forensik patologi

39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Prosedur Medikolegal Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine) adalah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari tentang pemanfaatan ilmu kedokteran untu kepentingan penegakan hukum serta keadilan pada kasus-kasus yang berhubungan dengan kesehatan raga dan jiwa manusia, seperti kecelakaan lalu lintas, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, maupun jenazah meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi mencurigai adanya suatu tindakan pidana. Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi berbagai keperluan tersebut diatas, seorang dokter dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara optimal. Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk membantu dalam pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik, dokter tersebut dituntut oleh undang-undang untuk melakukannya dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter apabila diminta oleh penyidik antara lain adalah melakukan pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik terhadap bagian tubuh atau benda yang diduga berasal dari tubuh manusia. Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan jenazah, dokter diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada tubuh jenazah, bilamana kelainan itu timbul, apa penyebab serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan jenazah. Dalam

Transcript of forensik patologi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Prosedur Medikolegal

Ilmu kedokteran forensik (Legal Medicine) adalah salah satu

cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang mempelajari

tentang pemanfaatan ilmu kedokteran untu kepentingan penegakan

hukum serta keadilan pada kasus-kasus yang berhubungan dengan

kesehatan raga dan jiwa manusia, seperti kecelakaan lalu

lintas, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, maupun jenazah

meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi mencurigai

adanya suatu tindakan pidana.

Untuk dapat memberi bantuan yang maksimal bagi berbagai

keperluan tersebut diatas, seorang dokter dituntut untuk dapat

memanfaatkan ilmu kedokteran yang dimilikinya secara optimal.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai dokter yang diminta untuk

membantu dalam pemeriksaan kedokteran forensik oleh penyidik,

dokter tersebut dituntut oleh undang-undang untuk melakukannya

dengan sejujur-jujurnya serta menggunakan pengetahuan yang

sebaik-baiknya. Bantuan yang wajib diberikan oleh dokter

apabila diminta oleh penyidik antara lain adalah melakukan

pemeriksaan kedokteran forensik terhadap seseorang, baik

terhadap bagian tubuh atau benda yang diduga berasal dari

tubuh manusia.

Dalam suatu perkara pidana yang menimbulkan jenazah,

dokter diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada

tubuh jenazah, bilamana kelainan itu timbul, apa penyebab

serta apa akibat yang timbul terhadap kesehatan jenazah. Dalam

hal jenazah meninggal, dokter dihaapkan dapat menjelaskan

penyebab kematian yang bersangkutan, bagaimana mekanisme

terjadinya kematian dan perkiraan cara kematian.

Wewenang penyidik untuk meminta keterangan ahli tersebut

diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila

diminta seperti yang tertuang dalam Pasal 179 KUHAP yang

berbunyi, “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran

kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi

keadilan.”. Keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk

Visum et Repertum (VeR), yaitu keterangan yang dibuat oleh dokter

atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil

pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati

ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,

berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan

peradilan.

Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh

dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil

pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati

ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia,

berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan

peradilan. Kewajiban dokter untuk membuat keterangan ahli

telah diatur dalam pasal 133 KUHAP. Pengertian keterangan ahli

dipaparkan pada pasal 1 butir 28 KUHAP.

Visum et Repertum adalah suatu alat bukti yang sah

sebagaimana yang ditulis dalam Pasal 184 KUHAP. Penyidik

berwenang untuk meminta keterangan ahli berupa Visum et

Repertum melalui surat permintaan visum (SPV) dalam proses

penegakan hukum pada suatu kasus yang diduga merupakan suatu

tindak pidana. Hal tersebut tercantum pada pasal 133 ayat (1)

KUHAP yang berbunyi “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan

menangani seorang jenazah baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan

atau ahli lainnya.” Visum et Repertum (VeR) merupakan keterangan

yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang

berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia,

baik hidup atau mati ataupun bagian yang diduga bagian dari

tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah,

untuk kepentingan peradilan.

Yang termasuk kategori penyidik menuntut KUHAP Pasal 6

ayat (1) PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 dan 3 ayat (1) yaitu

Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-

undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua,

sedangkan untuk pembantu penyidik pembantu berpangkat

serendah-rendahnya Sersan Dua. Apabila di suatu kepolisian

sektor tidak terdapat pejabat penyidik seperti diatas, maka

Kepala Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah

Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai penyidik karena

jabatannya (PP no. 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).

Beberapa komponen yang diajukan oleh penyidik untuk surat

permintaan visum adalah kop surat kepolisian tempat permintaan

visum tersebut dibuat, tujuan surat permintaan tersebut,

identitas jenazah pada kasus ini mayat, keterangan yang

didapat saat ditemukannya mayat, jenis pemeriksaan yang

diminta, dan jabatan polisi yang meminta dibuatkannya. Jenis

pemeriksaan yang diminta adalah komponen yang penting sesuai

dengan pasal yang diatur pada pasal 133 ayat (2) KUHAP yang

berbunyi “Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk

pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah

mayat.”Pasal 133 ayat (3) KUHAP berbunyi “Mayat yang dikirim kepada

ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan

secara baik dengan dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari

kaki atau bagian lain badan mayat.”

Pihak yang berhak membuat VeR adalah dokter yang sudah

mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter,

sebagaimana tertuang dalam Stb 350 Tahun 1937. VeR memuat kop

surat, terdiri atas lima bagian, yaitu Pro Justisia di bagian

atas, Pendahuluan, Pemberitaan, Kesimpulan, dan Penutup.

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus

diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak dengan diberi

cap jabatan, yang diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian

tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertumnya

harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah

hanya pemeriksaan luar jenazah, ataukah pemeriksaan otopsi

bedah mayat. Bila pemeriksaan otopsi bedah mayat yang diminta,

maka penyidik wajib memberitahu kepada keluarga jenazah dan

menerangkan maksud dan tujuan pemeriksaan. Otopsi dilakukan

setelah keluarga jenazah tidak keberatan, atau bila dalam dua

hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga jenazah. Jenazah

hanya boleh dibawa keluar institusi kesehatan dan diberi surat

keterangan kematian bila seluruh pemeriksaan yang diminta oleh

penyidik telah dilakukan. Apabila jenazah dibawa pulang paksa,

maka baginya tidak ada surat keterangan kematian. Apabila

penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka kesimpulan

visum et repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan yang

ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab

matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan bedah

jenazah. Apabila dilakukan pemeriksaan bedah jenazah

menyeluruh, dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian.

Pemeriksaan Medis

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang

meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan

tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,

melakukan interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut,

menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab

akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab

kematian.

Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :

a. Otopsi anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan

mahasiswa fakultas kedokteran.

b. Otopsi klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang

diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk

menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa

kesesuaian antar diagnosis klinis dan diagnosis postmortem,

patogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis

dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada

kalanya ahli waris sendiri yang memintanya.

c. Otopsi forensik/medikolegal, dilakukan terhadap mayat

seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang

tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan,

maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan

penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara.

Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik

sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil

pemeriksaan adalah temuan obyektif pada jenazah, yang

diperoleh dari pemeriksaan medis. Tujuan dari otopsi

medikolegal adalah :

‐ Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui

atau belum jelas.

‐ Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian,

dan saat kematian.

‐ Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan

identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.

‐ Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta

dalam bentuk visum et repertum.

Traumatologi

Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan

cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan

(rudapaksa), sedangkan yang dimaksud dengan luka adalah suatu

keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.

Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan mekanik

dapat dibedakan atas kekerasan yang bersifat:

1. Kekerasan tajam

Gambaran umum luka yang diakibatkan luka dengan sifat

luka seperti ini adalah tepid an dinding luka yang rata,

berbentuk garis, tidak terdapat jembatan jaringan dan dasar

luka berbentuk garis atau titik. Luka akibat kekerasan benda

tajam dapat berupa luka iris atau sayat, luka tusuk dan luka

bacok.

Selain gambaran umum luka tersebut di atas, luka iris

atau sayat dan luka bacok mempunyai kedua sudut luka lancip

dan dalam luka tidak melebihi panjang luka.Sudut luka yang

lancip dapat terjadi dua kali pada tempat yang berdekatan

akibat pergeseran senjata sewaktu ditarik atau akibat

bergeraknya jenazah. Bila dibarengi gerak memutar, dapat

menghasilkan luka yang tidak selalu berupa garis.

Pada luka tusuk, sudut luka dapat menunjukkan perkiraan

benda penyebabnya, apakah berupa pisau bermata satu atau

bermata dua. Bila satu sudut luka lancip dan yang lain

tumpul, berarti benda penyebabnya adalah benda tajam bermata

satu. Bila kedua sudut luka lancip maka benda penyebabnya

adalah benda tajam bermata dua.Benda tajam bermata satu

dapat menimbulkan luka tusuk dengan kedua sudut luka lancip

apabila hanya bagian ujung benda saja yang menyentuh kulit,

shingga sudut luka dibentuk oleh ujung dan sisi tajamnya.

Kulit di sekitar luka akibat kekerasan benda tajam

biasanya tidak menunjukkan adanya luka lecet atau luka

memar, kecuali bila bagian gagang turut membentur kulit.

Pada luka tusuk, panjang luka biasanya tidak mencerminkan

lebar benda tajam penyebabnya, demikian pula panjang saluran

luka biasanya tidak menunjukkan panjang benda tajam

tersebut.Hal ini disebabkan oleh factor elastisitas jaringan

dan gerakan jenazah.Umumnya luka akibat kekerasan benda tajam pada kasus pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan

memiliki ciri-ciri berikut:

Pembunuhan Bunuh diri KecelakaanLokasi luka Sembarang Terpilih TerpaparJumlah luka Banyak Banyak Tunggal/banyakPakaian Terkena Tidak terkena TerkenaLuka tragis Ada Tidak ada Tidak adaLuka percobaan Tidak ada Ada Tidak adaCedera sekunder Mungkin ada Tidak ada Mungkin ada

Ciri-ciri pembunuhan dapat dijumpai pada kasus pembunuhan

yang disertai perkelahian.Tetapi bila tanpa perkelahian maka

lokasi luka biasanya pada daerah fatal dan dapat tunggal.

Luka tangkis merupakan luka yang terjadi akibat perlawanan

jenazah dan umumnya ditemukan pada telapak dan punggung

tangan, jari-jari tangan, punggung lengan bawah dan tungkai.

Pemeriksaan pada kain atau baju yang terkena pisau

bertujuan untuk melihat interaksi antara pisau, kain, tubuh,

yaitu melihat letak kelainan, bentuk robekan, partikel besi

(reaksi biru berlin dilanjutkan dengan pemeriksaan

spektroskopi), serat kain dan pemeriksaan terhadap bercak

darahnya.

2. Luka Akibat Benda Tumpul

Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka

lecet, memar dan luka robek atau luka terbuka. Dan bila

kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya dapat

pula menyebabkan patah tulang.

Luka lecet

Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh

terbatas hanya pada lapisan kulit yang paling luar/kulit

ari. Luka lecet dapat diklasifikasikan menjadi luka lecet

gores karena benda runcing, luka lecet serut yang merupakan

luka lecet gores yang lebih luas, luka lecet tekan yang

mencetak penekanan benda, dan luka lecet geser karena

pergeseran benda pada kulit. Secara umum, ciri-ciri luka

lecet adalah;

‐ Bentuk luka tidak teratur.

‐ batas luka tidak teratur.

‐ tepi luka tidak rata.

‐ kadang-kadang ditemukan sedikit perdarahan.

‐ Permukaannya tertutup oleh krusta (serum yang telah

mongering).

‐ Warna coklat kemerahan.

‐ Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa

bagian yang masih ditutupi epitel dan reaksi jaringan

(inflamasi).

Walaupun kerusakan yang ditimbulkan minimal sekali, luka

lecet mempunyai arti penting dalam ilmu kedokteran

kehakiman, oleh karena dari luka tersebut dapat memberikan

banyak petunjuk dalam banyak hal; misalnya:

a. Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada

alat-alat dalam tubuh, seperti hancurnya jaringan hati,

ginjal, limpa, yang dari pemeriksaan luar hanya tampak

adanya luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat

dalam tersebut.

b. Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda

tumpul yang menyebabkan luka, seperti lecet tekan pada

kasus penjeratan atau penggantungan, luka lecet pada

kecelakaan lalu lintas, luka lecet pada kasus penembakan,

dan luka lecet pada kasus penjeratan dengan tangan, serta

luka lecet tekan pada kecelakaan yang mengenai bagan

daripada benda keras yang tercetak sebagai luka lecet

tekan pada tubuh.

c. Petunjuk dari arah kekerasan, yang dapat diketahui dari

tempat dimana kulit ari yang terkelupas banyak terkumpul

pada tepi luka.

Luka memar

Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi

pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi sewaktu orang

tersebut masih hidup, dikarenakan pecahnya pembuluh darah

kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda

tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi pada daerah

dimana jaringan longgar, maka daerah luka memar yang tampak

seringkali tidak sebanding dengan kekerasan dan adanya

jaringan longgar tersebut memungkinkan berpindahnya memar ke

daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi. Salah satu

bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai

bentuk dari benda tumpul ialah dikenal dengan istilah

perdarahan tepi (marginal haemorrhages).

Pada orang yang menderita penyakit defisiensi atau

menderita kelainan darah, kerusakan yang terjadi akibat

trauma tumpul tersebut akan lebih besar dibandingkan pada

orang normal. Oleh sebab itu, besar kecilnya memar tidak

dapat dijadika ukuran untuk menentukan besar kecilnya benda

penyebabnya atau kekerasan tidaknya pukulan. Pada wanita

atau orang-orang yang gemuk juga akan mudah menjadi memar.

Luka robek (terbuka)

Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh

kekerasan benda tumpul dapat terjadi bila kekerasan yang

terjadi sedemikian kuatnya sehingga melampaui elastisitas

kulit atau otot, dan lebih dimungkinkan bila arah dari

kekerasan tumpul tersebut membentuk sudut dengan permukaan

tubuh yang terkena benda tumpul.

Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda

tumpul dapat dibedakan dengan luka terbuka akibat kekerasan

benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta hubungan dengan

jaringan disekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang

tidak teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang

menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur

atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, di

sekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka

memar.

Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri

yang hebat dan lambat mendatangkan kematian, maka jarang

dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat luka terbuka dengan

benda tumpul.

Tanatologi

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan

dengan kematian) dan logos (ilmu). Tanatologi adalah ilmu yang

mempelajari tentang kematian dan perubahan yang terjadi

setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan

tersebut. Tanatologi ini berguna dalam :

‐ Menentukan apakah jenazah sudah mati atau belum

‐ Berapa lama jenazah telah mati

‐ Menentukan apakah jenazah tersebut mati wajar atau tidak.

Penyebab, Cara, dan Mekanisme dari Kematian

Penyebab kematian adalah adanya perlukaan atau penyakit

yang menimbulkan kekacauan fisik pada tubuh yang menghasilkan

kematian pada seseorang. Berikut ini adalah penyebab kematian:

luka tembak pada kepala, luka tusuk pada dada, adenokarsinoma

pada paru-paru, dan aterosklerosis koronaria.

Mekanisme kematian adalah kekacauan fisik yang dihasilkan

oleh penyebab kematian yang menghasilkan kematian. Contoh dari

mekanisme kematian dapat berupa perdarahan, septikemia, dan

aritmia jantung. Ada yang dipikirkan adalah bahwa suatu

keterangan tentang mekanime kematian dapat diperoleh dari

beberapa penyebab kematian dan sebaliknya. Jadi, jika

seseorang meninggal karena perdarahan masif, itu dapat

dihasilkan dari luka tembak, luka tusuk, tumor ganas dari paru

yang masuk ke pembuluh darah dan seterusnya. Kebalikannya

adalah bahwa penyebab kematian, sebagai contoh, luka tembak

pada abdomen, dapat menghasilkan banyak kemungkinan mekanisme

kematian yang terjadi, contohnya perdarahan atau peritonitis.

Cara kematian menjelaskan bagaimana penyebab kematian itu

datang. Cara kematian secara umum dapat dikategorikan sebagai

wajar, pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, dan yang tidak

dapat dijelaskan atau tidak wajar (pada mekanisme kematian

yang dapat memiliki banyak penyebab dan penyebab yang memiliki

banyak mekanisme, penyebab kematian dapat memiliki banyak

cara). Seseorang dapat meninggal karena perdarahan masif

(mekanisme kematian) dikarenakan luka tembak pada jantung

(penyebab kematian), dengan cara kematian secara pembunuhan

(seseorang menembaknya), bunuh diri (menembak dirinya

sendiri), kecelakaan (senjata jatuh), atau tidak dapat

dijelaskan (tidak dapat diketahui apa yang terjadi).

Tanda Kematian

a. Lebam mayat (Livor mortis)

Nama lain ligor mortis adalah lebam mayat, post mortem

lividity, post mortem hypostatic, post mortem sugillation,

atau vibices. Setelah kematian klinis maka eritrosit akan

menempati tempat terbawah karena gaya tarik bumi

(gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak

berwarna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh,

kecuali pada bagian tubuh yang terkena alas keras. Darah

tetap cair karena adanya pembuluh darah. Livor mortis

biasanya muncul antara 30 menit sampai 2 jam setelah

kematian. Lebam mayat muncul bertahap, biasanya mencapai

perubahan warna yang maksimal dalam 8-12 jam. Sebelum

menetap, lebam mayat akan berpindah bila tubuh mayat

dipindahkan. Lebam mayat menetap tidak lama setelah

perpindahan atau turunnya darah, atau ketika darah keluar

dari pembuluh darah ke sekeliling jaringan lunak yang

dikarenakan hemolisis dan pecahnya pembuluh darah. Fiksasi

dapat terjadi setelah 8-12 jam jika dekomposisi terjadi

cepat, atau pada 24-36 jam jika diperlambat dengan suhu

dingin. Untuk mengetahui bahwa lebam mayat belum menetap

dapat didemostrasikan dengan melakukan penekanan ke daerah

yang mengalami perubahan warna dan tidak ada kepucatan pada

titik dimana dilakukan penekanan.Menetapnya lebam mayat

disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah

cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu

kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit

perpindahan tersebut. Lebam mayat yang belum menetap atau

masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang

dari 8-12 jam saat pemeriksaan.

Ada 3 faktor yang mempengaruhi lebam mayat, yaitu:

1. Volume darah yang beredar

Volume darah yang banyak menyebabkan lebam mayat lebih

cepat terbentuk dan lebih luas, sebaliknya volume darah

sedikit menyebabkan lebam mayat lebih lambat terbentuk dan

terbatas.

2. Lamanya darah dalam keadaan cepat cair

Lamanya darah dalam keadaan cepat cair tergantung dari

fibrinolisin dan kecepatan koagulasi post-mortem.

3. Warna lebam

Ada 5 warna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk

memperkirakan penyebab kematian, yaitu:

Merah kebiruan merupakan warna lebam normal.

Merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau

suhu dingin.

Merah gelap menunjukkan asfiksia

Biru menunjukkan keracunan nitrit.

Coklat menandakan keracunan aniline.

Walaupun lebam mayat mungkin membingungkan dengan memar,

memar sangat jarang dibingungkan dengan lebam mayat.

Penekanan pada daerah yang memar tidak akan menyebabkan

kepucatan. Insisi pada daerah yang mengalami kontusio atau

memar menunjukkan perdarahan yang menyebar ke jaringan

lunak.Perbedaannya, insisi pada daerah dengan lebam mayat

menampakkan darah sebatas di pembuluh darah, tanpa darah

di jaringan lunak.Lebam mayat dapat kita temukan dalam

organ tubuh dalam mayat. Masing-masing sesuai dengan

posisi mayat:

Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat

terlentang dapat kita lihat pada belakang kepala, daun

telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari di

bawah kuku, dan kadang-kadang di samping leher. Tidak ada

lebam yang dapat kita lihat pada daerah skapula, gluteus

dan bekas tempat dasi.

Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat

tengkurap dapat kita lihat pada dahi, pipi, dagu, bagian

ventral tubuh, dan ekstensor tungkai.

Lebam mayat pada kulit mayat dengan posisi mayat

tergantung dapat kita lihat pada ujung ekstremitas dan

genitalia eksterna.

Lebam mayat pada organ dalam mayat dengan posisi mayat

terlentang dapat kita temukan pada posterior otak besar,

posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal hepar,

dorsal ginjal, posterior dinding lambung, dan usus bawah

(dalam rongga panggul).

Medikolegal lebam mayat:

Merupakan tanda kematian.

Menentukan posisi mayat dan penyebab kematian.

Memperkirakan saat kematian.

Livor mortis tidak terlalu penting dalam menentukan waktu

kematian.Bagaimanapun, itu penting dalam menentukan apakah

tubuh mayat telah dipindahkan.

b. Kaku mayat (Rigor mortis)

Rigor mortis atau kekakuan dari tubuh mayat setelah

kematian dikarenakan menghilangnya adenosine trifosfat (ATP)

dari otot.ATP adalah sumber utama dari energi untuk

kontraksi otot.Otot memerlukan pemasukan yang berkelanjutan

dari ATP untuk berkontraksi karena jumlah yang ada hanya

cukup untuk menyokong kontraksi otot selama beberapa

detik.Pada ketiadaan dari ATP, filament aktin dan myosin

menjadi kompleks yang menetap dan terbentuk rigor

mortis.Kompleks ini menetap sampai terjadi dekomposisi.

Penggunaan yang banyak dari otot sebelum kematian akan

menimbulkan penurunan pada ATP dan mempercepat onset

terjadinya rigor mortis, hingga tidak ada ATP yang

diproduksi setelah kematian. Beberapa faktor yang

menyebabkan penurunan yang bermakna pada ATP menjelang

kematian adalah olahraga yang keras atau berat, konvulsi

yang parah, dan suhu tubuh yang tinggi.Kejadian yang

seketika dari rigor mortis diketahui sebagai kadaverik spasme.

Rigor mortis menghilang dengan timbulnya

dekomposisi.Pendinginan atau pembekuan akan menghambat onset

dari rigor mortis selama dibutuhkan. Rigor mortis dapat

“broken” dengan peregangan yang pasif dari otot-otot.

Setelah rigor mortis “broken”, itu tidak akan kembali. Jika

hanya sebagian rigor mortis yang dilakukan peregangan, maka

masih akan ada sisa rigor mortis yang “unbroken”.Rigor mortis

biasanya muncul 2-4 jam setelah kematian, dan muncul

keseluruhan dalam 6-12 jam. Ini dapat berubah-rubah. Ketika

rigor mortis terjadi, menyerang semua otot-otot pada saat

yang bersamaan dan kecepatan yang sama. Namun tampak lebih

jelas pada otot-otot yang lebih kecil, hal ini disebabkan

otot kecil memiliki lebih sedikit cadangan glikogen. Jadi

rigor mortis dikatakan muncul pertama kali pada otot-otot

yang lebih kecil seperti rahang, dan berurutan menyebar ke

kelompok otot besar. Penampakan awal dari rigor mortis

adalah pada rahang, ektremitas atas dan ekstremitas bawah.

Kira-kira 0-4 jam pasca mati klinis, mayat masih dalam

keadaan lemas, ini yang disebut relaksasi primer. Kemudian

terbentuk rigor mortis. Setelah 36 jam pasca mati klinis,

tubuh mayat akan lemas kembali sesuai urutan terbentuknya

kekakuan, ini disebut relaksasi sekunder.

Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku

jenazah adalah:

1. Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada

saat kematian dan menetap sesudah kematian akibat

hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan atau emosi

yang hebat sesaat sebelum mati.

2. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi

protein karena panas sehingga serabut otot memendek dan

terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang tersimpan

dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang

lama.

3. Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan

yang dingin sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh dan

pemadatan jaringan lemak subkutan sampai otot.

4. Keadaan-keadaan yang mempercepat terjadinya rigor mortis,

antara lain aktivitas fisik sebelum kematian, suhu tubuh

tinggi, suhu lingkungan tinggi, usia anak-anak dan orang

tua, dan gizi yang buruk.

Ada 4 kegunaan rigor mortis:

1. Menentukan lama kematian.

2. Menentukan posisi mayat setelah terjadi mortis.

3. Merupakan tanda pasti kematian.

4. Menentukan saat kematian.

c. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)

Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat

terhentinya produksi panas dan terjadinya pengeluaran panas

secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut disebabkan

perbedaan suhu antara mayatdengan lingkungannya. Suhu tubuh

pada orang meninggal secara bertahap akan sama dengan

lingkungan atau media sekitarnya karena metabolisme yang

menghasilkan panas terhenti setelah orang meninggal. Pada

jam pertama setelah kematian, penurunan suhu berjalan lambat

karena masih ada produksi panas dari proses gilkogenolisis

dan sesudah itu penurunan akan cepat terjadi dan menjadi

lambat kembali. Gambaran kurva penurunan suhu ini seperti

huruf ‘S’ terbalik (sigmoid).

Penurunan suhu tubuh dipengaruhi:

1) Faktor lingkungan (media)

Penurunan suhu tubuh cepat bila ada perbedaan besar suhu

lingkungan dengan tubuh mayat.Semakin rendah suhu media

tempat mayat terletak semakin cepat penurunan suhu tubuh

mayat. Penurunan suhu akan cepat bila intensitas aliran

udara besar, udara yang mengalir, dan udara lembab.

2) Keadaan fisik tubuh

Penurunan suhu tubuh makin lambat bila jaringan lemak dan

otot makin tebal. Pada mayat dengan tubuh kurus akan lebih

cepat dibanding yang gemuk.

3) Usia

Penurunan suhu akan cepat pada anak dan orang tua. Pada

bayi akan lebih cepat karena luas tubuh permukaan bayi

lebih besar.

4) Pakaian yang menutupi

Makin berlapis pakaian menutupi tubuh, penurunan suhu

makin lambat.

5) Suhu tubuh sebelum kematian

Penyakit dengan suhu tubuh tinggi pada saat meninggal

seperti kerusakan jaringan otak, perdarahan otak, infeksi,

asfiksia, penjeratan akan didahului peningkatan suhu

tubuh, hal ini menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih

cepat.

Beberapa dokter mencoba untuk menentukan berapa lama

seseorang telah meninggal dari suhu tubuhnya.Penentuan waktu

kematian dari suhu tubuh biasanya ditegakkan dengan

menggunakan rumus. Nomor dari rumus tersebut telah

ditemukan, beberapa mungkin sedikit membingungkan. Ada dua

rumus yang paling mudah digunakan adalah:

1. Waktu sejak kematian = 37oC – Suhu rektal (⁰C) + 3

98.6oF – Suhu rektal (⁰F)

2. Waktu sejak kematian = 1.5

Masalah pada semua rumus-rumus yang menggunakan suhu

tubuh untuk menetukan waktu kematian adalah bahwa mereka

berdasarkan dari asumsi bahwa suhu tubuh pada saat waktu

kematian adalah “normal”. Masalah yang kedua: Walaupun jika

kita tahu berapa suhu normal itu, apakah pada waktu

kematian, suhu dalam keadaan normal? Olahraga berat dapat

meningkatkan suhu rektal sampai 104oF.Infeksi secara nyata

dapat meningkatkan suhu tubuh.Perdarahan intraserebral atau

perlukaan otak dapat membuat sistem termoregulasi dari

batang otak tidak berfungsi, yang menyebabkan peningkatan

dari suhu tubuh.Paparan oleh dingin dapat menyebabkan

hipotermia, yaitu penurunan suhu tubuh.

d. Pembusukan (dekomposisi)

Dekomposisi terbentuk oleh dua proses: autolisis dan

putrefaction. Autolisis menghancurkan sel-sel dan organ-organ

melalui proses kimia aseptik yang disebabkan oleh enzim

intraselular. Proses kimia ini, dipercepat oleh panas,

diperlambat oleh dingin, dan dihentikan oleh pembekuan atau

penginaktifasi enzim oleh pemanasan. Organ-organ yang kaya

dengan enzim akan mengalami autolisis lebih cepat daripada

organ-organ dengan jumlah enzim yang lebih sedikit. Jadi,

pankreas mengalami autolisis lebih dahulu daripada

jantung.Bentuk kedua dari dekomposisi, yang mana pada setiap

individu berbeda-beda adalah putrefaction. Ini disebabkan oleh

bakteri dan fermentasi. Setelah kematian, bakteri flora dari

traktus gastrointestinal meluas keluar dari tubuh,

menghasilkan putrefaction. Ini mempercepat terjadinya sepsis

seseorang karena bakteri telah meluas keseluruh tubuh

sebelum kematian.

Onset dari putrefaction tergantung pada dua faktor utama:

lingkungan dan tubuh. Pada iklim panas, yang lebih penting

dari dua faktor tersebut adalah lingkungan. Banyak penulis

akan memberikan rangkaian dari kejadian-kejadian dari proses

dekomposisi dari tubuh mayat. Yang pertama adalah perubahan

warna menjadi hijau pada kuadran bawah abdomen, sisi kanan

lebih daripada sisi kiri, biasanya pada 24-36 jam pertama.

Ini diikuti oleh perubahan warna menjadi hijau pada kepala,

leher, dan pundak; pembengkakan dari wajah disebabkan oleh

perubahan gas pada bakteri; dan menjadi seperti pualam.

Seperti pualam ini dihasilkan oleh hemolisis dari darah

dalam pembuluh darah dengan reaksi dari hemoglobin dan

sulfida hydrogen dan membentuk warna hijau kehitaman

sepanjang pembuluh darah. Lama kelamaan tubuh mayat akan

menggembung secara keseluruhan (60-72 jam) diikuti oleh

formasi vesikel, kulit menjadi licin, dan rambut menjadi

licin. Pada saat itu, tubuh mayat yang pucat kehijauan

menjadi warna hijau kehitaman.

Dekomposisi terjadi cepat pada obesitas, pakaian yang

tebal, dan sepsis, semua yang mempertahankan tubuh tetap

hangat. Dekomposisi diperlambat oleh pakaian yang tipis atau

oleh tubuh yang berbaring pada permukaan yang terbuat dari

besi atau batu yang mana lebih cepat menjadi dingin karena

terjadi konduksi. Tubuh mayat yang membeku tidak akan

mengalami dekomposisi sampai di keluarkandari lemari es.

e. Mumifikasi

Pada lingkungan panas, iklim kering, tubuh mayat akan

mengalami dehidrasi secara cepat dan akan lebih mengalami

mumifikasi daripada dekomposisi. Pada saat kulit mengalami

perubahan dari coklat menjadi hitam, organ-organ interna

akan berlanjut memburuk, seringkali konsistensinya menurun

menjadi berwarna seperti dempul hitam kecoklatan. Mumifikasi

terjadi bila suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara

yang baik, tubuh yang dehidrasi, dan waktu yang lama (12 –

14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang

normal.

f. Adiposera

Adakalanya, tubuh mayat yang terdekomposisi akan

bertransformasi ke arah adiposera. Adiposera adalah suatu

bentuk tetap, berwarna putih keabu-abuan sampai coklat lilin

seperti bahan yang membusuk dan berminyak, asam stearat. Ini

dihasilkan oleh konversi dari lemak yang netral selama

perbusukan ke asam yang tidak dapat dijelaskan. Hal tersebut

lebih nyata pada jaringan subkutan, tetapi dapat terjadi

dimana saja bila terdapat lemak. Adiposera adalah benar-

benar suatu variasi dari putrefaction.

Hal ini terlihat paling sering pada tubuh yang

dibenamkan dalam air atau dalam keadaan lembab, lingkungan

yang hangat. Pada adiposera, lemak mengalami hidrolisis

untuk melepaskan asam lemak jenuh dengan peranan dari lipase

endogen dan enzim bacterial. Enzim bakterial, umumnya

berasal dari Clostridium perfringens, yang mengubah asam lemak

jenuh ini menjadi asam lemak hidroksi.4 Adiposera dikatakan

memakan waktu beberapa bulan untuk berkembang, walaupun

perkembangannya juga dapat terjadi singkat hanya selama

beberapa minggu. Hal ini bergantung pada tingkat perlawanan

dari bakteriologik dan degradasi dari kimia.

Toksikologi

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang mekanisme

kerja dan efek yang tidak diinginkan dari bahan kimia yang

bersifat racun serta dosis yang berbahaya terhadap tubuh

manusia (Prasetya Putri, 2011).

Macam-macam toksikologi:

1. Toksikologi klinis adalah bidang ilmu kedokteran yang

memberikan perhatian terhadap penyakit yang disebabkan oleh

bahan toksik atau hubungan yang unik dan spesifik dari

bahan toksik tersebut. Efek merugikan/toksik pada sistem

biologis dapat disebabkan oleh bahan kimia yang mengalami

biotransformasi dan dosis serta suasananya cocok untuk

menimbulkan keadaan toksik.

2. Toksikologi lingkungan: mempelajari efek dari bahan polutan

terhadap kehidupan dan pengaruhnnya pada ekosistem, yang

digunakan untuk mengevaluasi kaitan antara manusia dengan

polutan yang ada di lingkungan.

3. Toksikologi forensik: mempelajari aspek medikolegal dari

bahan kimia yang mempunyai efek membahayakan manusia/hewan

sehingga dapat dipakai untuk membantu mencari/menjelaskan

penyebab kematian pada penyelidikan seperti kasus

pembunuhan (Buchari, 2010).

Menurut Taylor, racun adalah suatu zat yang dalam jumlah

relatif kecil (bukan minimal), yang jika masuk atau mengenai

tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi

(efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan

kematian. Menurut Gradwohl racun adalah substansi yang tanpa

kekuatan mekanis, yang bila mengenai tubuh seorang (atau

masuk), akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh, kerugian,

bahkan kematian. Sehingga jika dua definisi di atas

digabungkan, racun adalah substansi kimia, yang dalam jumlah

relatif kecil, tetapi dengan dosis toksis, bila masuk atau

mengenai tubuh, tanpa kekuatan mekanis, tetapi hanya dengan

kekuatan daya kimianya, akan menimbulkan efek yang besar, yang

dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian (Santoso, 2005).

Efek toksisitas yang ditimbulkan oleh keracunan

makanan/minuman dapat bersifat akut atau kronis. Keracunan

akut ditimbulkan oleh bahan-bahan beracun yang memiliki

toksisitas yang tinggi, dimana dengan kuantitas yang kecil

sudah dapat menimbulkan efek fisiologis yang berat. Jenis

keracunan ini umumnya mudah diidentifikasi danmenjadi

perhatian masyarakat. Sebaliknya keracunan yang bersifat

kronis efek toksisitasnya baru dapat terlihat atau

teridentifikasi dalam waktu yang lama, umumnya tidak disadari

dan tidak mendapat perhatian. Peningkatan yang berarti

terhadap jumlah penderita penyakit yang dapat dipicu oleh

pengaruh bahan beracun seperti tumor (kanker), gangguan

enzimatik, gangguan metabolisme, gangguan sistem syaraf,

mungkin saja merupakan akibat dari penggunaan berbagai jenis

bahan kimia yang bersifat toksis dalam makanan yang dikonsumsi

masyarakat (Wirasuta, 2007).

Macam-macam dosis

1. Dosis pemakaian: dosis normal yang dipakai seseorang

tetapi tujuannya bukan untuk pengobatan. Misalnya untuk

menjaga kesehatan tubuh.

2. Dosis terapi: dosis yang cukup memberikan daya penyembuhan

yang optimal

3. Dosis minimal: dosis terkecil yang masih dapat memberikan

efek terapi

4. Dosis maksimal: dosis terbesar untuk sekali pemakaian atau

untuk 24 jam tanpa memperlihatkan efek toksik

5. Dosis toksik: dosis yang sedemikian besarnya dapat

menunjukkan efek toksik

6. Dosis letal: dosis yang sedemikian besarnya dapat

menyebabkan kematian pada hewan percobaan (Aria, 2008).

Cara masuk racun ke dalam tubuh

Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara

inhalasi. Cara masuk lain, berturut-turut ialah intravena,

intramuskular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan paling

lambat ialah bila melalui kulit yang sehat (Kedokteran

Forensik, 1997).

Cara kerja racun di dalam tubuh

1. Racun yang bekerja lokal

ü Racun bersifat korosif: lisol, asam dan basa kuat

ü Racun bersifat iritan: arsen, HgCl2

ü Racun bersifat anastetik: kokain, asam karbol

Racun-racun yang bekerja secara setempat ini, biasanya akan

menimbulkan sensasi nyeri yang hebat, disertai dengan

peradangan, bahkan kematian yang dapat disebabkan oleh syok

akibat nyerinya tersebut atau karena peradangan sebagai

kelanjutan dari perforasi yang terjadi pada saluran

pencernaan.

2. Racun yang bekerja sistemik

Walaupum kerjanya secara sistemik, racun-racun dalam

golongan ini biasanya memiliki akibat/afinitas pada salah

satu sistem atau organ tubuh yang lebih besar bila

dibandingkan dengan sistem atau organ tubuh lainnya.

ü Narkotik, barbiturate, dan alkohol terutama berpengaruh

pada susunan syaraf pusat

ü Digitalis, asam oksalat terutama berpengaruh terhadap

jantung

ü Strychine terutama berpengaruh terhadap sumsum tulang

belakang

ü CO, dan HCN terutama berpengaruh terhadap darah dan enzim

pernafasan

ü Cantharides dan HgCl2 terutama berpengaruh terhadap

ginjal

ü Insektisida golongan hidrokarbon terutama berpengaruh

terhadap hati

3. Racun yang bekerja lokal dan sistemik

Misalnya:

ü Asam oksalat

ü Asam karbol

Selain menimbulkan rasa nyeri (efek lokal) juga akan

menimbulkan depresi pada susunan syaraf pusat (efek

sistemik). Hal ini dimungkinkan karena sebagian dari asam

karbol tersebut akan diserap dan berpengaruh terhadap

otak.

ü Arsen

ü Garam Pb (Emo, 2010).

Faktor yang mempengaruhi kerja racun

1. Cara pemberian

Setiap racun baru akan menimbulkan efek yang maksimal pada

tubuh jika cara pemberiannya tepat. Misalnya jika racun-

racun yang berbentuk gas tertentu akan memberikan efek

maksimal bila masuknya ke dalam tubuh secara inhalasi. Jika

racun tersebut masuk ke dalam tubuh secara ingesti tentu

tidak akan menimbulkan akibat yang sama hebatnya walaupun

dosis yang masuk ke dalam tubuh sama besarnya.

Berdasarkan cara pemberian, maka umumnya racun akan paling

cepat bekerja pada tubuh jika masuk secara inhalasi,

kemudian secara injeksi (i.v, i.m, dan s.c), ingesti,

absorbsi melalui mukosa, dan yang paling lambat jika racun

tersebut masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang sehat.

2. Keadaan tubuh

ü Umur

Pada umumnya anak-anak dan rang tua lebih sensitif

terhadap racun bila dibandingkan dengan orang dewasa.

Tetapi beberapa jenis racun seperti barbiturate dan

belladonna, justru anak-anak akan lebih tahan.

ü Kesehatan

Pada orang-orang yang menderita penyakit hati atau

penyakit ginjal, biasanya akan lebih mudah keracunan bila

dibandingkan dengan orang sehat, walaupun racun yang masuk

ke dalam tubuhnya belum mencapai dosis toksis. Hal ini

dapat dimengerti karena pada orang-orang tersebut, proses

detoksikasi tidak berjalan dengan baik, demikian halnya

dengan ekskresinya. Pada mereka yang menderita penyakit

yang disertai dengan peningkatan suhu atau penyakit pada

saluran pencernaan, maka penyerapan racun pada umumnya

jelek, sehingga jika pada penderita tersebut terjadi

kematian, kita tidak boleh terburu-buru mengambil

kesimpulan bahwa kematian seseorang karena penyakit tanpa

penelitian yang teliti, misalnya pada kasus keracunan

arsen (tipe gastrointestinal) dimana disini gejala

keracunannya mirip dengan gejala gastrointeritis yang

lumrah dijumpai.

ü Kebiasaan

Faktor ini berpengaruh dalam hal besarnya dosis racun yang

dapat menimbulkan gejala-gejala keracunan atau kematian,

yaitu karena terjadinya toleransi. Tetapi perlu diingat

bahwa toleransi itu tidak selamanya menetap. Menurunnya

toleransi sering terjadi misalnya pada pecandu narkotik,

yang dalam beberapa waktu tidak menggunakan narkotik lagi.

Menurunnya toleransi inilah yang dapat menerangkan mengapa

pada para pecandu tersebut bisa terjadi kematian, walaupun

dosis yang digunakan sama besarnya.

ü Hipersensitif (alergi idiosinkrasi)

Banyak preparat seperti vitamin B1, penisilin,

streptomisin dan preparat-preparat yang mengandung yodium

menyebabkan kematian, karena si korban sangat rentan

terhadap preparat-preparat tersebut. Dari segi ilmu

kehakiman, keadaan tersebut tidak boleh dilupakan, kita

harus menentukan apakah kematian korban memang benar

disebabkan oleh karena hipersinsitif dan harus ditentukan

pula apakah pemberian preparat-preparat mempunyai

indikasi. Ada tidaknya indikasi pemberi preparat tersebut

dapat mempengaruhi berat-ringannya hukuman yang akan

dikenakan pada pemberi preparat tersebut.

3. Sifat Racunnya sendiri

ü Dosis

Besar kecilnya dosis racun akan menentukan berat-ringannya

akibat yang ditimbulkan. Dalam hal ini tidak boleh

dilupakan akan adanya faktor toleransi, dan intoleransi

individual. Pada toleransi, gejala keracunan akan tampak

walaupun racun yang masuk ke dalam tubuh belum mencapai

level toksik. Keadaan intoleransi tersebut dapat bersifat

bawaan/kongenital atau toleransi yang didapat setelah

seseorang menderita penyakit yang mengakibatkan gangguan

pada organ yang berfungsi melakukan detoksifikasi dan

ekskresi.

ü Konsentrasi

Untuk racun-racun yang kerjanya dalam tubuh secara lokal

misalnya zat-zat korosif, konsentrasi lebih penting bila

dibandingkan dengan dosis total. Keadaan tersebut berbeda

dengan racun yang bekerja secara sistemik, dimana dalam

hal ini dosislah yang berperan dalam menentukan berat-

ringannya akibat yang ditimbulkan oleh racun tersebut.

ü Bentuk dan kombinasi fisik

Racun yang berbentuk cair tentunya akan lebih cepat

menimbulkan efek bila dibandingkan dengan yang berbentuk

padat. Seseorang yang menelan racun dalam keadaan lambung

kosong tentu akan lebih cepat keracunan bila dibandingkan

dengan orang yang menelan racun dalam keadaan lambungnya

berisi makanan.

ü Adiksi dan sinergisme

Barbiturate, misalnya jika diberikan bersama-sama dengan

alkohol, morfin, atau CO, dapat menyebabkan kematian,

walaupun dosis letal. Dari segi hukum kedokteran

kehakiman, kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal seperti

itu tidak boleh dilupakan, terutama jika menghadapi kasus

dimana kadar racun yang ditemukan rendah sekali, dan dalam

hal demikian harus dicari kemungkinan adanya racun lain

yang mempunyai sifat aditif (sinergitik dengan racun yang

ditemukan), sebelum kita tiba pada kesimpulan bahwa

kematian korban disebabkan karena anafilaksi yang fatal

atau karena adanya toleransi.

ü Susunan kimia

Ada beberapa zat yang jika diberikan dalam susunan kimia

tertentu tidak akan menimbulkan gejala keracunan, tetapi

bila diberikan secara tersendiri terjadi hal yang

sebaliknya.

ü Antagonisme

Kadang-kadang dijumpai kasus dimana seseorang memakan

lebih dari satu macam racun, tetapi tidak mengakibatkan

apa-apa, oleh karena reaksi-reaksi tersebut saling

menetralisir satu sama lain. Dalam klinik adanya sifat

antagonis ini dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya

nalorfin dan kaloxone yang dipakai untuk mengatasi depresi

pernafasan dan oedema paru-paru yang terjadi pada

keracunan akut obat-obatan golongan narkotik (Santoso,

2005).

Pemeriksaan toksikologi

Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun

umumnya tidak akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang

dapat dijadikan pegangan untuk menegakan diagnose atau

menentukan sebab kematian karena racun suatu zat. Jadi

pemeriksaan toksikologi mutlak harus dilakukan untuk

menentukan adanya racun pada setian kasus keracunan atau yang

diduga mati akibat racun. Setelah mayat si korban dibedah oleh

dokter kemudian diambil dan dikumpulkan jaringan-jaringan atau

organ-organ tubuh si korban untuk dijadikan barang bukti dan

bahan pemeriksaan toksikologi. Prinsip pengambilan sampel pada

keracunan adalah diambil sebanyak-banyaknya setelah disishkan

untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologis.

Prinsip pengambilan sample pada kasus keracunan adalah

diambil sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk

cadangan dan untuk pemeriksaan histopatologik. Pengambilan

sample untuk pemeriksaan toksikologi adalah sebagai berikut :

1. Lambung dengan isinya.

2. Seluruh usus dengan isinya

3. Darah, dari sentral (jantung), dan dari perifer (v.

jugularis. A. femoralis dsb).

4. Hati.

5. Ginjal, diambil keduanya.

6. Otak.

7. Urin.

8. Empedu bersama-sama dengan kantung empedu.

9. Limpa.

10. Paru-paru

11. Lemak badan.

Dasar Hukum

Pasal 202

(1) Barangsiapa memasukkan barang sesuatu ke dalam sumur,

pompa, sumber atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum

atau untuk dipakai oleh atau bersama-sama dengan orang lain,

padahal diketahuinya bahwa karena perbuatan itu air lalu

berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang ber-

salah diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 203

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

bahwa barang sesuatu dimasukkan ke dalam sumur, pompa, sumber

atau ke dalam perlengkapan air minum untuk umum atau untuk

dipakai oleh, atau bersama-sama dengan orang lain, sehingga

karena perbuatan itu air lalu berbahaya bagi nyawa atau

kesehatan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 204

(1) Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-

bagikan barang yang diketahuinya membahayakan nyawa atau

kesehatan orang, padahal sifat; berhahaya itu tidak diberi

tahu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas

tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakihatkan orang mati, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pasal 205

(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan

barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang,

dijual, diserahkan atau di bagi-bagikan tanpa diketahui sifat

berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam

dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana

kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan orang mati, yang bersalah

diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(3) Barang-barang itu dapat disita (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, 2010).

Undang-undang RI No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika

‐ Penyalahgunaan (pasal 59 ayat 1a)

‐ Pengedar (pasal 59 ayat 1c)

‐ Produsen (pasal 59 ayat 1 dan 2)

Undang-undang RI No.35 Tahun 2009 tentang narkotika

Kepres RI No. 3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian

minuma beralkohol.

Keracunan Narkoba

Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah

keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati

serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan

cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain

sebagainya (Kurniawan, 2008)

Narkoba dibagi dalam 3 jenis :

1. Narkotika

2. Psikotropika

3. Zat adiktif lainnya

Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintesis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan ( Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 tahun 2009).

Jenis narkotika di bagi atas 3 golongan :

a. Narkotika golongan I : adalah narkotika yang paling

berbahaya, daya adiktif sangat tinggi menyebabkan

ketergantunggan. Tidak dapat digunakan untuk kepentingan

apapun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan.

Contoh : ganja, morphine, putauw adalah heroin tidak murni

berupa bubuk.

b. Narkotika golongan II : adalah narkotika yang memilki daya

adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan

penelitian. Contoh : petidin dan turunannya, benzetidin,

betametadol.

c. Narkotika golongan III : adalah narkotika yang memiliki

daya adiktif ringan, tetapi dapat bermanfaat untuk

pengobatan dan penelitian. Contoh : codein dan turunannya

(Martono, 2006).

Tanda dan Gejala Keracunan

Keracunan dapat terjadi secara akut maupun kronik.

Keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri,

tetapi dapat pula terjadi pada kecelakaan dan pembunuhan.

Gejala keracunan diawali dengan eksitasi susuan saraf yang

kemudian disusul oleh narkosis. Penderita merasa ngantuk, yang

makin lama makin dalam dan berakhir dengan keadaan koma,

terdapat relaksasi otot-otot sehingga lidah dapat menutupi

saluran nafas, nadi kecil dan lemah, pernafasan sukar,

irregular, pernafasan dangkal – lambat, suhu badan turun, muka

pucat, pupil miosis (pin-head size) yang akan melebar kenbali

setelah terjadi anoksia, tekanan darah menurun hingga syok.

Pemeriksaan Forensik

Pada korban hidup perlu dilakukan pengambilan

darah dan urin untuk pemeriksaan laboratorium. Pada

pemeriksaan luar jenazah, dapat ditemukan adanya bekas

suntikan, pembesaran kelenjar getah bening setempat, lepuh

kulit (skin blister), tanda asfiksia (busa halus dari lubang

hidung dan mulut), sianosis pada ujung jari dan biir,

perdarahan petekial pada konjungtiva dan pada pemakaian

narkotika dengan cara sniffing (menghirup), kadang dijumpai

perforasi septum nasi. Hasil pemeriksaan dalam menunjukkan

darah berwarna gelap dan cair, terdapat gumpalan masa coklat

kehitaman pada lambung, trakea dan bronkus kongesti dan

berbusa, paru kongesti dan edema.

Pemeriksaan Laboratorium

Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin,

cairan empedu dan jaringan sekitar suntikan. Untuk pemeriksaan

toksikologi dilakukan dengan :

- Uji Marquis : 40 tetes formaldehyde 40% dalam 60 ml asam

sulfat pekat. Tes ini cukup sensitive dengan sensitifitas

berkisar antara 0,05 mikrogram – 1 mikrogram. Hasil positif

unutk opium, morfin, heroin, kodein adalah warna merah-ungu.

- Uji Mikrokristal : lebih sensitif dan lebih khas. Caranya

1 tetes larutan narkotika ditambah dengan reagen dan dengan

mikroskop dilihat kristal apa yang terbentuk. Untuk morfin

berupa plates, heroin berupa fine dendrites atau rosettes,

kodein berupa gelatinous rosettes dan pethidin berupa feathery

rosettes

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Peraturan Perundang-undangan Bidang

Kedokteran. Edisi pertama, cetakan kedua. Jakarta: Bagian

Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1994.

2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im

A, Sidhi et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama,

cetakan kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.

3. Idris MA. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi

pertama, cetakan pertama. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.

4. Alifia, U, 2008. Apa Itu Narkotika dan Napza. Semarang:

PT Bengawan Ilmu.

5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van

Strafrecht).http://hukum.unsrat.ac.id/uu/kuhpidana.htm#b1_2

. Diakses tanggal 21 Juni 2012.

6. Kurniawan, J, 2008. Arti Definisi & Pengertian Narkoba

Dan Golongan/Jenis Narkoba Sebagai Zat Terlarang.

http://juliuskurnia.wordpress.com/2008/04/07/arti-definisi-

pengertian-narkoba-dan-golonganjenis-narkoba-sebagai-zat-

terlarang. Diakses tanggal 20 Juni 2012.

7. Mun’im Idries, Abdul. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran

Forensik dalam Proses Penyidikan. Jakarta: Sagung Seto.

8. Prasetya Putri, Indah. 2011.

Toksikologi.http://imindah.blogspot.com/2011/06/toksikologi.

html . Diakses tanggal 20 Juni 2012.

9. Sinaga, Edward J. 2010. Peranan Toksikologi Dalam

Pembuatan Visum Et Repertum Terhadap Pembuktian Tindak

Pidana Pembunuhan Dengan Menggunakan

Racun.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20996/

3/Chapter%20II.pdf . Diakses tanggal 21 Juni 2012.

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika.

11. Wirasuta, IMAG. 2007. Toksikologi

Umum.http://www.scribd.com/doc/27116301/Toksikologi-Umum .

Diakses tanggal 20 Juni 2012.

12. Wirasuta, IMAG. 2009. Analisis Toksikologi Forensik.

http://gelgel-wirasuta.blogspot.com/2009/12/analisis-

toksikologi-forensik.html#! . Diakses tanggal 16 Juni 2012.