DESAIN AKTIVITAS PEMBELAJARAN UNTUK MENGEMBANGKAN KECERDASAN LOGIK-MATEMATIS ANAK USIA DINI
POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI
Transcript of POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI
POLA ASUH KELUARGA HINDU DI DESA GUNUNGSARI KECAMATANSERIRIT BULELENG
Oleh : I Gede Sedana Suci
ABSTRAK
Family has the function to provide religious educationspiritual values, knowledge and basic skills to theirchildren. Good or bad behavior in the next period isdetermined by the environment when they are get first in thefamily. Ideal family in accordance with the teachings of theHindu religion is the family that knowing Hita Sukaya(Sukinah). That is a pretty family clothing, housing, andeducation is always harmonious. Education to be one of thefamily forming Hita Sukaya is very appropriate, as embodied inthe concept of moral education value.
To achieve the goal of a prosperous family, we need aproper upbringing, so kids get good guidance and does notcause trauma. The issues discussed are 1) How Hindu familyupbringing for Tattwa concept?. 2) How Hindu familyupbringing to the concept of Ethics? and 3) How Hindu familyupbringing to the concept Ceremony?. And goal is revealedthree aspects. For that the research field, purposivesampling. Basic theory used is Bond Stimulus -Respon learningtheory and operant conditioning, Data collection techniquesused are observation, interviews and literature. Results ofdata analyzed by the technique descriptive qualitative.
Research results show that Hindus Against FamilyParenting Concepts Tattwa, Gunungsari village in instillingvalues Panca Srada used story a pattern, Pramana PratyaksaPattern and Pattern Anumana Pramana. Meanwhile, the family inthe village Gunungsari Concept instill ethics in practice,excample Parenting Pattern and Pattern habituation,Authoritarian Parenting and. Families Against ceremony in thevillage concept Gunungasari use excample Pattern and Patternhabituation.
1
Keywords: Parenting, Family Hindu, Tatwa, Ethics, Ceremony.
I. PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan hubungan
dengan sesamanya atau pertemanan yang didasari untuk memenuhi
kebutuhan dan tujuan hidup bersama, dalam wujud bersama yang
disebut masyarakat. Secara umum masyarakat ini disebut
sebagai kumpulan individu-individu atau unit sosial terkecil.
Mahluk hidup salah satunya adalah manusia memerlukan
kebutuhan yaitu rohani dan fisik, dan diantaranya adalah
pemenuhan kebutuhan biologis. Keluarga merupakan masyarakat
paling kecil atau unit sosial yang terkecil yang terdiri dari
suami, istri dan anak-anak yang secara sah diikat dengan adat
atau agama. Pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan
yang merupakan sebagai kebutuhan dasar manusia
Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang menjaga hubungan
antar anggota keluarga sehingga nilai-nilai dapat terjaga dan
terpelihara dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi biologis,
sosialisasi, dan afeksi. Fungsi tersebut tidak akan berubah
atau tergerus oleh jaman (Fadil dann Supriyatno, 2007:119).
Diantara fungsi yang paling menonjol adalah fungsi
sosialisasi atau pendidikan.
Keluarga dalam bidang pendidikan diungkapkan oleh Ki
Hajar Dewantara (dalam Shocib, 1998:10) keluarga merupakan
2
pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Pidarta
(1997:19) menggungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai
pendidikan pertama karena bayi atau anak itu pertama kali
berkenalan dengan lingkungan serta mendapat pembinaan pada
keluarga. Pendidikan pertama ini dianggap penting sebagai
dasar dalam pengembangan-pengembangan berikutnya.
Sesuai dengan fungsinya keluarga mempunyai fungsi untuk
memberikan pendidikan nilai-nilai spritual keagamaan,
pengetahuan dan keterampilan dasar kepada anak-anak yang akan
menjadi landasan bagi pendidikan yang akan diterimanya pada
masa-masa selanjutnya. Pendidikan keluarga menjadi lingkungan
pertama yang memberikan pengaruh kepada anak. Baik ataupun
buruk anak pada masa selanjutnya ditentukan oleh lingkungan
yang mereka peroleh pertama kali yaitu keluarga.
Keluarga yang ideal menurut ajaran Hindu atau keluarga
yang Hita Sukaya ((Sukinah) adalah keluarga yang cukup sandag,
papan, selalu rukun dan berpendidikan. Pendidikan sebagi
salah satu pembentuk keluarga Hita Sukaya sangat tepat dimana
salah satu tujuan Pendidikan Agama Hindu adalah pembentukan
karakater luhur (Swami Satya Narayana) yang tertuang dalam
konsep pendidikan budi pakerti. (Titib,2003:75).
Dengan melihat kondisi saat ini tantangan generasi
kedepannya keluarga akan menjadi pilar utama dalam
pembentukan karakter. Tahapannya dimulai tentunya, dari usia
dini sehingga seseorang mempunyai kebiasaaan yang mantap dan
bijaksana pada usia dewasa dan tua. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa orang yang memiliki karakter dimasyarakat
3
adalah orang tersebut telah mendapatkan pendidikan karakter
di tengah keluarganya.
Permasalahanya sekarang adalah pendidikan nilai yang
sumbernya dari konsep ajaran agama saat ini menghadapai
tantangan yang sangat besar, yaitu perkembangan dan
pergeseran nilai budaya masyarakat. Pergeseran nilai dan
budaya ini dampak dari kemajuan manusia di bidang teknologi,
terutama dibidang komunikasi. Teknologi komunikasi sering
dijadikan alasan atau sebab terjadinya masalah-masalah
pendidikan terutama berkaitan dengan nilai-moral remaja dalam
keluarga melalui tayangan senetron. TV sudah sebagai saran
pemenuhan kebutuhan pokok akan hiburan dan informasi
menyebakan TV sudah pasti ada disetiap rumah dalam keluarga
tersebut dengan berbagai tayangan baik yang bersifat mendidik
maupun tidak. Sepanjang dua puluh empat jam tanpa henti, yang
menyebabkan merubah pola waktu dan juga mempengaruhi sikap
anak-anak dan remaja. Ini diakibatkan oleh dampak iklan yang
ditayangkan terus menerus yang telah melahirkan sikap
konsumerisme dan hedonisme. Selain pengaruh media TV perilaku
menyimpang yang terjadi juga diakibatkan hiburan-hiburan yang
menampilkan pornografi dan fornoaksi, akses internet yang
bebas melalui warung internet semakin mendesak dan
mempersempit peranan pendidikan keluarga.
Salah satu sumber yang dapat memperkuat ketahanan
keluarga adalah ajaran agama Hindu. Dalam ajaran agama Hindu
keluarga tersebut begitu penting hal ini terungkap dalam
Manawadharma Sastra bahwa orang tua harus mendidik anak
4
dengan baik sebab anak yang baik akan menebus dosa-dosa
leluhurnya di akhirat. Selanjutnya di dalam Weda Smerti IX.
96 dinyatakan bahwa:
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untukmenjadi ayah, laki-laki tersebut diciptakan upacarakeagamaan karena itu ditetapkan dalam Weda untukdilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.
Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa perkawinan
disamping untuk membentuk keluarga yang bahagia, juga
bertujuan untuk menjalankan upacara keagamaan. Sehingga
nampak bahwa didalam pelaksanaanya agama bukan bersifat
formalitas tetapi sudah menjadi sendi-sendi dasar dalam
kehidupan. Untuk itu nilai dan norma yang terkandung dalam
sumber ajaran agama Hindu memerlukan penjelasan yang
konfrenhensif juga diperlukan penelitian yang faktual dan
normatif.
Kerangka dasar agama Hindu ada tiga yaitu Tattwa, Etika
dan Acara, dalam aplikasinya atau penerapannya harus terjadi
keseimbangan, antara ketiga hal tersebut sebab ketiganya satu
kesatuan yang utuh, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Tattwa
sebagai inti ajara agama Hindu, Etika pelaksanaan dari ajaran
agama dalam kehidupan sehari-hari dan Acara pengorbanan suci
yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Oleh sebab itu
dalam mendidik keluarga Hindu hendaknya orang tua menanamkan
konsep tri kerangka dasar agama Hindu tersebut dari usia dini
sehingga anak-anak Hindu sudah mempunyai karakter yang kuat
sesuai dengan konsep agamanya.
5
Penelitian ini penting dilakukan karena kondisi keluarga
saat ini disinyalir mulai kehilangan fungsi dan peranannya
termasuk didalam keluarga Hindu, terutama fungsi
sosialisasinya atau kependidikannya (dari mass media, suarat
kabar TV ) apabila dibiarkan akan mendororng lahir keluarga
yang hanya menjadi tempat pemberhentian sementara dari
anggota keluarga. Dampak yang muncul selalu merugikan anak,
sehingga kelihatan bahwa orang tua dalam mendidik anak
seperti tidak ada pola atau melepaskan begitu saja anaknya
tanpa konsep yang jelas keluarga yang kering akan nilai-nilai
dan etika agama yang menyebabkan lahirnya generasi baru yang
apatis dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan beragama hanya
berifat formalitas.
Pemaparan diatas memberi gambaran bahwa secara teoritis
pendidikan pertama dan utama dimulai dari keluarga akan
memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak
selanjutnya didalam kehidupan anak tersebut. Untuk itu
dipandang perlu orang tua mengerti dan memahami bahwa untuk
bisa mempunyai anak yang suputra atau anak yang mempunyai
budi pakerti yang luhur tidak bisa secara serta merta akan
terwujud apabila tanpa memperhatikan pola asuh yang digunakan
untuk menamkan nilai-nilai tersebut.
Dari permasalahan utama di atas, dapat jabarkan ke dalam
beberapa permasalahan yang perlu diketahui yaitu bagaimanakah
pola asuh keluarga Hindu terhadap konsep Tattwa , Etika dan
Acara/Upacara sebagai sumber nilai-nilai pendidikan Hindu.
Dari permasalahan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai
6
dalam penelitian ini adalah secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan realisasi pola pendidikan
tattwa, etika dan acara secara dini oleh orang tua terhadap
anak-anaknya didalam keluarga yang dilandasi oleh konsep-
konsep ajaran agama Hindu. Lebih dalam lagi penelitian ini
ingin memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana
tiga kerangka dasar agama Hindu Tattwa, Etika dan Acara bisa
laksanakan oleh orang tua melalui pola pendidikan dini untuk
mewujudkan keluarga yang Sukinah (Hita Sukaya).
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
mengungkapkan secara deskriftif dan relevan dengan tujuan
penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunungsari,
Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, Data atau informasi
yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan teknik
dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi sumber data dilakukan
dengan menbaca buku-buku dan lontar yang ditemukan di toko-
toko buku atau di perpustakaan-perputakaan (pusat
dokumentasi). Wawancara melibatkan warga masyarakat desa
Gunungsari yang memiliki anak-anak kecil. Partisipan tersebut
dipilih setelah terlebih dahulu dilakukan penjajagan terhadap
kesediaan mereka dan memiliki kualifikasi dalam penelitian
ini. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis
interpretatif yang dibantu dengan teknik triangulasi,yaitu
pemeriksaan kesahiahan data dengan membandingkan data yang
diperoleh, bentuk yang dipakai adalah triangulasi metode yaitu
7
melengkapi kekurangan informasi yang diperoleh dengan metode
tertentu dengan mengunakan metode lain (Danim,2002:196).
III TEMUAN HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep tiga
kerangka dasar agama Hindu dalam pelaksanaanya tidak bisa
dipisahkan-pisahkan, sehingga dalam kehidupan prilaku
keagamaan kita sebagai penganut Hindu semestinya selalu
berpedoman dan mampu untuk mengerti dan memahami apa yang
semestinnya dijalankan dalam melaksanakan kehidupan sehari-
hari. Adapun secara umum pola yang ada didalam mendidik anak
atau pengasuhan yang digunakan didalam keluarga adalah
sebagai berikut: (1). Autoritarian: orang tua cenderung
membentuk, mengontrol,dan mengevaluasi sikap dan perilaku
anak dengan menggunakan standar yang absolut dan kaku,
menekankan pada kepatuhan, penghormatan kekuasaan, tradisi,
menjaga keteraturan dan kurang menjalin komunikasi lisan.
Kadang-kadang orang tua menolak kehadiran anak. (2).
Autoritatif: orang tua cenderung mengarahkan anak berpikir
secara rasional, berorientasi pada tindakan atau perbuatan,
mendorong komunikasi lisan, memberi penjelasan atas keinginan
dan tuntutan yang diberikan kepada anak tetapi juga
menggunakan kekuasaan jika diperlukan, mengharapkan anak
untuk menyesuaikan dengan harapan orang tua, tetapi juga
mendorong anak untuk mandiri, menetapkan standar perilaku
anak yang fleksibel. (3). Permisif: orang tua cenderung
bersikap positif terhadap keinginan, sikap dan perilaku anak,
8
sedikit menggunakan hukuman, tidak banyak menuntut anak
terlibat dalam pekerjaan rumah dan tanggung jawab, membiarkan
anak mengatur perilakunya sendiri, menghindari pengontrolan
dan menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan.
Keluarga Hindu di Desa Gunungsari mempergunakan berbagai
pola untuk mensosialiasikan ataupun mnerapkan nilai-nilai
pendidikan agama yang ada seperti hasil berikut ini:
3.1 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Tattwa di Desa
Gunungsari
Konsep Tatwa yang dilaksanakan adalah: 1)Percaya dengan
adanya Tuhan, 2) Percaya dengan adanya Atman, 3) Percaya
dengan adanya Karmaphala, 4) Percaya dengan adanya Punarbawa,
5) Percaya dengan adanya Moksa.
Dalam penelitian ini dapat didokometasikan bahwa konsep-
konsep tatwa yang ditekankan adalah: a). Percaya dengan
adanya Tuhan, adapun caranya adalah keluarga melaksanakan
persembahyangan atau memuja Tuhan karena percaya terhadap
adanya Ida Sanghyang Widhi kepercayaan ini adalah kepercayan
yang diterima secara turun temurun, bahwa mereka percaya
terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri memang ada, dan
penyebab dari semua yang ada ini. Dengan demikian apa yang
diyakini oleh responden tersebut merupakan sesuatu hal yang
wajar sebagaimana tersirat didalam kitab-kitab suci Hindu
yaitu bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu hal yang
paling utama dalam kehidupan ini sebagaimana ditegaskan dalam
Bagawadgita Bab XVIII Sloka 65 yaitu:
9
Manmana bhava madbhakto
Madhyaji mam mamaskuru
Mam evaisyasi satyamkuru
Pratijane priyo’si me
Artinya:
Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah
penyembah-Ku,
Bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian,
Pasti engkau datang kepada-Ku, Aku berjanji demikian
Kepadamu, karna engkau angat ku kasihi
(Kadjeng:95:2005)
Sloka tersebut menggambarkan bahwa sembahyang adalah
sesuatu yang wajib semestinya dilaksanakan dilaksanakan oleh
anak atau anggota keluarga sebab ini adalah sabda Tuhan agar
kitab selalu untuk mengingant-Nya, berdoa kepada-Nya dan
datang keapda-Nya. Keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan itu
adalah hal mutlak agar anggota keluarga mereka juga ikut dan
mempunyai peraaan yang sama sebab beragama adalah harus
sesuai dengan rasa kitab. Diungkapkan bahwa bersama keluarga
melaksanakan persembahyangan. dengan membiasakan anaknya
untuk sembahyang pada saat odalan di merajan ataupun dirumah
dilaksanakan dengan mempergunakan canang tangkih secara
bergilir, walaupun dilakukan dengan cara yang sederhana
keluarga ini sudah mencoba untuk memahami bahwa sembahyang
tidak harus dilaksanakan dengan sarana yang megah atau
komplit baru melaksanakan sembahyang melainkan dengan
10
membiasakan anaknya dengan memberi contoh dahulu kemudian
baru menyuruh anaknya untuk melaksanakan hal yang sama
seperti orang tuanya.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka
mempergunakan Pola Keteladan tanpa disertai dengan hukuman
atau perintah harus tetapi dengan memberikan contoh terlebih
dahulu dan kemudian dilakukan dengan pembiasaan. Menurut
teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak
lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan, dari
penjelasan diatas nampak bahwa orang tua membentuk perilaku
anggota keluarganya dengan membentuk lingkungan yang baik
sehingga ditiru oleh anggota keluarganya, hal ini sesuai
dengan Teori Belajar R-S Bond Dimana ketika orang tua
beriteraksi dengan anaknya menginginkan adanya perubahan
perilaku atau terbentuk perilaku, yaitu dengan mempersiapkan
anak dengan hukum kesiapan belajar Hukum latihan, belajar
akan berhasil apabila banyak latihan, dan ulangan artinya
anaknya diuruh untuk mengikuti kegiatan orang tuanya sehingga
lama-lama anggota keluarga tersebut terbiasa dan menjadi pola
perilaku yang tetap.
b) Percaya dengan adanya Atman, keluarga tersebut untuk
memberikan pemahaman terhadap keberadaan atma mempergunakan
PolaCerita secara terus menerus terutama kepada anak-anak
mereka disamping cerita tersebut membuat anak-anak tertarik
orang tua disini sudah menekankan apa sebenarnya arti
11
dibalikCerita tersebut. c) Percaya Dengan Adanya Karmaphala,
Karma phala berarti buah dari perbuatan yang telah dilakukan
atau yang akan dilakukan. Karma phala pada dasarnya akan
memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk
hidup sebab apapun yang kitab perbuat pasti mendaptkan hasil.
Berdasarkan ungkapan-ungkapan informan menyatakan bahwa apa
yang dialami adalah merupakan karma atau perbuatan yang
terdahulu sekarang dipetik buahnya atau akan cepat sekali
menerima perbuatan baik dan buruk tersebut. Untuk memberikan
pemahaman terhadap keluarganya biasanya mengambil kesimpulan,
dari apa yang diterimanya atau memberikan contoh orang lain,
ini artinya keluarga ini menerapkan pola Praktyaksa Pramana
yaitu pengalaman langsung apa yang diterimanya, dan
mempergunakan pola Anumana Pramana dimana melalui analisis
logis dan contoh yang nyata di sekitar lingkungannya. d)
Percaya dengan adanya Punarbawa Kelahiran berulang-ulang atau
Punarbawa, renkarnasi dari bahasa Latin untuk "lahir kembali"
atau "kelahiran semula" atau t(um)itis, merujuk kepada
kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan
kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu
bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini.
Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang
kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil
pebuatannya terdahulu.
Dari hasil wawancara bahwa keluarga di desa Gunungsari
didalam memahami punarbawa ini adalah bahwa ada yang disebut
renkarnasi dengan menyatakan bahwa anak merreka mirib
12
kakeknya atau leluhurnya siapa terdahulu dengan mempergunakan
cerita-cerita. e) percaya dengan adanya Moksa, keluarga di
desa ini menyatakan bahwa mereka mengetahui akan adanya
konsep moksa tetapi mustahil kita bisa menyatu dengan Tuhan
tersebut sebab dengan adanya proses karmaphala yang
memberikan kita hasil terhadap perbuatan yang dilaksanakan,
manusia jaman sekarang pasti sudah kena karma dan harus
kembali lagi ke dunia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanya
sehingga akan lahir berulang-ulang.
Penjelasan tersebut diatas mengidentifikasikan bahwa
keluarga di Desa Gunugsari dalam menerapkan Pola Asuh adalah
dengan mempergunakan beberapa pola didalam menanamkan nilai-
nilai atau aspek-aspek lima kepercayaan dalam agama Hindu
yaitu panca srada seperti mempergunakan 1) Pola Keteladan , 2)
PolaCerita 4) Pola Anumana Pramana dan 5) Pratyaksa Pramana .
3.2 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Etika di Desa
Gunungsari
Etika adalah pedoman manusia didalam berperilaku untuk
menciptakan keharmonisan dalam hidupnya dengan sesama, dalam
Hindu sumber etika Hindu adalah Dharmasastra yang merupakan
sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,
didalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tata susila.
Aspek Tri Kaya Parisudha ini adalah begitu penting untuk
ditanamkan kepada anak-anak sehingga dengan mempergunakan
pola yang tepat maka perilaku anak diharapkan mampu menrapkan
konsep ini dan dibawa sampai dewasa nantinya, yang mulai dari
proses berpikir, berkata dan tentunya dapat dilihat dari
13
perilaku kesahari-hariannya baik itu dilingkungan keluarga,
sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang menilai secara
umum anak tersebut mempunyai etika atau tidak yang tentunya
nantinya membawa juga nama baik bagi keluarga itu sendiri.
Oleh sebab itu keluarga yang baik atau baik tidaknya suatu
keluarga juga ditentukan oleh anak-anaknya, oleh sebab itu
etika anak dibina dengan baik dengan mempergunakan pola asuh
yang benar dan tepat sehingga anak menjadi taat dan patuh
serta melaksanakan apa yang ditanamkan. dalam penelitian pola
asuh keluarga Hindu terhadap konsep Etika di Desa Gunungsari
yang diamati dan di bahas adalah aspek:
a) Wacika (Berkata yang baik dan benar), didalam menamkan
nilai-nilai etika didalam keluarganya seperti apa yang
diungkapkan bahwa keluarga tersebut didalam menanamkan nilai
etika berbicara adalah dengan cara memberikan contoh yang
nyata.
Seperti apa yang terkandung didalam Saracamuscaya ada
sloka yang isinya menunjukan bahwa ada beberapa hal yang
tidak patut muncul dari kata-kata yaitu empat banyaknya yaitu
perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan
memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus
disingkirkan dari perkataan jangan diucapkan, jangan
dipikirkan akan diucapkan (Kadjeng:630). Penjelasan sastra-
sastra agama tersebut dihayati dan dilaksanakan, dalam hal
ini telah disadari betul oleh para orang tua didalam mengasuh
anaknya yaitu dengan menekankan untuk tidak berkata bohong
dengan mempergunakan Pola Keteladanan.
14
b). Tidak Berkata Kasar (Madarwa), Untuk menanamkan sikap
dan tingkah laku yang positif dikalangan anak-anaknya
keluarga dalam hal ini orang tua menekankan untuk tidak
mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang tuanya,
maupun kepada orang lain atau dengan kata lain bisa berkata
dengan manis dan sopan. Dalam pandangan ini orang tua
mengangap anak tersebut langgah atau secara umum dianggap
tidak mempunyai sopan santun bila anak-anak berbicara kasar
ataupun melawan apa yang disampaikan oleh orang tua kepada
anak-anaknya.
Untuk membiasakan hal tersebut orang tua memberikan
contoh untuk tidak berkata keras-keras dengan memberi nasehat
kepada anaknya.
Dalam pustaka suci jelas diunggkapkan bahwa berkata kasar
atau tidak mempunyai sopan santun akan berakibat kepada
keluarga. Seperti yang tersirat didalam pustaka suci
Saracamuscaya ( Kajeng,2003:98) sloka 117:
Dve karmani narah kurvaniha
Loke mhayate,
Abruvan parusam kincidasato
narthayamathe
Artinya:
Ada dua hal yang menyebabkan orang dipujiOrang yang tidak suka berkata kasar,Orang yang tidak suka berbuat yang tidak patutDemikian itulah orang yang dipuji di dunia.
15
Sloka tersebut dengan jelas menyatakan bahwa berkata
kasar, berbuat yang tidak baik adalah hal yang patut untuk
dihindari sebab, hal-hal ini membuat kitab mudah untuk
tersinggung berbicara galak, dan berigas sehingga hal-hal
seperti ini patut untuk di kurangi, dan yang paling penting
adalah kemampuan untuk mengendalikan kemarahaan sehingga
kedamaian di dunia ini akan terwujud.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keluarga didesa
Gunungsari didalam menanamkan nilai-nilai berkata yang baik
dan benar mempergunakan Pola Keteladanan, kemudian juga
mempergunakan Pola dengan pengelolaan secara Kasar dan Tegas,
orang tua yang mengurus keluarganya menurut skema neourotik
menentukan peraturan yang keras dan teguh yang tidak akan
diubah dan mereka membina suatu hubungan majikan-pembantu
antara mereka sendiri dan anak-anak mereka yaitu dengan
memberikan hukuman atau dipukul. Sehingga ini artinya mereka
menerapkan Pola Otoriter dalam pola ini orang tua memiliki
kaidah-kaidah dan peraturan yang kaku dalam mengasuh
anaknya, setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan tidak
pernah ada pujian apabila anak melaksanakan aturan dalam
perilakunya
c) Satya (Kejujuran), Dalam agama Hindu jujur adalah
satu hal yang sangat penting seperti apa yang tercantum dalam
kitab suci agama Hindu Satya yang artinya kebenaran dan
kejujuran adalah sangat membatu dalam kehidupan manusia itu
sendiri bagaimana dengan penanaman nilai kejujuran ini
16
didalam keluarga Hindu di desa Gunungsari, didalam menanamkan
kejujuran melalui pola keteladan orang tua yaitu dengan
memberi contoh otomatis akan diikuti oleh anggota keluarga
yang lain. Artinya sekecil apaun perbuatan yang dilakukan
berkaitan dengan hal-hal yang membuat orang tidak percaya
harus dihindari walaupun didalam kitab suci disebutkan bahwa
dalam beberapa hal boleh kita untuk berbohong tentunya demi
kebaikan.
d)Akroda, Akroda adalah sifat manusia yang memang ada
didalam setiap manusia oleh sebab itu kemarahaan akan
membawa dampak yang kurang bagus pada setiap individu manusia
itu sendiri. Keluarga didesa Gunungsari dari hasil observasi
dan wawancara nampak bahwa belum semua keluarga mampu untuk
mengendalikan atau untuk menjadi orang yang pemarah apalagi
sifat orang tersebut yang tempramental. Untuk bisa menanamkan
nilai agar keluarga bisa mengendalikan amarahnya didalam
keluarga memang sulit tetapi, mereka berusaha untuk menahan
marah yaitu tujuannya anak-anak mereka agar tidak ikut-ikutan
gampang marah. Kalau kita simak didalam kitab Slokantara
kemarahan tersebut sebenarnya adalah suatu keharusan tetapi
harus dikendalikan seperti apa yang diungkapakan didalam
sloka 40 dalam pembahasan Lima Keharusan menyatakan ”Ahimsa
brahamacarya ca Cuddharaharalagagawan Astainyamiti Yama rudrene bhasitah”
kalau diterjemahakan arti bebasnya tidak menyakiti, menguasai
hawa nafsu kesucian, makanan sederhana, tidak mencuri-lima
macam keharusan ini diajukan oleh bhatara rudra. Jelas sekali
17
bahwa tindakan marah pada orang lain sudah tidak sesuai
dengan etika sebab keharmonisan hubungan dengan anggota
masyarakat yang lain akan terganggu
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akroda adalah hal
yang harus ditanamkan kepada anggota keluarga dengan cara
orang tua memberikan contoh kepada anggota keluarganya hal
ini sudah dilakukan oleh orang tua didesa Gunungsari dengan
memberikan contoh pergi, bila ada hal-hal yang menimbulkan
kemarahaan.
e) Apramada, setiap manusia harus melaksanakan kewajiban
atau dharma diri sendiri dari pada mengerjakan tugas orang
lain walaupun tidak sempurna daripada mengerjakan kewajiban
orang lain dengan baik.
Dengan demikian kewajiban harus diketahui oleh setiap
orang sehingga bisa mengerjakan dengan baik, begitu
pentingnya hal ini maka semenjak dini, harus ditanamkan
kesadaran akan kewajiban, bagaimana dengan keluarga di desa
Gunungsari,
Keluarga disini menekankan bahwa didalam menamkan nilai
ingat akan kewajiban ini dilaksanakan dengan pola keteladan
ini dapat dilihat dengan apa yang dia lakukukan terhadap
diri sendirinya yaitu apa yang menjadi profesi atau
pekerjaannya harus dilaksanakan jangan lain-lain. Begitu
juga cara untuk mengingatkan anggota keluarga yang lain
yaitu dengan pola otoriter, yaitu perintah yang tegas karena
membuat pekerjaan rumah adalah kewajiban yang harus
18
dilaksankan oleh seorang murid kalau tidak dilaksanakan akan
kena hukuman atau sangsi.
f) Sura, Keluarga didesa Gunungsari kuatir dengan
adanya anggota keluarga yang suka mabuk-mabukan, sebab anak-
anak muda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan
mabuk-mabukan atau selalu mengkonsumsi minuman keras. terus
bagaimana cara mereka agar anak atau anggota keluarga mereka
tidak terjerumus kedalam pergaulan yang salah. Adapun cara
yang dipakai untuk menghindari anak-anaknya tidak suka
mengkonsumsi minuman keras adalah dengan cara memberikan
hukuman,
Ini menandakan bahwa orang tua sudah punya cara agar
anggota keluarga mereka tidak terjerumus kedalam pergaulan
yang salah. Adapun pola yang digunakan adalah Pola keteladan
dan Pola Otoriter, ini didapat dari apa yang dijelaskan yaitu
orang tua tidak akan melakukan atau mengkonsumsi minuman
keras, dan juga mereka akan menghukum anak mereka bila
ketahuan mengkonsumsi minuman keras. Walaupun pada dasarnya
mereka tetap sayang pada anak-anakanya, seperti apa tercantum
didalam kitab Nitisastra disebutkan, Nordna sih mangeluwihaning
atanaya (Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih sayang
orangtua kepada anaknya). Artinya kasih sayang orang tua
tidak akan pernah luntur walaupun apa yang terjadi, mereka
akan tetap menyayangi anak-anak mereka karena itu walaupun
keras terhadap anak adalah demi kebaikan anak itu sendiri.
19
3.3 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Acara/Upacara di
Desa Gunungsari.
Pada dasarnya atau intinya manusia semenjak lahir telah
membawa hutang yang disebut dengan Tri Rna. Hutang inilah yang
mendasarinya timbulnya yadnya atau pengorbanan suci yang
tulus iklas tersebut sebagai ungkapan terima kasih.
Demikian pula dengan keadaan masyarakat desa Gunungsari
sediri didalam kegiatan aktivitasnya lebih banyak berhubungan
dengan kepercayaan yang dianutnya yaitu agama Hindu. Maka
aspek panca yadnya tersebut tiap keluarga pasti
melaksanakannya.
Dalam penelitian ini rumusan Panca Yadnya yang dirujuk
adalah Panca Yadnya yang diuraikan dalam Lontar Agastya Parwa.
(dalam Wiana,2000:52) yang rinciannya sebagai berikut:
a. Dewa Yadnya, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian
kepada Dewa Siwa, Agni di tempat pemujaan dewa.
b. Rsi Yadnya, yaitu menghormati pendeta dan membaca-baca
kitab suci.
c. Pitra Yadnya, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam
Siwa.
d. Butha Yadnya, yaitu menyejahterakan tumbuh-tumbuhan dan
menyelenggarakan upacara tawur dan Panca Wali Krama.
e. Manusa Yadnya, yaitu memberi makanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan Panca Yadnya yang terkecil yang dapat
dilakukan setiap hari adalah melakukan Yadnya Sesa setelah
20
selesai masak. Habis masak makanan terlebih dahulu
dipersembahkan kepada Tuhan. Sisa persembahan itulah yang
kitab makan. Makanan itu adalah makanan yang telah mendapat
anugerah Tuhan. Karena itu makanan yang dimakan setelah
dipersembahkan disebut prasadam. Prasadam dalam bahasa Sanskerta
artinya anugerah. Sesuai dengan observasi nampak bahwa
beberapa hal seperti:
a) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Dewa Yadnya, Pola
asuh terhadap pelaksanaan konsep Dewa yadnya orang tua di
desa Gunungari sebenarnya sudah dilaksanakan dengan baik
seperti menyadari sebagai umat Hindu melaksanakan upacara
adalah suatu kewajiban. Dan dinyatakan juga bahwa orang Bali
sebagi orang yang berumat Hindu sesuai dengan kebudayaan Bali
wajib melaksanakan yadnya khsususnya persembahan kepada Tuhan
dengan jalan menghaturkan apa yang di buat sebagai ungkapan
terima kasih, tetapi masyarakat belum memahami apa yang
sebenarnya arti atau makna itu semua yang dilakukan.
Berdasarkan beberapa kitab suci dengan jelas memaparkan
bahwa kitab harus melaksanakan yadnya sesa sebagai bentuk
terkecil dari yadnya itu sendiri seperti terungakap di dalam
(Bagawadgita,III.13) ”Yajna-sistasinah santo mucyante sava-kilbisaih,
bhujante te tv agham papa ye pacanty atma-karanat. Yang mempunyai arti
yaitu, Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala
dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri,
sesungguhnya makan dosa.
21
Maksud dari sloka tersebut adalah bahwa apa yang kitab
sajikan kepada para dewa yang memberi kitab semuanya, apabila
kitab menyantapnya artinya dianggap telah bebesa dari segala
dosa dan kesalahan. Dalam konteks ini orang yang memasak nasi
hanya untuk dirinya sendiri tanpa ngejot itulah disebut dosa
atau bersalah. Bahwa hakekatnya yadnya adalah korban kepada
Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah
diberikan kepadanya dan sesuai dengan apa yang tertuang
didalam kitab-kitab suci Hindu. Adapun pola yang digunakan
untuk kegiatan tersebut adalah dengan menggunakan Pola
keteladan yaitu dengan memberikan contoh kepada anak-anaknya
atau anggota keluarga yang lain, sehingga pola pembiasaan ini
akan dikuti dan menjadi kebiasaan dianggota keluarga
tersebut. Artinya sesuai dengan teori R-S Bond dimana orang
tua melakukan pembiasaan kemudian diberikan penguatan
sehingga stimulus tersebut direspon dengan baik oleh anak-
anaknya.
b) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Rsi Yadnya,
Menurut rumusan dalam kitab suci, Rsi Yadnya itu adalah
menghormati dan memuja rsi atau pendeta. Dalam kegiatan
upacara, beberapa buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Hindu di
Bali menyebutkan upacara madiksa digolongkan ke dalam upacara
Rsi Yadnya. Dalam lontar Agastya Parwa disebutkan, Rsi Yadnya
ngaranya kapujan ring pandeta muang sang wruh ring kalingganing dadi wang.
Artinya: Rsi Yadnya adalah berbakti pada pendeta dan pada
orang yang tahu hakikat diri menjadi manusia. Kemudian kalau
22
kitab lihat konsep Hindu seperti upacara Rsi Bojana yaitu
upacara penghormatan kepada sulinggih atau pendeta dalam
bentuk menyuguhkan makanan yang disajikan dengan sangat
terhormat sudah terlaksana dengan baik (observasi dalam
kegiatan upacara yang melibatkan sulinggih).
Dengan demikian tidak ada upacara khusus yang
dilaksanakan didesa Gunugsari tetapi melayani pendeta pada
saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yadnya sudah
dilaksanakan. Ungkapan ini disampaikan oleh hampir semua
responden bila diajukan pertanyaan yang sama artinya disini
peran orang tua atau yang dituakan sangat besar karena
biasanya anak-anak muda takut tidak bisa matur sama
sulinggih.
Kalau kitab simpulkan dari pernyataan diatas nampak bahwa
orang tua sudah memberikan pola asuh dengan pembiasaan dengan
mengikutkan segala kegiatan rsi yadnya yaitu dengan melakukan
pendampingan dengan harapan nanti anak-anaknya bisa mengikuti
kebiasaan tersebut artinya pola keteladannya sudah
dilaksanakan. Dengan hukum belajar pembiasaan yang berulang-
ulang sehingga tiba pada waktunya nanti bisa mengantikan
peran orang tuanya.
c) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Pitra Yadnya,
Pitra yadnya secara umum dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali
adalah Ngaben, Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan
memuja leluhur. Pada dasarnya ngaben adalah bentuk
penghormatan orang yang masih hidup terhadap orang tua kita
yang sudah meninggal, ini dapat dilihat dari kata, Katapitra
23
bersinonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian
yang lebih luas yaitu orang tua.
Keluarga di desa Gunungsari dalam menjalankan fungsi ini
dilakukan dengan cara mengajak anak-anaknya terlibat didalam
kegiatan ngaben tersebut (hasil observasi) dan mereka
melaksanakan upacara pitra yadnya atau ngaben adalah salah
satu bentuk penghormatan mereka terhadap orang tua mereka
yang sudah meninggal dengan menekankan untuk mendapatkan
tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka.
Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut terhadap aspek
pitra yadnya ini penting dilakukan agar tidak menimbulkan
hal-hal yang mengurangi rasa hormat atau perhatian generasi
berikutnya makin berkurang didalam melaksankan upacara
tersebut. Disimpulkan juga bahwa para keluarga tersebut
didalam menjelaskan tentang apa itu upacara ngaben memang
susah tetapi mereka menjalakan dengan Pola keteladan dan
Pembiasaan sehingga anak-anak mereka mampu untuk memahami
apa yang ada dalam konsep atau aspek pitra yadnya tersebut.
Adapun cara tersebut dilaksanakan oleh orang tua juga
berdasarkan rasa hormat dan bakti mereka yang tulus iklas
dalam memberikan penghormatan terhadap arwah orang tua
mereka sehingga pada dasarnya kita harus hormat kepada orang
tua yang masih hidup maupun sudah meninggal.
d). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Butha Yadnya,
Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia Butha
Kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat
24
mengganggu kehidupan manusia. Butha Yadnya pada hakikatnya
bertujuan untuk mewujudkan Butha Kala menjadi Butha Hita seperti
disebutkan dalam Sarasamuccaya 135. Butha Hita artinya
mensejahterakan dan melestarikan alam Ymgkungan (Sarwapram).
Upacara Butha Yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia atau
mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar
tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diha-
rapkan membantu umat manusia. Bentuk upacara Bhuta Yadnya itu
antara lain segehan, caru sampai dengan tawur. Segehan terdiri dari
lima belas jenis.
Dilihat dari penjelasan konsep butha yadnya tersebut
nampak bahwa semua yang ada dialam ini patut kita hormati,
dengan demikian setiap keluarga semsetinya memahami apa yang
harus dilakukan dalam kehidupan ini. Bagaimana dengan
keluarga di desa Gunungsari, terhadap aspek ini menyatakan
bahwa mecaru itu adalah cenderung sebagai upacara nyomia atau
mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif menjadi
positif. Sedang arti sebenarnya Bhuta Yadnya adalah
memelihara kesejahteraan alam, untuk mengenalkan cara-cara
melaksanakan kegiatan caru itu juga dilakukan dengan memberi
contoh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua di
desa Gunungsari dalam mengenalkan aspek pitra yadnya sudah
25
dipahami dengan baik dan menanamkan nilai-nilai tersebut
dengan cara Pola Pembiasaan dan Keteladan.
e). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Manusa Yadnya,
Dalam rumusan kitab suci Weda dan kitab-kitab sastra Hindu,
Manusa Yadnya atau Nara Yadnya itu adalah memberi makan pada
masyarakat (maweh apangan ring kramari) dan melayani tamu dalam
upacara (athiti puja). Upacara manusa yadnya adalah jenis
upacara yang paling sering dilaksanakan mulai dari dalam
kandungan sampai mereka melaksanakan upacara pernikahan.
Untuk itu bagaimana keluarga Hindu di desa Gunungari
menanamkan nilai-nilai ini terhadap keluarganya bahwa
aktivitas dari panca yadnya tersebut lebih dominan dalam
bidang manusia yadnya, aspek upacara manusa yadnya
dilaksanakan atau pola asuh yang dilaksanakan terhadap
keluarga mereka adalah dengan Pola Pembiasaan dan Keteladan
ini dapat kita ketahui yaitu dengan apa yang diketahui oleh
anak-anak mereka adalah hasil mereka melihat apa yang
dilaksanakan oleh orang tua mereka sebelumnya.
IV. Penutup
26
Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang ada maka
dengan dapat disimpulkan bahwa keluarga di desa Gunungsari
didalam menerapkan pola asuh terhadap anggota keluarganya
terhadap aspek-aspek tatwa, etika dan upacara adalah
mempergunakan berbagai pola seperti 1) terhadap konsep tattwa
ditanamkan dengan mempergunakan Pola Cerita, Pola Keteladan
dan Pola Pratyaksa Pramana, dan Pola Anumana Pramana. 2)
terhadap konsep etika ditanamkan dengan mempergunakan Pola
Asuh Keteladan, Pola Pembiasaan dan Pola Otoriter, 3)
terhadap konsep Upacara mempergunakan Pola Keteladan, dan
Pola Pembiasaan.
Dengan demikian dapat disarankan kepada: 1) anggota
keluarga didalam menerapkan pola asuh , hendaknya
mempergunakan berbagai pola yang ada baik itu pola yang ada
didalam agama Hindu maupun pola-pola yang ada didalam dunia
pendidikan barat. Kepada umat Hindu secara umum hendaknya
lebih banyak mendalami konsep-konsep yang ada didalam agama
sehingga bisa melakukan pendekatan-pendekatan pola asuh yang
lebih bernilai agama Hindu. 2) kepada lembaga yang berkaitan
dengan keluarga khususnya Hindu hendaknya lebih banyak
meningkatkan bimbingan atau penyuluhan kepada masyarakat-
masyarakat terutama masyarakat pedesaan sehingga mereka lebih
memahami didalam mendidik keluarga mereka
27
DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernad. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta:
Kanisius.
Atmaja.2003. Perempatan Agung (Catuspata) menguak Konsepsi Palemahan,
Ruang dan Waktu Masyarakat Bali. Denpasar: Bali Media
Adhikarsa.
Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bhartihari. 2005. Niti Sataka (100 Sloka Tentang Etika dan Moralitas).
Denpasar: Empat Warna Komunikasi.
Budha,Gauatama Wayan. 2003. Tutur Lebur Gangsa (Terjemahan Lontar).
Surabaya: Paramita.
C. Fracassi, dan P. Urbani. 2000. Wejanggan Bhagawan Sri Satya Sai
Baba (Mendidik Anak Suputra Dalam Keluarga). Surabaya:
Paramitha.
Dantes, Nyoman.1999. Teori-Teori Belajar, Teori-teori Intruksional dan Model
Pembelajaran, Makalah Seminar disajikan dihadapan Dosen
JIP STKIP Singaraja pada tanggal 6 Pebruari 1999.
Darmayasa, I Made.1995. Canakya Niti Sastra. Denpasar: Yayasan
Dharma Narada.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak
Dalam Keluarga (Sebuah Persepektif Pendidikan Islam).
Jakarta: Rineka Cipta.
28
Donder, I Ketut. 2004. Sisya Sista (Pedoman Menjadi Siswa Mulia
Dalam Perspektif Relegiososiolenguistik Edukatif).
Denpasar: Pustaka Bali Post.
Dekdibud,.1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta Balai
Pustaka
Jendra, I Wayan. 2006. Berbicara Dalam Sastra Hindu (Tinjauan
Relegiososiolenguistik Filosofis). Denpasar: Empat Warna
Komunikasi.
Kadjeng, I Nyoman dkk. 1997. Saracamucaya.Surabaya: Paramita
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian
Sosial.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mimbeng, I Gede. 1997.Kakawin Nitisastra dan Putra Sasana, Kecamatan
Cakranegara, Kodya Mataram: Pesantian Sanatagita.
Moleong. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pudja, IG, dan Tjok. Rai Sudharta. 1976. Manawa Dharmacastra
(Manu Dharmacastra). Jakarta: Departemen Agama R.I
Pudja. IG. 2003. Bhagawandgita (Pancama Weda). Jakarta: Pustaka
Mitra Jaya.
Shocib,Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak
Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono.2004. Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal
Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Jakarta
29
Su’adah.2005. Sosiologi Keluarga. Malang:UMM .
Subagiasta, I Ketut.2007.Susastra Hindu. Surabaya: Paramita.
Sudarsana.I.B. Putu 1998. Ajaran Agama Hindu (Budi Pakerti)
Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.
Suhardana,K.M.2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu
(Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku),Surabaya:
Paramita.
Tantra, Dewa Komang.2003.Penelitian Kualitatif, Disampaikan dalam
Penataran Metodelogi Penelitian Bagi Dosen di Lingkungan
Universitas Flores, Yofertif pada tanggal 5 s.d 9
Agustus di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Titib, I Made.2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pakerti
Pada Anak (Persefektif Agama Hindu). Bandung: Ganeca
Exact Bandung.
----------------,1997. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga (Menurut
Kitab Suci Veda). Surabaya: Paramita.
Wiana, I Ketut.1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan,
Pengantar Made Titib. Denpasar: Manikgeni.
Yatim, Irwanto.1991. Kepribadian Keluarga Narkotika. Jakarata:Arcan
Tentang Penulis: I Gede Sedana Suci, adalah Dosen tetap
pada Fakultas Dharma Acarya.
30