Kumpulan Cerpen

70
BURUNG KENARI TERBANG BERPASANGANSepasang burung kenari terbang rendah melewati jendela kamarku. Cericitnya seakan mensubstitusi kokok ayam pagi hari ini bagiku. Jam tujuh pagi sudah. Tadi habis pencarianku pada muara kehidupan. Small things mean somgething bigger than the big ones. Mungkin itu maksudku. Café Bean,Cilandak Town Square “ Ini sore terakhir kita bertemu, Tin ...”. Suara itu seperti suara camar tenggelam diantara ombak senja hari. Senja seperti saat kita bertemu kali ini. Aku mengaduk frappuccino-ku dengan sekuat tenaga. Masygul. Seperti ada beban jutaan ton yang harus kukeluarkan atau mungkin baiknya kuledakkan saja di Town Square megah ini. Sepasang anak muda bergandengan. Seorang ibu menggeret anaknya yang agak rewel. Laki- laki dan perempuan eksekutif juga dalam gegas dengan menenteng bag. Lalu, apakah kami, aku dan raka juga korban metropolis yang kadang- kadang sok kuat. Pahal kita sudah cukup berdarah- darah akibat tersaruk mengikuti pendar cahayanya? Raka menatapku sejenak. Lalu dia tertawa. Asin. Basi. Lalu malah terdengar sepak. Sinis. Tapi aku suka. Raka lebih cool, tapi sinis. Semntara aku sangat temperamental dan cenderung impulsive. Beda dengan Raka yang program di otaknya tertata rapi,

Transcript of Kumpulan Cerpen

“BURUNG KENARI TERBANG BERPASANGAN”

Sepasang burung kenari terbang rendah melewati

jendela kamarku. Cericitnya seakan mensubstitusi kokok ayam

pagi hari ini bagiku. Jam tujuh pagi sudah. Tadi habis

pencarianku pada muara kehidupan.

Small things mean somgething bigger than the big

ones. Mungkin itu maksudku.

Café Bean,Cilandak Town Square “ Ini sore terakhir kita

bertemu, Tin ...”. Suara itu seperti suara camar tenggelam

diantara ombak senja hari. Senja seperti saat kita bertemu

kali ini.

Aku mengaduk frappuccino-ku dengan sekuat tenaga.

Masygul. Seperti ada beban jutaan ton yang harus kukeluarkan

atau mungkin baiknya kuledakkan saja di Town Square megah

ini.

Sepasang anak muda bergandengan. Seorang ibu

menggeret anaknya yang agak rewel. Laki- laki dan perempuan

eksekutif juga dalam gegas dengan menenteng bag.

Lalu, apakah kami, aku dan raka juga korban

metropolis yang kadang- kadang sok kuat. Pahal kita sudah

cukup berdarah- darah akibat tersaruk mengikuti pendar

cahayanya?

Raka menatapku sejenak. Lalu dia tertawa. Asin. Basi.

Lalu malah terdengar sepak.

Sinis. Tapi aku suka. Raka lebih cool, tapi sinis.

Semntara aku sangat temperamental dan cenderung impulsive.

Beda dengan Raka yang program di otaknya tertata rapi,

canggih, dan seakurat Pentium. Dan dengan rasionalitasnya

yang menurutku nggak berperasaan itulah ia memilih menerima

perjodohan itu. Perjodohan yang.... basi menurutku!

Sedikit flashback.

Aku dan Raka ketemu dua tahun lalu, waktu sama- sama

menjalani tahun terakhir kuliah pasca sarjana di Sydney. Aku

ambil MBA diWollongonga, sementara dia ambil ME di USW ( uni

of Western Sydney).

Hubunganku dan Raka berlanjut hingga kami pulang ke

tanah air tiga bulan lalu. Selama hubungan kami sama sekali

nggak penah melakukan hubungan yang special. Tapi kami hanya

saling menyayangi dengan segala kehangatan hati. Karena kami

hanyalah seorang pengelana pencari kehangatan dan ketulusan

yang sudah lama hilang dari hati kami.

“ Tapi aku mulai memikirkan sesuatu. Aku ingin punya

anak. Dan mempunyai keluarga yang bahagia.

Sore itu habis shalat ashar berjamaah kami duduk-

duduk di pelataran masjid. Ada beberapa orang mengaji merdu.

Di atas sana, kulihat sepasang kenari berwarna- warni

mencericit. Sedang kawinkah?

Lihatlah burung kenari sepasang itu. Engkau yang

telah menciptakan mereka, Tuhan. Engkau kirimkan mereka

padaku agar aku mulai berpikir tentang ketulusan dan

keterpasangan yang sejati antara laki-laki dan perempuan.

Dan inilah aku, Valentino alias Tino, yang tengah

berdarah-darah dan merangkak mendekati Tuhan kembali. Tolong

jangan campakkan aku, Tuhan. Aku ingin lebih baik... paling

tidak di sisa umurku ini.... seperti Raka, sahabatku. Ya dia

memang sahabatku yang paling baik dari teman- temanku yang

lain.

“DENGKUL”

“Riung -riung- riuuung!”

Senja menyelimuti gasibru. Orang- orang bersimbah

peluh mulai menjauhi lapangan. Membawa pulang bola, raket,

handuk, atau sekadar keringat mereka sambil menarik- narik

nafas, menurunkan andrenalin yang laju terpacu. Sepasang

mata di utara menatap dari balik jendela.

Dian

Tuh kan, ngetem! Ya iyalah, penumpangnya baru gue

doing. Hari udah gelap. Pasti udah lebih dari setengah enam.

Bakal nyampek rumah pukul berapa nih? Duh, mudah- mudahan di

Kiaracondong nggak macet, biar sempet shalat magrib di

rumah.

Ada yang datang satu cewek dan satu cowok menyentuh

pintu depan angkot secara bersamaan. Hehe,langsung pada

nyengir, tuh! Untung, nggak berantem. Si Mas .

mempersilahkan si M bak untuk masuk lebih dulu. What a

gentle man!

Nah, udah ada penumpangnya nih, Pak. Berangkat aja

deh! Jangan lama- lama ngetemnya. Ntar kita nggak keburu

shalat magribdi rumah. Eh, kok jadi gue yang ngatur ya?

Tommy

Yes, angkotnya masih ada! Mudah- mudahan bangku di

pojok tidak terisi. Kalau duduk di pojok kan nggak perlu

geser- geser kalau ada penumpang yang naik turun. Jadi, aku

bisa istirahat tanpa mengganggu sirkulasi penumpang.

Dian

Belum berangkat juga nih. Padahal sudah terisi

setengahnya. Cowok yang baru datang ini kenapa ya? Kok dia

ngeliat gue kayak ngeliat hantu? Jangan-jangan ada yang

salah dengan kerudung gue?

Bagian atas, rata tuh. Di bagian samping, tetep

simetris. Bawahnya, masih kenceng. Nggak ada masalah tuh.

Terus apa yang salah dengan kerudung gue.

Tommy

Dasar tommy bodoh! Kenapa harus nukat pakai celana

pendek segala? Sebenarnya celana ini bisa menutupi

dengkulku. Tapi hanya kalau aku dalam posisi berdiri. Kalau

aku duduk, celana ini tertarik dan kau bisa melihat

dengkulku. Tak masalah jika kau laki- laki. Karena kita

punya aurat yang sama.

Dian

Lho? Celananya kok di tarik- tarik segala? Selama

ini, Cuma cewek yang pakek rok mini yang suka narik- narik

roknya kalau duduk di angkot. Udah tau pendek, pake di

tarik- tarik segala. Emangnya kalau di tarik-tarik begitu

bisa jadi panjang? Kalau memang isinya tidak mau keliatan

makanya pakek celana.

Tommy

Masalahnya, aku nggak punya celana olahraga yang

bagus. Satu- satunya celana olahragaku hangus di setrika

oleh TehTia karena lupa mengangkat setrikanya. Pada saat

telpon di rumahku berbunyi.

Sampai sekarang The Tia belum juga membelikanku

celana olahraga yang baru. Selalu ada alasan : sibuk, ada

rapat, ada tugas, harus ngaji, dan juga harus ngajar.

Dian

Ah, daripada dosa ngeliat dengkul, mendingan gue

merem deh, pura- pura tidur. Eh, tadi Al-Matsurat udah

sampai mana, ya?

“BAHTERA DI UJUNG DERMAGA”

Karena tempat duduk mereka hanya tepisah partisi

rendah. Awan nyaris tahu semua kebiasaan gadis di

sebelahnya. Biasa datang pagi, lalu setelah menyiapkan

komputernya dia langsung menghilang ke belakang. Sholat

dhuha di mushola. Sedang dia? Jangan sholat sunnah, sholat

wajib pun sudah tak ingat kapan terakhir kali didirikan.

Nur, dilihatnya tak hanya sholat sunnah yang

ditunaikan. Puasa senin kamis pun dia lakukan. Hal itu

mengimbas emosinya yang lebih tertata, tak meledak-ledak

seperti yang diingatnya dulu meskipun dalam beberapa hal

gadis itu masih tetap tak mampu menyembunyikan sifat

tomboynya. Cara jalan yang cepat tegap, gaya bicara yang

juga serupa, sudah manjadi ciri khasnya meski pakai pakaian

apapun dia.

Satu lagi kebiasaan Nur, gadis itu suka mendengarkan

nasyid atau murottal saat bekerja. Agar tak bertabrakan di

ruangan saat mendengarkan lagu yang dipasangkan di

loudspeaker kantor, Nur memakai earphone di telinganya.

Penasaran apa yang di dengarkan, saat Nur sedang sholat Awan

mencari tahu dengan melihat realplayer aktif di komputernya.

Bukan cercaan atau menghakimi yang keluar dari Nur.

Juga bukan nada lain yang memalukan. Nada itu seperti ibu

yang mengingatkan anaknya pada kebutuhan yang sudah

seharusnya tak ditinggalkan. Awan itu melihat Nur dengan

keterbatasannya dia tampak tenang menjalani hidup. Tak perlu

dipertanyakan apa kekurangannya, hanya satu yaitu noda yang

menutupinya selalu. Menutup matanya dari nikmat lain

berlimpah yang diberikan Tuhan padanya.

Nur bukannya tak tahu kegundahan Awan. Profil lelaki

sempurna yang dulu pernah dipujanya ternyata hanya

fatamorgana. Nur ingin sekali membantu Tapi bagaimana bisa

dia melakukan itu kalau Awan hanya diam, berselimut kabut

tebal kesendirian. Hampir tak menampakkan emosinya kecuali

sekejap, saat menye-lamatkannya dulu.

Entah berapa menit dia menunggu. Yang diingatnya,

ekspresi di wajah Awan nyaris tak terdefinisikan saat keluar

dari ruangan. Ada kegundahan, ketakutan, geram, juga

keringkihan. Bahu tegap itu jatuh di sisi tubuhnya yang

luruh. Mata yang biasanya dalam dan tajam itu menjadi buram

kelam. Ada kabut di sana. Nur tahu, lelaki itu berusaha

menyembunyikan tangisannya.

Awan menceritakan secara singkat mimpi buruknya yang

bahkan kedua orang tuanya tak pernah tahu, hingga saat ini

mengenal Huda. Nur terlolong mendengar ceritanya. Kisah yang

hanya bisa dia baca di koran atau buku-buku, juga berita-

berita kriminal itu terjadi di sini, di dekatnya. Pada orang

yang sama sekali tak disangkanya.

Tapi toh kenyataannya aku tetap kehilangan dia.

Bagaimana bisa dia menerima aku yang sampah ini? Hanya saja,

yang ku sayangkan sampai sekarang dia masih memandangku

sebelah mata. Padahal aku tak pernah minta untuk tertarik

padanya. Semua terjadi begitu saja. Ada dorongan dalam

diriku yang menyeret ke arah situ.

Awan membenamkan wajahnya, isaknya terdengar

memilukan. Baru kali ini Nur baru menyaksikan seorang laki-

laki dewasa menangis seperti anak kecil. Badannya

terguncang-guncang, Ingin sekali rasanya Nur menyentuh

punggung itu, mengusapnya untuk memberi tahu bahwa dia tak

sendiri.

“Yah, setidaknya keinginan mas putus sudah terlaksana

sekarang. Dan saya harap dengan tidak adanya Dedi itu, mas

bisa menemukan jalan pulang”.

“Dokter bertanya-tanya hubunganku dengan dia. Kau

tahu, HIV itu menular melalui darah. Bisa dari hubungan

badan, pemakaian jarum suntik, atau dari ibu ke janinnya.

Aku menjawab hanya teman biasa. Aku tak segila dia

memproklamirkan diri sebagai seorang gay. Aku memang akan

melakukan tes darah , tapi tidak sekarang.” Lelaki itu

menyeka sisa air mata di pipinya. Badannya kini di

sandarkan,kakinya yang panjang direntangkan,Sedikit meringis

dia karena luka di lututnya, aku harus menghubungi

keluarganya Dedi.’

‘Kalau ada yang bisa saya bantu?’’Nur menawarkan

diri.

“Terima kasih. Kamu sudah banyak membantuku hari

ini.Uh, lega rasaya bisa mengatakan ini semua. Aku tak tahu

pada siapa. Huda sahabatku satu-satunya. Tapi justru masalah

itu yang memisahkan kami. Apa dia masih jalan sama kamu?

Atau putus gara-gara aku?” Itukan alasanmu gak langsung

memberi jawaban waktu ku propose? Padahal aku tahu kamu

tergila-gila padaku. Kamu masih ragu memilih jalanmu kan?”

Nur tersipu, malu. Kata-kata itu seperti menelanjanginya

dengan cara yang benar-benar fulgar.

“Bersyukurlah Nur, sudah kau temukan itu. Sementara

aku? Masih remang-remang jalan di depan.”Nur iba melihat

tatap tak berdaya awan. Mengapa semua menjadi separah ini?

“EPISODE BINTANG”

Tak pernah ada yang tahu bahwa bumi yang kita injak

ini diam, konstan tak pernah melakukan gerakan apapun, tidak

berputar, berotasi, berevolusi atau gerakan-gerakan lainnya.

Dan, apakah kalian ingin tahu itu? Sepertinya tidak. Hanya

aku saja yang menyadari hal itu. Kelak, suatu saat nanti aku

akan mengumumkan pada dunia tentang hal ini.

Malam ini kembali menemani bintang. bermain-main

dengan mereka. Kebiasaan klise kaum pemimpin macam aku,

katanya. Aku tak perduli dengan semua pendapat orang-orang

itu. Toh, mereka juga tak pernah memperdulikan aku. Mereka

hanya perduli karena aku mulai tak waras, katanya. Ya, aku

disangka tak waras saat aku sedang berdialog dengan bintang-

bintang. Orang-orang di sekitarku tak pernah tahu bahwa

bintang sama seperti kita. Bitang-bintang itu menciptakan

walau mereka pun menciptakan sinar-sinar untuk dibagikan

kembali kepada seluruh yang membutuhkan.

Tiap malam aku mampu menghitung bintang di langit.

Bila ada pengakuan sia-sia menghitung bintang di langit, itu

hanya pendapat fraksi pemalas. Buktinya aku mampu. Walau

memang tidak pasti jumlahnya. Satu, dua, tiga, empat ....!

“kurasa kau telah terlalu gila dengan bintang-bintang itu.”

Aku menoleh ke belakang mencari seraut wajah yang

telah memamerkan suaranya untuk mengejekku. Jelas aku panas,

tidak terima dengan leluconnya yang tidak lucu itu. Lagi

pula aku tak pernah mengganggu siapapun saat aku menghitung

bintang-bintang itu. Kudapati Allen, yang berdiri tegak

tepat di belakangku. Aku kembali membalik, menghadapi

jendela. Kembali menghitung bintang-bintang di langit.

Allen mendekatiku yang kembali asyik dengan bintang-

bintang. Tangannya menyentuh bahuku. Kebiasaan lama yang tak

pernah ditinggalkannya. Merayu, membujuk, atau apa saja agar

aku bisa tersenyum kembali padanya. Tapi sekarang tak

semudah itu.

Allen terlalu banyak omong dan itu membuatku makin

tak suka akan kehadirannya malam itu.

“Kau tak pernah kehilangan siapapun. Seharusnya aku

yang berkata seperti itu, Al,”suaraku berhenti di

kerongkongan. Perih saat mengucapkannya.

Ya, seharusnya aku yang mengucapkan itu. Aku telah

kehilangan Dad, Mom, dan David. Dan aku tidak punya siapa-

siapa kini. Tidak Allen, sahabaku itu, atau juga bibi

Allison yang kini menampungku di rumahnya. Dan aku any punya

bintang. Yang senantiasa mendengarkan ceritaku,tentang

mimpiku, tentang keluargaku, tentang harapanku, tentang

semuanya.

Aku tidak pernah berharap banyak. Tidak juga dengan

orang-orang yang telah membunuh seluruh anggota keluargaku.

Aku hany ingin keluargaku hidup kembali. Ada di sini

bersamaku. Memandang langit yang terang dengan bintang-

bintang. Menembus malam yang panjang bersama orang-orang

yang aku cintai. Itu saja. Tidak boleh atau salahkah

permintaanku itu?

Bumi ini konstan. Dan inilah bukti yang nyata bahwa

teoriku itu benar. Perputaran bumi pada porosnya yang

menyebabkan siang dan malam tak kurasakan lagi. Bagiku

setiap hari adalah malam. Perputaran bumi yang mengelilingi

matahari yang menyebabkan genapnya masa setahun juga tak

pernah kurasakan lagi. Tiap tahun aku berharap akan

datangnya keluargaku. Tapi hingga saat ini, mana ...? Di

mana mereka? Kata orang-orang mereka mati. Tapi mati di

mana? Mengapa aku tak pernah tahu? Mengapa? Aku merasa bahwa

bumi ini tetap pada masa tahun ketika aku kehilangan

keluargaku. Tahun demi tahun yang kulewati sama. Hampa.

Sendiri.

Allen menghembuskan nafasnya yang terasa berat. Ya,

aku merasakan itu. Mungkin lelah menghadapiku yang

senantiasa konstan, layaknya bumi ini. Tak pernah berubah.

Bukannya aku tak pernah mencoba untuk berubah, tapi bumi

yang membawaku pada kebisuan hati.

Allen dan aku saling diam. Aku menatap langit,

mencoba berhitung dari awal jumlah bintang yang ada di sana.

Allen mendongakkan kepalanya ke luar jendela. Mencoba larut

bersama bintang, namun sepertinya tak bisa. Dia bukan

sahabat bintang. Jadi, dia tak mampu menembus malam yang

berbintang.

“Suatu saat nanti, aku akan pergi ke tempat bintang-

bintang itu, mengambil satu untukmu agar kau tak lelah

menengadahkan kepala demi berbincang-bincang dengannya.”

Aku menoleh ke arah Allen yang masih merangkul hangat

tubuhku. Aku lupa mengatakan padanya bahwa bintang itu

berlari, berjalan, bergerak mengitari bumi. Akan sulit

baginya menyentuh bintang-bintang itu, dia harus berlari

mengejar bintang bila ingin mengambilkannya untukku.

Kini Allen yang kaget. Dia menatapku seperti tak

percaya. Mungkin baginya, ada yang salah dari ucapanku. Tapi

aku mengatakan hal yang aku percayai kini.

“Ayolah, jangan benar-benar menjadi gila, Ros!” suara

Allen seakan memintaku untuk meralat apa yang telah

didengarnya.

“Rose!” suara Allen tiba-tiba menjadi tinggi dari

sebelumnya. “Kau terlalu cerdas untuk mengingkari kebenaran

sebuah ilmu pengetahuan! Dan kau tahu bukan bahwa ...”

“Aku tahu kau lebih pandai dariku, aku tahu kau ingat

semua konsep yang telah bersama-sama kita pelajari di

sekolah.” Suara Allen berhenti sampai di situ. Kembali, dia

menyelimuti kami berdua. Sementara malam terasa mulai larut.

Ruang kamarku yang sempit menjadi kian sempit dengan

kebisuan ini.

Aku hampir menangis. Bahkan aku menyesal telah

mengatakan hal itu semua pada Allen. Aku bingung harus

bagaimana lagi. Kulirik Allen. Pandangannya menyejukkanku.

Dia terlalu tulus mendengarkan segala keluh kesahku. Aku

tahu berutang banyak kepadanya. Dan ceritaku tadi membuatku

berutang lagi padanya.

“Kau hanya perlu waktu lebih lama untuk menerima hal

ini. Ini memang begitu pahit untuk ditelan olehmu. Tapi kau

juga perlu tahu, dulu para rahib gereja Katholik menentang

teori Copernicus yang mengatakan bahwa matahari diam,

bumilah yang mengelilingi matahari. Perlu waktu yang lama

untuk meyakini doktrin Copernicus. Hingga Galileo pun datang

menyatakan hal yang sama, tapi tetap saja ditentang karena

doktrinnya mengingkari doktrin versi Injil tentang kosmologi

waktu itu. Tapi Galileo menang 359 tahun kemudian. Lembaga

inkuisisi gereja Katholik mengaku salah telah

mengkafirkannya karena doktrinnya yang bartentangan dengan

Injil memang benar, bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta.

Bumi begerak menurut orbitnya untuk mengelilingi matahari.

Waktu aku berdebat dangannya.

Apakah aku yang sekarang adalah aku yang berada pada

lima tahun yang lalu? Yang setia menunggu sepi keluargaku

sendiri? Aku yang telah menjadi gila sekarang adalah aku

yang lima tahun lalu, yang tidak rela menerima kenyataan

bahwa keluargaku telah lenyap. Aku masih konstan karena aku

tak cukup mampu mengimbangi putaran bumi yang telah kencang.

Apakah mungkin seperti itu? Apakah aku membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk sebuah kebahagian? Atau hanya waktu

yang mampu mengobati lukaku? Tapi sampai kapan lagi aku

harus mangejar watu-waktu itu?

Dad dan Mom tawas dalam sebuah perjalanan pulang dari

rumah salah seorang sahabat. Tapi mayatnya tak pernah

ditemukan. Polisi kesulitan mengatasi kasus ini. Karena

semua bukti dan mayat ke-dua orang tuaku yang tak pernah

ditemukan. Diduga orang tuaku mengalami kecelakaan. Kondisi

sedan yang ditemukan di hutan dekat rumahku membuktikan hal

itu. Tapi diduga pula mereka dibunuh, karena mayat keduanya

belum ditemukan. Karena itu aku tak percaya kalu kedua orang

tuaku meninggal. Saat itulah aku selalu menunggu di mulut

jendela kedatangan Dad dan Mom.

Tapi harapanku tak kunjung menjadi kenyataan. Aku

menjadi benar-benar bosan. Dan jadi merasakan bahwa bumi itu

diam, tidak melakukan apa-apa. Tapi kini aku sadari bahwa

banyak hal yang aku pandang salah.

“KIARA”

Angkot yang kutumpangi berhenti di dekat persawahan

yang gersang. Aku turun sambil menjinjing dua tas besar

berisi pakaian, sementara Ciya mengangsurkan ongkos pada

sopir. Kemudian angkot itu melaju dengan meninggalkan

kepulan asap dari knalpot dan membuyarkan debudebu tanah

kering hingga beterbangan.

Angkot sialan!” Ciya menggerutu “Jangan kaget Rin

dengan kejadian ini. Ini tempat KKN-mu. Selamat datang di

desa yang indah!”

“Pertama-tama kita harus pergi ke rumah Pak Lurah

Rin, jaraknya sekitar satu kilometer. Mereka kaget saat

melihat persawahan sangat kering, yang ditumbuhi pohon

singkong yang kering, jauh dari kesan desa yang berpanorama

indah. Ciya menyeringai, menatap kegersangan yang menghampar

di hadapan kami ... “tiap sore aku gantian sama Dani, Pras,

dan Anggi angkat ember, bolak-balik mencari air buat mandi.

Sekitar dua puluh menit berjuang, kami akhirnya mulai

memasuki perkampungan penduduk yang jalannya mulai datar.

Jajaran rumah dari kayu dan bau dari singkong kering semakin

sulit untuk tersenyum. Bahkan ada yang bermain sambil

memekakkan telinga. Aku memerhatikan mereka dan Ciya dengan

semangat membalas sapaan mereka yang ramah. Ciya memang anak

yang mudah beradaptasi, berdeda dengan diriku.

Namun saat itu ketakutan menguasai diriku ketika

melihat wajahnya. Matanya terlihat dingin tanpa ekspresi

menatapku. Bibirnya agak sumbing. Di dahinya tedapat bekas

jahitan dan ada bekas cakaran di pipinya. Apalagi dia hanya

terbalut dengan kaos kumal dan tubuhnya terdapat banyak luka

di mana-mana, yang membuatku merasa takut padanya.

Satu minggu di desa ini, benar-benar membuatku

sengsara. Aku kesulitan beradaptasi dengan lingkungan

sekeliling. Kulitku sempat mengalami alergi dan kekeringan.

Tapi, melihat betapa miskin desa ini dan teman-teman yang

begitu semangat di sini, membuatku bertahan. Apalagi Ciya

terus menyemangatiku dan di salah satu teman yang rela untuk

mengambilkan air untuk mandi jika aku mulai putus asa.

Kata Bu Lurah, mengajari ibu-ibu disini cukup

gampang. Kesulitannya, mereka datang ke kelurahan. Mereka

memang tidak punya banyak waktu untuk hal-hal yang di anggap

sekunder. Aku dan Bu Lurah pun harus berkeliling seperti

sales menyuruh mereka datang ke kelurahan.

“Ini rumah Bu Paryati. Ibunya Kiara!” kata Bu Lurah.”

Jangan kaget, ya!”Kiara adalah anak kandungnya,

kan?”tanyaku.

Bukannya saya tidak menghargai ibu,”Bu Paryati

menolak ajakan kami. “Saya tidak punya waktu untuk datang ke

kelurahan ini, karena ada empat perut yang harus di isi.

Mereka benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan. Apalagi

anak itu nakal.

“Ah, andai aku mampu melukiskan bagaimana takutnya

ditatap Kiara pada Ciya, agar ia juga merasakan ketakutanku.

Aku sendiri heran, kalau benar Kirana pernah hampir

membunuh orang. Kenapa dia seolah diacuhkan? Dia jelas-jelas

berbahaya. Apa kekerasan ibunya sudah cukup memenjarakannya?

Atau sekedar menjamin bahwa dia tidak akan membunuh orang

lagi. Tapi bocah itu masih terlalu polos untuk bisa membunuh

orang. Dia hanya anak kecil!

Ketika aku berkumpul dengan ibu-ibu, Bu Paryati tetap

saja tidak datang. Tidak ada yang menggunjingnya. Wanita-

wanita di sini terlalu lelah untuk membicarakan hal-hal

seperti itu. Mereka datang ke sini pun mungkin karena masih

menghormati Bu Lurah. Tenaga mereka banyak terkuras untuk

mencari nafkah, membantu suami di tegalan kering, mengurus

anak-anak mereka serta hewan peliharaan.

Interaksiku dengan anak-anak dimulai ketika aku sudah

dua minggu tinggal di sini. Bersama Ciya dan Anggi, aku

mengajari mereka mengenal huruf dan angka. Beda dengan orang

tua mereka, anak-anak itu terlihat antusias dan bersemangat.

Aku menoleh ke arah rumpun bambu. Kiara sudah tidak

ada. Iya, Tuhan! Begitu parahkah penderitaan Kiara? Kenapa

ibunya begitu kejam, padahal Kiara darah dagingnya sendiri.

“AKU”

Aku dilahirkan di sebuah desa yang jauh dari

keramaian kota. Orang tuaku seorang petani penggarap dengan

penghasilan pas-pasan untuk keluarga.

Saat itu kami telah menempuh ebtanas SD. Namun setiap

hari kami datang juga ke sekolah untuk menerima tambahan

pengetahuan sebagai bekal masuk SLTP.

Pada suatu hari, guru bertanya kepada murid-murid,

akanmelanjutkan kemana. Teman-temanku satu-persatu

menyebutkan pilihannya. Pada umumnya teman-teman memilih

SLTP Negeri. Ketika sampai juga pada giliranku, aku menjawab

bahwa tidak akan melanjutkan sekolah. Mendengar jawabanku

itu teman-teman diam dan memperhatikan.

Tiba-tiba Bapak Guru mendekati dan bertanya pelan-

pelan, “Mengapa kamu tidak melanjutkan, Hardi?”

“Tidak, Pak,” jawabku.

“Betul, kamu tidak melanjutkan?” tanyanya lagi.

“Betul, Pak!” jawabku lagi.

Mendengar jawaban itu, Pak Guru mencatat sesuatu di

buku, kemudian memerintahan murid-murid mengerjakan

pelatihan-pelatihan, dan beliau menghadap Kepala Sekolah.

Saat-saat yang dinanti-nantikan pun sampailah. Hasil

ebtanas diumumkan. Teman-temanku bersuka ria karena semua

lulus. Hanya akulah yang tidak bersorak ria, walupun

berhasil meraih nilai tertinggi sekecamatan. Hatiku sedih,

terbayang olehku orang tuaku, agar aku tidak melanjutkan ke

SLTP.

“Hardi!” terdengar Kepala Sekolah menggugah

lamunanku.

“Ya, ...Pak!” jawabku tersendat.

“Melanjutkan ke mana?” tanya Kepala Sekolah pula.

Aku hanya diam. Kali ini mulutku bungkam. Aku tidak

bisa menjawab, terasa ada sesuatu yang menyumbat batang

tenggorokanku. Aku menunduk, tidak berani menatap wajah

Kepala Sekolah.

“Tenanglah, ardi! Aku telah tahu tentang keadaanmu.

Kamu harus melanjutkan.”

“Ti...tidak,..Pak!” Jawabku.

“Hardi, pandanglah aku!”

Aku menengadah. Kepala Sekolah tersenyum,”Terimalah

ini! Hadiah keberhasilanmu!” lanjutnya sambil menyerahkan

bingkisan. “Ketahuilah Hardi ada seseorang yang sanggup

menjadi orang tua asuh buat kamu. Bersekolahlah ke mana kamu

suka. Beliau akan mencukupi segala kebutuhan sekolahmu

sampai perguruan tinggi. Nama dan alamatnya ada di dalam

bingkisan itu. Bila perlu apa-apa, datanglah kepadanya,

jangan malu-malu! Sudah sana, pulanglah, orang tuamu sudah

menunggu!”

Sampai di rumah, bingkisan kubuka. Ternyata berisikan

sejumlah uang dan kartu nama. Kubaca nama yang tertulis di

kartu nama itu. Ternyata pemilik sawah yang dikerjakan oleh

orang tuaku, yang juga Kepala Sekolahku. Bahagia hatiku saat

itu tidak dapat kunyatakan dengan kata-kata.... seumur

hidupku takkan terlupakan.

“MENYONTEK”

“Hah?! Apa?! Nilai matematika gue cuman dapat 6?!

Salah yang nilai nih...! perasaan kemarin gue udah belajar

mati-matian. Mengapa cuman dapat 6?!” gerutu Nina saat

menerima hasil ulangan matemtika kemarin.

Jelas saja Nina marah-marah plus sakit hati, karena

semua temannya mendapat nilai yang lebih bagus daarinya,

tapi mereka mendapatkannya dengan cara curang kenapa sih...

Dunia ini sangat tidak adil?! Setiap akan ulangan

pasti aku belajar! Tapi kenapa justru nilaiku lebih rendah

daripada teman-temanku yang tidak belajar?! Mereka selalu

menagndalkan contekan untuk meraih nilai bagus. Dan ini

semua nggak bisa dikatakan ADIL! Aku yang belajar mati-

matian sampai harus tidur larut malam untuk mendapatkan

nilaii yang bagus, harus rela mengalah dengan anak-anak yang

lain yang sama sekali tidak belajar. Jangankan tidak

belajar, punya catatan juga belum tentu! Kenapa sih serba

kebalik gini? Kalau contekan bisa membuat mereka mendapat

nilai bagus, kenapa guru-guru melarang kita mencontek?!

Pikiran itu selalu memenuhi otak Nina. Sampai di

rumah dia terus saja memandangi nilai ulangannya itu,

padahal jika dilihat sampai kapanpun itu nilai nggak akan

berubah, tetap 6, dan nggak akan berbalik tiba-tiba menjadi

angka 9.

Hmm...lama-lama aku juga capek, kalau terus-menerus

belajar dan selalu mendapat pas-pasan!! Dua hari yang lalu

biologi udah diapalin nama-nama latinnya, satu bab pun sudah

dipelajari, hasilnya juga cuman dapat 6,5. Bete nggak sih?!”

gumam Nina sendiri. Nina lama berpikir dan akhirnya Nina

menemukan bagaimana caranya dapat nilai bagus tanpa harus

susah-susah belajar semalaman.

Kenapa aku nggak mencoba nyontek aja, ya? Bukannya

teman-temanku selalu melakukannya? Dan nilainya pun bahkan

lebih bagus daripada nilai aku belajar semalaman.

Hmm...kayaknya besok pas ulangan kimia aku nggak

perlu belajar lagi deh!”

Hari ini anak kelas II-A sedang ada ulangan kimia. Dan

Nina benar-benar melakukan misi enyonteknya itu dengan mulus

tanpa ketahuan gurunya. Lalu hari berikutnya Nina menerima

hasil ulangannya. Dan kini Nina berhasil meraih nilai 8,5.

Nina tersenyum lebar merasa puas dan senang. “Yeach...ini

nilai kimia terbaikku. Karena biasanya aku Cuma dapat nilai

4 kalau nggak 5, paling bagus 6 lah”. Lam sekali ia

memandang nilai 8,5nya itu dengan masih tersenyum-senyum

tapi, tiba-tiba senyumnya memudar, dia makin serius

memandang nilai. Seperti ada yang ganjil dengan nilainya

itu.

“Kenapa sih, Nin?” tanya Bu Ratna Guru kimianya yang

dari tadi mengamatinya.

“Apa ada yang salah dengan nilaimu?” tanya Bu Ratna

lagi.

“Ya...sepertinya begitu. Saya baru kali ini mendapat

nilai 8. Tapi, sepertinya ada yang ganjal”. Nina terdiam

lama.

“Saya memperolehnya dengan cara curang”.

“Kamu menyontek?”

Nina menganggu pelan.

“Saya ingin mencoba, baru kali ini kok Bu, tapi

setelah saya ,memperoleh hasilnya sepertinya ada yang

gimana...gitu? Senang sih senang, tapi rasanya lain apalagi

saya mendapat nilai 6 dengan cara saya belajar dengan

mendapat 8,5 dengan cara yang curang. Ada yang aneh dibalik

rasa senang ini,” jelas Nina.

“RUMUS KEBERHASILAN”

“Oh, ya rumus keberhasilan itu mudah diingat.

Pertama, carilah Tuhan dulu dan rajin berdo’a. kemusian

rajin belajar. Jangan biarkan tangamu menganggur. Lalu rajin

belajar dan manfaatkan kesempatan yang ada. Otakmu harus

terus menerus memikirkan hal-hal yang baik. Kalau uangmu

belum banyak, kau harus sangat berhemat. Jika tidak benar-

benar perlu, jangan keluarkan uang!” pak Ober menjelaskan

rumusnya.

Helmut menghafalkan kata-kata itu. Tak lama kemudian

mereka berdua berpisah.

Sebelum terpisah, pak Ober berkata,”Tahun depan kita

akan bertemu di restoran ini pada jam yang sama dan kita

akan bercerita lagi”.

Helmut kembali ke kolong jemabatan. Rekannya Heran

dan menyarankan agar Helmut menjual pakaiannya dan

mentraktir mereka minum-minum. Tapi Helmut tidak mau.

Helmut menyendiri dan berdo’a. ia memohon agar Tuhan

memberinya pekerjaan. Ia teringat bahwa orang-orang suka

berdiri di pinggir jalan di bawah pohon menggantungkan

karton di dada dengan tulisan : TOLONG BERIKAN AKU

PEKERJAAN.

Segera Helmut mencari karton dan tali, menulis karton

itu dengan arang yang dipungutnya di jalan dan pergi ke

bawah pohon di jalan.

Benar saja, tak lama kemudian sebuah mobil behenti.

Helmut diajak ke sebuah pesta pernikahan dan ia bertugas

mengambil piring-piring dan gelas yang kotor. Sore itu ia

mendapat uang. Dan ia membungkus uang yang didapatnya. Ia

sangat senang. Ia menawarkan diri diterima bekerja di

perusahaan katreing tersebut.

“KETIKA PUASA TIBA”

Seonggok sampah telah terkumpul di halaman depan.

Seonggok lagi di belakang rumah. Amir melihat ke sekeliling

rumah. Bersih, dan tak ada daun atau sampah yang tercecer.

Tangannya mengusap keringat di dahinya. Hari masih pagi,

matahari belum terasa panasnya. Tapi menyapu halaman yang

luas itu telah membuat berkeringat.

Sampah- sampah itu biasanya langsung dibakar. Di

tunggu sampai habis. Sisa- sisa abu biasanya disapu lagi

sampai benar-benar bersih. Setelah menyelesaikan tugasnya

dengan baik, barulah Amir merasa lega. Amir tak ingin

mengecewakan Mak Ape, pemilik halaman dan rumah itu. Mak ape

telah begitu baik memberinya pekerjaan yang tidak berat.

Sesuai dengan kemampuan Amir yang masih duduk di kelas III

SD.

Di antara teman-teman Amir, Mak Ape terkenal dengan

sebutan si kikir dan si galak. Tapi, bagi Amir dan emaknya,

Mak Ape itu sangat murah hati. Hampir setiap hari ada-ada

saja yang dibawa Amir ke rumah, pemberian Mak Ape.

Amir teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Mak

Ape. Waktu itu Amir akan menjual ayamnya yang hampir

bertelur. Untuk membeli obat emaknya yang sedang sakit.

Kebetulan Mak Ape yang membeli ayamnya. Tapi, ayam itu lalu

dititipkan kembali pada Amir untuk dipelihara. Amir sangat

gembira, karena ia bisa membeli obat emaknya. Juga tidak

jadi berpisah dengan ayamnya.

“Mir, pagi sekali?” tiba-tiba terdengar suara Mak Ape

di pintu belakang. Amir agak terkejut dan menoleh.

“Ah, biasanya juga sepagi ini, Mak Ape ,” Amir

tersenyum sopan.

“Itu kalau hari-hari biasa. Ini kan hari pertama di

bulan puasa. Apa kau tidak meneruskan tidurmu? Nantilah

siang-siang baru menyapu halaman. Kau libur, kan?” Mak Ape

bekata ramah.

“benar Mak, saya libur. Tapi habis makan sahur dan

salat subuh, saya beres-beres rumah. Terus ke sini,” kata

Amir lagi.

“Emakmu sudah pergi bekerja?” tanya Mak Ape.

“Sudah Mak Ape,” ujar Amir. Emak Amir bekerja sebagai

pembantu di keluarga Pak Budi. Setiap hari ia sibuk, harus

belanja, memasak, menyuci dan menyetrika. Tetapi keluarga

Pak Budi sangat baik. Emak betah bekerja di sana.

“Awas Mir, jangan buang di selokan itu,” Mak Ape

mengingatkan.

“Tidak Mak Ape. Pak Guru selalu mengingatkan,

membuang sampah di selokan bisa menyebabkan banjir. Juga tak

enak dilihat,”kata Amir.

“Eh, agar aman kita buat lubang saja untuk tempat

pembuangan sampah. Dan biar Amang saja yang membuat lubang

sampah itu,”kata Mak Ape. Ketika itu Amang berada di dapur.

Amir menyapu sambil melihat pohon rambutan yang masih

hijau.

Selesai bekerja, Mak Ape menghampirinya dengan

bungkusan di tangannya.

“Semalam anakku datang dan membawa pesananku. Ini

baju-baju untukmu, Mir. Ini memang baju cucuku yang memang

sudah dipakai. Tapi masih bagus-bagus. Dan ini ada satu

setel baju baru, buat lebaran. Kau tak usah mengambil

tabunganmu, untuk membeli baju baru.

“Baju ini untuk saya, semuanya?” tanya Amir.

“Iya untukmu. Juga ini ada sedikit kue-kue dan ikan

untukmu, buat nanti untuk buka puasan bersama Emakmu.

Setelah itu Amir permisi pulang. Dia melangkah dangan

perasaan yang sangat senang sekali. Karena ia dikasih baju

baru oleh Mak Ape. Dia berjanji untuk tidak akan

mengecewakan Mak Ape.

.

“SEBUNGKUS NASI UNTUK PENGEMIS”

Hari ini hujan turun cukup deras dan lama. Sejak awal

pelajaran tadi pagi, awan kelabu dan sedikit demi sedikit

menetaskan air. Hingga saat jam pulang sekolah, hujan

semakin deras.

Tak sedikit anak yang nekat pulang berbasah-basah.

Termasuk seorang gadis kecil kelas 5, Yulia namanya. Ia

biasa berangkat dan pulang sekolah tanpa antar jemput ayah

dan atau ibunya. Ayahnya seorang sopir angkutan umum, sedang

ibunya membuka warung makan di depan rumah. Kedua orang

tuanya sibuk untuk memenuhi kebutuhanhidup sekeluarga.

Untunglah, Yulai anak yang penuh pengertian. Ia tak pernah

malu dengan keadaannya. Bahkan ia pun mengurus kedua adiknya

yang masih kelas 1 danyang berusia 5 tahun, dengan rassa

senang.

Siang itu, rupanya hujan makin deras. Terpaksa Yulia

berteduh. Kalau nekat melanjutkan perjalanannya, bisa-bisa

jatuh sakit.

“Deras sekali hujannya!” serunya sambil mengusap

tetesan-tetesan air yang mengalir di dahinya. Hampir seluruh

pakaiannya basah, ia mendekapkan kedua tangannya ke arah

lengannya, sembari menggigil kedinginan.

Jalanan tampak sepi. Rupanya baik para pengguna jalan

maupun pejalan kaki lebih memilih mencari tempat berlindung.

Yang tampak hanyalah tetesan air hujan diiringi bunyi petir

dan kilat. Warna langit sangat pucat, seperti lembaran kain

putih yang terbentang luas.

Tak jauh di samping Yulia berdiri, seorang pengemis

tertidur pulas dengan hanya berselimutkan kain tipis pada

punggungnya. Ia tidur menelungkup seperti seekor kura-kura.

Sebentar-sebentar pengemis itu membalikkan tubuhnya dan

mengucapkan sepatah dua patah kata yang tidak jelas. Pertama

memandangnya, Yulia merasa jijik. Tapi tak lama kemudian

terbersit rasa iba dalam hatinya.

“Kasihan pengemis ini. Ia begitu kurus dan papa. Tak

seorangpun yang memperhatikannya, bahkan mungkin orang akan

menghindarinya.”

Dalam pikirannya, Yulia merasa berjuta kali lebih

beruntung dari si pengemis. Di kala lapar, ibu Yulia pasti

akan menawarkannya makanan. Begitu pula saat ia sakit, ibu

dan ayahnya pasti akanberebut menanyakan keadaannya.

Begitu hujan agak reda, Yulia segera pulang.

Setelah mandi dan makan, ia menyusul ibunya yang

sibuk melayani para pembeli di warung. Melihat warung ibunya

ramai dikunjungi pembeli, Yulia senang. Tapi sejenak senyum

di bibirnya sirna manakala ia ingat pengemis kurus yang

dijumpainya saat berteduh tadi.

“Pengemis itu pasti kelaparan. Tapi...mana dia punya

uang untuk membeli nasi dengan lauk pauknya?” pikiran itu

terus mengganggu dirinya.

“Tadi kulihat di kaleng uangnya tidak ada sepeser pun

uang. Jadi...tidak mungkin ia dapat mengisi perutnya.”

Sambil terus berpikir, Yulia tetap membantu ibunya.

Ia membersihkan piring-piring dan gelas kotor dari para

pengunjung. Selain itu juga membantu membungkus makanan.

Tiba-tiba dari pikirannya muncul untuk membelikan

sebungkus nasi untuk pengemis kurus itu. Mengapa tidak,

begitu pikirnya. Segera diambilnya uang dari sakunya dan

diserahkan pada ibunya.

“Ada apa, Yul?” tanya ibunya, heran.

“S-saya mau pesan nasi bungkus, satu saja.”

“Buat siapa?”

“Ng... pengemis yang saya temui di jalan tadi. Ia

begitu kurus, pasti sangat kelaparan,” jawab Yulia polos

dengan mimik muka penuh harap.

Sejenak ibunya tersenyum. Dipandangnya wajah Putri

kecilnya itu, lalu disentuh pipinya dengan belaian.

“Ibu tidak habis mengerti, kenapa putri ibu begitu

penuh kasih? Sudah, uang ini simpan saja. Ibu akan

membungkuskannya untukmu,” lanjut ibu Yulia.

“Tidak. Ibu harus menerima uang ini. Anggaplah saya

yang membelikan pengemis itu. Kalau ibu yang memberi, itu

akan lain. Karena...karena saya benar-benar tulus memberi

pengemis itu nasi bungkus!” seru Yulia serius.

Akhirnya ibunya mengalah, diterimanya uang pemberian

putrinya itu. Setelah menerima bungkusan itu, Yulia langsung

pergi ke tempat pengemis kurus itu. Dilihatnya ia masih

tidur tergeletak di emperan toko. Dihampirinya pengemis itu

dengan langkah perlahan, lalu diletakkannya sebungkus nasi

yang dibawanya di samping pengemis itu. Setelah itu, ia

segera meninggalkannya.

Esok harinya ketika Yulia berangkat ke sekolah,

dilihatnya kerumunan orang di tempat pengemis kurus yang

kemarin diberikan makan.

“Ada apa? Ada apa?” tanya Yulia pada orang-orang di

sekitarnya.

“Seorang pengemis mati!” seru orang itu sembari

menunjuk pada sosok kurus terbaring dengan seulas senyum

tipis di bibirnya.

“Ya Tuhan, dia pengemis yang kemarin sore kutemui!”

teriak Yulia dalam hati. Ia berdiri dengan tegangnya di

samping pengemis yang sudah tidak bernyawa itu.

“Mungkin dia kedinginan.”

“Mungkin juga. Kasihan ya!” seru seseorang kepada

yang lain.

“Tapi kemarin sore kulihat pengemis itu sedang makan

sebungkus nasi dengan lahap dan senangnya. Raut wajahnya

benar-benar bahagia.”

“Aku yakin, sebelum meninggal ia ingin mengucapkan

banyak terima kasih pada orang yang telah memberinya nasi

itu,” komentar yang lain.

Tak terasa, air mata mengalir dari kedua pelupuk mata

Yulia. Sambil mengatupkan kedua bibirnya, gadis itu bedo’a

dalam hati, agar jiwa pengemis itu mendapatkan ketenangan di

surga.

Yulia merasa sedikit terhibur karena sempat

membahagiakan pengemis itu, walau hanya sesaat, dengan

sebungkus nasi.

“MENGINTIP MATAHARI LEWAT PANTAT BOTOL”

Banyak orang bercita-cita isa menatap permukaan

matahari. Sayangnya, tidak semua orang mampu mewujudkannya.

Sebab, menatap matahari tidak mungkin dengan mata telanjang.

Selain mata terasa pedih, pandanganpun tiba-tiba silau.

Kalau pun di paksakan, paling bertahan beberapa menit saja.

Teleskop, barangkali, masih satu-satunya alat bantu

untuk menatap benda-benda angkasa, seperti planet, komet,

dan asteroid. Sayangnya, sarana itu hanya di nikmati orang-

orang tertentu. Para ilmuan ruang angkasa, fisikawan,

astronot, atau beberapa hobiis tata surya. Bagi masyarakat

awam yang tak mampu membeli teleskop ya cuma bisa

mimpi”bercengkrama”,”tersenyum ceria” dan”bercanda mesra”

dengat pusat tata surya itu.

Memang ironis, matahari (pusat tata surya) yang

berbuat baik kepada seluruh ummat manusia melalui pancaran

sinarnya yang indah mepesona, kurang “bersahabat”

Dengan mata telanjang kita. Kita pun adakalanya jadi

iri melihat para ilmuan bisa menikmati kemolekan melihat

pusat tata surya kita itu.

Ingin “bercengkrama” dengan pusat tata surya,

seperti mereka? Berikut ini salah satu cara menatap

matahari, tanpa menyebabkan mata anda pedih, meskipun

berjam-jam. Caranya? Siapkan sebuh botol ,dan kaca kosong

bewarna hijau (botol anggur atau botol apa saja yang

berwarna hijau)”. Cuci botol sebisa mungkin. Lalu masukkan

kira-kira segelas air bersih di dalam motor itu. Biasa juga

cairan amoniak.

“ULAR DALAM SEPATU”

Bardi bergegas merapikan buku-bukunya dan

peralatan sekolahnya untuk siap- siap berangkat sekolah. Jam

sudah menunjukkan pukul 06.50.

“Sarapan dulu, Di”, kata ibunya sambil

menggelengkan kepalanya. Karena Bardi tergesa-gesa keluar

dari kamarnya. Kemudian Bardi meraih roti di atas meja dan

meminum seteguk susu.

Sejak mereka pindah, memang jarak antara

rumah Bardi dengan sekolahnya menjadi bertambah jauh. Bardi

harus mengayuh sepeda ke sekolah. Dulu memang Bardi jalan

kaki.

Setelah sampai di sekolah Bardi langsung

memarkir sepedanya. Lalu berlari ke kelasnya yang paling

ujung. Begitu ia duduk bel masuk berbunyi. Minggu lalu Bardi

dihukum oleh Pak Pardede, dikarenakan Bardi terlambat masuk

kelas.

“Hampir saja,” kamu kena hukuman,”jawab

Raja. “Hampir saja,” jawab Bardi dengan nafas lega.

“Kumpulkan buku kalian di depan, hari ini

ulangan,”kata Pak Pardede. Anak-anak kelas lima langsung

ramai protes. Namun Pak Pardede tidak peduli.

“Memangnya Bapak harus bilang kalau

sekarang ini mau ulangan?” Anak- anak terdiam seketika.

Bardi gelisah, karena semalaman dia tidur hingga larut

malam. Dan juga dia tidak sempat untuk belajar.

Bereskan sendiri, Di. Bik Atik tidak ada.

Belajar mandiri,” kata ibu ketika Bardi sudah pulang.

Emangnya Bik Atik kemana?” Tanya Bardi. Bik Atik pulang,

anaknya sakit. “berapa hari?” “sampai anaknya sembuh.

Esok harinya Bardi bangun tidur pagi-pagi

sekali. Hari ini dia piket sekolah. Bardi tidak mau

terlambat.

Selesai memakai baju seragam Bardi bolak-

balik bingung mencari sepatunya. “memangnya kamu taruh di

mana?” tanya ibu. Bardi tidak menjawab. Lupa. Kemarin Bardi

ingat, melempar sepatunya ke suatu tempat. Tapi di mana ya?

“Ada apa, Di?” tanya Wawan sambil

memegangi tangannya Bardi.

“Kamu kenapa Bardi, sakit?” tanya Nina

panik melihat wajah pucat Bardi.

Bardi lalu pingsan.. wawan dan Raja

berlari mencari telepon umum untuk menelepon orang tuanya.

Tak lama kemudian ayah dan ibu Bardi pun

datang. Ayah bardi langsung melepas sepatu yang dipakai

Bardi. Tapi betapa terkejutnya ayah, ibu, dan teman-teman

Bardi, ketika seeokor ular keluar dari dalam sepatunya

Bardi. Lalu cepat-cepat ayah mengambil sapu-sapu yang

digunakan untuk membunuh ular tersebut.

Bardi pun segera dibawa ke rumah sakit

terdekat. Kata dokter Iwan, Bardi Cuma kaget. “Untungnya

bukan ular berbisa,” katanya lagi.

Bardi memang takut terhadap ular. Ketika

ada yang menggeliat di dalam sepatunya. Seketika itu Bardi

membayangkan ular dan langsung berteriak, karena takut

berlebihan dia ketakutan dan langsung pingsan.

Sejak saat itulah Bardi tidak sembarangan

meletakkan barang-barang miliknya.

“TERPAKSA KALAH LAGI”

Dua hari lagi, saat-saat yang sudah

ditunggu-tunggu. Kesebelasan SD Wirolegi 7 akan berhadapan

dengan kesebelasan SD Kepatihan 4. Pertandingan tersebut

pasti akan seru sekali.

Dheo, pemain kanan luar SD Wirolegi 7 sudah

giat berlatih. Dia pemain SD Wirolegi 7 yang paling ditakuti

lawan karena larinya yang sangat cepat dan juga lincah.

Pada kejuaraan tahun lalu, SD Wirolegi 7

kalah dari SD Kepatihan 4. Semua teman- teman dan guru Dheo

sangat menyesali kekalahan itu. Dheo tiba-tiba jatuh sakit

sehingga tidak bisa memperkuat kesebelasan timnya.

Sekarang Dheo sudah siap. Dia sudah

berlatih dengan sungguh-sungguh. Dia berjanji kepada teman-

temannya untuk menebus atas kekalahannya yang tahun lalu.

Siang hari sepulang sekolah Dheo di suruh

ibunya untuk membeli benang. Benang itu akan digunakan untuk

menjahit baju olahraga yang akan dipakai saat pertandingan.

Sambil membayangkan celana merah yang

baru, Dheo berlari menuju warung. Setelah selesai membeli

benang, Dheo kembali berlari-lari hendak pulang. Tiba-tiba

Dheo melihat sebuah layang-layang yang putus. Tampaknya pula

ada anak yang sedang mengejar layangan tersebut.

Dheo lupa akan pesan ibunya agar cepat-

cepat pulang. Dasar pemain kanan yang hebat, kaki Dheo

sangat cepat berlari. Sebentar saja anak-anak lain sudah

ditinggalnya.

Tiba-tiba, kaki Dheo tersandung batu besar.

Tubuhnya bergguling-guling di atas jalan beraspal. Dan

gagallah Dheo untuk meraih layang-layang itu. Ia duduk

sambil meringis kesakitan. Pergelangan kakinya terasa sakit

sekali bukan kepalang. Anak lainnya pun menertawakannya.

Sudah dua hari Dheo masih berjalan

terpincang-pincang. Kakinya masih bengkok dan sakit. Ia

terpaksa duduk di pinggir lapangan, tidak ikut bertanding.

Sangat tersiksa perasaannya, karena kesebelasannya SD

Wirolegi 7 terpaksa kalah lagi dengan menyolok: 3-1.

“CERITA DI TONG SAMPAH”

Suasana subuh masih menyelimuti awan. Ayam jantan

berkokok membangunkan pemiliknya yang masih terlelap. Azan

subuh baru berkumandan. Udara bersih yang segar akan hilang

sebentar lagi. Kendaraan bermotor akan menyumbangkan

polusinya ke udara yang segar.

Seorang pemuda membawa karung beras yang kosong di

punggungnya. Ia berjalan menyusuri rumah-rumah sebuah

komplek di bilangan kota Jakarta. Sandal jepit tua dan

usang, setia menemaninya mengelilingi komplek perumahan itu.

Baju hitam dan celana hitam adalah pakaian dinasnya ketika

ia berkeliling menghampiri temapt-tempat sampah yang diam

membisu di setiap depan rumah.

Ada aneka ragam tong sampah di komplek itu. Ada yang

dibuat sangat indah, sepadan dengan warna cat rumahnya,

dibuatkan tutup tong sampah dari besi yang kuat. Ada yang

dibuat seadanya, dan ada pula yang hanya meletakkan tong

yang sudah bocor sebagai pengganti tempat sampah.

“Tong sampah ini pasti sudah tidak sabar menunggu

kedatanganku”. Dikunjunginya tong sampah pertama yang bercat

putih. Gerombolan lalat berlomba melarikan diri ketika ia

memasukkan tongkat besi yang biasa digunakannya untuk

mengais-ngais sampah.

“Sayang tidak ada yang bisa diambil, hanya sampah-

sampah rumah tangga”.

Sesekali anjing menggonggong melihat sosoknya atau

mendengar langkah kakinya. Memang suasana suny sangat peka

dengan suara yang pelan sekali. Entahlah, apa yang diucapkan

anjing-anjing tersebut. Terkadang ia berpikir, bahawa

gonggongan anjing-anjing itu adalah pujian terhadap dirinya.

Sebab ia tetap bekerja dengan tidak menjadi peminta-minta

atau merampok.

Tak pernah terpikir dalam dirinya untuk menjadi

seorang penjahat atau pengemis, meskipun profesi itu sudah

dijalani oleh beberapa temannya. Dan kehidupan mereka

menjadi lebih baik daripada kehidupannya kini. Tetapi

keberkahan tidak pernah menghampiri mereka. Hidup mereka

selalu diselimuti oleh derita dan tekanan.

Ah, ia hanya akan berkelut dengan sampah-sampah bekas

yang dibuang oleh pemiliknya. Inilah keahlian yang

dimilikinya. Profesi inisudah digelutinya sejak ia berumur

enam tahun, kegiatan rutin yang dijalaninya setelah

menjalankan shalat subuh.

Rumah yang terbuat dari kardus dan triplek itulah

tempat untuk menghamba kepada sang Khalik. Cukup untuk

berdiri dan sujud jika shalat, dan berbaring untuk melepas

rasa lelah. Tidak pernah ia mengharapkan yang lebih dari

itu.

Hatinya akan sangat girang bila mendapatkan gelas-

gelas plastik kemasan air mineral, atau kardus-kardus yang

sudah robek di sana-sini. Baginya benda-benda itu seperti

sebongkah emas yang menjadikannya seorang jutawan.

Tong-tong sampah itu selayaknya mesin ATM yang biasa

digunakan orang-orang yang tinggal di perumahan tersebut

untuk mengambil uang tabungna dengan cepat.

Suasana pagi adalah suasana yang sangat nyaman untuk

mengais sampah. Jarang ada orang yang melihatnya.

Di pagi-pagi buta ketika azan subuh belum

berkumandang, seorang remaja putri sedang menatap matanya di

depan computer. Tidak ada ide untuk ditulis, kosong.

Dibiarkannya komputer itu memainkan screen saver-nya.

Ia hanya menatap komputer itu. Sesekali ia menatap

langit-langit rumahnya yang tinggi dan putih bersih.

“Ya Allah, berilah hamba-Mu ide untuk menulis”. Do’a-

do’a itu selalu keluar dari mulutnya, ketika ia akan

menulis.

Kenapa pekerjaan in sulit sekali? Kenapa kerja

kerasnya tidak menghasilkan apa-apa? Semua sia-sia. Ia sudah

tahu bahwa pekerjaannya adalah hal yang sulit. Setiap buku,

koran, majalah, artikel di internet yang dibacanya

mengatakan bahwa pekerjaan ini membutuhkan semangat yang

keras.

Ia hany berharap bahwa hasil dari pekerjaannya dimuat

di salah satu media cetak. Ia hanya berharap ada redaksi

yang berbaik hati untuk memuat karyanya. Tetapi, sepertinya

itu hanya mimpi belaka. Beberapa sayembara juga sudah

diikutinya. Tapi, hasilnya nihil.

Sempat terpikir oleh dirinya, bahwa redaksi-redaksi

di majalah atau di koran yang telah dikiriminya tulisan

hanya akan memuat tulisan orang-orang yang memang sudah

dikenal sebagai penulis atau orang-orang yang berhubungan

dengan penulis, seperti adiknya penulis, kakaknya penulis,

atau anaknya penulis.

Sedangkan dirinya hanya penulis amatir, yang tidak

akan pernah dimuat karyanya oleh para redaksi di media cetak

mana pun.

Tetapi ia tidak bisa melepaskan ini semua. Menulis

ada bagian dari dirinya. Ia mersakan kepuasan yang tidak

dapat diutarakan ketika berhasil menyelesaikan tulisannya.

Ia hanya membayangkan bahwa tulisan-tulisannya kini

berada di tong-tong sampah redaksi. Atau beberapa di

antaranya mungkin sudah sampai di Bantar Gebang, atau tempat

pembuangan sampah lainnya.

Tidak adakah redaksi yang terbaik hati untuk menerima

tulisannya?

Hanya ketidak mengertian yang selalu memenuhi

pikirannya. Sudah hamper setahun ia mencoba untuk menulis.

Mengirimkan naskah ke media cetak yang terbit di ibu kota,

terutama media cetak kesayangannya. Setiap minggu

ditargetkannya untuk mengirim sebuah karya, bahkan lima

bulan terakhir menjadi dua karya dalam seminggu.

Kini sudah puluhan karyanya dibawa oleh pak pos ke

meja redaksi. Tapi...nihil. tak satu pun yang dimuat. Tidak

pernah ada kabar gembira yang datang kepadanya. Azan subuh

berkumandang. Remaja purti ini segera mengangkat badannya

untuk mengambil wudhu. Dibiarkannya komputer itu menyala.

Tidak perduli dengan anjuran pemerintah untuk menghemat

listrik.

Terasa segar air wudhu yang membasahi wajahnya.

Segera ia membentuk pintu kamar orang tuanya. Segera ia

mengetuk pintu kamar orang tuanya, membangunkan mereka untuk

melaksanakan salat subuh, kemudian membangunkan abang

kesayangannya.

“ KREATIF”

PR matematika belum selesai Endang kerjakan. Namun ia

segera meletakkan bolpennya. Ia tak tahan mendangar suara

tangisan Isan yang makin rebut saja.

Ending bertanya pada mbak Emi, pengasuh Isan.

“Isan tidak mau makan. Pakai sayur bening, tidak mau.

Roti, tidak mau juga. Sekarang dibikinin telor ceplok, dia

juga tidak mau. Keluh mbak Emi. Lalu menggaruk- garuk

kepalanya karena kehabisan akal.

Ending mengangkat alasnya tinggi. Lalu mendekati Isan

yang duduk di lantai dengan air matanya yang bercucuran. Dan

Endang pun menarik tangan Isan pelan dan hati-hati.

“ayo, makan sama mbak Endang. Makan roti dadu dengan

manik-manik mutiara...”

Seketika tangisan Isan seketika berhenti. Ia tak bisa

menyimpan rasa herannya. Setelah sesaat diam, ia bangkit

berdiri dan berkata,”Judul roti kok, panjang sekali, Mbak?”

Mendengar suara yang nyaris polos, Endang dan Mbak

Emi tak bisa menahan tawa.

Ending tergagap, ia menoleh pada Mbak Emi.” Apa tadi

judulnya, Mbak Emi?”... Endang lupa pada “Judul” yang

dibuatnya sendiri.

Masih menahan tawa, Mbak Emi menjawab ”lo, yang punya

judulkan Mbak Endang sendiri!

“Mmm, dengan manik-manik mutiara,” Endang menyambut

cepat. Ia mengusap air mata Isan yang mengalir dipipinya.

Isa duduk di kursi. Ending mengiris roti menjadi

kotak-kotak kecil. Ditata di piring dan ditetesi dengan susu

kental manis di atasnya.

“Dimakan dengan garpu kecil....,” Endang menusuk

sepotong roti itu dan.... mulut Isan sudah terbuka.

Nyami! Mbak Emi ternganga, soalnya, entah berapa kali

ia menyuruh Isan makan roti.

Keesokan harinya sepulanh sekolah, Endang melihat

Isan makan dengan gembira.

Mata Endang memudar. Di piring Isan, ada nasi dicetak

bulat seperti bukit kecil. Dan sepotong telur menghiasi

diatasnya, juga ditetesi kecap. Tapi... Endang mendekatkan

wajahnya. “telur kok bisa berbentuk dadu seperti itu?”

cetusnya heran.

Begini lho mbak. Sebelum di masak telurnya saya

pecahkan dulu. Kuning dan putihnyta saya campur, lalu

dimasukkan ke plastic dan dikukus. Lalu di iris- iris

berbentuk dadu,”jelas mbak Emi.” Kalau di rebus Isan hanya

mau putihnya saja. Padahal yang kuningkan lebih kaya akan

protein.

Plok plok plok! Endang betepuk tangan. “Mbak Emi

tambah pintar saja,” katanya memuji.

Mbak Emi lalu tertawa mendengarnya. Besok Isan akan

saya buatkan sayur bening pelangi!”

“sayur bening tapi tidak hanya bayam. Biar meriah ya

bikin warna- warni. Dikasih wortel dan makroni ,” jelas Mbak

Emi.

Sejak itulah Isan tidak rewel lagi soal makanan,

karena Mbak Emi sudah pintar berkreasi.

“KOKO KENA BATUNYA”

Pagi ini adalah pagi yang cerah. Koko bersiap

berangkat sekolah. Ditatanya buku tulis ke dalam tas dengan

rapi. Kemudian ia menyantap sarapan yang telah disiapkan

dimeja makan supaya nanti di sekolah mempunyai banyak

tenaga.

Jam menunjukkan pukul 06.30. Koko bergegas ke luar

rumah. Koko mencium kedua tangan orang tuanya sebelum

berangkat ke sekolah. Dia berangkat sekolah sambil

bernyanyi-nyanyi. Dia senang karena bertemu dengan banyak

teman.

Sampailah anak-anak di depan pintu gerbang sekolah

mereka. Di depan warung dekat sekolah, terlihat Bandung

bersama temannya Joko. Mereka terkenal sebagai anak yang

nakal. Kadang-kadang mereka meminta uang kepada anak-anak

yang lain dengan berbagai ancaman.

Bel berbunyi keras, tetapi ketiga anak tersebut masih

berdiri di depan warung. Anak-anak lain pun bergegas masuk

kelas masing-masing.

Pukul 7 lewat 5 menit, Bandung, Joko, dan Koko belum

juga masuk kelas. Bandung dan Joko terus mengajak Koko untuk

bolos. Koko belum mengerjakan PR, makanya dia mau saja

diajak membolos oleh mereka.

Bandung, Joko, Koko bejalan- jalan di dekat pasar.

Suasana sangat ramai. Koko merasa senang karena di ajak

membolos. Dia tidak perlu ikut pelajaran matematika. Sambil

berjalan, mereka melihat di sekitar pasar. Di antara meraka

ada yang melihat tempat video game yang cukup ramai.

Di dalam tampat persewaan video game suasananya

sangat ramai. Mereka bermain bertanding bola. Koko, Joko,

dan Bandung bermain sampai lupa waktu.

Setelah mereka cukup lama bermain, Koko merasa sangat

lapar, uangnya tinggal sedikit. Ia merasa menyesal main

game, karena ia banyak kehilangan uang. Terlintas di

pikirannya untuk membeli somay. Jajanan pinggir jalan itu

langsung saja ia beli dan segera dimakan.

Satu kantong plastik somay dihabiskan semua. Tiba-

tiba pandangan mata Koko menjadi kabur, perutnya terasa

sakit sekali. Tubuhnya jatuh di atas tanah. Pak polisi yang

melihat kejadian itu langsung menolong Koko dan membawanya

ke sekolah.

Tidak lama kemudian Koko pun sadar dari pingsannya.

Dilihatnya teman- teman berdiri di sampingnya.

Koko menceritakan semua asal mula dia pingsan. “Tadi

saya di ajak Bandung dan Joko membolos, bu. Terus saya makan

somay di pinggir jalan, dan akibatnya perut saya sakit

karena jajan sembarangan”.

Suasana kelas tiba-tiba riuh. Teman-temannya sibuk

bertanya pada Koko apa yang dialami.

Koko kaget dan sontak dia langsung duduk tenang. Dia

merasa bersalah karena talah menjadi penyebab kegaduhan.

Tak lama bel pulang pun berdering. Dia mulai

mengemasi barang-barangnya. Ibu guru memerintahkan Toya,

ketua kelas mereka untuk menyiapkan berdo’a.

“Gubrak!! “Suara aneh terdengar dari bagian belakang

kelas.

“Aduh,” teriak salah satu siswa.

Ternyata suara teriakan itu adalah suara Koko.

“Ada apa Ko? Tanya Bu Guru.

“Aduh sakit Bu, saya kejatuhan remahan plafon!” jawab

Koko.

Sebagian dari teman Koko ada yang tertawa ada juga

yang merasa kasihan terhadap Koko yang tertimpa plafon.

Setelah kejadian itu Koko diantar ke UKS. Di sana dia

diobati dan dibersihkan lukanya. Hesti memang seorang dokter

kecil. Jadi, masalah mengobati luka, adalah tugasnya sehari-

hari.

“Makanya, Ko. Jangan bolos! Kata Hesti.

“Iya Hes, aku juga menyesal. Coba aku nggak bolos ya?

Pasti nasibku tidak seperti ini. Perut sakit, pingsan,

tertimpa plafon pula!” lanjut Koko.

Selah semua lukanya dibalut. Dia pulang bersama

Hesti. Tak jauh dari persimpangan tempat ia berpisah dengan

Hesti, Koko bertemu dengan Bandung dan Joko.

Di saat Koko di ajak untuk bolos lagi, dia mencoba

menolak ajakan itu. Dia sudah berjanji pada guru dan teman-

temannya untuk tidak bolos lagi.

Hesti yang merasa cemas dengan keadaan Koko, tidak

langsung pulang. Dia mencoba untuk mengikuti Koko dari

belakang. Betapa kagetnya Hesti yang mendapati Koko sedang

berbincang- bincang dengan Joko dan Bandung.

Pada saat itu Hesti mengendap-endap secara diam-diam.

Mengamati segala gerak-gerik Joko, Koko, dan Bandung. Hesti

yang betubuh mungil bersembunyi di balik pos kamling. Hesti

menguping apa yang dibicirakan Koko, Bandung, dan Joko.

Ternyata Bandung dan Joko masih berusaha untuk

membujuk Koko untuk membolos lagi. Koko tetap pada

pendiriannya untuk tidak membolos lagi.

Koko berlari bersemangat menuju rumahnya. Bandung dan

Joko tersenyum di belakang Koko. Mereka membohongi Koko

tentang harga tiket band Gokil.

Hesti yang melihat kejadian itu merasa curiga. Pasti

ada yang tidak beres dengan mereka. Dia hanya bisa berharap

tidak terjadi apa-apa dengan Koko.

Sesampainya di rumah, Koko melepas sepatu dan

langsung tertidur pulas. Beberapa menit kemudian matanya

sudah terpejam. Ibunya hanya bisa memandang kasihan. Anaknya

habis pingsan siang itu.

Keesokan harinya, pagi itu berjalan seperti biasa.

Tidak ada yang terlalu spesial. Pukul 06.30 Koko sudah

berangkat sekolah.

Koko segera keluar rumah. Pagi itupun cukup cerah.

Suasananya sangat cocok untuk menonton suatu pertunjukan.

Tidak jauh dari tempat Koko dan teman-temannya

berdiri, Hesti sudah berdiri di tiang listrik yang menjulang

tinggi. Di mengamati segala gerak-gerik Bandung dan Joko. Ia

curiga ada sesuatu yang direncanakan Bandung dan Joko.

Tiba-tiba Koko mulai bergerak dari tempatnya berdiri.

Dan benar saja, dia beserta Joko dan Bandung menjauh dari

sekolah. Sesampai di halte,Hesti menghentikan langkahnya,

dia berbalik arah menuju sekolah, karena tinggal berapa

menit lagi bel akan berbunyi.

Dengan sedikit mimik kecewa, Hesti melangkah kembali

ke sekolah. Namun Hesti bisa memastikan bahwa Koko telah

membolos lagi.

Di halte bus, ketiga siswa itu menunggu angkot menuju

tempat konser band Gokil. Tak lama kemudian anngkot pun

tiba. Koko tak sabar melihat aksi band faforitnya.

Karena sudah puas melihat konser band faforitnya,

Koko ingin kembali pulanng ke rumah. Namun sekarang dia

sudah tidak punya ongkos pulang. Tiba-tiba ada dua orang

yang menghampirinya. Ternyata itu adalah Hesti dan Ibu Guru.

Pada akhirnya Koko pulang bersama ibu guru. Dia

menyesal karena telah mengingkari janjinya.

Sontak dia kaget saat kedua temannya itu di tangkap

polisi. Koko pun kembali ke dalam ruang kelasnya.

“TIGA SAHABAT YANG PEMBERANI”

Siang itu panas sekali. Rani, anak kelas 6 SD duduk

di pojok sekolahan bersandar pada sebuah pohon. Sambil

menyedot es sirup yang dibelinya.

Di kelurkannya sebuah buku dari dalam tasnya. Rani

duduk termenung sambil mengipas-ngipas bagian kepalanya

dengan buku tadi.

Ketika itu datang Niko, teman sekelas Rani yang suka

jahil namun baik hati. Niko suka dipanggil Nik oleh teman-

temannya. Termasuk juga si Rani.

Bel masuk pun berbunyi, tanda bagi siswa untuk masuk

kelas. Rani langsung menarik Niko yang bengong.

Dua jam berlalu, Rani bersiap untuk pulang. Tak lupa

mereka berdoa dulu. Ibu guru mengingatkan siswanya agar

tidak lupa mengerjakan PR.

Kemudian para siswa pulang bersama-sama. Kedua

sahabat itu berjalan berdua menelusuri jalan pulang. Tak

jarang mereka pulang bersama-sama. Beda dengan sahabat

mereka yang satunya lagi yaitu si Deden.

Dalam perjalanan itu Rani teringat akan keadaan Deden

yang sedang sakit. Niko yang ngelamun langsung ditegurnya.

Kepanasan langsung lari.

Tak lama kemudian sampailah mereka di rumah Niko,

Rani masih harus berjalan lagi menuju rumahnya. Rani yang

kepanasan langsung lari. Dia sesegera mungkin bisa sampai di

rumah.

Setelah sampai di rumah, Rani langsung lari ke kamar

mandi. Suara air mengucur deras dari dalam. Setelah itu dia

mencuci tangan dan kakinya. Karena kehausan, Rani langsung

membuka lemari es dan diteguknya segelas air minum.

Kemudian Rani langsung masuk kamar dan tidur di kasur

busa warna pink miliknya. Seketika itu dia ingat temannya

Nik yang pelupa. Rani segera memencet nomor telepon rumah

Nik.

Tak lama Nik mengangkat gagang telepon. Masih di

bawanya guling butut yang dipakai untuk tidur.

Setelah menelepon Niko, Rani menutup gagang telepon,

tak lama kemudian dia tertidur. Rasa capek seharusnya bisa

membuat Rani terlelap.

Tanpa dibangunkan ibunya, Rani sudah melek lagi. Dia

tidak tahu mengapa siang itu susah untuk tidur dan mungkin

juga karena siang yang panas.

Rani mengambil handuk yang di gantung. Ia bergegas

untuk mandi. Segera ia ganti baju pramuka dan bergegas

menuju rumah Nik.

Jam tangan Rani menunjukkan pukul 3.10. Seperti

biasa, Niko belum bangun dan kaget saat Rani sudah sampai

dirumahnya. Sambil tersenyum ia membuka pintu rumahnya.

Dilihatnya wajah Rani yang merengut. Sorot matanya yang

tajam. Dan Nik pun ketakutan melihat wajah Rani saat itu.

Niko mencoba menenangkan Rani yang meledak-ledak.

Niko yang memang sengaja memasang wajah yang lucu.

Setibanya di sekolah, barisan pramuka sudah berjajar

rapi. Tapi sayang, keterlambatan Rani dan Niko diketahui kak

John.

Sambil menghela nafas lega, Rani masuk ke barisannya.

Rani masuk pada regu teratai, sedangkan Niko regu kuda

terbang.

Setelah barisan dirasa sudah lengkap kak John mulai

menghitung jumlah anak didiknya. Namun, pada regu kuda

terbang, ada satu anggota yang kurang. Ketua mereka Deden

tidak kelihatan.

Rani dan Nik mengambil tas mereka dan bergegas

pulang. Keduanya senang karena sepertinya hari ini kak John

baik hati.

Tibalah Rani dan Niko di depan rumah Deden. Terlihat

suasana sepi.

Setelah cukup lama, Rani mengajak Nik untuk pulang.

Dia merasa Deden tak ada di rumah. Mereka berduab berjalan

ke luar pagar untuk pulang. Tiba-tiba ada yang membukakan

pintu. Seorang laki-laki berumur 12 tahun. Wajahnya pucat

dan berdirinya pun sempoyongan.

Rani dan Nik segera berlari menghampiri teman mereka

yang sudah tidak masuk sekolah selama dua hari itu. Mereka

bertiga berada di ruang tamu Deden yang nyaman itu.

Keesokan harinya mereka mengadakan kemah. Pagi-pagi

sirine telah berbunyi. Mereka harus membuat barisan

berbanjar sesuai regu masing-masing. Segera mereka semua

berlari dari pick up dan menuju lapangan.

Serentak barisan anak-anak itu berjajar rapi

menghadap ke timur berlawanan dengan pembina upacara. Niko

mulai membuat ulah, rasa ingin buang air kecil telah di

tahannya sejak di atas bak mobil tadi. Suasana heboh

memecahkan keheningan upacara pembukaan. Regu kuda terbang

SD Pelita Harapan menjadi pusat perhatian. Muka Deden

terlihat kemerah-merahan menanggung malu karena kelakuan

temannya, Niko. Suara tertawa lirih terdengar dari seluruh

penjuru barisan.

Melihat kejadiaan itu, seluruh anggota regu Teratai

dan Kuda Terbang langsung menundukan kepala karena malu.

Tak lama kejadiaan itu berlalu dan upacara pembukaan

pun selesai. Regu kuda terbang kebagian di bawah pohon sawo,

sedangkan regu teratai sekitar 15 meter dari pondok kecil.

Tongkat pramuka berwarna coklat tua berpanji kuda terbang

ditancapkan tegak di samping pohon itu.

Regu teratai yang cekatan juga sudah menyelesaikan

tendanya dengan baik. Ketua regunya si Tari menghampiri

Deden mengajak untuk mengambil nomor urut peserta di tenda

panitia. Nik dan teman-temannya menunggu di bawah pohon.

Prit... prit... prit. Suara sempritan berbunyi tanda

peserta kembali berkumpul. Regu Kuda Terbang segera berlari

dan cepat-cepat membuat barisan. Mereka tidak ingin mendapat

malu yang kedua kalinya.

Nomor urut peserta sudah di bagikan. Sepertinya

saingan terberat adalah SD Nasional yang dua tahun terakhir

selalu memenangkan lomba yang sama. Niko yang regunya tidak

mau kalah, memandangi regu Marabunta SD Nasional yang

lataknya dua regu di samping kiri regu kuda terbang dengan

tajam.

Dan tibalah waktunya lomba dimulai. Regu yag

berangkat pertama kali adalah SD Nusa Indah.

Tak terasa regu Deden pun berangkat. Yel-yel pun

mulai disuarakan. Niko sebagai pemandu acara mengeluarkan

gaya-gayanya yang menarik perhatian. Panitia pun dibuat

takjub dengan tingkah Niko yang lucu.

Tak jauh dari regu Kuda Terbang, regu teratai

menyusul di belakang. Deden dan regunya menuju POS 1 untuk

tes baris-berbaris atau PBB.

POS 1 dilewati dengan lancar. Regu teratai dan Kuda

Terbang jaraknya pendek, digabungkan menjadi satu. Jarak

antara POS 1 dan POS 2 memang cukup jauh.

Karena sudang berjalan cukup jauh akhirnya regu itu

memutuskan untuk beristirahat. Karena sudah tak tahan lagi

ingin buang air kecil, Niko yang takut itu mengajak Rani

untuk mengantarkan dirinya. Rani mengikuti Niko dari

belakang tak lama mereka berjalan, mereka menemukan sungai.

Dari semak-semak terdengar suara yang menggagu

telinganya. Suara itu membuat dirinya sangat penasaran.

Dilihatnya segerombolan laki-laki dewasa dengan sebuah truk

merah berukuran sedang. Salah satu dari mereka memakai

sepatu boot dan berkacamata hitam.

Karena rasa tahunya tinggi, Niko terus saja menyimak

pembicaraan mereka. Niko yang menyimak dibalik pohon merasa

kaget atas apa yang dia dengar. Dia yang merasa takut

akhirnya dia kabur dan berlagak seperti tidak ada yang

terjadi.

Keempat orang tadi curiga ternadap Niko, para lelaki

itu langsung menangkap Niko yang ketakutan itu.

Rani bingung menungggu Niko yang tidak kunjung

kembali dari tempat ia buang air kecil.

Rani yang khawatir atas keadaan Niko langsung

menceritkan kejadiaan ini kepada teman-temannya. Deden yang

ikut khawatir memutuskan untuk menolong Niko yang hilang.

Teman-temannya yang lain kembali ketempat panitia untuk

meminta pertolongan.

Setelah lama mencari Niko, Deden menemukan tanda dari

Niko. Deden meneruskan perjalanan menuju bilik tempat Niko

berada.

Deden mengendap-ngendap mendekati bilik. Sampailah ia

pada sebuah jendela belakang. Betapa kagetnya dia mendapati

Niko menangis sambil membawa bendera semaphore.

Deden bernafas sejenak untuk berfikir bagaimana cara

untuk menyelamatkan Niko. Langsung ia mendekati sapi-sapi

kecil yang diikat di bawah pohon tadi. Di ambilnya batu

tajam untuk mengerat ikatan tali yang menjerat sapi. Dengan

sekuat tenaga, ikatan tali itu pun lepas. Sontak, sapi-sapi

itu berlarian dan menimbulkan suara riuh.

Kawanan pencuri itu berlarian keluar bilik mengejar

sapi yag lepas. Cepat- cepat Deden dan Niko keluar.

Setelah pencuri itu selesai menangkap sapi-sapi itu,

Deden dan Niko yang mau kabur segera dicegat oleh mereka.

Tak lama kemudian polisi pun datang dengan menodongkan

pistolnya kepada pencuri itu. Mereka sangat kegirangan, dan

Rani yang berada di luar tersenyum manis.

Ketiga bocah itu kembali ketenda diantar Pak Polisi.

Teman-teman mereka sangat senang melihat mereka pulang

dengan selamat.

“RUSA YANG SOMBONG”

Seekor rusa jantan yang sedang memimpin kawanannya

mendaki bukit, menuju sebidang padang rumput. Dia tahu di

mana perangkap-perangkap itu terdapat. Rusa itu berjalan

dengan santai menuju perangkap yang tersembunyi dan di

belakangnya berbondong-bondong sekawanan rusa.

Ketika sekawanan rusa itu mendekati sumber air, anak

rusa yang berada di belakang berlari menuju ke depan

memberitahukan kepada pemimpin rusa itu supaya tidak

melewati jalan itu sebab ada lubang tersembunyi di jalan

itu. Tetapi rusa itu tidak memperdulikan perkataan anak rusa

itu.

Dengan sombongnya rusa itu melangkah dengan gagah ke

arah lubang yang tersembunyi itu bersama kawanannya, dan

suatu malapetaka terjadi bahwa rusa sang pemimpin itu dan

salah satu kawanannya terjatuh kelubang tersebut. Sang

pemimpin rusa itu mati dengan penyesalan karena tidak

mengikuti nasehat dari anak rusa yang kecil itu.

“KEMATIAN”

Telegram senja yang ku terima, cukup membuat aku

berpikir dengan berbagai kemungkinan. Bunyi telegram cukup

padat, singkat dan memancing bermacam-macam tafsiran tentang

keluarga yang jauh,”pulanglah! Kakek mau bertemu, titik.”

Pada akhir keputusanku, aku mau pulang dengan jalan

darat, memakai kendaraan umum, bus, serestafek. Kukira itu

jalan paling singkat yang harus ku tempuh. Kalau aku memilah

jalan udara, disamping uang tak cukup, juga ada persoalan

lain berupa resiko yang harus aku hadapi. Resiko apakah ada

tempat kosong untuk berangkat besok atau kapan jadwal

penerbangan yang tepat.

Soalnya, tempat tinggalku kecil, tapi disinggahi oleh

penerbangan domestic yang seminggu entah berapa kali. Aku

sudah mempertimbangkan jika estafet berjalan dengan lancar,

berakhir dalam dua hari bisa sampai. Jika ada yang tidak

beres, mungkin entah berapa hari aku baru sampai. Tetapi aku

berharap semuanya beres dan berjalan dengan lacar.

Memang keinginan untuk cepat mengetahui masalah,

menggebu-gebu dalam benakku. Tetapi, aku juga harus

memperhitunngkan segi ekonomi. Maklumlah, aku belum

berpenghasilan dan kiriman dari rumah selalu saja pas-pasan.

Tak ada kemungkinan untuk menabung, menyisakan uang. Apa

boleh buat aku belajar pasrah setelah usaha maksimal

ketempuh tak berhasil.

Kondisi tingkah perilaku baik ekonomi dalam arti

mengatur kehidupan. Itu pesan kakek. Malahan katanya,

kesederhanaan adalah “ pengelapan” hidup yang semakin

meresap.

Terbayang wajah kakek, yang menjelaskan tentang hidup

yang tak akan abadi untuk selamanya. Karena semuanya akan

musnah dan tak ada sisanya di dunia ini.

“AKAL DODO”

Teng! Teng! Teng!

Bel pulang berdentang nyaring. Anak-anak riuh

berhamburan keluar kelas. Dodo berlari kecil, bergegas ke

gerbang sekolah. Berharap Beno, adik kelasnya, menunggu di

sana. Mereka bertetangga. Setiap hari Beno diantar mobil.

Dodo diizinkan menumpang.

Akan tetapi, ups! Dodo menepuk dahinya. Ia baru

ingat, hari ini Beno tidak masuk sekolah karena sakit.

Berarti Dodo harus pulang sendiri. Ia merogoh uang saku

celananya, berharap masih ada uang untuk naik metromini.

Namun, ternyata tak ada uang sepeser pun di sakunya! Semua

habis dijajankan. Ia benar-benar lupa Beno tak masuk.

Dodo menarik nafas menenangkan diri. Sambil berpikir,

ia berjalan menyusuri trotoar. haruskah pulang berjalan

kaki? ah, dodo menggeleng pelan. rumahnya terlalu jauh.

Menumpang teman? Boleh juga.

Banyak sekali temannya yang searah dengan dirinya,

namun Dodo menggelengkan kepalanya. Lalu mereka keluar

halaman sekolah. Di halte bus dia berhenti. Dia melihat

pengamen duduk di dekatnya yang sedang bernyanyi sambil

memainkan gitarnya.

Plok! Plok! Plok!

Dodo bertepuk tangan mendengar bang Darim selesai

menyanyi. Pemuda itu terkejut melihat Dodo dengan heran.

“ Oooo, kukira kamu menghinaku,” bang Darim

tersenyum.

Ketika bus metromini jurusan pasar minggu berhenti,

keduanya segera meloncat naik. Kami pengamen jalanan akan

menyanyikan lagu untuk menghibur anda. Bang Darim mulai

memetik gitarnya. Dodo bertepuk tangan dan menyanyi kan

sebuah lagu yang tak asing lagi baginya dengan judul

”bujangan”.

Sampai di pasar minggu Dodo dan Bang Darim pun turun.

Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih. Dodo menyerahkan

kantong permen yang berisi uang kepada Bang Darim.

Setelah itu Dodo tersenyum manis dengan ragu.

Keduanya lalu terpisah. Dodo pulang dengan membawa uang hasi

ngamennya bersama Bang Darim. Dan Bang Darim meneruskan

ngamennya.

“PENCURI DAN HARIMAU”

Suatu hari, Somat melihat sapi Pak Tarman yang cukup

gemuk. Somat meneliti di mana letak kandanya dan di mana

juga jalan yang akan di gunakan untuk lari andai ia

ketahuan.

Setelah cukup meneliti, Somat kemudian pulang dan

menunggumalam tiba. Saat malam tiba, Somat pun mengendap-

ngendap menuju rumah Pak Tarman. Ia berhasil mendekati

kandang sapi. Dalam gelapnya malam, Somat melihat sosok

hitam di sudut kandang sebelah utara.

Somad tak tahu, kalau sore itu ada seekor harimau

yang memasuki kandang itu.

Somad melangkah bersiap memasuki kandang. Namun tiba-tiba

trdengar suara anak pak Tarman menagis.

Setelah suasana kembali sepi hati pak Somad

jadi senang. Telah dirasa aman, Somad kembali mendekati

pintu kandang tersebut namun ia pun mendengar ucapan

pengasuh anak pak Tarman. Meskipun binatang, harimau itu

mengerti bahasa manusia. Ia pernah mendengar cerita manusia

tentang hantu yang seram.

Saking takutnya, si harimau diam saja ketika Somad

mengalungkan tali di lehernya. Ia juga menurut saat Somad

menuntunnya keluar kandang.

Mereka terus berjalan, semakin jauh dari

rumah pak Tarman. Biasanya harimau itu suka sekali menggeram

dan mengaung. Namun kini ia diam saja karma takut.

Si harimau itu jadi bingung. Mengapa ada hantu yang

berlari di saat dirinya menggeram. Saat itu orang-orang

terbagun mendengar teriakan Somad. Mendengar suara-suara

manusia harimau itu berlari menyelamatkan diri. Suasana jadi

gempar si harimau itu mempercepat larinya.

“SURAT”

Alma dan Alda berlari menyambut pak Pos. Alma langsung

menyambar surat dari pak Pos. Alda merebut surat itu dari

adiknya. Keduanya sibuk merebutkan surat itu.

Akhirnya .....BREET! Surat itu sobek. Alma dan Alda kaget

bukan main. Apalagi setelah membaca tulisan di amplop surat.

Di situ tertera nama Ayah mereka.

“Kamu sih tidak sabaran! Surat ayah sobek deh!” tuduh

Alda.

“Enak saja! Tadi kan kakak yang merebut dari

tanganku,” sangkal Alma.

“Sudah-sudah. Sekarang kita simpan surat ini di laci.

Lalu kita cari jalan keluarnya,”Alda menghentikan

petengkaran mereka.

Menjelang malam, mereka belum juga mendapat cara

untuk memecahkan masalah itu. Bahkan, dua hari kemudian,

surat itu masih tetap ada di laci meja belajar Alda. Belum

juga di serahkan pada ayah mereka. “ bagaimana, Ma? Sudah

ketemu belum caranya”tanya Alda.

“Belum, kak!” jawab Alma singkat. Namun

beberapa saat kemudian wajahnya tampak girang” Asyik! “Aku

dapat ide!”

“Apa idemu, Ma?” Tanya Alda tak sabar.

“Bagaimana kalau amplop suratnya kita ganti dengan

yang baru. Alamatnya kita salin kembali. Kemudian kita

serahkan pada Ayah, Pura-pura baru kita terima tadi siang,”

Ujar Alma pada kakaknya.

“ANDAI ADA KESEMPATAN KE DUA”

Teeeeet, bel istirahat berbunyi. Anton,

murid kelas 5, segera berlari ke kelas 6. Ia menghampiri

Hadi, teman satu regu di pramuka.

“Kemarin bapak membelikanku 3 film baru,”

ujar Anton. Pulang sekolah nanti, kita nonton sama-sama, ya!

“Aku mau tapi...aku ada les privat. Tapi

kalau sudah selesai les, aku akan menyusul ke rumahmu?”ujar

Hadi.

“boleh, boleh. Kami akan nonton duluan,

nanti kamu menyusul! Anton mengakhiri pembicaraan.

Saat makan siang, Hadi memikirkan

kesembilan orang temannya itu. Hatinya mulai bimbang. Ia

memikirkan PR matematika yang sulit serta prakarya yang

setengah jadi. Mana yang harus ia pilih?

“Bagaimana kalau les-ku diganti dengan

hari lain? Ah, biar nanti aku menelepon Mas Gito.

Selesai makan Hadi bergegas mencari Hadi

yang gambil sepedanya. Tapi ibunya menghadang,” Mau kemana

Hadi? tanya ibunya.

“Cuma sebentar kok, bu,”jawab Hadi sambil

mengambil sepedanya.

Hadi bepikir. Tapi bukan les yang

dipikirkannya. Melainkan soal tiga film baru di rumah Anton.

Hari ini les ditunda, PR matematika dikerjakan di rumah

Anton sambil menonton film, begitu pikir Hadi.

“Mmm, les-nya ditunda dulu, Mas. Sambil

Mas Gito kembali dari solo.”

Mas Gito akhirnya berpamitan dengan lega.

Ketika tiba di rumah Anton, Hadi melihat 8

sepeda diparkir di halaman. Semua sudah berkumpul! Anton

gembira menyambut Hadi yang tidak jadi les.

Setelah film pertama sudah selesai di

putar. Hadi ingin memutar ulang. Karena ia ingin menonton

bagian awalnya. Mereka pun menonton film ke dua. Tak terasa

hari mulai semakin sore. Ketika film kedua selesai, Anton

bertanya.

“Aku tidak tahu, berapa lama masa film

ketiga ini. Apa semua belum bosan dan masih mau menonton

lagi film yang ke tiga.

Namun, di tengah film televisi mulai

mati. Orang tua Anton menelepon dari kantornya memberitahu

Anton bahwa ada gardu yang terbakar. Mereka semua segera

menutup semua pintu dan jendela.

Kesepuluh anak itu kaget. Apalagi Hadi

yang belum mengerjakan PR matematika dan prakarsanya.

Film memang bisa diputar ulang. Namun

kesempatan hanya datang satu kali! tentu Hadi akan

mengerjakan PR dan prakarsanya dulu.

“TERSINGGUNG PADA KUDA”

Raja yang amat sayang pada kuda hitamnya. Si Hitam

tampak gagah dan anggun, bulunya berkilat dan ringkiknya

kuat.

Suatu hari, Raja singgah di kandang kuda

kesayangannya. Raja amat heran ketika melihat Mista si

pejaga kuda sedang menyuapi si hitam. Di dekatnya ada baskom

kecil yang berisi cairan. Si Hitam makan rumput dengan lahap

sekali.

Pada saat itu raja ingin sekali menyuapi si hitam.

Akan tetapi si Hitam malah melengos tak mau di suapi raja.

Di dalam istana Raja menyibukkan diri denganmembaca

surat-surat yang masuk. Ia berusaha untuk melupakan ulah si

Hitam tadi itu. Namun di dalam hati sang Raja masih marah

pada si Hitam.

Dia mencoba untuk menceritakan hal tersebut kepada

permaisuri. Tapi permaisuri tersenyum melihat perilaku sang

Raja. Namun sang Raja tetap saja ingin tahu apa sebab si

Hitam menolak suapan sang Raja. Pada akhirnya sang Raja

menyuruh pak Kosim untuk menyelidiki hal tersebut. Pak Kosim

aadalah tukang cukur juga orang kepercayaan Raja. Dan juga

Pak Kosim pandai menyimpan rahasia.

Pak Kosim di suruh untuk mendekati Mista. Mista

yang sedang menyuapi si Hitam. Ia mengambil segenggam rumput

yang di masukkan ke dalam baskom yang berisi cairan dan

menyuapi si Hitam. Si Hitam menyambut rumput itu dengan

lahap.

Kemudian pak Kosim menyapa Mista, dan Pak Kosim pun

bertanya mengenai mengapa si Hitam sangat lahap ketika

disuapi dirinya.

Setelah di kasi tahu, Pak Kosim mengikuti jejak-

jejak yang diberitahu Mista. Ternyata si Hitam juga memakan

habis rumput yang diberi Pak Kosim.

Pak Kosim pun langsung menghadap sang Raja. Ia

menjelaskan rahasia rumput si Hitam.

Setelah sang Raja mengetahui hal tersebut, sang

Raja langsung menghadiahi Pak Kosim dengan sekantung emas

dan uang. Ia pulang kerumah dengan rasa gembira.

“PETUALANGAN KAPTEN KOLOR”

George dan Harold bersahabat. Rumah mereka

bersebelahan dan mereka duduk di kelas 4.

Kedua anak ini sebenarnya anak yang baik. Cuma

George dan Harold punya kekonyolan yang kalau di daftar akan

panjang sekali, sehingga kadang mereka mendapat masalah dan

sekali waktu mereka mendapatkan kesulitan yang amat sangat

BESAR.

George dan Harold suka sekali pergi ke rumah pohon

tua di halaman belakang rumah George. Di sana Harold

menggambar dan George mengarang cerita.

Mereka sudah menciptakan ratusan komik yang di

bintangi lusinan super hero. Kapten Kolor ini adalah jagoan

yang terbang hanya memakai celana kolor atau celana dalam

saja. Dan dia juga bisa berantem dengan “kekuatan karet

kolor”.

Karena kekonyolan George dan Harold kadang

menimbulkan masalah besar.

George dan Harold kena hukuman. Tapi berkat cincin-

hipnotis 3-dimensi yang dipesan dari toko si Cebol yang sok

tahu. Mereka bisa mengubah Mr. Krupp yang galak itu menjadi

Kapten Kolor super hero yang paling top, yang berjuang demi

kebenaran, keadilan serta segala sesuatu yang tidak bakal

menyusut lagi.