Laporan Genetika Ikan

25
1 LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM GENETIKA OLEH : ARDANA KURNIAJI I1A2 10 097 Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Mata Kuliah Genetika PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2012

Transcript of Laporan Genetika Ikan

1

LAPORAN LENGKAP

PRAKTIKUM GENETIKA

OLEH :

ARDANA KURNIAJI

I1A2 10 097

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan

Pada Mata Kuliah Genetika

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

2

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rekayasa genetik merupakan salah satu aplikasi dalam peningkatan produksi

perikananan terutama dalam usaha budidaya. Dalam perkembangannya rekayasa

genetikdapat dilaukan dengan poliploidisasi. Poliploidisasi merupakan suatu

peristiwa penggandaan kromosom. Jenis jenis ikan yang pasangan kromosomnya

lebih dari dua biasa disebut dengan jenis polipoid (Nurafni, 2011.)

Adapun secara teknik, poliploidisasi adalah usaha, proses atau kejadian yang

menyebabkan individu berkromosom lebih dari satu set (Rieger et al., 1976). Salah

satu jenis poliploidisasi adalah triploidisasi yang bertujuan untuk mendapatkan

individu 3n yang steril. Triploidisasi dalam usaha budidaya dilakukan karena dua

alasan yaitu pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan diploid dan

kerena ikan triploid ini umumnya steril. Kesterilan ini dapat mencegah gametogenesis

dan menghemat pemakaian energi dan materi. Ikan triploid bersifat steril karena

kromosom homolognya tidak dapat bersinapsis untuk gametogenesis (Atlon, 2011).

Mekanisme poliploidi pada makhluk hidup dibedakan berdasarkan

penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu poliploidisasi secara alamiah dan

poliploidisasi secara buatan. Poliploidisasi secara ilmiah tidak melibatkan peran,

kesengajaan atau campur tangan manusia, penyebab poliploidisasi ini adalah faktor-

faktor lingkungan sekitar makhluk hidup yang meliputi faktor suhu, tekanan,

3

ketinggian tempat dan sebagainya. Poliploidi secara alamiah dialam sering ditemukan

pada tumbuhan dan jarang sekali ditemukan pada kelompok hewan. Poliploidi buatan

pada hewan pertama kali dilakukan pada kelompok ikan Polcillidae, dengan

menggunakan teknik yang masih sederhana yaitu kejutan suhu.

Pentingnya fungsi poliploidisasi dibidang perikanan, maka dilakukanlah

praktikum ini untuk mengetahui lebih jauh mengenai teknik poliploidisasi terutama

untuk triploidisasi pada ikan lele dengan menggunakan kejutan suhu.

1.2. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempelajari teknik trioploidisasi

dengan menggunakan pengaruh kejutan suhu panas terhadap poliploidisasi pada ikan

lele.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Lele tidak pernah ditemukan di air payau atau air asin. Habitatnya di

sungai dengan arus air yang perlahan, rawa, telaga, waduk, sawah yang tergenang air.

Ikan Lele bersifat noktural, yaitu aktif bergerak mencari makanan pada malam hari.

Pada siang hari, ikan Lele berdiam diri dan berlindung di tempat-tempat gelap.

(Sutrisno, 2007).

Menurut Sutrisno (2007) Ikan lele (Clarias sp.) diklasifikasikan sebagai

berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Class : Osteichthyes

Ordo : Ostariophysi

Famili : Claridae

Genus : Clarias

Spesies : Clarias sp.

Gambar 1. Ikan Lele (Clarias sp.)

5

Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk

perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan

yang mempunyai keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap

lingkungan dan resisten terhadap penyakit. Induksi poliploid dalam budidaya ikan

sangat menarik perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang

perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik

seperti melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure

(hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar

body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Mukti, dkk., 2001).

Triploidisasi dalam usaha budidaya dilakukan karena dua alasan yaitu

pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ikan diploid dan kerena ikan

triploid ini umumnya steril. Kesterilan ini dapat mencegah gametogenesis dan

menghemat pemakaian energi dan materi (Huisman, 1976). Ikan triploid bersifat

steril karena kromosom homolognya tidak dapat bersinapsis untuk gametogenesis

(Maswira, 2009).

Salah satu teknik buatan poliploidisasi adalah kejutan suhu. Selain murah dan

mudah, juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak. Kejutan panas mudah dan

sering digunakan untuk aplikasi poliploidisasi pada beberapa spesies ikan. Mukti

(2005) menyatakan bahwa suhu panas lebih efektif untuk mencegah terlepasnya polar

body II. Dimana pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas

merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi untuk induksi triploidi atau

sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu subhlethal.

6

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan, dan lama kejutan (Mukti,

2005).

Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses atau

kejadian terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set. Triploidisasi

telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan.

Teknik triploidisasi dapat mengunakan dua pelakuan, yaitu perlakuan fisika dan

kimia. Menurut Risnandar (2001) penggunaan perlakuan fisika dan kimia sesaat

setelah dimulainya pembuahan merupakan cara yang relatif mudah dalam

triploidisasi. Namun, yang biasa dilakukan adalah perlakuan fisika. Perlakuan kimia

menggunakan sitokalasin B atau bahan kimia lain jarang dilakukan (Jatilaksono,

2007).

Triploidisasi digunakan untuk menghasilkan individu yang memiliki tingkat

pertumbuhan yang tinggi karena pada triploidisasi organ reproduksi ikan tersebut

terhambat sehingga energi metabolisme yang digunakan untuk perkembangan gonad

diimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan sel-sel somatik (Amarullah et. al,

2008). Menurut Uma (2009), triploidisasi merupakan salah satu teknik untuk

menghambat berkembangnya organ reproduksi, sehingga pertumbuhan ikan tidak

terhambat karena energi metabolisme yang digunakan untuk perkembangan gonad

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan sel-sel somatik. Di negara

maju teknik triploidisasi telah diterapkan pada beberapa jenis ikan terutama golongan

salmonid dan flatfish (Edriani, dkk., 2009).

7

III. METODE PRAKTEK

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilakukan dengan beberapa pengamatan, dimulai dari produksi

telur dan sperma yang terdiri dari pemilihan dan persiapan induk pada hari Jum’at

Tanggal 11 Mei 2012, Pukul 16.00 WITA – 18.00 WITA, kemudian striping dan

fertilisasi pada hari Sabtu, 12 Mei 2012 Pukul 08.00 WITA dan dilanjutkan dengan

poliploidisasi hingga pukul 10.00 WITA. Selanjutnya dilakukan pengamatan lanjutan

setiap 6 jam selama masa embrio dan 12 jam pada masa larva. Praktikum

dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Haluoleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1

berikut.

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam praktikum.

No. Nama Alat No. Nama Bahan

1. Akuarium 1. Induk ikan lele jantan

2. Heather/pemanas air 2. Induk ikan lele jantan

3. Stopwatch 3. Larutan fisiologi

4. Thermometer 4. Hormon pemijahan (Ovaprime)

5. Waring 5. Kuning telur ayam

6. Bulu ayam yang panjang (bersih) 6. Air panas

7. Mangkuk atau baskom 7. Es batu

8. Alat bedah

9. Aerator

10. Gunting Bedah

11. Mikroskop

12. Seser

8

3.2. Metode Praktikum

3.2.1. Produksi Telur dan Sperma

Prosedur kerja pada praktikum ini adalah sebagai berikut :

1. Menyiapkan induk ikan lele jantan yang siap memijah. Menyuntikan ovaprime

pada induk lele jantan.

2. menstripping (pengurutan) induk betina lele untuk mengeluarkan sel telur.

3. Sel sperma didapat dari induk jantan dengan cara membedah ikan untuk diambil

spermanya.

4. Sel telur dan sperma, keduanya direndam terlebih dahulu dengan menggunakan

larutan fisiologi.

5. Sperma dan telur dicampur dalam mangkuk dan dikocok dengan pelan

menggunakan bulu ayam.

3.2.2. Poliploidisasi

1. Menyiapkan 400 – 500 butir telur fertil, meletakkan pada lempeng kaca/waring

yang diletakkan dalam aquarium I berlabel 20 0C, Akuarium II berlabel 28

0C,

dan akuarium III berlabel 40 0C.

2. Menyiapkan 3 buah toples yang mempunyai suhu berbeda :

Toples I bersuhu 20 0C

Toples II bersuhu 28 0C

Toples III bersuhu 40 0C

9

3. Kemudian melakukan peredaman setelah 2,5 menit dari awal pembuahan, telur

dari akuarium I diletakkan pada Toples I dan dari akuarium II diletakkan pada

toples II dan dibiarkan selama 3 menit.

4. Setelah kejutan suhu, telur-telur dipindahkan kembali ke dalam akuarium sesuai

dengan label dan diaerasi sampai telur menetas (amati di bawah mikroskop)

5. Telur yang menetas hasil perlakuan dipelihara hingga menjadi larva.

10

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Produksi Telur dan Sperma

Dalam praktikum produksi telur dan sperma, yang perlu dilakukan adalah

seleksi induk, penyuntikan ovaprim untuk merangsang kematangan gonad dan

kemudian memijahkan dengan cara streaping. Seleksi induk dilakukan untuk memilih

memilih dan menentukan induk ikan yang telah siap untuk memijah. Hal ini

didasarkan pada ciri-ciri morfologi dan tingkah lakunya.

Menurut Dardiani dan Intan (2010) bahwa ciri-ciri induk betina lele yang siap

untuk dipijhakan adalah begian perut tampak membesar kea rah anus dan jika diraba

terasa lembek, lubang kelamin (urogenital) berwarna kemerahan dan tampak agak

membesar. Jika bagian perut secara perlahan diurut kearah anus, akan keluar

beberapa butir telur berwarna hijau tua dan ukurannya relative besar dan seragam

atau homogen, dan untuk pergerakannya biasanya induk ikan lele betina terlihat

lamban.

Gambar 2. (a) Induk jantan (tubuh Kecil), (b) Induk Betina (tubuh besar)

11

Adapun cirri-ciri induk jantan lele yang telah siap untuk dipijahkan yakni alat

kelamin (genital papilla) tampak jelas memerah terutama pada ujungnya, kemudian

warna tubuh dan sungutnya kemerah-merahan disertai tubuh ramping dan

pergerakannya lincah.

Setelah berhasil memperoleh induk yang telah matang gonad, induk-induk

tersebut kemudian disuntik dengan ovaprim khusunya untuk induk jantan.

Penyuntikan ikan diberikan dengan dosis 1,0 ml/g, yang terdiri dari 0,3 ml/g ovaprim

ditambah dengan 0,7 ml/g NaCl sebagai pengencer. Dari kombinasi tersebut, hanya

0,5 ml/g yang disuntikan pada induk ikan jantan. Induk ikan yang akan disuntik,

adalah induk hasil seleksi yang telah matang gonad dan siap untuk memijah. Tujuan

dari penyuntikan ovaprim ini adalah untuk merangsang pemijahan, agar nantinya

pada saat pemijahan secara buatan dilakukan, sperma ikan jantan telah siap untuk

membuahi sel telur.

Penyuntikan ikan dilakukan tepat di belakang otak kecil, atau diamana terletak

hipofisa ikan. hal ini dikarenakan hipofisa merupakan kelenjar yang terletak di bagian

bawah otak kecil ikan dan berfungsi untuk merangsang kematangan gonad. Menurut

Albert (2012) bahwa gonad sebagai organ reproduksi iakn terdiri dari tiga komponen

yang terlibat dalam proses reproduksi. Sinyal lingkungan dan sistem hormone. Dalam

proses pematangan gonad, sinyal lingkungan yang diterima oleh sistem syaraf pusat

ikan itu akan diteruskan ke hipotalamus. Akibatnya hipotalamus melepaskan

hormone GnRH (Gonadotropin realizing hormone) yang selanjutnya bekerja pada

kelenjar hipofisa. Hipotalamus dan hipofisa diotak belakang ikan. hal ini

12

menyebabkan hipofisa melepaskan hormone Gonadotropin-I yang bekerja pada

gonad ikan. oleh sebab itu penyuntikan dilakukan di bagian dimana terletak kelenjar

hipofisa, agar ovaprim yang disuntikan dapat merangsang kelenjar hipofisa untuk

mematangkan gonad.

Ditambahkan pula oleh Albert (2010) bahwa ovaprim yang disuntikan tadi

juga berfungsi untuk menekan musim pemijahan mengatur kematangan gonad selama

musim pemijahan normal, merangsang produksi sperma pada jantan untuk periode

waktu yang lama dan volume yang lebih banyak, Merangsang pematangan gonad

sebelum musim pemijahan, Memaksimalkan potensi reproduksi.

Gambar 3. Pengambilan Gonad Ikan Jantan

Pengambilan sel sperma dari induk jantan dilakukan dengan menggunting

tubuh ikan bagian perut. Kemudian gonad diambil untuk diletakkan dalam larutan

NaOH untuk persiapan pembuahan.

Pembuahan telur dengan cara pengurutan (stripping) dengan tujuan untuk

mendapatkan telur induk betina. Stripping dilakukan setelah induk betina telah siap

untuk memijah atau telah matang gonad. Pengurutan dilakukan kearah anus dengan

13

menggunakan jari tangan. Telur tersebut kemudian ditempatkan ditempat yang kering

atau tempat yang tidak mudah bereaksi untuk menghindari rusaknya sel telur.

Gambar 4. Stripping Induk Ikan Betina

Sperma yang telah direndam di dalam NaOH dansel telur yang telah di

stripping kemudian digunakan dalam fertilisasi buatan. Setelah pembuahan, maka

diperoleh hasil pengematan yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pada Produksi Telur dan Sperma

Waktu

Pengamatan

Hasil Pengamatan

Keterangan Sebelum Pembuahan Setelah Pembuahan

Sel Sperma

1. Inti Sel

2. Membran

3. Sperma

Sel Telur

1

2

1

2

3

1

2

14

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, sel sperma pada saat sebelum

pembuahan masih tetap dalam kondisi normal begitu pula dengan sel telur. Namun

pada saat fertilisasi,dimana sperma membuahi sel telur terlihat masih dikelilingi oleh

beberapa sel sperma, yang ini berarti sperma akan masuk kedalam telur untuk

membuahi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie, (1997) dalam Santoso (2012)

bahwa spermatozoa masuk ke dalam telur melalui lubang microphyle yang terdapat

pada chorion. Tiap spermatozoa mempunyai kesempatan yang sama untuk membuahi

satu telur. Telur dan sperma yang baru dikeluarkan dari tubuh induk, mengeluarkan

zat kimia yang berguna dalam proses pembuahan.

Kebanyakan telur ikan-ikan pelagis laut dibuahi secara eksternal dan

melayang di dekat permukaan laut. Telur ini berkisar 0,5-5,5 mm dalam diameter.

Periode embrionik dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu periode awal yang

merupakan fertilisasi untuk penutupan bastopore. Periode tengah yaitu waktu

penutupan blastopori dan ekor lateral mulai menjauh dari sumbu embrionik dan

periode akhir dimana waktu ekor melengkung dari sumbu embrionik. Pada setiap

spesies terdapat sedikit variasi telur karakter telur seperti ukuran, jumlah dan ukuran

gelembung-gelembung minyak, permukaan korion, kuning telur, pigmentasi, dan

morfologi dari perkembangan embrio yang meliputi anatomi dan morphometric tahap

awal telur ikan. (Santoso, 2012).

Setelah melakukan fertilisasi secara buatan, maka telur kemudian diletakkan

disubstrat yang sesuai dan suplai oksigen agar dapat berkembang menjadi embrio.

Untuk kemudian diamati poliploidisasinya berdasarkan perlakuan suhu. Menurut

15

Tucker, C.S and Hargreaves, J.A. (2004) untuk penanganannya telur ikan lele

biasanya telurnya dilekatkan pada substrat. Telur yang telah menempel pada kakaban

dapat ditetaskan dalam wadah budidaya disesuaikan dengan sistem budidaya yang

akan diaplikasikan. Selama penetasan telur, air dialirkan terus menerus. Seluruh telur

yang akan ditetaskan harus terendam air, kakaban yang penuh dengan telur diletakan

terbalik sehingga telur menghadap ke dasar bak. Dengan demikian telur akan

terendam air seluruhnya. Telur yang telah dibuahi berwarna kuning cerah kecoklatan,

sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih pucat. Di dalam proses penetasan

telur diperlukan suplai oksigen yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan akan

oksigen terlarut dalam air, setiap bak penetasan di pasang aerasi. Telur akan menetas

tergantung dari suhu air wadah penetasan dan suhu udara. Jika suhu semakin panas,

telur akan menetas semakin cepat. Begitu juga sebaliknya, jika suhu rendah,

menetasnya semakin lama.

4.2. Poliploidisasi

Hasil pengamatan praktikum genetika pada percobaan Poliploidisasi dapat

dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pada Praktek Poliploidisasi

Waktu

Pengamatan

Hasil Pengamatan Telur

Keterangan Suhu 20

oC Suhu 28

oC Suhu 40

oC

Sabtu,

12/5/2012

14.30 WITA

1. Kuning telur

2. Bintik Hitam

(Fase Persiapan

pembelahan)

16

Sabtu,

12/5/2012

20.30 WITA

1. Morula

2. Blastomer

(Fase Cleavage)

Minggu,

13/5/2012

02.30 WITA

1. Lap. Luar

2. Blastocoel

(Fase Blastula)

Minggu,

13/5/2012

08.30 WITA

1. Embrio

2. Kuning telur

(Fase

Penetasan)

Minggu,

13/5/2012

14.30 WITA

1. Embrio

2. K. telur

3. Kista

(Fase Prelarva)

Minggu,

13/5/2012

20.30 WITA

1. Sumbu

Embrionik

2. Ekor Lateral

3. Bintik mata

(Fase

Blastopori )

17

Senin,

14/5/2012

02.30 WITA

1. Sungut

2. Bintik Mata

3. Bercak hitam

4. Mulut

5. Jantung

(Fase akhir

blastopori)

Senin,

14/5/2012

08.30 WITA

1. Bintik Mata

2. Sungur

3. Ekor

4. Kepala

(Fase

perkembangani)

Senin,

14/5/2012

14.30 WITA

1. Mata

2. Sungut

3. Kepala

(Fase postlarva)

Selasa,

15/5/2012

14.30 WITA

1. Mata

2. Sungut

3. Kepala

(Fase postlarva)

Rabu,

16/5/2012

14.30 WITA

1. Mata

2. Sungut

3. Kepala

(Fase postlarva)

18

Kamis,

17/5/2012

14.30 WITA

1. Mata

2. Sungut

3. Kepala

(Fase postlarva)

Teknik Poliploidisasi merupakan metode perbanyakan pasangan kromosom

yang bertujuan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna

menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan. Teknik ini dilakukan

agar diperoleh sifat spesies yang baru dan berbeda dengan induknya. Pada praktikum

kali ini, teknik poliploidisasi dilakukan dengan kejutan suhu. Dimana perlakuan yang

diberikan terdiri dari tiga tingkatan suhu, yakni 20oC, 28

oC dan 40

oC.

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa Embriogenesis ialah proses

perkembangan telur sampai menjadi larvadefinitif. Lamanya waktu embriogenesis

pada setiap spesies ikan berbeda-bedakarena pengaruh faktor internal dan eksternal.

Salah satu dari faktor internal ialah genetik ikan tersebut. Sedangkan faktor eksternal

meliputi kualitas air, penyakit,dan ketersediaan pakan alami. Embriogenesis akan

berlangsung pada saatinkubasi dimulai dari proses pembelahan sel telur (cleavage),

morulasi, blastulasi, gastrulasi, dan dilanjutkan dengan organogenesis yang

selanjutnya menetas (Rahmatika, 2009).

Pada pengamatan hari pertama setelah 6 jam pelepasan telur, terlihat sel

sperma telah membuahi telur, dengan kondisi telur masih dalam masa dormansi atau

19

masih dalam masa persiapan pembelahan. Embrio terdiri dari dua bagian yakni

kuning telur yang terletak dibagian dalam dan bintik hitam pada bagian luar. Hal ini

terjadi pada seluruh perlakuan suhu. Menurut Tomi (2011) bahwa Perkembangan

embrio dimulai dari pembelahan zygote (cleavage), stadia morula (morulasi), stadia

blastula (blastulasi), stadia gastrula (gastrulasi) dan stadia organogenesis. Sebelum

melakukan pembelahan telur memasuki masa dormansi.

Pada pengamatan setelah 12 jam, embrio memasuki masa pembelahan atau

stadia Cleavage dimana pembelahan ditandai dengan terdapatnya bagian-bagian kecil

yang saling memisah disebut morula dan blastomer. Hal ini tampak jelas pada

perlakuan suhu 20oC dan perlakuan suhu 28

oC, namun tidak demikian dengan

perlakuan suhu 40oC. Menurut Zikri (2011) bahwa Stadia Cleavage adalah

pembelahan zygote secara cepat menjadi unit-unit yang lebih kecil yang di sebut

blastomer. Stadium cleavage merupakan rangkaian mitosis yang berlangsung

berturut-turut segera setelah terjadi pembuahan yang menghasilkan morula dan

blastomer.

Selanjutnya pada pengamatan 18 jam terjadi perbedaan setiap perlakuan suhu,

dimana pada perlakuan suhu 20oC, bagian zigot telah memadat dengan membentuk

rongga penuh cairan yang menandakan zigot memasuki stadia blastula, namun

kondisi lapisan luar telah menipis dan akan memasuki stadia selanjutnya. Sedangkan

pada perlakuan suhu 28oC, bagian zigot telah membentuk rongga penuh cairan yang

bila diamati berwarna hijau dan dua lapisan tebal diluar rongga. Kondisi demikian,

20

berbeda dengan perlakuan suhu 40oC yang masih dalam stadia morula, ditandai

dengan dua bagian zigot yang belum membentuk rongga. Menurut Tomi (2011)

bahwa morula merupakan pembelahan sel yang terjadi setelah sel berjumlah 32 sel

dan berakhir bila sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer yang berukuran sama

akan tetapi ukurannya lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk menjadi blastodik

kecil yang membentuk dua lapisan sel. Pada saat ini ukuran sel mulai beragam.

Sedangkan blastulasi adalah proses yang menghasilkan blastula yaitu campuran sel-

sel blastoderm yang membentuk rongga penuh cairan sebagai blastocoel. Pada akhir

blastulasi, sel-sel blastoderm akan terdiri dari neural, epidermal, notochordal, meso-

dermal, dan endodermal yang merupakan bakal pembentuk organ-organ. Dicirikan

dua lapisan yang sangat nyata dari sel-sel datar membentuk blastocoels dan blastodisk

berada di lubang vegetal berpindah menutupi sebagian besar kuning telur.

Pada pengamatan setelah 24 jam merupakan fase penetasan telur, dimana tiga

perlakuan menunjukkan hal yang berbeda. Pada perlakuan 20oC, bagian telur telah

pecah dan tubuh larva telah nampak. Begitu pula dengan perlakuan suhu 28oC,

dimana telur telah menetas namun beberapa bagian tubuh belum terlihat sempurna

dikarenakan bagian telur belum terpecah dua. Hal ini sesuai dengan pernyataan

bahwa penetasan telur merupakan hasil pelunakan korion karena substansi enzim dan

unsure kimia lainnya yang dikeluarkan oleh kelenjar endodermal didaerah faring.

Proses ini terjadi bila embrio telah lebih panjang dari lingkaran kuning telur. Menurut

Brown (1968) Bahwa penetasan terjadi akibat pergerakan-pergerakan embrio yang

menyebabkan sel telur pecah. Kondisi ini berbeda dengan pengamatan suhu 40oC

21

dimana telur belum menetas karena masih dalam stadia Organogenesis yang

merupakan stadia terakhir dari proses perkembangan embrio. Menurut Tomi (2011)

bahwa stadia ini merupakan proses pembentukan organ-organ tubuh makhluk hidup

yang sedang berkembang.

Selanjutnya pada pengamatan 30 jam, terlihat seluruh perlakuan mengalami

penetasan dan terlepas dari kista telurnya. Pada perlakuan 20oC, larva telah

melepaskan kistanya dengan kondisi melengkung pada kantung kuning telur. Sama

halnya dengan perlakuan suhu 28oC dan suhu 40

oC, dimana bagian kantung kuning

telur masih melekat dan warna tubuh transparan. Tahap ini disebut juga tahap

prelarva, dikarenakan larva masih memiliki kantung kuning telur. Menurut Sukarti,

dkk. (2006) bahwa pada tahap prelarva kuning telur masih ada, tubuhnya transparan

Sirip ekor sudah ada tetapi belum sempurna bentuknya dan kebanyakan prelarva yang

baru keluar dari cangkang telur belum terlihat bintik matanya. Mulut dan rahang

belum berkembang danu susnya masih merupakan tabung yang lurus.

Pada pengamatan setelah 36 jam, seluruh perlakuan memasuki periode tengah

yaitu waktu penutupan blastopori dan ekor lateral mulai menjauh dari sumbu

embrionik dan periode akhir dimana waktu ekor melengkung dari sumbu embrionik.

Dimana hal in terjadi pada semua perlakuan. Selanjutnya pengamatan setelah 54 jam,

bagian tubuh mulai menebal ditandai dengan perubahan warna dan bentuk larva

menjadi lebih besar. Dan pada tahap ini pula, bagian sungut ikan telah nampak.

Menurut Sukarti, dkk. (2006) bahwa Pada hari kedua setelah penetasan sungut sudah

kelihatan,kepala berbercak hitam, ada bintik mata, mulut terlihat terbuka,

22

detak jantung lebih nyata. Makanannya didapatkan dari sisa kuning telur yang belum

habis diserap. Sebagian larva ikan ada yang mulai berenang ke permukaan air lalu

turun kembali, seperti sedang mengambil udara di permukaan air.

Pada pengamatan setelah 78 jam, kantung kuning telur tidak lagi melekat pada

tubuh larva. Selain itu, organ morfologi seperti bintik mata, ekor dan kepala telah

nampak jelas khususnya pada perlakuan 20oC yang tahap pertumbuhannya lebih

cepat dibandingkan dengan perlakuan lain. Sama halnya dengan perlakuan suhu

20oC, pada perlakuan suhu 28

oC dan suhu 40

oC telah dilengkapi dengan bagian-

bagian morfologi seperti kepala dan ekor. Memasuki tahap setelah 102 jam bagian-

bagian tubuh telah mulai terbentuk sempurna. Seluruh perlakuan nampak sama,

bagian sungut ikan, mata yang sebelumnya masih bintik mata kemudian bagian ekor

yang telah nampak. Tahap ini menurut Sukarti, dkk. (2006) adalah tahap postlarva,

dimana kantung kuning telur sudah tidak digunakan lagi sampai terbentuknya organ-

organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organ-organ yang telah ada. Dan

memasuki pengamatan setelah 126 jam seluruh perlakuan nampak sama dan telah

memasuki masa postlarva yang bergerak bebas dan telah memiliki beberapa organ

tubuh.

23

V. PENUTUP

4.3. Kesimpulan

Dari hasil pengamatan dan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

- Produksi telur dan sperma yang dilakukan menghasilkan sperma yang

membuahi sel telur dengan kondisi sel telur dikelilingi oleh beberapa sel

sperma, yang ini berarti sperma akan masuk kedalam telur untuk membuahi.

- Poliploidisasi yang dilakukan dengan kejutan suhu menghasilkan

pertumbuhan embrio yang terdiri dari fase Fase Persiapan pembelahan, Fase

Cleavage, Fase Blastula, Fase Penetasan, Fase Prelarva, Fase Blastopori, Fase

akhir blastopori, Fase perkembangan, Fase postlarva.

- Pertumbuhan yang optimum pada embrio terjadi pada perlakuan suhu 20oC

dengan laju stadia dan morfologi larva lebih cepat dari perlakuan suhu lain.

4.4. Saran

Saran yang dapat diajukan pada praktikum selanjutnya agar penggunaan alat

dan bahan dilakukan dapat diperbanyak agar dapat memudahkan praktikan. Seperti

Mikroskop, Lup, Termometer dan Induk ikan yang akan digunakan dalam praktikum.

24

DAFTAR PUSTAKA

Albert. 2010. Teknik Pemijahan Lele menggunakan Rangsangan Ovaprim.

(http://www.scribd.com). Diakses pada tanggal 30 Mei 2012.

Atlon. 2011. Teknik Poliploidisasi pada Ikan Mas. http://atalonn.blogspot.com.

Diakses pada tanggal 28 Mei 2012

Dardiani dan Intan Rahma Sary. 2010. Manajemen Pemeliharaan Induk. Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pertanian. Jakarta.

Edriani, Gebbie., Dina Silmina, Wahyu Afrilasari. 2009. Pengaruh Lama Kejutan

Suhu Terhdapa Keberhasilan Teknik Triploidisasi Ikan Komet Carrasius

auratus auratus. Institute Pertanian Bogor. 8 hal.

Jatilaksono, Marsandre. 2007. Triploidisasi Pada Ikan Lele Clarias sp.).

http://jlcome.blogspot.com. Diakses pada tanggal 29 Mei 2012.

Maswira. 2009. Triploidisasi Pada Ikan Mas. http://maswira.wordpress.com. Diakses

pada tanggal 29 Mei 2012.

Mukti, Akhmad Taufiq., Rustidja, Sutiman Bambang Sumitro, dan Moh. Sasmito

Djati. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Biosain Malang. 1

(1) : 2-3.

Mukti, Akhmad Taufik. 2005. Perbedaan Keberhasilan Tingkat Poliploidisasi Ikan

Mas (Cyprinus carpio linn.) Melalui Kejutan Panas. Berk. Penel Hayati. 10

(133-138) : 1-2.

Nurafni. 2011. Kelompok Faktor Bahan Tanaman. http://nurafni.com. Diakses pada

tanggal 28 Mei 2012.

Santoso. 2012. Embriogenesis. http://ras-eko.blogspot.com. Diakses pada tanggal 30

Mei 2009.

Sukatri, Komsanah, Iqbal Djawad, dan Yushinta Fujaya. Pengaruh Lama Kejutan

Panas Terhadap Keberhasilan Triploidisasi Ikan Lele. J. Sains dan

Teknologi. Universitas Hasanudin. 6 (3) : 135-142.

25

Sutrisno. 2007. Budidaya Lele kampung dan Lele Dumbo. Ganeca. Jakarta

Tomy. 2011. Pembenihan Ikan. http://tomyperikanan.wordpress.com. Diakses pada

tanggal 31 Mei 2012.

Zikri. 2011. Pembenihan Ikan. http://auliazikri.wordpress.com. Diakses pada tanggal

31 Mei 2012.