Hubungan pola asuh orang tua dengan prilaku autisme

38
11 II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan teori – teori yang berkaitan dengan pola asuh orang tua, autismme, kerangka teori, kerangka konsep, dan hipotesis 1. Pola asuh orangtua 1.1Definisi pola asuh orangtua Pola asuh merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak sehingga memungkinkan anak untuk mencapai tugas-tugas perkembangannya (Khon Mu’tadin, 2002). Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan

Transcript of Hubungan pola asuh orang tua dengan prilaku autisme

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori – teori yang berkaitan dengan

pola asuh orang tua, autismme, kerangka teori, kerangka

konsep, dan hipotesis

1. Pola asuh orangtua

1.1Definisi pola asuh orangtua

Pola asuh merupakan interaksi antara anak dan

orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan

yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan

mendisiplinkan serta melindungi anak sehingga

memungkinkan anak untuk mencapai tugas-tugas

perkembangannya (Khon Mu’tadin, 2002). Pola asuh

merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi,

membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya

dalam kehidupan sehari-hari dengan harapan

12

menjadikan anak sukses menjalani kehidupan ini.

Hal ini sejalan dengan pendapat ( Euis, 2004) .

Pola asuh orang tua merupakan sikap - sikap yang

ditunjukan orang tua kepada anak yang bertujuan

untuk memberikan pengaruh terhadap pembentukan

kepribadian anak ( Baumrind, 2005).

13

Istilah pola asuh orangtua untuk menggambarkan

interaksi orangtua dan anak-anak yang didalamnya

orangtua mengekspresikan sikapsikap atau perilaku,

nilai-nilai, minat dan harapan-harapanya dalam

mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya

(Maccoby, 2005). Pola asuh merupakan prilaku yang

ditampilkan orang tua saat berhubungan dengan anak

mereka Perilaku – perilaku tersebut antara lain

seperti cara orang tua menunjukan kekuasaannya

dengan memberikan aturan dan hukuman, serta cara –

cara orang tua memberikan perhatian seperti

menunjukan kasih sayang, dukungan dan juga pujian

untuk anak (Kohn, 2010). Pola asuh orangtua adalah

proses interaksi orangtua dengan anak dimana

orangtua mencerminkan sikap dan perilakunya dalam

menuntun dan mengarahkan perkembangan anak serta

menjadi teladan dalam menanamkan perilaku (Jannah,

2012).

Dari definisi –definisi yang telah disebutkan di

atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang

tua merupakan cara orang tua membentuk kepribadian

dan mengkontrol prilaku anak yang ditunjukan

melalui sikap-sikap yang diberikan oleh anak.

14

1.2 Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua

Menurut Baumrind (Papila, Olds & Feldman, 2009)

terdapat 3 jenis pola asuh orang tua yaitu:

otoritarian, permisif dan otoritatif.

a. Pola asuh otoritarian merupakan jenis pola asuh

dimana orang tua memberikan peraturan-peraturan

yang harus dipenuhi tanpa adanya negosiasi

dengan anak. Orang tua yang melakukan pola asuh

otoritarian juga tidak akan segan memberikan

hukuman yang keras sebagai cara mendisiplinkan

anak. Anak dengan pola asuh otoritarian akan

membentuk sikap hormat dan taat pada anak,

namun sisi negatif dari pola asuh otoritarian

ini adalah anak akan membangun perasaan takut,

cemas, tidak bahagia, inisiatif tidak terbentuk

dan juga kurang dapat membangun komunikasi

dengan baik.

b. Pola asuh permisif merupakan jenis pola asuh

dimana orang tua memberikan segala sesuatu yang

diminta oleh anak. Orang tua juga kurang

memberikan batasan dan kendali yang jelas pada

anak.Anak dengan pola asuh permisif akan lebih

kreatif dan percaya diri, namun disamping itu

anak dengan pola asuh ini cenderung kurang

15

memiliki kontrol diri yang baik, mendominasi,

kurang dapat menghormati dan tidak dapat

menjalin hubungan yang baik dengan temannya.

c. Pola asuh otoritatif, memberikan batasan dan

juga kontrol terhadap anak, namun masih

memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat

mandiri dan juga memiliki tanggung jawab

pribadi. Orang tua dengan pola asuh otoritatif

sangat menghargai minat dan pendapat dari anak

dan juga anak merasakan kasih sayang yang

diberikan orang tuanya kepada mereka. Anak

dengan pola asuh otoritatif lebih percaya diri,

memiliki pengendalian diri yang baik, mampu

mengelola stress dan dapat bekerja sama dengan

teman sebaya maupun orang – orang yang lebih

tua (Siregar, 2011).

Cara mendidik anak menurut Syamsu Yusuf LN.

terdapat tiga pola asuh (gaya perlakuan) orang

tua yaitu:

a. Authoritarian : (sikap “aceptance” , suka

menghukum, memaksa,

kaku/keras dan bersikap menolak)

16

b. Authoritative : (sikap “aceptance” dan

controlnya tinggi, responsif terhadap

kebutuhan anak, mendorong serta memberikan

penjelasan tentang dampak perbuatan yang

baik dan buruk)

c. Permisive : (sikap “aceptance” nya tinggi,

kontrolnya rendah memberi kebebasan anak

untuk menyatakan dorongan atau keinginannya.

Chabib Thoha mengemukakan ada tiga pola asuh

orang tua yaitu: demokratis, otoriter, dan

permissive

a. Demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya

pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak,

anak diberi kesempatan untuk tidak selalu

tergantung kepada orang tua. Orang tua

sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk

memilih apa yang terbaik bagi dirinya anak

didengar pendapatnya, dilibatkan dalam

pembicaraan terutama yang menyangkut dengan

kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi

kesempatan untuk mengembangkan kontrol

internalnya sehingga sedikit demi sedikit

17

berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri

sendiri. Anak dilibatkan dan diberi

kesempatan untuk berpartisipasi dalam

mengatur hidupnya.

Pola asuh demokratis menyebabkan anak

memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Bersikap bersahabat

b. Memiliki percaya diri

c. Mampu mengendalikan (self control)

d. Sikap sopan

e. Mau bekerjasama

f. Memiliki rasa ingin tahunya tinggi

g. Mempunyai tujuan atau arah yang jelas

h. Berorientasi terhadap prestasi

i. Berani berpendapat

b. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter ditandai dengan cara

mengasuh anak dengan aturan aturan yang

ketat seringkali memaksa anak untuk

berperilaku seperti dirinya (orang tua),

kebebasan untuk bertindak atas nama dirinya

sendiri dibatasi. Anak jarang diajak

berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan

orang tua. Orang tua menganggap bahwa semua

18

sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu

dipertimbangkan dengan anak.

Ciri-ciri pola asuh otoriter sebagai

berikut :

1. Sikap “Aceptance” rendah namun kontrolnya

tinggi

2. Suka menghukum secara fisik

3. bersikap mengomando (mengharuskan anak

untuk melakukan

sesuatu tanpa kompromi).

4. Bersikap kaku (keras)

5. Cenderung emosional dan bersikap menolak

6. Harus mematuhi peraturan-peraturan orang

tua dan tidak boleh membantah

Akibat dari pola asuh yang otoriter anak akan

cenderung memiliki ciri-ciri sebagai

berikut :

a. Mudah tersinggung

b. Penakut

c. Pemurung tidak bahagia

d. Mudah terpengaruh dan mudah stres

e. Tidak mempunyai arah masa depan yang jelas

f. Tidak bersahabat

g. Gagap (stuttering) serta rendah diri

(Hidayah, 2013)

19

c. Pola Asuh Permissive

Pola asuh permissive ditandai dengan orang

tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap

sebagai orang dewasa (muda), ia diberi

kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan

apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua

terhadap anak sangat lemah, juga tidak

memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi

anaknya, semua yang telah dilakukan anak

adalah benar dan tidak perlu mendapatkan

teguran, arahan (bimbingan). Kekurangan-

kekurangan dalam pola asuh ini anak cenderung

melakukan segala sesuatunya sesuai

kehendaknya, tidak atau kurang memperhatikan

akibat dari perbuatannya baik bagi dirinya

sendiri maupun orang lain dan orang tua

hampir tidak pernah campur tangan baik dalam

memilih tempat sekolah mengatur waktu ibadah

teman bergaul dan sebagainya.

Kondisi permissive ini cenderung

mengakibatkan anak memiliki ciri-ciri sebagai

berikut :

20

a. Bersikap impulsif dan ogresif

b. Suka bersikap memberontak

c. Kurang memiliki rasa percaya diri

d. Suka mendominasi

e. Tidak jelas arahnya

f. Prestasinya rendah

Dari uraian diatas, dapat penulis simpulkan

bahwa ada tiga bentuk pola asuh yaitu pola asuh

otoriter, pola asuh permissive, dan pola asuh

otoritatif atau demokratis. Ternyata pola asuh

otoritatif dinilai paling baik untuk pendidikan

anak dibandingkan dengan pola asuh yang lain.

Hal ini disebabkan pola asuh otoritatif dapat

membentuk anak memiliki hubungan sosial yang

baik.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Baumrind

bahwa pola asuh otoritatif merupakan pola asuh

yang efektif karena memiliki kesimbangan 2

dimensi yang tinggi, artinya pola asuh ini

memungkinkan orangtua bersikap hangat tapi tetap

menjunjung tinggi kemandirian dan menuntut sikap

tanggungjawab anak, menghadapi anak dengan sikap

rasional dan terarah, menawarkan diskusi dengan

anak , menjelaskan masalah disiplin dan membantu

21

anak mencari penyelesaian masalah. Hal tersebut

didukung oleh para peneliti saat ini diantaranya

seperti pendapat Kartner, Slicker dan Gunnoe dan

mereka mengembangkan ide awal tadi dalam fokus

yang bervariasi (Rahayu Fitri, Hernawaty, &

Rakhmawati, 2008).

2. Autisme

2.1 Pengertian Anak autis

Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti

segala sesuatu yang mengarah pada diri

sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme

berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan

sendiri atau dengan kata lain lebih banyak

berorientasi kepada pikiran subyektifnya

sendiri daripada melihat kenyataan atau realita

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu

penderita autisme sering disebut orang yang

hidup di “alamnya” sendiri. Autisme atau

autisme infantil (Early Infantile Autism) pertama kali

dikemukakan oleh Dr . Leo Kanner, seorang

psikiatris Amerika padatahun 1943. Istilah

autisme dipergunakan untuk menunjukkan

suatugejala psikosis pada anak-anak yang unik

22

dan menonjol yang sering disebut Sindrom

Kanner. Ciri yang menonjol pada sindrom

Kannerantara lain ekspresi wajah yang kosong

seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran

dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik

perhatian mereka atau mengajak mereka

berkomunikasi (Puspaningrum, 2010).

2.2 Penyebab Autisme

Sampai sekarang, autisme masih merupakan grey

area di bidang kedokteran yang terus berkembang

dan belum diketahui penyebabnya secara pasti

(Marijani,2003) Autisme disebabkan faktor

bawaan tertentu atau pengalaman yang kurang

mendukung. Misalnya dibesarkan oleh ibu yang

tidak responsif atau pernah mengalami trauma

dengan lingkungan sosialnya (Supraktiknya,

1995). Autisme juga disebabkan oleh

abnormalitas kromosom terutama fragile X. Ada

pengaruh kondisi fisik pada saat hamil dan

melahirkan yang mencakup rubella, sifilis,

fenilketonuria, tuberus, dan sklerosis.

23

Faktor prenatal mencakup infeksi kongenital

seperti Cytomegalovirus dan rubella. Faktor

pasca natal yang berperan mencakup infantile

spasm, epilepsi mioklonik, fenilketonuria,

meningitis dan encefalis (Lumbantobing, 2001)

Ada berbagai sudut pandang menegenai autisme

berdasarkan penelitian dan teori-teori yang

ada.

1. Penelitian awal

Penelitian awal dilakukan oleh Kanner (dalam

Happe, 1994) terhadap 11 anak autistik dan

ditemukan beberapa ciri umum, yaitu: extreme

autistic aloneness, keinginan yang obsesif untuk

mempertahankan kesamaan, kemampuan menghafal

yang luar biasa, dan terbatasnya jenis

aktivitas yang dilakukan secara spontan pada

waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada tahun

1944, Hans Asperger mempublikasikan hasil

penelitiannya tentang ‘autistic psychopathy’ di

Wina. Ia melakukan studi kasus terhadap empat

anak yang menunjukkan kesulitan dalam

interaksi sosial dan hanya memperlihatkan

ekspresi wajah yang terbatas. Ternyata

24

deskripsinya ini mirip dengan yang

dikemukakan oleh Kanner dan keduanya juga

menggunakan istilah autistic untuk menekankan

pada masalah utama anak-anak tersebut, yaitu

kecenderungan menarik diri dari lingkungan

sosial, kesulitan dalam reaksi afektif, minat

yang sempit, dan keterbatasan penggunaan

bahasa secara sosial (Ginanjar, 2007).

2. Autisme sebagai Gejala Psikologis

a. Teori Berpandangan Psikoanalitik

Teori awal yang menjelaskan autisme dari

sudut pandang psikologis adalah teori

Refrigerator Mother. Teori ini dikembangkan

oleh Bruno Bettelheim, yang berpendapat

bahwa autisme disebabkan oleh pengasuhan

ibu yang tidak hangat, sehingga anak-anak

autistik cenderung menarik diri dan

bersibuk diri dengan dunianya (Happe,

1994; Buten, 2004; Stacey,2003). Tokoh

lain yang meneliti anak-anak autistik

adalah Margareth Mahler. Menurutnya, anak-

anak autistik mengalami kerusakan yang

parah pada egonya karena sejak lahir tidak

mampu dan tidak tertarik menjadikan ibu

atau orang-orang lain sebagai patner dalam

25

melakukan eksplorasi terhadap dunia luar

dan dunia dalamnya. Mereka juga mengalami

regresi ke arah tahap kehidupan yang

paling primitif serta menutup diri dari

kehidupan yang menuntut respon-respon

emosional dan sosial.

b. Teori Berpandangan Kognitif

Salah satu teori psikologi mengenai

autisme yang paling terkenal dan bertahan

sampaiM saat ini adalah Theory of Mind (ToM)

yang dikembangkan oleh Simon Baron- Cohen,

Alan Leslie, dan Uta Frith (Jordan, 1999;

Frith, 2003). Berdasarkan pengamatan

terhadap anak-anak autistik, mereka

menetapkan hipotesis bahwa tiga kelompok

gangguan tingkah laku yang tampak pada

mereka (interaksi sosial, komunikasi, dan

imajinasi) disebabkan oleh kerusakan pada

kemampuan dasar manusia untuk “membaca

pikiran”. Pada anak-anak normal, sejak

usia empat tahun umumnya mereka sudah

mengerti bahwa semua orang memiliki

pikiran dan perasaan yang akan mengarahkan

tingkah laku. Sebaliknya, anak-anak

autistik memiliki kesulitan untuk

mengetahui pikiran dan perasaan orang lain

26

yang berakibat mereka tidak mampu

memprediksi tingkah laku orang tersebut.

Kondisi ini oleh Baron-Cohen disebut

“mindblindness”, sementara Frith

menjelaskannya dengan istilah “mentalizing”

(Frith,2003).

c. Teori Berpandangan Neurologis

Adanya inkonsistensi hasil-hasil

eksperimen untuk menguji ToM pada anak-

anak autistik memunculkan teori baru yang

lebih berorientasi pada masalah neurologis

yaitu teori executive functioning (EF). Menurut

Ozonoff (dalam Jordan, 1999; Frith, 2003)

masalah pada anak autistik mungkin

disebabkan oleh kegagalan dalam

melaksanakan tugas atau masalah dalam

melakukan fungsi eksekutif, bukan defisit

kompetensi. Fungsi eksekutif antara lain

adalah kemampuan untuk melakukan sejumlah

tugas secara bersamaan, berpindah-pindah

fokus perhatian, membuatkeputusan tingkat

tinggi, membuat perencanaan masa depan,

dan menghambat respon yang tidak tepat.

27

3. Autisme sebagai Gejala Neurologis

Pada tahun 1964 Bernard Rimland, menerbitkan

buku tentang gangguan susunan saraf pusat

pada anak autistik yang mengubah arah

penelitian tentang penyebab autisme, yaitu

dari penyebab psikologis menjadi penyebab

neurologis. Sejak saat itu mulai dilakukan

penelitian-penelitian pada otak individu

autistik. Berbagai penelitian neurologis yang

terdahulu ternyata tidak memberikan hasil

yang konsisten. Penelitian-penelitian yang

dilakukan oleh Hass dkk. (dalam Huebner &

Lane, 2001) dan Courchesne (dalam Nash, 2002)

menemukan suatu kesamaan yaitu adanya

penurunan jumlah sel Purkinje pada hemisfer

serebelum dan vermis. Penelitian lanjutan

oleh Courchesne dkk. (Courchesne, Redcay,

Morgan, & Kennedy, 2005) menghasilkan

hipotesis baru. Para peneliti berpendapat

bahwa pada saat lahir bayi autistik memiliki

ukuran otak yang normal. Namun setelah

mencapai usia dua atau tiga tahun, ukuran

otak mereka membesar melebihi normal,

terutama pada lobus frontalis dan otak kecil,

28

yang disebabkan oleh pertumbuhan white matter

dan gray matter yang berlebihan. Sementara sel

saraf yang ada lebih sedikit dibandingkan

pada otak normal dan kekuatannya juga lebih

lemah. Kondisi inilah yang tampaknya

berkaitan dengan gangguan pada perkembangan

kognitif, bahasa, emosi dan interaksi sosial.

4. Autisme sebagai Sindrom

Penentuan kriteria diagnosis autisme pada

DSM-III-R (Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorder, edisi revisi ketiga) dan ICD-10

(International Classification of Disease, revisi

kesepuluh) merupakan sumbangan dari survei

epidemiologis yang dilakukan oleh Lorna Wing

dan Judith Gould di daerah Camberwell, London

pada tahun 1970 (Happe, 1994). Tujuan survei

ini adalah untuk menemukan ciri-ciri autisme

yang selalu hadir secara bersamaan, dan bukan

hanya merupakan kebetulan. Hasilnya, Wing

memperkenalkan istilah “spektrum autistik”

dengan triad impairments, yaitu sosialisasi,

komunikasi, dan imajinasi (Frith, 2003;

Sacks, 1995). Wing juga menekankan pada

adanya kontinum autisme yang berkisar antara

29

mereka yang berfungsi tinggi sampai dengan

yang terbelakang.

5.Autisme sebagai Gejala Sensorik

Banyak anak SA yang memiliki gangguan

pengolahan sensorik (sensory processing disorder)

yang dapat muncul dalam tingkah laku

hiperaktif, bermasalah dalam melakukan

gerakan, memiliki tonus otot yang lemah, dan

sulit berkonsentrasi. Gangguan ini

memunculkan sekumpulan simtom yang merupakan

respon aversif terhadap stimulus sensorik

yang sebenarnya tidak berbahaya (McMullen,

2001; Kranowitz, 2003; 2005). Masalah dalam

memproses input sensorik juga menyebabkan

anak SA tidak mampu menyaring input-input

yang tidak relevan sehingga seringkali gagal

dalam mengolah informasi penting dan

cenderung mudah stres dan cemas. Berkaitan

dengan gangguan pengolahan sensorik, Jean

Ayres mengembangkan teori Integrasi Sensorik

(IS) yang mendasarkan pada pemahaman bahwa

sensasi dari lingkungan dicatat dan

diinterpretasikan di otak atau susunan saraf

pusat. Sensasi ini kemudian mempengaruhi

gerakan atau respon motorik yang selanjutnya

30

merupakan umpan balik bagi otak (Rydeen,

2001). Terdapat tiga sistem yang dianggap

paling penting dalam perkembangan ketrampilan

yang kompleks, yaitu vestibular,

proprioseptif, dan taktil. Di samping itu

terdapat pula sistem visual (penglihatan),

auditori (pendengaran), olfaktori (pembau),

dan gustatori (pengecap).

Pada tahun 2004, sekelompok ahli yang

dipimpin oleh Miller memodifikasi teori

Integrasi Sensorik dan mengklasifikasikan

gangguan pengolahan sensorik menjadi tiga

kategori utama:

1. Gangguan Modulasi Sensorik (Sensory Modulation

Disorder)

2. Gangguan Diskriminasi Sensorik (Sensory

Discrimination Disorder)

3. Gangguan Motorik Berbasis Sensorik (Sensory

Based Motor Disorder)

Proses IS terjadi secara otomatis dan tidak

disadari. Pada individu dengan integrasi

sensorik yang baik, otak memiliki kemampuan

untuk mengorganisasi dan memproses input

sensorik serta menggunakan input tersebut

untuk berespon secara tepat pada situasi

khusus. Sebaliknya, pada individu dengan

31

disfungsi sensorik, terjadi gangguan pada

pencatatan dan interpretasi sensorik sehingga

mengakibatkan masalah pada proses belajar,

perkembangan, atau tingkah laku (Kranowitz,

2005).

2.3 Tipe-Tipe Autisme

1. Berdasarkan perilaku

Tipe-tipe autisme berdasarkan perilakunya

dibedakan menjadi:

a. Aloof adalah anak autis yang berusaha

menarik diri dari kontak sosial dengan

orang lain dan lebihsuka menyendiri

b. Passive adalah anak autis yang hanya

menerima kontak sosial tapi tidak berudaha

untuk menanggapinya

c. Active but odd adalah anak autis yang

melakukan pendekatan tapi hanya bersifat

satu sisi saja dan bersifat aneh

2. Berdasarkan tingkat kecerdasan

32

Tipe-tipe autisme berdasarkan tingkat

kecerdasannya dibedakan menjadi :

1. Low functioning (IQ rendah)

Anak autis tipe low functioning tidak

dapat mengenal huruf dan membaca. Tuntutan

yang paling penting adalah kemandirian

yang bersifat basic life skills, misalnya

cara menggunakan sabun, menggosok gigi dan

sebagainya.

2. High functioning (IQ tinggi)

Anak autis tipe high functioning memiliki

komunikasi yang baik, pintar, sangat

senang dan berminat pada satu bidang,

tetapi kurang berinteraksi sosial (tidak

bisa bersosialisasi).

3. Berdasarkan munculnya gangguan

Tipe-tipe autisme berdasarkan munculnya

gangguan dibedakan menjadi:

a.Autisme klasik adalah autisme yang

disebabkan kerusakan saraf sejak lahir.

Kerusakan saraf disebabkan oleh virus

33

rubella (dalam kandungan) atau terkena

logam berat (merkuri dan timbal).

b.Autisme regresif adalah autisme yang

muncul saat anak berusia antara 12-24

bulan. Perkembangan anak sebelumnya

relatif normal, namun setelah usia dua

tahun kemampuan anak menjadi merosot.

2.4 Kriteria Diagnostik Autisme

APA (American Psychiatric Assosiation) telah menetapkan

Kriteria diagnostik gangguan autism dalam DSM-

IV, Mulyadi ( 2011) sebagai berikut:

A.Harus ada sedikitnya gejala dari (1), (2),

dan (3):

1. Gangguan dalam interaksi sosial yang

terwujud dalam minimal dua dari kriteria

berikut:

a. Tampak jelas dalam penggunaan perilaku

nonverbal seperti kontak mata, ekspresi

wajah, bahasa tubuh.

34

b. Kelemahan dalam perkembangan hubungan

dengan anak-anak sebaya sesuai dengan

tahap perkembangan.

c. Kurang melakukan hal-hal atau aktivitas

bersama orang lain secara spontan.

d. Kurangnya timbal balik sosial atau

emosional.

2. Gangguan dalam komunikasi seperti terwujud

dalam mengenal satu dari kriteria berikut:

a. Keterlambatan atau sangat kurangnya

bahasa bicara tanpa upaya untuk

menggantinya dengan geraka non verbal.

b. Pada mereka yang cukup mampu

berbicara, hendaya yang tampak jelas

dalam kemampuan untuk mengawali atau

mempertahankan percakapan dengan orang

lain.

c. Bahasa yang diulang-ulang atau

idiosinkratik.

d. Kurang bermain sesuai tahap

perkembangannya.

35

3. Perilaku atau minat yang diulang-ulang

atau stereotip, terwujud dalam minimal

satu dari kriteria berikut ini:

a. Preokupasi yang tidak normal pada objek

atau aktifitas tertentu.

b. Keterikatan yang kaku pada ritual

tertentu

c. Tingkah laku stereotip

d. Preokupasi yang tidak normal pada

bagian tertentu dari suatu objek.

B. Keterlambatan atau keberfungsian abnormal

dalam minimal satu dari bidang berikut,

berawal sebelum usia 3 tahun: interaksi

sosial, bahasa untuk berkomunikasi dengan

orang lain, atau permainan imajinatif.

C. Gangguan yang tidak dapat dijelaskan sebagai

gangguan Rett atau gangguan disintegratif

dimasa kanak-kanak. Ciri-ciri gangguan

autisme masa kanak-kanak :

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial

yang memadai, seperti kontak mata sangat

kurang, ekspresi muka kurang hidup, dan

gerak-geriknya kurang tertuju.

2. Tidak dapat bermain dengan teman sebaya.

36

3. Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan

orang lain.

4. Kurangnya hubungan sosial dan emosional

yang timbal-balik.

5. Bicara terlambat atau sama sekali tidak

berkembang (tidak ada usaha untuk

mengimbangi komunikasi dengan cara lain

selain bicara).

6. Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai

untuk komunikasi.

7. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan

diulang-ulang.

8. Cara bermain kurang variatif, kurang

imajinatif, dan kurang bisa meniru.

9. Mempertahankan satu permintaan atau

lebih, dengan cara yang khas dan

berlebihan.

10. Terpaku pada satu kegiatan rutin yang

tidak ada gunanya.

11. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan

diulang-ulang.

12. Seringkali sangat terpukau pada benda.

13. Adanya keterlambatan atau gangguan dalam

interaksi sosial, bicara dan berbahasa,

dan cara bermain yang kurang variatif

sebelum umur tiga tahun.

37

14. Tidak disebabkan oleh sindrom Rett atau

gangguan disintegratif masa kanak-kanak.

(Prasetyono, 2008)

2.5 Jenis-Jenis Terapi Autisme

Terapi perlu diberikan untuk membangun kondisi

yang lebih baik. Terapi juga harus rutin

dilakukan agar apa yang menjadi kekurangan anak

dapat terpenuhi secara bertahap. Terapi perlu

diberikan sedini mungkin sebelum anak berusia 5

tahun. Sebab, perkembangan pesat otak anak

umumnya terjadi pada usia sebelum 5 tahun,

puncaknya pada usia 2-3 tahun. Beberapa terapi

yang ditawarkan oleh para ahli adalah sebagai

berikut :

a. Applied Behavioral Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang telah lama

dipakai , telah dilakukan penelitian dan

didisain khusus untuk anak dengan autisme.

Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan

khusus pada anak dengan memberikan positive

reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi

ini bias diukur kemajuannya . Saat ini terapi

38

inilah yang paling banyak dipakai di

Indonesia.

b. Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai

kesulitan dalam bicara dan berbahasa.

Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang ,

namun mereka tidak mampu untuk memakai

bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi

dengan orang lain.

c. Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai

keterlambatan dalam perkembangan motorik

halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka

kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara

yang benar, kesulitan untuk memegang sendok

dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain

sebagainya. Terapi okupasi ini sangat

penting untuk melatih mempergunakan otot-

otot halus anak dengan benar. Pada terapi

okupasi terapis menyediakan waktu dan tempat

secara khusus kepada anak untuk belajar

bagaimana cara yang benar memegang benda

39

d. Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan

pervasif. Banyak diantara individu autistik

mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik

kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek

sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan

tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi

integrasi sensoris akan sangat banyak

menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan

memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

e. Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi

individu autisme adalah dalam bidang

komunikasi dan interaksi . Banyak anak-anak

ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan

berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main

bersama ditempat bermain. Seorang terapis

sosial membantu dengan memberikan fasilitas

pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman

sebaya dan mengajari cara-caranya.

f. Terapi Integrasi Sensori

Anak autis memiliki kekurangan dalam

kemampuan mengolah, mengartikan seluruh

rangsangan sensoris yang diterima oleh tubuh

maupun lingkungan dan menghasilkan respon

40

yang terarah. Terapi integrasi sosial ini

berfungsi meningkatkan kematangan susunana

saraf pusat. Aktivitas terapi ini merangsang

koneksi sinaptik yang lebih kompleks

sehingga dapat meningkatkan kapasitas untuk

belajar.

g. Terapi Bermain

International Association for Play Therapy (APT), sebuah

asosiasi terapi bermain yang berpusat di

Amerika, mendefinisikan terapi bermain

sebagai penggunaan secara sistematik dari

model teoritis untuk memantapkan proses

interpersonal. Terapi bermain ini merupakan

pemanfaatan pola permainan sebagai media

yang efektif melalui kebebasan eksplorasi

dan ekspresi diri. Bermain merupakan bagian

masa kanak-kanak yang merupakan media untuk

memfasilitasi ekspresi bahasa, ketrampilan

komunikasi, perkembangan emosi, keterampilan

sosial, keterampilan pengambilan keputusan

dan perkembangan kognitif pada anak-anak.

Bermain pada anak-anak seperti berbicara

pada orang dewasa.

h. Terapi Perilaku

41

Terapi ini berupaya melakukan perubahan

perilaku pada anak autis, perilaku yang

berlebihan dikurnagi dan perilaku yang

berkekurangan (belum ada) ditambahkan.

Terapi perilaku memfokuskan penanganan pada

pemberian reinforcement positif tiap kali anak

memberikan respon benar sesuai instruksi

yang diberikan. Tetapi bila anak memberikan

respon negatif atau tidak merespon sama

sekali maka anak tersebut tidak mendapatkan

reinforcement postif yang disukai. Tujuan

terapi ini adalah untuk meningkatkan

pemahaman dan kepatuhan anak terhadap

aturan.

i. Terapi Perkembangan

Beberapa terapi perkembangan adalah Floortime,

Son-rise dan RDI (Relationship Developmental

Intervention)

1. Floortime dilakukan oleh orangtua untuk

membantu melakukan interaksi dan

kemampuan bicara

2. RDI mencoba membantu anak autis menjalin

interaksi positif dengan orang lain

meskipun tanpa menggunakan bahasa.

42

3. Son-rise merupakan terapi untuk mempelajari

minat anak, kekuatannya dan tingkat

perkembangannya, kemudian ditingkatkan

kemampuan sosial, emosional dan

Intelektualnya.

j. Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan

melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah

yang kemudian dipakai untuk mengembangkan

metode belajar komunikasi melalui gambar-

gambar, misalnya dengan PECS (Picture Exchange

Communication System). Beberapa video games bisa

juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan

komunikasi.

k. Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok

dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat Autism

Now). Mereka menemukan bahwa gejalagejala

anak ini diperparah oleh adanya gangguan

metabolisme yang akan berdampak pada

gangguan fungsi otak. Oleh karena itu

anakanak ini diperiksa secara intensif,

pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut.

Semua hal abnormal yang ditemukan

dibereskan, sehingga otak menjadi bersih

43

dari gangguan. Ternyata lebih banyak anak

mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi

yang komprehensif, yaitu terapi dari luar

dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).

l. Terapi Musik

Terapi musik adalah terapi menggunakan musik

untuk membantu seseorang dalam fungsi

kognitif, psikologis, fisik, perilaku dan

sosial yang mengalami hambatan maupun

kecacatan.terapi musik memiliki manfaat

sebagai berikut :

1. Memperbaiki self-awareness

2. Meningkatkan hubungan sosial, penyesuaian

diri, lebih mandiri dan peduli dengan

orang lain

3. Mangakomodasi dan membangun gaya

komunikasi

4. Membangun identifikasi dan ekspresi emosi

yang sesuai

m. Terapi Medikamentosa

Terapi ini dilakukan dengan pemberian obat-

obatan oleh dokter yang berwenang. Gejala

yang sebaiknya dihilangkan dengan obat

adalah hiperaktivitas yang hebat, menyakiti

44

diri sendiri, menyakiti orang lain (agresif),

merusak (destruktif) dan gangguan tidur. Sampai

saat ini, tidak ada obat yang dibuat khusus

untuk menyembuhkan autisme. Kebanyakan obat

dipakai untuk menghilangkan gejala dan

gangguan pada susunan saraf pusat. Beberapa

jenis obat memiliki efek yang sangat bagus

untuk menimbulkan respon anak terhadap dunia

luar. Dengan pemakaian obat, intervensi dini

untuk mengobati anak autis akan lebih cepat

berhasil.

n. Terapi Melalui Makanan

Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan

pada anak-anak dengan masalah alergi makanan

tertentu. Terapi ini memberikan solusi tepat

bagi orangtua untuk menyiasati menu yang

cocok dan sesuai bagi anaknya sesuai dengan

petunjuk ahli mengenai gizi makanan. Diet

yang sering dilakukan pada anak autis adalah

GFCF (Glutein Free Casein Free). Penderita autisme

memang tidak disarankan untuk mengasup

makanan dengan kadar gula tinggi. Hal ini

berpengaruh pada sifat hiperaktif sebagian

besar dari mereka.

45

o. Terapi Air (Hydrotherapy)

Berenang adalah latihan yang terbaik untuk

penyandang autisme dan disfungsi integrasi

sensori. Anak-anak pada umumnya menyukai

aktivitas yang dilakukan di dalam air dan

dapat meningkatkan hubungan sosial yang

normal. Integrasi sensori membuat penderita

merasa tertantang untuk mempelajari

aktivitas yang pada mulanya di luar

kemampuan mereka.

p. Terapi Kasih Sayang

Terapi kasih sayang merupakan terapi yang

harus dilakukan oleh setiap keluarga

penderita autisme. Setiap orang tua harus

menyadari bahwa anak adalah anugerah

terindah dari Tuhan, dan orangtua manapun

harus tetap memberikan kasih sayang pada

anak mereka bagaimanapun kondisinya. Puluhan

jam yang dihabiskan untuk berbagai macam

terapi mungkin bisa membantu penyembuhan,

namun lebih dari semua itu kasih sayang dan

cinta yang besar dari orangtua adalah kunci

utama dalam menangani anak autis. Kasih

sayang serta kesabaran ekstra merupakan

pendekatan yang harus selalu ada.

46

3. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka teori

4. Kerangka konsep

Varaibel Independen

Variabel Dependen

Kriteria diagnostik

Faktor penyebab

Autisme

Terapi Otoritat

if

Otoriter

Permisive

Pola asuh

Orangtua

Pola asuh orangtua

Komunikasi anak autis terhadap orang tua

Komunikasi anakautis

47

Gambar 2. Kerangka Konsep

5. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep

tersebut, maka peneliti menggunakan rumus hipotesis

kerja (Ha) dalam penelitian yaitu: Ada hubungan tipe

pola asuh orang tua dengan komunikasi anak autis di

Bandarlampung

48