Tinjauan Pustaka tetanus
-
Upload
driyarkara -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Tinjauan Pustaka tetanus
TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS
A. Definisi
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan
oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps
ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan
neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.
B. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani,
kuman berbentuk batang dengan sifat :
Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga
berbentuk seperti pemukul genderang
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam
lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan
flagela
Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan
dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di daerah
pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat
bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya,
dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan
antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak
1
menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang
anaerob. Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8
°F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten
terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik.
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka.
Adanya luka mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali
tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi
akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus,
abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite,
infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan
pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat
masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang
dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah,
trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan
dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
C. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian
tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal,
tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian,
dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak
tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah. Angka kejadian
pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas
fisiknya. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia.
2
Tabel Data insidens tetanus menurut WHO
Tabel Jumlah Kasus Tetanus dan Kematian di Beberapa Rumah
Sakit Provinsi di
Indonesia (asupan finalisasi: insidens tetanus 5 tahun
terakhir 2003-2007 di RSCM, RSAB Har-Kit, RS
Fatmawati, RSHS)
RSCM RSAB RSF RSHS
Tahun
kasu
s *m (%) Kasus *m (%)
kasu
s
*m
(%) kasus *m (%)2003 10 20 3 0 6 0 7 14,32004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,02005 11 27,3 1 0 11 0 1 02006 8 0 1 100 4 0 6 16,72007 18 0 5 0 9 0 8 25,0
Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta;
3
RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit
Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m =
meninggal)
Tabel Distribusi Kelompok Umur Kasus Tetanus Tahun 2003-2007
RSCM RSAB RSF RSHSTahun kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)2003 10 20 3 0 6 0 7 14,32004 12 8,3 1 0 2 0 4 25,02005 11 27,3 1 0 11 0 1 02006 8 0 1 100 4 0 6 16,72007 18 0 5 0 9 0 8 25,0Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo,
Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah
Sakit Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin,
Bandung; (*m = meninggal)
Tabel Insidensi Tetanus Neonatorum Menurut WHO
D. Patogenesis
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi
4
akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora)
sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan
cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d’entree
tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga
melalui :
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan,
gigitan binatang, luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement)
dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan
puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi,
bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama
masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora
yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai
dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),
sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak
dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi
inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang
tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan
hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini.
Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin.
Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem
saraf:
5
(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3)
otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf
simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia
sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu
nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada
orang dengan berat badan 70 kg.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari
tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf
tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar
ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini
melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.
Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C
toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses
perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel
secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-
esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi
sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin
menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls
pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan
menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar.
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang
disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur
antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls
sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
6
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel
pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan
dan spasme yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf
simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang
berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block, atau takikardia.
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa
lebih pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini
secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat
masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf
Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara
tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering
ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka
yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari,
sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.
Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens.
Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada
otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi
7
sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter
gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan
disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme
otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot
bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat
berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna
memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka
yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang
bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak
umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat
terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat
mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang
lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan
kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma
kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah.
Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik
(seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa
tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini
memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya
buruk.
8
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus
neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang
dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus.
Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang
terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang
belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.
Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,
mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat
melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis,
berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat
dibagi menjadi empat (4) tingkatan (lihat Tabel 5).
Tabel 5. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis
Tetanus
Derajat Manifestasi Klinis
I : RinganTrismus ringan sampai sedang;spastisitas umumtanpa spasmeatau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedangdalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan
III : Berat
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; lajunapas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagiaBerat
IV : (derajat III + gangguan sistem otonom
9
Sangat termasuk kardiovaskular)
BeratHipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling denganhipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebutdapat menetap
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan
klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik.
Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi
secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus
tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).
Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah
tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan
binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT,
kapan imunisasi yang terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama
(trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang
pertama (period of onset)?
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
10
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter)
sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus
kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti
mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara
klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan
mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan
otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak
tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh
seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan
trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti
papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum
yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya
dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar
yang kuat. Lambat laun - masa istirahat‖ spasme makin
pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit
untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah
itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa
menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya,
badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan
pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus
atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
11
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada
saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan
irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat
pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot
polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae
atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi
tulang belakang.
Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding
posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung
yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit
spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine
and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji
spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada
hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94%
pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang
positif).
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk
tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada
kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C.
tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat
dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman
memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik.
12
Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala
klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus
C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi
dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan
hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau
lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam
darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang
terus menerus dan pemendekan atau tidak adanya
interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada
EKG
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis
utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah sebagai
berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada
ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus
sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan
terdapat kelainan likuor serebrospinal.
2.Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis
dijumpai adanya spasme karpopedal.
3.Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada
13
anak).
4.Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran
menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat
digigit binatang pada waktu epidemi.
5.Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh
mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan
abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
H. Komplikasi Tetanus
Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.
Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di beberapa RS di
Indonesia.
Tabel 6. Komplikasi tetanus
Sistem tubuh Komplikasi
Jalan napas Aspirasi*
Laringospasme/obstruksi*
Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*
Respirasi Apnea*
HipoksiaTipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* gagalnapas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh,
sedasi berlebihan)
ARDS*Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi (contoh :
14
pneumonia)Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)Emboli paruEmfisema mediastinum
PenumotoraksSpasme diafragma
Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia*Hipotensi*, bradikardia*Takiaritmia, bradiaritmia*Asistol*Gagal jantung*
GinjalGagal ginjal : fase oligouria dan poliuriaStasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis lambung
IleusDiarePerdarahan*
Lain-lain Status konvulsivusDehidrasiPenurunan berat badan*Tromboemboli*Sepsis dan gagal organ multipel*Fraktur vertebra selama spasmeAvulsi tendon selama spasme
* Komplikasi jangka panjang
Tabel 7. Komplikasi tetanus tahun 2003-2007
Komplikasi RSCM RSAB RSF RSHSkas *m kasus *m (%) kasus *m (%) kasus *m (%)
15
(%)us
Status 0 0 2 1,5 0 0 5 40,0konvulsivusBronkopneumo 1 0 2 0 0 0 2 0
NiaSepsis 2 0 1 0 0 0 4 50,0
Keterangan : RSCM = Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo,
Jakarta; RSAB = Rumah Sakit Harapan Kita; RSF = Rumah Sakit
Fatmawati; RSHS = Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung; (*m =
meninggal)
I. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai
berikut :
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah
yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian
antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis
tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang
menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan
dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam
dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian
masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat
masuknya kuman, untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil
tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas
tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
16
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan
kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien
yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada
pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus
yang berat, disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana
umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi,
menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi
spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga
seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti
tetanus.
Tatalaksana Umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara
intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila
sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.
Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk
makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat
perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
17
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan
interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah
8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3
jam. Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per
rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam
intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme
berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif
lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10
mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.
Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih
kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai
gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah
tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme
laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan
mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan
terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis
dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan
dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20%
dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus,
18
fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai
terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena
terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port
d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter
gigi/THT.
Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan
50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus
berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak,
pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila
fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU)
secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk
bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian
dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat
sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin
tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf.
Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin
tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline
sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara
IM.
Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di
19
perawatan intensif. Selain penatalaksanaan diatas,
berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan
perbaikan klinis dari 4-30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah
spasme otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara
kontinu melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi
(hiper dan hipotensi yang berganti-ganti,
hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan
labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau
pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol spasme
otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk
menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat kurare
serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang
sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi
menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang
sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur
terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko
menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga
minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah
pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal.
Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus
tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan
toksoid tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi
20
pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan
infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu
tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum,
dapat terjadi gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia
yang berat. Selanjutnya pasien diberikan imunisasi
tetanus.
2. Antibiotika
a.Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol
telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa
pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30
mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10
hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman
C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari
selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap
penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari
(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,
pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis
100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan
sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat
pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8
menggambarkan perbandingan antara penisilin dan
metronidazol.
Tabel 8. Perbedaan Penisilin dan Metronidazol
21
b.Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia,
diberikan antibiotik yang sesuai.
Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan
klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi
toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika
yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.
22
Dari penjelasan sebelumnya, penatalaksanaan tetanus dapat
digambarkan secara lebih ringkas dan sistematis seperti pada
tabel berikut ini.
23
J. Asuhan KeperawatanAsuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok
yaitu:
1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai
berikut :
Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi akibat
terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak
sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap,
dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia
24
aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika anak dalam
keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan
bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif anak (ICU).
Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap
adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan emergensi
harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah
dijangkau.
Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka
makanan dapat diberikan per oral dalam bentuk makanan
cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin
berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk cincang.
Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu
diberikan paling tidak dua kali sehari.
2. Asuhan Keperawatan Luka
Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan
tetanus selain pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung
pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau
kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar, luka
nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan
atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada tetanus yang
biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :
o Merawat dan membersihkan luka memakai teknik septik
o Irigasi luka.
o Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan
tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan debridement luka
(eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang
jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan
luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri.
Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka
secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada
25
luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern
yang lebih hemat biaya (seperti hidrogel) yang berfungsi
sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah
suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh
tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus
dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik
secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan
melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan
sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini,
diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap
terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada
tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah
sebagai berikut:
Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan
menggunakan cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%).
Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak
mudah terangsang mengalami spasme, teknik pencucian luka
tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi
lembut. Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum
no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk
mencegah spasme dan mencegah resiko perdarahan pada
jaringan yang rapuh.
Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka
pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat
diolesi langsung kedalam luka.
Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit
plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel
memerlukan balutan sekunder).
o Membuang benda asing dalam luka.
o Kompres dengan H2O2.
o Luka dibiarkan terbuka.
26
K.Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara
25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30
persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor
yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya
adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan
status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi,
prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa
awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas
kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan
prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus
neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus
berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus
lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus.
Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan
prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck:
28
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis,
seperti diuraikan berikut ini:
L. Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus
sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu
pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya
relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi
pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan
secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat
dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium
salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia
dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan
toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri
dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi
toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf
29
dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi
terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari
golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu
pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada
wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang
berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui
yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus
diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai
berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS
kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin
saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4
minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat
diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap
saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak
dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada
saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan
kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi
perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya
telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-
anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan
pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh
bayi yang akan dilahirkan.
30
Tabel 13. Jadwal imunisasi
Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam
penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat
protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap
terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang
ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi
secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis
terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi
seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki
kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun.
Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang
rutin dilakukan setiap 10 tahun. Oleh karena itu, peranan
pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada
penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus
tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak
diimunisasi karena orang tua menolak memberikan
vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata
memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir
31
dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01
AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap
bayinya.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada
luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar
dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik
dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus
tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali
pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali
pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini:
- Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan
cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat
- Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan
tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat
lembab
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada
luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan
imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga
dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak
< 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk
anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. Berikut ini
adalah pedoman pemberian profilaksis terhadap tetanus. Tabel. 14 Pedoman Profilaksis terhadap Tetanus
Riwayat Luka Bersih dan Kecil Jenis Luka Lainnya1
32
Pemberian Td atau TIG Td atau TIG3
(dosis) 2 2TdaP TdaP
<3 atau lupa ya tidak ya Ya
>34 Tidak5 tidak Tidak6 Tidak
Keterangan : Td: difteri adult-type dan vaksin tetanus
toksoid: TIG: tetanus immune globulin; TdaP: booster tetanus
toksoid, toksoid difteri dengan dosis lebih kecil dan
pertusis aselular1Antara lain (tidak terbatas hanya): luka yang
terkontaminasi oleh kotoran/feses, tanah, dan air liur;
tusukan; avulsi; dan luka akibat tembakan, tabrakan, luka
bakar, dan frostbite2TdaP lebih baik dibandingkan Td untuk remaja yang belum
pernah mendapat imunisasi TdaP. Td lebih baik
dibandingkan TT untuk remaja yang telah diimunisasi TdaP
atau TdaP memang tidak tersedia di Indonesia.3Imun globulin i.v. Diberikan bilamana TIG tidak tersedia.
TIG: 250 U i.m. di sisi ekstremitas lain dari pemberian
tetanus toksoid4Bilamana telah diberikan 3 dosis toxoid fluid, dosis keempat
tetap diberikan dan sebaiknya berupa adsorbed toxoid5Ya, jika >10 tahun mendapat imunisasi yang mengandung
tetanus6Ya, jika >5 tahun mendapat imunisasi yang mengandung
tetanus dan tidak diperlukan booster lagi
33
DAFTAR PUSTAKA
1 Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Lastupdated Feb 1, 2008. [Tingkat Pembuktian IV].
2 Bleck TP. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell GL,Bennett JE, Dolin R, eds. Man-dell, Douglas, and Bennett's principles andpractice of infectious diseases. Philadelphia: Churchill
Livingstone, 2000: 2537-43.
3 Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing and treating tetanus. Thechallenge continues in the face of neglect and lack of research.BMJ 2003;326: 117-8.
4 World Health Organization. Vaccine-preventablediseases:monitoring system. Geneva:WHO, 2001:18-19.(WHO/V&B/01.34)
5 World Health Organization. Progress towards the globalelimination of neonatal tetanus.1990-1998. Wkly Epidemiol Rec1999;74:73-80 [Medline].
6Stanfield JP, Galazka A. A neonatal tetanus is the world today.Bull World Health Organ.1984;62:647-9 [Medline].
7Reid PM, Brown D, Coni N, Sama A, Waters M. Tetanus immunizationin the elderly population. J Accid emerg Med 1996;13:184-5{Abstract].
8Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al.Tetanus. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal99-108.
9 Riskesdas 2007
10 Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku AjarInfeksi dan penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
11 CDC. Tetanus. 12 Tetanus (Lockjaw).2006 (1).RedBook
13 WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring .Diunduh pada 15 Agustus 2008 dari
34
http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/timeseries/tsincidencente.htm
14 Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of PediatricInfections Diseases, 5th ed., Vol.2. Sauders. 2004;1766-76.
15 Dolin R, ed. Principles and practice of infectious disease. 4th
ed New York: Churchill Livingstone, 1995:2173.
16 Band JD, Bennet JV. Tetanus. In:Hoeprich PD, ed. Infectiousdisease. Philadelphia: Harper and Row, 1983:1107.
35