BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Dokter Forensik 1 ...

26
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Dokter Forensik 1. Pengertian Dokter Forensik Kedokteran spesialis forensik atau forensik adalah penggunaan ilmu kedokteran untuk tujuan peradilan untuk menetapkan hubungan sebab akibat antara tindakan dan konsekuensi dari tindakan, hal itu yang menyebabkan kerusakan tubuh, masalah kesehatan, atau mengakibatkan kematian, dalam hal yang dapat dicurigai adalah hasil dari kejahatan 1 . Dokter forensic juga dapart disebut sebagai ahli patologi forensik yang mana adalah spesialis dalam patologi yang memiliki bidang kompetensi khusus dalam pemeriksaan terhadap orang yang mati mendadak, tidak terduga atau dengan kekerasan. Jadi, seorang yang ahli dalam menentukan penyebab dan cara kematian seseorang disebut ahli patologi forensic. 2. Dasar Hukum Pemeriksaan Kedokteran Forensik a. Pasal 7 KUHAP (1) Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. 2 1 Aflani I, Nirmalasari N, dan Arizal MH, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal , 2017, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2 Lihat Pasal 7 KUHAP Ayat (1)

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Dokter Forensik 1 ...

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Dokter Forensik

1. Pengertian Dokter Forensik

Kedokteran spesialis forensik atau forensik adalah penggunaan ilmu

kedokteran untuk tujuan peradilan untuk menetapkan hubungan sebab

akibat antara tindakan dan konsekuensi dari tindakan, hal itu yang

menyebabkan kerusakan tubuh, masalah kesehatan, atau mengakibatkan

kematian, dalam hal yang dapat dicurigai adalah hasil dari kejahatan1.

Dokter forensic juga dapart disebut sebagai ahli patologi forensik

yang mana adalah spesialis dalam patologi yang memiliki bidang

kompetensi khusus dalam pemeriksaan terhadap orang yang mati

mendadak, tidak terduga atau dengan kekerasan. Jadi, seorang yang ahli

dalam menentukan penyebab dan cara kematian seseorang disebut ahli

patologi forensic.

2. Dasar Hukum Pemeriksaan Kedokteran Forensik

a. “Pasal 7 KUHAP (1) Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang

mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.” 2

1 Aflani I, Nirmalasari N, dan Arizal MH, Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal,

2017, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2 Lihat Pasal 7 KUHAP Ayat (1)

13

b. “Pasal 65 KUHAP Tersangka atau terdakwa berhak untuk

mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang

memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang

menguntungkan bagi dirinya.” 3

c. “Pasal 108 KUHAP Setiap pegawai negeri dalam rangka

melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya

peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib, segera melaporkan

hal itu kepada penyelidik atau penyidik.” 4

d. “Pasal 120 KUHAP (1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia

dapat meminta pendapat ahli atau orang yang memiliki keahlian

khusus; (2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan

janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut

pengetahuannya yang sebaik – baiknya kecuali bila disebabkan

karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang

mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk

memberikan keterangan yang diminta.” 5

e. “Pasal 133 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan menangani korban luka, keracunan, atau mati yang diduga

akibat peristiwa tindak pidana, penyidik berwenang mengajukan

permintaan keterangan kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan/atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli

3 Lihat Pasal 65 KUHAP 4 Lihat Pasal 108 KUHAP 5 Lihat Pasal 120 KUHAP

14

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,

yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan

luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat (3)

Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

penghormatan kepada mayat tersebut dan diberi label yang memuat

identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan

di ibu jari kaki atau bagian lain dari badan mayat.” 6

f. “Pasal 134 KUHAP (1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk

keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari,

penyidik wajib memberitahukan dahulu kepada keluarga korban (2)

Dalam hal ini keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan

dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu

dilakukannya pembedahan tersebut (3) Apabila dalam waktu dua

hari tidak ada tanggapan apa pun dari keluarga atau pihak yang perlu

diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-

undang ini.” 7

g. “Pasal 135 KUHAP (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan

peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal

6 Lihat Pasal 133 KUHAP 7 Lihat Pasal 134 KUHAP

15

134 ayat (1) undang-undang ini (2) Hakim menentukan sah atau

tidaknya segala alasan untuk permintaan berikut.” 8

h. “Pasal 170 KUHAP (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat

martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat

minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai

saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (2) Hakim

menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan

tersebut.” 9

i. “Pasal 180 KUHAP (1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan

duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua

sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar

diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan (2) Dalam hal timbul

keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum

terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang (3)

Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan

penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2); (3)Penelitian

ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh

instansi semula dengan komposisi personil yang berasal dari instansi

lain yang mempunyai wewenang untuk itu.” 10

8 Lihat Pasal 135 KUHAP 9 Lihat Pasal 170 KUHAP 10 Lihat Pasal 180 KUHAP

16

j. “Pasal 184 KUHAP pada ayat (1) Alat bukti yang sah adalah:

Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan

terdakwa.” 11

k. “Pasal 186 KUHAP Keterangan ahli ialah yang seorang ahli

nyatakan di sidang pengadilan.” 12

l. “Pasal 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah,

menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat

forensik diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” 13

m. “Pasal 224 KUHP Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau

juru bahasa menurut undang-undang, dengan sengaja tidak

memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus

dipenuhinya, diancam:

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan.

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam

bulan.” 14

11 Lihat Pasal 184 KUHAP 12 Lihat Pasal 186 KUHAP 13 Lihat Pasal 222 KUHP 14 Lihat Pasal 224 KUHP

17

3. Tugas dan Kewajiban Dokter Spesialis Forensik

Tugas dari kedokteran forensik adalah membantu proses peradilan

pihak yang berperkara khususnya hakim untuk membuat jelas jalannya

perkara supaya hakim bisa memutuskan lebih tepat, adil dan benar. 15

Sedangkan mengenai kewajiban dokter forensik, yaitu :

a) Mempraktikkan etika profesi spesialis forensik dan mengikuti prosedur

medikolegal serta mewujudkan tugas ataupun tanggung jawabnya

sebagai spesialis forensic. 16

b) Menanamkan diagnosa medis forensik dan medikolegal terhadap

korban hidup dan mati, penanganan kasus sesuai dengan aspek sosio-

yuridis dan medikolegal, dan mengkomunikasikan keahlian yang

dihasilkan kepada pihak yang berwenang, termasuk membuat sertifikasi

forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. 17

c) Merancang dan memproses, dan mengawasi kegiatan unit kedokteran

forensik dan perawatan kamar mayat di institusi perawatan kesehatan.18

d) Berperan aktif dalam tim penanganan kasus forensik dan tim etiket

rumah sakit.19

15 Lifestyle.kompas.com, Sekilas Mengenal Peran Kedokteran Forensik, diakses pada

tanggal 30 Maret 2021 pukul 09.00 WIB 16 Daftar Kewenangan Klinis Dokter Spesialis Dokter Forensik,

https://www.scribd.com/doc/293263458/Daftar-Kewenangan-Klinis-Dokter-Spesialis-Forensik. 17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid.

18

e) Bertindak sebagai pengajar dan pengawas di bidang forensik, etika, dan

medikolegal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.20

f) Berperan serta secara aktif dalam mengembangkan ilmu kedokteran

khususnya bidang forensic, etika dan medikolegal melalui kepenulisan

karya ilmiah yang dipresentasikan serta disajikan kedalam hasil

penelitian.21

4. Peran Dokter Spesialis Forensik

Dokter ahli forensik dapat memberikan bantuannya untuk

kepentingan peradilan dalam hal:22

1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)

2. Pemeriksaan terhadap korban, untuk mengetahui:

a. Ada atau tidaknya penganiayaan

b. Ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan

c. Usia seseorang

d. Kepastian meninggalnya seorang bayi dalam kandungan ibu.

Semua itu, akan dijadikan landasan untuk menentukan ada atau

tidaknya pelanggaran terhadap pasal 352, 351, 285, 292, 341,

342, 288, dan 44 KUHP Pidana.

20 Ibid. 21 Ibid.

22 Ohowiutun YAT, Ilmu Kedokteran Forensik: Interaksi dan Dependensi Hukum pada Ilmu

Kedokteran. 2016, Digital Repository Universitas Negeri Jember.

19

3. Memberikan keterangan, pendapat, dan nasihat sejak pada penyidikan

pertama sampai pada sidang pengadilan

4. Melakukan pekerjaan teknis, yaitu:

a. Melakukan pemeriksaan pertama di TKP

b. Melakukan pemeriksaan terhadap korban hidup

c. Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka

d. Melakukan pemeriksaan terhadap korban yang meninggal

e. Memimpin penggalian jenazah untuk kepentingan peradilan

f. Melakukan pemeriksaan terhadap benda-benda yang berasal atau

diduga berasal dari tubuh manusia

5. Pemeriksaan Penunjang Kedokteran Forensik

Dalam rangka menemukan kebenaran materiil, diperlukan

pemeriksaan penunjang kedokteran forensik yang meliputi: 23

1. Pemeriksaan Toksikologi Forensik, adalah aplikasi ilmu alam untuk

menganalisis kandungan racun atas dugaan adanya tindak pidana.

2. Pemeriksaan Histopatologi, adalah pemeriksaan mikroskopik pada

salah satu bagian jaringan menggunakan teknik histologist.

3. Pemeriksaan Antropologi Forensik, adalah aplikasi dari antropologi

fisik atau biologi antropologi ke dalam perkara.

4. Pemeriksaan teknik superimposisi, adalah cara identifikasi mayat

dengan cara membandingkan kerangka/tengkorak yang diketemukan

23 Ibid.

20

dengan korban pada waktu hidup, dan ciri-ciri khusus yang ada pada

tubuh korban.

5. Pemeriksaan laboratorium forensik, adalah pemeriksaan laboratorium

untuk menemukan kebenaran materiil.

B. Dokter Forensik Sebagai Pembuat Dokumen Visum et Repertum

1. Tata Laksana Bantuan Dokter

Ketentuan tentang tata laksana bantuan dokter pada perkara pidana

terdapat pada pasal-pasal dari KUHAP yang mengatur tentang ahli.

Kecuali itu terdapat juga pada pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang

saksi berlaku juga bagi ahli ( Pasal 179 pada angka 2 ). Tata laksana itu

meliputi:

a) Kapan Permintaan Dokter Itu Dapat Diajukan.

Sebagaimana diketahui bahwa proses peradilan dari suatu tindak

pidana dibagi menjadi berbagai tingkat. Dari berbagai tingkat itu maka

permintaan bantuan dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan pada

tingkat:

1. Penyidikan

2. Penyidikan Tambahan

3. Sidang pengadilan

Penyidikan tambahan adalah penyidikan yang dilakukan atas

petunjuk umum berkenaan dengan dikembalikannya berkas perkara

karena belum lengkap. Dalam hal belum lengkap itu karena penyidik

lalai tidak memanfaatkan bantuan dokter sebagai ahli sedangkan dalam

21

perkara tersebut bantuan dokter seharusnya perlu, maka penuntut

umum dapat menyarankannya.

b) Siapa yang Berhak Meminta Bantuan Dokter

Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tidak semua

orang dapat meminta bantuan dokter dalam menyelidiki suatu kasus

pidana. Orang yang berhak meminta bantuan dokter sebagai ahli

ditinjau dari KUHAP antara lain :

Menurut “Pasal 120 angka 1 KUHAP menyatakan: Dalam hal

dianggap perlu, penyidik dapat meminta pendapat ahli atau orang yang

memiliki keahlian khusus”. 24

Menurut “Pasal 180 angka 1 KUHAP menyatakan : Dalam hal diperlukan

untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan,

hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta diajukan

bahan baru oleh yang berkepentingan” . 25

Hal ini dapat ditentukan yang akan mengajukan permintaan

bantuan kepada dokter itu ialah jaksa penuntut umum, karena ia yang

berwenang melaksanakan semua penetapan hakim. Maka agar tidak

terjadi kesalah pahaman dengan dokter yang dimintai bantuan itu, jaksa

penuntut umum dalam surat permintaannya perlu menyebutkan bahwa

permintaan tersebut diajukan dalam rangka melaksanakan penetapan

hakim.

Korban ataupun keluarganya begitu pula dengan terdakwa atau

24 Lihat Pasal 120 KUHAP angka 1 25 Lihat Pasal 180 KUHAP angka 1

22

penasehat hukumnya tidak dapat mengajukan permintaan bantuan

dokter sebagai ahli, hak korban atau keluarganya hanya berhak

melaporkan tindak pidana yang dialaminya itu kepada kepolisian,

sedangkan hak terdakwa ataupun penasehat hukumnya ialah

mengajukan permohonan kepada hakim ketua sidang untuk

mengusahakan dan mengajukan ahli ( termasuk dokter ) guna

memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Jadi korban

atau keluarganya dan terdakwa atau penasehat hukumnya tidak

mempunyai wewenang untuk mengajukan permintaan bantuan kepada

dokter secara langsung.26

2. Kerjasama Penyidik dan Dokter

Agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar, maka

penyidik dan dokter perlu bekerjasama dan juga perlu mengetahui

bagaimana cara penanganan yang seharusnya bila mereka diharuskan

melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Proses

kerjasama tersebut dapat dilakukan antara lain dengan: 27

a. Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa telah

terjadi suatu tindak pidana pada suatu tempat yang

menyangkut nyawa manusia (mati) telah terjadi, maka pihak

penyidik dapat meminta bnatuan dari dokter untuk melakukan

26 Hasil wawancara dengan Dr. Ariyanto, Sp.F di RS Dr Soetomo Surabaya, pada tanggal 3 Maret

2021 27 Abdul Mun’im Idries, Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya

Unipres, Jakarta, 1993, hlm. 286.

23

pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut ( dasar

hukum Pasal 120 dan Pasal 133 KUHAP).

b. Dokter tersebut harus selalu mengingat untuk tidak melakukan

tindakan-tindakan yang dapat merubah, mengganggu, atau

merusak keadaan ditempat kejadian perkara tersebut,

walaupun sebagai kelanjutan dari pemeriksaan itu dokter

harus mengumpulkan segala bukti (traveevidence).

c. Sebelum dokter memulai dan melakukan pemeriksaan maka

terlebih dahulu aparat keamanan haruslah menjaga keamanan

dilokasi kejadian dan dijaga keaslian TKP tersebut.

Namun sebelum dokter datang ke TKP maka ada beberapa hal yang

perlu dicatat mengingat akan kepentingannya antara lain: 28

a. Siapa yang meminta datang ke TKP dan bagaimana

permintaan tersebut sampai ke tangan dokter, dimana TKP

serta saat permintaan itu diajukan.

b. Dokter haruslah meminta informasi secara global tentang

kasusnya dengan demikian dokter dapat membuat

persiapanseperlunya.

c. Dokter wajib selalu mengingat motto “to touch as little as

possible and to displace nothing”.. ( ia tidak boleh menambah

ataupun mengurangi benda-benda yang ada di TKP tersebut).

28 Ibid, hlm.288.

24

d. Pada TKP dokter harus membuat foto dan sketsa yang mana

harus disimpan dengan baik oleh karena ada kemungkinan ia

akan diajukan sebagai saksi di pengadilan.

e. Pembuatan foto atau sketsa itu harus memenuhi standart

sehingga kedua belah pihak yaitu dokter dan penyidik tidak

akan memberikan penafsiran yang berbeda atas objek yang

sama.

3. Cara Mengajukan Permintaan Bantuan Dokter

Ada beberapa langkah yang wajib dilakukan untuk mengajukan

permintaan bantuan dokter sebagai ahli adalah sebagai berikut:29

a. Permintaan itu harus diajukan secara tertulis.

b. Harus disebutkan dengan jelas pemeriksaan yang dikehendaki

misalnya dalam hal objek yang dimintakan pemeriksaan mayat itu

harus ditegaskan untuk pemeriksaan luar saja atau bedah jenazah.

c. Surat permintaan tersebut harus disampaikan kepada dokter

bersama-sama dengan objek yang akan diperiksanya terutama

mengenai objek korban hidup yang menderita luka-luka.

d. Hal ini sangat perlu untuk tidak menyulitkan dokter dalam

memberikan keterangannya berkenaan dengan rahasia

29 Hasil wawancara dengan Dr. Ariyanto, Sp.F, RS Dr. Soetomo Surabaya, pada tanggal 3 Maret

2021.

25

kedokterannya.

e. Dalam hal objek orang mati itu sudah dikubur maka permintaan itu

sudah tentu dapat diajukan terlebih dahulu, sedangkan objek orang

mati tersebut dapat digali di kemudian hari bersama-sama dokter.

C. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum Bagi Dokter Forensik

1. Pengertian Umum Perlindungan Hukum

Padahal, hukum dapat dilihat dari delapan pengertian, yaitu hukum

penguasa, hukum pejabat, hukum tingkah laku dan sikap, hukum tata

aturan, dan hukum hukum. Struktur nilai, hukum dalam arti ketertiban

hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, hukum dalam arti disiplin hukum.

Beberapa pengertian hukum dapat dijelaskan dari sudut yang

berbeda, hukum bukan hanya peraturan perundang-undangan tertulis dan

aparat penegak hukum yang dipahami oleh orang awam yang tidak

memahami hukum, tetapi juga mencakup hal-hal yang benar-benar ada

dalam interaksi sosial. 30

Mengenai pengertian perlindungan hukum lebih jauh, ada baiknya

memahami makna perlindungan. Dalam KBBI, Perlindungan bermula dari

kata lindung yang diartikan perlindungan, pencegahan, pembelaan, dan

penguatan. Pada saat yang sama, perlindungan berarti melindungi,

memelihara, menjaga, melindungi dan mengisi bahan bakar. Fungsi

perlindungan ini adalah untuk melindungi apa yang dianggap sebagai

30 Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

26

ancaman terhadap kepentingan, benda atau barang. Biasanya perlindungan

dikasihkan ke minoritas atau kurang beruntung.

Dalam merumuskan asas-asas perlindungan hukum di Indonesia,

landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah nasional.

Konsep perlindungan hukum orang Barat didasarkan pada konsep

Rechtstaat dan “rule of law”. Asas perlindungan hukum Indonesia

didasarkan pada kerangka ideologi Pancasila berdasarkan konsep Barat,

dan berakar pada asas Pancasila yang mengakui dan melindungi harkat dan

martabat manusia. Asas perlindungan hukum dari tindakan pemerintah

berasal dari dan bersumber dari konsep pengakuan dan perlindungan hak

asasi manusia, yang bertujuan untuk membatasi dan menetapkan beban

masyarakat serta pemerintah.31

Ada beberapa pandngan arti makna perlindungan hukum, antara

lain:

a. Pendapat Soerjono Soekanto, Perlindungan Hukum ialah segala

upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk

memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban,

perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari

perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai

bentuk, seperti melalui pemberian resitusi, kompensasi,

pelayanan medis, serta bantuan hukum. 32

31 Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Huge, hal 72-73 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, jakarta, 1984, hlm. 133.

27

b. Muktie A. Fadjar berpendapat Perlindungan Hukum yakni

penyempitan dari arti Perlindungan, dalam hal ini hanya

perlindungan oleh hum saja. Perlindungan yang diberikan oleh

hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam

hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subjek dari hukum itu

sendiri dalm interaksinya dengan sesama manusia serta

lingkungannya. Sebagai subyek hukum hukum manusia

memiliki hak dan kewajiban untuk melakuka suatu tindakan

hukum. 33

c. Pendapat Satjipto Raharjo, Perlindungan Hukum adalah

memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang

dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada

mesyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum. 34

d. Setiono menafsirkan Perlindungan Hukum adalah tindakan atau

upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-

wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum,

untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga

memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai

manusia. 35

33 Muktie, A.Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hlm 74. 34 Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm.

121. 35 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2004. Hlm. 3.

28

2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum

Menurut Muchsin, Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan pelaksanaanya dengan suatu sanksi Perlindungan hukum

dapt dibedakan menjadi dua, yakni :

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan

dalam melakukan suatu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan atau hukum represif merupakan perlindungan akhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tabahan yang

diberikan apala sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu

pelanggaran.

Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sara perlindungan huuku ada

dua macam, yaitu :

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungn hukum preventif ini, suyek hukum

diberian kesempatan untuk mengajukan keberatan atau

pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya

29

sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi

tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak

karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif

pemerintah terdorong untuk bersifat hati hati dalam mengambil

keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada

pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

b. Sarana perlindungan hukum Represif

Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk

menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh

Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia

termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan

hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber

dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-

hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan dan peletakan

kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang

mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan

adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat

utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.

Bahwa pada dasarnya adil dan jujur serta bertanggung jawab

atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadlian dan hukum harus

ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan

30

keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang

menghendaki tercapainya masyarakat yng aman dan damai.

Kadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum dalam negara

hukum ini. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan

manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

a. Kepastian hukum (Rechtssicherkeit)

b. Kemanfaat hukum Zeweckmassigkeit)

c. Keadilan hukum (Gerechtigkeit)

d. Jaminan Hukum ( Doelmatigkeit) 36

Dalam penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan

jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti

untuk mengahsilkan keadilan hukum melaksanakan dengan baik

serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga

tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah

dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan

unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan

hukum. 37

3. Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Indonesia

Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004

tertuang juga tentang pengertian dokter. Dokter dan dokter gigi adalah

dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan

36 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 43. 37 Ibid, hlm 44

31

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar

negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Praktik kedokteran adalah rangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam

melaksanakan upaya kesehatan. Dalam pasal 50 huruf a Undang-undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Pratik Kedokteran menyatakan bahwa

“Pasal 50 huruf a “Dokter dan Dokter Gigi dalam praktik kedokteran

mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur

operasional.”

Untuk mewujudkan praktik kedokteran yang baik memerlukan

sistem pelayanan kesehatan yang baik sehingga praktek kedokteran

dilakukan dengan standar tertinggi. Dalam pelaksanaan praktek

kedokteran di Indonesia ternyata tidaklah berjalan dengan standar

disebabkan dokter melakukan pelayanan kedokteran penuh dengan

tekanan dan usaha menurunkan nilai standar tersebut.

D. Tinjauan Umum Visum et Repertum (VeR)

1. Pengertian Visum et Repertum (VeR)

Visum et repertum (VeR) adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu

Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum

berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari

arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda

melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti

32

tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan,

sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat

dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et

repertum (VeR) adalah apa yang dilihat dan diketemukan.38

Visum et repertum (VeR) berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran

Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan

Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan

bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah

ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu

peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata).

Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu

kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus

perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan

kedokteran.39

Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada

saat terjadi tindak pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban

yang luka atau meninggal) dan pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini

akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara tertulis dalam bentuk surat

yang dikenal dengan istilah visum et repertum (VeR).74 Dalam Surat

Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal

10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman

38 H.M. Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Malang, Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang,

2001, hlm. 1 39 Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi Kedua, Bandung,

Tarsito, 1983, hlm. 10.

33

disebut sebagai Visum et repertum (VeR). Pendapat seorang dokter yang

dituangkan dalam sebuah Visum et repertum (VeR) sangat diperlukan oleh

seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah

persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara

pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang

berhubungan dengan kedokteran forensik ini.

Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan

digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184

KUHAP tentang alat bukti.40Artinya, hasil Visum et repertum (VeR) ini

bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara

pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.

Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya

KUHAP tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian

visum et repertum (VeR). Satu-satunya ketentuan perundangan yang

memberikan pengertian mengenai visum et repertum (VeR) yaitu

Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad

tersebut bahwa : “Visum et repertum (VeR) adalah laporan tertulis untuk

kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang

dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan

pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima

jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya.41

40 Lihat KUHAP pasal 184 41 H.M. Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Malang, Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang,

2001, hlm. 1

34

2. Jenis Visum et Repertum (VeR)

Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang

diperuntukkan untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum (VeR) di

golongkan menurut objek yang diperiksa sebagai berikut:42

1. Visum et Repertum (VeR) biasa. Visum et repertum (VeR) ini

diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak

memerlukan perawatan lebih lanjut.

2. Visum et Repertum (VeR) sementara. Visum et Repertum (VeR)

sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih

lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya.

Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum (VeR) lanjutan.

3. Visum et Repertum (VeR) lanjutan. Dalam hal ini korban tidak

memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah

dirawat dokter lain, atau meninggal dunia

4. Visum et Repertum (VeR) untuk orang mati (jenazah).Pada

pembuatan visum et repertum (VeR) ini, dalam hal korban mati

maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak

Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi)

5. Visum et Repertum (VeR) Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum

ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP

42 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992, hlm.

26.

35

6. Visum et Repertum (VeR) penggalian jenazah. Visum ini dibuat

setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah.

7. Visum et Repertum (VeR) psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang

pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-

gejala penyakit jiwa. Visum et Repertum psikiatrik sehubungan

dengan pasal 44 KUHP yang berbunyi : 43 Barang siapa yang

melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan

kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu

karena penyakit tindak pidana; jika ternyata perbuatan itu tidak dapat

dipertanggung jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan

jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit maka hakim dapat

memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa,

paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

8. Visum et Repertum (VeR) barang bukti, misalnya visum terhadap

barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak

pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.

Dalam penulisan skripsi ini, Visum et Repertum (VeR) yang

dimaksud adalah semua jenis Visum et Repertum (VeR) dan dibuat oleh

dokter berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap korban tindak pidana.

43 Lihat KUHP pasal 44

36

3. Bentuk Umum tentang Visum et Repertum (VeR)

Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok Visum et

Repertum (VeR), maka ditetapkan ketentuan mengenai susunan Visum et

Repertum (VeR) sebagai berikut:44

a. Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi

Visum et Repertum (VeR) hanya untuk kepentingan peradilan;

b. Di tengah atas dituliskan Jenis Visum et Repertum (VeR) serta nomor

Visum et Repertum tersebut;

c. Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :

1. Identitas peminta Visum et Repertum (VeR);

2. Identitas surat permintaan Visum et Repertum (VeR);

3. Saat penerimaan surat permintaan Visum et Repertum (VeR);

4. Identitas dokter pembuat Visum et Repertum (VeR);

5. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum

(VeR);

6. Keterangan kejadian di dalam surat permintaan Visum et Repertum

(VeR).

d. Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap apa

yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti;

e. Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa yang

dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti;

44 Ibid.

37

f. Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa Visum et

Repertum (VeR) ini dibuat atas sumpah dan janji pada waktu menerima

jabatan;

g. Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta Cap

dinas dokter pemeriksa.

Dari bagian Visum et Repertum (VeR) sebagaimana tersebut diatas,

keterangan yang merupakan pengganti barang bukti yaitu pada Bagian

Pemberitaan. Sedangkan pada Bagian Kesimpulan dapat dikatakan

merupakan pendapat subyektif dari dokter pemeriksa.