sapi, antara hewan suci dan konsumsi!

12
Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020 165 SAPI, ANTARA HEWAN SUCI DAN KONSUMSI! (Keberadaan hewan sapi dalam perspektif ajaran saiva siddhanta, veda manu samhita, lontar devi bhagavatam, pantheisme dan teori ekologi agama) Oleh: Made Ferry Kurniawan, S.Pd (Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali) ABSTRACT The majority of Hindus in Bali as agents who implemented Saiva Siddhanta’s teachings , of course they are very aware of the various attributes and everything that is inherent and related to Shiva Lord. One of the most iconic when mentioning the name of Lord Shiva is his vehicle or mount named Lembu Nandhini (Which is correlated with the cow). For the Hindu community in Bali the existence of cows is something is somewhat confusing and ambivalent. Its said because the existence of the animal is in two different sides, namely between sacred animal or being animals that are allowed consumed. This kind of question is something that should be discussed. First, from the theological point of view the existence of cattle for Hindus (especially for Hindus in Bali) these ruminants are animals that have symbolic meaning as non profane animals. This means that cows are a symbol of the purity and seriousness of the devotees in maintaining the spirit and greatness of Lord Shiva. Second, from a philosophical point of view the fear of consuming processed beef is because Hinduism recognizes the concept of pantheism. Pantheism is a philosophical conception that sees the divine is everything. The universe in filled with the divine and all power both naturaland among humans are manifestations of the divine self. Trird, from a sociological teory point of view, especially in environmental sociology, there is a theory called culture ecology theory. In this context, cows are considered as sacred and sacred animals, by environmental sociology theory as functional animals. So to maintain the population and its functionality, idioms are made so that the number of cows is maintained. To clarify and detail the theory above, a quite interesting idea was stated by Marvin Harris (1996), when he developed a study of the ecological theory of religion. According to him, religious doctrines and beliefs are influenced by the environment. This view is based on Harris’ observations on Hinduism in India, which considers cows to be sacred. Keywords : cows, Hinduism, Saiva Siddhanta

Transcript of sapi, antara hewan suci dan konsumsi!

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

165

SAPI, ANTARA HEWAN SUCI DAN KONSUMSI! (Keberadaan hewan sapi dalam perspektif ajaran saiva siddhanta, veda manu

samhita, lontar devi bhagavatam, pantheisme dan teori ekologi agama)

Oleh: Made Ferry Kurniawan, S.Pd

(Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha, Bali)

ABSTRACT

The majority of Hindus in Bali as agents who implemented Saiva Siddhanta’s teachings , of course they are very aware of the various attributes and everything that is inherent and related to Shiva Lord. One of the most iconic when mentioning the name of Lord Shiva is his vehicle or mount named Lembu Nandhini (Which is correlated with the cow). For the Hindu community in Bali the existence of cows is something is somewhat confusing and ambivalent. Its said because the existence of the animal is in two different sides, namely between sacred animal or being animals that are allowed consumed. This kind of question is something that should be discussed. First, from the theological point of view the existence of cattle for Hindus (especially for Hindus in Bali) these ruminants are animals that have symbolic meaning as non profane animals. This means that cows are a symbol of the purity and seriousness of the devotees in maintaining the spirit and greatness of Lord Shiva. Second, from a philosophical point of view the fear of consuming processed beef is because Hinduism recognizes the concept of pantheism. Pantheism is a philosophical conception that sees the divine is everything. The universe in filled with the divine and all power both naturaland among humans are manifestations of the divine self. Trird, from a sociological teory point of view, especially in environmental sociology, there is a theory called culture ecology theory. In this context, cows are considered as sacred and sacred animals, by environmental sociology theory as functional animals. So to maintain the population and its functionality, idioms are made so that the number of cows is maintained. To clarify and detail the theory above, a quite interesting idea was stated by Marvin Harris (1996), when he developed a study of the ecological theory of religion. According to him, religious doctrines and beliefs are influenced by the environment. This view is based on Harris’ observations on Hinduism in India, which considers cows to be sacred. Keywords : cows, Hinduism, Saiva Siddhanta

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

166

PENDAHULUAN

Agama Hindu atau disebut juga dengan agama Brahma dalam sudut pandang

historis adalah agama tertua dan memiliki perjalanan spiritual-sosial yang sangat

panjang. Agama yang sangat terkenal dengan ajaran sanathana (ajaran

absolut/deterministik) dan ajaran nuthana (ajaran tentatif/pluralistik) ini mewariskan

berbagai macam paham ketuhanan, mulai dari paham ketuhanan tunggal

(monotheisme), paham ketuhanan non-tunggal (politheisme), paham ketuhanan

dominan (henotheisme) dan paham ketuhanan yang terinfiltrasi ke semua ciptaan

(pantheisme). Warisan teologis-filosofis untuk mengenal Tuhan dalam ajaran agama

Hindu sampai saat ini masih ditemui serta diimplementasikan dalam berbagai macam

wujud ritus keagamaan oleh seluruh umat Hindu di seluruh dunia. Ajaran keimanan

tersebut masih eksis dan intensif dilakukan oleh mereka yang mengimani hal tersebut

(Ferry Kurniawan, 2020).

Fakta historis mengenai penyebaran agama Hindu bisa dilacak dari etnologi

atau ilmu bangsa-bangsa. Dalam disiplin ilmu ini, turunan manusia dibagi menjadi 3

(tiga) rumpun, yaitu: rumpun Caucassoids (Kaukasoid), rumpun Mongolids (Mongol)

dan rumpun Negroids (Negro). Rumpun yang pertama ini dikatakan berasal dari

dataran tinggi Kaukasus yang terletak diantara Laut Hitam dengan Laut Kaspi.

Mereka itu diidentikkan dengan turunan Japets Putra Noah, yakni Putra Nabi Nuh dan

bisa juga dipanggil dengan turunan Arya (Sou’yb, 1983 : 26).

Golongan-golongan bangsa yang memencar dan menyebar ke utara itu dikenal

dengan sebutan Bangsa Indo-Eropa dan golongan-golongan bangsa yang memencar

dan menyebar ke selatan dikenal dengan sebutan Bangsa Indo-Arya. Mereka ini

menetap di tanah Iran dalam kurun waktu yang relatif lama dan melahirkan agama

Zarathustra. Sebagian diantara mereka melanjutkan perjalanan ke arah selatan

memasuki benua India dengan melintasi celah Khyber (wilayah Afghanistan saat ini)

dan celah Bolan (wilayah Baluchistan saat ini) (Sou’yb, 1983 : 26).

Golongan-golongan bangsa pribumi yang tidak mau ditaklukkan dan tunduk

kepada Bangsa Arya sebagai bangsa pendatang yakni Suku Dravida, suku ini

kemudian menarik dirinya ke wilayah selatan anak benua India. Ketika golongan-

golongan Bangsa Arya makin berkembang, secara sporadis mereka melakukan

penyusuran serta perjalanan ke wilayah Sungai Gangga dan Sungai Indus, kemudian

memasuki daerah-daerah makmur sepanjang pesisir selatan India, karena invasi

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

167

Bangsa Arya yang begitu masif, maka Suku Dravida tersingkir ke daerah pedalaman

memasuki dataran tinggi Vyndhia dan dataran tinggi Andhra. Perjalanan panjang

Bangsa Arya yang dominan, serta resesifnya Suku Dravida sebagai suku asli India,

maka di lingkungan Indo-Arya pada anak benua India itulah lahir agama Brahma

(Sou’yb, 1983 : 26).

Agama Hindu atau agama Brahma yang lahir di India kemudian menyebar ke

seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia. Penganut Hindu terbesar di Indonesia

terletak di Provinsi Bali yakni berjumlah 3. 247. 283 jiwa (Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali, Update Data Terakhir Tanggal 15 Februari 2018). Ajaran agama Hindu

yang ada di Bali adalah ajaran fusi (penggabungan) dari berbagai macam sampradaya

atau sekte yang lahir di India. Sampradaya atau sekte tersebut antara lain Brahma,

Waisnawa (Wisnu), Siwa, Indra, Durga/Bairawa, dll. Sampradaya atau sekte yang

berkembang di Bali pada saat itu pernah mengalami proses fluktuasi serta dinamisasi

dalam perjalanannya menyebarkan ajaran-ajaran ketuhanan, bahkan oleh bhakta

masing-masing sampradaya atau sekte tersebut pernah terjadi konflik, karena masing-

masing dari mereka mengklaim bahwa Tuhan yang mereka puja lebih unggul dari

Tuhan yang dipuja oleh sampradaya atau sekte lain. Karena terjadi konflik

kepentingan diantara penganut ajaran kepercayaan tersebut, maka raja Bali pada saat

itu bernama Raja Marakatapangkaja memohon bantuan kepada purohita karismatik

dari tanah Jawa bernama Mpu Kuturan. Oleh Mpu Kuturan semua sampradaya atau

sekte yang berkembang di Bali pada saat itu dipanggil dan dikumpulkan di Pura

Samuan Tiga yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten

Gianyar. Di Pura Samuan Tiga inilah Mpu Kuturan memberikan penjelasan dan

berhasil mendamaikan para bhakta aliran kepercayaan tersebut. Dari proses paruman

(pertemuan di tempat suci) tersebut, Mpu Kuturan juga berhasil meyakinkan serta

membuat sebuah konsensus dengan semua orang yang hadir pada saat itu, bahwa

sampradaya atau sekte yang berkembang di Bali akan dilakukan fusi (penggabungan)

dan melahirkan 3 (tiga) sampradaya atau sekte, yakni sampradaya Brahma,

sampradaya Waisnawa (Wisnu) dan sampradaya Siwa. Tiga dewa yang dimuliakan

tersebut dikenal dengan istilah Tri Murti, terdiri dari Dewa Brahma (utpetti/pencipta

alam semesta), Dewa Wisnu (sthiti/pemelihara) dan Dewa Siwa (pralina/pelebur).

Mpu Kuturan juga membuat konsepsi peribadahan yang dikenal dengan istilah Tri

Kahyangan Desa untuk memuja serta men-sthana-kan ketiga dewa tersebut, yang

terdiri dari Pura Baleagung/Pura Desa tempat men-sthana-kan Dewa Brahma, Pura

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

168

Puseh tempat men-sthana-kan Dewa Wisnu dan Pura Dalem/Pura Dasar tempat men-

sthana-kan Dewa Siwa. Sampai saat ini, warisan Mpu Kuturan masih tetap eksis di

setiap desa adat yang ada di Bali.

Ajaran sampradaya atau sekte yang sudah dikonsensuskan tersebut

terinternalisasi dengan sangat baik di dalam setiap insan Hindu yang ada di Bali.

Namun, dari ketiga sampradaya atau sekte yang sudah ditetapkan tersebut, ajaran

Saiva Siddhanta adalah ajaran yang dominan diterapkan oleh masyarakat Bali (tanpa

memarginalkan sampradaya Brahma dan sampradaya Waisnawa/Wisnu). Sumber

ajaran Saiva Siddhanta di Bali bersumber dari ajaran Weda dan sumber suci dalam

naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Siwa Sasana ada

dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada

empat, yakni: Weda, Tattwa, Etika dan Upakara. Kelompok Weda, diantaranya: Weda

Parikrama, Weda Sanggraha, Surya Sewana dan Siwa Pakarana. Kelompok Tattwa,

diantaranya: Bhuwana Kosa, Bhuwana Sang Kasepa, Wrhaspati Tattwa, dll.

Kelompok Etika, diantaranya: Siwa Sasana, Rsi Sasana, Wrti Sasana, Putra Sasana

dan Slokantara. Kemudian, kelompok Upacara diantaranya: (a) Dewa Yadnya, seperti

Catur Wedhya, Wrhaspatikalpa, Dewatattwa, dll; (b) Pitra Yadnya, seperti

Yamatattwa, Empu Lutuk Aben, Kramaning Atiwatiwa; (c) Rsi Yadnya, seperti

Kramaning Madhiksa, Yajna Samskara, dll; (d) Manusa Yadnya, seperti Dharma

Kahuripan, Eka Ratama, Puja Kalapati, dll; (e) Bhuta Yadnya, seperti Eka Dasa

Rudra, Panca Wali Krama, Puja Palipali, dll (Subagiasta, 2006 : 32).

Sedangkan, naskah tradisional sebagai sumber ajaran Saiva Siddhanta yang

dikoleksi dalam Pustaka Guna Dharma, antara lain: Gagelaran Mantra, Widhi Sastra,

Sang Hyang Siwa Sasana, Siwa Yadnya, Sewagati, Bhuwana Purana, Siwa Yadnya

Krama, Babad Brahmana Siwa Buddha, Puja Siwa Sogatha, Puja Buddha, Siwa

Banda Sakoti, Siwa Tattwa Purana, dll. Bali sebagai penganut agama Hindu dengan

dominasi ajaran sampradaya Saiva Siddhanta tentunya menancapkan berbagai macam

ajaran. Salah satu ajaran yang terdapat dalam sampradaya Saiva Siddhanta tertuang

dalam Kitab Sang Hyang Mahajnana. Kitab ini adalah sumber ajaran kelepasan yang

bersifat siwaistis yakni memuliakan keberadaan Dewa Siwa atau Hyang Siwa. Naskah

ini terdiri atas 87 (delapan puluh tujuh sloka) dalam Bahasa Sansekerta, kemudian

diterjemahkan ke dalam Bahasa Kawi. Inti ajaran dalam Kitab Sang Hyang

Mahajnana yaitu bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang

Siwa. Ada 3 (tiga) komponen utama yang dibicarakan yakni purusa (unsur

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

169

kesadaran), pradhana (unsur ketidaksadaran) dan atma (unsur kebijaksanaan)

(Subagiasta, 2006 : 32).

Secara eksplisit, ajaran dari Kitab Sang Hyang Mahajnana terjabarkan dalam

uraian sloka berikut:

Untuk mencapai alam itu, maka seseorang (yogi) hendaknya

mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya, ke-lobha-annya,

keirihatiannya kepada Bhatara Brahma yang akan dibakar dengan Sang Hyang

Ongkara, sehingga terbebas dari segala mala. Kemudian mengadakan

pemusatan pikiran yang tiada henti-hentinya kepada Bhatara Siwa melalui

swalingga atau atmalingga dan perwujudan lingga yang ada di luar diri

dengan sarana mantra “Ong Sa Ba Ta A I” atau “ Ong Namah Siwa Ya”. Pada

saat kematiannya akan mencapai kepada-Nya (Tim Penyusun, 1999 : 17).

Mayoritas umat Hindu di Bali sebagai agen yang mengimplementasikan ajaran

Saiva Siddhanta, tentunya sangat mengetahui berbagai macam atribut serta segala

sesuatu yang melekat dan berhubungan dengan Dewa Siwa. Salah satu hal yang

sangat ikonik ketika menyebut nama Dewa Siwa adalah wahana atau tunggangan

beliau yang bernama Lembu Nandhini (dikorelasikan dengan hewan sapi). Dengan

kata lain, wahana Dewa Siwa yang berupa Lembu Nandhini (untuk selanjutnya

dikorelasikan dengan hewan sapi), tentunya hewan yang satu ini sangat dimuliakan

keberadaannya. Bagi masyarakat pemeluk ajaran Hindu di Bali tentunya keberadaan

hewan sapi menjadi sesuatu yang agak rancu, membingungkan dan sangat ambivalen.

Dikatakan demikian karena keberadaan hewan ini berada dalam dua sisi yang

berbeda, yakni antara hewan suci (untuk selanjutnya diperuntukkan keperluan

upacara, khususnya upacara yang bersifat naimitika karma dan disucikan

keberadaanya) atau menjadi hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Tentunya

pertanyaan semacam ini menjadi sesuatu yang harus didiskursuskan (Ferry

Kurniawan, 2020).

Melihat fenomena ambivalen di atas, membuat kita semakin gelisah dan

menstimulasi kita untuk sesegera mungkin mencari jawaban serta menarik konklusi,

apakah hewan sapi memang bermakna teologi (difungsikan untuk upacara agama dan

dijaga kesuciannya dengan tidak membunuh sapi sebagai bahan komoditi serta

konsumi) atau hewan sapi boleh dikonsumsi oleh penganut Hindu di Bali yang Saiva

Siddhantais. Pertanyaan tersebutlah yang melatarbelakangi ditulisnya risalah ini agar

dari pertanyaan yang diajukan itu kita mampu menyusun pernyataan obyektif serta

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

170

nonetis. Risalah ini berusaha untuk menghadirkan pernyataan dihadapan sidang

pembaca dengan mempergunakan 3 (tiga) jenis sudut pandang yakni sudut pandang

teologi, filosofi dan sosiologi. Dihadirkannya 3 (tiga) perspektif ini bertujuan untuk

memberikan rekomendasi jawaban kepada pembaca, selain itu 3 (tiga) sudut pandang

ini berguna untuk menghadirkan elaborasi yang bersifat holistik, mengajak pembaca

untuk obyektif dalam melihat sesuatu dan tidak berusaha untuk “menggugat”

keimanan setiap orang yang mengamininya.

METODOLOGI PENULISAN

Penulisan kajian ini menggunakan pendekatan tekstual dengan mengumpulkan

berbagai literatur yang relevan, sehingga penulis mendapatkan berbagai sudut

pandang, sekaligus membantu penulis melakukan elaborasi terhadap fokus masalah

yang sedang ditulis. Dari berbagai sudut pandang yang didapatkan dari pembacaan

literatur tersebut, terdapat berbagai horizon pengetahuan yang mendukung konstruksi

pikir dalam kajian ini.

PEMBAHASAN

Pertama, dalam sudut pandang teologis, keberadaan hewan sapi bagi pemeluk

Hindu (khususnya pemeluk Hindu yang ada di Bali), hewan pemamah biak ini adalah

hewan yang bermakna simbolik sebagai hewan non-profan. Artinya, sapi menjadi

simbol kesucian dan kesungguhan para bhakta didalam menjaga marwah serta

keagungan Dewa Siwa (Ferry Kurniawan, 2020). Jika dikaitkan dengan sastra suci

Weda sebagai sumber ajaran suci umat Hindu, pemuliaan hewan sapi tertuang di

dalam Kitab Weda Manu Samhita, dalam kitab ini disebutkan bahwa:

Dosa terbesar adalah membunuh seorang brahmana, dosa membunuh janin

dan membunuh sapi sama beratnya dengan dosa membunuh brahmana.

Untaian sloka suci ini menjadi legal standing bahwa setiap umat Hindu dalam

memuliakan Dewa Siwa, tidak boleh sama sekali menyakiti atau membunuh sapi,

karena sapi adalah hewan yang secara maknawiah menjadi kesayangan dari Dewa

Siwa. Maka dari pada itu, siapapun yang menyakiti atau bahkan sampai membunuh

hewan ini akan ditimpa dosa yang sangat besar dan sulit untuk diampuni.

Penganut ajaran agama Hindu yang meyakini sebuah konsep bahwa puncak

dari kehidupan dan kebahagiaan yang hakiki adalah mencapai moksha (proses

berhentinya kelahiran ke dunia fana/materi dan berhentinya siklus penderitaan) serta

berusaha untuk mencapai sunyatta (sebuah keadaan yang hampa, kosong, tidak

adanya ikatan keduniawian, lepasnya belenggu maya/kepalsuan, serta meluruhnya

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

171

ikatan indria). Maka untuk mencapai keadaan ini, sedini mungkin manusia Hindu

meminimalisir potensi dosa yang kemungkinan besar mereka perbuat selama hidup di

alam materi. Salah satu jalan yang ditempuh agar terhindar dari beratnya terpaan dosa

adalah dengan tidak menyakiti atau membunuh hewan sapi, karena dengan menjaga

hewan ini dan hanya diperuntukkan untuk keperluan yadnya, Dewa Siwa akan

melapangkan jalan dan memberikan anugerah bagi kehidupan umat manusia.

Moksha dan sunyatta yang menjadi tujuan akhir dari seluruh umat Hindu

tentunya harus dicapai dengan kematangan fisik, psikis dan rohani yang kuat. Dengan

memusatkan pikiran hanya kepada Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi (untuk

selanjutnya dikenal dengan sebutan Mahadewa), maka perjalanan spiritual setiap

insan Hindu akan semakin matang untuk mencapai pelepasan. Pelepasan dari berbagai

ikatan materi sebagai sumber penderitaan harus ditempuh dengan jalan spiritual. Ciri

khas dari mereka yang menempuh jalan spiritual adalah mereka yang mampu

mengendalikan kama (keinginan) untuk tidak mengonsumi berbagai macam olahan

berdarah dan berdaging. Makanan yang berdarah dan berdaging adalah pantangan

bagi setiap insan yang menempuh jalan rohani sebagai jalan hidup dengan harapan

mempercepat mencapai moksha dan sunyatta. Salah satu olahan yang pantang untuk

dikonsumsi adalah sapi, hal ini dikarenakan sapi adalah olahan yang berdarah dan

berdaging. Dalam keyakinan Hindu, makanan berdarah dan berdaging adalah

makanan yang mampu membangkitkan gairah, emosi dan nafsu, sehingga jenis

makanan ini tidak direkomendasikan bagi penekun spiritual. Penekun spiritual yang

memiliki tekad bulat mencapai pelepasan adalah mereka yang berusaha melepas dan

melebur segala macam gairah, emosi dan nafsu. Jika mereka mengonsumi sapi yang

merupakan olahan makanan berdarah dan berdaging, justru proses untuk melepaskan

segala macam ikatan keduniawian akan terhambat, karena mereka akan terperangkap

dalam jerat kemarahan dan kegairahan. Kemarahan dan kegairahan adalah sumber

dari dosa dan kekotoran batin (kilesa). Ketidakmampuan melepaskan ikatan

keduniawian tersebut secara otomatis juga akan menghambat mereka mencapai tujuan

rohani tertinggi (Ferry Kurniawan, 2020).

Hewan sapi sebagai olahan makanan berdarah dan berdaging, yang secara

rohani mampu membangkitkan amarah dan gairah serta tidak direkomendasikan untuk

dikonsumsi karena diyakini mampu menghambat proses pelepasan rohani,

dilegitimasi dalam Kitab Devi Bhagawatam 3 : 8 : 4 – 11, yang menyebutkan bahwa:

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

172

Warna kualitas sattvam adalah putih; itu membuat seseorang selalu menyukai

keagamaan dan memiliki keyakinan terhadap tujuan yang baik dan membuang

kecenderungan seseorang terhadap hal-hal buruk.

Rajas berwarna merah; itu adalah sumber dari segala masalah; tidak ada

keraguan dalam hal ini. Orang cerdas harus mengerti bahwa rajas sudah pasti

muncul di dalam dirinya ketika pikirannya dipenuhi dengan kebencian,

permusuhan, suka bertengkar, pembodohan, kegelisahan, sulit tidur, egoisme,

kesia-siaan dan kesombongan.

Kualitas tamas adalah warna hitam. Dari tamas muncul kemalasan,

ketidaktahuan, tidur, kemiskinan, ketakutan, kesal, ketidaktulusan, kemarahan,

penyimpangan intelektual, atheisme dan mencari-cari kesalahan orang lain.

Tiga sifat inilah yang membelenggu manusia, sehingga mereka berada dalam

keadaan terkondisi dan sakit (lupa akan kedudukannya), kita harus melampaui

3 (tiga) guna ini sampai pada kedudukan suddha-sattva (kebaikan murni) dan

brahma-bhuta.

Jika ditelaah secara tekstual dari untaian sloka suci Kitab Devi Bhagawatam di

atas, maka olahan daging sapi termasuk ke dalam rajasika bhoga. Jenis makanan ini

mampu membuat siapapun yang memakannya menanamkan sifat kebencian,

permusuhan, suka bertengkar, pembodohan, kegelisahan, sulit tidur, egoisme, kesia-

siaan dan kesombongan. Jika sifat-sifat ini tertanam dalam diri manusia, maka mereka

tidak akan mampu mencapai proses akhir dari pengalaman rohani yang hakiki, yakni

moksha dan sunyatta. Maka dari pada itu, orang-orang suci atau penekun spiritual

secara konsisten tidak bersentuhan dengan berbagai macam olahan daging sapi.

Dengan tidak mengonsumsi olahan daging sapi, diharapkan sifat-sifat sattvam

tertanam didalam diri setiap insan. Secara general, inilah alasan teologis kenapa

hewan sapi tidak dianjurkan untuk dikonsumsi.

Kedua, dalam sudut pandang filosofis, ketakutan untuk mengonsumsi olahan

daging sapi dikarenakan ajaran agama Hindu mengenal konsepsi pantheisme.

Pantheisme adalah konsepsi filosofis yang melihat Yang Ilahi bersemayam dalam

segala-galanya. Alam raya dipenuhi dengan Yang Ilahi dan semua kekuatan, baik

alami maupun diantara manusia, merupakan pernyataan diri Yang Ilahi. Jadi,

pantheisme sangat menegaskan imanensi Yang Ilahi (Suseno, 2006 : 195).

Ada dua perbedaan tajam antara pantheisme dan paham Tuhan yang

transenden. Pertama, menurut pantheisme dunia tidak dapat dipikirkan tanpa Yang

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

173

Ilahi, namun Yang Ilahi pun tidak dapat dipikirkan tanpa dunia. Sedangkan, menurut

paham transendensi Yang Ilahi kalimat pertama adalah betul, tetapi yang kedua tidak.

Bahwa Yang Ilahi itu transenden berarti bahwa Yang Ilahi bisa ada dan bisa

dipikirkan tanpa dunia. Yang kedua, implikasi anggapan pantheisme bahwa Yang

Ilahi dan dunia saling meresapi adalah bahwa Yang Ilahi tidak dipahami secara

personal. Yang Ilahi merupakan substansi, tetapi bukan persona atau subyek. Hal itu

diuraikan paling jernih oleh Spinoza (filosof besar Yahudi yang hidup di Amsterdam

1632-1677) yang monismenya diringkas dalam kata deus sive natura (Allah atau

alam, maksudnya dua-duanya sama artinya, terserah paham mana yang mau dipakai.

Dengan demikian, pantheisme menunjukkan kepekaan tinggi terhadap kehadiran

Yang Ilahi dalam dunia. Pengalaman-pengalaman yang disini dirintis sebagai “jalan-

jalan ke Yang Ilahi” dalam pantheisme dihayati secara intensif sebagai imanensi Yang

Ilahi dalam seluruh alam raya (Suseno, 2006 : 195).

Jika dijelaskan secara singkat korelasi antara aliran filsafat pantheisme dengan

keberadaan hewan sapi adalah aliran filsafat pantheisme menganggap semua yang ada

di jagat raya mulai dari manusia, hewan dan tumbuhan adalah perwujudan fisik dari

Tuhan. Sehingga, ketika kita berniat atau bahkan sampai membunuh manusia, hewan

atau tumbuhan sama dengan kita membunuh Tuhan sebagai kekuatan causa prima

(sumber segala penyebab). Begitu juga dengan keberadaan hewan sapi, terlepas di

dalam tubuh sapi melekat berbagai macam dogma dan keyakinan teologis sebagai

hewan yang suci, dimuliakan dan representasi dari wahana Dewa Siwa, membunuh

hewan sapi untuk keperluan konsumsi sama dengan bentuk kekejaman manusia

terhadap wujud abstrak Tuhan di dunia fisik ini. Karena Tuhan sudah membagi diri-

Nya untuk bersemayam di setiap tubuh ciptaan-Nya.

Ketiga, dalam sudut pandang sosiologis, khususnya dalam Sosiologi

Lingkungan ada sebuah teori bernama teori ekologi budaya. Teori ekologi budaya

diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada permulaan dasawarsa 1930-an. Inti dari

teori ini adalah lingkungan dan budaya tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupakan

hasil campuran (mixed product) yang berproses lewat dialektika. Dengan kalimat lain,

proses-proses ekologi memiliki hukum timbal balik. Budaya dan lingkungan bukan

entitas yang masing-masing berdiri sendiri atau bukan barang jadi yang bersifat statis

(Steward dalam Susilo, 2012 : 47). Keduanya memiliki peran besar dan saling

mempengaruhi. Tidak dapat dinafikan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh

atas budaya dan perilaku manusia (sebagaimana teori dominasi lingkungan), tetapi

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

174

pada waktu yang sama manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan

(sebagaimana dijelaskan dalam teori kemungkinan) (Steward dalam Susilo, 2012 :

47).

Dalam konteks ini, sapi yang dianggap sebagai hewan suci dan sakral oleh

teori Sosiologi Lingkungan dianggap sebagai hewan yang fungsional. Sehingga, untuk

menjaga populasi dan keberfungsionalannya itulah dibuatkan idiom agar jumlah sapi

tetap terjaga. Untuk memperjelas dan merinci teori di atas, gagasan yang cukup

menarik dinyatakan oleh Marvin Harris (1996) ketika ia mengembangkan kajian

tentang teori ekologi agama. Menurutnya, doktrin-doktrin dan keyakinan agama

dipengaruhi oleh lingkungan. Pandangan ini didasarkan atas observasi (pengamatan)

Harris terhadap agama Hindu di India yang menganggap suci binatang sapi (Harris

dalam Susilo, 2012 : 47).

Sesungguhnya, hukum agama tentang sapi tidak lepas dari banyaknya fungsi

mamalia ini dalam kehidupan masyarakat India, manfaat dari sapi sebagai penghasil

pupuk sampai fungsi sebagai pengangkut/alat transportasi untuk membawa kayu

bakar yang diperlukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk melestarikan sapi

dibuatlah aturan-aturan yang irrasional agar ditaati oleh penduduk (Harris dalam

Susilo, 2012 : 47). Sama halnya dengan masyarakat India, keberadaan sapi juga

bersifat sangat fungsional bagi kehidupan masyarakat Bali. Bagi sistem pertanian

tradisional yang ada di Bali, sapi masih difungsikan sebagai hewan yang membantu

petani untuk membajak sawah. Sapi juga merupakan hewan yang berfungsi untuk

menjaga tatanan ekosistem alami. Manfaat sapi yang sangat banyak inilah dibuatkan

idiom atau dogma-dogma tertentu untuk mempertahankan jumlahnya di alam bebas.

KESIMPULAN

Terlepas dari apapun itu, hadirnya tulisan ini berusaha untuk membuka

cakrawala kita dalam melihat sesuatu, bahwa sesuatu yang sensitif sekalipun terselip

banyak sudut pandang yang mampu memberikan kita suatu pemahaman yang utuh.

Hadirnya risalah ini tidak berusaha untuk memberikan penilaian atau menggugat

keyakinan seseorang, namun hadirnya tulisan ini di hadapan sidang pembaca hanya

sekedar membantu untuk melihat suatu fenomena dan wacana dalam sudut pandang

yang berbeda. Apa penilaian Anda tentang hewan sapi? Silakan Anda yang

menentukan sendiri!

Jurnal Pasupati Vol. 7 No. 2. Juli-Des 2020

175

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Sou’yb, Joesoef. 1983. Agama-Agama Besar di Dunia. Jakarta Pusat : Pustaka

Alhusna.

Subagiasta, I Ketut. 2006. Saiva Siddhanta di India dan di Bali. Surabaya : Paramita.

Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta : PT Kanisius.

Susilo, Rachmad K. Dwi. 2012. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers.

Sumber Kitab Suci:

Kitab Veda Manu Samhita

Kitab Devi Bhagavatam

Sumber Lembaga:

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2018. Penduduk Provinsi Bali Menurut Agama

yang Dianut Hasil Sensus Penduduk 2010 (Population of Bali Province by

Religion Based on 2010 Population Census). Denpasar : Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali