POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI

30
POLA ASUH KELUARGA HINDU DI DESA GUNUNGSARI KECAMATAN SERIRIT BULELENG Oleh : I Gede Sedana Suci ABSTRAK Family has the function to provide religious education spiritual values, knowledge and basic skills to their children. Good or bad behavior in the next period is determined by the environment when they are get first in the family. Ideal family in accordance with the teachings of the Hindu religion is the family that knowing Hita Sukaya (Sukinah). That is a pretty family clothing, housing, and education is always harmonious. Education to be one of the family forming Hita Sukaya is very appropriate, as embodied in the concept of moral education value. To achieve the goal of a prosperous family, we need a proper upbringing, so kids get good guidance and does not cause trauma. The issues discussed are 1) How Hindu family upbringing for Tattwa concept?. 2) How Hindu family upbringing to the concept of Ethics? and 3) How Hindu family upbringing to the concept Ceremony?. And goal is revealed three aspects. For that the research field, purposive sampling. Basic theory used is Bond Stimulus -Respon learning theory and operant conditioning, Data collection techniques used are observation, interviews and literature. Results of data analyzed by the technique descriptive qualitative. Research results show that Hindus Against Family Parenting Concepts Tattwa, Gunungsari village in instilling values Panca Srada used story a pattern, Pramana Pratyaksa Pattern and Pattern Anumana Pramana. Meanwhile, the family in the village Gunungsari Concept instill ethics in practice, excample Parenting Pattern and Pattern habituation, Authoritarian Parenting and. Families Against ceremony in the village concept Gunungasari use excample Pattern and Pattern habituation. 1

Transcript of POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI

POLA ASUH KELUARGA HINDU DI DESA GUNUNGSARI KECAMATANSERIRIT BULELENG

Oleh : I Gede Sedana Suci

ABSTRAK

Family has the function to provide religious educationspiritual values, knowledge and basic skills to theirchildren. Good or bad behavior in the next period isdetermined by the environment when they are get first in thefamily. Ideal family in accordance with the teachings of theHindu religion is the family that knowing Hita Sukaya(Sukinah). That is a pretty family clothing, housing, andeducation is always harmonious. Education to be one of thefamily forming Hita Sukaya is very appropriate, as embodied inthe concept of moral education value.

To achieve the goal of a prosperous family, we need aproper upbringing, so kids get good guidance and does notcause trauma. The issues discussed are 1) How Hindu familyupbringing for Tattwa concept?. 2) How Hindu familyupbringing to the concept of Ethics? and 3) How Hindu familyupbringing to the concept Ceremony?. And goal is revealedthree aspects. For that the research field, purposivesampling. Basic theory used is Bond Stimulus -Respon learningtheory and operant conditioning, Data collection techniquesused are observation, interviews and literature. Results ofdata analyzed by the technique descriptive qualitative.

Research results show that Hindus Against FamilyParenting Concepts Tattwa, Gunungsari village in instillingvalues Panca Srada used story a pattern, Pramana PratyaksaPattern and Pattern Anumana Pramana. Meanwhile, the family inthe village Gunungsari Concept instill ethics in practice,excample Parenting Pattern and Pattern habituation,Authoritarian Parenting and. Families Against ceremony in thevillage concept Gunungasari use excample Pattern and Patternhabituation.  

1

  Keywords: Parenting, Family Hindu, Tatwa, Ethics, Ceremony.

I. PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan hubungan

dengan sesamanya atau pertemanan yang didasari untuk memenuhi

kebutuhan dan tujuan hidup bersama, dalam wujud bersama yang

disebut masyarakat. Secara umum masyarakat ini disebut

sebagai kumpulan individu-individu atau unit sosial terkecil.

Mahluk hidup salah satunya adalah manusia memerlukan

kebutuhan yaitu rohani dan fisik, dan diantaranya adalah

pemenuhan kebutuhan biologis. Keluarga merupakan masyarakat

paling kecil atau unit sosial yang terkecil yang terdiri dari

suami, istri dan anak-anak yang secara sah diikat dengan adat

atau agama. Pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan

yang merupakan sebagai kebutuhan dasar manusia

Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang menjaga hubungan

antar anggota keluarga sehingga nilai-nilai dapat terjaga dan

terpelihara dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi biologis,

sosialisasi, dan afeksi. Fungsi tersebut tidak akan berubah

atau tergerus oleh jaman (Fadil dann Supriyatno, 2007:119).

Diantara fungsi yang paling menonjol adalah fungsi

sosialisasi atau pendidikan.

Keluarga dalam bidang pendidikan diungkapkan oleh Ki

Hajar Dewantara (dalam Shocib, 1998:10) keluarga merupakan

2

pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Pidarta

(1997:19) menggungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai

pendidikan pertama karena bayi atau anak itu pertama kali

berkenalan dengan lingkungan serta mendapat pembinaan pada

keluarga. Pendidikan pertama ini dianggap penting sebagai

dasar dalam pengembangan-pengembangan berikutnya.

Sesuai dengan fungsinya keluarga mempunyai fungsi untuk

memberikan pendidikan nilai-nilai spritual keagamaan,

pengetahuan dan keterampilan dasar kepada anak-anak yang akan

menjadi landasan bagi pendidikan yang akan diterimanya pada

masa-masa selanjutnya. Pendidikan keluarga menjadi lingkungan

pertama yang memberikan pengaruh kepada anak. Baik ataupun

buruk anak pada masa selanjutnya ditentukan oleh lingkungan

yang mereka peroleh pertama kali yaitu keluarga.

Keluarga yang ideal menurut ajaran Hindu atau keluarga

yang Hita Sukaya ((Sukinah) adalah keluarga yang cukup sandag,

papan, selalu rukun dan berpendidikan. Pendidikan sebagi

salah satu pembentuk keluarga Hita Sukaya sangat tepat dimana

salah satu tujuan Pendidikan Agama Hindu adalah pembentukan

karakater luhur (Swami Satya Narayana) yang tertuang dalam

konsep pendidikan budi pakerti. (Titib,2003:75).

Dengan melihat kondisi saat ini tantangan generasi

kedepannya keluarga akan menjadi pilar utama dalam

pembentukan karakter. Tahapannya dimulai tentunya, dari usia

dini sehingga seseorang mempunyai kebiasaaan yang mantap dan

bijaksana pada usia dewasa dan tua. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa orang yang memiliki karakter dimasyarakat

3

adalah orang tersebut telah mendapatkan pendidikan karakter

di tengah keluarganya.

Permasalahanya sekarang adalah pendidikan nilai yang

sumbernya dari konsep ajaran agama saat ini menghadapai

tantangan yang sangat besar, yaitu perkembangan dan

pergeseran nilai budaya masyarakat. Pergeseran nilai dan

budaya ini dampak dari kemajuan manusia di bidang teknologi,

terutama dibidang komunikasi. Teknologi komunikasi sering

dijadikan alasan atau sebab terjadinya masalah-masalah

pendidikan terutama berkaitan dengan nilai-moral remaja dalam

keluarga melalui tayangan senetron. TV sudah sebagai saran

pemenuhan kebutuhan pokok akan hiburan dan informasi

menyebakan TV sudah pasti ada disetiap rumah dalam keluarga

tersebut dengan berbagai tayangan baik yang bersifat mendidik

maupun tidak. Sepanjang dua puluh empat jam tanpa henti, yang

menyebabkan merubah pola waktu dan juga mempengaruhi sikap

anak-anak dan remaja. Ini diakibatkan oleh dampak iklan yang

ditayangkan terus menerus yang telah melahirkan sikap

konsumerisme dan hedonisme. Selain pengaruh media TV perilaku

menyimpang yang terjadi juga diakibatkan hiburan-hiburan yang

menampilkan pornografi dan fornoaksi, akses internet yang

bebas melalui warung internet semakin mendesak dan

mempersempit peranan pendidikan keluarga.

Salah satu sumber yang dapat memperkuat ketahanan

keluarga adalah ajaran agama Hindu. Dalam ajaran agama Hindu

keluarga tersebut begitu penting hal ini terungkap dalam

Manawadharma Sastra bahwa orang tua harus mendidik anak

4

dengan baik sebab anak yang baik akan menebus dosa-dosa

leluhurnya di akhirat. Selanjutnya di dalam Weda Smerti IX.

96 dinyatakan bahwa:

Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untukmenjadi ayah, laki-laki tersebut diciptakan upacarakeagamaan karena itu ditetapkan dalam Weda untukdilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.

Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa perkawinan

disamping untuk membentuk keluarga yang bahagia, juga

bertujuan untuk menjalankan upacara keagamaan. Sehingga

nampak bahwa didalam pelaksanaanya agama bukan bersifat

formalitas tetapi sudah menjadi sendi-sendi dasar dalam

kehidupan. Untuk itu nilai dan norma yang terkandung dalam

sumber ajaran agama Hindu memerlukan penjelasan yang

konfrenhensif juga diperlukan penelitian yang faktual dan

normatif.

Kerangka dasar agama Hindu ada tiga yaitu Tattwa, Etika

dan Acara, dalam aplikasinya atau penerapannya harus terjadi

keseimbangan, antara ketiga hal tersebut sebab ketiganya satu

kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Tattwa

sebagai inti ajara agama Hindu, Etika pelaksanaan dari ajaran

agama dalam kehidupan sehari-hari dan Acara pengorbanan suci

yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Oleh sebab itu

dalam mendidik keluarga Hindu hendaknya orang tua menanamkan

konsep tri kerangka dasar agama Hindu tersebut dari usia dini

sehingga anak-anak Hindu sudah mempunyai karakter yang kuat

sesuai dengan konsep agamanya.

5

Penelitian ini penting dilakukan karena kondisi keluarga

saat ini disinyalir mulai kehilangan fungsi dan peranannya

termasuk didalam keluarga Hindu, terutama fungsi

sosialisasinya atau kependidikannya (dari mass media, suarat

kabar TV ) apabila dibiarkan akan mendororng lahir keluarga

yang hanya menjadi tempat pemberhentian sementara dari

anggota keluarga. Dampak yang muncul selalu merugikan anak,

sehingga kelihatan bahwa orang tua dalam mendidik anak

seperti tidak ada pola atau melepaskan begitu saja anaknya

tanpa konsep yang jelas keluarga yang kering akan nilai-nilai

dan etika agama yang menyebabkan lahirnya generasi baru yang

apatis dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan beragama hanya

berifat formalitas.

Pemaparan diatas memberi gambaran bahwa secara teoritis

pendidikan pertama dan utama dimulai dari keluarga akan

memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak

selanjutnya didalam kehidupan anak tersebut. Untuk itu

dipandang perlu orang tua mengerti dan memahami bahwa untuk

bisa mempunyai anak yang suputra atau anak yang mempunyai

budi pakerti yang luhur tidak bisa secara serta merta akan

terwujud apabila tanpa memperhatikan pola asuh yang digunakan

untuk menamkan nilai-nilai tersebut.

Dari permasalahan utama di atas, dapat jabarkan ke dalam

beberapa permasalahan yang perlu diketahui yaitu bagaimanakah

pola asuh keluarga Hindu terhadap konsep Tattwa , Etika dan

Acara/Upacara sebagai sumber nilai-nilai pendidikan Hindu.

Dari permasalahan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai

6

dalam penelitian ini adalah secara umum penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan realisasi pola pendidikan

tattwa, etika dan acara secara dini oleh orang tua terhadap

anak-anaknya didalam keluarga yang dilandasi oleh konsep-

konsep ajaran agama Hindu. Lebih dalam lagi penelitian ini

ingin memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana

tiga kerangka dasar agama Hindu Tattwa, Etika dan Acara bisa

laksanakan oleh orang tua melalui pola pendidikan dini untuk

mewujudkan keluarga yang Sukinah (Hita Sukaya).

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang

mengungkapkan secara deskriftif dan relevan dengan tujuan

penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunungsari,

Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, Data atau informasi

yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan teknik

dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi sumber data dilakukan

dengan menbaca buku-buku dan lontar yang ditemukan di toko-

toko buku atau di perpustakaan-perputakaan (pusat

dokumentasi). Wawancara melibatkan warga masyarakat desa

Gunungsari yang memiliki anak-anak kecil. Partisipan tersebut

dipilih setelah terlebih dahulu dilakukan penjajagan terhadap

kesediaan mereka dan memiliki kualifikasi dalam penelitian

ini. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis

interpretatif yang dibantu dengan teknik triangulasi,yaitu

pemeriksaan kesahiahan data dengan membandingkan data yang

diperoleh, bentuk yang dipakai adalah triangulasi metode yaitu

7

melengkapi kekurangan informasi yang diperoleh dengan metode

tertentu dengan mengunakan metode lain (Danim,2002:196).

III TEMUAN HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep tiga

kerangka dasar agama Hindu dalam pelaksanaanya tidak bisa

dipisahkan-pisahkan, sehingga dalam kehidupan prilaku

keagamaan kita sebagai penganut Hindu semestinya selalu

berpedoman dan mampu untuk mengerti dan memahami apa yang

semestinnya dijalankan dalam melaksanakan kehidupan sehari-

hari. Adapun secara umum pola yang ada didalam mendidik anak

atau pengasuhan yang digunakan didalam keluarga adalah

sebagai berikut: (1). Autoritarian: orang tua cenderung

membentuk, mengontrol,dan mengevaluasi sikap dan perilaku

anak dengan menggunakan standar yang absolut dan kaku,

menekankan pada kepatuhan, penghormatan kekuasaan, tradisi,

menjaga keteraturan dan kurang menjalin komunikasi lisan.

Kadang-kadang orang tua menolak kehadiran anak. (2).

Autoritatif: orang tua cenderung mengarahkan anak berpikir

secara rasional, berorientasi pada tindakan atau perbuatan,

mendorong komunikasi lisan, memberi penjelasan atas keinginan

dan tuntutan yang diberikan kepada anak tetapi juga

menggunakan kekuasaan jika diperlukan, mengharapkan anak

untuk menyesuaikan dengan harapan orang tua, tetapi juga

mendorong anak untuk mandiri, menetapkan standar perilaku

anak yang fleksibel. (3). Permisif: orang tua cenderung

bersikap positif terhadap keinginan, sikap dan perilaku anak,

8

sedikit menggunakan hukuman, tidak banyak menuntut anak

terlibat dalam pekerjaan rumah dan tanggung jawab, membiarkan

anak mengatur perilakunya sendiri, menghindari pengontrolan

dan menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan.

Keluarga Hindu di Desa Gunungsari mempergunakan berbagai

pola untuk mensosialiasikan ataupun mnerapkan nilai-nilai

pendidikan agama yang ada seperti hasil berikut ini:

3.1 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Tattwa di Desa

Gunungsari

Konsep Tatwa yang dilaksanakan adalah: 1)Percaya dengan

adanya Tuhan, 2) Percaya dengan adanya Atman, 3) Percaya

dengan adanya Karmaphala, 4) Percaya dengan adanya Punarbawa,

5) Percaya dengan adanya Moksa.

Dalam penelitian ini dapat didokometasikan bahwa konsep-

konsep tatwa yang ditekankan adalah: a). Percaya dengan

adanya Tuhan, adapun caranya adalah keluarga melaksanakan

persembahyangan atau memuja Tuhan karena percaya terhadap

adanya Ida Sanghyang Widhi kepercayaan ini adalah kepercayan

yang diterima secara turun temurun, bahwa mereka percaya

terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri memang ada, dan

penyebab dari semua yang ada ini. Dengan demikian apa yang

diyakini oleh responden tersebut merupakan sesuatu hal yang

wajar sebagaimana tersirat didalam kitab-kitab suci Hindu

yaitu bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu hal yang

paling utama dalam kehidupan ini sebagaimana ditegaskan dalam

Bagawadgita Bab XVIII Sloka 65 yaitu:

9

Manmana bhava madbhakto

Madhyaji mam mamaskuru

Mam evaisyasi satyamkuru

Pratijane priyo’si me

Artinya:

Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah

penyembah-Ku,

Bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,

Pasti engkau datang kepada-Ku, Aku berjanji demikian

Kepadamu, karna engkau angat ku kasihi

(Kadjeng:95:2005)

Sloka tersebut menggambarkan bahwa sembahyang adalah

sesuatu yang wajib semestinya dilaksanakan dilaksanakan oleh

anak atau anggota keluarga sebab ini adalah sabda Tuhan agar

kitab selalu untuk mengingant-Nya, berdoa kepada-Nya dan

datang keapda-Nya. Keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan itu

adalah hal mutlak agar anggota keluarga mereka juga ikut dan

mempunyai peraaan yang sama sebab beragama adalah harus

sesuai dengan rasa kitab. Diungkapkan bahwa bersama keluarga

melaksanakan persembahyangan. dengan membiasakan anaknya

untuk sembahyang pada saat odalan di merajan ataupun dirumah

dilaksanakan dengan mempergunakan canang tangkih secara

bergilir, walaupun dilakukan dengan cara yang sederhana

keluarga ini sudah mencoba untuk memahami bahwa sembahyang

tidak harus dilaksanakan dengan sarana yang megah atau

komplit baru melaksanakan sembahyang melainkan dengan

10

membiasakan anaknya dengan memberi contoh dahulu kemudian

baru menyuruh anaknya untuk melaksanakan hal yang sama

seperti orang tuanya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka

mempergunakan Pola Keteladan tanpa disertai dengan hukuman

atau perintah harus tetapi dengan memberikan contoh terlebih

dahulu dan kemudian dilakukan dengan pembiasaan. Menurut

teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua

faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak

lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan, dari

penjelasan diatas nampak bahwa orang tua membentuk perilaku

anggota keluarganya dengan membentuk lingkungan yang baik

sehingga ditiru oleh anggota keluarganya, hal ini sesuai

dengan Teori Belajar R-S Bond Dimana ketika orang tua

beriteraksi dengan anaknya menginginkan adanya perubahan

perilaku atau terbentuk perilaku, yaitu dengan mempersiapkan

anak dengan hukum kesiapan belajar Hukum latihan, belajar

akan berhasil apabila banyak latihan, dan ulangan artinya

anaknya diuruh untuk mengikuti kegiatan orang tuanya sehingga

lama-lama anggota keluarga tersebut terbiasa dan menjadi pola

perilaku yang tetap.

b) Percaya dengan adanya Atman, keluarga tersebut untuk

memberikan pemahaman terhadap keberadaan atma mempergunakan

PolaCerita secara terus menerus terutama kepada anak-anak

mereka disamping cerita tersebut membuat anak-anak tertarik

orang tua disini sudah menekankan apa sebenarnya arti

11

dibalikCerita tersebut. c) Percaya Dengan Adanya Karmaphala,

Karma phala berarti buah dari perbuatan yang telah dilakukan

atau yang akan dilakukan. Karma phala pada dasarnya akan

memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk

hidup sebab apapun yang kitab perbuat pasti mendaptkan hasil.

Berdasarkan ungkapan-ungkapan informan menyatakan bahwa apa

yang dialami adalah merupakan karma atau perbuatan yang

terdahulu sekarang dipetik buahnya atau akan cepat sekali

menerima perbuatan baik dan buruk tersebut. Untuk memberikan

pemahaman terhadap keluarganya biasanya mengambil kesimpulan,

dari apa yang diterimanya atau memberikan contoh orang lain,

ini artinya keluarga ini menerapkan pola Praktyaksa Pramana

yaitu pengalaman langsung apa yang diterimanya, dan

mempergunakan pola Anumana Pramana dimana melalui analisis

logis dan contoh yang nyata di sekitar lingkungannya. d)

Percaya dengan adanya Punarbawa Kelahiran berulang-ulang atau

Punarbawa, renkarnasi dari bahasa Latin untuk "lahir kembali"

atau "kelahiran semula" atau t(um)itis, merujuk kepada

kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan

kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu

bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini.

Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang

kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil

pebuatannya terdahulu.

Dari hasil wawancara bahwa keluarga di desa Gunungsari

didalam memahami punarbawa ini adalah bahwa ada yang disebut

renkarnasi dengan menyatakan bahwa anak merreka mirib

12

kakeknya atau leluhurnya siapa terdahulu dengan mempergunakan

cerita-cerita. e) percaya dengan adanya Moksa, keluarga di

desa ini menyatakan bahwa mereka mengetahui akan adanya

konsep moksa tetapi mustahil kita bisa menyatu dengan Tuhan

tersebut sebab dengan adanya proses karmaphala yang

memberikan kita hasil terhadap perbuatan yang dilaksanakan,

manusia jaman sekarang pasti sudah kena karma dan harus

kembali lagi ke dunia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanya

sehingga akan lahir berulang-ulang.

Penjelasan tersebut diatas mengidentifikasikan bahwa

keluarga di Desa Gunugsari dalam menerapkan Pola Asuh adalah

dengan mempergunakan beberapa pola didalam menanamkan nilai-

nilai atau aspek-aspek lima kepercayaan dalam agama Hindu

yaitu panca srada seperti mempergunakan 1) Pola Keteladan , 2)

PolaCerita 4) Pola Anumana Pramana dan 5) Pratyaksa Pramana .

3.2 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Etika di Desa

Gunungsari

Etika adalah pedoman manusia didalam berperilaku untuk

menciptakan keharmonisan dalam hidupnya dengan sesama, dalam

Hindu sumber etika Hindu adalah Dharmasastra yang merupakan

sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,

didalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tata susila.

Aspek Tri Kaya Parisudha ini adalah begitu penting untuk

ditanamkan kepada anak-anak sehingga dengan mempergunakan

pola yang tepat maka perilaku anak diharapkan mampu menrapkan

konsep ini dan dibawa sampai dewasa nantinya, yang mulai dari

proses berpikir, berkata dan tentunya dapat dilihat dari

13

perilaku kesahari-hariannya baik itu dilingkungan keluarga,

sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang menilai secara

umum anak tersebut mempunyai etika atau tidak yang tentunya

nantinya membawa juga nama baik bagi keluarga itu sendiri.

Oleh sebab itu keluarga yang baik atau baik tidaknya suatu

keluarga juga ditentukan oleh anak-anaknya, oleh sebab itu

etika anak dibina dengan baik dengan mempergunakan pola asuh

yang benar dan tepat sehingga anak menjadi taat dan patuh

serta melaksanakan apa yang ditanamkan. dalam penelitian pola

asuh keluarga Hindu terhadap konsep Etika di Desa Gunungsari

yang diamati dan di bahas adalah aspek:

a) Wacika (Berkata yang baik dan benar), didalam menamkan

nilai-nilai etika didalam keluarganya seperti apa yang

diungkapkan bahwa keluarga tersebut didalam menanamkan nilai

etika berbicara adalah dengan cara memberikan contoh yang

nyata.

Seperti apa yang terkandung didalam Saracamuscaya ada

sloka yang isinya menunjukan bahwa ada beberapa hal yang

tidak patut muncul dari kata-kata yaitu empat banyaknya yaitu

perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan

memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus

disingkirkan dari perkataan jangan diucapkan, jangan

dipikirkan akan diucapkan (Kadjeng:630). Penjelasan sastra-

sastra agama tersebut dihayati dan dilaksanakan, dalam hal

ini telah disadari betul oleh para orang tua didalam mengasuh

anaknya yaitu dengan menekankan untuk tidak berkata bohong

dengan mempergunakan Pola Keteladanan.

14

b). Tidak Berkata Kasar (Madarwa), Untuk menanamkan sikap

dan tingkah laku yang positif dikalangan anak-anaknya

keluarga dalam hal ini orang tua menekankan untuk tidak

mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang tuanya,

maupun kepada orang lain atau dengan kata lain bisa berkata

dengan manis dan sopan. Dalam pandangan ini orang tua

mengangap anak tersebut langgah atau secara umum dianggap

tidak mempunyai sopan santun bila anak-anak berbicara kasar

ataupun melawan apa yang disampaikan oleh orang tua kepada

anak-anaknya.

Untuk membiasakan hal tersebut orang tua memberikan

contoh untuk tidak berkata keras-keras dengan memberi nasehat

kepada anaknya.

Dalam pustaka suci jelas diunggkapkan bahwa berkata kasar

atau tidak mempunyai sopan santun akan berakibat kepada

keluarga. Seperti yang tersirat didalam pustaka suci

Saracamuscaya ( Kajeng,2003:98) sloka 117:

Dve karmani narah kurvaniha

Loke mhayate,

Abruvan parusam kincidasato

narthayamathe

Artinya:

Ada dua hal yang menyebabkan orang dipujiOrang yang tidak suka berkata kasar,Orang yang tidak suka berbuat yang tidak patutDemikian itulah orang yang dipuji di dunia.

15

Sloka tersebut dengan jelas menyatakan bahwa berkata

kasar, berbuat yang tidak baik adalah hal yang patut untuk

dihindari sebab, hal-hal ini membuat kitab mudah untuk

tersinggung berbicara galak, dan berigas sehingga hal-hal

seperti ini patut untuk di kurangi, dan yang paling penting

adalah kemampuan untuk mengendalikan kemarahaan sehingga

kedamaian di dunia ini akan terwujud.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga didesa

Gunungsari didalam menanamkan nilai-nilai berkata yang baik

dan benar mempergunakan Pola Keteladanan, kemudian juga

mempergunakan Pola dengan pengelolaan secara Kasar dan Tegas,

orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neourotik

menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan

diubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu

antara mereka sendiri dan anak-anak mereka yaitu dengan

memberikan hukuman atau dipukul. Sehingga ini artinya mereka

menerapkan Pola Otoriter dalam pola ini orang tua memiliki

kaidah-kaidah dan peraturan yang kaku dalam mengasuh

anaknya, setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan tidak

pernah ada pujian apabila anak melaksanakan aturan dalam

perilakunya

c) Satya (Kejujuran), Dalam agama Hindu jujur adalah

satu hal yang sangat penting seperti apa yang tercantum dalam

kitab suci agama Hindu Satya yang artinya kebenaran dan

kejujuran adalah sangat membatu dalam kehidupan manusia itu

sendiri bagaimana dengan penanaman nilai kejujuran ini

16

didalam keluarga Hindu di desa Gunungsari, didalam menanamkan

kejujuran melalui pola keteladan orang tua yaitu dengan

memberi contoh otomatis akan diikuti oleh anggota keluarga

yang lain. Artinya sekecil apaun perbuatan yang dilakukan

berkaitan dengan hal-hal yang membuat orang tidak percaya

harus dihindari walaupun didalam kitab suci disebutkan bahwa

dalam beberapa hal boleh kita untuk berbohong tentunya demi

kebaikan.

d)Akroda, Akroda adalah sifat manusia yang memang ada

didalam setiap manusia oleh sebab itu kemarahaan akan

membawa dampak yang kurang bagus pada setiap individu manusia

itu sendiri. Keluarga didesa Gunungsari dari hasil observasi

dan wawancara nampak bahwa belum semua keluarga mampu untuk

mengendalikan atau untuk menjadi orang yang pemarah apalagi

sifat orang tersebut yang tempramental. Untuk bisa menanamkan

nilai agar keluarga bisa mengendalikan amarahnya didalam

keluarga memang sulit tetapi, mereka berusaha untuk menahan

marah yaitu tujuannya anak-anak mereka agar tidak ikut-ikutan

gampang marah. Kalau kita simak didalam kitab Slokantara

kemarahan tersebut sebenarnya adalah suatu keharusan tetapi

harus dikendalikan seperti apa yang diungkapakan didalam

sloka 40 dalam pembahasan Lima Keharusan menyatakan ”Ahimsa

brahamacarya ca Cuddharaharalagagawan Astainyamiti Yama rudrene bhasitah”

kalau diterjemahakan arti bebasnya tidak menyakiti, menguasai

hawa nafsu kesucian, makanan sederhana, tidak mencuri-lima

macam keharusan ini diajukan oleh bhatara rudra. Jelas sekali

17

bahwa tindakan marah pada orang lain sudah tidak sesuai

dengan etika sebab keharmonisan hubungan dengan anggota

masyarakat yang lain akan terganggu

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akroda adalah hal

yang harus ditanamkan kepada anggota keluarga dengan cara

orang tua memberikan contoh kepada anggota keluarganya hal

ini sudah dilakukan oleh orang tua didesa Gunungsari dengan

memberikan contoh pergi, bila ada hal-hal yang menimbulkan

kemarahaan.

e) Apramada, setiap manusia harus melaksanakan kewajiban

atau dharma diri sendiri dari pada mengerjakan tugas orang

lain walaupun tidak sempurna daripada mengerjakan kewajiban

orang lain dengan baik.

Dengan demikian kewajiban harus diketahui oleh setiap

orang sehingga bisa mengerjakan dengan baik, begitu

pentingnya hal ini maka semenjak dini, harus ditanamkan

kesadaran akan kewajiban, bagaimana dengan keluarga di desa

Gunungsari,

Keluarga disini menekankan bahwa didalam menamkan nilai

ingat akan kewajiban ini dilaksanakan dengan pola keteladan

ini dapat dilihat dengan apa yang dia lakukukan terhadap

diri sendirinya yaitu apa yang menjadi profesi atau

pekerjaannya harus dilaksanakan jangan lain-lain. Begitu

juga cara untuk mengingatkan anggota keluarga yang lain

yaitu dengan pola otoriter, yaitu perintah yang tegas karena

membuat pekerjaan rumah adalah kewajiban yang harus

18

dilaksankan oleh seorang murid kalau tidak dilaksanakan akan

kena hukuman atau sangsi.

f) Sura, Keluarga didesa Gunungsari kuatir dengan

adanya anggota keluarga yang suka mabuk-mabukan, sebab anak-

anak muda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan

mabuk-mabukan atau selalu mengkonsumsi minuman keras. terus

bagaimana cara mereka agar anak atau anggota keluarga mereka

tidak terjerumus kedalam pergaulan yang salah. Adapun cara

yang dipakai untuk menghindari anak-anaknya tidak suka

mengkonsumsi minuman keras adalah dengan cara memberikan

hukuman,

Ini menandakan bahwa orang tua sudah punya cara agar

anggota keluarga mereka tidak terjerumus kedalam pergaulan

yang salah. Adapun pola yang digunakan adalah Pola keteladan

dan Pola Otoriter, ini didapat dari apa yang dijelaskan yaitu

orang tua tidak akan melakukan atau mengkonsumsi minuman

keras, dan juga mereka akan menghukum anak mereka bila

ketahuan mengkonsumsi minuman keras. Walaupun pada dasarnya

mereka tetap sayang pada anak-anakanya, seperti apa tercantum

didalam kitab Nitisastra disebutkan, Nordna sih mangeluwihaning

atanaya (Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih sayang

orangtua kepada anaknya). Artinya kasih sayang orang tua

tidak akan pernah luntur walaupun apa yang terjadi, mereka

akan tetap menyayangi anak-anak mereka karena itu walaupun

keras terhadap anak adalah demi kebaikan anak itu sendiri.

19

3.3 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Acara/Upacara di

Desa Gunungsari.

Pada dasarnya atau intinya manusia semenjak lahir telah

membawa hutang yang disebut dengan Tri Rna. Hutang inilah yang

mendasarinya timbulnya yadnya atau pengorbanan suci yang

tulus iklas tersebut sebagai ungkapan terima kasih.

Demikian pula dengan keadaan masyarakat desa Gunungsari

sediri didalam kegiatan aktivitasnya lebih banyak berhubungan

dengan kepercayaan yang dianutnya yaitu agama Hindu. Maka

aspek panca yadnya tersebut tiap keluarga pasti

melaksanakannya.

Dalam penelitian ini rumusan Panca Yadnya yang dirujuk

adalah Panca Yadnya yang diuraikan dalam Lontar Agastya Parwa.

(dalam Wiana,2000:52) yang rinciannya sebagai berikut:

a. Dewa Yadnya, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian

kepada Dewa Siwa, Agni di tempat pemujaan dewa.

b. Rsi Yadnya, yaitu menghormati pendeta dan membaca-baca

kitab suci.

c. Pitra Yadnya, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam

Siwa.

d. Butha Yadnya, yaitu menyejahterakan tumbuh-tumbuhan dan

menyelenggarakan upacara tawur dan Panca Wali Krama.

e. Manusa Yadnya, yaitu memberi makanan kepada masyarakat.

Pelaksanaan Panca Yadnya yang terkecil yang dapat

dilakukan setiap hari adalah melakukan Yadnya Sesa setelah

20

selesai masak. Habis masak makanan terlebih dahulu

dipersembahkan kepada Tuhan. Sisa persembahan itulah yang

kitab makan. Makanan itu adalah makanan yang telah mendapat

anugerah Tuhan. Karena itu makanan yang dimakan setelah

dipersembahkan disebut prasadam. Prasadam dalam bahasa Sanskerta

artinya anugerah. Sesuai dengan observasi nampak bahwa

beberapa hal seperti:

a) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Dewa Yadnya, Pola

asuh terhadap pelaksanaan konsep Dewa yadnya orang tua di

desa Gunungari sebenarnya sudah dilaksanakan dengan baik

seperti menyadari sebagai umat Hindu melaksanakan upacara

adalah suatu kewajiban. Dan dinyatakan juga bahwa orang Bali

sebagi orang yang berumat Hindu sesuai dengan kebudayaan Bali

wajib melaksanakan yadnya khsususnya persembahan kepada Tuhan

dengan jalan menghaturkan apa yang di buat sebagai ungkapan

terima kasih, tetapi masyarakat belum memahami apa yang

sebenarnya arti atau makna itu semua yang dilakukan.

Berdasarkan beberapa kitab suci dengan jelas memaparkan

bahwa kitab harus melaksanakan yadnya sesa sebagai bentuk

terkecil dari yadnya itu sendiri seperti terungakap di dalam

(Bagawadgita,III.13) ”Yajna-sistasinah santo mucyante sava-kilbisaih,

bhujante te tv agham papa ye pacanty atma-karanat. Yang mempunyai arti

yaitu, Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala

dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri,

sesungguhnya makan dosa.

21

Maksud dari sloka tersebut adalah bahwa apa yang kitab

sajikan kepada para dewa yang memberi kitab semuanya, apabila

kitab menyantapnya artinya dianggap telah bebesa dari segala

dosa dan kesalahan. Dalam konteks ini orang yang memasak nasi

hanya untuk dirinya sendiri tanpa ngejot itulah disebut dosa

atau bersalah. Bahwa hakekatnya yadnya adalah korban kepada

Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah

diberikan kepadanya dan sesuai dengan apa yang tertuang

didalam kitab-kitab suci Hindu. Adapun pola yang digunakan

untuk kegiatan tersebut adalah dengan menggunakan Pola

keteladan yaitu dengan memberikan contoh kepada anak-anaknya

atau anggota keluarga yang lain, sehingga pola pembiasaan ini

akan dikuti dan menjadi kebiasaan dianggota keluarga

tersebut. Artinya sesuai dengan teori R-S Bond dimana orang

tua melakukan pembiasaan kemudian diberikan penguatan

sehingga stimulus tersebut direspon dengan baik oleh anak-

anaknya.

b) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Rsi Yadnya,

Menurut rumusan dalam kitab suci, Rsi Yadnya itu adalah

menghormati dan memuja rsi atau pendeta. Dalam kegiatan

upacara, beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Hindu di

Bali menyebutkan upacara madiksa digolongkan ke dalam upacara

Rsi Yadnya. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Rsi Yadnya

ngaranya kapujan ring pandeta muang sang wruh ring kalingganing dadi wang.

Artinya: Rsi Yadnya adalah berbakti pada pendeta dan pada

orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Kemudian kalau

22

kitab lihat konsep Hindu seperti upacara Rsi Bojana yaitu

upacara penghormatan kepada sulinggih atau pendeta dalam

bentuk menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat

terhormat sudah terlaksana dengan baik (observasi dalam

kegiatan upacara yang melibatkan sulinggih).

Dengan demikian tidak ada upacara khusus yang

dilaksanakan didesa Gunugsari tetapi melayani pendeta pada

saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yadnya sudah

dilaksanakan. Ungkapan ini disampaikan oleh hampir semua

responden bila diajukan pertanyaan yang sama artinya disini

peran orang tua atau yang dituakan sangat besar karena

biasanya anak-anak muda takut tidak bisa matur sama

sulinggih.

Kalau kitab simpulkan dari pernyataan diatas nampak bahwa

orang tua sudah memberikan pola asuh dengan pembiasaan dengan

mengikutkan segala kegiatan rsi yadnya yaitu dengan melakukan

pendampingan dengan harapan nanti anak-anaknya bisa mengikuti

kebiasaan tersebut artinya pola keteladannya sudah

dilaksanakan. Dengan hukum belajar pembiasaan yang berulang-

ulang sehingga tiba pada waktunya nanti bisa mengantikan

peran orang tuanya.

c) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Pitra Yadnya,

Pitra yadnya secara umum dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali

adalah Ngaben, Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan

memuja leluhur. Pada dasarnya ngaben adalah bentuk

penghormatan orang yang masih hidup terhadap orang tua kita

yang sudah meninggal, ini dapat dilihat dari kata, Katapitra

23

bersinonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian

yang lebih luas yaitu orang tua.

Keluarga di desa Gunungsari dalam menjalankan fungsi ini

dilakukan dengan cara mengajak anak-anaknya terlibat didalam

kegiatan ngaben tersebut (hasil observasi) dan mereka

melaksanakan upacara pitra yadnya atau ngaben adalah salah

satu bentuk penghormatan mereka terhadap orang tua mereka

yang sudah meninggal dengan menekankan untuk mendapatkan

tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka.

Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut terhadap aspek

pitra yadnya ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan

hal-hal yang mengurangi rasa hormat atau perhatian generasi

berikutnya makin berkurang didalam melaksankan upacara

tersebut. Disimpulkan juga bahwa para keluarga tersebut

didalam menjelaskan tentang apa itu upacara ngaben memang

susah tetapi mereka menjalakan dengan Pola keteladan dan

Pembiasaan sehingga anak-anak mereka mampu untuk memahami

apa yang ada dalam konsep atau aspek pitra yadnya tersebut.

Adapun cara tersebut dilaksanakan oleh orang tua juga

berdasarkan rasa hormat dan bakti mereka yang tulus iklas

dalam memberikan penghormatan terhadap arwah orang tua

mereka sehingga pada dasarnya kita harus hormat kepada orang

tua yang masih hidup maupun sudah meninggal.

d). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Butha Yadnya,

Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia Butha

Kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat

24

mengganggu kehidupan manusia. Butha Yadnya pada hakikatnya

bertujuan untuk mewujudkan Butha Kala menjadi Butha Hita seperti

disebutkan dalam Sarasamuccaya 135. Butha Hita artinya

mensejahterakan dan melestarikan alam Ymgkungan (Sarwapram).

Upacara Butha Yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia atau

mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar

tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diha-

rapkan membantu umat manusia. Bentuk upacara Bhuta Yadnya itu

antara lain segehan, caru sampai dengan tawur. Segehan terdiri dari

lima belas jenis.

Dilihat dari penjelasan konsep butha yadnya tersebut

nampak bahwa semua yang ada dialam ini patut kita hormati,

dengan demikian setiap keluarga semsetinya memahami apa yang

harus dilakukan dalam kehidupan ini. Bagaimana dengan

keluarga di desa Gunungsari, terhadap aspek ini menyatakan

bahwa mecaru itu adalah cenderung sebagai upacara nyomia atau

mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif menjadi

positif. Sedang arti sebenarnya Bhuta Yadnya adalah

memelihara kesejahteraan alam, untuk mengenalkan cara-cara

melaksanakan kegiatan caru itu juga dilakukan dengan memberi

contoh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua di

desa Gunungsari dalam mengenalkan aspek pitra yadnya sudah

25

dipahami dengan baik dan menanamkan nilai-nilai tersebut

dengan cara Pola Pembiasaan dan Keteladan.

e). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Manusa Yadnya,

Dalam rumusan kitab suci Weda dan kitab-kitab sastra Hindu,

Manusa Yadnya atau Nara Yadnya itu adalah memberi makan pada

masyarakat (maweh apangan ring kramari) dan melayani tamu dalam

upacara (athiti puja). Upacara manusa yadnya adalah jenis

upacara yang paling sering dilaksanakan mulai dari dalam

kandungan sampai mereka melaksanakan upacara pernikahan.

Untuk itu bagaimana keluarga Hindu di desa Gunungari

menanamkan nilai-nilai ini terhadap keluarganya bahwa

aktivitas dari panca yadnya tersebut lebih dominan dalam

bidang manusia yadnya, aspek upacara manusa yadnya

dilaksanakan atau pola asuh yang dilaksanakan terhadap

keluarga mereka adalah dengan Pola Pembiasaan dan Keteladan

ini dapat kita ketahui yaitu dengan apa yang diketahui oleh

anak-anak mereka adalah hasil mereka melihat apa yang

dilaksanakan oleh orang tua mereka sebelumnya.

IV. Penutup

26

Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang ada maka

dengan dapat disimpulkan bahwa keluarga di desa Gunungsari

didalam menerapkan pola asuh terhadap anggota keluarganya

terhadap aspek-aspek tatwa, etika dan upacara adalah

mempergunakan berbagai pola seperti 1) terhadap konsep tattwa

ditanamkan dengan mempergunakan Pola Cerita, Pola Keteladan

dan Pola Pratyaksa Pramana, dan Pola Anumana Pramana. 2)

terhadap konsep etika ditanamkan dengan mempergunakan Pola

Asuh Keteladan, Pola Pembiasaan dan Pola Otoriter, 3)

terhadap konsep Upacara mempergunakan Pola Keteladan, dan

Pola Pembiasaan.

Dengan demikian dapat disarankan kepada: 1) anggota

keluarga didalam menerapkan pola asuh , hendaknya

mempergunakan berbagai pola yang ada baik itu pola yang ada

didalam agama Hindu maupun pola-pola yang ada didalam dunia

pendidikan barat. Kepada umat Hindu secara umum hendaknya

lebih banyak mendalami konsep-konsep yang ada didalam agama

sehingga bisa melakukan pendekatan-pendekatan pola asuh yang

lebih bernilai agama Hindu. 2) kepada lembaga yang berkaitan

dengan keluarga khususnya Hindu hendaknya lebih banyak

meningkatkan bimbingan atau penyuluhan kepada masyarakat-

masyarakat terutama masyarakat pedesaan sehingga mereka lebih

memahami didalam mendidik keluarga mereka

27

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernad. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta:

Kanisius.

Atmaja.2003. Perempatan Agung (Catuspata) menguak Konsepsi Palemahan,

Ruang dan Waktu Masyarakat Bali. Denpasar: Bali Media

Adhikarsa.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bhartihari. 2005. Niti Sataka (100 Sloka Tentang Etika dan Moralitas).

Denpasar: Empat Warna Komunikasi.

Budha,Gauatama Wayan. 2003. Tutur Lebur Gangsa (Terjemahan Lontar).

Surabaya: Paramita.

C. Fracassi, dan P. Urbani. 2000. Wejanggan Bhagawan Sri Satya Sai

Baba (Mendidik Anak Suputra Dalam Keluarga). Surabaya:

Paramitha.

Dantes, Nyoman.1999. Teori-Teori Belajar, Teori-teori Intruksional dan Model

Pembelajaran, Makalah Seminar disajikan dihadapan Dosen

JIP STKIP Singaraja pada tanggal 6 Pebruari 1999.

Darmayasa, I Made.1995. Canakya Niti Sastra. Denpasar: Yayasan

Dharma Narada.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak

Dalam Keluarga (Sebuah Persepektif Pendidikan Islam).

Jakarta: Rineka Cipta.

28

Donder, I Ketut. 2004. Sisya Sista (Pedoman Menjadi Siswa Mulia

Dalam Perspektif Relegiososiolenguistik Edukatif).

Denpasar: Pustaka Bali Post.

Dekdibud,.1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta Balai

Pustaka

Jendra, I Wayan. 2006. Berbicara Dalam Sastra Hindu (Tinjauan

Relegiososiolenguistik Filosofis). Denpasar: Empat Warna

Komunikasi.

Kadjeng, I Nyoman dkk. 1997. Saracamucaya.Surabaya: Paramita

Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian

Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mimbeng, I Gede. 1997.Kakawin Nitisastra dan Putra Sasana, Kecamatan

Cakranegara, Kodya Mataram: Pesantian Sanatagita.

Moleong. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Pudja, IG, dan Tjok. Rai Sudharta. 1976. Manawa Dharmacastra

(Manu Dharmacastra). Jakarta: Departemen Agama R.I

Pudja. IG. 2003. Bhagawandgita (Pancama Weda). Jakarta: Pustaka

Mitra Jaya.

Shocib,Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak

Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono.2004. Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal

Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Jakarta

29

Su’adah.2005. Sosiologi Keluarga. Malang:UMM .

Subagiasta, I Ketut.2007.Susastra Hindu. Surabaya: Paramita.

Sudarsana.I.B. Putu 1998. Ajaran Agama Hindu (Budi Pakerti)

Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Suhardana,K.M.2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu

(Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku),Surabaya:

Paramita.

Tantra, Dewa Komang.2003.Penelitian Kualitatif, Disampaikan dalam

Penataran Metodelogi Penelitian Bagi Dosen di Lingkungan

Universitas Flores, Yofertif pada tanggal 5 s.d 9

Agustus di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Titib, I Made.2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pakerti

Pada Anak (Persefektif Agama Hindu). Bandung: Ganeca

Exact Bandung.

----------------,1997. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga (Menurut

Kitab Suci Veda). Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut.1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan,

Pengantar Made Titib. Denpasar: Manikgeni.

Yatim, Irwanto.1991. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarata:Arcan

Tentang Penulis: I Gede Sedana Suci, adalah Dosen tetap

pada Fakultas Dharma Acarya.

30