BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Definisi Kanker ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker 2.1.1 Definisi Kanker ...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker
2.1.1 Definisi
Kanker dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok penyakit ganas yang
mempengaruhi setiap bagian tubuh. Umumnya, sel normal yang ada di dalam tubuh
akan membelah diri, berkembang biak dan mati secara teratur. Ketika didapati sel
yang rusak, sel normal akan berkembang biak. Tetapi pada sel kanker, sel akan terus
berkembang biak dan membelah diri tanpa terkendali (Word Health Organization,
2020). Ketika organ induk sel tidak dapat menampung, maka sel-sel baru tersebut
akan menyebar mencari tempat ke dalam pembuluh darah untuk mencari organ lain
sebagai tempat berkembang biak. Pembentukan dan pertumbuhan sel-sel abnormal
yang sangat cepat di luar batas adalah salah satu ciri penyakit kanker.
Sedangkan definisi kanker menurut American Cancer Society (2021), yaitu
merupakan kelompok penyakit yang ditandai dengan penyebaran dan pertumbuhan
yang tidak terkendali dari sel-sel abnormal. Penyebaran sel abnormal tersebut
sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Dalam konteks lain, kanker
juga dapat disebut dengan tumor ganas yang mengalami perkembangan secara tidak
normal. Umumnya, kanker tidak nampak namum dapat dirasakan oleh
penderitanya.
Walaupun penyebab munculnya kanker masih belum dipahami secara pasti,
tapi tetap terdapat beberapa faktor resiko yang mningkatkan terjadinya penyakit
kanker seperti gaya hidup, bawaan gen dari orang tua, dan terpapar agen penyebab
kanker di lingkungan. Perkembangan angka prevalensi kanker setiap tahunnya
mengalami peningkatan yang sangat pesat khusunya di negara-negara yang
berkembang di dunia. Angka kejadian kanker pada tahun 2018 diperkirakan sebesar
18,1 juta kasus baru dan 9,6 juta meninggal di seluruh dunia (Word Health
Organization, 2020). Untuk prevalensi kanker di Indonesia berdasarkan data dari
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sebesar 1,79% (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
16
17
2.1.2 Siklus Sel
Siklus sel merupakan proses yang penting dalam kehidupan setiap organisme.
Normalnya, siklus sel sendiri menghasilkan pembelahan sel. Pembelahan sel terdiri
dari 2 proses utama, yaitu replikasi DNA dan pembelahan kromosom yang telah
digandakan ke 2 sel anak. Untuk proses pembelahan sel, terbagi menjadi 2 tahap yaitu
mitosis (M) dan Interfase. Mitosis (M) sendiri merupakan proses pembelahan 1 sel
menjadi 2, sedangkan interfase adalah proses diantara 2 mitosis. Interfase terdiri dari
fase gap 1 (G1), sintesis DNA (S), dan gap 2 (G2). Siklus sel dibagi menjadi tiga fase,
yaitu (Muliani, 2016):
1. Fase Gap 1 (G1)
Pada fase ini melakukan persiapan untuk membelah diri dan mempersiapkan dua
set kromosom. Fase ini adalah fase awal sikus sel (cell cycle progression) yang
diatur oleh faktor ekstraseluler seperti mitogen dan molekul adhesi. Penanda dari
fase G1 adalah adanya ekspresi dan sintesis protein sebagai persiapan fase S.
2. Fase sintesis (S)
Fase sintesis (S) disini terjadi sintesis dan replikasi DNA yang dibantu oleh
enzim topoisomerase.
3. Fase Gap 2 (G2)
Untuk fase G2, sel akan melakukan sintesis lebih lanjut yang memadai dan
terjadi penyimpanan energy yang diperlukan untuk pembelahan sel pada mitosis
(Fase M), yang dimana fase mitosis (M) sendiri merupakan fase terakhir dalam
siklus sel dengan prosesnya yaitu pembelahan sel.
2.2 Kanker Serviks
2.2.1. Definisi
Kanker adalah satu penyakit dengan prevalensi terbanyak dalam kategori
penyakit tidak menular. Kanker sendiri dapat didefinisikan sebagai kelompok
penyakit dengan karakteristiknya adalah sel abnormal yang tumbuh dan menyebar
secara tidak terkendali. Kasus kanker yang banyak terjadi salah satunya adalah
kanker serviks dan umumnya didapati di negara berkembang. Kanker serviks atau
kanker leher rahim adalah penyakit yang menyerang daerah serviks uteri. Penyakit
18
ini ditandai dengan tumbuhnya sel-sel tidak normal pada sel rahim (Word Health
Organization, 2020). Menurut Bhatla et al. (2018) untuk kanker serviks merupakan
salah satu kanker dengan urutan ke empat yang paling banyak diderita oleh
perempuan setelah kanker payudara.
Terdapat dua jenis sel utama yang meliputi serviks yaitu sel skuamosa (pada
endocervix) dan sel kelenjar (pada exocervix). Endoservix merupakan bagian dari
leher yang paling dekat dengan rahim, sedangkan exocervix merupakan bagian
leher yang dapat terlihat saat melakukan prosedur tes speculum. Ketika kedua sel
tersebut bertemu, maka tidak langsung berkembang menjadi sel kanker (American
Cancer Society, 2021). Perkembangan kanker dimulai dari terjadinya lesi
neoplastik pada lapisan epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks
(NIS) 1, NIS 2, NIS 3 atau Carsinoma In Situ (CIS), kemudain berkembang menjadi
karsinoma mikroinvasif dan invasif (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2016). Tingkat Carsonima in situ (CIS) dan Neoplasia intraepitel serviks (NIS)
disebut sebagai tingkat pre-kanker.
Dengan jumlah pravelensi yang sangat besar serta setiap tahunnya selalu
bertambah, kanker sendiri dapat dideteksi lebih dini atau screening mengenai
keberadaannya. Screening ini bertujuan untuk mendeteksi perubahan prekanker
yang tidak terobati yang dapat menimbulkan kanker. Organisasi Kesehatan Dunia
atau WHO merekomendasikan jenis skrining yang dapat dilakukan seperti tes HPV
dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) (Nonik Ayu Wartini, 2016)
2.2.2 Etiologi
Peyebab paling utama kanker sendiri belum banyak diketahui. Tetapi, didalam
beberapa penelitan yang banyak dilakukan beberapa tahun terakhir, menyebutkan
bahwa terdapat vitus yang merupakan penyebab kanker serviks berkembang pada
wanita lebih meningkat. Virus tersebut adalah virus HPV atau Human
Papillomavirus. HPV akan mrnginfeksi pada permukaan epidermal dan mukosa
pada leher rahim (Rahayu, Hermawan and Fitriyah, 2021). Sebagian besar kasus,
kanker serviks terjadi disbabkan oleh infeksi virus HPV. Virus tidak secara
langsung berkambang menjadi kanker. Infeksi HPV berlangsung tanpa
19
menimbulkan gejala dan bersifat meneta (Small et al., 2017). HPV merupakan
DNA virus yang menimbulkan poliferasi pada permukaan epidermal dan mukosa.
Seseorang dengan sexually active seperti melakukan hubungan sex diumur yang
sangat muda atau bergonta-ganti pasangan dapat meningkatkan resiko terjadinya
infeksi HPV sehingga terkena kanker serviks (American Cancer Society, 2021).
Pada artikel yang ditulis oleh Bhatla et al. (2018) bahwa peningkatan kasus setiap
tahunnya disebabkan oleh beberapa tipe HPV. Terdapat HPV 16 dan 18 sebanayk
71% kasus, HPV tipe 31, 33, 45, 52 dan 58 sebanyak 19%. HPV 16 dan 18
merupakan tipe yang banyak ditemukan disetiap kasus termasuk di Indonesia.
Selain infeksi HPV, terdapat beberapa faktor penyebab kanker serviks seperti
kebiasaan merokok, penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang, tingginya
tingkat kelahiran atau kehamilan berulang dan gangguan imunitas (American
Cancer Society, 2021).
2.2.3. Patogenesis
Gambar 2.1 Perkembagan Kanker Serviks (Evriarti and Yasmon, 2019)
Sel kanker serviks atau leher rahim yang terinfeksi oleh HPV akan menghasilkan
2 protein onkogen yaitu E6 dan E7. Kedua protein onkogen tersebut tidak langsung
menginduksi pembentukan tumor tetapi menginduksi proses yang pada akhirnya
dapat menyebabkan kanker. Pada sel kanker serviks sendiri memiliki gen p105Rb
dan p53 dengan kategori wild type (Prayitno et al., 2005). Protein tersebut
merupakan tumor supresor gen yang memegang kendali dalam mengontrol siklus
20
sel dan berhentinya pertumbuhan akibat kerusakan DNA, tetapi aktivatasnya
dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari HPV (Alia, Mastutuik and Hoesin,
2016).
1. E6 & E7
Gen E6 menghasilkan onkoprotein yang dapat menghambat kerja protein tumor
supresor yaitu p53 melalui protein ligase E6. Hal tersebut dapat menghambat
proses transkripsi dan proses apoptosis. Protein yang dihasilkan dari gen E6
juga mengganggu ekspresi dan aktivasi dari telomerase sehingga menyebabkan
sel tidak mati.
Gen E7 menghasilkan onkoprotein yang mengikat protein tumor supresor
retinoblastoma (pRb), yang mengakibatkan kontrol pada proses faktor
transkripsi E2F (Evriarti and Yasmon, 2019)
2. P53
P53 merupakan suatu polipeptida yang diekspresikan oleh gen p53 yang
memiliki peran dalam menjaga keutuhan sel atau integritas genom. Protein ini
terdapat padas sel normal dengan tipe wild yang akan menghentikan siklus sel
pada fase G1 sehingga memberi waktu untuk perbaikan DNA sebelum proses
replikasi (Arsyad, Siswosudarmo and Kusumanto, 2020). Pada sel normal,
ekspresi p35 rendah, tapi ketika terjadi kerusakan DNA, p53 akan teraktivasi
(Wibisono, 2018).
3. pRb
Protein retinoblastoma (pRb) sendiri berfungsi untuk mengontrol ekspresi sel
yang terikat dengan E2F. ikatan pRb dan E2F akan menghambat gen yang
mengatur sel keluar dari fase G1. Ketika E7 berikatan dengan pRb makaa E2F
tidak terikat sehingga poliferasi sel akan terstimulasi melebihi batas normal dan
menjadi sel karsinoma.
4. P21
Merupakan salah satu protein tumor supresor yang memiliki peran utama
dalam regulasi terhadap poses siklus sel. P21 adalah inhibitor siklin kinase dan
peningkatan regulasi p21 yang menginaktivasi kompleks siklependen kinase
(inhibitor kinase dependent-cycklin).
21
2.2.4 Anatomi Serviks
Gambar 2.2 Anatomi Serviks (Hasan et al., 2015)
Serviks merupakan 1/3 bagian bawah uterus, dengan bentuk silindris,
menonjol dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.
Servik berhubungan dengan jaringan parametrium ligamentum cardinal ke arah
lateral, ligamentum sakrouterina ke arah posterior, menuju iliaka interna, iliaka
eksterna, presakral, iliaka kommunis, hingga paraorta. Sepanjang pembuluh
darah iliaka sampai dengan paraaorta terdapat pembuluh-pembuluh dan
kelenjar limfe yang berhubungan ke atas hingga mediastinum dan kelenjar
getah bening supraklavikular (Komite Penanggulangan Kanker Nasional,
2016).
22
2.2.5 Stadium Kanker Serviks
Klasifikasi stadium kanker serviks menurut International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO) tahun 2018 dibagi menjadi 4 stage atau
stadium berdasarkan ukuran tumor dan penyebaran kanker didalam maupun
diluar rahim, berikut 4 stadium tersebut (Bhatla et al., 2018):
Tabel II. 1 Stadium Kanker Menurut FIGO (International Federation of Gynecology and
Obstetrics)
Stadium Deskripsi
Stadium I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke
korpus uterus dapat diabaikan)
IA Karsinoma invasive didiagnosa hanya dengan
mikroskop. Semua lesi yang terlihat secara
makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial,
dimasukkan kedalam stadium 1B
IA1 Invasi stroma < 3,0 mm kedalamnya dan 7,0 mm atau
kurang pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma ≥ 3,0 mm dan < 5,0 mm dengan
penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau
secara mikroskopik lesi lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter
terbesar 4,0 cm atau kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter
terbesar ≥ 4,0 cm
IB3 Karsinoma invasive ≥ 4 cm
Stadium II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai
kedinding panggul atau mencapai ½ bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter
terbesar 4,0 cm atau kurang
23
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter
terbesar ≥ 4,0 cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
Stadium III Tumor meluas ke dinding panggul atau mencapai ½
bawah vagina dan/atau menimbulkan hidronefrosis
atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak
mencapai dinding panggul
IIIB Tumor meluaas sampai ke dinding panggul dan/atau
menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIC Keterlibatan kelenjar getah bening panggul, dan/atau
para-aorta
IIIC1 Metastatis kelenjar getah bening panggul
IIIC2 Metastatis kelenjar getah bening, para-aorta. Terlepas
dari ukuran dan luas tumor
Stadium IV Karsinoma telah meluas melampaui panggul atau telah
melibatkan mukosa kandung kemih atau rectum
IVA Menyebar ke organ panggul yang berdekatan
IVB Metastatis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal,
keterlibatan dari kelenjar getah bening supraklavikula,
mediastinal, atau para-aorta, paru, hati atau tulang)
2.2.6 Faktor Resiko Kanker Serviks
Umumnya penyebab kanker serviks yang sering terjadi adalah infeksi virus
HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, khusunya pada sub tipe 16
dan 18. Selain infeksi virus HPV, juga ada beberapa faktor pemicu terjadinya
kanker serviks seperti aktivitas seksual pada usia muda, berhubungan seksual
dengan lebih dari satu pasangn, faktor sosial-ekonomi, pemakaian pil kb,
gangguan imunitas dan infeksi penyakit menular seksual (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2016). Selain itu, merokok juga dapat
menjadi salah satu penyebab kanker seviks, obesitas, penggunaan alat
24
kontrasepsi, infeksi claymadia dan mengalami 3 atau lebih kehamilan pertama
pada usia kurang dari 17 tahun. (Susilo, Indrati and Sulaksono, 2019)
2.2.7 Penatalaksanaan Kanker Serviks
Pemberian terapi kepada pasien kanker serviks sendiri disesuaikan berdasarkan
tingkat keparahannya, yaitu: operasi, radioterapi, brakiterapi dan kemoterapi
(Fidinillah, 2019).
- Operasi / pembedahan
Penatalaksanaan kanker serviks pada stadium 0, I atau stadium IIA
umumnya dilakukan dengan pembedahan atau operasi. Terapi kanker
dengan pembedahan ini umumnya merupakan pengangkatan jaringan
tumor, pengangkatan serviks atau pengangkatan seluruh bagian rahim yang
sudah terdampak sel kanker. Menurut (American Cancer Society, 2018),
terdapat dua prosedur bedah yang umumnya dilakukan untuk menangani
kanker serviks: a) Histerektomi, b) Trakelektomi radikal.
- Radioterapi
Radoterapi adalah salah satu metode terapi pengobatan penyakit-penyakit
maligna menggunakan sinar peng-ion yang dimana memiliki tujuan utnuk
mematikan sel tumor sebanyak-banyaknya dan memelihara jaringan sehat
sekitar tumor agar tidak mengalami dampak kerusakan terlalu berat
(Maulani, Sri and Asih, 2021). Radioterpi menjadi pilihan terapi kanker
serviks untuk stadium kanker IIB-IVA karena diperkirakan lebih efektif dan
efisien jika dibandingkan dengan operasi ditambah kemoterapi. Radioterapi
sendiri terdiri atas gabungan atau kombinasi radiasi eksterna dan
brakhiterapi (Susilo, Indrati and Sulaksono, 2019).
- Brakhiterapi
Brakhiterapi adalah komplemen metode teleterapi dengan memasang siber
radiasi kedalam tumor. Disebut sebagai komplementari karena brakhiterapi
bertujuan untuk memberikan dosis terapi tambahan (booster) setelah
pemberian radiasi eksterna tercapai (Susilo, Indrati and Sulaksono, 2019).
Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai pendukung sehingga dapat
diberikan terapi dengan metode brakhiterapi. Untuk memperoleh waktu
25
rawatan yang pendek diperlukan sumber radioaktif yang mempunyai laju
dosis tinggi.
- Kemoterapi
Kemoterapi merupakan salah satu tatalaksana kanker serviks yang umum
diberikan kepada pasien kanker. Terapi ini diberikan dalam bentuk
pemberian obat antikanker yang diminum ataupun diinfuskan ke pembuluh
darah guna untuk membunuh, mencegah penyebaran dan menghentikan
pertumbuhan sel kanker (American Cancer Society, 2021). Dalam proses
pelaksanaannya, efektivitas kemoterapi terhadap pasien kanker serviks
harus terus dievaluasi (Suwendar et al., 2018).
2.2.8 Gejala Kanker Serviks
Pada umumnya, gejala kanker serviks tidak dirasakan pada stadium awal.
Gejala akan terasa atau muncul ketika sel kanker sudah tersebar ke jaringan
sekitarnya. Berikut beberapa gejala yang akan muncul, diantaranya (American
Cancer Society, 2020) :
a. Perdarahan tidak normal. Perdarahan yang terjadi ini adalah perdarahan
setelah menopause, perdarahan atau periode menstruasi lebih lama dari
biasanya, dan perdarahan setelah bersenggama.
b. Keputihan yang tidak normal, seperti lendir sangat kental berwarna kuning
atau bercampur darah, dan berbau busuk serta terasa gatal pada vagina.
c. Terasa sangat sakit ketika bersenggama
d. Terasa sakit pada daerah panggul.
26
2. 3 Bawang Sabrang (Eleutherine palmifolia (L) Merr.)
2.3.1 Klasifikasi Bawang Sabrang
Bawang sabrang (Eleutherine palmifolia (L) Merr.) merupakan salah satu
jenis tanaman yang memiliki khasiat untuk kesehatan. Tanaman ini merupakan
tanaman khas daerah Kalimantan Tengah. Penduduk lokal memanfaatkannya
sebagai pengobatan tradisional, umumnya bagian tanaman yang dimanfaatkan
adalah umbi dan daun (Mutiah, Minggarwati, et al., 2019). Di Indonesia, bawang
sabrang dapat tumbuh ditempat-tempat yang sejuk dan dingin pada ketinggian 600-
1500mdpl, seperti daerah pegunungan. Untuk bentuk bawang sabrang sendiri mirip
dengan bawang merah tetapi tidak bisa digunakan sebagai penyedap makanan dan
tidak pula memiliki bau yang khas.
Gambar 2.3 Bawang Sabrang (E. palmifolia)
(Prayitno, Mukti and Lagiono, 2018)
Dalam ilmu taksonomi, berikut klasifikasi dari bawang sabrang
(Eleutherine palifolia) (Puspadewi, Adirestuti and Menawati, 2013):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Liliales
Famili : Iridaceae
Genus : Eleutherine
Spesies : Eleutherine palmifolia (L) Merr.
27
Bawang sabrang memiliki nama lain seperti Eleutherine bulbosa, Eleutherine
Americana, Eleutherine longifolia, Eleutherine subaphyla, Eleutherine citriodora,
Eleutherine guatemalensis, Eleutherine latifolia, Eleutherine plicata, eleutherine
anomala. Di Indonesia, tanaman ini juga dikenal dengan nama bawang merahenggy,
bawang hantu, bawang sabrang atau bawang arab dan bawang dayak. (Prayitno,
Mukti and Lagiono, 2018).
2.3.2 Morfologi Bawang Sabrang
Bawang memiliki daun tunggal berwarna hijau yang berbentuk seperti pita.
Pangkal dan ujung daun berbentuk runcing dengan tepi daun yang rata. Bunga
majemuk dalam tandan terletak diujung (terminalis) dan monochlasial, biseksual
dan aktinomorf, periantium terdiri atas enam kepala, berwarna putih, saling lepas
dengan panjang lebih kurang 5 mm, terletak dalam 2 lingkaran, benang sari
berjumlah 2 atau 3 dengan warna kepala sari kuning, putik berwarna putih
kekuningan berjumlah 3 dan berbentuk jarum dengan panjang lebih kurang 4 mm,
kelopak terdiri atas 2 daun berwarna hijau kekuningan, ruang bakal buah beruang
3, akar serabut berwarna coklat muda. (Sirhi, Astuti and Esti, 2017). Bawang
Sabrang merupakan terna yang merumpun sangat kuat dengan tinggi 26 hingga 50
cm. Umbi bawang sabrang tumbuh di bawah tanah, berbentuk bulat telur
memanjang dan mempunyai umbi berlapis menyerupai berwarna merah
(Krismawati and Sabran, 2016)
2.3.3 Kandungan Senyawa Bioaktif Pada Bawang Sabrang
Banyaknya manfaat terapeutik yang terdapat pada bawang sabrang disebabkan
oleh kandungan senyawa bioaktif yang banyak terkandung dalam bawang sabrang.
Kandungan senyawa-senyawa kimia seperti seperti fenol flavonoid, tanin, glikosida,
steroid, dan alkaloid (Hidayat et al., 2018). Selain itu, senyawa yang terkandung
didalamnya termasuk golongan naftakuinon, eleutherine, eleutherol dan
isoeleutherine (Christoper, Natalia and Rahmayanti, 2018). Eleutherine merupakan
zat aktif dalam umbi bawang Dayak yang mampu menghambat kerja suatu enzim
yaitu enzim topoisomerase II, yang dimana enzim tersebut memiliki peran penting
pada fase replikasi dan poliferasi sel kanker (Rahmandika, 2018).
28
Menurut jurnal yang ditulis oleh Wijayanti and Hasyati (2018) menyebutkan
bahwa pada umbi tanaman bawang sabrang (E. palmifolia) mengandung fenol,
polifenol, quercetin dan turunannya. Senyawa polifenol dan flavonoid telah
dipelajari mengenai efektivitas khasiatnya sebagai agen kemoprevensi yang
memiliki berbagai aktifitas dan fungsi target sebagai media blocker, penekan atau
anti-metastatic/anti-invasive sel kanker (Mutiah et al., 2018). Flavonoid
isoliquirigein juga merupakan kandungan senyawa yang terdapat pada bawang
sabrang. Senyawa ini terbukti dapat memberikan efek kemoprevensi terhadap
induksi apoptosis dan dapat menginhibisi atau menghambat metastasis sel kanker
melalui penghambatan neoangiogenesis pada sel kanker (Mutiah et al., 2018).
2.3.4 Manfaat Bawang Sabrang
Bawang sabrang merupakan tanaman yang digunkan sebagai obat herbal karena
banyak mengandung senyawa bioaktif. Salah satu senyawa yang terkandung dalam
bawang sabrang yaitu naftakuinon. Senyawa tersebut merupakan golongan kuinon
yang dapat memberikan efek farmakologi sebagai antimikroba, antijamur, antiviral
dan antiparasit (Christoper, Natalia and Rahmayanti, 2018).
Antioksidan yang terkandung dalam ekstrak etanol umbi bawang sabrang
diteliti menggunakan metode DPPH, didapatkan nilai IC50 sebesar 25,3339 µg/ml.
Nilai tersebut menandakan bahwa tanaman ini menandung aktivitas antioksidan
yang kuat karena nilai IC50 kurang dari 200 µg/ml (Wijayanti and Hasyati, 2018).
Nilai IC50 digunakan untuk menyatakan konsentrasi ekstrak antioksidan yang
dibutuhkan untuk meredam radikal bebas sebesar 50%. Semakin kecil nilai IC50
maka semakin kuat aktivitas antioksidan karena semakin sedikit konsentrasi ekstrak
antioksidannya yang dibutuhkan untuk meredam radikal bebas sebesar 50%
(Hidayat et al., 2018). Selain itu ia memiliki sifat antidiabetes, antihipertensi,
antikanker dan dapat digunakan sebagai pengobatan pada ulcers dan kolestrol
(Setyawan et al., 2020).
29
2.4 Kajian Literatur
2.4.1 Definisi
Kajian literatur atau literatur review adalah salah satu metode yang
digunakan dalam kajian ilmiah untuk mengkaji atau membuktikan sebuah topik
tertentu dan dapat memberikan gambaran dalam topik tersebut yang nanti akan
dibuat dalam sebuah laporan (Cahyono, Sutomo and Harsono, 2019). Dalam
pelaksanaan penulisannya, terdapat poin-poin atau proses kegiatan yang akan
dilakukan seperti: a) pengumpulan data atau informasi mengenai topik yang akan
diangkat, b) evaluasi sumber literatur review seperti data, teori dan informasi yang
didapatkan, c) menganalisa hasil publikasi seperti buku, artikel penelitian atau yang
lain terkait dengan pertanyaan penelitian yang telah disusun (Cahyono, Sutomo and
Harsono, 2019).
Tahap penelitian literatur review tergantung tingkat penelitiannya. Untuk
strata 1 (S1) atau undergraduate, kajian literatur masih pada ranah ramuan teori
untuk mendukung penyelesaian tugas dengan melibatkan data atau hanya
menggunakan teori (Nasution, 2017). Secara umum, adapun beberapa tahapan
dalam penyusunan sebuah literatur review, yaitu (Cahyono, Sutomo and Harsono,
2019):
1. Menentukan literatur yang relevan
Ketika peneliti akan melakukan kajian literatur, ada baiknya untuk menentukan
topik yang akan diangkat dengan jelas. Setelah dilakukan tinjauan untuk
penelitian maka dilanjutkan dengan menentukan literatur yang terkait dengan
masalah dan pertanyaan yang sudah disusun.
2. Melakukan evaluasi sumber literatur review
Pada tahap ini, penyusun sebaiknya membaca dengan detail dan rinci pada
setiap referensi yang didapatkan. Untuk mendapatkan informasi dari sebuah
referensi, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap referensi yang didapatkan
kemudian ditelaah apakah referensi tersebut sudah berhubungan atau dapat
menjawab pertanyaan peneliti yang sudah disusun.
3. Melakukan identifikasi tema dan kesenjangan anatara teori dengan kondisi
dilapangan jika ada.
30
Penting bagi seorang peneliti untuk memahami keterkaitan antara suatu
referensi dengan referensi lainnya karena akan menjadi suatu penilaian bagi
peneliti.
4. Membuat struktur garis besar
Umumnya peneliti akan melakukan gagasan kasar dari sebuah tema literatur
review. Tema tersebut akan diperkuat dengan teori yang sudah ada sebelumnya.
Selanjutnya peneliti akan menganalisa tem terhadap tema dengan teori yang
diangkat dalam literatur review.
5. Menyusun ulasan literatur review
2.4.2 Macam-Macam Kajian Literatur
Jenis kajian literaturyang tertulis didalam artikel Marzali (2017) terdapat
beberapa macam. Berdasarkan isi dan cara penyajiannya, kajian literatur terbagi ke
dalam beberapa jenis, seperti:
a. Context review
Context review merupakan bentuk umum dalam kajian literatur, yang dimana
penulis menghubungkan topik penelitian tertentu degan pengetahuan yang
lebih luas. Jenis ini biasanya muncul di awal laporan penelitian dan
memperkenalkan penelitian dalam lingkup yang lebih luas.
b. Historical review
Historical review merupakan bentuk review yang menguraikan satu topik atau
masalah tertentu dari waktu ke waktu. Jenis review ini dapat digabungkan
dengan review teoritikal atau metodologikal untuk menunjukkan bagaimana
suatu konsep, teori atau metode penelitian berkembang sepanjang masa.
c. Integrative review
Intergrative review merupakan jenis review yang umum, dimana penulis
memberikan kajian serta ringkasan keadaan semasa penelitian tentang topik
tertentu. Selain itu juga meberikan kritikan dan ulasan tentang topik tersebut.
d. Methodological review
Methodological review adalah review atau kajian yang berfokus pada
metodelogi. Review ini membandingkan dan mengevaluasi kekuatan relative
metode dari banyak literatur.
31
e. Self-study review
Self-study review adalah review yang menujukkan bahwa penulis mengenal
bidan studi tertentu. Jenis ini sering menjadi bagian dari program pendidikan
atau untuk perkuliahan.
f. Theoretical review
Theorical review merupakan review yang berfokus pada teori dalam topik tentu
untuk dipaparkan dan dibandingkan dengan teori lain atas dasar asumsi,
konsistensi logic dan lingkup eksplanasinya.
Jenis kajian literatur menurut (Snyder, 2019), yaitu:
1. Systematic literature review (Kajian Literatur Sistematis)
Kajian literatur sistematis adalah salah satu metode umumnya banyak
dikembangkan dalam ilmu kedokteran sebagai cara untuk menciptakan
penemuan penelitan yang sistematis, transparent, dan dapat direproduksi dan
juga telah disebut sebagai Gold Standard diantara metode lainnya. Kajian
literatur sistematis dapat diartikan sebagai metode dan proses penelitian untuk
mengidentifikasi dan menilai secara kritis penelitian yang relevan serta
mengumpulkan dan menganalisis data. Kajian ini memiliki tujuan yaitu
mengidentifikasikan semua bukti empiris yang sesuai kriteria inklusi yang
sebelumnya telah ditentukan untuk menjawab hipotesis dari suatu penelitian
(Snyder, 2019).
2. Semi-systematic review (Kajian Literatur Semi-sistematis)
Kajian ini dirancang untuk topik penelitian yang telah terkonsep dengan
berbeda dan dipelajari oleh beberapa grup peneliti dalam beberapa disiplin
ilmu. Selain itu juga, kajian semi-sistematis ini bertujuan untuk melihat
perkembangan penelitian dalam suatu topik tersebut dari waktu ke waktu.
Analisis menggunakan kajian semi-sistematis ini dapat berguna untuk
mengidentifikasi tema, perspektif teoritis, atau masalah umum dalam topik
penelitian (Snyder, 2019).
32
3. Integratve review (Kajian Literatur Integratif)
Kajian literatur integratif digunakan untuk meninjau penelitian secara kritis
dan memperluas kerangka teoritis seiring berkembangnya topik tertentu. Untuk
topik yang baru muncul, tujuannya lebih untuk membuat konsep awal atau
pendahuluan dan model teoritis, daripada meninjau model lama. Kajian ini
seringkali membutuhkan pengumpulan data yang lebih kreatif, karena
tujuannya adalah untuk mengumpulkan perspektif dan ide dari berbagai topik,
daripada mencakup semua artikel yang diterbitkan tentang topik tersebut.
Sebagian besar kajian ini dirancang untuk membahas topik yang sedang
berkembang.
Adapun dalam pencarian sumber literatur harus sesuai dengan kredibilitas
dan bisa dipetanggungjawabkan kebenarannya. Beberapa sumber yang dapat
digunakan sebagai pencarian database seperti database akademik yang
berupatasi tinggi seperti Scopus, untuk database yang berupatasi menengah
seperti Proquest, EBSCO, JSTOR , dan Google Scholar untuk database
bereputasi rendah.