BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekonomi Kesehatan
2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup
Ilmu Ekonomi menurut Samuelson (1995) adalah ilmu mengenai pilihan
yang mempelajari bagaimana orang memilih sumber daya produksi yang
langka/terbatas, untuk memproduksi berbagai komoditi dan mendistribusikannya
keanggota masyarakat untuk dikonsumsi saat ini atau dimasa mendatang. Ilmu ini
mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya
yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi
(Cost Effective).
Tjiptoherijanto (1994), menjelaskan ekonomi kesehatan merupakan ilmu
ekonomi yang diterapkan dalam topik – topik kesehatan. Mills dan Gillson (1999)
mendefenisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik
ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan:
(1) alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan; (2) jumlah sumber
daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan; (3) pengorganisasian dan
pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan; (4) efisiensi pengalokasian dan
penggunaan berbagai sumber daya serta (5) dampak upaya pencegahan,
pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat.
Klarman (1968) menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan
aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan
berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada empat bidang yang tercakup dalam
ekonomi kesehatan, yaitu : (1) peraturan (regulation;, (2) perencanaan (planning);
(3) pemeliharaan kesehatan (the health maintenance) dan (4) analisis biaya (cost)
dan manfaat (benefit).
Mengutip tulisan Lubis (2009) tentang Ekonomi Kesehatan, PPEKI (1989)
menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi
dalam upaya kesehatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk
mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menyikapi keterbatasan sumber daya
yang ada, mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan,
manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab
petanyaan – pertanyaan berikut : (1) pelayanan kesehatan apa yang perlu
diproduksi; (2) berapa besar biaya produksinya; (3) bagaimana mobilisasi dana
kesehatan (siapa yang mendanai); (4) bagaimana utillisasi dana kesehatan (siapa
penggunanya dan berapa banyak) serta (5) berapa besar manfaat (benefit)
investasi pelayanan kesehatan tersebut.
2.1.2 Karakteristik Komoditi Kesehatan
Menurut Tjiptoherijanto (1994), Gani (1994) dan Lubis (2009), aplikasi
ilmu ekonomi pada sektor kesehatan perlu mendapat perhatian terhadap
karakteristiknya. Karakteristik tersebut menyebabkan asumsi – asumsi tertentu
dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apabila
diaplikasikan untuk sektor kesehatan, yaitu :
a. Kejadian penyakit tidak terduga, tidak ada orang yang dapat memprediksi
penyakit apa yang akan menimpanya dimasa yang akan datang, oleh karena
itu tidak mungkin dapat dipastikan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan.
Ketidakpastian (uncertainty) ini berarti seseorang menghadapai suatu resiko
akan sakit dan oleh karena itu ada juga resiko untuk mengeluarkan biaya
untuk mengobati penyakit tersebut.
b. Consumer ignorance, artinya konsumer sangat tergantung pada penyedia
(provider) pelayanan kesehatan. Ini disebabkan karena umumnya konsumen
tersebut tidak tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis
pengobatan yang dibutuhkannya. Dalam hal ini penyedialah yang menentukan
jenis dan volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen.
c. Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Makan, pakaian, tempat tinggal
dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus
senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang
untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan
sering kali dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasar
kemampuan membayar (demand).
d. Eksternalitas, efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan adalah
dampak positif atau negatif yang dialami orang lain sebagai akibat perbuatan
seseorang. Misalnya imunisasi dari penyaki menular akan memberikan
manfaat kepada masyarakat banyak atau social marginal benefit yang
diperoleh lebih besar dari private margial benefit. Pelayanan kesehatan yang
tergolong pencegahan akan mempunyai eksternalitas yang besar, sehingga
dapat digolongkan sebagai “komoditi masyarakat” atau public goods. Oleh
karena itu program ini sebaiknya mendapat subsidi atau bahkan disediakan
oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan yang
bersifat kuratif akan mempunyai ekternalitas yang rendah atau “private
good”hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak
swasta.
e. Motif non-profit, umumnya pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan
motif sosial, namun sekarang terjadi perubahan orientasi, terutama setelah
pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektor kesehatan sebagai peluang
investasi yang menguntungkan. Pendapat yang dianut adalah “Orang tidak
layak memperoleh keuntungan dari penyakit orang lain”.
f. Padat karya, terdapat kecenderungan spesialis dan superspesialis
menyebabkan komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar.
Komponen tersebut bisa mencapai 40 – 60% dari keseluruhan biaya.
g. Mixed output, paket pelayanan merupakan konsumsi pasien, yaitu sejumlah
pemeriksaan diagnosis, perawatan, terapi dan nasehat kesehatan. Paket
tersebut bervariasi antar individu dan sangat tergantung kepada jenis penyakit.
h. Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi. Pembangunan sektor
kesehatan sesungguhnya adalah investasi jangka pendek maupun panjang
karena orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia.
i. Restriksi berkompetisi, artinya terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal
ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tidak bisa
sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Pada sektor kesehatan
tidak pernah terdengar adanya promosi discount atau bonus dalam pelayanan
kesehatan.
2.1.3 Teori Demand For Health Capital (Grossman, 1972)
Tjiptoherijanto, dkk.(1994), menyebutkan bahwa teori ini mengacu pada
pendekatan investment models dan mengasumsikan bahwa masing – masing
individu melakukan penilaian manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan yang
diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi – komoditi lainnya dalam
rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini, konsumen
diasumsikan mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat
depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara
perbaikan kesehatan dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.
Sejalan dengan kerangka fikir teori keputusan investasi yang umum,
diasumsikan bahwa setiap individu akan memaksimumkan fungsi utilitinya yang
dibentuk dari flow jasa pelayanan kesehatan dan dari konsumsi barang lainnya
untuk setiap tahun kehidupannya. Maksimasi ini akan menyebabkan individu tadi
menyamakan the marginal return on the asset dengan marginal
costnya. Return kepada individu dari terdiri atas marginal physical return dan
marginal monetary return. Monetary return ditentukan oleh tiga komponen,
yaitu : upah harian, produk marginal kesehatan yang dihitung dalam jumlah hari
sehat yang dihasilkan oleh satu unit stok kesehatan dan biaya marginal dari „gross
investment‟ dibidang kesehatan yang dibeli pada periode sebelumnya, termasuk
biaya waktu dan uang.
Prinsipnya, Grossman mendukung asumsi ekonomi makro, dimana produk
marginal kesehatan menurun secara asimtomatis menuju nol sejalan dengan
peningkatan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh Grossman pada return kesehatan
yang diukur dengan hari sehat (healthy days) dan mempunyai batas 365 hari
pertahunnya. Return tersebut akan bisa menjawab persoalan debility (Cullis JG
and West PA, 1979, hal.29-32) yang akan mempengaruhi tingkat upah.
Dengan stok kapital kesehatan yang optimal dapat dilakukan uji pengaruh
usia dan income terhadap stok kesehatan. Pertama dengan memperhatikan aspek
usia dan mengasumsikan bahwa tingkat upah, marginal product dari stok
kesehatan dan biaya marginal dari gross investmen adalah independen terhadap
usia. Pengaruh yang diasumsikan dari kenaikan usia adalah meningkatnya tingkat
depresiasi kesehatan. Ini tidak berarti bahwa orang yang lebih tua akan kurang
sehat dibandingkan yang muda usia, tetapi untuk orang tertentu tingkat depresiasi
kesehatannya pertahun akan menjadi lebih besar ketika usianya lebih tua.
Implikasi asumsi Grossman adalah peningkatan depresiasi menyebabkan
konsumen memilih stok kesehatan yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan
produk marginal kesehatan, juga menyamakan hasil marginal dengan biaya yang
lebih tinggi (telah diasumsikan bahwa besarnya produk marginal kesehatan akan
lebih kecil pada tingkat stok kesehatan yang lebih tinggi). Dengan demikian
ketika dihadapkan kepada depresiasi kesehatan yang diketahui sudah cenderung
naik, model Grossman mengatakan bahwa seseorang akan memilih suatu status
kesehatan yang lebih rendah pada setiap tahun berurutan (successive year). Hal ini
akan mendorong orang tersebut terpaksa harus memilih usia hidupnya sendiri,
mengingat stok kesehatannya yang optimal pada akhirnya akan turun hingga
dibawah life-supporting minimal yang dia perlukan, dan kalau hal itu sudah
tercapai berarti dia akan mati.
Pengaruh tingkat upah kepada stok kesehatan dan demand pelayanan
kesehatan akan terdiri dari dua unsur. Produk marginal kesehatan, dihitung dari
healthy days, jelas akan lebih berharga pada tingkat upah yang lebih tinggi. Tetapi
waktu yang dimiliki konsumen juga merupakan input bagi pelayanan kesehatan,
jika tingkat upah naik maka biaya pelayanan akan naik.
Penekanan public policy yang dapat ditunjukkan oleh model pendekatan
Grossman ini adalah perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai
bagi konsumen dan sekaligus para penyedia pelayanan kesehatan tentang
pengaruh masing-masing input pelayanan kesehatan dan juga tentang efisiensi
dari mengkombinasikan input kesehatan yang diinginkan dari pada jika hanya
informasi tentang pelayanan kesehatan saja.
2.1.4 Evaluasi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan
Lubis (2009) menyebutkan bahwa teknik evaluasi ekonomi mampu
menyediakan berbagai cara untuk menanggulangi masalah dengan menggunakan
berbagai pertimbangan pilihan masyarakat. Evaluasi ekonomi mempunyai
peranan penting dalam menanggulangi berbagai masalah manajemen,
penekanannya terletak pada penentuan bagaimana penyediaan pelayanan
kesehatan yang terbaik, bukan penentuan prioritas dalam investasi.
Masalah teknis yang selalu terjadi dalam evaluasi ekonomi adalah
kurangnya informasi dan satuan dari dampak pelayanan kesehatan. Masalah lain
yang timbul adalah adanya perbedaan pendapat mengenai teknik yang digunakan
dan perbedaan tentang strategi Primary Health Care (PHC). Secara selektif, PHC
dianggap pelayanan yang paling efektif dari segi biaya dengan menggunakan
teknik CBA.
Langkah – langkah yang harus dilalui dalam evaluasi ekonomi dalam
pelayanan kesehatan adalah : (1) identifikasi berbagai biaya dan berbagai
konsekuensinya sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam memperhitungkan
kebutuhan kesehatan masyarakat dan konsekuensinya; (2) perhitungan biaya dan
konsekuensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan dampak terhadap status kesehatan
dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan yang biasa dipakai adalah
penggunaan indikator kesehatan secara umum, yaitu tahun penyesuaian hidup
berkualitas (quality adjusted life years) dan hari kehilangan hidup dalam keadaan
sehat ( healthy days of life lost) dan pemilihan unit of effect yang sesuai dengan
luaran antara; (3) penilaian dan pengukuran biaya tersebut serta konsekuensinya
dengan konsep opportunity cost dan teknik shadow pricing dan (4) penyesuaian
biaya dan konsekuensi untuk waktu yang berbeda, misalnya program pencegahan
yang memiliki dampak yang lama, hasilnya tidak dapat dilihat langsung seperti
program pengobatan penyakit. Untuk itu dilakukan metode discounting dengan
asumsi bahwa orang lebih menyukai manfaat yang cepat diperoleh dari pada yang
lama.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan
berdasarkan langkah tersebut adalah: (1) jumlah sumber daya yang tersedia untuk
diteliti; (2) adanya suatu pilihan yang jelas dalam penggunaan sumber daya yang
akan dievaluasi; (3) penggunaan teknologi yang cukup dikenal sebagai dasar
dalam menentukan pilihan; (4) tersedianya waktu yang cukup untuk penelitian
dan (5) pengambil keputusan diharapkan dapat menerima hasil penelitian dan
tidak berubah – ubah fikiran.
2.2 Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analisis)
2.2.1 Sejarah dan Pemanfaatannya
Analisis biaya manfaat merupakan bagian dari analisis ekonomi
kesejahteraan modern, dibangun oleh Hicks (1943) dan Kaldor (1939).
Sebelumnya Pareto menyatakan kelayakan proyek dierima jika kesejahteraan
sosial masyarakat meningkat (social improvement) dengan beberapa orang merasa
baik (better off) dan tidak ada yang merasa dirugikan (worse off). Kondisi tersebut
dikenal sebagai Pareto Improvement. Prinsip kompensasi Hicks-Kaldor
mengemukakan gainer dapat mengkompensasi loser untuk mencapai pareto
improvement potensial, karena tidak mungkin seseorang atau masyarakat akan
kembali pada keadan semula setelah ada proyek (Hafidh, 2010).
Kebanyakan ekonom menyatakan bahwa suatu penilaian kurang lengkap
bila usaha untuk melihat penggunaan sumber daya dan hasil yang didapatnya
tidak dinyatakan dalam nilai uang. Analisis biaya manfaat (CBA) merupakan
suatu alat yang paling penting untuk membantu pengambilan keputusan dalam
menentukan pilihannya, atau lazimnya metode ini akan menjamin pengambilan
keputusan untuk dapat melakukan allocative efficiency (Mooney, 1986). Sugiyono
(2001) menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai banyak program yang harus
dilaksanakan, sedangkan biaya yang tersedia sangat terbatas. Analisis ini dapat
membantu pemerintah dalam memilih program – program yang memenuhi kriteria
efisiensi dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Ada dua pihak yang
menaruh perhatian pada analisis ini. Pertama praktisi teknis dan ekonom yang
berperan dalam mengembangkan metode analisis, pengumpulan data dan
membuat analisis serta rekomendasi. Kedua, pemegang kekuasaan eksekutif yang
berwenang untuk membuat peraturan dan prosedur untuk melaksanakan
keputusan publik.
Pada dasarnya CBA menawarkan perbandingan antara seluruh biaya dan
manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat. Biaya yang
dikeluarkan termasuk juga rencana pengeluaran yang terlihat dalam anggaran.
Sedangkan manfaat diperoleh jika kerugian dimasa datang dapat dicegah karena
keberhasilan program tersebut. Manfaat dari program-program kesehatan tidak
lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil, beberapa penulis
menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja diperoleh dengan menghitung
biaya ekonomi dari suatu penyakit. Oleh karena efek atau dampak dari suatu
program itu baru dapat terlihat setelah beberapa lama, maka nilai-nilai biaya dan
manfaat program tersebut harus disesuaikan mengingat nilainya berubah menurut
perjalanan waktu. Dalam hal ini digunakan cara discounting. Discounting
adalah cara penyesuaian nilai atau uang dengan menghitung berapa nilai uang saat
ini dikemudian hari dengan memperhitungkan bunga pada akhir setiap tahun.
Untuk ini dipergunakan discount rate. Biaya discount rate disesuaikan dengan
interest rate atau suku bunga yang berlaku dalam peminjaman uang.
(Tjiptoherijanto,dkk.1994).
2.2.2 Langkah – Langkah Analisis Biaya Manfaat
Lubis (2009) menjelaskan secara ringkas, langkah-langkah yang dilakukan
dalam CBA adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi para pengambil keputusan
Langkah ini bertujuan untuk menetapkan siapa yang akan dilibatkan dalam
proses CBA, terutama untuk memberikan penilaian terhadap dampak suatu
program atau alternativ kebijaksanaan secara menyeluruh.
b. Identifikasi alternatif
Langkah ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas alternative-alternatif
apa yang tersedia dihadapan pengambilan keputusan, sehingga dapat
dibandingkan baik biaya maupun manfat dari masing-masing alternatif tersebut.
c. Identifikasi biaya
Biaya (cost) adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam
satuan uang, yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Biaya suatu program
mencakup biaya itu sendiri dan dampak yang tidak diharapkan (dis-benefit,
maupun “benefit yang hilang” oleh karena sumber daya tidak dialokasikan kepada
alternative lain (opportunity cost). Terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak
langsung. Biaya langsung adalah biaya yang melekat pada kegiatan dan
operasional desa siaga aktif dan poskesdes, seperti pembentukan, pendirian
Poskesdes dan penyediaan alat kesehatan dan pelatihan bidan desa. Sedangkan
biaya tidak langsung meliputi biaya rapat berkala yang diselenggarakan oleh
pengurus desa siaga. Jadi biaya total kegiatan tersebut bertindak sebagai pengukur
untuk manfaat yang didapatkan. Dalam suatu perhitungan manfaat-biaya,
perbandingannya adalah antara pengeluaran tambahan yang ditujukan untuk
pelayanan kesehatan dan antisipasi penurunan dari biaya – biaya yang ada.
d. Identifikasi manfaat
Manfaat juga terdiri atas manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat
langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung setelah
program desa siaga aktif berjalan, misalnya menurunnya angka kesakitan dan
pengurangan biaya operasional. Sedangkan manfaat tidak langsung adalah
manfaat yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang (5-10 tahun) setelah
program ini dijalankan, misalnya peningkatan pendapatan dan produktifitas,
karena hari sehatnya lebih banyak. Untuk menghitung biaya langsung atau
manfaat langsung suatu program, biasanya tidak begitu sulit.
e. Transformasi dampak kedalam nilai moneter
Semua biaya dan manfaat selanjutnya ditransformasi kedalam bentuk
uang. Dalam hal ini diperlukan data – data pendukung, seperti harga satuan
perobatan dan UMR, sehingga nilai moneternya dapat diestimasi.
f. Discounting
Oleh karena efek (dampak) suatu program biasanya berlangsung lama,
maka nilai-nilai biaya dan manfaat tadi harus disesuaikan. Oleh karena nilainya
memang berubah menurut perjalanan waktu. Hal ini dilakukan dengan tindakan
discounting, yakni dengan menggunakan discount rate yang sesuai. Dalam hal ini
mengacu pada tingkat inflasi Mei 2012, berkisar 12 % - 15 % (Waspada, 2012).
g. Penafsiran hasil cost benefit analysis
Hasil perhitungan biaya dan manfaat selanjutnya ditafsirkan dengan
melakukan perhitungan lebih lanjut. Ada dua cara yang lazim dipakai, yakni
menghitung rasio manfaat biaya (benefit cost ratio) dan menghitung manfaat
bersih (net benefit) program bersangkutan dengan menghitung Net Persent Value
( NPV ) atau menghitung Internal Rate of Return (IRR ).
2.2.3 Metode Analisis Biaya Manfaat
Pelaksanaan analisis pada proyek yang mempunyai umur ekonomis yang
relatif panjang dan memberikan manfaat serta menimbulkan biaya pada saat yang
berbeda-beda harus memperhatikan konsep uang. Analisis harus dilakukan dengan
menghitung seluruh manfaat dan biaya dari suatu proyek selama umur proyek
yang bersangkutan dan dihitung dalam nilai sekarang.
Adanya faktor ketidak pastian tentang hal yang terjadi dimasa datang dan
diskonto, maka perlu ditentukan konsep uang yang akan datang ( future value) dan
nilai uang sekarang (present value) karena hampir semua proyek mempunyai
umur yang lebih panjang dari satu tahun dan manfaat proyek tersebut tidak
diterima seluruhnya pada suatu saat. Biaya proyek juga dikeluarkan dalam waktu
yang berbeda-beda selama umur proyek yang bersangkutan. Diskonto biasanya
disamakan dengan tingkat bunga, meskipun dalam analisis manfaat dan biaya
faktor diskonto tidak selalu sama dengan suku bunga.
Konsep nilai uang yang akan datang dapat dihitung dengan menggunakan
rumus berikut :
Pt =Po ( 1+ i )t
Dimana ;
Pt : nilai uang dimasa datang
Po : nilai uang sekarang
i : tingkat diskonto
t : tahun
Sedangkan konsep nilai uang sekarang, dapat dihitung dengan rumus :
Po = Pt / (1+ i )
Pada dasarnya untuk menganalisis efisiensi suatu proyek langkah-langkah
yang harus diambil adalah : (1) Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek
yang akan dilaksanakan; (2) Menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang dan
(3) Menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.
Ada tiga metode untuk menganialisis manfaat dan biaya suatu proyek
yaitu nilai bersih sekarang (NPV =Net Present Value), Internal Rate of Return
(IRR) dan perbandingan manfaat biaya (BCR = Benefit Cost Ratio)
Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaatnya lebih besar dari pada
biaya yang diperlukan. Nilai bersih suatu proyek (NPV) merupakan seluruh nilai
dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang
bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku.
Berdasarkan metode ini, proyek yang mempunyai NPV tertinggi adalah proyek
yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan. Pemilihan proyek tergantung dari
tingkat diskonto yang dipilih. Pemilihan tingkat diskonto haruslah mencerminkan
biaya oportunitas penggunaan dana.
Metode IRR dapat mencari tingkat diskonto, sehingga menghasilkan nilai
sekarang suatu proyek sama dengan nol. Sedangkan metode BCR memilih proyek
dengan kriteria perbandingan lebih besar dari satu. Metode BCR akan memberikan
hasil yang konsisten dengan metode NPV, apabila BCR >1 berarti pula NPV>0.
Perbandingan ketiga metode ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat
Metode Analisis Biaya Manfaat
NPV IRR BCR
Karakteristik Cerminan
Skala Proyek
Tidak Tidak Ya
Mudah
Mengurutkan
Proyek
Tidak Ya Ya
Mudah
Digunakan
Mudah Agak Sukar Mudah
Kelebihan Berfokus
pada nilai
uang
Mencerminkan
tingkat
pengembalian
Mudah
mengurutkan
proyek
Kekurangan Sukar
mengurutkan
proyek
Hasil dapat
membingungkan
Bias dalam
operasional
Sumber : de Neufville (1990)
2.3 Desa Siaga Aktif
2.3.1 Perkembangan Program Desa Siaga
Undang – Undang RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencanan Pembangunan
Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025 menyebutkan Visi Pembangunan
Nasional adalah “INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN
MAKMUR”. Salah satu arah pembangunan jangka panjang tersebut adalah
mewujudkan bangsa yang berdaya saing dengan mengedepankan pembangunan
sumber daya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPKM. Unsur – unsur
penting bagi peningkatan IPKM adalah derajat kesehatan, tingkat pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi. Derajat kesehatan dan tingkat pendidikan pada hakikatnya
adalah investasi bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, yang
selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat
kemiskinan.
Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga
mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang
setinggi – tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan
dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber
daya di bidang kesehatan dan setiap orang juga tidak luput dari kewajiban –
kewajiban di bidang kesehatan.
Pemerintah pernah berhasil menggalang peran aktif dan memberdayakan
masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa (PKMD) pada dasawarsa 1970 – 1980-an. Pada saat itu, seluruh
sektor pemerintahan terkait, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha serta para
pengambil keputusan dan pemangku kepentingan (stakeholders), bahu membahu
menggerakkan, memfasilitasi dan membantu masyarakat di desa dan kelurahan
untuk membangun kesehatan mereka sendiri. Akibat terjadinya krisis ekonomi
dan faktor – faktor lain, gerakan pemberdayaaan masyarakat di bidang kesehatan
itu berangsur melemah. Semangat yang tersisa adalah Posyandu yang digerakkan
melalui kegiatan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Masa kejayaan PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali
melalui gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang sudah dimulai
tahun 2006. Sampai tahun 2009, tercatat 42.295 desa dan kelurahan (56,1%) dari
75.410 desa dan kelurahan di Indonesia telah memulai upaya mewujudkan
Desa/kelurahan Siaga ini. Namun, banyak diantaranya yang belum aktif. Dapat
difahami, kegiatan yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat seperti ini
memang memerlukan proses panjang (Kemenkes RI, 2011).
2.3.2 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif
Desa Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah
dimulai sejak Tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif adalah desa atau
kelurahan atau yang disebut dengan nama lain yang penduduknya dapat
mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar yang memberikan
pelayanan kesehatan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) atau
sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti Pusat Kesehatan
Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau
sarana kesehatan lainnya. Selain itu penduduknya juga mampu mengembangkan
UKBM dan melaksanakan surveilans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan
penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga
masyarakatnya menerapkan PHBS. Dengan demikian, Desa Siaga Aktif memiliki
komponen: (1) pelayanan kesehatan dasar; (2) pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan UKBM dan mendorong upaya surveilans berbasis masyarakat,
kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan;
(3) menerapkan PHBS (Kemenkes RI, 2010).
Pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Desa Siaga Aktif diselenggarakan
melalui berbagai UKBM, serta kegiatan kader dan masyarakat. Pelayanan ini
selanjutnya didukung oleh sarana – sarana kesehatan seperti Puskesmas, Pustu
dan rumah sakit. Pelayanan tersebut meliputi : (1) pelayanan kesehatan untuk ibu
hamil; (2) pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui; (3) pelayanan kesehatan
untuk anak serta (4) penemuan dan penanganan penderita penyakit.
Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM difokuskan
kepada upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan
penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan.
Surveilans berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan
penyakit yang dilakukan dan diselenggarakan oleh masyarakat (kader) dibantu
oleh tenaga kesehatan. Kegiatannya meliputi : (1) pengamatan dan pemantauan
penyakit serta keadaan kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; (2) pelaporan cepat (kurang
dari 24 jam) kepada petugas kesehatan untuk respon cepat;
(3) pencegahan dan penanggulangan sederhana penyakit dan masalah kesehatan
serta (4) pelaporan kematian.
Kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana adalah upaya – upaya
yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencegah dan mengatasi bencana dan
kedaruratan kesehatan. Kegiatannya berupa : (1) bimbingan dalam pencarian
tempat yang aman untuk mengungsi; (2) promosi kesehatan dan bimbingan
mengatasi masalah kesehatan akibat bencana dan mencegah faktor – faktor
penyebab masalah; (3) bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi
dasar (air bersih, jamban, pembuangan sampah/limbah) di tempat pengungsian;
(4) penyediaan relawan yang bersedia menjadi donor darah dan (5) pelayanan
kesehatan bagi pengungsi.
Penyehatan lingkungan adalah upaya – upaya yang dilakukan masyarakat
untuk memelihara lingkungan pemukiman dan sekitarnya agar terhindar dari
penyakit dan masalah kesehatan. Kegiatannya meliputi : (1) promosi tentang
pentingnya sanitasi dasar; (2) bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana
sanitasi dasar (air bersih, jamban, pembuangan sampah / limbah) dan
(3) bantuan/fasilitas upaya pencegahan pencemaran lingkungan.
Masyarakat di Desa Siaga Aktif harus melaksanakan PHBS, yaitu
sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil
pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga atau masyarakat mampu
menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam
mewujudkan kesehatan masyarakat. Indikator keberhasilan pengembangan Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif adalah penerapan PHBS di rumah tangga, institusi
pendidikan, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan dan mengupayakan
sarana dan kemudahan untuk melakukannya.
Indikator yang dipakai untuk mengukur keberhasilan PHBS di rumah
tangga adalah: (1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan; (2) memberikan ASI
Eksklusif pada bayi; (3) menimbang berat badan balita; (4) menggunakan air
bersih; (5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun; (6) menggunakan jamban
sehat; (7) memberantas jentik nyamuk; (8) mengonsumsi sayur dan buah setiap
hari; (9) melakukan aktifitas fisik setiap hari dan (10) tidak merokok di dalam
rumah (Kemenkes RI, 2011).
2.3.3 Tujuan Desa Siaga Aktif
Tujuan Umum pengembangan Desa Siaga Aktif adalah untuk percepatan
terwujudnya masyarakat desa/kelurahan yang peduli, tanggap dan mampu
mengenali, mencegah serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi
secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya meningkat.
Tujuan khususnya meliputi : (1) mengembankan kebijakan pengembangan
Desa Siaga Aktif di Pemerintahan Desa/Kelurahan; (2) meningkatkan komitmen
dan kerjasama semua perangkat desa/kelurahan dan organisasi kemasyarakatan
untuk pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif; (3) meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar di desa / kelurahan ;
(4) mengembangkan UKBM dan melaksanakan survailans berbasis masyarakat
(meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, lingkungan dan
perilaku), penanggulangan bencana dan kedaruratan kesehatan, serta penyehatan
lingkungan; (5) meningkatkan ketersediaan sumberdaya manusia, dana, maupun
sumber daya lain, yang berasal dari Pemerintah Desa/Kelurahan, masyarakat dan
swasta / dunia usaha, untuk pengembangan Desa Siaga Aktif serta
(6) meningkatkan PHBS di Rumah Tangga (Kemenkes RI, 2011).
2.3.4 Manfaat Desa Siaga Aktif
Pengembangan Desa Siaga Aktif sangat bermanfaat bagi masyarakat,
Puskesmas dan Pemerintah Kecamatan. Bagi masyarakat, manfaat yang dapat
diperoleh adalah mudahnya mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, masyarakat
menjadi peduli, tanggap dan mampu mengenali, mencegah dan mengatasi masalah
kesehatan yang dihadapi, masyarakat dapat tinggal dilingkungan yang sehat
dengan mempraktikkan PHBS dan tokoh masyarakat serta kader dapat berperan
aktif memberdayakan dan menggerakkan masyarakat. Dengan demikian, derajat
kesehatan dan produktifitas masyarakat juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah hari – hari sehat yang banyak dan waktu kerja yang termanfaatkan secara
optimal.
Manfaat yang diperoleh Puskesmas dengan adanya pengembangan Desa
Siaga Aktif adalah meningkatkan cakupan program kesehatan, optimalisasi
fungsi Puskesmas, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta
meningkatkan citra Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.
Manfaat yang lebih luas juga dirasakan oleh Pemerintah Kecamatan, yakni
terciptanya pembangunan berwawasan kesehatan di kecamatan, alokasi dana
pembangunan tidak banyak digunakan untuk pelayanan kuratif, melainkan untuk
promotif dan preventif, mempercepat terwujudnya Kecamatan Sehat dan
meningkatkan citra Pemerintahan Kecamatan ( Kemenkes RI, 2011).
2.3.5 Kriteria Desa Siaga Aktif
Kriteria Desa Siaga Aktif, yaitu : (1) kepedulian Pemerintah Desa atau
Kelurahan dan pemuka masyarakat terhadap Desa dan Kelurahan Siaga Aktif
yang tercermin dari kesadaran dan keaktifan Forum Desa dan Kelurahan;
(2) keberadaan Kader Pemberdayaan Masyarakat/Kader Kesehatan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif; (3) kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan dasar yang buka atau memberikan pelayanan setiap hari; (4) keberadaan
UKBM yang dapat melaksanakan survailans berbasis masyarakat, kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan;
(5) tercukupinya pendanaan untuk pengembangan Desa Siaga Aktif dalam
Anggaran Pembangunan Desa/Kelurahan serta dari masyarakat dan dunia usaha;
(6) peran serta aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan
kesehatan Desa Siaga Aktif; (7) peraturan di Desa/Kelurahan yang melandasi atau
mengatur tentang pengembangan Desa Siaga Aktif dan (8) pembinaan PHBS di
rumah tangga. Dalam bentuk matriks, pentahapan perkembangan Desa/Kelurahan
Siaga Aktif tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.2 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif dan
Kriteria yang Harus Dipenuhi
Kriteria Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif
Pratama Madya Purnama Mandiri
Forum
Desa/Kelurahan
Ada, tetapi
belum berjalan
Berjalan, tetapi
belum rutin
Berjalan setiap
Triwulan
Berjalan
setiap bulan
KPM/Kader
Kesehatan
Sudah ada
minimal 2
orang
Sudah ada 3-5
orang
Sudah ada 6-8
orang
Sudah ada
9 orang
atau lebih
Kemudahan akses
Pelayanan
Kesehatan Dasar
Ya Ya Ya Ya
Posyandu &
UKBM lainnya
aktif
Posyandu ya,
UKBM lainnya
tidak aktif
Posyandu & 2
UKBM lainnya
aktif
Posyandu & 3
UKBM lainnya
aktif
Posyandu
& 4 UKBM
lainnya
aktif
Dukungan dana
untuk kegiatan
kesehatan di Desa
dan Kelurahan :
(dari Pemerintah
Desa dan
Kelurahan,
Masyarakat dan
Dunia Usaha)
Sudah ada
dana dari
Pemerintah
Desa dan
Kelurahan
serta belum
ada sumber
dana lainnya
Sudah ada dana
dari pemerintah
Desa dan
Kelurahan serta
satu sumber
dana lainnya
Sudah ada dana
dari pemerintah
Desa dan
Kelurahan serta
dua sumber
dana lainnya
Sudah ada
dana dari
pemerintah
Desa dan
Kelurahan
serta dua
sumber
lainnya
Peran serta
masyarakat dan
Organisasi
Kemasyarakatan
Ada peran aktif
masyarakat dan
tidak ada peran
aktif ormas
Ada peran aktif
masyarakat dan
peran aktif satu
ormas
Ada peran aktif
masyarakat dan
peran aktif satu
ormas
Ada peran
aktif
masyarakat
dan peran
aktif lebih
dari dua
ormas
Peraturan Kepala
Desa atau
peraturan
Bupati/Walikota
Belum ada Ada, belum
direalisasikan
Ada, sudah
direalisasikan
Ada, sudah
direalisasik
an
Pembinaan PHBS
di Rumah Tangga
Pembinaan
PHBS kurang
dari 20%
rumah tangga
yang ada
Pembinaan
PHBS minimal
20% rumah
tangga yang
ada
Pembinaan
PHBS minimal
40% rumah
tangga yang
ada
Pembinaan
PHBS
minimal
70% rumah
tangga
yang ada
Sumber : Kemenkes RI (2011)
2.3.6. Langkah-Langkah Pengembangan Desa Siaga Aktif
Kepala Desa/Lurah bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
Perangkat Desa/Kelurahan, serta lembaga kemasyarakatan yang ada harus
mendukung pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif. Kegiatannya merupakan
langkah-langkah memfasilitasi siklus pemecahan masalah kesehatan yang
dihadapi masyarakat yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1 Upaya Pemecahan Masalah di Desa Siaga Aktif
Pengenalan kondisi Desa/Kelurahan oleh Kader Pemberdayaan
Masyarakat (KPM), Lembaga kemasyarakatan, dan Perangkat Desa/Keluran,
dilakukan bersama dan hasil analisis situasi perkembangan Desa/Kelurahan Siaga
Aktif, yang sudah dapat atau belum dapat dipenuhi oleh Desa//Kelurahan yang
bersangkutan.
1. PENGENALAN
KONDISI
DESA/KELURAHA
N 6. PEMBINAAN
KELESTARIAN
5. PELAKSANAAN
KEGIATAN
2. IDENTIFIKASI
MASALAH
KESEHATAN &
PHBS
3.
MUSYAWARAH
DESA/KELURAH
AN 4. PERENCANAAN
PARTISIPATIF
FASILITATOR/KP
M/KADER
KESEHATAN
Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap : (1) masalah kesehatan yang
dihadapi masyarakat dan prioritas penanganannya; (2) penyebab masalah
kesehatan dan prilaku masyarakat; (3) potensi yang dimiliki oleh Desa/Kelurahan;
(4) UKBM yang ada dan harus diaktifkan kembali/dibentuk baru dan (5) bantuan
/dukungan yang diharapkan : apa bentuknya, berapa banyak, dari mana
kemungkinan didapat (sumber) dan bilamana dibutuhkan.
Kemudian dilakukan musyawarah Desa/Kelurahan, dapat dilakukan secara
berjenjang dengan terlebih dahulu menyelenggarakan Musyawarah Dusun atau
Rukun Warga. Musyawarah Desa diselenggarakan dengan menyajikan hasil
analisis data hasil kajian Profil Desa/Kelurahan dan atau hasil survey mawas diri
(SMD). Musyawarah Desa/Kelurahan bertujuan untuk : (1) mensosialisasikan
masalah kesehatan yang dihadapi; (2) mencapai kesepakatan urutan prioritas;
(3) mencapai kesepakatan tentang UKBM yang dibentuk baru atau diaktifkan
kembali; (4) memantapkan data potensi desa untuk sumber bantuan/dukungan
yang diperlukan serta (5) Menggalang semangat dan partisipasi warga untuk
mendukung pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif. Setelah diperoleh
kesepakatan dari warga, KPM dan lembaga kemasyarakatan mengadakan
pertemuan guna menyusun rencana pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif untuk dimasukkan kedalam Rencana Pembangunan Desa/Kelurahan
Rencana pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif mencakup :
(1) UKBM yang akan dibentuk baru atau diaktifkan kembali; (2) sarana yang akan
dibangun baru atau direhabilitasi (misalnya Poskesdes, Polindes, sarana air bersih,
jamban keluarga, dll); (3) kegiatan yang akan dilaksanakan dan biaya
operasionalnya; (4) hal-hal yang dapat dilaksanakan dengan swadaya masyarakat
dan atau bantuan dari donator (misalnya swasta), disatukan dalam dokumen
tersendiri. Sedangkan hal-hal yang memerlukan dukungan Pemerintah
dimasukkan dalam ke dokumen Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten/Kota.
Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan yang mendapat
dukungan dana dari pemerintah dan sudah melewati proses Musrenbang. Kegiatan
dapat dimulai dengan membentuk UKBM dan menetapkan kader-kader
pelaksanaanya, dan pelaksanaan kegiatan yang tidak memerlukan biaya
operasional seperti promosi kesehatan melalui Dasawisma, pertemuan Rukun
Tetangga, pertemuan Rukun Warga/Dusun, atau forum-forum kegiatan
kemasyarakatan dan keagamaan.
Tim pelaksana kegiatan bertanggung jawab mengenai realisasi fisik,
keuangan dan administrasi kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan rencana.
Apabila dibutuhkan barang berupa bahan dan alat yang tidak dapat
disediakan/dilakukan sendiri oleh masyarakat, maka Dinas Kesehatan melalui
Puskesmas dapat membantu masyarakat untuk menyediakan barang/jasa tersebut.
Pencatatan dan pelaporan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis
dari Kemendagri.
Pelatihan teknis, termasuk kursus-kursus penyegaran, bagi para kader
pelaksanaan UKBM menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan dibantu oleh Dinas Kesehatan Provinsi untuk melaksanakannya, dengan
mengacu kepada petunjuk teknis yang dibuat oleh Kemendagri dan Kemenkes.
Pembinaan kelestarian Desa Siaga Aktif tugas dari KPM, Kepala
Desa/Lurah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Pertemuan berkala dan
kursus penyegaran bagi para kader, termasuk KPM, dapat dikembangkan dengan
cara lain melalui program Kelompecapir dan Perpustakaan Desa/Kelurahan.
Pembinaan kelestarian dapat dilaksanakan terintregasi dengan penyelenggaraan
Perlombaan Desa dan Kelurahan yang diselenggarakan setiap tahun ketingkat
Nasional. Pembinaan kelestarian juga diselenggarakan dengan pencatatan dan
pelaporan perkembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang berjalan secara
berjenjang dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Pembangunan Desa yang
diselenggarakan oleh Kemendagri, dengan demikian kesuksesan program ini juga
ditentukan oleh persiapan yang matang, penyelenggaraan yang terorganisasi dan
evaluasi secara berkala (Kemenkes RI, 2011).
2.3.7 Pembiayaan Desa Siaga Aktif
Azwar (1994) menyebutkan bahwa pembiayaan kesehatan pada dasarnya
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta.
Jumlah dana pembiayaan harus cukup untuk membiayai upaya kesehatan yang
telah direncanakan. Bila biaya tidak mencukupi, maka jenis dan bentuk pelayanan
kesehatannya harus diubah sehingga sesuai dengan biaya yang disediakan.
Distribusi atau penyebaran dana juga perlu disesuaikan berdasarkan skala
prioritas.
Aspek pembiayaan merupakan hal penting dalam pengembangan Desa
Siaga Aktif. Tujuannya adalah untuk menyediakan biaya dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil guna dan
berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya seluruh kegiatan yang
direncanakan. Disamping itu juga diperlukan sumber daya manusia yang
berkompetensi dan mampu mengelola dana dengan baik, karena salah satu cirri
Desa/Kelurahan Siaga Aktif adalah memiliki sistem pembiayaan kesehatan yang
berbasis masyarakat. Sedangkan sumbernya dapat berasal dari masyarakat,
swasta/dunia usaha, hasil usaha dan pemerintah.
Sumber dana dari masyarakat dapat berupa : (1) iuran
pengguna/pengunjung Poskesdes; (2) iuran masyarakat umum dalam bentuk dana
sehat; (3) sumbangan/donator dari perorangan atau kelompok masyarakat dan
mobilisasi dana sosial keagamaan. Pera aktif swasta atau dunia usaha dapat
dilakukan dengan cara menjadikan Desa Siaga Aktif sebagai anak angkat usaha.
Bantuan yang diberikan dapat berupa sarana, prasarana atau tenaga sukarelawan
poskesdes. Disamping itu pengelola dan kader Desa/Kelurahan Siaga Aktif dapat
melakukan usaha mandiri yang hasilnya disumbangkan untuk pengolaan
Desa/Kelurahan Siaga (Depkes, 2007).
Pemerintah melalui Depkes juga telah mengalokasikan anggaran khusus
yang bersumber APBN untuk pembentukan Desa/Kelurahan Siaga. Pemanfaatan
dana ini sebaiknya tidak berjalan sendiri, melainkan diintegrasikan dengan dana
lain yang disediakan untuk pengadaan Poskesdes, pelatihan fasilitator dan lain –
lain sehingga saling menunjang dan mengisi. Sumber dana lainnya dapat berasal
dari bantuan luar negeri seperti USAID yang disalurkan melalui APBN (Depkes,
2006).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
HK.0305/B.I.4/3060/2008 tentang penerimaan bantuan sosial dana operasional
tahun anggaran 2008 disebutkan bahwa tujuan utama pembiayaan Desa Siaga
adalah terselenggaranya pengembangan/operasional Poskesdes secara optimal
untuk mewujudkan Desa Siaga melalui tersedianya dana stimulan operasional.
Rata – rata dana yang dikeluarkan adalah Rp. 1.500.000,00 per tahun per desa.
Jenis kegiatan yang difasilitasi olah dana ini adalah musyawarah desa,
pelatihan kader Desa/Kelurahan Siaga, insentif kader, kegiatan pemantauan,
pelaporan, pengadaan sarana/prasarana dan kegiatan pengembangan.
Mengingat besarnya kegiatan Desa Siaga, pelatihan kader merupakan
paket kegiatan yang berkesinambungan. Tahap pertama difokuskan pada masalah
PHBS dan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Tahap kedua dan ketiga diberikan
berupa kegiatan surveilan epidemiologi dan penaggulangan KLB. Tahap keempat,
kader diberi pengetahuan dan praktek tentang kesiapansiagaan bencana, tindakan
emergensi serta pengelolaan obat sederhana di desa. Jika dirasa perlu, pelatihan
lainnya dapat juga dilakukan (Depkes, 2007).
Penelitian Polisiri dan kawan – kawan di Kota Tidore Kepulauan tahun
2008 tentang implementasi Desa Siaga, diperoleh gambaran bahwa Pemerintah
Pusat menyediakan secara penuh semua sumber dana terhadap 28 desa dari 72
desa yang ada. Pemerintah secara penuh menyediakan dana bagi pembentukan
desa siaga di Desa Bua – Bua dengan memberikan dana sebesar
Rp.20.000.000,00 untuk proses pembentukan awal desa siaga ini. Sedangkan
untuk desa selanjutnya, dana yang tersedia semakin berkurang, hanya tinggal
Rp.7.000.000,00 bagi masing – masing desa. Hal ini mengakibatkan
perkembangan desa siaga tidak sebaik yang ada di Desa Bua – Bua.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Taufik Noor dan kawan – kawan
terhadap pengembangan Desa Siaga di Cibatu Purwakarta tahun 2007, diperoleh
gambaran bahwa bantuan untuk pembangunan posyandu di 7 kecamatan terpilih
sebesar Rp. 17.500.000,00 per posyandu. Bantuan dana operasional posyandu
diberikan untuk 192 desa yang meliputi 9 kelurahan dan 183 desa sebesar
Rp.750.000,00. Dana yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan sarana dan
prasarana posyandu masing – masing sebesar Rp.250.000,00. Bagi usaha
penguatan ekonomi kader diberi dana sebesar Rp.250.000,00. Penambahan
pendapatan ini biasanya digunakan untuk membuka warung obat desa, membuat
jamu-jamu atau modal usaha dagang kader.
Pada Simposium Internasional Kesehatan Masyarakat yang digelar di
Hotel Polonia Medan pada tanggal 15 – 17 Oktober 2009, Makkasau
mempresentasikan proses advokasinya kepada Pemerintah Kota Ternate
sehubungan dengan pengembangan program Desa Siaga Aktif. Beliau menghitung
nilai ekonomi yang hilang melalui anggaran Dinas Kesehatan Kota Ternate akibat
10 penyakit terbesar yang ada disana. Total nilai ekonomi yang hilang pada tahun
2008 berjumlah Rp. 62.276.685.000,00. Melihat kondisi tersebut, akhirnya
Walikota Ternate mampu mengaanggarkan biaya pembentukan dan operasinal 23
kelurahan siaga melalui APBD.
Sofiarini dan Goeman (2009) menjelaskan analisis biaya Desa Siaga di
NTB dan NTT berdasarkan dukungan GTZ SISKES selama 2006 – 2009. Beliau
menyebutkan bahwa biaya untuk implementasi desa siaga untuk satu desa selama
satu tahun di NTB adalah Rp. 53.414.400,00 sedangkan di NTT Rp.
74.615.500,00. Dari biaya ini, 80 % dipergunakan untuk penbentukan konsep desa
siaga dan 20% untuk kegiatan operasional dan mempertahankan fungsi desa siaga.
Perinciannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2.3 Perbandingan Analisa Biaya Desa Siaga Di NTB dan NTT
Tahun 2006 – 2009
Uraian
Kegiatan
NTB NTT
Min Unit Biaya Maks Min Unit Biaya Maks
Kumpulan
semua
langkah
untuk 1
tahun
176.329.000 267.072.000 355.728.000 351.780.000 373.077.500 394.375.000
Distribusi
untuk 1
desa/tahun
35.265.000 53.414.400 71.145.600 70.356.000 74.615.500 78.875.000
Biaya
Pembentu
kan
30.198.400 43.184.400 57.000.700 54.236.000 59.067.500 63.899.000
Biaya 1
kali
operasion
al
1.696.200 2.975.000 3.833.700 2.630.000 2.714.000 2.798.000
Biaya
operasion
al 1 tahun
5.067.400 10.230.000 14.144.900 14.976.000 15.548.000 16.120.000
Sumber : Sofiarini dan Goeman (2009)
2.4 Landasan Teori
Tjiptoherijanto (1994) menyebutkan bahwa teori Demand For Health
Capital (Grossman, 1972) mengacu pada pendekatan investment models dan
mengasumsikan bahwa masing – masing individu melakukan penilaian manfaat
atas pengeluaran untuk kesehatan yang diperbandingkan dengan pengeluaran
untuk komoditi – komoditi lainnya dalam rangka memutuskan status
kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini konsumen diasumsikan mempunyai
pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat depresiasi status
kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan
dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Aplikasi asumsi teori tersebut
banyak diterapkan pada program pengembangan Konsep Desa Siaga Aktif.
Program ini merupakan program pemerintah yang berdampak jangka panjang,
karena berbasis UKBM.
Evaluasi program tersebut akan dilakukan dengan menganalisis biaya
manfaatnya (CBA). Pada dasarnya CBA menawarkan perbandingan antara seluruh
biaya dan manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat. Biaya
yang dikeluarkan termasuk juga rencana pengeluaran yang terlihat dalam
anggaran. Sedangkan manfaat diperoleh bila kerugian dimasa datang bisa dicegah
karena keberhasilan dari program tersebut. Manfaat dari program-program
kesehatan tidak lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil
sehingga beberapa penulis menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja
diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit. Efek atau
dampak dari suatu program kesehatan itu baru dapat terlihat setelah beberapa
lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat program tersebut harus disesuaikan
mengingat nilainya berubah menurut perjalanan waktu.
Langkah – langkah yang akan dilakukan dalam penerapan menganalisis
biaya manfaat pengembangan program Desa Siaga Aktif ini meliputi :
(1) identifikasi pengambil keputusan dan alternatif; (2) identifikasi biaya;
(3) identifikasi manfaat baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung;
(4) transformasi dampak kedalam nilai moneter; (5) discounting dan (6)
penafsiran hasil CBA dengan menghitung ratio biaya manfaat (benefit cost ratio)
atau menghitung manfaat bersih program kesehatan dengan menghitung net
present value (NPV) dan internal rate of return (IRR).
2.5 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Pengembangan Program Desa Siaga Aktif
Identifikasi Pemahanan Pengambil
Keputusan
Identifikasi Alternatif
Identifikasi Biaya
1. Biaya Langsung
a. Pembentukan Desa Siaga
b. Pengadaan Poskesdes
c. Pengadaan Poskesdes Kit
d. Operasional Poskesdes dan
Kegiatan
e. Biaya Pelatihan
2. Biaya tidak Langsung
a. Biaya Rapat Berkala
Transformasi Dampak ke dalam
Nilai Moneter
Identifikasi Manfaat
1. Manfaat Langsung
a. Pengurangan Biaya
Operasinal
b. Penurunan Angka
Kesakitan
2. Manfaat tidak Langsung
a. Peningkatan Jumlah Hari
Kerja/Sekolah
b. Nilai YLD yang Dapat
Dicegah
Discounting
Interpretasi Hasil
(BCR, NPV dan IRR)