10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma 2.1.1 Definisi Asma ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asma 2.1.1 Definisi Asma ...
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asma
2.1.1 Definisi Asma
Asma adalah suatu gangguan saluran napas berupa inflamasi
(peradangan) kronik yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan
atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan. Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang
tanpa gejala tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan
gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan kematian (Utama,
2018).
Penyakit asma merupakan penyakit tidak menular yang ditandai
dengan sesak napas. Penyempitan saluran napas akibat proses peradangan
(inflamasi) inilah yang menjadi penyebabnya. Pada asma, terjadinya kontraksi
otot polos di saluran pernapasan dan pengeluaran lendir yang meningkat dari
biasanya akibat adanya pencetus, yaitu alergen atau iritan. Saat terjadi
serangan asma, saluran napas meradang, bengkak, dan terisi lendir. Lendir ini
sangat kental sehingga mempersempit atau bahkan menyumbat saluran
napas. Akibatnya, saat terjadi serangan asma, mengeluarkan napas menjadi
lebih sulit dibanding saat menarik napas (Prihaningtyas, 2014).
11
2.1.2 Etiologi Asma
Secara umum, penderita asma mengalami penyempitan bronkus yang
disebabkan oleh hiperaktivitas bronkus. Oleh karena itu, serangan asma
mudah terjadi akibat berbagai rangsangan baik alergen, infeksi saluran
pernapasan dan psikologis. Menurut penyebabnya asma terbagi menjadi tiga,
antara lain sebagai berikut :
1. Asma ekstrinsik (alergik), merupakan suatu jenis asma yang disebabkan
oleh alergen (misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari,
makanan). Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan
penyebarannya melalui udara (airborne) dan alergen yang muncul secara
musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai
riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat pengobatan ekzema
atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi menjadi pencetus serangan
asma. Gejala asma umumnya dimulai saat anak-anak.
2. Asma intrinsik (non alergik), merupakan jenis asma yang tidak
berhubungan secara langsung dengan alergen spesifik. Faktor-faktor
seperti udara dingin, infeksi saluran napas atas, aktivitas fisik, ekspresi
emosi yang berlebihan, dan polusi lingkungan dapat menimbulkan
serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis beta-adrenergik,
dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat berperan sebagai faktor
pencetus. Serangan asma dapat menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan
emfisema. Pada beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang
12
menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai pada saat
dewasa (>35 tahun).
3. Asma campuran (mixed asthma), merupakan bentuk asma yang paling
sering ditemukan. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma
ekstrinsik (alergik) dan asma intrinsik (non alergik) (Muttaqin, 2012;
Utama, 2018).
2.1.3 Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan :
1. Faktor genetik
a. Atopi/ alergi, hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penanggulangannya. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang
juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus, saluran napas sensitif terhadap berbagai
rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin, pria merupakan risiko untuk asma pada anak.
d. Usia, sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki
adalah 1,5 – 2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
13
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa,
serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
c. Alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna
makanan).
d. Alergen obat-obatan tertentu (penisilin, sefalosporin, golongan beta
lactam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesic, antipiretik dan lain-
lain).
e. Bahan yang mengiritasi (parfum, household spray dan lain-lain).
f. Ekspresi emosi berlebih atau stres seperti kecemasan dapat menjadi
pencetus serangan asma, selain itu juga dapat memperberat
serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami kecemasan
perlu diberikan konseling untuk mengatasinya. Karena jika belum
diatasi, maka gejala asmanya akan sulit diobati.
g. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif, berhubungan dengan
penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum dan sesudah
kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur
seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia
dini.
h. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
14
i. Exercise-induced asthma, pada penderita yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas/ olahraga tertentu. Sebagian besar penderita
asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau
olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.
j. Perubahan cuaca, cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin
sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti musim hujan,
musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan) (Priyatna,
2012).
2.1.4 Tanda dan Gejala Asma
Tanda dan gejala yang muncul yaitu hipoventilasi, dispnea, wheezing
(mengi), pusing, perasaan yang merangsang, sakit kepala, nausea,
peningkatan napas pendek, kecemasan, diaforesis dan kelelahan.
Hiperventilasi merupakan salah satu gejala awal dari asma. Kemudian sesak
napas parah dengan ekspirasi memanjang disertai wheezing (pada apeks dan
hilus). Gejala utama yang sering muncul adalah dispnea, batuk dan mengi.
Mengi sering dianggap salah satu gejala yang ditandai selalu ada apabila
serangan asma muncul (Utama, 2018). Tanda dan gejala umum asma
meliputi, antara lain :
a. Batuk dengan ataupun tanpa produksi sputum (dahak)
15
b. Kulit diantara tulang rusuk tampak tertarik ke dalam saat bernapas
(retraksi interkostalis)
c. Sesak napas yang semakin memburuk bila disertai dengan latihan atau
aktivitas
d. Wheezing (mengi) yang muncul secara episodik dalam periode tanpa
gejala lain, lebih buruk pada malam hari atau pagi hari, akan menghilang
dengan sendirinya, akan membaik bila minum obat yang membuka
saluran pernapasan (bronkodilator), semakin buruk saat menghirup
udara dingin, semakin buruk saat melakukan aktivitas fisik, semakin
buruk bila disertai refluks, biasanya muncul secara tiba-tiba.
Sedangkan tanda dan gejala yang berat pada asma, antara lain:
a. Bibir dan wajah tampak kebiruan
b. Penurunan tingkat kewaspadaan seperti mengantuk berat atau
kebingungan
c. Kesulitan bernapas yang ekstrem
d. Denyut nadi meningkat
e. Timbul kecemasan berat karena sulit bernapas
f. Berkeringat
Beberapa tanda dan gejala lain yang mungkin menyertai asma, antara lain:
a. Pola pernapasan abnormal seperti perlu menarik dua tarikan napas
untuk menghirup napas dalam-dalam
b. Kadang-kadang terjadi henti napas
c. Nyeri dada dan rasa sesak di dada (Priyatna, 2012)
16
2.1.5 Klasifikasi Asma
Klasifikasi berdasarkan derajat dari gejala asma :
Tabel 2.1 Klasifikasi Asma
Derajat Asma
Gejala Gejala Malam
Faal Paru
Intermiten Bulanan Gejala <1x/minggu tanpa gejala di luar serangan Serangan singkat
≤2 kali sebulan
APE ≥ 80% a. VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
b. Variabiliti APE <20%
Persisten ringan
Mingguan Gejala >1x/minggu tetapi <1x/hari Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan
APE > 80% a. VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik
b. Variabiliti APE 20-30%
Persisten sedang
Harian Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan
APE 60-80% a. VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80% nilai terbaik
b. Variabiliti APE > 30%
Persisten berat
Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤ 60% a. VEP1 ≤ 60% nilai
prediksi APE ≤ 60% nilai terbaik
b. Variabiliti APE > 30%
(Priyatna, 2012)
2.1.6 Patofisiologi Asma
Alergen masuk ke dalam tubuh dapat melalui saluran pernapasan yang
akan ditangkap oleh Antigen Presenting Cells (APC). Setelah alergen diproses
dalam APC (sel dendritik), kemudian dipresentasikan menjadi sel T helper 2
(Th2) yang akan melepaskan interleukin 4 (IL-4), interleukin 5 (IL-5), dan
interleukin 13 (IL-13). IL-4 menyebabkan proliferasi sel B menjadi sel
17
plasma untuk memproduksi IgE antibodi. IgE yang terbentuk akan segera
diikat oleh sel mastosit. Ikatan tersebut menimbulkan degranulasi sel
mastosit, dan merangsang keluarnya mediator dalam granul-granul
sitoplasma, yaitu histamin, leukotriene, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-
A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), triptase, dan kinin yang memunculkan
gejala asma seperti sesak, mengi, dan bronkokonstriksi. Sel Th 2
mengeluarkan Growth Factors (GF) yang menyebabkan terjadinya remodelling
jalan napas melibatkan pengaktifan banyak struktur sel yang meningkatkan
penyumbatan aliran udara dan hiperresponsif saluran napas (Saputro &
Fazrin, 2017).
2.1.7 Pemeriksaan Asma
a. Pengukuran fungsi paru (spirometri)
Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator
aerosol golongan adrenergik. Peningkatan FEV atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma
b. Tes provokasi bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV sebesar 20%
atau lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90% dari
maksimum dianggap bermakna bila menimbulkan penurunan PEFR
10% atau lebih
c. Pemeriksaan kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik di
dalam tubuh
18
d. Pemeriksaan laboratorium
1. Analisa gas darah (AGD/Astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat
hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik
2. Sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma yang
berat, karena hanya reaksi yang hebat saja yang menyebabkan
transudasi dari edema mukosa, sehingga terlepaslah sekelompok sel-
sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk melihat
adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji
resistensi terhadap beberapa antibiotik
3. Sel eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm3 baik asma ekstrinsik ataupun intrinsik, sedangkan
hitung sel eosinofil normal antara 100-200/mm3. Perbaikan fungsi
paru disertai penurunan hitung jenis sel eosinofil menunjukkan
pengobatan telah tepat
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm3 terjadi karena
adanya infeksi. SGOT dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan
hati akibat hipoksia atau hiperkapnea
19
e. Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya
normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma
seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain
(Muttaqin, 2012).
2.1.8 Penatalaksanaan Asma
Pengobatan Nonfarmakologi
a. Penyuluhan, penyuluhan ini ditujukan untuk peningkatan pengetahuan
klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari
faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar dan
berkonsultasi pada tim kesehatan
b. Menghindari faktor pencetus, klien perlu dibantu mengidentifikasi
pencetus serangan asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara
menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk intake cairan
yang cukup bagi klien
c. Fisioterapi, dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus.
Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi, dan fibrasi dada
Pengobatan Farmakologi
a. Agonis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol,
bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4 kali semprot, dan jarak
antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit
20
b. Metilxantin, dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4 kali sehari. Golongan
metilxantin adalah aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila
golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan
c. Kortikosteroid, jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan
respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk
aerosol dengan dosis 4 kali semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam
jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat
steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat
d. Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven), kromolin merupakan
obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum
bromide diberikan 1-2 kapsul 4 kali sehari (Muttaqin, 2012).
2.2 Kontrol Asma
2.2.1 Definisi Kontrol Asma
Kontrol asma adalah kontrol manifestasi penyakit asma yang terdiri
dari tiga tingkatan yaitu terkontrol total, terkontrol sebagian dan tidak
terkontrol. Asma terkontrol adalah tidak ada atau minimal gejala harian,
keterbatasan fisik atau aktivitas, gejala atau terbangun malam karena asma,
penggunaan obat pelega dan fungsi paru normal atau mendekati normal
serta tidak ada eksaserbasi. Banyak penderita mengalami serangan sesak
napas berat tidak memperhatikan timbulnya batuk-batuk terutama pada
malam atau dini hari yang mengganggu tidur mereka, padahal keadaan ini
menunjukkan bahwa asma yang diderita sedang atau sudah tidak terkontrol.
Bila hal ini tidak cepat ditanggulangi, akan menyebabkan eksaserbasi asma
21
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita, kehilangan
hari kerja produktif, gangguan aktivitas sosial dan berpotensi mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan bahkan menyebabkan kematian (Priyatna,
2012).
2.2.2 Tingkat Kontrol Asma
Tabel 2.2 Kontrol Asma
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
Gejala harian Tidak ada ( dua kali atau kurang per minggu)
Lebih dari dua kali seminggu
Tiga atau lebih gejala dalam kategori asma terkontrol sebagian, muncul sewaktu-waktu dalam seminggu
Pembatasan aktivitas
Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu
Gejala nokturnal/ gangguan tidur (terbangun)
Tidak ada Sewaktu-waktu dalam seminggu
Kebutuhan akan reliever atau terapi rescue
Tidak ada (dua kali atau kurang dalam seminggu)
Lebih dari dua kali seminggu
Fungsi Paru (PEF atau FEV1)
Normal < 80% (perkiraan atau dari kondisi terbaik bila diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih dalam setahun
Sekali dalam seminggu
(Sulistyowati et al., 2016)
2.2.3 Pengukuran Kontrol Asma
Kontrol asma sebagai landasan tujuan dalam strategi manajemen
karena tingkat kontrol asma berfungsi untuk mengarahkan pilihan terapi
yang tepat. GINA membuat pedoman penatalaksanaan asma yang bertujuan
untuk mencapai asma yang terkontrol. Laporan data GINA hingga tahun
2006 juga menitikberatkan pada kontrol asma dan bukan lagi pada
22
tatalaksana serangan asma akut. Kontrol asma dinilai melalui kuesioner ACT
(Asthma Control Test). Kuesioner ini berisi 5 pertanyaan dan hasil kuesioner
ACT digunakan untuk mengelompokkan kondisi klinis pasien ke dalam
terkontrol total terkontrol sebagian, atau tidak terkontrol (Ciprandi et al.,
2015; Haryanti et al., 2016; Medison & Rustam, 2014).
2.3 Kecemasan
2.3.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan atau ansietas merupakan penilaian dan respon emosional
terhadap sesuatu yang berbahaya. Kecemasan sangat berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Kondisi dialami secara subjektif dan
dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal. Kecemasan merupakan
suatu perasaan yang berlebihan terhadap kondisi ketakutan, kegelisahan,
bencana yang akan datang, kekhawatiran atau ketakutan terhadap ancaman
nyata atau yang dirasakan. Menurut Stuart (2006), kecemasan berbeda
dengan rasa takut yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya.
Berbeda dengan Videbeck, yang menyatakan bahwa takut tidak dapat
dibedakan dengan cemas, karena individu yang merasa takut dan cemas
mengalami pola respon perilaku, fisiologis, emosional dalam waktu yang
sama. Dapat disimpulkan bahwa cemas merupakan reaksi atas situasi baru
dan berbeda terhadap suatu ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Perasaan
cemas dan takut merupakan suatu yang normal, namun perlu menjadi
perhatian bila rasa cemas semakin kuat dan terjadi lebih sering dengan
konteks yang berbeda (Saputro & Fazrin, 2017).
23
2.3.2 Gejala Kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi tubuh sesorang, respon kecemasan
antara lain:
a. Respon fisiologis terhadap kecemasan
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).
Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda
bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh. Tanda dan gejalanya
seperti sakit perut, sakt kepala, mual, muntah, demam ringan, gelisah,
kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan mudah marah.
b. Respon psikologis terhadap kecemasan
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat
ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi,
menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah,
menghindar, dan sangat waspada.
c. Respon kognitif terhadap kecemasan
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses pikir
maupun isi pikir, diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan,
konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi,
bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan
kendali, takut pada gambaran visual, takut pada cedera atau kematian
dan mimpi buruk.
24
d. Respon Afektif terhadap kecemasan
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan,
gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, rasa
bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap
kecemasan (Saputro & Fazrin, 2017).
2.3.3 Klasifikasi Kecemasan
Kecemasan atau ansietas menurut Stuart dan Sundeen, yaitu:
a. Kecemasan ringan
Pada tingkat kecemasan ringan seseorang mengalami ketegangan yang
dirasakan setiap hari sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada
dan meningkatkan lahan persepsinya. Seseorang akan lebih tanggap dan
bersikap positif terhadap peningkatan minat dan motivasi. Tanda-tanda
kecemasan ringan berupa gelisah, mudah marah, dan perilaku mencari
perhatian.
b. Kecemasan sedang
Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang
lebih terarah. Pada kecemasan sedang, seseorang akan kelihatan serius
dalam memperhatikan sesuatu. Tanda-tanda kecemasan sedang berupa
suara bergetar, perubahan dalam nada suara, takikardi, gemetaran,
peningkatan ketegangan otot.
25
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi, cenderung untuk
memusatkan pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak dapat
berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi
menurunkan kecemasan dan fokus pada kegiatan lain berkurang. Orang
tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu daerah lain. Tanda-tanda kecemasan berat berupa perasaan
terancam, ketegangan otot berlebihan, perubahan pernapasan,
perubahan gastrointestinal (mual, muntah, rasa terbakar pada ulu hati,
sendawa, anoreksia, diare), perubahan kardiovaskuler dan
ketidakmampuan untuk berkonsentrasi.
d. Panik
Panik berhubungan dengan ketakutan dan teror, karena mengalami
kehilangan kendala. Orang yang mengalami panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan, panik melibatkan
disorganisasi kepribadian, dengan panik terjadi peningkatan aktivitas
motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang
sangat bahkan kematian (Mardjan, 2016; Saputro & Fazrin, 2017).
26
2.3.4 Pengukuran Kecemasan
Pengukuran tingkat kecemasan menggunakan skala kecemasan, skala
kecemasan yang digunakan adalah skala kecemasan dari HARS (Hamilton
Anxiety Rating Scale) dengan item yang dimodifikasi. Skala HARS merupakan
pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya gejala pada
penderita asma yang mengalami kecemasan (Narti, 2019).
Hamilton Anxiety Scale (HAS) disebut juga dengan Hamilton Anxiety
Rating Scale (HARS), pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton pada
tahun 1956, untuk mengukur semua tanda kecemasan baik kecemasan psikis
maupun somatik. HARS terdiri dari 14 item pertanyaan untuk mengukur
tanda adanya kecemasan pada anak dan orang dewasa. HARS telah
distandarkan untuk mengevaluasi tanda kecemasan pada penderita asma
yang sudah menjalani pengobatan terapi, setelah mendapatkan obat
antidepresan dan setelah mendapatkan obat psikotropika (Saputro & Fazrin,
2017).
2.4 Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Tingkat Kontrol Asma
Asma merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi
dengan diagnosis, pengobatan dan edukasi pasien yang tepat dapat
menghasilkan manajemen dan kontrol asma yang baik. Serangan asma yang
dialami oleh individu dapat disebabkan oleh tiga faktor pemicu yaitu alergen,
infeksi dan psikologis. Faktor pemicu yang disebabkan oleh psikologis yang
dapat menjadi pencetus asma pada beberapa individu yaitu stres. Stres
merupakan gangguan psikologis yang sering kali terjadi pada penderita asma
27
dan dapat mengantarkan individu pada kecemasan. Kecemasan dan asma
memiliki hubungan yang sangat rumit. Saat ini tidak ada bukti yang kuat
bahwa kecemasan menyebabkan asma. Tetapi ada banyak bukti bahwa
kecemasan dapat memperburuk gejala asma. Pertama, kecemasan dapat
menyebabkan penggunaan obat bronkodilator terlalu sering dan
ketidakpatuhan pengobatan. Kedua, kecemasan terkait dengan hiperventilasi,
disfungsi pita suara dan disfungsional pernapasan sehingga mengakibatkan
gejala asma dan sebagai pemicu asma. Ketiga, kecemasan dapat mengubah
persepsi gejala. Keempat, faktor psikologis dan emosional dapat memiliki
efek biologis pada imunologi, hormonal dan fungsi otonom yang berdampak
pada keparahan asma dan kontrol emosi (Ciprandi et al., 2015).
Tingkat kontrol asma dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah
satunya adalah ekspresi emosi yang berlebihan misalnya kecemasan. Pasien
asma cenderung memiliki kecemasan sehingga dapat mempengaruhi kontrol
asma dan kualitas hidup. Kecemasan cenderung memperburuk penyakit
asma. Kecemasan dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang dapat
menimbulkan serangan. Pasien dengan kontrol asma yang buruk lebih sering
terjadi pada perempuan, orang tua, fungsi paru yang buruk, obesitas, stress
dan kecemasan. Kecemasan dan asma mempunyai hubungan yang signifikan.
Semakin buruk kontrol asma maka semakin berat kecemasan yang terjadi
dan begitu sebaliknya (Priyatna, 2012; Utama, 2018).