6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka. 2.1.1 ...

14
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka. 2.1.1. Pengertian Prosedur. Prosedur adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama) agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama. (www.qieqierizky.blogspot.com : 2017). 2.1.2. Pengertian Mekanisme. Suatu rangkaian kerja sebuah alat yang digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan proses kerja, tujuannya adalah untuk menghasilkan hasil yang maksimal dan mengurangi kegagalan. ( Moenir : 2001 ). 2.1.2. Pemeriksaan Kapal. Pemeriksaan kapal adalah pengecekan seluruh bagian kapal, dari haluan sampai buritan kapal, bagian luar dan bagian dalam kapal, baik dari segi fisik kapal, bangunan kapal, surat-surat kapal, serta sertifikat yang dimiliki oleh kapal tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kapal tersebut apakah laiklaut atau tidak laiklaut, serta mengetahui apakah kapal tersebut siap digunakan oleh pengguna jasanya untuk dijadikan salah satu transportasi laut sebagai sarana pengangkutan. (www.dephub.com : 2016 )

Transcript of 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka. 2.1.1 ...

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Pustaka.

2.1.1. Pengertian Prosedur.

Prosedur adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi

yang harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama)

agar selalu memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama.

(www.qieqierizky.blogspot.com : 2017).

2.1.2. Pengertian Mekanisme.

Suatu rangkaian kerja sebuah alat yang digunakan dalam

menyelesaikan suatu masalah yang berkaitan dengan proses kerja,

tujuannya adalah untuk menghasilkan hasil yang maksimal dan

mengurangi kegagalan. ( Moenir : 2001 ).

2.1.2. Pemeriksaan Kapal.

Pemeriksaan kapal adalah pengecekan seluruh bagian kapal, dari

haluan sampai buritan kapal, bagian luar dan bagian dalam kapal, baik

dari segi fisik kapal, bangunan kapal, surat-surat kapal, serta sertifikat

yang dimiliki oleh kapal tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui

kondisi kapal tersebut apakah laiklaut atau tidak laiklaut, serta

mengetahui apakah kapal tersebut siap digunakan oleh pengguna jasanya

untuk dijadikan salah satu transportasi laut sebagai sarana pengangkutan.

(www.dephub.com : 2016 )

7

2.1.3. Marine Inspector.

Marine Inpector adalah Pejabat pemeriksaan keselamatan kapal yang

telah mengikuti dan lulus pendidikan dan latihan di bidang rancang

bangun, pengukuran kontruksi, dan stabilitas kapal, nautis, teknis, dan

radio serta perlengkapan dan peralatan keselamatan kapal juga

pencegahan pencemaran dari kapal dan manajemen keselamatan dan

pengoperasian kapal di perairan nasional maupun internasional untuk

semua jenis kapal dan semua ukuran, pejabat pemeriksaan keselamatan

kapal telah dikukuhkan oleh direktur jenderal. (www.dephub.com: 2016)

.

2.2. Aturan Yang Mengatur Tentang Marine Inspector.

2.2.1. Aturan Yang Ada Di Indonesia.

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kepelabuhanan

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang

Kepelabuhanan.

4. Keputusan Menteri Nomor 70 Tahun 1998 tentang Pengawakan kapal

niaga.

5. Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2013 tentang Pendidikan dan

pelatihan sertifikasi serta dinas jaga pelaut.

6. Peraturan Menteri Nomor PM 82 Tahun 2014 tentang Tata cara

Penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (Port Clearance).

7. Peraturan Menteri Nomor PM 189 Tahum 2015 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kementerian Perhubungan.

8. PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan

Daerah Kabupaten/Kota (yang membatasi kewenangan GT. < 7).

8

9. PM Nomor 25 Tahun 2015 Tentang Standar Keselamatan Sungai Danau

dan Penyeberangan.

10. Peraturan Gubernur Sumatra Selatan Nomor 12 Tahun 2015 Tentang

Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau di Sumatera Selatan.

11. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan

Transportasi.

2.2.2. Aturan Yang Sesuai Dengan IMO.

1. Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 218 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan sebagai pedoman

dalam pelaksanaan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal asing

sesuai IMO Resolution A. 1052 (27) adopted on 30 November 2011

concerning Procedures for Port State Control.

2. Bahwa Pemerintah Indonesia telah menandatangani Memorandum of

Understanding on Port State Control in the Asia-Pacific Region (Tokyo

MOU) pada tanggal 1 Desember 1993 dan efektif berlaku 1 April 1994.

3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1,

dan angka 2, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang

pejabat pemeriksa kelaiklautan dan keamanan Kapal.

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United

Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3319).

5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4849).

6. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime

Labour Convention,2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006),

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 193,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5931).

9

7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 95,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4227).

8. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64

Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 61

Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5731).

9. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 8,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5093).

10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di

Perairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 26,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5108)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22

Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5208).

11. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan

Lingkungan Maritim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2010 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5109).

12. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1976 tentang Mengesahkan

International Convention on Load Lines,1966 (Load Lines Convention

66).

10

13. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1979 tentang Mengesahkan

Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at

Sea,1972 (COLREG Convention 72).

14. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980 tentang Mengesahkan

International Convention for the Safety of Life at Sea,1974 (SOLAS74).

15. Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan

International Convention for Prevention of Pollution from Ships,1973

and Protocol of1978 relating the reto (MARPOL73/78).

16. Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1986 tentang Pengesahan

International Convention on Standards of Training, Certification and

Watchkeeping for Seafarers, 1978 (STCW Convention 78).

17. Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1989 tentang Pengesahan

International Convention on Tonnage Measurement of Ships,1969

(Tonnage Measurement Convention 69).

18. Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol

of 1992 to amend the International Convention on Civil Liability for Oil

Pollution Damage,1969 (CLC Convention 92).

19. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2012 tentang Pengesahan Annex III,

Annex IV, Annex V and Annex VI of the International Convention for the

Prevention of Pollution from Ships, 1973 as modified by the Protocol of

1978 relating the reto (Annex III, Annex IV, Annex V and AnnexVI-

MARPOL 73/78).

20. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2014 tentang Pengesahan

International Convention on Civil Liability forBunker Oil Pollution

Damage,2001 (CLC Bunker Convention 2001).

21. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2014 tentang Pengesahan

International Convention on the Control of Harmful Anti-Fouling System

on Ship,2001 (AFS Convention 2001).

22. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi

Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 8).

11

23. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian

Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor

75).

24. Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015 tentang Pengesahan the

International Convention for the Controland Management of Ships' Ballast

Water and Sediments,2004 (BWS Convention 2004).

25. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol of

1988 relating to The International Convention for The Safety of Life at

Sea1974 (Protokol 1988 terkait dengan Konvensi Internasional untuk

Keselamatan Jiwa di Laut 1974) (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2017 Nomor 111).

26. Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol

of1988 relating to the International Convention on Load Line1966

(Protokol 1988 terkait dengan Konvensi Internasional tentang Garis Muat

1966) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 189).

27. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor PM 130 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor KM 62 Tahun 2010 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 1400).

28. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelabuhan Batam sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 47 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 65

Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelabuhan Batam.

29. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34 Tahun 2012 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran Utama (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 627).

12

30. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor

PM 135 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 36 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1401).

31. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1844) sebagaimana telah beberapa

kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM

44 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 189 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Kementerian Perhubungan (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2017 Nomor 816).

32. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 110 Tahun 2016 tentang

Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2016 Nomor 1396).

2.3. Gambaran Umum Tentang Keselamatan Kapal Menurut ISM-Code.

2.3.1. Penjelasan Tentang ISM-Code.

ISM-Code adalah suatu standar Internasional untuk Sistim

Manajemen Keselamatan yang bertujuan untuk menjamin bahwa

perusahaan memberi pelayanan yang memenuhi persyaratan yang

ditetapkan yaitu kapal dapat beroperasi secara aman dan mencegah

pencemaran lingkungan.

Alasan Perusahaan menerapkan ISM Code:

1. Untuk memperbaiki sistem kerja.

2. Untuk menerapkan sistim manajemen keselamatan yang diakui

secara internasional.

13

3. Untuk kesiapan menghadapi persaingan pasar.

4. Untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap keamanan

muatan.

5. Untuk memuaskan pelanggan.

Daftar Pedoman Keselamatan dan Perlindungan Lingkungan :

Beberapa Pedoman yang menjelaskan kebijakan perusahaan sesuai

persyaratan ISM-Code harus dibuat untuk melengkapi penerapan

Kebijakan Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran, contohnya :

1. Pedoman tinjau ulang manajemen.

2. Struktur Organisasi di darat dan di kapal.

3. Dokumentasi manajemen keselamatan dan pengendalian

perubahan.

4. Personil di kapal.

5. Pengoperasian kapal secara aman.

6. Instruksi perlindungan lingkungan.

7. Perencanaan perawatan/pemeliharaan kapal.

8. Rencana siaga darurat.

9. Rancangan darurat dikapal.

2.3.2. Keselamatan kapal menurut ISM-Code.

Keselamatan kapal menurut ISM-Code berarti keadaan kapal yang

memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan

pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk radio

dan eletronika kapal. Code Manajemen Internasional untuk keselamatan

operasi Kapal-kapal dan Pencegahan Pencemaran atau Internasional

Safety Management (ISM) Code disahkan oleh Internasional Maritime

Organisation (IMO) melalui Resolusi A. 741 (18) pada tanggal 4

November 1993, di London.

14

International Safety Management Code diartikan sebagai peraturan

manajemen keselamatan internasional untuk keamanan maupun

keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan pencemaran yang

ditetapkan oleh Dewan Keselamatan Maritim IMO yang masih

dimungkinkan untuk diamandemen.

Berdasarkan data kecelakaan yang dianalisis oleh IMO diketahui

bahwa kecelakaan kapal yang disebabkan oleh kesalahan manusia

(human error) sebesar ± 80 % dan dari seluruh kesalahan manusia

tersebut diketahui pula bahwa sekitar 80 % diantaranya diakibatkan oleh

buruknya manajemen (poor management) perusahaan pelayaran. Sistem

manajemen perusahaan pelayaran atau operator kapal berpengaruh kuat

terhadap keadaan kelaiklautan kapal.

Nakhoda adalah pengambil keputusan tertinggi di atas kapal,

sedangkan perlengkapan kapal, pemeliharaan konstruksi kapal, surat-

surat dan dokumen kapal serta muatan diselesaikan dengan sistem

manajemen di darat.

ISM-code ditetapkan sebagai bagian tak terpisahkan dengan

konvensi SOLAS berdasarkan kesepakatan dalam sidang Maritime Safety

Committee, IMO pada tanggal 24 Mei 1994. Dilatar belakangi oleh dua

kejadian kecelakaan yaitu kapal Ferry Herald of Free Enterprise yang

berangkat dari pelabuhan Zeebrugge, Belgia pada 1987 dan

menimbulkan kerusakan lingkungan laut dengan tenggelamnya kapal

tanker Exxan Valdes di Pantai Alaska, Amerika Serikat pada 1989.

Inisiatif perumusan ISM-code dilakukan oleh committee yang sama

dengan perumus serta penyempurna SOLAS dari tahun 1960 hingga

1974/1978 yaitu Maritime Safety Committee (MSC). ISM-code ditetapkan

sebagai Chapter IX SOLAS dengan pertimbangan kemudahan uniuk

efektifitas penerapannya mengingat bahwa SOLAS sendiri telah

diratifikasi oleh negara-negara anggata IMO termasuk Indonesia

(Keppres No. 65/1980). Sehingga berlakunya konvensi melalui prosedur

15

yang menunggu lama hingga 2/3 negara anggata meratifikasi dapat

dihindari.

Maksud dan Tujuan :

Dalam mukadimah ISM-code dinyatakan bahwa manajemen

keselamatan internasional ini adalah untuk :

1. Menyediakan standar internasional sehubungan dengan manajemen

keselamatan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut.

2. Untuk menjamin keselamatan di laut, pencegahan kecelakaan atau

kehilangan jiwa manusia, dan menghindari kerusakan lingkungan,

khususnya terhadap lingkungan laut dan kerugian harta benda.

Keselamatan pelayaran ini mempunyai ruang lingkup :

1. Sistem manajemen perusahaan pelayaran yang berlaku di darat dan di

atas kapal.

2. Peraturan keamanan keselamatan operasi kapal.

3. Peraturan pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut yang

berasal dari kapal.

4. Jaminan kualitas (quality assurance).

Sertifikasi, Verifikasi dan Pengawasan terhadap keselamatan kapal :

1. Kapal harus dioperasikan oleh perusahaan yang telah memiliki

“Document of Compliance” yang relevan atas kapal itu.

2. “Document of Compliance” merupakan kelengkapan untuk setiap

perusahaan yang memenuhi persyaratan ISM-Code dikeluarkan oleh

pemerintah, atau badan yang diakui pemerintah , atau oleh pemerintah

suatu negara atas permintaan Negara lain dimana perusahaan

menjalankan usahanya.

3. Rekaman dokumen tersequt ditempatkan di kapal, bila diperlukan

Nakhoda dapat menggunakannya pada saat dilakukan verifikasi oleh

pemerintah atau badan organisasi berwenang.

4. Sertifikat Manajemen Keselamatan atau “Safety Management

Certificate” diberikan kepada kapal oleh pemerintah atau badan

organisasi yang diakui pemerintah. Sebelum mengeluarkan sertifikat,

16

pemerintah melakukan verifikasi yang membuktikan bahwa

manajemen perusahaan telah dijalankan sesuai dengan SMS yang

telah disetujui.

5. Pemerintah atau badan organisasi yang ditunjuk harus melakukan

pemeriksaan secara berkala untuk mengetahui apakah SMS di kapal

bertungsi sesuai dengan SMS yang disetujui.

Sistem Manajemen Keselamatan (Safety Management System) adalah

fasilitas bagi seluruh Personel di darat dan di laut untuk melaksanakan

semua kebijakan perusahaan di bidang keselamatan. SMS merupakan

operasianalisasi dari ISM-code yaitu mengatur wewenang dan tanggung

jawab perusahaan, wewenang dan tanggung jawab Nakhoda, instruksi

dan prosedur pengoperasian kapal yang aman, familiarisasi dan

pelatihan-pelatihan Personel. Ditegaskan pula dalam SMS hubungan

kerja menurut garis-garis komanda, koordinatif, dan konsultatif antara

Personel darat dengan Personel kapal.

Keamanan dan Keselamatan Operasi Kapal :

Dalam dunia pelayaran niaga seawarthiness diatur di dalam the Hague

Visby Rules maupun the Hamburg Rules bahwa seawarthiness kapal

pengangkut sebagai kewajiban dari pengangkut (carrier) atau pemilik

kapal (ship owner). Pihak asuransi tidak menerima pertanggungan tanpa

dokumen bukti atas kelaiklautan ini.

Menurut F.N. Hapkins bahwa seawarthiness berhubungan dengan

tingkat kelayakan struktur, perlengkapan dan pengawakan kapal. Untuk

keperluan asuransi laut, kapal dikatakan laik laut apabila kapal siap

menghadapi segala tantangan maupun risiko di laut. Demikian juga

untuk keperluan kontrak pengangkutan, kapal harus cargowarthiness.

Dalam hal kapal tidak laik laut atau dinamakan unsafe ship sehingga

tidak dapat dipertanggung-jawabkan yang tentu saja keadaan seperti ini

tidak diinginkan dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan yang

mengakibatkan kecelakaan.

17

2.4. Peran SOLAS Terhadap Pemeriksaan Kelaiklautan Kapal.

SOLAS sangat berperan penting terhadap pemeriksaan kelaiklautan

kapal,peran SOLAS terhadap kegiatan pemeriksaan kelaiklautan kapal,

sebagai berikut :

1. Peran Terhadap Alat Komunikasi

Dengan dikeluarkannya peraturan baru tahun 1990 mengenai

keharusan memasang Gobal Maritime Distress and Safety Systems

(GMDSS), maka penerapan semua peraturan yang berhubungan dengan

komunikasi radiotelegraphy dan radio telephony dianggap merupakan

suatu kemajuan terbesar dalam dunia komunikasi Maritim sekarang ini.

Konsep dasar dari GMDSS adalah petugas penyelamat di darat, dan

kapal yang berada disekitar kapal yang dalam keadaan bahaya (ship

distress) mendapat peringatan lebih awal, sehingga dapat segera

melakukan koordinasi dengan SAR.

2. Peran Terhadap Keselamatan Navigasi

Chapter V SOLAS 74/78 membahas mengenai peraturan dan

kelengkapan navigasi untuk semua kapal. Bab tersebut mengatur tentang

penyampaian berita bahaya dan informasi yang dibutuhkan dalam

menyampaikan berita yang membahayakan kapal.

Regulation 12, mengatur mengenai kelengkapan alat navigasi yang

diharuskan di kapal sesuai ukuran atau gros ton setiap kapal. Sesuai

peraturan dimaksud, kapal dengan ukuran 150 gros ton ke atas sudah

harus dilengkapi dengan alat navigasi Peralatan penting dimaksud antara

lain seperti gyro compass, gyro repeater, echo sounding device radar

installation, automatic eadar plotting aid untuk kapal ukuran 10.000 gros

ton atau lebih dan sebagainya.

3. Peran Terhadap Sertifikasi

Di dalam SOLAS 74/78 Chapter 1 Part B-Surveys and Certificates

diatur juga sistim pelaksanaan survey dan sertifikasi yang dibutuhkan

dalam rangka pelaksanaan peraturan tersebut.

18

Semua kapal harus melalui pemeriksaan yang meliputi inspeksi

terhadap struktur dari konstruksi, permesinan dan semua peralatan agar

bisa mendapatkan sertifikat sebagai berikut :

a. Cargo Ship Safety Construction Certificate

b. Cargo Ship Safety Equipment Certificate

c. Cargo Ship Safety Radiotelegraphy Certificate

d. Cargo Ship Safety Radiotelephony Certificate

Untuk sertifikat –sertifikat tersebut dilakukan survei :

a. Survei pertama (initial survei).

b. Survei tahunan (annual survei).

c. Survei antara (intermediate survei).

d. Survei pembaruan sertifikat.

e. Susvei diluar jadwal (additional survei).

Untuk kapal yang tidak diberlakukan SOLAS diberikan Sertifikat

Keselamatan yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.51

Tahun 2002 .

4. Peran Terhadap International Maritime Organization ( IMO )

Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan

pelayaran, PBB dalam komprensinya pada tahun 1948 telah menyetujui

untuk membentuk suatu badan Internasional yang khusus menangani

masalahmasalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali

dengan nama Inter Govermental Maritime Consultative Organization (

IMCO ).

kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasitersebut baru diakui

secara Internasional. Kemudian berubah nama menjadi International

Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei 1982. IMO adalah

Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar

kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite.

Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan -peraturan

keselamatan kerja dilaut termasuk keselamatan pelayaran dan

pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan perairan.

19

Seperti halnya SOLAS 74/78 diberlakukan oleh pemerintah

Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 65 tahun 1980 dan MARPOL

73/78 dengan Keputusan Presiden No. 46 tahun 1986. Kedua Keputusan

Presiden tersebut sudah tercakup dalam UU No. 21 tahun 1992 tentang

Pelayaran.