UNIT KERJA KOORDINASI NEFROLOGI IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Dokter Forensik 1 ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Dokter Forensik 1 ...
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Dokter Forensik
1. Pengertian Dokter Forensik
Kedokteran spesialis forensik atau forensik adalah penggunaan ilmu
kedokteran untuk tujuan peradilan untuk menetapkan hubungan sebab
akibat antara tindakan dan konsekuensi dari tindakan, hal itu yang
menyebabkan kerusakan tubuh, masalah kesehatan, atau mengakibatkan
kematian, dalam hal yang dapat dicurigai adalah hasil dari kejahatan1.
Dokter forensic juga dapart disebut sebagai ahli patologi forensik
yang mana adalah spesialis dalam patologi yang memiliki bidang
kompetensi khusus dalam pemeriksaan terhadap orang yang mati
mendadak, tidak terduga atau dengan kekerasan. Jadi, seorang yang ahli
dalam menentukan penyebab dan cara kematian seseorang disebut ahli
patologi forensic.
2. Dasar Hukum Pemeriksaan Kedokteran Forensik
a. “Pasal 7 KUHAP (1) Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.” 2
1 Aflani I, Nirmalasari N, dan Arizal MH, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal,
2017, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2 Lihat Pasal 7 KUHAP Ayat (1)
13
b. “Pasal 65 KUHAP Tersangka atau terdakwa berhak untuk
mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang
memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang
menguntungkan bagi dirinya.” 3
c. “Pasal 108 KUHAP Setiap pegawai negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya
peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib, segera melaporkan
hal itu kepada penyelidik atau penyidik.” 4
d. “Pasal 120 KUHAP (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia
dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian
khusus; (2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan
janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut
pengetahuannya yang sebaik – baiknya kecuali bila disebabkan
karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.” 5
e. “Pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani korban luka, keracunan, atau mati yang diduga
akibat peristiwa tindak pidana, penyidik berwenang mengajukan
permintaan keterangan kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan/atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli
3 Lihat Pasal 65 KUHAP 4 Lihat Pasal 108 KUHAP 5 Lihat Pasal 120 KUHAP
14
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan
luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat (3)
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan kepada mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan
di ibu jari kaki atau bagian lain dari badan mayat.” 6
f. “Pasal 134 KUHAP (1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk
keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari,
penyidik wajib memberitahukan dahulu kepada keluarga korban (2)
Dalam hal ini keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan tersebut (3) Apabila dalam waktu dua
hari tidak ada tanggapan apa pun dari keluarga atau pihak yang perlu
diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-
undang ini.” 7
g. “Pasal 135 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal
6 Lihat Pasal 133 KUHAP 7 Lihat Pasal 134 KUHAP
15
134 ayat (1) undang-undang ini (2) Hakim menentukan sah atau
tidaknya segala alasan untuk permintaan berikut.” 8
h. “Pasal 170 KUHAP (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat
martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai
saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (2) Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.” 9
i. “Pasal 180 KUHAP (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan
duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua
sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar
diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan (2) Dalam hal timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum
terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang (3)
Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan
penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2); (3)Penelitian
ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi personil yang berasal dari instansi
lain yang mempunyai wewenang untuk itu.” 10
8 Lihat Pasal 135 KUHAP 9 Lihat Pasal 170 KUHAP 10 Lihat Pasal 180 KUHAP
16
j. “Pasal 184 KUHAP pada ayat (1) Alat bukti yang sah adalah:
Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan
terdakwa.” 11
k. “Pasal 186 KUHAP Keterangan ahli ialah yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan.” 12
l. “Pasal 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat
forensik diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” 13
m. “Pasal 224 KUHP Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau
juru bahasa menurut undang-undang, dengan sengaja tidak
memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam:
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan.
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam
bulan.” 14
11 Lihat Pasal 184 KUHAP 12 Lihat Pasal 186 KUHAP 13 Lihat Pasal 222 KUHP 14 Lihat Pasal 224 KUHP
17
3. Tugas dan Kewajiban Dokter Spesialis Forensik
Tugas dari kedokteran forensik adalah membantu proses peradilan
pihak yang berperkara khususnya hakim untuk membuat jelas jalannya
perkara supaya hakim bisa memutuskan lebih tepat, adil dan benar. 15
Sedangkan mengenai kewajiban dokter forensik, yaitu :
a) Mempraktikkan etika profesi spesialis forensik dan mengikuti prosedur
medikolegal serta mewujudkan tugas ataupun tanggung jawabnya
sebagai spesialis forensic. 16
b) Menanamkan diagnosa medis forensik dan medikolegal terhadap
korban hidup dan mati, penanganan kasus sesuai dengan aspek sosio-
yuridis dan medikolegal, dan mengkomunikasikan keahlian yang
dihasilkan kepada pihak yang berwenang, termasuk membuat sertifikasi
forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. 17
c) Merancang dan memproses, dan mengawasi kegiatan unit kedokteran
forensik dan perawatan kamar mayat di institusi perawatan kesehatan.18
d) Berperan aktif dalam tim penanganan kasus forensik dan tim etiket
rumah sakit.19
15 Lifestyle.kompas.com, Sekilas Mengenal Peran Kedokteran Forensik, diakses pada
tanggal 30 Maret 2021 pukul 09.00 WIB 16 Daftar Kewenangan Klinis Dokter Spesialis Dokter Forensik,
https://www.scribd.com/doc/293263458/Daftar-Kewenangan-Klinis-Dokter-Spesialis-Forensik. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid.
18
e) Bertindak sebagai pengajar dan pengawas di bidang forensik, etika, dan
medikolegal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.20
f) Berperan serta secara aktif dalam mengembangkan ilmu kedokteran
khususnya bidang forensic, etika dan medikolegal melalui kepenulisan
karya ilmiah yang dipresentasikan serta disajikan kedalam hasil
penelitian.21
4. Peran Dokter Spesialis Forensik
Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya untuk
kepentingan peradilan dalam hal:22
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
2. Pemeriksaan terhadap korban, untuk mengetahui:
a. Ada atau tidaknya penganiayaan
b. Ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan
c. Usia seseorang
d. Kepastian meninggalnya seorang bayi dalam kandungan ibu.
Semua itu, akan dijadikan landasan untuk menentukan ada atau
tidaknya pelanggaran terhadap pasal 352, 351, 285, 292, 341,
342, 288, dan 44 KUHP Pidana.
20 Ibid. 21 Ibid.
22 Ohowiutun YAT, Ilmu Kedokteran Forensik: Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu
Kedokteran. 2016, Digital Repository Universitas Negeri Jember.
19
3. Memberikan keterangan, pendapat, dan nasihat sejak pada penyidikan
pertama sampai pada sidang pengadilan
4. Melakukan pekerjaan teknis, yaitu:
a. Melakukan pemeriksaan pertama di TKP
b. Melakukan pemeriksaan terhadap korban hidup
c. Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka
d. Melakukan pemeriksaan terhadap korban yang meninggal
e. Memimpin penggalian jenazah untuk kepentingan peradilan
f. Melakukan pemeriksaan terhadap benda-benda yang berasal atau
diduga berasal dari tubuh manusia
5. Pemeriksaan Penunjang Kedokteran Forensik
Dalam rangka menemukan kebenaran materiil, diperlukan
pemeriksaan penunjang kedokteran forensik yang meliputi: 23
1. Pemeriksaan Toksikologi Forensik, adalah aplikasi ilmu alam untuk
menganalisis kandungan racun atas dugaan adanya tindak pidana.
2. Pemeriksaan Histopatologi, adalah pemeriksaan mikroskopik pada
salah satu bagian jaringan menggunakan teknik histologist.
3. Pemeriksaan Antropologi Forensik, adalah aplikasi dari antropologi
fisik atau biologi antropologi ke dalam perkara.
4. Pemeriksaan teknik superimposisi, adalah cara identifikasi mayat
dengan cara membandingkan kerangka/tengkorak yang diketemukan
23 Ibid.
20
dengan korban pada waktu hidup, dan ciri-ciri khusus yang ada pada
tubuh korban.
5. Pemeriksaan laboratorium forensik, adalah pemeriksaan laboratorium
untuk menemukan kebenaran materiil.
B. Dokter Forensik Sebagai Pembuat Dokumen Visum et Repertum
1. Tata Laksana Bantuan Dokter
Ketentuan tentang tata laksana bantuan dokter pada perkara pidana
terdapat pada pasal-pasal dari KUHAP yang mengatur tentang ahli.
Kecuali itu terdapat juga pada pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang
saksi berlaku juga bagi ahli ( Pasal 179 pada angka 2 ). Tata laksana itu
meliputi:
a) Kapan Permintaan Dokter Itu Dapat Diajukan.
Sebagaimana diketahui bahwa proses peradilan dari suatu tindak
pidana dibagi menjadi berbagai tingkat. Dari berbagai tingkat itu maka
permintaan bantuan dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan pada
tingkat:
1. Penyidikan
2. Penyidikan Tambahan
3. Sidang pengadilan
Penyidikan tambahan adalah penyidikan yang dilakukan atas
petunjuk umum berkenaan dengan dikembalikannya berkas perkara
karena belum lengkap. Dalam hal belum lengkap itu karena penyidik
lalai tidak memanfaatkan bantuan dokter sebagai ahli sedangkan dalam
21
perkara tersebut bantuan dokter seharusnya perlu, maka penuntut
umum dapat menyarankannya.
b) Siapa yang Berhak Meminta Bantuan Dokter
Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tidak semua
orang dapat meminta bantuan dokter dalam menyelidiki suatu kasus
pidana. Orang yang berhak meminta bantuan dokter sebagai ahli
ditinjau dari KUHAP antara lain :
Menurut “Pasal 120 angka 1 KUHAP menyatakan: Dalam hal
dianggap perlu, penyidik dapat meminta pendapat ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus”. 24
Menurut “Pasal 180 angka 1 KUHAP menyatakan : Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,
hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta diajukan
bahan baru oleh yang berkepentingan” . 25
Hal ini dapat ditentukan yang akan mengajukan permintaan
bantuan kepada dokter itu ialah jaksa penuntut umum, karena ia yang
berwenang melaksanakan semua penetapan hakim. Maka agar tidak
terjadi kesalah pahaman dengan dokter yang dimintai bantuan itu, jaksa
penuntut umum dalam surat permintaannya perlu menyebutkan bahwa
permintaan tersebut diajukan dalam rangka melaksanakan penetapan
hakim.
Korban ataupun keluarganya begitu pula dengan terdakwa atau
24 Lihat Pasal 120 KUHAP angka 1 25 Lihat Pasal 180 KUHAP angka 1
22
penasehat hukumnya tidak dapat mengajukan permintaan bantuan
dokter sebagai ahli, hak korban atau keluarganya hanya berhak
melaporkan tindak pidana yang dialaminya itu kepada kepolisian,
sedangkan hak terdakwa ataupun penasehat hukumnya ialah
mengajukan permohonan kepada hakim ketua sidang untuk
mengusahakan dan mengajukan ahli ( termasuk dokter ) guna
memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Jadi korban
atau keluarganya dan terdakwa atau penasehat hukumnya tidak
mempunyai wewenang untuk mengajukan permintaan bantuan kepada
dokter secara langsung.26
2. Kerjasama Penyidik dan Dokter
Agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar, maka
penyidik dan dokter perlu bekerjasama dan juga perlu mengetahui
bagaimana cara penanganan yang seharusnya bila mereka diharuskan
melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Proses
kerjasama tersebut dapat dilakukan antara lain dengan: 27
a. Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana pada suatu tempat yang
menyangkut nyawa manusia (mati) telah terjadi, maka pihak
penyidik dapat meminta bnatuan dari dokter untuk melakukan
26 Hasil wawancara dengan Dr. Ariyanto, Sp.F di RS Dr Soetomo Surabaya, pada tanggal 3 Maret
2021 27 Abdul Mun’im Idries, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya
Unipres, Jakarta, 1993, hlm. 286.
23
pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut ( dasar
hukum Pasal 120 dan Pasal 133 KUHAP).
b. Dokter tersebut harus selalu mengingat untuk tidak melakukan
tindakan-tindakan yang dapat merubah, mengganggu, atau
merusak keadaan ditempat kejadian perkara tersebut,
walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan itu dokter
harus mengumpulkan segala bukti (traveevidence).
c. Sebelum dokter memulai dan melakukan pemeriksaan maka
terlebih dahulu aparat keamanan haruslah menjaga keamanan
dilokasi kejadian dan dijaga keaslian TKP tersebut.
Namun sebelum dokter datang ke TKP maka ada beberapa hal yang
perlu dicatat mengingat akan kepentingannya antara lain: 28
a. Siapa yang meminta datang ke TKP dan bagaimana
permintaan tersebut sampai ke tangan dokter, dimana TKP
serta saat permintaan itu diajukan.
b. Dokter haruslah meminta informasi secara global tentang
kasusnya dengan demikian dokter dapat membuat
persiapanseperlunya.
c. Dokter wajib selalu mengingat motto “to touch as little as
possible and to displace nothing”.. ( ia tidak boleh menambah
ataupun mengurangi benda-benda yang ada di TKP tersebut).
28 Ibid, hlm.288.
24
d. Pada TKP dokter harus membuat foto dan sketsa yang mana
harus disimpan dengan baik oleh karena ada kemungkinan ia
akan diajukan sebagai saksi di pengadilan.
e. Pembuatan foto atau sketsa itu harus memenuhi standart
sehingga kedua belah pihak yaitu dokter dan penyidik tidak
akan memberikan penafsiran yang berbeda atas objek yang
sama.
3. Cara Mengajukan Permintaan Bantuan Dokter
Ada beberapa langkah yang wajib dilakukan untuk mengajukan
permintaan bantuan dokter sebagai ahli adalah sebagai berikut:29
a. Permintaan itu harus diajukan secara tertulis.
b. Harus disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang dikehendaki
misalnya dalam hal objek yang dimintakan pemeriksaan mayat itu
harus ditegaskan untuk pemeriksaan luar saja atau bedah jenazah.
c. Surat permintaan tersebut harus disampaikan kepada dokter
bersama-sama dengan objek yang akan diperiksanya terutama
mengenai objek korban hidup yang menderita luka-luka.
d. Hal ini sangat perlu untuk tidak menyulitkan dokter dalam
memberikan keterangannya berkenaan dengan rahasia
29 Hasil wawancara dengan Dr. Ariyanto, Sp.F, RS Dr. Soetomo Surabaya, pada tanggal 3 Maret
2021.
25
kedokterannya.
e. Dalam hal objek orang mati itu sudah dikubur maka permintaan itu
sudah tentu dapat diajukan terlebih dahulu, sedangkan objek orang
mati tersebut dapat digali di kemudian hari bersama-sama dokter.
C. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Bagi Dokter Forensik
1. Pengertian Umum Perlindungan Hukum
Padahal, hukum dapat dilihat dari delapan pengertian, yaitu hukum
penguasa, hukum pejabat, hukum tingkah laku dan sikap, hukum tata
aturan, dan hukum hukum. Struktur nilai, hukum dalam arti ketertiban
hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum.
Beberapa pengertian hukum dapat dijelaskan dari sudut yang
berbeda, hukum bukan hanya peraturan perundang-undangan tertulis dan
aparat penegak hukum yang dipahami oleh orang awam yang tidak
memahami hukum, tetapi juga mencakup hal-hal yang benar-benar ada
dalam interaksi sosial. 30
Mengenai pengertian perlindungan hukum lebih jauh, ada baiknya
memahami makna perlindungan. Dalam KBBI, Perlindungan bermula dari
kata lindung yang diartikan perlindungan, pencegahan, pembelaan, dan
penguatan. Pada saat yang sama, perlindungan berarti melindungi,
memelihara, menjaga, melindungi dan mengisi bahan bakar. Fungsi
perlindungan ini adalah untuk melindungi apa yang dianggap sebagai
30 Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
26
ancaman terhadap kepentingan, benda atau barang. Biasanya perlindungan
dikasihkan ke minoritas atau kurang beruntung.
Dalam merumuskan asas-asas perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah nasional.
Konsep perlindungan hukum orang Barat didasarkan pada konsep
Rechtstaat dan “rule of law”. Asas perlindungan hukum Indonesia
didasarkan pada kerangka ideologi Pancasila berdasarkan konsep Barat,
dan berakar pada asas Pancasila yang mengakui dan melindungi harkat dan
martabat manusia. Asas perlindungan hukum dari tindakan pemerintah
berasal dari dan bersumber dari konsep pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia, yang bertujuan untuk membatasi dan menetapkan beban
masyarakat serta pemerintah.31
Ada beberapa pandngan arti makna perlindungan hukum, antara
lain:
a. Pendapat Soerjono Soekanto, Perlindungan Hukum ialah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban,
perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai
bentuk, seperti melalui pemberian resitusi, kompensasi,
pelayanan medis, serta bantuan hukum. 32
31 Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Huge, hal 72-73 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, jakarta, 1984, hlm. 133.
27
b. Muktie A. Fadjar berpendapat Perlindungan Hukum yakni
penyempitan dari arti Perlindungan, dalam hal ini hanya
perlindungan oleh hum saja. Perlindungan yang diberikan oleh
hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam
hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subjek dari hukum itu
sendiri dalm interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum hukum manusia
memiliki hak dan kewajiban untuk melakuka suatu tindakan
hukum. 33
c. Pendapat Satjipto Raharjo, Perlindungan Hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
mesyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum. 34
d. Setiono menafsirkan Perlindungan Hukum adalah tindakan atau
upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-
wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum,
untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia. 35
33 Muktie, A.Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm 74. 34 Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm.
121. 35 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. Hlm. 3.
28
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Menurut Muchsin, Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan pelaksanaanya dengan suatu sanksi Perlindungan hukum
dapt dibedakan menjadi dua, yakni :
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan atau hukum represif merupakan perlindungan akhir
berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tabahan yang
diberikan apala sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sara perlindungan huuku ada
dua macam, yaitu :
a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungn hukum preventif ini, suyek hukum
diberian kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya
29
sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi
tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak
karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif
pemerintah terdorong untuk bersifat hati hati dalam mengambil
keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada
pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
b. Sarana perlindungan hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh
Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia
termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan
hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber
dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan dan peletakan
kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang
mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan
adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat
utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.
Bahwa pada dasarnya adil dan jujur serta bertanggung jawab
atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadlian dan hukum harus
ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan
30
keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang
menghendaki tercapainya masyarakat yng aman dan damai.
Kadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum dalam negara
hukum ini. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan
manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :
a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)
b. Kemanfaat hukum Zeweckmassigkeit)
c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)
d. Jaminan Hukum ( Doelmatigkeit) 36
Dalam penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan
jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti
untuk mengahsilkan keadilan hukum melaksanakan dengan baik
serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga
tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah
dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan
unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan
hukum. 37
3. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Indonesia
Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004
tertuang juga tentang pengertian dokter. Dokter dan dokter gigi adalah
dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan
36 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 43. 37 Ibid, hlm 44
31
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Praktik kedokteran adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam
melaksanakan upaya kesehatan. Dalam pasal 50 huruf a Undang-undang
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Pratik Kedokteran menyatakan bahwa
“Pasal 50 huruf a “Dokter dan Dokter Gigi dalam praktik kedokteran
mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional.”
Untuk mewujudkan praktik kedokteran yang baik memerlukan
sistem pelayanan kesehatan yang baik sehingga praktek kedokteran
dilakukan dengan standar tertinggi. Dalam pelaksanaan praktek
kedokteran di Indonesia ternyata tidaklah berjalan dengan standar
disebabkan dokter melakukan pelayanan kedokteran penuh dengan
tekanan dan usaha menurunkan nilai standar tersebut.
D. Tinjauan Umum Visum et Repertum (VeR)
1. Pengertian Visum et Repertum (VeR)
Visum et repertum (VeR) adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu
Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum
berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari
arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda
melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
32
tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan,
sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat
dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et
repertum (VeR) adalah apa yang dilihat dan diketemukan.38
Visum et repertum (VeR) berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran
Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan
Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan
bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah
ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu
peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata).
Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu
kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus
perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan
kedokteran.39
Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada
saat terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban
yang luka atau meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini
akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat
yang dikenal dengan istilah visum et repertum (VeR).74 Dalam Surat
Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal
10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman
38 H.M. Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Malang, Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang,
2001, hlm. 1 39 Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Bandung,
Tarsito, 1983, hlm. 10.
33
disebut sebagai Visum et repertum (VeR). Pendapat seorang dokter yang
dituangkan dalam sebuah Visum et repertum (VeR) sangat diperlukan oleh
seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah
persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara
pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan kedokteran forensik ini.
Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan
digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184
KUHAP tentang alat bukti.40Artinya, hasil Visum et repertum (VeR) ini
bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara
pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya
KUHAP tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian
visum et repertum (VeR). Satu-satunya ketentuan perundangan yang
memberikan pengertian mengenai visum et repertum (VeR) yaitu
Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad
tersebut bahwa : “Visum et repertum (VeR) adalah laporan tertulis untuk
kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan
pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima
jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya.41
40 Lihat KUHAP pasal 184 41 H.M. Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Malang, Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang,
2001, hlm. 1
34
2. Jenis Visum et Repertum (VeR)
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang
diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum (VeR) di
golongkan menurut objek yang diperiksa sebagai berikut:42
1. Visum et Repertum (VeR) biasa. Visum et repertum (VeR) ini
diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut.
2. Visum et Repertum (VeR) sementara. Visum et Repertum (VeR)
sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih
lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya.
Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum (VeR) lanjutan.
3. Visum et Repertum (VeR) lanjutan. Dalam hal ini korban tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah
dirawat dokter lain, atau meninggal dunia
4. Visum et Repertum (VeR) untuk orang mati (jenazah).Pada
pembuatan visum et repertum (VeR) ini, dalam hal korban mati
maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak
Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi)
5. Visum et Repertum (VeR) Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum
ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP
42 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992, hlm.
26.
35
6. Visum et Repertum (VeR) penggalian jenazah. Visum ini dibuat
setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.
7. Visum et Repertum (VeR) psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-
gejala penyakit jiwa. Visum et Repertum psikiatrik sehubungan
dengan pasal 44 KUHP yang berbunyi : 43 Barang siapa yang
melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu
karena penyakit tindak pidana; jika ternyata perbuatan itu tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan
jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
8. Visum et Repertum (VeR) barang bukti, misalnya visum terhadap
barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak
pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
Dalam penulisan skripsi ini, Visum et Repertum (VeR) yang
dimaksud adalah semua jenis Visum et Repertum (VeR) dan dibuat oleh
dokter berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana.
43 Lihat KUHP pasal 44
36
3. Bentuk Umum tentang Visum et Repertum (VeR)
Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok Visum et
Repertum (VeR), maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan Visum et
Repertum (VeR) sebagai berikut:44
a. Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi
Visum et Repertum (VeR) hanya untuk kepentingan peradilan;
b. Di tengah atas dituliskan Jenis Visum et Repertum (VeR) serta nomor
Visum et Repertum tersebut;
c. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :
1. Identitas peminta Visum et Repertum (VeR);
2. Identitas surat permintaan Visum et Repertum (VeR);
3. Saat penerimaan surat permintaan Visum et Repertum (VeR);
4. Identitas dokter pembuat Visum et Repertum (VeR);
5. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum
(VeR);
6. Keterangan kejadian di dalam surat permintaan Visum et Repertum
(VeR).
d. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa
yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti;
e. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang
dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti;
44 Ibid.
37
f. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa Visum et
Repertum (VeR) ini dibuat atas sumpah dan janji pada waktu menerima
jabatan;
g. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap
dinas dokter pemeriksa.
Dari bagian Visum et Repertum (VeR) sebagaimana tersebut diatas,
keterangan yang merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian
Pemberitaan. Sedangkan pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan
merupakan pendapat subyektif dari dokter pemeriksa.