Sosiolinguistik vera

34
KONTAK BAHASA Pengertian Kontak Bahasa Kontak bahasa menurut Thomason (2001:1) adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa. Sebagai contoh, ketika dua kelompok wisatawan saling meminjamkan alat masak selama dua atau tiga jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling berkomunikasi satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam kategori kontak bahasa. Faktor Penyebab Kontak Bahasa Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kontak bahasa. Faktor-faktor tersebut menurut Thomason (2001:17-21) seperti di bawah ini. a. Pertemuan dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tak berpenghuni Dalam kasus ini, kedua kelompok bukan merupakan kelompok pribumi sehingga satu sama lain tidak menjajah atau merambah wilayah masing-masing. Antartika, sebagai tempat dimana tidak ada populasi manusia yang menetap disana, merupakan

Transcript of Sosiolinguistik vera

KONTAK BAHASA

Pengertian Kontak Bahasa

Kontak bahasa menurut Thomason (2001:1) adalah peristiwa

penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu

yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur

untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau

multibahasawan, namun terjadinya komunikasi antara penutur

dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai

peristiwa kontak bahasa. Sebagai contoh, ketika dua kelompok

wisatawan saling meminjamkan alat masak selama dua atau tiga

jam, mereka pasti akan berusaha untuk saling berkomunikasi

satu sama lain. Peristiwa komunikasi ini, meskipun mungkin

dalam bentuk yang sangat sederhana, sudah masuk dalam

kategori kontak bahasa.Faktor Penyebab Kontak Bahasa

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kontak

bahasa. Faktor-faktor tersebut menurut Thomason (2001:17-21)

seperti di bawah ini.

a.      Pertemuan dua kelompok yang berpindah ke daerah yang tak

berpenghuni

  Dalam kasus ini, kedua kelompok bukan merupakan kelompok

pribumi sehingga satu sama lain tidak menjajah atau merambah

wilayah masing-masing. Antartika, sebagai tempat dimana

tidak ada populasi manusia yang menetap disana, merupakan

contoh kontak bahasa. Para ilmuwan dari berbagai belahan

dunia saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan selama

mereka berada disana.

b.      Perpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain

Peristiwa perpindahan dapat terjadi secara damai maupun

berperang, misalnya perpindahan kelompok tertentu  untuk

menaklukan dan menguasai wilayah dari penghuni aslinya.

Sebagai contoh, pada awalnya masyarakat Indian menerima

kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun sebaliknya.

Namun, bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk memiliki

tanah Amerika, sehingga ketika jumlah mereka yang datang

sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukan terhadap

warga pribumi. Tidak semua kontak bahasa terjadi melalui

proses saling bermusuhan tetapi dapat terjadi melalui

perdagangan, penyebaran misi agama, dan perkawinan campuran

warga pribumi dan bangsa Eropa.

Kasus lain terjadinya kontak bahasa yang disebabkan oleh

perpindahan ini adalah adanya gelombang imigran dimana para

imigran pendatang baru mengambil alih wilayah dari imigran

sebelumnya, seperti yang terjadi di New Zealand. Hal yang

sama mengenai peristiwa ini juga terjadi di Amerika Utara,

dimana para penutur bahasa Spanyol menggusur penduduk

pribumi di wilayah California dan barat daya, kemudian para

penutur bahasa Inggris berimigrasi dan mengambil alih tanah

dan kekuasaan dari para penutur bahasa Spanyol di bagian

wilayah yang sekarang disebut sebagai United States.

c.      Adanya praktik pertukaran buruh secara paksa

Kontak bahasa pada beberapa perkebunan di daerah Pasifik

berawal ketika para buruh yang dibawa berasal dari berbagai

pulau Pasifik yang berbeda. Banyaknya orang Asia Selatan di

Afrika Selatan pada awalnya berasal dari pertukaran buruh

pada industri tebu sekitar abad XIX.  Cara berbeda untuk

memulai adanya kontak adalah dengan datang ke tempat yang

belum dimiliki sebelumnya, yaitu datang bersama-sama dengan

tujuan khusus ke wilayah yang netral, seperti yang dilakukan

oleh misi Yesuit di St. Ignatius, Montana. Selain itu, pada

masa eksplorasi, banyak kota yang bermunculan di daerah

pantai sepanjang rute perdagangan Eropa. Di kota-kota ini,

penduduk pribumi berkumpul untuk bertemu dan melakukan

perdagangan dengan para pedagang Eropa. Di pesisir Cina

misalnya, orang-orang Eropa hanya diijinkan untuk mendarat

di dua lokasi, yaitu Canton dan Macau. Mereka dilarang untuk

menjelajah di selain kedua lokasi tersebut.

d.      Adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga

lama

  Faktor kontak bahasa yang satu ini, menjelaskan pada

kita bahwa kita tidak mencari mengenai asal usul adanya

kontak, karena hal itu pasti terjadi dahulu kala ketika

kelompok-kelompok menjadi tetangga. Kontak bahasa merupakan

salah satu hasil dari penggabungan tahunan (untuk tujuan

pertahanan) pada sejumlah suku –suku pegunungan di barat

laut United States ketika mereka berpindah ke lembah untuk

berburu kerbau. Kontak bahasa juga terjadi sebagai hasil

dari perkawinan campuran antara suku Aborigin Australia yang

mempraktikkan eksogami. Lebih jauh lagi, ini juga bisa

terjadi sebagai hasil dari perdagangan yang dilakukan antar

kelompok-kelompok tetangga.

e.      Adanya pendidikan atau biasa disebut ‘kontak belajar’

Bahasa Inggris yang sudah tersebar di seluruh penjuru

dunia menjadikan bahasa ini sebagai bahasa pengantar atau

lingua franca. Bahasa ini banyak digunakan sebagai bahasa

pengantar dalam berbagai disiplin ilmu seperti

telekomunikasi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.

Contoh lain dari kontak belajar adalah bahasa Jerman baku di

Swiss, dimana penutur bahasa Jerman berdialek Swiss harus

belajar bahasa Jerman baku di sekolah. Hal yang sama juga

terjadi pada orang muslim di seluruh dunia yang harus

mempelajari bahasa Arab klasik untuk tujuan keagamaan,

meskipun mereka mungkin tak akan pernah bertemu dengan

penutur bahasa Arab dialek modern.Referensi:

Sarah G.Thomason. (2001). Language contact. Edinburg: Edinburg

University Press Ltd.

PENGERTIAN BILINGUALISM/KEDWIBAHASAAN

http://mutiaraarif.wordpress.com/2009/03/31/pengertian-bilingualismkedwibahasaan/

A. Arti Kedwibahasaan

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasaIndonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secaraharfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud denganbilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasaatau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum,bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa olehseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secarabergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).

Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harusmenguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri ataubahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasalain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).

Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yangbilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan).Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebutbilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut jugakedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segalajabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasaIndonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaandigunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalampergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

B. Definisi Kedwibahasaan

Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalahkebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang

kedwibahasaan oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakarkedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:

1. Robert Lado (1964-214)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengansama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacupada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.

2. MacKey (1956:155)

Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasaatau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or morelanguages by the same individual). Perluasan pendapat inidikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat darisegi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gayayang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitumendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Hartman dan Stork (1972:27)

Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penuturatau masyarakat ujaran.

4. Bloomfield (1958:56)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasayang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaansebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau nativelike control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengankelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlahsulit diukur.

5. Haugen (1968:10)

Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebihumum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasasecara bergantian baik secara produktif maupun reseftif olehseorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaandengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup

mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding withoutspeaking.

6. Oksaar

Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namunharus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkanadanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgiamenetapkan bahasa Belanda dan Perencis sebagai bahasa negara,Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di MontrealKanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantianoleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagaimasyarakat dwibahasawan murni.

Jadi dapat diambil kesimpulan dari definisi-definisi diatas bahwakedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa ataulebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawansecara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian duabahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftifoleh seorang individu atau oleh masyarakat.

C. Pembagian Kedwibahasaan

Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkantipologi kedwibahasaan, yaitu :

1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salahsatu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yanglain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 denganB2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai olehdwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.

2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkandengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalamdua bahasa.

3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)

Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saatmemakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaanini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalahsekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakatsuatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkandapat kehilangan B1-nya.

Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalamtipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:

1. Baeten Beardsmore (1985:22)

Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal(inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki olehseorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.

2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)

Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang adadidalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tigatipe yaitu:

a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)

Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapimasing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalamsituasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga darikelompok pemakainya.

b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)

Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek,baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorangpenutur.

c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)

Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secarabersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secaragenetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.

3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)

Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka iamengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:

a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) ataukedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetricalbilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individuterhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak,berbicara, membaca, dan menulis)

b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) ataukedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetricalbilingualism).

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. SosialinguistikPerkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa.

Ohoiwutun, Paul. 2004. Sosialinguistik Memahami Bahasa DalamKonteks Masyarakat dan kebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.

http://foraagustina.wordpress.com/2008/04/10/perkembangan-kognitif-anak/

http://fatchulfkip.wordpress.com/2008/10/08/kedwibahasaan/

http://anaksastra.blogspot.com/2009/03/kedwibahasaan-dan-diglosia/

http://sutimbang.blog.friendster.com/2008/10/kedwibahasaan/

KEDWIBAHASAAN

http://fatchulfkip.wordpress.com/2008/10/08/kedwibahasaan/Posted by fatchulfkip on October 8, 2008

Oleh : Fatchul Mu’in

1. KedwibahasaanIstilah kedwibahasaan, yang dalam bahasa Inggrisnya bilingualism,telah diperbincangkan oleh sejumlah ilmuwan bahasa. Mereka mengajukan pengertian atau batasan tentang kedwibahasaan itu menurut pandangan mereka masing-masing. William F. Mackey merangkum sejumlah pengertian kedwibahasaan, sebagai berikut:Pada waktu dulu, konsep kedwibahasaan dipandang sebagai the equalmastery of two languages (penguasaan yang sama terhadap dua bahasa); definisi ini masih diketemukan dalam kamus-kamus linguistik tertentu. Bloomfield memberikan konsep kedwibahasaan sebagai “the native-like control of two languages (penguasaan duabahasa yang sama antara bahasa asli dan bahasa yang lain)”. Konsep ini diperluas oleh Haugen menjadi kemampuan menghasilkan “complete meaningful utterances in the other language” (ungkapan-ungkapan yang bermakna dan sempurna dalam bahasa lain). Akan tetapi, sekarang disarankan bahwa konsep kedwibahasaan itu diperluas lagi dengan memasukkan “passive knowledge” (pengetahuanpasif) bahasa tulis atau setiap “ contact with possible models ina second language and the ability to use these in the environmentof the native language” (kontak dengan model model-model dalam bahasa kedua dan kemampuan menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa asli). Perluasan konsep kedwibahasaan ini, menurut Mackey, karena kenyataan bahwa titik tolak seseorang penutur bahasa kedua menjadi dwibahasawan bersifat arbriter dan tidak mungkin ditentukan. Lebih dari itu, kita harus memasukkan tidak hanya dua bahasa, akan tetapi sejumlah bahasa. Oleh karena itu, kita akan memandang kedwibahasaan sebagai “the alternate useof two or more languages by the same individual” (penggunaan dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh individu yang sama) (Fishman, ed., 1972:555).Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akanmelihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield

dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu(asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiapbahasa itu.Bila kita beranjak dari gagasan Bloomfield tentang kedwibahasaan,lebih jauh kita dapat ikuti penjelasannya dalam bukunya yang berjudul Language yang di dalamnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut:In the extreme case of foreign-language learning the speaker becomes so proficient as to be indistinguishable from the native speaker around him. This happens occassionally in adult shifs of language and frequently in the childhood shift ….. In this cases where this perfect foreign-language learning is not accompanied by loss of the native-language, it results in bilingualism, native-like control of two languages (Bloomfield, 1935:56).

Dengan demikian, menurut Bloomfield, belajar bahasa asing yang sempurna tanpa diikuti oleh hilangnya bahasa asli akan terjadi ‘native-like control of two languages’. Namun demikian, penggunaan dua bahasa atau lebih akan melibatkan latar kontal sosial budaya. Pada hakikatnya, kontak bahasa adalah salah satu aspek dari kontak kebudayaan, sedangkan pengacauan kaidah, alih kode maupun campur kode (yang akan dibahas kemudian) merupakan segi dari difusi dan akulturasi budaya. Lebih lanjut, dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut.

In a great majority of contact between groups speaking different mother tongues, the groups constitute, at the same time, distinctethnic or cultural communities. Such contact entails biculturalism (participation in two cultures) as well as bilingualism, diffusion of cultural traits as well as of linguistic elements (1968:5 dan 89).

Beranjak dari gagasan Weinriech di atas, dapat dikatakan bahwa bagaimanapun sempurnanya penguasaan bahasa asing (lain) oleh seseorang, bila dua bahasa atau lebih berkontak, yaki: bahasa-bahasa itu digunakan oleh orang yang sama secara bergantian, makaunsur-unsur bahasa asing (lain) dapat saja muncul dalam

tuturannya.Kemunculan unsur-unsur dari bahasa asing (lain) dalam tuturan pemakai bahasa yang memiliki pengetahuan atau penguasaan lebih dari satu bahasa itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Istiati Soetomo (1985:2) sebagai berikut.Jika seorang dwibahasawan akan menyampaikan suatu pesan lewat bahasa kepada pendengarnya, ada dua faktor yang menghambat perjalanan pesan itu sebelum ia dapat diujarkan oleh penuturnya. Pertama adalah faktor dari kaidah beberapa bahasa yang dikenalnya, tentunya berbeda satu dari yang lainnya. Mampukah diamembedakan dan memilah-milahkan setiap kaidah itu, sehingga ketika dia menggunakan salah satu bahasa, kaidah bahasa lain tidak mengganggu? Jika dia tidak mampu, maka sementara dia menggunakan salah satu bahasa yang dikenalnya, bahasa lain dapat saja muncul dalam tuturannya. Terjadilah apa yang disebut interferensi, alih kode/campur kode. Sebaliknya, bila dia dapat memisah-misahkan kaidah bahasa-bahasa yang dikenalnya, maka terjadilah tunggal-bahasa dalam tuturan si penutur tersebut. Kedua adalah faktor yang berasal dari pertimbangan komunikasi. Bahasa digunakan manusia untuk alat komunikasi dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telahdisepakati oleh masyarakat di mana dia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upayanya berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, dia tidak bebas sama sekali. Ada seperangkat peraturan berbahasa yang telah disepakati oleh masyarakat di manadia hidup dan bergaul dengan anggota-anggota lain sesuai dengan tata-nilai yang menjadi pedoman mereka. Pertimbangan komunikasi ini menentukan apakah dia akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode.Tindak berbahasa bagi orang yang memiliki kemampuan atau penguasaan terhadap dua bahasa (atau lebih) dapat memenuhi tuntutan berkenaan dengan the native-like control of two languages, akan terjadi bila kita memandang tindak berbahasa itu dari segi penggunaan bahasa tanpa mempertimbangkan faktor-faktor non-kebahasaan, seperti: peserta tutur (partisipan), topik pembicaraan, setting, suasana, maksud dan faktor-faktor sosial-budaya. Namun, dalam tindak berbahasa seseorang dalam upayanya

berinteraksi sosial dengan sesamanya, faktor-faktor non-kebahasaan seringkali mempengaruhi penggunaan bahasa-bahasa yang dikuasainya. Faktor-faktor non-kebahasaan dapat mengakibatkan apakah seseorang itu akan bertutur dengan tunggal-bahasa, melakukan interferensi, atau alih-kode/campur kode, sebagaimana disarankan oleh Istiati Soetomo di atas.Kemudian pengertian ‘the native-like cotrol of two languages’ dipandang sebagai satu jenis kedwibahasaan. Pengertian lain tentang kedwibahasaan diberikan oleh Weinreich sebagai ‘the practice of alternately using two languages’. Dalam kaitan ini, dia memandang kedwibahasaan dalam arti yang luas, tanpa kualifikasi mengenai tingkat perbedaan antara dua bahasa, yaitu tanpa memandang apakah kedua sistem itu bahasa dengan bahasa, dialek-dialek dari bahasa yang sama, atau varitas-varitas dari dialek yang sama. Berkenaan dengan pengertian kedwibahasaan ini, Haugen menyarankan bahwa tidak perlu adanya syarat yang sama dalam pengetahuan atau penguasaan terhadap kedua bahasa itu. Untuk itu, dia menawarkan dua jenis kedwibahasaan, yakni: compound bilingualism dan coordinate bilingualism. Jenis kedwibahasaan yang pertama menyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang sama, sedangkan jenis kedwibahasaan yang keduamenyaran pada penguasaan dua bahasa dalam konteks yang berbeda.Konsep kedwibahasaan telah menjadi semakin luas. Ia tidak hanya menyaran pada penguasaan atau penggunaan dua bahasa tetapi juga pada dua bahasa atau lebih. Dengan demikian, konsep kedwibahasaanberimplikasi pada keanekabahasaan. Dalam hal ini, Mackey, sepertidinyatakan di atas, membatasi kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yang sama secara bergantian (Fishman, ed.,: 1972:555).Lebih lanjut, Mackey memandang konsep kedwibahasaan sebagai konsep yang nisbi atau relatif. Kedwibahasaan itu melibatkan ataumengandung masalah tingkat, fungsi, pertukaran, dan interferensi.Tingkatan kedwibahasaan menyaran pada masalah : seberapa baik seseorang mengetahui atau menguasai bahasa-bahasa yang digunakan,atau dengan perkataan : seberapa jauh dia menjadi dwibahasawan?. Fungsi kedwibahasaan menyaran pada masalah: untuk apa dia menggunakan bahasa-bahasa itu, peran apa yang dimainkan oleh bahasa-bahasa itu dalam pola perilakunya secara keseluruhan?. Pertukaran menyaran pada masalah: seberapa luas dia

mempertukarkan bahasa-bahasa yang dikuasainya, bagaimana dia melakukan pergantian dari dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dan dalam keadaan bagaimana dia berganti bahasa itu?. Interferensi menyaran pada masalah: bagaimana dia menjaga bahasa-bahasa itu terpisah ketika dia melakukan speech act, seberapa luas dia mencampurbaurkan semua bahasa itu, dan bagaimana salah satu bahasa dari bahasa-bahasa yang dikuasainya mempengaruhi penggunaan bahasa yang lainnya? (Fishman, ed., 1972:555-556).Kedwibahasaan bukan fenomena atau gejala bahasa; melainkan sifat atau karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kode; melainkan ciri pesan. Ia bukan bagian dari langue (totalitas dari suatu bahasa yang merupakan kombinasi dari grammar, kosa kata, dan system pengucapan); melainkan bagian dari parole (penggunaan bahasa secara nyata oleh penuturnya). Kalau bahasa merupakan milik kelompok, maka kedwibahasaan merupakan milik perseorangan. Penggunaan dua oleh seseorang mengharuskan keberadaan dua masyarakat bahasa (speech communities) yang berbeda; akan tetapi tidak mengharuskan masyarakat dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:554).Setelah kita mendapatkan gambaran tentang kedwibahasaan, kita kemukakan istilah lain yang sangat berkaitan dengan masalah kedwibahasaan. Istilah itu adalah kontak bahasa (language contact). Sebagaimana dikatakan oleh Weinriech, bahwa dua bahasa atau lebih dikatakan dalam kontak apabila digunakan secara bergantian oleh orang yang sama. Individu pemakai bahasa-bahasa itu menjadi tempat atau sumber terjadinya kontak tersebut (Weinriech, l953:1).Sehubungan dengan kontak bahasa ini, Mackey menegaskan perbedaan antara kedwibahasaan. Kedwibahasaan, seperti dinyatakan di atas, menyaran pada penggunaan dua bahasa atau lebih oleh individu yangsama; sedangkan kontak bahasa menyaran pada pengaruh suatu bahasaterhadap bahasa lainnya, baik pengaruh langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan perubahan dalam langue yang menjadi milik tetap (permanen) penutur ekabahasawan (monolingual) dan memasuki perkembangan sejarah bahasa yang digunakan oleh penutur ekabahasawan tersebut (Haugen dalam Fishman, ed., 1972:20).

2. DwibahasawanSama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan juga

mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian (1968:1).Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian, maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena, menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja. Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif (aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities (Fishman, ed., 1972:20).Bila kemampuan pasif bahasa tulis atau setiap kontak dengan bentuk-bentuk dalam bahasa kedua dimasukkan dalam konsep kedwibahasaan, maka dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda (Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau mololingual walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan. Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah, atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu. Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey, bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi, tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (stylistic) yang terlihat dalam empat ketrampilan (skill) bahasa,yaitu: menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557).Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak harus

menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga secara pasif. Seseorang yang memiliki ‘kemampuan pasif bahasa tulis’ dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman, ed.,1972:555).

3. InterferensiSebagaimana dikatakan di atas, bahwa kedwibahasaan mengandung pengertian yang relatif atau nisbi. Ia melibatkan masalah tingkatan, fungsi, pertukaran, dan interferensi. Tiga hal yang pertama (tingkatan, fungsi, dan pertukaran) menentukan terjadi atau tidaknya peristiwa interferensi bahasa tertentu dalam tuturan dwibahasawan dengan bahasa yang lain. Dengan demikian, menurut Mackey, pengertian interferensi adalah penggunaan unsur-unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis dalam bahasa lain (Fishman, ed., 1972:569).Praktek penggunaan dua bahasa oleh seseorang menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dari norma masing-masing bahasa itu. Penyimpangan semacam itu disebut interferensi. Dalam hal ini, Weinreich mengatakan:The practice of alternately using two languages will be called bilingualism, and the persons involved, bilingual. Those instances of deviation from the norms of either language either language which occur in the speech of bilinguals as a result of their familiarity with more than one language, i.e. as a result of language contact, will be referred to as interference phenomena ((1953:1).

Interferensi disebut juga dengan ‘penerapan struktur bahasa yang satu (misalnya, bahasa X) pada bahasa yang lain (misalnya, bahasaY). Atau, dapat dikatakan bahwa interferensi adalah penerapan duastruktur bahasa secara serampak pada saat bertutur dengan suatu bahasa (Haugen dalam Fishman, ed., 1978:33).Dari pengertian-pengertian tentang interferensi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa interferensi mencakup baik penggunaan unsur yang ada dalam suatu bahasa pada waktu berbicara atau menulis bahasa yang lain, maupun penerapakan dua kaidah bahasa secara serempak, yang akibatnya menimbulkan penyimpangan dari norma-norma masing-masing bahasa yang terjadi tuturan dwibahasawan.

Penerapan dua kaidah bahasa secara serempak itu terbatas pada gejala tuturan saja. Hal ini karena kaidah yang dipandang sebagaipinjaman yang telah kukuh dan pemakaiannya tidak terbatas pada kedwibahasaan, maka ia bukan lagi disebut interferensi. Dalam kaitan ini, Weinreich menjelaskan sebagai berikut:

In speech, interference is like sand carried by a stream; in language, it is sedimented sand deposited on the bottom of a lake. Two phases of interference should be distinguished. In speech, it occurs anew in the utterances of the bilingual speakeras a result of his personal knowledge of the other tongue. In language, we find interference phenomena which, having frequentlyoccurred in the speech of bilinguals, have become habitualized and established. Their use is no longer dependent on bilingualism. When a speaker of language X uses a form of foreignorigin not as an on the-spot borrowing from the language Y, but because he has heard it used by others in X-utterances, this borrowing element can be considered, from the descriptive viewpoint, to have a part of language X (1968:11).

Senada dengan Weinreich, Mackey menyatakan bahwa deskripsi tentang interferensi harus dibedakan dengan analisis tentang pinjaman bahasa. Interferensi merupakan gejala parole; sedangkan pinjaman merupakan gejala langue. Interferensi itu terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa –yang berkaitan dengan integrasi- dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekbahasawan (Fishman, ed., 1972:569). Pengertian integrasi akan dijelaskan kemudian.Dalam interferensi terdapat tiga unsur yang berperan, yaitu: (1) bahasa model atau bahasa sumber, (2) bahasa penyerap atau penerima, dan (3) unsur serapan atau importasi.Interferensi dapat terjadi karena pemindahan unsur. Unsur yang dipindahkan dari bahasa sumber ke bahasa penerima disebut serapanatau importasi. Unsur serapan atau importasi semacam ini dapat terjadi pada tingkat kata, yaitu berupa pemindahan atau pemasukankata dari bahasa sumber ke bahasa penerima, di mana fonem-fonemnya diganti dengan fonem-fonem bahasa penerima (native phonemes). Dalam hal ini importasi menyebabkan adanya loanword (Weinreich, 1968:31 dan Fishman, ed., 1972:37).

Juga, dalam interferensi terdapat penggantian unsur. Yang dimaksud dengan penggantian unsur di sini adalah unsure yang digantikan atau disalin dari bahasa sumber dalam bahasa penerima.Dalam hal ini, bahasa sumber disebut bahasa model dan bahasa penerima disebut replica. Unsur yang disalin adalah substitusi. Substitusi dari bahasa asli menyebabkan adanya loanship, yang terjadi dengan menyalin kata asli ke dalam bahasa replica disertai dengan pergesearan arti (Fishman, ed., 1978:38).Interferensi dapat saja terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti bahwa peristiwa interferensi dapat saja terjadi dalambidang-bidang: tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna.

4. IntegrasiBaik interferensi maupun integrasi merupakan gejala akibat dari kontak bahasa. Keduanya peristiwa itu sebenarnya merupakan penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi pada diri penutur bahasa. Mackey mengajukan perbedaan antara interferensi dan integrasi. Menurut dia, interferensi menyaran pada “the use of elements of one language or dialect while speaking or writing another” dan integreasi menyaran pada ”the incorporation into one language or dialect of elements from another from another” (Fishman, ed., 1972:555).Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa interferensi terjadi pada diri dwibahasawan; sedangkan pinjaman bahasa (yang sering dikaitkan dengan integrasi) dapat terjadi tidak hanya pada diri dwibahasawan tetapi juga pada diri ekabahasawan. Dengan demikian,dalam peristiwa integrasi unsur-unsur dari suatu bahasa digunakanseolah-olah menjadi bagian dari bahasa yang lain. Dalam kaitan ini, unsur-unsur dari bahasa lain itu digunakan oleh penutur ekabahasawan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang bahasa sumber atau oleh penutur dwibahasawan yang menjadikan unsur-unsurbahasa lain itu sebagai bagian dari kebiasaannya (Fishman, ed., 1972:569 dan Weinreich, 1968:11).Integrasi dapat dikatakan sebagai fenomena yang terjadi bila unsur-unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan dengan sistem bahasa penyerapnya sehingga pemakaiannya tidak lagiterasa keasingannya. Dalam hal ini, Haugen (dalam Rusyana, 1975:76) memberikan batasan integrasi sebagai “kebiasaan

menggunakan materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain”. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan: tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat ataupun tata makna.

5. KodeIstilah kode di sini dimaksudkan untuk menyebut salah satu variandalam hirakhi kebahasaan. Kode dapat menyaran pada (1) bahasa, dan (2) varian dari suatu bahasa. Bila bahasa dipandang sebagai suatu kode, kita, misalnya, akan mengetahui bahwa bahasa Banjar, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan sebagainya adalah kode-kode. Suatu bahasa memiliki sejumlah varian bahasa dan selanjutnya setiap varian bahasa juga disebut kode. Varian-varian bahasa dapat berupa (a) dialek yang terbagi lagi menjadi : dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, ras dan sebagainya, (b) tingkat tutur yang terbagi lagi menjadi : tingkattutur hormat, dan non-hormat, yang berwujud ngoko, krama madya, dan krama inggil (bahasa Jawa), (c) ragam (style) yang terbagi lagi atas dasar suasana: ragam santai (informal), resmi (formal),dan literer (indah), dan atas dasar komunikasi: ragam ringkas (restricted code), ragam lengkap (elaborated code), dan syair, serta atas dasar kekhususan: register (Poejosoedarmo, 1975). Dalam kaitan ini, Fishman menyatakan bahwa setiap varian bahasa itu dapat dikenali atau diketahui (1) pola-pola bunyinya, (2) kosa katanya, (3) ciri-ciri gramatikalnya, dan (4) maknanya (1972:5).Istilah dialek menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukanoleh latar belakang asal usul penutur. Latar belakang penutur dapat berupa (1) lingkungan geografis tempat seorang penutur hidup, (2) tingkat sosial dari mana seorang penutur berasal, (3) aliran agama, kepercayaan kebatinan atau kepartaian yang seorang penutur anut, (4) umur seorang penutur (anak-anak atau orang dewasa/tua, (5) jenis kelamin seorang penutur (laki-laki atau perempuan), dan suku/etnis seorang penutur (Negro, Indian, Tionghoa, Jawa, Madura).Berkenaan dengan dialek sebagai suatu kode, Trudgill berpendapat bahwa dalam bahasa terdapat dua dialek, yaitu dialek regional dandialek sosial. Dialek regional menyaran pada varian bahasa yang adanya ditentukan oleh daerah asal si penutur. Dalam bahasa

Banjar, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Banjar Hulu dan Kuala; dalam bahasa Jawa, misalnya, kita mengenal dialek bahasa Jawa Surabaya, Yogyakarta, Banyumas, dan lain-lain. Dialek sosialmenyaran dialek yang adanya ditentukan oleh tingkat sosial dari mana seseorang penutur berasal, apakah ia berasal dari kelas sosial tingkat, menengah, atau rendah.Lebih lanjut, Soepomo Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa tingkat tutur dipandang sebagai suatu kode. Tingkat tutur mempunyai ciri khusus sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya, dan situasi tutur yang ada. Tingkat tutur itu biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat ekabahasa, kode itu merupakan varian dari bahasanya yang satu. Akan tetapi, bagi masyarakat yang dwibahasa atau anekabahasa, inventariasai kode itu menjadi lebih luas dan mencakup varian dua bahasa atau lebih(1975:30).Berkaitan dengan tingkat tutur itu, Clifford Geertz membahasnya dalam kerangka sopan santun berbahasa atau etiket berbahasa. Dalam bahasa Jawa, kita mengenal tingkat-tingkat tutur (speech levels) yang sangat kompleks. Tingkat-tingkat tutur yang dimaksudadalah varian-varian bahasa yang perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap sopan santun yang ada pada diri pembicara atau penutur (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat-tingkat tutur itu adalah ngoko, krama madya,dan krama inggil (Geertz, 1960). Masing-masing tingkat tutur itu membawa perbedaan dalam kosa kata. Dengan perkataan lain, tingkattutur itu dapat dikatakan sebagai sistem kode penyampai rasa kesopanan yang di dalamnya terdapat unsur kosa kata tertentu, aturan sintaksis tertentu, aturan morfologi dan fonologi tertentu(Poedjosoedarmo, 1979:3-8).Bila varian bahasa ditinjau dari segi ragam bahasa, maka varian bahasa itu biasanya dikaitkan dengan tingkat formalitas. Dalam kaitan ini, Trudgill mengatakan:Formality is not, in fact, something which is easy to define withany degree of precision, largely because it subsumes very many factors including familiarity, kinship-relationship, politeness, seriousness, and so on, but most people have a good idea of the relative formality of particular linguistic varians in their own language (1974:110)

Berpijak dari pendapat Trudgill di atas, kiranya dapat dikatakan bahwa tingkat formalitas antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya akan berbeda. Sebagai contoh, ragam formal dalam bahasa Inggris ditandai oleh penggunaan bentuk pasif; sementara ragam formal dalam bahasa Jawa ditandai dengan penggunaan tingkattutur krama/krama inggil (misal, dalam rapat, pidato).Varian bahasa yang lain adalah apa yang dikenal dengan istilah tutur lengkap (elaborated code) dan tutur ringkas (restricted code). Dua istilah ini merupakan dua istilah yang pernah dipakai oleh Basil Berstein, seorang profesot sosiologi pendidikan pada Universitas London. Tutur lengkap, menurut sang professor ini, umumnya digunakan dalam situasi-situasi formal seperti debat formal atau diskusi akademik. Sedangkan tutur ringkas umumnya digunakan dalam suasana tak resmi, misalnya dalam suasana santai.Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap,sesuai dengan kaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. (Trudgill, 1974:51-52). Tutur lengkap tentu saja mengandung kalimat-kalimat yang lengkap, sesuai dengankaidah sintaksis yang ada. Ungkapan-ungkapan dinyatakan dengan jelas. Perpindahan dari kalimat yang satu ke kalimat yang lain terasa runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor non kebahasaan yang aneh-aneh. Sedangkan tutur ringkas sering mengandung kalimat-kalimat yang pendek, dan biasanya hanya dimengerti oleh peserta tutur. Orang luar kadang-kadang tak dapatmenangkap makna tutur yang ada, sebab tutur itu sangat dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor non kebahasaan yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan itu berlangsung. Bahasayang dipakai dalam suasana santai antara sahabat karib, sesama anggota keluarga, antara teman, biasanya berwujud singkat-singkatseperti itu (Poedjosoedarmo, 1974:8).Varian bahasa yang lain adalah register. Kita sering membedakan tutur karena penggunaan tutur itu secara khusus. Tutur penjual obat dan tutur ahli hukum yang sedang bekerja di kantor pengadilan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Demikianpula, tutur seseorang yang kerkecimpung dalam dunia kedokteran akan berbeda dengan tutur seseorang yang bekerja dalam bidang teknik. Dalam kaitan ini, Trudgill berpendapat:The occupational situation will produce a distinct linguistic variety. Occupational linguistic varieties of this sort have been

termed registers, and are likely to occur in any situation involving members of a particular profession or occupation. The language of law, for example, is different from the language of medicine, which in turn is different from the language of engineering- and so on. Registers are usually characterized solely by vocabulary differences; neither by the use of particular words, or by the use of words in a particular sense (1974:104).

6. Alih KodePenggunaan bahasa dalam situasi kedwi-bahasaan atau keanekabahasaan akan melibatkan persoalan siapa yang bertutur, bahasa apa yang digunakan, kepada siapa seseorang itu bertutur, kapan dan di mana tutur itu terjadi (Fishman,1972:244).Dalam situasi kedwibahasaan atau keaneka-bahasaan, sering kita melihat orang mengganti bahasa atau ragam bahasa; hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu sendiri. Kalau bahasa dipandang sebagai system kode, maka peralihan bahasayang satu ke bahasa yang lain disebut alih kode. Misalnya, seseorang penutur menggunakan bahasa Indonesia, dan kemudian beralih dengan menggunakan bahasa yang lain. Peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa yang lain itu disebut peristiwa alih kode (code-switching). Namun, seperti telah terurai di atas, dalam suatu bahasa terdapat kemungkinan varian bahasa baik dialek, tingkat tutur, ragam maupun register yang juga disebut sebagai kode maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih dialek, alih tingkat tutur, alih ragam ataupun alih register. Dalam kaitan ini, Nababan mengatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga di mana seseorang beralih dari satu ragam fungsiolek (misalnya ragam santai) ke ragam lain (misalnya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek yang lain (1984:31).Lebih lanjut, kalau kita berpijak pada bahasa Jawa atau bahasa daerah yang memiliki sejumlah tingkat tutur yang mempunyai tingkat tutur yang kompleks, alih kode ini dapat diperluas denganalih tingkat tutur. Alih kode seperti ini terjadi, misalnya, padawaktu seseorang berbicara dalam bahasa daerah yang formal dan hormat (krama), tiba-tiba penutur itu beralih ke bahasa Indonesiaragam formal, kemudian kembali ke krama lagi, lalu berganti ke ngoko, lalu ke bahasa Indonesia lagi, lalu ke krama, begitu

selanjutnya.Pengertian alih kode akan dibedakan dengan pengertian campur kode. Situasi berbahasa yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhialih kode ialah terdiri dari faktor-faktor, yakni: pribadi yang berperan dalam tindak berbahasa, yang membicarakan masalah tertentu, yang menggunakan jalur tertentu, dengan tujuan tertentupula (Nababan, 1984:31). Istiati Soetomo menegaskan bahwa tindak berbahasa itu ditentukan oleh pertimbangan komunikasi, yaitu pertimbangan yang datang dari sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian dan sistem tingkah laku (1985:26).Sedangkan pengertian campur kode, menurut Nababan, ialah suatu keadaan berbahasa di mana seseorang penutur mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian dan/atau kebiasaannya yang dituruti (1984:31). Dalam hubungan ini, Istiati Soetomo menanbahkan bahwa campur kodeitu dilakukan seseorang demi kemudahan dalam berbahasa (1985:88).

Pengertian Bilingualime/Kedwibahasaan

A. Arti Bilingualisme

Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesiadisebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapatdipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaandengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secarasosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagaipenggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya denganorang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).

Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasaikedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasapertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yangmenjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakankedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesiadisebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan duabahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut jugakedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala

jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesiadisebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih daridua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secarabergantian.

B. Definisi Kedwibahasaan (Bilingaulisme)

Telah diketahui bahwa secara harfiah kedwibahasaan adalah kebiasaanmenggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dibawah iniadalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan oleh parapakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagaiberikut:

1. Robert Lado (1964-214)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan samaatau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu padapengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.

2. MacKey (1956:155)

Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa ataulebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages bythe same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanyatingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal,leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilanberbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

3. Hartman dan Stork (1972:27)

Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur ataumasyarakat ujaran.

4. Bloomfield (1958:56)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yangsama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagaipenguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like controlof two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran danketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

5. Haugen (1968:10)

Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umummaka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secarabergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individuatau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu duabahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasasecara pasif atau understanding without speaking.

6. Oksaar

Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namunharus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkanadanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkanbahasa Belanda dan Perencis sebagai bahasa negara, Finlandia denganbahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris danPerancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga wargamontreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.

Jadi dapat diambil kesimpulan dari definisi-definisi diatas bahwakedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebiholeh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secarabergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasasecara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorangindividu atau oleh masyarakat.

http://ithasartika91.blogspot.com/2011/02/pengertian-bilingualimekedwibahasaan.html

MAKALAH

BAB IPendahuluanA.    Latar BelakangMasyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, baik karena letaknya terpencil atau sengaja apatis dengan lingkungan, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang

monolingual dan statis. Sebaliknya, masyarakat yang mampu berbaur dengan masyarakat lain dengan beraneka ragam bahasa maka masyarakat tersebut kemungkinan besar akan menjadi masyarakat yang bilingual. Dalam bahasan makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian bilingual dan hal- hal yang berhubungan dengannya, yaitu diglossia serta perbedaan bilingual dan multilingual.

B.    Tujuan Penulisan MakalahTujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahamitentang:1.    Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme.2.    Pengertian Diglossia.3.    Hubungan Antara Bilingualisme dan Diglossia.

BAB IIPembahasan

A.    Pengertian Bilingualisme dan MultilingualismeBilingualisme dalam Bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaan. Kata bilingualisme dalam Bahasa Inggris sama dengan bilingualism, secara harfiah adalah penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualisme mempunyai arti penggunaan dua bahasa dalam pergaulannya sehari- hari secara bergantian. batasan penggunaan dua bahasa itu ada beberapa pendapat. Menurut Bloomfield dikatakan orang bilingual yaitu orang yang mampu menggunakan dua bahasa, apabila dia bisa mahir dalam dua bahasa secarabersamaan. Baik dalam menggunakan bahasa ibunya (B1) atau bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2). Akan tetapi, batasan ini banyak yang tidak menyetujui, sebab tidak mungkin seseorang bisa menggunakan dua bahasa secara sempurna bersamaan. Dalam situasi yang biasa, kesempatan menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan menggunakan B2. Atau sebaliknya, seseorang akan mampu menggunakan B2 daripada B1 nya apabila dia hidup dalam lingkungan yang terlepas dari B1 nya, sehingga menjadikan dia lebih mampu menggunakan B2 daripada B1nya.Berbeda dengan ungkapan Robert Lado. Dia mengungkapkan bahwa

bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimanapun tingkatannya. Sehingga, tidakterikat dengan kata sempurna, meskipun dia tidak sempurna dalam menggunakan dua bahasa tersebut tidak masalah.Menurut Haugen, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakankedua bahasa tersebut, cukup bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari  B2 tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap B1. Selain itu, seseorang yang mempelajari B2 atau Bahasa Asing, kemampuan B2 nya akan tetap berada pada posisi bawah dari penutur asli bahasa tersebut.Seseorang yang sedang mempelajari bahasa kedua merupakan seseorang yang berada pada tahap awal, sebab dalam bilingualisme, tahap ini masih tahap sederhana dan masih ada tahap bilingualisme selanjutnya. Sehingga, bila diambil kesimpulan dari beberapa ungkapan di atas, bilingualisme merupakan suatu tahap berjenjang dalam menguasai B1 dengan baik sebab bahasa ibu sendiri ditambah menguasai sedikit B2 dilanjutkan dengan menguasai B2 dengan baik sampai menguasai B2 dengansangat baik seperti menguasai B1. Jika seorang bilingual sudah mencapai tahap ini, otomatis dia mampu menggunakan B1 dan B2 sama baiknya di mana dan kapan saja.Menguasai dua bahasa sama artinya menguasai dua sistem kode, hal ini menurut Weinrich. Jika seperti ini, maka yang dimaksud dengan bilingualisme adalah seseorang yang mampu menguasai dua bahasa dan sistem kode. Maksud dari sistem kode adalah menguasai dialek atau ragam dari bahasanya. Berarti, bilingualisme itu bukan langue melainkan parole yaitu berbagai dialek dan ragam. Sekarang, jika yang dimaksud bahasa adalah dialek, maka hampir semua warga Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat yang jumlah anggotanya sedikit dan letaknya terpencil serta di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa mereka sendiri.Menguasai B1 dengan baik dari pada B2 merupakan hal yang baik, sebab B1 merupakan bahasa ibu. Jika seseorang lebih menguasai B2 nya sebab dia dalam tahapan belajar B2, maka dia akan mengucapkan B1 dengan bahasa dan logat yang mirip dengan B2. Misalnya, orang yang sedang mempelajari B2 yaitu bahasa Inggris dan B1 nya merupakan Bahasa Indonesia, maka dia akan mengucapkan kata “saya” menjadi “syaya” sebab

dalam Bahasa Inggris, huruf “s” mengucapkannya agak tebal. Akan tetapi, pada umumnya B2 lebih sering dipengaruhi oleh B1 sebab B1 merupakan bahasa asli.Bahasa merupakan sarana komunikasi. Adanya beberapa bahasa dan dialek dalam Negara Indonesia disebabkan Indonesia merupakan Negara Bhineka Tunggal Ika, sehingga merupakan hal yang wajar bila penduduknya sebagian besar bilingual. Ada tiga macam komunikasi, yaitu komunikasi internal, internasional dan komunikasi ilmu dan teknologi.Hubungan bahasa nasional dan bahasa- bahasa daerah di Indonesia bersifat komplementer, yaitu selain menjunjung satu bahasa persatuan dan bahasa Negara juga memelihara bahasa daerah dengan baik, sebab bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan  nasional. Bilingualisme mempunyai dua tipe, yaitu bilingualitas sejajar dan majemuk. Seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa secara penuh dan seimbang disebut bilingualitas sejajar. Sedangkan, seseorang yang sedang belajar B2 setelah menguasai B1 dengan baik, dan B1 nya berpengaruh terhadap proses belajar B2 maka hal ini disebut bilingualitas majemuk. Apabila seseorang sedang mengalami bilingualitas sejajar akan tetapi B2 mempengaruhi B1 nya maka dia mengalami Interferensi atau pengacauan. Sedangkan, jika bisa menggunakan dua bahasa tersebut secara seimbang maka disebut Ambilingualisme yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan bisa menggunakannya secara seimbang. Akan tetapi, hal ini jarang ada. Umumnya orang- orang sama baik dalam dua bahasa tapi dalam lapangan kebahasaan (language domain) yang berbeda.Kemampuan berbahasa mempunyai empat sub kemampuan, yitu berbicara, menyimak atau mendengarkan, membaca, dan menulis. Seorang siswa atau guru pasti akan menonjol dalam menguasai salah satu dari empat sub kemampuan tersebut. misalnya, seorang guru ahli dalam sub kemampuan berbicara dalam Bahasa Arab, akan tetapi kemampuan menyimak atau mendengarkannya kurang baik. Jika kita menyatakan tingkat- tingkat kemampuan dalam bahasa, maka hal ini disebut profil kemampuan.Selain bilingualisme dalam bahasa juga terdapat istilah multilingualisme. Multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan keanekabahasaan, yakni penggunaan lebih dari dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Pengertian ini juga dapat dimasukkan praktek penggunaan

beberapa dialek dari bahasa yang sama, hal ini sesuai yang dituturkan oleh Weinreich.Multilingualisme ini dapat terjadi pada masyarakat yang terdiri dari beberapa etnik seperti Indonesia, India misalnya mengakui 14 bahasa dalam UUD-nya, Pilipina mempunyai 6 bahasa regional, Nigeria mempunyaitiga bahasa regional, dan lain- lain.Multilingualisme ini selain mempunyai dampak positif yakni terciptanyanegara yang memiliki aneka macam bahasa, juga mempunyai dampak negatifyakni keanekabahasaan itu berlawanan dengan nasionalisme.Pool (1972) mencoba masalah- masalah yang timbul dengan adanya multilingualisme dengan menganalisis 133 negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domistik Bruto (GDP), sebagai berikut:1.    Suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi   negara tidak berkembang (miskin);2.    Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit- banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin;3.    Suatu negara yang secara linguistik secara heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin);4.    Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik. Pembahasan tentang multilingualisme di sini tidak akan dibicarakan secara khusus, sebab modelnya sama dengan bilingualisme.

B.    DiglosiaKata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk istilah masyarakat yang mempunyai dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing- masing mempunyai peranan tertentu. Menurut Ferguson, diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, artinya, selain terdapatragam- ragam atau dialek- dialek utama dari satu bahasa juga terdapat sebuah ragam lain. Dialek utamanya bisa berupa dialek standar, atau sebuah dialek standar regional. Ragam lain yang bukan dialek utama mempunyai beberapa ciri- ciri, yaitu:1.    Sudah terkodifikasi2.    Gramatikalnya lebih kompleks3.    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan

dihormati4.    Dipelajari melalui pendidikan formal5.    Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal6.    Tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun dalam kehidupan sehari- hari.Ada Sembilan topik yang berhubungan dengan diglossia, pernyataan ini sesuai yang dituturkan oleh Ferguson, yaitu:1.    FungsiMerupakan kriteria yang sangat penting. Masyarakat diglosis mempunyai dua variasi bahasa dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (T) dan yang kedua dialek rendah (R). dalam Bahasa Arab dialek T adalah bahasa Al- Qur’an dan dialek R nya adalah Bahasa Arab pada umumnya.

2.    PrestisePara penutur masyarakat diglossis biasanya menganggap dialek T lebih superior dan bergengsi dan merupakan bahasa yang logis dari pada dialek R bahkan orang Arab dan Haiti yang terpelajar menganjurkan agardialek R tidak perlu digunakan, meskipun dalam sehari- hari. Akan tetapi hal ini merupakan sebuah kesalahan, sebab antara dialek R dan Tmempunyai fungsi masing- masing yang tidak dapat disamakan.

3.    Warisan SastraKetika ada karya sastra menggunakan ragam T maka itu adalah warisan kesusastraan, sebab pada umumnya karya sastra menggunakan ragam bahasaR.

4.    PemerolehanRagam bahasa T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan untuk memperoleh ragam bahasa R cukup dengan memperhatikan pergaulan sehari- hari. Oleh karena itu mereka yang tidak pernah merasakan pendidikan formal tidak akan bisa dan tidak akan mengetahui ragam bahasa T. dalam masyarakat diglossis banyak yangberanggapan bahwa ragam bahasa R merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki tata bahasa

5.    Standarisasi

Wajar jika ada standarisasi, sebab ragam t merupakan ragam yang bergengsi, sehingga standarisasi dilakukan melalui kodifikasi formal. Misalnya ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, petunjuk lafal, dll. Sedangkan ragam R tidak.6.    StabilitasPerbedaan antara ragam R dan T dalam masyarakat diglossis selalu ditonjilkan karena adanya perkembangan bentuk- bentuk campuran yang memiliki ciri- ciri ragam T dan ragam R. peminjaman leksikal ragam T ke dalam ragam R merupakan bentuk yang biasa. Tetapi penggunaan ragam R ke dalam ragam T merupakan tidak biasa, sebab akan digunakan jika dalam kondisi terpasa saja.

7.    GramatikaRagam T dan ragam R dalam diglossia merupakan bentuk- bentuk dari bahas yang sama, namun tetap ada perbedaan dalam gramatikanya. Dalam ragam T terdapat kalimat- kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tapi dalam ragam R dianggap artifisial.

8.    LeksikonSebagian besar kosakata ragam R dan ragam T sama, namun, ada kosakata ragam T yang tidak ada pasangannya dalam ragam R dan sebaliknya.

9.    Fonologi

C.    Hubungan Bilingualisme dan DiglosiaFishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:1.    Diglossia dan BilingualismeSituasi seperti ini jarang ada tapi mungkin terjadinya. Pada situasi ini, masyarakat berkomunikasi dengan lebih dari satu kode yang diakui secara nasional. Selain terdapat perbedaan fungsi- fungsi antar kode, juga terdapat kesepakatan bahwa satu kode yang lain mempunyai nilai yang tinggi daripada yang lain. Misalnya dalam bahasa masyarakat Puruguay. Dalam bahasa Guarani dianggap  bahasa L yaitu bahasa status,sedangkan bahasa Spanyol merupakan bahasa H yaitu bahasa non status. Contoh lain adalah di Negara Arab yang terdapat Bahasa Arab pasaran

dan Bahasa Arab klassik.

2.    Diglossia Tanpa BilingualismeKondisi seperti ini merupakan kondisi yang relatif umum sebab keanggotaan suatu kelompok diperoleh dari hal baru atau kelahiran yangtidak mudah hilang. Masalah yang paling bahaya dalam kondisi seperti ini adalah masyarakat elite lebih memilih untuk mengisolir diri dari populasi yang lain yang diajak berkomunikasi, artinya kita harus menggunakan bahasa yang berstatus tinggi jika ingin berkomunikasi dengan mereka. Sehingga, masyarakat elit lebih memilih tidak berkomunikasi dengan masyarakat yang menggunakan bahasa setempat.

3.    Bilingualisme Tanpa DiglossiaHal ini dicontohkan pada masyarakat Belgia, terutama bagi mereka yang tinggal di perbatasan belanda dan Perancis. Secara tidak langsung mereka akan menggunakan bahasa Belanda dan perancis secara bersamaan dalam kehidupan sehari- harinya dan kedua bahasa tersebut juga termasuk dalam Bahasa Resmi Nasional, sebab tidak ada kesepakatan manayang termasuk bahasa utama dan bahasa kedua.

4.    Tidak Bilingualisme dan tidak DiglossiaMasyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak diglosia hanya mempunyaisatu bahasa tanpa variasi serta dapat digunakan segala tujuan. Keadaanseperti ini hanya ada pada satu masyarakat yang primitif dan sangat sulit ditemukan. Masyarakat ini akan mencair apabila mereka telah bersentuhan dengan masyarakat lain.Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas maka hanya ada dua yang stabil yaitu diglossia dan bilingualisme dan diglossia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglossia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.

BAB IIIKesimpulan

·    Bilingualisme dalam Bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaan. Kata bilingualisme dalam Bahasa Inggris sama dengan bilingualism, secara harfiah adalah penggunaan dua bahasa atau dua

kode bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualisme mempunyai arti penggunaan dua bahasa dalam pergaulannya sehari- hari secara bergantian.·    Bilingualisme mempunyai dua tipe, yaitu bilingualitas sejajar danmajemuk.·    Ambilingualisme yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan bisa menggunakannya secara seimbang.·    Multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan keanekabahasaan, yakni penggunaan lebih dari dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.·    Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk istilah masyarakat yang mempunyai dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing- masing mempunyai peranan tertentu.·    Fishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:1.    Diglossia dan Bilingualisme.2.    Diglossia Tanpa Bilingualisme.3.    Bilingualisme Tanpa Diglossia.4.    Tidak Bilingualisme dan Tidak Diglossia.

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.

Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

T.Bell, Roger. 1995. Sosiolinguistic Goals, Approaches and Problems. London: B.T. Batsford LTD.