PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2,0 – 2,5 TAHUN STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH
CHILDHOOD LANGUAGE ACQUISITION FOR 2,0 – 2,5 YEAR OLD CASE STUDY ON SYAFIIQAH
TESIS
Oleh:
YULIANTI YUSUF Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2015
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2 TAHUN
STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
YULIANTI YUSUF
Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2015
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun Studi Kasus pada Syafiiqah
Nama : Yulianti Yusuf
NIM : 04.08.949.2013
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis pada
tanggal 11 November 2015 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan
dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 21 November 2015
TIM PENGUJI
Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. ( .................................................. ) (Ketua/Pembimbing/Penguji)
Dr. Munirah, M.Pd. ( .................................................. ) (Sekretaris/Pembimbing/Penguji)
Prof. Dr. H.M. Ide Said D.M., M.Pd. ( .................................................. ) (Penguji)
Prof. Dr. H. Kamaruddin, M.A. ( .................................................. ) (Penguji)
TESIS
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK USIA 2,0 – 2,5 TAHUN STUDI KASUS PADA SYAFIIQAH
yang disusun dan diajukan oleh
YULIANTI YUSUF Nomor Induk Mahasiswa: 04.08.949.2013
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis
pada tanggal 11 November 2015
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. Dr. Munirah, M.Pd.
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Prof.Dr.H.M. Ide Said,D.M.,M.Pd. Dr.Abd. Rahman Rahim, M.Hum NBM 988 463 NBM 992 699
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Yulianti Yusuf
NIM : 04.08.949.2013
Program Studi : Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisn atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 21 November 2015
Yang menyatakan, Yulianti Yusuf
Materai 6000
ABSTRAK
Yulianti Yusuf, 2015. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun Studi Kasus pada Syafiiqah, dibimbing oleh: Abd. Rahman Rahim dan Munirah.
Tujuan penelitian ini untuk 1) mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dari segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik; 2) mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun.
Sumber data penelitian ini adalah seorang anak yang bernama Syafiiqah, lahir di Lakessi pada tanggal 25 Maret 2013. Data dikumpulkan dengan metode simak, dengan menggunakan teknik rekaman dan catat. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa (1) Pemerolehan fonologi, fonem vokal telah diperoleh anak secara keseluruhan. Jenis fonem konsonan yang diperoleh anak usia dua tahun yaitu fonem /t/, /c/, /y/, /p/, /n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, /ny/, dan /k/. (2) Pemerolehan morfologi, ditemukan afiksasi yang berupa sufiks –ka, –ni, –na, –ki, –mi, dan –kan. Telah ditemukan morfem bersuku kata dua, dan bersuku kata tiga. (3) Pemerolehan sintaksis, ditemukan tuturan dua kata, bahkan pada tahun kedua usianya, anak telah mampu menghasilkan lebih dari tiga kata dan telah menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-objek, dan pelaku-perbuatan. (4) Pemerolehan semantik, tuturan anak dengan mudah dipahami oleh ibunya dan orang disekitarnya meski tuturannya masih tetap harus dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut dituturkan sehingga dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski tuturan tersebut mengalami penghilangan maupun pergantian fonem. (5) Faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun adalah faktor lingkungan, faktor alamiah, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial, dan faktor gaya/cara pemerolehan bahasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep keuniversalan dalam pemerolehan bahasa anak didukung oleh penelitian ini. Perbedaannya terletak pada urutan pemerolehan sebuah fonem, serta kualitas perolehannya. Hasil lainnya adalah anak telah memperoleh sintaksisnya dengan baik pada usianya, dan pemahaman yang baik pula sesuai dengan sasaran penelitian ini. Kata kunci: pemerolehan, bahasa, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
anak usia 2,0 – 2,5 tahun
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang
Maha Pencipta, Maha Pengasih, Maha Penyayang, pemilik segala ilmu
pengetahuan yang telah menganugerahkan kemampuan berpikir dan
bernalar kepada manusia untuk dapat membedakan baik dan buruk dalam
menjalani kehidupan. Shalawat serta salam bagi Baginda Rasulullah,
Habibullah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia terkasih,
pembawa pesan terakhir penyempurna pesan-pesan surgawi dalam kitab
suci Al-Quran, karya yang tiada tandingannya, menuntun manusia
bahagia dunia akhirat.
Tesis dengan judul “Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2 Tahun
Studi Kasus pada Syafiiqah” merupakan salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar magister pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar. Tesis ini akhirnya selesai setelah melalui
serangkaian penelitian yang membutuhkan banyak waktu, pikiran, dan
tenaga. Meski demikian, karya tulis ini dapat diselesaikan tepat pada
waktu yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan, bantuan, dan
dukungan yang sangat berharga dari berbagai pihak, tesis ini tidak akan
terselesaikan. Patutlah penulis mengucap syukur yang tak terkira kepada
Sang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Mengetahui kelemahan
hamba-Nya sehingga mengirimkan hamba-hamba-Nya yang berhati ikhlas
membantu, membimbing, dan mendukung penulis selama proses
penyusunan hingga terselesaikannya tesis ini.
Terima kasih kepada kedua pembimbing,
Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum. dan Dr. Munirah, M.Pd. yang telah
memberi bimbingan dan arahan selama proses penyusunan hingga
terselesaikannya tesis ini.
Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghormatan kepada
pihak Universitas Muhammadiyah Makassar, khususnya Program
Pascasarjana, Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M., M.Pd., Direktur
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,
Dr. Abd. Rahman Rahim, M.Hum., Ketua Program Studi Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membimbing dan
memfasilitasi penulis untuk menimba ilmu dan menyelesaikan studi
magisternya.
Terima kasih untuk kedua orang tua tercinta yang senantiasa
mengasihi, mendampingi, mendoakan, dan mendukung penulis selama
ini. Kakak-kakak tersayang yang selalu meluangkan waktu untuk
mendukung, membimbing, dan mendengarkan semua keluhan penulis.
Para sahabat yang telah bersedia untuk memberi semangat selama
penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan
yang membangun untuk hasil yang lebih baik pada penelitian berikutnya.
semoga tesis ini memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia pada
umumnya, dan dunia pendidikan Indonesia pada khususnya.
Makassar, Desember 2015
Yulianti Yusuf
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ....................................................
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .........................................................
ABSTRAK ..............................................................................................
ABSTRACK............................................................................................
KATA PENGANTAR ..............................................................................
DAFTAR ISI ...........................................................................................
DAFTAR TABEL ....................................................................................
DAFTAR BAGAN ...................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................. 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian ................................................... 9
B. Tinjauan Teori dan Konsep ................................................ 12
1. Psikolinguistik ............................................................... 12
2. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak ........................ 14
3. Universal dalam Pemerolehan Bahasa Anak ............... 19
4. Teori Pemerolehan Bahasa Anak ................................. 21
5. Perkembangan Bahasa Anak ....................................... 28
6. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak ................. 36
7. Pemerolehan dalam Bidang Fonologi, Morfologi,
Sintaksis, dan Semantik ............................................... 46
8. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa
Anak ............................................................................. 59
C. Kerangka Pikir ................................................................... 65
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ....................................................... 69
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 69
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan ............................... 70
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 71
E. Teknik Analisis Data .......................................................... 72
F. Pengecekan Keabsahan Temuan ...................................... 72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Penelitian ................................................. 73
B. Pembahasan ...................................................................... 164
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ............................................................................ 168
B. Saran ................................................................................. 172
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Transkripsi Data
2. Daftar Istilah
3. Riwayat Hidup
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Persentase Tuturan Dua Kata ............................................... 149
Tabel 4.2 Persentase Tuturan Tiga Kata atau Lebih ............................. 150
Tabel 4.3 Persentase Pemerolehan Kata ............................................. 155
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Pikir ....................................................................... 68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
Bahasa dibutuhkan dan digunakan manusia sebagai media untuk
berkomunikasi dengan sesamanya. Dengan demikian, bahasa adalah alat
komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia untuk menyampaikan atau menerima
pesan, ide, gagasan, dan informasi. Bahasa memudahkan masyarakat
dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, tanpa bahasa, manusia
akan kesulitan dalam berkomunikasi bahkan sulit melakukan apapun.
Bahasa tidak hanya tulis maupun lisan, tetapi juga bahasa tubuh dan juga
ekspresi seseorang.
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, produksi
bahasa mereka juga meningkat dalam kuantitas, keluasan, dan kerumitan.
Anak-anak secara bertahap berubah dari melakukan ekspresi menjadi
melakukan ekspresi dengan berkomunikasi, yang juga berubah dari
komunikasi melalui gerakan menjadi ujaran. Anak di usia tertentu mampu
mengembangkan keterampilan berbicara melalui percakapan yang dapat
memikat orang lain. Mereka dapat menggunakan bahasa dengan
berbagai cara seperti bertanya, berdialog, dan bernyanyi.
2
Bahasa anak-anak terkadang sukar diterjemahkan, karena anak
pada umumnya masih menggunakan struktur bahasa yang masih kacau
dan masih mengalami tahap transisi dalam berbicara, sehingga sukar
untuk dipahami oleh mitratuturnya. Berlaku sebagai mitratutur pada anak
dan untuk dapat memahami maksud dari pembicaraan anak, mitratutur
harus menguasai kondisi atau lingkungan sekitarnya, maksudnya ketika
anak berbicara mereka menggunakan media disekitarnya untuk
menjelaskan maksud yang ingin diungkapkan kepada mitratuturnya dalam
berbicara. Selain penggunaan struktur bahasa yang masih kacau, anak-
anak juga cenderung masih menguasai keterbatasan dalam kosakata dan
dalam pelafalan fonemnya secara tepat.
Bayi-bayi yang baru lahir sudah mulai mengenal bunyi-bunyi yang
terdapat di sekitarnya. Brookes (dalam Amaluddin, 1998) mengatakan
bahwa pemerolehan bahasa dalam bentuk yang paling sederhana bagi
setiap bayi bermula pada waktu bayi itu berumur lebih kurang 18 bulan
dan mencapai bentuk yang hampir sempurna ketika berumur lebih kurang
empat tahun.
Bagi Simanjuntak (1982), pemerolehan bahasa bermaksud
penguasaan bahasa oleh seseorang secara tidak langsung dan dikatakan
aktif berlaku dalam kalangan kanak-kanak dalam lingkungan umur 2-6
tahun. Hal ini tidak bermakna bahwa orang dewasa tidak lagi memperoleh
bahasa tetapi kadarnya tidak sehebat anak-anak. Pemerolehan bahasa
dikaitkan dengan penguasaan sesuatu bahasa tanpa disadari atau
3
dipelajari secara langsung yaitu tanpa melalui pendidikan secara formal
untuk mempelajarinya, sebaliknya memperolehnya dari bahasa yang
dituturkan oleh ahli masyarakat di sekitarnya.
Menurut Juszyk dan Hone (dalam Papalia dkk, 2009: 243)
mengemukakan bahwa seorang anak tidak perlu menghapal dan
menirukan pola-pola kalimat agar mampu menguasai bahasa itu. Piranti
pemeroiehan bahasa diperkuat oleh beberapa hal, yakni: (1) Pemerolehan
bahasa anak mengikuti tahap-tahap yang sama; (2) Tidak ada hubungan
pemerolehan bahasa anak dengan tingkat kecerdasan; (3) Pemerolehan
bahasa tidak terpengaruh oleh emosi maupun motivasi; dan (4) Pada
masa pemerolehan tata bahasa anak di seluruh dunia sama saja.
Pemerolehan bahasa pada anak usia 1 – 3 tahun merupakan
proses yang bersifat fisik dan psikis. Secara fisik, kemampuan anak dalam
memproduksi kata-kata ditandai oleh perkembangan bibir, lidah, dan gigi
mereka yang sedang tumbuh. Pada tahap tertentu pemerolehan bahasa
(kemampuan mengucapkan dan memahami arti kata juga
tidak lepas dari kemampuan mendengarkan, melihat, dan mengartikan
simbol-simbol bunyi dengan kematangan otaknya. Sedangkan
secara psikis, kemampuan memproduksi kata-kata dan variasi ucapan
sangat ditentukan oleh situasi emosional anak saat berlatih mengucapkan
kata-kata.
Berkaitan dengan pola pengucapan oleh anak-anak pada
umumnya, perlu diperhatikan beberapa persamaan dan perbedaan untuk
4
beberapa vokal dan konsonan tertentu. Pada saat anak-anak berusia dua
tahun, kebanyakan bentuk-bentuk komunikasi prabicara yang tadinya
sangat bermanfaat dalam masa bayi telah ditinggalkan. Anak-anak tidak
lagi mengoceh dan tangis mereka sudah sangat berkurang. Ia mungkin
menggunakan isyarat, terutama sebagai pelengkap bagi pembicaraan
untuk menekankan arti kata-katayang diucapkan dan bukan sebagai
pengganti bicara. Tetapi anak-anak terus berkomunikasi dengan orang-
orang lain dengan ungkapan-ungkapan emosi yang secara keseluruhan
lebih diterima secara sosial dan tidak terlalu dianggap “seperti bayi”
daripada bentuk-bentuk prabicara lainnya.
Selama masa awal kanak-kanak, anak-anak memiliki keinginan
yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi.
Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya akan
lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima sebagai
anggota kelompok daripada anak yang kemampuan berkomunikasinya
terbatas. Anak-anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami
rintangan, baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila ia pandai
berbicara seperti teman-teman sekolahnya. Kedua, belajar berbicara
merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Anak-anak yang tidak
dapat mengemukakan keinginan dan kebutuhannya, atau yang tidak
dapat berusaha agar dimengerti orang lain cenderung diperlakukan
seperti bayi dan tidak berhasil memperoleh kemandirian yang
5
diinginkan. Kalau anak-anak tidak dapat mengatakan kepada orangtua
atau pengasuh bahwa mereka ingin mencoba memotong daging atau
menyisir rambut sendiri, orang-orang dewasa akan terus memantau
karena ia dianggap masih terlalu kecil untuk dapat melakukanya sendiri.
Ini menghambat anak untuk menjadi percaya diri dan mandiri.
Anak harus menguasai dua tugas pokok yang merupakan unsur
penting dalam belajar berbicara untuk meningkatkan komunikasi.
Pertama, mereka harus menigkatkan kemampuan untuk mengerti apa
yang dikatakan orang lain dan kedua, mereka harus meningkatkan
kemamuan berbicaranya sehingga dapat dimengerti orang lain. Para
orang tua dan pengasuh biasanya lebih menekankan pada belajar
berbicara sehingga tugas meningkatkan pengertian secara tidak langsung
dilakukan anak sendiri karena adanya keinginan yang kuat untuk
berkomunikasi sebagai sarana untuk kegiatan sosial.
Orang dewasa selalu terpesona oleh hampir perkembangan
bahasa yang ajaib pada anak-anak. Meskipun sepenuhnya lahir tanpa
bahasa, pada saat mereka berusia 2 hingga 4 tahun, anak-anak secara
khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi, dan
gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk
bagaimana cara menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam
banyak latar sosial. Pemenuhan ini terjadi pada setiap masyarakat yang
dikenal, apakah terpelajar atau bukan, dalam tiap-tiap bahasa dari Afghan
hingga ke Zulu, dan hampir pada semua anak-anak, dengan mengabaikan
6
cara bagaimana mereka dibesarkan. Alat-alat linguistik modern dan
psikologi telah memungkinkan kita untuk mengatakan banyak hal tentang
apa yang dipelajari anak-anak, dan langkah-langkah yang mungkin
mereka lewati dalam perjalanan menuju kemampuan komunikatif orang
dewasa.
Saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang
proses sebenarnya anak-anak memperoleh bahasa. Bagairnana cara
mereka menentukan makna kata-kata atau bagaimana cara menghasilkan
ujaran yang bersifat gramatika yang belum pernah mereka dengar atau
produksi sebelumnya? Mengapa anak-anak belajar bahasa? Apakah
anak-anak belajar bahasa karena orang dewasa mengajarkannya kepada
mereka? Atau karena mereka diprogramkan secara genetik untuk
memperoleh bahasa? Apakah mereka belajar gramatika yang kompleks
hanya karena hal itu ada di sana, atau apakah mereka belajar dalam
rangka memenuhi beberapa kebutuhan untuk berkomunikasi dengan
orang lain?
Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun yang bernama
Syafiiqah (Fiiqah) anak dari pasangan Bapak Gunawan dan Ibu Nur
Agusyani Nurdin.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dari
segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik?
2. Faktor apa yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia
2,0 – 2,5 tahun?
C. Tujuan Penelitian
Berdasar dari rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5
tahun dari segi pemerolehan bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik.
2. Untuk mendeskripsikan faktor yang memengaruhi pemerolehan
bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini, secara praktis diharapkan dapat bermanfaat
untuk dijadikan bahan rujukan (minimal sebagai perbandingan) dalam
menuntun atau mengikuti terhadap perkembangan pemerolehan bahasa
anak yang lain yang memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama, dan memberikan informasi kepada orang tua anak mengenai
8
perkembangan pemerolehan bahasa anak, serta tahap-tahap
perkembangan yang secara normal dilalui, serta aspek-aspek yang
diperoleh dalam tahapan tersebut.
Selain manfaat secara praktis, penelitian ini juga memiliki manfaat
secara teoretis, yaitu memberikan kontribusi bagi pengembangan
psikolinguistik di Indonesia, khususnya mengenai kajian perkembangan
pemerolehan bahasa dan memberikan informasi bagi peneliti
perkembangan pemerolehan bahasa, termasuk yang berkecimpung dalam
penelitian perkembangan anak, dapat melahirkan teori mengenai
perkembangan pemerolehan bahasa anak pada usia 2 tahun, bagi anak
yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian
Berikut ini beberapa hasil penelitian sebelumnya yang relevan
dengan fokus penelitian ini.
Zain dan Khalik (2012) meneliti tentang Fase Perkembangan
Bahasa Anak Usia 2;0 -3;0 Tahun. Berdasarkan hasil pembahasan, serta
relevansinya dengan masalah yang diajukan, maka dapat dikemukakan
simpulan sebagai berikut. dalam pemerolehan fonem vokal, sumber data
telah dapat mengucapkan 6 bunyi vokal, yaitu /a, I, u, e, o, dan e (pepet).
Sedangkan fonem konsonan yang telah diuasainya yaitu fonem /b, p, m, t,
d, c, n, s, l, g, h, j, y, k, w, dan ny/. Dalam tataran morfologi bentuk afiksasi
yang diperoleh adalah bentuk na-, ta-, i-, ta + i, di + i, ta + ki, na + I, yang
merupakan afiks yang mendapat pengaruh dari bahasa daerah. Adapun
afiksasi dalam bahasa Indonesia adalah bentuk di-, ber-, ke-an, me-, pen-,
dan –an. Selain bentuk ini, terdapat juga bentuk reduplikasi, pergantian
fonem, pertukaran fonem, penghilangan fonem, dan penghilangan suku
kata. Dalam pemerolehan morfem, ditemukan morfem bersuku satu,
morfem bersuku dua, dan morfem bersuku tiga. pada tahap pemerolehan
sintaksis yang terdiri atas frasa, klausa, dan kalimat.
Pemerolehan frasa meliputi: (1) frasa adjektiva; (2) frasa verbal; (3)
frasa nomina; dan (4) frasa preposisional. Pada pemerolehan klausa dan
10
kalimat, sumber data telah mampu menggunakan, baik klausa tunggal
maupun kalimat majemuk. Kalimat majemuk yang dapat dikuasai oleh
sumber data adalah kalimat majemuk koordinatif dengan dan/sama,
kalimat majemuk waktu dengan sesudah, sebelum, dan tadi, kalimat
majemuk syarat dengan kalau, kalimat majemuk penyebaban dengan
karena, kalimat majemuk tujuan dengan supaya dan agar, kalimat
majemuk aktif dengan tahu, dan kalimat majemuk atribut dengan yang.
Adapun pemerolehan leksikon yang pertama kali dikuasai adalah jenis
kata benda (nomina).
Yanti (2013) meneliti tentang Studi Kasus Pemerolehan Bahasa
pada Anak Usia 3 Tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa pemerolehn
bahasa pada tataran sintaksis, semantik dan fonologi Nadya selaku objek
penelitian sudah cukup baik. Tidak terdapat penyimpangan yang berarti
dalam tuturan yang dihasilkan. Pemerolehan bahasa anak usia 3 tahun
berada pada tahap perkembangan kalimat. Anak sudah mengenal pola
dialog, sudah mengerti saat gilirannya berbicara dan saat giliran lawan
tuturnya berbicara. Anak telah menguasai hukum-hukum tata bahasa
yang pokok dari orang dewasa, perbendaharaan kata berkembang, dan
perkembangan fonologi dapat dikatakan telah berakhir. Mungkin masih
ada kesukaran pengucapan beberapa konsonan namun segera akan
berhasil dilalui anak.
Muliawati (2011) meneliti tentang Pemerolehan Bahasa Anak Usia
Tiga Tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis-jenis tindak tutur
11
anak yang berusia tiga tahun berdasarkan panjang kalimat anak usia tiga
tahun dalam bertutur pada umumnya mengucapkan kata-kata secara
terpenggal serta penguasaan bahasa yang dikuasai anak diperoleh
melalui tahapan-tahapan tertentu. Anak umur tiga tahun sudah mampu
menyusun kalimat dalam bertutur meskipun masih sangat sederhana dan
terbatas. Berdasarkan jumlah ujaran giliran tutur dibuktikan anak tiga
tahun dalan bertutur hanya menjawab pertanyaan dari lawan tutur.
Yasin (2014) dengan judul penelitian Pemerolehan Bahasa
Pertama Anak Usia Satu Tahun (Perkembangan Aspek Morfologi Bahasa
Jawa: Muhammad Mirza Shidqi Yasin). Hasil pengamatan dapat
disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa pertama anak usia satu tahun
dari aspek pengamatan morfologi bahasa Jawa pada anak bernama
Muhammad Mirza Shidqi sangat baik. Pada usia satu tahun anak ini telah
memiliki perkembangan morfologi yang sangat baik, ia mampu menguasai
kata-kata yang berada disekitarnya. Berdasarkan hasil pencatatan,
terdapat lebih kurang 15 kata yang memiliki anak. Kata-kata yang
diucapkan umunya meniru ucapan ibunya yang berbentuk kata benda,
kata kerja, dan sifat. Walaupun yang diucapkan suku kata terakhir, namun
mempunyai makna yang sudah bisa dipahami oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dipaparkan
sebelumnya, penelitian yang akan dilakukan peneliti memiliki rumusan
masalah yang hampir sama pembahasannya. Letak perbedaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada umur objek penelitian.
12
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Psikolinguistik
Psikolinguistik merupakan salah satu perilaku dari kemampuan
manusia, sama dengan kemampuan dan perilaku untuk berpikir,
bercakap-cakap, bersuara, ataupun bersiul. Lebih spesifik lagi, berbahasa
ini merupakan kegiatan dan proses memahami dan menggunakan isyarat
komunikasi yang disebut bahasa (Chaer, 2003: 221).
Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa
dan pemerolehan bahasa oleh manusia. Menurut Levelt, ada tiga bidang
kajian utama psikolinguistik, yaitu:
Psikolinguistik umum merupakan studi tentang proses
pengamatan/persepsi orang dewasa terhadap bahasa dan cara
memproduksinya. Ada dua cara dalam persepsi dan produksi persepsi
bahasa ini, yaitu secara auditif dan visual. Persepsi bahasa secara auditif
adalah mendengarkan dan persepsi bahasa secara visual adalah
membaca. Dalam produksi bahasa, kegiatannya adalah berbicara (auditif)
dan menulis (visual).
Psikolinguistik perkembangan adalah studi psikologi mengenai
perolehan bahasa pada anak-anak dan orang dewasa, baik perolehan
bahasa pertama maupun bahasa kedua. Dalam hal ini pembahasannya
berkaitan dengan cara anak dalam belajar dua bahasa secara bersamaan
atau proses seorang anak memperoleh bahasa pertamanya.
13
Psikolinguistik terapan merupakan aplikasi dari teori-teori
psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa maupun
anak-anak, misalnya membahas tentang pengaruh perubahan ejaan
terhadap persepsi mengenai ciri visual dari kata-kata, kesukaran-
kesukaran pengucapan, program membaca dan menulis permulaan dan
bantuan/pengajaran bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan
dalam perkembangan bahasa.
Pemerolehan bahasa adalah proses-proses yang berlaku di dalam
otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya. Proses-proses
ketika anak sedang memperoleh bahasa ibunya terdiri dari dua aspek:
pertama aspek performance yang terdiri dari aspek-aspek pemahaman
dan pelahiran, kedua aspek komperensi. Proses –proses pemahaman
melibatkan kemampuan mengamati atau kemampuan mempersepsikan
kalimat-kalimat yang didengar sedangkan proses pelahiran melibatkan
kemampuan melahirkan atau mengucapkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua
kemampuan ini apabila telah dikuasai seorang anak maka akan menjadi
kemampuan linguistiknya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian para ahli bahasa dapat
disimpulkan bahwa manusia telah dilengkapi sesuatu yang khusus dan
secara alamiah untuk dapat berbahasa dengan cepat dan mudah. Miller
dan Chomsky menyebutkan LAD (Language Acquisition Device) yang
intinya bahwa setiap anak telah dibekali LAD sejak lahir.
14
2. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), pemerolehan
bermakna proses, cara, perbuatan memperoleh. Kata memperoleh
tersebut di dalam KBBI bermakna mencapai sesuatu dengan usaha.
Dengan demikian, pemerolehan bermakna proses, cara perbuatan
mencapai sesuatu dengan usaha.
Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung
di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa pertamanya atau
bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang anak sedang
memperoleha bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses
performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa
yang berlangsung secara tidak disadari. Proses performansi adalah
tampilan atau penampilan anak ketika mengungkapkan bahasa yang telah
diperolehnya. Proses kompetensi menjadi syarat terjadinya proses
performansi yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan
proses penerbitan atau menghasilkan kalimat-kalimat. Proses
pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau
kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Proses
penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan
kalimat-kalimat itu sendiri (Rahim, 2011:2).
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu
kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan
memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan hal itu, maka yang
15
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan
kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun
pengungkapan, secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal
(Tarigan, 1998)
Istilah pemerolehan bahasa dimaknai sebagai proses penguasaan
bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar
bahasa ibunya (Dardjowidjojo, 2003). Pada saat anak lahir, anak tersebut
telah memiliki suatu sistem yang peka terhadap rangsangan tertentu,
misalnya gerakan menghisap saat sesuatu dimasukkan ke dalam
mulutnya, sehingga sistem tersebut secara cepat mampu meningkatkan
kemampuan anak untuk memilih gerakan tubuhnya. Dengan demikian,
pada saat anak lahir, sistem otak sudah tersusun secara lengkap, namun
belum berfungsi secara maksimal. Oleh sebab itu, cara untuk
memfungsikan otak anak adalah dengan memberikan rangsangan, salah
satunya adalah rangsangan bahasa.
Menurut Ellis (1995) dalam pemerolehan bahasa, masukan (input)
merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan. Manusia
tidak akan dapat menguasai bahasa apabila tidak ada masukan
kebahasaan padanya. Dapat dikatakan pula bahwa pemerolehan bahasa
adalah awal mula ketika seseorang mendapatkan pengetahuan tentang
bahasa dan menggunakannya untuk berkomunikasi.
Krashen (dalam Rusyani, 2008) mendefinisikan pemerolehan
bahasa sebagai the product of a subconscious process very
16
similar to the process children undergo when they acquire their first
language. Dengan kata lain, pemerolehan bahasa adalah proses
seseorang dapat berbahasa atau proses anak-anak pada umumnya
dalam memperoleh bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pada anak
usia dua sampai tiga tahun terjadi secara alamiah. Pemerolehan bahasa
biasanya secara natural artinya pemerolehan bahasa yang terjadi secara
alamiah tanpa disadari bahwa seorang anak tengah memperoleh bahasa,
tetapi hanya sadar akan kenyataan bahwa anak tersebut tengah
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Schutz (dalam Rusyani,
2008) menambahkan hasil dari pemerolehan bahasa yakni kompetensi
yang diperoleh juga bersifat alamiah. Pemerolehan bahasa secara
alamiah ini tidak dikaitkan secara ketat, tetapi pemerolehan bahasa itu
diperoleh sesuai dengan perkembangan otak dan fisik anak itu sendiri.
Menurut Sigel dan Cocking (dalam Rusyani, 2008), pemerolehan
bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk
menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai
dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan sederhana dari
bahasa yang bersangkutan.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama,
pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba.
Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang
muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
17
Penelitian mengenai bahasa manusia telah menunjukkan banyak
hal mengenai pemerolehan bahasa, mengenai yang dilakukan atau tidak
dilakukan seorang anak ketika belajar atau memperoleh bahasa
(Fromkin dan Rodman, 1998: 318).
Anak tidak belajar bahasa dengan cara menyimpan semua kata
dan kalimat dalam sebuah kamus mental raksasa. Daftar kata-kata itu
terbatas, tetapi tidak ada kamus yang bisa mencakup semua kalimat yang
tidak terbatas jumlahnya.
Anak-anak dapat belajar menyusun kalimat, kebanyakan berupa
kalimat yang belum pernah mereka hasilkan sebelumnya. Mereka tidak
dapat melakukannya dengan menyesuaikan tuturan yang didengar
dengan beberapa kalimat yang ada dalam pikiran mereka. Anak-anak
selanjutnya harus menyusun “aturan” yang membuat mereka dapat
menggunakan bahasa secara kreatif. Tidak ada yang mengajarkan aturan
ini. Orang tua tidak lebih menyadari aturan fonologis, morfologis, sintaksis,
dan semantik dari anak-anak. Selain memperoleh aturan tata bahasa
(memperoleh kompetensi linguistik), anak-anak juga belajar pragmatik,
yaitu penggunaan bahasa secara sosial dengan tepat, atau disebut para
ahli dengan kemampuan komunikatif. Aturan aturan ini termasuk
mengucap salam, kata-kata tabu, bentuk penggilan yang sopan, dan
berbagai ragam yang sesuai untuk situasi yang berbeda. Ini dikarenakan
sejak lahir manusia terlibat dalam dunia sosial sehingga ia harus
berhubungan dengan manusia lainnya. Ini artinya manusia harus
18
menguasai norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam
masyarakat. Sebagian dari norma ini tertanam dalam bahasa sehingga
kompetensi seseorang tidak terbatas pada pemakaian bahasa (language
usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use)
(Dardjowidjojo, 2000: 275).
Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan
masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informasi serta lebih
merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang
berlangsung secara formal dan artificial serta merujuk pada tuntutan
pembelajaran (Rusyani, 2008), dan pemerolehan bahasa dibedakan
menjadi pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah
belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini dapat
satu bahasa atau monolingual FLA (first language acquisition), dapat juga
dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan
dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Pemerolehan bahasa
kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai
bahasa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan
keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Pemerolehan bahasa pertama sangat erat kaitannya dengan
perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat huungannya dengan
pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan
salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu
19
masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan,
kemauannya dengna cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial.
Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh
nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat.
Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh
prinsip atau falsafah ‘jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan’,
ataupun ‘dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya,
dan kembangkan identitas pribadi anda sendiri’.
3. Universal dalam pemerolehan bahasa
Bahasa suatu bangsa atau sekelompok manusia memang berbeda
dalam melahirkan simbol-simbol sebagai representasi dari fenomena yang
ada di sekitarnya. Bahasa memang bersifat arbitrer dalam
pengungkapannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Villers dan
Villers (Amaluddin, 1998: 18) bahwa bahasa adalah sistem simbolik untuk
merepresentasikanb kehidupan nyata, tetapi representasi dari simbol-
simbol itu bersifat manasuka (arbitrary).
Keanekaragaman bahasa di dunia memungkinkan adanya kategori
yang berbeda, tetapi ada sejumlah kategori universal dikemukakan oleh
Greenberg (Amaluddin, 1998: 18) yaitu kategori bilangan (number),
peniadaan (negation), sebab akibat (cause and effect) dan waktu (time).
Keuniversalan bahasa bersifat kontroversi. Filosof Joos (dalam
Purwo, 1996: 143) mengatakan bahwa bahasa-bahasa dapat dibedakan
satu dengan yang lainnya tanpa batas dan dengan cara yang tak terduga,
20
namun linguis Chomsky (dalam Purwo, 1996: 64) menganggap bahwa
semua bahasa di dunia ini adalah sama.
Perbedaan pendapat itu dikarenakan penganut behavioris, seperti
Filosof Joos, melihat bahwa bahasa itu hanya memiliki satu macam
struktur yang oleh Chomsky dinamakan struktur lahir (surface structure).
Kaum rasionalis (Chomsky), mengemukakan struktur lain selain struktuk
lahir, yaitu struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Chomsky
(dalam Purwo, 1996: 143) dan para pengikutnya telah mengusulkan
struktur batin yang abstrak. Semua struktur lahir bahasa-bahasa yang ada
di dunia ini diturunkan dari struktur batin. Konsep keuniversalan bahasa itu
adalah yang berkaitan dengan struktur batin yang hakiki pada manusia,
sedangkan keanekaragaman bahasa berkaitan dengan struktur lahir yang
dilihat dan didengarkan dalam keseharian. Bahasa berbeda antara satu
dengan yang lainnya tidak dapat dibantah, tetapi perbedaan itu terletak
pada struktur lahirnya.
Langacker (dalam Amaluddin, 1998: 21) berkomentar bahwa jika
anak yang dilahirkan diberikan kesempatan (chance), baik dari keturunan
(heredity) atau lingkungan (environment), maka anak akan memperoleh
bahasa secara alamiah pada tahun-tahun pertama dalam hidupnya.
Pemerolehan bahasa itu dapat diperoleh meskipun anak cacat jasmani
dan pemerolehan itu tidak memerlukan pengajar khusus.
Dardjowidjojo (2003: 630) mengatakan baik proses, tahap perkembangan,
maupun elemen-elemen bahasa yang perlahan dikuasai oleh anak
21
tampaknya sama di seluruh dunia ini, sehingga timbul pendapat bahwa
pemerolehan bahasa bersifat universal.
Seorang anak yang lahir dapat menguasai bahasa yang
bersentuhan dengan dirinya, dan hasilnya akan sama dengan penutur asli
bahasa itu. Hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu bawaan lahir (innate)
yang oleh Chomsky dikenal dengan istilah LAD yang menjadi bekal untuk
menguasai bahasa, unsur-unsur universal bahasa yang menjadikan
semua manusia mampu menguasainya, dan lingkungan yang memberikan
andil dalam pemerolehan bahasa.
4. Teori Pemerolehan Bahasa Anak
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap pemerolehan dan
perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan,
hipotesis, atau teori yang dianut. Dua pandangan yang kontroversial
dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang
berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada anak bersifat alamiah
(nature), pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan
bahasa pada anak bersifat “suapan” (nurture), dan pandangan yang ketiga
muncul di Eropa yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah
kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif sehingga
pandangannya dikenal dengan nama pandangan kognitivisme.
a. Pandangan nativisme. Nativisme berpendapat bahwa
kemampuan lingual anak-anak sedikit demi sedikit terbuka yang secara
genetis telah diprogramkan selama berlangsungnya proses pemerolehan
22
bahasa pertama. Nativis tidak menganggap lingkungan berpengaruh
dalam pemerolehan bahasa, tetapi berpendapat bahwa bahasa
merupakan pemberian biologis. Pandangan ini berpendapat bahwa
bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari
dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi,
dapat dipastikan ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa
yang sudah ada pada manusia secara alamiah.
Chomsky melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, melainkan
juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada
pengucapan atau pelaksanaan bahasa (performansi). Menurutnya,
bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat
menguasai bahasa manusia. pendapat tersebut didasarkan pada
beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang
diturunkan (genetic); pola perkembangan bahasa adalah sama pada
semua macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal);
dan lingkungan hanya memiliki peranan kecil di dalam proses
pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat,
anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara mirip dengan orang
dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data
secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa
(Rahim, 2011: 3).
Menurut Chomsky, sejak lahir anak telah dibekali secara alamiah
sebuah alat pemerolehan bahasa yang saat ini dikenal dengan istilah LAD
23
(language acquisition device). Alat yang merupakan pemberian biologis ini
menjadi karunia yang tak ternilai karena telah diprogramkan untuk merinci
butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD ini dianggap sebagai
suatu bagian filosofis dari otak yang dikhususkan untuk memroses
bahasa, dan tidak berkaitan dengan kemampuan kognitif yang lain
(Amaluddin, 1998: 26).
Berikut beberapa hasil pengamatan yang dilakukan para pakar
terhadap pemerolehan bahasa anak-anak.
1) Semua anak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja
“diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak
diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
2) Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan
anak.Artinya baik anak yang cerdas akan memperoleh bahasa itu.
3) Kalimat-kalimat yang didengar anak seringkali tidak gramatikal, tidak
lengkap, dan jumlahnya sedikit.
4) Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain. Hanya manusia
yang dapat berbahasa.
5) Proses pemerolehan bahasa oleh anak di mana pun sesuai dengan
jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa anak.
6) Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal.
Namun, dapat dikuasai anak dan lain waktu yang relative singkat,
yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
24
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa
manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan
dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu, karena sukar dibuktikan
secara empiris, maka pandangan ini mengajukan satu hipotesis yang
disebut hipotesis nurani (dibawa sejak lahir, berada di dalam, atau semula
jadi) (Rahim, 2011: 4).
b. Pandangan behaviorisme. Kaum behavioris menekankan
bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si
anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah
bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa
itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakan, dan
bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan salah satu
perilaku, di antara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu,
mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal, agar tampak lebih
mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.
Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami
bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak
dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak
memiliki peranan yang aktif di dalam proses proses perkembangan
perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui
peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak
mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa
25
terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh
lingkungannya.
Menurut Skinner, kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah
perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau
mengatakan sesuatu. Namun, jika anak sudah mampu berbicara,
bukanlah karena penguasaan kaidah (rule-governed) sebab anak tidak
dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara
langsung oleh faktor di luar dirinya. Mereka berpendapat rangsangan
(stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa
anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan
dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke
kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip
pertalian S – R (stimulus – respons) dan proses peniruan-peniruan. Para
pendukung teori ini memegang sebuah hipotesis yang dikenal dengan
istilah hipotesis tabularasa.
Tabularasa secara harfiah berarti kertas kosong, dalam arti belum
ditulisi apa-apa. Lalu, hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak
bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nantinya
akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada
mulanya dikemukakan oleh John Locke, seorang tokoh empirisme yang
sangat terkenal, kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson
seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
26
Seorang anak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa
ibunya, pada mulanya akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada
semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap berceloteh. Namun,
orang tua si anak itu hanya memberikan bunyi-bunyi yang ada dalam
bahasa ibunya saja. Jika tiruannya itu betul atau mendekati ucapan yang
sebenarnya, maka dia kan mendapat hadiah dari ibunya berupa
senyuman, tawa, ciuman, dan sebagainya. Perkembangan kemampuan
berbahasa selalu diperkukuh dengan hadiah-hadiah atau ganjaran-
ganjaran, sehingga menjadi tabiat atau perilaku pada kanak-kanak itu.
Menurut pandangan ini, bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau
perilaku-perilaku.
c. Pandangan kognitivisme. Menurut Jean Piaget
(dalam Rahim, 2006: 37), bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang
terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang
berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar maka
perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih
mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan
perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.
Piaget menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari bahasa
bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang
dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat
interaksi yang terus menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan
27
lingkungan kebahasaannya. Struktur itu timbul secara tak terelakkan dari
serangkaian interaksi.
Hubungan antara perkembangan kognitif dan perkembangan
bahasa pada anak dapat diketahui dari keterangan Piaget mengenai
tahap paling awal dari perkembangan intelektual anak. Tahap
perkembangan dari lahir sampai usia 18 bulan, oleh Piaget disebut
sebagai tahap sensori motor. Pada tahap ini dianggap belum ada bahasa
karena anak belum menggunakan lambang-lambang untuk menunjuk
pada benda-benda di sekitarnya. Anak pada tahap ini memahami dunia
melalui alat indranya (sensory) dan gerak kegiatan yang dilakukannya
(motor). Anak hanya mengenal benda jika benda itu dialaminya secara
langsung, jika benda tersebut menghilang dari penglihatannya maka
benda itu dianggap tidak ada lagi. Menjelang akhir usia satu tahun, saat
itulah anak itu dapat menangkap bahwa objek itu tetap ada (permanen),
meskipun tak terlihat olehnya.
Piaget memperkenalkan hipotesis kesemestaan kognitif untuk
memperkuat pandangan ini. Menurutnya, hipotesis ini telah digunakan
sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa
anak. Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa
diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-
stuktur ini diperoleh anak melalui interaksi dengan benda-benda atau
orang-orang di sekitarnya. Berikut menurut Rahim (2011: 9) urutan
pemerolehan bahasa secara garis besar.
28
1) Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak
mengembangkan pola-pola aksi dengan cara beraksi terhadap alam
sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-
struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini, kanak-
kanak mulai membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang
lazim disebut kekekalan benda.
2) Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap
representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7
tahun. Pada tahap ini, kanak-kanak telah mampu membentuk
representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik,
peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
3) Setelah tahap reperesentasi kecerdasan, dengan representasi
simboliknya berakhir, maka bahasa anak semakin berkembang, dan
dengan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur linguistik mulai
dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
5. Perkembangan Bahasa Anak
Perkembangan bahasa sebagai salah satu dari kemampuan yang
harus dimiliki anak, sesuai dengan tahapan usia dan karakteristik
perkembangannya. Perkembangan adalah suatu perubahan yang
berlangsung seumur hidup dan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
saling berinteraksi seperti biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Bahasa
adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi yang meliputi fonologi
(unit suara), morfologi (unit arti), sintaksis (tata bahasa), semantik (variasi
29
arti), dan pragmatik (penggunaan) bahasa. Dengan bahasa, anak dapat
mengomunikasikan maksud, tujuan, pemikiran, maupun perasaannya
pada orang lain.
Tahap perkembangan bahasa seseorang adalah suatu proses yang
berlangsung terus menerus dan melalui berbagai tahapan. Masing-masing
tahapan mengalami perkembangan ke arah bentuk bahasa yang lebih
sempurna. Perkembangan bahasa anak dapat terpengaruh oleh keadaan
dan situasi bahasa lingkungannya, sehingga seorang anak dalam
perkembangannya dapat mengenal bahasa lingkungan tempat anak
tersebut berada.
Bahasa adalah keterampilan khusus yang kompleks, berkembang
dalam diri anak secara spontan, tanpa usaha sadar atau instruksi formal,
dipakai tanpa memahami logika yang mendasarinya, secara kualitatif
sama dalam diri setiap orang, dan berbeda dari kecakapan-kecakapan
lain yang sifatnya lebih umum dalam hal memroses informasi atau perilaku
secara cerdas.
Perkembangan anak dalam fase-fase kehidupannya turut
berpengaruh dalam penelitian pemerolehan bahasa anak. Meskipun tidak
turut diamati, perkembangan anak tidak dapat dilepaskan dari
pemerolehan bahasa anak.
Pembahasan tentang perkembangan anak akan membantu dalam
penelitian pemerolehan bahasa. Dengan demikian, dengan membahas
perkembangan anak maka dapat diketahui cara seorang anak berbahasa,
30
cara mereka belajar berbahasa, dan kondisi yang menyebabkannya. Oleh
karena itu, sebelum membahas perkembangan pemerolehan bahasa
anak, secara singkat dikemukakan mengenai perkembangan motorik,
social, dan perkembangan kognitif anak.
a. Perkembangan motorik. Perkembangan motorik merupakan
perkembangan bayi sejak lahir yang paling tampak, yakni sebuah
perkembangan yang bertahap dari duduk, merangkak, sampai berjalan.
Tak lama setelah lahir, seorang bayi aan menghabiskan waktunya antara
14-18 jam untuk tidur, yang kemudian berangsur berkurang. Pada usia 3
atau 4 bulan bayi sudah mampu duduk sebentar dengan bantuan orang
dewasa. Pada usia 7 atau 8 bulan, bayi sudah mampu duduk tanpa
bantuan, dan menjelang usia 9 bulan, bayi mampu duduk selama 10 menit
bahkan lebih. Kemampuan merangkak terjadi pada usia 7 bulan, dan 1
atau 2 bulan kemudian, mulai tampak kemampuannya untuk berdiri
dengan bantuan orang dewasa atau berpegangan pada kursi. Pada usia
11 bulan, anak dapat berdiri sendiri, dan sekitar usia 13 bulan dia sudah
mampu berjalan sendiri (Rahim, 2011: 12).
Motor berarti gerak. Dua kemampuan bergerak yang paling banyak
diperhatikan para pakar adalah berjalan dan pengggunaan tangan
sebagai alat. Berjalan dan penggunaan tangan sebagai alat bergantung
pada pendewasaan. Namun, bantuan orang tua atau pengasuh dapat
membantu sedikit percepatan perkembangan motorik ini. Berbagai kajian
terhadap kemampuan anak-anak yang geraknya terbatas pada bulan-
31
bulan pertama dalam hidupnya menunjukkan bukti bahwa kekurangan
latihan tidak dapat mengubah urutan kejadian yang mengarah
ke kemampuan berjalan anak. Kalau kemampuan berjalan diperkaya,
diberi porsi lebih, mungkin kemampuan berjalan dapat diperoleh lebih dini;
tetapi urutan kemampuan tidak berubah (Rusyani, 2008).
Pemahaman penggunaan tangan sebagai alat juga mengikuti
urutan perkembangan yang dapat dipresiksi: gerakan dimulai dengan
gerakan kasar tangan bayi ke arah suatu objek untuk dimanipulasi.
Kemudian berkembang ke arah meraih dengan tangan secara sederhana,
menggenggam objek dengan telapak tangan. Berikutnya, anak meraih
dengan tangan diikuti dengan ketangkasan jari dan ibu jari, sampai anak
itu dapat menggunakan dua jari saja, misalnya memungut sebuah pensil.
Urutan kemampuan penggunaan tangan ini dikendalikan oleh
pendewasaan dari sistem saraf otak.
b. Perkembangan sosial dan komunikasi. Ada yang berpendapat
bahwa bayi sejak lahir hingga usia sekitar 2 tahun dianggap belum
mempunyai bahasa atau belum berbahasa. Kiranya ungkapan tersebut
belum mencerminkan perilaku bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun
dikatakan belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu sudah
berkomunikasi. Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk
berkomunikasi dengan dunia sekitarnya. Sesungguhnya, semenjak lahir,
bayi secara biologis sudah dapat berkomunikasi, dia akan tanggap
terhadap kejadian yang ditimbulkan orang disekitarnya (terutama ibunya).
32
Daya lihat bayi yang paling baik berada pada jarak kira-kira 20 cm (8 inci),
yakni jarak yang terjadi pada waktu interaksi rutin terjadi antara bayi dan
ibu, yaitu pada saat bayi menyusu pada ibunya. Kurang lebih 70% dari
waktu menyusu itu, sang ibu memandangi bayinya dalam jarak 20 cm.
Oleh karena itu, bayi akan membalas tatapan ibunya dengan melihat mata
sang ibu yan gmenarik perhatiannya. kemudian bayi juga belajar bahwa
terjadi saling tatap mata berarti ada komunikasi, antara bayi dan ibunya
(Rahim, 2011: 13).
Jangkauan pendengaran suara optimal yang dapat dilakukan bayi
berada dalam jangkauan frekuensi suara manusia. Tampaknya bayi lebih
senang mendengar suara manusia dibanding suara atau bunyi dari
sumber lain. Jika mendengar suara manusia, bayi akan berusaha mencari
sumber suara tersebut. Bila berhasil melihat wajah orang yg berbicara
dengannya, bayi akan tampak gembira. Hal ini berbeda jika suara yang
didengarnya bukan suara manusia, bayi tidak menampakkan reaksi
seperti saat bayi mendengar suara manusia.
c. Perkembangan kognitif. Istilah kognitisi berkaitan dengan
peristiwa mental yang terlibat dalam proses pengenalan tentang dunia,
yang melibatkan pikiran atau berpikir. Oleh karena itu, secara umum kata
kognisi dapat dianggap bersinonim dengan kata berpikir atau pikiran
(Rahim, 2011: 15). Piaget berteori bahwa anak-anak mengalami empat
masa utama pelaksanaan atau pemanfaatan kognitif. Masa-masa itu
33
adalah masa gerakan pancaindra, praoperasional, operasi kongkrit, dan
operasi formal.
1) Tahap sensomotorik merupakan tahap pertama dalam
perkembangan kognisi anak, dan berlangsung pada sebagian dari dua
tahun pertama dalam kehidupannya. Pada awal tahap ini, bayi belum
membedakan dirinya dari isi dunia lainnya, dan tingkah lakunya terbatas
pada penggunaan pola-pola respons baru, dan si bayi dapat membuat
gerakan-gerakan baru yang disengaja. Memori (daya ingat) yang belum
sempurna muncul bersamaan dengan beberapa antisipasi akan hal-hal
yang akan datang. Urutan perkembangan yang pertama adalah
kemampuan motorik. Kemudian, pada tahun kedua muncul koordinasi dari
kedua kemampuan awal ini.
2) Tahap praoperasional, cara berpikir anak masih kurang
operasional. Umpamanya, anak itu belum bisa menyadari bahwa jumlah
benda akan tetap sama, meskipun bentuk atau pengaturannya berubah.
Misalnya, dalam eksperimen pada seorang anak, dihadapkan dua buah
gelas yang besar dan bentuknya sama, dan keduanya sama-sama berisi
air penuh. Kemudianair dari salah satu gelas tersebut dipindahkan ke
sebuah silinder kaca yang bentuknya lebih kecil tetapi lebih tinggi dari
gelas itu. Air dalam silinder itu akan tampak lebih tinggi daripada yang ada
dalam gelas.
3) Tahap operasional konkret dilalui anak yang berusia sekitar tujuh
sampai menjelas sebelas tahun. Pada tahap ini, anak telah memahami
34
konsep konversi sehingga mereka tahu bahwa air yang ada dalam gelas
dan ada dalam silinder jumlahnya sama. Namun, anak tersebut tidak bisa
menjelaskan alasannya. Sama halnya jika anak diberi pertanyaan tentang
yang lebih berat antara besi satu kilogram dengan kapuk satu kilogram,
anak pada tahap praoperasional akan menjawab besi karena terkecoh
dengan fakta bahwa besi lebih berat daripada kapas. Sebaliknya, anak
pada tahap ini akan menjawab beratnya sama tapi tidak mampu
menjelaskan alasan dari jawabannya.
4) Tahap operasional formal dilalui setelah anak berusia sebelas
tahun ke atas, ketika sudah berpikir logis seperti halnya dengan orang
dewasa. Selama periode operasional formal ini, anak-anak mulai
menggunakan aturan-aturan formal dari pikiran dan logika untuk
memberikan dasar kebenaran jawaban-jawaban mereka.
d. Perkembangan bahasa. Bayi yang baru lahir sampai usia satu
tahun lazim disebut dengan istilah infant artinya tidak mampu berbicara.
Jika dikaitkan dengan kemampuan berkomunikasi, istilah ini kurang tepat
untuk digunakan, karena meskipun tanpa bahasa bayi sudah dapat
melakukan komunikasi dengna orang yang memeliharanya: misalnya
dengan tangisan, senyuman, atau gerak-gerik tubuh. Perkembangan
bahasa anak usia 1-2 tahun merupakan tahun kritis bagi anak setelah
melewati masa pralinguistik. Pada masa inilah anak mulai mengucapkan
kata-kata yang pertama. Oleh karena itu, orang dewasa di sekitar anak
35
diharapkan dapat memberikan contoh pengucapan/pelafalan kata atau
kalimat yang benar.
Perkembangan bahasa 3-5 tahun ketika anak sudah dapat
berbicara dengan baik. Anak mampu menyebutkan nama panggilan orang
lain, mengerti perbandingan dua hal, memahami konsep timbale balik dan
dapat menyajikan lagu sederhana, juga dapat menyusun kalimat
sederhana. Pada usia ini,anak mulai senang mendengarkan cerita
sederhana dan mulai banyak bercakap-cakap, banyak bertanya seperti
apa, mengapa, bagaimana, juga dapat mengenal tulisan sederhana.
Uraian tersebut memberikan pemahaman bahwa terdapat dua
daerah pertumbuhan bahasa, yaitu bahasa yang bersifat
pengertian/reseptif (understanding) dan pernyataan/ekspresif (producting).
Anak usia TK berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif.
Hal ini berarti bahwa anak telah dapat mengungkapkan keinginannya,
penolakannya,maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan.
Bahasa lisan sudah dapat digunakan sebagai alat komunikasi. Tanda-
tanda kesiapan anak untuk belajar membaca adalah anak telah mampu
memahami bahasa tulisan, anak sudat dapat mengucapkan kata-kata
dengan jelas, anak sudah dapat mengingat kata-kata, anak sudah dapat
mengucapkan bunyi huruf, anaksudah menunjukkan minat membaca, dan
anak sudah dapat membedakan suara/bunyi dan objek dengan baik.
36
6. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak
Setiap anak memperoleh kemampuan mengembangkan
keterampilan-keterampilan berbahasa dasar sebelum masuk sekolah,
meskipun terdapat perbedan individual dalam kecepatan memperolehnya.
Perkembangan bahasa meliputi dua komunikasi, lisan dan tulisan.
Kemampuan-kemampuan verbal berkembang sejak dini dan menjelang
usia 3 tahun, anak sudah menjadi pengoceh yang terampil. Pada akhir
masa usia dini, mereka dapat menggunakan dan memahami sejumlah
besar kalimat, dapat terlibat dalam pembicaraan yang berkelanjutan dan
mengetahui tentang bahasa tulisan. Sejak lahir hingga berusia sekitar usia
2 tahun, bayi memahami dunia mereka melalui panca indera mereka.
Pengetahuan mereka didasarkan pada tindakan-tindakan fisik, dan
pemahaman mereka terbatas pada kejadian-kejadian saat ini atau tidak
jauh dari waktu lampau.
Perkembangan usia seorang anak terjadi perkembangan bahasa
yang amat pesat, dari bayi yang belum dapat berbicara hingga usia 3
tahun yang sudah mulai mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Menurut Piaget dan Vygotsy (dalam Tarigan 1998), tahap-tahap
perkembangan pemerolehan bahasa anak adalah sebagai berikut.
a. Perkembangan pralinguistik (tahap meraban pertama).
Tahap pralinguistik ini dialami oleh anak berusia 0-5 bulan. Pembagian
kelompok usia ini sifatnya umum. Berikut adalahrincian tahapan
37
perkembangan anak usia 0-6 bulan berdasarkan hasil penelitian beberapa
ahli (Clark & Clark, 1977).
0-2 minggu, anak sudah dapat menghadapkan muka kea rah suara.
Mereka sudah dapat membedakan suara manusia dengan suara lainnya,
seperti bel, bunyi gemerutuk, dan peluit. Mereka akan berhenti menangis
jika mendengar orang berbicara.
1-2 bulan, anak sudah mampu membedakan suku kata, seperti (bu)
dan (pa), mereka bisa merespon secara berbeda terhadap kualitas
emosional suara manusia.
3-4 bulan, anak sudah dapat membedakan suara laki-laki dan
perempuan.
6 bulan, anak mulai memperhatikan intonasidan ritme dalam
ucapan. Pada usia ini mereka meraban (mengoceh) dengan suara
melodis.
Menurut Altmann (dalam Dardjowidjojo, 2000) bahwa sejak bayi
berumur 7 bulan dalam kandungan, sistem pendengarannya mulai
berfungsi. Walaupun bahasa itu tidak diturunkan manusia tetapi manusia
memiliki kemampuan kognitif dan kapasitas linguistik tertentu dan juga
kapasitas untuk belajar (Marat, 1983). dalam hali ini, peran orang tua,
keluarga, lingkungan, bahkan pengasuh anak sangat diperlukan dalam
proses pengembangan bahasa secara optimal.
b. Tahap satu kata (meraban kedua). Tahap ini, anak mulai aktif.
Secara fisik, ia sudah dapat melakukan, gerakan-gerakan seperti
38
memegang dan mengangkat benda atau menunjuk. Pada tahap ini, anak
terus menerus berupaya mengumpulkan nama-nama benda dan orang di
dunia. Akan tetapi, secara khusus, kosakata permulaan sang anak
mencakup tipe kata-kata lain juga. Kata-kata yang biasa dicari dan
ditemukan semisal kata tindak (seperti: pergi, datang, makan, minum,
duduk, tidur), ekspresi-ekspresi sosial (seperti: hei, helo), kata-kata
lokasional (seperti: di sini, di atas, di sana), dan kata-kata pemerian
(seperti: panas, dingin, besar, kecil). Dengan sejumlah kata yang relatif
terbatas, seorang anak dapat mengekspresikan berbagai ragam makna
dan relasi dalam berbagai konteks. Sampai akhir tahap satu kata, anak
dapat menggunakan nomina untuk memperkenalkan objek (misalnya:
buku gambar “permainan memberi nama” dengan orang dewasa, untuk
menarik perhatian seorang pada sesuatu, atau menyatakan sesuatu yang
diinginkannya. Kadang-kadang, menggunakan suatu nomina untuk
menyatakan penerima (misalnya seorang yang menerima sesuatu),
kadang-kadang menyatakan objek sesuatu tindakan, dan kadang-kadang
untuk menyatakan penerima (misalnya seseorang yang menerima sesuatu
dari anak itu).
Sang anak dapat menggunakan nomina untuk menyatakan lokasi
(misalnya: meja atau kotak sebagai tempat meletakkan sesuatu) atau
untuk menyatakan orang yang ada hubungannya dengan suatu objek
(misalnya: Papa, Mama). Perlu diperhatikan bahwa situasi pemakaian
kata tunggal tersebut sangat perlu diketahui oleh orang dewasa agar
39
dapat memberi interprestasi makna yang tepat. Situasi yang tepat perlu
bagi sang anak karena hanya pada saat situasi yang tepatlah sang anak
mampu menyampaikan makna kata yang dipakainya.
5-6 bulan. Dari segi komprehensi kemampuan bahasa anak
semakin baik dan luas, anak semakin mengerti beberapa makna kata,
misal: nama, larangan, perintah dan ajakan. Hal ini menunjukkan bahwa
bayi sudah dapat melakukan gerakan-gerakan seperti mengangkat benda
dan secara spontan memperlihatkannya kepada lRK lain
(Clark & Clark, 1977).
Menurut Tarigan (1985) tahap ini disebut juga tahap kata omong
kosong, tahap kata tanpa makna. Ciri-ciri lain yang menarik adalah
ocehan, seringkali dihasilkan dengan intonasi, kadang-kadang dengan
tekanan menurun yang ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Pada saat anak mulai aktif mengoceh, orang tua juga harus rajin
memberikan respon suara dan gerak isyarat anak. Menurut
Tarigan (1985), orang tua harus memberikan umpan balik auditori untuk
memelihara vokalisasi anak, maksudnya adalah agar anak tetap aktif
meraban. Sebagai langkah awal latihan ialah mengucapkan kata-kata
yang bermakna.
7-8 bulan. Pada tahap ini orang tua sudah bisa mengenalkan hal
baru bagi anaknya, artinya anak sudah bisa mengenal bunyi kata untuk
objek yang sering diajarkan dan dikenalkan oleh orang tuanya secara
berulang-ulang. Orang dewasa biasanya mulai menggunakan gerakan-
40
gerakan isyarat seperti menunjuk. Gerakan ini dilakukan untuk menarik
perhatian anak, karena ibu menunjukkan sesuatu dan menawarkan
sesuatu yang baru dan menarik (Clark & Clark, 1977).
Kemampuan anak untuk merespon umpan yang dikenalkan secara
berulang-ulang pun semakin baik, misal: melambaikan tangan ketika
ayahnya pergi, bertepuk tangan, dan sebagainya. Sama halnya anak-
anak, orang tua pun akan merasa puas dan gembira jika segala usaha
untuk mengajari anaknya akan mendapat respon. Artinya segala usaha
orang tua ketika mengatakan sesuatu, menunjukkan atau memperlihatkan
sesuatu pada anaknya; mendapat respon si anak karena anak paham dan
perkembangan bahasanya sesuai dengan perkembangan usianya.
8-12 bulan. Pada tahap ini, anak sudah dapat berinisiatif memulai
komunikasi. Ia selalu menarik perhatian orang dewasa, selain mengoceh
ia pun pandai menggunakan bahasa isyarat. Misalnya dengan cara
menunjuk atau meraih benda-benda.
Pada tahap ini, peran orang tua masih sangat besar dalam
pemerolehan bahasa pertama anak. Orang tua harus lebih aktif merespon
ocehan dan gerakan isyarat anak. Karena jika orang tua tidak memahami
yang dimaksudkan oleh anak, anak akan kecewa dan untuk masa
berikutnya, anak akan pasif dalam berkomunikasi dengan lingkungannya.
Menurut Marat (1983), anak pada tahap ini dapat mengucapkan
beberapa suku kata yang mungkin merupakan reaksi terhadap situasi
tertentu atau orang tertentu sebagai awal suatu simbolisasi karena
41
kematangan proses mental (kognitif). Dengan kata lain, kepandaian anak
semakin meningkat. Semakin pandai si anak, pada akhirnya
perkembangan meraban kedua telah tercapai. Anak akan mulai belajar
mengucapkan kata pada periode berikutnya yang disebut tahap linguistik.
c. Tahap linguistik. Jika pada tahap pralinguistik pemerolehan
bahasa anak belum menyerupai bahasa orang dewasa maka pada tahap
ini anak mulai bisa mengucapkan bahasa yang menyerupai ujaran orang
dewasa. Para ahli psikolinguistik membagi tahap ini ke dalam lima
tahapan, yaitu tahap linguistik pertama, tahap kalimat dua kata, tahap
pengembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa, dan
tahap kompetensi penuh.
1) Tahap linguistik pertama (holofrastik). Pada usia 1-2 tahun
masukan kebahasaan berupa pengetahuan anak tentang kehidupan di
sekitarnya semakin banyak, misal: nama-nama keluarga, binatang,
mainan, makanan, kendaraan, dan sebagainya. Faktor-faktor masukan
inilah yang memungkinkan anak memperoleh semantik (makna kata) dan
kemudian secara bertahap dapat mengucapkannya.
Tahap ini, anak mulai mengucapkan satu kata. Menurut
Tarigan (1985), ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut
holofrasa/holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan
frasa atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Tahap
holofrasa ini dialami oleh anak normal yang berusia sekita 1-2 tahun.
42
Waktu berakhirnya tahap ini tidak sama pada setiap anak. Ada anak yang
lebih cepat mengakhirinya, tetapi ada pula yang sampai umur 3 tahun.
Pada tahap ini, gerakan fisik menyentuh, menunjuk, mengangkat
benda dikombinasikan dengan satu kata. Seperti halnya gerak isyarat,
kata pertama yang digunakan bertujuan untuk member komentar terhadap
objek atau kejadian di dalam lingkungannya. Satu kata itu dapat berupa
perintah, pemberitahuan, penolakan, pertanyaan, dan lain-lain. Di
samping itu, menurut Clark & Clark (1977), anak berumur 1 tahun
menggunakan bahasa isyarat dengan komunikatif. fungsi gerak isyarat
dan kata manfaatnya bagi anak itu sebanding. Dengan kata lain, kata dan
gerak itu sama pentingnya bagi anak pada tahap holofrasa ini.
2) Tahap kalimat dua kata. Tahap ini, anak mulai mengucapkan
dua holofrasa dalam rangkaian yang cepat. Keterampilan anak pada akhir
tahapan ini semakin luar biasa. Komunikasi yang ingin anak sampaikan
adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu semua
sama seperti perkembangan awal yaitu: sana, sini, itu, lihat, mau, minta.
Selain keterampilan mengucapkan dua kata, ternyata pada periode ini
anak pun terampil melontarkan kombinasi antara informasi lama dan baru.
Pada tahap ini, tampak kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul
pada anak dikarenakan semakin bertambahnya perbendaharaan kata
yang diperoleh dari lingkungannya dan juga karena perkembangan
kognitif serta fungsi biologi pada anak.
43
3) Tahap pengembangan tata bahasa. Pada tahap ini,
perkembangan anak semakin luar biasa. Marat (1983) menyebutkan
perkembangan ini dengan kalimat lebih dari dua kata. Tahap ini, pada
umumnya dialami oleh anak usia sekitar 2,5 – 5 tahun. Anak mulai mampu
bercakap-cakap dengan teman sebayanya dan mulai aktif memulai
percakapan. Fase sebelumnya hingga tahap perkembangan dua kata
anak lebih banyak bergaul dengan orang tuanya, sedangkan pada tahap
ini, pergaulan anak semakin luas yang berarti menambah pengetahuan
dan perbendaharaan kata si anak.
Menurut Marat (1983), ada beberapa keterampilan mencolok yang
dikuasai anak pada tahap ini. Pada akhir tahap ini, secara garis besar,
anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya kaidah-kaidah tata bahasa
yang utama dari orang dewasa telah dikuasai. Perbendaharaan kata
berkembang, beberapa pengertian abstrak seperti: pengertian waktu,
ruang, dan jumlah yang diinginkan mulai muncul. Anak mulai mampu
membedakan kata kerja (misal: makan, minum, pergi, masak, mandi), kata
ganti (aku, saya), dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah, dan
sebagainya).
Fungsi bahasa untuk berkomunikasi mulai difungsikan, anak telah
mampu mengadakan konversasi (percakapan) dengan cara yang dapat
dimengerti oleh orang dewasa. Persepsi anak dan pengalamannya
tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain, dengan cara
memberikan kritik, bertanya, menyuruh, memberi tahu, dan lain-lain.
44
Tumbuhnya kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Gejala
ini merupakan cara anak untuk mempelajari perkataan baru dengan cara
bermain-main. Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada
tahap ini sedang berkembang pesat.
4) Tahap tata bahasa menjelang dewasa/pradewasa. Pada tahap
ini, anak mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang
agak lebih rumit. Misal, kalimat majemuk sederhana seperti di bawah ini:
mau nonton sambil makan kue.
Kemampuan menghasilkan kalimat-kalimatnya sudah beragam,
ada kalimat pernyataan/kalimat berita, kalimat perintah dan kalimat Tanya.
Kemunculan kalimat-kalimat rumit di atas menandakan adanya
peningkatan kemampuan kebebasan anak. Menurut Clark & Clark (1977),
pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
pikirannya ke dalam kata-kata yang bermakna. Hal ini karena anak
memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti: penguasaan struktur tata
bahasa, kosa kata, dan imbuhan.
Pada tahap ini, jika kata-kata seperti maaf, terima kasih, nada
bicara tertentu, dan lain-lain yang tidak dipahami, maka sulit bagi anak
untuk mengucapkannya. Peranan dan kesabaran orang tua, guru, atau
pengasuh anak sangat penting dalam tahap ini untuk membimbing dan
memberi contoh penggunaan kata-kata yang fungsional, kontekstual, dan
menyenangkan bagi anak. Untuk memperkaya kebahasaan anak, orang
tua atau guru dapat memulainya dengan mendongeng, bernyanyi, atau
45
bermain bersama anak disamping sesering mungkin mengajaknya
bercakap-cakap.
5) Tahap kompetensi penuh. Sejak usia 5 tahun, pada umumnya
anak-anak yang perkembangannya normal telah menguasai elemen-
elemen sintaksis bahasa ibunya dan telahmemiliki kompetensi
(pemahaman dan produktivitas bahasa) secara memadai. Walau
demikian, perbendaharaan kata yang dimiliki anak masih terbatas tetapi
berkembang/bertambah dengan kecepatan yang mengagumkan.
Menurut Tarigan (1998), salah satu perluasan bahasa sebagai alat
komunikasi yang harus mendapat perhatian khusus di sekolah dasar
adalah oengembangan baca tulis. Perkembangan baca tulis anakakan
menunjang dan memperluas pengungkapan maksud-maksud pribadi
anak, misal melalui tulisan catatan harian, menulis surat, jadwal harian,
dan sebagainya. Dengan demikian, perkembangan baca tulis di sekolah
dasar memberikan cara-cara yang mantap menggunakan bahasa dalam
komunikasi dengan orang lain dan juga dengan dirinya sendiri.
Pada masa perkembangan selanjutnya, yakni pada usia remaja,
terjadi perkembangan bahasa yang penting. Periode ini merupakan unsur
yang sensitive untuk belajar bahasa. Remaja menggunakan gaya bahasa
yang khas dalam berbahasa, sebagai bagian dari terbentuknya identitas
diri. Akhirnya pada usia dewasa terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat
besar antara individu yang satu dengan yang lain dalam hal
46
perkembangan bahasanya. Hal ini bergantung pada tingkat pendidikan,
peranan dalam masyarakat dan jenis pekerjaan.
7. Pemerolehan dalam Bidang Fonologi, Morfologi, Sintaksis, dan
Semantik
a. Pemerolehan dalam bidang fonologi. Penelitian pemerolehan
fonologi seharusnya dimulai dari sejak awal kehidupan seorang anak
untuk mengetahui fonem-fonem yang dihasilkannya pertama kali. Menurut
Winitz (dalam Simanjuntak, 1990: 8) pada umumnya semua bunyi (fonem)
telah diucapkan dengan sempurna oleh si anak setelah mencapai umur
delapan tahun. Dengan demikian, pemerolehan fonologi memerlukan
waktu yang panjang sampai anak menghasilkan bunyi dengan sempurna,
termasuk fonem yang dapat dihasilkannya pada usia dua tahun.
Menurut Kridalaksana (2007: 2), fonologi adalah ilmu tentang bunyi
pada umumnya fonetik sedangkan bunyi bahasa diteliti atau diuraikan
dalam fonologi. Fonologi meliputi dua bagian yaitu fonetik dan fonemik.
Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan
bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat
ucap manusia. Fonemik adalah bagian fonologi yang mempelajari bunyi
ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda arti. Bunyi ujaran yang
bersifat netral atau masih belum terbukti membedakan arti disebut fona,
sedangkan fonem adalah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan
arti. Variasi fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut
alofon. Gambar atau lambang fonem dinamakan huruf. Jadi, fonem
47
berbeda dengan huruf. Untuk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada
tiga unsur yang penting, yaitu udara, articulator atau bagian alat ucap
yang bergerak, dan titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik
sentuh artikulator.
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara
keluar tanpa rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan
menggerakkan udara keluar dengan rintangan. Rintangan dalam hal ini
adalah terhambatnya udara keluar oleh adanya gerakan atau perubahan
posisi artikulator.
Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak
dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar
70%. Perbedaan inilah yang menyebabkan binatang sudah mampu
melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya
bisa menangis dan menggerak-gerakkan badannya. Pada umur 6 minggu,
anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan
atau vokal. Bunyi-bunyi tersebut belum dapat dipastikan bentuknya karena
belum terdengar jelas. Sementara pada umur 6 bulan, anak mulai
mencampurkan konsonan dengan vokal sehingga membentuk
kata/frasa/kalimat yang dikenal dengan istilah babbling atau celotehan
(Darjdowidjojo 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti
oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan
bilalbial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/.
48
Pemerolehan fonologi adalah satu bagian dari pemerolehan bahasa
yang sering disebut perkembangan atau pertumbuhan bahasa
(Simanjuntak, 1990: 2). Simanjuntak mengatakan, pemerolehan fonologi
penting dikaji karena dengan pengajian tersebut para pakar dapat
menentukan teori bahasa yang tepat. Maksudnya, para pakar akan mudah
menentukan teori bahasa yang lebih kuat dengan adanya hasil dari kajian
pemerolehan fonologi tersebut.
Jacobson (dalam Purwo, 1996: 39) mengemukakan adanya
keuniversalan dalam bunyi-bunyi bahasa dan urutan pemerolehannya.
Menurutnya, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu
sendiri. Anak memperoleh bunyi-bunyi melalui suatu cara yang konsisten.
Bunyi pertama yang keluar dari anak adalah penggabungan antara vokal
dan konsonan. Dalam hal bunyi vokal ini, ada tiga vokal yang disebut
sebagai sistem vokal minimal yang sifatnya universal. Artinya, dalam
setiap bahasa ketiga vokal itu pasti ada, yaitu /a/, /i/, dan /u/. Selain vokal
universal tersebut, terdapat pula konsonan dasar yang sifatnya juga
universal dalam setiap bahasa dan termasuk konsonan yang pertama kali
muncul dalam ujaran anak-anak. Konsonan yanf dimaskud oleh
Schane (1992: 16) adalah /p/, /t/, dan /k/ yang dapat ditemui dalam tuturan
anak-anak seperti [papa], [kaka], [tata].
Pertama kali anak bersentuhan dengan dunia luar, kemudian akan
mendengarkan berbagai macam bunyi yang belum berarti bagi seorang
anak. Perlahan dalam perkembangannya anak dapat mengerti bunyi-
49
bunyi itu. Villiers dan Villiers (dalam Amaluddin, 1998: 43) mengatakan
bahwa untuk permulaan seorang anak harus membedakan bunyi ujaran
(speech sounds) dengan bunyi-bunyi lain yang ada di lingkungannya,
misalnya bunyi mendengkur, mendesah yang tidak relevan dengan
makna.
Umumnya, ujaran anak yang paling dini menurut Tarigan (1985:
273) adalah penyelangselingan antara KV (konsonan-vokal). Meskipun
anak menghasilkan semua vokal bahasa, namun secara khusus anak
tidaklah menghasilkan semua konsonan.
b. Pemerolehan dalam bidang morfologi. Morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari susunan bagian-bagian kata secara gramatikal
(Verhaar, 2008: 52). Ramlan (1985: 16) mengemukakan bahwa morfologi
ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk bentuk kata
serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan
arti kata; atau morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta
fungsinya perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik
maupun fungsi semantik.
Ramlan menyebutkan bahwa objek yang lazim disebut morfologi
adalah pembentukan kata, pengaruh pembentukan kata terhadap
golongan kata, dan pengaruh pembentukan kata terhadap arti kata. Dalam
pembentukan kata, harus dikaitkan dengan bentuk asal dan bentuk dasar,
berbagai imbuhan atau afiks, kata ulang, dan kata majemuk.
50
Morfologi adalah ilmu bahasa yang berisikan tentang seluk-beluk
kata dan proses pembentukannya. Morfem adalah satuan bentuk terkecil
yang dapat membedakan makna dan atau yang mempunyai makna.
Wujud morfem dapat berupa imbuhan, partikel, dan kata dasar. Dalam
buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk., 1993:342), partikel
-kah, -lah, -tah, diakui sebagai klitika. Klitika tidak sama dengan
imbuhan. Contoh partikel selain -kah, -lah, -tah, adalah –pun. Partikel-
partikel itu diakui sebagai morfem yang dapat membedakan arti.
Kata dasar tergolong sebagai morfem karena juga berfungsi
sebagai pembeda arti dan wujudnya hanya terdiri atas satu morfem. Kata
dasar bawa, rumah, main, tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk
yang lebih kecil. Sebaliknya, kata turunan terbawa, dirumahkan,
dipermainkan, adalah kata-kata kompleks yang dapat diuraikan lagi
karena morfemnya lebih dari satu.
Menurut bentuk dan arti, morfem dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu morfem bebas dan morfem terikat.
a. Morfem bebas. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai
potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk
kalimat, seperti:
1) Ia makan nasi 2) Halaman itu bersih.
Sekilas tampaknya morfem bebas ini sama dengan kata. Memang
begitu, morfem bebas sudah termasuk kata, tetapi konsep kata tidak
51
hanya morfem bebas, kata juga meliputi semua bentuk gabungan antara
morfem terikat dengan morfem bebas, morfem dasar dengan morfem
dasar. Jadi dapat dikatakan bahwa morfem bebas itu kata dasar. Sebuah
kata dapat dibentuk dengan penggabungan bermacam-macam morfem.
Penggabungan itu selalu mengikuti tata tingkat yang teratur. Oleh karena
itu, untuk menentukan proses pembentukan suatu kata, perlu dianalisis
unsur-unsur yang tergabung dalam kata tersebut.
Kata petani dibentuk dari unsur pe dan tani, dan kata perbuatan kata
ini terdiri atas 3 unsur yaitu per-, buat, dan -an. Kata perbuatan
mengandung ide yang berbeda dari kata perbuat dan buatan. Berarti
morfem pe- dan –an pada kedua kata yang terakhir ini tidak sama
fungsinya dengan morfem per-an pada kata perbuatan. Oleh sebab itu,
berarti kata perbuatan terbentuk dari unsur buat dan per-an. Analisis ini
disebut analisis unsur bawaan terdekat, dan disebut bentuk dasar.
b. Morfem terikat. Morfem terikat merupakan morfem yang
belum mengandung arti maka morfem ini belum mempunyai potensi
sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem ini harus digabung dengan
morfem bebas. Morfem terikat dalam bahasa Indonesia ada 2 macam,
yakni morfem terikat morfologi dan morfem terikat sintaksis.
1) Morfem terikat morfologi yakni morfem yang terikat pada sebuah
morfem dasar. Morfem itu sebagai berikut:
a) Prefiks = awalan: me-, ber, pe-, per-, se-, ke-
b) Infiks = sisipan : -er-, -el-, -em-
52
c) Sufiks = akhiran : -i, -kan, -an
d) Konfiks = imbuhan gabungan senyawa : per-an, ke-an, dan lain-
lain.
Morfem terikat morfologi mempunyai fungsi yang bermacam-macam.
a) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata kerja, yaitu: me-, ber-,
di-, -kan, -i dsb.
b) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata benda yaitu: pe-, ke-, -an,
per-an, -man, wati, -wan, dsb.
c) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata sifat, yaitu: ter-, -i, wiah,
iah.
d) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata bilangan, yaitu: ke-, se-.
e) Imbuhan yang berfungsi membentuk kata tugas, misalnya: se- dan
se-nya.
2) Morfem terikat sintaksis adalah morfem dasar yang tidak mampu
berdiri sendiri sebagai kata. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat berikut.
Mereka yang membaca dan menjual buku itu.
Dari deretan morfem yang terjadi unsur kata dalam kalimat di atas, jika
diklasifikasikan berdasarkan morfemnya adalah sebagai berikut.
Mereka, baca, jual, buku, adalah morfem bebas.
Me-, me- adalah morfem terikat morfologis.
yang, dan adalah morfem terikat sintaksis.
Hal ini terjadi karena kata yang, dan tidak mengandung makna
tersendiri.
53
c. Proses morfologis. Proses morfologis adalah penggabungan
morfem satu dengan morfem yang lain menjadi kata. Afiks adalah suatu
bentuk linguistik yang di dalam suatu kata merupakan unsur langsung,
yang bukan kata dan bukan pokok kata, melainkan mengubah leksem
menjadi kata kompleks, artinya mengubah leksem itu menjadi kata yang
mempunyai arti lebih lengkap, seperti mempunyai subjek, predikat dan
objek. Sedangkan prosesnya sendiri disebut afiksasi (affixation). Imbuhan
(afiks) adalah Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan
kata.
Pada umumnya imbuhan (afiks) hanya dikenal ada empat, yaitu
awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), awalan dan akhiran
(konfiks).
1) Prefiks (Awalan) ialah afiks (imbuhan) yang ditempatkan di bagian
muka dasar (mungkin kata dasar atau kata kompleks/jadian).
2) Sufiks (Akhiran) ialah morfem terikat yang digunakan di bagian
belakang kata atau dilekatkan pada akhir dasar.
3) Infiks (Sisipan) ialah afiks yang diselipkan atau dilekatkan di tengah
kata dasar.
4) Konfiks ialah gabungan prefiks dan sufiks yang dilekatkan sekaligus
pada awal dan akhir dasar.
5) Gabungan Afiks ialah gabungan prefiks dan sufiks yang ditambahkan
pada kata dasar tidak sekaligus.
54
Reduplikasi. Uhlenbeck (1982: 98) membedakan istilah duplikasi
dan reduplikasi. Duplikasi adalah proses pembentukan kata kompleks
dengan jalan pengulangan morfem secara penuh, misal: oleh-oleh.
Sedangkan reduplikasi adalah proses pembentukan kata kompleks
pengulangan morfem secara parsial, misal: membaca-baca. Hasil
perulangannya disebut ‘kata ulang’, sedangkan bentuk yang diulang
merupakan bentuk dasar. Misalnya, kata ulang: rumah-rumah dari bentuk
dasar rumah.
Komposisi atau compounding. proses komposisi ialah
penggabungan dua morfem bebas atau lebih untuk membentuk kata
kompleks. Kata kompleks yang terbentuk biasanya dinamakan kata
majemuk. Kata majemuk mempunyai ciri yang berbeda dengan frasa.
Adapun ciri-ciri kata majemuk yaitu memiliki makna dan fungsi baru yang
tidak persis sama dengan fungsi masing-masing unsurnya dan unsur-
unsurnya tidak dapat dipisahkan, baik secara fonologis, maupun secara
sintaksis.
c. Pemerolehan dalam bidang sintaksis. Brown dan Harlon (dalam
Nurhadi dan Roekhan, 1990) berkesimpulan bahwa kalimat awal anak
adalah kalimat sederhana, aktif, afirmatif, dan berorientasi berita. Setelah
itu, anak baru menguasai kalimat tanya dan ingkar. Berikutnya kalimat
anak mulai diwarnai dengan kalimat elips, baik pada kalimat berita, tanya,
maupun ingkar. Sedangkan menurut hasil pengamatan Brown dan Bellugi
terhadap percakapan anak, berkesimpulan bahwa ada tiga macam cara
55
yang biasa ditempuh dalam mengembangkan kalimat, yaitu
pengembangan, pengurangan, dan peniruan.
Menurut Chaer (2003: 39), sintaksis merupakan urutan dan
organisasi kata-kata (leksikon) yang membentuk frasa atau kalimat dalam
suatu bahasa menurut aturan dan menentukan hubungan antara pola-
pola bunyi bahasa itu agar sesuai dengan makna yang diinginkan. Dalam
bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu
kata (atau bagian kata). Satu atau sebagian kata ini, bagi anak merupakan
kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu
kata, dia hanya mengambil satu kata sebagai perwakilan dari sebuah
kalimat yang dimaksudkannya (Dardjowidjojo, 2003: 245). Jika ada
seorang anak yang bernama Caca dan bermaksud untuk menyampaikan
Caca mau makan, dia akan memilih kata mam (makan). Kalimat
diucapkan untuk memberikan informasi baru bagi pendengarnya, itulah
alasan anak memilih kata mam karena dari ketiga kata itu, kata mam
(makan) menjadi kata yang baru baginya. Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa dalam ujaran yang dinamakan ujaran satu kata (USK) (one word
utterance) anak tidak sembarangan saja memilih kata itu, dia akan
memilih kata yang memberikan informasi baru (Dardjowidjojo, 2003: 245).
Ketika anak mulai memasuki tahun kedua dalam hidupnya, maka
sangat jarang ditemukan kalimat tiga kata, yang lahir secara spontan dari
seorang anak. Kalimat dua kata yang sering dijumpai bahkan tidak jarang
dengan kalimat yang satu kata. Fenomena ini hampir terjadi bagi semua
56
anak dalam perkembangan pemerolehan kalimat (Amaluddin, 1998: 45).
Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang lebih singkat, terkadang
dengan frasa-frasa pendek, menggunakan bentuk-bentuk yang tidak tepat
dan salah mengartikulasikan beberapa bunyi.
Menurut Cahyono (1995: 292), rendahnya batas rentang ingatan
(memory span) untuk melakukan peniruan dan batas rentang
pemrograman (programming span) anak untuk menyusun kalimat
merupakan penyebab lain penciutan kalimat yang dituturkan anak dengan
kalimat yang anak dengarkan.
Purwo (1990: 114) mengatakan bahwa tahap penggabungan dua-
kata dimulai pada usia 18 bulan, yaitu anak mulai menggabungkan kata,
meskipun masih pula banyak menggunakan kalimat satu kata. Glucksberg
dan Danks (dalam Amaluddin, 1998: 49) berpendapat bahwa kalimat
pertama dengan ujaran dua-kata dimulai pada pertengahan tahun kedua.
Dengan pendapat yang sama, Smith berpendapat bahwa sekitar umur 18
bulan, seorang anak produksi pertamanya adalah kalimat dua-kata (two-
word sentences) dan pada tiga setengah tahun, anak terlihat dapat
menguasai semua kaidah penting dalam bahasanya. Demikian pula
pendapat Cahyono (1995: 289) bahwa tahap dua-kata mulai terjadi sekitar
18 – 20 bulan. Pada saat anak hampir berumur dua tahun, paduan kata
seperti “mama makan”, “ayah ikut” mulai muncul. Penafsiran tentang
paduan-paduan semacam itu sangat terkait erat dengan konteks ujaran
pada saat diucapkan, sehingga frasa “mama makan” dapat ditafsirkan
57
sebagai pernyataan (mama sedang makan) bergantung pada konteks
yang berbeda-beda. Pada usai dua tahun, anak telah memiliki lebih dari
50 kata (Amaluddin, 1998: 50).
d. Pemerolehan dalam bidang semantik. Pemerolehan semantik
menurut Chaer (2009: 41) ialah bagian kalimat memilih makna yang
tergantung pada makna leksikal kata, urutan kata dalam organisasi
kalimat, konteks situasi kalimat diucapkan, kalimat sebelum dan sesudah
yang menyertai.
Perkembangan pemerolehan makna bagi anak-anak, tampaknya
bersifat umum sebelum menjadi makna objek yang dimaksudkan.
Misalnya, Clark (dalam Amaluddin, 1998: 51) memberikan contoh bahwa
dalam kenyataannya, anak yang masih kecil menyebut semua binatang
yang berkaki empat dengan sebutan doggie dengan penjelasan bahwa
bagi seorang anak yang masih kecil, kata doggie hanya memiliki cirri-ciri
[nonhuman], [animal], dan [four-legged]. Clark dan Clark juga
mengemukakan bahwa anak-anak menggunakan kata bow-bow untuk
menggolongkan kuda, sapi, dan kucing ke dalam gabungan anjing.
Luput dari perhatian orang dewasa tentang cara menguasai makna
bahasa, sehingga menganggap bahwa pemerolehan makna bagi anak
adalah suatu proses alamiah yang akan dilalui oleh semua anak yang
tumbuh dan berkembang. Menurut Dardjowidjojo (2000: 72) bahwa
pemerolehan makna dalam bahasa anak adalah masalah yang sangat
rumit. Jika dibayangkan cara seorang anak dapat membedakan anjing,
58
kucing, kambing, dan sapi, atau ayam, bebek, dan angsa, antara binatang
ini dan anak-anaknya.
Pemerolehan makna lebih banyak ditentukan oleh kematangan
daya kognitif dan lingkungan. Proses menuju kedewasaan menambah
kemampuan untuk mengamati dan menyerap fenomena alam sekitar,
lingkungan memberikan bahan masukan untuk mengelompokkan atau
memilah satu fenomena dari yang lainnya. Dengan dasar yang seperti ini,
anak akan perlahan memberikan makna bagi aktivitas, keadaan, dan
benda di sekitarnya.
Clark (dalam Amaluddin, 1998: 52) mengemukakan bahwa kata-
kata yang didengar oleh anak-anak adalah kata-kata yang baru bagi
mereka. Anak-anak tidak dilahirkan dengan leksikon mental yang siap
pakai. Anak-anak menggambarkan leksikon sebagian dari pemerolehan
bahasa, dan memberikan makna kata-kata baru yang digunakannya. Bagi
orang dewasa, menemukan makna kata-kata baru dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu bertanya kepada seseorang, membuka
kamus, dan atau melihat arti kata-kata sesuai dengan konteks berbahasa.
Masalah seperti ini hanya ditemui pada saat-saat tertentu, tetapi bagi
anak-anak masalah seperti ini sering dijumpai sepanjang waktu. Pada
usia satu tahun atau dua tahun, anak-anak tidak dapat menggunakan cara
seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, tetapi mereka dapat
menggunakan makna berdasarkan konteks.
59
Pemerolehan makna berjalan seiring dengan pemerolehan bahasa.
Ditinjau lebih jauh tentang perkembangan bahasa anak, tampak bahwa
sebelum anak dapat menirukan atau mengucapkan kata-kata yang
bermakna ataupun yang tidak bermakna yang didengarkannya, anak telah
mempelajari arti dari kata-kata itu, sehingga lahir konsep dalam
kognisinya. Menurut Simanjuntak (1990: 25), dikatakan bahwa dalam
pemerolehan bahasa anak, arti atau maknalah yang lebih dahulu
diperoleh anak. Hal ini diketahui karena anak pada umur sektar 10 bulan,
bahkan lebih muda dari itu, sudah mampu memahami kalimat-kalimat
pendek yang diucapkan padanya, meskipun anak belum mampu
menirukan atau menuturkan kalimat itu.
Pada dasarnya, sulit memaknai setiap tuturan yang diproduksi oleh
anak. Hal ini dikarenakan organ-organ alat ucap belum memiliki
kematangan penuh, namun tidak berarti yang anak ucapkan sebelumnya
tidak memiliki makna. Cruttenden (dalam Amaluddin, 1998: 53)
mengatakan bahwa menjelang akhir dari tahun pertama dalam hidup,
seorang anak mulai menghasilkan ucapan yang memiliki makna.
Purwo (1996: 132) juga mengatakan bahwa di seluruh dunia, anak-anak
pada usia satu tahun sudah mulai mengeluarkan kata-kata yang dapat
dipahami.
8. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang
lambat, sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi
60
oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Piaget,
Lenneberg dan Slobin berikut ini:
a. Faktor alamiah. Setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur
bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice
(LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah
mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini
sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka anak tidak dirangsang
untuk mendapatkan bahasa, anak akan mampu menerima yang terjadi di
sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah
pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti
dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur yang dibawa sejak lahir
itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.
b. Faktor perkembangan kognitif. Perkembangan bahasa
seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki
hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya
dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan
berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam
lingkup interaksi sosial.
Piaget (dalam Rusyani, 2008) mengartikan kognitif sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan
merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk,
kegiatan kognitif, aktivitas mental, mengingat, memberi simbol,
mengkategorikan atau mengelompokkan, memecahkan masalah,
61
menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya dengan
mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan
bahasa seseorang.
Menurut Lenneberg, dalam usia dua tahun (kematangan kognitif)
hingga usia pubertas, otak manusia itu masih sangat lentur
yang memungkinkan seorang anak untuk memperoleh bahasa pertama
dengan mudah dan cepat. Lanjut Lenneberg, pemerolehan bahasa secara
alamiah sesudah pubertas akan terhambat oleh selesainya fungsi-fungsi
otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian otak sebelah kiri.
Piaget memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan
konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri
yang terus menerus. Anak-anak sewaktu bergerak menjadi dewasa
memperoleh tingkat pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu
menjadi meningkat lebih kuat. Piaget berpendapat bahwa kemampuan
merepresentasikan pengetahuan itu adalah proses konstruktif
yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang lama terhadap
lingkungan. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental
anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar
atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal
dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara
aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya
mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilanketerampilan berbahasanya menurut strategi-strategi
62
persepsi yang dimilikinya. Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak
sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan
bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum
anak itu.
c. Faktor latar belakang sosial. Latar belakang sosial mencakup
struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya
memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa
anak (Rusyani, 2008). Semakin tinggi tingkat interaksi social sebuah
keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak) memperoleh
bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah
keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak)
memperoleh bahasa.
Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang
berasal dari golongan status social ekonomi rendah rnenunjukkan
perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan
keluarganya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga yang
sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio, sawah, cangkul, kapak, atau
pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa
ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan anak yang
berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan
memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, dvd player,
laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut
63
merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya
sehari-hari.
Perbedaan dalam pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa
kelompok menengah lebih dapat mengeksplorasi dan menggunakan
bahasa yang eksplisit dibandingkan dengan anak-anak golongan bawah,
terutama pada dialek mereka. Kemampuan anak berinteraksi dengan
orang lain dengan cara yang dapat dipahami penting intinya untuk menjadi
anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan
diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan
yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya ketimbang anak
yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.
d. Faktor keturunan. Faktor keturunan meliputi:
1) Intelegensia. Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi
oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang
dimiliki anak dalam mencerna sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak
memiliki struktur otak yang mencakup IQ yang berbeda antara satu
dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat
memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat
memperoh bahasa.
2) Kepribadian dan gaya/cara pemerolehan bahasa. Kreativitas
seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan perolehan
bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian
seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur
64
bahasa. Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa
pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya.
Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap
tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa.
Piaget (dalam Rusyani, 2008), mengklasifikasi perkembangan
bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban (Pralinguistik
0,0-0,5) Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua: Kata
Nomsens, (c) tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-
2,0), (d)Tahap Linguistik II Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik
III. Pengembangan Tata Bahasa (3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata
Bahasa Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g) Tahap Linguistik V Kompetensi
Penuh (5,0-....).
Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan
bunyi secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah
dapat mengoceh atau membabel dengan pola suku kata yang
diulang-ulang, bahkan menjelang usia 1 tahun anak sudah mulai
mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan.
Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan
serangkaian bunyi ujaran yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang
bermakna. Pada tahap linguistik II kosakata anak mulai berkembang
dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri atas dua kata dan
mengandung satu konsep kalimat yang lengkap. Pada tahap linguistik III
anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang diungkapkan
65
biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun
kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada
penggunaan infleksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang
terakhir anak sudah memiliki kompetensi penuh dalam berbahasa.
C. Kerangka Pikir
Psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan bahasa
oleh manusia. Menurut Levelt, ada 3 bidang kajian utama psikolinguistik,
yaitu psikolinguistik umum, psikolinguistik perkembangan, dan
psikolinguistik terapan. Psikolinguistik umum merupakan studi tentang
pengamatan/persepsi orang dewasa terhadap bahasa dan proses
memroduksi bahasa, juga mengenai proses kognitif yang mendasari pada
waktu sesorang menggunakan bahasa. Psikolinguistik perkembangan
adalah studi psikologi mengenai perolehan bahasa pada anak-anak dan
orang dewasa, baik perolehan bahasa pertama (bahasa ibu) maupun
bahasa kedua. Psikolinguistik terapan merupakan aplikasi dari teori-teori
psikolinguistik dalam kehidupan sehari-hari pada orang dewasa maupun
anak-anak.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses
yang berlaku di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa
ibunya. Dalam proses pemerolehan bahasa anak dipengaruhi oleh
perkembangan anak yang meliputi perkembangan motorik, perkembangan
66
sosial dan komunikasi, perkembangan kognitif dan perkembangan
bahasa.
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap pemerolehan dan
perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan,
hipotesis, atau teori yang dianut. Adapun pandangan yang dimaksudkan
yaitu pandangan nativisme, pandangan behaviorisme, dan pandangan
kognitivisme. Pandangan nativisme berpendapat bahwa kemampuan
lingual anak-anak sedikit demi sedikit terbuka yang secara genetis telah
diprogramkan selama berlangsungnya proses pemerolehan bahasa
pertama. Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses
pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh
rangsangan yang diberikan melalui lingkaran. Pandangan kognitivisme
menekankan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah,
melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif.
Urutan perkembangan pemerolehan bahasa anak terbagi atas tiga
bagian, yaitu tahap pralinguistik, tahap satu kata, dan tahap linguistik.
Selanjutnya, tahap linguistik terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu
tahap linguistik pertama, tahap kalimat dua kata, tahap pengembangan
tata bahasa, tahap tata bahasa pradewasa, dan tahap kompetensi penuh.
Proses pemerolehan dan penguasaan bahasa anak-anak
merupakan suatu perkara yang cukup menakjubkan. Berbagai teori dari
bidang disiplin yang berbeda telah dikemukakan oleh para pengkaji untuk
67
menerangkan proses pemerolehan ini berlaku dalam kalangan anak-anak.
Pemerolehan dalam bidang fonologi pada anak meliputi kemampuan anak
menghasilkan bunyi-bunyi bahasa yang berupa vokal dan konsonan
walaupun belum dalam bunyi yang sempurna. Pemerolehan dalam bidang
sintaksis pada anak adalah pemerolehan unsur bahasa pada anak yang
meliputifrasa, klausa, dan kalimat, beserta intonasinya. Pemerolehan
dalam bidang semantik dilakukan seorang anak dengan mengamati dan
mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di
lingkungannya.
68
Bagan 2.1 Kerangka Pikir
Pemerolehan Bahasa Anak Perkembangan Anak
Pandangan Nativisme
Pandangan Behaviorisme
Pandangan Kognitivisme
Motorik
Sosial dan Komunikasi
Kognitif
Bahasa
Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak
Tahap Linguistik
- Tahap Dua Kata
- Tahap Tiga atau Lebih Kata
Pemerolehan dalam Bidang
- Fonologi
- Morfologi
- Sintaksis
- Semantik
Faktor yang Memengaruhi
Pemerolehan Bahasa Anak
69
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data yang terkumpul
dari informan pada usia 2 tahun, kemudian dianalisis berdasarkan
bidang-bidang pemerolehan bahasa dan selanjutnya diuraikan secara
kualitatif.
Penelitian ini termasuk desain penelitian longitudinal, yaitu dengan
cara mengikuti perkembangan pemerolehan bahasa informan dari suatu
titik tertentu sampai ke titik waktu yang lain.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah desa Takkalasi kecamatan
Maritengngae kabupaten Sidenreng Rappang provinsi Sulawesi Selatan.
Alasan menetapkan lokasi ini, karena peneliti dan subjek dalam penelitian
ini berada pada lokasi tersebut sehingga interaksi antara peneliti, subjek
penelitian dan informan dapat setiap saat, khususnya dalam menjaring
setiap data yang dibutuhkan.
70
2. Waktu penelitian
Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 6 bulan.
Pengumpulan data dilakukan sejak Februari 2015 hingga Juli 2015.
Analisis data dilakukan pada bulan Agustus 2015.
C. Unit Analisis dan Penentuan Informan
1. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang
diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Dapat diartikan juga sebagai
fokus atau komponen yang diteliti. Dalam penelitian ini, unit analisisnya
adalah seorang anak perempuan usia 2 tahun bernama Syafiiqah, lahir di
desa Lakessi tanggal 25 Maret 2013. Anak tersebut merupakan anak dari
kakak peneliti dan tinggal serumah dengan peneliti, sehingga
memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
2. Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini adalah ibu, bapak, nenek, kakek,
tante, om, dan sepupu-sepupu yang menjadi teman bermain dari anak
yang menjadi subjek dalam penelitian ini.
71
D. Teknik Pengumpulan Data
Salah satu metode yang diperkenalkan oleh Sudaryanto
(1993: 136) adalah metode simak, yaitu menyimak setiap kata yang
dituturkan informan dalam pengumpulan data penelitian ini. Berikut ini
teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.
1. Tenik rekaman
Teknik rekaman yaitu data dikumpulkan secara naturalistik (data
alamiah) yang tidak bersifat menuntun informan atau seolah-olah
memaksa ia untuk mengatakan sesuatu, tetapi sering berikan stimulus
untuk mendapatkan respon untuk berbicara. Kegiatan ini dipilih waktu
tertentu pada saat informan senang dan mau berbicara. Alat yang
digunakan adalah alat perekam digital.
2. Teknik catat
Teknik ini tak bisa lepas dari teknik rekaman, karena terkadang
informan melahirkan ujaran-ujaran yang tidak diprogramkan untuk
direkam, tetapi muncul pada saat itu sehingga ujaran tersebut harus
dicatat dalam suatu buku yang telah disiapkan. Hal ini dilakukan karena
tidak mungkin menyuruh informan untuk mengulangi ujaran tersebut.
Kedua teknik ini digunakan secara bersama-sama sesuai dengan
keadaan yang memungkinkan.
72
E. Teknik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul, yaitu ketika informan berusia
2,0 – 2,5 tahun, maka semua data baik dalam bentuk rekaman maupun
catatan itu ditranskipsikan dan dikelompokkan ke dalam bidang-bidang
pemerolehan bahasa disertai dengan uraian tentang data yang diperoleh
itu. Hasil dari pemerolehan baik pemerolehan fonologi, sintaksis, atau
semantik/makna akan diklasifikasikan pula ke dalam tahap pemerolehan
setiap bidang tersebut.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan
Pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini antara
mengaitkan teori perkembangan dan pemerolehan bahasa pada anak usia
2,0 – 2,5 tahun dengan hasil analisis data yang ditemukan dari informan,
dengan menyertakan bukti dokumentasi berupa video, gambar, dan
catatan selama penelitian berlangsung.
73
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Penelitian
Makna fungsi dalam pemerolehan bahasa anak adalah makna
tuturan yang disampaikan oleh anak. Bentuknya adalah bunyi atau
ucapan yang dikeluarkan oleh anak baik dalam bentuk lengkap maupun
dalam bentuk tidak lengkap. Konteksnya adalah keseluruhan yang
melatari tuturan tersebut, seperti orang (orang tua, pengasuh, dan orang
lain di sekitar anak), tempat (kamar tidur, ruang makan, teras, dan
ruangan lainnya), suasana (dingin, panas, gembira, tenang, dan
sebagainya), dan lainnya yang memengaruhi tuturan anak.
Hasil temuan peneliti yang dilakukan terhadap seorang anak yang
bernama Syafiiqah pada tahap linguistik. Data ini dikumpulkan selama
lebih kurang 6 bulan. Berikut disajikan tuturan dalam percakapan antara
anak yang dijadikan objek penelitian dengan orang-orang disekitarnya.
1. Data “inantu itu”, “boyatu itu”, “tattu itu”, “ayung tu itu” (Rabu, 25
Februari 2015 pukul 16.12)
Sore hari, Fiqah tengah bermain bersama sepupunya di teras rumah. Segala jenis yang mainan yang dimilikinya, dikeluarkan di teras untuk bermain dengan sepupunya. Tetapi Fiqah, tidak ingin meminjamkan mainannya kepada sepupunya, ia hanya ingin ditemani bermain saja. Fadhil : “Pinjam ini, Dek.” (menunjuk salah satu mainan milik
fiqah) Fiqah : “Inantu itu” (mengambil mainan yang ditunjuk Fadhil) Firda memegang salah satu bola mainan milik Fiqah Fiqah : “Boyatu itu”
74
Firda melepaskan bola mainan itu, kemudian meraih tas mainan milik Fiqah. Fiqah : “Tattu itu” (Mengambil bola dan tas yang dipegang oleh
Firda) a. Fonologi :
Tuturan “inantu”, anak belum memperoleh fonem /m/ pada
awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/, sehingga
tuturan yang terdengar untuk kata “mainanku” adalah
“inantu”.
Tuturan “boyatu” mengubah fonem /l/ menjadi /y/, fonem /k/
menjadi /t/ sehingga terdengar “boyatu” untuk kata “bolaku”.
Tuturan “tattu” mengubah fonem /s/ menjadi /t/, sehingga
tuturan yang seharusnya “tasku” karena ada perubahan
fonem sehingga terdengar “tattu”.
b. Morfologi :
Tuturan “inantu itu” terdiri dari dua kata, yaitu:
inantu (mainanku), tiga morfem: main, satu morfem -an, satu morferm -ku, satu morfem
itu, satu morfem
Tuturan “boyatu” terdiri dari satu kata, yaitu:
boyatu (bolaku), dua morfem: bola, satu morfem -ku, satu morfem
Tuturan “tattu” terdiri dari satu kata, yaitu:
tattu (tasku), dua morfem: tas, satu morfem -ku, satu morfem
75
c. Sintaksis :
Tuturan “inantu itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“mainan itu milikku / milik fiqah”
Tuturan “boyatu itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“bola itu milikku / milik fiqah”
Tuturan “tattu itu”, yang dimasksudkan adalah kalimat “tas
itu milikku / milik fiqah”
d. Semantik :
Percakapan itu menjelaskan bahwa Fiqah memiliki rasa
egois yang tinggi, meski ia belum memahami bahwa yang
dilakukannya ini merupakan hal yang kurang baik. Dia tidak
ingin meminjamkan mainannya kepada teman mainnya,
dalam hal ini sepupu-sepupunya, tetapi dia juga tidak ingin
teman mainnya itu meninggalkannya bermain sendiri.
2. Data “uca acu”, “oco ayah” (Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 14.53)
Siang menjelang sore hari, ketika itu tante Uli baru tiba dari sekolah. Fiqah : “Uca acu” Tante Uli : “Apa ta bilang?” Fiqah : “Uca acu” Tante Uli : “Ooo siapa yang rusak kasur?” Fiqah : “Oco ayah”
a. Fonologi :
Tuturan “uca”, anak belum memperoleh fonem /r/ pada awal
kata dan fonem /k/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /s/
menjadi /c/, sehingga kata “rusak” terdengar “uca”.
76
Tuturan “acu” anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal
kata dan fonem /r/ pada akhir kata dan mengubah fonem /s/
menjadi /c/, sehingga kata “kasur” terdengar “acu”.
Tuturan “oco”, anak belum memperoleh fonem /r/ pada awal
kata dan fonem /k/ pada akhir kata dan mengubah fonem /k/
menjadi /c/ dari kata “rokok”.
b. Morfologi :
Tuturan “uca acu” terdiri dari dua kata masing-masing satu
morfem, yaitu:
uca (rusak), satu morfem acu (kasur), satu morfem
Tuturan “oco ayah” terdiri dari dua kata masing-masing satu
morfem, yaitu:
oco (rokok), satu morfem ayah, satu morfem
c. Sintaksis :
Kata “uca acu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “kasurnya
sudah rusak”
Kata “oco aya”, yang dimaksudkan adalah kalimat “rokok
ayah penyebab rusaknya kasur”.
d. Semantik :
Percakapan tersebut bermakna pemberian informasi dari
Fiqah kepada tantenya bahwa kasurnya rusak dikarenakan
rokok ayahnya.
77
3. Data “itutta olah”, “ayah angung”, “antatta ulu” (Senin, 2 Maret 2015
pukul 08.12)
Pagi itu, Fiqah baru saja bangun, tante Uli sedang siap-siap ke sekolah. Tante Uli : “Siapa mau ikut ke sekolah?” Fiqah : “Itutta olah” Tante Uli : “Kasi bangun dulu ayah antar ki.” Fiqah : (Berlari menuju kamarnya) “ayah angung” Ayah Fiqah : “Tunggu dulu, nak!” Fiqah : “Antatta ulu” Ayah Fiqah : “Mau ki kemana?” Fiqah : “Olah, Uwi”
a. Fonologi :
Tuturan “itutta” mengubah fonem /k/ menjadi /t/, sehingga
tuturan yang seharusnya “ikut ka” menjadi “itutta”.
Tuturan “olah”, anak belum memperoleh fonem /s/ pada awal
kata, fonem /k/ pada tengah kata, dan menghilangkan
fonem /e/, sehingga kata “sekolah” menjadi “olah”.
Tuturan “angung”, anak belum memperoleh fonem /b/ pada
awal kata, dan mengganti fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata
“bangun”.
Tuturan “antatta” mengubah fonem /r/ menjadi /t/, dan fonem
/k/ menjadi /t/, sehingga tuturan yang seharusnya “antarka”
menjadi “antatta”.
b. Morfologi :
Tuturan “itutta olah” terdiri dari dua kata, yaitu:
itutta (ikutka), dua morfem: ikut, satu morfem -ka, satu morfem
78
olah (sekolah), satu morfem
Tuturan “ayah angung” terdiri dari dua kata yang masing-
masing memiliki satu morfem, yaitu:
ayah, satu morfem angung (bangun), satu morfem
Tuturan “antatta ulu” terdiri dari dua kata, yaitu:
antatta (antarka), dua morfem: antar, satu morfem -ka, satu morfem ulu (dahulu), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “itutta olah”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“saya ingin ikut ke sekolah”.
Tuturan “ayah angung”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“ayah cepat bangun”
Tuturan “antatta ulu”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“antar dulu ke sekolah”.
d. Semantik :
Percakapan tersebut menjelaskan bahwa Fiqah ingin ikut ke
sekolah tapi harus diantar dengan motor oleh ayahnya, jadi
ia harus membangunkan ayahnya sebelum ditinggalkan oleh
tante Uli.
4. Data “bobo ulu”, “anyang mi” (Rabu, 4 Maret 2015 pukul 17.31)
Sore itu, Fiqah dan Ayahnya pulang dari rumah Zahir. Fiqah setibanya di rumah. Fiqah : “Ape cica.” Mama Fiqah : “Capek ki, nak?”
79
Fiqah : “bobo ulu” (berbaring di dekat ibunya) Mama Fiqah : “Dibuatkan ki susu, nak?” Fiqah : “Anyang mi” (memegang perutnya)
a. Fonologi :
Tuturan “bobo”, tuturan yang sempurna, lengkap, tidak ada
fonem yang hilang dan tidak ada pula yang diubah.
Tuturan “ulu”, anak belum memperoleh fonem /d/ pada awal
kata “dulu”.
Tuturan “anyang”, anak belum memperoleh fonem /j/ pada
awal kata, dan mengubah fonem /ng/ menjadi /ny/, fonem /n/
menjadi /ŋ/, sehingga kata “jangan”, terdengar menjadi
“anyang”.
b. Morfologi :
Tuturan “bobo ulu” terdiri dari dua kata yang masing-masing
terdiri dari satu morfem, yaitu:
bobo (tidur), satu morfem ulu (dahulu), satu morfem
Tuturan “anyang mi” terdiri dari satu kata, yaitu:
anyang mi (jangan mi), dua morfem: anyang, satu morfem -mi, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ape cica”, yang dimaksudkan adalah “fiqah lelah,
capek”
Tuturan “bobo ulu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “bobo
dulu sejenak”
80
Tuturan “anyang mi”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“jangan, tidak usah, masih kenyang”.
d. Semantik :
Percakapan ini menyatakan bahwa Fiqah lelah dari bermain,
ia butuh istirahat, Mamanya sempat menawarkan susu
untuknya tapi Fiqah menolaknya dengan memegang
perutnya bermaksud menyampaikan bahwa ia masih
kenyang, sepertinya ia hanya butuh istirahat sejenak. Kata
bobo dulu dimaksudkan untuk berbaring sejenak.
5. Data “mau ta itut”, “inca allah” (Kamis, 5 Maret 2015 pukul 08.35)
Pagi hari, Mama tua (Nenek Fiqah) bersiap-siap merias wajah hendak ke acara pengantin. Fiqah duduk, diam memperhatikan neneknya. Mama Tua : “Siapa mau ikut?” Fiqah : “Mau ta itut.” Mama Tua : “Mau ki ikut, nak?” Fiqah : “Inca Allah.”
a. Fonologi :
Tuturan “mau ta itut", mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari
kata “ikut”.
Tuturan “inca allah”, mengubah fonem /sy/ menjadi /c/ dari
kata “insyaAllah”
b. Morfologi :
Tuturan “mau ta itut” terdiri dari dua kata, yaitu:
mau ta (mauka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem
81
Tuturan “inca allah” terdiri dari dua kata yang masing-
masing terdiri dari satu morfem, yaitu:
inca (in sya), satu morfem Allah, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mau ta itut”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“saya ingin ikut”
Tuturan “inca allah”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“InsyaAllah”
d. Semantik :
Percakapan tersebut, Fiqah mampu mengucapkan kata
InsyaAllah, yang kemungkinan diperolehnya dari
kebiasaannya mendengar orang-orang disekitarnya.
6. Data “cak inding iyam” (Rabu, 25 Februari 2015 pukul 20.39)
Malam hari, ketika bermain di ruang keluarga, Fiqah melihat seekor cicak. Fiqah : “Cak.” Firda : “Menyanyi dulu Fiqah” Fiqah : “Ccak inding iyam”
a. Fonologi :
Kata “ccak” menghilangkan fonem /i/ sehingga kata yang
seharusnya “cicak” terdengar “ccak”.
Kata “inding”, anak belum memperoleh fonem /d/ pada awal
kata sehingga kata yang seharusnya “dinding” terdengar
“inding”.
82
Kata “iyam”, anak belum memperoleh fonem /h/ pada awal
kata dan mengubah fonem /l/ menjadi /y/, dan fonem /ŋ/
menjadi /m/ sehingga kata “hilang” terdengar “iyam”.
b. Morfologi :
Tuturan “cak inding iyam” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing kata terdiri dari satu morfem, yaitu:
cak (cicak), satu morfem inding (dinding), satu morfem iyam (hilang), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ccak inding iyam”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “cicak-cicak dinding, diam-diam merayap”.
d. Semantik :
Percakapan itu menandakan bahwa Fiqah mulai mampu
mengenali jenis binatang yang ditemuinya, bahkan bisa
menyanyikan lagu sesuai dengan binatang yang dilihatnya,
yakni cicak.
7. Data “opi aya iyam” (Sabtu, 28 Februari 2015 pukul 13.02)
Siang itu, Fiqah diajak oleh ayanhya ke rumah Zahir, tapi karena sesuatu hal, ayahnya membatalkannya, Fiqah sepertinya terima alasan yang diberikan ayahnya. Mama Fiqah : “Kenapa ki, nak?” (melihat Fiqah kembali dan batal
ke rumah Zahir) Fiqah : (terdiam, menuju ke arah mamanya) Mama Fiqah : “Mana Ayah? Kenapa tidak pergi rumanya adek
Zahir?” Fiqah : “opi ayah iyam” Mama Fiqah : “Ooo hilang topinya ayah, nak. Iye, nanti sore pi baru
ki pergi nak ya.”
83
a. Fonologi :
Kata “opi”, anak belum memperoleh fonem /t/ pada awal kata
sehingga kata “topi” menjadi “opi”.
Kata “iyam” menghilangkan fonem /h/ dan mengubah fonem
/l/ menjadi /y/, dan fonem /ŋ/ menjadi /m/ sehingga kata
“hilang” terdengar “iyam”.
b. Morfologi :
Tuturan “opi aya iyam” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing kata terdiri dari satu morfem, yaitu:
opi (topi), satu morfem aya (ayah), satu morfem iyam (hilang), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “opi aya iyam”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“topi ayah hilang”
d. Semantik :
Percakapan ini menyatakan bahwa Fiqah sebenarnya
kecewa karena tidak jadi berangkat ke rumah Zahir, tapi
alasan yang diberikan ayahnya diterima dan dipahaminya
dengan baik karena siang itu cuaca sangat panas. Mungkin
menurutnya, cuaca panas jadi butuh topi untuk
melindunginya dari panasnya sinar matahari.
84
8. Data “mau ta alam” (Kamis, 5 Maret 2015 pukul 17.38)
Sore menjelang malam itu, Fiqah dan Tante Uli sedang di rumah Zahir. Mama Eri : “Pulang mi dulu, nak. Malam mi. Na cari kin anti ayah.” Fiqah : “Anyang mi.” Mama Eri : “Pulang mi dulu, nak. Besok pi lagi ke sini ki.” Fiqah : “Anyang mi, mama Eji tu.” Mama Eri : “Besok pi lagi, nak.” Fiqah : “mau ta alam.”
a. Fonologi :
Kata “alam”, anak belum memperoleh fonem /b/ pada awal
kata, fonem /r/, /m/ pada tengah kata, dan menghilangkan
fonem /Ə/ sehingga kata yang seharusnya “bƏrmalam” (kata
lain dari menginap) tetapi tuturan yang terdengar adalah
“alam”.
b. Morfologi :
Tuturan “mau ta alam” terdiri dari dua kata, yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem alam (bermalam/menginap), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mau ta alam”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“saya ingin bermalam/menginap di rumahnya adik Zahir”
d. Semantik :
Percakapan itu dimaksudkan bahwa Fiqah mampu
mempertahankan pendapatnya, bahkan mulai mampu
memberikan jawaban yang sesuai dari perkiraan orang lain.
85
9. Data “ati ala cica”, “ati eyut cica” (Ahad, 8 Maret 2015 pukul 14.29)
Siang menjelang sore hari itu, Fiqah tengah bermain dengan Firda, sepupunya, mereka bermain kakak-adik, rumah-rumahan di teras rumah. Fiqah : “Ati ala Cica.” Firda : “Kenapa ki, Dek?” Fiqah : “Ati eyut Cica.” Firda : “Ayo kakak bawa ke bu bidan dulu yaa…”
a. Fonologi :
Kata “ati”, anak belum memperoleh fonem /s/ pada awal
kata, fonem /t/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /k/
menjadi /t/ dari kata “sakit”.
Kata “ala”, anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal
kata, fonem /p/ pada tengah kata, dan menghilangkan fonem
/e/ dari kata “kepala”
Kata “Əyut”, anak belum memperoleh fonem /p/ pada awal
kata, dan mengubah fonem /r/ menjadi fonem /y/ dari kata
“pƏrut”.
b. Morfologi :
Tuturan “ati ala cica” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing kata tersebut terdiri dari satu morfem, yaitu:
ati (sakit), satu morfem ala (kepala), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem
Tuturan “ati eyut cica” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing kata tersebut terdiri dari satu morfem, yaitu:
ati (sakit), satu morfem eyut (perut), satu morfem
86
cica (fiiqah), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ati ala cica”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“sakit kepalanya fiqah”
Tuturan “ati eyut cica”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“perut fiqah sakit”
d. Semantik :
Percakapan itu membuktikan bahwa Fiqah mulai mampu
menyusaikan cara bermainnya dengan sepupunya, bahkan
mampu menyambung cerita yang dimaksudkan oleh
sepupunya. Fiqah diharuskan berakting sakit, dan ia mampu
melakukannya.
10. Data “atuh ta tadi itu”, “mau ta encing alam” (Rabu, 11 Maret 2015
pukul 20.03)
Malam hari, keluarga tengah kumpul di ruang keluarga, tiba-tiba Fiqah datang dari arah dapur dengan suara rintihan kecilnya. Fiqah : “Atu ta tadi itu” Mama Fiqah : “Dimana ki jatuh, nak?” Fiqah : “Alam.” (menunjuk arah dapur) Mama Fiqah : “Kenapa masuk di dalam sendiri?” Fiqah : “Mau ta encing alam”
a. Fonologi :
Tuturan “atuh ta tadi itu”, anak belum memperoleh fonem /j/
pada awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari
kata “jatuhka”, fonem /d/, /i/, /s/, dari kata “di situ”. Tuturan
87
yang dihasilkan dalam percakapan tersebut sudah hampir
sempurna.
Tuturan “mau ta encing alam”, mengubah fonem /k/ menjadi
/t/ dari kata “mau ka”, belum memperoeh fonem /k/ pada
awal kata “kencing”, dan fonem /d/ pada awal kata “dalam”.
b. Morfologi :
Tuturan “atuh ta tadi itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
atuh ta (jatuh ka), dua morfem: jatuh, satu orfem -ka, satu morfem tadi, satu morfem itu, satu morfem
Tuturan “mau ta encing alam” terdiri dari tiga kata, yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem encing (kencing/buang air kecil), satu morfem alam (di dalam), dua morfem: di-, satu morfem dalam, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “atuh ta tadi itu”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“tadi fiqah terjatuh di situ”.
Tuturan “mau ta encing alam”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “saya ingin kencing di dalam tapi terpeleset
sehingga terjatuh”.
88
d. Semantik :
Percakapan tersebut Fiqah memberikan informasi bahwa ia
terjatuh di dalam (tempat buang air) karena ingin buang air
kecil. Tuturannya sudah komunikatif, mudah dipahami.
11. Data “mau ta ayung”, tunju alam cica”, “aci, ama-ama” (Senin, 16
Maret 2015 pukul 11.28)
Pagi menjelang siang, percakapan antara Fiqah dengan mamanya. Fiqah ingin tidur, minum susu sambil di-ayung. Fiqah : “Mau ta ayung.” Mama Fiqah : “Mana dot ta?” Fiqah : “Tunju alam Cica.” (menuju dapur mencari dotnya) Mama Fiqah : “Terima kasih.” Fiqah : “Aci, ama-ama.”
a. Fonologi :
Tuturan “mau ta ayung”, mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari
kalimat “mau ka ayung”.
Tuturan “tunju alam Cica”, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /n/,
fonem /g/ menjadi /j/ dari kata “tunggu”, menghilangkan
fonem /d/, /i/ dari kata di dalam. Kalimat tersebut belum
sempurna, tetapi sudah komunikatif. kalimat yang
seharusnya adalah “tunggu masuk di dalam cica”
Tuturan “aci, ama-ama”, menghilangkan beberapa fonem
dari kata “terima kasih” menjadi “aci”, dan menghilangkan
fonem /s/ pada kata ulang “sama-sama”.
89
b. Morfologi :
Tuturan “mau ta ayung” terdiri dari dua kata, yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem: mau, satu morfem -ka, satu morfem ayung, satu morfem
Tuturan “tunju alam cica” terdiri dari tiga kata, yaitu:
tunju (tunggu), satu morfem alam (ke dalam), dua morfem: ke-, satu morfem dalam, satu morfem cica (fiiqah), satu morfem
Tuturan “aci, ama-ama” terdiri dari tiga kata, yaitu:
aci (terima kasih), dua kata yang terdiri dari satu morfem: terima, satu morfem kasih, satu morfem ama-ama (sama-sama), kata ulang yang terdiri dari satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mau ta ayung”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“saya ingin diayung, sudah mengantuk”
Tuturan “tunju alam cica”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“tunggu dulu, fiqah cari dotnya di dalam, di dapur”
Tuturan “aci, ama-ama”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“terima kasih, sama-sama”
d. Semantik :
Percakapan tersebut menyatakan bahwa Fiqah mengantuk,
ingin diayung, mamanya langsung merespon biasanya jika
mengantuk ingin diayung selalu minum susu sehingga
90
mamanya bertanya tempat ia letakkan dot yang dipakai tadi
pagi, Fiqah memahami maksud mamanya, ia segera menuju
tempat ia meletakkan dotnya, dan segera menyerahkan
dotnya ke mama. Mama ucapkan terima kasih, dia pun
membalasnya dengan berterima kasih kembali dan sama-
sama.
12. Data “mau ta lua”, “layi-layi ama idda” (Ahad, 22 Maret 2015 pukul
16.41)
Sore hari, Fiqah baru saja bangun dari tidur siangnya. Ia mendengar suara kakak sepupunya bermain di luar, di teras rumah. Ia beranjak dari duduknya menuju pintu. Mama Fiqah : “Mau kemana ki, nak?” Fiqah : “Mau ta lua.” Mama Fiqah : “Minum susu dulu, nak. Mau ki apa di luar?” Fiqah : “Layi-layi ama idda.”
a. Fonologi :
Tuturan “mau ta lua”, anak belum memperoleh fonem /k/
pada awal kata, fonem /r/ pada akhir kata, dan
menghilangkan fonem /Ə/ dari kata “kƏluar”.
Tuturan “lay-layi ama idda”, mengubah fonem /r/ menjadi /y/
dari kata ulang “lari-lari”. Menghilangkan fonem /s/ dari kata
“sama”.
b. Morfologi :
Tuturan “mau ta lua” terdiri dari dua kata, yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem Lua (luar), satu morfem
91
Tuturan “layi-layi ama idda” terdiri dari dua kata, yaitu:
layi-layi (berlari-lari), tiga morfem yang terbentuk dari: ber-, satu morfem sebagai morfem afiks, berlari, satu morfem sebagai bentuk dasar dari berlari-lari, lari yang kedua, satu morfem sebagai morfem ulang.
ama (sama/dengan), satu morfem idda (firda), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mau ta lua”, yang dimaksudkan adalah kalimat
“saya ingin keluar rumah”
Tuturan “layi-layi ama idda”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “bermain lari-larian dengan Firda”
d. Semantik :
Percakapan tersebut bermakna ketertarikan akan hal yang
sama atau pernah dilakukan sebelumnya oleh Fiqah, yakni
bermain bersama sepupunya di teras rumah. Mendengar
suara ramai di teras, Fiqah berpikir mungkin permainan yang
kemarin dilanjutkan lagi. Hal ini membuktikan bahwa ingatan
Fiqah sejalan dengan pamahamannya.
13. Data “otong cucutu itu”, “nda oleh”, “injam ni, impan na” (Ahad, 29
Maret 2015 pukul 17.02)
Sore itu, Firda sementara memotong kukunya di teras rumah. Fiqah berjalan ke arahnya dan melihat pemotong kuku yang digunakan Firda. Fiqah : “Otong cucutu itu.” Firda : “Pinjam ka sebentar.” Fiqah : “Nda oleh.” Firda : “Pinjam ka kasian.” Fiqah : “Injam ni, impan na.”
92
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “potong”.
Mengubah fonem /k/ menjadi fonem /c/ dan /t/ pada kata
“kukuku”.
Kata “nda” mewakili kata tidak. Belum menemukan fonem /b/
pada awal kata “boleh”.
Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “pinjam”,
fonem /s/ pada awal kata “simpan”.
b. Morfologi :
Tuturan “otong cucutu itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
otong (potong), satu morfem cucutu (kukuku), dua morfem yang terbentuk dari: kuku, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem
Tuturan “nda oleh” terdiri dari dua kata yang masing-
masing terbentuk dari satu morfem, yaitu:
nda (tidak), satu morfem oleh boleh), satu morfem
Tuturan “injam ni, impan na” terdiri dari dua kata, yaitu:
injam ni (pinjam ni), dua morfem terbentuk dari: injam, satu morfem -ni, satu morfem impan na (simpan na), dua morfem terbentuk dari: impan, satu morfem -na, satu morfem
93
c. Sintaksis :
Tuturan “otong cucutu itu”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “potong kuku itu milik fiqah”
Tuturan “nda oleh” mewakili kalimat “tidak boleh”
Tuturan “injam ni, impan na”, kalimat yang dimaksudkan
adalah “boleh dipinjam tapi disimpan dengan baik nantinya
setelah digunakan”
d. Semantik :
Fiqah mengenali barang miliknya. Ia akan meminta
barangnya dikembalikan jika Ia melihat orang lain
menggunakannya, kecuali harus dipinjam terlebih dahulu
padanya. Ia bahkan mengingatkan, jika selesai
menggunakannya harus disimpan kembali.
14. Data “ati tati cayi”, “iji amuk apang” (Rabu, 1 April 2015 pukul 16.39)
Sore itu, Fiqah baru saja tiba dari rumah Zahir, Ia langsung bercerita tentang Zahir. Fiqah : “Ati tati cayi.” Mama Fiqah : “Kenapa kakinya Zahir?” Fiqah : “Iji amuk apang.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /s/ pada awal kata, fonem /t/ pada
akhir kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata
“sakit”, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “kaki”. Mengubah
fonem /z/ menjadi /c/, fonem /h/ menjadi /y/, dan
menghilangkan fonem /r/ dari kata “Zahir”.
94
Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata, fonem /t/ pada
akhir kata dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata
“digigit”. Menghilangkan fonem /ny/ dari kata “nyamuk”.
Menghilangkan fonem /k/ dari kata “kapang” (bahasa bugis
dari kata mungkin).
b. Morfologi :
Tuturan “ati tati cayi” terdiri dari tiga kata, yaitu:
ati (sakit), satu morfem tati (kaki), satu morfem cayi (zahir), satu morfem
Tuturan “iji amuk apang” terdiri dari tiga kata, yaitu:
iji (gigit), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem apang (kapang/mungkin), satu morfem)
c. Sintaksis :
Tuturan “ati tati cayi”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“sakit kakinya Zahir”
Tuturan “iji amuk apang”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“mungkin karena digigit nyamuk”
d. Semantik :
Fiqah memberikan informasi bahwa kaki Zahir saat ini sakit,
orang lain bertanya padanya tentang penyebab sakitnya
kakinya Zahir, Ia belum tahu penyebabnya sehingga ia
mengambil kesimpulan awal bahwa kaki Zahir sakit mungkin
karena digigit nyamuk.
95
15. Data “iji opang tati cayi”, “ais mama tu, opang na” (Jumat, 3 April
2015 pukul 17.38)
Percakapannya antara Fiqah dengan mamanya. Ketika itu, Fiqah baru saja tiba dari rumah temannya. Fiqah : “Iji opang tati cayi” Mama Fiqah : “Digigit Jopang? Kecoa namanya itu, nak…” Fiqah : “Ais mama tu, opang na.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata, fonem /t/ pada
akhir kata dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata
“gigit”. Menghilangkan fonem /j/ dari kata “jopang” (Bahasa
bugis dari kata Kecoa).
b. Morfologi :
Tuturan “iji opang tati cayi” terdiri dari empat kata, yaitu:
iji (gigit),satu morfem opang (jopang/kecoa), satu morfem tati (kaki), satu morfem cayi (zahir), satu morfem
Tuturan “ais mama tu, opang na” terdiri dari tiga kata, yaitu:
ais, satu morfem) mama tu, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem -tu, satu morfem opang na (jopang/kecoa na), dua morfem yang terbentuk dari: opang, satu morfem -na, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “iji opang tati cayi”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “Kaki Zahir digigit serangga/kecoa(Jopang)
96
Tuturan “ais mama tu, opang na”, kaliamt yang
dimaksudkan adalah “biarkan saja sepeti itu mama, jopang
saja namanya”
d. Semantik :
Percakapan ini menyatakan bahwa informasi yang
disampaikan oleh Fiqah, tidak benar adanya karena Fiqah
tidak mengetahui penyebab sebenarnya dari sakit kakinya
Zahir. Fiqah mampu membuat cerita sendiri yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Fiqah mampu mengucapkan kata-
kata dari bahasa daerahnya.
16. Data “tatang adettu”, “adettu tayangtu”, “adek cica anti”, “adek anti
uja” (Selasa, 7 April 2015 pukul 10.30)
Mendengar suara mobil semakin dekat dari rumah(tempatnya), Ia berteriak. Fiqah : “Tatang adettu.” Tante Uli : “Datang adek na Fiqah.” Fiqah : (terus memperhatikan adiknya) “Adettu tayangtu” Tante Uli : “Adeknya siapa ini?” Fiqah : “Adek cica anti. Adek anti uja.”
a. Fonologi :
Mengubah fonem /d/ menjadi /t/ dari kata “datang”, fonem /i/
menjadi /e/, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “adikku”, fonem /s/
menjadi /t/, fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “sayangku”.
Menghilangkan fonem /c/, /k/ dari kata “cantik”.
Menghilangkan fonem /j/ dan mengubah fonem /g/ menjadi /j/
dari kata “juga”
97
b. Morfologi :
Tuturan “tatang adettu” terdiri dari dua kata, yaitu:
tatang (datang), satu morfem adettu (adekku), dua morfem yang terbentuk dari: adek, satu morfem -ku, satu morfem
Tuturan “adettu tayangtu” terdiri dari dua kata, yaitu:
adettu (adekku), dua morfem yang terbentuk dari: adek, satu morfem -ku, satu morfem tayangtu (sayangku), dua morfem yang terbentuk dari: sayang, satu morfem -ku, satu morfem
Tuturan “adek cica anti” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing terdiri dari satu morfem, yaitu:
adek, satu morfem cica (fiiqah), satu morfem anti (cantik), satu morfem
Tuturan “adek anti uja” terdiri dari tiga kata yang masing-
masing terdiri dari satu morfem, yaitu:
adek, satu morfem anti (cantik), satu morfem uja (juga), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “tatang adettu”, yang dimaksudkan adalah “datang
adikku”
Tuturan “adettu tayangtu”, yang dimaksudkan adalah
“adikku sayangku”
98
Tuturan “adek cica anti, adek anti uja”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “adiknya Fiqah cantik, adik cantik juga”
d. Semantik :
Fiqah memahami bahwa saat itu telah hadir seorang adik
untuknya, Ia mulai belajar berbagi dengan adiknya itu
termasuk berbagi cantiknya.
17. Data “inyak elong etattu”, “edak etattu” (Kamis, 9 April 2015 pukul
09.41)
Percakapannya ketika Fiqah selesai mandi, Ia segera mengambil barang-barang yang biasa dipakai ketika selesai mandi. Tetapi ia tidak menemukannya di tempat biasa ia mengambilnya. TIba-tiba, ia melihat barang yang dicarinya itu tergeletak di dekat adiknya, ia segera menuju kea rah adiknya dan mengambil barang-barangnya. Fiqah : “Inyak elong etattu, edak etattu.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minyak”,
menghilangkan fonem /t/, mengubah fonem /n/ menjadi /ŋ/
dari kata “tƏlon”, belum memperoleh fonem /b/ pada awal
kata “bƏdak”. Belum memperoleh fonem /b/ pada awal kata
dan mengubah fonem /s/ menjadi /t/, fonem /r/ menjadi /t/,
fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “bƏsarku”.
b. Morfologi :
Tuturan “inyak elong etattu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
inyak (minyak), satu morfem elong (telon), satu morfem etattu (besarku), dua morfem yang terbentuk dari: besar, satu morfem -ku, satu morfem
99
Tuturan “edak etattu” terdiri dari dua kata, yaitu:
edak (bedak), satu morfem etattu (besarku), dua morfem yang terbentuk dari: besar, satu morfem -ku, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “inyak elong etattu”, yang dimaksudkan adalah
“minyak telong besarku”
Tuturan “edak etattu”, yang dimaksudkan adalah “bedak
besarku”
d. Semantik :
Pernyataan Fiqah menjelaskan bahwa ia dengan adiknya
memang sudah ada pembagian masing-masing, bedak dan
minyak telon yang besar miliki Fiqah, dan yang kecil milik
adiknya, saat itu, Fiqah mengira, adiknya yang mengambil
barang miliknya, makanya ia menegaskan bahwa minyak
telon dan bedak besar itu miliknya.
18. Data “ana tucuk ini? mau ta inum” (Selasa, 14 April 2015 pukul
19.21)
Malam itu, Fiqah menemukan segelas air kemasan. Ia ingin meminumnyaa sehingga mencari pipet. Fiqah : “Ana tucuk ini? mau ta inum.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata tanya “mana”,
mengubah fonem /s/ menjadi /c/ dari kata “tusuk” alias pipet,
belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minum”.
100
b. Morfologi :
Tuturan “ana tucuk ini? mau ta inum” terdiri dari lima kata,
yaitu:
ana (mana), satu morfem tucuk (tusuk/pipet), satu morfem ini, satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem inum (minum), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ana tucuk ini? mau ta inum”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “dimana tusuk/pipet air kemasan ini?
saya ingin meminum air ini”
d. Semantik :
Pemahaman Fiqah bahwa jika ada air dalam kemasan gelas,
biasanya diminum menggunakan pipet sehingga ia
mencarinya, karena penggunaannya dengan cara
ditusukkan, maka ia mencarinya dengan menggunakan cara
penggunaannya yakni tusuk.
19. Data “ada otot peppatu” (Sabtu, 18 April 2015 pukul 19.41)
Malam itu, ayah Fiqah pulang malam, ia membawakannya mainan sebuah motor-motoran berbentuk vespa. Mama Fiqah : “Ada mainan barunya anakku. Motor Vespa” Fiqah : “Ada otot peppatu.”
101
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah
fonem /r/ menjadi /t/ dari kata “motor”. Mengubah fonem /v/
menjadi /p/, fonem /s/ menjadi /p/, fonem /k/ menjadi /t/ dari
kata “vespaku”.
b. Morfologi :
Tuturan “ada otot peppatu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
ada, satu morfem otot (motor), satu morfem peppatu (vespaku), dua morfem yang terbentuk dari: vespa, satu morfem -ku, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ada otot peppatu”, yang dimaksudkan adalah “ada
mainan motor vespaku”
d. Semantik :
Percakapan itu membuktikan bahwa Fiqah mulai cepat
memahami dan mengikuti tentang yang diucapkan atau yang
sementara dibicarakan oleh orang dewasa disekitarnya.
20. Data “ada encing ade inun citu” (Senin, 20 April 2015 pukul 18.23)
Malam itu, Firda langsung saja berbaring di samping Ainun yang tengah berbaring sambil bermain di ruang keluarga, di sana hanya Ainun dan Fiqah karena mamanya sedang mengambilkan celana untuk Ainun yang sudah buang air tadi. Fiqah : “ada encing ade inun citu”
102
a. Fonologi :
Tuturan itu, anak belum memperoleh fonem /k/ pada awal
kata “kencing”, menghilangkan fonem /k/ dan mengubah
fonem /i/menjadi /e/ pada kata “adik”, menghilangkan fonem
/a/ dari kata “Ainun”, menghilangkan kata depan di- dan
mengubah fonem /s/ menjadi /c/ pada kata “di situ”
b. Morfologi :
Tuturan “ada encing ade inun citu” terdiri dari lima kata,
yaitu:
ada, satu morfem encing (kencing), satu morfem ade (adik), satu morfem inun (ainun), satu morfem citu (disitu), dua morfem yang terbentuk dari: di-, satu morfem situ, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ada encing ade inun citu”, yang dimaksudkan
adalah “ada kencingnya adik Ainun tadi di situ”
d. Semantik :
Tuturan itu memberikan informasi bahwa tadi di situ tadi
tempat adik Ainun buang air, jangan ditempati berbaring
karena kotor.
21. Data “nda bitata nyanyi aya” (Rabu, 22 April 2015 pukul 16.05)
Sore itu, Tante Farida datang ke rumah, melihat Fiqah yang sibuk bermain dengan sepupu-sepupunya, Tante Farida : “Fiqah, menyanyi ki dulu cantik.” Fiqah : “Nda bitata nyanyi aya.”
103
a. Fonologi :
Tuturan “nda bitata nyanyi aya”, menghilangkan fonem /t/,
/i/, /k/, menambahkan fonem /n/ di depan tuturannya dari
kata “tidak” menjadi “nda”. Mengubah fonem /s/, /k/ menjadi
fonem /t/ pada kata “bisaka” menjadi “bitata”.
Menghilangkan fonem /s/ pada kata “saya”.
b. Morfologi :
Tataran “nda bitata nyanyi aya” terdiri dari empat kata, yaitu:
nda (tidak), satu morfem bitata (bisaka), dua morfem yang terbentuk dari: bisa, satu morfem -ka, satu morfem nyanyi, satu morfem aya (saya), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “nda bitata nyanyi aya”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “saya tidak bisa bernyanyi”
d. Semantik :
Tuturan ini dijadikan alasan agar tidak mengganggu
aktivitas bermainnya yang tengah dilakukannya. Dia tidak
ingin melakukan aktivitas lain, dia ingin fokus bermain
sehingga dia menyimpulkan dengan segera bahwa ia tidak
bisa bernyanyi.
104
22. Data “ade cayi dudu cica cini”, “ade cayi mauta dudu citu, bentami”
(Senin, 4 Mei 2015 pukul 14.39)
Sore itu, Fiqah tengah bermain dengan adik sepupunya, Zahir. Zahir memakai kursi milik Fiqah, Fiqah langsung memintanya, tp tdk ingin membuat Zahir menangis. Fiqah : “Ade Cayi, dudu cica cini” (menunjuk kursi miliknya) Zahir : “aaa” (Nada Marah) Fiqah : “Ade Cayi mauta dudu citu, bentami” Zahir : “aaa” (mendorong Cica) Fiqah : (Menangis menujuh arah mamanya)
a. Fonologi :
Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, anak belum memperoleh
fonem /k/ pada awal kata “adik”, “duduk”.
Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, belum
memperoleh fonem /k/ pada awal kata “duduk”, fonem /s/,
/e/, /r/ dari kata “sebentar”.
b. Morfologi :
Tuturan “ade cayi dudu cica cini” terdiri dari lima kata, yaitu:
ade (adik), satu morfem cayi (zahir), satu morfem dudu (duduk), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem cini (sini), satu morfem
Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami” terdiri dari
enam kata, yaitu:
ade (adik), satu morfem cayi (zahir), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem dudu (duduk), satu morfem citu (situ), satu morfem bentami (sebentarmi), dua morfem yang terbentuk dari:
105
sebentar, satu morfem -mi, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, maksudnya adalah “adik
Zahir, Fiqah yang duduk di sini”.
Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, maksudnya
adalah “adik Zahir, Fiqah mau duduk di kursi itu, sebentar
saja”.
d. Semantik :
Tuturan “ade cayi dudu cica cini”, bermaksud meminta kursi
yang dipakai oleh adik sepupunya, Zahir, tanpa
membuatnya menangis.
Tuturan “ade cayi mauta dudu citu, bentami”, maksudnya
adalah Fiqah berusaha meminta kursi itu, memaksimalkan
rayuannya agar Zahir ingin memberikan kembali kursi
miliknya.
23. Data “adil uttitu itu”, “indati, lalapotu mau dudu”, “mauta yoyongti”
(Jumat, 8 Mei 2015 pukul 16.32)
Sore itu, Fiqah bermain dengan Fadhil, kakak sepupunya. Fadhil sengaja mengambil kursi kecil milik Fiqah dan memakainya. Fiqah : “Adil, uttitu itu” Fadhil : “Kursiku ini” Fiqah : “Indati, lalapotu mau dudu” Fadhil : “Kursiku ini, Fadhil mau duduk” Fiqah : “Mauta yoyongti”
106
a. Fonologi :
Tuturan “adil uttitu itu”, belum memperoleh fonem /k/ pada
awal kata, mengubah fonem /r/, /s/, dan /k/ menjadi fonem
/t/ pada kata “kursi”.
Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, belum memperoleh
fonem /p/ pada awal kata “pindah”, mengubah fonem /k/
menjadi fonem /t/ pada kata “lalapo-ku”, belum memperoleh
fonem /k/ pada akhir kata “duduk”.
Tuturan “mauta yoyongti”, mengubah fonem /d/, /r/ menjadi
fonem /y/ pada kata “dorong”
b. Morfologi :
Tuturan “adil uttitu itu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
adil (fadil), satu morfem uttitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem
Tuturan “indati, lalapotu mau dudu” terdiri dari empat kata,
yaitu:
Indati (pindahki), dua morfem yang terbentuk dari: pindah, satu morfem -ki, satu morfem lalapotu (lalapoku), dua morfem yang terbentuk dari: lalapo, satu morfem -ku, satu morfem mau, satu morfem dudu (duduk), satu morfem
Tuturan “mauta yoyongti” terdiri dari dua kata, yaitu:
mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari:
107
mau, satu morfem -ka, satu morfem yoyongti (dorongki), dua morfem yang terbentuk dari: dorong, satu morfem -ki, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “adil uttitu itu”, maksudnya adalah “Fadhil, Kursi itu
milik Fiqah”
Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, maksudnya adalah
kalimat “Pindah dari kursi itu Fadhil, boneka lalapo yang
mau duduk di kursi itu”
Tuturan “mauta yoyongti”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“kalau tidak pindah dari kursi itu, Fiqah mau dorong biar
terjatuh”
d. Semantik :
Tuturan “adil uttitu itu”, bermaksud untuk meyakinkan Fadhil
bahwa kursi yang dipakainya itu adalah milik Fiqah.
Tuturan “indati, lalapotu mau dudu”, maksudnya
memberitahukan dengan halus pada Fadhil bahwa kursi itu
miliknya, dan boneka lala-po miliknya yang ingin duduk di
kursi miliknya itu.
Tuturan “mauta yoyongti”, maksudnya memberi isyarat pada
Fadhil, jika tidak pindah dari kursi itu, ia akan
mendorongnya hingga terjatuh.
108
24. Data “ma, mauta atang iyi-iyi” (Selasa, 12 Mei 2015 pukul 11.04)
Fiqah dan mamanya sedang menonton televisi di ruang tengah, ia mengingat bahwa tadi pagi mamanya sudah memasak nutrijell untuknya. Fiqah : “Ma, mauta atang iyi-iyi” Mama : “Mau ki makan jeli-jeli, nak?”
a. Fonologi :
Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, belum memeperoleh
fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem /k/ menjadi
fonem /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ dari kata “makan”,
menghilangkan fonem /j/, mengubah fonem vokal /e/
menjadi vokal /i/, fonem /l/ menjadi fonem /y/ pada kata “jeli-
jeli”
b. Morfologi :
Tuturan “mauta atang iyi-iyi” terdiri dari tiga kata, yaitu:
mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem atang (makan), satu morfem iyi-iyi (jeli-jeli), dua morfem yang terbentuk dari: jeli, satu morfem dasar jeli, satu morfem ulang
c. Sintaksis :
Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, maksudnya adalah kalimat
“mama, saya ingin makan jeli-jeli (nutrijel)”
109
d. Semantik :
Tuturan “ma, mauta atang iyi-iyi”, maksudnya untuk
mengingatkan mamanya bahwa jeli-jeli yang sudah dimasak
tadi, saya ingin memakannya sekarang.
25. Data “anyang inta, mauta aci abi-abi” (Jumat, 15 Mei 2015 pukul
15.20)
Fiqah sedang memakan roti isi coklat yang dibelikan ayahnya. Firda, kakak sepupunya datang mendekatinya dan meminta sedikit bagian dari roti itu. Firda : “Mintaka sedikit, dek” Fiqah : “Anyang inta, mauta aci abi-abi”
a. Fonologi :
Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, belum
memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/
menjadi /ny/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”.
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata “minta”.
Belum memperoleh fonem /h/ pada awal kata dan fonem /s/
pada akhir kata “habis” dan membuatnya menjadi kata
ulang.
b. Morfologi :
Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi” terdiri dari lima
kata, yaitu:
anyang (jangan), satu morfem inta (minta), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem aci (kasi’), satu morfem
110
abi-abi (habis-habis/habiskan), dua morfem yang terbentuk dari: habis, satu morfem dasar habis, satu morfem ulang
c. Sintaksis :
Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, maksudnya adalah
kalimat “jangan diminta rotinya, Fiqah yang mau
menghabiskannya”.
d. Semantik :
Tuturan “anyang inta, mauta aci abi-abi”, maksudnya, ia
menekankan bahwa Fiqah mampu menghabiskan roti ini,
jadi jangan diminta sebagian dari rotinya.
26. Data “uccitu iyam ni, uang ata po”, “itu lua uccitu” (Senin, 18 Mei
2015 pukul 09.25)
Pagi itu, Fiqah baru bangun, ia langsung mencari kursi kecil miliknya. Fiqah : “Uccitu iyam ni, uang ata Po” Mama : “Kursi ta, nak? dimana ta simpan kemarin waktu main sama kakak Po? Fiqah : “Uang ata Po” Mama : “Tidak, ada mungkin di luar” Fiqah : (menuju teras rumah) “Itu lua uccitu”
a. Fonologi :
Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”, belum memperoleh
fonem /k/ pada awal kata, mengubah fonem /r/, /s/ menjadi
fonem /c/, fonem /k/ menjadi /t/ pada kata “kursiku”, belum
memperoleh fonem /h/ pada awal kata, mengubah fonem /l/
menjadi fonem /y/, fonem /ŋ/ menjadi fonem /m/ pada kata
111
“hilang”. Belum memperoleh fonem /b/ pada awal kata
“buang”, belum memperoleh fonem /k/ pada awal dan akhir
kata, dan mengubahnya menjadi fonem /t/ pada kata
“kakak”.
Tuturan “itu lua uccitu”, belum memperoleh fonem /r/ pada
akhir kata “luar”.
b. Morfologi :
Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po” terdiri dari lima kata,
yaitu:
uccitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem iyam ni (hilang ni), dua morfem yang terbentuk dari: hilang, satu morfem -ni, satu morfem uang (buang), satu morfem ata (kakak), satu morfem po, satu morfem
Tuturan “itu lua uccitu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
itu, satu morfem lua (luar), satu morfem uccitu (kursiku), dua morfem yang terbentuk dari: kursi, satu morfem -ku, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”,kalimat yang
dimaksudkan adalah “hilang kursiku, mungkin sudah
dibuang kakak Po”.
112
Tuturan “itu lua uccitu”, maksudnya adalah kalimat “itu
kursiku di luar”
d. Semantik :
Tuturan “uccitu iyam ni, uang ata po”, ketika Fiqah sedang
mencari kursi dan tidak mampu menemukannya, ia
langsung menyimpulkan bahwa kursinya sudah hilang, dan
kemungkinan dibuang oleh kakak sepupunya, Po, karena
hari sebelumnya ia bermain bersama dengan menggunakan
kursi itu.
Tuturan “itu lua uccitu”, setelah menemukan kursinya di
teras rumah, ia merasa harus membatalkan kesimpulannya
yang sebelumnya.
27. Data “apa epitang ucci beca?” (Rabu, 20 Mei 2015 pukul 19.45)
a. Fonologi :
Tuturan “apa epitang ucci beca”, belum memperoleh fonem
/s/ pada awal kata dan menghilangkan fonem /i/ pada kata
“siapa”, belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata dan
mengubah fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ dari kata “jepitan”,
belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata, mengubah
fonem /r/, /s/ menjadi fonem /c/ pada kata “kursi”, belum
memperoleh fonem /r/ pada awal kata dan mengubah fonem
/s/ menjadi /c/ pada kata “besar”.
113
b. Morfologi :
Tuturan “apa epitang ucci beca?” terdiri dari empat kata,
yaitu:
apa (siapa), satu morfem epitang (jepitan), satu morfem ucci (kursi), satu morfem beca (besar), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “apa epitang ucci beca”, maksudnya adalah kalimat
“siapa yang punya jepitan rambut ini di kursi besar?”
d. Semantik :
Tuturan “apa epitang ucci beca”, Fiqah menemukan jepitan
rambut di atas kursi besar, dia tidak mengenali jepitan itu
sehingga ia menanyakan pemilik dari jepitan itu.
28. Data “uci iyingti? mauta uja” (Ahad, 24 Mei 2015 pukul 17.34)
Sore itu, Mama Iya sedang cuci piring, mengetahui hal itu, Fiqah mendekatinya dan menawarkan bantuan untuk mama iya. Fiqah : “Uci iyingti? Mauta uja” Mamma Iya : “Iye’, nak. Jangan mi, nak”
a. Fonologi :
Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, belum memperoleh fonem
/c/ pada awal kata “cuci”, belum memperoleh fonem /p/
pada awal kata dan mengubah fonem /r/ menjadi fonem /y/
pada kata “piring”, belum memperoleh fonem /j/ pada awal
kata dan mengganti fonem /g/ menjadi fonem /j/ pada kata
“juga”.
114
b. Morfologi :
Tuturan “uci iyingti? mauta uja” terdiri dari empat kata yaitu:
uci (cuci), satu morfem iyingti (piringki), dua morfem yang terbentuk dari: piring, satu morfem -ki, satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem uja, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, kalimat yang dimaksudkan
adalah “mama iya sedang cuci piringkah? Fiqah juga mau
cuci piring”.
d. Semantik :
Tuturan “uci iyingti? mauta uja”, pertanyaan yang
diucapakan sebelumnya adalah kalimat rayuan agar ia
diminta untuk ikut cuci piring, Fiqah ingin bermain air.
29. Data “uta otitu, ati otong om untu” (Jumat, 29 Mei 2015 pukul 16.39)
Sore itu, Fiqah bersama Tante dan Neneknya sedang duduk di teras rumah. Fiqah sedang memegang sebungkus roti yang baru saja dibelinya bersama kaka sepupunya. Fiqah : “Atang om untu” Nenek : “Dimana om Untu?” Fiqah : (menunjuk arah om Untu, menyerahkan sebungkus roti itu pada neneknya) “uta otitu, ati otong om untu” a. Fonologi :
Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, belum memperoleh
fonem /b/ pada awal kata dan mengganti fonem /k/ menjadi
fonem /t/ pada kata “buka”, belum memperoleh fonem /r/
115
pada awal kata dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/ pada
kata “rotiku”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata
“potong”.
b. Morfologi :
Tuturan “uta otitu, ati otong om untu” terdiri dari enam kata,
yaitu:
uta (buka), satu morfem otitu (rotiku), dua morfem yang terbentuk dari: roti, satu morfem -ku, satu morfem ati (kasi’/berikan), satu morfem otong (potong/sepotong), satu morfem om, satu morfem untu, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “buka rotiku, saya ingin berikan sepotong
untuk om Untu”.
d. Semantik :
Tuturan “uta otitu, ati otong om untu”, melihat om untu
(teman kerja ayahnya) di depan rumah, ia segera ingin
membuka pembungkus rotinya dan membaginya sepotong
untuk om untu. Ada kemungkinan, om untu sering
membagikannya makanan jika bertemu dengan Fiqah,
terbiasa diberikan sehingga ia juga ingin membagi
makanannya untuk orang lain.
116
30. Data “uta ulu intu, mauta lia obi beca” (Sabtu, 30 Mei 2015 pukul
19.35)
Malam itu, mendengarkan suara knalpot mobil berhenti di depan rumah, Fiqah berlari menuju pintu Fiqah : “uta ulu intu, mauta lia obi beca”
a. Fonologi :
Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, belum
memperoleh fonem /b/ pada awal kata mengubah fonem /k/
menjadi /t/ pada kata “buka”. Belum memperoleh fonem /d/
pada awal kata “dulu”. Belum memperoleh fonem /p/ pada
awal kata “pintu”. Menghilangkan fonem /h/ dan /t/ pada
kata “lihat”. Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata
dan fonem /l/ pada akhir kata “mobil”. Mengubah fonem /s/
menjadi fonem /c/ dan belum memperoleh fonem /r/ pada
akhir kata “besar”.
b. Morfologi :
Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca” terdiri dari tujuh
kata, yaitu:
uta (buka), satu morfem ulu (dahulu), satu morfem intu (pintu), satu morfem mauta (mauka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem lia (lihat), satu morfem obi (mobil), satu morfem beca (besar), satu morfem
117
c. Sintaksis :
Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, kaliamt yang
dimaksudkan adalah “buka pintu dulu, Fiqah ingin melihat
mobil besar yang berhenti di depan rumah”.
d. Semantik :
Tuturan “uta ulu intu, mauta lia obi beca”, mendengarkan
suara mobil berhenti di depan rumah, ia segera menuju
pintu untuk keluar melihat mobil itu, karena beberapa hari
sebelumnya ada mobil besar (truk) yang datang dan ia
berharap mobil itu lagi yang datang dan terparkir di depan
rumah.
31. Data “bapa, obe andattu” (Ahad, 31 Mei 2015 pukul 08.38)
a. Fonologi :
Tuturan “bapa, obe andattu”, belum memperoleh fonem /k/
pada akhir kata “bapak”, belum memperoleh fonem /r/ pada
awal kata dan fonem /k/ pada akhir kata “robek”, belum
memperoleh fonem /s/ pada awal kata dan mengubah
fonem /l/, /k/ menjadi fonem /t/ pada kata “sandalku”.
b. Morfologi :
Tuturan “bapa, obe andattu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
bapa (bapak), satu morfem obe (robek), satu morfem andattu (sandalku), dua morfem yang terbentuk dari: sandal, satu morfem -ku, satu morfem
118
c. Sintaksis :
Tuturan “bapa, obe andattu”, maksudnya adalah kalimat
“Bapak, robek sandalku”.
d. Semantik :
Tuturan “bapa, obe andattu”, memberitahukan kepada
kakeknya bahwa sandalnya rusak, ingin diperbaiki.
32. Data “anyang ewa citu, ada alana mama uwa” (Selasa, 2 Juni 2015
pukul 11.09)
Pagi menjelang siang itu, Mama Tua tengah beristirahat di depan televisi, Fiqah dan Firda tengah bermain bersama di tempat yang sama, mereka bermain boneka bersama, tiba-tiba Firda berjalan di dekat kepala Mama Tua. Fiqah : “Anyang ewa citu, ada alana mama uwa” Firda yang tidak menyadarinya langsung menjauh dari tempatnya yang tadi. a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah
fonem /ŋ/ menjadi fonem /ny/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/
dari kata “jangan”.
Belum memperoleh fonem /l/ pada awal kata, fonem /t/ pada
akhir kata dari kata “lewat”.
Mengubah fonem /s/ menjadi fonem /c/ dari kata “situ”.
Belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata, fonem /p/
pada tengah kata, dan menghilangkan fonem /e/ dan
mengubah fonem /ny/ menjadi fonem /n/ dari kata
“kepalanya”.
119
b. Morfologi :
Tuturan “anyang ewa citu, ada alana mama uwa” terdiri dari
tujuh kata, yaitu:
anyang (jangan), satu morfem ewa (lewat), satu morfem citu (disitu), satu morfem ada, satu morfem alana (kepalana), dua morfem yang terbentuk dari: kepala, satu morfem -na, satu morfem mama (mama), satu morfem uwa (tua), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “anyang ewa citu, ada Alana mama uwa”,kalimat
yang dimaksudkan adalah “jangan lewat di situ, ada
kepalanya mama tua”
d. Semantik :
Tuturan tersebut memberikan peringatan bahwa jangan
melewati jalan itu karena mama tua sedang beristirahat di
situ, Fiqah takut jika Firda menginjak mama tua, dan mama
tua terbangun dan memarahi mereka karena bermain di
situ.
33. Data “iyang andattu, ijit anjing” (Kamis, 4 Juni 2015 pukul 16.51)
Sore itu, Fiqah dengan ayahnya bermaksud pergi jalan-jalan sore di sekitar rumah, tapi ketika ingin berangkat, ia tidak menemukan sandalnya. Ayah : “Pakai dulu sandal ta, nak!” Fiqah : “iyang andattu, ijit anjing” Ayah : “Gendong ayah saja.”
120
a. Fonologi :
Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, belum memperoleh
fonem /h/ pada awal kata dan mengubah fonem /l/ menjadi
fonem /y/ pada kata “hilang”. Belum memperoleh fonem /s/
pada awal kata dan mengubah fonem /l/, /k/ menjadi fonem
/t/ pada kata “sandalku”. Belum memperoleh fonem /g/ pada
awal kata dan mengubah fonem /g/ kedua menjadi fonem /j/
pada kata “gigit”.
b. Morfologi :
Tuturan “iyang andattu, ijit anjing” terdiri dari empat kata,
yaitu:
iyang (hilang), satu morfem andattu (sandalku), dua morfem yang terbentuk dari: sandal, satu morfem -ku, satu morfem ijit (gigit), satu morfem anjing, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “hilang sandalku, dimakan anjing”
d. Semantik :
Tuturan “iyang andattu, ijit anjing”, ketika ia tidak mendapati
sandalnya, ia berfikir bahwa sandalnya telah hilang, hilang
dimakan anjing karena sandal Firda, kakak sepupunya juga
pernah kehilangan sandal karena dimakan anjing. Fiqah
121
mampu mengaitkan kejadian sebelumnya dengan kejadian
yang dialaminya sendiri.
34. Data “anyang atang ula, aci ijitu” (Senin, 8 Juni 2015 pukul 14.21)
a. Fonologi :
Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, belum memperoleh
fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /ny/,
fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”. Belum
memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem
/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “makan”.
Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata “gula”. Belum
memperoleh fonem /s/ pada awal kata, fonem /t/ pada akhir
kata dan mengubah fonem /k/ menjadi fonem /c/ pada kata
“sakit”. Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata dan
mengubah fonem /g/ kedua menjadi fonem /j/, fonem /k/
menjadi /t/ pada kata “gigiku”.
b. Morfologi :
Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu” terdiri dari lima kata,
yaitu:
anyang (jangan), satu morfem atang (makan), satu morfem ula (gula), satu morfem aci (sakit), satu morfem ijitu (gigiku), dua morfem yang terbentuk dari gigi, satu morfem -ku, satu morfem
122
c. Sintaksis :
Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “jangan makan gula, nanti sakit gigiku”.
d. Semantik :
Tuturan “anyang atang ula, aci ijitu”, belajar dari
pengalaman sebelumnya, pernah makan permen dan
akhirnya giginya sakit, sehingga jika ada yang
memberikannya gula/permen ia akan selalu mengeluarkan
tuturan tersebut.
35. Data “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, “uca ancing ajutu”, “tepong
mama yuyu ulu”, “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”
(Sabtu, 13 Juni 2015 pukul 15.10)
Sore itu, ada beberapa lembar baju Firda ketika kecil yang diberikan kepada Fiqah, ia ingin mencoba semuanya. Fiqah : “Ate ta ulu ajutu aci ta ata idda” Mama : “Sini pakaikan ki, nak” Fiqah : “uca ancing ajutu” Mama : “Rusak, nak? Nanti dijahit lagi naa…” Fiqah : “Epong mama Yuyu ulu” (mengambil handphone yang ada di dekatnya) “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”
a. Fonologi :
Tuturan “Ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, belum memperoleh
fonem /p/ pada awal kata, mengubah fonem /k/ menjadi /t/,
fonem /a/, /i/ dileburkan menjadi fonem /e/. Belum
memperoleh fonem /d/ pada awal kata “dulu”. Belum
memperoleh fonem /b/ pada awal kata, fonem /k/ diubah
menjadi fonem /t/ pada kata “bajuku”.
123
Tuturan “uca ancing ajutu”, belum memperoleh fonem /r/
pada awal kata, fonem /k/ pada akhir kata, dan mengubah
fonem /s/ menjadi /c/ pada kata “rusak”. Belum memperoleh
fonem /k/ pada awal kata “kancing”.
Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, belum memperoleh
fonem /l/ pada tengah kata, dan mengubah fonem /n/
menjadi /ŋ/ pada kata “telepon”.
Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,
menghilangkan fonem /b/, mengubah fonem /k/ menjadi /t/
pada kata “belikan.
b. Morfologi :
Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda” terdiri dari enam
kata, yaitu:
ateta (pakai ka), dua morfem yang terbentuk dari: pakai, satu morfem -ka, satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem ajutu (bajuku), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -ku, satu morfem aci ta (kasi’ ka), dua morfem yang terbentuk dari: kasi’, satu morfem -ka, satu morfem ata (kakak), satu morfem idda (firda), satu morfem
Tuturan “uca ancing ajutu” terdiri dari tiga kata, yaitu:
uca (buka), satu morfem ancing (kancing), satu morfem ajutu (bajuku), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -ku, satu morfem
124
Tuturan “tepong mama yuyu ulu” terdiri dari empat kata,
yaitu:
tepong (telepon), satu morfem mama, satu morfem yuyu, satu morfem ulu (dulu/ dahulu), satu morfem
Tuturan “ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”
terdiri dari delapan kata, yaitu:
ma yuyu, dua morfem yang terbentuk dari: ma (mama), satu morfem yuyu, satu morfem elitanta (belikanka), tiga morfem yang terbentuk dari: beli, satu morfem dasar -kan, satu morfem afiks -ka, satu morfem aju (baju), satu morfem uca (rusak), satu morfem ajuna (bajuna), dua morfem yang terbentuk dari: baju, satu morfem -na, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “pakai dulu baju yang diberikan kakak
idda”.
Tuturan “uca ancing ajutu”, kalimat yang dimaskudkan
adalah “rusak kancing bajuku yang diberikan kakak idda”.
Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “telepon dulu mama Yuyu”
Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,
kalimat yang dimaksudkan adalah “mama Yuyu, belikan
125
baju untukku, baju yang diberikan kakak idda itu rusak
kancingnya”.
d. Semantik :
Tuturan “ate ta ulu ajutu aci ta ata idda”, maksudnya ia ingin
mencoba memakai semua baju yang diberikan kepadanya.
Tuturan “uca ancing ajutu”, ketika ia mencoba satu persatu
baju yang diberikan, ia mendapatkan baju yang kancing
depannya rusak.
Tuturan “tepong mama Yuyu ulu”, ia langsung berinisiatif
menelpon mama Yuyu untuk melaporkan bahwa idda
memberinya baju yang kancing depannya rusak. Meski
handphone yang dipegangnya itu tidak terhubung ke Mama
Yuyu, ia tetap berbicara sendiri seakan ia benar menelpon
mama Yuyu.
Tuturan ““ma yuyu, elitanta aju, uca aju na ata idda aci’ta”,
ia meminta mama Yuyu membelikannya baju karena baju
yang diberikan Firda itu rusak kancingnya. Meskipun yang
rusak kancingnya itu hanya selembar baju, tapi ia tetap
melaporkan seakan semua baju yang diberikan kepadanya
itu rusak semuanya.
36. Data “bapa, ada obi beca, ada uang” (Selasa, 16 Juni 2015 pukul
18.30)
a. Fonologi :
126
Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, belum memperoleh
fonem /m/ pada awal kata dan fonem /l/ pada akhir kata
“mobil”, mengubah fonem /s/ menjadi fonem /c/, fonem /r/
belum diperoleh pada akhir kata “besar”.
b. Morfologi :
Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang” terdiri dari enam
kata yang masing-masing kata terbentuk dari satu morfem,
yaitu:
bapa (bapak), satu morfem ada, satu morfem obi (mobil, satu morfem beca (besar), satu morfem ada, satu morfem uang, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “bapak, ada mobil besar datang, pasti
ada uang”.
d. Semantik :
Tuturan “bapa, ada obi beca, ada uang”, biasanya, ketika
mobil besar (truk) itu datang, ia pasti mendapat jatah uang
jajan karena truk itu datang untuk membawa kacang
sehingga ada pemasukan uang untuk kakeknya sehingga ia
pun mendapat jatah, hingga setiap kali mobil besar itu
datang, ia selalu mengharapkan mendapatkan uang jajan
lagi.
127
37. Data “tatu ti? ini emani ti” (Jumat 19 Juni 2015 pukul 19.56)
Malam itu, Zahir bermalam di rumahnya, mama Zahir ingin keluar untuk membeli sesuatu, tapi mendengar mama Zahir berbicara bahwa ia takut keluar malam sendiri, ia langsung menawarkan diri untuk menemaninya. Fiqah : “tatu ti? ini emani ti”,
a. Fonologi :
Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, belum memperoleh fonem /t/
pada akhir kata, mengubah fonem /k/ menjadi fonem /t/
pada kata “takut”. Menghilangkan fonem /t/ pada kata
“temani”.
b. Morfologi :
Tuturan “tatu ti? ini emani ti” terdiri dari tiga kata, yaitu:
tatuti (takutki), dua morfem yang terbentuk dari: takut, satu morfem -ki, satu morfem ini, satu morfem emaniki (temaniki), tiga morfem yang terbentuk dari: teman, satu morfem -i, satu morfem -ki, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, kaliamt yang dimaskudkan
adalah “tante takut? mari Fiqah yang temani”
d. Semantik :
Tuturan “tatu ti? ini emani ti”, ia memahami bahwa jika
orang takut, perlu ditemani, perlu ada yang menemani agar
tidak lagi takut untuk pergi.
128
38. Data “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” (Selasa, 23 Juni 2015 pukul
19.00)
Malam itu, adiknya sedang menangis, ia ingin tidur tapi adiknya selalu menangis, dia duduk di dekat adiknya lalu berbisik pada adiknya. Fiqah : “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” Adiknya lalu berhenti menangis, ia kembali ke tempat tidurnya. a. Fonologi :
Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, belum
memperoleh fonem /k/ pada awal kata “kucing”. Belum
memperoleh fonem /g/ pada awal kata, /g/ diubah menjadi
fonem /j/ pada kata “gigit”. fonem /k/ diubah menjadi fonem
/t/ pada kata “kakiku”. Belum memperoleh fonem /j/ pada
awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi /ny/, fonem /n/
menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”. Belum memperoleh fonem
/r/ pada awal kata, dan fonem /t/ pada akhir kata “ribut"
b. Morfologi :
Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu” terdiri dari enam
kata, yaitu:
ada, satu morfem ucing (kucing), satu morfem ijit (gigit), satu morfem tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari: kaki, satu morfem -ku, satu morfem anyang (jangan), satu morfem ibu (ribut), satu morfem
129
c. Sintaksis :
Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “ada kucing, gigit kakiku, jangan rebut,
dek”.
d. Semantik :
Tuturan “ada ucing, ijit tatitu, anyang ibu”, ia memberi
peringatan kepada adiknya bahwa ada kucing yang sudah
menggigit kakinya, melarang adiknya untuk tidak ribut agar
ia tidak digigit kucing juga, dan yang mengherankan adalah
adiknya berhenti menangis karena peringatan yang
diberitahukan oleh Fiqah.
39. Data “anyang angis, tunju ni mamata” (Kamis, 25 Juni 2015 pukul
11.35)
a. Fonologi :
Tuturan “anyang angis, unju ni mamata”, belum
memperoleh fonem /j/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/
menjadi /ny/, fonem /n/ menjadi /ŋ/ pada kata “jangan”.
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, fonem /n/
pada tengah kata, dan menghilangkan fonem /e/ pada kata
“menangis”. Mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/, fonem
/g/ diubah menjadi fonem /j/ untuk kata “tunggu”.
b. Morfologi :
130
Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata” terdiri dari empat
kata, yaitu:
anyang (jangan), satu morfem angis (nangis), satu morfem tunjuni (tungguni), dua morfem yang terbentuk dari: tungggu, satu morfem -ni, satu morfem mamata, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem -ta, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “jangan menangis, tungggu mama ta”
d. Semantik :
Tuturan “anyang angis, tunju ni mamata”, ia menenangkan
adiknya yang menangis mencari mamanya, dengan
mengelus-elus kaki adiknya, ia terus menuturkan kalimat
tersebut.
40. Data “omba ti tu anjil bapa atang” (Senin, 29 Juni 2015 pukul 18.32)
a. Fonologi :
Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, belum memperoleh
fonem /l/ pada awal kata “lomba”. Belum memperoleh fonem
/p/ pada awal kata, mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/,
fonem /g/ menjadi fonem /j/ pada kata “panggil”. Belum
memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem
/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ pada kata
“makan”.
131
b. Morfologi :
Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang” terdiri dari empat kata,
yaitu:
omba ti tu (lomba ki tu), tiga morfem yang terbentuk dari: lomba, satu morfem -ki, satu morfem -tu, satu morfem anjil (panggil), satu morfem bapa (bapak), satu morfem atang (makan), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “ayo berlomba untuk memanggil bapak
(kakek) makan”
d. Semantik :
Tuturan “omba ti tu anjil bapa atang”, Fiqah mengajak kakak
sepupunya untuk berlomba memanggil bapak (kakek) untuk
makan malam, mereka berkelarian kea rah kamar
kakeknya.
41. Data “tanti-tanti mama uwa” (Selasa, 30 Juni 2015 pukul 19.21)
Malam itu, Fiqah bermain di kamar Mama Tua (Neneknya), ia bermain rias wajah sendiri, memakai bedak dan pensil alis. Mama Tua : “Bikin apa ki, nak?” Fiqah : “tanti-tanti mama uwa.”
a. Fonologi :
Mengubah fonem /c/ menjadi /t/, dan menghilangkan fonem
/k/ dari kata “cantik”
132
b. Morfologi :
Tuturan “tanti-tanti mama uwa” terdiri dari tiga kata, yaitu:
tanti-tanti (cantik-cantik), dua morfem yang terbentuk dari: cantik, satu morfem dasar cantik, satu morfem ulang mama, satu morfem uwa (tua), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “tanti-tanti mama uwa”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “mama tua tengah merias wajahnya / cantik-cantik”
d. Semantik :
Tuturan tersebut menyatakan bahwa bercantik-cantik alias
merias wajah ini sering dilakukan oleh mama tua (neneknya)
ketika ingin bepergian. Orang berias wajah itu di depan
cermin sambil terus memakai bedaknya. Fiqah melakukan
hal yang sama dengan yang dilakukan neneknya setiap kali
berhias. Fiqah mampu menirukan kegiatan tersebut hampir
sempurna.
42. Data “ototna ayah antengtu itu”, “acita unci otot na ayah antengtu”
(Rabu, 1 Juli 2015 pukul 16.21)
Sore itu, Tante Farida datang ke rumah, ia duduk di atas motor milik ayah Fiqah, Fiqah mengenali motor ayahnya dan menyuruh tante Farida untuk turun. Fiqah : “Ototna ayah antengtu itu.” Tante Farida : “Motorku ini. Mau ka bawa pulang dulu motorku.” Fiqah : “acita unci ototna ayah antengtu.”
133
a. Fonologi :
Tuturan “ototna ayah antengtu itu”, belum memperoleh
fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem /r/ menjadi
fonem /t/ dan fonem /ny/ menjadi fonem /n/ dari kata
“motornya”, belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata,
mengubah fonem /k/ menjadi fonem /t/ pada kata
“gantengku”
Tuturan “acita unci ototna ayah antengtu”, belum
memperoleh fonem /k/ pada awal kata, mengubah fonem /s/
menjadi fonem /c/ dan fonem /k/ menjadi fonem /t/ pada
kata “kasika”, belum memperoleh fonem /k/ pada awal kata
“kunci”
b. Morfologi :
Tuturan “ototna ayah antengtu itu” terdiri dari empat kata,
yaitu:
ototna (motorna), dua morfem yang terbentuk dari: motor, satu morfem -na, satu morfem ayah, satu morfem antengtu (gantengku), dua morfem yang terbentuk dari: ganteng, satu morfem -ku, satu morfem itu, satu morfem
Tuturan “acita unci otot na ayah antengtu” terdiri dari lima
kata, yaitu:
acita (kasi ka), dua morfem yang terbentuk dari: kasi, satu morfem -ka, satu morfem
134
unci (kunci), satu morfem otot na (motor na), dua morfem yang terbentuk dari: motor, satu morfem -na, satu morfem ayah, satu morfem antengtu (gantengku), dua morfem yang terbentuk dari: ganteng, satu morfem -ku, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ototna ayah antengtu itu”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “motornya ayah gantengku itu”
Tuturan “acita unci ototna ayah antengtu, kalimat yang
dimaksudkan adalah “berikan padaku kunci motornya ayah
gantengku”
d. Semantik :
Pada percakapan tersebut, Fiqah menyatakan bahwa itu benar
motor milik ayahnya. Ia meminta kunci motor itu karena ia
merasa sangat yakin bahwa motor itu milik ayahnya. Dalam
percakapan itu juga membuktikan bahwa Fiqah mengenali
dengan baik milik ayahnya, dan iapun memahami bahwa jika
tidak ada kunci motor, motornya tidak akan mungkin dibawa
pulang oleh tante Farida.
43. Data “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca” (Jumat, 3 Juli 2015 pukul
19.22)
a. Fonologi :
Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, belum
memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah fonem
135
/k/ menjadi /t/, fonem /n/ menjadi fonem /ŋ/ pada kata
“makan”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata,
mengubah fonem /ŋ/ menjadi fonem /n/, fonem /g/ menjadi
fonem /j/ pada kata “panggil”. Belum memperoleh fonem /j/
pada awal kata, mengubah fonem /g/ menjadi /j/ pada kata
“juga”.
b. Morfologi :
Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca” terdiri dari enam
kata, yaitu:
ayah, satu morfem atang ti (makan ki), dua morfem yang terbentuk dari: makan, satu morfem -ki, satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem anjil (panggil), satu morfem uja (juga), satu morfem om eca (om faisal), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem faisal, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, yang
maksudkan adalah kalimat “ayah, pergi makan dulu, panggil
juga om Faisal”.
d. Semantik :
Tuturan “aya, atang ti ulu, anjil uja om eca”, Fiqah
mengingatkan ayahnya untuk makan dulu, jangan lupa
panggil juga om Faisal karena memang saat itu ada om
136
Faisal datang ke rumahnya. Om Faisal, teman kerja
ayahnya.
44. Data “ati eyuttu”, “mau ta atang aci, itang, iti tayu” (Sabtu, 4 Juli
2015 pukul 09.38)
Pagi hari, baru saja Fiqah bangun dan keluar dari kamarnya, langsung berbaring di depan telivisi sambil memegang perutnya. Mama Fiqah : “Kenapa perut ta, nak?” Fiqah : “Ati eyuttu.” Mama Fiqah : “Kenapa sakit perut ta, nak?” Fiqah : “Mauta atang aci, itang, iti tayu.”
a. Fonologi :
Tuturan “ati eyuttu”, belum memperoleh fonem /s/ pada awal
kata, fonem /t/ pada akhir kata, dan mengubah fonem /k/
menjadi /t/ dari kata “sakit”. Belum memperoleh fonem /p/
pada awal kata dan mengubah fonem /r/ menjadi /y/, fonem
/k/ menjadi /t/ dari kata “pƏrutku”.
Tuturan “mauta atang aci, itang, iti tayu”, mengubah fonem
/k/ menjadi /t/ dari kata “mauka”. Belum memperoleh fonem
/m/ pada awal kata, dan mengubah fonem /k/ menjadi /t/,
fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata “makan”. Belum memperoleh
fonem /n/ pada awal kata dan mengubah fonem /s/ menjadi
/c/ dari kata “nasi”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/, dan
fonem /n/ menjadi /ŋ/ dari kata “ikan”. Mengubah fonem /s/
menjadi fonem /t/, dan belum memperoleh fonem /r/ pada
akhir kata “isi sayur”.
137
b. Morfologi :
Tuturan “ati eyuttu” terdiri dari dua kata, yaitu:
ati (sakit), satu morfem eyuttu (perutku), dua morfem yang terbentuk dari: perut, satu morfem -ku, satu morfem
Tuturan “mau ta atang aci, itang, iti tayu” terdiri dari lima
kata, yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem atang (makan), satu morfem aci (nasi), satu morfem itang (ikan), satu morfem iti tayu (isi sayur), dua morfem yang terbentuk dari: isi, satu morfem sayur, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ati eyuttu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “sakit
perutnya fiqah”
Tuturan “mauta atang aci, itang, iti tayu”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “fiqah ingin makan nasi, ikan, dan
biji/isi sayur”
d. Semantik :
Percakapan tersebut memberikan informasi bahwa Fiqah
sakit perut karena kelaparan, tetapi ia tidak menyebutkan
bahwa ia lapar, tetapi ia mengatakan ingin makan nasi, ikan
dan sayur. Hal ini membuktikan bahwa Fiqah mampu
138
memahami bahwa ketika orang sakit perut karena lapar,
obatnya adalah makan.
45. Data “tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja om itu atu”
(Ahad, 5 Juli 2015 pukul 08.22)
Pagi itu, Fiqah bermain di ruang kerja ayahnya, ketika teman-teman kerja ayahnya datang, ia menuju ke arah mamanya karena diminta oleh ayahnya untuk memberitahukan kepada mamanya untuk membuatkan minuman untuk para tamunya. Mama : (mendengar ayahnya memerintahkan Fiqah memberitahunya) “Siapa yang datang, nak?” Fiqah : “Tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja om itu atu” a. Fonologi :
Tuturan “tatang om eca awa, tatang uja om untu, atang uja
om itu atu”, mengubah fonem /d/ menjadi /t/ pada kata
“datang”. Belum memperoleh fonem /j/ pada awal kata,
mengubah fonem /g/ menjadi /j/ pada kata “juga”.
b. Morfologi :
Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja
om itu atu” terdiri dari 11 kata yaitu:
atang (datang), satu morfem om eca (om faisal), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem faisal, satu morfem awa (bawah), satu morfem atang (datang), satu morfem uja (juga), satu morfem om untu (om buntu), dua morfem yang terbentuk dari: om, satu morfem buntu, satu morfem atang (datang), satu morfem uja (juga), satu morfem om, satu morfem
139
itu, satu morfem atu (satu), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja
om itu atu”, yang dimaksudkan adalah kalimat “datang om
faisal, datang juga om untu, datang juga om itu yang satu”.
d. Semantik :
Tuturan “atang om eca awa, atang uja om untu, atang uja
om itu atu”, memberitahukan kepada mamanya bahwa
teman ayah yang datang ada beberapa orang, karena
belum bisa menghitung sehingga ia menyebutkan nama
satu per satu dari tamu ayahnya yang datang ketika itu.
46. Data “ana otong cucu cica injam idda tadi” (Senin, 6 Juli 2015 pukul
09.41)
Pagi itu, Mama Fiqah ingin memotong kuku Fiqah, jadi Ia mencari pemotong kuku milik Fiqah. Mama Fiqah : “Mana potong kuku ta, nak?” Fiqah : “Injam idda” Mama Fiqah : “Pergi ki dulu tanya Mama Iya.” Fiqah : (Menuju kamar mama Iya) “ana otong cucu cica
injam idda tadi?” Mama Iya : “Tidak ku lihat saya, nak.” Fiqah : “Iyam mi.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /p/ pada awal kata “pinjam”.
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata tanya “mana”,
fonem /p/ dari kata “potong”. Mengubah fonem /k/ menjadi /c/
140
dari kata “kuku”. Belum memperoleh fonem /p/ pada awal
kata “pinjam”.
Belum memperoleh fonem /h/ pada awal kata dan mengubah
fonem /l/ menjadi /y/, fonem /ng/ menjadi /m/ dari kata
“hilang.
b. Morfologi :
Tuturan “ana otong cucu cica injam idda tadi” terdiri dari
tujuh kata yang masing-masing kata terbentuk dari satu
morfem, yaitu:
ana (mana), satu morfem otong (potong), satu morfem cucu (kuku), satu morfem cica (fiiqah), satu morfem injam (pinjam), satu morfem idda (firda), satu morfem tadi, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ana otong cucu cica injam idda tadi?”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “potong kuku fiqah yang dipinjam Firda
tadi disimpan dimana”
d. Semantik :
Ketika ditanya tentang pemotong kukunya, Fiqah langsung
mengingat bahwa kemarin Firda meminjamnya. Kemudian
mamanya menyuruhnya untuk menanyakannya kepada
Mama Iya (Mama Firda), tapi Mama Iya tidak melihatnya,
141
Fiqah menyimpulkan bahwa barang yang dicarinya itu telah
hilang.
47. Data “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo” (Rabu, 8 Juli
2015 pukul 09.55)
Pagi itu, Fiqah ikut ke pasar bersama tante dan neneknya. Dengan melewati bemor (becak-motor), ketika dalam perjalanan Tante : “Apa itu, Qah?” Fiqah : “Obi beca.” Tante : “Mobil besar?” Fiqah : “Ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo” a. Fonologi :
Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,
belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, fonem /l/
pada akhir kata “mobil”. Belum memperoleh fonem /b/ pada
awal kata, mengubah fonem /s/ menjadi /c/, fonem /r/ belum
diperoleh pada akhir kata “besar”. Belum memperoleh
fonem /k/ pada awal kata, fonem /l/ pada akhir kata “kecil”.
Belum memperoleh fonem /m/ pada awal kata, mengubah
fonem /r/ menjadi fonem /t/ pada kata “motor”. Belum
memperoleh fonem /b/ pada awal kata, fonem /r/ pada akhir
kata “bemor”.
b. Morfologi :
Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”
terdiri dari 11 kata yang masing-masing kata tersebut
terbentuk dari satu morfem, yaitu:
ada, satu morfem obi (mobil), satu morfem
142
beca (besar), satu morfem eci (kecil), satu morfem otot (motor), satu morfem uja ( juga), satu morfem emo (bemor), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,
kalimat yang dimaksudkan adalah “ada mobil besar, ada
mobil kecil, ada motor, ada juga bemor”.
d. Semantik :
Tuturan “ada obi beca, ada obi eci, ada otot, ada uja emo”,
dengan menjawab pertanyaan pertama yang ditanyakan
tantenya, iya mampu menyebutkan beberapa kendaraan
yang ia lihat dalam perjalanan menuju pasar.
48. Data “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang” (Jumat, 10 Juli 2015
pukul 19.03)
Malam hari, Fiqah mendengar bunyi tanda penjual siomai yang setiap hari itu datang, ia segera berlari menuju pintu dan berteriak. Fiqah : “Mba, unju ulu ada uangtu, Uli uang!”
a. Fonologi :
Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang”, mengubah
fonem /ŋ/ menjadi /n/, fonem /g/ menjadi /j/ dari kata
“tunggu”. Belum memperoleh fonem /d/ dari awal kata “dulu”.
Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata “uangku”.
143
b. Morfologi :
Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang” terdiri dari
tujuh kata, yaitu:
mba, satu morfem tunju (tunggu), satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem ada, satu morfem uangtu, dua morfem yang terbentuk dari: uang, satu morfem -tu, satu morfem uli, satu morfem uang, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mba, tunju ulu ada uangtu, uli uang”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “mba, tunggu dulu, saya ingin beli,
saya punya uang, Uli minta uang”.
d. Semantik :
Percakapan tersebut menjelaskan bahwa Fiqah mulai
memahami, dan mampu meniru hal yang menjadi kebiasaan
hampir setiap malam dilakukan, yakni meminta mba penjual
siomai menunggu sebentar, tetapi Fiqah dalam percakapan
tersebut menambahkan kalimat “ada uangku, Uli uang” yang
maksudnya agar mba memastikan bahwa ia akan membeli
siomai, meski kenyataannya ia baru ingin meminta kepada
tante Uli.
144
49. Data “ama-ama lottu idda, acha” (Senin, 13 Juli 2015 pukul 15.49)
Sore hari, percakapan bersama Firda yang tengah menonton bersama film Masha and The Bear. Fiqah : “Ama-ama lottu idda. Acha.” Firda : “Tidak sama.” Fiqah : “Ama-ama.”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /s/ pada awal kata ulang “sama-
sama”. Mengubah fonem /r/ menjadi /l/, fonem /k/ menjadi /t/
dari kata “rokku”. Belum memperoleh fonem /m/ pada awal
kata, dan mengubah fonem /s/ menjadi /c/ dari kata “Masha”.
b. Morfologi :
Tuturan “ama-ama lottu idda, acha” terdiri dari empat kata,
yaitu:
ama-ama (sama-sama), dua morfem yang terbentuk dari: sama, satu morfem dasar sama, satu morfem ulang lottu (rokku), dua morfem yang terbentuk dari: rok, satu morfem -ku, satu morfem idda (firda), satu morfem acha (masha), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “ama-ama lottu idda, acha”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “gambar rokku sama dengan gambar roknya
Firda, gambar Masha”
145
d. Semantik :
Percakapan tersebut menyatakan bahwa Fiqah mulai
mampu membedakan gambar yang serupa dengan yang
tidak. Tuturannya semakin komunikatif.
50. Data “anyak amuk, mama iya”, “oyang tatitu” (Rabu, 15 Juli 2015
pukul 19.41)
Percakapan antara Fiqah dengan Mama Iya, Tantenya (Mama Firda), saat makan malam. Fiqah : “Anyak amuk, Mama Iya.” Mama Iya : “Banyak nyamuk? Goyang-goyang kaki ta, nak” Fiqah : “Oyang tatitu.”
a. Fonologi :
Tuturan “anyak amuk”, belum memperoleh fonem /b/ pada
awal kata “banyak”. Belum memperoleh fonem /ny/ pada
awal kata “nyamuk”.
Tuturan “oyang tatitu”, belum memperoleh fonem /g/ pada
awal kata “goyang”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata
“kakiku”.
b. Morfologi :
Tuturan “anyak amuk, mama iya” terdiri dari tiga kata, yaitu:
anyak (banyak), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem mama iya, dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem iya, satu morfem
Tuturan “oyang tatitu” terdiri dari dua kata, yaitu:
oyang (goyang), satu morfem tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari:
146
kaki, satu morfem -ku, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “anyak amuk, mama iya”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “banyak nyamuk, mama Ria”
Tuturan “oyang tatitu”, kalimat yang dimaksudkan adalah
“goyang-goyang kakiku”
d. Semantik :
Fiqah memberikan informasi kepada tantenya bahwa di
tempatnya makan banyak nyamuk, kemudian tantenya
menyuruhnya untuk menggoyangkan kakinya agar Fiqah
tidak digigit nyamuk, Fiqah pun melakukan hal sesuai
instruksi yang diberikan. Hal ini membuktikan bahwa Fiqah
mampu melakukan sesuatu sesuai perintah yang diberikan.
51. Data “apa itu? apa itu? apa itu?” (Kamis, 16 Juli 2015 pukul 20.34)
a. Fonologi :
Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, sudah baik dari segi
penyebutannya.
b. Morfologi :
Tuturan “apa itu?” terdiri dari dua kata yang masing-masing
kata terbentuk dari satu morfem, yaitu:
apa, satu morfem itu, satu morfem
147
c. Sintaksis :
Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, kalimat tersebut sesuai
dengan yang sebenarnya.
d. Semantik :
Tuturan “apa itu? apa itu? apa itu?”, dimaksudkan untuk
menanyakan hal-hal yang belum dikenalnya, bahkan
terkadang digunakannya untuk merayu agar bisa melakukan
hal yang diminatinya, misalnya ingin bermain air, biasanya
ia bertanya tentang tempat air, gelas, dan lainnya untuk bisa
melakukan keinginannya itu.
52. Data “mauta adu-adu nenneng” (Ahad, 19 Juli 2015 pukul 15.50)
a. Fonologi :
Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, belum memperoleh
fonem /k/ pada akhir kata ulang “aduk-aduk”.
b. Morfologi :
Tuturan “mauta adu-adu nenneng” terdiri dari tiga kata,
yaitu:
mau ta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem adu-adu (aduk-aduk), dua morfem yang terbentuk dari: aduk, satu morfem dasar aduk, satu morfem ulang nenneng (susu), satu morfem
148
c. Sintaksis :
Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, kalimat yang
dimaskudkan adalah “saya ingin mengaduk-aduk susu”.
d. Semantik :
Tuturan “mauta adu-adu nenneng”, melihat mamanya
membuatkan susu untuknya, ia ingin mencoba mengaduk-
aduknya.
53. Data “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk” (Senin, 20 Juli 2015 pukul
21.04)
Malam hari, percakapan ini terjadi ketika Fiqah diayung oleh Mamanya, waktu tidur malamnya tiba. Mama Fiqah : “Kasi masuk kaki ta, nak. Digigit nyamuk nanti.” Fiqah : “Oyang-oyang tatitu, nda iji amuk”
a. Fonologi :
Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata ulang
“goyang-goyang”. Mengubah fonem /k/ menjadi /t/ dari kata
“kakiku”. Tuturan “nda” dimaksudkan untuk mewakili kata
“tidak”. Belum memperoleh fonem /g/ pada awal kata dan
mengubah fonem /g/ menjadi /j/ dari kata “gigit”. Belum
memperoleh fonem /ny/ pada awal kata “nyamuk”.
b. Morfologi :
Tuturan “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk” terdiri dari lima
kata, yaitu:
oyang-oyang (goyang-goyang), dua morfem yang terbentuk dari: goyang, satu morfem dasar
149
goyang, satu morfem ulang tatitu (kakiku), dua morfem yang terbentuk dari: kaki, satu morfem -ku, satu morfem nda (tidak), satu morfem iji (gigit), satu morfem amuk (nyamuk), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “oyang-oyang tatitu, nda iji amuk”, kalimat yang
dimaksudkan adalah “goyang-goyang kakiku, biar tidak
digigit nyamuk”
d. Semantik :
Percakapan itu, Fiqah mengingat dan mengulangi hal yang
pernah diberitahukan kepadanya tentang menggoyangkan
kaki jika ada banyak nyamuk. Menyadari banyak nyamuk di
sekitarnya, maka ia menggoyang-goyangkan kakinya.
54. Data “cica aca telu, oco ulu” (Selasa, 21 Juli 2015 pukul 16.10)
a. Fonologi :
Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, belum memperoleh fonem
/m/ pada awal kata, fonem /k/ pada akhir kata, mengubah /s/
menjadi /c/ pada kata “masak”. Belum memperoleh fonem
/r/ pada akhir kata “telur”. Belum memperoleh fonem /k/
pada awal dan akhir kata “kocok”. Belum memperoleh
fonem /d/ pada awal kata “dulu”.
150
b. Morfologi :
Tuturan “cica aca telu, oco ulu” terdiri dari lima kata yang
masing-masing kata tersebut terbentuk dari satu morfem,
yaitu:
cica (fiiqah), satu morfem aca (masak), satu morfem telu (telur), satu morfem ocok (kocok), satu morfem ulu (dulu/dahulu), satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, kalimat yang dimaksudkan
adalah “Fiqah ingin masak telur, tapi sebalumnya harus
dikocok terlebih dahulu”, Fiqah ingin makan telur goring
kocok.
d. Semantik :
Tuturan “cica aca telu, oco ulu”, telur goring kocok menjadi
makanan yang disukai oleh Fiqah, ia juga suka
memasaknya bersama mamanya, tapi dengan syarat ia
yang harus mengocok telurnya dulu.
55. Data “mauta inum teng”, “intata tengta mama uwa” (Jumat, 24 Juli
2015 pukul 14.30)
Fiqah tengah bermain bersama mamanya di ruang tengah, dia melihat mama tuanya tengah minum the di dapur. Fiqah : “Mauta inum teng” Mama : “Mau ki minum the, nak?” Fiqah berlari mendekati mama tuanya Fiqah : “Intata tengta mama uwa”
151
a. Fonologi :
Tuturan “mauta inum teng”, belum memperoleh fonem /m/
pada awal kata “minum”, mengubah fonem /h/ menjadi
fonem /ŋ/ dari kata “teh”.
Tuturan “intata tengta mama uwa”, belum memperoleh
fonem /m/ pada awal kata “minta”, mengubah fonem /h/
menjadi fonem /ŋ/ dari kata “teh”.
b. Morfologi :
Tuturan “mauta inum teng” terdiri dari tiga kata, yaitu:
mauta (mau ka), dua morfem yang terbentuk dari: mau, satu morfem -ka, satu morfem inum (minum), satu morfem teng (teh), satu morfem
Tuturan “intata tengta mama uwa” terdiri dari tiga kata, yaitu:
intata (minta ka), dua morfem yang terbentuk dari: minta, satu morfem -ka, satu morfem tengta (teh ta), dua morfem yang terbentuk dari: teh, satu morfem -ta, satu morfem mama uwa (mama tua), dua morfem yang terbentuk dari: mama, satu morfem tua, satu morfem
c. Sintaksis :
Tuturan “mauta inum teng”, yang dimaksudkan adalah
kalimat “saya ingin minum teh".
Tuturan “intata tengta mama uwa”, yang dimaksudkan
adalah kalimat “minta Fiqah tehnya mama tua”.
152
d. Semantik :
Tuturan “mauta inum teng”, maksudnya Fiqah ingin
meminum teh karena melihat mama tuanya tengah
meminum teh.
Tuturan “intata tengta mama uwa”, maksudnya Fiqah ingin
meminta teh milik mama tuanya.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, ditemukan
kuantitas bahasa yang digunakan dari segi bentuk tuturan dapat
dikelompokkan dalam dua bentuk tuturan, yaitu tuturan dua kata, dan tiga
atau lebih kata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Persentase Tuturan Dua Kata
No Waktu Jumlah Ujaran Persentase
1 Bulan Februari 2015
Minggu Kelima 6 46 %
2 Bulan Maret 2015
Minggu Pertama 4 31 %
Minggu Kedua 2 15 %
Minggu Ketiga 1 8 %
Minggu Keempat 0 0 %
Jumlah 13 100 %
Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 13 tuturan dua kata dengan
rincian, pada minggu kelima bulan Februari 2015 ditemukan 6 tuturan atau
46%. Bulan Maret 2015, minggu pertama tuturan yang berhasil dituturkan
adalah 4 atau 31 %, minggu kedua ditemukan 2 atau 15 % tuturan,
minggu ketiga tuturan yang dihasilkan adalah 1 atau 8 %, dan minggu
keempat tidak ditemukan untuk tuturan dua kata. Data tersebut
menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia anak, tuturan dua kata
153
mengalami grafik penurunan dan akan terus berkurang dan berkembang
menjadi tiga kata dan seterusnya seiring dengan bertambahnya usia anak.
Tabel 4.2 Persentase Tuturan Tiga Kata atau Lebih
No Waktu Jumlah Tuturan Persentase
1 Bulan Februari 2015
Minggu Kelima 2 3%
Jumlah Ujaran 2 3%
2 Bulan Maret 2015
Minggu Pertama 1 1%
Minggu Kedua 2 3%
Minggu Ketiga 3 4%
Minggu Keempat 3 4%
Jumlah Ujaran 9 13%
3 Bulan April 2015
Minggu Pertama 4 6%
Minggu Kedua 2 3%
Minggu Ketiga 4 6%
Minggu Keempat 3 4%
Jumlah Ujaran 13 19%
4 Bulan Mei 2015
Minggu Pertama 3 4%
Minggu Kedua 3 4%
Minggu Ketiga 2 3%
Minggu Keempat 2 3%
Jumlah Ujaran 10 15%
5 Bulan Juni 2015
Minggu Pertama 4 6%
Minggu Kedua 3 4%
Minggu Ketiga 3 4%
Minggu Keempat 4 6%
Jumlah Ujaran 14 21%
6 Bulan Juli 2015
Minggu Pertama 5 7%
Minggu Kedua 4 6%
Minggu Ketiga 5 7%
Minggu Keempat 6 9%
Jumlah Ujaran 20 29%
Jumlah 68 100%
154
Berdasarkan tabel di atas ditemukan tuturan tiga kata atau lebih
sebanyak 68 tuturan. Bulan Februari 2015 pada minggu kelima
ditemukan 2 tuturan atau 3 %. Bulan Maret 2015 ditemukan tuturan
sebanyak 9 atau 13 %, pada bulan maret mengalami kenaikan jumlah
hasil tuturan anak yang signifikan, yaitu 10 %. Bulan April 2015
ditemukan hasil tuturan sebanyak 13 atau 19%. Bulan Mei 2015
ditemukan sebanyak 10 atau 15 % hasil tuturan. Pada Bulan Mei, tuturan
yang dihasilkan berkurang, hal ini dikarenakan objek penelitian kurang
sehat atau sakit demam lebih kurang 9 hari lamanya. Bulan Juni 2015
ditemukan sebanyak 14 atau 21 % tuturan. Bulan Juli 2015 ditemukan 20
atau 29 % tuturan yang diperoleh. Persentase pemerolehan bahasa
mengalami kenaikan, data tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan
bertambahnya usia, bahasa yang dimiliki anak pun ikut berkembang
sehingga hasil tuturan tiga kata atau lebih mengalami kenaikan dalam tiap
bulannya.
1. Pemerolehan Fonologi
Awal dari kehidupan seorang anak telah melahirkan bunyi-bunyi
berupa fonem bahasa meskipun hanya diwarnai dengan tangisan, jeritan,
dekutan, atau diselingi dengan tawa riang, pada dasarnya anak telah
melahirkan permainan bunyi yang belum berarti dari sebuah tahap
permainan artikulasi. Selanjutnya, anak memasuki tahap meraban atau
fase pralinguistik. Pada fase ini, belum ada kata yang lahir dengan makna,
155
anak berada pada tahap mencoba untuk melatih artikulasi yang kelak
akan menghasilkan kata yang bermakna.
Penelitian pemerolehan fonologi seharusnya dimulai dari sejak awal
kehidupan seorang anak untuk mengetahui fonem-fonem yang dihasilkan
pertama kali. Oleh karena penelitian ini tidak dimulai sejak awal kelahiran
anak, maka penelitian-penelitian terdahulu dapat menjadi masukan untuk
melihat kesinambungan pemerolehan fonologi pada umur sasaran dalam
penelitian ini.
Jakobson (Schane, 1991: 11) mengatakan bahwa fonem vokal /a/,
/i/, dan /u/ secara menyeluruh merupakan fonem vokal pertama yang
muncul dalam ujaran anak-anak. Ketiga vokal ini menjadi vokal universal
dalam setiap bahasa di dunia, hanya yang membedakan dari ketiganya
adalah urutan pemerolehan dari setiap anak yang bervariasi. Ditemukan
pada usia dua tahun ini, anak telah memperoleh semua jenis fonem vokal
yaitu /a/, /e/, /i/, /o/, dan /u/.
Menyimak pendapat Schane (1992: 16) bahwa fonem konsonan /p/,
/t/, dan /k/ termasuk konsonan yang paling dasar. Hal ini dikarenakan
merupakan bagian dari sistem konsonan hampir semua bahasa, dalam
artian konsonan ini adalah universal dalam setiap bahasa. Menurut
Schane, ketiga konsonan ini juga termasuk konsonan yang paertama kali
muncul dalam ujaran anak. Namun, pendapat tersebut tentu tidak mutlak
berlaku untuk semua anak dalam pemerolehan bahasanya. Umumnya
dalam kenyataan bahwa anak seharusnya menguasai lebih awal
156
konsonan hambat sebelum menguasai konsonan yang lain karena cara
artikulasi dari konsonan hambat lebih mudah dari segi fisiologi kesiapan
alat-alat ucap.
Pendapat tersebut memiliki perbedaan dengan hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini. Pada awal penelitian, hanya satu fonem yang sering
dituturkan anak yang sesuai dengan pendapat tersebut yaitu fonem /t/
misalnya pada kata [itu] untuk menunjuk sesuatu, yang selanjutnya fonem
konsonan yang sering dituturkan oleh anak adalah fonem /y/ misalnya
pada kata [aya] untuk memanggil ayahnya, /c/ misalnya pada kata [cica]
untuk menyebutkan namanya, /m/ misalnya pada kata [iyam] untuk
menggantikan kata [hilang]. Sebuah fenomena yang dapat dianggap
sebagai kasus yang terjadi pada sampel yang tidak sesuai dengan teori
atau kenyataan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya. Fonem konsonan
/p/ mulai dituturkan sekitar minggu ketiga bulan April 2015, yang lebih
menarik adalah hingga penelitian ini selesai, fonem konsonan /k/ belum
dapat dituturkan dengan baik oleh anak. Jika fonem konsonan /k/ berada
diawal atau tengah kata, maka anak akan menghilangkan atau mengganti
fonem konsonan /k/ itu dengan fonem konsonan /t/ atau /c/, namun jika
fonem konsonan /k/ berada di akhir kata, maka anak mulai mampu
menuturkannya meski terdengar masih lemah.
Fonem konsonan yang telah diperoleh anak adalah /t/, /c/, /y/, /p/,
/n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, dan /k/, namun pada posisi tertentu,
dari beberapa fonem tersebut terdapat beberapa fonem yang masih belum
157
diperoleh anak. Posisi awal kosakata, anak belum dapat memperoleh
fonem /p/, /b/, /l/, /m/, /k, /j/, /c/, /d/, /t/, dan /ny/. Posisi akhir kosakata,
anak belum mampu memperoleh fonem /t/, /k/, dan /l/. Posisi tengah
kosakata, anak belum mampu memperoleh fonem /l/ dan /p/, hal ini
terkhusus pada kata yang lebih dari tiga suku kata.
Ditemukan pula beberapa bentuk perilaku berbahasa anak berupa
penghilangan dan pergantian fonem sehingga bunyi bahasa yang
dihasilkan tidak sesuai atau belum sempurna pengucapannya. Hal ini
disebabkan oleh alat ucap anak tersebut belum sempurna sehingga dalam
meniru dan atau menuturkan bahasa masih banyak kesalahan
pengucapan. Hal yang lebih menarik adalah anak pada fase ini
menggunakan dua kata dan tiga atau lebih kata untuk mengungkapkan
beberapa makna, seakan-akan anak menjadi bagian masyarakat bahasa
yang memiliki potensi individual dan sosial bahasa dalam membentuk dan
mengembangkan makna kata suatu bahasa.
Berikut data hasil identifikasi yang dilakukan tentang penyimpangan
fonologis yang ditemukan.
a. Perubahan fonem /k/ menjadi /t/
b. Perubahan fonem /r/ menjadi /y/ jika terletak di tengah kata, menjadi
/l/ pada awal kata, dan menjadi /t/ pada akhir kata.
c. Perubahan fonem /n/ menjadi /ng/ pada akhir kata.
d. Perubahan fonem /d/ menjadi /t/ pada awal kata jika di tengah kata
tersebut terdapat fonem /t/, misalnya kata “datang”.
158
e. Perubahan fonem /s/ menjadi /c/ jika terletak di tengah kata, menjadi
/t/ jika berada di akhir kata yang diikuti dengan keterangan milik,
misalnya kata “tasku”, dan menjadi /p/ jika berada di tengah kata
yang selanjutnya diikuti fonem /p/, misalnya kata “vespa”.
f. Perubahan fonem /g/ menjadi /j/ jika terletak di tengah kata.
g. Perubahan fonem /ng/ menjadi /ny/ jika berada di tengah kata.
2. Pemerolehan Morfologi
Berikut tabel persentase pemerolehan kata yang berhasil
dikumpulkan.
Tabel 4.3 Persentase Pemerolehan Kata
No Jenis Morfem Jumlah Kata Persentase
1 Morfem Bebas 253 83 %
2 Morfem Terikat
a. Sufiks –ka 27 8,9 %
b. Sufiks –ni 3 1,0 %
c. Sufiks –na 6 2,0 %
d. Sufiks –ki 7 2,3 %
e. Sufiks – mi 1 0,3 %
f. Sufiks –kan 1 0,3 %
g. Duplikasi 7 2,3 %
Jumlah 305 100%
Berdasarkan tabel tersebut secara keseluruahn, ditemukan
terdapat 305 pemerolehan kata anak. 83 % pemerolehan kata anak dalam
bentuk morfem bebas, dan 17 % pemerolehan kata dalam bentuk morfem
terikat dengan rincian, sufiks –ka sebanyak 8,9 % atau 27 kata, sufiks –ni
sebanyak 1% atau 3 kata, sufiks –na sebanyak 2% atau 6 kata, sufiks –ki
sebanyak 2,3 % atau 7 kata, 0,3 % atau 1 kata sufiks –mi, 0,3 % atau 1
kata sufiks –kan, dan duplikasi kata dasar ditemukan 7 kata atau 2,3 %.
159
Morfem bebas menjadi kata yang paling sering diucapkan oleh
anak, mendominasi data sebanyak 83 % atau sebanyak 253 kata. Bentuk
afiks yang diperoleh adalah sufiks atau morfem terikat yang digunakan di
bagian belakang kata atau dilekatkan pada akhir dasar. Sufiks tersebut
juga masih terpengaruh dengan bahasa daerah, seperti sufiks –ka pada
kata mauta/mauka, sufiks –ni pada kata unjuni/tungguni, sufiks –na pada
kata ototna/motorna, sufiks –ki pada kata atutta/takutka, sufiks –mi pada
kata anyangmi/janganmi. Adapun afiksasi dalam bahasa indonesia yang
ditemukan hanya satu, yaitu sufiks –kan pada kata elitanta/belikanka.
Belum ditemukan bentuk afiks yang lainnya. Proses morfologis lainnya
yang ditemukan adalah duplikasi, yaitu proses pembentukan kata
kompleks dengan jalan pengulangan morfem secara penuh, misal:
oyang-oyang/goyang-goyang.
Morfem yang bersuku kata tiga telah ditemukan pada penelitian ini,
meski belum terlalu banyak. Morfem bersuku kata satu dan bersuku kata
dua yang menjadi morfem yang mampu dan selalu diucapkan oleh anak.
3. Pemerolehan Sintaksis
Purwo (Dardjowodjojo, 1991: 167) mengemukakan bahwa di dalam
perkembangan anak (normal), konstruksi sintaksis paling awal yang
diamati pada usia sekitar 18 bulan. Namun, pada beberapa anak tertentu
konstruksi sintaksis sudah dapat diamati/ditemui pada usia sekitar satu
tahun, sedangkan pada beberapa anak yang lain pada usia lebih dari dua
tahun. Purwo juga mengatakan bahwa konstruksi kalimat yang
160
dimaksudkan adalah yang terdiri atas dua kata. Dalam penelitian ini, anak
usia dua tahun ini menghasilkan tuturan tidak hanya dua kata, tetapi mulai
mampu menuturkan tiga atau lebih kata. Kalimat dengan dua kata dan tiga
atau lebih kata yang dihasilkan oleh anak usia dua tahun dapat dikatakan
sebagai konstruksi yang merupakan hasil rangkaian dua atau lebih kata,
karena komponen katanya terjadi secara mandiri dan juga dapat
ditemukan pada rangkaian-rangkaian lain.
Pemerolehan sintaksis bukan hanya pada produksi tuturan dua
kata atau lebih, tetapi juga pada kata yang disederhanakan menjadi satu
kata yang memiliki bentuk yang lain dari bentuk sebenarnya. Berdasarkan
teori pada umumnya, sintaksis dua kata baru akan lahir pada pertengahan
tahun kedua dari seorang anak. Namun, tidak menutup kemungkinan
akan lahir sebelum anak itu memasuki tahun kedua dalam hidupnya.
Berdasarkan data yang telah dianalisis, ditemukan tuturan dua
kata, bahkan pada tahun kedua usianya, anak mampu menghasilkan lebih
dari tiga kata. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga
seolah-olah dua kata atau lebih itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa
ayah bangun, misalnya, bukan mengatakan /ayahangung/ “ayah bangun”
tapi /ayah/ /angung/ “ayah dan bangun”, dengan jeda diantara ayah dan
bangun. Jeda ini semakin lama semakin pendek sehingga menjadi tuturan
yang normal.
Berikut adalah beberapa contoh tuturan dua kata atau lebih yang
berhasil diujarkan Fiqah sebagai responden.
161
a. /otong cucutu itu/ “Pemotong kuku itu milik Fiqah.”
b. /injam ni, impan na/ “Silakan pinjam, tapi nanti disimpan kembali.”
c. /mau ta alam/ “Fiqah ingin bermalam/menginap di….”
d. /mau ta atang/ “Fiqah lapar, ingin makan.”
e. /aci, ama-ama/ “Terima kasih, sama-sama.”
Jika diamati dari contoh tersebut, maka tampak bahwa dalam
tuturan tersebut ternyata anak sudah menguasai hubungan kasus. Anak
menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-
objek, pelaku-perbuatan, dan seterusnya.
Hal semacam ini merupakan gejala yang universal. Pada sekitar
usia dua tahun anak telah mengetahui hubungan kasus-kasus dan
operasi-operasi, meski pada tuturan dua kata atau lebih semakin jelas
makna yang dimaksud anak masih tetap harus diterka sesuai dengan
konteksnya. Antara kata dengan jumlah kata yang lain bukan merupakan
tahap yang terputus.
4. Pemerolehan semantik
Data yang terkumpul selama penelitian membuktikan bahwa anak-
anak telah memperoleh makna dengan baik, meskipun belum secara
khusus merujuk pada satu pengertian atau objek yang dituju. Sejalan
dengan pendapat Clark (Amaluddin, 1998: 101) bahwa pemerolehan
makna bagi anak-anak masih sangat bersifat umum sebelum sampai
kepada makna objek yang dirujuk. Kondisi ini terjadi pada anak karena
162
tingkat pemahaman untuk pengklasifikasian makna bagi setiap objek
masih sangat rumit.
Pada masa ini, orang tua atau pengasuhnya sebenarnya adalah
penerjemah atau penginterpretasian bahasa yang ulung dan luar biasa.
Dengan tuturan satu kata anak, yang terdiri dari suku kata terakhir, yang
kadang-kadang bunyinya pun tidak karuan, tapi orang tua atau pengasuh
dapat menerjemahkan tuturan itu yang terjadi pada berbagai macam
konteks komunikasi.
Kasus yang ditemukan dari responden bahwa makna tuturan yang
dihasilkan Fiqah bisa dipahami oleh ibunya sebagai pengasuh, lantaran
ibunya tersebut sudah terbiasa dengan tuturan seperti itu. Tuturan yang
dihasilkan Fiqah dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut
dituturkan. Sehingga, dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski
tuturan tersebut mengalami penghilangan maupun pergantian fonem.
Pada umumnya, kaum ibu dan pengasuh lebih mengerti bahasa
anak bila dibandingkan dengan kaum bapak. Kenyataan ini disebabkan
kaum bapak lebih banyak berada di luar rumah. Padahal selain faktor
personal lawan bicara, konteks sosial bahasa, faktor budaya, dan lain
sebagainya, faktor keseringan berdekatan dengan anak juga berpengaruh
terhadap insensitas intuisi dan pemahaman terhadap perkembangan
pemerolehan bahasa anak. Jadi, disitulah titik kelebihan ibu dan pengasuh
bila dibandingkan dengan bapak dalam memahami, memengaruhi, dan
membina proses perkembangan pemerolehan bahasa anak.
163
Pemerolehan nomina sangat mendominasi pemerolehan makna
anak, dan merupakan jenis kata pertama yang dikuasai anak. Ditinjau dari
pemerolehan fonem vokal maupun konsonan, tampak bahwa nomina
yang menjadi jenis kata pertama dan sangat dominan diperoleh seorang
anak.
Pemerolehan makna bagi seorang anak merupakan hal yang
sangat rumit, bukan hanya karena kematangan kognitif yang belum
memadai, tetapi selain memperoleh kata-kata anak terlebih dahulu
memahami arti kata-kata yang diperolehnya. Clark (Amaluddin, 1998: 102)
mengatakan bahwa kata-kata yang didengarkan oleh anak-anak
merupakan kata-kata baru bagi mereka. Menurutnya, anak-anak tidak
dilahirkan dengan leksikon mental yang siap pakai, anak-anak
menggambarkan leksikon sebagian dari pemerolehan bahasa, dan
memberikan makna kata-kata baru yang digunakannya.
Kerumitan semacam itu, dilalui seorang anak dalam pemerolehan
makna, menyebabkan anak pada usia tertentu belum bisa
mengklasifikasikan makna secara khusus untuk merujuk makna objek
yang dimaskud. Kemajuan pemerolehan makna bagi sasaran penelitian
ini, selain pemerolehan nomina sebagai kata pertama yang diperoleh,
ditemukan pula jenis kata yang lain dan memperlihatkan bahwa ada
perkembangan yang berate selama penelitian ini dilakukan. Jenis kata lain
yang ditemukan adalah kata adjektiva, misalnya kata /anteng/ “ganteng”,
164
kata verba, misalnya /unju/ “tunggu”, kata adverbial /oleh/ “boleh”, dan
kata tanya /apa?/ “siapa?”.
B. Pembahasan
Kehidupan keluarga sangat memengaruhi anak tersebut dalam
menuturkan tiap kata yang diperolehnya. Pandangan behaviorisme
menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan
dari luar diri si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui
lingkungan. Jika anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan
kaidah” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa,
melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.
Rangsangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat
kemampuan berbahasa anak untuk berkomunikasi melalui prinsip
pertalian S-R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan.
Pandangan behaviorisme tersebut sejalan dengan hasil yang ditemukan
dalam penelitian ini, anak berusaha menirukan setiap kata yang
didengarkannya meski cara memproduksi atau hasil peniruannya belum
sempurna. Rangsangan yang terus diberikan kepada anak memungkinkan
anak tersebut memberikan respon yang baik sehingga memudahkannya
dalam memperoleh bahasanya.
Hasil peniruannya terkadang menghilangkan beberapa fonem atau
mengubah beberapa fonem menjadi fonem yang lain sehingga kata yang
dihasilkan berbeda dengan kata yang sebenarnya. Menurut
165
Tarigan (1985: 273), umumnya ujaran anak paling dini adalah
penyelangselingan antara KV (konsonan-vokal). Meskipun anak
menghasilkan semua vokal bahasa, namun secara khusus anak tidaklah
menghasilkan semua konsonan. Oleh karena belum dapat menghasilkan
semua fonem konsonan sehingga anak terkadang menghilangkan atau
mengubah fonem konsonan pada kata yang dihasilkannya.
Peniruan ucapan yang didengarkannya dilakukan setelah anak
memahami terlebih dahulu kata yang didengarkannya, menyimak dan
mempelajari kata yang didengarkannya dengan cara menyesuaikan kata
tersebut dengan konteksnya. Sesuai dengan hal tersebut, menurut
pandangan kognitivisme, perkembangan kognitif harus tercapai lebih
dahulu, kemudian keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa.
Setiap tuturan yang dihasilkan anak, pada umumnya dalam bahasa
ibunya yang digunakan sehari-hari dalam kehidupan keluarganya, yakni
bahasa Indonesia yang masih bercampur dengan dialeg bugis sidrap.
Satu hal yang perlu dipahami tentang hubungan antara
pemahaman dan produksi tuturan anak. Berdasarkan data yang telah
terhimpun, terlihat bahwa hampir semua pemerolehan itu diketahui
terlebih dahulu sebelum dapat menuturkannya. Ketika kata itu dituturkan,
terlebih dahulu anak memahaminya atau mempelajarinya dengan caranya
sendiri. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa tuturan yang dipahami
tetapi ia belum dapat menututurkannya. Misalnya, ketika diminta untuk
mengambil baju/celana yang ada di dalam kamar, tanpa ditunjukkan,
166
maka ia dapat melakukannya sendiri tanpa komentar. Hal tersebut
menunjukkan bahwa anak kecil terlebih dahulu memahami pembicaraan
yang didengar di sekitarnya, lalu mencoba meniru mengucapkannya
secara berkali-kali.
Dalam proses pemerolehan bahasa dalam penelitian ini, ditemukan
anak mulai mengalami tahap perkembangan bahasa antara atau
interlanguage, yaitu bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar
sistem bahasa pertama dan kedudukannya berada di antara bahasa
pertama dan bahasa kedua. Bahasa antara membahas fenomena
kebahasaan yang muncul (emergence) akibat interaksi antarbahasa,
bukan pada hasil akhir proses interaksi tersebut. Bahasa antara biasanya
dibuat oleh anak sendiri sesuai dengan yang telah diperolehnya, misal
kata mama iya, awalnya anak mengucapkan miya tetapi seiring dengan
sering terjadinya interaksi yang melibatkan kata itu sehingga selanjutnya
anak mengganti pengucapannya menjadi ma iya yang lebih mendekati
sempurna. Namun, karena faktor alat ucap yang belum sempurna
sehingga hasil pengucapan anak belum sempurna, pada tahap ini lah
biasanya orang tua atau pengasuh anak terkadang melakukan kesalahan
dengan mengikuti pola bicara anak dengan maksud agar anak mengerti.
Orang tua dan pengasuh tidak memahami bahwa cara tersebut
keliru, cara tersebut justru membuat bahasa anak tidak berkembang
dengan baik. Seharusnya sebagai lawan tutur anak, tetap menggunakan
pola bahasa yang sebenarnya karena anak akan terlebih dahulu
167
memahami pengucapan orang lain kemudian berusaha untuk menirukan
sehingga mampu memproduksi bahasa yang hampir sama dengan orang
lain atau lawan tuturnya.
Bahasa itu bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisahkan,
melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar, maka perkembangan
bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih
umum di dalam kognisi. Jadi, urut-urutan perkembangan kognitif
menentukan urutan perkembangan bahasa.
Perkembangan bahasa anak mengalami peningkatan kecerdasan
yang baik. Dengan demikian, anak tidak dapat dipandang sebagai
penyebutan objek yang murni karena mereka mempunyai isi psikologis
yang bersifat intelektual dan emosional, yaitu anak menunjukkan mau
atau tidak akan sesuatu hal. Berdasarkan hal tersebut, maka dari satu
kata, dua kata, dan tiga kata atau lebih ini akan terus berkembang seiring
dengan perkembangan usia anak, semakin dewasa maka semakin cerdas
pula anak itu berbahasa. Perkembangan kehidupan anak hingga dewasa
seiring dengan perkembangan berbahasa yang semakin baik.
168
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan data dan pembahasan yang dilakukan pada bab
sebelumnya, maka diperoleh simpulan sebagai berikut.
1. Pemerolehan bahasa anak usia 2,0 – 2,5 tahun dalam bidang fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik.
a. Pemerolehan fonologi, fonem vokal telah diperoleh anak secara
keseluruhan. Hampir semua ahli menyatakan bahwa fonem vokal /a/,
/i/, /u/ adalah fonem vokal minimal yang dikuasai pertama oleh
seorang anak dan bersifat universal bagi semua bahasa. Hasil
penelitian ini mendukung hal tersebut, anak usia dua tahun lebih
dahulu menguasai fonem vokal minimal yang bersifat universal
kemudian menguasai fonem vokal yang lainnya.
b. Pemerolehan fonologi, fonem konsonan telah diperoleh anak, baik
yang telah dikuasai ataupun yang belum dikuasainya. Jenis fonem
konsonan yang diperoleh anak usia dua tahun yaitu fonem /t/, /c/, /y/,
/l/, /p/, /n/, /ŋ/, /m/, /b/, /ny/, /j/, /d/, /w/, /h/, dan /k/ namun pada posisi
tertentu, dari beberapa fonem tersebut terdapat beberapa fonem
yang masih belum diperoleh anak. Posisi awal kosakata, anak belum
dapat memperoleh fonem /p/, /b/, /l/, /m/, /k, /j/, /c/, /d/, /t/, dan /ny/.
Posisi akhir kosakata, anak belum mampu memperoleh fonem /t/, /k/,
dan /l/. Posisi tengah kosakata, anak belum mampu memperoleh
169
fonem /l/ dan /p/, hal ini terkhusus pada kata yang lebih dari tiga suku
kata. Sesuai dengan pendapat beberapa ahli, bahwa ada tiga fonem
konsonan yang paling dasar, yaitu fonem /p/, /t/, dan /k/ dan
merupakan konsonan yang bersifat universal bagi semua bahasa,
bahkan menjadi fonem konsonan pertama yang dikuasai oleh
seorang anak yang memperoleh bahasa. Hasil penelitian ini
mendukung hal tersebut, hanya saja urutan pemerolehannya yang
berbeda, penguasaan beberapa fonem konsonan lainnya
mendahului salah satu dari tiga fonem konsonan universal tersebut,
yaitu fonem konsonan /k/. Anak usia dua tahun dalam penelitian ini
belum dapat menghasilkan fonem konsonan /k/ dengan baik. Jika
menuturkan kata yang memiliki fonem konsonan /k/, maka fonem
tersebut akan dihilangkan jika berada diawal kata, akan diubah
menjadi fonem /c/ atau /t/ jika berada pada tengah kata, dan akan
terdengar samar ketika berada pada akhir kata.
c. Pemerolehan morfologi, ditemukan afiksasi yang berupa sufiks –ka,
–ni, –na, –ki, –mi yang masih dipengaruhi bahasa daerah. Adapun
afiksasi dalam bahasa indonesia yang ditemukan hanya satu, yaitu
sufiks –kan. Ditemukan pula duplikasi atau pengulangan kata dasar
secara sempurna. Ditemukan morfem bersuku kata satu, bersuku
kata dua, dan bersuku kata tiga.
d. Pemerolehan sintaksis, ditemukan tuturan dua kata, bahkan pada
tahun kedua usianya, anak telah mampu menghasilkan lebih dari tiga
170
kata. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga
seolah-olah dua kata atau lebih itu terpisah. Jeda ini semakin lama
semakin pendek sehingga menjadi tuturan yang normal. Anak telah
menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek, pelaku-
objek, dan pelaku-perbuatan.
e. Pemerolehan semantik, tuturan anak dengan mudah dipahami oleh
ibunya dan orang disekitarnya meski tuturannya masih tetap harus
dikaitkan dengan konteks situasi tuturan tersebut dituturkan sehingga
dengan sendirinya makna akan dihasilkan meski tuturan tersebut
mengalami penghilangan maupun pergantian fonem.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi pemerolehan bahasa anak usia
2,0 – 2,5 tahun adalah sebagai berikut.
a. Faktor lingkungan. Kehidupan keluarga sangat memengaruhi anak
tersebut dalam menuturkan tiap kata yang diperolehnya.
Pandangan behaviorisme menekankan bahwa proses pemerolehan
bahasa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu oleh
rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Jika anak dapat
berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah” sebab anak tidak
dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara
langsung oleh faktor di luar dirinya.
b. Faktor Alamiah. Pemerolehan bahasa anak tidak terlepas dari pola
peniruan, sehingga setiap kata yang didengarkan dari lingkungan
sekitarnya akan ditirunya. Peniruan ini didukung oleh piranti
171
penguasaan yang mereka miliki, berupa LAD yang menjadi potensi
pemerolehan dan penguasaan bahasa. Oleh karena itu, berbicara
kepada seorang anak harus berbicara yang sebenarnya dan tidak
mengikuti pola pembicaraan atau model seorang anak.
c. Faktor perkembangan kognitif. Anak usia dua tahun dalam
pemerolehan bahasa terlebih dahulu berusaha memahami arti
sebuah kata yang didengarkannya sebelum mereka dapat
menghasilkannya. Hal ini dapat dibuktikan, ketika anak diminta
untuk melakukan sesuatu, saat itu anak mampu melakukannya
sendiri tanpa diberi petunjuk dan tanpa komentar dari anak itu,
namun anak belum dapat menghasilkan tuturan yang sama.
d. Faktor latar belakang sosial. Setiap tuturan yang dihasilkan anak,
pada umumnya dalam bahasa ibunya yang digunakan sehari-hari
dalam kehidupan keluarganya, yakni bahasa Indonesia yang masih
bercampur dengan dialeg bugis sidrap.
f. Faktor gaya/cara pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa anak
mengikuti tahap-tahap yang secara umum dilalui oleh seorang anak,
mulai dari tahap pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik. Letak perbedaanya ada pada hasil yang diperoleh dan
waktu diperolehnya hasil tersebut.
172
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang ada, dapat disampaikan beberapa
saran kepada beberapa pihak, yakni:
1. Tulisan ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para ibu (orang tua) dan
pengasuh anak dalam memahami dan membina pemerolehan bahasa
anak pada usia 2,0 – 2,5 tahun. Jika seorang ayah ingin ikut mewarnai
kepribadian anak umumnya, dari proses pemerolehan bahasa anak
khususnya, maka perbanyaklah kuantitas bergaul atau berkomunikasi
dengan anak, karena kuantitas berkomunikasi dengan anak
berpengaruh terhadap pemerolehan bahasanya dan kemampuan ayah
dalam memahami dan menginterpretasi tuturan anak yang multimakna
akan lebih mudah.
2. Penelitian ini bukan merupakan hasil yang sempurna, karena
keterbatasan dan wawasan peneliti dalam mendeskripsikan dan
membahas permasalahan dalam penelitian. Perlu adanya penelitian
lebih lanjut mengenai pemerolehan bahasa anak usia 2 tahun,
sehingga didapatkan hasil penelitian yang lebih sempurna. Peneliti
menyadari penelitian ini sangat terbatas, selain data yang sedikit,
penelitian ini pun belum didukung oleh teori-teori yang lebih
komprehensif dan analisis yang lebih mendalam.
Demikian simpulan dan saran yang dapat penulis kemukakan,
semoga bermanfaat dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerolehan
bahasa anak khususnya dan perkembangan dunia pendidikan umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 1993. e-Book - Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Amaluddin. 1998. Perkembangan Pemerolehan Bahasa Anak: Usia Satu
sampai Satu Setengah Tahun (Suatu Studi Psikolinguistik). Tesis. Ujung
Pandang: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Cahyono, Yudi B. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Clark, Herbert H. & Clark, Eve. V. (1977) Psychology and Language An
Introduction to Pscyholinguistics. Harcourt Brace Jovanovich.lnc.USA
Dardjowidjojo, Soejono. 2000. ECHA, Kisah Pemerolehan Bahasa Anak
Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. New York: Oxford
University.
Fromkin, Victoria dan Rodman. 1998. An Introduction to Language. Edisi
Keenam. Fort Worth. Harcourt Brace College Publisher
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marat, Samsuniwiyati. 1983. Psikolinguistik. Bandung. Universitas Padjadjaran.
Muliawati, Lia. 2011. Pemerolehan Bahasa Anak Usia Tiga Tahun. Tesis.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Nurhadi & Roekhan (Eds.). 1990. Dimensi-Dimensi dalam Belajar Bahasa
Kedua. Bandung: Sinar Baru Bandung.
Papalia, D.E., Olds, S.W., and Feldman, R.D. 2009. Human Development.
Boston: McGraw Hill.
Purwo, Bambang K. 1996. Pelba 9. (Echa Perkembangan Bahasa Anak: Dua
Belas Bulan yang Pertama).
Rahim, Abd. Rahman. 2006. Keterampilan Membaca Pemahaman Mahasiswa
Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah IX Sulawesi. Disertasi.
Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Rahim, Abd. Rahman. 2011. Pemerolehan Bahasa. Bahan Kuliah Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Ramlan, M. 1985. Morfologi. Yogyakarta: Karyono.
Rusyani, Endang. 2008. Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,5 Tahun (Studi
Kasus pada Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini). Tesis. Jakarta:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Schane, Sanford A. 1992. Teori Fitur Distingtif Fonologi Generatif,
Perkembangan dan Penerapannya. Jakarta: Gaya Media Prat
Simanjuntak, Mangantar. 1982. Pemerolehan Bahasa Melayu: Bahagian
Fonologi. Jurnal Dewan Bahasa, Ogos/September.
Simanjuntak, Mangantar. 1990. Psikolinguistik Perkembangan. Teori-Teori
Perolehan Fonologi (Theories of the Acquisition of Phonology). Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitan Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sugiono, Dendy, dkk. (Edisi IV). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. 1998. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Jakarta:
Depdikbud.
Uhlenbeck. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Djambatan.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Yanti, Arni. 2013. Studi Kasus Pemerolehan Bahasa pada Anak Usia 3 Tahun.
Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Yasin, Muhammad. 2014. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia Satu
Tahun (Perkembangan Aspek Morfologi Bahasa Jawa: Muhammad Mirza
Shidqi Yasin). Tesis. Malang: Universitas Negeri Malang.
Zain, Suardi dan Khalik, Suhartini. 2012. Fase Perkembangan Bahasa Anak
Usia 2;0 – 3;0 Tahun. Jurnal Ilmiah Al-Adabi. Kopertis Wilayah IX. Vol. 5:
31-37.
Lampiran 1
Transkripsi data pemerolehan bahasa anak usia dua tahun.
Morfem bersuku kata dua:
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata
/ayah/ /ayah/ ayah /idda/ /idda/ idda /mama/ /mama/ mama /bapa/ /bapak/ bapak /eppo/ /eppo/ eppo /cayi/ /zahir/ zahir /aang/ /aan/ aan /adil/ /fadil/ fadil /uwi/ /uli/ uli /cehu/ /sehu/ sehu /yuyu/ /yuyu/ yuyu /ciya/ /sira/ sira /cica/ /fiqah/ fiqah /ati/ /zaki/ zaki /ala/ /ara/ ara /amel/ /amel/ amel /iang/ /rian/ rian /ida/ /ida/ ida /idil/ /aidil/ aidil /nunu/ /nunu/ nunu /affa/ /safwa/ safwa /cong/ /acong/ acong /ata/ /mata/ mata /idung/ /hidung/ hidung /ala/ /kepala/ kepala /inga/ /telinga/ telinga /ambut/ /rambut/ rambut /angan/ /tangan/ tangan /tati/ /kaki/ kaki /eyut/ /perut/ perut /utut/ /lutut/ lutut /cucu/ /kuku/ kuku /jayi/ /jari/ jari /ayam/ /ayam/ ayam /ucing/ /kucing/ kucing /ambing/ /kambing/ kambing /tapi/ /sapi/ sapi /buyung/ /burung/ burung /anjing/ /anjing/ anjing /cicak/ /cicak/ cicak
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata
/itus/ /tikus/ tikus /uda/ /kuda/ kuda /amuk/ /nyamuk/ nyamuk /emut/ /semut/ semut /atu/ /jatuh/ jatuh /ati/ /sakit/ sakit /ayum/ /harum/ harum /anni/ /mandi/ mandi /abung/ /sabun/ sabun /ampo/ /sampo/ sampo /nneng/ /nenneng/ nenneng (minum susu) /ayung/ /ayung ayung /ecum/ /assalakumu’alaikum/ assalamu’alaikum /ayam/ /wa’alaikumussalam/ wa’alaikumussalam /ape/ /capek/ capek (capai) /alang/ /jalan/ jalan /atang/ /makan/ makan /aci/ /nasi/ nasi /itam/ /ikan/ ikan /tayu/ /sayur/ sayur /tatang/ /datang/ datang /num/ /minum/ minum /uca/ /rusak/ rusak /acu/ /kasur/ kasur /oco/ /rokok/ rokok /anti/ /cantik/ cantik /utan/ /bukan/ bukan /enyya/ /penyya/ penyyak (pesek) /itut/ /ikut/ ikut /olah/ /sekolah/ sekolah /angung/ /bangun/ bangun /inan/ /mainan/ mainan /boya/ /bola/ bola /tattu/ /tasku/ tasku /bobo/ /bobo/ bobo (tidur) /ulu/ /dulu/ dulu /anyang/ /jangan/ jangan /ccak/ /cicak/ cicak /inding/ /dinding/ dinding /iyam/ /hilang/ hilang /opi/ /topi/ topi /mau/ /mau/ mau /alam/ /bermalam/ bermalam (menginap) /encing/ /kencing/ kencing
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata
/alam/ /dalam/ di dalam /tunju/ /tunggu/ tunggu /aci/ Terimah kasih terima kasih /ama/ /sama/ sama /uang/ /uang/ uang /lottu/ /rokku/ rokku /acha/ /masha/ masha (animasi kartun) /inca/ /insya/ Insya /allah/ /allah/ Allah /lua/ /keluar/ keluar /layi/ /lari/ lari /anyak/ Banyak banyak /oyang/ /goyang/ goyang /iji/ /digigit/ digigit /otong/ /potong/ potong /injam/ /pinjam/ pinjam /impan/ /simpan simpan /ana/ /mana/ mana? /tadi/ /tadi/ tadi /apang/ /kapang/ kapang (mungkin) /opang/ /jopang/ jopang (kecoa) /uja/ /juga/ juga /inyak /minyak/ minyak /elong/ /telon/ telon /edak/ /bedak/ bedak /atat/ /besar/ besar /tucuk/ /tusuk/ tusuk /otot/ /motor/ motor /peppa/ /vespa/ vespa /bita/ /bisa/ bisa /nyanyi/ /nyanyi/ menyanyi /aya/ /saya/ saya /dudu/ /duduk/ duduk /ucci/ /kursi/ kursi /inda/ /pindah/ pindah /inta/ /minta/ minta /abi/ /habis/ habis/menghabiskan /uang/ /buang/ buang /beca/ /besar/ besar /uci/ /cuci/ cuci /iying/ /piring/ piring /uta/ /buka/ buka /oti/ /roti/ roti /otong/ /potong/ potong/sepotong
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata
/into/ /pintu/ pintu /lia/ /lihat/ lihat /obi/ /mobil/ mobil /obe/ /robek/ robek /andat/ /sandal/ sandal /ala/ /kepala/ kepala /ijit/ /gigit/ gigit /ula/ /gula/ gula/permen /ate/ /pakai/ pakai /ulu/ /dulu/ dulu/dahulu /aju/ /baju/ baju /ancing/ /kancing/ kancing /epong/ /telepon/ telepon /eli/ /beli/ beli /atu/ /takut/ takut /ibu/ /ribut/ ribut /angis/ /nangis/ menangis /omba/ /lomba/ lomba /anjil/ /panggil/ panggil /anteng/ /ganteng/ ganteng /eci/ /kecil/ kecil /emo/ /bemor/ bemor (becak-motor) /apa/ /apa/ apa? /adu/ /aduk/ aduk /aca/ /masak/ masak /elu/ /telur/ telur /oco/ /kocok/ kocok
Morfem bersuku kata tiga:
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata /ecoa/ /kecoak/ kecoak /epitang/ /jepitan/ jepitan/penjepit /emani/ /temani/ temani
Morfem bersuku kata empat:
Tuturan Anak Tuturan Seharusnya Kata /mama uwa/ /mama tua/ mama tua /mama iya/ /mama ria/ mama ria /mama eji/ /mama eri/ mama eri /upu-upu/ /kupu-kupu/ kupu-kupu /iyi-iyi/ /jeli-jeli/ jeli-jeli(nutrijelly)
Tahap perkembangan bahasa antara atau interlanguage
Tuturan Awal Bahasa Antara Arti uca luca rusak iyam ilang hilang ati aci sakit anti tanti cantik etat beca besar oco ococ rokok inan ainan mainan boya ola bola tat tas tas ala pala kepala eyut elut perut aci naci nasi tayu tayul sayur cucu tutu kuku cak cicak cicak opang coa jopang / kecoa uwa mama uwa mama tua / nenek miya mama iya mama ria ma mama mama apa bapa bapak cayi tayi zahir inung ainung ainun Antat Antal Antar Bobo Tidut Tidur Layi Lali Lari Atang Tatang Datang
DAFTAR ISTILAH
Adjectiva : Kata sifat, menyatakan sifat atau keadaan
suatu benda
Adverbial : Kata keterangan, memberikan keterangan
terhadap sesuatu selain kata benda
Afiksasi : Proses penambahan afiks pada kata dasar
Akuisisi : Pemerolehan bahasa
Arbitrer : Sesuai keinginan / manasuka
Artikulasi : Lafal, pengucapan kata
Babbling : Celotehan
Behavioris : Penganut behaviorisme
Behaviorisme : Paham yang menyatakan bahwa,
pemerolehan bahasa pertama dikendalikan
dari luar diri anak, yaitu rangsangan dari
lingkungannya.
Bilingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan dua
bahasa bersamaan / berurutan
Chance : Kesempatan
Deep Structure : Struktur dalam
Deskriptif : Memaparkan / menggambarkan
Ekspresif : Memberikan pernyataan
Empiris : Berdasarkan pengalaman, penemuan, akurat
Environment : Lingkungan
Filosof : Ahli dalam ilmu filosofi
FLA : First language acquisition / pemerolehan
bahasa pertama
Fonem : Satuan bunyi terkecil yang mampu
menunjukkan kontras makna
Fonem Konsonan : Fonem yang dihasilkan dengan
menggerakkan udara keluar dengan
rintangan
Fonem Vokal : Fonem yang dihasilkan dengan
menggerakkan udara keluar tanpa rintangan
Fonemik : Bagian fonologi yang mempelajari bunyi
ujaran menurut fungsinya sebagai pembeda
arti
Fonetik : Bagian fonologi yang mempelajari cara
menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana
suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap
manusia
Fonologi : Ilmu tentang bunyi bahasa
Frasa : Gabungan dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif
Genetika : Cabang biologi yang menerangkan sifat
turun-temurun / pewarisan
Gramatika : Tata bahasa
Heredity : Keturunan
Hipotesis : Anggapan dasar, sesautu yang dianggap
benar untuk mengutarakan pendapat
menskipun kebenarannya masih harus
dibuktikan
Holofrase : Tahap linguistik pertama
Imitation : Peniruan
Infant : Tidak mampu berbicara
Informan : Orang memberikan informasi
Innate : Bawaan lahir
Kalimat : Satuan bahasa yang secara relative berdiri
sendiri, mempunyai pola intonasi final, dan
secara aktual ataupun potensial, terdiri atas
klausa
Kalimat Elips : Kalimat tidak lengkap yang terjadi karena
pelepasan beberapa bagaian klausa tunggal
Klausa : Satuan gramatikal yang berupa kelompok
kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek
dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat
Kognitif : Berhubungan dengan kognisi / pengetahuan
Kognitifisme : Paham yang menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa pertama melalui
kematangan kognitif / pengetahuan oleh anak
Kontroversi : Perdebatan / pertentangan
Kualitatif : Berdasarkan mutu / kualitas
Kuantitas : Berdasarkan jumlah atau banyaknya
LAD : Language acquisition device, sebuah alat
pemerolehan bahasa yang ada pada diri
setiap anak
Language Acquisition : Pemerolehan bahasa
Leksikal : Berkaitan dengan kata, kosakata
Leksikon : Kosakata / perbendaharaan kata
Linguis : Ahli bahasa
Linguistik : Ilmu bahasa
Longitudinal : Metode penelitian yang didasarkan pada
masa tertentu yang relative lama untuk
mengetahui karakter tertentu
Majemuk Koordinatif : Kalimat majemuk setara yang terdiri dari dua
klimat dasar yang masing-masing dapat
berdiri sendiri
Memory Span : Batas rentang ingatan anak untuk menyusun
kalimat
Meraban : Mengeluarkan suara (bagi bayi) sebagai
latihan persiapan berbicara
Mitra Tutur : Lawan bicara
Monolingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan satu
bahasa
Morfem : Satuan bentuk bahasa terkecil yang
mempunyai makna secara relative stabil dan
tidak dapat dibagi atas bagian bermakna
yang lebih kecil
Morfologi : Cabang linguistik yang membahas tentang
morfem dankombinasinya
Motorik : Berkaitan dengan gerak, bergerak
Multilingual FLA : Pemerolehan bahasa pertama dengan
beberapa bahasa yang diperoleh secara
bersamaan / berurutan
Nativis : Penganut Nativisme
Nativisme : Paham yang menyatakan bahwa kemampuan
pemerolehan bahasa pertama anak terbuka
secara genetis, sifatnya pewarisan dari gen
orang tuanya.
Nature : Alamiah
Negation : Negasi, penolakan
Nomina : Kelas kata yang dalam bahasa Indonesia
ditandai oleh tidak dapatnya bergabung
dengan kata “tidak”
Nurture : Pengasuhan, pemeliharaan (lingkungan)
One Word Utterance : Ujaran satu kata
Performansi : Pengucapan atau pelaksanaan bahasa
Persentase : Dinyatakan dengan angka persen
Preposisi : Kata yang biasanya terdapat di depan
nomina
Producting : Menghasilkan pernyataan
Programming Span : Batas rentang pemrograman anak untuk
menyusun kalimat
Psikologi : Ilmu yang berkaitan denga proses mental,
baik normal maupun abnormal dan
pengaruhnya pada perilaku
Psikolonguistik : Ilmu tentang hubungan antara bahasa dan
perilaku dan akal budi manusia
Reduplikasi : Proses atau hasil perulangan kata atau unsur
kata
Representasi : Perbuatan mewakili
Reseptif : Bersifat menerima, mengerti, memahami
Respon : Tanggapan, reaksi, jawaban
Semantik : Ilmu tentang makna kata dan kalimat
Sensomotorik : Gerakan pancaindra
Sensory : Sensoris, berhubungan pancaindra
Sintaksis : Pengaturan dan hubungan kata dengan kata
atau dengan satuan lain yang lebih besar
Sosial : Berkenaan dengan masyarakat
Speech Sound : Bunyi ujaran
Stimulus : Perangsang oraganisme bagian tubuh atau
reseptor lain untuk menjadi aktif
Surface Structure : Struktur lahir
Tabularasa : Teori yang menyatakan bahwa setiap individu
dilahirkan dengan jiwa yang putih bersih dan
suci
Two-Word Sentences : Kalimat dua kata
Understanding : Mengerti, memahami
Universal : Bersifat umum
USK : Ujaran satu kata
Verba : Kata kerja, kata yang menggambarkan
proses, perbuatan, keadaan
RIWAYAT HIDUP
Yulianti Yusuf. Anak dari pasangan Bapak Muh.
Yusuf dan Ibu Nasrah ini lahir pada hari Selasa
tanggal 12 November 1991 di Desa Takkalasi
Kecamatan Maritengngae Kabupaten Sidenreng
Rappang. Dia merupakan anak kelima dari lima
bersaudara. Tahun 1997, Dia mulai menempuh
pendidikannya di SD Negeri 3 Allakuang (1997-2003). Dia Lulus SD tahun
2003, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Pangkajene
Sidrap (2003-2006). Tahun 2006, Dia melanjutkan pendidikan di SMA
Negeri 1 Pangkajene Sidrap (2006-2009). Lulus SMA, pada tahun 2009
Dia melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Sidrap Program Studi Teknologi
Pendidikan, dan lulus pada tahun 2013. Akhir tahun 2013, Dia
melanjutkan pendidikannya ke jenjang strata dua (magister), dengan
memilih Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Tahun pelajaran 2012/2013, Dia mulai mengabdikan diri menjadi
tenaga pendidik pada Madrasah Aliyah Pondok Pesantren DDI As-Salman
Allakuang Kabupaten Sidenreng Rappang. Dia memperoleh gelar
Magister Pendidikan (M.Pd.) dengan menulis tesis yang berjudul
“Pemerolehan Bahasa Anak Usia 2,0 – 2,5 Tahun (Studi Kasus pada
Syafiiqah)”.
Top Related