Manajemen Kerbau dan Sapi Perah

33
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ternak sapi perah dan kerbau memegang peranan penting dalam penyediaan gizi bagi masyarakat. Produk utama yang dihasilkan dari ternak sapi perah adalah susu dan Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Susu merupakan cairan bukan kolostrum yang dihasilkan dari proses pemerahan ternak perah, baik sapi, kambing maupun kerbau secara kontinyu dan tidak merubah komponennya sebagai bahan pangan yang sehat. Susu sapi merupakan susu yang sebagian besar dikonsumsi oleh manusia, karena kandungan zat gizinya dapat diserap sempurna oleh tubuh. Pertumbuhan populasi sapi perah dari tahun - ketahun rata-rata meningkat, akan tetapi peningkatannya tidak setinggi pada ternak unggas. Saat ini dibutuhkan suatu metode yang tepat dalam membangun subsektor peternakan khususnya mengenai komoditas sapi perah. Karena sebagian besar susu dihasilkan dari Pulau Jawa, sehingga pengembangan didaerah luar Jawa sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan sapi perah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas sapi perah baik dari

Transcript of Manajemen Kerbau dan Sapi Perah

BAB IPENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak sapi perah dan kerbau memegang peranan

penting dalam penyediaan gizi bagi masyarakat. Produk

utama yang dihasilkan dari ternak sapi perah adalah

susu dan Kerbau (Bubalus bubalis) adalah ternak ruminansia

besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan

daging. Susu merupakan cairan bukan kolostrum yang

dihasilkan dari proses pemerahan ternak perah, baik

sapi, kambing maupun kerbau secara kontinyu dan tidak

merubah komponennya sebagai bahan pangan yang sehat.

Susu sapi merupakan susu yang sebagian besar dikonsumsi

oleh manusia, karena kandungan zat gizinya dapat

diserap sempurna oleh tubuh.

Pertumbuhan populasi sapi perah dari tahun -

ketahun rata-rata meningkat, akan tetapi peningkatannya

tidak setinggi pada ternak unggas. Saat ini dibutuhkan

suatu metode yang tepat dalam membangun subsektor

peternakan khususnya mengenai komoditas sapi perah.

Karena sebagian besar susu dihasilkan dari Pulau Jawa,

sehingga pengembangan didaerah luar Jawa sangat

potensial untuk dikembangkan.

Pengembangan sapi perah dapat dilakukan dengan

cara meningkatkan produktivitas sapi perah baik dari

segi teknis maupun dari segi ekonomis. Produktivitas

ternak sapi perah harus dipacu untuk dapat

ditingkatkan, diantaranya manajemen reproduksi dan

manajemen pakan. Hal tersebut dikarenakan besarnya

produksi susu ditentukan oleh keberhasilan program-

program reproduksi dan manajemen pakan yangbalance

(seimbang) baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Di samping itu, ternak kerbau dapat dijadikan

sebagai salah satu ternak potong yang dapat

menghasilkan daging untuk memenuhi kebutuhan daging

masyarakat. Oleh karena ternak kerbau dan sapi perah

yang ada di Indonesia perlu dilestarikan dan

dikembangkan sesuai dengan kondisi wilayah masing-

masing.

BAB IIPEMBAHASAN

MANAJEMEN SAPI PERAH

A. Pengembangan Sapi Perah di Indonesia

Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang

penting sebagai sumber protein hewani, selain kambing,

domba dan ayam. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%)

kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85%

kebutuhan kulit (Menteri Negara Riset dan Teknologi,

2005). Sapi berasal dari famili Bovidae. seperti halnya

bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika

(Syncherus), dan anoa. Pemeliharaan sapi secara

intensif mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi

diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian

menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia.

Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India

dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau

tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni.

Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik

sapi Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi

Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal

(peranakan Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein

di Grati guna diperoleh sapi perah jenis baru yang

sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia (Menteri

Negara Riset dan Teknologi, 2005).

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang

terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok yang

berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi

yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah

tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang

tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan

Bos Taurus. Di Indonesia, manajemen pemeliharaan

biasanya terbagi atas pemeliharaan sapi perah dan sapi

potong. Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak

dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris),

Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat

Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari

Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan

Droughtmaster (dari Australia). Hasil survei

menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok

dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia

adalah Frisien Holstein.

Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia

(on farm) beserta industri pengolahannya (off farm)

mengalami kemajuan pesat pada tahun 1980 sampai dengan

1990 namun pada tahun 1990 sampai dengan 1999 produksi

susu segar relatif tetap. Jumlah susu segar yang

diproduksi pertahunnya mencapai kurang lebih 330.000

ton. Produksi tersebut terbagi atas 49% berasal dari

Jawa Timur, 36% dari Jawa Barat dan sisanya 15% dari

Jawa Tengah. (1999). Dari segi perkembangan populasi

sapi perah pada tahun 1970 sekitar 3000 ekor menjadi

193.000 ekor pada tahun 1985, dan menjadi 369.000 ekor

pada tahun 1991. Kenaikan ini terjadi karena adanya

impor sapi perah asal Australia dan New Zealand

( Achjadi, 2001). Pada tahun 1999 industri persusuan

nasional hanya memproduksi ± 20% terhadap total

kebutuhan industri pengolahan, sehingga sisanya masih

sangat bergantung kepada bahan baku impor. Kondisi ini

tidak bisa dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya

upaya perbaikan pengelolaan sapi perah. Untuk

memperbaiki keadaan ini dibutuhkan usaha yang keras

dari segala komponen yang terkait, mulai dari peternak

sampai dengan pemerintah.

Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia

masih merupakan jenis peternakan rakyat yang hanya

berskala kecil dan masih merujuk pada sistem

pemeliharaan yang konvensional. Banyak permasalahan

yang timbul seperti permasalahan pakan, reproduksi dan

kasus klinik. Agar permasalahan tersebut dapat

ditangani dengan baik, diperlukan adanya perubahan

pendekatan dari pengobatan menjadi bentuk pencegahan

dan dari pelayanan individu menjadi bentuk pelayanan

kelompok. Keberhasilan usaha peternakan sapi perah

sangat tergantung dari keterpaduan langkah terutama di

bidang pembibitan (Breeding), pakan, (feeding), dan

tata laksana (management). Ketiga bidang tersebut

kelihatannya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hal

ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan

peternak serta masih melekatnya budaya pola berfikir

jangka pendek tanpa memperhatikan kelangsungan usaha

sapi perah jangka panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan

peningkatan pengetahuan dan pemahaman peternak tentang

manajemen sapi perah yang baik sehingga akan berdampak

pada peningkatan produksi dan ekonomi.

B. Manajemen Pemeliharaan

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pola

pemeliharaan sapi potong harus memperhatikan hal-hal

sebagai berikut :

1. Penyiapan sarana dan peralatan tertutama

perkandangan

2. Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibit

3. Kesehatan dan sanitasi

4. Manajemen pemberian makan

5. Administrasi serta perhitungan ekonomi

Penyiapan Sarana dan Peralatan

Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau

tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki.

Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan

pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang

yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua

jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak

belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya

dibuat jalur untuk jalan.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk

menjaga agar ternak nyaman sehingga dapat mencapai

produksi yang optimal, yaitu :

Persyaratan secara umum :

a. Ada sumber air atau sumur

b. Ada gudang makanan atau rumput atau hijauan

c. Jauh dari daerah hunian masyarakat

d. Terdapat lahan untuk bangunan dengan luas yang

memadai dan berventilasi

Persyaratan secara khusus :

a. Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi

jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m atau 2,5 x 2 m,

sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m

dan untuk anak sapi cukup 1,5 x 1 m per ekor, dengan

tinggi atas ± 2-2,5 m dari tanah.

b. Ukuran bak pakan : panjang x lebar = bersih 60 x 50

cm

c. Ukuran bak minum : panjang x lebar = bersih 40 x 50

cm

d. Tinggi bak pakan dan minum bagian dalam 40 cm

(tidak melebihi tinggi persendian siku sapi) dan

bagian luar 80 cm

e. Tinggi penghalang kepala sapi 100 cm dari lantai

kandang

f. Lantai jangan terlalu licin dan terlalu kasar

serta dibuat miring (bedakan ± 3 cm). Lantai kandang

harus diusahakan tetap bersih guna mencegah

timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari

tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari

kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami

kering sebagai alas kandang yang hangat.

g. Selokan bagian dalam kandang untuk pembuangan

kotoran, air kencing dan air bekas mandi sapi :

Lebar (L) x Dalam selokan (D) = 35 x 15 cm

h. Selokan bagian luar kandang untuk pembuangan bekas

air cucian bak pakan dan minum : L x D = 10 x 15 cm

i. Tinggi tiang kandang sekurang-kurangnya 200 cm

dari lantai kandang

j. Atap kandang dibuat dari genteng

k. Letak kandang diusahakan lebih rendah dari sumber

air dan lebih tinggi dari lokasi tanaman rumput.

(Hasanudin, 1988). Lokasi pemeliharaan dapat

dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga

dataran tinggi (> 500 m). Temperatur di sekitar

kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan

kelembaban 75%.

Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah

dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan

desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan

lainnya.

Pembibitan dan Pemeliharaan Bakalan/Bibit

Sapi perah yang cocok dipelihara di Indonesia

adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein

(dari Belanda) dan Yersey (dari selat Channel antara

Inggris dan Perancis). Agar dapat memperoleh bibit sapi

perah yang baik diperlukan adanya seleksi baik

berdasarkan silsilah, bentuk luar atau antomis maupun

berdasarkan jumlah produksi.

Ciri-ciri sapi perah betina yang baik:

1. Kepala panjang , sempit, halus, sedikit kurus dan

tidak banyak berotot

2. Leher panjang dan lebarnya sedang, besarnya

gelambir sedadang dan lipatan-lipatan kulit leher

halus

3. Pinggang pendek dan lebar

4. Gumba, punggung dan pinggang merupakan garis lurus

yang panjang

5. Kaki kuat, tidak pincang dan jarak antara paha

lebar

6. Badan berbentuk segitiga, tidak terlalu gemuk dan

tulang-tulang agak menonjol (BCS umumnya 2)

7. Dada lebar dan tulang -tulang rusuk panjang serta

luas

8. Ambing besar, luas, memanjang kedepan kearah perut

dan melebar sampai diantara paha. Kondisi ambing

lunak, elastis dan diantara keempat kuartir terdapat

jeda yang cukup lebar. Dan saat sehabis diperah

ambing akan terlimpat dan kempis, sedangkam sebelum

diperah gembung dan besar.

9. Produksi susu tinggi,

10.Umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak,

11. Berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai

keturunan produksi susu tinggi,

12. Tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit

menular, dan

13. Tiap tahun beranak.

Kesehatan

Gangguan dan penyakit dapat mengenai ternak

sehingga untuk membatasi kerugian ekonomi diperlukan

control untuk menjaga kesehatan sapi menjadi sangat

penting. Manjememen kesehatan yang baik sangat

mempengaruhi kesehatan sapi perah. Gangguan kesahatan

pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan

reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa

hipofungsi, retensi plasenta,kawin berulang,

endometritis dan mastitis baik kilnis dan subklinis.

Sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah

gangguan metabolisme (ketosis, bloot, milk fever dan

hipocalcemia), panaritium, enteritis, displasia

abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada

sapi perah yang disertai dengan penurunan produksi

dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari kandang atau

culling. Culling pada suatu peternakan tidak boleh

lebih dari 25, 3%. Salah satu parameter yang dapat

digunakan untuk pemeliharaan sapi dengan melihat body

condition scoring, nilai BCS yang ideal adalah 3,5

(skala 1-5). Jika BCS lebih dari 4 dapat menyebabkan

gangguan setelah melahirkan seperti mastitis, retensi

plasenta, distokia, ketosis dan panaritium. Sedangkan

kondisi tubuh yang kurus menyebabkan produksi

susumenurun dengan kadar lemak yang rendah. Selain itu

faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan

sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang

rutin dan peralatan pemerahan yang baik.

Manajemen Pemberian Pakan

Pakan sapi terdiri dari hijauan sebanyak 60%

(Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu,

lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput

raja, daun jagung, daun ubi dan daun kacang-kacangan)

dan konsentrat (40%). Umumnya pakan diberikan dua kali

perhari pada pagi dan sore hari. Konsentrat diberikan

sebelum pemerahan sedangkan rumput diberikan setelah

pemerahan. . Hijauan diberikan siang hari setelah

pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari.

Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan

dengan tiga cara, yaitu system penggembalaan, system

perkandangan atau intensif dan system kombinasi

keduanya. Pemberian jumlah pakan berdasarkan periode

sapi seperti anak sapi sampai sapi dara, periode

bunting, periode kering kandang dan laktasi. Pada anak

sapi pemberian konsentrat lebih tinggi daripada rumput.

Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan

sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan

sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui

(laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25%

hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang

berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis

kacang-kacangan (legum).

Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau

bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta

mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur,

kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya

diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi

diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi

harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan

perhari.Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang

cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang

dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan

secara intensif dikombinasikan dengan penggembalaan Di

awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di

musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan

menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk

memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat

kakinya.

Administrasi Serta Perhitungan Ekonomi

Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih

konvensional dan belum mencapai usaha yang berorientasi

ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak

tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta

pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek

reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil

pascapanen, penerapan sistem recording, pemerahan,

sanitasi dan pencegahan penyakit. Sistem recording

meliputi tanggal kelahiran, pencatatan asal usul sapi

(pedigree), pencatatan reproduksi sapi seperti sapi

kapan terakhir dikawinkan, terakhir melahirkan dan sapi

yang terlambat kawin Selain itu pengetahuan petani

mengenai aspek tata niaga harus ditingkatkan sehingga

keuntungan yang diperoleh sebanding dengan

pemeliharaannya.

MANAJEMEN PEMELIHARAAN KERBAU

A.  Peternakan Kerbau di Indonesia

Di Indonesia kerbau telah berkembang sejak dahulu.

Dimana telah tersebar di seluruh Indonesia termasuk

Sulawesi. Kerbau yang berasal di Indonesia didominasi

oleh kerbau lumpur dengan jumlah populasi sekitar 2

juta ekor dan kerbau perah terdapat 5 ribu ekor.

Kerbau-kerbau tersebut dipelihara oleh peternak kecil.

Untuk kerbau lumpur dengan pemeliharaan secara

tradisional dengan jumlah kepemilikan 2-3 ekor induk

peternak, sedangkan kerbau perah dipelihara atau

digembalakan secara berkelompok pada areal sekitar para

peternak berdiam. Walaupun demikian pada beberapa

tempat tertentu terdapat kepemilikan dalam jumlah besar

sepeti di pulau Moa (Maluku), Sumba (NTT), dan Sumbawa

(NTB) dimana jumlah kepemilikan kerbau per peternak

sapat mencapai 100 ekor per induk. Dengan majunya

otonomi daerah dan adanya permentan tentang penetapan

SDG (sumber daya genetik) ternak lokal maka beberapa

daerah mengklaim kerbau-kerbau lumpur yang ada di

daerahnya untuk ditetapkan sebagai bangsa atau sub

bangsa kebau di Indonesia kerana kemampuan adaptasinya

pada lingkungan tertentu yang cukup berbeda dengan

kawasan kerbau lainnya di Indonesia seperti kerbau

Sumbawa (NTB), dan kerbau Moa (Maluku) yang diusulkan

oleh daerah masing-masing untuk ditetapkan sebagai

rumpun kerbau yang adaptif pada kondisi daerah spesifik

pada iklim mikro masing-masing. (Rusastra, 2011)

Kerbau memiliki beberapa peranan utama secara

nasional yaitu sebagai penghasil daging yang mendukung

program pemerintah dalam hal swasembada daging selain

daging sapi, sebagai ternak kerja, penghasil susu dan

pupuk. Murtidjo (1992) menjelaskan bahwa potensi kerbau

sebagai ternak potong ternyata cukup tinggi, meskipun

kerbau sebagai ternak potong tidak sepopuler sapi

karena dagingnya berwarna lebih tua dan keras dibanding

daging sapi, seratnya lebih kasar dan lemaknya berwarna

kuning. Ternak kerbau yang digemukkan, umumnya

memiliki kemampuan pertambahan bobot badan rata-rata

per hari lebih tinggi dibanding ternak sapi.

Daging kerbau dan kontribusinya dalam pangan

sumber protein hewani masih dikesampingkan dan

menempati urutan kedua sesudah susu di negara yang

banyak terdapat kerbau tipe sungai atau sesudah kerja

di negara yang banyak terdapat kerbau tipe rawa. Di

Indonesia harga per kilogram daging kerbau barangkali

sangat mahal jika diperoleh dari kerbau belang (Tedong

bonga) di Tanah Toraja, Sulawesi. Daging kerbau (buff)

biasanya diperoleh dari penyembelihan (15-20 tahun)

dengan berat 380 kg setelah masa kerja. Jika sengaja

diternakkan untuk pedaging, maka kerbau dapat dipotong

pada umur 8 bulan (Murti, T.W., 2006).

Selain menurut Murtidjo (1992) manfaat kerbau

sebagai ternak kerja ternyata sangat besar. Hal ini

terbukti dengan digunakannya kerbau sebagai tenaga

kerja oleh 0,25 milyar petani di negara-negara

berkembang. Bahkan sampai tahun 2000 pun, sebagian

besar petani masih sangat tergantung pada ternak kerja.

Ditinjau dari segi teknis dan ekonomis, penggunaan

ternak kerbau sebagai tenaga kerja pengolah tanah di

Indonesia mutlak perlu, karena sekitar 85% rumah tangga

petani Indonesia rata-rata memiliki lahan kurang dari 2

ha. Sedangkan mekanisasi dengan traktor hanya

dimungkinkan untuk petani yang memiliki lahan 5 ha atau

lebih. Bila digunakan pagi hari atau sekali sehari,

kerbau sebagai tenaga kerja pengolah tanah sanggup

bekerja selama 3,5 jam. Jika digunakan pagi dan sore

hari atau dua kali sehari, kerbau sanggup bekerja

sampai 6 jam. Jadi, sepasang kerbau memiliki

kesanggupan menyelesaikan tanah sawah seluas 2,3 ha per

musim bila dipekerjakan sekali sehari dan 3,2 ha per

musim bila dipekerjakan dua kali sehari. Kerbau juga

sanggup mengolah sawah berlumpur dalam.

Di Indonesia, kerbau sebagai ternak perah sudah

cukup lama dikenal oleh masyarakat Aceh, Tapanuli

Utara, Palembang, Sulawesi dan Timor. Bila

dibandingkan dengan susu sapi, susu kerbau hasil

pemerahan, tidak banyak mengandung air tetapi lebih

banyak mengandung bahan padat, lemak, laktosa dan

protein. Kandungan lemak pada susu kerbau adalah 50%,

jadi lebih banyak dibandingka susu sapi. Begitu juga

halnya dengan kandungan protein. Di Indonesia, umumnya

susu kerbau tidak dikonsumsi langsung dalam keadaan

segar, tetapi diolah untuk berbagai keperluan. Di

Aceh, susu kerbau dibuat mentega dan minyak samin,

sedangkan d Sumatera Utara dibuat dadih (Murtidjo,

1992).

Konsumen susu kerbau memang masih terbatas, namun

peluang pengembangbiakan produk olahan dari susu kerbau

cukup besar karena kerbau memiliki kadar lemak tinggi.

Bibit kerbau penghasil susu cukup tersedia dan dapat

diimpor dalam bentuk semen atau embrio, sedang

teknologinya telah dikuasai (Triwulaningsih, 2006)

Manfaat lain dari ternak kerbau menurut Murtidjo

(1992), adalah meski tanpa didukung pengetahuan ilmiah,

sejak dahulu andil keterpaduan usaha pertanian dan

peternakan cukup besar dalam mempertahankan hasil

produksi pertanian. Keterpaduan ini juga tidak terlalu

mengeksploitasi kemampuan tanah. Menggunakan ternak

kerbau untuk mengolah tanah pertanian dan membuang

kotoran kerbau di lahan berarti mengembalikan dan

mempertahankan kesuburan tanah. Hasil akhir pelapukan

bahan-bahan organik, berkat adanya mikroorganisme yang

disebut humus, mempunyai kegunaan antara lain menyerap

air untuk kebutuhan tanaman, serta menjaga kelembaban

dan menyerap zat-zat makanan yang dibutuhan tanaman.

Demikian pula jika kebutuhan berlaku secara

efektif sesuai yang dibutuhkan peternak maka tentu

existensi kerbau akan terus dipertahankan. Tetapi jika

sebaliknya yang terjadi maka tentulah populasi kerbau

akan menurun, karena kebutuhan tentu driveb by market and

farmers need. Populasi kerbau tidak akan menurun jika ada

nilai tambah yang dilakukan dan berdampak nyata secara

ekonomi bagi perbaikan penghasilan para peternak

(Rusastra, 2011).

Ciri petenakan kerbau yang mendominasi keragaman

usaha ternak kerbau di Indonesia, identik dengan

ketergantungan pada pakan serat alami antara lain;

rumput alam, jerami, berbagai tanaman pangan dan

holtikultura serta perkebunan dengan skala usaha antara

2-3 unit ternak. Kerbau ini dapat digembalakan secara

terus menerus maupun hanya digembalakan pada siang hari

(Talib 2010) dan dikandangka. Kuswandi (2011) dan

Prawiradigdo et, al (2010) mengatakan bahwa pakan

seperti ini umumnya rendah kualitasnya sehingga

membutuhkan teknologi pengkayaan nutrisi untuk

meningkatkan kualitas nilai gizinya, apalagi kalau

ditambah dengan masalah pemberian pakan dalam jumlah

yang tidak mencukupi, maka produktivitas kerbau akan

sangat sulit diperoleh.

Sepuluh provinsi di Indonesia dengan jumlah kerbau

terbanyak

ProvinsiTahun

2004 2005 2006 2007 2008Nanggro 409,071 338,272 371,143 390,334 280,66

Aceh

Darussalam 2Sumatera

Utara 263,435 259,672 261,794 189,167

155,34

1Sumatera

Barat 322,692 201,421 211,531 192,148

196,85

4Sumatera

Selatan 86,528 90,300 86,777 90,160 77,271

Banten 139,707 135,041 146,453 144,944153,00

4

Jawa Barat 149,960 148,003 149,444 149,030145,84

7Jawa

Tengah122,482 123,815 112,963 109,004

102,59

1

NTB 156,792 154,919 155,166 153,822161,45

0

NTT 136,966 139,592 142,257 144,981148,77

2SulawesiSelatan 161,504 124,760 129,565 120,003 130,10

9Sumber :http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+

B.  Produktivitas Kerbau

Murti (2006) menyatakan bahwa reproduksi yang

jelek dari kerbau rawa dan sungai adalah faktor utama

yang membatasi kinerja kerbau dan pencapaian perbaikan.

Kerbau (rawa dan sungai) mempunyai umur beranak

pertamakali sangat tinggi dan interval kelahiran yang

panjang akibat perkawinan yang tergantung pada musim.

Kadangkala siklus estrus yang tidak tampak juga

menyulitkan dokter hewan dan ahli ternak di pedesaan

dalam upaya pengaturan reproduksinya. Kerbau jantan

akan mengalami dewasa kelamin pada umur 2 tahun,

sedangkan kerbau dara mulai mengalami estrus pada umur

2 - 2,5 tahun.

C.  Masalah Pengembangan Kerbau di Indonesia

Faktor penyebab menurunnya populasi kerbau di

indonesia tidak berbeda jauh dengan di negara-negara

asia lainnya. Penurunan produktivitas kerbau

sdesebabkan faktor internal dan faktor eksternal.

1.  Faktor internal

Faktor internal ditentukan oleh sifat atau

karakteristik dari suatu jenis ternak. Pada kerbau

sifat internal yang berpengaruh terhadap kendala

peningkatan populasi adalah:

Masak Lambat

Kerbau termasuk hewan yang lambat dalam mencapai

dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya kerbau

mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga

kerbau mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3

tahun. 2-3 tahun (Lendhanie, 2005).

Lama Bunting

Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan,

sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006) lama

bunting pada kerbau bervariasi dari 300-344 hari (rata-

rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari.

Dikemukakan pula oleh Hill (1998) bahw lama bunting

pada kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk

kerbau kerja, lama buntuing kerbau mesir bervarisi 325-

330 hari. Hasil penelitian Landhanie (2005) di Desa

Sapala, kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau

rawa mencapai 1 tahun.

Berahi Tenang

Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak

tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan

paa pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan.

Meskipun fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan

jantan, namun kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan

yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

Waktu Berahi

Umumnya berahi pada kerbau terjada pada saat

menjelang malam sampai agak malam den menjelang pagi

atau subuh atau lebih pagi (Toilehere, 2001). Menurut

Hill (1988) tanda-tanda berahi da kativitas perkawinan

pada jkerbau mesir pada umumnya terjadi pada malam

hari. Pada saat seperti ini umumnya kerbau-kerbau

betina di Indonesian sedang berada dalam kandang yang

tertutup yang tidak memungkinkan terjadinya perkawinan.

Jarak Beranak yang Panjang

Jarak beranak yang panjang merupakan implikasi

dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau

keerja jarak beranak bervariasi dari 350-800 haru

dengan rata-rata 553 hari (Keman, 2006). Menurut Hill

(1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi dari 334-

650 hari. Tyergantung pada manajemen yang dilakukan.

Menurut Ladhanie (2005) jaerak beranaka pada kerbau

rawa antara 18-24 bulan.

Beranak pertama

Panjang sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh

langsung terhadap beranak pertama pada kerbau. Hasil

survei di Indonesia terutama si NAD< Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa timur, NTB dan Dulaweisi Selatan, umur

pertama kali beranak masing-masing 45,0; 49,6; 47,7;

49,1; 45,6 dan 49,2 bulan denga rata-rata 47,7 bulan

(Keman, 2006), sementara itu di Brebes, Pemalang,

semarang dan Pati rata-rata umur pertama kali8 beranak,

berturut-turut adalah 44, 40, 44, dan 42 (Keman 2006).

Faktor Eksternal

Diantar faktor eksternal, ada yang berpengaruh

langsung terhadap performa reproduksi dan ada yang

tidak berpengaruh langsung. Reproduksi adalah suatu

proses yang rumit pada semua spesies hewan. Rumit

karena reproduksi tergantung Pada fungsi yang sempurna

proses-proses biokimia dari sebagian besar alat tubuh.

Uvilasi, berahi, kebuntingan, kelahiran dan laktasi,

itu semua tergntung dari fungsi yang sempurna dari

berbagai hormon dan alat tubuh. Setiap abnormalitas

dalam anatomi dan fisiologi dari alat reproduksi

berakibat fertilitas menurun atau dapat menyebabkan

sterilitas. (Anggorodi, 1979).

2.  Faktor eksternal

Faktor eksternal yang berpengaruh langsung

terhadap performa reproduksi adalah :

Pakan

Menurut Murtidjo (1991), makanan ternak kerbau

dapat dibagi dalam beberapa golongan menurut kebutuhan,

usia, dan manfaat ternak kerbau, yaitu makanan

pengganti untuk anak kerbau (gudel), makanan kerbau

dara, makanan kerbau dewasa, makanan kerbau laktasi,

dan makanan kerbau kering kandang. Bahan baku makanan

ternak kerbau digolongkan menjadi 8 kelas, yakni

hijauan kering, hijauan segar, silase, makanan sumber

energi, makanan sumber protein, makanan sumber mineral,

makanan sumber vitamin, dan makanan tambahan.

Kontribusi pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap

performa reproduksi. Makanan berperan penting dalam

perkembangan umum dari tubuh dan reproduktif (Tillman,

et al., 1983).

Peternak kerrbau di negara kita pada dasarnya

merupakan peternak tradisional dan merupakan kegiatan

yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya

didapat pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di

lapangan, di pematang sawahn atau pinggir-pinggir jalan

adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan.

Pakan yang diberikan di kandang pada umumnya jerami

kering yang kadang-kadang disiram larutan garam dapur.

Pada musim kemarau ketersediaan rumpur alam akan sangat

menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh

langsung terhadap asupan pakan pada ternak. Pakan

dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan

berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi.

Diperparah lagi oleh tugan yang harus dilakukan pada

saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu

keunggulan kerbau adalah mampu memamfaatkan pakan

dengan kualitas rendah, namun untuk mendapatkan

performa reproduksi yang baik memerlukan makanan yang

cukup, baik kualitas maupun kuantitas.

Manajemen Pemeliharaan

Menurut Setyawan (2010) menyatakan bahwa manajemen

pemeliharaan dalam upaya pengembangan kerbau di

kabupaten Brebes system pemeliharaannya masih sangat

tradisional karena belum ada sentuhan teknologi terpadu

baik untuk peningkatan populasi ternak, pengelolaan

pakan dan pengetahuan pengelolaan hasil produksi

sehingga menyebabkan peningkatan populasi juga tidak

berkembang.

Sosial Budaya

Beberapa di daerah di Indonesia yang secara sosial

budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi

kerbau yang tingg. Keterkaitannya bis a berupa dalam

adat istiadat atau kebutuhan tenaga kerja. NTB,

Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan

keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun

temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti

sosial yang sangat khas.

Rumah adat dan perkantoran pemerintah mempunyai

bentuk atap yang melengkung yang melambangkan bentuk

tanduk kerbau. Diduga kata “minangkabau” berasal dari

“menang kerbau” (Hardjosubroto, 2006). Pada masyarakat

Batak dikenal upacara kematian sepeti saur matua dan

mangokal hili. Bagian dari rangkaian upacara tersebut

biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai

pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan

pada saat upacara perkawinan, horha bius (acara

penghormatan terhadap leluhur, dan pendiri rumah adat

(Susilowati, 2008). Bagi etnis toraja, khususnya toraja

sa`dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam

kehidupan sosial mereka (Nooy-Palm, 2003 yang dikutip

Stepanus, 2008) selain sabagai hewan yang memenuhi

kehidupan sosial, ritual maupun kepercayaan

tradisional, kerbau juga menjadi lata takaran, status

sosial dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau

merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya

(Issudarsono, 1979 yang dikutip Stepanus, 2008). Kerbau

juga merupakan hewan domestik yang sering dikaitkan

dengan kehidupan masyarakat yang bermata pencaharian

dibidang pertanian.

Di Banten, kerbau selain digunakan sebagai hewan

kerja juga masyarakat sangat fanatik terhadap daging

kerbau. Menurut Patheram dan Liem (1982) selera

masyarakat banten terhadap daging kerbau cukup tinggi

dibandingkan dengan daging sapi. Di Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur lebih pada kebutuhan tenaga

kerja. Hal ini menunjukkan bahwa budaya masyarakat

sangat berperan terhadap perkembangan populasi kerbau.

Populasi kerbau di Indonesia terdapat di seluruh

provinsi, karena kerbau mempunyai daya adapatasi yang

sangat tinggi. Kerbau bisa berkembang mulai dari daerah

kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di

Jawa hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan

dan daerah pantai Sumatera (Asahan sampai Palembang).

Selain itu pengembangannya tidak akan menghadapi

hambatan selera, budaya da agama (Triwulanningsih).

D.  Usaha-Usaha Mempercepat Peningkatan Populasi Dan

Kualitas Kerbau Melalui Efisiensi Reproduksi

Banyak faktor yang harus dilakukan dalam rangka

meningkatkan populasi dan kualitas kerbau diantaranya

adalah:

1.      Mengupayakan terbentuknya village breeding

system (VBC) yang secara khusus mengupayakan

pengembangan kerbau.

2.      Mengadakan upaya recording serta seleksi kerbau

berdasarkan performa dan asal usul ternak dengan

cara penjaringan ternak yang baik berdasarkan

standarisasi.

3.      Penerapan teknologi, khusunya untuk mengolah

limbah pertanian (jerami padi, pucuk tebbu, jerami

jagung, jerami kedelai).

4.      Komitmen yang berkelanjutan. Penurunan populasi

kerbau di daerah-daerah tertentu sudah lama

terjadi, namun sampai sejauh ini dorongan

pemerintah, terutama pemerintah daerah belum nyata

mendorong perkembangan populasi di daerahnya

masing-masing. Tidak sedikit peternak kerbau

berlokasi jauh dari pusat pemerintah sehingga

banyak yang tidak tersentuh oleh laju pembangunan.

Fasilitas untuk peningkatan populasi baik software

maupun hardware belum sampai ketangan peternak

kerbau. Peternak kerbau seolah berjalan sendiri

tanpa tahu kemana tujuanya.

5.      Pembentukan kelompok ternak. Memungkinkan dapat

mendorong peningkatan populasi. Dalam kelompok para

peternak bisa merencanakan usaha yang akan

dilakukan sehubungan dengan peningkatan populasi,

termaksud terbentuknya kandang kelompok. Kandang

kelompok bila dikelola dengan baik dengan kesadaran

yang tinggi dapat memecahkan masalah ketiadaan

jantan dan keterlambatan perkawinan.

6.      Melakukan seleksi, baik pada kerbau betina

maupaun pada kerbau jantan, terutama pada kerbau

jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun

mampu mengawini 50 ekor betina dan bila semua

berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang

genetikanya baik. Pada saat ini justru kerbau

betina atau jantan yang tampilanya lebih besar

adalah yang paling cepat masuk rumah potong. Peran

pemerintah disini melakukan penjaringan agar

fenomena yang sudah lama terjadi ini akan

dihentikan minimal dikurangi.

7.      Peternak yang memiliki kerbau yang baik dan

memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan

dengan memberikan sertifikat. Hal ini bisa

merangsang prestasi selanjutnya dan akan

berpengaruh positif terhadap lingkungan.

8.      Mengembangkan program inseminasi buatan pada

daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya.

Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah

salah satu cara untuk mengatasi terbatasnya

pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi

dapat dipertanggungjawabkan (SUBIYANTO, 2010) peran

pemerintah harus mengangtifkan kembali produksi

mani beku kerbau di balai-balai inseminasi buatan.

Dengan inseminasi buatan juga dapat mencegah

terjadinya kawin silang dalam.

9.      Peningkatan pendidikan inseminator. Inseminator

buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah untuk itu

diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-

lebih pada kerbau yang saat berahinya sulit

diamati. Meskipun demikian kita bila kita mau kita

bisa. Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa

tahun yang lalu pada sapi potong, yang pada saat

itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi

potong karena sapi potong terutama sapi lokal juga

memperlihatkan berahi tenang. Pada saat ini

meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para

inseminator inseminasi buatan pada sapi potong

sudah bisa dilakukan dengan prestasi yang baik.

10.  Lokasi peternak kerbau yang umumnya masih

berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan inseminasi

buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani

peternak yang jaraknya dari pos bisa belasan

kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan

populasi maka program sinkronisasi birahi waktu

pelaksanaan dan jumlah yang akan diinseminasi bisa

diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien.

Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu

meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi

kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi

pelaksanaan inseminasi butan dan meningkatkan

fertilitas .

11.  Untuk meningkatkan mutu genetic kerbau di suatu

wilayah, bisa dilakukan dengan membeli pejantan

unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau

menggunakan pejantan IB persilang dengan tipe perah

juga bisa dilakukan dengan harapan keturunanya bisa

menghasilkan susu yang lebih banyak, minimal bisa

memberi susu keturunanya dalam jumlah yang

mencukupi.

BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan

bahwa :

1. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85%

kebutuhan kulit

2. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pola

pemeliharaan sapi potong harus memperhatikan hal-hal

sebagai berikut :

a. Penyiapan sarana dan peralatan tertutama

perkandangan

b. Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibi

c. Kesehatan dan sanitasi

d. Manajemen pemberian makan

e. Administrasi serta perhitungan ekonomi

3. Permasalahan pengembangan peningkatan populasi

kerbau di Indonesia di sebabkan oleh factor internal

dan eksternal, hal ini menyebabkan pengembangan

usaha ternak kerbau di Indonesia kurang berkwmbang

dibandingkan dengan ternak sapi.

4.  Peningkatkan populasi kerbau di Indonesia yaitu

dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

membentuk village breeding system, Komitmen yang

berkelanjutan, Pembentukan upaya recording ternak,

penerapan teknologi khusunya , kelompok ternak,

Melakukan seleksi, Peternak yang memiliki kerbau

yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat

penghargaan, Mengembangkan program inseminasi buatan

pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya,

Peningkatan pendidikan inseminator, Penggunaan

teknik sinkronisasi birahi,dan persilangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjennak, 2004.http;www.ditjennak.go.id/basisdataproses.asp?yhn1=2004&thn2=2008&jt=kerbau&button=submit&rep=2&ket=populasi+nasional+%28per+provinsi%29+ .

Dirjen Bina Produksi Ternak. 2004. Statistik PeternakanIndonesia. Dirjen Bina Produksi Peternakan, Jakarta.

Gunawan, dkk. 2010. Kebijakan Pengembangan PembibitanKerbau Mendukung swasembada Daging Sapi/Kerbau.Seminar Lokakarya Nasional Kerbau 2010.Pustlitbang Peternakan, Bogor.

Halim. 2012. Pengembangan Kerbau di Indonesia.http://fapethalim.blogspot.com/

Nugroho, Adi. 2009. Produksi Susu, Pemeliharaan Sapi Perah, danReproduksi, Manajemen Kerbau Perah.http://felicitasdian.blogspot.com/2009/11/sapi-perah_25.html

Triwulanngsih E., 2006. Kerbau Sumber Daging dan Susu. BalaiPenelitian Ternak Bogor, Indonesia. http://www.balitnak.bogor.kerbau.sumber.daging.dan.susu.mungkinkah.

Yahya, Harun. 2008. Manajemen Sapi Perah PadaPeternakan Rakyathttp://wah1d.wordpress.com/beternak-sapi-tanpa-rumput-naskah-ini-disalin-sesuai-aslinya-untuk-kemudahan-navigasi/manajemen-sapi-perah-pada-peternakan-rakyat/