Kebijakan Kontraterorisme China di Xinjiang

26
0 Makalah Kelompok (Revisi) Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang: Keberhasilan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Mata Kuliah Kebijakan Keamanan Nasional terhadap Terorisme Oleh: Anggalia Putri Permatasari 1006743424 Grawas Sugiharto 1006743544 Mariamah 1006743903 \ PROGRAM MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2012

Transcript of Kebijakan Kontraterorisme China di Xinjiang

0

Makalah Kelompok (Revisi)

Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme

di Xinjiang: Keberhasilan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Mata Kuliah

Kebijakan Keamanan Nasional terhadap Terorisme

Oleh:

Anggalia Putri Permatasari 1006743424

Grawas Sugiharto 1006743544

Mariamah 1006743903

\

PROGRAM MAGISTER

KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2012

1

Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang:

Keberhasilan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dalam isu terorisme dan perang global melawannya yang tampak mendominasi

wacana strategis global dalam dekade terakhir, nama China seakan jarang terdengar, terutama

jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan atau front utama perang tersebut, yaitu

negara-negara di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara. Meskipun demikian,

bukan berarti China tidak tersentuh oleh gerakan terorisme kontemporer ini, yang sering

disebut sebagai terorisme gelombang keempat (fourth wave terrorism).1 Isu terorisme di

China saat ini terutama dikaitkan dengan gerakan separatisme Turkistan Timur (nama lain

dari Xinjiang) dan radikalisme Islam. Perhatian internasional mulai mengarah ke China

ketika pemerintah China mulai memberi peringatan mengenai kemungkinan berlangsungnya

aksi teror di negeri bambu ini selama Olimpiade Beijing berlangsung.2

Dalam sejarahnya, isu terorisme di China terletak dalam konteks pergolakan politik

yang lebih luas, yakni insurgensi kaum Uyghur di Xinjiang yang telah bermula pada tahun

80-an dan memanas pada tahun 90-an.3 Selama ini, China sebagaimana negara-negara

berkembang di kawasan lain (misalnya Indonesia) selalu berusaha untuk menjaga agar isu

terorisme/insurgensi dan upaya penanggulangannya tidak menjadi isu internasional karena

menyangkut integritas teritorial dan kedaulatan negara.4 Akan tetapi, peristiwa 9/11 telah

menambah dimensi baru pada isu terorisme di China, yakni faktor Al-Qaeda dan

keterkaitannya dengan gerakan politik di Xinjiang yang dalam insurgensinya menggunakan

metode-metode teror.

Sejak tragedi 9/11, China telah menyatakan empat organisasi sebagai gerakan

terlarang, yaitu: the Eastern Turkistan Islamic Movement, the Eastern Turkistan Liberation

Organization, the World Uygur Youth Congress, dan the East Turkistan Information Centre,

yang diindikasikan terkait dengan Al-Qaeda. Pemerintah AS bahkan telah memasukkan the

Eastern Turkistan Islamic Movement ke dalam daftar organisasi teroris PBB atas permintaan

1 Menurut Bruce Hoffman; yakni terorisme berbasis agama yang ditujukan untuk menimbulkan sebanyak-banyaknyakorban (casualties) dan dicirikan dengan penggunaan taktik bunuh diri (suicide mission). Lihat Concepts of Terrorism:Analysis of the rise, decline, trends and risk, Transnational Terrorism, Security, and the rule of Law, 2008, COT Institute forSafety, Security, and Crisis Management. Diunduh dari www.transnationalterrorism.eu. Diakses 17 Oktober 2011.

2 Zheng Yongnian & Lim Tai Wei, China’s New Battle With Terrorism In Xinjiang, Essai Background Brief No. 446,Link: Http://Www.Eai.Nus.Edu.Sg/BB446.Pdf. Diakses 20 November 2011

3 Ibid.4 Ibid.

2

pemerintah China.5 Selain mencoba menggalang dukungan diplomatis internasional untuk

memerangi terorisme di dalam negeri, pemerintah China juga melakukan berbagai manuver

internasional dalam isu separatisme/insurgensi yang beririsan dengan terorisme, salah satunya

dengan mendukung langkah-langkah Rusia di Georgia. Dukungan Rusia menjadi hal yang

penting bagi China dalam memerangi terorisme di Xinjiang berkaitan dengan kredibilitas

Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang merupakan desk antiterror di China.6

Selain manuver untuk menggalang dukungan diplomatis di atas, respon nasional

China terhadap terorisme di tingkat domestik sangat menarik untuk dibahas karena pertama,

negara ini memiliki potensi kuat untuk menjadi superpower baru di tingkat global dan pada

saat ini bahkan telah dipertimbangkan sebagai hegemon regional. Tanggapan China terhadap

terorisme dalam negeri dan terorisme secara umum berpotensi untuk menjadi benchmark bagi

respon nasional di negara-negara lain meskipun isu Xinjiang adalah isu yang sangat domestik

bagi China. Kedua, perang China melawan terorisme di dalam negerinya (yang sekali lagi

harus dilihat dalam konteks insurgensi yang lebih luas) dipandang berhasil (dalam artian

efektif untuk menekan terorisme di China), namun sekaligus banyak mendapat kecaman

karena dipandang terlalu ‘draconian’ dan banyak menimbulkan pelanggaran HAM.

1.2 Rumusan Masalah dan Sistematika Makalah

Makalah ini bertujuan untuk memaparkan respons kebijakan nasional China dalam

memerangi terorisme di negaranya yang terletak dalam konteks insurgensi Xinjiang dan

mengulas mengapa strategi dan kebijakan kontraterorisme di China dikatakan berhasil

meskipun dengan membayar harga yang mahal dari sisi HAM. Pertanyaan yang akan dicoba

dijawab oleh makalah ini adalah sebagai berikut: Mengapa kebijakan keamanan nasional

China dalam memerangi terorisme dikatakan berhasil? Faktor-faktor apa saja yang

memungkinkan China untuk mencapai keberhasilan tersebut?

Makalah ini dibagi ke dalam beberapa bagian, yaitu 1) pendahuluan (latar belakang

dan rumusan masalah), 2) klarifikasi istilah, yang meliputi ulasan mengenai terorisme dan

insurgensi, 3) pembahasan, yang terdiri dari ulasan singkat mengenai sejarah terorisme di

China, konsepsi kebijakan keamanan nasional China dan posisi terorisme di dalamnya,

strategi perang melawan terorisme di Xinjiang dan ulasan atas efektivitasnya, yang

selanjutnya ditutup dengan kesimpulan.

5 Ibid.6 Ibid.

3

2. Klarifikasi Istilah

Sebelum beranjak pada pembahasan, ada beberapa istilah yang digunakan di dalam

makalah ini yang maknanya perlu diklarifikasi, yaitu terorisme dan insurgensi serta apa

keterkaitan kedua konsep tersebut. Hal ini menjadi penting karena meskipun secara

konseptual terdapat perbedaan yang tegas di antara terorisme dan insurgensi, serta sebagai

konsekuensinya, di antara kontraterorisme (CT) dan kontrainsurgensi (COIN), di dalam

praktiknya (termasuk dalam fenomena terorisme di Xinjiang), kedua fenomena ini dapat

berlangsung pada waktu yang sama dengan aktor yang sama sehingga istilah terorisme dan

insurgensi sering dipertukarkan (begitu pula dengan CT dan COIN). Berikut adalah

pembahasan konseptual mengenai terorisme dan insurgensi dan keterkaitan di antara

keduanya.

2.1 Terorisme

Akar dari kata ‘teror’ berasal dari bahasa Latin ‘terrere’ yang memiliki makna ‘untuk

menciptakan ketakutan’.7 Departemen Pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan terorisme

sebagai “penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang telah diperhitungkan untuk

memunculkan ketakutan; bertujuan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau

masyarakat dalam mengejar tujuan yang biasanya bersifat politis, religius, ataupun

ideologis.”.8 Cronin (2002) menyatakan bahwa karena mustahil untuk memberikan satu

definisi yang ajeg untuk terorisme, yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi

karakteristik-karakteristik utama dari terorisme, yakni sebuah aksi yang bertujuan politis,

menggunakan kekerasan yang tidak terduga dengan target yang tampak acak, dan dilakukan

oleh aktor-aktor non-negara.9 Secara garis besar, karakter-karakter tersebut terangkum dalam

Gambar 1 berikut ini.

7 Gérard Chaliand dan Arnaud Blin (ed.), “Preface”, the History of Terrorism: From Antiquity to Al Qaeda (Berkeleyand Los Angeles: University of California Press), 2007, h. 8-9.

8 J James J. F. Forest (Ed.) Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives,Volumes 1–3 (London: Praeger Security International), 2007, h. I-IV.

9 R.G. Frey dan Christopher W. Morris, “Violence, Terrorism, and Justice,” dalam Frey and Morris (ed.), Violence,Terrorism, and Justice (Cambridge: Cambridge University Press), 1991, h. 3.

4

2.2 Terorisme Sebagai Strategi Insurgensi

Menurut Merari, terorisme adalah salah satu bentuk strategi insurgensi di antara

berbagai strategi lain seperti revolusi, kudeta, dan perang gerilya.10 Sebagai sebuah strategi

insurgensi, terorisme bermain di ranah psikologis, bukan dampak fisik atau teritorial.11

Dengan kata lain, terorisme adalah taktik untuk menjalankan koersi psikologis12 dengan

melemahkan moral musuh dengan menebarkan rasa takut dan pada waktu yang sama untuk

memperkuat rasa percaya diri dan tekad berjuang para pelakunya.13

Menurut Mao Tse Tung dan Vo Nguyen Gap (para penteori revolusi), terorisme

digunakan dalam insurgensi sebagai taktik untuk menggalang perhatian atau publisitas di

dalam fase propaganda-agitase dari revolusi. Terorisme juga digunakan untuk meyakinkan

musuh bahwa mereka tidak akan bisa memenangkan perang, juga untuk membuat musuh

lelah.14 Ketika digabungkan dengan perjuangan bersenjata, terorisme dapat menjadi alat yang

penting untuk meyakinkan pihak asing bahwa keterlibatan mereka dalam konflik tersebut

10 Ariel Merari, “Terrorism as a Strategy of Insurgency”, dalam Terrorism and Political Violence, Vol. 5. No. 4(Winter) (London: Frank Cass), 1993, h. 220.

11 Ibid., h. 225.12 Ibid., h. 227.13 Ibid., h. 231.14 Leonard Weinberg dan William L. Eubank, “21st Century Insurgency: Understanding the Use of Terrorism as a

Strategy,” dalam James J. F. Forest (Ed.), Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: InternationalPerspectives, Volumes 1–3 (London: Praeger Security International), 2007, h. 81-82 dan 89.

Gambar 1. Karakteristik Terorisme menurut CroninSumber: Cronin, 2002

4

2.2 Terorisme Sebagai Strategi Insurgensi

Menurut Merari, terorisme adalah salah satu bentuk strategi insurgensi di antara

berbagai strategi lain seperti revolusi, kudeta, dan perang gerilya.10 Sebagai sebuah strategi

insurgensi, terorisme bermain di ranah psikologis, bukan dampak fisik atau teritorial.11

Dengan kata lain, terorisme adalah taktik untuk menjalankan koersi psikologis12 dengan

melemahkan moral musuh dengan menebarkan rasa takut dan pada waktu yang sama untuk

memperkuat rasa percaya diri dan tekad berjuang para pelakunya.13

Menurut Mao Tse Tung dan Vo Nguyen Gap (para penteori revolusi), terorisme

digunakan dalam insurgensi sebagai taktik untuk menggalang perhatian atau publisitas di

dalam fase propaganda-agitase dari revolusi. Terorisme juga digunakan untuk meyakinkan

musuh bahwa mereka tidak akan bisa memenangkan perang, juga untuk membuat musuh

lelah.14 Ketika digabungkan dengan perjuangan bersenjata, terorisme dapat menjadi alat yang

penting untuk meyakinkan pihak asing bahwa keterlibatan mereka dalam konflik tersebut

10 Ariel Merari, “Terrorism as a Strategy of Insurgency”, dalam Terrorism and Political Violence, Vol. 5. No. 4(Winter) (London: Frank Cass), 1993, h. 220.

11 Ibid., h. 225.12 Ibid., h. 227.13 Ibid., h. 231.14 Leonard Weinberg dan William L. Eubank, “21st Century Insurgency: Understanding the Use of Terrorism as a

Strategy,” dalam James J. F. Forest (Ed.), Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: InternationalPerspectives, Volumes 1–3 (London: Praeger Security International), 2007, h. 81-82 dan 89.

Gambar 1. Karakteristik Terorisme menurut CroninSumber: Cronin, 2002

4

2.2 Terorisme Sebagai Strategi Insurgensi

Menurut Merari, terorisme adalah salah satu bentuk strategi insurgensi di antara

berbagai strategi lain seperti revolusi, kudeta, dan perang gerilya.10 Sebagai sebuah strategi

insurgensi, terorisme bermain di ranah psikologis, bukan dampak fisik atau teritorial.11

Dengan kata lain, terorisme adalah taktik untuk menjalankan koersi psikologis12 dengan

melemahkan moral musuh dengan menebarkan rasa takut dan pada waktu yang sama untuk

memperkuat rasa percaya diri dan tekad berjuang para pelakunya.13

Menurut Mao Tse Tung dan Vo Nguyen Gap (para penteori revolusi), terorisme

digunakan dalam insurgensi sebagai taktik untuk menggalang perhatian atau publisitas di

dalam fase propaganda-agitase dari revolusi. Terorisme juga digunakan untuk meyakinkan

musuh bahwa mereka tidak akan bisa memenangkan perang, juga untuk membuat musuh

lelah.14 Ketika digabungkan dengan perjuangan bersenjata, terorisme dapat menjadi alat yang

penting untuk meyakinkan pihak asing bahwa keterlibatan mereka dalam konflik tersebut

10 Ariel Merari, “Terrorism as a Strategy of Insurgency”, dalam Terrorism and Political Violence, Vol. 5. No. 4(Winter) (London: Frank Cass), 1993, h. 220.

11 Ibid., h. 225.12 Ibid., h. 227.13 Ibid., h. 231.14 Leonard Weinberg dan William L. Eubank, “21st Century Insurgency: Understanding the Use of Terrorism as a

Strategy,” dalam James J. F. Forest (Ed.), Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: InternationalPerspectives, Volumes 1–3 (London: Praeger Security International), 2007, h. 81-82 dan 89.

Gambar 1. Karakteristik Terorisme menurut CroninSumber: Cronin, 2002

5

Terrorism inInsurgency

Propaganda by theDeed

Provocation

Strategy ofChaos

Strategy ofAttrition

ExpressiveTerrorism

tidak sepadan dengan keuntungan politik yang mereka peroleh.15 Menurut Merari, strategi

terorisme dilakukan dalam insurgensi untuk mencapai hal-hal berikut:16

1. Propaganda melalui perbuatan (propaganda by the deed). Untuk mencapai efek

propaganda, para pelaku insurgensi melakukan aksi teror terhadap target-target

simbolik, misalnya kepala negara. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian

pada isu (cause) yang mereka perjuangkan.

2. Provokasi. Dalam hal ini, terorisme digunakan sebagai strategi untuk

memprovokasi reaksi yang berlebihan (represif) dari pemerintah agar terbangun

persepsi di kalangan rakyat bahwa pemerintah telah bertindak tidak adil dan tidak

mampu menyelesaikan permasalahan sehingga popularismenya turun di mata

masyarakat. Strategi ini juga digunakan untuk membangun gerakan anti-

pemerintah.

3. Strategi Kekacauan (strategy of chaos). Terorisme juga digunakan oleh para

pelaku insurgensi untuk menciptakan atmosfer kekacauan untuk menunjukkan

pada masyarakat bahwa pemerintah tidak mampu menegakkan hukum dan

menjaga ketertiban.

4. Strategy of Attrition. Dalam hal ini, terorisme dipandang sebagai strategi

perjuangan yang berkepanjangan (protracted struggle) yang bertujuan untuk

melelahkan musuh.

5. Terorisme Ekspresif. Dalam konteks ini, terorisme adalah perwujudan dari emosi

yang dirasakan para pelakunya dan bukan merupakan rencana politik yang

rasional. Tujuan-tujuan penggunaan terorisme dalam insurgensi ini dapat dilihat di

dalam Gambar 2 berikut.

15 Ibid., h. 90.16 Ibid., h. 234-235.

6

Gambar 2. Tujuan Penggunaan Strategi Terorisme dalam Insurgensi Menurut Merari

Sumber: Merari, 1993

Menurut Merari, para pelaku insurgensi yang menggunakan metode terorisme dapat

mencapai tujuan-tujuan yang sifatnya parsial, antara lain sebagai berikut:

1. penggalangan dukungan domestik yang memungkinkan level pemberontakan

yang lebih tinggi

2. penggalangan perhatian internasional terhadap apa yang mereka perjuangkan

(“bringing the terrorists’ grievances to international consciousness”)

3. penggalangan legitimasi internasional

4. mendapatkan konsesi politik parsial dari musuh mereka (misalnya otonomi daerah

yang luas). Tujuan-tujuan parsial ini dapat dilihat dalam Gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3. Tujuan Parsial Penggunaan Terorisme dalam Insurgensi menurut Merari

Sumber: Merari, 1993

3. Pembahasan

3.1 Terorisme di China: Insurgent Terrorism di Xinjiang

Pembahasan mengenai terorisme di China harus diawali dengan mempertanyakan

penggunaan istilah terorisme itu sendiri. Secara historis, permasalahan terorisme di China

selalu diasosiasikan dengan ‘Permasalahan Xinjiang’ atau ‘The Xinjiang Problem’ yang oleh

para penulis secara umum digolongkan ke dalam kategori insurgensi dan bukan semata-mata

Tujuan ParsialPenggunaanTerorisme

dalamInsurgensi

DukunganDomestik

LegitimasiInternasional

Konsesi PolitikParsial

7

kelompok teror.17 Meskipun demikian, pemerintah China melabeli gerakan ini sebagai

gerakan terorisme dengan argumen bahwa mereka menyasar target-target dan infrastruktur

sipil. Pemerintah China mengklaim bahwa serangan teroris di wilayah tersebut telah telah

membunuh lebih dari 160 orang dan melukai lebih dari 440 lainnya di dalam lebih dari 200

insiden terorisme yang terjadi di antara tahun 1990 dan 2001.18 Yang menjadi sasaran

serangan insurgensi/terorisme di Xinjiang ini adalah institusi-institusi pemerintah atau negara

seperti otoritas Partai Komunis China, pemerintah, dan militer.19

Insurgensi di Xinjiang itu sendiri sebenarnya termanifestasikan dalam berbagai

bentuk selain terorisme, antara lain dalam bentuk demonstrasi publik dan kekerasan massa

yang berlangsung pada tahun 80-an. Namun, pada tahun 90-an, tepatnya di sepanjang tahun

92-93, terjadi serangkaian pengeboman yang menyasar berbagai target sipil seperti bioskop,

bis, hotel, dan pertokoan. Di puncak insurgensi pada akhir tahun 90-an, metode yang banyak

digunakan adalah pembunuhan para pejabat Komunis dan pemimpin-pemimpin yang

ditunjuk oleh Partai.20 Penyasaran target-target sipil inilah yang mengkualifikasi insurgensi di

Xinjiang sebagai aksi terorisme.

Gambar 4. Bentuk-Bentuk Terorisme di Xinjiang

Sumber: Wayne, 2008

17 Ibid.18 Martin Wayne, Cina’s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security (USA dan Canada:

Routledge, 2008), h. 7.19 Ibid, h. 54.20 Ibid.

Terorisme diXinjiang

Pengebomantempat publik:bioskop, pertok

oan, hotel

Pengebomantransportasi

publik,misal bis

Pembunuhanbersasaran

(targetedkilling): Pejabat

Partai danPemerintah

8

Sejarah insurgensi dan terorisme yang dihadapi China saat ini di Xinjiang berakar

pada sebuah proses politik yang dijalankan oleh negara untuk memaksakan kontrolnya

terhadap wilayah dan masyarakat Xinjiang.21 Kelompok-kelompok yang melakukan

insurgensi di Xinjiang berasal dari etnik Uyghurs. Tujuan-tujuan insurgensi mereka antara

lain untuk meningkatkan otonomi Xinjiang dan menentang represi etnis Han, untuk

mendapatkan hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengusir etnis Han dari teritori

Uyghurs untuk mendirikan kekhalifahan yang berdasarkan hukum syariah.22

Dengan demikian, ketika kita membicarakan masalah terorisme di China, kita secara

umum berbicara pula tentang insurgensi. Meskipun secara analitik-konseptual, terorisme dan

insurgensi adalah dua konsep yang berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain, dalam

konteks terorisme di China keduanya harus dipandang sebagai dua sisi yang berbeda dalam

satu mata uang yang sama di mana terorisme adalah salah satu strategi yang digunakan di

dalam insurgensi Xinjiang.

Keterkaitan dengan Jejaring Teroris Internasional

Selain sebagai sebuah gerakan insurgensi/terorisme lokal (homegrown

insurgency/terrorism), Pemerintah China juga berusaha untuk membentuk persepsi publik,

baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bahwa terdapat kaitan di antara kelompok teroris

yang beroperasi di dalam negeri, khususnya di Turkistan Timur (sebutan lain untuk Xinjiang)

dengan Al-Qaeda. Hal ini tercermin dalam pernyataan salah seorang pejabat China sebagai

berikut: “East Turkistan’ terrorist organizations...are an important part of international

terrorist forces.”23

Mengenai hal ini, pemerintah China mengklaim bahwa terdapat sekitar 1000 pejuang

Uyghurs yang ikut berlatih dan berperang di Afghanistan. Sementara itu, laporan Kongres AS

menyatakan bahwa dari 22 orang etnis Uyghurs yang ditahan di Teluk Guantanamo, tujuh

orang merupakan operatif Al-Qaeda sementara sepuluh orang berlatih untuk memerangi

pemerintah China.24 Salah satu organisasi yang diklaim pemerintah China sebagai sekutu Al-

Qaeda adalah East Turkistan Liberation Organization atau ETLO.25 Dan pada tahun 2003,

US State Department memasukan East Turkistan Islamic Movement (ETIM) sebagai

organisasi teroris yang terkait dengan jejaring Al-Qaeda. 26 Meskipun terkait dengan jejaring

21 Ibid, h. 23 dan 25.22 Ibid, h. 11.23 Ibid.24 Ibid, h. 5.25 Ibid, h. 45.26 Ibid, h. 51.

9

teroris internasional, insurgensi Xinjiang pada dasarnya merupakan fenomena lokal dan

bukan internasional. Para pejuang Uyghurs pertama-tama menyasar aparat pemerintah China

dan bukan jihad global itu sendiri.27

Dengan pemahaman tentang sifat fenomena terorisme di China yang berjalinkelindan

dengan insurgensi Xinjiang di atas, kita akan beranjak pada pembahsan mengenai kebijakan

keamanan nasional China secara umum dan letak terorisme/insurgensi di dalam kerangka

keamanan nasional China tersebut sehingga kita dapat memahami konsepsi pemerintah China

terhadap terorisme yang kemudian menentukan respons nasionalnya.

3.2 Strategi Kebijakan Keamanan Nasional China

Sebagaimana dinyatakan di atas, untuk dapat memahami respons nasional China

dalam memerangi terorisme, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana China

mengkonsepsikan keamanan nasionalnya. Dalam pembahasan mengenai strategi kebijakan

keamanan nasional China, akan diulas mengenai tujuan dari strategi keamanan nasional

China, mengapa hal tersebut menjadi tujuan, bagaimana China mengkonsepsikan terorisme,

serta di mana China menempatkan terorisme dalam strategi keamanan nasionalnya.

3.2.1 Tujuan Keamanan Nasional China

Strategi Besar Kebijakan Keamanan Nasional China diformulasikan berdasarkan

pengalaman sejarah, kepentingan politik, dan lingkungan geostrategisnya. Menurut Wayne,

strategi besar China diarahkan untuk mencapai tiga tujuan utama sebagai berikut: menjaga

ketertiban domestik di tengah potensi instabilitas sosial; mempertahankan kedaulatan dan

integritas wilayah China dari ancaman eksternal, dan mempertahankan pengaruh geopolitik.28

Tujuan keamanan nasional China di atas dapat dipahami melalui tiga kata sederhana berikut:

Kedaulatan, Modernitas dan Stabilitas.29 Ketiga kata ini mencakup totalitas keseluruhan

tujuan yang ingin diraih bangsa China dan akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

a. Kedaulatan

Karena faktor sejarah internal China, di antaranya sejarah kepemilikan tanah dan

kebutuhan untuk mengamankan wilayah geografis China, kedaulatan menjadi tujuan jangka

27 Ibid.28 Ibid., h. 58.29James C. Mulvenon, Richard H. Yang, The People’s Liberation Army in the Information Age (RAND; 1999)

Chapter 4).

10

panjang yang ingin dicapai oleh RRC sampai sekarang. Konsep kedaulatan itu sendiri

mencakup beberapa masalah keamanan seperti berikut:30

- Wilayah yang dianggap China sebagai bagian dari wilayahnya, namun tidak termasuk

dalam yurisdiksi China, misalnya Taiwan dan Makau.

- Sengketa perbatasan China dengan negara-negara tetangga, yang berkaitan dengan

masalah demarkasi dan kontrol perbatasan.

- Wilayah yang dikendalikan China namun populasi rakyat aslinya (yang bukan Han)

menentang kekuasaan China, seperti di Xinjiang dan Tibet.

- Klaim terkait dengan Laut China Selatan, yang berkaitan dengan sumber daya pulau

karang,vterumbu karanng dan pulau, juga dengan sumber daya maritim secara

keseluruhan.

- Campur tangan luar negeri terhadap isu isu sosial dan politik China yang dianggap

tidak perlu atau bahkan tidak diinginkan.

- Tekanan internasional terhadap China untuk menyetujui protokol dan instrumen

multilateral yang dapat membatasi kebebasannya untuk mengambil tindakan.

b. Modernitas

Modernitas di sini mencakup isu perubahan sosial, reformasi politik, adaptasi budaya

serta inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini, konsep modernitas yang ingin dicapai

China sebagai bagian dari keamanan nasionalnya lebih condong ke arah peningkatan

kekuatan ekonomi negara dan kemampuan pengembangan IPTEK serta peningkatan standar

kehidupan penduduk. Berikut kutipan dari Jiang Zemin yang mungkin bisa mencakup hampir

keseluruhan dari esensi modernitas yang ingin dicapai China:31

“The goals we have set are as follows: ….the modernization program will have been basicallyaccomplished and China will have become a prosperous, strong, democratic and culturallyadvanced socialist country. At that time, our country will rank among the moderately developedcountries of the world, the Chinese people will have achieved common prosperity on the basis ofmodernization and the great rejuvenation of the Chinese nation will have been realized.”

Dari uraian di atas, terlihat bahwa keamanan nasional bagi China turut berarti menjadi

bangsa yang makmur, demokratik, dan memiliki peradaban yang maju. Dengan demikian,

hal-hal yang menghambat atau mengancam tujuan tersebut, termasuk insurgensi dan

terorisme, akan serta merta dipandang sebagai ancaman keamanan nasional.

30 Ibid.31 Ibid.

11

c. Stabilitas

Selama ribuan tahun, China telah mengalami periode perdamaian yang silih berganti

dengan periode kekacauan dan kekerasan sosial yang tak terduga. Selama dua abad terakhir,

stabilitas adalah sesuatu yang sangat langka sehingga masyarakat menyebutnya sebagai

periode nei luan wai huan (gangguan domestik dan bencana asing). Dengan demikian,

masyarakat China dapat dikatakan sangat mendambakan stabilitas internal. Saat ini, hal ini

semakin penting dan menjadi tantangan terbesar bagi para pemimpin China karena mereka

harus menyeimbangkan antara modernisasi dan stabilitas karena sejarah mencatat bahwa

modernisasi, terutama di bidang ekonomi, selalu disertai dengan dislokasi sosial yang luar

biasa.32

3.2.2 Posisi Terorisme dalam Keamanan Nasional China: Terorisme sebagai

Ancaman Tingkat Tinggi terhadap Ketertiban Umum dan Keamanan Nasional

China

Persepsi resmi negara (pemerintah) China terhadap terorisme/insurgensi bersifat tegas

dan tidak lagi berada di wilayah abu-abu. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang pejabat

tinggi di Kementerian Keamanan Publik RRC, terorisme dipandang sebagai “a real threat to

our country.”33 Terorisme dipandang sebagai ancaman yang nyata terhadap negara China

(institusi negara dan warga negaranya). Dengan kata lain, China mengkonsepsikan terorisme

sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Adapun level ancaman terorisme terhadap

keamanan nasional China dapat dicermati dalam pernyataan seorang pejabat pemerintah

berikut ini: “East Turkistan’ terrorist organizations pose a grave threat to people’s lives and

property...”34 Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa pemerintah China memandang

terorisme sebagai ancaman keamanan nasional yang levelnya tinggi, meskipun di dalam

pernyataan di atas, yang ditekankan adalah keamanan individu warga negara (lives and

property). Meskipun bahasa ‘ancaman keamanan nasional’ tampak sangat jelas dalam

wacana pemerintah China mengenai terorisme, di dalam pernyataan publik lain, terorisme

juga sering dikaitkan dengan aktivitas kriminal sebagaimana tercermin di dalam pernyataan

berikut:

32 Wayne, loc. cit.33Pejabat Tinggi Kementerian Keamanan Publik RRC, Xinhua,Washington Post, 1/26/2006. Dalam Martin Wayne,

Cina’s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and Internal Security (USA dan Canada: Routledge, 2008), h.10.

34People’s Daily, 12/18/2003 dalam Wayne, Ibid.

12

TerorismeAncaman terhadapkeamanan individu

warga negara (harta dannyawa)

Ancaman terhadapketertiban umum

masyarakat dan stabilitasinternal negara

Ancaman terhadapinstitusi-institusi negara

Ancaman keamanannasional

(kedaulatan, stabilitas, modernitas)

“Xinjiang’s stability worries the whole country. We must continue to strugglehard against all criminalactivities and to maintain social order.”35

Dalam pernyataan di atas, terorisme dikaitkan dengan aktivitas kriminal yang

mengganggu ketertiban umum dan stabilitas sosial masyarakat China secara keseluruhan,

yang pada gilirannya mengancam keamanan nasional China. Penekanan terhadap stabilitas

ini dapat dipahami karena China sangat memperhatikan ketertiban publik dan stabilitas

internal sebagai salah satu concern keamanan nasionalnya yang paling penting, bahkan

menurut beberapa penulis lebih penting dari concern keamanan nasional yang sifatnya

eksternal (misalnya masalah Taiwan, Jepang, dan Semenanjung Korea). Hal ini tercermin

dalam pernyataan berikut ini:

“Xinjiang looms much larger (than Taiwan or Japan or Korean Peninsula) in China’s securitycalculations. When China talks about fighting the three evil forces of extremism, splittism (separatism),and terrorism, these are code-words for Xinjiang’s troubles.”36

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa terorisme di China

memang seringkali dikaitkan dengan aktivitas kriminal (dan ditangani dengan sistem hukum

pidana), namun tidak pernah dipandang hanya sebagai gangguan terhadap ketertiban publik

semata sebagaimana halnya tindak kriminal biasa. Alih-alih, terorisme dipandang sebagai

ancaman terhadap keamanan nasional yang mencakup keamanan negara (Republik) dalam

hal institusi-institusinya yang berdiri sendiri terpisah dari masyarakatnya dan keamanan

warga negaranya, baik secara individual maupun kolektif sebagai bagian dari tatanan sosial

dan ketertiban umum. Persepsi dan konsepsi China terhadap sifat dari terorisme sebagai

ancaman keamanan dapat dilihat di dalam bagan berikut ini:

Gambar 5. Persepsi dan Konsepsi Pemerintah China terhadap Terorisme

Sumber: Wayne, 2008

35 Pernyataan Luo Gan, anggota Komite Politbiro Partai Komunis Cina, Wayne, Ibid., h. 55.36Wayne, op. cit., h.4.

13

Senada dengan hal di atas, menurut Wayne, separatisme, kekerasan etnis, dan

terorisme merupakan ancaman keamanan nasional China yang menempati prioritas

tertinggi.37 Hal ini dapat dilihat dari uraian tujuan jangka panjang yang ingin diraih dalam

strategi keamanan nasional China di atas, yaitu kedaulatan, modernitas, dan stabilitas.

Ancaman terorisme di China merupakan bagian dari insurgensi sehingga hal ini berkaitan

langsung dengan kedaulatan yang sangat dijaga oleh China. Insurgensi Xinjiang yang tujuan

tertingginya adalah separatisme atau memisahkan diri dari China adalah serangan langsung

terhadap integritas teritorial China dan upaya China untuk mempertahankan kesatuan

wilayahnya. Selain itu, jika dilihat dari segi stabilitas, terorisme sangat mengancam karena

dapat berakibat fatal terhadap stabilitas internal negara dan masyarakatnya. Jika Xinjiang

dibiarkan bergolak, daerah-daerah lain yang juga ingin memisahkan diri dari China akan

melihatnya sebagai preseden untuk turut berjuang dan menimbulkan kekacauan di China.

Terorisme juga mengancam langkah modernisme China secara tidak langsung karena tanpa

adanya stabilitas dan keamanan, China tidak akan dapat menjalankan proyek modernismenya

untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan peradaban sehingga dapat berpengaruh luas

secara geopolitik. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa terorisme tidak dipandang semata-

mata ancaman terhadap jiwa dan keselamatan warga dan properti mereka melainkan juga

ancaman terhadap totalitas tujuan keamanan nasional yang ingin dicapai bangsa China.

3.3 Kebijakan Keamanan Nasional China terhadap Terorisme

3.3.1 Doktrin, Pendekatan, dan Prinsip ‘Perang’ China Melawan Terorisme

Wayne (2008) menyebut kebijakan keamanan nasional China terhadap terorisme

sebagai ‘perang’ China melawan terorisme yang mencerminkan konsepsi China terhadap

terorisme yang dipandang sebagai ancaman keamanan nasional dalam bentuk perang

asimetris. Secara umum, doktrin China dalam mengendalikan terorisme adalah ‘Strike

Hard/Maximum Pressure.’ China telah menjalankan perang melawan terorisme berdasarkan

doktrin tersebut selama lebih dari satu dekade.38 Dari permukaan, terlihat jelas bahwa

pendekatan kebijakan keamanan nasional utama yang digunakan pemerintah China untuk

menanggulangi terorisme adalah pendekatan keras (hard power) dengan menggunakan force

(kekuatan) yang termanifestasikan dalam penggunaan militer (tentara), pasukan paramiliter,

dan pasukan keamanan sipil (polisi). Meskipun demikian, pendekatan keras bukanlah satu-

satunya pendekatan yang digunakan pemerintah China untuk menanggulangi terorisme.

37Wayne, op. cit., h. 10.38Wayne, Ibid., h. 24.

14

Pendekatan kontrainsurgensi (COIN) dan kontraterorisme (CT) yang dilakukan pemerintah

China dalam jangka panjang juga didasarkan pada pendekatan perubahan dari bawah atau

bottom-up approach yang menekankan pada restrukturisasi masyarakat hingga ke arah

rumput.

Menurut Wayne, terdapat tiga prinsip yang mendefinisikan kebijakan keamanan

nasional pemerintah China dalam memerangi terorisme, yaitu proaktif, dinamis, dan

komprehensif. Pemerintah China bersikap proaktif dalam artian bertindak keras bahkan

sebelum gerakan insurgensi dan terorisme ini berkembang ke arah yang lebih terkonsolidasi.

Dalam hal ini, pemerintah China tidak pernah mengendurkan kontrol atau kekuatan (militer)

bahkan setelah menang secara taktis dari kaum insurgen. Pemerintah China juga bersifat

komprehensif dalam artian tidak hanya menggunakan pendekatan keras, tetapi juga

berinisiatif menggunakan instrumen pembentukan ulang masyarakat dengan cara

menginfiltrasi masyarakat Xinjiang dengan aktor-aktor yang loyal terhadap pemerintah dan

negara China seperti para penduduk etnis Han, membangun institusi-institusi akar rumput,

dan sebagainya. Pendekatan ini juga bersifat dinamis dalam artian pemerintah China fleksibel

dalam menyesuaikan taktik mereka sesuai dengan spektrum kekerasan yang terjadi. Ketika

level kekerasan telah terkendali dan masyarakat Xinjiang tampak resisten terhadap koersi

yang dijalankan, pemerintah China menyertainya dengan instrumen-instrumen pembentukan

masyarakat seperti menciptakan peluang-peluang ekonomi bagi unit-unit masyarakat hingga

dengan menggunakan institusi-institusi akar rumput mulai dari tingkat pemimpin lokal

hingga keluarga.39

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi perang China melawan

terorisme dipandu oleh doktrin utama yang menekankan pada hard power, yaitu strike

hard/maximum pressure, tetapi juga bersifat dinamis, yakni menurunkan level penggunaan

hard power ketika terorisme telah berhasil dikendalikan dan melengkapinya dengan

pendekatan dari bawah yang ditekankan pada pendekatan lunak, yaitu dengan membentuk

ulang masyarakat dari tataran akar rumput. Efektivitas dari strategi ini akan dianalisis di

bagian selanjutnya, yakni analisis keberhasilan strategi kontraterorisme China. Namun,

sebelumnya akan dibahas mengenai aktor-aktor keamanan nasional yang terlibat dalam

perang China melawan terorisme di Xinjiang.

39 Wayne, Ibid., h. 141.

15

3.3.2 Aktor-Aktor Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan

Terorisme di Xinjiang

Bagian ini akan membahas mengenai aktor yang menjalankan kebijakan keamanan

nasional China dalam bentuk perang melawan terorisme di Xinjiang. Secara umum,

pemerintah China menggunakan berbagai aktor dan instrumen keamanan sebagai berikut

yang masing-masing akan dielaborasi lebih jauh pada bagian berikutnya:

a. Militer/Tentara (People’s Liberation Army atau PLA).

b. Paramiliter (People’s Armed Police)

c. Biro Keamanan Publik (seperti Biro Penyelidikan Federal/FBI di AS)

d. Polisi, mata-mata, dan informan lokal

Di Xinjiang, China menerapkan apa yang disebut sebagai pertahanan empat lapis atau

four layers of defense, yang terdiri dari kekuatan militer, termasuk Angkatan Darat dan

Udara, polisi paramiliter, kelompok paramiliter, dan masyarakat Han yang dipaksa

berimigrasi ke Xinjiang untuk menginfiltrasi masyarakat Xinjiang.40 Kebijakan pertahanan

four-in-one ini dapat dilihat di dalam bagan di bawah ini:

Gambar 6: Pertahanan ‘four-in-one’ China di Xinjiang

Sumber: Wayne, 2008

a. People’s Liberation Army (PLA)

Keberadaan militer di Xinjiang tidak terlalu besar dari segi jumlah, terutama jika

dibandingkan dengan luas teritori wilayah tersebut. Meskipun demikian, kehadiran militer ini

40Wayne, Ibid., h. 83.

16

membawa dampak sosial yang signifikan, yaitu memberi tekanan psikologis terhadap

penduduk lokal. Kekuatan militer China dikonsentrasikan di kota-kota kunci Xinjiang,

terutama ibu kota provinsinya, Urumqi. Kakuatan infrantri (ground forces) PLA tidak hanya

digunakan untuk menunjukkan kekuatan pemerintahan China, tetapi untuk tujuan-tujuan

pertahanan (defensif) sebagai berikut:

Untuk menjaga perbatasan China di sebelah Timur

Untuk mempertahankan ibu kota provinsi

Untuk mempertahankan populasi dan pusat-pusat industri

Untuk menjaga saluran komunikasi dan transportasi (terutama jaringan kereta api)

Untuk menjaga keamanan internal

b. Paramilitary: the People’s Armed Police (PAP)

The People’s Armed Police (PAP, dikenal juga sebagai People’s Armed Police Force

atau PAPF) adalah tentara yang dirancang khusus untuk menertibkan masyarakat dan

menjaga keamanan internal, juga untuk menangani kerusuhan.41 Di Xinjiang, polisi

paramiliter ini dilengkapi dengan senjata otomatis.

c. Paramilitary: Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC)

XPCC atau bingtuan dirancang untuk mengambilalih lahan-lahan Xinjiang untuk

memproduksi hasil bumi dan mencegah kekuatan insurgen untuk menancapkan akar mereka

di Xinjiang.42

d. Paramilitary: The People and The Police

Para imigran Han yang ‘dimasukkan’ oleh pemerintah China ke wilayah Uyghur

dipandang sebagai ‘tentara tanpa senjata’ oleh penduduk Uyghur dan negara China sendiri

karena mereka adalah kaum partisan yang sangat loyal terhadap negara dan pemerintah

China. ‘Tugas’ utama mereka adalah untuk mendapatkan wilayah sehingga tidak dapat

digunakan sebagai basis insurgensi oleh kaum Uyghur.43 Berbagai aktor di atas dapat dilihat

dalam Gambar 7 di bawah ini:

41 Wayne, ibid., h. 21.42Wayne, h. 78.43 Wayne, ibid., h. 80.

17

Gambar 7. Aktor-Aktor Kemanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang

Sumber: Wayne, 2008

3.3.3 Praktik Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan

Terorisme di Xinjiang

a. Hard Power: Militer dan Paramiliter

Komponen utama dari perang China melawan terorisme adalah penggunaan militer

dan paramiliter sebagaimana terlihat dalam konfigurasi aktor keamanan nasional di atas.

Pada mulanya, China menggunakan apa yang oleh para penulis disebut sebagai ‘brutal force’

untuk mencegah kerusuhan agar tidak tereskalasi. Penggunaan kekuatan militer ini mampu

menstabilkan situasi sehingga kerusakan tidak meluas dan insurgen tidak mendapatkan

momentum untuk meluaskan gerakan.44 Selain untuk meredam kekacauan dan mencegah

eskalasi insurgensi/teror, kekuatan militer dapat digunakan untuk menangkap atau membunuh

kaum insurgen atau memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan resiko yang harus

mereka hadapi jika memilih untuk mendukung insurgensi melawan negara. Dengan

menangkap atau membunuh insurgen, negara dapat mengisolasi para pemimpin insurgensi

dari gerakannya dan memotong alur gerakan. Dengan menakut-nakuti masyarakat untuk tidak

mendukung insurgensi, militer digunakan sebagai alat untuk melakukan ‘quite coercion’

terhadpa masyarakat. Pada awalnya, China menggunakan militernya untuk menangkapi dan

membunuh insurgen, namun perlahan-lahan beralih menjadi quite coercion, menargetkan

masyarakat untuk melawan insurgensi itu sendiri.

Dengan demikian, dapat dikatakann bahwa China menggunakan kekuatan militer

untuk menekan masyarakat, bukan dengan kekerasan secara langsung, melainkan dengan

mempertahankan kehadiran militer secara masif di Xinjiang, yaitu di kota-kota utama

44 Ibid, h. 132.

Tentara NasionalChina

•Demonstrasikekuatan (koersipsikologis)

•Perlindungan objekvital

•Menertibkanmasyarakat

•Menghancurkandemonstrasi (huru-hara)

17

Gambar 7. Aktor-Aktor Kemanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang

Sumber: Wayne, 2008

3.3.3 Praktik Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan

Terorisme di Xinjiang

a. Hard Power: Militer dan Paramiliter

Komponen utama dari perang China melawan terorisme adalah penggunaan militer

dan paramiliter sebagaimana terlihat dalam konfigurasi aktor keamanan nasional di atas.

Pada mulanya, China menggunakan apa yang oleh para penulis disebut sebagai ‘brutal force’

untuk mencegah kerusuhan agar tidak tereskalasi. Penggunaan kekuatan militer ini mampu

menstabilkan situasi sehingga kerusakan tidak meluas dan insurgen tidak mendapatkan

momentum untuk meluaskan gerakan.44 Selain untuk meredam kekacauan dan mencegah

eskalasi insurgensi/teror, kekuatan militer dapat digunakan untuk menangkap atau membunuh

kaum insurgen atau memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan resiko yang harus

mereka hadapi jika memilih untuk mendukung insurgensi melawan negara. Dengan

menangkap atau membunuh insurgen, negara dapat mengisolasi para pemimpin insurgensi

dari gerakannya dan memotong alur gerakan. Dengan menakut-nakuti masyarakat untuk tidak

mendukung insurgensi, militer digunakan sebagai alat untuk melakukan ‘quite coercion’

terhadpa masyarakat. Pada awalnya, China menggunakan militernya untuk menangkapi dan

membunuh insurgen, namun perlahan-lahan beralih menjadi quite coercion, menargetkan

masyarakat untuk melawan insurgensi itu sendiri.

Dengan demikian, dapat dikatakann bahwa China menggunakan kekuatan militer

untuk menekan masyarakat, bukan dengan kekerasan secara langsung, melainkan dengan

mempertahankan kehadiran militer secara masif di Xinjiang, yaitu di kota-kota utama

44 Ibid, h. 132.

Polisi Paramiliter

•Menertibkanmasyarakat

•Menghancurkandemonstrasi (huru-hara)

Paramiliter XPCC

•MenginfiltrasiXinjiang denganmengambilalihlahan

•Menghalangiinsurgen untukmenguasai Xinjiangsecara teritorial

•Menduduki wilayahXinjiang supayatidak dapat didudukioleh insurgen

•Menjadi informandan mata-mata

17

Gambar 7. Aktor-Aktor Kemanan Nasional China dalam Perang Melawan Terorisme di Xinjiang

Sumber: Wayne, 2008

3.3.3 Praktik Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan

Terorisme di Xinjiang

a. Hard Power: Militer dan Paramiliter

Komponen utama dari perang China melawan terorisme adalah penggunaan militer

dan paramiliter sebagaimana terlihat dalam konfigurasi aktor keamanan nasional di atas.

Pada mulanya, China menggunakan apa yang oleh para penulis disebut sebagai ‘brutal force’

untuk mencegah kerusuhan agar tidak tereskalasi. Penggunaan kekuatan militer ini mampu

menstabilkan situasi sehingga kerusakan tidak meluas dan insurgen tidak mendapatkan

momentum untuk meluaskan gerakan.44 Selain untuk meredam kekacauan dan mencegah

eskalasi insurgensi/teror, kekuatan militer dapat digunakan untuk menangkap atau membunuh

kaum insurgen atau memaksa masyarakat untuk mempertimbangkan resiko yang harus

mereka hadapi jika memilih untuk mendukung insurgensi melawan negara. Dengan

menangkap atau membunuh insurgen, negara dapat mengisolasi para pemimpin insurgensi

dari gerakannya dan memotong alur gerakan. Dengan menakut-nakuti masyarakat untuk tidak

mendukung insurgensi, militer digunakan sebagai alat untuk melakukan ‘quite coercion’

terhadpa masyarakat. Pada awalnya, China menggunakan militernya untuk menangkapi dan

membunuh insurgen, namun perlahan-lahan beralih menjadi quite coercion, menargetkan

masyarakat untuk melawan insurgensi itu sendiri.

Dengan demikian, dapat dikatakann bahwa China menggunakan kekuatan militer

untuk menekan masyarakat, bukan dengan kekerasan secara langsung, melainkan dengan

mempertahankan kehadiran militer secara masif di Xinjiang, yaitu di kota-kota utama

44 Ibid, h. 132.

Imigran Han

•Menduduki wilayahXinjiang supayatidak dapat didudukioleh insurgen

•Menjadi informandan mata-mata

18

Xinjiang dan lokasi-lokasi strategis lainnya. Selain pasukan militer murni (tentara), China

juga memanfaatkan kehadiran pasukan paramiliter dan etnis Han dalam skala besar di

Xinjiang untuk memberi tekanan pada masyarakat.

Penggunaan kekuatan militer di Xinjiang sendiri mengalami evolusi. Pada tahun

1990, PLA turun tangan secara langsung dalam memerangi insurgen. Pada tahun 1995, peran

tersebut diambil alih oleh PAP. Pada tahun 1996, kekerasan meningkat dan pada tahun 1997,

terjadi kerusuhan di kota Yining yang dihancurkan oleh PAP dengan bantuan PLA. Pada

tahun 2001 hingga 2006, PAP dan PLA mendemonstrasikan kekuatan mereka untuk menekan

masyarakat, namun kekerasan tersebut menurun secara drastis.45

PLA, PAP, XPCC, dan etnis Han yang dimasukkan ke dalam wilayah Xinjiang

disebut Wayne sebagai ‘China’s force-mix’ yang bergeser dari penggunaan kekuatan militer

ke paramiliter dan pada akhirnya pasukan keamanan lokal. Setelah menangani insurgensi

dengan brutal, peran militer dikurangi dan diserahkan pada pasukan keamanan lokal.

b. Soft Power: Penetrasi Institusi-Institusi Akar Rumput

Ketika insurgensi mulai bertempat di hati masyarakat, China mengambil langkah-

langkah untuk menangkal hal tersebut, di antaranya dengan membangun kembali institusi

partai, pemerintahan, dan pasukan keamanan di tingkat akar rumput atau lokal di Xinjiang.

Dengan demikian, China berhasil merebut kembali institusi-institusi vital pemerintahan di

level lokal. Lebih jauh lagi, China memanfaatkan institusi-institusi sosial seperti keluarga,

serikat pekerja, komunitas, dan hubungan pribadi, untuk membantu melawan insurgensi.

Penggunaan institusi-institusi akar rumput untuk melawan musuh ini disebut juga sebagai

‘society-centric warfare.’46 Pembangunan institusi-institusi akar rumput ini meningkatkan

persepsi kekuatan negara dan tata kelola pemerintahan di kalangan masyarakat lokal

Xinjiang. Ko-optasi dan inkorporasi menjadi dua hal yang sangat penting. Hal ini dalam

dirinya sendiri tidak menghentikan insurgensi, tetapi menjaganya agar tidak tereskalasi.

Bagaimanakah China melakukan hal ini? Sebagai contoh, China membangun jejaring polisi

lokal dan informan yang dapat beroperasi secara leluasa di Xinjiang. Modus operandi mereka

adalah menyasar baik individu maupun organisasi yang terkait dengan insurgensi.47

45 Wayne, Ibid., h. 133.46 Ibid., h.134.47 Ibid.

19

3.4 Mengapa Kebijakan Keamanan Nasional China dalam Perang Melawan

Terorisme di Xinjiang Berhasil?

Bagian ini akan membahas mengenai mengapa strategi dan kebijakan keamanan

nasional China dalam memerangi terorisme di Xinjiang dikatakan berhasil. Sebagaimana

diulas di bagian kerangka teoretik (klarifikasi istilah), terorisme digunakan sebagai strategi

insurgensi di antaranya untuk propaganda, menimbulkan kekacauan, memprovokasi

pemerintah, dan melelahkan pemerintah dalam perang jangka panjang (atrisi), selain

ditujukan untuk mendapatkan konsesi politik parsial dari pemerintah.

Kebijakan keamanan nasional China dalam memerangi terorisme berhasil karena

pemerintah China tidak membiarkan satu pun dari tujuan di atas tercapai. Pertama,

pemerintah China tidak membiarkan kaum insurgen untuk menjadikan protes dan serangan

teror mereka sebagai propaganda untuk membangkitkan semangat juang masyarakat Uyghur

secara keseluruhan karena pemerintah China selalu dapat menghancurkan setiap aksi yang

ada dengan penggunaan hard power. Dalam hal ini, China bermain dengan persepsi kekuatan

(power) dan melakukan langkah-langkah agar kaum insurgen yang menggunakan metode

terorisme dalam upaya mencapai tujuannya tidak dipersepsikan sebagai pihak yang lebih kuat

dan yang mampu menyediakan keamanan bagi masyarakat, misalnya dengan mengerahkan

pasukan keamanan (termasuk tentara dan paramiliter) dalam jumlah yang tidak terlalu besar

tapi intensif dan terus-menerus di Xinjiang. Dengan demikian, salah satu hal penting yang

menentukan keberhasilan perang China melawan terorisme adalah demonstrasi kekuatan.

Strategi ini terbukti sukses karena terorisme berupaya untuk mengubah persepsi masyarakat

tentang kekuatan negara. Dengan melakukan pengeboman atas sarana publik, misalnya

kereta, bis, pusat perbelanjaan, teroris berupaya untuk meyakinkan masyarakat bahwa negara

lemah dan tidak dapat memberikan keamanan pada masyarakatnya.48 Dalam hal ini,

momentum menjadi faktor yang krusial. China menjaga faktor ini dengan cara bertindak

cepat di awal dan menghancurkan insurgensi pada tahap awal perkembangannya sebelum

kaum insurgen mendapatkan momentum di kalangan masyarakat. Dalam kata-kata Wayne,

“China acted early, repeatedly, and comprehensively, to crush insurgency before it could

gain momentum within society.”49 Dengan menghancurkan insurgensi di tahap awal (secara

represif), China mencegah terbukanya ‘window of opportunity’ bagi kaum insurgen untuk

‘menggoda’ masyarakat agar berpihak pada mereka.

48 Ibid., h. 128.49 Ibid., h.127.

20

Kedua dan berkaitan dengan prinsip di atas, China tidak pernah membiarkan situasi di

Xinjiang menjadi tidak terkendali. Dengan menggunakan kekuatan represif dan pertahanan

berlapis, China menjaga agar stabilitas internal tetap terjaga sehingga chaos yang berusaha

dituju kaum insurgen dengan melakukan serangan teroris tidak terjadi.

Ketiga, China tidak pernah ‘lelah’ dalam menekan insurgensi, termasuk ketika mereka

menggunakan metode terorisme. Sebagaimana disebutkan di atas, meskipun menang secara

taktis, pasukan keamanan China terus hadir di Xinjiang meskipun diturunkan levelnya dari

tentaran nasional menjadi pasukan paramiliter dan polisi lokal. Keempat, China tidak pernah

memberikan konsesi politik apapun pada kaun insurgen meskipun banyak korban sipil yang

jatuh karena serangan bom dan banyak pejabat pemerintah yang menjadi sasaran.

Akan tetapi, sebagaimana diargumenkan oleh Wayne, kunci kesuksesan China dalam

memerangi terorisme dan insurgensi di Xinjiang sebenarnya terletak pada kombinasi di

antara hard power dan soft power yang terdiri dari upaya membentuk ulang masyarakat di

tingkatan akar rumput dengan cara menginfiltrasi institusi-institusi lokal dengan pihak-pihak

yang loyal terhadap pemerintah China dan menawarkan berbagai insentif untuk kaum Uyghur

yang menunjukkan loyalitasnya terhadap negara dan pemerintah China, termasuk dalam

bentuk pembangunan ekonomi, pendidikan, dan janji akan hidup yang lebih baik.50

Kombinasi pendekatan keras dan lunak yang dijalankan pemerintah China dan efektivitas

strategisnya dapat dilihat dalam Gambar 8 berikut ini:

50 Ibid., h. 127.

Gambar 8. Kombinasi Pendekatan Hard Power dan Soft Pwer dalam Perang China MelawanTerorisme di XinjiangSumber: Wayne, 2008

21

Perang China melawan insurgensi dan terorisme di Xinjiang relatif berhasil karena

China tidak memiliki kekangan untuk menggunakan kekuatan untuk mengendalikan eskalasi

teror (mencapai tactical efficacy) dan setelah itu, pemerintah China beralih pada pendekatan

yang lebih lunak, yakni pembentukan ulang masyarakat dan memberi insentif kepada

masyarakat agar menjauhi insurgensi dan terorisme (mencapai strategic efficacy). Dengan

demikian, ‘perang’ yang dilancarkan pemerintah China untuk melawan terorisme di Xinjiang

dilancarkan sekaligus dengan menggunakan dua entitas, yaitu entitas pasukan keamanan dan

dengan menggunakan masyarakat itu sendiri untuk melawan insurgen (society-centric

warfare).

Mengapa pemerintah China mampu mengadopsi strategi dan kebijakan seperti ini

tanpa ada kekangan berarti? Jawabannya sederhana, yaitu karena China memiliki ‘political

will’ yang tidak terbatas, yang akan dijelaskan berikut ini.

3.4.1 Kunci Keberhasilan Perang China Melawan Terorisme: ‘Political Will’ yang

Tidak Terbatas

Menruut Wayne. faktor utama yang memungkinkan China untuk menjalankan

kebijakan keamanan nasionalnya dalam perang melawan terorisme adalah political will China

yang dapat dikatakan tidak terbatas.51 Yang dimaksud dengan political will di sini adalah

seperangkat keyakinan mendalam dan preferensi yang dianut oleh masyarakat. Political will

adalah sumber dukungan bagi negara dan perangkatnya dalam menghadapi masa-masa sulit

dan menjadi center of gravity yang dengannya pemerintah dan kaum insurgen berperang satu

sama lain.52

China memiliki political will yang tidak terbatas dalam menghadapi

terorisme/insurgensi di Xinjiang karena faktor-faktor sosio-struktural dan historis. Political

will ini memungkinkan China untuk menggunakan kekuatan yang represif dengan sumber

daya yang masif untuk menghancurkan insurgensi di tahap awal perkembangannya. Political

will yang tidak terbatas ini bersumber pada tiga hal, yaitu: posisi Partai Komunis China

(CPP), posisi negara yang berusaha mengejar keamanan, dan tuntutan masyarakat atas

stabilitas.53

51 Ibid.52 Ibid53 Ibid, h. 132.

22

a. Partai Komunis China sebagai sumber political will

Menghancurkan insurgensi dipandang sebagai prioritas oleh Partai Komunis China

yang selalu berupaya untuk menjaga posisi dan keutamaannya di dalam struktur negara dan

masyarakat China. Partai Komunis adalah satu-satunya partai di China yang memiliki

struktur dan personel di setiap lapisan masyarakat hingga ke akar rumput. Entitas politik ini

mendapatkan kekuasaan China dengan susah payah dan tidak akan membiarkan terorisme

atau insurgensi memecah belah China dan menghancurkan basis kekuasaannya di Xinjiang.

Dengan demikian, menghancurkan insurgensi dan terorisme di Xinjiang adalah langkah logis

Partai Komunis untuk mempertahankan keutamaannya di seluruh wilayah China dan

memvalidasi kepemimpinan mereka. Untuk itu, Partai Komunis tidak akan ragu mengerahkan

dukungan dan sumber daya untuk menghancurkan insurgensi di Xinjiang.54

b. Negara sebagai sumber political will

Negara China memiliki kepentingan yang inheren untuk menanggulangi ancaman

terorisme dan insurgensi karena hal tersebut mengancam integritas teritorial China secara

keseluruhan, meskipun letak Xinjiang berada di wilayah periferi. Menurut Wayne, Xinjiang

tidak boleh lepas dengan harga apapun karena dapat membentuk preseden bagi wilayah-

wilayah lainnya yang juga menuntut otonomi atau bahkan ingin memisahkan diri dari China,

misalnya Tibet. Kegagalan mengatasi insurgensi di Xinjiang dapat menimbulkan efek

domino. Jika satu area China memisahkan diri, seluruh China dapat mengalami disintegrasi,

bukan saja yang berada di periferi, tetapi juga yang berada di wilayah inti. Dengan demikian,

sama seperti Partai Komunis, negara China akan mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk

memerangi insurgensi/terorisme di Xinjiang.

c. Tuntutan masyarakat akan stabilitas internal sebagai sumber political will

Selain mencegah separatisme (“renegade provinces”), negara China juga mendapat

tuntuan untuk selalu menjaga stabilitas internal. Isu stabilitas menjadi sangat penting di China

karena hal itu adalah tuntuan pokok masyarakat China yang begitu mendambakan kestabilan,

juga karena hal tersebut adalah kondisi syarat untuk China mengembangkan

perekonomiannya dan memperbaiki taraf hidup warganya. Stabilitas domestik dan

perkembangan politik yang progresif adalah faktor-faktor yang melegitimasi negara China.

Insurgensi Xinjiang mengancam negara karena ia menunjukkan ketidakmampuan negara

54 Ibid., h. 32.

23

untuk mengelola ketidakpuasan di wilayah periferi dan untuk menyediakan stabilitas bagi

masyarakatnya. Karena faktor-faktor sosio-struktural dan politis-historis (banyaknya

kerusuhan dan kekacauan internal, mulai dari perang integrasi, Loncatan ke Depan, dsb.),

China harus menghancurkan insurgensi di Xinjiang untuk mempertahankan kelangsungan

negaranya. Jika China gagal melakukan hal ini, wilayah periferi akan memberontak dan

wilayah inti pun berpotensi mengalami hal yang serupa.55 Sumber-sumber political will

China di atas dapat dilihat dalam Gambar 9 berikut ini:

Gambar 9. Sumber-Sumber Political Will China dalam Memerangi Terorisme

Sumber: Wayne, 2008

Dengan demikian, kombinasi dari hasrat Partai Komunis untuk tetap memuncaki

struktur negara dan masyarakat, kebutuhan negara untuk mencegah disintegrasi, dan tuntutan

masyarakat akan stabilitas internal menyediakan political will bagi pemerintah China untuk

menghancurkan insurgensi, memungkinkan China untuk menggunakan pendekatan represif

tanpa diprotes warganya secara berarti dan menggunakan metode-metode social engineering

untuk merestrukturisasi masyarakat hingga ke akar rumput. Hal ini tidak dapat direplikasi di

sembarang negara, terutama negara-negara demokrasi liberal yang memiliki kekangan

institusional (struktural) dalam bentuk Konstitusi, rule of law, mekansime check and balance,

dan kekangan kultural dalam bentuk opini publik yang dilandasi oleh prinsip-prinsip

demokrasi dan HAM, ditambah dengan media yang bebas dan independen. Dengan kata lain,

China lebih leluasa dalam menggunakan pendekatan yang represif secara struktural dan

55 Ibid.

24

kultural. Tantangan serius yang muncul terhadap pendekatan ini dapat dikatakan sebagian

besar berasal dari luar China, yakni negara-negara besar dan aktivis gerakah HAM yang

sering mengecam pendekatan China dalam menangani insurgensi di dalam wilayahnya, tidak

hanya Xinjiang tetapi juga misalnya Tibet. Meskipun demikian, tekanan internasional ini

berhasil dimitigasi oleh meningkatnya pengaruh geopolitik China di dalam sistem

internasional.

4. Kesimpulan

China menempatan terorisme/insurgensi Xinjiang sebagai ancaman terhadap keamanan

nasional (kedaulatan, stabilitas dan modernitas), dan oleh karenanya menjalankan strategi

kebijakan keamanan nasional dalam bentuk perang melawan terorisme di Xinjiang yang

didasarkan pada kombinasi pendekatan hard power dengan doktrin strike hard/maximum

pressure dan pendekatan soft power dari bawah ke atas (bottom-up) dengan prinsip

restrukturisasi masyarakat hingga di tataran akar rumput (social engineering) dan pemberian

insentif dan janji hidup yang lebih baik untuk masyarakat Uyghur. Keberhasilan kebijakan

nasional China ini disebabkan oleh sifatnya yang proaktif (tidak menunggu sampai

insurgensi/terorisme menjadi tidak terkendali), dinamis (fleksibel dalam meningkatkan dan

menurunkan level kekerasan), dan komprehensif (tidak hanya menyasar pada insurgen tetapi

juga masyarakat hingga di akar rumput). Model perang yang dijalankan China tidak hanya

perang langsung secara fisik dengan kaum insurgen, tetapi juga society-centric warfare,

menggunakan masyarakat itu sendiri untuk melawan insurgen. Pemerintah China dapat

mengadopsi kebijakan draconian ini karena memiliki political will yang tak terbatas, yang

bersumber dari Parta Komunis yang hendak mempertahankan kekuasaannya, negara yang

hendak menghindari disintegrasi, dan masyarakat yang menuntut stabilitas internal dari

pemerintah. Selain itu, China pun relatif tidak memiliki kekangan struktural dan kultural

sebagaimana negara-negara demokrasi liberal sehingga lebih leluasa menggunakan

pendekatan represifnya untuk mengendalikan eskalasi insurgensi/terorisme dan mendapat

peluang yang lebih besar untuk mengatasi terorisme hingga tingkat akar rumput.

25

DAFTAR PUSTAKA

Forest, James J. F. (Ed.). Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century:International Perspectives, Volumes 1–3. London: Praeger Security International.2007.

Merari, Ariel. “Terrorism as a Strategy of Insurgency”. Terrorism and Political Violence,Vol. 5. No. 4 (Winter). London: Frank Cass. 1993.

Mulvenon, James C. dan Richard H. Yang. 1999. The People’s Liberation Army in theInformation Age RAND Corp.

Wayne, Martin. 2008. Cina’s War on Terrorism Counter-Insurgency, Politics, and InternalSecurity. USA dan Canada: Routledge.

Yongnian, Zheng & Lim Tai Wei. 2001. “China’s New Battle With Terrorism In Xinjiang.”Essai Background Brief No. 446. Dalam Http://Www.Eai.Nus.Edu.Sg/BB446.Pdf.Diakses 20 November 2011

Concepts of Terrorism: Analysis of the rise, decline, trends and risk, TransnationalTerrorism, Security, and the rule of Law, 2008, COT Institute for Safety, Security, andCrisis Management. Diunduh dari www.transnationalterrorism.eu. Diakses 17 Oktober2011.