TINJAUAN PUSTAKA

37
TINJAUAN PUSTAKA INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT A. Definisi Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat adalah kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik dalam menghambat kolinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin pada reseptor muskarinik, nikotinik, dan susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan kematian Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat antara lain insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, peroral, inhalasi dan juga injeksi (Tina & Metka, 2011). Gambar 2.1. Struktur umum organofosfat Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkolin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. (Tina & Metka, 2011). B. Faktor Resiko Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah 1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

A. Definisi

Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat adalah

kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik dalam menghambat

kolinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin pada reseptor muskarinik,

nikotinik, dan susunan saraf pusat sehingga dapat menyebabkan kematian

Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat,

fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat antara

lain insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos,

ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi

kulit atau mukosa atau parenteral, peroral, inhalasi dan juga injeksi (Tina & Metka,

2011).

Gambar 2.1. Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat

organofosfat menfosforilasi asetilkolin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis.

Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau

OC2H5. (Tina & Metka, 2011).

B. Faktor Resiko

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor

dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut

adalah

1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :

2

a. Umur

Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka

usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi

metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas

kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya

keracunan pestisida (Tina & Metka, 2011).

b. Status gizi

Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahan

tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang buruk,

protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzim kolinesterase terbentuk

dari protein, sehingga pembentukan enzim kolinesterase akan terganggu.

Dikatakan bahwa orang yang memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki

kadar rata-rata kolinesterase lebih besar (Tina & Metka, 2011).

c. Jenis kelamin

Kadar kolin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml.

Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwa tiap-tiap individu

mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini

tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kolin. Ini

menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan kolin

dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat mempengaruhi

aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan

jenis kelamin perempuan karena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim

kolinesterase, meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan

menggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase

cenderung turun (Tina & Metka, 2011).

d. Tingkat pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahan

pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika

dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam

3

pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik (Tina & Metka,

2011).

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis

Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin

mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida. Dosis

pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini

ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosis penyemprotan di lapangan

khususnya golongan organofosfat, dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha

(Kamanyire & Karalliedde, 2004).

b. Lama kerja

Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak dengan

pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.

Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena keracunan

pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggu setelah

melakukan penyemprotan (Kamanyire & Karalliedde, 2004).

c. Tindakan penyemprotan pada arah angin

Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan

penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan

kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saat menyemprot

melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan petani

yang saat menyemprot searah dengan arah angin (Kamanyire & Karalliedde,

2004).

d. Frekuensi penyemprotan

Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula

resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan

ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisida

maksimal 5 jam perhari (Kamanyire & Karalliedde, 2004).

e. Jumlah jenis pestisida

4

Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktu

penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar bila dibanding

dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun atau konsentrasi

pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin

besar (Kamanyire & Karalliedde, 2004).

f. Toksisitas

Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya. Pestisida

yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan dengan kadar yang

rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila dibandingkan dengan pestisida

dengan daya bunuh rendah tetapi dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida dapat

diketahui dari LD 50 oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam makanan

hewan-hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewan-hewan tersebut

mati.

C. Patofisiologi

1. Organofosfat

Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida golongan

organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup besar, menggantikan

kelompok chlorinated hydrocarbon yang mempunyai sifat:

a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap chorinatet

hydrocarbon.

b. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk jangka waktu

yang lama

c. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme

d. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang, jika

dibandingkan dengan organoklorine.

e. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.

Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disintesis dan diuji untuk

aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak lebih dari 500 jenis saja

dewasa ini. Semua produk organofosfat tersebut berefek toksik bila tertelan,

dimana hal ini sama dengan tujuan penggunaannya untuk membunuh serangga.

5

Beberapa jenis insektisida digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin,

edroprium dan neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kolinomimetik (efek

seperti asetilkolin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan

neuromuskuler seperti miastenia gravis. Fisostigmin juga digunakan untuk

antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikolinergik (misalnya:

trisiklik anti depresan, atropin dan sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan

organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata

yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.

Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II.

Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai dengan tujuannya sebagai

insektisida. Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate

(TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga

cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan

komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap orang (mis:

malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida

lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam

jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari

beberapa miligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.

Organofosfat menghambat aksi pseudokolinesterase dalam plasma dan

kolinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara

normal menghidrolisis asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan berikatan dengan

reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut

menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian

tubuh.

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophospat melakukan

fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil. Seseorang yang

keracunan pestisida organophospat akan mengalami gangguan fungsi dari saraf-

saraf tertentu. Sebagai bagian vital dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari

6

toksikan dalam darah oleh suatu mekanisme protektif yang unik, yaitu sawar

darah otak dan sawar darah saraf. Meskipun demikian, susunan saraf masih sangat

rentan terhadap berbagai toksikan. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan

bahwa neuron mempunyai suatu laju metabolisme yang tinggi dengan sedikit

kapasitas untuk metabolisme anaerobik. Selain itu, karena dapat dirangsang

oleh listrik, neuron cenderung lebih mudah kehilangan integritas membran

sel. Panjangnya akson juga memungkinkan susunan saraf menjadi lebih rentan

terhadap efek toksik, karena badan sel harus memasok aksonnya secara struktur

maupun secara metabolisme.

Susunan saraf terdiri atas dua bagian utama, yaitu susunan saraf pusat

(CNS) dan susunan saraf tepi (PNS). CNS terdiri atas otak dan sumsum tulang

belakang, dan PNS mencakup saraf tengkorak dan saraf spinal, yang berupa saraf

sensorik dan motorik. Neuron saraf spinal sensorik terletak pada ganglia dalam

radiks dorsal. PNS juga terdiri atas susunan saraf simpatis, yang muncul dari

neuron sumsum tulang belakang di daerah thoraks dan lumbal, dan susunan saraf

parasimpatis yang berasal dari serat saraf yang meninggalkan susunan saraf pusat

melalui saraf tengkorak dan radiks spinal sakral.

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang

timbul sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi

yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer.

2. Mekanisme Kerja Pestisida Organofosfat Dalam Tubuh

Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah persenyawaan yang

tergolong antikolinesterase seperti physostigmin, prostigmin, diisopropyl

fluoropphosphat dan karbamat. Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi,

antara lain tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk

sediaan. Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kolinesterase.

Enzim kolinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat.

Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya,

kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi

7

gerakan-gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh

terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja

enzim kolinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem

syaraf.

Di seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat pusat-pusat

pengalihan elektro chemical yang dinamakan synapses, getaran-getaran impuls

syaraf elektrokemis (electrochemical nerve impulse), dibawa menyeberangi

kesenjangan antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke

neuron. Karena getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu synapses, sinyal itu

merangang pembebasan asetilkolin.

Asetilkolinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan

yang menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Sel darah merah

dapat mensintesis asetilkolin dan bahwa kolin asetilase dan asetilkolinesterase

keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kolin asetilase juga ditemukan tidak

hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta.

Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak

mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkolin

dari pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkolin dapat

dihubungkan dengan permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah

merah, telah dicatat bahwa enzim kolin asetilase tidak aktif baik karena

pengahambatan oleh obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel

akan kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis.

Asetilkolin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya

getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh

menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada

sistem syaraf, stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf

(akson) dalam betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikolin

dipindahkan (diseberangkan) melalui serabut, enzim kolinesterase memecahkan

asetilkolin dengan cara meghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan sebuah ion

asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat

8

cepat.

Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan,

pestisida menempel pada enzim kolinesterase. Karena kolinesterase tidak dapat

memecahkan asetilkolin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan

suatu twiching yang cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada

kelumpuhan. Pada saat otot-otot pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah

kematian.

Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan

menghambat aktifitas enzim asetilkolinesterase, sehingga terjadi akumulasi

substrat (asetilkolin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan

gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus

akibat asetilkolin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan dikenal

sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan.

Asetilkolin mudah dihidrolisis menjadi kolin dan asam asetat oleh

kerja enzim asetilkolinesterase, ditemukan tidak hanya pada ujung syaraf tetapi

juga dalam serabut syaraf, kerja asetilkolin dalam tubuh diatur oleh efek

penginaktifan asetilkolinesterase.

Pemecahan asetilkolin adalah suatu reaksi eksenergik karena diperlukan

energi untuk sintesisnya kembali. Asetat aktif (Asetil KoA) bertindak sebagai donor

untuk asetilasi kolin. Enzim kolinesterase yang diaktifkan oleh ion- ion kalium

dan magnesium mengkatalisis transfer asetil dari asetil KoA ke kolin.

Antikolinesterase pengambat asetilkolinesterase dengan akibat pemanjangan

aktifitas parasimpatis dipengaruhi oleh fisostigmin (eserin), kerja ini adalah

reversibel.

Neostigmin (prostigmin) adalah suatu alkaloid yang diduga berfungsi

juga sebagai inhibitor kolinesterase dan dengan demikian memanjangkan kerja

asetilkolin atau kerja parasimpatis. Ini telah dipakai dalam pengobatan myasthenia

gravis, suatu kelemahan otot dengan atrofi yang kronik dan progresif.

3. Efek Pestisida Pada Sistem Tubuh

9

Bahan kimia dari kandungan pestisida dapat meracuni sel-sel tubuh

atau mempengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan dengan sifat bahan

kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia memasuki tubuh atau disebut

juga organ sasaran. Efek racun bahan kimia atas organ-organ tertentu dan sistem

tubuh:

a. Paru-paru dan sistem pernafasan

Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis atau

pneumonitis). Pada kejadian luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang

dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat

berakibat fatal. Sebagian bahan kimia dapat mensensitisasi atau menimbulkan

reaksi alergik dalam saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi

sewaktu menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi jangka panjang (kronis)

akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru sehingga

akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis.

b. Hati

Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati dan oleh

karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi merusak sel-sel hati. Efek

bahan kimia jangka pendek terhadap hati dapat menyebabkan inflamasi

sel-sel (hepatitis kimia), nekrosis (kematian sel), dan penyakit kuning.

Sedangkan efek jangka panjang berupa sirosis hati dari kanker hati.

c. Ginjal dan saluran kencing

Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek bahan kimia

terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-konyong (gagal ginjal akut),

gagal ginjal kronik dan kanker ginjal atau kanker kandung kemih.

d. Sistem syaraf

Bahan kimia yang dapat menyerang saraf disebut neurotoksin. Pemaparan

terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat fungsi otak. Gejala-gejala

yang diperoleh adalah mengantuk dari hilangnya kewaspadaan yang akhirnya

diikuti oleh hilangnya kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan

sistem syaraf pusat. Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang

10

menuju ke syaraf adalah pestisida. Akibat dari efek toksik pestisida ini dapat

menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh).

e. Darah dan sumsum tulang

Sejumlah bahan kimia seperti arsen, benzen dapat merusak sel-sel darah merah

yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain dapat merusak sumsum

tulang dan organ lain tempat pembuatan sel-sel darah atau dapat menimbulkan

kanker darah.

f. Jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)

Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat menyebabkan

gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan kimia lain seperti karbon

disulfida dapat menyebabkan peningkatan penyakit pembuluh darah yang

dapat menimbulkan serangan jantung.

g. Kulit

Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menyebabkan dermatitis atau

dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi. Bahan kimia lain dapat

menimbulkan jerawat, hilangnya pigmen (vitiligo), mengakibatkan kepekaan

terhadap sinar matahari atau kanker kulit.

h. Sistem reproduksi

Banyak bahan kimia bersifat teratogenik dan mutagenik terhadap sel kuman

dalam percobaan. Disamping itu ada beberapa bahan kimia yang secara

langsung dapat mempengaruhi ovarium dan testis yang mengakibatkan

gangguan menstruasi dan fungsi seksual.

i. Sistem yang lain

Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot dan kelenjar

tertentu seperti kelenjar tiroid.

D. Tanda dan gejala

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul sangat

bergantung pada adanya stimulasi asetilkolin persisten atau depresi yang diikuti oleh

stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti salivasi, lakrimasi, urinasi dan

11

diare (SLUD) terjadi pada keracunan organofosfat secara akut karena terjadinya

stimulasi reseptor muskarinik sehingga kandungan asetil kolin dalam darah meningkat

pada mata dan otot polos (Waluyadi, 2007; Katz, 2012).

Tabel 1. Efek Muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat

Efek Gejala

Muskarinik Salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare

Kejang perut

Naussea dan vomitus

Bradikardia

Miosis

Berkeringat

Nikotinik Pegal, lemah

Tremor

Paralisis

Dispneu

Takikardi

Sistem saraf pusat Bingung, gelisah, insomnia, neurosis

Sakit kepala

Emosi tidak stabil

Bicara terbata-bata

Kelemahan umum

Konvulsi

Depresi respirasi dan gangguan jantung

Koma

Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12 jam

kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan secara hidrolisa di

dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari perubahan/pembentukan ini mempunyai

12

toksisitas rendah dan akan keluar melalui urine. Adapun gejala keracunan pestisida golongan

organofosfat adalah (Waluyadi, 2007; Katz, 2012):

1. Gejala awal

Gejala awal akan timbul mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit kepala dan

gangguan penglihatan.

2. Gejala lanjutan

Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan, pengeluaran lendir

dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung), kejang usus dan diare, keringat

berlebihan, air mata yang berlebihan, kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya

kelumpuhan otot rangka.

3. Gejala sentral

Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnya reflek,

kejang dan koma.

4. Kematian

Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan kelumpuhan otot

pernafasan.

E. Penegakan Diagnosis

Kriteria diagnosis pada keracunan adalah (Budiawan, 2008) :

1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.

2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari keracunan

racun yang diduga.

3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa benda bukti tersebut memang racun

yang dimaksud.

4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang sesuai dengan

keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak ditemukan adanya

penyebab kematian lain.

5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik, harus dapat dibuktikan adanya racun serta

metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban, secara sistemik.

13

Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi

rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di tubuh manusia. Salah satu hal yang

dapaat digunakan untuk mengindentifikasi adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik.

Biomarker dari suatu paparan zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari

suatu bahan yang mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara,

dan udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk investigasi

kasus keracunan organofosfat (Budiawan, 2008).

F. Penatalaksanaan

1. Stabilisasi Pasien

Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi

primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan simptom

toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan

intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan

status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek.

Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.

Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen

harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara

paralel dengan pemberian antidotum (Katz et al., 2011).

2. Dekontaminasi

Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.

Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera dibersihkan dengan

sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai

ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi sekunder dari udara (Katz et al.,

2011).

Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan

yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk

dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada

saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran

cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan

diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika

14

organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien

yang mengalami muntah (Katz et al., 2011).

Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan

yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien

mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk

menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan

gangguan paru kronik (Katz et al., 2011).

3. Pemberian Antidotum

a. Agen Antimuskarinik

Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan

skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan

organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki

riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan

karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi,

bronkospasme, dan bronkorea (Gunawan, 2000).

Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3

menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB

yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada

kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin (Gunawan,

2000).

b. Oxime

Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk

melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan

karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh

organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan

membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim (Gunawan, 2000).

Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis

tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selama 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi

penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator

(Gunawan, 2000).

15

Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime

meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,

peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri

pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada

kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan

organofosfat (Gunawan, 2000).

c. Pemberian anti-kejang

Diazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis:

5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga

10-20 mg IV) (Gunawan, 2000).

G. Komplikasi

1. Gagal nafas

2. Kejang

3. Pneumonia aspirasi

4. Kematian

16

17

18

19

HIPERTENSI

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah. Tekanan

darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi perifer. Curah

jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh

kekuatan kontraksi miokard dan alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan

resistensi pada pembuluh darah (arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi

pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding

pembuluh darah (Guyton, 2007).

Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan yang

terdiri dari (Kemenkes RI, 2013) :

a. Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90% - 95%

kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor, terdiri dari faktor

genetik dan lingkungan. Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya

riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat

20

berupa sensitifitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas

vaskuler (terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin.

b. Hipertensi sekunder atau Renal

Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain (terdapat

sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal

(hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan, dan lain-lain.

Gambar 2. Autoregulasi Tekanan Darah

Disamping etiologi terdapat faktor risiko hipertensi yang dibedakan dalam 2

kelompok, yaitu kelompok yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Hal

yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat hipertensi dan penyakit

kardiovaskular dalam keluarga. Adapun hal yang dapat dimodifikasi antara lain riwayat pola

makan (konsumsi garam berlebihan), konsumsi alkohol berlebihan, aktivitas fisik kurang,

kebiasaan merokok, obesitas, dislipidemia, diabetes mellitus, psikososial, dan stres.

21

Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan

fisik. Akan tetapi tidak semua hipertensi menujukkan gejala bahkan ada yang tanpa gejala.

Adapun gejala hipertensi antara lain sakit/nyeri kepala, gelisah, jantung berdebar-debar,

pusing, leher kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit di dada. Sedangkan gejala tidak spesifik

antara lain tidak nyaman kepala, mudah lelah, dan impotensi. Diagnosis tidak boleh

ditegakkan hanya dalam sekali pemeriksaan terutama pada kasus baru dan tanpa faktor risiko.

Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua pengukuran ulang dalam waktu

satu sampai dua minggu tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut. Diagnosis

hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata

TDD ≥ 90 mmHg dan atau TDS ≥ 140 mmHg (Kemenkes RI, 2013).

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut The Sevent Joint National Committee

on Prevention Detection Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)3

Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi derajat I 140 – 159 90 – 99

Hipertensi derajat II > 160 > 100

Penatalaksanaan hipertensi bertujuan menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan

mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Target terapi adalah mencapai dan

mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 90

mmHg atau tekanan sistolik dibawah 130 mmHg dan tekanan diastolik dibawah 80mmHg

pada individu dengan risiko tinggi serta mengontrol faktor risiko melalui modifikasi gaya

hidup dan obat anti hipertensi jika modifikasi gaya hidup kurang berhasil. Modifikasi gaya

hidup cukup efektif dan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dengan biaya

relatif murah. Tata laksana ini tetap dianjurkan meski disertai obat anti hipertensi karena

dapat menentukan jumlah dan dosis obat untuk mencapai target secara optimal (JNC 7,

2003).

Tabel 2. Modifikasi Gaya Hidup dalam Tata Laksana Hipertensi

22

Modifikasi Rekomendasi Rerata Penurunan

TDS

Penurunan berat

badan

Jaga berat badan ideal (IMT = 18,5 – 22,9

kg/m2)

5-20 mmHg/ 10 kg

Dietary Approach to

Stop Hypertension

(DASH)

Diet tinggi serat dan rendah lemak 8-14 mmHg

Pembatasan intake

natrium

Kurangi hingga < 100 mmol per hari ( 2,0

g natrium atau 6,5 g natrium klorida atau 1

sendok teh garam per hari )

2-8 mmHg

Aktivitas fisik

aerobik

Aktivitas fisik aerobik yang teratur selama

20-30 menit dengan frekuensi 2-3 kali

seminggu

4-9 mmHg

Pembatasan

konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol maksimal 30 ml bagi

laki laki dan maksimal 20 ml bagi

perempuan atau orang yang lebih kurus.

2-4 mmHg

Pembatasan

merokok

Gambar 3. Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 7

23

Pemberian obat anti hipertensi dilakukan jika dalam waktu 2 minggu atau 1 bulan

pasca modifikasi gaya hidup target tekanan darah belum tercapai yang dilakukan dengan cara

pemberian monoterapi pada kasus hipertensi derajat I dan kombinasi 2 obat hipertensi pada

hipertensi derajat II serta sesuai indikasi pada pasien dengan indikasi khusus. Jenis-jenis obat

anti hipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7 antara lain

sebagai berikut

a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Alelosterone Antagonist (Aldo Ant)

b. Beta Blocker (BB)

c. Calcium Channel Blocker (CCB)

24

d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)

Tabel 4. Obat-obat Anti Hipertensi yang Dianjurkan JNC 7

Diuretik Beta Blocker Calcium Channel Blocker

Thiazid

- Hidroklortiazid 12,5mg 1

X I

Loop diuretik

- Furosemid 40mg 2 X I

Diuretik hemat kalium

- Amilorid 5 mg 1 X I

Antagonis aldosteron

- Spironolakton 100mg 1 X I

Propanolol 10 mg 2 X I

Atenolol 50 mg 2 X I

Bisoprolol 5 mg 1-2 X ½-1

Verapamil 40, 80 mg 2 X I

Amlodipin 5, 10 mg 1 X I

Diltiazem 60 mg 2-3 X I

Nifedipin 5, 10 mg 1-3 X I

ACE Inhibitor Angiotensin II Receptor

Blocker

Kaptopril 12,5; 25mg 2 X I

Lisinopril 5; 10mg 2 X I

Perindopril 4mg 2 X I

Silazapril 2,5mg 2 X I

Ramipril 5mg 2 X I

Losartan 50 mg 1 X I

Valsartan 80 mg 1 X I

Candesartan 8 mg 1 X I

Telmisartan 40 mg 1 X I

Adapun kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien antara lain

sebagai berikut3

a. Diuretika dan ACEI atau ARB

b. CCB dan BB

c. CCB dan ACEI atau ARB

d. CCB dan diuretika

e. ARB dan BB

Tabel 5. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu

Indikasi yang Memaksa Pilihan Terapi Awal

Gagal Jantung

Pasca Infrak Miokard

Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner

Diabetes

Penyakit Ginjal Kronis

Pencegahan stroke berulang

Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB. Aldo

Ant

BB, ACEI, Aldo Ant

Diuretik Thiaz, BB, ACEI, CCB

Diuretik Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB

ACEI, ARB

Diuretik Thiaz, ACEI

25

Dengan adanya klasifikasi hipertensi terbaru dari JNC 8 sejak Desember 2013 maka

terdapat panduan baru pada manajemen hipertensi meliputi ambang pengobatan

farmakologis, target terapi, dan pemilihan obat anti hipertensi sesuai algoritma sebagai

berikut

Gambar 4. Algoritma Tata Laksana Hipertensi Menurut JNC 8

26

Dalam JNC 8 beta blocker tidak lagi digunakan dan direkomendasikan 4 kelas obat

tertentu berdasarkan penelaahan bukti untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis, dan

diabetes dimana panelis membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji

coba. Berdasarkan rekomendasi di atas baik JNC 7 maupun JNC 8 tidak dikenal penggunaan

reserpine sebagai obat anti hipertensi sehingga reserpine sebaiknya tidak lagi digunakan

dalam tata laksana hipertensi.

Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg perlu

dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ tubuh) dan hipertensi emergency

(dengan kerusakan organ tubuh). Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan

terapi anti hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara

perlahan dalam 24 - 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50 mg sublingual atau

oral. Pemberian nifedipine sublingual atau oral tidak lagi direkomendasikan untuk hipertensi

urgency karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.

Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk perawatan ICU.

Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua lengan menggunakan teknik

27

pemeriksaan yang benar. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan mencari adanya

kerusakan organ target, sedangkan pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik,

urinalisis, darah lengkap, dan toksikologi. Terapi dengan obat anti hipertensi secara

intravena sangat disarankan dalam kondisi ini. Pemilihan obat harus didasarkan karakteristik

obat yang spesifik (efek samping). Penurunan tekanan darah harus terkontrol untuk

menghindari hipoperfusi organ dan iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa dipakai

adalah labetalol, esmolol, nitroglicerin, sodium nitroprusside, clevidipine, trimetaphan, dan

pentholamine (JNC 8, 2013).

28

GANGGUAN TIDUR

Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan

kulaitas tidur yang kurang. Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur selama

masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami kesukaran

tidur dan 17% diantaranya mengalami maslah serius. Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur

adalah salah satu gejala dari ganggaun lainnya, baik mental atau fisik. Walaupun gangguan

tidur yang spesifik terlihat secara klinis berdiri sendiri, sejumlah factor psikiatrik dan atau

fisik yangterkait memberikan kontribusi pada kejadiannya. Secara umum adalah lebih baik

membuat diagnosis gangguan tidur yang spesifik bersamaan dengan diagnosis lain yang

relevan untuk menjelaskan secara adekuat psikopatologi dan atau patofisiologinya (Sadock,

2003).

Kaplan dan Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut

menderita gangguan tidur. Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan

psikiatri, ketergantungan obat dan alkohol. Menurut data internasional of sleep disorder,

prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-

74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%),

psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%),

sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal

kerja (2-5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%),

narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%). Klasifikasi dan penatalaksanaan gangguan

tidur masih terus berkembang seiring dengan penelitian yang ada (Sadock, 2003).

Macam-macam gangguan tidur

I. INSOMNIA

Insomnia merupakan ketidakmampuan sefcara relative pada seseorang untuk

dapat tidur atau mempertahankan tidur baik pada saat ingin tidur.

Penyebab insomnia beragam, bisa merupakan suatu gejala yang memiliki

berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik, dan pemakaian

obat-obatan.

Gejala-gejala pada insomnia :

29

- sulit untuk tidur

- tidak ada masalah untuk tidur namun mengalami kesulitan untuk tetap tidur

- Bangun terlalu awal

- Gejala yang dialami waktu siang hari adalah engantuk, resak, sulit

berkonsentrasi, sulit mengingat dan gampang tersinggung.

II. HIPERSOMNIA

Hipersomnia terdapat pada 5% populasi dewasa. Hipersomnia merupakan tidur

yang berlebihan atau terjadi serangan tidur ataupun perlambatan waktu bangun.

III. NARKOLEPSI

Narkolepsi ditandai dengan bertambahnya waktu tidur yang berhubungan dengan

keingin tidur yang tidak dapat ditahan sebagai salah satu gejala, atau kombinasi

antara gejala seperti cataplexy, sleep paralysis, atau hypnagogic hallucinations.

IV. PARASOMNIA

Merupakan kelompok heterogen yang terdiri dari kejadian-kejadian episode yang

berlangsung pada malam hari pada saat tidur atau pada waktu antara bangun dan

tidur. Penyebab utama parasomnia adalah peminum alkohol, kurang tidur, dan

adanya stress psikososial. Gejala khasnya berupa penurunan kesadaran, dan

diikuti aurosal dan amnesia episode tersebut (Sadock, 2003).

Klasifikasi gangguan tidur non organic menurut PPDGJ III :

F51.0 Insomnia Non-organik

F51.1 Hipersomnia Non-organik

F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-jaga Non-organik

F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)

F51.4 Teror Tidur

F51.5 Mimpi Buruk

F51.8 Gangguan Tidur Non-organik Lainnya

F51.9 Gangguan Tidur Non-organik YTT

F51.0 Insomnia Non-Organik

30

Hal-hal yang diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:

Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yg

buruk

Terjadi min 3 kali dalam seminggu selama min satu bulan

Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yg berlebihan terhadap akibatnya pada

malam hari dan sepanjang siang hari

Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang

cukup berat dan mempengaruhi fungsi sosial dan pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau obsesi tidak menyebabkan

diagnosis insomnia diabaikan

Kriteria lama tidur tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena

luasnya variasi individu

F51.1 Hipersomnia Non Organik

Gambaran klinik untuk diagnosis pasti:

Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur, dan atau transisi

yang memanjang dari saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya

Gangguan tidur terjadi setiap hari selama > 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu lebih

pendek, menyebabkan penderitaan yg cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial

dan pekerjaan

Tidak ada gejala tambahan atau bukti klinik untuk sleep apnoe

Tidak ada kondisi neurologis atau medis yg menunjukkan gejala rasa kantuk pada siang hari

Bila hipersomnia merupakan gejala dari gangguan afektif, maka diagnosis harus

sesuai gangguan yang mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus

ditambahkan bila merupakan keluhan yg dominan dari penderita gangguan jiwa

lainnya.

F51.2 Gangguan Jadwal Tidur-Jaga Non Organik

Gambaran klinik:

31

Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur-jaga yang normal bagi

masyarakat setempat

Insomnia pada waktu orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang

dialami hampir setiap hari min 1 bulan atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek

Ketidak puasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan penderitaan yang

berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Adanya gangguan jiwa lain, misal anxietas, depresi, hipomania, tidak menutup

kemungkinan diagnosis gangguan jadwal tidur-jaga non-organik, yang penting

adanya dominasi gambaran klinik gangguan ini pada penderita.

F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)

Gambaran klinik:

Gejala utama: satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada sepertiga awal

tidur malam, dan terus berjalan-jalan, (kesadaran berubah)

Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong, relatif tak memberikan respon

terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan/untuk komunikasi dengan

penderita, dan hanya dapat dibangunkan/disadarkan dari tidurnya dengan susah payah

Pada watu sadar/bangun, individu tidak ingat apa yang terjadi

Dalam kurun waktu beberapa menit, tidak ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat

dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi dalam waktu singkat

Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik

Somnambulisme harus dibedakan dari serangan Epilepsi psikomotor dan Fugue

Disosiatif

F51.4 Teror Tidur (Night Terrors)

Gambaran klinik:

Gejala utama: 1 atau lebih episode bangun dari tidur, mulai berteriak karena panik, disertai

anxietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan hiperaktivitas otonomik

Episode ini dapat berulang, setiap episode lamanya 1-10 menit, dan biasanya terjadi pada

sepertiga awal tidur malam

32

Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk mempengaruhi teror

tidur, dan kemudian dalam beberapa menitsetelah bangunbiasanya terjadi disorientasi dan

gerakan-gerakan berulang

Ingatan terhadap kejadian, kalaupun ada, sangat minimal

Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik

Teror tidur harus dibedakan dengan mimpi buruk, yang biasanya terjadi setiap saat

dalam tidur, mudah dibangunkan, dan teringat dengan jelas kejadiannya

Teror tidur dan Somnambulisme sangat berhubungan erat, keduanya mempunyai

karakteristik klinik dan patofisiologi yang sama

F51.5 Mimpi Buruk (Nightmare)

Gambaran klinik:

Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang menakutkan yang

dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas, biasanya perihal ancaman kelangsungan hidup,

keamanan, atau harga diri; terbangunnya dapat terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi

yg khas adalah pada paruh kedua masa tidur

Setelah terbangun dari mimpi yg menakutkan, individu segera sadar penuh dan mampu

mengenali lingkungannya

Pengalaman mimpi itu, dan akibat dari tidur yang terganggu, menyebabkan penderitaan

cukup berat bagi individu

Sangat penting membedakan mimpi buruk dari teror tidur, dengan memperhatikan

gambaran klinis yg khas untuk masing-masing gangguan

`

Gangguan tidur menurut DSM IV :

I. Gangguan Tidur Primer

I.1 Dissomnia

I.1.a Insomnia Primer

I.1.b Hipersomnia Primer

I.1.c Narkolepsi

I.1.d Gangguan Tidur berhubungan dengan pernafasan

33

I.1.e Gangguan tidur irama sirkadian

I.1.f Dissomnia yang tidak ditentukan

I.2 Parasomnia

I.2.a Gangguan mimpi buruk

I.2.b Gangguan terror tidur

I.2.c Gangguan tidur berjalan

I.2.d Parasomnia yang tidak ditentukan

II. Gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan mental lain

II.1 Insomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II

II.2 Hipersomnia berhubungan dengan gangguan aksis I atau aksis II

A. PENATALAKSANAAN

1. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:

▪ Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat

▪ Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik

▪ Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat

hipnotik,alkohol, gangguan mental

▪ Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek

2. Konseling dan Psikoterapi

Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti

(depressi, obsessi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat

membantu mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita

tanpa penggunaan obat hipnotik.

3. Sleep hygiene terdiri dari:

▪ Tidur dan bangunlah secara reguler/kebiasaan

▪ Hindari tidur pada siang hari/sambilan

▪ Jangan mengkonsumsi kafein pada malam hari

34

▪ Jangan menggunakan obat-obat stimulan seperti decongestan

▪ Lakukan latihan/olahraga yang ringan sebelum tidur

▪ Hindari makan pada saat mau tidur, tapi jangan tidur dengan perut kosong

▪ Segera bangun dari tempat bila tidak dapat tidur (15-30 menit)

▪ Hindari rasa cemas atau frustasi

▪ Buat suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan enak

4. Pendekatan farmakologi

Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal,

juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang

mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular

activating system (ARAS) diotak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang

menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti depres.

Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari

proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari

berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila

pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat.

Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis

gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan

pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya

perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun

obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat

dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari. Dengan

pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema

gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati

pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan

terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang

memuaskan.

Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi dari

problem gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya danharus

berhati-hati pada pemakain obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan

35

menyebabkan terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa

penyelesaian yang memuaskan.

Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi

penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan.

Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short

action) dengan membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat

mengembalikan pola tidur yang normal.

Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan tidak lebih

dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat dilakukan

evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang

sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara

perlahan-lahan untuk menghindarkan terapi withdrawal (PPDGJ, 1993).

DAFTAR PUSTAKA

36

Budiawan. 2008. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan dan

Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensik Sciences. Jakarta:

35-9.

Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal 836.

Guyton, Arthur C., John E. Hall, alih bahasa: Irawati dkk., editor bahasa Indonesia: Luqman

Yanuar Rachman, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran ed. 11, Jakarta: EGC

Kamanyire, R., Karalliedde, L. 2004. Organophosphate Toxicity and Occupational Exposure.

Occupational medicine. 54: 69-75

Katz, K.D., Sakamoto, K.M., Pinsky, M.R. 2011. Organophosphate Toxicity. Available on:

http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview. Diakses pada tanggal 1

Agustus 2013.

Kemenkes RI, 2013, Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Primer ed 1, Jakarta: Kemenkes RI 236-243.

Klaassen, C.D. 2008. Casarett And Doull’s Toxicology The Basic Science of Poisons,

Seventh Edition. New York : McGraw Hill.

Klein, G.M., Rama B.R., Neal E.F., Lewis S.N., dan Brenna M.F. 2008. Disaster

Preparedness : Emergency To Response Organophosphorus Poisoning. New York : King

Pharmaceuticals, Inc.

JNC 7, 2003, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure diunduh tanggal 10 Desember 2014

JNC 8, 2013, The Eighth Joint National Committee on Prevention Detection Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure diunduh tanggal 10 Desember 2014.

37

PPDGJ III. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III :

cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Sadock BJ, Sadock VA. 2003. Synopsis of Psychiatry. 9th edition. Philadelphia: Lippincott

Williams and Wilkins

Tina, E., Metka, F. 2011. Organophosphorous Pesticides-Mechanisms of Their Toxicity.

Available on: http://www.intwchopen.com/books/pesticides-the-impacts-of-

pesticides-exposure/organophosphorous-pesticides-mechanisms-of-their-toxicity.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2013.