38791 PERENCANAAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Transcript of 38791 PERENCANAAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
PERENCANAAN USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Indonesia merupakan negara dengan bentuk kepulauan
yang terbesar di dunia. Indonesia terdiri dari 13.000
pulau besar kecil dan memiliki panjang garis pantai
81.000 km. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki
potensi 26 juta Ha areal perikanan laut dan pantai.
Selain sebagai lahan penangkapan ikan, perairan pantai
juga dimanfaatkan untuk usaha budidaya perairan (marine
aquaculture). Dari areal lahan pantai seluas 26 juta
Ha, hanya 680.000 Ha atau kurang dari 3% yang
dimanfaatkan untuk produksi (ADB, 2006, Project Number
35183).
Menentukkan Ide Bisnis
Salah satu bidang aquaculture (budidaya perairan) yang
berkembang dewasa ini adalah budidaya rumput laut
(seaweed culture) terutama budidaya rumput laut jenis
Eucheuma Cottonii. Rumput Laut Euchuema Cottonii.
Taksonomi dan Morfologi Eucheuma cottonii
dapat diklasifikasikansebagai berikut :
Phylum : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Family : Soliericeae
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma cottonii
Ciri-ciri umum antara lain : terdapat tonjolan-tonjolan
(nodules) dan duri (spines), thallus berbentuk
silindris atau pipih, bercabang-cabang tidak teratur,
berwarna hijau kemerahan bila hidup dan bila kering
berwarna kuning kecoklatan. Gambar
Rumput Laut Eucheuma cottonii
Karaginan merupakan senyawa polisakarida yang
tersusun dari unit D-galaktosa danLgalaktosa 3,6
anhidrogalaktosa yang dihubungkan oleh ikatan 1-4
glikosidik Setiap unit galaktosa mengikat gugusan
sulfat. Kappa karaginan tersusun dari (1 - > 3) D-
galaktosa-4 sulfatdan (1 - > 4) 3,6 anhydro-D-
galaktosa. Iota karaginan mengandung 4-sulfat ester
pada setiapresidu D-galaktosa dan gugusan 2 sulfat
ester pada setiap gugusan 3,6 anhydro-D-
galaktosa.Sedangkan lambda karaginan memiliki sebuah
residu disulphated (1-4) D-galaktosa (Istini dkk,2007).
Struktur kimia kappa, iota dan lambda karaginan
ditunjukkan gambar
Indonesia memiliki potensi areal budidaya rumput
laut seluas 1,2 juta Ha, dengan potensi produksi rumput
laut kering rata-rata 16 ton per Ha. Apabila seluruh
lahan bisa dimanfaatkan maka akan dapat dicapai
17.774.400 ton per tahun dengan harga Rp.4,5 juta per
ton. Dengan kisaran jumlah produksi dan tingkat harga
tersebut, akan diperoleh nilai Rp.79,984 triliun. Namun
dari potensi area yang sangat luas ini, Indonesia saat
ini hanya mampu mengusahakan 3% dari potensi lahan yang
ada (BEI News Maret-April, 2005).
Berdasar data yang dikemukakan di atas, masih
terbuka lebar peluang usaha budidaya dan investasi
pemrosesan rumput laut. Peluang usaha itu semakin besar
sejalan dengan perkembangan permintaan rumput laut
dunia yang meningkat rata-rata 5-10% per tahun. Dewasa
ini permintaan rumput laut yang ditujukan kepada
eksportir Indonesia diindikasikan sudah mencapai 48.000
ton rumput laut kering per tahun (World Bank Report,
2006).
Rumput laut pada waktu ini menjadi salah satu
komoditas pertanian penting yang makin banyak
dibudidayakan karena permintaan terhadapnya makin
meningkat. Disamping karena kandungan agarnya juga ada
kandungan karagenan (Carrageenan) yang penggunaannya
makin meluas. Rumput laut dengan kandungan bahan untuk
agar terutama didapatkan dari spesies Gracilaria dan
Gelidium, sedangkan untuk kandungan karagenan banyak
dibudidayakan spesies Eucheuma, ialah Eucheuma Cottoni
dan Eucheuma. Sebagai karagenan, rumput laut kering
diolah menjadi bentuk tepung untuk diekspor dan
sebagian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhan pasar lokal mencapai 22.000 ton per tahun
(Ekon. Neraca 2 Juni 1999).
Karagenan merupakan bahan yang unik untuk berbagai
industri makanan seperti kemampuan dengan konsentrasi
rendah mengikat cokelat ke dalam susu cokelat. Sari
karegenan juga dipergunakan untuk pembuatan
“dessertgel” semacam agar untuk hidangan penutup makan.
Karagenan memiliki derajat panas pencairan yang tinggi,
sehingga mudah dipasarkan di daerah tropis atau di
tempat yang tidak tersedia lemari pendingin
(refrigerator). Agar karagenan juga banyak dipergunakan
sebagai bahan penambah (additive) pada berbagai makanan
Eropa.
Fungsi karagenan sebagai perekat pasta gigi
menyaingi penggunaan sodium carboxymethylcellulose
(SCMC), karena keunggulan kualitasnya dan penampilan
karagenan dalam pasta gigi. Karagenan juga sangat
penting di dalam industri makanan binatang piaraan (Pet
Food), penyegar udara (Air Freshener) dan dalam daging
hamburger sebagai subsitusi lemak. Berikut gambar alat
yang dipakai pada proses pembuatan karaginan
Penggunaan karagenan rumput laut akan bertambah
makin luas dan makin banyak di masa yang akan datang,
sehingga permintaan terhadap produksi rumput laut ini
akan terus meningkat di masa mendatang.
Potensi usaha budidaya ini akan terus berkembang
sejalan makin luasnya pemanfaatan rumput laut sebagai
bahan makanan, polimer maupun bahan dasar kertas dan
industri lainnya. Untuk memanfaatkan peluang pasar yang
masih sangat terbuka ini, maka usaha-usaha di bidang
rumput laut yang sangat potensial untuk dikembangkan
adalah:
1. Pembukaan usaha budidaya rumput laut, atau
pengembangan perluasan usaha dengan perluasan areal
budidaya.
2. Pengolahan paska panen untuk memperoleh nilai
tambah
3. Industri pemroses rumput laut untuk produk makanan
siap saji, Semi Refined Carrageenan (SRC) dan Alkali
Treated Carrageenan (ATC).
Hampir seluruh daerah di Indanesia dapat
dilangsungkan usaha budidaya rumput laut antara lain di
Sulawesi, Bali, NTB dan NTT, serta Papua. Di NTB rumput
laut banyak dibudidayakan di Pulau Bali, Pulau Sumbawa
dan Pulau Lombok. Mengingat besarnya permintaan pasar
terhadap bahan baku rumput laut tersebut dibidang
industri baik makanan, bahan baku kosmetika, dunia
medis, dan industri maka diperlukan usaha penyediaan
bahan baku yang memiliki kualifikasi yang dapat
diterima. Dengan produksi yang tinggi maka ketersediaan
bahan baku menjadi tersedia dan menentukan
keberlangsungan usaha lanjutan bidang ini.
Berdasarkan peluang usaha yang dianalisa maka
prospek usaha yang menguntungkan dibidang rumput laut
ini maka dipilih usaha budidaya dan pemrosesan rumput
laut bahan baku industri dalam skala yang lebih besar.
Bentuk produk yang akan diproduksi adalah rumput laut
jenis Euchema cottoni dengan pola usaha budidaya metode
tali letak dasar.
Gambar 1. Rumput laut jenis Euchema cottoni
Pemilihan usaha budiaya rumput laut sebagai ide bisnis
ini didasari semakin meningkatnya permintaan pasar
lokal, nasional dan bahkan internasional terhadap bahan
baku dan makin meluasnya skala pemanfaatan bahan baku
rumput laut dalam dunia industri. Kebutuhan yang kian
meningkat ini menjadi tantangan untuk dapat dipenuhi
terutama dari usaha budidaya dan pemrosesan rumput
laut. Sebagai daerah yang didominasi oleh wilayah
perairan menjadikan potensi pengembangan rumput laut
yang sangat tinggi. Pengembangan rumput laut dilakukan
dengan pertimbangan : periode budidaya singkat (30 – 60
hari), transfer teknologi mudah, serta mampu melibatkan
partisipasi aktif perempuan secara massal. Selain
dipengaruhi oleh kenyataan bahwa komoditas ini belum
memiliki kuota, baik di pasar domestik maupun
internasional.
Segmentasi Pasar dan Target Pasar
Kondisi industri hilir rumput laut di Indonesia saat
ini tergolong minim dan penyebarannya masih
terkonsentrasi di beberapa kota besar seperti Surabaya,
Makassar dan Jakarta. Minimnya industri hilir dalam
negeri, secara kalkulasi merugikan, terutama bagi
industri hulu yang mayoritas berada di Kawasan Timur
Indonesia (KTI). Akselerasi industri hulu yang tinggi
tidak diimbangi dengan pengembangan industri hilir,
sehingga secara simultan mendorong orientasi pemasaran
(domestik/ekspor) dalam bentuk bahan mentah.
Hasil panen produksi budidaya oleh pembudidaya,
dijual dalam bentuk rumput laut kering, setelah dijemur
selama 3 sampai 4 hari. Rumput Laut Kering dimasukkan
ke dalam karung-karung plastik untuk dijual kepada para
pedagang pengumpul atau kepada Koperasi yang kemudian
menjualnya kepada pengusaha / pabrik pengolahan rumput
laut di beberapa kota besar di Indonesia. Para
pengumpul membeli rumput laut kering dari nelayan
dengan harga sekitar Rp. 3.500 – Rp. 5.000 per
kilogram, tergantung pada jenis rumput laut ataupun
jarak lokasi budidaya ke perusahaan pengelola.
Pemasaran seperti ini bagi pembudidaya memang tidak
menguntungkan dari segi harga.
Gambar 2. Pengolahan pasca panen rumput laut
Segmentasi Pasar
Permintaan rumput laut dipengaruhi oleh permintaan
pengguna rumput laut yaitu industri-industri makanan,
obat-obatan dan bahan polimer. Ekspor rumput laut
Indonesia secara total selalu meningkat pesat.
Perkembangan ekspor itu terjadi pada hampir seluruh
negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia, Peningkatan
ekspor paling pesat terjadi pada negara tujuan ekspor
rumput laut Indonesia di Asia yaitu: Cina, Hongkong dan
Phillipina.
Proyeksi peluang pasar, ekspor rumput laut
Indonesia mengalami perkembangan rata-rata 15% per
tahun. Selain ditunjukkan oleh perkembangan ekspor juga
dapat dilihat dari selisih antara jumlah
permintaan/kebutuhan dunia dan jumlah yang mampu
diproduksi. Kondisi tingkat penawaran rumput laut di
tingkat dunia yang belum mampu memenuhi permintaan yang
ada. Hal demikian juga terjadi di Indonesia, kemampuan
produksi yang ada masih kecil dibanding permintaan.
Penawaran suatu produk selalu berada pada posisi
sebatas kemampuan kapasitas produksi. Pada tahun 2005
permintaan rumput laut dunia mencapai 260.571.050 ton
berat kering sementara Indonesia hanya mampu memenuhi
sejumlah 300.000 ton berat kering. Jadi penawaran
rumput laut masih jauh dari kebutuhan atau
permintaan. Sebagai gambaran Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) yang memiliki potensi areal budidaya rumput
laut seluas 6.000 Ha dengan potensi produksi 28.100
ton, namun kenyataannya pada tahun 2005 hanya mampu
memproduksi 419 ton rumput laut kering, suatu jumlah
yang jauh dari potensi yang ada (Sunarpi et.al, April
2006). Hal ini menunjukkan bahwa potensi budidaya
rumput laut belum dimanfaatkan secara optimal.
Ekspor rumput laut Indonesia dalam posisi belum
menggembirakan, karena mayoritas masih dilakukan dalam
bentuk raw seaweed atau rumput laut kering atau raw
seaweed, sedangkan ekspor hasil olahan rumput laut
(ekstrak) masih kecil porsinya. Pada tahun 2000 jumlah
ekspor rumput laut kering 25.000 ton, dan ekspor
ekstrak berjumlah kurang lebih 15.000 ton. Pada tahun
2004 ekspor rumput laut kering kurang lebih berjumlah
55.000, ekstrak rumput laut kurang lebih 10.000 ton,
dan total ekspor rumput laut sebesar 65.000 (Neish. Ian
Charles, 2006).
Dengan berpedoman data produksi dan ekspor maka dapat
dinyatakan bahwa :
1. Peluang pasar dan perluasan usaha budidaya rumput
laut masih sangat terbuka karena realisasi produksi
jauh berada di bawah kapasitas produksi dan permintaan
rumput laut kering.
2. Ekspor rumput laut Indonesia sebagian besar adalah
raw seaweed, dengan demikian terdapat peluang yang
cukup besar untuk membuka investasi industri pengolahan
ekstrakt rumput laut yang memiliki nilai tambah (value
added).
Rantai pemasaran rumput laut berawal dari pembeli besar
yang biasanya exporter atau pemroses rumput laut
(pabrikan). Pabrikan akan mengadakan negosiasi
transaksi kepada pedagang besar, tentang harga,
spesifikasi produk dan syarat-syarat pembayaran. Dalam
proses transaksi ini, biasa terjadi pedagang besar
diberi modal atau uang muka untuk pengadaan barang.
Selanjutnya pedagang besar aka melakukan kontak kepada
pedagang pengumpul. Selanjutnya pedagang kecil inilah
yang melakukan pencarian/ pengumpulan rumput laut
kering, proses awal (sortir dan pemilihan) dan
pembayaran kepada petani pembudidaya.
Biasanya pedagang pengumpul sudah memiliki “anak buah”
yaitu pembudidaya yang diberi pinjaman modal dan akan
menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul
tersebut. Untuk pedagang besar akan mengumpulkan rumput
laut kering dari pedagang pengumpul dan juga dari
pembudidaya binaannya.
Ditinjau dari aspek transportasi, komunikasi dan
ketersediaan produk yang jauh dibawah permintaan maka
kendala pemasaran dapat dikatakan tidak ada. Namun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kendala
dalam pemasaran yaitu aspek kualitas.
Kendala utama pemasaran utama dan pertama-tama
harus ditangani adalah masalah kepercayaan pada produk
yang ditawarkan. Kepercayaan akan terbentuk melalui
terpenuhinya standard mutu produk rumput laut (Neish,
2006). Aspek kualitas ini banyak dipengaruhi aspek
teknologi dan pengolahan pasca panen (DKP, 2006).
Dengan keadaan seperti itu, maka kendala yang ada
sebenarnya adalah tantangan pasar dan tuntutan
persaingan untuk selalu meningkatkan mutu. Untuk
merebut posisi dan kepercayaan pasar, standard mutu
produk rumput laut yang diekspor harus memenuhi
berbagai kriteria (Neish, 2006):
1. Aspek Produk.
a. Kadar air atau tingkat kelembaban max 38%
b. Prosentasi kotoran pada rumput laut maksimum 2%
c. Umur pemanenan minimum 45 hari.
d. Kadar garam rumput laut.
2. Aspek standarisasi produk.
a. Standarisasi produk sesuai dengan kebutuhan pasar.
b. Prosedur standar menggunakan uji laboratorium
c. Diterapkan dan dipatuhinya manual mutu dan produksi
d. Sertifikasi sebagai penjaminan mutu.
Pemakaian karaginan diperkirakan 80% digunakan
dibidang industry makanan, farmasi dan kosmetik. Pada
industry makanan sebagai stabilizer, thickener, gelling
agent, additive atau komponen tambahan dalam pembuatan
coklat, milk, pudding, instant milk, makanan kaleng dan
bakery. Untuk industry non food antara lain pada
industry :
- farmasi: sebagai suspensi, emulsi, stabilizer dalam
pembuatan pasta gigi, obat-obatan, mineral oil.
- Industri-industri lain : misalnya pada industry
keramik, cat dan lain-lain.
Segmentasi pasar rumput laut yang akan digarap
dalam usaha budidaya ini dengan memproduksi Euchema
cottoni yang bisa diharap pada segmen pasar bahan baku
industry pengolahan makanan siap saji maupun Alkali
Treated Carrageenan (ATC) dan Semi-refined Carrageenan
(SRC). Dengan menggarap segmen pasar ini maka usaha
budidaya dan pemrosesan rumput laut ini dapat
memproduksi kualitas rumput laut yang sesuai dengan
permintaan pasar di segmen pasar ini.
Target Pasar
Target pasar dari bisnis budidaya rumput laut E.
cottonii adalah para perusahaan pangan dan non pangan
yang menggunakan campuran rumput laut sebagai
pengolahan produknya. Produk ditawarkan nantinya juga
akan sangat memperhatikan peluang pasar baik nasional
maupun Internasional.
Posisi daya saing Indonesia dapat ditingkatkan melalui
peningkatan mutu produk. Mutu produk dapat ditingkatkan
melalui penggunaan strain bibit yang baik, dan
pemrosesan paska panen lebih yang baik. Indonesia sudah
saatnya meningkatkan posisi dari pengekspor raw seaweed
menjadi ekpsortir produk rumput laut, baik dalam bentuk
makanan siap saji maupun Alkali Treated Carrageenan
(ATC) dan Semi-refined Carrageenan (SRC).
ANALISIS KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG DAN ANCAMAN (SWOT
ANALISYS) :
Kekuatan Kelemahan
1.Harga Terjangkau
2.Kualitas terjamin
3.Kebersihan Rumput
laut terjamin
1.Manajemen tradisional
2.Sarana dan prasarana
sederhana
3.Sumberdaya manusia yang
masih rendah pendidikan
4.Pemasaran yang masih
terbatas
Peluang Ancaman
1.Pangsa pasar yang
masih luas
2.Bahan baku yang mudah
di dapat
3.Pesaing besar relatip
terbatas
1.Munculnya pesaing baru
4.Biaya produksi yang
terjangkau
Target pasar rumput laut masih sangat terbuka dengan
tingginya marjin permintaan dengan penawaran. Kemampuan
produksi untuk memenuhi pangsa pasar masih sangat
rendah dibandingkan dengan permintaan produk rumput
laut baik skala nasional (domestik) maupun
internasional (eksport). Produk yang dihasilkan adalah
berupa produk yang seragam maka pencakupan pasar yang
diterapkan adalah strategi pemasaran tampa
pembedaan. Sementara level pasar yang terdapat di usaha
ini memiliki pasar potensial yang sangat tinggi. Target
pasar (target market) bidang usaha ini meliputi sasaran
yang merupakan perusahaan/pabrik industry pengolahan
makanan siap saji maupun Alkali Treated Carrageenan
(ATC) dan Semi-refined Carrageenan (SRC). Usaha
budidaya dan pemrosesan rumput laut yang dilakukan
diharapkan dapat menyuplai atau memasok kebutuhan bahan
baku dari industry hilir (pengolahan) rumput laut
dengan kualitas yang sesuai.