan daur ulang, mereka juga mengadakan kegiatan bedah buku agar lebih memahami prinsip kegiatan daur ulang, juga melatih kebijaksanaan.

Contohnya seorang Bodhisatwa lansia bernama Xu Meihua. Ia berusia 72 tahun. Suaminya telah meninggal beberapa tahun lalu. Ia menarik gerobak untuk menafkahi anak-anaknya. Kini anak-anaknya telah berkeluarga sehingga ia tidak perlu bekerja keras lagi untuk mencari nafkah. Namun, setelah mengetahui tentang Tzu Chi, ia memahami pentingnya melindungi bumi dan membantu orang yang membutuhkan. Karena itu ia bersedia kembali menarik gerobak untuk melakukan kegiatan daur ulang. Bahkan anak-anaknya juga turut membantu sang ibu melakukan daur ulang.

Ada pula Tuan Chen. Demi menopang keluarganya, ia harus bekerja saat hari baru menjelang pagi atau pada tengah malam agar ia dapat melakukan daur ulang pada siang harinya. Ia juga menarik gerobak demi melakukan daur ulang. Mereka berkontribusi dengan segenap tenaga. Mereka sungguh Bodhisatwa dunia yang bekerja demi melindungi bumi pertiwi. Saya sungguh bersyukur dengan adanya banyak Bodhisatwa dunia yang berusaha agar dunia ini semakin damai dan bencana semakin berkurang. Bodhisatwa sekalian, kita sungguh harus memberi hormat kepada mereka. Terima kasih atas kontribusi kalian yang penuh kesungguhan hati dan cinta kasih. Kita harus segera berbuat bajik dan menumbuhkan cinta kasih kita.

Dalam menghadapi orang lain dan segala sesuatu di dunia, kita harus memiliki rasa hormat dan cinta kasih. Hal ini harus menjadi kebiasaan kita. Kita harus melatih diri dan mengubah tabiat buruk. Mulai sekarang, kita harus memiliki tabiat yang baik dan mengubah tabiat buruk masa lalu. Karena itu, kita semua harus bertobat dan berintrospeksi.

Kita harus senantiasa mengingatkan diri bahwa kita melakukan perbuatan yang salah akibat adanya ketamakan. Karena adanya ketamakan, manusia merampok ataupun mencuri. Bila melakukan hal yang tidak sepantasnya, berarti kita telah menciptakan karma buruk. Janganlah ada pemikiran buruk, janganlah mengambil yang bukan milik kita ataupun melakukan hal yang tidak sepatutnya. Janganlah ada niat buruk seperti itu. Bila tidak ada niat buruk, maka kita tidak akan melakukan kesalahan.

Janganlah kita mencari keuntungan dengan cara yang tidak patut. Kita harus berhati-hati dengan perbuatan kita dan tidak mengambil milik orang lain. Inilah panduan moral yang harus kita taati. Bahkan dalam menjalankan usaha, janganlah kita berlaku curang. Contohnya, janganlah kita mencuri dengan mengurangi jumlah timbangan. Jual beli seperti ini tidaklah adil. Ini adalah keuntungan yang tidak halal. Janganlah kita berbuat curang dan menipu orang lain. Hal-hal tersebut tidak boleh kita lakukan. Namun, orang-orang zaman sekarang hanya mementingkan keuntungan dan tidak berpikir panjang. Karena itu, mereka berjalan menyimpang dan berbuat kesalahan. Mulai sekarang, kita harus bertekad untuk mengubah tabiat buruk.

Bencana terjadi silih berganti akibat pola hidup manusia yang terlalu konsumtif. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk berintrospeksi diri. Kita harus hidup sederhana dan mengurangi jumlah sampah agar dapat melindungi sumber daya alam. Kini, populasi manusia hampir mencapai 7 miliar jiwa. Bila setiap orang berpikiran menyimpang, bagaimana dampak yang akan tercipta? Jadi, kita harus membimbing orang untuk memiliki pandangan yang benar. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sungguh harus mengendalikan diri dan lebih banyak menciptakan berkah.

Diterjemahkan oleh Lena KarmelaEksklusif dari DAAI TV Indonesia

Dalam menghadapi orang lain dan segala sesuatu di dunia, kita harus memiliki rasa hormat dan cinta kasih. Hal ini harus menjadi kebiasaan kita. Kita harus melatih diri dan mengubah tabiat buruk.

65Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi64 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Jejak Langkah Master Cheng Yen

Menyelaraskan Batin Pada Kebajikan Dan Cinta Kasih

Bencana Akibat Ulah Manusia Semakin Memperparah Dampak Bencana Alam

Pada 23 Agustus 2010, bagian barat laut Pakistan berturut-turut dilanda 3 ledakan bom yang menelan paling tidak 36 korban jiwa. Peristiwa ini membuat warga korban banjir yang sudah sangat menderita, kembali merasa sangat terancam jiwanya. Dalam pertemuan pagi dengan relawan, Master menyatakan keprihatinan beliau, “Bencana alam tidak kenal belas kasihan, tetapi bencana akibat ulah manusia lebih menakutkan lagi. Kondisi masyarakat setempat sangat kacau, walaupun organisasi bantuan internasional ingin memberikan bantuan, namun kesulitan-nya berlapis-lapis.”

Melalui tayangan berita, tampak para korban berebutan materi bantuan. Seorang anak kurus kering yang tidak mendapatkan

bahan bantuan terduduk lemas di atas tanah sambil menangis. Ada juga anak kecil yang kelaparan sampai tidak berdaya untuk mengusir lalat di wajahnya. “Jika batin manusia damai, maka orang-orang dengan hati penuh cinta kasih akan dapat menyatukan kekuatan untuk sama-sama bersumbangsih, warga korban juga akan dapat saling membantu dan saling mengasihi dengan hati bersyukur. Dengan demikian saya percaya kalau bencana akan cepat berlalu. Namun saat ini bencana alam dan bencana akibat ulah manusia datang silih berganti, membuat warga sangat menderita, bagaikan berada dalam neraka dunia.”

Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, tim produksi acara “Jurnal DAAI” dari DAAI TV Indonesia mewawancarai para ulama dan cendekia-wan Islam, menjelas-kan bahwa sebetulnya bulan puasa itu

bagi umat muslim memiliki makna untuk mendidik masyarakat. Umat muslim yang taat pada perintah Allah, bukan saja berpuasa makan dan minum, namun juga menghindari perilaku dan ucapan buruk. Berusaha mengasuh kepribadian diri yang baik, memahami ajaran Allah melalui kitab suci “Alquran”, kembali pada sifat hakiki manusia yang semula bajik dan belajar untuk memberi perhatian pada orang. Master Cheng Yen menyampaikan, “Ibadah bulan puasa bagi umat muslim berlangsung selama sebulan penuh, berpuasa makan dan minum mulai dari matahari terbit sampai matahari tenggelam, melatih tekad batin, agar batin yang bergejolak dapat ditenangkan, hal itu seperti ‘pertobatan besar’ dalam agama Buddha.”

Di negara Pakistan penduduknya mayoritas beragama Islam. Warga tetap berpuasa makan dan minum di siang hari. Master Cheng Yen sangat khawatir akan kondisi para lanjut usia, wanita dan anak-anak di daerah bencana yang berada dalam lingkungan buruk, apakah daya tahan tubuh mereka sanggup menanggung beban. Tzu Chi telah mempersiapkan bahan bantuan, menunggu musim banjir selesai dan jalan sudah dapat dilalui, agar Tzu Chi dapat langsung mengadakan survei bencana.

“Saya be rdoa agar bat in warga setempat berada dalam kondisi seimbang menuju ke arah kebajikan dan cinta kasih, membangkitkan hati, saling menyayangi dan saling membantu di antara sesama,

dengan begitu maka bantuan dari luar dapat mengembangkan kekuatannya untuk segera meredakan dampak bencana,” kata beliau. Master menekankan, asal batin telah selaras dan cinta kasih terbangkitkan, bencana sebesar apa pun akan dapat dilalui dengan selamat. Jika setiap orang mampu menenangkan batin masing-masing, maka masyarakat akan damai sejahtera. Dalam masyarakat yang damai sejahtera, barulah orang-orang diberkahi dan dunia terbebas dari bencana.

◙ Sumber: Tzu Chi Monthly, edisi 526

Diterjemahkan oleh Januar Timur (Tzu Chi Medan)

67Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi66 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Jika batin manusia berada dalam kondisi seimbang menujuke arah kebajikan dan cinta kasih, maka dunia

akan dapat terbebas dari bencana.~Kata Perenungan Master Cheng Yen~

Master menyampaikan: “Ibadah bulan puasa bagi umat muslim berlangsung selama sebulan penuh, berpuasa makan dan minum mulai dari matahari terbit sampai matahari tenggelam, melatih tekad batin, agar batin yang bergejolak dapat ditenangkan, hal itu seperti ‘pertobatan besar’ dalam agama Buddha.”

Tzu Chi NusantaraTZU CHI TANJUNG BALAI KARIMUNTZU CHI MEDAN

69Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi68 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Ulang Tahun DAAI TV Medan

Empat Tahun DAAI TV Medan

SYUKURAN. Hong Tjhin, CEO DAAI TV Indonesia sedang memotong tumpeng pada perayaan 4 tahun DAAI TV Medan.

Senyum yang hangat dan sikap yang santun, itulah kesan yang akan kita temukan di kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Medan. Walau hujan

gerimis di luar, namun kehangatan acara malam yang sangat menggembirakan itu tidak terlupakan. Puncak acara empat tahun DAAI TV Medan ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng oleh Hong Tjhin, CEO DAAI TV Indonesia yang kemudian diserahkan langsung kepada Mudjianto selaku Direktur Utama DAAI TV Medan. Kebahagiaan bersama terasa di ruang gedung Tzu Chi Medan yang dihadiri oleh friends of DAAI (FOD), relawan-relawan Tzu Chi, dan para undangan.

Dengan visi yang kuat untuk menebarkan benih-benih kasih sayang serta membumikan budaya humanis Tzu Chi, telah 4 tahun lamanya DAAI TV mengudara di Medan. Empat tahun adalah usia yang sangat muda, jika diumpamakan seorang bayi kecil, maka ia sudah bisa berjalan dan akan terus berusaha untuk berlari. Itulah tekad DAAI TV Medan, untuk selalu memberikan tayangan terbaik pada para pemirsa. Kerja keras selama ini berbuah baik dan menuai kritik juga saran positif untuk memberikan

nilai tambah serta memperbaiki diri di masa mendatang. Segala pujian tidak lantas membuat DAAI TV Medan berbangga hati dan lalai untuk tetap berbuat yang terbaik.

Di tengah kompetisi dunia pertelevisian swasta saat ini, DAAI TV menjadi alternatif tontonan baru yang berkontribusi positif di kehidupan khalayak orang banyak khususnya Indonesia. DAAI TV mengedepankan sisi humanis, menitipkan pesan-pesan kemanusiaan, peduli lingkungan, dan budaya welas kasih.

DAAI TV dan Tzu Chi adalah organ tubuh yang tidak terpisahkan, seperti ungkapan relawan Tzu Chi Medan, Su Pun Hui, “DAAI TV adalah mata dan Tzu Chi adalah rumahnya.” Ungkapan tersebut sangatlah tepat, jika kita menebarkan benih-benih kebajikan, maka setiap butirnya akan menumbuhkan ribuan benih lainnya dan seterusnya. DAAI TV adalah media untuk menabur benih-benih tersebut, dengan harapan akan terus berkesinambungan dan memberi inspirasi positif bagi masyarakat luas.

◙ Gondo Sudewo (Tzu Chi Medan)

Pie

ter C

hang

(Tzu

Chi

Med

an)

Peresmian Kantor Penghubung Tanjung Balai Karimun

Tunas Baru Tzu Chi

BENIH YANG BERTUNAS. Pada tanggal 5 Juni 2011 Kantor Penghubung Tzu Chi di Tanjung Balai Karimun diresmikan. Rasa syukur dan bahagia menyelimuti para relawan dalam menyambut peresmian kantor penghubung yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau ini.

Hari Minggu, tanggal 5 Juni 2011, tampak keceriaan di wajah insan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun. Hari itu mereka resmi memiliki

kantor penghubung sendiri. Walaupun paginya Tanjung Balai Karimun diguyur oleh hujan, namun hal itu tak menyurutkan semangat para insan Tzu Chi untuk menghadiri acara peresmian kantor penghubung ini oleh Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ini terbukti dengan banyaknya insan Tzu Chi yang hadir, diantaranya 11 orang komite, 14 orang relawan biru putih, 37 orang relawan abu putih, dan 7 orang relawan umum. Hadir pula 129 tamu undangan dari masyarakat umum lainnya.

Acara peresmian dimulai pada pukul 07.00 WIB, ditandai dengan pembukaan selubung papan nama oleh sejumlah pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi dari Jakarta, Batam, dan Tanjung Balai Karimun sendiri. Acara dilanjutkan dengan Li Pai Fa Hua Jing (pembacaan Sutra Keajaiban Dharma Bunga Teratai–red) yang diikuti oleh seluruh relawan, kemudian berlanjut dengan menyaksikan video ceramah Master Cheng Yen. Sepanjang acara para

relawan dan undangan terlihat sungguh-sungguh dan khidmat.

Dalam sharing-nya Ong Li Fong, Ketua Tzu Chi Tanjung Balai Karimun, mengajak seluruh relawan untuk bersama-sama lebih bersemangat menyebarkan cinta kasih kepada seluruh masyarakat di Tanjung Balai Karimun. “Saya berharap agar semua relawan dapat saling berpengertian, toleransi, selalu bersyukur, merasa puas, dan menghargai berkah. Saya mengajak para dermawan untuk bersama-sama menggarap ladang berkah, membangun dunia Tzu Chi dengan berpuluh ribu teratai dalam hati,” ujar Ong Li Fong. Dengan berdirinya Kantor Penghubung Yayasan Buddha Tzu Chi Tanjung Balai Karimun diharapkan dapat menebarkan benih-benih cinta kasih pada semua makhluk dan dapat merangkul lebih banyak lagi Bodhisatwa di dunia ini sehingga dunia dapat terhindar dari bencana dan masyarakat hidup dengan tenteram dan damai.

◙ Dwi Hariyanto (Tzu Chi Batam)

Mie

li (T

zu C

hi B

atam

)

TZU CHI PEKANBARU

Aksi Donor Darah

Donor Darah untuk Sesama

UNTUK KEMANUSIAAN. Sebanyak 110 orang mendaftarkan diri untuk ikut mendonorkan darah mereka, namun hanya 70 orang yang kondisi kesehatannya mendukung.

Minggu, 12 Juni 2011 yang cerah, relawan Tzu Chi Batam melakukan kegiatan rutinnya setiap tiga bulan sekali dalam

mendukung misi amal dan kesehatan, yaitu donor darah.

Kesibukan untuk mempersiapkan kegiatan ini sudah tampak sejak satu hari sebelumnya, dimana koordinator kegiatan dan segenap ketua seksi sudah sibuk mempersiapkan sarana pendukung untuk acara tersebut. Mereka menyiapkan tempat pendaftaran dan tempat bagi donor menyantap makanan dan minuman setelah mendonorkan darah, serta ruangan yang akan dipakai untuk pelaksanaan donor darah.

Kegiatan donor darah kali ini sedikit berbeda karena koordinator untuk kegiatan kali ini dan tiga bulan yang lalu merupakan dokter yang ingin aktif berpartisipasi di Tzu Chi. pada kegiatan ini juga terdapat dua relawan baru yang merupakan Dosen Universitas Internasional Batam (UIB).

Pada hari tersebut akan diadakan pula pelantikan relawan Tzu Ching (generasi muda Tzu Chi–red) Batam. Sejak pagi hari para relawan muda tersebut sudah ikut membantu. Mereka juga mendonorkan darah dan memeragakan isyarat tangan di sela kegiatan.

Donor darah hari itu disambut dengan antusias oleh para relawan maupun donor. Jumlah pendaftar mencapai 110 orang, namun karena berbagai alasan kesehatan, hanya 70 orang yang dapat mendonorkan darahnya. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB ketika acara donor darah selesai. Para relawan mengucapkan “Gan En (terima kasih)” kepada pihak relawan PMI Batam serta kepada 40 relawan Tzu Chi yang ikut mensukseskan kegiatan hari itu.

◙ I Hong (Tzu Chi Batam)

Min

a (T

zu C

hi B

atam

)

TZU CHI BATAM

Pelatihan Relawan Abu Putih

Menambah Barisan Bodhisatwa

BARISAN BODHISATWA. Bergabung sebagai relawan dan membantu orang lain adalah salah satu cara untuk memaknai kehidupan ini.

Apakah hakikat kebahagiaan sesungguhnya? Pertanyaan inilah yang mengawali pelatihan relawan abu putih Tzu Chi Kantor Penghubung

Pekanbaru yang diikuti oleh sekitar 117 relawan. Pelatihan diadakan di Hotel Grand Elite Pekanbaru pada tanggal 19 Juni 2011 dimulai pukul 08.30 dan selesai pukul 16.30 WIB. Pelatihan menjadi lebih semarak dan hidup berkat uluran tangan kasih dan ketulusan dari relawan Tzu Chi Jakarta yang khusus datang untuk memberikan training.

Semua relawan Tzu Chi Jakarta dengan antusias dan semangat menyampaikan materi trainingnya. Dan peserta pun tak menyia-nyiakan kesempatan berharga untuk memahami lebih dalam seputar dunia Tzu Chi dari para relawan yang sudah banyak pengalaman ini. Sesi demi sesi dilalui dengan sukacita dan setelah itu para peserta melakukan sharing tentang ketertarikan mereka untuk bergabung ke barisan Bodhisatwa Tzu Chi Pekanbaru.

Bagi Rudi Hartono Shixiong, yang menjadi daya tarik untuk ikut dalam barisan Bodhisatwa Tzu Chi adalah karena prinsip dan tata krama Tzu Chi. ”Hidup adalah saat ini dan selagi masih bisa berbuat untuk sesama akan saya lakukan dengan maksimal,” ungkap

Rudi Hartono. Prinsip ini sesuai dengan apa yang selalu disampaikan Master Cheng Yen dalam setiap ceramahnya, ”Jangan menunda lagi, Just do it.”

Sharing terakhir disampaikan oleh Dewi Shijie, yang menginspirasi peserta lain dengan semangat pantang menyerahnya. Saat ini Dewi sedang menjalani kemoterapi. Ia sudah menjalani 4 kali kemoterapi yang berefek pada kerontokan rambutnya. Namun keadaan ini tidak membuat Dewi berkecil hati ataupun malu. Dengan kondisi kesehatan yang tidak prima, ia dapat mengikuti training dengan sangat baik dan tak ada kata lelah terucap. ”Badan boleh sakit, tapi batin tidak boleh sakit. Selagi badan masih sehat, lakukanlah sebanyak mungkin kebajikan,” pesan Dewi Shijie.

Training ditutup dengan menyanyikan lagu Satu Keluarga. ”Walau kita bukan lahir dari rahim ibu yang sama, namun kita tinggal dan hidup di bumi yang sama dan sudah selayaknya untuk saling menyayangi, saling syukur, saling percaya, karena kita saling membutuhkan di dunia ini,” ungkap Meliana Shijie selaku MC mengakhiri pelatihan hari ini.

◙ Mettayani (Tzu Chi Pekanbaru)

Ant

hony

(Tzu

Chi

Pek

anba

ru)

71Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi70 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Tak Peduli kehidupan ini panjang atau pendek, asalkan dengan bersungguh hati bersumbangsih dengan niat bajik, maka akan menciptakan melodi indah kehidupan. (Kata Perenungan Master Cheng Yen)

72 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

TZU CHI BANDUNG TZU CHI TANGERANG

73Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi

Had

i Pra

noto

KELAS MANDARIN. Setiap minggu kedua dan keempat setiap bulan, relawan Tzu Chi mengadakan pembelajaran Kelas Bahasa Mandarin kepada para santri di Pondok Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor.

Pelatihan Kemandirian Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman

Kelas Mandarin & Bercocok Tanam

Hari Jumat, 24 Juni 2011, relawan Tzu Chi Tangerang kembali mengunjungi Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman. Setiap minggu

kedua dan keempat relawan Tzu Chi memang rutin mengunjungi pondok pesantren Nurul Iman untuk mengajarkan bahasa Mandarin kepada para santri. Ada dua kelas yang dibuka, yakni untuk jenjang SMA dan universitas. Setiap kelas terdiri dari 40 – 50 santri. “Tujuannya agar mereka bisa lebih memiliki kesempatan untuk belajar ataupun bekerja di luar negeri,” kata Lu Lien Chu, Ketua Tzu Chi Tangerang, “jika ada relawan Tzu Chi dari Taiwan pun mereka jadi bisa berkomunikasi.”

Kegiatan pembelajaran bahasa Mandarin ini sendiri sudah dimulai sejak 4 bulan lalu (bulan Maret 2011), dan materi yang digunakan pun beragam, mulai dari Kata Perenungan Master Cheng Yen, Buku Pendidikan Budi Pekerti Tzu Chi, dan juga buku materi umum lainnya. “Kita ajarkan bahasa percakapan sehari-hari,” kata Arifin, relawan Tangerang yang juga turut mengajar bersama Lu Lien Chu dan relawan Tzu Chi lainnya. Pemilihan materi dari buku kata perenungan dan budi pekerti Tzu Chi bertujuan selain mengajarkan bahasa Mandarin

juga bisa menyelipkan pesan-pesan moral yang baik. “Kita juga masukkan pelajaran-pelajaran tentang bagaimana bersikap yang baik dan sopan dalam kehidupan sehari-hari,” terang Lu Lien Chu. Minat para santri tampak cukup besar dalam mengikuti pelajaran kelas bahasa Mandarin.

Selain mengadakan pembelajaran bahasa Mandarin, relawan Tzu Chi juga mengajarkan dan mengajak para santri untuk bercocok tanam. Di lahan persawahan milik Pesantren Nurul Iman, sebanyak kurang lebih 50 orang santri diajak untuk menanam sayur-sayuran dan kacang-kacangan. “Awalnya saya lihat ada anak-anak (santri) yang tidak banyak kegiatan, jadi kita mengajak mereka untuk berkegiatan dan bekerja yang bermanfaat bagi mereka, baik dalam kehidupan maupun pengetahuan mereka. Hasilnya kan juga bisa mereka nikmati,” kata Lu Lien Chu, penggagas kegiatan ini. Lu Lien Chu berharap dengan pelatihan dan bimbingan dari relawan Tzu Chi, para santri ini bisa meningkatkan keterampilan mereka, baik dalam berbahasa Mandarin maupun bercocok tanam.◙ Hadi Pranoto

Sosialisasi Pembagian Beras Cinta Kasih

Lahan Berbuat Kebajikan

PENYULUHAN MEKANISME BANTUAN. Dengan penuh perhatian, para relawan Tzu Chi mendengarkan informasi mengenai tata cara pembagian beras cinta kasih.

Pada tanggal 11 Juli 2011, para relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Bandung meng-adakan sosialisasi pembagian beras cinta

kasih. Pada tahun 2011 ini, Tzu Chi Indonesia menerima 5.000 ton beras cinta kasih dari Taiwan untuk dibagikan pada masyarakat kurang mampu di seluruh Indonesia.

Acara sosialisasi yang berlangsung di kantor Tzu Chi Perwakilan Bandung ini merupakan persiapan tata cara pembagian beras, dipimpin oleh salah satu relawan Tzu Chi, Ruchiyat Kurniadi. Dalam kesempatan tersebut, ia menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dari pembagian beras cinta kasih. Selain itu, ia juga menjelaskan tata cara dan prosedur pembagian kupon hingga pembagian beras cinta kasih dengan prinsip bersyukur, menghormati, dan cinta kasih.

“Pembagian beras ini memiliki makna cinta kasih, dan juga merupakan kesempatan bagi para

relawan untuk bersilaturahmi dengan masyarakat luas maupun para penerima bantuan,” ujar Ruchiyat lagi.

Sebelum membagikan beras, para relawan melakukan survei ke rumah-rumah warga terlebih dahulu. Setelah itu, penerima bantuan diberi kupon untuk ditukarkan dengan beras cinta kasih pada saat pembagian beras. Dengan langsung terjun untuk melihat kondisi kehidupan warga, relawan berharap bantuan beras ini dapat sampai pada warga masyarakat yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Dengan adanya kesempatan melakukan pembagian beras ini, para relawan Tzu Chi senantiasa berterima kasih kepada para penerima bantuan, sebab kegiatan pembagian beras ini merupakan lahan untuk berbuat kebajikan bagi para relawan Tzu Chi.

◙ Rangga Setiadi (Tzu Chi Bandung)

Gal

van

(Tzu

Chi

Ban

dung

)

TZU CHI SURABAYA

Lili

Foto

: Ana

nd Y

ahya

74 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Ron

ny S

uyot

o (T

zu C

hi S

urab

aya)

JALINAN JODOH. Semoga jalinan jodoh yang baik dengan Tzu Chi mengantar Zaim (baju hitam) pada kehidupan baru yang penuh harapan.

Baksos Kesehatan ke-78 di Surabaya

Aku Ingin Jadi Tentara

Suratan nasib manusia tiada dapat kita tentukan sendiri. Mungkin hal inilah yang harus dihadapi oleh Muhammad Kamal Zaim, seorang anak

penderita katarak berusia 10 tahun yang berasal dari Dusun Klampok, Desa Jiwut Kecamatan Nglegok, Blitar. Anak laki-laki ini dilahirkan di Malaysia pada tanggal 21 Agustus 2000, dari pasangan Susbandria dan Mubin yang saat itu bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk membesarkan anak di perantauan, akhirnya Zaim dititipkan di kampung halaman dan diasuh oleh keluarga pamannya yang bernama Mardiono.

Namun malangnya, usai meninggalkan sang anak di kampung halaman, ayah dan ibu Zaim tak pernah kembali lagi. Ia melalui tahun demi tahun tanpa kabar berita. Meskipun tanpa asuhan orang tua kandungnya Zaim tumbuh sehat layaknya anak-anak yang lain dan tidak kehilangan keceriaan masa kanak-kanaknya.

Mendung mulai menggayuti kehidupan Zaim saat ia menginjak kelas 1 SD. Saat itu ia mengeluh kepada pamannya kalau penglihatannya mulai kabur. Hal ini berlangsung bertahun-tahun sampai ia menginjak

kelas 5 SD. Saat akan diselenggarakannya Baksos Kesehatan ke-78 Tzu Chi yang bekerja sama dengan KODAM V Brawijaya tanggal 15-17 Juli 2011, Zaim didaftarkan sebagai pasien yang akan menjalani screening (pemeriksaan awal pasien sebelum operasi –red). Dan pada hari Senin 18 Juli 2011 dengan diantar oleh ayah angkatnya dan staf dari KODIM Blitar, Zaim tiba di rumah sakit untuk menjalani operasi di kedua matanya.

Satu hari usai menjalani operasi, perban di mata Zaim dibuka dan diperiksa oleh dokter. Melihat hasil operasinya yang bagus, maka hari itu juga Zaim diperbolehkan pulang ke Blitar. Diantar oleh beberapa relawan, Zaim dan Mardiono menuju Blitar tempat kediaman mereka yang sederhana. Pihak keluarga pun merasa sangat gembira atas hasil operasi yang berjalan baik ini. Ayah angkat Zaim sempat berkata, “Dulu dia seringkali bilang, suatu saat jika sembuh dari penyakitnya, dia ingin sekali jadi tentara.” Semoga cita-cita luhur untuk membela bangsa ini suatu saat tak hanya akan menjadi mimpi bagi Zaim.

◙ Ronny Suyoto (Tzu Chi Surabaya)

Ruang Relawan

77Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi76 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

“gan En Shixiong-Shijie”Bersih Lingkungan Kapuk Muara, Jakarta Utara

KERJA PENUH SEMANGAT. Walaupun kondisi lingkungan kotor dan matahari bersinar terik pada hari itu, relawan tetap bekerja dengan ceria dan penuh semangat.

Oleh: Chi Han (He Qi Utara)

Sejak satu hari sebelumnya, relawan Joe Riadi menyiapkan logistik yang jumlahnya sebanyak 2 mobil boks untuk keperluan kegiatan

tanggal 3 Juli 2011. Pagi itu pukul 05.45 WIB, saya berangkat menuju rumah Joe Riadi yang juga Ketua Tim Tanggap Darurat Tzu Chi untuk bersama-sama berangkat ke lokasi yang terletak di bantaran Kali Angke, Kapuk Muara, Jakarta Utara. Kami berencana melakukan kerja bakti pembersihan di sana. Pada pukul 06.15 WIB, saya bersama beberapa relawan berangkat menuju lokasi kegiatan. Sesampainya di sana kami menurunkan perlengkapan berupa gerobak, sekop, karung dan lainnya dari mobil boks logistik.

Selanjutnya pada pukul 07.00 WIB, sekitar 60 relawan dari 4 He Qi (Utara, Barat, Timur, dan Selatan) tampak sudah berbaris rapi mendengarkan briefing dari koordinator lapangan. Setelah para relawan jelas dengan pembagian kelompok dan tugasnya masing-masing maka mulailah para relawan bekerja. Saya melihat semangat dan keceriaan para relawan bekerja bagaikan barisan semut yang penuh semangat. Dengan menggunakan masker dan sarung tangan para relawan bekerja tanpa beban.

Kondisi selokan yang kotor dengan airnya yang hitam dan menimbulkan bau tak sedap tidak menyurutkan semangat mereka. Setelah dikeruk

Chi

Han

(He

Qi U

tara

)

Chi

Han

(He

Qi U

tara

)

ternyata banyak sekali sampah yang terkumpul. Kegiatan bersih-bersih ini juga bekerjasama dengan warga Kapuk Muara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta. Menurut Hamid, salah seorang warga Kapuk Muara, dulu sekitar tahun 1960 sampai 1980-an air sungai di daerah ini sangat jernih, dan bahkan untuk kebutuhan makan dan minum pun masyarakat menggunakan air sungai ini. Tapi sekarang air sungai sangat keruh dan sampah sangat banyak bertebaran di sungai. Karena itulah relawan Tzu Chi bertekad membimbing masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai untuk menjaga kebersihan sungai.

Kegiatan bersih-bersih ini sebagai persiapan untuk kegiatan perlombaan perahu naga yang diselenggarakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan bertujuan agar dapat menjadi kegiatan tetap yang menginspirasi masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai, sehingga secara tak langsung akan membawa dampak positif untuk kehidupan mereka. Karena hanya dengan lingkungan yang terawat dan bersih, maka akan membawa dampak yang baik pada kesehatan masyarakat dan

masyarakat yang sehat akan membuat segalanya lebih baik.

Setelah hari semakin siang perut juga sudah terasa lapar, pekerjaan pun akhirnya selesai. Para relawan kembali berkumpul ke posko, dan mereka membersihkan peralatan serta menaruhnya kembali ke dalam mobil boks. Setelah itu mereka membersihkan diri dan dilanjutkan dengan makan siang yang sudah disiapkan oleh para relawan konsumsi. Walaupun sederhana, tetapi karena dimasak dengan sepenuh hati oleh para relawan konsumsi membuat masakan menjadi terasa sempurna. Apalagi ditambah dengan minuman es teh yang menyegarkan tubuh.

Keceriaan tetap terlihat di setiap wajah para relawan. Sejak pagi hari para relawan bekerja dengan sungguh-sungguh, mulai dari membabat rumput sampai mengeruk got yang kotor dan bau, membuat saya sangat terharu atas sumbangsih tanpa pamrih dari para relawan. “Gan En Shixiong Shijie.” ◙

BERSIAP KERJA BAKTI. Relawan melakukan briefing pembagian tugas sebelum melakukan kegiatan bersih-bersih di daerah Kapuk Muara, Jakarta Utara. Sejak pukul 7 pagi relawan telah bersiap-siap untuk membersihkan lingkungan bantaran Kali Angke ini.

Kolom Kita

79Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 | Dunia Tzu Chi78 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

“Seperti Melihat Dunia Baru”

HARAPAN BARU. Salah satu sisi budaya kemanusiaan Tzu Chi adalah selalu adanya interaksi yang hangat antara pasien dengan para tim medis.

Oleh: Nining Tanuria (Relawan Tzu Chi Biak)

Mata adalah pelita tubuh, hal ini begitu diyakini oleh sebagian pasien baksos operasi mata di Biak dalam Baksos Kesehatan Tzu

Chi ke-75 tanggal 3-4 Juni 2011. Itulah sebabnya, tak jarang pasien menempuh jarak yang begitu jauh untuk mendapatkan harapan. Ditemui pada saat post operasi kedua yang diadakan pada 11 Juni 2011, beberapa pasien menuturkan kebahagiaan mereka.

Elia Rumakiek (74 tahun) adalah salah satu pasien yang menempuh perjalanan cukup jauh menuju Kota Biak, Papua untuk memperoleh pengobatan mata gratis yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Ia yang bertempat tinggal di Supiori harus menempuh sekitar empat jam perjalanan. Sehari-hari Elia melakukan pekerjaan rumah ditemani oleh istrinya yang juga sudah kehilangan kedua

penglihatannya. Elia datang pada saat operasi hari ke-2, karena ia baru mendengarkan informasi tersebut. Karena itulah akhirnya Elia menjalani screening dan operasi pada hari yang sama. Ia datang sendiri tanpa ditemani keluarganya. Sungguh beruntung, ketika tiba di rumah sakit ia bertemu dengan anak dan cucunya yang tinggal di Kota Biak, yang kebetulan juga sedang memeriksakan mata mereka. “Saya sungguh bersyukur karena sekarang saya sudah bisa membaca dan menulis lagi,” katanya sambil tersenyum.

Kebahagiaan dari Seberkas CahayaAlex Korwa (58 tahun) adalah seorang pegawai

negeri yang berdinas di Pemerintahan Distrik Numfor Barat. Perjalanan sehari semalam dari Pulau Numfor

Nin

ing

Tanu

ria (T

zu C

hi P

apua

)

tertebus sudah dengan jelasnya penglihatan mata kanannya yang telah dioperasi. “Jelas sekali sekarang. Kata dokter, kemarin itu katarak saya tebal sekali. Sekarang saya bisa bekerja lebih baik,” katanya. Kebahagiaan yang sama juga terpancar dari wajah Paulina Inggamer (84 tahun). Nenek ini tak henti-hentinya melihat orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. “Sepuluh tahun terakhir, kedua mata Mama tidak bisa melihat sama sekali. Jadi untuk melakukan segala sesuatu Mama benar-benar harus dibantu,” jelas Dolly, putri tertua Paulina.

Ketika perban mata kanannya dibuka di rumah, Paulina menunjuk-nunjuk ke depan rumah sambil berkata, “Wah sudah ada jalan bagus, dan banyak kendaraan lewat ya.” Maklum saja, bertempat tinggal di Desa Woniki, Bosnik, ketika terakhir kali Paulina dapat melihat, belum ada jalan aspal di depan rumah mereka. “Seolah melihat dunia baru,” sambung nenek ini lagi. Paulina sangat berharap tahun depan baksos seperti ini dapat diadakan lagi sehingga matanya yang satu lagi juga dapat dioperasi.

Menjaga Pelita HatiMaurice Rumpaidus, pasien

katarak hari pertama, juga tak dapat menahan air mata yang jatuh ketika ia dapat kembali melihat setelah tiga tahun terakhir dunia benar-benar gelap baginya. Mata kanan Maurice sudah rusak dan tak dapat diperbaiki, namun dalam baksos kesehatan ini tim medis berhasil mengoperasi mata kirinya yang terhalang katarak. “Puji Tuhan! Saya bisa lihat suster-suster yang ada di sini,” ucapnya dengan suara keras. “Tuhan memberkati dokter, suster, dan semuanya. Ter ima kasih!” Maurice berseru dengan air mata yang mengalir haru.

Sebagian besar pasien pasca-operasi yang telah mendapatkan penglihatannya menyatakan rasa syukur mereka karena baksos ini me-ngembalikan cahaya dalam hidup mereka. Beberapa pasien bahkan sudah ber tanya-tanya tentang kemungkinan adanya baksos yang sama tahun depan.

Pasien yang telah dua kali mengikuti operasi mata ini juga merasakan kebahagiaan tersendiri karena kedua mata mereka telah dapat melihat dengan baik. Tak henti-hentinya mereka berterima kasih kepada relawan yang mereka temui. Dengan penuh haru, relawan pun berpesan agar pasien dapat menjaga pelita tubuh dan hati mereka dengan baik. Tak lupa dengan menggenggam harapan agar mereka yang telah terbantu saat ini juga dapat memanfaatkan hidupnya untuk hal yang berguna dan menaburkan kebaikan bagi orang lain. ◙

Nin

ing

Tanu

ria (T

zu C

hi P

apua

)

SALING MENDUKUNG. Menjelang baksos, para relawan Biak terlebih dahulu mensterilkan semua barang-barang yang akan digunakan pada baksos (atas). Para relawan tengah berusaha memapah seorang pasien yang baru dioperasi. Perhatian dan keramahan membuat banyak pasien terkesan (bawah).

TZU CHI INTERNASIONAL

Bantuan Untuk Korban Tornado di Missouri, AS

ww

w.tz

uchi

.org

Setelah Tornado Berlalu

Pada tanggal 22 Mei 2011, Kota Joplin, Missouri, Amerika Serikat, dihantam oleh badai tornado yang kuat, mengakibatkan kerusakan terhadap

70% bagian kota dan mengakibatkan ratusan orang meninggal serta sekitar 1.500 orang hilang. Pada saat yang sama, konferensi nasional Voluntary Organizations Active in Disaster (VOAD) dimulai di Kota Kansas, yang berjarak dua setengah jam dari Joplin. Tiga relawan Tzu Chi dari Kantor Cabang Tzu Chi Amerika Serikat yang mengikuti konferensi di Kota Kansas tersebut, serta lima relawan dari Chicago dan sejumlah relawan lokal Kota Kansas dan Joplin bertemu di Joplin pada tanggal 24 Mei 2011, dua hari setelah tornado berlalu. Para relawan Chicago membawa selimut dan barang-barang bantuan lainnya, sementara relawan dari Kantor Cabang Tzu Chi Amerika Serikat membawa kartu debit sebagai bantuan darurat bagi keluarga yang menjadi korban.

Satu hari setelah bencana, seorang pemilik restoran setempat yang juga merupakan relawan Tzu Chi, Amy Yen, menutup restorannya dan menggunakan dapur restoran untuk memasak bagi para korban bencana yang tinggal di tempat pengungsian Organisasi Palang Merah. Saat para relawan Tzu Chi dari Chicago tiba, mereka segera membantu Amy dan stafnya menyiapkan dan membungkus makanan hangat, untuk dibawa ke

pusat distribusi Salvation Army. Selama dua hari itu, Amy dan para relawan menyiapkan sekitar 700 kotak makanan bagi korban tornado.

Relawan Tzu Chi menuju lokasi bencana di Rumah Sakit St John Regional Medical Center, lokasi dekat mendaratnya tornado tersebut. Mobil-mobil di tempat parkir terlempar ke sekelilingnya seperti mainan, dan tampak seperti baru saja dihantam oleh palu raksasa. Semua jendela dan beberapa atap tertiup lepas dari bangunan rumah sakit. Di sekitar rumah sakit, sejauh mata memandang yang ada hanyalah kehancuran - pohon yang tidak tercabut dari tanah pun seluruh cabang, daun dan kulit pohonnya dilucuti oleh tornado. Tidak satu pun rumah yang lolos - atap, dinding, dan lantai seluruhnya bertebaran di sekitar lokasi itu.

Rombongan relawan Tzu Chi kemudian melewati daerah bencana dimana lebih dari 2.000 rumah terkena dampak tornado. Dalam setengah sampai satu jam perjalanan, tak terlihat apa pun selain kehancuran. Relawan Tzu Chi terus menyiapkan dan mendistribusikan makanan hangat serta melakukan survei lebih lanjut untuk menentukan di mana, kapan, dan kepada siapa mereka harus mendistribusikan kartu debit darurat, selimut, dan barang-barang bantuan lainnya. Johan Alwall /www.tzuchi.org

80 Dunia Tzu Chi | Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011

Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 1

1

2

5

6

8

Vol.11, No.2, Mei - Agustus 2011

Menanam Pohon

Senantiasa Bersyukur

Ayo Main Games!

Suami Isteri yang Serakah

Kata teman:Menanam Pohon

MenanamPohon

Salam Bahagia,Teman-teman, pernah nggak kalian berjalan kaki di

siang hari yang terik? Bagaimana rasanya jika di sepanjang perjalanan itu tidak ada pohon di sisi kanan-kiri kita, terasa panas kan? Tapi coba jika di sepanjang jalan tersebut banyak terdapat pohon-pohon besar, terasa lebih sejuk dan nyaman bukan? Ya, ini karena salah satu fungsi pepohonan adalah dapat menurunkan suhu bumi dan membuat udara menjadi lebih sejuk. Pohon juga menyerap karbondioksida (asap kendaraan bermotor) dan mengeluarkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.

Mengapa sih kita perlu menanam pohon? Pohon adalah tumbuhan yang dapat memberikan manfaat sangat besar bagi makhluk hidup, mulai dari buah, daun, batang, sampai akarnya. Pohon dapat mencegah pengikisan (erosi), menyerap air hujan, dan menampung persediaan air tanah sehingga kita tidak kekeringan di musim kemarau.

Jenis pohon yang ditanam tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk di hutan dan pegunungan, pohon yang ditanam adalah jenis yang besar dan kuat agar dapat menyerap air dan mencegah erosi. Untuk di jalan-jalan sebaiknya pohon yang cukup besar agar dapat meneduhkan dan membuat sejuk udara sekitar. Jika di rumah, kita bisa menanam pohon bunga atau buah-buahan. Jadi selain tempat tinggal kita menjadi asri dan indah, kita juga bisa menikmati buah-buahan dari kebun kita. Asyik kan?

Jadi, mari kita menanam pohon di lahan yang kosong. Jika lahan kita terbatas, bisa juga kok adik-adik menanamnya di pot ataupun kaleng bekas. Ada banyak cara untuk membuat lingkungan kita menjadi hijau dan sejuk. Setelah itu, jangan lupa ya untuk merawatnya agar tumbuh subur dan kuat. Lingkungan yang asri, sejuk, dan sehat, akan membuat kita pun menjadi sehat. ◙

Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011Tzu Chi Anak 32

Senantiasa Bersyukur

Naskah: Lu Ai LingIlustrasi: Lo Fang Jun

Sejak kecil, saya dan kakak perempuan saya dibesarkan oleh nenek. Nenek datang dari Taiwan ke Vancouver, Kanada demi

menjaga dan merawat kami berdua.

Neneklah yang selalu mengurusi semua keperluan sehari-

hari dan pelajaran sekolah kami berdua. Nenek sering sekali berkata, “Ai Ling! Harus tahu bersyukur! Harus tahu berterima kasih!”

Nenek selalu mengajari kami untuk “bersyukur”, terutama dalam hal makanan. Setiap hari nenek menyiapkan makan siang untuk kami bawa ke sekolah. Jika setelah pulang sekolah nenek melihat saya tidak menghabiskan makanan yang ada dalam di kotak makan siang, maka nenek tidak akan memberiku uang jajan selama 4 bulan.

Nenek sering berkata, “Sesuap makanan itu adalah hasil kerja keras dari banyak orang, kita harus bersyukur!” Oleh karena itu, saya pun mulai mengerti untuk menghargai makanan yang sebenarnya tidak mudah didapatkan, terlebih lagi harus berterima kasih kepada ayah dan ibu yang telah bekerja keras mencari nafkah untuk membiayai hidup dan sekolah kami.

Pemulung yang Kaya BatinnyaNenek sering menceritakan kenangan di masa lalu yang

mengesankan baginya, seperti sebuah cerita tentang seorang pemulung:

Dulu, kakek adalah seorang dokter kandungan di sebuah rumah sakit. Pada suatu hari, seorang pemulung dengan keadaan panik datang mencari kakek. Ternyata istrinya sedang mengalami kesulitan untuk melahirkan, tapi karena ia tidak sanggup membayar uang jaminan, maka setelah mendatangi beberapa rumah sakit tetap

Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011Tzu Chi Anak4

saja tidak ada dokter yang bersedia membantunya. Jalan terakhir, ia pun datang menemui kakek.

Kakek adalah seseorang yang mempunyai hati welas asih. Setelah mendengar penjelasan kondisi istri pemulung ini, tanpa berpikir lama kakek langsung melakukan operasi terhadap istri pemulung itu. Menurut kakek, menyelamatkan nyawa orang adalah hal utama yang harus langsung dilakukan. Dengan pertolongan dari kakek ini, maka sepasang ibu dan anak itu pun selamat. Kakek tidak meminta sepeser pun uang dari mereka, terlebih lagi meminta uang jaminan. Kakek berkata bahwa kegembiraan dari menolong orang lebih berarti daripada mendapatkan uang banyak.

Beberapa tahun kemudian, terjadi badai angin ribut. Setelah badai berlalu, banyak sampah dan rongsokan berserakan di sekitar

rumah sakit. Ketika kakek dan nenek kewalahan membersihkan itu semua, pemulung itu datang bersama truk sampahnya untuk membantu. Melihat orang yang pernah kita bantu memiliki hati yang bersyukur dan tahu balas budi, nenek pun meneteskan air mata terharu, “Walaupun orang ini miskin, tetapi hatinya justru kaya karena tahu untuk bersyukur.”

Saya sangat terharu setelah mendengar cerita ini. Nenek mengajarkan kepada kami bahwa “memiliki rasa bersyukur bukanlah hanya untuk sementara waktu, melainkan untuk selama-lamanya. Kita harus bersedia membantu orang setiap saat, dengan begitu barulah bisa tercipta masyarakat yang harmonis dan penuh dengan kehangatan.” Saya akan mengingat pesan ini untuk selamanya.

◙ (Diterjemahkan oleh Lievia Martha dari Tzu Chi Monthly edisi 487)

Mari Merangkai Kata Perenungan

T eman-teman, kita semua pasti pernah sakit kan?! Ternyata bukan hanya manusia dan binatang saja yang bisa sakit, bumi tempat kita tinggal juga bisa sakit. Saat ini bumi sedang sakit demam, sehingga banyak bencana terjadi dimana-mana. Gimana

ya caranya untuk membuat bumi kita sehat kembali? Nah teman-teman, hanya kitalah yang bisa menjadi dokter bagi bumi kita, salah satunya dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Bagaimana caranya? Yuk, kita mainkan games berikut ini.

Berilah angka pada gambar-gambar di bawah ini sehingga menjadi urutan tahapan menanam pohon yang benar. Kemudian salinlah kata yang terdapat di bawah setiap gambar secara urut, untuk melengkapi Kata Perenungan yang ada. Selamat mencoba!

Nah mudah bukan?! Ayo kita hijaukan sekeliling rumah kita dan membuat bumi sehat kembali dengan pohon yang kita tanam.

Kata Perenungan:Dengan (1) .............. yang melakukan (2) .............. dan hati yang (3) .............. mari menjadi (4) .............. yang merawat (5) .............. semesta.

(1) Sepasang tangan (2) penghijauan (3) welas asih (4) tukang kebun (5) alam semesta.

5

Sepasang tangan

Penghijauan

Welas Asih

Tukang Kebun

Alam

Ilustrasi: Rini Susanti

Tzu Chi Anak6

Master Cheng Yen Bercerita

Suami Isteri yang Serakah

ilustrasi: chien ju l penerjemah: diana

A da sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Penduduk desa ini biasanya hidup bertani, dan terkadang juga

melaut untuk menangkap ikan. Suatu hari, seorang nelayan di desa itu membawa putranya ke tepi sebuah danau yang terhubung dengan laut. Menurut sang nelayan, karena danau ini terhubung dengan laut, di dalamnya mungkin terdapat sangat banyak ikan.

Baru saja dia melemparkan mata kailnya ke danau, tiba-tiba kailnya tersangkut sebuah benda yang sangat berat. Meski telah menarik dengan sekuat tenaga, kailnya tetap tidak bergerak. ”Sepertinya saya mendapatkan ikan yang sangat besar!” Pikirnya senang. Namun kemudian ia berpikir, ”Ikan ini sangat besar, jika saya berhasil mengangkatnya maka akan terlihat oleh orang lain, dan semua orang pasti akan berdatangan kemari untuk memancing. Jika begitu, ikan-ikan di danau ini akan segera habis dipancing oleh mereka.”

Maka nelayan ini segera berpesan pada anaknya, ”Cepat beritahu ibumu, bahwa ayah mendapat seekor ikan yang sangat besar. Agar tidak diketahui orang lain, katakan pada

ibumu supaya bertengkar dengan penduduk desa guna menarik perhatian mereka semua. Dengan demikian, tidak akan ada orang yang melihat bahwa ayah telah mendapatkan ikan yang sangat besar.”

Setelah putranya pulang dan memberitahukan pesan sang nelayan, istri nelayan itu pun berpikir bahwa bertengkar saja tidak akan menarik perhatian penduduk desa. Maka dia mengambil dedaunan untuk dijadikan anting-anting, juga mengoleskan tinta hitam ke sekeliling matanya, lalu berjalan hilir mudik di jalanan desa.

Seorang temannya yang melihat istri sang nelayan, dengan terkejut dan heran berkata, “Kenapa kamu berbuat seperti itu, apa kamu sudah gila?” Istri nelayan ini pun berteriak dengan keras, “Saya sama sekali tidak gila! Kamu sudah menghina dan mempermalukan saya. Saya akan membawa kamu menghadap kepala desa, memintanya untuk mendendamu!” Para penduduk desa melihat kedua perempuan itu bertengkar sambil saling tarik-menarik dengan sangat hebat, lalu mengikuti mereka ke rumah kepala desa untuk menyaksikan bagaimana kepala desa memutuskan perkara ini.

Setelah kepala desa mendengar cerita mereka, dia berkata pada istri nelayan, “Penampilanmu memang sangat aneh. Siapapun yang melihatmu pasti akan bertanya apakah kamu sudah gila? Karena itu dia tidak perlu dihukum. Yang perlu dihukum adalah kamu! Karena kelakuan anehmu dan juga karena keributan yang kamu timbulkan telah mengganggu kehidupan warga.”

Di tepi danau, sewaktu anaknya pulang ke rumah, nelayan itu berusaha menarik kail dengan sekuat tenaga agar dapat menangkap ikannya. Tapi meski telah bersusah payah, kail itu tetap tidak bisa ditarik. Nelayan itu merasa khawatir jika ditarik dengan paksa maka senar kailnya akan putus, maka dia memutuskan untuk melepas baju dan melompat ke dalam danau untuk menangkap ikannya.

Ketika nelayan itu menyelam ke dasar danau dan memperhatikan dengan cermat, ia baru mengetahui bahwa ujung kail itu tersangkut ranting pohon di dasar danau. Nelayan itu merasa sangat kesal, dan berusaha mendorong ranting pohon itu dengan tangannya. Tak disangka, mata kailnya tiba-tiba memantul dan melukai matanya. Sambil menahan sakit, nelayan itu merangkak keluar

dari danau. Seluruh tubuhnya basah dan kedinginan, namun ternyata bajunya juga telah hilang dicuri orang. Akhirnya nelayan itu pun pulang tanpa mengenakan pakaian dan segera meminta pertolongan.

__________________________________________

Pesan Master Cheng Yen:Keserakahan adalah sumber dari segala

kejahatan. Ketamakan manusia akan harta benda, nama baik, dan keindahan fisik, sering membutakan hati nurani dan kebijaksanaannya, hingga mereka pun melakukan berbagai kejahatan. Pada akhirnya, mereka sendirilah yang menanggung akibat buruknya.

Cara terbaik untuk mengatasi ketamakan adalah dengan ”kewelasasihan”. Bila kita memperlakukan semua makhluk dengan welas asih, membantu orang menderita agar mendapatkan kebahagiaan, maka dengan sendirinya kita tidak akan melekat pada ketenaran dan kedudukan, hingga tidak ada yang harus dirisaukan, kondisi batin pun akan damai dan tenteram.

Vol. 11, No. 2, Mei - Agustus 2011 7

Tzu Chi Anak8

KATA TEMAN

Menanam PohonShannon suka menanam biar rumahnya bagus ada pepohonan.

Shannon Ho (6), Jakarta

Menanam pohon biar buahnya bisa untuk makan dan daunnya untuk berteduh.

Venesia Kalista (6), Pangkalpinang

Saya suka menanam pohon karena bikin jalanan jadi adem.

Sharon Ho (6), Jakarta

Aku pernah menanam pohom bersama Papa. Kata Papa kita harus menyayangi tumbuh-tumbuhan.

Manabhas (4), Bogor