FENOMENA AMBIGUITAS PUTUSAN HAKIM SARPIN DITINJAU DARI PERSPEKTIF BAHASA MANUSIA DALAM FLSAFAT...

21
FENOMENA AMBIGUITAS PUTUSAN HAKIM SARPIN DITINJAU DARI PERSPEKTIF BAHASA MANUSIA DALAM FLSAFAT MANUSIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum. Doktrin ini secara literer dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat diatur oleh hukum. Itu sebabnya mengapa kita sering mendengar para pakar hukum yang membahasakan bahwa ‘di mana ada masyarakat di situ ada hukum, dan di mana ada hukum di situ ada masyarakat.’ Lantas, hukum menjadi bagian vital dalam dinamika masyarakat Indonesia, secara khusus proses penegakaan hukum di Indonesia. Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia sedang diterpa berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling krusial adalah tentang persoalan pemberantasan korupsi. Di tengah maraknya penangkapan aparat negara penegak hukum yang terlibat kasus korupsi, berakibat pada munculnya gelombang ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi penegak hukum. Hal ini kemudian bercampur dengan kentalnya unsur politik dalam upaya penegakan hukum yang akhirnya berdampak pada kondisi psikologis masyarakat. Sebut saja kisruh yang tengah berlangsung antara KPK vs POLRI, sudah barang tentu sangat menyita perhatian masyarakat. Carut marutnya informasi terkait posisi hukum dan politik dua lembaga ini, ditambah dengan pemberitaan media yang 1

Transcript of FENOMENA AMBIGUITAS PUTUSAN HAKIM SARPIN DITINJAU DARI PERSPEKTIF BAHASA MANUSIA DALAM FLSAFAT...

FENOMENA AMBIGUITAS PUTUSAN HAKIM SARPIN DITINJAU DARI

PERSPEKTIF BAHASA MANUSIA DALAM FLSAFAT MANUSIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum. Doktrin ini secara literer

dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan

hajat hidup masyarakat diatur oleh hukum. Itu sebabnya

mengapa kita sering mendengar para pakar hukum yang

membahasakan bahwa ‘di mana ada masyarakat di situ ada

hukum, dan di mana ada hukum di situ ada masyarakat.’

Lantas, hukum menjadi bagian vital dalam dinamika masyarakat

Indonesia, secara khusus proses penegakaan hukum di

Indonesia.

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia sedang

diterpa berbagai masalah. Salah satu masalah yang paling

krusial adalah tentang persoalan pemberantasan korupsi. Di

tengah maraknya penangkapan aparat negara penegak hukum yang

terlibat kasus korupsi, berakibat pada munculnya gelombang

ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan

institusi penegak hukum. Hal ini kemudian bercampur dengan

kentalnya unsur politik dalam upaya penegakan hukum yang

akhirnya berdampak pada kondisi psikologis masyarakat. Sebut

saja kisruh yang tengah berlangsung antara KPK vs POLRI,

sudah barang tentu sangat menyita perhatian masyarakat.

Carut marutnya informasi terkait posisi hukum dan politik

dua lembaga ini, ditambah dengan pemberitaan media yang1

bertumpu pada sensasionalisme berita, menggiring masyarakat

pada sebuah keadaan yang membingungkan.

Kasus yang paling hangat dan aktual adalah putusan

praperadilan terhadap Komjen. (Pol.) Budi Gunawan. Budi

Gunawan dijerat KPK dengan dugaan gratifikasi sewaktu

menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber

Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di

kepolisian.1 Titik ketegangan semakin mencuat manakala pada

saat yang bersamaan Budi Gunawan ditetapkan Presiden sebagai

calon tunggal Kapolri menggantikan Jendral (Purn.) Sutarman

yang sudah memasuki masa purnabaktinya. Lantas, publik yang

tidak ingin calon pemimpinnya “tidak bersih” ramai-ramai

menggalang dukungan untuk menunda pelantikan Budi Gunawan.

Upaya publik pun berhasil dengan respon Presiden Jokowi yang

menunda pelantikan Budi Gunawan dengan dalih penyelesaian

penyelidikan dari KPK. Namun, pihak Budi Gunawan mengajukan

perkaranya ke pra-peradilan, yang tidak dinyana-nyana

memutus-bebaskan Budi Gunawan dari status tersangka. Putusan

kontroversial dari Hakim Sarpin tersebut mengundang pelbagai

respon, yang mayoritas menyatakan putusan Hakim Sapin tidak

sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Salah satu

contohnya adalah putusan atas status tersangka yang dalam

KUHAP Pasal 77 tentang domain hukum pra-peradilan telah

gamblang dinyatakan bahwa domain hukum praperadilan tidak

1 SARAS ADICIPTA, “Kronologi kasus Budi Gunawan dan ketegangan KPK-Polri” disadur dari http://www.bbc.co.id diakses pada 15 Mei 2015 Pk.18.23 WIB.

2

mencakup pembebasan status tersangka.2 Bukan hanya perihal

domain hukum, penafsiran yang kontroversial dan ambigu juga

terjadi pada penetapan Budi Gunawan bukan sebagai aparat

penegak hukum oleh Hakim Sarpin. Pasalnya, saat melakukan

dugaan tindak gratifikasi Budi menjabat sebagai Kepala Biro

atau setingkat sekretaris dan dinyatakan oleh Sarpin bukan

sebagai aparat penegak hukum.

Ambiguitas penafsiran hukum Hakim Sarpin inilah yang

menarik perhatian penulis untuk menelaah lebih jauh putusan

Hakim Sarpin bila dipandang dalam kacamata bahasa manusia

dalam kajian filsafat manusia. Sejatinya, bahasa manusia -

yang adalah sarana berkomunikasi dan menghubungkan

intersujektif/ manusia satu dengan yang lain- sangat vital

dan berperan dalam kehidupan manusia. Namun, di sisi lain,

salah penafsiran, multitafsir bahasa, bahkan ambiguitas

kerap terjadi dalam dinamika penggunaan bahasa tersebut.

Lantas, kajian penulis tidak berfokus pada telaah literer

bahasa hukum, namun lebih kepada bahasa manusia secara umum

(general) secara khusus dalam putusan Hakim Sarpin bila

ditelaah dalam perspektif filsafat manusia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis merumuskan

masalah yang akan terjawab pada bagian pembahasan, yaitu :

2 BAMBANG SUNO, “Saksi Ahli: Hakim Sarpin Keliru Menafsirkan KeteranganSaya”, www.Tempo.co.id diakses pada 17 Februari 2015 Pk.19.47 WIB.

3

1. Bagaimana ambiguitas bahasa dalam Kasus Putusan Hakim

Sarpin bila ditelaah dari sudut pandang Filsafat

Manusia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Karya Tulis

Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk :

1. Menelaah secara lebih mendalam putusan kontroversial

Hakim Sarpin dan mengetahui titik ambiguitas bahasa

manusia dalam hasil putusannya.

2. Setelah mengetahui titik ambiguitas dan kemungkinan

penyebabnya diharapkan dapat menjadi poin pertimbangan

penegakan hukum selanjutnya di Indonesia agar setiap

putusan dapat lebih adil.

D. Metode Penulisan

Metode penulisan merupakan pengetahuan tentang ilmu-

ilmu dan cara kerja yang disesuaikan dengan objek studi

ilmu-ilmu yang bersangkutan. Metode penulisan merupakan

jalan yang mengarahkan peneliti agar dapat mencapai tujuan

untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu

pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode

penelitian harus memberikan garis-garis dengan cermat dan

mengajukan syarat-syarat yang ketat agar pengetahuan yang

dicapai dari suatu penelitian dapat memiliki nilai-nilai

ilmiah yang objektif. Dalam karya tulis ini penulis

menggunakan metode pustaka (literer). Alasan penulis

menggunakan metode pustaka agar penulisan dan pengkajian

4

masalah dapat komprehensif (mendalam) secara teoritis dan

kedekatan akan sumber valid yang ada.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Ambiguitas

Ambiguitas (nomina) dari ambigu (adjektiva) ; 1. sifat

atau hal yang berarti dua: kemungkinan yang mempunyai dua

pengertian; taksa; 2. ketidaktentuan; ketidakjelasan;

3.kemungkinan adanya makna yang lebih dari satu atas suatu

karya sastra; 4.kemungkinan adanya makna lebih dari satu di

sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat).3 Ambiguitas

berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang berarti

suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu

arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan.4 Ketaksaan

dapat diartikan atau ditafsirkan memiliki lebih dari satu

makna akan sebuah konstruksi sintaksis. Tidak dapat

dipungkiri keambiguan yang mengakibatkan terjadinya lebih

dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan

ataupun dalam keadaan tertulis. Namun, lebih dalam daripada

itu ambiguitas dapat terjadi oleh karena ketidaksepahaman

antara manusia sebagai subjek bahasa yang mencoba memahami

suatu bahasa tertentu dengan bahasa literer itu sendiri.

B. Pengertian Filsafat Manusia

3 Kamus Besar Bahasa Indonesia ed.III, Gramedia, Jakarta,1990, 27.4 Lorens Bagus, Kamus Filsafat , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, 43.

5

Filsafat manusia adalah cabang ilmu filsafat yang

membahas mengenai makna menjadi manusia.5 Filsafat manusia

menjadikan manusia sebagai objek studinya. Dalam cabang ilmu

filsafat ini manusia akan mengajukan pertanyaan mengenai

diri mereka sebagai manusia. Filsafat manusia terus

berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan

misteri Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan

pengalaman manusia, serta dunia yang melingkupinya. Filsafat

manusia perlu dipelajari karena manusia mempunyai kemampuan

dan kekuatan untuk menyelidiki dan menganalisis sesuatu

secara mendalam.

C. Pengertian Bahasa Manusia

Bahasa Manusia berarti suatu sistem rangkaian kata

dalam bentuk unit terceil dari suatu bahasa yang memiliki

suatu makna.6 Adapun kata-kata yang terangkai dalam bahasa

memuatu makna, ide, konsep, atau gagasan dari sesuatu yang

dengan disampaikan dari subjek satu ke subjek yang lain

(intersubjektif). Kaidah atau tata bahasa manusia membuat

manusia terhubung dan dapat saling berkomunikasi –memahami

maksud dari lawan bicara baik melalui bahasa lisan/verbal

maupun bahasa tulis/non-verbal atau bahkan bahasa-bahasa

lain (isyarat,simbol,dll).

BAB III

5 LOUIS LEAHY, Manusia sebuah Misteri, Gramedia, Jakarta, 1984, 1.6 LOUIS LEAHY, Siapakah Manusia? Sintensis Filososfis tentang Manusia, Kanisius,Yogyakarta, 2001, 37.

6

PEMBAHASAN

A. Deskripsi Singkat Kasus Putusan Hakim Sarpin

Nama hakim Sarpin kian melambung pasca merilis

keputusannya yang kontroversial. Pasalnya ia membebaskan

Budi Gunawan, petinggi polri yang terlilit kasus rekening

gendut dari status tersangka. Padahal pada posisi ini,

Sarpin hanya bertugas sebagai hakim praperadilan yang

sejatinya secara yuridiksi tidak memiliki kekuatan dan

wilayah hukum dalam hal menghilangkan status tersangka. Hal

itu didasarkan pada Pasal 77 KUHAP yang memberikan

kewenangan secara terbatas mengenai wewenang praperadilan.7

Bagai boomerang yang berbalik ke arah tuannya, dengan

cepat usulan mutasi dan pengajuan sanksi Sarpin ke MA

(Mahkamah Agung) kian merebak. Seluruh aktivis dan penggiat

hukum berusaha meminta klarifikasi darinya, tidak terkecuali

saksi ahli yang menganggap keputusan arpin ini tidak

mempunyai dasar penafsiran hukum yang kuat. Sarpin sendiri

mengambil keputusan demikian berdasarkan penafsirannya bahwa

Budi Gunawan bukan termasuk penegak hukum (hanya pegawai

administrasi Polri pada saat itu, sehingga tidak bisa

dikenakan hukum pidana.

Senin, 16 Februari 2015, Hakim praperadilan kasus

penetapan tersangka BG, Hakim Sarpin membuat putusan

kontroversial. Adapun isi putusan hakim Sarpin adalah7 SARI SOEDARSSONO, “Kabulkan Budi Gunawan, Hakim Terancam Sanksi MA”,www.Tempo.co.id diakses pada 17 Februari 2015 Pk.19.47 WIB.

7

sebagai berikut:8

1.Menyatakan sprindik penetapan tersangka atas BG tidak sah

dan tidak memiliki

kekuatan hukum.

2.Menyatakan penyidikan KPK atas kasus BG tidak berdasar

hukum dan tidak memiliki

kekuatan hukum.

3.Menyatakan penetapan tersangka atas BG yang dilakukan KPK

tidak sah.

4.Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang

dikeluarkan lebih lanjut

oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka

terhadap BG.

Putusan di atas yang membuat publik dan kalangan akademisi

hukum maupun disiplin ilmu yang lain turut bersuara

menyikapi putusan kontroversial ini. Banyak yang menyasar

terhadap logika penafsiran hukum Hakim Sarpin. Namun juga

tidak sedikit yang menyasar pada rekam jejak Hakim Sarpin

dalam putusan-putusan sebelumnya.

B. Analisis Kasus dalam Perspektif Bahasa Manusia

Manusia hidup dengan berbahasa.9 Bagi manusia, bahasa

mengungkapkan dirinya. Lewat bahasa, manusia

8 BUDIARTO SHAMBAZY, "Moral Hakim Merosot", KOMPAS, 12 April 2015. Budiarto Shambazy adalah penulis sekaligus redaktur senior Koran Kompas yang telah lama berkutat pada persoalan politik dan hukum di Indonesia secara khusus ketegangan antara Polri dan KPK.9 EMANUEL PRASETYONO, Dunia Manusia – Manusia Mendunia, Zifatama, Sidoarjo, 2013,53.

8

mengkomunikasikan dirinya, pemikirannya, keinginannya,

kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Lewat bahasa, manusia memaknai

kehidupannya. Dengan berbahasa, manusia memaknai

kehidupannya, mengkomunikasikan eksistensinya. Karena bahasa

berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk

mengkomuinikasikan dirinya, bahasa mencakup pelbagai

kemampuan berkaitan dengan intelektualitas, kesadaran diri

maupun motivasi subjek (manusia) sebagai sang pengguna dan

penafsir bahasa. Bahasa juga dikatakan sebagai sarana

ekspresi diri manusia, karena melaluinya seseorang dapat

dianggap berjasa dapat juga dianggap bersalah karena

“mengkhianati” arti sebuah bahasa itu sendiri. Dengan kata

lain manusia –dengan kebebasannya- mampu menafsirkan dan/

atau mengartikan sebuah bahasa (kata-kata) dengan motif dan

kehendak pribadinya sendiri.

B.1 Kata dan Makna

Unit dasar dari setiap bahasa adalah kata. Kata (baik

lisan maupun tertulis) adalah tanda atau symbol inderawi

yang merepresentasikan konsep atau ide, dan secara langsung

juga inner feeling, keinginan dan kehendak terdalam yanbg keluar

dari batin si pembicara.10 Kata dalam bahasa tulis dapat

dilihat sebagai kekuatan symbol linguistik yang dapat

dilihat dan dipahami maknanya. Makna terinternalisasi dalam

“kendaraan” kata yang memuat representasi suatu ide/konsep

tertentu. Kata yang berbentuk simbolis tersebut memiliki

makna karena memang simbol itu bukan ada dari dirinya10 Ibid., 55.

9

sendiri atau untuk dirinya sendiri. Sebagai simbol, kata

terbentuk dan “lahir” dari ucapan-ucapan yang bermakna.

Karena itulah, kata bersifat linguistik (sebagaimana arti

kata aslinya, lingua, yang berarti lida; ucapan yang bermakna,

sebagau produksi dari kombinasi antara gesekan dan desis

udara dari mulut kita).

Kata dalam bahasa manusia selalu mengusung makna sebab

pada hakikatnya kata “berdiri” di atas suatu ide atau konsep

tertentu yang mengacu pada objek tertentu yang mau dikatakan

atau direpresentasikan itu. Jadi suatu kata

merepresentasikan suatu idea tau konsep tertentu mengacu

pada objek tertentu yang mau dikatakan. Suatu kata “berdiri”

di atas suatu makna.11 Makna, ide, atau konsep tertentu

itulah yang disebut dengan signification bagi kata. Dengan

signification dimaksudkan makna atau konsep tertentu berada di

balik suatu simbol. Signification membuat kata menjadi

bermakna, karena pada gilirannya kata bisa menjalankan

fungsinya untuk menyampaikan sesuatu (communicable).

B..2 Makna dan Bahasa

Manusia mengkomunikasikan eksistensi dirinya (ide /

pemikiran) melalui eksplorasi ide dalam bahasa (argumentasi,

retorika, dll). Lantas bahasa bisa selalu dipastikan memuat

makna, dan mengandung suatu maksud dan tujuan dari sang

penyampai. Bahasa pertama-tama ingin bertujuan untuk

mengkomuniasikan diri (eksistensi) manusia melalui11 FRANSISKUS BORGIAS. 2013. Manusia Pengembara : Refleksi Filosofis tentang Manusia,Jalasutra, Yogyakarta, 25.

10

penyampaian maksud dan kehendak kepada yang lain. Lantas,

dalam bahasa manusia mengasosiasikan pengalaman-pengalaman

inderawinya, menyusunnya untuk memperoleh makna dan maksud,

dan kemudian menyajikannya kepada lawan bicara dalam bentuk

bahasa lisan maupun tulisan. Dalam bahasa pula, pikiran,

imajinasi, keinginan dan kehendakn manusiawi yang merupakan

makna itu sendiri dikomunikasikan.12 Atau dengan kata lain,

dalam filsafat manusia, bahasa adalah “tempat” makna

memijakan dirinya dan berada di dunia. Kendati bahasa

terbatas sebagai “jembatan” makna antar manusia secara

simbolis, sistematis, dan terstruktur.

Dengan kata lain, bagi manusia bahasa berfungsi secara

fundamental untuk mengkomunikasikan makna yang ingin

disampaikannya kepada orang lain. Bahas menunjukan pula

tingkat kesadaran diri, tanggung jawab (dalam level

tertentu), dan kebebasan manusia. Maka bahasa adalag hal

yang paling manusiawi, mendasar/fundamental, dan

eksistensial dalam kehidupan manusia.

B.3 Ambiguitas Makna dalam Kasus Sarpin

Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa

ambiguitas berasal dari bahasa Inggris yaitu ambiguity yang

berarti suatu konstruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari

satu arti. Ambiguitas sering juga disebut ketaksaan Tidak

dapat dipungkiri keambiguan yang mengakibatkan terjadinya

lebih dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan

lisan ataupun dalam keadaan tertulis. Ambiguitas dapat12 LOUIS LEAHY, Op.Cit., 76.

11

terjadi oleh karena ketidaksepahaman antara manusia sebagai

subjek bahasa yang mencoba memahami suatu bahasa tertentu

dengan bahasa literer itu sendiri.

Ambiguitas bahasa manusia dalam filsafat manusia dapat

pula diartikan sebagai ketidakmadainya bahasa sebagai sebuah

simbol dalam mengusung dan mengkomunikasikan realitas dan

hidup manusia. Telah dikatakan penulis sebelumnya bahwa

bahasa manusia adalah sebuah simbol linguistik yang memuat

makna dalam rangkaian kata. Lantas, sebagai sebuah simbol,

bahasa tentu tidak mungkin memuat segala dinamika kehidupan

dan makna yang dimaksud manusia di dalamnya. Artinya bahasa

bersifat sangat terbatas dalam mengkomunikasikan makna.

Kendati simbol-lingustik adalah cara yang paling tepat bagi

proses intelektual manusia untuk menyampaikan atau

mengkomunikasikan realitas, toh walau bersifat tidak sempurna

namun untuk saat ini paling memadai (adequate) bagi tingkat

intelektualitas manusia.

Proses ambiguitas dalam bahasa manusia terjadi ketika

manusia hendak mengkomunikasikan maksudnya sebagai contoh

melalui retorika dan pelbagai bentuk argumentasi. Di mana di

dalamnya, manusia mengeksplorasi, memodifikasi, bahkan

“memanipulasi” pelbagai bentuk ekspresi dari pikiran dan

dunia ide yang berseliweran dalam benaknya. Alhasil kerapkali

manusia mengabaikan tata bahasa maupun bahasa yang tidak

mampu memuat keseluruhan maksud manusia tersebut.

Kesalahpahaman pun terjadi baik karena multitafsir, maupun

karena ketidakutuhan melihat konteks yang ada. Alhasil,

bahasa manusia mengandung pluralitas makna karena manusia12

mencoba untuk menutupi kelemahan dan/ atau kekurangannya.

Sebagai contoh, adanya ambiguitas bahasa karena faktor

tulisan kata yang sama, seperti “apel” yang bisa berarti

buah maupun berbaris sejajar. Adapun juga homofon, yaitu

kesamaan bunyi suatu kata namun berbeda makna, seperti

“bank” dengan “bang”. Namun yang patut diperhatikan adalah

bahwa bahasa kerap menimbulkan ambiguitas karena berupaya

mengekspresikan gagasan / ide yang universal-abstrak-

konseptual dengan realitas objektif-inderawi secara

simbolis-linguistik. Makna yang seringkali abstrak dan

implisit berusaha dibahasakan dengan simbol-linguistik yang

implisit yang tidak mencakup keseluruhan makna yang hendak

disampaikan. Artinya, makna dan pengalaman manusia terlalu

luas dan dalam untuk diungkapkan dalam ekspresi kata-kata

atau bahasa.

Salah satu contoh ambiguitas putusan Hakim Sarpin

adalah perihal sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau

tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis, berdasarkan

hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan objek

praperadilan. Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan

memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini tentang:

a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang

13

perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan

atau penuntutan”13

Dalam bahasa hukum tertulis yang dinyatakan dalam KUHAP

Pasal 77, secara gamblang mengatur domain hukum dari pra-

peradilan, yaitu menyatakan sah atau tidaknya penangkapan,

penahanan, dan seterusnya serta perihal ganti kerugian serta

rehabilitasi bagi tersangka. Namun, Hakim Sarpin dalam

putusannya memasukan domain penetapan status tersangka.

Dalil yang dijadikan poin argumentasi Sarpin adalah wewenang

hakim dalam menafsirkan Pasal 77 KUHAP ini. Sarpin berdalih

bahwa keputusannya membebaskan Budi Gunawan dari status

tersangka berpedoman pada pasal 77 KUHAP yang mengatur “sah

atau tidaknya penangkapan”.14 Sarpin berargumen bahwa kata

“sah atau tidaknya penangkapan” juga berarti memuat wewenang

untuk memutuskan status tersangka dalam suatu proses

perkara. Menurutnya, penangkapan sama dengan penetapan

bersalah seseorang. Seseorang bersalah, oleh karena itu ia

ditangkap. Lantas, bila Hakim Sarpin mempunyai wewenang

untuk menolak keabsahan penangkapan Budi Gunawan, berarti ia

juga mempunyai wewenang untuk memutusbebaskan Budi Gunawan

dari status tersangka.

Tampak dalam proses penafsiran hukum tertulis secara

khusus KUHAP Pasal 77, Hakim Sarpin berusaha untuk

menyamakan setiap kata yang padahal mempunyai distingsi dan

domain yang berbeda. Domain “penangkapan” tentu berada dalam

wilayah sebelum penetapan tersangka, dan tidak bisa13 KUHAP Pra-peradilan, dikutip dari KEMENKUMHAM.go.id diakses pada 12 Mei 2015 Pk.14.52 WIB.14 BUDIARTO SHAMBAZY, Op.Cit., 3.

14

disamakan. Begitu pula dengan distingsi kata “penangkapan”

yang berbeda dengan penetapan status tersangka. Penangkapan

bmemuat kemungkinan seseorang belum tentu bersalah. Namun,

status tersangka memuat probabilitas yang lebih besar bahwa

seseorang bersalah berdasarkan bukti dan saksi yang valid

untuk kemudian diangkat dalam proses peradilan yang lebih

tinggi. Dalam dinamika kasus ini terlihat sekali bagaimana

Hakim Sarpin sebagai subjek penafsir hukum kebingungan dan

dalam proses berpikirnya menyamaratakan setiap term sehingga

ambiguitas bahasa pun terjadi.

Pokok yang tidak boleh dilupakan adalah pembebasan

status tersangka Budi Gunawan karena Budi Gunawan tidak

dinyatakan sebagai aparat hukum oleh Hakim Sarpin. Memang

pada saat kasus gratifikasi terjadi, Budi Gunawan sedang

menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber

Daya Manusia Polri periode 2003-2006, yang mempunyai tugas

yang lebih administratif. Lantas, term “administratif” ini

ditafsirkan oleh Hakim Sarpin sebagai wilayah pekerjaan di

luar penegak hukum.15 Baginya, aparat penegak hukum adalah

mereka yang bekerja menegakkan hukum dari perundang-undangan

yang berlaku dan bukan pegawai administratif, dalam konteks

ini pengurus sekolah Polri. Lantas, dalil inilah yang

mendorong Hakim Sarpin untuk berani menetapkan Budi Gunawan

bukan sebagai aparat hukum. Padahal secara jelas, tertera

dalam kartu identitasnya bahwa ia adalah seorang polisi, dan

sudah terang bahwa polisi adalah aparat penegak hukum. Tentu

penafsiran yang asal-asalan ini memang tidak serta merta15 Ibid.

15

karena ambiguitas hukum. Tapi juga karena faktor subjek yang

kurang holistik (utuh) melihat kasus yang ada dan terkesan

“menutup mata” dari beberapa fakta yang jelas.

Bila kita telisik lebih dalam dan tinjau secara kritis,

sejatinya ada yang janggal dari proses penafsiran hukum

tertulis oleh Hakim Sarpin. Tampak adanya unsur kepentingan

di balik putusannya. Hal ini dilandasi secara kuat karena

ini bukan kali pertama Sarpin membuat putusan kontroversial.

Tahun 2010 ketika ia bertugas di Pengadilan Negeri (PN)

Bangkinang propinsi dan Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau.

Ia pun “memotong” setengah tuntuntan Jaksa kepada terdakwa

kasus narkoba dengan alasan yang kurang jelas. Kendati

hingga saat ini, penyelidikan mendalam belum membuktikan

dirinya bersalah.

Ada pula kesan memaksakan putusan yang terang sangat jelas

bertentangan dengan UU, domain dan logika hukum (bahasa).

Lantas, dikhawatirkan dengan dikabulkannya putusan pra

peradilan ini berpotensi membuka pintu upaya hukum yang luas

bagi para tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK sehingga

marwah KPK yang sebelumnya ditakuti oleh para koruptor

namanya kini luntur dengan kejadian pra peradilan BG.

Beberapa nama yang mungkin akan mengikuti jejak BG adalah

Hadi Purnomo, Jero Wacik, Surya Dharma Ali dan Sutan

Batoegana. Dalam praktik hukum, maka ke depan akan banyak

sekali langkah-langkah hukum melalui pra peradilan yang akan

mengakibatkan praktik peradilan sesungguhnya tidak

terlaksana.

16

BAB IV

Simpulan dan Saran

Alhasil dapat disimpulkan bahwa bahasa manusia memuat

makna dalam rangkaian kata-kata. Bahasa manusia yang

mengeksplisitkan makna manusia dalam bentuk simbol

linguistik baik secara verbal maupun non-verbal ternyata

sangat terbatas dan tidak memadai. Ketidakmampuan bahasa

dalam menampung ekspresi makna manusia bisa disebabkan

karena makna manusia yang sangat abstrak-konseptual,

sedang bahasa sangat simbolik-dan konkret. Lantas,

ketidakmampuan bahasa dalam menampung makna inilah yang

kerapkali menyebabkan subjek (manusia) salah dalam

mengartikan suatu makna yang terkandung dalam bahasa.

Ketidakselarasan antara makna dalam bahasa dengan

interpretasi manusia inilah yang disebut ambiguitas.

Namun bila ditinjau secara lebih kritis, secara khsus

dalam kasus putusan Hakim sarpin, ambiguitas yang terjadi

bukan hanya sebatas karena bahasa yang tidak mampu

menampung makna abstrak-konseptual dari manusia secara

tertulis. Tapi juga faktor manusia menjadi penentu

interpretasi sebuah bahasa. Faktor manusia yang penulis

maksud adalah faktor motivasi, tujuan manusia dalam

menggali makna dalam suatu bahasa, yang juga merujuk pada

faktor kepentingan karena memiliki wewenang dan kehendak

untuk memutuskan. Dalam kasus putusan Hakim Sarpin, pokok

kedua yaitu menolak penetapan Budi Gunawan sebagai aparat

penegak hukum tentu sangat janggal dan tidak mempunyai

dasar hukum maupun logika yang valid. Lantas, hal ini pula17

yang patut diantisipasi oleh lembaga penegak hukum di

Indonesia. Masalah batasan kewewenangan seorang hakim

dalam memutuskan suatu perkara dan menafsirkan bahasa

hukum secara tegas harus diatur. Selama ini, Komisi

Yudisial (KY) masih terlihat anteng dalam menindak para

hakim atau jaksanya yang terkesan keluar dari logika dan

bahasa hukum dalam memproses suatu perkara. Dengan kasus

dan analisis ini, penulis berharap lembaga peradilan

negara dalam hal ini KY dapat memproses dan menyelidiki

secara tegas dan tanpa pandang bulu para penegak hukum

dalam peradilan yang berusaha menafsirkan hukum di luar

domain perundang-undangannya dan memperketat pengawasan

demi terciptanya lembaga peradilan yang bersih

kepentingan, adil, dan membawa kesetaraan hak dalam segala

dinamika penegakan hukum di Indonesia.

18

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

2000.

Borgias Fransiskus. Manusia Pengembara : Refleksi Filosofis tentang

Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2013.

KEMENDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.Revisi 2, Gramedia.

Jakarta, 2012.

Leahy, Louis, Siapakah Manusia? Sintensis Filososfis tentang Manusia,

Kanisius,

Yogyakarta, 2001.19

Prasetyono, Emanuel, Dunia Manusia – Manusia Mendunia, Zifatama,

Sidoarjo, 2013.

.

SUMBER KORAN:

Shambazy, Budiarto, "Moral Hakim Merosot", KOMPAS, 12 April 2015.

SUMBER INTERNET :

Adicipta, Saras, “Kronologi kasus Budi Gunawan dan

ketegangan KPK-Polri” disadur dari

http://www.bbc.co.id diakses pada 15 Mei 2015

Pk.18.23 WIB.

Bambang Suno, “Saksi Ahli: Hakim Sarpin Keliru Menafsirkan

Keterangan Saya”,

www.Tempo.co.id diakses pada 17 Februari 2015 Pk.19.47

WIB.

Sari Soedarsono, “Kabulkan Budi Gunawan, Hakim Terancam

Sanksi MA”,

www.Tempo.co.id diakses pada 17 Februari 2015 Pk.19.47

WIB.

20

21