TINJAUAN PUSTAKA
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT
A. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat adalah
kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik dalam menghambat
kolinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin pada reseptor muskarinik,
nikotinik, dan susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan kematian
Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat,
fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat antara
lain insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos,
ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi
kulit atau mukosa atau parenteral, peroral, inhalasi dan juga injeksi (Tina & Metka,
2011).
Gambar 2.1. Struktur umum organofosfat
Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkolin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis.
Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau
OC2H5. (Tina & Metka, 2011).
B. Faktor Resiko
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor
dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut
adalah
1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :
2
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka
usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi
metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas
kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya
keracunan pestisida (Tina & Metka, 2011).
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahan
tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk,
protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzim kolinesterase terbentuk
dari protein, sehingga pembentukan enzim kolinesterase akan terganggu.
Dikatakan bahwa orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki
kadar rata-rata kolinesterase lebih besar (Tina & Metka, 2011).
c. Jenis kelamin
Kadar kolin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml.
Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwa tiap-tiap individu
mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini
tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kolin. Ini
menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan kolin
dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi
aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan
jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim
kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan
menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase
cenderung turun (Tina & Metka, 2011).
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan
pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika
dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam
3
pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik (Tina & Metka,
2011).
2. Faktor di luar tubuh (eksternal)
a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin
mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis
pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini
ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosis penyemprotan di lapangan
khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha
(Kamanyire & Karalliedde, 2004).
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak dengan
pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.
Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena keracunan
pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah
melakukan penyemprotan (Kamanyire & Karalliedde, 2004).
c. Tindakan penyemprotan pada arah angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan
penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan
kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot
melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan petani
yang saat menyemprot searah dengan arah angin (Kamanyire & Karalliedde,
2004).
d. Frekuensi penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula
resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan
ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida
maksimal 5 jam perhari (Kamanyire & Karalliedde, 2004).
e. Jumlah jenis pestisida
4
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktu
penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar bila dibanding
dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun atau konsentrasi
pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin
besar (Kamanyire & Karalliedde, 2004).
f. Toksisitas
Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya. Pestisida
yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan dengan kadar yang
rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pestisida
dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida dapat
diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam makanan
hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewan-hewan tersebut
mati.
C. Patofisiologi
1. Organofosfat
Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida golongan
organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup besar, menggantikan
kelompok chlorinated hydrocarbon yang mempunyai sifat:
a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap chorinatet
hydrocarbon.
b. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka waktu
yang lama
c. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme
d. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang, jika
dibandingkan dengan organoklorine.
e. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.
Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disintesis dan diuji untuk
aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja
dewasa ini. Semua produk organofosfat tersebut berefek toksik bila tertelan,
dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga.
5
Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin,
edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kolinomimetik (efek
seperti asetilkolin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan
neuromuskuler seperti miastenia gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk
antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikolinergik (misalnya:
trisiklik anti depresan, atropin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan
organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata
yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.
Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II.
Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai
insektisida. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate
(TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga
cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan
komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis:
malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam
jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari
beberapa miligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.
Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan
kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara
normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut
menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian
tubuh.
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophospat melakukan
fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Seseorang yang
keracunan pestisida organophospat akan mengalami gangguan fungsi dari saraf-
saraf tertentu. Sebagai bagian vital dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari
6
toksikan dalam darah oleh suatu mekanisme protektif yang unik, yaitu sawar
darah otak dan sawar darah saraf. Meskipun demikian, susunan saraf masih sangat
rentan terhadap berbagai toksikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan
bahwa neuron mempunyai suatu laju metabolisme yang tinggi dengan sedikit
kapasitas untuk metabolisme anaerobik. Selain itu, karena dapat dirangsang
oleh listrik, neuron cenderung lebih mudah kehilangan integritas membran
sel. Panjangnya akson juga memungkinkan susunan saraf menjadi lebih rentan
terhadap efek toksik, karena badan sel harus memasok aksonnya secara struktur
maupun secara metabolisme.
Susunan saraf terdiri atas dua bagian utama, yaitu susunan saraf pusat
(CNS) dan susunan saraf tepi (PNS). CNS terdiri atas otak dan sumsum tulang
belakang, dan PNS mencakup saraf tengkorak dan saraf spinal, yang berupa saraf
sensorik dan motorik. Neuron saraf spinal sensorik terletak pada ganglia dalam
radiks dorsal. PNS juga terdiri atas susunan saraf simpatis, yang muncul dari
neuron sumsum tulang belakang di daerah thoraks dan lumbal, dan susunan saraf
parasimpatis yang berasal dari serat saraf yang meninggalkan susunan saraf pusat
melalui saraf tengkorak dan radiks spinal sakral.
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang
timbul sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi
yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer.
2. Mekanisme Kerja Pestisida Organofosfat Dalam Tubuh
Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah persenyawaan yang
tergolong antikolinesterase seperti physostigmin, prostigmin, diisopropyl
fluoropphosphat dan karbamat. Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi,
antara lain tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk
sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kolinesterase.
Enzim kolinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.
Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,
kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi
7
gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh
terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja
enzim kolinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf.
Di seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat pusat-pusat
pengalihan elektro chemical yang dinamakan synapses, getaran-getaran impuls
syaraf elektrokemis (electrochemical nerve impulse), dibawa menyeberangi
kesenjangan antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke
neuron. Karena getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu synapses, sinyal itu
merangang pembebasan asetilkolin.
Asetilkolinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan
yang menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Sel darah merah
dapat mensintesis asetilkolin dan bahwa kolin asetilase dan asetilkolinesterase
keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kolin asetilase juga ditemukan tidak
hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta.
Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak
mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkolin
dari pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkolin dapat
dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah
merah, telah dicatat bahwa enzim kolin asetilase tidak aktif baik karena
pengahambatan oleh obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel
akan kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis.
Asetilkolin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh
menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada
sistem syaraf, stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf
(akson) dalam betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikolin
dipindahkan (diseberangkan) melalui serabut, enzim kolinesterase memecahkan
asetilkolin dengan cara meghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan sebuah ion
asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat
8
cepat.
Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan,
pestisida menempel pada enzim kolinesterase. Karena kolinesterase tidak dapat
memecahkan asetilkolin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan
suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada
kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah
kematian.
Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan
menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase, sehingga terjadi akumulasi
substrat (asetilkolin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan
gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus
akibat asetilkolin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan dikenal
sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan.
Asetilkolin mudah dihidrolisis menjadi kolin dan asam asetat oleh
kerja enzim asetilkolinesterase, ditemukan tidak hanya pada ujung syaraf tetapi
juga dalam serabut syaraf, kerja asetilkolin dalam tubuh diatur oleh efek
penginaktifan asetilkolinesterase.
Pemecahan asetilkolin adalah suatu reaksi eksenergik karena diperlukan
energi untuk sintesisnya kembali. Asetat aktif (Asetil KoA) bertindak sebagai donor
untuk asetilasi kolin. Enzim kolinesterase yang diaktifkan oleh ion- ion kalium
dan magnesium mengkatalisis transfer asetil dari asetil KoA ke kolin.
Antikolinesterase pengambat asetilkolinesterase dengan akibat pemanjangan
aktifitas parasimpatis dipengaruhi oleh fisostigmin (eserin), kerja ini adalah
reversibel.
Neostigmin (prostigmin) adalah suatu alkaloid yang diduga berfungsi
juga sebagai inhibitor kolinesterase dan dengan demikian memanjangkan kerja
asetilkolin atau kerja parasimpatis. Ini telah dipakai dalam pengobatan myasthenia
gravis, suatu kelemahan otot dengan atrofi yang kronik dan progresif.
3. Efek Pestisida Pada Sistem Tubuh
9
Bahan kimia dari kandungan pestisida dapat meracuni sel-sel tubuh
atau mempengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan dengan sifat bahan
kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia memasuki tubuh atau disebut
juga organ sasaran. Efek racun bahan kimia atas organ-organ tertentu dan sistem
tubuh:
a. Paru-paru dan sistem pernafasan
Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis atau
pneumonitis). Pada kejadian luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang
dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat
berakibat fatal. Sebagian bahan kimia dapat mensensitisasi atau menimbulkan
reaksi alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi
sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi jangka panjang (kronis)
akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru sehingga
akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis.
b. Hati
Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan oleh
karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Efek
bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat menyebabkan inflamasi
sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (kematian sel), dan penyakit kuning.
Sedangkan efek jangka panjang berupa sirosis hati dari kanker hati.
c. Ginjal dan saluran kencing
Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek bahan kimia
terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-konyong (gagal ginjal akut),
gagal ginjal kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih.
d. Sistem syaraf
Bahan kimia yang dapat menyerang saraf disebut neurotoksin. Pemaparan
terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat fungsi otak. Gejala-gejala
yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnya kewaspadaan yang akhirnya
diikuti oleh hilangnya kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan
sistem syaraf pusat. Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang
10
menuju ke syaraf adalah pestisida. Akibat dari efek toksik pestisida ini dapat
menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh).
e. Darah dan sumsum tulang
Sejumlah bahan kimia seperti arsen, benzen dapat merusak sel-sel darah merah
yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain dapat merusak sumsum
tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau dapat menimbulkan
kanker darah.
f. Jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)
Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat menyebabkan
gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan kimia lain seperti karbon
disulfida dapat menyebabkan peningkatan penyakit pembuluh darah yang
dapat menimbulkan serangan jantung.
g. Kulit
Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menyebabkan dermatitis atau
dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi. Bahan kimia lain dapat
menimbulkan jerawat, hilangnya pigmen (vitiligo), mengakibatkan kepekaan
terhadap sinar matahari atau kanker kulit.
h. Sistem reproduksi
Banyak bahan kimia bersifat teratogenik dan mutagenik terhadap sel kuman
dalam percobaan. Disamping itu ada beberapa bahan kimia yang secara
langsung dapat mempengaruhi ovarium dan testis yang mengakibatkan
gangguan menstruasi dan fungsi seksual.
i. Sistem yang lain
Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot dan kelenjar
tertentu seperti kelenjar tiroid.
D. Tanda dan gejala
Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat
bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi yang diikuti oleh
stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan
11
diare (SLUD) terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya
stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kolin dalam darah meningkat
pada mata dan otot polos (Waluyadi, 2007; Katz, 2012).
Tabel 1. Efek Muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat
Efek Gejala
Muskarinik Salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare
Kejang perut
Naussea dan vomitus
Bradikardia
Miosis
Berkeringat
Nikotinik Pegal, lemah
Tremor
Paralisis
Dispneu
Takikardi
Sistem saraf pusat Bingung, gelisah, insomnia, neurosis
Sakit kepala
Emosi tidak stabil
Bicara terbata-bata
Kelemahan umum
Konvulsi
Depresi respirasi dan gangguan jantung
Koma
Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam
kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara hidrolisa di
dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan/pembentukan ini mempunyai
12
toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine. Adapun gejala keracunan pestisida golongan
organofosfat adalah (Waluyadi, 2007; Katz, 2012):
1. Gejala awal
Gejala awal akan timbul mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit kepala dan
gangguan penglihatan.
2. Gejala lanjutan
Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan, pengeluaran lendir
dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat
berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya
kelumpuhan otot rangka.
3. Gejala sentral
Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnya reflek,
kejang dan koma.
4. Kematian
Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan kelumpuhan otot
pernafasan.
E. Penegakan Diagnosis
Kriteria diagnosis pada keracunan adalah (Budiawan, 2008) :
1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.
2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan
racun yang diduga.
3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut memang racun
yang dimaksud.
4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan
keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya
penyebab kematian lain.
5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik, harus dapat dibuktikan adanya racun serta
metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban, secara sistemik.
13
Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi
rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di tubuh manusia. Salah satu hal yang
dapaat digunakan untuk mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik.
Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari
suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara,
dan udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi
kasus keracunan organofosfat (Budiawan, 2008).
F. Penatalaksanaan
1. Stabilisasi Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi
primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan simptom
toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan
intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan
status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek.
Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.
Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen
harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara
paralel dengan pemberian antidotum (Katz et al., 2011).
2. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera dibersihkan dengan
sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi sekunder dari udara (Katz et al.,
2011).
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan
yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada
saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan
diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika
14
organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien
yang mengalami muntah (Katz et al., 2011).
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan
yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien
mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk
menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan
gangguan paru kronik (Katz et al., 2011).
3. Pemberian Antidotum
a. Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan
skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan
organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki
riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan
karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi,
bronkospasme, dan bronkorea (Gunawan, 2000).
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3
menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB
yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada
kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin (Gunawan,
2000).
b. Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk
melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan
karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan
membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim (Gunawan, 2000).
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis
tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selama 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi
penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator
(Gunawan, 2000).
15
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime
meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,
peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri
pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada
kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan
organofosfat (Gunawan, 2000).
c. Pemberian anti-kejang
Diazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis:
5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga
10-20 mg IV) (Gunawan, 2000).
G. Komplikasi
1. Gagal nafas
2. Kejang
3. Pneumonia aspirasi
4. Kematian
19
HIPERTENSI
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah. Tekanan
darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah
jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh
kekuatan kontraksi miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan
resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi
pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding
pembuluh darah (Guyton, 2007).
Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yang
terdiri dari (Kemenkes RI, 2013) :
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90% - 95%
kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor
genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya
riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat
20
berupa sensitifitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas
vaskuler (terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin.
b. Hipertensi sekunder atau Renal
Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat
sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal
(hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan, dan lain-lain.
Gambar 2. Autoregulasi Tekanan Darah
Disamping etiologi terdapat faktor risiko hipertensi yang dibedakan dalam 2
kelompok, yaitu kelompok yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Hal
yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat hipertensi dan penyakit
kardiovaskular dalam keluarga. Adapun hal yang dapat dimodifikasi antara lain riwayat pola
makan (konsumsi garam berlebihan), konsumsi alkohol berlebihan, aktivitas fisik kurang,
kebiasaan merokok, obesitas, dislipidemia, diabetes mellitus, psikososial, dan stres.
21
Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
fisik. Akan tetapi tidak semua hipertensi menujukkan gejala bahkan ada yang tanpa gejala.
Adapun gejala hipertensi antara lain sakit/nyeri kepala, gelisah, jantung berdebar-debar,
pusing, leher kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit di dada. Sedangkan gejala tidak spesifik
antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah, dan impotensi. Diagnosis tidak boleh
ditegakkan hanya dalam sekali pemeriksaan terutama pada kasus baru dan tanpa faktor risiko.
Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua pengukuran ulang dalam waktu
satu sampai dua minggu tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut. Diagnosis
hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata
TDD ≥ 90 mmHg dan atau TDS ≥ 140 mmHg (Kemenkes RI, 2013).
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut The Sevent Joint National Committee
on Prevention Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)3
Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi derajat I 140 – 159 90 – 99
Hipertensi derajat II > 160 > 100
Penatalaksanaan hipertensi bertujuan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan
mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Target terapi adalah mencapai dan
mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 90
mmHg atau tekanan sistolik dibawah 130 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 80mmHg
pada individu dengan risiko tinggi serta mengontrol faktor risiko melalui modifikasi gaya
hidup dan obat anti hipertensi jika modifikasi gaya hidup kurang berhasil. Modifikasi gaya
hidup cukup efektif dan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dengan biaya
relatif murah. Tata laksana ini tetap dianjurkan meski disertai obat anti hipertensi karena
dapat menentukan jumlah dan dosis obat untuk mencapai target secara optimal (JNC 7,
2003).
Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup dalam Tata Laksana Hipertensi
22
Modifikasi Rekomendasi Rerata Penurunan
TDS
Penurunan berat
badan
Jaga berat badan ideal (IMT = 18,5 – 22,9
kg/m2)
5-20 mmHg/ 10 kg
Dietary Approach to
Stop Hypertension
(DASH)
Diet tinggi serat dan rendah lemak 8-14 mmHg
Pembatasan intake
natrium
Kurangi hingga < 100 mmol per hari ( 2,0
g natrium atau 6,5 g natrium klorida atau 1
sendok teh garam per hari )
2-8 mmHg
Aktivitas fisik
aerobik
Aktivitas fisik aerobik yang teratur selama
20-30 menit dengan frekuensi 2-3 kali
seminggu
4-9 mmHg
Pembatasan
konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol maksimal 30 ml bagi
laki laki dan maksimal 20 ml bagi
perempuan atau orang yang lebih kurus.
2-4 mmHg
Pembatasan
merokok
Gambar 3. Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 7
23
Pemberian obat anti hipertensi dilakukan jika dalam waktu 2 minggu atau 1 bulan
pasca modifikasi gaya hidup target tekanan darah belum tercapai yang dilakukan dengan cara
pemberian monoterapi pada kasus hipertensi derajat I dan kombinasi 2 obat hipertensi pada
hipertensi derajat II serta sesuai indikasi pada pasien dengan indikasi khusus. Jenis-jenis obat
anti hipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 antara lain
sebagai berikut
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Alelosterone Antagonist (Aldo Ant)
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium Channel Blocker (CCB)
24
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
Tabel 4. Obat-obat Anti Hipertensi yang Dianjurkan JNC 7
Diuretik Beta Blocker Calcium Channel Blocker
Thiazid
- Hidroklortiazid 12,5mg 1
X I
Loop diuretik
- Furosemid 40mg 2 X I
Diuretik hemat kalium
- Amilorid 5 mg 1 X I
Antagonis aldosteron
- Spironolakton 100mg 1 X I
Propanolol 10 mg 2 X I
Atenolol 50 mg 2 X I
Bisoprolol 5 mg 1-2 X ½-1
Verapamil 40, 80 mg 2 X I
Amlodipin 5, 10 mg 1 X I
Diltiazem 60 mg 2-3 X I
Nifedipin 5, 10 mg 1-3 X I
ACE Inhibitor Angiotensin II Receptor
Blocker
Kaptopril 12,5; 25mg 2 X I
Lisinopril 5; 10mg 2 X I
Perindopril 4mg 2 X I
Silazapril 2,5mg 2 X I
Ramipril 5mg 2 X I
Losartan 50 mg 1 X I
Valsartan 80 mg 1 X I
Candesartan 8 mg 1 X I
Telmisartan 40 mg 1 X I
Adapun kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien antara lain
sebagai berikut3
a. Diuretika dan ACEI atau ARB
b. CCB dan BB
c. CCB dan ACEI atau ARB
d. CCB dan diuretika
e. ARB dan BB
Tabel 5. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu
Indikasi yang Memaksa Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung
Pasca Infrak Miokard
Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner
Diabetes
Penyakit Ginjal Kronis
Pencegahan stroke berulang
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB. Aldo
Ant
BB, ACEI, Aldo Ant
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, CCB
Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB
ACEI, ARB
Diuretik Thiaz, ACEI
25
Dengan adanya klasifikasi hipertensi terbaru dari JNC 8 sejak Desember 2013 maka
terdapat panduan baru pada manajemen hipertensi meliputi ambang pengobatan
farmakologis, target terapi, dan pemilihan obat anti hipertensi sesuai algoritma sebagai
berikut
Gambar 4. Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 8
26
Dalam JNC 8 beta blocker tidak lagi digunakan dan direkomendasikan 4 kelas obat
tertentu berdasarkan penelaahan bukti untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis, dan
diabetes dimana panelis membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji
coba. Berdasarkan rekomendasi di atas baik JNC 7 maupun JNC 8 tidak dikenal penggunaan
reserpine sebagai obat anti hipertensi sehingga reserpine sebaiknya tidak lagi digunakan
dalam tata laksana hipertensi.
Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg perlu
dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ tubuh) dan hipertensi emergency
(dengan kerusakan organ tubuh). Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan
terapi anti hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara
perlahan dalam 24 - 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50 mg sublingual atau
oral. Pemberian nifedipine sublingual atau oral tidak lagi direkomendasikan untuk hipertensi
urgency karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk perawatan ICU.
Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua lengan menggunakan teknik
27
pemeriksaan yang benar. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan mencari adanya
kerusakan organ target, sedangkan pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik,
urinalisis, darah lengkap, dan toksikologi. Terapi dengan obat anti hipertensi secara
intravena sangat disarankan dalam kondisi ini. Pemilihan obat harus didasarkan karakteristik
obat yang spesifik (efek samping). Penurunan tekanan darah harus terkontrol untuk
menghindari hipoperfusi organ dan iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa dipakai
adalah labetalol, esmolol, nitroglicerin, sodium nitroprusside, clevidipine, trimetaphan, dan
pentholamine (JNC 8, 2013).
28
GANGGUAN TIDUR
Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan
kulaitas tidur yang kurang. Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur selama
masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami kesukaran
tidur dan 17% diantaranya mengalami maslah serius. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur
adalah salah satu gejala dari ganggaun lainnya, baik mental atau fisik. Walaupun gangguan
tidur yang spesifik terlihat secara klinis berdiri sendiri, sejumlah factor psikiatrik dan atau
fisik yangterkait memberikan kontribusi pada kejadiannya. Secara umum adalah lebih baik
membuat diagnosis gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang
relevan untuk menjelaskan secara adekuat psikopatologi dan atau patofisiologinya (Sadock,
2003).
Kaplan dan Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut
menderita gangguan tidur. Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan
psikiatri, ketergantungan obat dan alkohol. Menurut data internasional of sleep disorder,
prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-
74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),
psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%),
sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal
kerja (2-5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%),
narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%). Klasifikasi dan penatalaksanaan gangguan
tidur masih terus berkembang seiring dengan penelitian yang ada (Sadock, 2003).
Macam-macam gangguan tidur
I. INSOMNIA
Insomnia merupakan ketidakmampuan sefcara relative pada seseorang untuk
dapat tidur atau mempertahankan tidur baik pada saat ingin tidur.
Penyebab insomnia beragam, bisa merupakan suatu gejala yang memiliki
berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik, dan pemakaian
obat-obatan.
Gejala-gejala pada insomnia :
29
- sulit untuk tidur
- tidak ada masalah untuk tidur namun mengalami kesulitan untuk tetap tidur
- Bangun terlalu awal
- Gejala yang dialami waktu siang hari adalah engantuk, resak, sulit
berkonsentrasi, sulit mengingat dan gampang tersinggung.
II. HIPERSOMNIA
Hipersomnia terdapat pada 5% populasi dewasa. Hipersomnia merupakan tidur
yang berlebihan atau terjadi serangan tidur ataupun perlambatan waktu bangun.
III. NARKOLEPSI
Narkolepsi ditandai dengan bertambahnya waktu tidur yang berhubungan dengan
keingin tidur yang tidak dapat ditahan sebagai salah satu gejala, atau kombinasi
antara gejala seperti cataplexy, sleep paralysis, atau hypnagogic hallucinations.
IV. PARASOMNIA
Merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode yang
berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan
tidur. Penyebab utama parasomnia adalah peminum alkohol, kurang tidur, dan
adanya stress psikososial. Gejala khasnya berupa penurunan kesadaran, dan
diikuti aurosal dan amnesia episode tersebut (Sadock, 2003).
Klasifikasi gangguan tidur non organic menurut PPDGJ III :
F51.0 Insomnia Non-organik
F51.1 Hipersomnia Non-organik
F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-jaga Non-organik
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
F51.4 Teror Tidur
F51.5 Mimpi Buruk
F51.8 Gangguan Tidur Non-organik Lainnya
F51.9 Gangguan Tidur Non-organik YTT
F51.0 Insomnia Non-Organik
30
Hal-hal yang diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yg
buruk
Terjadi min 3 kali dalam seminggu selama min satu bulan
Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yg berlebihan terhadap akibatnya pada
malam hari dan sepanjang siang hari
Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi sosial dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan
Kriteria lama tidur tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena
luasnya variasi individu
F51.1 Hipersomnia Non Organik
Gambaran klinik untuk diagnosis pasti:
Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur, dan atau transisi
yang memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya
Gangguan tidur terjadi setiap hari selama > 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu lebih
pendek, menyebabkan penderitaan yg cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial
dan pekerjaan
Tidak ada gejala tambahan atau bukti klinik untuk sleep apnoe
Tidak ada kondisi neurologis atau medis yg menunjukkan gejala rasa kantuk pada siang hari
Bila hipersomnia merupakan gejala dari gangguan afektif, maka diagnosis harus
sesuai gangguan yang mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila merupakan keluhan yg dominan dari penderita gangguan jiwa
lainnya.
F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-Jaga Non Organik
Gambaran klinik:
31
Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur-jaga yang normal bagi
masyarakat setempat
Insomnia pada waktu orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang
dialami hampir setiap hari min 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek
Ketidak puasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan penderitaan yang
berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Adanya gangguan jiwa lain, misal anxietas, depresi, hipomania, tidak menutup
kemungkinan diagnosis gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang penting
adanya dominasi gambaran klinik gangguan ini pada penderita.
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
Gambaran klinik:
Gejala utama: satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada sepertiga awal
tidur malam, dan terus berjalan-jalan, (kesadaran berubah)
Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong, relatif tak memberikan respon
terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan/untuk komunikasi dengan
penderita, dan hanya dapat dibangunkan/disadarkan dari tidurnya dengan susah payah
Pada watu sadar/bangun, individu tidak ingat apa yang terjadi
Dalam kurun waktu beberapa menit, tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat
dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu singkat
Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Somnambulisme harus dibedakan dari serangan Epilepsi psikomotor dan Fugue
Disosiatif
F51.4 Teror Tidur (Night Terrors)
Gambaran klinik:
Gejala utama: 1 atau lebih episode bangun dari tidur, mulai berteriak karena panik, disertai
anxietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktivitas otonomik
Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya 1-10 menit, dan biasanya terjadi pada
sepertiga awal tidur malam
32
Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk mempengaruhi teror
tidur, dan kemudian dalam beberapa menitsetelah bangunbiasanya terjadi disorientasi dan
gerakan-gerakan berulang
Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal
Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Teror tidur harus dibedakan dengan mimpi buruk, yang biasanya terjadi setiap saat
dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas kejadiannya
Teror tidur dan Somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya mempunyai
karakteristik klinik dan patofisiologi yang sama
F51.5 Mimpi Buruk (Nightmare)
Gambaran klinik:
Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang menakutkan yang
dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas, biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup,
keamanan, atau harga diri; terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi
yg khas adalah pada paruh kedua masa tidur
Setelah terbangun dari mimpi yg menakutkan, individu segera sadar penuh dan mampu
mengenali lingkungannya
Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan penderitaan
cukup berat bagi individu
Sangat penting membedakan mimpi buruk dari teror tidur, dengan memperhatikan
gambaran klinis yg khas untuk masing-masing gangguan
`
Gangguan tidur menurut DSM IV :
I. Gangguan Tidur Primer
I.1 Dissomnia
I.1.a Insomnia Primer
I.1.b Hipersomnia Primer
I.1.c Narkolepsi
I.1.d Gangguan Tidur berhubungan dengan pernafasan
33
I.1.e Gangguan tidur irama sirkadian
I.1.f Dissomnia yang tidak ditentukan
I.2 Parasomnia
I.2.a Gangguan mimpi buruk
I.2.b Gangguan terror tidur
I.2.c Gangguan tidur berjalan
I.2.d Parasomnia yang tidak ditentukan
II. Gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental lain
II.1 Insomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II
II.2 Hipersomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II
A. PENATALAKSANAAN
1. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:
▪ Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat
▪ Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik
▪ Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat
hipnotik,alkohol, gangguan mental
▪ Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek
2. Konseling dan Psikoterapi
Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti
(depressi, obsessi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat
membantu mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita
tanpa penggunaan obat hipnotik.
3. Sleep hygiene terdiri dari:
▪ Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan
▪ Hindari tidur pada siang hari/sambilan
▪ Jangan mengkonsumsi kafein pada malam hari
34
▪ Jangan menggunakan obat-obat stimulan seperti decongestan
▪ Lakukan latihan/olahraga yang ringan sebelum tidur
▪ Hindari makan pada saat mau tidur, tapi jangan tidur dengan perut kosong
▪ Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit)
▪ Hindari rasa cemas atau frustasi
▪ Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan enak
4. Pendekatan farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal,
juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang
mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) diotak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti depres.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari
proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari
berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila
pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat.
Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis
gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan
pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya
perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun
obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat
dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari. Dengan
pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema
gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati
pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan
terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang
memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi dari
problem gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya danharus
berhati-hati pada pemakain obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan
35
menyebabkan terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa
penyelesaian yang memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi
penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan.
Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short
action) dengan membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat
mengembalikan pola tidur yang normal.
Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan tidak lebih
dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat dilakukan
evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang
sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara
perlahan-lahan untuk menghindarkan terapi withdrawal (PPDGJ, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
36
Budiawan. 2008. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan
Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences. Jakarta:
35-9.
Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal 836.
Guyton, Arthur C., John E. Hall, alih bahasa: Irawati dkk., editor bahasa Indonesia: Luqman
Yanuar Rachman, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11, Jakarta: EGC
Kamanyire, R., Karalliedde, L. 2004. Organophosphate Toxicity and Occupational Exposure.
Occupational medicine. 54: 69-75
Katz, K.D., Sakamoto, K.M., Pinsky, M.R. 2011. Organophosphate Toxicity. Available on:
http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview. Diakses pada tanggal 1
Agustus 2013.
Kemenkes RI, 2013, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer ed 1, Jakarta: Kemenkes RI 236-243.
Klaassen, C.D. 2008. Casarett And Doull’s Toxicology The Basic Science of Poisons,
Seventh Edition. New York : McGraw Hill.
Klein, G.M., Rama B.R., Neal E.F., Lewis S.N., dan Brenna M.F. 2008. Disaster
Preparedness : Emergency To Response Organophosphorus Poisoning. New York : King
Pharmaceuticals, Inc.
JNC 7, 2003, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure diunduh tanggal 10 Desember 2014
JNC 8, 2013, The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure diunduh tanggal 10 Desember 2014.
37
PPDGJ III. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III :
cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Sadock BJ, Sadock VA. 2003. Synopsis of Psychiatry. 9th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins
Tina, E., Metka, F. 2011. Organophosphorous Pesticides-Mechanisms of Their Toxicity.
Available on: http://www.intwchopen.com/books/pesticides-the-impacts-of-
pesticides-exposure/organophosphorous-pesticides-mechanisms-of-their-toxicity.
Diakses pada tanggal 1 Agustus 2013.