pemerolehan bahasa anak usia 2,0 - Universitas ...

199
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2,0 2,5 TAHUN STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH CHILDHOOD LANGUAGE ACQUISITION FOR 2,0 2,5 YEAR OLD CASE STUDY ON SYAFIIQAH TESIS Oleh: YULIANTI YUSUF Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR 2015

Transcript of pemerolehan bahasa anak usia 2,0 - Universitas ...

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2,0 – 2,5 TAHUN STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH

CHILDHOOD LANGUAGE ACQUISITION FOR 2,0 – 2,5 YEAR OLD CASE STUDY ON SYAFIIQAH

TESIS

Oleh:

YULIANTI YUSUF Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR

2015

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2 TAHUN

STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun dan Diajukan oleh

YULIANTI YUSUF

Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MAKASSAR

2015

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI

Judul : Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun Studi Kasus pada Syafiiqah

Nama : Yulianti Yusuf

NIM : 04.08.949.2013

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada

tanggal 11 November 2015 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan

dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, 21 November 2015

TIM PENGUJI

Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. ( .................................................. ) (Ketua/Pembimbing/Penguji)

Dr. Munirah, M.Pd. ( .................................................. ) (Sekretaris/Pembimbing/Penguji)

Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. ( .................................................. ) (Penguji)

Prof. Dr. H. Kamaruddin, M.A. ( .................................................. ) (Penguji)

TESIS

PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2,0 – 2,5 TAHUN STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH

yang disusun dan diajukan oleh

YULIANTI YUSUF Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal 11 November 2015

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. Dr. Munirah, M.Pd.

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Prof.Dr.H.M. Ide Said,D.M.,M.Pd. Dr.Abd. Rahman Rahim, M.Hum NBM 988 463 NBM 992 699

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Yulianti Yusuf

NIM : 04.08.949.2013

Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisn atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan

tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, 21 November 2015

Yang menyatakan, Yulianti Yusuf

Materai 6000

ABSTRAK

Yulianti Yusuf, 2015. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun Studi Kasus pada Syafiiqah, dibimbing oleh: Abd. Rahman Rahim dan Munirah.

Tujuan penelitian ini untuk 1) mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dari segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik; 2) mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun.

Sumber data penelitian ini adalah seorang anak yang bernama Syafiiqah, lahir di Lakessi pada tanggal 25 Maret 2013. Data dikumpulkan dengan metode simak, dengan menggunakan teknik rekaman dan catat. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa (1) Pemerolehan fonologi, fonem vokal telah diperoleh anak secara keseluruhan. Jenis fonem konsonan yang diperoleh anak usia dua tahun yaitu fonem /t/, /c/, /y/, /p/, /n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, /ny/, dan /k/. (2) Pemerolehan morfologi, ditemukan afiksasi yang berupa sufiks –ka, –ni, –na, –ki, –mi, dan –kan. Telah ditemukan morfem bersuku kata dua, dan bersuku kata tiga. (3) Pemerolehan sintaksis, ditemukan tuturan dua kata, bahkan pada tahun kedua usianya, anak telah mampu menghasilkan lebih dari tiga kata dan telah menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-objek, dan pelaku-perbuatan. (4) Pemerolehan semantik, tuturan anak dengan mudah dipahami oleh ibunya dan orang disekitarnya meski tuturannya masih tetap harus dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut dituturkan sehingga dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski tuturan tersebut mengalami penghilangan maupun pergantian fonem. (5) Faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun adalah faktor lingkungan, faktor alamiah, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial, dan faktor gaya/cara pemerolehan bahasa.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep keuniversalan dalam pemerolehan bahasa anak didukung oleh penelitian ini. Perbedaannya terletak pada urutan pemerolehan sebuah fonem, serta kualitas perolehannya. Hasil lainnya adalah anak telah memperoleh sintaksisnya dengan baik pada usianya, dan pemahaman yang baik pula sesuai dengan sasaran penelitian ini. Kata kunci: pemerolehan, bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,

anak usia 2,0 – 2,5 tahun

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang

Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Penyayang, pemilik segala ilmu

pengetahuan yang telah menganugerahkan kemampuan berpikir dan

bernalar kepada manusia untuk dapat membedakan baik dan buruk dalam

menjalani kehidupan. Shalawat serta salam bagi Baginda Rasulullah,

Habibullah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terkasih,

pembawa pesan terakhir penyempurna pesan-pesan surgawi dalam kitab

suci Al-Quran, karya yang tiada tandingannya, menuntun manusia

bahagia dunia akhirat.

Tesis dengan judul “Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2 Tahun

Studi Kasus pada Syafiiqah” merupakan salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar magister pada Program Pascasarjana Universitas

Muhammadiyah Makassar. Tesis ini akhirnya selesai setelah melalui

serangkaian penelitian yang membutuhkan banyak waktu, pikiran, dan

tenaga. Meski demikian, karya tulis ini dapat diselesaikan tepat pada

waktu yang diharapkan.

Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan, bantuan, dan

dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak, tesis ini tidak akan

terselesaikan. Patutlah penulis mengucap syukur yang tak terkira kepada

Sang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui kelemahan

hamba-Nya sehingga mengirimkan hamba-hamba-Nya yang berhati ikhlas

membantu, membimbing, dan mendukung penulis selama proses

penyusunan hingga terselesaikannya tesis ini.

Terima kasih kepada kedua pembimbing,

Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. dan Dr. Munirah, M.Pd. yang telah

memberi bimbingan dan arahan selama proses penyusunan hingga

terselesaikannya tesis ini.

Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghormatan kepada

pihak Universitas Muhammadiyah Makassar, khususnya Program

Pascasarjana, Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Rektor Universitas

Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd., Direktur

Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,

Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum., Ketua Program Studi Magister

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing dan

memfasilitasi penulis untuk menimba ilmu dan menyelesaikan studi

magisternya.

Terima kasih untuk kedua orang tua tercinta yang senantiasa

mengasihi, mendampingi, mendoakan, dan mendukung penulis selama

ini. Kakak-kakak tersayang yang selalu meluangkan waktu untuk

mendukung, membimbing, dan mendengarkan semua keluhan penulis.

Para sahabat yang telah bersedia untuk memberi semangat selama

penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan

yang membangun untuk hasil yang lebih baik pada penelitian berikutnya.

semoga tesis ini memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia pada

umumnya, dan dunia pendidikan Indonesia pada khususnya.

Makassar, Desember 2015

Yulianti Yusuf

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................

HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ....................................................

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .........................................................

ABSTRAK ..............................................................................................

ABSTRACK............................................................................................

KATA PENGANTAR ..............................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................

DAFTAR TABEL ....................................................................................

DAFTAR BAGAN ...................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 7

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian ................................................... 9

B. Tinjauan Teori dan Konsep ................................................ 12

1. Psikolinguistik ............................................................... 12

2. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak ........................ 14

3. Universal dalam Pemerolehan Bahasa Anak ............... 19

4. Teori Pemerolehan Bahasa Anak ................................. 21

5. Perkembangan Bahasa Anak ....................................... 28

6. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak ................. 36

7. Pemerolehan dalam Bidang Fonologi, Morfologi,

Sintaksis, dan Semantik ............................................... 46

8. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa

Anak ............................................................................. 59

C. Kerangka Pikir ................................................................... 65

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian ....................................................... 69

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 69

C. Unit Analisis dan Penentuan Informan ............................... 70

D. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 71

E. Teknik Analisis Data .......................................................... 72

F. Pengecekan Keabsahan Temuan ...................................... 72

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Penelitian ................................................. 73

B. Pembahasan ...................................................................... 164

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ............................................................................ 168

B. Saran ................................................................................. 172

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1. Transkripsi Data

2. Daftar Istilah

3. Riwayat Hidup

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Persentase Tuturan Dua Kata ............................................... 149

Tabel 4.2 Persentase Tuturan Tiga Kata atau Lebih ............................. 150

Tabel 4.3 Persentase Pemerolehan Kata ............................................. 155

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Pikir ....................................................................... 68

DAFTAR LAMPIRAN

1. Transkripsi Data

2. Daftar Istilah

3. Riwayat Hidup

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

Bahasa dibutuhkan dan digunakan manusia sebagai media untuk

berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan demikian, bahasa adalah alat

komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang

dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk menyampaikan atau menerima

pesan, ide, gagasan, dan informasi. Bahasa memudahkan masyarakat

dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, tanpa bahasa, manusia

akan kesulitan dalam berkomunikasi bahkan sulit melakukan apapun.

Bahasa tidak hanya tulis maupun lisan, tetapi juga bahasa tubuh dan juga

ekspresi seseorang.

Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, produksi

bahasa mereka juga meningkat dalam kuantitas, keluasan, dan kerumitan.

Anak-anak secara bertahap berubah dari melakukan ekspresi menjadi

melakukan ekspresi dengan berkomunikasi, yang juga berubah dari

komunikasi melalui gerakan menjadi ujaran. Anak di usia tertentu mampu

mengembangkan keterampilan berbicara melalui percakapan yang dapat

memikat orang lain. Mereka dapat menggunakan bahasa dengan

berbagai cara seperti bertanya, berdialog, dan bernyanyi.

2

Bahasa anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak

pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau

dan masih mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga sukar

untuk dipahami oleh mitratuturnya. Berlaku sebagai mitratutur pada anak

dan untuk dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur

harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, maksudnya ketika

anak berbicara mereka menggunakan media disekitarnya untuk

menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratuturnya dalam

berbicara. Selain penggunaan struktur bahasa yang masih kacau, anak-

anak juga cenderung masih menguasai keterbatasan dalam kosakata dan

dalam pelafalan fonemnya secara tepat.

Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengenal bunyi-bunyi yang

terdapat di sekitarnya. Brookes (dalam Amaluddin, 1998) mengatakan

bahwa pemerolehan bahasa dalam bentuk yang paling sederhana bagi

setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18 bulan

dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang

empat tahun.

Bagi Simanjuntak (1982), pemerolehan bahasa bermaksud

penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan

aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan umur 2-6

tahun. Hal ini tidak bermakna bahwa orang dewasa tidak lagi memperoleh

bahasa tetapi kadarnya tidak sehebat anak-anak. Pemerolehan bahasa

dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau

3

dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal

untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang

dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya.

Menurut Juszyk dan Hone (dalam Papalia dkk, 2009: 243)

mengemukakan bahwa seorang anak tidak perlu menghapal dan

menirukan pola-pola kalimat agar mampu menguasai bahasa itu. Piranti

pemeroiehan bahasa diperkuat oleh beberapa hal, yakni: (1) Pemerolehan

bahasa anak mengikuti tahap-tahap yang sama; (2) Tidak ada hubungan

pemerolehan bahasa anak dengan tingkat kecerdasan; (3) Pemerolehan

bahasa tidak terpengaruh oleh emosi maupun motivasi; dan (4) Pada

masa pemerolehan tata bahasa anak di seluruh dunia sama saja.

Pemerolehan bahasa pada anak usia 1 – 3 tahun merupakan

proses yang bersifat fisik dan psikis. Secara fisik, kemampuan anak dalam

memproduksi kata-kata ditandai oleh perkembangan bibir, lidah, dan gigi

mereka yang sedang tumbuh. Pada tahap tertentu pemerolehan bahasa

(kemampuan mengucapkan dan memahami arti kata juga

tidak lepas dari kemampuan mendengarkan, melihat, dan mengartikan

simbol-simbol bunyi dengan kematangan otaknya. Sedangkan

secara psikis, kemampuan memproduksi kata-kata dan variasi ucapan

sangat ditentukan oleh situasi emosional anak saat berlatih mengucapkan

kata-kata.

Berkaitan dengan pola pengucapan oleh anak-anak pada

umumnya, perlu diperhatikan beberapa persamaan dan perbedaan untuk

4

beberapa vokal dan konsonan tertentu. Pada saat anak-anak berusia dua

tahun, kebanyakan bentuk-bentuk komunikasi prabicara yang tadinya

sangat bermanfaat dalam masa bayi telah ditinggalkan. Anak-anak tidak

lagi mengoceh dan tangis mereka sudah sangat berkurang. Ia mungkin

menggunakan isyarat, terutama sebagai pelengkap bagi pembicaraan

untuk menekankan arti kata-katayang diucapkan dan bukan sebagai

pengganti bicara. Tetapi anak-anak terus berkomunikasi dengan orang-

orang lain dengan ungkapan-ungkapan emosi yang secara keseluruhan

lebih diterima secara sosial dan tidak terlalu dianggap “seperti bayi”

daripada bentuk-bentuk prabicara lainnya.

Selama masa awal kanak-kanak, anak-anak memiliki keinginan

yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan oleh dua hal.

Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi.

Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya akan

lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima sebagai

anggota kelompok daripada anak yang kemampuan berkomunikasinya

terbatas. Anak-anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami

rintangan, baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila ia pandai

berbicara seperti teman-teman sekolahnya. Kedua, belajar berbicara

merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Anak-anak yang tidak

dapat mengemukakan keinginan dan kebutuhannya, atau yang tidak

dapat berusaha agar dimengerti orang lain cenderung diperlakukan

seperti bayi dan tidak berhasil memperoleh kemandirian yang

5

diinginkan. Kalau anak-anak tidak dapat mengatakan kepada orangtua

atau pengasuh bahwa mereka ingin mencoba memotong daging atau

menyisir rambut sendiri, orang-orang dewasa akan terus memantau

karena ia dianggap masih terlalu kecil untuk dapat melakukanya sendiri.

Ini menghambat anak untuk menjadi percaya diri dan mandiri.

Anak harus menguasai dua tugas pokok yang merupakan unsur

penting dalam belajar berbicara untuk meningkatkan komunikasi.

Pertama, mereka harus menigkatkan kemampuan untuk mengerti apa

yang dikatakan orang lain dan kedua, mereka harus meningkatkan

kemamuan berbicaranya sehingga dapat dimengerti orang lain. Para

orang tua dan pengasuh biasanya lebih menekankan pada belajar

berbicara sehingga tugas meningkatkan pengertian secara tidak langsung

dilakukan anak sendiri karena adanya keinginan yang kuat untuk

berkomunikasi sebagai sarana untuk kegiatan sosial.

Orang dewasa selalu terpesona oleh hampir perkembangan

bahasa yang ajaib pada anak-anak. Meskipun sepenuhnya lahir tanpa

bahasa, pada saat mereka berusia 2 hingga 4 tahun, anak-anak secara

khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi, dan

gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk

bagaimana cara menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam

banyak latar sosial. Pemenuhan ini terjadi pada setiap masyarakat yang

dikenal, apakah terpelajar atau bukan, dalam tiap-tiap bahasa dari Afghan

hingga ke Zulu, dan hampir pada semua anak-anak, dengan mengabaikan

6

cara bagaimana mereka dibesarkan. Alat-alat linguistik modern dan

psikologi telah memungkinkan kita untuk mengatakan banyak hal tentang

apa yang dipelajari anak-anak, dan langkah-langkah yang mungkin

mereka lewati dalam perjalanan menuju kemampuan komunikatif orang

dewasa.

Saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang

proses sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa. Bagairnana cara

mereka menentukan makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan

ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar atau

produksi sebelumnya? Mengapa anak-anak belajar bahasa? Apakah

anak-anak belajar bahasa karena orang dewasa mengajarkannya kepada

mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara genetik untuk

memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks

hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam

rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan

orang lain?

Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun yang bernama

Syafiiqah (Fiiqah) anak dari pasangan Bapak Gunawan dan Ibu Nur

Agusyani Nurdin.

7

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dari

segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik?

2. Faktor apa yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia

2,0 – 2,5 tahun?

C. Tujuan Penelitian

Berdasar dari rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5

tahun dari segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan

semantik.

2. Untuk mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pemerolehan

bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, secara praktis diharapkan dapat bermanfaat

untuk dijadikan bahan rujukan (minimal sebagai perbandingan) dalam

menuntun atau mengikuti terhadap perkembangan pemerolehan bahasa

anak yang lain yang memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa

pertama, dan memberikan informasi kepada orang tua anak mengenai

8

perkembangan pemerolehan bahasa anak, serta tahap-tahap

perkembangan yang secara normal dilalui, serta aspek-aspek yang

diperoleh dalam tahapan tersebut.

Selain manfaat secara praktis, penelitian ini juga memiliki manfaat

secara teoretis, yaitu memberikan kontribusi bagi pengembangan

psikolinguistik di Indonesia, khususnya mengenai kajian perkembangan

pemerolehan bahasa dan memberikan informasi bagi peneliti

perkembangan pemerolehan bahasa, termasuk yang berkecimpung dalam

penelitian perkembangan anak, dapat melahirkan teori mengenai

perkembangan pemerolehan bahasa anak pada usia 2 tahun, bagi anak

yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

Berikut ini beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan

dengan fokus penelitian ini.

Zain dan Khalik (2012) meneliti tentang Fase Perkembangan

Bahasa Anak Usia 2;0 -3;0 Tahun. Berdasarkan hasil pembahasan, serta

relevansinya dengan masalah yang diajukan, maka dapat dikemukakan

simpulan sebagai berikut. dalam pemerolehan fonem vokal, sumber data

telah dapat mengucapkan 6 bunyi vokal, yaitu /a, I, u, e, o, dan e (pepet).

Sedangkan fonem konsonan yang telah diuasainya yaitu fonem /b, p, m, t,

d, c, n, s, l, g, h, j, y, k, w, dan ny/. Dalam tataran morfologi bentuk afiksasi

yang diperoleh adalah bentuk na-, ta-, i-, ta + i, di + i, ta + ki, na + I, yang

merupakan afiks yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah. Adapun

afiksasi dalam bahasa Indonesia adalah bentuk di-, ber-, ke-an, me-, pen-,

dan –an. Selain bentuk ini, terdapat juga bentuk reduplikasi, pergantian

fonem, pertukaran fonem, penghilangan fonem, dan penghilangan suku

kata. Dalam pemerolehan morfem, ditemukan morfem bersuku satu,

morfem bersuku dua, dan morfem bersuku tiga. pada tahap pemerolehan

sintaksis yang terdiri atas frasa, klausa, dan kalimat.

Pemerolehan frasa meliputi: (1) frasa adjektiva; (2) frasa verbal; (3)

frasa nomina; dan (4) frasa preposisional. Pada pemerolehan klausa dan

10

kalimat, sumber data telah mampu menggunakan, baik klausa tunggal

maupun kalimat majemuk. Kalimat majemuk yang dapat dikuasai oleh

sumber data adalah kalimat majemuk koordinatif dengan dan/sama,

kalimat majemuk waktu dengan sesudah, sebelum, dan tadi, kalimat

majemuk syarat dengan kalau, kalimat majemuk penyebaban dengan

karena, kalimat majemuk tujuan dengan supaya dan agar, kalimat

majemuk aktif dengan tahu, dan kalimat majemuk atribut dengan yang.

Adapun pemerolehan leksikon yang pertama kali dikuasai adalah jenis

kata benda (nomina).

Yanti (2013) meneliti tentang Studi Kasus Pemerolehan Bahasa

pada Anak Usia 3 Tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa pemerolehn

bahasa pada tataran sintaksis, semantik dan fonologi Nadya selaku objek

penelitian sudah cukup baik. Tidak terdapat penyimpangan yang berarti

dalam tuturan yang dihasilkan. Pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun

berada pada tahap perkembangan kalimat. Anak sudah mengenal pola

dialog, sudah mengerti saat gilirannya berbicara dan saat giliran lawan

tuturnya berbicara. Anak telah menguasai hukum-hukum tata bahasa

yang pokok dari orang dewasa, perbendaharaan kata berkembang, dan

perkembangan fonologi dapat dikatakan telah berakhir. Mungkin masih

ada kesukaran pengucapan beberapa konsonan namun segera akan

berhasil dilalui anak.

Muliawati (2011) meneliti tentang Pemerolehan Bahasa Anak Usia

Tiga Tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis tindak tutur

11

anak yang berusia tiga tahun berdasarkan panjang kalimat anak usia tiga

tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara

terpenggal serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh

melalui tahapan-tahapan tertentu. Anak umur tiga tahun sudah mampu

menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan

terbatas. Berdasarkan jumlah ujaran giliran tutur dibuktikan anak tiga

tahun dalan bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur.

Yasin (2014) dengan judul penelitian Pemerolehan Bahasa

Pertama Anak Usia Satu Tahun (Perkembangan Aspek Morfologi Bahasa

Jawa: Muhammad Mirza Shidqi Yasin). Hasil pengamatan dapat

disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa pertama anak usia satu tahun

dari aspek pengamatan morfologi bahasa Jawa pada anak bernama

Muhammad Mirza Shidqi sangat baik. Pada usia satu tahun anak ini telah

memiliki perkembangan morfologi yang sangat baik, ia mampu menguasai

kata-kata yang berada disekitarnya. Berdasarkan hasil pencatatan,

terdapat lebih kurang 15 kata yang memiliki anak. Kata-kata yang

diucapkan umunya meniru ucapan ibunya yang berbentuk kata benda,

kata kerja, dan sifat. Walaupun yang diucapkan suku kata terakhir, namun

mempunyai makna yang sudah bisa dipahami oleh orang tuanya.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dipaparkan

sebelumnya, penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki rumusan

masalah yang hampir sama pembahasannya. Letak perbedaan penelitian

ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada umur objek penelitian.

12

B. Tinjauan Teori dan Konsep

1. Psikolinguistik

Psikolinguistik merupakan salah satu perilaku dari kemampuan

manusia, sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berpikir,

bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih spesifik lagi, berbahasa

ini merupakan kegiatan dan proses memahami dan menggunakan isyarat

komunikasi yang disebut bahasa (Chaer, 2003: 221).

Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa

dan pemerolehan bahasa oleh manusia. Menurut Levelt, ada tiga bidang

kajian utama psikolinguistik, yaitu:

Psikolinguistik umum merupakan studi tentang proses

pengamatan/persepsi orang dewasa terhadap bahasa dan cara

memproduksinya. Ada dua cara dalam persepsi dan produksi persepsi

bahasa ini, yaitu secara auditif dan visual. Persepsi bahasa secara auditif

adalah mendengarkan dan persepsi bahasa secara visual adalah

membaca. Dalam produksi bahasa, kegiatannya adalah berbicara (auditif)

dan menulis (visual).

Psikolinguistik perkembangan adalah studi psikologi mengenai

perolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik perolehan

bahasa pertama maupun bahasa kedua. Dalam hal ini pembahasannya

berkaitan dengan cara anak dalam belajar dua bahasa secara bersamaan

atau proses seorang anak memperoleh bahasa pertamanya.

13

Psikolinguistik terapan merupakan aplikasi dari teori-teori

psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa maupun

anak-anak, misalnya membahas tentang pengaruh perubahan ejaan

terhadap persepsi mengenai ciri visual dari kata-kata, kesukaran-

kesukaran pengucapan, program membaca dan menulis permulaan dan

bantuan/pengajaran bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan

dalam perkembangan bahasa.

Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam

otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Proses-proses

ketika anak sedang memperoleh bahasa ibunya terdiri dari dua aspek:

pertama aspek performance yang terdiri dari aspek-aspek pemahaman

dan pelahiran, kedua aspek komperensi. Proses –proses pemahaman

melibatkan kemampuan mengamati atau kemampuan mempersepsikan

kalimat-kalimat yang didengar sedangkan proses pelahiran melibatkan

kemampuan melahirkan atau mengucapkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua

kemampuan ini apabila telah dikuasai seorang anak maka akan menjadi

kemampuan linguistiknya.

Berdasarkan pengamatan dan kajian para ahli bahasa dapat

disimpulkan bahwa manusia telah dilengkapi sesuatu yang khusus dan

secara alamiah untuk dapat berbahasa dengan cepat dan mudah. Miller

dan Chomsky menyebutkan LAD (Language Acquisition Device) yang

intinya bahwa setiap anak telah dibekali LAD sejak lahir.

14

2. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), pemerolehan

bermakna proses, cara, perbuatan memperoleh. Kata memperoleh

tersebut di dalam KBBI bermakna mencapai sesuatu dengan usaha.

Dengan demikian, pemerolehan bermakna proses, cara perbuatan

mencapai sesuatu dengan usaha.

Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung

di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa pertamanya atau

bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang

memperoleha bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses

performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa

yang berlangsung secara tidak disadari. Proses performansi adalah

tampilan atau penampilan anak ketika mengungkapkan bahasa yang telah

diperolehnya. Proses kompetensi menjadi syarat terjadinya proses

performansi yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan

proses penerbitan atau menghasilkan kalimat-kalimat. Proses

pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau

kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Proses

penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan

kalimat-kalimat itu sendiri (Rahim, 2011:2).

Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu

kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan

memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan hal itu, maka yang

15

dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan

kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun

pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal

(Tarigan, 1998)

Istilah pemerolehan bahasa dimaknai sebagai proses penguasaan

bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar

bahasa ibunya (Dardjowidjojo, 2003). Pada saat anak lahir, anak tersebut

telah memiliki suatu sistem yang peka terhadap rangsangan tertentu,

misalnya gerakan menghisap saat sesuatu dimasukkan ke dalam

mulutnya, sehingga sistem tersebut secara cepat mampu meningkatkan

kemampuan anak untuk memilih gerakan tubuhnya. Dengan demikian,

pada saat anak lahir, sistem otak sudah tersusun secara lengkap, namun

belum berfungsi secara maksimal. Oleh sebab itu, cara untuk

memfungsikan otak anak adalah dengan memberikan rangsangan, salah

satunya adalah rangsangan bahasa.

Menurut Ellis (1995) dalam pemerolehan bahasa, masukan (input)

merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan. Manusia

tidak akan dapat menguasai bahasa apabila tidak ada masukan

kebahasaan padanya. Dapat dikatakan pula bahwa pemerolehan bahasa

adalah awal mula ketika seseorang mendapatkan pengetahuan tentang

bahasa dan menggunakannya untuk berkomunikasi.

Krashen (dalam Rusyani, 2008) mendefinisikan pemerolehan

bahasa sebagai the product of a subconscious process very

16

similar to the process children undergo when they acquire their first

language. Dengan kata lain, pemerolehan bahasa adalah proses

seseorang dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya

dalam memperoleh bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pada anak

usia dua sampai tiga tahun terjadi secara alamiah. Pemerolehan bahasa

biasanya secara natural artinya pemerolehan bahasa yang terjadi secara

alamiah tanpa disadari bahwa seorang anak tengah memperoleh bahasa,

tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa anak tersebut tengah

menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Schutz (dalam Rusyani,

2008) menambahkan hasil dari pemerolehan bahasa yakni kompetensi

yang diperoleh juga bersifat alamiah. Pemerolehan bahasa secara

alamiah ini tidak dikaitkan secara ketat, tetapi pemerolehan bahasa itu

diperoleh sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri.

Menurut Sigel dan Cocking (dalam Rusyani, 2008), pemerolehan

bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk

menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai

dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan sederhana dari

bahasa yang bersangkutan.

Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama,

pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba.

Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang

muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

17

Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak

hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai yang dilakukan atau tidak

dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa

(Fromkin dan Rodman, 1998: 318).

Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata

dan kalimat dalam sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu

terbatas, tetapi tidak ada kamus yang bisa mencakup semua kalimat yang

tidak terbatas jumlahnya.

Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa

kalimat yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya. Mereka tidak

dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar

dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka. Anak-anak

selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat

menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan

ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaksis,

dan semantik dari anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa

(memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik,

yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para

ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan aturan ini termasuk

mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk penggilan yang sopan, dan

berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan

sejak lahir manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus

berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus

18

menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam

masyarakat. Sebagian dari norma ini tertanam dalam bahasa sehingga

kompetensi seseorang tidak terbatas pada pemakaian bahasa (language

usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use)

(Dardjowidjojo, 2000: 275).

Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan

masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informasi serta lebih

merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang

berlangsung secara formal dan artificial serta merujuk pada tuntutan

pembelajaran (Rusyani, 2008), dan pemerolehan bahasa dibedakan

menjadi pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.

Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah

belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini dapat

satu bahasa atau monolingual FLA (first language acquisition), dapat juga

dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan

dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Pemerolehan bahasa

kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai

bahasa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan

keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.

Pemerolehan bahasa pertama sangat erat kaitannya dengan

perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat huungannya dengan

pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan

salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu

19

masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan,

kemauannya dengna cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial.

Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh

nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.

Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh

prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’,

ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya,

dan kembangkan identitas pribadi anda sendiri’.

3. Universal dalam pemerolehan bahasa

Bahasa suatu bangsa atau sekelompok manusia memang berbeda

dalam melahirkan simbol-simbol sebagai representasi dari fenomena yang

ada di sekitarnya. Bahasa memang bersifat arbitrer dalam

pengungkapannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Villers dan

Villers (Amaluddin, 1998: 18) bahwa bahasa adalah sistem simbolik untuk

merepresentasikanb kehidupan nyata, tetapi representasi dari simbol-

simbol itu bersifat manasuka (arbitrary).

Keanekaragaman bahasa di dunia memungkinkan adanya kategori

yang berbeda, tetapi ada sejumlah kategori universal dikemukakan oleh

Greenberg (Amaluddin, 1998: 18) yaitu kategori bilangan (number),

peniadaan (negation), sebab akibat (cause and effect) dan waktu (time).

Keuniversalan bahasa bersifat kontroversi. Filosof Joos (dalam

Purwo, 1996: 143) mengatakan bahwa bahasa-bahasa dapat dibedakan

satu dengan yang lainnya tanpa batas dan dengan cara yang tak terduga,

20

namun linguis Chomsky (dalam Purwo, 1996: 64) menganggap bahwa

semua bahasa di dunia ini adalah sama.

Perbedaan pendapat itu dikarenakan penganut behavioris, seperti

Filosof Joos, melihat bahwa bahasa itu hanya memiliki satu macam

struktur yang oleh Chomsky dinamakan struktur lahir (surface structure).

Kaum rasionalis (Chomsky), mengemukakan struktur lain selain struktuk

lahir, yaitu struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Chomsky

(dalam Purwo, 1996: 143) dan para pengikutnya telah mengusulkan

struktur batin yang abstrak. Semua struktur lahir bahasa-bahasa yang ada

di dunia ini diturunkan dari struktur batin. Konsep keuniversalan bahasa itu

adalah yang berkaitan dengan struktur batin yang hakiki pada manusia,

sedangkan keanekaragaman bahasa berkaitan dengan struktur lahir yang

dilihat dan didengarkan dalam keseharian. Bahasa berbeda antara satu

dengan yang lainnya tidak dapat dibantah, tetapi perbedaan itu terletak

pada struktur lahirnya.

Langacker (dalam Amaluddin, 1998: 21) berkomentar bahwa jika

anak yang dilahirkan diberikan kesempatan (chance), baik dari keturunan

(heredity) atau lingkungan (environment), maka anak akan memperoleh

bahasa secara alamiah pada tahun-tahun pertama dalam hidupnya.

Pemerolehan bahasa itu dapat diperoleh meskipun anak cacat jasmani

dan pemerolehan itu tidak memerlukan pengajar khusus.

Dardjowidjojo (2003: 630) mengatakan baik proses, tahap perkembangan,

maupun elemen-elemen bahasa yang perlahan dikuasai oleh anak

21

tampaknya sama di seluruh dunia ini, sehingga timbul pendapat bahwa

pemerolehan bahasa bersifat universal.

Seorang anak yang lahir dapat menguasai bahasa yang

bersentuhan dengan dirinya, dan hasilnya akan sama dengan penutur asli

bahasa itu. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu bawaan lahir (innate)

yang oleh Chomsky dikenal dengan istilah LAD yang menjadi bekal untuk

menguasai bahasa, unsur-unsur universal bahasa yang menjadikan

semua manusia mampu menguasainya, dan lingkungan yang memberikan

andil dalam pemerolehan bahasa.

4. Teori Pemerolehan Bahasa Anak

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap pemerolehan dan

perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan,

hipotesis, atau teori yang dianut. Dua pandangan yang kontroversial

dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang

berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada anak bersifat alamiah

(nature), pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan

bahasa pada anak bersifat “suapan” (nurture), dan pandangan yang ketiga

muncul di Eropa yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah

kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif sehingga

pandangannya dikenal dengan nama pandangan kognitivisme.

a. Pandangan nativisme. Nativisme berpendapat bahwa

kemampuan lingual anak-anak sedikit demi sedikit terbuka yang secara

genetis telah diprogramkan selama berlangsungnya proses pemerolehan

22

bahasa pertama. Nativis tidak menganggap lingkungan berpengaruh

dalam pemerolehan bahasa, tetapi berpendapat bahwa bahasa

merupakan pemberian biologis. Pandangan ini berpendapat bahwa

bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari

dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi,

dapat dipastikan ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa

yang sudah ada pada manusia secara alamiah.

Chomsky melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, melainkan

juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada

pengucapan atau pelaksanaan bahasa (performansi). Menurutnya,

bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat

menguasai bahasa manusia. pendapat tersebut didasarkan pada

beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang

diturunkan (genetic); pola perkembangan bahasa adalah sama pada

semua macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal);

dan lingkungan hanya memiliki peranan kecil di dalam proses

pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat,

anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara mirip dengan orang

dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data

secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa

(Rahim, 2011: 3).

Menurut Chomsky, sejak lahir anak telah dibekali secara alamiah

sebuah alat pemerolehan bahasa yang saat ini dikenal dengan istilah LAD

23

(language acquisition device). Alat yang merupakan pemberian biologis ini

menjadi karunia yang tak ternilai karena telah diprogramkan untuk merinci

butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD ini dianggap sebagai

suatu bagian filosofis dari otak yang dikhususkan untuk memroses

bahasa, dan tidak berkaitan dengan kemampuan kognitif yang lain

(Amaluddin, 1998: 26).

Berikut beberapa hasil pengamatan yang dilakukan para pakar

terhadap pemerolehan bahasa anak-anak.

1) Semua anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja

“diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak

diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).

2) Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan

anak.Artinya baik anak yang cerdas akan memperoleh bahasa itu.

3) Kalimat-kalimat yang didengar anak seringkali tidak gramatikal, tidak

lengkap, dan jumlahnya sedikit.

4) Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain. Hanya manusia

yang dapat berbahasa.

5) Proses pemerolehan bahasa oleh anak di mana pun sesuai dengan

jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa anak.

6) Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal.

Namun, dapat dikuasai anak dan lain waktu yang relative singkat,

yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.

24

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa

manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan

dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu, karena sukar dibuktikan

secara empiris, maka pandangan ini mengajukan satu hipotesis yang

disebut hipotesis nurani (dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula

jadi) (Rahim, 2011: 4).

b. Pandangan behaviorisme. Kaum behavioris menekankan

bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si

anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah

bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa

itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan

bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan salah satu

perilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu,

mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar tampak lebih

mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.

Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami

bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak

dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak

memiliki peranan yang aktif di dalam proses proses perkembangan

perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui

peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak

mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa

25

terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh

lingkungannya.

Menurut Skinner, kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah

perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau

mengatakan sesuatu. Namun, jika anak sudah mampu berbicara,

bukanlah karena penguasaan kaidah (rule-governed) sebab anak tidak

dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara

langsung oleh faktor di luar dirinya. Mereka berpendapat rangsangan

(stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa

anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan

dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke

kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip

pertalian S – R (stimulus – respons) dan proses peniruan-peniruan. Para

pendukung teori ini memegang sebuah hipotesis yang dikenal dengan

istilah hipotesis tabularasa.

Tabularasa secara harfiah berarti kertas kosong, dalam arti belum

ditulisi apa-apa. Lalu, hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak

bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nantinya

akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada

mulanya dikemukakan oleh John Locke, seorang tokoh empirisme yang

sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson

seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.

26

Seorang anak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa

ibunya, pada mulanya akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada

semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap berceloteh. Namun,

orang tua si anak itu hanya memberikan bunyi-bunyi yang ada dalam

bahasa ibunya saja. Jika tiruannya itu betul atau mendekati ucapan yang

sebenarnya, maka dia kan mendapat hadiah dari ibunya berupa

senyuman, tawa, ciuman, dan sebagainya. Perkembangan kemampuan

berbahasa selalu diperkukuh dengan hadiah-hadiah atau ganjaran-

ganjaran, sehingga menjadi tabiat atau perilaku pada kanak-kanak itu.

Menurut pandangan ini, bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau

perilaku-perilaku.

c. Pandangan kognitivisme. Menurut Jean Piaget

(dalam Rahim, 2006: 37), bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang

terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang

berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar maka

perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih

mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan

perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.

Piaget menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari bahasa

bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang

dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat

interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan

27

lingkungan kebahasaannya. Struktur itu timbul secara tak terelakkan dari

serangkaian interaksi.

Hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan

bahasa pada anak dapat diketahui dari keterangan Piaget mengenai

tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap

perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan, oleh Piaget disebut

sebagai tahap sensori motor. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa

karena anak belum menggunakan lambang-lambang untuk menunjuk

pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia

melalui alat indranya (sensory) dan gerak kegiatan yang dilakukannya

(motor). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara

langsung, jika benda tersebut menghilang dari penglihatannya maka

benda itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun, saat

itulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada (permanen),

meskipun tak terlihat olehnya.

Piaget memperkenalkan hipotesis kesemestaan kognitif untuk

memperkuat pandangan ini. Menurutnya, hipotesis ini telah digunakan

sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa

anak. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa

diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-

stuktur ini diperoleh anak melalui interaksi dengan benda-benda atau

orang-orang di sekitarnya. Berikut menurut Rahim (2011: 9) urutan

pemerolehan bahasa secara garis besar.

28

1) Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak

mengembangkan pola-pola aksi dengan cara beraksi terhadap alam

sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-

struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini, kanak-

kanak mulai membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang

lazim disebut kekekalan benda.

2) Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap

representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7

tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak telah mampu membentuk

representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik,

peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.

3) Setelah tahap reperesentasi kecerdasan, dengan representasi

simboliknya berakhir, maka bahasa anak semakin berkembang, dan

dengan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur linguistik mulai

dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.

5. Perkembangan Bahasa Anak

Perkembangan bahasa sebagai salah satu dari kemampuan yang

harus dimiliki anak, sesuai dengan tahapan usia dan karakteristik

perkembangannya. Perkembangan adalah suatu perubahan yang

berlangsung seumur hidup dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

saling berinteraksi seperti biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Bahasa

adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi yang meliputi fonologi

(unit suara), morfologi (unit arti), sintaksis (tata bahasa), semantik (variasi

29

arti), dan pragmatik (penggunaan) bahasa. Dengan bahasa, anak dapat

mengomunikasikan maksud, tujuan, pemikiran, maupun perasaannya

pada orang lain.

Tahap perkembangan bahasa seseorang adalah suatu proses yang

berlangsung terus menerus dan melalui berbagai tahapan. Masing-masing

tahapan mengalami perkembangan ke arah bentuk bahasa yang lebih

sempurna. Perkembangan bahasa anak dapat terpengaruh oleh keadaan

dan situasi bahasa lingkungannya, sehingga seorang anak dalam

perkembangannya dapat mengenal bahasa lingkungan tempat anak

tersebut berada.

Bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang

dalam diri anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal,

dipakai tanpa memahami logika yang mendasarinya, secara kualitatif

sama dalam diri setiap orang, dan berbeda dari kecakapan-kecakapan

lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memroses informasi atau perilaku

secara cerdas.

Perkembangan anak dalam fase-fase kehidupannya turut

berpengaruh dalam penelitian pemerolehan bahasa anak. Meskipun tidak

turut diamati, perkembangan anak tidak dapat dilepaskan dari

pemerolehan bahasa anak.

Pembahasan tentang perkembangan anak akan membantu dalam

penelitian pemerolehan bahasa. Dengan demikian, dengan membahas

perkembangan anak maka dapat diketahui cara seorang anak berbahasa,

30

cara mereka belajar berbahasa, dan kondisi yang menyebabkannya. Oleh

karena itu, sebelum membahas perkembangan pemerolehan bahasa

anak, secara singkat dikemukakan mengenai perkembangan motorik,

social, dan perkembangan kognitif anak.

a. Perkembangan motorik. Perkembangan motorik merupakan

perkembangan bayi sejak lahir yang paling tampak, yakni sebuah

perkembangan yang bertahap dari duduk, merangkak, sampai berjalan.

Tak lama setelah lahir, seorang bayi aan menghabiskan waktunya antara

14-18 jam untuk tidur, yang kemudian berangsur berkurang. Pada usia 3

atau 4 bulan bayi sudah mampu duduk sebentar dengan bantuan orang

dewasa. Pada usia 7 atau 8 bulan, bayi sudah mampu duduk tanpa

bantuan, dan menjelang usia 9 bulan, bayi mampu duduk selama 10 menit

bahkan lebih. Kemampuan merangkak terjadi pada usia 7 bulan, dan 1

atau 2 bulan kemudian, mulai tampak kemampuannya untuk berdiri

dengan bantuan orang dewasa atau berpegangan pada kursi. Pada usia

11 bulan, anak dapat berdiri sendiri, dan sekitar usia 13 bulan dia sudah

mampu berjalan sendiri (Rahim, 2011: 12).

Motor berarti gerak. Dua kemampuan bergerak yang paling banyak

diperhatikan para pakar adalah berjalan dan pengggunaan tangan

sebagai alat. Berjalan dan penggunaan tangan sebagai alat bergantung

pada pendewasaan. Namun, bantuan orang tua atau pengasuh dapat

membantu sedikit percepatan perkembangan motorik ini. Berbagai kajian

terhadap kemampuan anak-anak yang geraknya terbatas pada bulan-

31

bulan pertama dalam hidupnya menunjukkan bukti bahwa kekurangan

latihan tidak dapat mengubah urutan kejadian yang mengarah

ke kemampuan berjalan anak. Kalau kemampuan berjalan diperkaya,

diberi porsi lebih, mungkin kemampuan berjalan dapat diperoleh lebih dini;

tetapi urutan kemampuan tidak berubah (Rusyani, 2008).

Pemahaman penggunaan tangan sebagai alat juga mengikuti

urutan perkembangan yang dapat dipresiksi: gerakan dimulai dengan

gerakan kasar tangan bayi ke arah suatu objek untuk dimanipulasi.

Kemudian berkembang ke arah meraih dengan tangan secara sederhana,

menggenggam objek dengan telapak tangan. Berikutnya, anak meraih

dengan tangan diikuti dengan ketangkasan jari dan ibu jari, sampai anak

itu dapat menggunakan dua jari saja, misalnya memungut sebuah pensil.

Urutan kemampuan penggunaan tangan ini dikendalikan oleh

pendewasaan dari sistem saraf otak.

b. Perkembangan sosial dan komunikasi. Ada yang berpendapat

bahwa bayi sejak lahir hingga usia sekitar 2 tahun dianggap belum

mempunyai bahasa atau belum berbahasa. Kiranya ungkapan tersebut

belum mencerminkan perilaku bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun

dikatakan belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu sudah

berkomunikasi. Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk

berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Sesungguhnya, semenjak lahir,

bayi secara biologis sudah dapat berkomunikasi, dia akan tanggap

terhadap kejadian yang ditimbulkan orang disekitarnya (terutama ibunya).

32

Daya lihat bayi yang paling baik berada pada jarak kira-kira 20 cm (8 inci),

yakni jarak yang terjadi pada waktu interaksi rutin terjadi antara bayi dan

ibu, yaitu pada saat bayi menyusu pada ibunya. Kurang lebih 70% dari

waktu menyusu itu, sang ibu memandangi bayinya dalam jarak 20 cm.

Oleh karena itu, bayi akan membalas tatapan ibunya dengan melihat mata

sang ibu yan gmenarik perhatiannya. kemudian bayi juga belajar bahwa

terjadi saling tatap mata berarti ada komunikasi, antara bayi dan ibunya

(Rahim, 2011: 13).

Jangkauan pendengaran suara optimal yang dapat dilakukan bayi

berada dalam jangkauan frekuensi suara manusia. Tampaknya bayi lebih

senang mendengar suara manusia dibanding suara atau bunyi dari

sumber lain. Jika mendengar suara manusia, bayi akan berusaha mencari

sumber suara tersebut. Bila berhasil melihat wajah orang yg berbicara

dengannya, bayi akan tampak gembira. Hal ini berbeda jika suara yang

didengarnya bukan suara manusia, bayi tidak menampakkan reaksi

seperti saat bayi mendengar suara manusia.

c. Perkembangan kognitif. Istilah kognitisi berkaitan dengan

peristiwa mental yang terlibat dalam proses pengenalan tentang dunia,

yang melibatkan pikiran atau berpikir. Oleh karena itu, secara umum kata

kognisi dapat dianggap bersinonim dengan kata berpikir atau pikiran

(Rahim, 2011: 15). Piaget berteori bahwa anak-anak mengalami empat

masa utama pelaksanaan atau pemanfaatan kognitif. Masa-masa itu

33

adalah masa gerakan pancaindra, praoperasional, operasi kongkrit, dan

operasi formal.

1) Tahap sensomotorik merupakan tahap pertama dalam

perkembangan kognisi anak, dan berlangsung pada sebagian dari dua

tahun pertama dalam kehidupannya. Pada awal tahap ini, bayi belum

membedakan dirinya dari isi dunia lainnya, dan tingkah lakunya terbatas

pada penggunaan pola-pola respons baru, dan si bayi dapat membuat

gerakan-gerakan baru yang disengaja. Memori (daya ingat) yang belum

sempurna muncul bersamaan dengan beberapa antisipasi akan hal-hal

yang akan datang. Urutan perkembangan yang pertama adalah

kemampuan motorik. Kemudian, pada tahun kedua muncul koordinasi dari

kedua kemampuan awal ini.

2) Tahap praoperasional, cara berpikir anak masih kurang

operasional. Umpamanya, anak itu belum bisa menyadari bahwa jumlah

benda akan tetap sama, meskipun bentuk atau pengaturannya berubah.

Misalnya, dalam eksperimen pada seorang anak, dihadapkan dua buah

gelas yang besar dan bentuknya sama, dan keduanya sama-sama berisi

air penuh. Kemudianair dari salah satu gelas tersebut dipindahkan ke

sebuah silinder kaca yang bentuknya lebih kecil tetapi lebih tinggi dari

gelas itu. Air dalam silinder itu akan tampak lebih tinggi daripada yang ada

dalam gelas.

3) Tahap operasional konkret dilalui anak yang berusia sekitar tujuh

sampai menjelas sebelas tahun. Pada tahap ini, anak telah memahami

34

konsep konversi sehingga mereka tahu bahwa air yang ada dalam gelas

dan ada dalam silinder jumlahnya sama. Namun, anak tersebut tidak bisa

menjelaskan alasannya. Sama halnya jika anak diberi pertanyaan tentang

yang lebih berat antara besi satu kilogram dengan kapuk satu kilogram,

anak pada tahap praoperasional akan menjawab besi karena terkecoh

dengan fakta bahwa besi lebih berat daripada kapas. Sebaliknya, anak

pada tahap ini akan menjawab beratnya sama tapi tidak mampu

menjelaskan alasan dari jawabannya.

4) Tahap operasional formal dilalui setelah anak berusia sebelas

tahun ke atas, ketika sudah berpikir logis seperti halnya dengan orang

dewasa. Selama periode operasional formal ini, anak-anak mulai

menggunakan aturan-aturan formal dari pikiran dan logika untuk

memberikan dasar kebenaran jawaban-jawaban mereka.

d. Perkembangan bahasa. Bayi yang baru lahir sampai usia satu

tahun lazim disebut dengan istilah infant artinya tidak mampu berbicara.

Jika dikaitkan dengan kemampuan berkomunikasi, istilah ini kurang tepat

untuk digunakan, karena meskipun tanpa bahasa bayi sudah dapat

melakukan komunikasi dengna orang yang memeliharanya: misalnya

dengan tangisan, senyuman, atau gerak-gerik tubuh. Perkembangan

bahasa anak usia 1-2 tahun merupakan tahun kritis bagi anak setelah

melewati masa pralinguistik. Pada masa inilah anak mulai mengucapkan

kata-kata yang pertama. Oleh karena itu, orang dewasa di sekitar anak

35

diharapkan dapat memberikan contoh pengucapan/pelafalan kata atau

kalimat yang benar.

Perkembangan bahasa 3-5 tahun ketika anak sudah dapat

berbicara dengan baik. Anak mampu menyebutkan nama panggilan orang

lain, mengerti perbandingan dua hal, memahami konsep timbale balik dan

dapat menyajikan lagu sederhana, juga dapat menyusun kalimat

sederhana. Pada usia ini,anak mulai senang mendengarkan cerita

sederhana dan mulai banyak bercakap-cakap, banyak bertanya seperti

apa, mengapa, bagaimana, juga dapat mengenal tulisan sederhana.

Uraian tersebut memberikan pemahaman bahwa terdapat dua

daerah pertumbuhan bahasa, yaitu bahasa yang bersifat

pengertian/reseptif (understanding) dan pernyataan/ekspresif (producting).

Anak usia TK berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif.

Hal ini berarti bahwa anak telah dapat mengungkapkan keinginannya,

penolakannya,maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan.

Bahasa lisan sudah dapat digunakan sebagai alat komunikasi. Tanda-

tanda kesiapan anak untuk belajar membaca adalah anak telah mampu

memahami bahasa tulisan, anak sudat dapat mengucapkan kata-kata

dengan jelas, anak sudah dapat mengingat kata-kata, anak sudah dapat

mengucapkan bunyi huruf, anaksudah menunjukkan minat membaca, dan

anak sudah dapat membedakan suara/bunyi dan objek dengan baik.

36

6. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak

Setiap anak memperoleh kemampuan mengembangkan

keterampilan-keterampilan berbahasa dasar sebelum masuk sekolah,

meskipun terdapat perbedan individual dalam kecepatan memperolehnya.

Perkembangan bahasa meliputi dua komunikasi, lisan dan tulisan.

Kemampuan-kemampuan verbal berkembang sejak dini dan menjelang

usia 3 tahun, anak sudah menjadi pengoceh yang terampil. Pada akhir

masa usia dini, mereka dapat menggunakan dan memahami sejumlah

besar kalimat, dapat terlibat dalam pembicaraan yang berkelanjutan dan

mengetahui tentang bahasa tulisan. Sejak lahir hingga berusia sekitar usia

2 tahun, bayi memahami dunia mereka melalui panca indera mereka.

Pengetahuan mereka didasarkan pada tindakan-tindakan fisik, dan

pemahaman mereka terbatas pada kejadian-kejadian saat ini atau tidak

jauh dari waktu lampau.

Perkembangan usia seorang anak terjadi perkembangan bahasa

yang amat pesat, dari bayi yang belum dapat berbicara hingga usia 3

tahun yang sudah mulai mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

Menurut Piaget dan Vygotsy (dalam Tarigan 1998), tahap-tahap

perkembangan pemerolehan bahasa anak adalah sebagai berikut.

a. Perkembangan pralinguistik (tahap meraban pertama).

Tahap pralinguistik ini dialami oleh anak berusia 0-5 bulan. Pembagian

kelompok usia ini sifatnya umum. Berikut adalahrincian tahapan

37

perkembangan anak usia 0-6 bulan berdasarkan hasil penelitian beberapa

ahli (Clark & Clark, 1977).

0-2 minggu, anak sudah dapat menghadapkan muka kea rah suara.

Mereka sudah dapat membedakan suara manusia dengan suara lainnya,

seperti bel, bunyi gemerutuk, dan peluit. Mereka akan berhenti menangis

jika mendengar orang berbicara.

1-2 bulan, anak sudah mampu membedakan suku kata, seperti (bu)

dan (pa), mereka bisa merespon secara berbeda terhadap kualitas

emosional suara manusia.

3-4 bulan, anak sudah dapat membedakan suara laki-laki dan

perempuan.

6 bulan, anak mulai memperhatikan intonasidan ritme dalam

ucapan. Pada usia ini mereka meraban (mengoceh) dengan suara

melodis.

Menurut Altmann (dalam Dardjowidjojo, 2000) bahwa sejak bayi

berumur 7 bulan dalam kandungan, sistem pendengarannya mulai

berfungsi. Walaupun bahasa itu tidak diturunkan manusia tetapi manusia

memiliki kemampuan kognitif dan kapasitas linguistik tertentu dan juga

kapasitas untuk belajar (Marat, 1983). dalam hali ini, peran orang tua,

keluarga, lingkungan, bahkan pengasuh anak sangat diperlukan dalam

proses pengembangan bahasa secara optimal.

b. Tahap satu kata (meraban kedua). Tahap ini, anak mulai aktif.

Secara fisik, ia sudah dapat melakukan, gerakan-gerakan seperti

38

memegang dan mengangkat benda atau menunjuk. Pada tahap ini, anak

terus menerus berupaya mengumpulkan nama-nama benda dan orang di

dunia. Akan tetapi, secara khusus, kosakata permulaan sang anak

mencakup tipe kata-kata lain juga. Kata-kata yang biasa dicari dan

ditemukan semisal kata tindak (seperti: pergi, datang, makan, minum,

duduk, tidur), ekspresi-ekspresi sosial (seperti: hei, helo), kata-kata

lokasional (seperti: di sini, di atas, di sana), dan kata-kata pemerian

(seperti: panas, dingin, besar, kecil). Dengan sejumlah kata yang relatif

terbatas, seorang anak dapat mengekspresikan berbagai ragam makna

dan relasi dalam berbagai konteks. Sampai akhir tahap satu kata, anak

dapat menggunakan nomina untuk memperkenalkan objek (misalnya:

buku gambar “permainan memberi nama” dengan orang dewasa, untuk

menarik perhatian seorang pada sesuatu, atau menyatakan sesuatu yang

diinginkannya. Kadang-kadang, menggunakan suatu nomina untuk

menyatakan penerima (misalnya seorang yang menerima sesuatu),

kadang-kadang menyatakan objek sesuatu tindakan, dan kadang-kadang

untuk menyatakan penerima (misalnya seseorang yang menerima sesuatu

dari anak itu).

Sang anak dapat menggunakan nomina untuk menyatakan lokasi

(misalnya: meja atau kotak sebagai tempat meletakkan sesuatu) atau

untuk menyatakan orang yang ada hubungannya dengan suatu objek

(misalnya: Papa, Mama). Perlu diperhatikan bahwa situasi pemakaian

kata tunggal tersebut sangat perlu diketahui oleh orang dewasa agar

39

dapat memberi interprestasi makna yang tepat. Situasi yang tepat perlu

bagi sang anak karena hanya pada saat situasi yang tepatlah sang anak

mampu menyampaikan makna kata yang dipakainya.

5-6 bulan. Dari segi komprehensi kemampuan bahasa anak

semakin baik dan luas, anak semakin mengerti beberapa makna kata,

misal: nama, larangan, perintah dan ajakan. Hal ini menunjukkan bahwa

bayi sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti mengangkat benda

dan secara spontan memperlihatkannya kepada lRK lain

(Clark & Clark, 1977).

Menurut Tarigan (1985) tahap ini disebut juga tahap kata omong

kosong, tahap kata tanpa makna. Ciri-ciri lain yang menarik adalah

ocehan, seringkali dihasilkan dengan intonasi, kadang-kadang dengan

tekanan menurun yang ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Pada saat anak mulai aktif mengoceh, orang tua juga harus rajin

memberikan respon suara dan gerak isyarat anak. Menurut

Tarigan (1985), orang tua harus memberikan umpan balik auditori untuk

memelihara vokalisasi anak, maksudnya adalah agar anak tetap aktif

meraban. Sebagai langkah awal latihan ialah mengucapkan kata-kata

yang bermakna.

7-8 bulan. Pada tahap ini orang tua sudah bisa mengenalkan hal

baru bagi anaknya, artinya anak sudah bisa mengenal bunyi kata untuk

objek yang sering diajarkan dan dikenalkan oleh orang tuanya secara

berulang-ulang. Orang dewasa biasanya mulai menggunakan gerakan-

40

gerakan isyarat seperti menunjuk. Gerakan ini dilakukan untuk menarik

perhatian anak, karena ibu menunjukkan sesuatu dan menawarkan

sesuatu yang baru dan menarik (Clark & Clark, 1977).

Kemampuan anak untuk merespon umpan yang dikenalkan secara

berulang-ulang pun semakin baik, misal: melambaikan tangan ketika

ayahnya pergi, bertepuk tangan, dan sebagainya. Sama halnya anak-

anak, orang tua pun akan merasa puas dan gembira jika segala usaha

untuk mengajari anaknya akan mendapat respon. Artinya segala usaha

orang tua ketika mengatakan sesuatu, menunjukkan atau memperlihatkan

sesuatu pada anaknya; mendapat respon si anak karena anak paham dan

perkembangan bahasanya sesuai dengan perkembangan usianya.

8-12 bulan. Pada tahap ini, anak sudah dapat berinisiatif memulai

komunikasi. Ia selalu menarik perhatian orang dewasa, selain mengoceh

ia pun pandai menggunakan bahasa isyarat. Misalnya dengan cara

menunjuk atau meraih benda-benda.

Pada tahap ini, peran orang tua masih sangat besar dalam

pemerolehan bahasa pertama anak. Orang tua harus lebih aktif merespon

ocehan dan gerakan isyarat anak. Karena jika orang tua tidak memahami

yang dimaksudkan oleh anak, anak akan kecewa dan untuk masa

berikutnya, anak akan pasif dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.

Menurut Marat (1983), anak pada tahap ini dapat mengucapkan

beberapa suku kata yang mungkin merupakan reaksi terhadap situasi

tertentu atau orang tertentu sebagai awal suatu simbolisasi karena

41

kematangan proses mental (kognitif). Dengan kata lain, kepandaian anak

semakin meningkat. Semakin pandai si anak, pada akhirnya

perkembangan meraban kedua telah tercapai. Anak akan mulai belajar

mengucapkan kata pada periode berikutnya yang disebut tahap linguistik.

c. Tahap linguistik. Jika pada tahap pralinguistik pemerolehan

bahasa anak belum menyerupai bahasa orang dewasa maka pada tahap

ini anak mulai bisa mengucapkan bahasa yang menyerupai ujaran orang

dewasa. Para ahli psikolinguistik membagi tahap ini ke dalam lima

tahapan, yaitu tahap linguistik pertama, tahap kalimat dua kata, tahap

pengembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa, dan

tahap kompetensi penuh.

1) Tahap linguistik pertama (holofrastik). Pada usia 1-2 tahun

masukan kebahasaan berupa pengetahuan anak tentang kehidupan di

sekitarnya semakin banyak, misal: nama-nama keluarga, binatang,

mainan, makanan, kendaraan, dan sebagainya. Faktor-faktor masukan

inilah yang memungkinkan anak memperoleh semantik (makna kata) dan

kemudian secara bertahap dapat mengucapkannya.

Tahap ini, anak mulai mengucapkan satu kata. Menurut

Tarigan (1985), ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut

holofrasa/holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan

frasa atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Tahap

holofrasa ini dialami oleh anak normal yang berusia sekita 1-2 tahun.

42

Waktu berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang

lebih cepat mengakhirinya, tetapi ada pula yang sampai umur 3 tahun.

Pada tahap ini, gerakan fisik menyentuh, menunjuk, mengangkat

benda dikombinasikan dengan satu kata. Seperti halnya gerak isyarat,

kata pertama yang digunakan bertujuan untuk member komentar terhadap

objek atau kejadian di dalam lingkungannya. Satu kata itu dapat berupa

perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dan lain-lain. Di

samping itu, menurut Clark & Clark (1977), anak berumur 1 tahun

menggunakan bahasa isyarat dengan komunikatif. fungsi gerak isyarat

dan kata manfaatnya bagi anak itu sebanding. Dengan kata lain, kata dan

gerak itu sama pentingnya bagi anak pada tahap holofrasa ini.

2) Tahap kalimat dua kata. Tahap ini, anak mulai mengucapkan

dua holofrasa dalam rangkaian yang cepat. Keterampilan anak pada akhir

tahapan ini semakin luar biasa. Komunikasi yang ingin anak sampaikan

adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu semua

sama seperti perkembangan awal yaitu: sana, sini, itu, lihat, mau, minta.

Selain keterampilan mengucapkan dua kata, ternyata pada periode ini

anak pun terampil melontarkan kombinasi antara informasi lama dan baru.

Pada tahap ini, tampak kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul

pada anak dikarenakan semakin bertambahnya perbendaharaan kata

yang diperoleh dari lingkungannya dan juga karena perkembangan

kognitif serta fungsi biologi pada anak.

43

3) Tahap pengembangan tata bahasa. Pada tahap ini,

perkembangan anak semakin luar biasa. Marat (1983) menyebutkan

perkembangan ini dengan kalimat lebih dari dua kata. Tahap ini, pada

umumnya dialami oleh anak usia sekitar 2,5 – 5 tahun. Anak mulai mampu

bercakap-cakap dengan teman sebayanya dan mulai aktif memulai

percakapan. Fase sebelumnya hingga tahap perkembangan dua kata

anak lebih banyak bergaul dengan orang tuanya, sedangkan pada tahap

ini, pergaulan anak semakin luas yang berarti menambah pengetahuan

dan perbendaharaan kata si anak.

Menurut Marat (1983), ada beberapa keterampilan mencolok yang

dikuasai anak pada tahap ini. Pada akhir tahap ini, secara garis besar,

anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya kaidah-kaidah tata bahasa

yang utama dari orang dewasa telah dikuasai. Perbendaharaan kata

berkembang, beberapa pengertian abstrak seperti: pengertian waktu,

ruang, dan jumlah yang diinginkan mulai muncul. Anak mulai mampu

membedakan kata kerja (misal: makan, minum, pergi, masak, mandi), kata

ganti (aku, saya), dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah, dan

sebagainya).

Fungsi bahasa untuk berkomunikasi mulai difungsikan, anak telah

mampu mengadakan konversasi (percakapan) dengan cara yang dapat

dimengerti oleh orang dewasa. Persepsi anak dan pengalamannya

tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain, dengan cara

memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu, dan lain-lain.

44

Tumbuhnya kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Gejala

ini merupakan cara anak untuk mempelajari perkataan baru dengan cara

bermain-main. Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada

tahap ini sedang berkembang pesat.

4) Tahap tata bahasa menjelang dewasa/pradewasa. Pada tahap

ini, anak mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang

agak lebih rumit. Misal, kalimat majemuk sederhana seperti di bawah ini:

mau nonton sambil makan kue.

Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam,

ada kalimat pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat Tanya.

Kemunculan kalimat-kalimat rumit di atas menandakan adanya

peningkatan kemampuan kebebasan anak. Menurut Clark & Clark (1977),

pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam mengungkapkan

pikirannya ke dalam kata-kata yang bermakna. Hal ini karena anak

memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti: penguasaan struktur tata

bahasa, kosa kata, dan imbuhan.

Pada tahap ini, jika kata-kata seperti maaf, terima kasih, nada

bicara tertentu, dan lain-lain yang tidak dipahami, maka sulit bagi anak

untuk mengucapkannya. Peranan dan kesabaran orang tua, guru, atau

pengasuh anak sangat penting dalam tahap ini untuk membimbing dan

memberi contoh penggunaan kata-kata yang fungsional, kontekstual, dan

menyenangkan bagi anak. Untuk memperkaya kebahasaan anak, orang

tua atau guru dapat memulainya dengan mendongeng, bernyanyi, atau

45

bermain bersama anak disamping sesering mungkin mengajaknya

bercakap-cakap.

5) Tahap kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun, pada umumnya

anak-anak yang perkembangannya normal telah menguasai elemen-

elemen sintaksis bahasa ibunya dan telahmemiliki kompetensi

(pemahaman dan produktivitas bahasa) secara memadai. Walau

demikian, perbendaharaan kata yang dimiliki anak masih terbatas tetapi

berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan.

Menurut Tarigan (1998), salah satu perluasan bahasa sebagai alat

komunikasi yang harus mendapat perhatian khusus di sekolah dasar

adalah oengembangan baca tulis. Perkembangan baca tulis anakakan

menunjang dan memperluas pengungkapan maksud-maksud pribadi

anak, misal melalui tulisan catatan harian, menulis surat, jadwal harian,

dan sebagainya. Dengan demikian, perkembangan baca tulis di sekolah

dasar memberikan cara-cara yang mantap menggunakan bahasa dalam

komunikasi dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri.

Pada masa perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja,

terjadi perkembangan bahasa yang penting. Periode ini merupakan unsur

yang sensitive untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya bahasa

yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya identitas

diri. Akhirnya pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat

besar antara individu yang satu dengan yang lain dalam hal

46

perkembangan bahasanya. Hal ini bergantung pada tingkat pendidikan,

peranan dalam masyarakat dan jenis pekerjaan.

7. Pemerolehan dalam Bidang Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan

Semantik

a. Pemerolehan dalam bidang fonologi. Penelitian pemerolehan

fonologi seharusnya dimulai dari sejak awal kehidupan seorang anak

untuk mengetahui fonem-fonem yang dihasilkannya pertama kali. Menurut

Winitz (dalam Simanjuntak, 1990: 8) pada umumnya semua bunyi (fonem)

telah diucapkan dengan sempurna oleh si anak setelah mencapai umur

delapan tahun. Dengan demikian, pemerolehan fonologi memerlukan

waktu yang panjang sampai anak menghasilkan bunyi dengan sempurna,

termasuk fonem yang dapat dihasilkannya pada usia dua tahun.

Menurut Kridalaksana (2007: 2), fonologi adalah ilmu tentang bunyi

pada umumnya fonetik sedangkan bunyi bahasa diteliti atau diuraikan

dalam fonologi. Fonologi meliputi dua bagian yaitu fonetik dan fonemik.

Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan

bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat

ucap manusia. Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi

ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti. Bunyi ujaran yang

bersifat netral atau masih belum terbukti membedakan arti disebut fona,

sedangkan fonem adalah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan

arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut

alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi, fonem

47

berbeda dengan huruf. Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada

tiga unsur yang penting, yaitu udara, articulator atau bagian alat ucap

yang bergerak, dan titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik

sentuh artikulator.

Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara

keluar tanpa rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan

menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Rintangan dalam hal ini

adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan

posisi artikulator.

Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak

dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar

70%. Perbedaan inilah yang menyebabkan binatang sudah mampu

melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya

bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur 6 minggu,

anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan

atau vokal. Bunyi-bunyi tersebut belum dapat dipastikan bentuknya karena

belum terdengar jelas. Sementara pada umur 6 bulan, anak mulai

mencampurkan konsonan dengan vokal sehingga membentuk

kata/frasa/kalimat yang dikenal dengan istilah babbling atau celotehan

(Darjdowidjojo 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti

oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan

bilalbial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/.

48

Pemerolehan fonologi adalah satu bagian dari pemerolehan bahasa

yang sering disebut perkembangan atau pertumbuhan bahasa

(Simanjuntak, 1990: 2). Simanjuntak mengatakan, pemerolehan fonologi

penting dikaji karena dengan pengajian tersebut para pakar dapat

menentukan teori bahasa yang tepat. Maksudnya, para pakar akan mudah

menentukan teori bahasa yang lebih kuat dengan adanya hasil dari kajian

pemerolehan fonologi tersebut.

Jacobson (dalam Purwo, 1996: 39) mengemukakan adanya

keuniversalan dalam bunyi-bunyi bahasa dan urutan pemerolehannya.

Menurutnya, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu

sendiri. Anak memperoleh bunyi-bunyi melalui suatu cara yang konsisten.

Bunyi pertama yang keluar dari anak adalah penggabungan antara vokal

dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal ini, ada tiga vokal yang disebut

sebagai sistem vokal minimal yang sifatnya universal. Artinya, dalam

setiap bahasa ketiga vokal itu pasti ada, yaitu /a/, /i/, dan /u/. Selain vokal

universal tersebut, terdapat pula konsonan dasar yang sifatnya juga

universal dalam setiap bahasa dan termasuk konsonan yang pertama kali

muncul dalam ujaran anak-anak. Konsonan yanf dimaskud oleh

Schane (1992: 16) adalah /p/, /t/, dan /k/ yang dapat ditemui dalam tuturan

anak-anak seperti [papa], [kaka], [tata].

Pertama kali anak bersentuhan dengan dunia luar, kemudian akan

mendengarkan berbagai macam bunyi yang belum berarti bagi seorang

anak. Perlahan dalam perkembangannya anak dapat mengerti bunyi-

49

bunyi itu. Villiers dan Villiers (dalam Amaluddin, 1998: 43) mengatakan

bahwa untuk permulaan seorang anak harus membedakan bunyi ujaran

(speech sounds) dengan bunyi-bunyi lain yang ada di lingkungannya,

misalnya bunyi mendengkur, mendesah yang tidak relevan dengan

makna.

Umumnya, ujaran anak yang paling dini menurut Tarigan (1985:

273) adalah penyelangselingan antara KV (konsonan-vokal). Meskipun

anak menghasilkan semua vokal bahasa, namun secara khusus anak

tidaklah menghasilkan semua konsonan.

b. Pemerolehan dalam bidang morfologi. Morfologi adalah bidang

linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal

(Verhaar, 2008: 52). Ramlan (1985: 16) mengemukakan bahwa morfologi

ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk bentuk kata

serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan

arti kata; atau morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta

fungsinya perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik

maupun fungsi semantik.

Ramlan menyebutkan bahwa objek yang lazim disebut morfologi

adalah pembentukan kata, pengaruh pembentukan kata terhadap

golongan kata, dan pengaruh pembentukan kata terhadap arti kata. Dalam

pembentukan kata, harus dikaitkan dengan bentuk asal dan bentuk dasar,

berbagai imbuhan atau afiks, kata ulang, dan kata majemuk.

50

Morfologi adalah ilmu bahasa yang berisikan tentang seluk-beluk

kata dan proses pembentukannya. Morfem adalah satuan bentuk terkecil

yang dapat membedakan makna dan atau yang mempunyai makna.

Wujud morfem dapat berupa imbuhan, partikel, dan kata dasar. Dalam

buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 1993:342), partikel

-kah, -lah, -tah, diakui sebagai klitika. Klitika tidak sama dengan

imbuhan. Contoh partikel selain -kah, -lah, -tah, adalah –pun. Partikel-

partikel itu diakui sebagai morfem yang dapat membedakan arti.

Kata dasar tergolong sebagai morfem karena juga berfungsi

sebagai pembeda arti dan wujudnya hanya terdiri atas satu morfem. Kata

dasar bawa, rumah, main, tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk

yang lebih kecil. Sebaliknya, kata turunan terbawa, dirumahkan,

dipermainkan, adalah kata-kata kompleks yang dapat diuraikan lagi

karena morfemnya lebih dari satu.

Menurut bentuk dan arti, morfem dapat dibedakan atas dua

macam, yaitu morfem bebas dan morfem terikat.

a. Morfem bebas. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai

potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk

kalimat, seperti:

1) Ia makan nasi 2) Halaman itu bersih.

Sekilas tampaknya morfem bebas ini sama dengan kata. Memang

begitu, morfem bebas sudah termasuk kata, tetapi konsep kata tidak

51

hanya morfem bebas, kata juga meliputi semua bentuk gabungan antara

morfem terikat dengan morfem bebas, morfem dasar dengan morfem

dasar. Jadi dapat dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar. Sebuah

kata dapat dibentuk dengan penggabungan bermacam-macam morfem.

Penggabungan itu selalu mengikuti tata tingkat yang teratur. Oleh karena

itu, untuk menentukan proses pembentukan suatu kata, perlu dianalisis

unsur-unsur yang tergabung dalam kata tersebut.

Kata petani dibentuk dari unsur pe dan tani, dan kata perbuatan kata

ini terdiri atas 3 unsur yaitu per-, buat, dan -an. Kata perbuatan

mengandung ide yang berbeda dari kata perbuat dan buatan. Berarti

morfem pe- dan –an pada kedua kata yang terakhir ini tidak sama

fungsinya dengan morfem per-an pada kata perbuatan. Oleh sebab itu,

berarti kata perbuatan terbentuk dari unsur buat dan per-an. Analisis ini

disebut analisis unsur bawaan terdekat, dan disebut bentuk dasar.

b. Morfem terikat. Morfem terikat merupakan morfem yang

belum mengandung arti maka morfem ini belum mempunyai potensi

sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem ini harus digabung dengan

morfem bebas. Morfem terikat dalam bahasa Indonesia ada 2 macam,

yakni morfem terikat morfologi dan morfem terikat sintaksis.

1) Morfem terikat morfologi yakni morfem yang terikat pada sebuah

morfem dasar. Morfem itu sebagai berikut:

a) Prefiks = awalan: me-, ber, pe-, per-, se-, ke-

b) Infiks = sisipan : -er-, -el-, -em-

52

c) Sufiks = akhiran : -i, -kan, -an

d) Konfiks = imbuhan gabungan senyawa : per-an, ke-an, dan lain-

lain.

Morfem terikat morfologi mempunyai fungsi yang bermacam-macam.

a) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata kerja, yaitu: me-, ber-,

di-, -kan, -i dsb.

b) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata benda yaitu: pe-, ke-, -an,

per-an, -man, wati, -wan, dsb.

c) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata sifat, yaitu: ter-, -i, wiah,

iah.

d) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata bilangan, yaitu: ke-, se-.

e) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata tugas, misalnya: se- dan

se-nya.

2) Morfem terikat sintaksis adalah morfem dasar yang tidak mampu

berdiri sendiri sebagai kata. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat berikut.

Mereka yang membaca dan menjual buku itu.

Dari deretan morfem yang terjadi unsur kata dalam kalimat di atas, jika

diklasifikasikan berdasarkan morfemnya adalah sebagai berikut.

Mereka, baca, jual, buku, adalah morfem bebas.

Me-, me- adalah morfem terikat morfologis.

yang, dan adalah morfem terikat sintaksis.

Hal ini terjadi karena kata yang, dan tidak mengandung makna

tersendiri.

53

c. Proses morfologis. Proses morfologis adalah penggabungan

morfem satu dengan morfem yang lain menjadi kata. Afiks adalah suatu

bentuk linguistik yang di dalam suatu kata merupakan unsur langsung,

yang bukan kata dan bukan pokok kata, melainkan mengubah leksem

menjadi kata kompleks, artinya mengubah leksem itu menjadi kata yang

mempunyai arti lebih lengkap, seperti mempunyai subjek, predikat dan

objek. Sedangkan prosesnya sendiri disebut afiksasi (affixation). Imbuhan

(afiks) adalah Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan

kata.

Pada umumnya imbuhan (afiks) hanya dikenal ada empat, yaitu

awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), awalan dan akhiran

(konfiks).

1) Prefiks (Awalan) ialah afiks (imbuhan) yang ditempatkan di bagian

muka dasar (mungkin kata dasar atau kata kompleks/jadian).

2) Sufiks (Akhiran) ialah morfem terikat yang digunakan di bagian

belakang kata atau dilekatkan pada akhir dasar.

3) Infiks (Sisipan) ialah afiks yang diselipkan atau dilekatkan di tengah

kata dasar.

4) Konfiks ialah gabungan prefiks dan sufiks yang dilekatkan sekaligus

pada awal dan akhir dasar.

5) Gabungan Afiks ialah gabungan prefiks dan sufiks yang ditambahkan

pada kata dasar tidak sekaligus.

54

Reduplikasi. Uhlenbeck (1982: 98) membedakan istilah duplikasi

dan reduplikasi. Duplikasi adalah proses pembentukan kata kompleks

dengan jalan pengulangan morfem secara penuh, misal: oleh-oleh.

Sedangkan reduplikasi adalah proses pembentukan kata kompleks

pengulangan morfem secara parsial, misal: membaca-baca. Hasil

perulangannya disebut ‘kata ulang’, sedangkan bentuk yang diulang

merupakan bentuk dasar. Misalnya, kata ulang: rumah-rumah dari bentuk

dasar rumah.

Komposisi atau compounding. proses komposisi ialah

penggabungan dua morfem bebas atau lebih untuk membentuk kata

kompleks. Kata kompleks yang terbentuk biasanya dinamakan kata

majemuk. Kata majemuk mempunyai ciri yang berbeda dengan frasa.

Adapun ciri-ciri kata majemuk yaitu memiliki makna dan fungsi baru yang

tidak persis sama dengan fungsi masing-masing unsurnya dan unsur-

unsurnya tidak dapat dipisahkan, baik secara fonologis, maupun secara

sintaksis.

c. Pemerolehan dalam bidang sintaksis. Brown dan Harlon (dalam

Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwa kalimat awal anak

adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasi berita. Setelah

itu, anak baru menguasai kalimat tanya dan ingkar. Berikutnya kalimat

anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya,

maupun ingkar. Sedangkan menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi

terhadap percakapan anak, berkesimpulan bahwa ada tiga macam cara

55

yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu

pengembangan, pengurangan, dan peniruan.

Menurut Chaer (2003: 39), sintaksis merupakan urutan dan

organisasi kata-kata (leksikon) yang membentuk frasa atau kalimat dalam

suatu bahasa menurut aturan dan menentukan hubungan antara pola-

pola bunyi bahasa itu agar sesuai dengan makna yang diinginkan. Dalam

bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu

kata (atau bagian kata). Satu atau sebagian kata ini, bagi anak merupakan

kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu

kata, dia hanya mengambil satu kata sebagai perwakilan dari sebuah

kalimat yang dimaksudkannya (Dardjowidjojo, 2003: 245). Jika ada

seorang anak yang bernama Caca dan bermaksud untuk menyampaikan

Caca mau makan, dia akan memilih kata mam (makan). Kalimat

diucapkan untuk memberikan informasi baru bagi pendengarnya, itulah

alasan anak memilih kata mam karena dari ketiga kata itu, kata mam

(makan) menjadi kata yang baru baginya. Dengan singkat dapat dikatakan

bahwa dalam ujaran yang dinamakan ujaran satu kata (USK) (one word

utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu, dia akan

memilih kata yang memberikan informasi baru (Dardjowidjojo, 2003: 245).

Ketika anak mulai memasuki tahun kedua dalam hidupnya, maka

sangat jarang ditemukan kalimat tiga kata, yang lahir secara spontan dari

seorang anak. Kalimat dua kata yang sering dijumpai bahkan tidak jarang

dengan kalimat yang satu kata. Fenomena ini hampir terjadi bagi semua

56

anak dalam perkembangan pemerolehan kalimat (Amaluddin, 1998: 45).

Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang lebih singkat, terkadang

dengan frasa-frasa pendek, menggunakan bentuk-bentuk yang tidak tepat

dan salah mengartikulasikan beberapa bunyi.

Menurut Cahyono (1995: 292), rendahnya batas rentang ingatan

(memory span) untuk melakukan peniruan dan batas rentang

pemrograman (programming span) anak untuk menyusun kalimat

merupakan penyebab lain penciutan kalimat yang dituturkan anak dengan

kalimat yang anak dengarkan.

Purwo (1990: 114) mengatakan bahwa tahap penggabungan dua-

kata dimulai pada usia 18 bulan, yaitu anak mulai menggabungkan kata,

meskipun masih pula banyak menggunakan kalimat satu kata. Glucksberg

dan Danks (dalam Amaluddin, 1998: 49) berpendapat bahwa kalimat

pertama dengan ujaran dua-kata dimulai pada pertengahan tahun kedua.

Dengan pendapat yang sama, Smith berpendapat bahwa sekitar umur 18

bulan, seorang anak produksi pertamanya adalah kalimat dua-kata (two-

word sentences) dan pada tiga setengah tahun, anak terlihat dapat

menguasai semua kaidah penting dalam bahasanya. Demikian pula

pendapat Cahyono (1995: 289) bahwa tahap dua-kata mulai terjadi sekitar

18 – 20 bulan. Pada saat anak hampir berumur dua tahun, paduan kata

seperti “mama makan”, “ayah ikut” mulai muncul. Penafsiran tentang

paduan-paduan semacam itu sangat terkait erat dengan konteks ujaran

pada saat diucapkan, sehingga frasa “mama makan” dapat ditafsirkan

57

sebagai pernyataan (mama sedang makan) bergantung pada konteks

yang berbeda-beda. Pada usai dua tahun, anak telah memiliki lebih dari

50 kata (Amaluddin, 1998: 50).

d. Pemerolehan dalam bidang semantik. Pemerolehan semantik

menurut Chaer (2009: 41) ialah bagian kalimat memilih makna yang

tergantung pada makna leksikal kata, urutan kata dalam organisasi

kalimat, konteks situasi kalimat diucapkan, kalimat sebelum dan sesudah

yang menyertai.

Perkembangan pemerolehan makna bagi anak-anak, tampaknya

bersifat umum sebelum menjadi makna objek yang dimaksudkan.

Misalnya, Clark (dalam Amaluddin, 1998: 51) memberikan contoh bahwa

dalam kenyataannya, anak yang masih kecil menyebut semua binatang

yang berkaki empat dengan sebutan doggie dengan penjelasan bahwa

bagi seorang anak yang masih kecil, kata doggie hanya memiliki cirri-ciri

[nonhuman], [animal], dan [four-legged]. Clark dan Clark juga

mengemukakan bahwa anak-anak menggunakan kata bow-bow untuk

menggolongkan kuda, sapi, dan kucing ke dalam gabungan anjing.

Luput dari perhatian orang dewasa tentang cara menguasai makna

bahasa, sehingga menganggap bahwa pemerolehan makna bagi anak

adalah suatu proses alamiah yang akan dilalui oleh semua anak yang

tumbuh dan berkembang. Menurut Dardjowidjojo (2000: 72) bahwa

pemerolehan makna dalam bahasa anak adalah masalah yang sangat

rumit. Jika dibayangkan cara seorang anak dapat membedakan anjing,

58

kucing, kambing, dan sapi, atau ayam, bebek, dan angsa, antara binatang

ini dan anak-anaknya.

Pemerolehan makna lebih banyak ditentukan oleh kematangan

daya kognitif dan lingkungan. Proses menuju kedewasaan menambah

kemampuan untuk mengamati dan menyerap fenomena alam sekitar,

lingkungan memberikan bahan masukan untuk mengelompokkan atau

memilah satu fenomena dari yang lainnya. Dengan dasar yang seperti ini,

anak akan perlahan memberikan makna bagi aktivitas, keadaan, dan

benda di sekitarnya.

Clark (dalam Amaluddin, 1998: 52) mengemukakan bahwa kata-

kata yang didengar oleh anak-anak adalah kata-kata yang baru bagi

mereka. Anak-anak tidak dilahirkan dengan leksikon mental yang siap

pakai. Anak-anak menggambarkan leksikon sebagian dari pemerolehan

bahasa, dan memberikan makna kata-kata baru yang digunakannya. Bagi

orang dewasa, menemukan makna kata-kata baru dapat dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu bertanya kepada seseorang, membuka

kamus, dan atau melihat arti kata-kata sesuai dengan konteks berbahasa.

Masalah seperti ini hanya ditemui pada saat-saat tertentu, tetapi bagi

anak-anak masalah seperti ini sering dijumpai sepanjang waktu. Pada

usia satu tahun atau dua tahun, anak-anak tidak dapat menggunakan cara

seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, tetapi mereka dapat

menggunakan makna berdasarkan konteks.

59

Pemerolehan makna berjalan seiring dengan pemerolehan bahasa.

Ditinjau lebih jauh tentang perkembangan bahasa anak, tampak bahwa

sebelum anak dapat menirukan atau mengucapkan kata-kata yang

bermakna ataupun yang tidak bermakna yang didengarkannya, anak telah

mempelajari arti dari kata-kata itu, sehingga lahir konsep dalam

kognisinya. Menurut Simanjuntak (1990: 25), dikatakan bahwa dalam

pemerolehan bahasa anak, arti atau maknalah yang lebih dahulu

diperoleh anak. Hal ini diketahui karena anak pada umur sektar 10 bulan,

bahkan lebih muda dari itu, sudah mampu memahami kalimat-kalimat

pendek yang diucapkan padanya, meskipun anak belum mampu

menirukan atau menuturkan kalimat itu.

Pada dasarnya, sulit memaknai setiap tuturan yang diproduksi oleh

anak. Hal ini dikarenakan organ-organ alat ucap belum memiliki

kematangan penuh, namun tidak berarti yang anak ucapkan sebelumnya

tidak memiliki makna. Cruttenden (dalam Amaluddin, 1998: 53)

mengatakan bahwa menjelang akhir dari tahun pertama dalam hidup,

seorang anak mulai menghasilkan ucapan yang memiliki makna.

Purwo (1996: 132) juga mengatakan bahwa di seluruh dunia, anak-anak

pada usia satu tahun sudah mulai mengeluarkan kata-kata yang dapat

dipahami.

8. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak

Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang

lambat, sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi

60

oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Piaget,

Lenneberg dan Slobin berikut ini:

a. Faktor alamiah. Setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur

bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice

(LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah

mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini

sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka anak tidak dirangsang

untuk mendapatkan bahasa, anak akan mampu menerima yang terjadi di

sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah

pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti

dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur yang dibawa sejak lahir

itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.

b. Faktor perkembangan kognitif. Perkembangan bahasa

seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki

hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya

dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan

berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam

lingkup interaksi sosial.

Piaget (dalam Rusyani, 2008) mengartikan kognitif sebagai sesuatu

yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan

merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk,

kegiatan kognitif, aktivitas mental, mengingat, memberi simbol,

mengkategorikan atau mengelompokkan, memecahkan masalah,

61

menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya dengan

mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan

bahasa seseorang.

Menurut Lenneberg, dalam usia dua tahun (kematangan kognitif)

hingga usia pubertas, otak manusia itu masih sangat lentur

yang memungkinkan seorang anak untuk memperoleh bahasa pertama

dengan mudah dan cepat. Lanjut Lenneberg, pemerolehan bahasa secara

alamiah sesudah pubertas akan terhambat oleh selesainya fungsi-fungsi

otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian otak sebelah kiri.

Piaget memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan

konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri

yang terus menerus. Anak-anak sewaktu bergerak menjadi dewasa

memperoleh tingkat pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu

menjadi meningkat lebih kuat. Piaget berpendapat bahwa kemampuan

merepresentasikan pengetahuan itu adalah proses konstruktif

yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang lama terhadap

lingkungan. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental

anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar

atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal

dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara

aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya

mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan

keterampilanketerampilan berbahasanya menurut strategi-strategi

62

persepsi yang dimilikinya. Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak

sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan

bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum

anak itu.

c. Faktor latar belakang sosial. Latar belakang sosial mencakup

struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya

memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa

anak (Rusyani, 2008). Semakin tinggi tingkat interaksi social sebuah

keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh

bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah

keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak)

memperoleh bahasa.

Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang

berasal dari golongan status social ekonomi rendah rnenunjukkan

perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan

keluarganya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga yang

sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio, sawah, cangkul, kapak, atau

pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa

ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak yang

berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan

memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, dvd player,

laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut

63

merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya

sehari-hari.

Perbedaan dalam pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa

kelompok menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan

bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah,

terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi dengan

orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi

anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan

diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan

yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak

yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

d. Faktor keturunan. Faktor keturunan meliputi:

1) Intelegensia. Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi

oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang

dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak

memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu

dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat

memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat

memperoh bahasa.

2) Kepribadian dan gaya/cara pemerolehan bahasa. Kreativitas

seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan

bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian

seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur

64

bahasa. Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa

pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya.

Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap

tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa.

Piaget (dalam Rusyani, 2008), mengklasifikasi perkembangan

bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban (Pralinguistik

0,0-0,5) Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua: Kata

Nomsens, (c) tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-

2,0), (d)Tahap Linguistik II Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik

III. Pengembangan Tata Bahasa (3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata

Bahasa Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g) Tahap Linguistik V Kompetensi

Penuh (5,0-....).

Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan

bunyi secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah

dapat mengoceh atau membabel dengan pola suku kata yang

diulang-ulang, bahkan menjelang usia 1 tahun anak sudah mulai

mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan.

Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan

serangkaian bunyi ujaran yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang

bermakna. Pada tahap linguistik II kosakata anak mulai berkembang

dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri atas dua kata dan

mengandung satu konsep kalimat yang lengkap. Pada tahap linguistik III

anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang diungkapkan

65

biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu dengan

yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun

kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada

penggunaan infleksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang

terakhir anak sudah memiliki kompetensi penuh dalam berbahasa.

C. Kerangka Pikir

Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa

oleh manusia. Menurut Levelt, ada 3 bidang kajian utama psikolinguistik,

yaitu psikolinguistik umum, psikolinguistik perkembangan, dan

psikolinguistik terapan. Psikolinguistik umum merupakan studi tentang

pengamatan/persepsi orang dewasa terhadap bahasa dan proses

memroduksi bahasa, juga mengenai proses kognitif yang mendasari pada

waktu sesorang menggunakan bahasa. Psikolinguistik perkembangan

adalah studi psikologi mengenai perolehan bahasa pada anak-anak dan

orang dewasa, baik perolehan bahasa pertama (bahasa ibu) maupun

bahasa kedua. Psikolinguistik terapan merupakan aplikasi dari teori-teori

psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa maupun

anak-anak.

Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses

yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa

ibunya. Dalam proses pemerolehan bahasa anak dipengaruhi oleh

perkembangan anak yang meliputi perkembangan motorik, perkembangan

66

sosial dan komunikasi, perkembangan kognitif dan perkembangan

bahasa.

Setiap penelitian yang dilakukan terhadap pemerolehan dan

perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan,

hipotesis, atau teori yang dianut. Adapun pandangan yang dimaksudkan

yaitu pandangan nativisme, pandangan behaviorisme, dan pandangan

kognitivisme. Pandangan nativisme berpendapat bahwa kemampuan

lingual anak-anak sedikit demi sedikit terbuka yang secara genetis telah

diprogramkan selama berlangsungnya proses pemerolehan bahasa

pertama. Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses

pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh

rangsangan yang diberikan melalui lingkaran. Pandangan kognitivisme

menekankan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah,

melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari

kematangan kognitif.

Urutan perkembangan pemerolehan bahasa anak terbagi atas tiga

bagian, yaitu tahap pralinguistik, tahap satu kata, dan tahap linguistik.

Selanjutnya, tahap linguistik terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu

tahap linguistik pertama, tahap kalimat dua kata, tahap pengembangan

tata bahasa, tahap tata bahasa pradewasa, dan tahap kompetensi penuh.

Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak

merupakan suatu perkara yang cukup menakjubkan. Berbagai teori dari

bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk

67

menerangkan proses pemerolehan ini berlaku dalam kalangan anak-anak.

Pemerolehan dalam bidang fonologi pada anak meliputi kemampuan anak

menghasilkan bunyi-bunyi bahasa yang berupa vokal dan konsonan

walaupun belum dalam bunyi yang sempurna. Pemerolehan dalam bidang

sintaksis pada anak adalah pemerolehan unsur bahasa pada anak yang

meliputifrasa, klausa, dan kalimat, beserta intonasinya. Pemerolehan

dalam bidang semantik dilakukan seorang anak dengan mengamati dan

mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di

lingkungannya.

68

Bagan 2.1 Kerangka Pikir

Pemerolehan Bahasa Anak Perkembangan Anak

Pandangan Nativisme

Pandangan Behaviorisme

Pandangan Kognitivisme

Motorik

Sosial dan Komunikasi

Kognitif

Bahasa

Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak

Tahap Linguistik

- Tahap Dua Kata

- Tahap Tiga atau Lebih Kata

Pemerolehan dalam Bidang

- Fonologi

- Morfologi

- Sintaksis

- Semantik

Faktor yang Memengaruhi

Pemerolehan Bahasa Anak

69

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Metode yang digunakan adalah

metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data yang terkumpul

dari informan pada usia 2 tahun, kemudian dianalisis berdasarkan

bidang-bidang pemerolehan bahasa dan selanjutnya diuraikan secara

kualitatif.

Penelitian ini termasuk desain penelitian longitudinal, yaitu dengan

cara mengikuti perkembangan pemerolehan bahasa informan dari suatu

titik tertentu sampai ke titik waktu yang lain.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian ini adalah desa Takkalasi kecamatan

Maritengngae kabupaten Sidenreng Rappang provinsi Sulawesi Selatan.

Alasan menetapkan lokasi ini, karena peneliti dan subjek dalam penelitian

ini berada pada lokasi tersebut sehingga interaksi antara peneliti, subjek

penelitian dan informan dapat setiap saat, khususnya dalam menjaring

setiap data yang dibutuhkan.

70

2. Waktu penelitian

Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 6 bulan.

Pengumpulan data dilakukan sejak Februari 2015 hingga Juli 2015.

Analisis data dilakukan pada bulan Agustus 2015.

C. Unit Analisis dan Penentuan Informan

1. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang

diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Dapat diartikan juga sebagai

fokus atau komponen yang diteliti. Dalam penelitian ini, unit analisisnya

adalah seorang anak perempuan usia 2 tahun bernama Syafiiqah, lahir di

desa Lakessi tanggal 25 Maret 2013. Anak tersebut merupakan anak dari

kakak peneliti dan tinggal serumah dengan peneliti, sehingga

memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.

2. Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah ibu, bapak, nenek, kakek,

tante, om, dan sepupu-sepupu yang menjadi teman bermain dari anak

yang menjadi subjek dalam penelitian ini.

71

D. Teknik Pengumpulan Data

Salah satu metode yang diperkenalkan oleh Sudaryanto

(1993: 136) adalah metode simak, yaitu menyimak setiap kata yang

dituturkan informan dalam pengumpulan data penelitian ini. Berikut ini

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.

1. Tenik rekaman

Teknik rekaman yaitu data dikumpulkan secara naturalistik (data

alamiah) yang tidak bersifat menuntun informan atau seolah-olah

memaksa ia untuk mengatakan sesuatu, tetapi sering berikan stimulus

untuk mendapatkan respon untuk berbicara. Kegiatan ini dipilih waktu

tertentu pada saat informan senang dan mau berbicara. Alat yang

digunakan adalah alat perekam digital.

2. Teknik catat

Teknik ini tak bisa lepas dari teknik rekaman, karena terkadang

informan melahirkan ujaran-ujaran yang tidak diprogramkan untuk

direkam, tetapi muncul pada saat itu sehingga ujaran tersebut harus

dicatat dalam suatu buku yang telah disiapkan. Hal ini dilakukan karena

tidak mungkin menyuruh informan untuk mengulangi ujaran tersebut.

Kedua teknik ini digunakan secara bersama-sama sesuai dengan

keadaan yang memungkinkan.

72

E. Teknik Analisis Data

Data yang sudah terkumpul, yaitu ketika informan berusia

2,0 – 2,5 tahun, maka semua data baik dalam bentuk rekaman maupun

catatan itu ditranskipsikan dan dikelompokkan ke dalam bidang-bidang

pemerolehan bahasa disertai dengan uraian tentang data yang diperoleh

itu. Hasil dari pemerolehan baik pemerolehan fonologi, sintaksis, atau

semantik/makna akan diklasifikasikan pula ke dalam tahap pemerolehan

setiap bidang tersebut.

F. Pengecekan Keabsahan Temuan

Pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini antara

mengaitkan teori perkembangan dan pemerolehan bahasa pada anak usia

2,0 – 2,5 tahun dengan hasil analisis data yang ditemukan dari informan,

dengan menyertakan bukti dokumentasi berupa video, gambar, dan

catatan selama penelitian berlangsung.

73

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penyajian Hasil Penelitian

Makna fungsi dalam pemerolehan bahasa anak adalah makna

tuturan yang disampaikan oleh anak. Bentuknya adalah bunyi atau

ucapan yang dikeluarkan oleh anak baik dalam bentuk lengkap maupun

dalam bentuk tidak lengkap. Konteksnya adalah keseluruhan yang

melatari tuturan tersebut, seperti orang (orang tua, pengasuh, dan orang

lain di sekitar anak), tempat (kamar tidur, ruang makan, teras, dan

ruangan lainnya), suasana (dingin, panas, gembira, tenang, dan

sebagainya), dan lainnya yang memengaruhi tuturan anak.

Hasil temuan peneliti yang dilakukan terhadap seorang anak yang

bernama Syafiiqah pada tahap linguistik. Data ini dikumpulkan selama

lebih kurang 6 bulan. Berikut disajikan tuturan dalam percakapan antara

anak yang dijadikan objek penelitian dengan orang-orang disekitarnya.

1. Data “inantu itu”, “boyatu itu”, “tattu itu”, “ayung tu itu” (Rabu, 25

Februari 2015 pukul 16.12)

Sore hari, Fiqah tengah bermain bersama sepupunya di teras rumah. Segala jenis yang mainan yang dimilikinya, dikeluarkan di teras untuk bermain dengan sepupunya. Tetapi Fiqah, tidak ingin meminjamkan mainannya kepada sepupunya, ia hanya ingin ditemani bermain saja. Fadhil : “Pinjam ini, Dek.” (menunjuk salah satu mainan milik

fiqah) Fiqah : “Inantu itu” (mengambil mainan yang ditunjuk Fadhil) Firda memegang salah satu bola mainan milik Fiqah Fiqah : “Boyatu itu”

74

Firda melepaskan bola mainan itu, kemudian meraih tas mainan milik Fiqah. Fiqah : “Tattu itu” (Mengambil bola dan tas yang dipegang oleh

Firda) a. Fonologi :

Tuturan “inantu”, anak belum memperoleh fonem /m/ pada

awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/, sehingga

tuturan yang terdengar untuk kata “mainanku” adalah

“inantu”.

Tuturan “boyatu” mengubah fonem /l/ menjadi /y/, fonem /k/

menjadi /t/ sehingga terdengar “boyatu” untuk kata “bolaku”.

Tuturan “tattu” mengubah fonem /s/ menjadi /t/, sehingga

tuturan yang seharusnya “tasku” karena ada perubahan

fonem sehingga terdengar “tattu”.

b. Morfologi :

Tuturan “inantu itu” terdiri dari dua kata, yaitu:

inantu (mainanku), tiga morfem: main, satu morfem -an, satu morferm -ku, satu morfem

itu, satu morfem

Tuturan “boyatu” terdiri dari satu kata, yaitu:

boyatu (bolaku), dua morfem: bola, satu morfem -ku, satu morfem

Tuturan “tattu” terdiri dari satu kata, yaitu:

tattu (tasku), dua morfem: tas, satu morfem -ku, satu morfem

75

c. Sintaksis :

Tuturan “inantu itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“mainan itu milikku / milik fiqah”

Tuturan “boyatu itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“bola itu milikku / milik fiqah”

Tuturan “tattu itu”, yang dimasksudkan adalah kalimat “tas

itu milikku / milik fiqah”

d. Semantik :

Percakapan itu menjelaskan bahwa Fiqah memiliki rasa

egois yang tinggi, meski ia belum memahami bahwa yang

dilakukannya ini merupakan hal yang kurang baik. Dia tidak

ingin meminjamkan mainannya kepada teman mainnya,

dalam hal ini sepupu-sepupunya, tetapi dia juga tidak ingin

teman mainnya itu meninggalkannya bermain sendiri.

2. Data “uca acu”, “oco ayah” (Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 14.53)

Siang menjelang sore hari, ketika itu tante Uli baru tiba dari sekolah. Fiqah : “Uca acu” Tante Uli : “Apa ta bilang?” Fiqah : “Uca acu” Tante Uli : “Ooo siapa yang rusak kasur?” Fiqah : “Oco ayah”

a. Fonologi :

Tuturan “uca”, anak belum memperoleh fonem /r/ pada awal

kata dan fonem /k/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /s/

menjadi /c/, sehingga kata “rusak” terdengar “uca”.

76

Tuturan “acu” anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal

kata dan fonem /r/ pada akhir kata dan mengubah fonem /s/

menjadi /c/, sehingga kata “kasur” terdengar “acu”.

Tuturan “oco”, anak belum memperoleh fonem /r/ pada awal

kata dan fonem /k/ pada akhir kata dan mengubah fonem /k/

menjadi /c/ dari kata “rokok”.

b. Morfologi :

Tuturan “uca acu” terdiri dari dua kata masing-masing satu

morfem, yaitu:

uca (rusak), satu morfem acu (kasur), satu morfem

Tuturan “oco ayah” terdiri dari dua kata masing-masing satu

morfem, yaitu:

oco (rokok), satu morfem ayah, satu morfem

c. Sintaksis :

Kata “uca acu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “kasurnya

sudah rusak”

Kata “oco aya”, yang dimaksudkan adalah kalimat “rokok

ayah penyebab rusaknya kasur”.

d. Semantik :

Percakapan tersebut bermakna pemberian informasi dari

Fiqah kepada tantenya bahwa kasurnya rusak dikarenakan

rokok ayahnya.

77

3. Data “itutta olah”, “ayah angung”, “antatta ulu” (Senin, 2 Maret 2015

pukul 08.12)

Pagi itu, Fiqah baru saja bangun, tante Uli sedang siap-siap ke sekolah. Tante Uli : “Siapa mau ikut ke sekolah?” Fiqah : “Itutta olah” Tante Uli : “Kasi bangun dulu ayah antar ki.” Fiqah : (Berlari menuju kamarnya) “ayah angung” Ayah Fiqah : “Tunggu dulu, nak!” Fiqah : “Antatta ulu” Ayah Fiqah : “Mau ki kemana?” Fiqah : “Olah, Uwi”

a. Fonologi :

Tuturan “itutta” mengubah fonem /k/ menjadi /t/, sehingga

tuturan yang seharusnya “ikut ka” menjadi “itutta”.

Tuturan “olah”, anak belum memperoleh fonem /s/ pada awal

kata, fonem /k/ pada tengah kata, dan menghilangkan

fonem /e/, sehingga kata “sekolah” menjadi “olah”.

Tuturan “angung”, anak belum memperoleh fonem /b/ pada

awal kata, dan mengganti fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata

“bangun”.

Tuturan “antatta” mengubah fonem /r/ menjadi /t/, dan fonem

/k/ menjadi /t/, sehingga tuturan yang seharusnya “antarka”

menjadi “antatta”.

b. Morfologi :

Tuturan “itutta olah” terdiri dari dua kata, yaitu:

itutta (ikutka), dua morfem: ikut, satu morfem -ka, satu morfem

78

olah (sekolah), satu morfem

Tuturan “ayah angung” terdiri dari dua kata yang masing-

masing memiliki satu morfem, yaitu:

ayah, satu morfem angung (bangun), satu morfem

Tuturan “antatta ulu” terdiri dari dua kata, yaitu:

antatta (antarka), dua morfem: antar, satu morfem -ka, satu morfem ulu (dahulu), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “itutta olah”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“saya ingin ikut ke sekolah”.

Tuturan “ayah angung”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“ayah cepat bangun”

Tuturan “antatta ulu”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“antar dulu ke sekolah”.

d. Semantik :

Percakapan tersebut menjelaskan bahwa Fiqah ingin ikut ke

sekolah tapi harus diantar dengan motor oleh ayahnya, jadi

ia harus membangunkan ayahnya sebelum ditinggalkan oleh

tante Uli.

4. Data “bobo ulu”, “anyang mi” (Rabu, 4 Maret 2015 pukul 17.31)

Sore itu, Fiqah dan Ayahnya pulang dari rumah Zahir. Fiqah setibanya di rumah. Fiqah : “Ape cica.” Mama Fiqah : “Capek ki, nak?”

79

Fiqah : “bobo ulu” (berbaring di dekat ibunya) Mama Fiqah : “Dibuatkan ki susu, nak?” Fiqah : “Anyang mi” (memegang perutnya)

a. Fonologi :

Tuturan “bobo”, tuturan yang sempurna, lengkap, tidak ada

fonem yang hilang dan tidak ada pula yang diubah.

Tuturan “ulu”, anak belum memperoleh fonem /d/ pada awal

kata “dulu”.

Tuturan “anyang”, anak belum memperoleh fonem /j/ pada

awal kata, dan mengubah fonem /ng/ menjadi /ny/, fonem /n/

menjadi /ŋ/, sehingga kata “jangan”, terdengar menjadi

“anyang”.

b. Morfologi :

Tuturan “bobo ulu” terdiri dari dua kata yang masing-masing

terdiri dari satu morfem, yaitu:

bobo (tidur), satu morfem ulu (dahulu), satu morfem

Tuturan “anyang mi” terdiri dari satu kata, yaitu:

anyang mi (jangan mi), dua morfem: anyang, satu morfem -mi, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ape cica”, yang dimaksudkan adalah “fiqah lelah,

capek”

Tuturan “bobo ulu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “bobo

dulu sejenak”

80

Tuturan “anyang mi”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“jangan, tidak usah, masih kenyang”.

d. Semantik :

Percakapan ini menyatakan bahwa Fiqah lelah dari bermain,

ia butuh istirahat, Mamanya sempat menawarkan susu

untuknya tapi Fiqah menolaknya dengan memegang

perutnya bermaksud menyampaikan bahwa ia masih

kenyang, sepertinya ia hanya butuh istirahat sejenak. Kata

bobo dulu dimaksudkan untuk berbaring sejenak.

5. Data “mau ta itut”, “inca allah” (Kamis, 5 Maret 2015 pukul 08.35)

Pagi hari, Mama tua (Nenek Fiqah) bersiap-siap merias wajah hendak ke acara pengantin. Fiqah duduk, diam memperhatikan neneknya. Mama Tua : “Siapa mau ikut?” Fiqah : “Mau ta itut.” Mama Tua : “Mau ki ikut, nak?” Fiqah : “Inca Allah.”

a. Fonologi :

Tuturan “mau ta itut", mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari

kata “ikut”.

Tuturan “inca allah”, mengubah fonem /sy/ menjadi /c/ dari

kata “insyaAllah”

b. Morfologi :

Tuturan “mau ta itut” terdiri dari dua kata, yaitu:

mau ta (mauka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem

81

Tuturan “inca allah” terdiri dari dua kata yang masing-

masing terdiri dari satu morfem, yaitu:

inca (in sya), satu morfem Allah, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mau ta itut”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“saya ingin ikut”

Tuturan “inca allah”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“InsyaAllah”

d. Semantik :

Percakapan tersebut, Fiqah mampu mengucapkan kata

InsyaAllah, yang kemungkinan diperolehnya dari

kebiasaannya mendengar orang-orang disekitarnya.

6. Data “cak inding iyam” (Rabu, 25 Februari 2015 pukul 20.39)

Malam hari, ketika bermain di ruang keluarga, Fiqah melihat seekor cicak. Fiqah : “Cak.” Firda : “Menyanyi dulu Fiqah” Fiqah : “Ccak inding iyam”

a. Fonologi :

Kata “ccak” menghilangkan fonem /i/ sehingga kata yang

seharusnya “cicak” terdengar “ccak”.

Kata “inding”, anak belum memperoleh fonem /d/ pada awal

kata sehingga kata yang seharusnya “dinding” terdengar

“inding”.

82

Kata “iyam”, anak belum memperoleh fonem /h/ pada awal

kata dan mengubah fonem /l/ menjadi /y/, dan fonem /ŋ/

menjadi /m/ sehingga kata “hilang” terdengar “iyam”.

b. Morfologi :

Tuturan “cak inding iyam” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing kata terdiri dari satu morfem, yaitu:

cak (cicak), satu morfem inding (dinding), satu morfem iyam (hilang), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ccak inding iyam”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “cicak-cicak dinding, diam-diam merayap”.

d. Semantik :

Percakapan itu menandakan bahwa Fiqah mulai mampu

mengenali jenis binatang yang ditemuinya, bahkan bisa

menyanyikan lagu sesuai dengan binatang yang dilihatnya,

yakni cicak.

7. Data “opi aya iyam” (Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 13.02)

Siang itu, Fiqah diajak oleh ayanhya ke rumah Zahir, tapi karena sesuatu hal, ayahnya membatalkannya, Fiqah sepertinya terima alasan yang diberikan ayahnya. Mama Fiqah : “Kenapa ki, nak?” (melihat Fiqah kembali dan batal

ke rumah Zahir) Fiqah : (terdiam, menuju ke arah mamanya) Mama Fiqah : “Mana Ayah? Kenapa tidak pergi rumanya adek

Zahir?” Fiqah : “opi ayah iyam” Mama Fiqah : “Ooo hilang topinya ayah, nak. Iye, nanti sore pi baru

ki pergi nak ya.”

83

a. Fonologi :

Kata “opi”, anak belum memperoleh fonem /t/ pada awal kata

sehingga kata “topi” menjadi “opi”.

Kata “iyam” menghilangkan fonem /h/ dan mengubah fonem

/l/ menjadi /y/, dan fonem /ŋ/ menjadi /m/ sehingga kata

“hilang” terdengar “iyam”.

b. Morfologi :

Tuturan “opi aya iyam” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing kata terdiri dari satu morfem, yaitu:

opi (topi), satu morfem aya (ayah), satu morfem iyam (hilang), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “opi aya iyam”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“topi ayah hilang”

d. Semantik :

Percakapan ini menyatakan bahwa Fiqah sebenarnya

kecewa karena tidak jadi berangkat ke rumah Zahir, tapi

alasan yang diberikan ayahnya diterima dan dipahaminya

dengan baik karena siang itu cuaca sangat panas. Mungkin

menurutnya, cuaca panas jadi butuh topi untuk

melindunginya dari panasnya sinar matahari.

84

8. Data “mau ta alam” (Kamis, 5 Maret 2015 pukul 17.38)

Sore menjelang malam itu, Fiqah dan Tante Uli sedang di rumah Zahir. Mama Eri : “Pulang mi dulu, nak. Malam mi. Na cari kin anti ayah.” Fiqah : “Anyang mi.” Mama Eri : “Pulang mi dulu, nak. Besok pi lagi ke sini ki.” Fiqah : “Anyang mi, mama Eji tu.” Mama Eri : “Besok pi lagi, nak.” Fiqah : “mau ta alam.”

a. Fonologi :

Kata “alam”, anak belum memperoleh fonem /b/ pada awal

kata, fonem /r/, /m/ pada tengah kata, dan menghilangkan

fonem /Ə/ sehingga kata yang seharusnya “bƏrmalam” (kata

lain dari menginap) tetapi tuturan yang terdengar adalah

“alam”.

b. Morfologi :

Tuturan “mau ta alam” terdiri dari dua kata, yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem alam (bermalam/menginap), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mau ta alam”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“saya ingin bermalam/menginap di rumahnya adik Zahir”

d. Semantik :

Percakapan itu dimaksudkan bahwa Fiqah mampu

mempertahankan pendapatnya, bahkan mulai mampu

memberikan jawaban yang sesuai dari perkiraan orang lain.

85

9. Data “ati ala cica”, “ati eyut cica” (Ahad, 8 Maret 2015 pukul 14.29)

Siang menjelang sore hari itu, Fiqah tengah bermain dengan Firda, sepupunya, mereka bermain kakak-adik, rumah-rumahan di teras rumah. Fiqah : “Ati ala Cica.” Firda : “Kenapa ki, Dek?” Fiqah : “Ati eyut Cica.” Firda : “Ayo kakak bawa ke bu bidan dulu yaa…”

a. Fonologi :

Kata “ati”, anak belum memperoleh fonem /s/ pada awal

kata, fonem /t/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /k/

menjadi /t/ dari kata “sakit”.

Kata “ala”, anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal

kata, fonem /p/ pada tengah kata, dan menghilangkan fonem

/e/ dari kata “kepala”

Kata “Əyut”, anak belum memperoleh fonem /p/ pada awal

kata, dan mengubah fonem /r/ menjadi fonem /y/ dari kata

“pƏrut”.

b. Morfologi :

Tuturan “ati ala cica” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing kata tersebut terdiri dari satu morfem, yaitu:

ati (sakit), satu morfem ala (kepala), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem

Tuturan “ati eyut cica” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing kata tersebut terdiri dari satu morfem, yaitu:

ati (sakit), satu morfem eyut (perut), satu morfem

86

cica (fiiqah), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ati ala cica”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“sakit kepalanya fiqah”

Tuturan “ati eyut cica”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“perut fiqah sakit”

d. Semantik :

Percakapan itu membuktikan bahwa Fiqah mulai mampu

menyusaikan cara bermainnya dengan sepupunya, bahkan

mampu menyambung cerita yang dimaksudkan oleh

sepupunya. Fiqah diharuskan berakting sakit, dan ia mampu

melakukannya.

10. Data “atuh ta tadi itu”, “mau ta encing alam” (Rabu, 11 Maret 2015

pukul 20.03)

Malam hari, keluarga tengah kumpul di ruang keluarga, tiba-tiba Fiqah datang dari arah dapur dengan suara rintihan kecilnya. Fiqah : “Atu ta tadi itu” Mama Fiqah : “Dimana ki jatuh, nak?” Fiqah : “Alam.” (menunjuk arah dapur) Mama Fiqah : “Kenapa masuk di dalam sendiri?” Fiqah : “Mau ta encing alam”

a. Fonologi :

Tuturan “atuh ta tadi itu”, anak belum memperoleh fonem /j/

pada awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari

kata “jatuhka”, fonem /d/, /i/, /s/, dari kata “di situ”. Tuturan

87

yang dihasilkan dalam percakapan tersebut sudah hampir

sempurna.

Tuturan “mau ta encing alam”, mengubah fonem /k/ menjadi

/t/ dari kata “mau ka”, belum memperoeh fonem /k/ pada

awal kata “kencing”, dan fonem /d/ pada awal kata “dalam”.

b. Morfologi :

Tuturan “atuh ta tadi itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

atuh ta (jatuh ka), dua morfem: jatuh, satu orfem -ka, satu morfem tadi, satu morfem itu, satu morfem

Tuturan “mau ta encing alam” terdiri dari tiga kata, yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem encing (kencing/buang air kecil), satu morfem alam (di dalam), dua morfem: di-, satu morfem dalam, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “atuh ta tadi itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“tadi fiqah terjatuh di situ”.

Tuturan “mau ta encing alam”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “saya ingin kencing di dalam tapi terpeleset

sehingga terjatuh”.

88

d. Semantik :

Percakapan tersebut Fiqah memberikan informasi bahwa ia

terjatuh di dalam (tempat buang air) karena ingin buang air

kecil. Tuturannya sudah komunikatif, mudah dipahami.

11. Data “mau ta ayung”, tunju alam cica”, “aci, ama-ama” (Senin, 16

Maret 2015 pukul 11.28)

Pagi menjelang siang, percakapan antara Fiqah dengan mamanya. Fiqah ingin tidur, minum susu sambil di-ayung. Fiqah : “Mau ta ayung.” Mama Fiqah : “Mana dot ta?” Fiqah : “Tunju alam Cica.” (menuju dapur mencari dotnya) Mama Fiqah : “Terima kasih.” Fiqah : “Aci, ama-ama.”

a. Fonologi :

Tuturan “mau ta ayung”, mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari

kalimat “mau ka ayung”.

Tuturan “tunju alam Cica”, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /n/,

fonem /g/ menjadi /j/ dari kata “tunggu”, menghilangkan

fonem /d/, /i/ dari kata di dalam. Kalimat tersebut belum

sempurna, tetapi sudah komunikatif. kalimat yang

seharusnya adalah “tunggu masuk di dalam cica”

Tuturan “aci, ama-ama”, menghilangkan beberapa fonem

dari kata “terima kasih” menjadi “aci”, dan menghilangkan

fonem /s/ pada kata ulang “sama-sama”.

89

b. Morfologi :

Tuturan “mau ta ayung” terdiri dari dua kata, yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem ayung, satu morfem

Tuturan “tunju alam cica” terdiri dari tiga kata, yaitu:

tunju (tunggu), satu morfem alam (ke dalam), dua morfem: ke-, satu morfem dalam, satu morfem cica (fiiqah), satu morfem

Tuturan “aci, ama-ama” terdiri dari tiga kata, yaitu:

aci (terima kasih), dua kata yang terdiri dari satu morfem: terima, satu morfem kasih, satu morfem ama-ama (sama-sama), kata ulang yang terdiri dari satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mau ta ayung”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“saya ingin diayung, sudah mengantuk”

Tuturan “tunju alam cica”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“tunggu dulu, fiqah cari dotnya di dalam, di dapur”

Tuturan “aci, ama-ama”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“terima kasih, sama-sama”

d. Semantik :

Percakapan tersebut menyatakan bahwa Fiqah mengantuk,

ingin diayung, mamanya langsung merespon biasanya jika

mengantuk ingin diayung selalu minum susu sehingga

90

mamanya bertanya tempat ia letakkan dot yang dipakai tadi

pagi, Fiqah memahami maksud mamanya, ia segera menuju

tempat ia meletakkan dotnya, dan segera menyerahkan

dotnya ke mama. Mama ucapkan terima kasih, dia pun

membalasnya dengan berterima kasih kembali dan sama-

sama.

12. Data “mau ta lua”, “layi-layi ama idda” (Ahad, 22 Maret 2015 pukul

16.41)

Sore hari, Fiqah baru saja bangun dari tidur siangnya. Ia mendengar suara kakak sepupunya bermain di luar, di teras rumah. Ia beranjak dari duduknya menuju pintu. Mama Fiqah : “Mau kemana ki, nak?” Fiqah : “Mau ta lua.” Mama Fiqah : “Minum susu dulu, nak. Mau ki apa di luar?” Fiqah : “Layi-layi ama idda.”

a. Fonologi :

Tuturan “mau ta lua”, anak belum memperoleh fonem /k/

pada awal kata, fonem /r/ pada akhir kata, dan

menghilangkan fonem /Ə/ dari kata “kƏluar”.

Tuturan “lay-layi ama idda”, mengubah fonem /r/ menjadi /y/

dari kata ulang “lari-lari”. Menghilangkan fonem /s/ dari kata

“sama”.

b. Morfologi :

Tuturan “mau ta lua” terdiri dari dua kata, yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem Lua (luar), satu morfem

91

Tuturan “layi-layi ama idda” terdiri dari dua kata, yaitu:

layi-layi (berlari-lari), tiga morfem yang terbentuk dari: ber-, satu morfem sebagai morfem afiks, berlari, satu morfem sebagai bentuk dasar dari berlari-lari, lari yang kedua, satu morfem sebagai morfem ulang.

ama (sama/dengan), satu morfem idda (firda), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mau ta lua”, yang dimaksudkan adalah kalimat

“saya ingin keluar rumah”

Tuturan “layi-layi ama idda”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “bermain lari-larian dengan Firda”

d. Semantik :

Percakapan tersebut bermakna ketertarikan akan hal yang

sama atau pernah dilakukan sebelumnya oleh Fiqah, yakni

bermain bersama sepupunya di teras rumah. Mendengar

suara ramai di teras, Fiqah berpikir mungkin permainan yang

kemarin dilanjutkan lagi. Hal ini membuktikan bahwa ingatan

Fiqah sejalan dengan pamahamannya.

13. Data “otong cucutu itu”, “nda oleh”, “injam ni, impan na” (Ahad, 29

Maret 2015 pukul 17.02)

Sore itu, Firda sementara memotong kukunya di teras rumah. Fiqah berjalan ke arahnya dan melihat pemotong kuku yang digunakan Firda. Fiqah : “Otong cucutu itu.” Firda : “Pinjam ka sebentar.” Fiqah : “Nda oleh.” Firda : “Pinjam ka kasian.” Fiqah : “Injam ni, impan na.”

92

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “potong”.

Mengubah fonem /k/ menjadi fonem /c/ dan /t/ pada kata

“kukuku”.

Kata “nda” mewakili kata tidak. Belum menemukan fonem /b/

pada awal kata “boleh”.

Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “pinjam”,

fonem /s/ pada awal kata “simpan”.

b. Morfologi :

Tuturan “otong cucutu itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

otong (potong), satu morfem cucutu (kukuku), dua morfem yang terbentuk dari: kuku, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem

Tuturan “nda oleh” terdiri dari dua kata yang masing-

masing terbentuk dari satu morfem, yaitu:

nda (tidak), satu morfem oleh boleh), satu morfem

Tuturan “injam ni, impan na” terdiri dari dua kata, yaitu:

injam ni (pinjam ni), dua morfem terbentuk dari: injam, satu morfem -ni, satu morfem impan na (simpan na), dua morfem terbentuk dari: impan, satu morfem -na, satu morfem

93

c. Sintaksis :

Tuturan “otong cucutu itu”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “potong kuku itu milik fiqah”

Tuturan “nda oleh” mewakili kalimat “tidak boleh”

Tuturan “injam ni, impan na”, kalimat yang dimaksudkan

adalah “boleh dipinjam tapi disimpan dengan baik nantinya

setelah digunakan”

d. Semantik :

Fiqah mengenali barang miliknya. Ia akan meminta

barangnya dikembalikan jika Ia melihat orang lain

menggunakannya, kecuali harus dipinjam terlebih dahulu

padanya. Ia bahkan mengingatkan, jika selesai

menggunakannya harus disimpan kembali.

14. Data “ati tati cayi”, “iji amuk apang” (Rabu, 1 April 2015 pukul 16.39)

Sore itu, Fiqah baru saja tiba dari rumah Zahir, Ia langsung bercerita tentang Zahir. Fiqah : “Ati tati cayi.” Mama Fiqah : “Kenapa kakinya Zahir?” Fiqah : “Iji amuk apang.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /s/ pada awal kata, fonem /t/ pada

akhir kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata

“sakit”, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “kaki”. Mengubah

fonem /z/ menjadi /c/, fonem /h/ menjadi /y/, dan

menghilangkan fonem /r/ dari kata “Zahir”.

94

Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata, fonem /t/ pada

akhir kata dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata

“digigit”. Menghilangkan fonem /ny/ dari kata “nyamuk”.

Menghilangkan fonem /k/ dari kata “kapang” (bahasa bugis

dari kata mungkin).

b. Morfologi :

Tuturan “ati tati cayi” terdiri dari tiga kata, yaitu:

ati (sakit), satu morfem tati (kaki), satu morfem cayi (zahir), satu morfem

Tuturan “iji amuk apang” terdiri dari tiga kata, yaitu:

iji (gigit), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem apang (kapang/mungkin), satu morfem)

c. Sintaksis :

Tuturan “ati tati cayi”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“sakit kakinya Zahir”

Tuturan “iji amuk apang”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“mungkin karena digigit nyamuk”

d. Semantik :

Fiqah memberikan informasi bahwa kaki Zahir saat ini sakit,

orang lain bertanya padanya tentang penyebab sakitnya

kakinya Zahir, Ia belum tahu penyebabnya sehingga ia

mengambil kesimpulan awal bahwa kaki Zahir sakit mungkin

karena digigit nyamuk.

95

15. Data “iji opang tati cayi”, “ais mama tu, opang na” (Jumat, 3 April

2015 pukul 17.38)

Percakapannya antara Fiqah dengan mamanya. Ketika itu, Fiqah baru saja tiba dari rumah temannya. Fiqah : “Iji opang tati cayi” Mama Fiqah : “Digigit Jopang? Kecoa namanya itu, nak…” Fiqah : “Ais mama tu, opang na.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata, fonem /t/ pada

akhir kata dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata

“gigit”. Menghilangkan fonem /j/ dari kata “jopang” (Bahasa

bugis dari kata Kecoa).

b. Morfologi :

Tuturan “iji opang tati cayi” terdiri dari empat kata, yaitu:

iji (gigit),satu morfem opang (jopang/kecoa), satu morfem tati (kaki), satu morfem cayi (zahir), satu morfem

Tuturan “ais mama tu, opang na” terdiri dari tiga kata, yaitu:

ais, satu morfem) mama tu, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem -tu, satu morfem opang na (jopang/kecoa na), dua morfem yang terbentuk dari: opang, satu morfem -na, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “iji opang tati cayi”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “Kaki Zahir digigit serangga/kecoa(Jopang)

96

Tuturan “ais mama tu, opang na”, kaliamt yang

dimaksudkan adalah “biarkan saja sepeti itu mama, jopang

saja namanya”

d. Semantik :

Percakapan ini menyatakan bahwa informasi yang

disampaikan oleh Fiqah, tidak benar adanya karena Fiqah

tidak mengetahui penyebab sebenarnya dari sakit kakinya

Zahir. Fiqah mampu membuat cerita sendiri yang tidak

sesuai dengan kenyataan. Fiqah mampu mengucapkan kata-

kata dari bahasa daerahnya.

16. Data “tatang adettu”, “adettu tayangtu”, “adek cica anti”, “adek anti

uja” (Selasa, 7 April 2015 pukul 10.30)

Mendengar suara mobil semakin dekat dari rumah(tempatnya), Ia berteriak. Fiqah : “Tatang adettu.” Tante Uli : “Datang adek na Fiqah.” Fiqah : (terus memperhatikan adiknya) “Adettu tayangtu” Tante Uli : “Adeknya siapa ini?” Fiqah : “Adek cica anti. Adek anti uja.”

a. Fonologi :

Mengubah fonem /d/ menjadi /t/ dari kata “datang”, fonem /i/

menjadi /e/, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “adikku”, fonem /s/

menjadi /t/, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “sayangku”.

Menghilangkan fonem /c/, /k/ dari kata “cantik”.

Menghilangkan fonem /j/ dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/

dari kata “juga”

97

b. Morfologi :

Tuturan “tatang adettu” terdiri dari dua kata, yaitu:

tatang (datang), satu morfem adettu (adekku), dua morfem yang terbentuk dari: adek, satu morfem -ku, satu morfem

Tuturan “adettu tayangtu” terdiri dari dua kata, yaitu:

adettu (adekku), dua morfem yang terbentuk dari: adek, satu morfem -ku, satu morfem tayangtu (sayangku), dua morfem yang terbentuk dari: sayang, satu morfem -ku, satu morfem

Tuturan “adek cica anti” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing terdiri dari satu morfem, yaitu:

adek, satu morfem cica (fiiqah), satu morfem anti (cantik), satu morfem

Tuturan “adek anti uja” terdiri dari tiga kata yang masing-

masing terdiri dari satu morfem, yaitu:

adek, satu morfem anti (cantik), satu morfem uja (juga), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “tatang adettu”, yang dimaksudkan adalah “datang

adikku”

Tuturan “adettu tayangtu”, yang dimaksudkan adalah

“adikku sayangku”

98

Tuturan “adek cica anti, adek anti uja”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “adiknya Fiqah cantik, adik cantik juga”

d. Semantik :

Fiqah memahami bahwa saat itu telah hadir seorang adik

untuknya, Ia mulai belajar berbagi dengan adiknya itu

termasuk berbagi cantiknya.

17. Data “inyak elong etattu”, “edak etattu” (Kamis, 9 April 2015 pukul

09.41)

Percakapannya ketika Fiqah selesai mandi, Ia segera mengambil barang-barang yang biasa dipakai ketika selesai mandi. Tetapi ia tidak menemukannya di tempat biasa ia mengambilnya. TIba-tiba, ia melihat barang yang dicarinya itu tergeletak di dekat adiknya, ia segera menuju kea rah adiknya dan mengambil barang-barangnya. Fiqah : “Inyak elong etattu, edak etattu.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minyak”,

menghilangkan fonem /t/, mengubah fonem /n/ menjadi /ŋ/

dari kata “tƏlon”, belum memperoleh fonem /b/ pada awal

kata “bƏdak”. Belum memperoleh fonem /b/ pada awal kata

dan mengubah fonem /s/ menjadi /t/, fonem /r/ menjadi /t/,

fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “bƏsarku”.

b. Morfologi :

Tuturan “inyak elong etattu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

inyak (minyak), satu morfem elong (telon), satu morfem etattu (besarku), dua morfem yang terbentuk dari: besar, satu morfem -ku, satu morfem

99

Tuturan “edak etattu” terdiri dari dua kata, yaitu:

edak (bedak), satu morfem etattu (besarku), dua morfem yang terbentuk dari: besar, satu morfem -ku, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “inyak elong etattu”, yang dimaksudkan adalah

“minyak telong besarku”

Tuturan “edak etattu”, yang dimaksudkan adalah “bedak

besarku”

d. Semantik :

Pernyataan Fiqah menjelaskan bahwa ia dengan adiknya

memang sudah ada pembagian masing-masing, bedak dan

minyak telon yang besar miliki Fiqah, dan yang kecil milik

adiknya, saat itu, Fiqah mengira, adiknya yang mengambil

barang miliknya, makanya ia menegaskan bahwa minyak

telon dan bedak besar itu miliknya.

18. Data “ana tucuk ini? mau ta inum” (Selasa, 14 April 2015 pukul

19.21)

Malam itu, Fiqah menemukan segelas air kemasan. Ia ingin meminumnyaa sehingga mencari pipet. Fiqah : “Ana tucuk ini? mau ta inum.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata tanya “mana”,

mengubah fonem /s/ menjadi /c/ dari kata “tusuk” alias pipet,

belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minum”.

100

b. Morfologi :

Tuturan “ana tucuk ini? mau ta inum” terdiri dari lima kata,

yaitu:

ana (mana), satu morfem tucuk (tusuk/pipet), satu morfem ini, satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem inum (minum), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ana tucuk ini? mau ta inum”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “dimana tusuk/pipet air kemasan ini?

saya ingin meminum air ini”

d. Semantik :

Pemahaman Fiqah bahwa jika ada air dalam kemasan gelas,

biasanya diminum menggunakan pipet sehingga ia

mencarinya, karena penggunaannya dengan cara

ditusukkan, maka ia mencarinya dengan menggunakan cara

penggunaannya yakni tusuk.

19. Data “ada otot peppatu” (Sabtu, 18 April 2015 pukul 19.41)

Malam itu, ayah Fiqah pulang malam, ia membawakannya mainan sebuah motor-motoran berbentuk vespa. Mama Fiqah : “Ada mainan barunya anakku. Motor Vespa” Fiqah : “Ada otot peppatu.”

101

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah

fonem /r/ menjadi /t/ dari kata “motor”. Mengubah fonem /v/

menjadi /p/, fonem /s/ menjadi /p/, fonem /k/ menjadi /t/ dari

kata “vespaku”.

b. Morfologi :

Tuturan “ada otot peppatu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

ada, satu morfem otot (motor), satu morfem peppatu (vespaku), dua morfem yang terbentuk dari: vespa, satu morfem -ku, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ada otot peppatu”, yang dimaksudkan adalah “ada

mainan motor vespaku”

d. Semantik :

Percakapan itu membuktikan bahwa Fiqah mulai cepat

memahami dan mengikuti tentang yang diucapkan atau yang

sementara dibicarakan oleh orang dewasa disekitarnya.

20. Data “ada encing ade inun citu” (Senin, 20 April 2015 pukul 18.23)

Malam itu, Firda langsung saja berbaring di samping Ainun yang tengah berbaring sambil bermain di ruang keluarga, di sana hanya Ainun dan Fiqah karena mamanya sedang mengambilkan celana untuk Ainun yang sudah buang air tadi. Fiqah : “ada encing ade inun citu”

102

a. Fonologi :

Tuturan itu, anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal

kata “kencing”, menghilangkan fonem /k/ dan mengubah

fonem /i/menjadi /e/ pada kata “adik”, menghilangkan fonem

/a/ dari kata “Ainun”, menghilangkan kata depan di- dan

mengubah fonem /s/ menjadi /c/ pada kata “di situ”

b. Morfologi :

Tuturan “ada encing ade inun citu” terdiri dari lima kata,

yaitu:

ada, satu morfem encing (kencing), satu morfem ade (adik), satu morfem inun (ainun), satu morfem citu (disitu), dua morfem yang terbentuk dari: di-, satu morfem situ, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ada encing ade inun citu”, yang dimaksudkan

adalah “ada kencingnya adik Ainun tadi di situ”

d. Semantik :

Tuturan itu memberikan informasi bahwa tadi di situ tadi

tempat adik Ainun buang air, jangan ditempati berbaring

karena kotor.

21. Data “nda bitata nyanyi aya” (Rabu, 22 April 2015 pukul 16.05)

Sore itu, Tante Farida datang ke rumah, melihat Fiqah yang sibuk bermain dengan sepupu-sepupunya, Tante Farida : “Fiqah, menyanyi ki dulu cantik.” Fiqah : “Nda bitata nyanyi aya.”

103

a. Fonologi :

Tuturan “nda bitata nyanyi aya”, menghilangkan fonem /t/,

/i/, /k/, menambahkan fonem /n/ di depan tuturannya dari

kata “tidak” menjadi “nda”. Mengubah fonem /s/, /k/ menjadi

fonem /t/ pada kata “bisaka” menjadi “bitata”.

Menghilangkan fonem /s/ pada kata “saya”.

b. Morfologi :

Tataran “nda bitata nyanyi aya” terdiri dari empat kata, yaitu:

nda (tidak), satu morfem bitata (bisaka), dua morfem yang terbentuk dari: bisa, satu morfem -ka, satu morfem nyanyi, satu morfem aya (saya), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “nda bitata nyanyi aya”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “saya tidak bisa bernyanyi”

d. Semantik :

Tuturan ini dijadikan alasan agar tidak mengganggu

aktivitas bermainnya yang tengah dilakukannya. Dia tidak

ingin melakukan aktivitas lain, dia ingin fokus bermain

sehingga dia menyimpulkan dengan segera bahwa ia tidak

bisa bernyanyi.

104

22. Data “ade cayi dudu cica cini”, “ade cayi mauta dudu citu, bentami”

(Senin, 4 Mei 2015 pukul 14.39)

Sore itu, Fiqah tengah bermain dengan adik sepupunya, Zahir. Zahir memakai kursi milik Fiqah, Fiqah langsung memintanya, tp tdk ingin membuat Zahir menangis. Fiqah : “Ade Cayi, dudu cica cini” (menunjuk kursi miliknya) Zahir : “aaa” (Nada Marah) Fiqah : “Ade Cayi mauta dudu citu, bentami” Zahir : “aaa” (mendorong Cica) Fiqah : (Menangis menujuh arah mamanya)

a. Fonologi :

Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, anak belum memperoleh

fonem /k/ pada awal kata “adik”, “duduk”.

Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, belum

memperoleh fonem /k/ pada awal kata “duduk”, fonem /s/,

/e/, /r/ dari kata “sebentar”.

b. Morfologi :

Tuturan “ade cayi dudu cica cini” terdiri dari lima kata, yaitu:

ade (adik), satu morfem cayi (zahir), satu morfem dudu (duduk), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem cini (sini), satu morfem

Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami” terdiri dari

enam kata, yaitu:

ade (adik), satu morfem cayi (zahir), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem dudu (duduk), satu morfem citu (situ), satu morfem bentami (sebentarmi), dua morfem yang terbentuk dari:

105

sebentar, satu morfem -mi, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, maksudnya adalah “adik

Zahir, Fiqah yang duduk di sini”.

Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, maksudnya

adalah “adik Zahir, Fiqah mau duduk di kursi itu, sebentar

saja”.

d. Semantik :

Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, bermaksud meminta kursi

yang dipakai oleh adik sepupunya, Zahir, tanpa

membuatnya menangis.

Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, maksudnya

adalah Fiqah berusaha meminta kursi itu, memaksimalkan

rayuannya agar Zahir ingin memberikan kembali kursi

miliknya.

23. Data “adil uttitu itu”, “indati, lalapotu mau dudu”, “mauta yoyongti”

(Jumat, 8 Mei 2015 pukul 16.32)

Sore itu, Fiqah bermain dengan Fadhil, kakak sepupunya. Fadhil sengaja mengambil kursi kecil milik Fiqah dan memakainya. Fiqah : “Adil, uttitu itu” Fadhil : “Kursiku ini” Fiqah : “Indati, lalapotu mau dudu” Fadhil : “Kursiku ini, Fadhil mau duduk” Fiqah : “Mauta yoyongti”

106

a. Fonologi :

Tuturan “adil uttitu itu”, belum memperoleh fonem /k/ pada

awal kata, mengubah fonem /r/, /s/, dan /k/ menjadi fonem

/t/ pada kata “kursi”.

Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, belum memperoleh

fonem /p/ pada awal kata “pindah”, mengubah fonem /k/

menjadi fonem /t/ pada kata “lalapo-ku”, belum memperoleh

fonem /k/ pada akhir kata “duduk”.

Tuturan “mauta yoyongti”, mengubah fonem /d/, /r/ menjadi

fonem /y/ pada kata “dorong”

b. Morfologi :

Tuturan “adil uttitu itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

adil (fadil), satu morfem uttitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem

Tuturan “indati, lalapotu mau dudu” terdiri dari empat kata,

yaitu:

Indati (pindahki), dua morfem yang terbentuk dari: pindah, satu morfem -ki, satu morfem lalapotu (lalapoku), dua morfem yang terbentuk dari: lalapo, satu morfem -ku, satu morfem mau, satu morfem dudu (duduk), satu morfem

Tuturan “mauta yoyongti” terdiri dari dua kata, yaitu:

mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari:

107

mau, satu morfem -ka, satu morfem yoyongti (dorongki), dua morfem yang terbentuk dari: dorong, satu morfem -ki, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “adil uttitu itu”, maksudnya adalah “Fadhil, Kursi itu

milik Fiqah”

Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, maksudnya adalah

kalimat “Pindah dari kursi itu Fadhil, boneka lalapo yang

mau duduk di kursi itu”

Tuturan “mauta yoyongti”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“kalau tidak pindah dari kursi itu, Fiqah mau dorong biar

terjatuh”

d. Semantik :

Tuturan “adil uttitu itu”, bermaksud untuk meyakinkan Fadhil

bahwa kursi yang dipakainya itu adalah milik Fiqah.

Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, maksudnya

memberitahukan dengan halus pada Fadhil bahwa kursi itu

miliknya, dan boneka lala-po miliknya yang ingin duduk di

kursi miliknya itu.

Tuturan “mauta yoyongti”, maksudnya memberi isyarat pada

Fadhil, jika tidak pindah dari kursi itu, ia akan

mendorongnya hingga terjatuh.

108

24. Data “ma, mauta atang iyi-iyi” (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.04)

Fiqah dan mamanya sedang menonton televisi di ruang tengah, ia mengingat bahwa tadi pagi mamanya sudah memasak nutrijell untuknya. Fiqah : “Ma, mauta atang iyi-iyi” Mama : “Mau ki makan jeli-jeli, nak?”

a. Fonologi :

Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, belum memeperoleh

fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem /k/ menjadi

fonem /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ dari kata “makan”,

menghilangkan fonem /j/, mengubah fonem vokal /e/

menjadi vokal /i/, fonem /l/ menjadi fonem /y/ pada kata “jeli-

jeli”

b. Morfologi :

Tuturan “mauta atang iyi-iyi” terdiri dari tiga kata, yaitu:

mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem atang (makan), satu morfem iyi-iyi (jeli-jeli), dua morfem yang terbentuk dari: jeli, satu morfem dasar jeli, satu morfem ulang

c. Sintaksis :

Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, maksudnya adalah kalimat

“mama, saya ingin makan jeli-jeli (nutrijel)”

109

d. Semantik :

Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, maksudnya untuk

mengingatkan mamanya bahwa jeli-jeli yang sudah dimasak

tadi, saya ingin memakannya sekarang.

25. Data “anyang inta, mauta aci abi-abi” (Jumat, 15 Mei 2015 pukul

15.20)

Fiqah sedang memakan roti isi coklat yang dibelikan ayahnya. Firda, kakak sepupunya datang mendekatinya dan meminta sedikit bagian dari roti itu. Firda : “Mintaka sedikit, dek” Fiqah : “Anyang inta, mauta aci abi-abi”

a. Fonologi :

Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, belum

memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/

menjadi /ny/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”.

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minta”.

Belum memperoleh fonem /h/ pada awal kata dan fonem /s/

pada akhir kata “habis” dan membuatnya menjadi kata

ulang.

b. Morfologi :

Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi” terdiri dari lima

kata, yaitu:

anyang (jangan), satu morfem inta (minta), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem aci (kasi’), satu morfem

110

abi-abi (habis-habis/habiskan), dua morfem yang terbentuk dari: habis, satu morfem dasar habis, satu morfem ulang

c. Sintaksis :

Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, maksudnya adalah

kalimat “jangan diminta rotinya, Fiqah yang mau

menghabiskannya”.

d. Semantik :

Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, maksudnya, ia

menekankan bahwa Fiqah mampu menghabiskan roti ini,

jadi jangan diminta sebagian dari rotinya.

26. Data “uccitu iyam ni, uang ata po”, “itu lua uccitu” (Senin, 18 Mei

2015 pukul 09.25)

Pagi itu, Fiqah baru bangun, ia langsung mencari kursi kecil miliknya. Fiqah : “Uccitu iyam ni, uang ata Po” Mama : “Kursi ta, nak? dimana ta simpan kemarin waktu main sama kakak Po? Fiqah : “Uang ata Po” Mama : “Tidak, ada mungkin di luar” Fiqah : (menuju teras rumah) “Itu lua uccitu”

a. Fonologi :

Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”, belum memperoleh

fonem /k/ pada awal kata, mengubah fonem /r/, /s/ menjadi

fonem /c/, fonem /k/ menjadi /t/ pada kata “kursiku”, belum

memperoleh fonem /h/ pada awal kata, mengubah fonem /l/

menjadi fonem /y/, fonem /ŋ/ menjadi fonem /m/ pada kata

111

“hilang”. Belum memperoleh fonem /b/ pada awal kata

“buang”, belum memperoleh fonem /k/ pada awal dan akhir

kata, dan mengubahnya menjadi fonem /t/ pada kata

“kakak”.

Tuturan “itu lua uccitu”, belum memperoleh fonem /r/ pada

akhir kata “luar”.

b. Morfologi :

Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po” terdiri dari lima kata,

yaitu:

uccitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem iyam ni (hilang ni), dua morfem yang terbentuk dari: hilang, satu morfem -ni, satu morfem uang (buang), satu morfem ata (kakak), satu morfem po, satu morfem

Tuturan “itu lua uccitu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

itu, satu morfem lua (luar), satu morfem uccitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”,kalimat yang

dimaksudkan adalah “hilang kursiku, mungkin sudah

dibuang kakak Po”.

112

Tuturan “itu lua uccitu”, maksudnya adalah kalimat “itu

kursiku di luar”

d. Semantik :

Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”, ketika Fiqah sedang

mencari kursi dan tidak mampu menemukannya, ia

langsung menyimpulkan bahwa kursinya sudah hilang, dan

kemungkinan dibuang oleh kakak sepupunya, Po, karena

hari sebelumnya ia bermain bersama dengan menggunakan

kursi itu.

Tuturan “itu lua uccitu”, setelah menemukan kursinya di

teras rumah, ia merasa harus membatalkan kesimpulannya

yang sebelumnya.

27. Data “apa epitang ucci beca?” (Rabu, 20 Mei 2015 pukul 19.45)

a. Fonologi :

Tuturan “apa epitang ucci beca”, belum memperoleh fonem

/s/ pada awal kata dan menghilangkan fonem /i/ pada kata

“siapa”, belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata dan

mengubah fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ dari kata “jepitan”,

belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata, mengubah

fonem /r/, /s/ menjadi fonem /c/ pada kata “kursi”, belum

memperoleh fonem /r/ pada awal kata dan mengubah fonem

/s/ menjadi /c/ pada kata “besar”.

113

b. Morfologi :

Tuturan “apa epitang ucci beca?” terdiri dari empat kata,

yaitu:

apa (siapa), satu morfem epitang (jepitan), satu morfem ucci (kursi), satu morfem beca (besar), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “apa epitang ucci beca”, maksudnya adalah kalimat

“siapa yang punya jepitan rambut ini di kursi besar?”

d. Semantik :

Tuturan “apa epitang ucci beca”, Fiqah menemukan jepitan

rambut di atas kursi besar, dia tidak mengenali jepitan itu

sehingga ia menanyakan pemilik dari jepitan itu.

28. Data “uci iyingti? mauta uja” (Ahad, 24 Mei 2015 pukul 17.34)

Sore itu, Mama Iya sedang cuci piring, mengetahui hal itu, Fiqah mendekatinya dan menawarkan bantuan untuk mama iya. Fiqah : “Uci iyingti? Mauta uja” Mamma Iya : “Iye’, nak. Jangan mi, nak”

a. Fonologi :

Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, belum memperoleh fonem

/c/ pada awal kata “cuci”, belum memperoleh fonem /p/

pada awal kata dan mengubah fonem /r/ menjadi fonem /y/

pada kata “piring”, belum memperoleh fonem /j/ pada awal

kata dan mengganti fonem /g/ menjadi fonem /j/ pada kata

“juga”.

114

b. Morfologi :

Tuturan “uci iyingti? mauta uja” terdiri dari empat kata yaitu:

uci (cuci), satu morfem iyingti (piringki), dua morfem yang terbentuk dari: piring, satu morfem -ki, satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem uja, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, kalimat yang dimaksudkan

adalah “mama iya sedang cuci piringkah? Fiqah juga mau

cuci piring”.

d. Semantik :

Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, pertanyaan yang

diucapakan sebelumnya adalah kalimat rayuan agar ia

diminta untuk ikut cuci piring, Fiqah ingin bermain air.

29. Data “uta otitu, ati otong om untu” (Jumat, 29 Mei 2015 pukul 16.39)

Sore itu, Fiqah bersama Tante dan Neneknya sedang duduk di teras rumah. Fiqah sedang memegang sebungkus roti yang baru saja dibelinya bersama kaka sepupunya. Fiqah : “Atang om untu” Nenek : “Dimana om Untu?” Fiqah : (menunjuk arah om Untu, menyerahkan sebungkus roti itu pada neneknya) “uta otitu, ati otong om untu” a. Fonologi :

Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, belum memperoleh

fonem /b/ pada awal kata dan mengganti fonem /k/ menjadi

fonem /t/ pada kata “buka”, belum memperoleh fonem /r/

115

pada awal kata dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ pada

kata “rotiku”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata

“potong”.

b. Morfologi :

Tuturan “uta otitu, ati otong om untu” terdiri dari enam kata,

yaitu:

uta (buka), satu morfem otitu (rotiku), dua morfem yang terbentuk dari: roti, satu morfem -ku, satu morfem ati (kasi’/berikan), satu morfem otong (potong/sepotong), satu morfem om, satu morfem untu, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “buka rotiku, saya ingin berikan sepotong

untuk om Untu”.

d. Semantik :

Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, melihat om untu

(teman kerja ayahnya) di depan rumah, ia segera ingin

membuka pembungkus rotinya dan membaginya sepotong

untuk om untu. Ada kemungkinan, om untu sering

membagikannya makanan jika bertemu dengan Fiqah,

terbiasa diberikan sehingga ia juga ingin membagi

makanannya untuk orang lain.

116

30. Data “uta ulu intu, mauta lia obi beca” (Sabtu, 30 Mei 2015 pukul

19.35)

Malam itu, mendengarkan suara knalpot mobil berhenti di depan rumah, Fiqah berlari menuju pintu Fiqah : “uta ulu intu, mauta lia obi beca”

a. Fonologi :

Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, belum

memperoleh fonem /b/ pada awal kata mengubah fonem /k/

menjadi /t/ pada kata “buka”. Belum memperoleh fonem /d/

pada awal kata “dulu”. Belum memperoleh fonem /p/ pada

awal kata “pintu”. Menghilangkan fonem /h/ dan /t/ pada

kata “lihat”. Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata

dan fonem /l/ pada akhir kata “mobil”. Mengubah fonem /s/

menjadi fonem /c/ dan belum memperoleh fonem /r/ pada

akhir kata “besar”.

b. Morfologi :

Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca” terdiri dari tujuh

kata, yaitu:

uta (buka), satu morfem ulu (dahulu), satu morfem intu (pintu), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem lia (lihat), satu morfem obi (mobil), satu morfem beca (besar), satu morfem

117

c. Sintaksis :

Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, kaliamt yang

dimaksudkan adalah “buka pintu dulu, Fiqah ingin melihat

mobil besar yang berhenti di depan rumah”.

d. Semantik :

Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, mendengarkan

suara mobil berhenti di depan rumah, ia segera menuju

pintu untuk keluar melihat mobil itu, karena beberapa hari

sebelumnya ada mobil besar (truk) yang datang dan ia

berharap mobil itu lagi yang datang dan terparkir di depan

rumah.

31. Data “bapa, obe andattu” (Ahad, 31 Mei 2015 pukul 08.38)

a. Fonologi :

Tuturan “bapa, obe andattu”, belum memperoleh fonem /k/

pada akhir kata “bapak”, belum memperoleh fonem /r/ pada

awal kata dan fonem /k/ pada akhir kata “robek”, belum

memperoleh fonem /s/ pada awal kata dan mengubah

fonem /l/, /k/ menjadi fonem /t/ pada kata “sandalku”.

b. Morfologi :

Tuturan “bapa, obe andattu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

bapa (bapak), satu morfem obe (robek), satu morfem andattu (sandalku), dua morfem yang terbentuk dari: sandal, satu morfem -ku, satu morfem

118

c. Sintaksis :

Tuturan “bapa, obe andattu”, maksudnya adalah kalimat

“Bapak, robek sandalku”.

d. Semantik :

Tuturan “bapa, obe andattu”, memberitahukan kepada

kakeknya bahwa sandalnya rusak, ingin diperbaiki.

32. Data “anyang ewa citu, ada alana mama uwa” (Selasa, 2 Juni 2015

pukul 11.09)

Pagi menjelang siang itu, Mama Tua tengah beristirahat di depan televisi, Fiqah dan Firda tengah bermain bersama di tempat yang sama, mereka bermain boneka bersama, tiba-tiba Firda berjalan di dekat kepala Mama Tua. Fiqah : “Anyang ewa citu, ada alana mama uwa” Firda yang tidak menyadarinya langsung menjauh dari tempatnya yang tadi. a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah

fonem /ŋ/ menjadi fonem /ny/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/

dari kata “jangan”.

Belum memperoleh fonem /l/ pada awal kata, fonem /t/ pada

akhir kata dari kata “lewat”.

Mengubah fonem /s/ menjadi fonem /c/ dari kata “situ”.

Belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata, fonem /p/

pada tengah kata, dan menghilangkan fonem /e/ dan

mengubah fonem /ny/ menjadi fonem /n/ dari kata

“kepalanya”.

119

b. Morfologi :

Tuturan “anyang ewa citu, ada alana mama uwa” terdiri dari

tujuh kata, yaitu:

anyang (jangan), satu morfem ewa (lewat), satu morfem citu (disitu), satu morfem ada, satu morfem alana (kepalana), dua morfem yang terbentuk dari: kepala, satu morfem -na, satu morfem mama (mama), satu morfem uwa (tua), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “anyang ewa citu, ada Alana mama uwa”,kalimat

yang dimaksudkan adalah “jangan lewat di situ, ada

kepalanya mama tua”

d. Semantik :

Tuturan tersebut memberikan peringatan bahwa jangan

melewati jalan itu karena mama tua sedang beristirahat di

situ, Fiqah takut jika Firda menginjak mama tua, dan mama

tua terbangun dan memarahi mereka karena bermain di

situ.

33. Data “iyang andattu, ijit anjing” (Kamis, 4 Juni 2015 pukul 16.51)

Sore itu, Fiqah dengan ayahnya bermaksud pergi jalan-jalan sore di sekitar rumah, tapi ketika ingin berangkat, ia tidak menemukan sandalnya. Ayah : “Pakai dulu sandal ta, nak!” Fiqah : “iyang andattu, ijit anjing” Ayah : “Gendong ayah saja.”

120

a. Fonologi :

Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, belum memperoleh

fonem /h/ pada awal kata dan mengubah fonem /l/ menjadi

fonem /y/ pada kata “hilang”. Belum memperoleh fonem /s/

pada awal kata dan mengubah fonem /l/, /k/ menjadi fonem

/t/ pada kata “sandalku”. Belum memperoleh fonem /g/ pada

awal kata dan mengubah fonem /g/ kedua menjadi fonem /j/

pada kata “gigit”.

b. Morfologi :

Tuturan “iyang andattu, ijit anjing” terdiri dari empat kata,

yaitu:

iyang (hilang), satu morfem andattu (sandalku), dua morfem yang terbentuk dari: sandal, satu morfem -ku, satu morfem ijit (gigit), satu morfem anjing, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “hilang sandalku, dimakan anjing”

d. Semantik :

Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, ketika ia tidak mendapati

sandalnya, ia berfikir bahwa sandalnya telah hilang, hilang

dimakan anjing karena sandal Firda, kakak sepupunya juga

pernah kehilangan sandal karena dimakan anjing. Fiqah

121

mampu mengaitkan kejadian sebelumnya dengan kejadian

yang dialaminya sendiri.

34. Data “anyang atang ula, aci ijitu” (Senin, 8 Juni 2015 pukul 14.21)

a. Fonologi :

Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, belum memperoleh

fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /ny/,

fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”. Belum

memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem

/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “makan”.

Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata “gula”. Belum

memperoleh fonem /s/ pada awal kata, fonem /t/ pada akhir

kata dan mengubah fonem /k/ menjadi fonem /c/ pada kata

“sakit”. Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata dan

mengubah fonem /g/ kedua menjadi fonem /j/, fonem /k/

menjadi /t/ pada kata “gigiku”.

b. Morfologi :

Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu” terdiri dari lima kata,

yaitu:

anyang (jangan), satu morfem atang (makan), satu morfem ula (gula), satu morfem aci (sakit), satu morfem ijitu (gigiku), dua morfem yang terbentuk dari gigi, satu morfem -ku, satu morfem

122

c. Sintaksis :

Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “jangan makan gula, nanti sakit gigiku”.

d. Semantik :

Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, belajar dari

pengalaman sebelumnya, pernah makan permen dan

akhirnya giginya sakit, sehingga jika ada yang

memberikannya gula/permen ia akan selalu mengeluarkan

tuturan tersebut.

35. Data “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, “uca ancing ajutu”, “tepong

mama yuyu ulu”, “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”

(Sabtu, 13 Juni 2015 pukul 15.10)

Sore itu, ada beberapa lembar baju Firda ketika kecil yang diberikan kepada Fiqah, ia ingin mencoba semuanya. Fiqah : “Ate ta ulu ajutu aci ta ata idda” Mama : “Sini pakaikan ki, nak” Fiqah : “uca ancing ajutu” Mama : “Rusak, nak? Nanti dijahit lagi naa…” Fiqah : “Epong mama Yuyu ulu” (mengambil handphone yang ada di dekatnya) “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”

a. Fonologi :

Tuturan “Ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, belum memperoleh

fonem /p/ pada awal kata, mengubah fonem /k/ menjadi /t/,

fonem /a/, /i/ dileburkan menjadi fonem /e/. Belum

memperoleh fonem /d/ pada awal kata “dulu”. Belum

memperoleh fonem /b/ pada awal kata, fonem /k/ diubah

menjadi fonem /t/ pada kata “bajuku”.

123

Tuturan “uca ancing ajutu”, belum memperoleh fonem /r/

pada awal kata, fonem /k/ pada akhir kata, dan mengubah

fonem /s/ menjadi /c/ pada kata “rusak”. Belum memperoleh

fonem /k/ pada awal kata “kancing”.

Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, belum memperoleh

fonem /l/ pada tengah kata, dan mengubah fonem /n/

menjadi /ŋ/ pada kata “telepon”.

Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,

menghilangkan fonem /b/, mengubah fonem /k/ menjadi /t/

pada kata “belikan.

b. Morfologi :

Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda” terdiri dari enam

kata, yaitu:

ateta (pakai ka), dua morfem yang terbentuk dari: pakai, satu morfem -ka, satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem ajutu (bajuku), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -ku, satu morfem aci ta (kasi’ ka), dua morfem yang terbentuk dari: kasi’, satu morfem -ka, satu morfem ata (kakak), satu morfem idda (firda), satu morfem

Tuturan “uca ancing ajutu” terdiri dari tiga kata, yaitu:

uca (buka), satu morfem ancing (kancing), satu morfem ajutu (bajuku), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -ku, satu morfem

124

Tuturan “tepong mama yuyu ulu” terdiri dari empat kata,

yaitu:

tepong (telepon), satu morfem mama, satu morfem yuyu, satu morfem ulu (dulu/ dahulu), satu morfem

Tuturan “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”

terdiri dari delapan kata, yaitu:

ma yuyu, dua morfem yang terbentuk dari: ma (mama), satu morfem yuyu, satu morfem elitanta (belikanka), tiga morfem yang terbentuk dari: beli, satu morfem dasar -kan, satu morfem afiks -ka, satu morfem aju (baju), satu morfem uca (rusak), satu morfem ajuna (bajuna), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -na, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “pakai dulu baju yang diberikan kakak

idda”.

Tuturan “uca ancing ajutu”, kalimat yang dimaskudkan

adalah “rusak kancing bajuku yang diberikan kakak idda”.

Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “telepon dulu mama Yuyu”

Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,

kalimat yang dimaksudkan adalah “mama Yuyu, belikan

125

baju untukku, baju yang diberikan kakak idda itu rusak

kancingnya”.

d. Semantik :

Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, maksudnya ia ingin

mencoba memakai semua baju yang diberikan kepadanya.

Tuturan “uca ancing ajutu”, ketika ia mencoba satu persatu

baju yang diberikan, ia mendapatkan baju yang kancing

depannya rusak.

Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, ia langsung berinisiatif

menelpon mama Yuyu untuk melaporkan bahwa idda

memberinya baju yang kancing depannya rusak. Meski

handphone yang dipegangnya itu tidak terhubung ke Mama

Yuyu, ia tetap berbicara sendiri seakan ia benar menelpon

mama Yuyu.

Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,

ia meminta mama Yuyu membelikannya baju karena baju

yang diberikan Firda itu rusak kancingnya. Meskipun yang

rusak kancingnya itu hanya selembar baju, tapi ia tetap

melaporkan seakan semua baju yang diberikan kepadanya

itu rusak semuanya.

36. Data “bapa, ada obi beca, ada uang” (Selasa, 16 Juni 2015 pukul

18.30)

a. Fonologi :

126

Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, belum memperoleh

fonem /m/ pada awal kata dan fonem /l/ pada akhir kata

“mobil”, mengubah fonem /s/ menjadi fonem /c/, fonem /r/

belum diperoleh pada akhir kata “besar”.

b. Morfologi :

Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang” terdiri dari enam

kata yang masing-masing kata terbentuk dari satu morfem,

yaitu:

bapa (bapak), satu morfem ada, satu morfem obi (mobil, satu morfem beca (besar), satu morfem ada, satu morfem uang, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “bapak, ada mobil besar datang, pasti

ada uang”.

d. Semantik :

Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, biasanya, ketika

mobil besar (truk) itu datang, ia pasti mendapat jatah uang

jajan karena truk itu datang untuk membawa kacang

sehingga ada pemasukan uang untuk kakeknya sehingga ia

pun mendapat jatah, hingga setiap kali mobil besar itu

datang, ia selalu mengharapkan mendapatkan uang jajan

lagi.

127

37. Data “tatu ti? ini emani ti” (Jumat 19 Juni 2015 pukul 19.56)

Malam itu, Zahir bermalam di rumahnya, mama Zahir ingin keluar untuk membeli sesuatu, tapi mendengar mama Zahir berbicara bahwa ia takut keluar malam sendiri, ia langsung menawarkan diri untuk menemaninya. Fiqah : “tatu ti? ini emani ti”,

a. Fonologi :

Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, belum memperoleh fonem /t/

pada akhir kata, mengubah fonem /k/ menjadi fonem /t/

pada kata “takut”. Menghilangkan fonem /t/ pada kata

“temani”.

b. Morfologi :

Tuturan “tatu ti? ini emani ti” terdiri dari tiga kata, yaitu:

tatuti (takutki), dua morfem yang terbentuk dari: takut, satu morfem -ki, satu morfem ini, satu morfem emaniki (temaniki), tiga morfem yang terbentuk dari: teman, satu morfem -i, satu morfem -ki, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, kaliamt yang dimaskudkan

adalah “tante takut? mari Fiqah yang temani”

d. Semantik :

Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, ia memahami bahwa jika

orang takut, perlu ditemani, perlu ada yang menemani agar

tidak lagi takut untuk pergi.

128

38. Data “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” (Selasa, 23 Juni 2015 pukul

19.00)

Malam itu, adiknya sedang menangis, ia ingin tidur tapi adiknya selalu menangis, dia duduk di dekat adiknya lalu berbisik pada adiknya. Fiqah : “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” Adiknya lalu berhenti menangis, ia kembali ke tempat tidurnya. a. Fonologi :

Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, belum

memperoleh fonem /k/ pada awal kata “kucing”. Belum

memperoleh fonem /g/ pada awal kata, /g/ diubah menjadi

fonem /j/ pada kata “gigit”. fonem /k/ diubah menjadi fonem

/t/ pada kata “kakiku”. Belum memperoleh fonem /j/ pada

awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /ny/, fonem /n/

menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”. Belum memperoleh fonem

/r/ pada awal kata, dan fonem /t/ pada akhir kata “ribut"

b. Morfologi :

Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” terdiri dari enam

kata, yaitu:

ada, satu morfem ucing (kucing), satu morfem ijit (gigit), satu morfem tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari: kaki, satu morfem -ku, satu morfem anyang (jangan), satu morfem ibu (ribut), satu morfem

129

c. Sintaksis :

Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “ada kucing, gigit kakiku, jangan rebut,

dek”.

d. Semantik :

Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, ia memberi

peringatan kepada adiknya bahwa ada kucing yang sudah

menggigit kakinya, melarang adiknya untuk tidak ribut agar

ia tidak digigit kucing juga, dan yang mengherankan adalah

adiknya berhenti menangis karena peringatan yang

diberitahukan oleh Fiqah.

39. Data “anyang angis, tunju ni mamata” (Kamis, 25 Juni 2015 pukul

11.35)

a. Fonologi :

Tuturan “anyang angis, unju ni mamata”, belum

memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/

menjadi /ny/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”.

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, fonem /n/

pada tengah kata, dan menghilangkan fonem /e/ pada kata

“menangis”. Mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/, fonem

/g/ diubah menjadi fonem /j/ untuk kata “tunggu”.

b. Morfologi :

130

Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata” terdiri dari empat

kata, yaitu:

anyang (jangan), satu morfem angis (nangis), satu morfem tunjuni (tungguni), dua morfem yang terbentuk dari: tungggu, satu morfem -ni, satu morfem mamata, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem -ta, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “jangan menangis, tungggu mama ta”

d. Semantik :

Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata”, ia menenangkan

adiknya yang menangis mencari mamanya, dengan

mengelus-elus kaki adiknya, ia terus menuturkan kalimat

tersebut.

40. Data “omba ti tu anjil bapa atang” (Senin, 29 Juni 2015 pukul 18.32)

a. Fonologi :

Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, belum memperoleh

fonem /l/ pada awal kata “lomba”. Belum memperoleh fonem

/p/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/,

fonem /g/ menjadi fonem /j/ pada kata “panggil”. Belum

memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem

/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ pada kata

“makan”.

131

b. Morfologi :

Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang” terdiri dari empat kata,

yaitu:

omba ti tu (lomba ki tu), tiga morfem yang terbentuk dari: lomba, satu morfem -ki, satu morfem -tu, satu morfem anjil (panggil), satu morfem bapa (bapak), satu morfem atang (makan), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “ayo berlomba untuk memanggil bapak

(kakek) makan”

d. Semantik :

Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, Fiqah mengajak kakak

sepupunya untuk berlomba memanggil bapak (kakek) untuk

makan malam, mereka berkelarian kea rah kamar

kakeknya.

41. Data “tanti-tanti mama uwa” (Selasa, 30 Juni 2015 pukul 19.21)

Malam itu, Fiqah bermain di kamar Mama Tua (Neneknya), ia bermain rias wajah sendiri, memakai bedak dan pensil alis. Mama Tua : “Bikin apa ki, nak?” Fiqah : “tanti-tanti mama uwa.”

a. Fonologi :

Mengubah fonem /c/ menjadi /t/, dan menghilangkan fonem

/k/ dari kata “cantik”

132

b. Morfologi :

Tuturan “tanti-tanti mama uwa” terdiri dari tiga kata, yaitu:

tanti-tanti (cantik-cantik), dua morfem yang terbentuk dari: cantik, satu morfem dasar cantik, satu morfem ulang mama, satu morfem uwa (tua), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “tanti-tanti mama uwa”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “mama tua tengah merias wajahnya / cantik-cantik”

d. Semantik :

Tuturan tersebut menyatakan bahwa bercantik-cantik alias

merias wajah ini sering dilakukan oleh mama tua (neneknya)

ketika ingin bepergian. Orang berias wajah itu di depan

cermin sambil terus memakai bedaknya. Fiqah melakukan

hal yang sama dengan yang dilakukan neneknya setiap kali

berhias. Fiqah mampu menirukan kegiatan tersebut hampir

sempurna.

42. Data “ototna ayah antengtu itu”, “acita unci otot na ayah antengtu”

(Rabu, 1 Juli 2015 pukul 16.21)

Sore itu, Tante Farida datang ke rumah, ia duduk di atas motor milik ayah Fiqah, Fiqah mengenali motor ayahnya dan menyuruh tante Farida untuk turun. Fiqah : “Ototna ayah antengtu itu.” Tante Farida : “Motorku ini. Mau ka bawa pulang dulu motorku.” Fiqah : “acita unci ototna ayah antengtu.”

133

a. Fonologi :

Tuturan “ototna ayah antengtu itu”, belum memperoleh

fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem /r/ menjadi

fonem /t/ dan fonem /ny/ menjadi fonem /n/ dari kata

“motornya”, belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata,

mengubah fonem /k/ menjadi fonem /t/ pada kata

“gantengku”

Tuturan “acita unci ototna ayah antengtu”, belum

memperoleh fonem /k/ pada awal kata, mengubah fonem /s/

menjadi fonem /c/ dan fonem /k/ menjadi fonem /t/ pada

kata “kasika”, belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata

“kunci”

b. Morfologi :

Tuturan “ototna ayah antengtu itu” terdiri dari empat kata,

yaitu:

ototna (motorna), dua morfem yang terbentuk dari: motor, satu morfem -na, satu morfem ayah, satu morfem antengtu (gantengku), dua morfem yang terbentuk dari: ganteng, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem

Tuturan “acita unci otot na ayah antengtu” terdiri dari lima

kata, yaitu:

acita (kasi ka), dua morfem yang terbentuk dari: kasi, satu morfem -ka, satu morfem

134

unci (kunci), satu morfem otot na (motor na), dua morfem yang terbentuk dari: motor, satu morfem -na, satu morfem ayah, satu morfem antengtu (gantengku), dua morfem yang terbentuk dari: ganteng, satu morfem -ku, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ototna ayah antengtu itu”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “motornya ayah gantengku itu”

Tuturan “acita unci ototna ayah antengtu, kalimat yang

dimaksudkan adalah “berikan padaku kunci motornya ayah

gantengku”

d. Semantik :

Pada percakapan tersebut, Fiqah menyatakan bahwa itu benar

motor milik ayahnya. Ia meminta kunci motor itu karena ia

merasa sangat yakin bahwa motor itu milik ayahnya. Dalam

percakapan itu juga membuktikan bahwa Fiqah mengenali

dengan baik milik ayahnya, dan iapun memahami bahwa jika

tidak ada kunci motor, motornya tidak akan mungkin dibawa

pulang oleh tante Farida.

43. Data “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca” (Jumat, 3 Juli 2015 pukul

19.22)

a. Fonologi :

Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, belum

memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem

135

/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ pada kata

“makan”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata,

mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/, fonem /g/ menjadi

fonem /j/ pada kata “panggil”. Belum memperoleh fonem /j/

pada awal kata, mengubah fonem /g/ menjadi /j/ pada kata

“juga”.

b. Morfologi :

Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca” terdiri dari enam

kata, yaitu:

ayah, satu morfem atang ti (makan ki), dua morfem yang terbentuk dari: makan, satu morfem -ki, satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem anjil (panggil), satu morfem uja (juga), satu morfem om eca (om faisal), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem faisal, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, yang

maksudkan adalah kalimat “ayah, pergi makan dulu, panggil

juga om Faisal”.

d. Semantik :

Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, Fiqah

mengingatkan ayahnya untuk makan dulu, jangan lupa

panggil juga om Faisal karena memang saat itu ada om

136

Faisal datang ke rumahnya. Om Faisal, teman kerja

ayahnya.

44. Data “ati eyuttu”, “mau ta atang aci, itang, iti tayu” (Sabtu, 4 Juli

2015 pukul 09.38)

Pagi hari, baru saja Fiqah bangun dan keluar dari kamarnya, langsung berbaring di depan telivisi sambil memegang perutnya. Mama Fiqah : “Kenapa perut ta, nak?” Fiqah : “Ati eyuttu.” Mama Fiqah : “Kenapa sakit perut ta, nak?” Fiqah : “Mauta atang aci, itang, iti tayu.”

a. Fonologi :

Tuturan “ati eyuttu”, belum memperoleh fonem /s/ pada awal

kata, fonem /t/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /k/

menjadi /t/ dari kata “sakit”. Belum memperoleh fonem /p/

pada awal kata dan mengubah fonem /r/ menjadi /y/, fonem

/k/ menjadi /t/ dari kata “pƏrutku”.

Tuturan “mauta atang aci, itang, iti tayu”, mengubah fonem

/k/ menjadi /t/ dari kata “mauka”. Belum memperoleh fonem

/m/ pada awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/,

fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata “makan”. Belum memperoleh

fonem /n/ pada awal kata dan mengubah fonem /s/ menjadi

/c/ dari kata “nasi”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/, dan

fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata “ikan”. Mengubah fonem /s/

menjadi fonem /t/, dan belum memperoleh fonem /r/ pada

akhir kata “isi sayur”.

137

b. Morfologi :

Tuturan “ati eyuttu” terdiri dari dua kata, yaitu:

ati (sakit), satu morfem eyuttu (perutku), dua morfem yang terbentuk dari: perut, satu morfem -ku, satu morfem

Tuturan “mau ta atang aci, itang, iti tayu” terdiri dari lima

kata, yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem atang (makan), satu morfem aci (nasi), satu morfem itang (ikan), satu morfem iti tayu (isi sayur), dua morfem yang terbentuk dari: isi, satu morfem sayur, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ati eyuttu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “sakit

perutnya fiqah”

Tuturan “mauta atang aci, itang, iti tayu”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “fiqah ingin makan nasi, ikan, dan

biji/isi sayur”

d. Semantik :

Percakapan tersebut memberikan informasi bahwa Fiqah

sakit perut karena kelaparan, tetapi ia tidak menyebutkan

bahwa ia lapar, tetapi ia mengatakan ingin makan nasi, ikan

dan sayur. Hal ini membuktikan bahwa Fiqah mampu

138

memahami bahwa ketika orang sakit perut karena lapar,

obatnya adalah makan.

45. Data “tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja om itu atu”

(Ahad, 5 Juli 2015 pukul 08.22)

Pagi itu, Fiqah bermain di ruang kerja ayahnya, ketika teman-teman kerja ayahnya datang, ia menuju ke arah mamanya karena diminta oleh ayahnya untuk memberitahukan kepada mamanya untuk membuatkan minuman untuk para tamunya. Mama : (mendengar ayahnya memerintahkan Fiqah memberitahunya) “Siapa yang datang, nak?” Fiqah : “Tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja om itu atu” a. Fonologi :

Tuturan “tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja

om itu atu”, mengubah fonem /d/ menjadi /t/ pada kata

“datang”. Belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata,

mengubah fonem /g/ menjadi /j/ pada kata “juga”.

b. Morfologi :

Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja

om itu atu” terdiri dari 11 kata yaitu:

atang (datang), satu morfem om eca (om faisal), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem faisal, satu morfem awa (bawah), satu morfem atang (datang), satu morfem uja (juga), satu morfem om untu (om buntu), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem buntu, satu morfem atang (datang), satu morfem uja (juga), satu morfem om, satu morfem

139

itu, satu morfem atu (satu), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja

om itu atu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “datang om

faisal, datang juga om untu, datang juga om itu yang satu”.

d. Semantik :

Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja

om itu atu”, memberitahukan kepada mamanya bahwa

teman ayah yang datang ada beberapa orang, karena

belum bisa menghitung sehingga ia menyebutkan nama

satu per satu dari tamu ayahnya yang datang ketika itu.

46. Data “ana otong cucu cica injam idda tadi” (Senin, 6 Juli 2015 pukul

09.41)

Pagi itu, Mama Fiqah ingin memotong kuku Fiqah, jadi Ia mencari pemotong kuku milik Fiqah. Mama Fiqah : “Mana potong kuku ta, nak?” Fiqah : “Injam idda” Mama Fiqah : “Pergi ki dulu tanya Mama Iya.” Fiqah : (Menuju kamar mama Iya) “ana otong cucu cica

injam idda tadi?” Mama Iya : “Tidak ku lihat saya, nak.” Fiqah : “Iyam mi.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “pinjam”.

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata tanya “mana”,

fonem /p/ dari kata “potong”. Mengubah fonem /k/ menjadi /c/

140

dari kata “kuku”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal

kata “pinjam”.

Belum memperoleh fonem /h/ pada awal kata dan mengubah

fonem /l/ menjadi /y/, fonem /ng/ menjadi /m/ dari kata

“hilang.

b. Morfologi :

Tuturan “ana otong cucu cica injam idda tadi” terdiri dari

tujuh kata yang masing-masing kata terbentuk dari satu

morfem, yaitu:

ana (mana), satu morfem otong (potong), satu morfem cucu (kuku), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem injam (pinjam), satu morfem idda (firda), satu morfem tadi, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ana otong cucu cica injam idda tadi?”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “potong kuku fiqah yang dipinjam Firda

tadi disimpan dimana”

d. Semantik :

Ketika ditanya tentang pemotong kukunya, Fiqah langsung

mengingat bahwa kemarin Firda meminjamnya. Kemudian

mamanya menyuruhnya untuk menanyakannya kepada

Mama Iya (Mama Firda), tapi Mama Iya tidak melihatnya,

141

Fiqah menyimpulkan bahwa barang yang dicarinya itu telah

hilang.

47. Data “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo” (Rabu, 8 Juli

2015 pukul 09.55)

Pagi itu, Fiqah ikut ke pasar bersama tante dan neneknya. Dengan melewati bemor (becak-motor), ketika dalam perjalanan Tante : “Apa itu, Qah?” Fiqah : “Obi beca.” Tante : “Mobil besar?” Fiqah : “Ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo” a. Fonologi :

Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,

belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, fonem /l/

pada akhir kata “mobil”. Belum memperoleh fonem /b/ pada

awal kata, mengubah fonem /s/ menjadi /c/, fonem /r/ belum

diperoleh pada akhir kata “besar”. Belum memperoleh

fonem /k/ pada awal kata, fonem /l/ pada akhir kata “kecil”.

Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah

fonem /r/ menjadi fonem /t/ pada kata “motor”. Belum

memperoleh fonem /b/ pada awal kata, fonem /r/ pada akhir

kata “bemor”.

b. Morfologi :

Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”

terdiri dari 11 kata yang masing-masing kata tersebut

terbentuk dari satu morfem, yaitu:

ada, satu morfem obi (mobil), satu morfem

142

beca (besar), satu morfem eci (kecil), satu morfem otot (motor), satu morfem uja ( juga), satu morfem emo (bemor), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,

kalimat yang dimaksudkan adalah “ada mobil besar, ada

mobil kecil, ada motor, ada juga bemor”.

d. Semantik :

Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,

dengan menjawab pertanyaan pertama yang ditanyakan

tantenya, iya mampu menyebutkan beberapa kendaraan

yang ia lihat dalam perjalanan menuju pasar.

48. Data “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang” (Jumat, 10 Juli 2015

pukul 19.03)

Malam hari, Fiqah mendengar bunyi tanda penjual siomai yang setiap hari itu datang, ia segera berlari menuju pintu dan berteriak. Fiqah : “Mba, unju ulu ada uangtu, Uli uang!”

a. Fonologi :

Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang”, mengubah

fonem /ŋ/ menjadi /n/, fonem /g/ menjadi /j/ dari kata

“tunggu”. Belum memperoleh fonem /d/ dari awal kata “dulu”.

Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “uangku”.

143

b. Morfologi :

Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang” terdiri dari

tujuh kata, yaitu:

mba, satu morfem tunju (tunggu), satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem ada, satu morfem uangtu, dua morfem yang terbentuk dari: uang, satu morfem -tu, satu morfem uli, satu morfem uang, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “mba, tunggu dulu, saya ingin beli,

saya punya uang, Uli minta uang”.

d. Semantik :

Percakapan tersebut menjelaskan bahwa Fiqah mulai

memahami, dan mampu meniru hal yang menjadi kebiasaan

hampir setiap malam dilakukan, yakni meminta mba penjual

siomai menunggu sebentar, tetapi Fiqah dalam percakapan

tersebut menambahkan kalimat “ada uangku, Uli uang” yang

maksudnya agar mba memastikan bahwa ia akan membeli

siomai, meski kenyataannya ia baru ingin meminta kepada

tante Uli.

144

49. Data “ama-ama lottu idda, acha” (Senin, 13 Juli 2015 pukul 15.49)

Sore hari, percakapan bersama Firda yang tengah menonton bersama film Masha and The Bear. Fiqah : “Ama-ama lottu idda. Acha.” Firda : “Tidak sama.” Fiqah : “Ama-ama.”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /s/ pada awal kata ulang “sama-

sama”. Mengubah fonem /r/ menjadi /l/, fonem /k/ menjadi /t/

dari kata “rokku”. Belum memperoleh fonem /m/ pada awal

kata, dan mengubah fonem /s/ menjadi /c/ dari kata “Masha”.

b. Morfologi :

Tuturan “ama-ama lottu idda, acha” terdiri dari empat kata,

yaitu:

ama-ama (sama-sama), dua morfem yang terbentuk dari: sama, satu morfem dasar sama, satu morfem ulang lottu (rokku), dua morfem yang terbentuk dari: rok, satu morfem -ku, satu morfem idda (firda), satu morfem acha (masha), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “ama-ama lottu idda, acha”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “gambar rokku sama dengan gambar roknya

Firda, gambar Masha”

145

d. Semantik :

Percakapan tersebut menyatakan bahwa Fiqah mulai

mampu membedakan gambar yang serupa dengan yang

tidak. Tuturannya semakin komunikatif.

50. Data “anyak amuk, mama iya”, “oyang tatitu” (Rabu, 15 Juli 2015

pukul 19.41)

Percakapan antara Fiqah dengan Mama Iya, Tantenya (Mama Firda), saat makan malam. Fiqah : “Anyak amuk, Mama Iya.” Mama Iya : “Banyak nyamuk? Goyang-goyang kaki ta, nak” Fiqah : “Oyang tatitu.”

a. Fonologi :

Tuturan “anyak amuk”, belum memperoleh fonem /b/ pada

awal kata “banyak”. Belum memperoleh fonem /ny/ pada

awal kata “nyamuk”.

Tuturan “oyang tatitu”, belum memperoleh fonem /g/ pada

awal kata “goyang”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata

“kakiku”.

b. Morfologi :

Tuturan “anyak amuk, mama iya” terdiri dari tiga kata, yaitu:

anyak (banyak), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem mama iya, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem iya, satu morfem

Tuturan “oyang tatitu” terdiri dari dua kata, yaitu:

oyang (goyang), satu morfem tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari:

146

kaki, satu morfem -ku, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “anyak amuk, mama iya”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “banyak nyamuk, mama Ria”

Tuturan “oyang tatitu”, kalimat yang dimaksudkan adalah

“goyang-goyang kakiku”

d. Semantik :

Fiqah memberikan informasi kepada tantenya bahwa di

tempatnya makan banyak nyamuk, kemudian tantenya

menyuruhnya untuk menggoyangkan kakinya agar Fiqah

tidak digigit nyamuk, Fiqah pun melakukan hal sesuai

instruksi yang diberikan. Hal ini membuktikan bahwa Fiqah

mampu melakukan sesuatu sesuai perintah yang diberikan.

51. Data “apa itu? apa itu? apa itu?” (Kamis, 16 Juli 2015 pukul 20.34)

a. Fonologi :

Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, sudah baik dari segi

penyebutannya.

b. Morfologi :

Tuturan “apa itu?” terdiri dari dua kata yang masing-masing

kata terbentuk dari satu morfem, yaitu:

apa, satu morfem itu, satu morfem

147

c. Sintaksis :

Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, kalimat tersebut sesuai

dengan yang sebenarnya.

d. Semantik :

Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, dimaksudkan untuk

menanyakan hal-hal yang belum dikenalnya, bahkan

terkadang digunakannya untuk merayu agar bisa melakukan

hal yang diminatinya, misalnya ingin bermain air, biasanya

ia bertanya tentang tempat air, gelas, dan lainnya untuk bisa

melakukan keinginannya itu.

52. Data “mauta adu-adu nenneng” (Ahad, 19 Juli 2015 pukul 15.50)

a. Fonologi :

Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, belum memperoleh

fonem /k/ pada akhir kata ulang “aduk-aduk”.

b. Morfologi :

Tuturan “mauta adu-adu nenneng” terdiri dari tiga kata,

yaitu:

mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem adu-adu (aduk-aduk), dua morfem yang terbentuk dari: aduk, satu morfem dasar aduk, satu morfem ulang nenneng (susu), satu morfem

148

c. Sintaksis :

Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, kalimat yang

dimaskudkan adalah “saya ingin mengaduk-aduk susu”.

d. Semantik :

Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, melihat mamanya

membuatkan susu untuknya, ia ingin mencoba mengaduk-

aduknya.

53. Data “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk” (Senin, 20 Juli 2015 pukul

21.04)

Malam hari, percakapan ini terjadi ketika Fiqah diayung oleh Mamanya, waktu tidur malamnya tiba. Mama Fiqah : “Kasi masuk kaki ta, nak. Digigit nyamuk nanti.” Fiqah : “Oyang-oyang tatitu, nda iji amuk”

a. Fonologi :

Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata ulang

“goyang-goyang”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata

“kakiku”. Tuturan “nda” dimaksudkan untuk mewakili kata

“tidak”. Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata dan

mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata “gigit”. Belum

memperoleh fonem /ny/ pada awal kata “nyamuk”.

b. Morfologi :

Tuturan “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk” terdiri dari lima

kata, yaitu:

oyang-oyang (goyang-goyang), dua morfem yang terbentuk dari: goyang, satu morfem dasar

149

goyang, satu morfem ulang tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari: kaki, satu morfem -ku, satu morfem nda (tidak), satu morfem iji (gigit), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk”, kalimat yang

dimaksudkan adalah “goyang-goyang kakiku, biar tidak

digigit nyamuk”

d. Semantik :

Percakapan itu, Fiqah mengingat dan mengulangi hal yang

pernah diberitahukan kepadanya tentang menggoyangkan

kaki jika ada banyak nyamuk. Menyadari banyak nyamuk di

sekitarnya, maka ia menggoyang-goyangkan kakinya.

54. Data “cica aca telu, oco ulu” (Selasa, 21 Juli 2015 pukul 16.10)

a. Fonologi :

Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, belum memperoleh fonem

/m/ pada awal kata, fonem /k/ pada akhir kata, mengubah /s/

menjadi /c/ pada kata “masak”. Belum memperoleh fonem

/r/ pada akhir kata “telur”. Belum memperoleh fonem /k/

pada awal dan akhir kata “kocok”. Belum memperoleh

fonem /d/ pada awal kata “dulu”.

150

b. Morfologi :

Tuturan “cica aca telu, oco ulu” terdiri dari lima kata yang

masing-masing kata tersebut terbentuk dari satu morfem,

yaitu:

cica (fiiqah), satu morfem aca (masak), satu morfem telu (telur), satu morfem ocok (kocok), satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, kalimat yang dimaksudkan

adalah “Fiqah ingin masak telur, tapi sebalumnya harus

dikocok terlebih dahulu”, Fiqah ingin makan telur goring

kocok.

d. Semantik :

Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, telur goring kocok menjadi

makanan yang disukai oleh Fiqah, ia juga suka

memasaknya bersama mamanya, tapi dengan syarat ia

yang harus mengocok telurnya dulu.

55. Data “mauta inum teng”, “intata tengta mama uwa” (Jumat, 24 Juli

2015 pukul 14.30)

Fiqah tengah bermain bersama mamanya di ruang tengah, dia melihat mama tuanya tengah minum the di dapur. Fiqah : “Mauta inum teng” Mama : “Mau ki minum the, nak?” Fiqah berlari mendekati mama tuanya Fiqah : “Intata tengta mama uwa”

151

a. Fonologi :

Tuturan “mauta inum teng”, belum memperoleh fonem /m/

pada awal kata “minum”, mengubah fonem /h/ menjadi

fonem /ŋ/ dari kata “teh”.

Tuturan “intata tengta mama uwa”, belum memperoleh

fonem /m/ pada awal kata “minta”, mengubah fonem /h/

menjadi fonem /ŋ/ dari kata “teh”.

b. Morfologi :

Tuturan “mauta inum teng” terdiri dari tiga kata, yaitu:

mauta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem inum (minum), satu morfem teng (teh), satu morfem

Tuturan “intata tengta mama uwa” terdiri dari tiga kata, yaitu:

intata (minta ka), dua morfem yang terbentuk dari: minta, satu morfem -ka, satu morfem tengta (teh ta), dua morfem yang terbentuk dari: teh, satu morfem -ta, satu morfem mama uwa (mama tua), dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem tua, satu morfem

c. Sintaksis :

Tuturan “mauta inum teng”, yang dimaksudkan adalah

kalimat “saya ingin minum teh".

Tuturan “intata tengta mama uwa”, yang dimaksudkan

adalah kalimat “minta Fiqah tehnya mama tua”.

152

d. Semantik :

Tuturan “mauta inum teng”, maksudnya Fiqah ingin

meminum teh karena melihat mama tuanya tengah

meminum teh.

Tuturan “intata tengta mama uwa”, maksudnya Fiqah ingin

meminta teh milik mama tuanya.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, ditemukan

kuantitas bahasa yang digunakan dari segi bentuk tuturan dapat

dikelompokkan dalam dua bentuk tuturan, yaitu tuturan dua kata, dan tiga

atau lebih kata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.1 Persentase Tuturan Dua Kata

No Waktu Jumlah Ujaran Persentase

1 Bulan Februari 2015

Minggu Kelima 6 46 %

2 Bulan Maret 2015

Minggu Pertama 4 31 %

Minggu Kedua 2 15 %

Minggu Ketiga 1 8 %

Minggu Keempat 0 0 %

Jumlah 13 100 %

Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 13 tuturan dua kata dengan

rincian, pada minggu kelima bulan Februari 2015 ditemukan 6 tuturan atau

46%. Bulan Maret 2015, minggu pertama tuturan yang berhasil dituturkan

adalah 4 atau 31 %, minggu kedua ditemukan 2 atau 15 % tuturan,

minggu ketiga tuturan yang dihasilkan adalah 1 atau 8 %, dan minggu

keempat tidak ditemukan untuk tuturan dua kata. Data tersebut

menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia anak, tuturan dua kata

153

mengalami grafik penurunan dan akan terus berkurang dan berkembang

menjadi tiga kata dan seterusnya seiring dengan bertambahnya usia anak.

Tabel 4.2 Persentase Tuturan Tiga Kata atau Lebih

No Waktu Jumlah Tuturan Persentase

1 Bulan Februari 2015

Minggu Kelima 2 3%

Jumlah Ujaran 2 3%

2 Bulan Maret 2015

Minggu Pertama 1 1%

Minggu Kedua 2 3%

Minggu Ketiga 3 4%

Minggu Keempat 3 4%

Jumlah Ujaran 9 13%

3 Bulan April 2015

Minggu Pertama 4 6%

Minggu Kedua 2 3%

Minggu Ketiga 4 6%

Minggu Keempat 3 4%

Jumlah Ujaran 13 19%

4 Bulan Mei 2015

Minggu Pertama 3 4%

Minggu Kedua 3 4%

Minggu Ketiga 2 3%

Minggu Keempat 2 3%

Jumlah Ujaran 10 15%

5 Bulan Juni 2015

Minggu Pertama 4 6%

Minggu Kedua 3 4%

Minggu Ketiga 3 4%

Minggu Keempat 4 6%

Jumlah Ujaran 14 21%

6 Bulan Juli 2015

Minggu Pertama 5 7%

Minggu Kedua 4 6%

Minggu Ketiga 5 7%

Minggu Keempat 6 9%

Jumlah Ujaran 20 29%

Jumlah 68 100%

154

Berdasarkan tabel di atas ditemukan tuturan tiga kata atau lebih

sebanyak 68 tuturan. Bulan Februari 2015 pada minggu kelima

ditemukan 2 tuturan atau 3 %. Bulan Maret 2015 ditemukan tuturan

sebanyak 9 atau 13 %, pada bulan maret mengalami kenaikan jumlah

hasil tuturan anak yang signifikan, yaitu 10 %. Bulan April 2015

ditemukan hasil tuturan sebanyak 13 atau 19%. Bulan Mei 2015

ditemukan sebanyak 10 atau 15 % hasil tuturan. Pada Bulan Mei, tuturan

yang dihasilkan berkurang, hal ini dikarenakan objek penelitian kurang

sehat atau sakit demam lebih kurang 9 hari lamanya. Bulan Juni 2015

ditemukan sebanyak 14 atau 21 % tuturan. Bulan Juli 2015 ditemukan 20

atau 29 % tuturan yang diperoleh. Persentase pemerolehan bahasa

mengalami kenaikan, data tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan

bertambahnya usia, bahasa yang dimiliki anak pun ikut berkembang

sehingga hasil tuturan tiga kata atau lebih mengalami kenaikan dalam tiap

bulannya.

1. Pemerolehan Fonologi

Awal dari kehidupan seorang anak telah melahirkan bunyi-bunyi

berupa fonem bahasa meskipun hanya diwarnai dengan tangisan, jeritan,

dekutan, atau diselingi dengan tawa riang, pada dasarnya anak telah

melahirkan permainan bunyi yang belum berarti dari sebuah tahap

permainan artikulasi. Selanjutnya, anak memasuki tahap meraban atau

fase pralinguistik. Pada fase ini, belum ada kata yang lahir dengan makna,

155

anak berada pada tahap mencoba untuk melatih artikulasi yang kelak

akan menghasilkan kata yang bermakna.

Penelitian pemerolehan fonologi seharusnya dimulai dari sejak awal

kehidupan seorang anak untuk mengetahui fonem-fonem yang dihasilkan

pertama kali. Oleh karena penelitian ini tidak dimulai sejak awal kelahiran

anak, maka penelitian-penelitian terdahulu dapat menjadi masukan untuk

melihat kesinambungan pemerolehan fonologi pada umur sasaran dalam

penelitian ini.

Jakobson (Schane, 1991: 11) mengatakan bahwa fonem vokal /a/,

/i/, dan /u/ secara menyeluruh merupakan fonem vokal pertama yang

muncul dalam ujaran anak-anak. Ketiga vokal ini menjadi vokal universal

dalam setiap bahasa di dunia, hanya yang membedakan dari ketiganya

adalah urutan pemerolehan dari setiap anak yang bervariasi. Ditemukan

pada usia dua tahun ini, anak telah memperoleh semua jenis fonem vokal

yaitu /a/, /e/, /i/, /o/, dan /u/.

Menyimak pendapat Schane (1992: 16) bahwa fonem konsonan /p/,

/t/, dan /k/ termasuk konsonan yang paling dasar. Hal ini dikarenakan

merupakan bagian dari sistem konsonan hampir semua bahasa, dalam

artian konsonan ini adalah universal dalam setiap bahasa. Menurut

Schane, ketiga konsonan ini juga termasuk konsonan yang paertama kali

muncul dalam ujaran anak. Namun, pendapat tersebut tentu tidak mutlak

berlaku untuk semua anak dalam pemerolehan bahasanya. Umumnya

dalam kenyataan bahwa anak seharusnya menguasai lebih awal

156

konsonan hambat sebelum menguasai konsonan yang lain karena cara

artikulasi dari konsonan hambat lebih mudah dari segi fisiologi kesiapan

alat-alat ucap.

Pendapat tersebut memiliki perbedaan dengan hasil yang diperoleh

dalam penelitian ini. Pada awal penelitian, hanya satu fonem yang sering

dituturkan anak yang sesuai dengan pendapat tersebut yaitu fonem /t/

misalnya pada kata [itu] untuk menunjuk sesuatu, yang selanjutnya fonem

konsonan yang sering dituturkan oleh anak adalah fonem /y/ misalnya

pada kata [aya] untuk memanggil ayahnya, /c/ misalnya pada kata [cica]

untuk menyebutkan namanya, /m/ misalnya pada kata [iyam] untuk

menggantikan kata [hilang]. Sebuah fenomena yang dapat dianggap

sebagai kasus yang terjadi pada sampel yang tidak sesuai dengan teori

atau kenyataan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Fonem konsonan

/p/ mulai dituturkan sekitar minggu ketiga bulan April 2015, yang lebih

menarik adalah hingga penelitian ini selesai, fonem konsonan /k/ belum

dapat dituturkan dengan baik oleh anak. Jika fonem konsonan /k/ berada

diawal atau tengah kata, maka anak akan menghilangkan atau mengganti

fonem konsonan /k/ itu dengan fonem konsonan /t/ atau /c/, namun jika

fonem konsonan /k/ berada di akhir kata, maka anak mulai mampu

menuturkannya meski terdengar masih lemah.

Fonem konsonan yang telah diperoleh anak adalah /t/, /c/, /y/, /p/,

/n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, dan /k/, namun pada posisi tertentu,

dari beberapa fonem tersebut terdapat beberapa fonem yang masih belum

157

diperoleh anak. Posisi awal kosakata, anak belum dapat memperoleh

fonem /p/, /b/, /l/, /m/, /k, /j/, /c/, /d/, /t/, dan /ny/. Posisi akhir kosakata,

anak belum mampu memperoleh fonem /t/, /k/, dan /l/. Posisi tengah

kosakata, anak belum mampu memperoleh fonem /l/ dan /p/, hal ini

terkhusus pada kata yang lebih dari tiga suku kata.

Ditemukan pula beberapa bentuk perilaku berbahasa anak berupa

penghilangan dan pergantian fonem sehingga bunyi bahasa yang

dihasilkan tidak sesuai atau belum sempurna pengucapannya. Hal ini

disebabkan oleh alat ucap anak tersebut belum sempurna sehingga dalam

meniru dan atau menuturkan bahasa masih banyak kesalahan

pengucapan. Hal yang lebih menarik adalah anak pada fase ini

menggunakan dua kata dan tiga atau lebih kata untuk mengungkapkan

beberapa makna, seakan-akan anak menjadi bagian masyarakat bahasa

yang memiliki potensi individual dan sosial bahasa dalam membentuk dan

mengembangkan makna kata suatu bahasa.

Berikut data hasil identifikasi yang dilakukan tentang penyimpangan

fonologis yang ditemukan.

a. Perubahan fonem /k/ menjadi /t/

b. Perubahan fonem /r/ menjadi /y/ jika terletak di tengah kata, menjadi

/l/ pada awal kata, dan menjadi /t/ pada akhir kata.

c. Perubahan fonem /n/ menjadi /ng/ pada akhir kata.

d. Perubahan fonem /d/ menjadi /t/ pada awal kata jika di tengah kata

tersebut terdapat fonem /t/, misalnya kata “datang”.

158

e. Perubahan fonem /s/ menjadi /c/ jika terletak di tengah kata, menjadi

/t/ jika berada di akhir kata yang diikuti dengan keterangan milik,

misalnya kata “tasku”, dan menjadi /p/ jika berada di tengah kata

yang selanjutnya diikuti fonem /p/, misalnya kata “vespa”.

f. Perubahan fonem /g/ menjadi /j/ jika terletak di tengah kata.

g. Perubahan fonem /ng/ menjadi /ny/ jika berada di tengah kata.

2. Pemerolehan Morfologi

Berikut tabel persentase pemerolehan kata yang berhasil

dikumpulkan.

Tabel 4.3 Persentase Pemerolehan Kata

No Jenis Morfem Jumlah Kata Persentase

1 Morfem Bebas 253 83 %

2 Morfem Terikat

a. Sufiks –ka 27 8,9 %

b. Sufiks –ni 3 1,0 %

c. Sufiks –na 6 2,0 %

d. Sufiks –ki 7 2,3 %

e. Sufiks – mi 1 0,3 %

f. Sufiks –kan 1 0,3 %

g. Duplikasi 7 2,3 %

Jumlah 305 100%

Berdasarkan tabel tersebut secara keseluruahn, ditemukan

terdapat 305 pemerolehan kata anak. 83 % pemerolehan kata anak dalam

bentuk morfem bebas, dan 17 % pemerolehan kata dalam bentuk morfem

terikat dengan rincian, sufiks –ka sebanyak 8,9 % atau 27 kata, sufiks –ni

sebanyak 1% atau 3 kata, sufiks –na sebanyak 2% atau 6 kata, sufiks –ki

sebanyak 2,3 % atau 7 kata, 0,3 % atau 1 kata sufiks –mi, 0,3 % atau 1

kata sufiks –kan, dan duplikasi kata dasar ditemukan 7 kata atau 2,3 %.

159

Morfem bebas menjadi kata yang paling sering diucapkan oleh

anak, mendominasi data sebanyak 83 % atau sebanyak 253 kata. Bentuk

afiks yang diperoleh adalah sufiks atau morfem terikat yang digunakan di

bagian belakang kata atau dilekatkan pada akhir dasar. Sufiks tersebut

juga masih terpengaruh dengan bahasa daerah, seperti sufiks –ka pada

kata mauta/mauka, sufiks –ni pada kata unjuni/tungguni, sufiks –na pada

kata ototna/motorna, sufiks –ki pada kata atutta/takutka, sufiks –mi pada

kata anyangmi/janganmi. Adapun afiksasi dalam bahasa indonesia yang

ditemukan hanya satu, yaitu sufiks –kan pada kata elitanta/belikanka.

Belum ditemukan bentuk afiks yang lainnya. Proses morfologis lainnya

yang ditemukan adalah duplikasi, yaitu proses pembentukan kata

kompleks dengan jalan pengulangan morfem secara penuh, misal:

oyang-oyang/goyang-goyang.

Morfem yang bersuku kata tiga telah ditemukan pada penelitian ini,

meski belum terlalu banyak. Morfem bersuku kata satu dan bersuku kata

dua yang menjadi morfem yang mampu dan selalu diucapkan oleh anak.

3. Pemerolehan Sintaksis

Purwo (Dardjowodjojo, 1991: 167) mengemukakan bahwa di dalam

perkembangan anak (normal), konstruksi sintaksis paling awal yang

diamati pada usia sekitar 18 bulan. Namun, pada beberapa anak tertentu

konstruksi sintaksis sudah dapat diamati/ditemui pada usia sekitar satu

tahun, sedangkan pada beberapa anak yang lain pada usia lebih dari dua

tahun. Purwo juga mengatakan bahwa konstruksi kalimat yang

160

dimaksudkan adalah yang terdiri atas dua kata. Dalam penelitian ini, anak

usia dua tahun ini menghasilkan tuturan tidak hanya dua kata, tetapi mulai

mampu menuturkan tiga atau lebih kata. Kalimat dengan dua kata dan tiga

atau lebih kata yang dihasilkan oleh anak usia dua tahun dapat dikatakan

sebagai konstruksi yang merupakan hasil rangkaian dua atau lebih kata,

karena komponen katanya terjadi secara mandiri dan juga dapat

ditemukan pada rangkaian-rangkaian lain.

Pemerolehan sintaksis bukan hanya pada produksi tuturan dua

kata atau lebih, tetapi juga pada kata yang disederhanakan menjadi satu

kata yang memiliki bentuk yang lain dari bentuk sebenarnya. Berdasarkan

teori pada umumnya, sintaksis dua kata baru akan lahir pada pertengahan

tahun kedua dari seorang anak. Namun, tidak menutup kemungkinan

akan lahir sebelum anak itu memasuki tahun kedua dalam hidupnya.

Berdasarkan data yang telah dianalisis, ditemukan tuturan dua

kata, bahkan pada tahun kedua usianya, anak mampu menghasilkan lebih

dari tiga kata. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga

seolah-olah dua kata atau lebih itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa

ayah bangun, misalnya, bukan mengatakan /ayahangung/ “ayah bangun”

tapi /ayah/ /angung/ “ayah dan bangun”, dengan jeda diantara ayah dan

bangun. Jeda ini semakin lama semakin pendek sehingga menjadi tuturan

yang normal.

Berikut adalah beberapa contoh tuturan dua kata atau lebih yang

berhasil diujarkan Fiqah sebagai responden.

161

a. /otong cucutu itu/ “Pemotong kuku itu milik Fiqah.”

b. /injam ni, impan na/ “Silakan pinjam, tapi nanti disimpan kembali.”

c. /mau ta alam/ “Fiqah ingin bermalam/menginap di….”

d. /mau ta atang/ “Fiqah lapar, ingin makan.”

e. /aci, ama-ama/ “Terima kasih, sama-sama.”

Jika diamati dari contoh tersebut, maka tampak bahwa dalam

tuturan tersebut ternyata anak sudah menguasai hubungan kasus. Anak

menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-

objek, pelaku-perbuatan, dan seterusnya.

Hal semacam ini merupakan gejala yang universal. Pada sekitar

usia dua tahun anak telah mengetahui hubungan kasus-kasus dan

operasi-operasi, meski pada tuturan dua kata atau lebih semakin jelas

makna yang dimaksud anak masih tetap harus diterka sesuai dengan

konteksnya. Antara kata dengan jumlah kata yang lain bukan merupakan

tahap yang terputus.

4. Pemerolehan semantik

Data yang terkumpul selama penelitian membuktikan bahwa anak-

anak telah memperoleh makna dengan baik, meskipun belum secara

khusus merujuk pada satu pengertian atau objek yang dituju. Sejalan

dengan pendapat Clark (Amaluddin, 1998: 101) bahwa pemerolehan

makna bagi anak-anak masih sangat bersifat umum sebelum sampai

kepada makna objek yang dirujuk. Kondisi ini terjadi pada anak karena

162

tingkat pemahaman untuk pengklasifikasian makna bagi setiap objek

masih sangat rumit.

Pada masa ini, orang tua atau pengasuhnya sebenarnya adalah

penerjemah atau penginterpretasian bahasa yang ulung dan luar biasa.

Dengan tuturan satu kata anak, yang terdiri dari suku kata terakhir, yang

kadang-kadang bunyinya pun tidak karuan, tapi orang tua atau pengasuh

dapat menerjemahkan tuturan itu yang terjadi pada berbagai macam

konteks komunikasi.

Kasus yang ditemukan dari responden bahwa makna tuturan yang

dihasilkan Fiqah bisa dipahami oleh ibunya sebagai pengasuh, lantaran

ibunya tersebut sudah terbiasa dengan tuturan seperti itu. Tuturan yang

dihasilkan Fiqah dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut

dituturkan. Sehingga, dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski

tuturan tersebut mengalami penghilangan maupun pergantian fonem.

Pada umumnya, kaum ibu dan pengasuh lebih mengerti bahasa

anak bila dibandingkan dengan kaum bapak. Kenyataan ini disebabkan

kaum bapak lebih banyak berada di luar rumah. Padahal selain faktor

personal lawan bicara, konteks sosial bahasa, faktor budaya, dan lain

sebagainya, faktor keseringan berdekatan dengan anak juga berpengaruh

terhadap insensitas intuisi dan pemahaman terhadap perkembangan

pemerolehan bahasa anak. Jadi, disitulah titik kelebihan ibu dan pengasuh

bila dibandingkan dengan bapak dalam memahami, memengaruhi, dan

membina proses perkembangan pemerolehan bahasa anak.

163

Pemerolehan nomina sangat mendominasi pemerolehan makna

anak, dan merupakan jenis kata pertama yang dikuasai anak. Ditinjau dari

pemerolehan fonem vokal maupun konsonan, tampak bahwa nomina

yang menjadi jenis kata pertama dan sangat dominan diperoleh seorang

anak.

Pemerolehan makna bagi seorang anak merupakan hal yang

sangat rumit, bukan hanya karena kematangan kognitif yang belum

memadai, tetapi selain memperoleh kata-kata anak terlebih dahulu

memahami arti kata-kata yang diperolehnya. Clark (Amaluddin, 1998: 102)

mengatakan bahwa kata-kata yang didengarkan oleh anak-anak

merupakan kata-kata baru bagi mereka. Menurutnya, anak-anak tidak

dilahirkan dengan leksikon mental yang siap pakai, anak-anak

menggambarkan leksikon sebagian dari pemerolehan bahasa, dan

memberikan makna kata-kata baru yang digunakannya.

Kerumitan semacam itu, dilalui seorang anak dalam pemerolehan

makna, menyebabkan anak pada usia tertentu belum bisa

mengklasifikasikan makna secara khusus untuk merujuk makna objek

yang dimaskud. Kemajuan pemerolehan makna bagi sasaran penelitian

ini, selain pemerolehan nomina sebagai kata pertama yang diperoleh,

ditemukan pula jenis kata yang lain dan memperlihatkan bahwa ada

perkembangan yang berate selama penelitian ini dilakukan. Jenis kata lain

yang ditemukan adalah kata adjektiva, misalnya kata /anteng/ “ganteng”,

164

kata verba, misalnya /unju/ “tunggu”, kata adverbial /oleh/ “boleh”, dan

kata tanya /apa?/ “siapa?”.

B. Pembahasan

Kehidupan keluarga sangat memengaruhi anak tersebut dalam

menuturkan tiap kata yang diperolehnya. Pandangan behaviorisme

menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan

dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui

lingkungan. Jika anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan

kaidah” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa,

melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.

Rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat

kemampuan berbahasa anak untuk berkomunikasi melalui prinsip

pertalian S-R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan.

Pandangan behaviorisme tersebut sejalan dengan hasil yang ditemukan

dalam penelitian ini, anak berusaha menirukan setiap kata yang

didengarkannya meski cara memproduksi atau hasil peniruannya belum

sempurna. Rangsangan yang terus diberikan kepada anak memungkinkan

anak tersebut memberikan respon yang baik sehingga memudahkannya

dalam memperoleh bahasanya.

Hasil peniruannya terkadang menghilangkan beberapa fonem atau

mengubah beberapa fonem menjadi fonem yang lain sehingga kata yang

dihasilkan berbeda dengan kata yang sebenarnya. Menurut

165

Tarigan (1985: 273), umumnya ujaran anak paling dini adalah

penyelangselingan antara KV (konsonan-vokal). Meskipun anak

menghasilkan semua vokal bahasa, namun secara khusus anak tidaklah

menghasilkan semua konsonan. Oleh karena belum dapat menghasilkan

semua fonem konsonan sehingga anak terkadang menghilangkan atau

mengubah fonem konsonan pada kata yang dihasilkannya.

Peniruan ucapan yang didengarkannya dilakukan setelah anak

memahami terlebih dahulu kata yang didengarkannya, menyimak dan

mempelajari kata yang didengarkannya dengan cara menyesuaikan kata

tersebut dengan konteksnya. Sesuai dengan hal tersebut, menurut

pandangan kognitivisme, perkembangan kognitif harus tercapai lebih

dahulu, kemudian keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.

Setiap tuturan yang dihasilkan anak, pada umumnya dalam bahasa

ibunya yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan keluarganya, yakni

bahasa Indonesia yang masih bercampur dengan dialeg bugis sidrap.

Satu hal yang perlu dipahami tentang hubungan antara

pemahaman dan produksi tuturan anak. Berdasarkan data yang telah

terhimpun, terlihat bahwa hampir semua pemerolehan itu diketahui

terlebih dahulu sebelum dapat menuturkannya. Ketika kata itu dituturkan,

terlebih dahulu anak memahaminya atau mempelajarinya dengan caranya

sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa tuturan yang dipahami

tetapi ia belum dapat menututurkannya. Misalnya, ketika diminta untuk

mengambil baju/celana yang ada di dalam kamar, tanpa ditunjukkan,

166

maka ia dapat melakukannya sendiri tanpa komentar. Hal tersebut

menunjukkan bahwa anak kecil terlebih dahulu memahami pembicaraan

yang didengar di sekitarnya, lalu mencoba meniru mengucapkannya

secara berkali-kali.

Dalam proses pemerolehan bahasa dalam penelitian ini, ditemukan

anak mulai mengalami tahap perkembangan bahasa antara atau

interlanguage, yaitu bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar

sistem bahasa pertama dan kedudukannya berada di antara bahasa

pertama dan bahasa kedua. Bahasa antara membahas fenomena

kebahasaan yang muncul (emergence) akibat interaksi antarbahasa,

bukan pada hasil akhir proses interaksi tersebut. Bahasa antara biasanya

dibuat oleh anak sendiri sesuai dengan yang telah diperolehnya, misal

kata mama iya, awalnya anak mengucapkan miya tetapi seiring dengan

sering terjadinya interaksi yang melibatkan kata itu sehingga selanjutnya

anak mengganti pengucapannya menjadi ma iya yang lebih mendekati

sempurna. Namun, karena faktor alat ucap yang belum sempurna

sehingga hasil pengucapan anak belum sempurna, pada tahap ini lah

biasanya orang tua atau pengasuh anak terkadang melakukan kesalahan

dengan mengikuti pola bicara anak dengan maksud agar anak mengerti.

Orang tua dan pengasuh tidak memahami bahwa cara tersebut

keliru, cara tersebut justru membuat bahasa anak tidak berkembang

dengan baik. Seharusnya sebagai lawan tutur anak, tetap menggunakan

pola bahasa yang sebenarnya karena anak akan terlebih dahulu

167

memahami pengucapan orang lain kemudian berusaha untuk menirukan

sehingga mampu memproduksi bahasa yang hampir sama dengan orang

lain atau lawan tuturnya.

Bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisahkan,

melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari

kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar, maka perkembangan

bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih

umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif

menentukan urutan perkembangan bahasa.

Perkembangan bahasa anak mengalami peningkatan kecerdasan

yang baik. Dengan demikian, anak tidak dapat dipandang sebagai

penyebutan objek yang murni karena mereka mempunyai isi psikologis

yang bersifat intelektual dan emosional, yaitu anak menunjukkan mau

atau tidak akan sesuatu hal. Berdasarkan hal tersebut, maka dari satu

kata, dua kata, dan tiga kata atau lebih ini akan terus berkembang seiring

dengan perkembangan usia anak, semakin dewasa maka semakin cerdas

pula anak itu berbahasa. Perkembangan kehidupan anak hingga dewasa

seiring dengan perkembangan berbahasa yang semakin baik.

168

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan data dan pembahasan yang dilakukan pada bab

sebelumnya, maka diperoleh simpulan sebagai berikut.

1. Pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dalam bidang fonologi,

morfologi, sintaksis, dan semantik.

a. Pemerolehan fonologi, fonem vokal telah diperoleh anak secara

keseluruhan. Hampir semua ahli menyatakan bahwa fonem vokal /a/,

/i/, /u/ adalah fonem vokal minimal yang dikuasai pertama oleh

seorang anak dan bersifat universal bagi semua bahasa. Hasil

penelitian ini mendukung hal tersebut, anak usia dua tahun lebih

dahulu menguasai fonem vokal minimal yang bersifat universal

kemudian menguasai fonem vokal yang lainnya.

b. Pemerolehan fonologi, fonem konsonan telah diperoleh anak, baik

yang telah dikuasai ataupun yang belum dikuasainya. Jenis fonem

konsonan yang diperoleh anak usia dua tahun yaitu fonem /t/, /c/, /y/,

/l/, /p/, /n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, dan /k/ namun pada posisi

tertentu, dari beberapa fonem tersebut terdapat beberapa fonem

yang masih belum diperoleh anak. Posisi awal kosakata, anak belum

dapat memperoleh fonem /p/, /b/, /l/, /m/, /k, /j/, /c/, /d/, /t/, dan /ny/.

Posisi akhir kosakata, anak belum mampu memperoleh fonem /t/, /k/,

dan /l/. Posisi tengah kosakata, anak belum mampu memperoleh

169

fonem /l/ dan /p/, hal ini terkhusus pada kata yang lebih dari tiga suku

kata. Sesuai dengan pendapat beberapa ahli, bahwa ada tiga fonem

konsonan yang paling dasar, yaitu fonem /p/, /t/, dan /k/ dan

merupakan konsonan yang bersifat universal bagi semua bahasa,

bahkan menjadi fonem konsonan pertama yang dikuasai oleh

seorang anak yang memperoleh bahasa. Hasil penelitian ini

mendukung hal tersebut, hanya saja urutan pemerolehannya yang

berbeda, penguasaan beberapa fonem konsonan lainnya

mendahului salah satu dari tiga fonem konsonan universal tersebut,

yaitu fonem konsonan /k/. Anak usia dua tahun dalam penelitian ini

belum dapat menghasilkan fonem konsonan /k/ dengan baik. Jika

menuturkan kata yang memiliki fonem konsonan /k/, maka fonem

tersebut akan dihilangkan jika berada diawal kata, akan diubah

menjadi fonem /c/ atau /t/ jika berada pada tengah kata, dan akan

terdengar samar ketika berada pada akhir kata.

c. Pemerolehan morfologi, ditemukan afiksasi yang berupa sufiks –ka,

–ni, –na, –ki, –mi yang masih dipengaruhi bahasa daerah. Adapun

afiksasi dalam bahasa indonesia yang ditemukan hanya satu, yaitu

sufiks –kan. Ditemukan pula duplikasi atau pengulangan kata dasar

secara sempurna. Ditemukan morfem bersuku kata satu, bersuku

kata dua, dan bersuku kata tiga.

d. Pemerolehan sintaksis, ditemukan tuturan dua kata, bahkan pada

tahun kedua usianya, anak telah mampu menghasilkan lebih dari tiga

170

kata. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga

seolah-olah dua kata atau lebih itu terpisah. Jeda ini semakin lama

semakin pendek sehingga menjadi tuturan yang normal. Anak telah

menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-

objek, dan pelaku-perbuatan.

e. Pemerolehan semantik, tuturan anak dengan mudah dipahami oleh

ibunya dan orang disekitarnya meski tuturannya masih tetap harus

dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut dituturkan sehingga

dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski tuturan tersebut

mengalami penghilangan maupun pergantian fonem.

2. Faktor-faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia

2,0 – 2,5 tahun adalah sebagai berikut.

a. Faktor lingkungan. Kehidupan keluarga sangat memengaruhi anak

tersebut dalam menuturkan tiap kata yang diperolehnya.

Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses pemerolehan

bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh

rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Jika anak dapat

berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak

dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara

langsung oleh faktor di luar dirinya.

b. Faktor Alamiah. Pemerolehan bahasa anak tidak terlepas dari pola

peniruan, sehingga setiap kata yang didengarkan dari lingkungan

sekitarnya akan ditirunya. Peniruan ini didukung oleh piranti

171

penguasaan yang mereka miliki, berupa LAD yang menjadi potensi

pemerolehan dan penguasaan bahasa. Oleh karena itu, berbicara

kepada seorang anak harus berbicara yang sebenarnya dan tidak

mengikuti pola pembicaraan atau model seorang anak.

c. Faktor perkembangan kognitif. Anak usia dua tahun dalam

pemerolehan bahasa terlebih dahulu berusaha memahami arti

sebuah kata yang didengarkannya sebelum mereka dapat

menghasilkannya. Hal ini dapat dibuktikan, ketika anak diminta

untuk melakukan sesuatu, saat itu anak mampu melakukannya

sendiri tanpa diberi petunjuk dan tanpa komentar dari anak itu,

namun anak belum dapat menghasilkan tuturan yang sama.

d. Faktor latar belakang sosial. Setiap tuturan yang dihasilkan anak,

pada umumnya dalam bahasa ibunya yang digunakan sehari-hari

dalam kehidupan keluarganya, yakni bahasa Indonesia yang masih

bercampur dengan dialeg bugis sidrap.

f. Faktor gaya/cara pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa anak

mengikuti tahap-tahap yang secara umum dilalui oleh seorang anak,

mulai dari tahap pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, dan

semantik. Letak perbedaanya ada pada hasil yang diperoleh dan

waktu diperolehnya hasil tersebut.

172

B. Saran

Berdasarkan simpulan yang ada, dapat disampaikan beberapa

saran kepada beberapa pihak, yakni:

1. Tulisan ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para ibu (orang tua) dan

pengasuh anak dalam memahami dan membina pemerolehan bahasa

anak pada usia 2,0 – 2,5 tahun. Jika seorang ayah ingin ikut mewarnai

kepribadian anak umumnya, dari proses pemerolehan bahasa anak

khususnya, maka perbanyaklah kuantitas bergaul atau berkomunikasi

dengan anak, karena kuantitas berkomunikasi dengan anak

berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya dan kemampuan ayah

dalam memahami dan menginterpretasi tuturan anak yang multimakna

akan lebih mudah.

2. Penelitian ini bukan merupakan hasil yang sempurna, karena

keterbatasan dan wawasan peneliti dalam mendeskripsikan dan

membahas permasalahan dalam penelitian. Perlu adanya penelitian

lebih lanjut mengenai pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun,

sehingga didapatkan hasil penelitian yang lebih sempurna. Peneliti

menyadari penelitian ini sangat terbatas, selain data yang sedikit,

penelitian ini pun belum didukung oleh teori-teori yang lebih

komprehensif dan analisis yang lebih mendalam.

Demikian simpulan dan saran yang dapat penulis kemukakan,

semoga bermanfaat dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerolehan

bahasa anak khususnya dan perkembangan dunia pendidikan umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 1993. e-Book - Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Amaluddin. 1998. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak: Usia Satu

sampai Satu Setengah Tahun (Suatu Studi Psikolinguistik). Tesis. Ujung

Pandang: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Cahyono, Yudi B. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga

University Press.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Clark, Herbert H. & Clark, Eve. V. (1977) Psychology and Language An

Introduction to Pscyholinguistics. Harcourt Brace Jovanovich.lnc.USA

Dardjowidjojo, Soejono. 2000. ECHA, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak

Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa

Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. New York: Oxford

University.

Fromkin, Victoria dan Rodman. 1998. An Introduction to Language. Edisi

Keenam. Fort Worth. Harcourt Brace College Publisher

Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Marat, Samsuniwiyati. 1983. Psikolinguistik. Bandung. Universitas Padjadjaran.

Muliawati, Lia. 2011. Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun. Tesis.

Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia

Nurhadi & Roekhan (Eds.). 1990. Dimensi-Dimensi dalam Belajar Bahasa

Kedua. Bandung: Sinar Baru Bandung.

Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. 2009. Human Development.

Boston: McGraw Hill.

Purwo, Bambang K. 1996. Pelba 9. (Echa Perkembangan Bahasa Anak: Dua

Belas Bulan yang Pertama).

Rahim, Abd. Rahman. 2006. Keterampilan Membaca Pemahaman Mahasiswa

Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Disertasi.

Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Rahim, Abd. Rahman. 2011. Pemerolehan Bahasa. Bahan Kuliah Program

Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Ramlan, M. 1985. Morfologi. Yogyakarta: Karyono.

Rusyani, Endang. 2008. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,5 Tahun (Studi

Kasus pada Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini). Tesis. Jakarta:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Schane, Sanford A. 1992. Teori Fitur Distingtif Fonologi Generatif,

Perkembangan dan Penerapannya. Jakarta: Gaya Media Prat

Simanjuntak, Mangantar. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian

Fonologi. Jurnal Dewan Bahasa, Ogos/September.

Simanjuntak, Mangantar. 1990. Psikolinguistik Perkembangan. Teori-Teori

Perolehan Fonologi (Theories of the Acquisition of Phonology). Jakarta:

Gaya Media Pratama.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar

Penelitan Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Sugiono, Dendy, dkk. (Edisi IV). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat

Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa

Tarigan, Henry Guntur. 1998. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Jakarta:

Depdikbud.

Uhlenbeck. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan.

Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Yanti, Arni. 2013. Studi Kasus Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 3 Tahun.

Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Yasin, Muhammad. 2014. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia Satu

Tahun (Perkembangan Aspek Morfologi Bahasa Jawa: Muhammad Mirza

Shidqi Yasin). Tesis. Malang: Universitas Negeri Malang.

Zain, Suardi dan Khalik, Suhartini. 2012. Fase Perkembangan Bahasa Anak

Usia 2;0 – 3;0 Tahun. Jurnal Ilmiah Al-Adabi. Kopertis Wilayah IX. Vol. 5:

31-37.

Lampiran 1

Transkripsi data pemerolehan bahasa anak usia dua tahun.

Morfem bersuku kata dua:

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata

/ayah/ /ayah/ ayah /idda/ /idda/ idda /mama/ /mama/ mama /bapa/ /bapak/ bapak /eppo/ /eppo/ eppo /cayi/ /zahir/ zahir /aang/ /aan/ aan /adil/ /fadil/ fadil /uwi/ /uli/ uli /cehu/ /sehu/ sehu /yuyu/ /yuyu/ yuyu /ciya/ /sira/ sira /cica/ /fiqah/ fiqah /ati/ /zaki/ zaki /ala/ /ara/ ara /amel/ /amel/ amel /iang/ /rian/ rian /ida/ /ida/ ida /idil/ /aidil/ aidil /nunu/ /nunu/ nunu /affa/ /safwa/ safwa /cong/ /acong/ acong /ata/ /mata/ mata /idung/ /hidung/ hidung /ala/ /kepala/ kepala /inga/ /telinga/ telinga /ambut/ /rambut/ rambut /angan/ /tangan/ tangan /tati/ /kaki/ kaki /eyut/ /perut/ perut /utut/ /lutut/ lutut /cucu/ /kuku/ kuku /jayi/ /jari/ jari /ayam/ /ayam/ ayam /ucing/ /kucing/ kucing /ambing/ /kambing/ kambing /tapi/ /sapi/ sapi /buyung/ /burung/ burung /anjing/ /anjing/ anjing /cicak/ /cicak/ cicak

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata

/itus/ /tikus/ tikus /uda/ /kuda/ kuda /amuk/ /nyamuk/ nyamuk /emut/ /semut/ semut /atu/ /jatuh/ jatuh /ati/ /sakit/ sakit /ayum/ /harum/ harum /anni/ /mandi/ mandi /abung/ /sabun/ sabun /ampo/ /sampo/ sampo /nneng/ /nenneng/ nenneng (minum susu) /ayung/ /ayung ayung /ecum/ /assalakumu’alaikum/ assalamu’alaikum /ayam/ /wa’alaikumussalam/ wa’alaikumussalam /ape/ /capek/ capek (capai) /alang/ /jalan/ jalan /atang/ /makan/ makan /aci/ /nasi/ nasi /itam/ /ikan/ ikan /tayu/ /sayur/ sayur /tatang/ /datang/ datang /num/ /minum/ minum /uca/ /rusak/ rusak /acu/ /kasur/ kasur /oco/ /rokok/ rokok /anti/ /cantik/ cantik /utan/ /bukan/ bukan /enyya/ /penyya/ penyyak (pesek) /itut/ /ikut/ ikut /olah/ /sekolah/ sekolah /angung/ /bangun/ bangun /inan/ /mainan/ mainan /boya/ /bola/ bola /tattu/ /tasku/ tasku /bobo/ /bobo/ bobo (tidur) /ulu/ /dulu/ dulu /anyang/ /jangan/ jangan /ccak/ /cicak/ cicak /inding/ /dinding/ dinding /iyam/ /hilang/ hilang /opi/ /topi/ topi /mau/ /mau/ mau /alam/ /bermalam/ bermalam (menginap) /encing/ /kencing/ kencing

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata

/alam/ /dalam/ di dalam /tunju/ /tunggu/ tunggu /aci/ Terimah kasih terima kasih /ama/ /sama/ sama /uang/ /uang/ uang /lottu/ /rokku/ rokku /acha/ /masha/ masha (animasi kartun) /inca/ /insya/ Insya /allah/ /allah/ Allah /lua/ /keluar/ keluar /layi/ /lari/ lari /anyak/ Banyak banyak /oyang/ /goyang/ goyang /iji/ /digigit/ digigit /otong/ /potong/ potong /injam/ /pinjam/ pinjam /impan/ /simpan simpan /ana/ /mana/ mana? /tadi/ /tadi/ tadi /apang/ /kapang/ kapang (mungkin) /opang/ /jopang/ jopang (kecoa) /uja/ /juga/ juga /inyak /minyak/ minyak /elong/ /telon/ telon /edak/ /bedak/ bedak /atat/ /besar/ besar /tucuk/ /tusuk/ tusuk /otot/ /motor/ motor /peppa/ /vespa/ vespa /bita/ /bisa/ bisa /nyanyi/ /nyanyi/ menyanyi /aya/ /saya/ saya /dudu/ /duduk/ duduk /ucci/ /kursi/ kursi /inda/ /pindah/ pindah /inta/ /minta/ minta /abi/ /habis/ habis/menghabiskan /uang/ /buang/ buang /beca/ /besar/ besar /uci/ /cuci/ cuci /iying/ /piring/ piring /uta/ /buka/ buka /oti/ /roti/ roti /otong/ /potong/ potong/sepotong

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata

/into/ /pintu/ pintu /lia/ /lihat/ lihat /obi/ /mobil/ mobil /obe/ /robek/ robek /andat/ /sandal/ sandal /ala/ /kepala/ kepala /ijit/ /gigit/ gigit /ula/ /gula/ gula/permen /ate/ /pakai/ pakai /ulu/ /dulu/ dulu/dahulu /aju/ /baju/ baju /ancing/ /kancing/ kancing /epong/ /telepon/ telepon /eli/ /beli/ beli /atu/ /takut/ takut /ibu/ /ribut/ ribut /angis/ /nangis/ menangis /omba/ /lomba/ lomba /anjil/ /panggil/ panggil /anteng/ /ganteng/ ganteng /eci/ /kecil/ kecil /emo/ /bemor/ bemor (becak-motor) /apa/ /apa/ apa? /adu/ /aduk/ aduk /aca/ /masak/ masak /elu/ /telur/ telur /oco/ /kocok/ kocok

Morfem bersuku kata tiga:

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata /ecoa/ /kecoak/ kecoak /epitang/ /jepitan/ jepitan/penjepit /emani/ /temani/ temani

Morfem bersuku kata empat:

Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata /mama uwa/ /mama tua/ mama tua /mama iya/ /mama ria/ mama ria /mama eji/ /mama eri/ mama eri /upu-upu/ /kupu-kupu/ kupu-kupu /iyi-iyi/ /jeli-jeli/ jeli-jeli(nutrijelly)

Tahap perkembangan bahasa antara atau interlanguage

Tuturan Awal Bahasa Antara Arti uca luca rusak iyam ilang hilang ati aci sakit anti tanti cantik etat beca besar oco ococ rokok inan ainan mainan boya ola bola tat tas tas ala pala kepala eyut elut perut aci naci nasi tayu tayul sayur cucu tutu kuku cak cicak cicak opang coa jopang / kecoa uwa mama uwa mama tua / nenek miya mama iya mama ria ma mama mama apa bapa bapak cayi tayi zahir inung ainung ainun Antat Antal Antar Bobo Tidut Tidur Layi Lali Lari Atang Tatang Datang

DAFTAR ISTILAH

Adjectiva : Kata sifat, menyatakan sifat atau keadaan

suatu benda

Adverbial : Kata keterangan, memberikan keterangan

terhadap sesuatu selain kata benda

Afiksasi : Proses penambahan afiks pada kata dasar

Akuisisi : Pemerolehan bahasa

Arbitrer : Sesuai keinginan / manasuka

Artikulasi : Lafal, pengucapan kata

Babbling : Celotehan

Behavioris : Penganut behaviorisme

Behaviorisme : Paham yang menyatakan bahwa,

pemerolehan bahasa pertama dikendalikan

dari luar diri anak, yaitu rangsangan dari

lingkungannya.

Bilingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan dua

bahasa bersamaan / berurutan

Chance : Kesempatan

Deep Structure : Struktur dalam

Deskriptif : Memaparkan / menggambarkan

Ekspresif : Memberikan pernyataan

Empiris : Berdasarkan pengalaman, penemuan, akurat

Environment : Lingkungan

Filosof : Ahli dalam ilmu filosofi

FLA : First language acquisition / pemerolehan

bahasa pertama

Fonem : Satuan bunyi terkecil yang mampu

menunjukkan kontras makna

Fonem Konsonan : Fonem yang dihasilkan dengan

menggerakkan udara keluar dengan

rintangan

Fonem Vokal : Fonem yang dihasilkan dengan

menggerakkan udara keluar tanpa rintangan

Fonemik : Bagian fonologi yang mempelajari bunyi

ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda

arti

Fonetik : Bagian fonologi yang mempelajari cara

menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana

suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap

manusia

Fonologi : Ilmu tentang bunyi bahasa

Frasa : Gabungan dua kata atau lebih yang bersifat

nonpredikatif

Genetika : Cabang biologi yang menerangkan sifat

turun-temurun / pewarisan

Gramatika : Tata bahasa

Heredity : Keturunan

Hipotesis : Anggapan dasar, sesautu yang dianggap

benar untuk mengutarakan pendapat

menskipun kebenarannya masih harus

dibuktikan

Holofrase : Tahap linguistik pertama

Imitation : Peniruan

Infant : Tidak mampu berbicara

Informan : Orang memberikan informasi

Innate : Bawaan lahir

Kalimat : Satuan bahasa yang secara relative berdiri

sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan

secara aktual ataupun potensial, terdiri atas

klausa

Kalimat Elips : Kalimat tidak lengkap yang terjadi karena

pelepasan beberapa bagaian klausa tunggal

Klausa : Satuan gramatikal yang berupa kelompok

kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek

dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat

Kognitif : Berhubungan dengan kognisi / pengetahuan

Kognitifisme : Paham yang menyatakan bahwa

pemerolehan bahasa pertama melalui

kematangan kognitif / pengetahuan oleh anak

Kontroversi : Perdebatan / pertentangan

Kualitatif : Berdasarkan mutu / kualitas

Kuantitas : Berdasarkan jumlah atau banyaknya

LAD : Language acquisition device, sebuah alat

pemerolehan bahasa yang ada pada diri

setiap anak

Language Acquisition : Pemerolehan bahasa

Leksikal : Berkaitan dengan kata, kosakata

Leksikon : Kosakata / perbendaharaan kata

Linguis : Ahli bahasa

Linguistik : Ilmu bahasa

Longitudinal : Metode penelitian yang didasarkan pada

masa tertentu yang relative lama untuk

mengetahui karakter tertentu

Majemuk Koordinatif : Kalimat majemuk setara yang terdiri dari dua

klimat dasar yang masing-masing dapat

berdiri sendiri

Memory Span : Batas rentang ingatan anak untuk menyusun

kalimat

Meraban : Mengeluarkan suara (bagi bayi) sebagai

latihan persiapan berbicara

Mitra Tutur : Lawan bicara

Monolingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan satu

bahasa

Morfem : Satuan bentuk bahasa terkecil yang

mempunyai makna secara relative stabil dan

tidak dapat dibagi atas bagian bermakna

yang lebih kecil

Morfologi : Cabang linguistik yang membahas tentang

morfem dankombinasinya

Motorik : Berkaitan dengan gerak, bergerak

Multilingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan

beberapa bahasa yang diperoleh secara

bersamaan / berurutan

Nativis : Penganut Nativisme

Nativisme : Paham yang menyatakan bahwa kemampuan

pemerolehan bahasa pertama anak terbuka

secara genetis, sifatnya pewarisan dari gen

orang tuanya.

Nature : Alamiah

Negation : Negasi, penolakan

Nomina : Kelas kata yang dalam bahasa Indonesia

ditandai oleh tidak dapatnya bergabung

dengan kata “tidak”

Nurture : Pengasuhan, pemeliharaan (lingkungan)

One Word Utterance : Ujaran satu kata

Performansi : Pengucapan atau pelaksanaan bahasa

Persentase : Dinyatakan dengan angka persen

Preposisi : Kata yang biasanya terdapat di depan

nomina

Producting : Menghasilkan pernyataan

Programming Span : Batas rentang pemrograman anak untuk

menyusun kalimat

Psikologi : Ilmu yang berkaitan denga proses mental,

baik normal maupun abnormal dan

pengaruhnya pada perilaku

Psikolonguistik : Ilmu tentang hubungan antara bahasa dan

perilaku dan akal budi manusia

Reduplikasi : Proses atau hasil perulangan kata atau unsur

kata

Representasi : Perbuatan mewakili

Reseptif : Bersifat menerima, mengerti, memahami

Respon : Tanggapan, reaksi, jawaban

Semantik : Ilmu tentang makna kata dan kalimat

Sensomotorik : Gerakan pancaindra

Sensory : Sensoris, berhubungan pancaindra

Sintaksis : Pengaturan dan hubungan kata dengan kata

atau dengan satuan lain yang lebih besar

Sosial : Berkenaan dengan masyarakat

Speech Sound : Bunyi ujaran

Stimulus : Perangsang oraganisme bagian tubuh atau

reseptor lain untuk menjadi aktif

Surface Structure : Struktur lahir

Tabularasa : Teori yang menyatakan bahwa setiap individu

dilahirkan dengan jiwa yang putih bersih dan

suci

Two-Word Sentences : Kalimat dua kata

Understanding : Mengerti, memahami

Universal : Bersifat umum

USK : Ujaran satu kata

Verba : Kata kerja, kata yang menggambarkan

proses, perbuatan, keadaan

RIWAYAT HIDUP

Yulianti Yusuf. Anak dari pasangan Bapak Muh.

Yusuf dan Ibu Nasrah ini lahir pada hari Selasa

tanggal 12 November 1991 di Desa Takkalasi

Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng

Rappang. Dia merupakan anak kelima dari lima

bersaudara. Tahun 1997, Dia mulai menempuh

pendidikannya di SD Negeri 3 Allakuang (1997-2003). Dia Lulus SD tahun

2003, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Pangkajene

Sidrap (2003-2006). Tahun 2006, Dia melanjutkan pendidikan di SMA

Negeri 1 Pangkajene Sidrap (2006-2009). Lulus SMA, pada tahun 2009

Dia melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sidrap Program Studi Teknologi

Pendidikan, dan lulus pada tahun 2013. Akhir tahun 2013, Dia

melanjutkan pendidikannya ke jenjang strata dua (magister), dengan

memilih Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.

Tahun pelajaran 2012/2013, Dia mulai mengabdikan diri menjadi

tenaga pendidik pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren DDI As-Salman

Allakuang Kabupaten Sidenreng Rappang. Dia memperoleh gelar

Magister Pendidikan (M.Pd.) dengan menulis tesis yang berjudul

“Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun (Studi Kasus pada

Syafiiqah)”.