ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK CERPEN “BULAN TERBINGKAI JENDELA” KARYA INDRA TRANGGONO (KAJIAN...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK CERPEN “BULAN TERBINGKAI JENDELA” KARYA INDRA TRANGGONO (KAJIAN...
ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK CERPEN “BULAN
TERBINGKAI JENDELA” KARYA INDRA TRANGGONO
UJIAN SEMESTER GASAL
MATA KULIAH SOSIOLOGI SASTRA
NAMA : ERIN CAHYANING
NIM : 12210141031
KELAS : SASINDO A
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam esainya yang berjudul “The Epistemology of
Sociology”, Goldmann (1981 dalam Faruk, 1999:17) mengemukakan
dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama,
bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara
imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan
pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh,
objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Goldmann
(dalam Faruk, 1999:19) juga menyatakan bahwa karya sastra
adalah konsep struktur yang memiliki arti. Karena memiliki
struktur, karya sastra harus koheren atau cenderung koheren.
Karena memiliki arti, karya sastra berkaitan dengan usaha
manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan
sosial yang nyata.
Goldmann (dalam Faruk, 1999:12) mempercayai bahwa struktur
karya sastra merupakan produk dari proses sejarah yang terus
berlangsung, proses strukturasi dan destrukturisasi yang hidup
dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang
bersangkutan. Hal inilah yang membuat Goldmann mencetuskan
teori strukturalisme genetik. Teorinya ini lantas didukung
dengan kategori-kategori yang terdiri atas fakta kemanusiaan,
subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan
penjelasan. Goldmann (197 dalam Faruk, 1999:16) juga
mengatakan bahwa dalam strukturalisme gentik, terdapat
kategori pandangan dunia. Sebagai suatu kesadaran kolektif,
pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi
sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek
kolektif yang memilikinya.
Karya sastra yang besar berbicara tentang alam semesta dan
hukum-hukumnya serta persoalan-persoalan yang tumbuh darinya
(Goldmann, 1977 dalam Faruk, 1999:15). Berdasarkan pendapat
yang telah diuraikan di atas, cerpen berjudul “Bulan
Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono ini dapat
diklasifikasikan ke dalam jenis karya sastra besar. Cerpen
yang menjadi salah satu cerpen terbaik Kompas tahun 2005
tersebut, mengangkat masalah politik, sosial, budaya, dan
ekonomi yang berkembang di era Orde Lama. Cerpen ini
berhubungan dengan adanya subjek fakta kolektif atau subjek
fakta sosial (historis) dimana di era tersebut, rakyat
Indonesia sedang aktifnya melakukan gerakan revolusioner.
Pandangan atau ideologi individual muncul untuk membahas
dilema kaum borjuis dan kaum proletar yang dilakukan melalui
kesenian. Berdasarkan keselarasan tersebut, saya mengangkat
strukturalisme genetik bermetode hermeneutika sebagai upaya
pendekatan dalam mengkaji cerpen ini. Terdapat hal menarik
lainnya yang saya lihat dari pandangan dunia yang tertuang
dalam cerpen “Bulan Terbingkai Jendela”. Patut untuk
diketahui, sejauh mana gambarannya. Di samping itu, faktor
sosial budaya dan latar belakang (genetika) apakah yang
membuat pengarang menciptakan cerpen ini. Hal ini perlu
diketahui karena bagaimanapun pengarang pasti punya landasan
kuat dan argumen dalam kapasitasnya sebagai salah satu
individu kolektif yang merasakan ketimpangan dalam kelas
sosial di era itu. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah struktur karya dalam cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono?
2. Bagaimanakah pandangan dunia yang terdapat pada cerpen
“Bulan Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono?
3. Dalam konteks struktur sosial yang bagaimana, struktur
karya dan pandangan dunia itu dimungkinkan?
C. Tujuan Kajian
1. Mengkaji struktur karya dalam cerpen “Bulan Terbingkai
Jendela” karya Indra Tranggono.
2. Mengkaji pandangan dunia yang terdapat pada cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono.
3. Mengkaji struktur sosial dimana struktur karya dan
pandangan dunia tersebut dimungkinkan yang terdapat dalam
cerpen “Bulan Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono
II KAJIAN TEORI
A. Teori dan Metodologi Pendekatan Strukturalisme Genetik
Menurut teori Goldmann, penelitian dengan menggunakan
pendekatan strukturalisme genetik, memandang karya sastra dari
dua sudut, yaitu intrinsik dan ekstrinsik (Faruk, 1999:13).
Karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh
jika keseluruhan kehidupan masyarakat yang telah melahirkan
teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur
masyarakat, mengakibatkan penelitian menjadi pincang.
Berdasarkan hal-hal di atas, Goldmann memberikan rumusan
penelitian strukturalisme genetik ke dalam tiga hal, yakni:
(1) penelitian terhadap karya sastera seharusnya dilihat
sebagai suatu kesatuan; (2) karya sastera yang diteliti
seharusnya karya sastera yang bernilai sastera, yaitu karya
sastera yang mengandung tegangan (tension) antara keragaman
dalam kesatuan dan keseluruhan (a coherent whole); dan (3)
dianalisis dengan latar belakang sosial.
Secara definitif, Goldmann (1977:25) menjelaskan
pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui hubungan
dialektis, kolektifitas tertentu dengan lingkungan sosial dan
fisik, dan terjadi dalam periode bersejarah yang panjang.
Pandangan dunia dipermasalahkan dalam berbagai disiplin, dan
dengan sendirinya dengan definisi yang berbeda-beda. Pandangan
dunia sebagaimana dimaksudkan dalam karya satra, khusunya
menurut visi strukturalisme genetik yang berfungsi untuk
menunjukkan kecenderungan kolektifitas tertentu.
Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji
kebenarannya, struktural genetik masih perlu ditampung oleh
teori-teori ilmu sosial dan pandangan dunia yang lain. Salah
satunya adalah dengan memperkaya pendekatan struktural-genetik
dengan teori psikologi Piaget Goldmann.
Teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik
adalah model dialektik yang melingkar. Model ini mengutamakan
makna koheren (saling berhubungan). Menurut Goldmann (1970
dalam Faruk, 1999:21), teknik pelaksanaan metode dialektik
yang melingkar berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti
membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat
probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan
pengecekan terhadap model tersebut dengan membandingkannya
dengan keseluruhan dengan cara menentukan hal sebagai berikut
1. Sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan
dalam hipotesis yang menyeluruh
2. Daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang
tidak diperlengkapi dengan model semula
3. Frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang
diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu
Setelah menelaah karya sastra dari ketiga langkah ini, maka
akan didapati benang merah yaitu makna totalitas. Makna
totalitas, merupakan sebuah harapan maksud yang ingin
disampaikan oleh pengarang.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian yang telah saya lakukan,
makalah dengan judul Analisis Strukturalisme Genetik Dalam Cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” Karya Indra Tranggono belum pernah dikaji oleh
pihak manapun dalam bentuk apapun. Sehingga karya ini
merupakan pengkajian sosiologi sastra yang pertama terhadap
salah satu cerpen terbaik kompas tahun 2005 ini.
III PEMBAHASAN
A. Struktur Karya Cerpen “Bulan Terbingkai Jendela” Karya
Indra Tranggono
Berdasarkan teori Lukacs yang diadaptasi oleh Goldmann
(dalam Faruk,1999:19), cerpen berjudul “Bulan Terbingkai
Jendela” karya Indra Tranggono termasuk dalam jenis cerpen
bentuk idealism anstrak. Menurut Lukacs (1978 dalam Faruk,
1999:18), hal tersebut dikarenakan tokoh di dalam cerpen ini
masih ingin bersatu dengan dunia dan mengandung unsur
idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu tentang
dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran yang
sempit, idealismenya menjadi abstrak.
Sebelum membahas struktur karya, akan dijelaskan terlebih
dahulu unsur intrinsik yang terkandung di dalam cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” ini. Unsur intrinsik yang akan dipaparkan
adalah tokoh, sudut pandang, latar, alur, dan tema. Sudut
pandang yang digunakan dalam cerpen “Bulan Terbingkai Jendela”
ini menggunakan tokoh dia an serba tahu. Sang narator
bertindak melalui tokoh Asih. Asih selaku tokoh protagonis,
adalah isteri dari sang hero, Gangsar. Tokoh lainnya yang ikut
andil dalam cerpen ini adalah tokoh protagonis yang bernama
Hardo, seorang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat yang merokok,
seorang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat yang sedang memakai
topi hitam, Wikan, dan para tetangga. Tokoh antagonis dalam
cerpen ini adalah tentara, para kapitalis birokrat, laki-laki
yang menangkap para anggota Lekra.
Latar waktu yang terjadi dalam cerpen ini adalah sekitar
tahun 1960-an. Tepatnya setelah merebaknya kasus partai
komunis di Indonesia yang dilarang pemerintah dan pembersihan
terhadap anggotanya. Desa dijadikan sebagai latar tempat yang
paling banyak mengandung peristiwa. Latar suasana atau keadaan
saat itu masih mencekam dan penuh kewaspadaan. Hal ini
dikarenakan banyaknya organisasi berbasis revolusi yang tumbuh
di lingkungan masyarakat, termasuk Lekra. Pemerintah juga
khawatir terhadap partai yang mungkin setubuh dengan
komunisme, sehingga dilakukan pemulihan keadaan politik.
Alur yang digunakan adalah alur mundur. Diawali dengan
peristiwa meninggalnya Sum, sahabat sekaligus musuh Asih pada
waktu mereka muda dahulu. Disusul dengan pengungkapan
peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an, dimana ia menjadi
pemain sandiwara di Lekra, lalu menikah dengan Gangsar. Hingga
pada akhirnya diceritakan bagaimana Gangsar mati tertembak
saat menghadang militer yang hendak masuk ke desa dan
menangkap para anggota Lekra. Tema dalam cerpen ini adalah
ideologi terhadap kelas sosial. Di dalam cerpen ini jelas
digambarkan mengenai ideologi yang diperjuangkan oleh masing-
masing anggota kelas tersebut, antara kaum priyayi dan kaum
borjuis.
Menurut Goldmann (dalam Faruk, 1999:17) struktur karya
mempunyai konsep struktur yang tematik. Yang menjadi pusat
perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh
dengan obyek yang ada di sekitarnya. Konsep struktur dalam
strukturalisme-genetik dekat dengan struktur Levi Strauss yang
melihat pada oposisi biner atau berpasangan, dan kemungkinan
adanya satuan yang tak termasuk dalam oposisi.
Hal pertama yang menjadi perhatian adalah keterlibatan
sastra dengan unsur politik yang terkandung di dalam cepen
berjudul “Bulan Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono.
Secara garis besar, keduanya memang sama-sama memiliki tujuan
dalam mendapatkan perhatian rakyat. Akan tetapi, keduanya
memiliki pandangan berbeda dalam menjalankan kuasanya. Di satu
sisi, pertunjukan sandiwara, sebagai komponen sastra, yang
diselenggarakan oleh kelompok Lekra dimaksudkan untuk membuat
rakyat semangat dengan menanamkan paham revolusi kepada mereka
secara tidak langsung. Melalui sandiwara pimpinan Gangsar,
paham tersebut digembar-gemborkan untuk membuat para petani
dan kaum buruh di desa semakin berani dan gagah menatap mata
para tuan tanah yang hendak merampas tanahnya dan para juragan
yang memeras tenaganya.
Hal di atas disimbolkan melalui latihan pementasan sandiwara
dengan lakon Ki Ageng Mangir. Sosok pahlawan yang bernyali
melawan Senopati yang digdaya dan adidaya, tetapi sewenang-
wenang. Pada dasarnya, sastra dalam cerpen ini tidak hanya
sebagai hiburan semata. Akan tetapi, juga sebagai perantara
pihak kaum priyayi dalam membujuk kaum buruh secara halus
untuk tidak menyerahkan diri terhadap kesewenang-wenangan kaum
borjuis. Sastra Lekra dianggap membahayakan seiring dengan
berkibarnya bendera partai komunis waktu itu.
Penangkapan dan bahkan pembunuhan terhadap personil Lekra
oleh pihak militer dan para kaum kapitalis birokrat merupakan
salah satu agenda untuk mempertahankan kestabilan politik. Di
dalam cerpen ini, politiklah yang memegang kendali organisasi.
Melalui sastra, mereka menyebarkan semangat perubahan, tetapi
politik memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk memungkinkan
pemertahanan eksistensi yang selama ini ada- kaum borjuis
sebagai tuan atas kaum proletar.
Lekra pimpinan Gangsar yang berada di desa lebih memudahkan
mereka dalam mengkomunikasikan pesan revolusioner mereka
kepada kaum proletar melalui pertunjukan sandiwara. Secara
tersirat, Gangsar menyatakan bahwa kaum proletar, seperti kaum
buruh dan tani, masih bergantung pada tuan tanah selaku
pemilik modal. Hal ini dikarenakan kaum proletar sebagai
masyarakat biasa yang tinggal desa, kurang berpendidikan dan
lebih mengutamakan kebiasaan bertahan hidup. Desa menjadi
tempat yang efektif bagi Lekra karena di sana tinggal puluhan
bahkan ratusan penduduk yang mayoritas merupakan kaum proletar
tertindas.
Hal kedua yang dijadikan sorotan adalah antara manusia dan
obyeknya. Salah satunya adalah hubungan antara Gangsar dengan
partainya, Lekra. Lembaga Kebudayaan Rakyat dianggap oleh
Gangsar telah menjadi wadah dan perantara baginya dan anggota
partai, para seniman Lekra, untuk memberikan semangat
revolusioner bagi kaum kelas bawah. Pentingnya peran Lekra
membuat Gangsar benar-benar selektif dalam memilih peran yang
akan ditampilkan dalam sandiwara dan kualitas para pemerannya.
Begitupula ketika para tentara dan jajaran birokrat mulai
beroperasi di Jakarta, Gangsar melindungi Lekra dengan
membekukan kegiatan untuk sementara. Ia menjadi lebih sering
rapat untuk membahas cara tepat mempertahankan Lekra. Meskipun
akhirnya ia memilih menentang pemerintah dan ikut tewas dalam
mempertahankan Lekra. Lekra memiliki dua fungsi, yaitu sebagai
fasilitator kesenian dan wadah revolusi.
Sedikit berbeda dari Gangsar, teman-teman Gangsar, yaitu
tokoh lelaki yang merokok dan lelaki yang memakai topi hitam
masih cenderung ragu. Keduanya masih meragukan keefektifan
Lekra, sebagai partai mereka, dalam mencapai tujuan
revolusioner. Pandangan skeptis tentang kemampuan partai untuk
menyemangati kaum buruh atau kaum tertindas menguat setelah
mereka mengusulkan rencana melarikan diri sebagai taktik
menghadapi pembasmian yang digencarkan pihak tentara dan para
birokrat. Akan tetapi, segenap pemain LEKRA menunjukkan
loyalitas mereka dengan menghadang para tentara dan birokrat
yang telah memasuki desa.
Di pihak lainnya, jajaran pemerintahan seperti tentara dan
para birokrat memandang Lembaga kebudayaan Rakyat sebagai
musuh. Melalui kesenian yang ditampilkan dalam LEKRA,
pemerintah merasa khawatir akan adanya bibit-bibit komunis
yang mungkin lahir untuk meracuni pikiran rakyat. Komunisme
disini diungkapkan secara tersirat melalui bendera dengan
lambang alat kerja para petani. Ketidaksukaan mereka terhadap
embel-embel Lekra ditunjukkan melalui penangkapan bahkan
pembunuhan segenap pihak yang dianggap “Lekra”. Pihak yang
ditangkap adalah tokoh Asih dan Wikan, sementara yang menjadi
korban pembunuhannya adalah Gangsar beserta teman-teman
partainya yang lain. Kata “Lekra” yang digunakan oleh pihak
tentara dan birokrat dalam menginterogasi target, menjadi
semacam pernyataan tersirat untuk mengatakan bahwa mereka
adalah aktivis berbahaya. Lekra bahkan berhasil dimanfaatkan
oleh pihak lawan untuk menguak informasi tentangnya. Hal ini
dibuktikan melalui penerimaan tokoh Sum oleh pihak pemerintah
selepas ia berkhianat terhadap Lekra.
Hal ketiga yang dapat dilihat adalah permasalahan sosial
antara kaum pergerakan atau aktivis dengan kaum birokrat atau
jajaran pemerintah. Di dalam cerpen ini, tokoh Gangsar selaku
aktivis Lekra, tekun menggeluti dunia kesenian sebagai media
pergerakannya. Sekalipun sosok Gangsar tumbuh sebagai seorang
keturunan priyayi yang dihormati dan terpandang di desanya, ia
tetap memilih membela hak masyarakat kelas bawah. Selain
alasan pribadi, terdapat faktor lain yang mempengaruhi. Didih
persaingan politik antarparpol waktu itu membuat orang begitu
suka dengan mulut berbusa. Kalimat-kalimat gagah disertai
tatapan mata yang berkilat-kilat hampir dimiliki setiap anak
muda dari berbagai organisasi yang menjadi underbouw parpol.
Mereka bersaing untuk menjadi yang utama untuk menentukan
“hari depan bangsa”. Aktivis cenderung merupakan kaum priyayi
atau kaum priyayi yang mencoba melepaskan belenggu marxis
dalam kehidupan. Akan tetapi, sebagai manusia, para aktivis
tidak selamanya loyal. Terbukti dengan tokoh Sum yang beralih
haluan membela pemerintah dan keluar dari Lekra. Hal ini
dipicu oleh kecemburuannya terhadap Asih yang dinikahi oleh
Gangsar. Poin ini menegaskan bahwa politik lebih membuka
peluang terhadap pihak musuh untuk bergabung asal satu visi
misi.
Jajaran pemerintah, yaitu tokoh tentara dan para birokrat
yang mengemban tugas membasmi aktivis berbahaya. Mereka tak
segan melakukan pembunuhan terhadap siapa saja yang
membangkang. Kehidupan mereka yang dinilai borjuis, memang
tidak memiliki peran untuk membangkitkan semangat kaum
proletar. Dalam kewajibannya itu, para jajaran birokrasi
bahkan sering menangkap masyarakat sipil. Salah satunya adalah
penangkapan terhadap tokoh Asih dan Wikan, para aktor
sandiwara. Mereka menginterogasi paksa keduanya dan memasukkan
mereka ke penjara untuk sementara.
Hal keempat adalah aspek kemanusiaan yang berhubungan dengan
relasi antar tokoh dalam cerpen “Bulan Terbingkai Jendela”
karya Indra Tranggono. Pertama adalah relasi dari tokoh
Gangsar dan tokoh Asri. Tokoh Asri berasal dari kaum kelas
bawah, berhati lembut, dan cantik. Tokoh Gangsar bersifat
tegas, penuh semangat menggebu, dan beridealisme kuat. Wujud
fisik Gangsar gagah dan tampan. Idealisme Gangsar yang kuat
ditunjukkan melalui keputusannya untuk menikahi Asri yang
bukan merupakan golongan priyayi. Paham keselarasan kelas
sosialnya benar-benar diamalkan dalam kehidupan Gangsar.
Ketika melamar Asri, Gangsar yang terkenal garang dan tegas
itu berubah menjadi sosok yang lembut. Bahkan kelembutan itu
bertahan di kehidupan rumah tangganya. Akan tetapi, Gangsar
masih tetap profesional. Hal ini ditunjukkan melalui kritiknya
pada Asih jika aktingnya tidak sesuai dengan lakon yang
dimainkan. Profesionalitas dan ideologi Gangsar yang kuat ikut
mendukung pergerakannya.
Hubungan antara tokoh Gangsar dan teman-temannya sangat
akrab dan santai. Sekalipun penampilan akting tokoh Hardo
dikritik oleh Gangsar dengan cukup pedas, ia masih
menanggapinya dengan santai. Akan tetapi, pemikiran Gangsar
tidak sepaham dengan pemikiran teman-temannya, seperti tokoh
lelaki merokok dan lelaki bertopi hitam. Gangsar dengan paham
subyektifnya, sangat optimis terhadap efektivitas kerja mereka
selama di Lekra. Ia meyakini bahwa rakyat telah berpihak pada
jalan revolusioner mereka. Berbeda dengan paham si tokoh
bertopi hitam yang mewakili segenap anggota Lekra. Ia
mengatakan mungkin selama ini mereka hanya menganggap bahwa
diri mereka penting. Padahal sebenarnya rakyat tidak terlalu
ambil pusing dengan pesan yang coba disampaikan lewat
sandiwara-sandiwara yang ditampilkan di Lekra. Gangsar memang
demokratis, tetapi ia menyanggah pendapat teman-temannya jika
tak sesuai pemikirannya. Loyalitas kedua pihak ini menguat
setelah mereka menahan hingga titik darah penghabisan gempuran
tentara dan para birokrat yang hendak masuk ke desa.
Sekalipun tokoh Gangsar pintar dalam menghasut jalan pikiran
orang menuju ke arah revolusi, tapi nyatanya ia tak mampu
mempertahankan Sum. Sum sebagai salah satu pemain Lekra yang
dibakar cemburu, melarikan begitu saja dari Lekra. Sum
menganggap Gangsar sebagai belahan hati yang terenggut
darinya. Sementara Gangsar hanya menganggap hubungannya dengan
Sum hanya sebatas teman atau hubungan dalam profesionalitas
kerja antara artis dan sutradara. Dilihat dari permasalahan
ini, jelas hubungan keduanya tak terlalu erat. Di satu sisi,
Sum ingin dianggap penting dan bermakna bagi Gangsar.
Sementara di sisi lain, Gangsar menganggap Sum tak terlalu
berperan penting terhadap dirinya dan Lekra. Hal ini
dibuktikan melalui respon Gangsar yang tak ambil pusing dengan
minggatnya Sum secara tiba-tiba. Hubungan ini mengindikasikan
adanya kesenjangan hubungan sosial dalam suatu organisasi yang
pasti terjadi.
Hubungan Gangsar dengan para kaum borjuis atau kaum
kapitalis jelas sangat bertentangan. Gangsar mengutuk
kesewenang-wenangan mereka terhadap kaum kelas bawah yang
sangat merugikan. Melalui sandiwaranya yang tegas penuh amarah
pergolakan inilah, Gangsar selalu mengangkat sandiwara dengan
tokoh borjuis yang pada akhirnya kalah. Hal ini semacam
sindiran, celaan kepada kaum borjuis. Ketidaksukaannya kepada
kaum borjuis ini berdampak pada sandiwaranya yang tidak
mengangkat sesuatu yang terkesan lembek. Nada suara Gangsar
penuh amarah menggebu ketika menyebutkan kata “kapitalis”,
“borjuis”, “juragan” kepada teman-temannya. Naluri
kepriyayian-nya malah mengarahkannya pada pembelaan terhadap
rakyat. Bukan mengokohkan kekuasaannya seperti yang lain. Kaum
kapitalis inilah yang khawatir terhadap priyayi terpandang
macam Gangsar yang mereka nilai dapat membahayakan posisi
mereka dalam masyarakat. Sehingga, jika dianalogikan, Gangsar
menyebarkan pencerahan ke kaum kelas bawah sementara kaum
kapitalis menekan dan membasminya.
Membahas masalah Sum dengan teman-teman seperjuangannya
dengan Lekra. Amarah Sum tak mampu ditahannya lagi lantaran
kecemburuanbya pada Asih yang dinikahi Gangsar. Teman-teman
seperjuangannya sebenarnya masih peduli dengan Sum. Mereka
mencari-cari Sum, tapi tetap tidak ditemukan. Jika ditilik
secara langsung, sebenarnya dua pihak ini saling bekerjasama
dengan baik. Komunikasi yang terjalin baik antar partner juga
ditunjukkan dengan status sahabat nya dengan Asih sebelum
konflik terjadi. Akan tetapi, ego Sum jauh lebih besar dari
kekariban mereka selama mentas di Lekra. Sum lebih memilih
lari dari kenyataan dengan berpihak pada kaum birokrat yang
selama ini diperanginya. Ia menuju pada pihak yang mau
menerima dan menghargai jasanya serta membalas rasa sakit
hatinya. Sum lah yang membocorkan rahasia Lekra pimpinan
Gangsar tersebut kepada pihak pemerintah.
B. Pandangan Dunia Terhadap Struktur Cerita
Goldmann (dalam Faruk,1999:15) mengatakan bahwa pandangan
dunia merupakan kesadaran yang tiap orang tidak musti dapat
memahaminya. Hubungan antara struktur masyarakat dengan
struktur karya sastra itu tidak dipahami sebagai hubungan
determinasi yang langsung, melainkan dimediasi oleh pandangan
dunia atau ideologi.
Salah satu pandangan dunia yang terdapat dalam cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” karya Indra Tranggono ini adalah adanya
aspek kemanusiaan bahwa setiap warga negara memiliki Hak
Asasai Manusia untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan
dalam masyarakat, bebas mengutarakan pikiran dan perasaan, hak
menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan,
dan hak untuk hidup. Akan tetapi di sisi lain, dengan
berlatarbelakangkan latar waktu cerpen, terdapat ideology
pemerintah untuk mempertahankan kestabilan politik dengan
melarang kegiatan komunisme. Hal ini dibuktikan dengan
turunnya Surat Perintah Sebelas Maret pada tanggal 12 Maret
1966. Surat yang menjadi legitimasi bagi Soeharto untuk
mendapatkan kuasa tak terbatas demi memulihkan keadaan. Salah
satu inisiasi tindakan yang diambil adalah membubarkan PKI
yang kemudian juga merembet ke berbagai ormas yang dianggap
mempunyai afiliasi dengan PKI, termasuk Lekra.
Hal ini juga sesuai dengan TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun
1966, tentang pelarangan komunisme, leninisme, dan pembubaran
organisasi PKI beserta organisasi massanya. Sebelumnya dalam
sejarah tahun 1960-an, PKI mengadakan konferensi nasional
Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. Hal ini
dimaksudkan untuk menandingi KPPI dan membuktikan bahwa ranah
seni dan sastra juga dikuasai PKI. Salah satu mantan anggota
Lekra pada waktu itu adalah Putu Oka Sukanta. Kekontrasan
pendapat muncul dari pemerintah yang mengklaim bahwa Lekra
adalah salah satu didikan partai PKI. Sedangkan Putu Oka,
mengatakan bahwa Lekra dan PKI secara organisasi terpisah,
tapi mempunyai tujuan yang sama.
Pandangan lainnya yang tercermin dalam cerpen “Bulan
Terbingkai Jendela” adalah hakikat manusia dalam dimensi
pedagogis. Hakikat mereka sebagai pendidik, motivator, maupun
fasilitator tidak hanya memberikan pendidikan semata melalui
berbagai cara, tetapi juga merencanakan masa depan
masyarakatnya. Akan tetapi, di sisi lain, manusia juga
memiliki hak untuk bersikap dalam merespon pendidikan atau
ajaran yang diberikan. Seperti yang tertuang dalam UU No.9
Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum. Berdasarkan pasal 5 terdapat hak manusia untuk bebas
mengeluarkan pikiran dan mendapat perlidungan hukum. Akan
tetapi, kebebasan manusia tersebut juga dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1998
Pasal 29 tentang pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap
orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan
oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan
penghargaan terhadap hak serta kebebasanorang lain, dan untuk
memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban,
serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
Sosok Indra Tranggono adalah seorang pengamat kebudayaan
dan sastrawan yang menghasilkan banyak karya, tidak hanya
dalam bentuk cerpen, tetapi juga dalam bentuk naskah drama.
Sastrawan yang pernah menjabat sebagai pengurus Taman Luhur
Tamansiswa ini, menulis karyanya dengan tema yang cenderung ke
arah sosial, politik, dan budaya. Contoh karyanya adalah
naskah teater berjudul “Monumen”, “Sapu Tangan Fang Yin”,
naskah monoplay “Negaraku Sedang Demam”. Ia juga penulis
naskah teater Monoplay dan Musikal yang berisi tentang
diskriminasi dan percintaan. Kumpulan cerpennya yang berjudul
“Iblis Ngambek” dan “Sang Terdakwa” juga pernah diterbitkan
secara berurutan pada tahun 2004 dan 1998. Cerpen tersebut
mencerminkan pandangan dunia tentang eksistensi kaum borjuis
di atas kaum proletar yang masih terjadi di lingkungan
sosialnya, dimana si kaya adalah tuan dari si miskin. Cerpen
ini mencerminkan ideologi Indra Tranggono sebagai sosok
pemerhati kebudayaan yang menyuarakan aspirasinya atau
penilaiannya melalui sastra.
C. Struktur Sosial Cerpen “Bulan terbingkai Jendela” Karya
Indra Tranggono
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra
dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Keadaan
yang terjadi di dalam cerpen membuat cerpen ini menjadi suatu
penguakan sejarah, kisah sejarah yang nyata. Cerpen-cerpen
keluaran tahun 2005 memang lebih banyak menyuarakan aspirasi
rakyat. Kehidupan sosial pengarang dalam kondisi stabil. Di
salah satu sisinya ia menyatakan menolak terhadap kenyataan
yang ada dan di sisi lain dia ingin menyatakan pemikirannya
terhadap buruknya sistem kapitalisme secara langsung melalui
pernyataan yang muncul dalam dialog cerpen.
Sesuai dengan nama tokoh yang disebutkan dalam cerpen
seperti Asih, Sum, bisa dinyatakan kalau mereka merupakan
masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa cenderung menganut budaya
fatalisme atau nrima. Endraswara (2003:214) secara umum
menyatakan bahwa nrima adalah menerima segala sesuatu yang
diciptakan oleh Tuhan, sekedar menjalani hidup sebagai
kenyataan yang harus dijalani dengan rasa tanggung jawab dan
kesungguhan. Sikap hidup nrima ini dapat juga berarti sikap
puas dengan nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa
terima kasih.
Mengenai sikap nrima tersebut, secara tersirat dapat
diketahui melalui kesadaran anggota partai Lekra, seperti pada
tokoh lelaki bertopi hitam dan lelaki yang merokok. Keduanya
mengakui keraguan mereka terhadap respon dari masyarakat.
Sementara sang pimpinan, Gangsar, menganggap bahwa partai
mereka itu telah memberikan masukan positif untuk
membangkitkan semangat masyarakat. Perbedaan kedua pihak itu
jelas menunjukkan bahwa masyarakat masih cenderung menganut
paham fatalisme.
Pada era 60-an yang menjadi latar waktu dalam cerpen,
terdapat penekanan para anggota Lekra yang dominan merupakan
kaum kelas menengah, seperti priyayi terhadap kaum kapitalis.
Mereka menyebut diri mereka sebagai pekerja seni dan budaya
kerakyatan. Berdasarkan dokumen Taring Padi, partai yang
sealiran dengan Lekra, (1999 dalam penelitian berjudul Sejarah
Pergerakan Seni Radikal Di Dalam Transisi Kekuasaan Indonesia oleh Angie
Bexley) disebutkan bahwa salah satu fokus partai adalah terus-
menerus melakukan pekerjaan budaya untuk memurnikan kesadaran
palsu dan budaya sisa-sisa feodalisme, imperialisme,
militerisme- fasisme, kapitalisme.
Selain itupula tercermin kondisi sosial dimana terdapat
ketidakpuasan rakyat terhadap pengkondisian kelas sosial atas
kaum kapitalis yang mendominasi kaum proletar. Sehingga,
menciptakan kesenjangan sosial. Partai komunis menekan
perkembangan kehidupan material masyarakat modern. Bung Karno
pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Bolehkah Serikat
Sekerdja Berpolitik? pada tahun 1933 di koran Fikiran Ra’jat. Pada
intinya beliau mengatakan bahwa antara kerja dan modal memang
tidak dapat dipisahkan sampai kapanpun. Bahwa pergerakan
sekerja harus melawan tiap stelsel kapitalisme, menghilangkan
tiap stelsel kapitalisme, mengejar stelsel produksi yang sama
rata sama rasa.
IV KESIMPULAN
Cerpen berjudul “Bulan Terbingkai Jendela” karya Indra
Tranggono ini merupakan pandangan dunia kaum borjuis kecil,
priyayi, yang melakukan penolakan terhadap sistem kelas sosial
yang merebak di masyarakat. Sistem kaum kapitalis yang
dianggap terlalu berkuasa atas kaum proletar, membuat kaum
borjuis kecil melakukan penekanan terhadap kehidupan
matrealistik masyarakat kapitalis modern. Penolakan ini
dilakukan dengan penanaman pemahaman oleh kaum borjuis kecil
kepada kaum buruh atau proletar melalui perantara kebudayaan
atau kesenian.
DAFTAR PUSTAKA
Bexley, Angie. 2000. Sejarah Pergerakan Seni Radikal Di Dalam
Transisi
Kekuasaan Indonesia.
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang:
Cakrawala.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Tahun
1998, Buku 2.
Tranggono, Indra. 2005. Bulan Terbingkai Jendela. Kompas.
LAMPIRAN
Bulan Terbingkai JendelaIndra Tranggono
Perempuan itu membuka gorden jendela. Angin malam menyisirrambutnya yang memerak dibakar usia, menerpa kerut-merut wajahyang dipahat waktu. Bertiup dari perbukitan yang jauh, anginitu seperti pengembara abadi yang setia mengunjunginya malam-malam begini. Itu memang kurang baik bagi dirinya yang seringbatuk-batuk. Tapi ia toh nekat. Ia percaya, sehelai syal yangmelilit di lehernya mampu melindunginya dari terpaan anginmalam. Kemesraan yang menyakiti? Ah, tidak juga. Bertahun-tahun ia menjadi sahabat angin, toh aman-aman saja. Kalausedikit batuk, itu tak lebih dari ongkos yang harus ia bayarbuat mengagumi ketegaran dan kesetiaan angin yang tetap saja
bertiup, entah sampai kapan. Hanya air yang selalu mengalir,pikirnya, yang mampu menandingi kesetiaan angin. Juga ombak,yang tak pernah jera memukul-mukul pantai dan karang. Betapamelelahkan. Tapi, cinta tak pernah mengenal lelah dan sia-sia,pikirnya.
Bulan perak sebesar semangka itu masih bertengger di langit.Ia diam tak bergerak, seperti terjebak dalam bingkai jendelakamar perempuan itu. Dari dalam kamarnya, perempuan itumenatap bulan lekat-lekat, seolah menghisap seluruh cahayanya.Suatu kebiasaan yang membuat hatinya tergetar. Kini, bulan itumenari-nari di manik matanya. Menjelma wajah seorang lelakiyang sangat dirindukannya: suaminya, yang jantungnya meledakoleh timah panas pada sebuah zaman yang begitu gelap, begitukalap, di mana setiap kekuatan dan semangat menjelma menjadiapi yang membakar ratusan ribu jiwa hingga tinggal rangka.Memandang bulan itu, ia merasakan ada getaran kerinduan yangmengaliri rongga jiwanya. Kerinduan yang terasa pahit, tapitetap saja diharapkan hadir memeluknya.
Tapi getaran itu terasa aneh malam itu, tak seperti hari-harisebelumnya. Perempuan itu menunduk, menimbang-nimang perasaandengan bimbang. Ia baru saja ditelpon tetangganya yangmengabarkan, Bu Sum meninggal malam ini. Jenazah akandimakamkan besok jam 14. Berita itu sontak menghidupkan mimpiburuk dalam lipatan-lipatan ingatannya.Nama Sum begitu melekat di hatinya. Bahkan lebih dari sekadarsahabat. Sahabat? Mendadak ia mempertimbangkan sebutan itu.Sum, yang ia kenal sejak remaja, semula memang teman karibnya.Di balik bintik-bintik jerawat puber pertama dan rambut ekorkuda, ia dan Sum mereguk keceriaan. Mereka menjadi pujaan parajejaka yang masih memelihara jambul pada potongan rambutnyayang lengket dengan minyak rambut dengan aroma menyengat sertadengan celana komprang dari dril.
Salah satu perjaka yang menarik hati mereka adalah Gangsar. Iadatang dari keluarga terpandang: ayahnya priayi dan orangpergerakan. Wajahnya ganteng, tatapan matanya tajammenghunjam, senyumnya indah mengembang, tubuhnya tinggi besardengan dada bidang. Gangsar juga dikenal pemuda yang penuhsemangat. Matanya bersinar ketika ia berdebat bersama kawan-kawannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Didih persainganpolitik antarparpol waktu itu membuat orang begitu suka dengan
mulut berbusa. Kalimat-kalimat gagah disertai tatapan matayang berkilat-kilat hampir dimiliki setiap anak muda dariberbagai organisasi yang menjadi underbouw parpol. Merekabersaing untuk menjadi yang utama buat menentukan “hari depanbangsa”.
Gangsar percaya bahwa lewat kesenian ia mampu ikut mengangkatorang-orang kalah yang tenggelam di lautan lumpur. Setidaknyamampu mengubah tatapan mata mereka yang redup menjadi tatapanmata yang bersinar. Drama-drama yang dipentaskan adalah drama-drama yang penuh kepalan tinju, penuh tanda seru dan saratteriakan seperti dalam pamflet atau spanduk. Ia menolaksandiwara yang mendayu-dayu, yang baginya tak lebih dari canduyang hanya membikin mental jadi lembek dan layu. Begitulahkelompok sandiwara Gangsar berdetak-berderap seiring dengankelebat bendera merah darah dengan lambang alat produksi kaumtani dan buruh.
“Asih, kamu mesti tahu, Pembayun itu anak Panembahan Senopatiyang dijadikan rantai emas untuk menundukkan Ki Ageng Mangir.Tapi, caramu ngomong mirip orang penyakitan. Tidak ada tenaga.Tidak ada gereget. Ia harus hadir sebagai perempuan yangcerdas, memikat…. Paham?” Gangsar meradang pada latihansandiwara yang lakonnya diadaptasi dari cerita ketoprak KiAgeng Mangir.
“Begitu juga kamu, Hardo. Kamu harus tahu. Yang kamu perankanitu Mangir Wanabaya, tokoh besar, pahlawan wong cilik. Dia itugagah dan sangat berani melawan Senopati yang digdaya, adidayatapi sewenang-wenang. Kenapa caramu memerankan tak lebih dariorang berdarah tikus!” sergah Gangsar.
Hardo dan Asih terpukul. Dada mereka sesak.
“Maaf kawan Gangsar. Saya ini bukan pemain ketoprak, tapipemain sandiwara…. Saya kira lakon ini kurang tepat. Bagaimanakalau lakonnya kita ganti saja…,” Hardo memompa nyalinya.
“Diganti? Diganti dengan lakon-lakon borjuis itu? Kita inipejuang, kawan. Bukan hanya seniman. Apa kata kawan-kawanpartai nanti kalau drama kita lembek? Karena itu aku angkatMangir. Dia itu simbol perlawanan…! Baik, sekarang diulangsekali lagi…. Eh Asih, kalau kamu masih main seperti orangloyo, aku ganti! Paham?”
Perempuan itu tersenyum, mengenang peristiwa lapuk yangmengendap di benak lebih dari 30 tahun lalu. Asih, yang waktuitu masih remaja, hanya bisa menangis. Kata-kata Gangsar lebihdari sekadar kasar. Tapi, kini, ia merasa geli ditikamkenangan yang begitu mengesankan. Ia pun tak menyangka,Gangsar yang sangat garang itu ternyata begitu lembut. Jugaketika ia mengungkapkan cintanya kepada Asih yang tidakmenolaknya, karena memang suka. Bahkan ketika Gangsarmelamarnya.
Asih tidak tahu, Sum mendadak menghilang dari desa sejak iamenikah dengan Gangsar. Ada yang bilang Sum patah hati karenadiam-diam ia juga mencintai Gangsar. Ia tak menduga pernikahanitu menjelma sembilu yang memutuskan tali persahabatan denganSum. Asih mengenang semua itu dengan dada sesak. Anak pertamalahir, anak kedua lahir, namun kenangan pahit itu tetap sajamenggores.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hari itu Gangsarmemutuskan menghentikan kegiatan kelompok sandiwaranya untuksementara. Gangsar lebih banyak rapat dengan orang-orangLekra, seperti juga malam itu. Rapat itu berlangsung sangattegang. Kepala-kepala mereka seperti mengepulkan asapkecemasan. Sambil menyeduh kopi di dapur, Asih lamat-lamatmendengar ucapan galau suaminya.
“Gawat. Tentara dan kapitalis-kapitalis birokrat itu sudahmenguasai Jakarta! Lambat atau cepat, mereka pasti merangsekkemari. Untuk sementara, kita bekukan kegiatan kita, sampaikeadaan normal kembali!” ujar Gangsar gusar.
Empat atau lima orang saling memandang. Tak putus-putusnyamereka menghisap rokok. Ruangan seperti diselimuti kabut.Puntung-putung rokok menggunung di asbak.
“Terus apa yang bisa kita lakukan, kawan Gangsar. Bagaimanakalau kita lari atau…?” ujar seseorang sambil menyulutrokoknya. Menghisap dalam-dalam lalu menghembuskan asap kuat-kuat.
“Lari? Sejak kapan partai mendidik kita jadi pengecut?” sergahGangsar dengan mata yang berkilat-kilat.
“Bukan itu maksud saya, kawan. Itu hanya taktik saja. Kita tohtak ingin mati konyol….”
“Mati konyol? Kamu pikir kita ini tidak memperjuangkan apa-apa?! Tiap detik kita hanya memikirkan rakyat. Jiwa kita,rakyat. Darah kita, rakyat. Nafas kita, rakyat! Waktu 24 jambagi kita tidak cukup untuk memikirkan rakyat, kawan….”Gangsar kembali meradang, dengan tekanan suara yang berat danpelan.
Ruangan senyap. Detak jam dinding terdengar sangat keras,seiring dengan detak cepat jantung mereka. Gangsar mencobamemompa keberanian kawan-kawannya.
“Usaha kita makin menunjukkan hasilnya, kawan. Lewat seni,partai kita berhasil bikin kawan-kawan tani dan buruh di desaini punya tatapan mata bertenaga dan punya sinar. Luar biasa,mata mereka tidak lagi loyo, kosong, tapi bersinar. Merekamakin berani dan gagah menatap mata para tuan tanah yanghendak merampas tanahnya. Begitu juga kawan-kawan kita kaumburuh. Mereka makin punya nyali menghadapi para juragan yangmemeras tenaganya.”
“Tapi apa benar mereka berpihak pada jalan revolusioner kita,kawan?” seseorang bertopi hitam mencoba menyela.
“Jelas! Kita dan mereka sudah satu nafas!” ujar Gangsar.
“Aku sendiri diam-diam tak begitu yakin. Eee… maksud saya,mungkin selama ini hanya kita saja yang menganggap perjuangankita ini penting….”
“Kamu telah dirasuki setan-setan borjuis, kawan. Cabutomonganmu!”
Asih berdiri mematung di kamar. Ia menangkap getar kecemasansuaminya di balik gelora semangatnya. Tanpa sadar, jantungnyapun berdetak cepat. Kamarnya yang cukup besar mendadakmenyempit. Malam yang dingin, terasa sangat panas. Asihmembuka jendela, pelan-pelan. Ketika gorden disibak, iamenatap bulan perak sebesar semangka diam tak bergerak, seolahterjebak dalam bingkai jendela.
Sejak peristiwa malam itu, keadaan makin tak menentu. Malam-yang bisanya bergairah karena suara gamelan dan gelegak anak-anak muda yang sarat kalimat mengkilat-sekadar menjelmakegelapan. Serangga malam berpesta pora suara. Waktu terasamembeku. Angin mati. Ke mana para pemuda itu? Ke mana Gangsar?
Lamunan Asih pecah berkeping ketika pintu rumahnya diketukorang. Dengan perasaan galau, ia membuka daun pintu. Dalamtempias cahaya lampu, ia melihat wajah seorang laki-laki.
“Mbakyu, tentara-tentara telah memasuki desa kita. Apa puncaranya, Mbakyu harus lari…,” ujar laki-laki itu.
“Di mana Mas Gangsar?”
Laki-laki itu tertunduk.
“Di mana suamiku?”
Laki-laki itu membisu.
“Kamu tahu di mana dia?!”
Angin mati. Waktu membeku.
“Kawan Gangsar tertembak malam tadi. Bersama kawan-kawanpartai ia mencoba menghadang pasukan dari kota….” ujar laki-laki itu lirih. Hampir tak terdengar.
Asih terpaku kaku. Ia seperti ada di alam yang aneh, asing.Semua gelap. Sangat gelap. Tubuhnya seperti melayang dalamgelap.
Dengan sisa-sisa kekuatan, ia mencoba beranjak ke kamar.Mencoba membangunkan dua anaknya yang masih tertidur. Namunmendadak pintu rumahnya didobrak. Orang-orang yang tidak diakenal masuk dan merangsek ke kamarnya. Asih digelandang,diiringi pekik tangis dua anaknya. Dengan mata terbebat kain,ia didorong masuk jeep. Dalam kegelapan mata, ia tak tahumobil itu bergerak ke mana. Ia hanya merasakan mobil itumelaju begitu cepat.
“Turun!” suara orang mendorong Asih dari jok jeep. Iaberjalan. Kakinya dirasakan menjamah lantai yang dingin.Dengan kasar, seseorang membuka kain yang membebat matanya. Ia
digelandang masuk ke dalam. Di koridor bangunan kuno itu, iaberpapasan dengan seorang perempuan. Ia minta berhenti,Otaknya bekerja keras mengingat.
“Sum? Kamu di sini?” ujar Asih pelan.
Perempuan yang dipanggil Sum itu tak menanggapi. Ia cepatberlalu dengan senyum yang dirasakan mengejek. Dua orang laki-laki kembali menggelandang Asih menuju ke suatu ruangan.
“Kamu Lekra kan!!! Ngaku saja!!!” bentak salah seorang darimereka.
“Saya pemain sandiwara!” jawab Asih.
Benturan pintu besi terdengar sangat keras. Jantung Asihberdetak cepat. Ia masih tertegun, tidak menduga akan bertemudengan Sum di rumah tahanan itu. Kenapa dia ada di sini? SiapaSum? Ia mulai menebak-nebak. Tapi rasa penasaran itu tak jadimekar ketika ia ingat dua anaknya. Gema tangis mereka memenuhirongga dadanya. Dadanya pun makin terasa sesak, jantungnyaterasa diremas ketika ia ingat suaminya.
Pintu sel dibuka. Seorang wanita didorong masuk. Asih kaget,perempuan itu ternyata Wikan, kawannya saat main sandiwara.Mereka berpelukan. Mata mereka basah. Namun, tak ada kata yangterucap. Yang terdengar hanya tarikan nafas mereka. KetikaAsih mampu menguasai perasaan, ia pun berucap pelan, “Kamutadi melihat Sum di sini?”
Mata Wikan terbelalak, “Dia ada di sini?”
Asih mengangguk.
“Jadi benar kabar itu. Sum telah lama bekerja sama denganmereka yang menangkap kita…,” ujar Wikan pelan.
Asih terdiam. Ditatapnya dinding sel. Dingin, beku dan angkuh.Ia terpaku di jeruji besi, dibekap perasaan yang campur aduk.Tangannya masih gemetar memegang kisi-kisi sel.
Bulan perak sebesar semangka masih terjebak di bingkai jendelakamar Asih, perempuan paruh baya itu. Tangan Asih masihmemegang kisi-kisi jendela. Ditatapnya bulan itu lekat-lekat.
Ia seperti menjumpai suaminya yang terbang di antara gumpalanawan.
Ia kembali teringat kabar yang baru saja diterimanya bahwa “BuSum telah meninggal dunia”. Wajah Sum hadir kembali. Juga saatia berpapasan dengan Asih di ruang menuju kamar tahanan lebihdari 30 tahun lalu. Ia menarik nafas dalam-dalam. Dalambeberapa saat, ia berbenah. Ia raih baju hangat, kemudiankeluar kamar. Ia bergegas menuju rumah Bu Sum, yang terletakdi ujung jalan desa. Kedatangan Asih membuat tercengang parapelayat. Asih menyalami mereka, menyalami suami, anak-anak BuSum. Menyalami handai tolan Bu Sum.
Di depan peti jenazah yang terbuka, ia menatap lekat-lekatwajah Sum yang bulat, seperti bulan sebesar semangka yangterjebak di bingkai jendela kamarnya. Wajah itu terasa damai.Seperti tersenyum kepada Asih. Asih pun membalas senyuman itu.Tangan Bu Sum terasa diulurkan kepadanya. Asih menggenggamnyaerat-erat. Seusai berdoa, ia merasakan kehangatan mengalir dirongga dada. Ia merasakan matanya basah.