Tinjauan Pustaka tetanus

35
TINJAUAN PUSTAKA TETANUS A. Definisi Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom. B. Etiologi Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat : Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela Menghasilkan eksotoksin yang kuat Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak 1

Transcript of Tinjauan Pustaka tetanus

TINJAUAN PUSTAKA

TETANUS

A. Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot

(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan

oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman

secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin

(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps

ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan

neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.

B. Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani,

kuman berbentuk batang dengan sifat :

Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga

berbentuk seperti pemukul genderang

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam

lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan

flagela

Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan

dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,

kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah

pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat

bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,

dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan

antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak

1

menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang

anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8

°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten

terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar

kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka.

Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali

tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi

akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus,

abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite,

infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan

pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat

masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya

benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang

dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah,

trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan

dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.

C. Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian

tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal,

tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian,

dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak

tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi

dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian

pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas

fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.

2

Tabel Data insidens tetanus menurut WHO

Tabel Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah

Sakit Provinsi di

Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun

terakhir 2003-2007 di RSCM, RSAB Har-Kit, RS

Fatmawati, RSHS)

RSCM RSAB RSF RSHS

Tahun

kasu

s *m (%) Kasus *m (%)

kasu

s

*m

(%) kasus *m (%)2003 10 20 3 0 6 0 7 14,32004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,02005 11 27,3 1 0 11 0 1 02006 8 0 1 100 4 0 6 16,72007 18 0 5 0 9 0 8 25,0

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta;

3

RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit

Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m =

meninggal)

Tabel Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007

RSCM RSAB RSF RSHSTahun kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)2003 10 20 3 0 6 0 7 14,32004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,02005 11 27,3 1 0 11 0 1 02006 8 0 1 100 4 0 6 16,72007 18 0 5 0 9 0 8 25,0Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo,

Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah

Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin,

Bandung; (*m = meninggal)

Tabel Insidensi Tetanus Neonatorum Menurut WHO

D. Patogenesis

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi

4

akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora)

sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan

cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree

tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga

melalui :

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan,

gigitan binatang, luka bakar yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement)

dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan

puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi,

bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama

masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan

terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora

yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai

dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),

sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak

dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi

inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh

toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang

tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu

tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan

hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.

Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.

Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem

saraf:

5

(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3)

otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf

simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia

sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu

nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada

orang dengan berat badan 70 kg.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari

tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf

tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar

ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat

pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini

melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.

Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C

toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses

perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel

secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial

membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-

esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi

sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin

menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls

pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan

menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan

menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.

Dampak toksin antara lain :

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang

disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur

antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls

sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

6

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel

pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan

dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf

simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang

berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,

aritmia, heart block, atau takikardia.

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa

lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini

secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat

masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf

Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara

tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.

Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi

kemungkinan terjadinya kematian.

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering

ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka

yang tidak disadari hingga luka trauma yang

terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari,

sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.

Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.

Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan

kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada

otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi

7

sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter

gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya

meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan

disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme

otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot

bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh

akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan

berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat

berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna

memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka

yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang

bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak

umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat

terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya

menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat

mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang

lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan

kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma

kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah.

Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik

(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa

tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini

memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya

buruk.

8

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus

neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang

dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.

Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang

terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang

belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.

Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,

mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat

melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis,

berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat

dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 5).

Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis

Tetanus

Derajat Manifestasi Klinis

I : RinganTrismus ringan sampai sedang;spastisitas umumtanpa spasmeatau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang

Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedangdalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat

Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; lajunapas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagiaBerat

IV : (derajat III + gangguan sistem otonom

9

Sangat termasuk kardiovaskular)

BeratHipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling denganhipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebutdapat menetap

F. Penegakan Diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan

klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik.

Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan

diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi

secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus

tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).

Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah

tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan

binatang?

Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

Apakah pernah menderita gigi berlubang?

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT,

kapan imunisasi yang terakhir?

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama

(trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang

pertama (period of onset)?

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :

10

Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter)

sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus

kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti

mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara

klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan

mulut diukur setiap hari.

Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan

otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak

tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh

seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan

trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat

menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti

papan.

Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum

yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya

dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar

yang kuat. Lambat laun - masa istirahat‖ spasme makin

pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit

untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah

itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa

menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya,

badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan

pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus

atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat

11

menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada

saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan

irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat

pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau

berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot

polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae

atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi

tulang belakang.

Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding

posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung

yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika

terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit

spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.

Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine

and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji

spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada

hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94%

pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang

positif).

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk

tetanus.

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada

kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C.

tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak

mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat

dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman

memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik.

12

Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala

klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus

C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi

dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan

hasil yang normal.

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau

lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam

darah dapat meningkat.

EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang

terus menerus dan pemendekan atau tidak adanya

interval tenang yang normal yang diamati setelah

potensial aksi.

Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada

EKG

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis

utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah sebagai

berikut :

1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada

ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus

sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan

terdapat kelainan likuor serebrospinal.

2.Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis

dijumpai adanya spasme karpopedal.

3.Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada

13

anak).

4.Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran

menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat

digigit binatang pada waktu epidemi.

5.Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh

mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan

abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

H. Komplikasi Tetanus

Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.

Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di

Indonesia.

Tabel 6. Komplikasi tetanus

Sistem tubuh Komplikasi

Jalan napas Aspirasi*

Laringospasme/obstruksi*

Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*

Respirasi Apnea*

HipoksiaTipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* gagalnapas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh,

sedasi berlebihan)

ARDS*Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi (contoh :

14

pneumonia)Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)Emboli paruEmfisema mediastinum

PenumotoraksSpasme diafragma

Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia*Hipotensi*, bradikardia*Takiaritmia, bradiaritmia*Asistol*Gagal jantung*

GinjalGagal ginjal : fase oligouria dan poliuriaStasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis lambung

IleusDiarePerdarahan*

Lain-lain Status konvulsivusDehidrasiPenurunan berat badan*Tromboemboli*Sepsis dan gagal organ multipel*Fraktur vertebra selama spasmeAvulsi tendon selama spasme

* Komplikasi jangka panjang

Tabel 7. Komplikasi tetanus tahun 2003-2007

Komplikasi RSCM RSAB RSF RSHSkas *m kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)

15

(%)us

Status 0 0 2 1,5 0 0 5 40,0konvulsivusBronkopneumo 1 0 2 0 0 0 2 0

NiaSepsis 2 0 1 0 0 0 4 50,0

Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo,

Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit

Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m =

meninggal)

I. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai

berikut :

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah

yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian

antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis

tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang

menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan

dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.

Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam

dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian

masih dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat

masuknya kuman, untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil

tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas

tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

16

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan

kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien

yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada

pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus

yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana

umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi,

menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi

spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga

seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana

khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti

tetanus.

Tatalaksana Umum

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara

intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila

sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya

dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.

Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk

makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada

kemungkinan terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat

perlu trakeostomi.

3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas

tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang

17

direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan

interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang

direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah

8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3

jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian

diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per

rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam

intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme

berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis

rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif

lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis

awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme

akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari.

Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10

mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.

Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis

membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih

kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai

gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah

tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme

laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang

perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan

mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan

terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah

memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis

dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan

dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20%

dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus,

18

fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai

terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena

terdapat risiko depresi pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port

d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter

gigi/THT.

Tatalaksana Khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan

50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus

berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak,

pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi

aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila

fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU)

secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk

bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian

dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat

sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin

tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf.

Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin

tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.

Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas

terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline

sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi

lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara

IM.

Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di

19

perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas,

berikan tambahan penatalaksanaan berikut :

HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan

perbaikan klinis dari 4-30%).

Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah

spasme otot.

Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara

kontinu melalui infus iv.

Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi

(hiper dan hipotensi yang berganti-ganti,

hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan

labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau

pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme

otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk

menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare

serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang

sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi

menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang

sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur

terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko

menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga

minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah

pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal.

Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus

tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan

toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi

20

pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan

infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu

tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum,

dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia

yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi

tetanus.

2. Antibiotika

a.Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol

telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa

pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv

dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30

mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10

hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman

C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat

diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari

selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap

penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari

(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin

membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,

pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis

100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari

direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah

penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan

sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat

pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8

menggambarkan perbandingan antara penisilin dan

metronidazol.

Tabel 8. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol

21

b.Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia,

diberikan antibiotik yang sesuai.

Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan

klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi

toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika

yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.

22

Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat

digambarkan secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada

tabel berikut ini.

23

J. Asuhan KeperawatanAsuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok

yaitu:

1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai

berikut :

Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya

dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi akibat

terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak

sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap,

dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia

24

aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika anak dalam

keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan

bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif anak (ICU).

Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap

adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan emergensi

harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah

dijangkau.

Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka

makanan dapat diberikan per oral dalam bentuk makanan

cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin

berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang.

Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu

diberikan paling tidak dua kali sehari.

2. Asuhan Keperawatan Luka

Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan

tetanus selain pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk

mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung

pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau

kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar, luka

nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan

atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada tetanus yang

biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :

o Merawat dan membersihkan luka memakai teknik septik

o Irigasi luka.

o Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan

tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan debridement luka

(eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang

jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan

luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri.

Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka

secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada

25

luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern

yang lebih hemat biaya (seperti hidrogel) yang berfungsi

sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah

suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh

tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus

dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik

secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan

melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan

sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini,

diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap

terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada

tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah

sebagai berikut:

Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan

menggunakan cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%).

Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak

mudah terangsang mengalami spasme, teknik pencucian luka

tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi

lembut. Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum

no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk

mencegah spasme dan mencegah resiko perdarahan pada

jaringan yang rapuh.

Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka

pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat

diolesi langsung kedalam luka.

Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit

plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel

memerlukan balutan sekunder).

o Membuang benda asing dalam luka.

o Kompres dengan H2O2.

o Luka dibiarkan terbuka.

26

27

K.Prognosis

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara

25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30

persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor

yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya

adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan

status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,

prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa

awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas

kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan

prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus

neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus

berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus

lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin

profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,

meskipun terjadi tetanus.

Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan

prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck:

28

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis,

seperti diuraikan berikut ini:

L. Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus

sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:

1. Imunisasi aktif

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu

pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya

relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi

pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan

secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat

dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium

salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia

dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan

toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri

dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi

toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf

29

dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi

terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari

golongan umur dan jenis kelamin.

Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu

pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada

wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang

berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu

ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui

yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus

diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai

berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS

kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin

saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4

minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat

diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap

saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak

dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada

saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan

kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.

Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi

perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya

telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-

anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan

pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh

bayi yang akan dilahirkan.

30

Tabel 13. Jadwal imunisasi

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam

penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat

protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap

terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang

ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi

secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis

terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi

seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki

kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun.

Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang

rutin dilakukan setiap 10 tahun. Oleh karena itu, peranan

pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada

penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus

tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak

diimunisasi karena orang tua menolak memberikan

vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata

memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir

31

dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01

AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap

bayinya.

2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada

luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar

dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna

mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik

dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus

tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran

persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali

pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali

pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini:

- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan

cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat

- Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan

tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat

lembab

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada

luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan

imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga

dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak

< 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk

anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. Berikut ini

adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus. Tabel. 14 Pedoman Profilaksis terhadap Tetanus

Riwayat Luka Bersih dan Kecil Jenis Luka Lainnya1

32

Pemberian Td atau TIG Td atau TIG3

(dosis) 2 2TdaP TdaP

<3 atau lupa ya tidak ya Ya

>34 Tidak5 tidak Tidak6 Tidak

Keterangan : Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus

toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP: booster tetanus

toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan

pertusis aselular1Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang

terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan air liur;

tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka

bakar, dan frostbite2TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum

pernah mendapat imunisasi TdaP. Td lebih baik

dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP

atau TdaP memang tidak tersedia di Indonesia.3Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia.

TIG: 250 U i.m. di sisi ekstremitas lain dari pemberian

tetanus toksoid4Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat

tetap diberikan dan sebaiknya berupa adsorbed toxoid5Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung

tetanus6Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung

tetanus dan tidak diperlukan booster lagi

33

DAFTAR PUSTAKA

1 Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Lastupdated Feb 1, 2008. [Tingkat Pembuktian IV].

2 Bleck TP. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell GL,Bennett JE, Dolin R, eds. Man-dell, Douglas, and Bennett's principles andpractice of infectious diseases. Philadelphia: Churchill

Livingstone, 2000: 2537-43.

3 Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and treating tetanus. Thechallenge continues in the face of neglect and lack of research.BMJ 2003;326: 117-8.

4 World Health Organization. Vaccine-preventablediseases:monitoring system. Geneva:WHO, 2001:18-19.(WHO/V&B/01.34)

5 World Health Organization. Progress towards the globalelimination of neonatal tetanus.1990-1998. Wkly Epidemiol Rec1999;74:73-80 [Medline].

6Stanfield JP, Galazka A. A neonatal tetanus is the world today.Bull World Health Organ.1984;62:647-9 [Medline].

7Reid PM, Brown D, Coni N, Sama A, Waters M. Tetanus immunizationin the elderly population. J Accid emerg Med 1996;13:184-5{Abstract].

8Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al.Tetanus. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal99-108.

9 Riskesdas 2007

10 Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku AjarInfeksi dan penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008

11 CDC. Tetanus. 12 Tetanus (Lockjaw).2006 (1).RedBook

13 WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring .Diunduh pada 15 Agustus 2008 dari

34

http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/timeseries/tsincidencente.htm

14 Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of PediatricInfections Diseases, 5th ed., Vol.2. Sauders. 2004;1766-76.

15 Dolin R, ed. Principles and practice of infectious disease. 4th

ed New York: Churchill Livingstone, 1995:2173.

16 Band JD, Bennet JV. Tetanus. In:Hoeprich PD, ed. Infectiousdisease. Philadelphia: Harper and Row, 1983:1107.

35