PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS ...

61
FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN ALAMI JENIS Chaetoceros Sp YANG DIPUPUK CAIRAN RUMEN TERHADAP PERKEMBANGAN DAN SINTASAN LARVA UDANG VANNAMEI STADIA ZOEA SAMPAI MYSIS NUR INTAN SARI 10594 0839 13 PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 2017

Transcript of PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS ...

FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN ALAMI JENIS Chaetoceros Sp YANGDIPUPUK CAIRAN RUMEN TERHADAP PERKEMBANGAN DANSINTASAN LARVA UDANG VANNAMEI STADIA ZOEA SAMPAI

MYSIS

NUR INTAN SARI10594 0839 13

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2017

FREKUENSI PEMBERIAN PAKAN ALAMI JENIS Chaetoceros Sp YANGDIPUPUK CAIRAN RUMEN TERHADAP PERKEMBANGAN DANSINTASAN LARVA UDANG VANNAMEI STADIA ZOEA SAMPAI

MYSIS

SKRIPSI

NUR INTAN SARI10594 0839 13

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan PadaProgram Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas

Muhammadiyah Makassar

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRANFAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR2017

v

iii

HALAMAN HAK CIPTA

@ Hak Cipta milik Universitas Muhammadiyah Makassar, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber.

a. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya

ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutip tidak merugikan kepentingan yang wajar Universitas

Muhammadiyah Makassar

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk laporan apapun tanpa izin Universitas Muhammadiyah

Makassar

iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Mahasiswa : Nur Intan Sari

NIM : 10594083913

Program Studi : Budidaya Perairan

Fakultas : Pertanian

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan

tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari skripsi ini hasil karya

orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 10 Mei 2017

Nur Intan Sari

10594 0839 13

v

ABSTRAK

Nur Intan Sari 10594 0839 13. Frekuensi Pemberian Pakan Alami Jenis

Chaetoceros sp Yang Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Perkembangan dan

Sintasan Larva Udang Vannamei Stadia Zoea Sampai Mysis. Skripsi Program

Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

Makassar. Dibimbing oleh Murni dan Andi Khaeriyah.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi

pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang optimal pada perkembangan

dan sintasan pada larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Februari 2017 di PT Central Pertiwi Bahari Takalar.

Metode yang digunakan yaitu pertama pembersihan wadah dan peralatan yang

akan digunakan, selanjutnya pengambilan cairan rumen, selanjutnya kultur

Chaetoceros sp, selanjutnya pemeliharaan benih. Pada penelitian ini terdapat 5

perlakuan yaitu perlakuan A (8 kali pemberian pakan), Perlakuan B (7 kali

pemberian pakan), Perlakuan C (6 kali pemberian pakan), Perlakuan D (5 kali

pemberian pakan) dan E (pemberian pakan tanpa cairan rumen).

Hasil yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa frekuensi

pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perkembangan dan sintasan larva udang

vannamei stadia zoea sampai mysis.

Kata Kunci : Frekuensi, Chaetoceros sp, Cairan Rumen, Udang Vannamei

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat

dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Pengaruh Pemberian Pakan Alami Jenis Chaetoceros Sp yang Dipupuk

Cairan Rumen Terhadap Perkembangan Dan Sintasan Larva Udang

Vannamei Stadia Zoea Sampai Mysis” adalah salah satu syarat dalam

memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Universitas Muhammadiyah Makassar,

dalam hal ini telah banyak pihak yang memberikan nasihat, bantuan, serta saran-

saran yang membangun , karena itu dengan rendah hati penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

a. Allah SWT sebagai Tuhan Semesta Alam

b. Kedua orang tuaku Tercinta yang telah memberikan semangat, do’a dan kasih

sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

c. Ibu Murni, S.Pi, M.Si., sebagai Ketua Jurusan Budidaya Perairan Fakultas

Pertanian Unismuh Makassar sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan serta saran dalam penulisan hasil penelitian.

d. Ibu Ir. Andi Khaeriyah, M.Pd., sebagai Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan serta saran dalam penulisan hasil penelitian.

e. Bapak H. Burhanuddin, S.Pi, M.Si., sebagai Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Makassar.

f. Teman-teman semuanya yang telah membantu dan memotivasi untuk

menyelesaikan skripsi ini.

vii

g. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas do’a dan

dukungannya.

Penulis menyadari dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan. Dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang sifatnya membangun agar skripsi ini dapat diterima di

masyarakat umumnya dan bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 10 Mei 2017

Nur Intan Sari

10594 0839 13

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

HALAMAN PENGESAHAN KOMISI PENGUJI iii

HALAMAN HAK CIPTA iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN v

ABSTRAK vii

KATA PENGANTAR viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan dan Manfaat 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 4

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Vannamei 4

2.2. Habitat Udang Vannamei 6

2.3. Siklus Hidup Udang Vannamei 6

2.4. Perkembangan Larva Udang Vannamei 7

2.5. Sintasan 10

2.6. Chaetoceros sp 11

2.7. Cairan Rumen 12

ix

2.8. Kualitas Air 13

III. METODE PENELITIAN 16

3.1. Waktu dan Tempat 16

3.2. Alat dan Bahan 16

3.3. Wadah dan Media Pemeliharaan 17

3.4. Hewan Uji 17

3.5. Pakan Uji 17

3.6. Prosedur Penelitian 18

3.7. Rancangan Penelitian 19

3.8. Peubah yang Diamati 20

3.9. Analisis Data 21

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22

4.1. Perkembangan Larva Udang Vannamei 22

4.2. Sintasan Larva Udang Vannamei 26

4.3. Kualitas Air 30

BAB 5. PENUTUP 33

5.1. Kesimpulan 33

5.2. Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 37

BIOGRAFI PENULIS

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat yang digunakan 16

2. Bahan yang digunakan 17

3. Hasil pengukuran kualitas air 30

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus hidup Udang Vannamei 7

2. Perkembangan Larva Udang Vannamei 10

3. Tata Letak Satuan Percobaan Setelah Pengacakan 19

4. Perkembangan Larva Udang Vannamei Selama Penelitian 22

5. Sintasan Larva Udang Vannamei 27

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Sintasan Larva Udang Vannamei 38

2. Analisis Sidik Ragam dan Uji BNT 41

3. Dokumentasi selama penelitian 46

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di indonesia budidaya udang sudah lama dilakukan oleh petani tambak,

karena udang merupakan komoditas primadona dalam bidang perikanan yang

dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor komoditas perikanan.

Tingginya permintaan akan udang didalam dan diluar negeri menjadikan

indonesia sebagai pengirim udang terbesar di dunia, ini dikarenakan indonesia

mempunyai luas wilayah serta adanya sumberdaya alam yang mendukung untuk

dapat mengembangkan usaha budidaya udang. Salah satu udang yang

dibudidayakan di indonesia adalah udang vannamei.

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan jenis udang yang dapat

dibudidayakan di tambak. Udang vannamei memiliki keunggulan, yaitu dapat

hidup pada rentang salinitas lebar dari 5 hingga 30 ppt, mampu beradaptasi

dengan kepadatan tinggi, serta tumbuh dengan baik dengan pakan berprotein

rendah (Haliman dan Adijaya, 2005). Namun salah satu kendala yang dihadapi

adalah masih rendahnya sintasan larva udang vannamei.

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) stadia larva merupakan stadia yang

sangat rentan sehingga stadia ini sering disebut sebagai stadia kritis. Karena

peralihan pakan endogeneus ke pakan eksogeneus. Pakan merupakan sumber

nutrisi yang terdiri dari protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Nutrisi

digunakan oleh udang vannamei sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan

berkembang biak. Untuk itu, diperlukan pakan alami yang sesuai seperti: jenis,

2

jumlah, dan mutu. Pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan akan memacu

pertumbuhan dan perkembangan udang vannamei secara optimal sehingga

produktivitasnya bisa ditingkatkan. Salah satu jenis pakan alami yang dapat

digunakan adalah Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen.

Cairan rumen kaya akan protein, vitamin B kompleks serta mengandung

enzim-enzim hasil sintesa mikroba rumen (Gohl, 1981 dalam Afdal dan Erwan,

2006). Sehingga penggunaan cairan rumen sebagai pupuk dalam media kultur

dapat melengkapi kebutuhan nutrient Chaetoceros sp pada larva udang vannamei.

Kandungan rumen sapi menurut Rasyid (1981), meliputi protein 8,86%, lemak

2,60%, serat kasar 28,78%, kalsium 0,53%, phospor 0,55%, BETN 41,24%, abu

18,54%, dan air 10,92%.

Chaetoceros sp merupakan jenis pakan alami yang memiliki syarat yang

dibutuhkan larva karena mudah dicerna, berukuran kecil, nutrisi tinggi, mudah

dibudidayakan dan cepat berkembang biak. Kandungan nutrisi dari chaetoceros sp

yaitu protein 35%, dan lemak 6,9 %, karbohidrat 6,6%, dan kadar abu 28%,

(Isnansetyo dan kurniastuty,1995).

Udang vannamei mempunyai sifat mencari makan pada siang dan malam hari

(diurnal dan nokturnal) dan sangat rakus. Sifat tersebut dapat diketahui karena

berkaitan dengan jumlah pakan dan frekuensi pemberian pakan yang akan

diberikan. Ukuran dan jumlah pakan yang diberikan harus dilakukan secara

cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami underfeeding dan overfeeding.

Pemberian pakan dalam jumlah yang tepat dapat membuat udang tumbuh dan

berkembang ke ukuran yang maksimal.

3

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang frekuensi

pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen terhadap

perkembangan dan sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.

1.2.Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi

pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang optimal pada perkembangan

dan sintasan pada larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mahasiswa mampu memperoleh

pengetahuan dalam membudidayakan udang vannamei agar dapat menghasilkan

sintasan yang optimal.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Udang Vannamei

Udang vannamei digolongkan kedalam genus Penaeid pada filum

Arthropoda. Ada ribuan spesies di filum ini namun, yang mendominasi perairan

berasal dari subfilum crustacea. Ciri-ciri subfilum crustacea yaitu memiliki 3

pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo

Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. Indicus, L. Japonicus, L. Monodon,

L. Stylirostris dan Litopenaeus vannmei.

Berikut tata nama udang vannamei menurut Haliman dan Dian (2006) :

Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobrachiata

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

Secara umum tubuh udang vannamei dibagi menjadi dua bagian, yaitu

bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (Cephalothorax) dan bagian

5

tubuh sampai ekor (Abdomen). Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit chitin

yang disebut carapace. Bagian ujung cephalotorax meruncing dan bergerigi yang

disebut rostrum. Udang vannamei memiliki 2 gerigi di bagian ventral rostrum

sedangkan di bagian dorsalnya memiliki 8 sampai 9 gerigi. Tubuh udang

vannamei beruas-ruas dan tiap ruas terdapat sepasang anggota badan yang

umumnya bercabang dua atau biramus. Jumlah keseluruhan ruas badan udang

vannamei umumnya sebanyak 20 buah. Cephalotorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5

ruas dibagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Ruas I terdapat mata bertangkai,

sedangkan pada ruas II dan III terdapat antenna dan antennula yang berfungsi

sebagai alat peraba dan pencium. Pada ruas ke III terdapat rahang (mandibula)

yang berfungsi sebagai alat untuk menghancurkan makanan sehingga dapat masuk

ke dalam mulut (Zulkarnain, 2011).

Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai

“white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya

kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat

dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya. Ciri-ciri

udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadang-kadang 5-8) pada

bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda melebihi panjang

antennular peduncle. Karapaks memiliki pronounced antenal dan hepatic spines.

Pada udang jantan dewasa, petasma symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup.

Spermatofora sangat kompleks yang terdiri atas masa sperma yang dibungkus

oleh suatu pembungkus yang mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior

wing, lateral flap, caudal flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan

6

glutinous. Udang betina dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang

merupakan pembeda utama udang vaname betina (Manoppo, 2011).

2.2. Habitat Udang Vannamei

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari

tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis

dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang

adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang vannamei ditemukan diperairan lepas

pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Menyukai

daerah yang dasar perairannya berlumpur (Wyban dan Sweeney, 1991).

Udang vannamei hidup di habitat laut topis dimana suhu air biasanya lebih

dari 20°C sepanjang tahun dan akan menghabiskan siklus hidupnya di muara air

payau. Udang vannamei dewasa dan bertelur di laut terbuka, sedangkan pada

stadia post larva udang vannamei akan bermigrasi ke pantai sampai pada stadia

juvenil.

2.3. Siklus Hidup Udang Vannamei

Proses kawin udang meliputi pemindahan spermatophore dari udang jantan

ke udang betina. Peneluran bertempat pada daerah lepas pantai yang lebih dalam.

Telur-telur dikeluarkan dan difertilisasi secara eksternal di dalam air. Seekor

udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur.

Dalam waktu 13-14 jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran

mikroskopik yang disebut nauplii/ nauplius. Tahap nauplii tersebut memakan

kuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis

7

menjadi zoea sekitar 4 hingga 5 hari. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah

beberapa hari bermetamorfosis lagi menjadi mysis. Mysis mulai terlihat seperti

udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis

mengalami metamorfosis menjadi postlarva. Tahap postlarva adalah tahap saat

udang sudah mulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari

tahap nauplii sampai postlarva membutuhkan waktu sekitar 12 hari. Di habitat

alaminya, postlarva akan migrasi menuju estuarin yang kaya nutrisi dan

bersalinitas rendah. Mereka tumbuh di sana dan akan kembali ke laut terbuka saat

dewasa. Udang dewasa adalah hewan bentik yang hidup di dasar laut.

Gambar 1. Siklus hidup udang vaname (Stewart, 2005 dalam Erwinda, 2008)

2.4. Perkembangan Larva Udang Vannamei

Naupli merupakan stadia paling awal pada stadia larva udang vannamei.

Kemudian berubah menjadi stadia zoea. Zoea merupakan stadia kedua pada larva

udang vannamei. Kemudian bermetamorfosa ke stadia mysis. Stadia mysis

merupakan stadia ketiga dari larva udang vannamei yang merupakan stadia

terakhir pada larva udang vannamei. Mysis mempunyai karakteristik menyerupai

udang dewasa, seperti bagian tubuh, mata, dan karakteristik ekornya. Stadia mysis

8

akan berakhir pada hari ke tiga atau hari keempat, dimana selanjutnya akan

bermetamorfosa menjadi post larva (PL). Pada PL 10 sudah terlihat seperti udang

dewasa.

Perkembangan larva udang vannamei setelah telur menetas adalah sebagai

berikut :

a. Stadia Naupli

Pada stadia ini, naupli berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaannya belum

sempurna dan masih memiliki cadangan makanan serupa kuning telur sehingga

pada stadia ini benih udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.

Dalam fase Naupli ini larva mengalami enam kali pergantian bentuk dengan

tanda-tanda sebagai berikut :

Nauplius I : Bentuk badan bulat telur dan mempunyai anggota badan tiga

pasang.

Nauplius II : Pada ujung antena pertama terdapat seta (rambut), yang satu

panjang dan dua lainnya pendek.

Nauplius III : Furcal dua buah mulai jelas masing-masing dengan tiga duri

(spine), tunas maxilla dan maxilliped mulai tampak.

Nauplius IV : Pada masing-masing furcal terdapat empat buah duri, Exopoda

pada antena kedua beruas-ruas.

Nauplius V : Organ pada bagian depan sudah tampak jelas disertai dengan

tumbuhnya benjolan pada pangkal maxilla.

Nauplius VI : Perkembangan bulu-bulu semakin sempurna dari duri pada

furcal tumbuh makin panjang

9

b. Stadia Zoea

Stadia Zoea terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24

jam. Larva sudah berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang

mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dan zoea 3, lama

waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar

4-5 hari.

Fase zoea terdiri dari tingkatan-tingkatan yang mempunyai tanda-tanda yang

berbeda sesuai dengan perkembangan dari tingkatannya, seperti diuraikan berikut

ini :

Zoea I : Bentuk badan pipih, carapace dan badan mulai nampak, maxilla

pertama dan kedua serta maxilliped pertama dan kedua mulai

berfungsi. Proses mulai sempurna dan alat pencernaan makanan

nampak jelas.

Zoea II : Mata bertangkai, pada carapace sudah terlihat rostrum dan duri

supra orbital yang bercabang

Zoea III : Sepasang uropoda yang bercabang dua (Biramus) mulai

berkembang duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh.

c. Stadia Mysis

Pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan

sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah

mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah

berkisar 3,50-4,80 mm.

Fase ini mengalami tiga perubahan dengan tanda-tanda sebagai berikut :

10

Mysis I : Bentuk badan sudah seperti udang dewasa, tetapi kaki renang

(Pleopoda) masih belum nampak.

Mysis II : Tunas kaki renang mulai nampak nyata, belum beruas-ruas.

Mysis III : Kaki renang bertambah panjang dan beruas-ruas.

d. Stadia Post Larva (PL)

Stadia ini, benih udang vannamei sudah tampak seperti udang dewasa.

Hitungan stadia yang digunakan sudah berdasarkan hari. Misalnya, PL 1 berarti

post larva berumur 1 hari. Pada stadia ini udang mulai aktif bergerak lurus ke

depan.

Gambar 2. Perkembangan Larva Udang Vannamei

2.5. Sintasan

Sintasan adalah presentase jumlah udang yang hidup dalam kurun waktu

tertentu (Effendie, 1979). Sintasan organisme dipengaruhi oleh padat penebaran

dan faktor lainnya seperti, umur, pH, suhu dan kandungan amoniak. Faktor

penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang adalah

tersedianya jenis makanan serta adanya lingkungan yang baik seperti oksigen,

amoniak, karbondioksida, nitrat, hidrogen sulfida dan ion hidrogen.

11

2.6. Chaetoceros Sp

Chaetoceros sp merupakan diatom dari ordo centrales (Bachtiar, 2003).

Diatom merupakan organisme/ganggang bersel tunggal yang tergolong dalam

divisi Bacillariophyta. Diatom dari ordo centrales memiliki ciri bentuk tubuh

silinder. Chaetoceros sp ada yang memiliki bentuk tubuh bulat dengan ukuran

tubuh yang sangat kecil yakni berkisar antara 4 – 6 mikron dan ada yang

berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Sama seperti diatom

pada umumnya, Chaetoceros sp memiliki dinding sel yang dibentuk dari silika

(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Lebih lanjut ditambahkan oleh Sumeru dan

Anna (2005), bahwa pada setiap sel Chaetoceros sp dipenuhi oleh cytoplasma.

diatom memiliki beberapa pigmen warna yakni chlorophyl a, chlorophyl c,

karoten diatomin dan fukosantin. Pigmen chlorophyl memiliki peran sebagai

katalisator dalam proses fotosintesis sedangkan adanya pigmen karoten dan

diatomin menyebabkan dinding sel dari Chaetoceros sp berwarna cokelat

keemasan. Pertumbuhan optimumnya memerlukan suhu pada kisaran antara 25-

300c, salinitas optimal 28-30

0/00.

Chaetoceros sp memiliki peran yang besar dalam hal penyediaan pakan

untuk larva khususnya larva udang dalam bidang budidaya dan perikanan. Hal

tersebut karena Chaetoceros sp memiliki kandungan nutrisi yang tinggi yaitu

protein 35%, lemak 6,9%, karbohidrat 6,6%, dan kadar abu 28% (Isnansetyo dan

Kurniastuty, 1995). Secara garis besar kebutuhan unsur hara bagi kehidupan

fitoplankton dapat dibagi menjadi dua yaitu unsur hara makro dan unsur hara

mikro. Makro diberikan dalam bentuk senyawa yang diperlukan tanaman dalam

12

jumlah yang relatif banyak. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K, S, Na, Si, dan

Ca. Sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, dan B.

Unsur mikro adalah unsur hara yang diperlukan fitoplankton dalam jumlah yang

sedikit namun harus ada dalam media pertumbuhannya.

2.7.Cairan Rumen

Pada dasarnya isi rumen merupakan bahan-bahan makanan yang terdapat

dalam rumen belum menjadi feces dan dikeluarkan dari dalam lambung rumen

setelah hewan dipotong. Kandungan nutriennya cukup tinggi, hal ini disebabkan

belum terserapnya zat-zat makanan yang terkandung didalamnya sehingga

kandungan zat-zatnya tidak jauh berbeda dengan kandungan zat makanan yang

berasal dari bahan bakunya.

Perut hewan ruminansia terdiri atas rumen, retikulum, omasum, dan

abomasum. Volume rumen pada ternak sapi dapat mencapai 100 liter atau lebih

dan untuk domba berkisar 10 liter. Rumen dapat dimanfaatkan sebagai sumber

pakan dan sumber mikrobia karena mengandung karbohidrat, serat kasar, dan

protein kasar. Adanya protein menunjukkan adanya mikrobia dalam rumen dan

berpotensi memperbaiki kualitas pakan.

Anggorodi (1979), menyatakan bahwa ternak ruminansia dapat mensintesis

asam amino dari zat-zat yang mengandung nitrogen yang lebih sederhana melalui

kerjanya mikroorganisme dalam rumen. Mikroorganisme tersebut membuat zat-

zat yang mengandung nitrogen bukan protein menjadi protein yang berkualitas

tinggi. Mikroorganisme dalam rumen terdiri dari kelompok besar yaitu bakteri

dan protozoa, temperatur rumen 39 sampai 40 derajat celcius, pH 7,0 sehingga

13

memberikan kehidupan optimal bagi mikroorganisme rumen. Sekitar 80%

Nitrogen dijumpai dalam tubuh bakteri rumen berupa protein dan 20 % berupa

asam nukleat. Berdasarkan analisa berbagai rumen kadar berbagai asam amino

dalam isi rumen diperkirakan 9-20 kali lebih besar dari pada dalam makanan.

2.8.Kualitas Air

a. Salinitas

Menurut Amri dan kanna (2008), dalam bahasa sederhana salinitas disebut

sebagai kadar garam atau tingkat keasinan air. Secara ilmiah salinitas

didefenisikan sebagai total padatan dalam air setelah semua karbonat dan semua

nyawa organi dioksidasi, bromida dan iodida dianggap sebagai klorida. Besarnya

salinitas dinyatakan dalam permil (0/00) dan ada juga yang menyebutkan dalam

gram per kilogram (ppt). Untuk mengukur salinitas air tambak secara praktis

dapat digunakan refraktometer atau pun salinometer. Dibanding udang jenis lain,

udang vannamei menyukai air media budidaya dengan salinitas atau kadar garam

lebih rendah, yaitu berkisar antara 10–350/00. Pertumbuhan yang baik (optimal)

untuk larva udang vannamei dari zoea sampai misys diperoleh pada kisaran

salinitas 15–200/00.

b. Oksigen terlarut

Ketersediaan oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan udang, baik

untuk kelangsungan hidup maupun untuk pertumbuhannya. Oksigen yang bisa

dimanfaatkan udang adalah oksigen terlarut (dalam air). Kandungan oksigen

terlarut yang baik untuk kehidupan udang vannamei adalah >3 ppm dan sebaiknya

diusahakan berada pada kisaran 4-8 ppm (mg/liter). Rendahnya kandungan

14

oksigen terlarut didalam tambak sering terjadi pada periode musim kemarau yang

tidak berangin.

Disamping itu, pada malam hari suhu menjadi rendah yang diikuti dengan

meningkatnya aktivitas fitoplankton, sering mengakibatkan turunnya kandungan

oksigen. Keadaan ini ditandai dengan mengambangnya udang (udang naik ke

permukaan air). Untuk menanggulanginya diperlukan upaya menaikkan

kandungan oksigen terlarut di dalam tambak yang dapat dilakukan dengan

menggunakan aerator.

c. Suhu

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), suhu optimal pertumbuhan udang dari

zoea hingga misys antara 26-320C. Jika suhu lebih dari angka optimum maka

metabolisme dalam tubuh udang akan berlangsung cepat. Imbasnya kebutuhan

oksigen terlarut meningkat. Itu berarti penambahan kincir air perlu dilakukan

yang berarti menambah biaya produksi. Pada suhu air di bawah 250C, umunya

terjadi saat masa-masa peralihan musim antara Juni - Agustus, udang sudah

kurang aktif mencari pakan. Langkah pertama yang harus segera dilakukan yaitu

mengurangi jumlah pakan yang diberikan untuk mencegah terjadinya overfeeding.

Pada suhu di bawah 250C, nafsu makan udang berkurang sehingga perlu diambil

solusi supaya nafsu makannya kembali membaik dan ketahanan tubuhnya

meningkat. Beberapa cara yang dapat diaplikasikan yaitu penambahan atraktan

(minyak ikan dan minyak cumi), imunostimulan (vitamin C dan peptidoglikan),

serta pakan segar (cumi, kepeting, dan rebon). Pemberian pakan segar perlu

dicermati agar tidak merusak kualitas air tambak. Pemberian pakan tidak boleh

15

berlebiahan karena pakan yang tidak terdekomposisi akan menimbulkan senyawa

berbahaya bagi kehidupan udang, seperti nitrit dan amoniak.

d. Derajat Keasamaan (pH)

Derajat keasamaan biasa disebut sebagai pH. Nilai pH yang normal untuk

tambak udang berkisar antara 6-9. Nilai pH di atas 10 dapat mematikan udang.

Sedangkan pH di bawah 5 mengakibatkan pertumbuhan udang menjadi lambat.

Khusus untuk udang vannamei, kisaran pH yang optimum adalah 7,5-8,5.

Untungnya, dalam budidaya udang di tambak, guncangan pH air tidak begitu

mengkhawatirkan karena air laut mempunyai daya penyangga atau buffer yang

cukup kuat. Terlepas dari itu semua, karena adanya proses pembusukan dan kadar

karbon dioksida yang tinggi, maka untuk mengatasi terjadinya guncangan pH

perlu diusahakan penggantian air sesering mungkin dan pengoperasian aerator

terutama pada pagi hari. Adapun guncangan pH yang bisa ditoleransi adalah tidak

lebih dari 0,5. Pengukuran pH umumnya dilakukan dengan kertas lakmus (kertas

pH) dan pH Water Tester. Namun alat pH meter ini sulit diaplikasikan di

lapangan, selain itu juga harganya relatif mahal. Meskipun demikian, kalau

tersedia dana dan tenaga terlatih, penggunaan pH meter baik untuk dilakukan

(Amri dan Kanna, 2008).

16

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017 bertempat di PT Central

Pertiwi Bahari, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Provinsi

Sulawesi Selatan.

3.2.Alat dan Bahan

Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan selama penelitian.

No. Nama Alat Kegunaan

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Baskom volume 7 liter

Selang dan batu aerasi

Mikroskop

Objek glass

Cover glass

Gelas ukur

Pipet tetes

Termometer

pH meter

Counter

Refraktometer

Haemocytometer

Wadah pemeliharaan udang dan

media kultur Chaetoceros sp

Penyuplai oksigen

Pengamatan dan penghitungan

sampel

Meletakkan objek yang akan

diamati dengan mikroskop

Penutup objek yang telah

diletakkan di atas kaca preparat

Sampling sintasan

Ukur pupuk

Pengukur suhu

Mengukur pH ( derajat keasaman

atau kebasaan )

Menghitung kepadatan plankton

Pengukur salinitas

Menghitung kepadatan plankton

17

Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat disajikan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang digunakan selama penelitian.

No Nama Bahan Kegunaan

1

2

3

4

5

Chaetoceros sp

Cairan rumen

Larva Udang vannamei

Aquades

Tissue

Organisme uji

Pupuk

Hewan uji stadia zoea

Mensterilkan alat

Mengeringkan alat

3.3. Wadah dan Media Pemeliharaan

Wadah penelitian yang digunakan adalah baskom plastik berkapasitas 7

liter sebanyak 15 buah dengan wadah kontrol. Masing–masing baskom diisi air

laut sebanyak 5 liter dan dilengkapi dengan aerasi. Media yang digunakan adalah

air laut yang telah disterilkan yang terlebih dahulu ditampung dan diendapkan

selama 24 jam kemudian dipindahkan ke wadah penelitian dengan menggunakan

pompa Dab yang dilengkapi dengan selang ¾ cm yang diujung selang dipasangi

saringan kapas.

3.4. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih udang vannamei,

stadia zoea1 dengan ukuran panjang ± 3,30 mm.

3.5. Pakan Uji

Pakan uji yang digunakan pada pemeliharaan benih udang vannamei adalah

pakan alami Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen dan tanpa cairan rumen

yang diperoleh dari PT Central Pertiwi.

18

3.6. Prosedur Penelitian

3.6.1. Wadah dan Peralatan

Wadah dan peralatan yang digunakan pada penelitian ini terlebih dahulu

disikat merata pada bagian permukaan kemudian dicuci dan dikeringkan selama

24 jam. Pengeringan peralatan aerasi dilakukan selama 1 hari. Setelah wadah

kering kemudian diisi dengan air laut.

3.6.2. Cairan Rumen

Isi rumen sapi diambil dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Sungguminasa Gowa. Cairan rumen sapi diambil dari isi rumen sapi dengan cara

filtrasi (penyaringan dengan kain katun) dibawah kondisi dingin. Cairan rumen

hasil filtrasi disentrifuse dengan kecepatan 10.000 x g selama 10 menit pada suhu

4 0C untuk memisahkan supernatan dari sel-sel dan isi sel mikroba (Lee et al.

2000).

3.6.3. Kultur Chaetoceros sp

Kultur Chaetoceros sp skala intermediate menggunakan ember berkapasitas

7 liter. Sebelum kultur dilakukan, perlengkapan yang akan digunakan harus

disterilkan, dengan mengunakan detergen kemudian dibilas dengan air tawar.

Peralatan yang digunakan antara lain selang aerasi dan batu aerasi.

Penggunaan air laut terlebih dahulu dinetralkan dengan menggunakan

natrium thiosulfat. Setelah itu, air laut yang sudah dinetralkan dengan kadar

garam 28 ppt dimasukkan ke wadah kultur sebanyak 5 liter. Air media kultur

diberikan cairan rumen sesuai dengan dosis yang terbaik dari penelitian

pendahuluan yang dilakukan sebelumnya setelah itu diberikan aerasi dan ditunggu

19

beberapa saat agar cairan rumen tercampur secara merata terlebih dahulu sebelum

bibit Chaetoceros sp dimasukkan. Jumlah bibit Chaetoceros sp yang diberikan

sebanyak 100 ml/liter. Setelah cairan rumen sudah bercampur dengan

Chaetoceros sp maka sudah bisa diberikan pada larva udang vannamei sebagai

pakan alami.

3.6.4. Pemeliharaan Benih

Sebelum penebaran benih udang vanamei, terlebih dahulu dilakukan

adaptasi lingkungan terutama suhu dan salinitas. Padat tebar benih udang

vannamei dengan kepadatan 20 ekor/liter. Benih udang vannamei dipelihara

selama 6 hari. Selama masa pemeliharaan diberi pakan cairan rumen dan tanpa

cairan rumen dengan kepadatan sesuai perlakuan. Penyiponan dilakukan apabila

ada sisa pakan atau kotoran benih udang vanamei yang mengendap didasar wadah

penelitian. Untuk mengetahui sintasan dilakukan sampling dengan cara

menggunakan gelas ukur.

3.7. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan masing–masing perlakuan diulang 3 kali

sehingga jumlah satuan percobaan sebanyak 15 unit. Tata letak satuan percobaan

setelah pengacakan seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tata Letak Satuan Percobaan Setelah Pengacakan

A3 C3 B1 D3 E3

C1 B3 E1 B2 A2

E2 D2 D1 A1 C2

20

Perlakuan A : Pemberian pakan 5 kali

Perlakuan B : Pemberian pakan 6 kali

Perlakuan C : Pemberian pakan 7 kali

Perlakuan D : Pemberian pakan 8 kali

Perlakuan E : Pemberian pakan tanpa rumen

3.8.Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.8.1. Perkembangan

Perkembangan larva udang vannamei adalah dengan cara mengamati

perubahan larva udang vannamei dari stadia zoea sampai mysis dengan

menggunakan mikroskop.

3.8.2. Sintasan

Sintasan larva udang vannamei dilakukan dengan cara mengambil hewan

uji kemudian dilakukan penyamplingan tiap wadah, adapun rumus yang

dianjurkan oleh Effendi (1997) dalam menghitung sintasan adalah sebagai

berikut:

Dimana:

SR = Sintasan (%)

Nt = Jumlah individu pada akhir penelitian (ind)

No = Jumlah individu pada awal penelitian (ind)

21

3.8.3. Kualitas Air

Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran parameter kualitas air yang

meliputi: suhu, salinitas, DO, dan pH. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap

pagi sekitar jam 09.00.

3.9. Analisis data

Untuk mengetahui penggunaan cairan rumen sebagai pupuk pakan alami

Chaetoceros sp dengan frekuensi yang berbeda pada larva udang Vannamei, maka

dianalisis menggunakan analisis sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% dan

dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan antar

perlakuan (Gasperz, 1991).

22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Larva Udang Vannamei

Perkembangan larva udang vannamei selama penelitian dapat dilihat pada

Gambar 4:

Hari/Perlakuan Hari-1 Hari-2 Hari-3

Perlakuan A

(Pemberian

pakan 5 kali)

Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3

Perlakuan B

(Pemberian

pakan 6 kali)

Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3

Perlakuan C

(Pemberian

pakan 7 kali)

Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3

Perlakuan D

(Pemberian

pakan 8 kali)

Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3

Perlakuan E

(Pemberian

pakan tanpa

rumen)

Zoea 1 Zoea 2 Zoea 3

23

Hari/Perlakuan Hari-4 Hari-5 Hari-6

Perlakuan A

(Pemberian

pakan 5 kali)

Mysis 1 Mysis 1 Mysis 2

Perlakuan B

(Pemberian

pakan 6 kali)

Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3

Perlakuan C

(Pemberian

pakan 7 kali)

Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3

Perlakuan D

(Pemberian

pakan 8 kali)

Mysis 1 Mysis 2 Mysis 3

Perlakuan E

(Pemberian

pakan tanpa

rumen)

Mysis 1 Mysis 1 Mysis 2

Berdasarkan gambar 4, menunjukkan perkembangan larva udang vannamei

pada semua perlakuan. Perkembangan terbaik terdapat pada perlakuan B,C, dan

D. Disusul perlakuan A dan E memiliki perkembangan yang lebih lambat. Hal ini

dibuktikan dengan pemeliharaan selama 6 hari mengalami perubahan

perkembangan yang terjadi pada perlakuan A,B,C,D,dan E.

24

Menurut Chanratchakool et al. (2005), menyatakan bahwa pakan alami yang

diberikan pada larva akan mempengaruhi pertumbuhan, dimana larva akan

tumbuh dan berkembang bergantung pada asupan nutrisi makanan.

Pada hari pertama pemeliharaan larva udang vannamei, semua perlakuan

berada pada stadia zoea 1. Zoea 1 memiliki bentuk badan pipih, karapaks dan

bentuk badan mulai nampak dan alat pencernaan makanan nampak jelas.

Chaetoceros sp dipupuk cairan rumen diharapkan dapat membantu proses

kecernaan makanan dengan enzim yang terkandung pada cairan rumen. Menurut

Suhtanry (1985), enzim berperan dalam mempercepat perombakan dan reaksi

kimia yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup, enzim berperan spesifik sebagai

katalisator.

Pada hari kedua pemeliharaan larva udang vannamei, semua perlakuan

berada pada stadia zoea 2. Zoea 2 memiliki bentuk mata bertangkai. Pada hari

ketiga pemeliharaan larva udang vannamei pada semua perlakuan berada pada

stadia zoea 3. Pada zoea 3 sepasang uropoda yang bercabang dua mulai

berkembang duri pada ruas-ruas perut mulai tumbuh. Pada hari keempat

pemeliharaan larva udang vannamei berada pada mysis 1 pada semua perlakuan.

Pada stadia mysis 1 memiliki bentuk badan yang sudah seperti udang dewasa

tetapi kaki renang masih belum nampak.

Pada hari kelima pemeliharaan larva udang vannamei perlakuan B,C, dan D

berada pada stadia mysis 2. Pada stadia mysis 2 tunas kaki renang mulai nampak

nyata tetapi belum beruas-ruas. Sedangkan perlakuan A dan E berada pada stadia

mysis 1. Pada hari keenam pemeliharaan larva udang vannamei perlakuan

25

B,C,dan D berada pada stadia mysis 3. Pada stadia mysis 3 memiliki kaki renang

yang bertambah panjang dan beruas-ruas. Sedangkan perlakuan A dan E berada

pada stadia mysis 2. Menurut Subandiyono dan Hastuti (2014), menyatakan

bahwa ketersedian pakan pada waktu larva mencari makan menjadi faktor yang

sangat penting, dimana larva yang kekurangan makanan akan berakibat pada

perkembangan dan pertumbuhan yang terhambat.

Frekuensi pemberian pakan alami Chaetoceros sp yang dipupuk cairan

rumen pada perlakuan B,C, dan D menunjukkan perkembangan yang lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan A dan E, karena kandungan nutrisi yang dimiliki

oleh Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen cukup terpenuhi bagi larva udang

vannamei. Hasil dari penelitian ini diperkuat oleh penelitian Gallardo et al.,

(2013) bahwa kandungan nutrisi yang sesuai dengan kubutuhan larva akan

mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan. Adapun kebutuhan protein

untuk larva udang berkisar 40-60%. Sedangkan perlakuan A dan E memiliki

perkembangan yang lambat, hal ini disebabkan karena pakan yang diberikan tidak

sesuai dengan kebutuhan larva udang vannamei.

Hal ini juga dapat dilihat pada hasil penelitian Hafid (2016) selama 6 hari

tentang frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk

cairan rumen terhadap perkembangan larva udang windu stadia zoea sampai

mysis dimana pada perlakuan D (pemberian pakan 6 kali) dan C (pemberian

pakan 5 kali) menunjukkan perkembangan larva udang vannamei yang lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dimana perlakuan D (pemberian pakan 6

kali) dan perlakuan C (pemberian pakan 5 kali) yang telah diberi pakan

26

Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen berada pada mysis 3 pada hari

keenam. Sedangkan perlakuan A (pemberian pakan 3 kali) berada pada mysis 1

serta perlakuan B (pemberian pakan 4 kali) berada pada mysis 2. Semakin sering

pemberian pakan akan memberikan peluang yang lebih besar kepada udang untuk

memperoleh makanan setiap saat sehingga kebutuhan pakan akan selalu terpenuhi

dan baik untuk perkembangan. Ghufran (2010) menambahkan bahwa frekuensi

pemberian pakan yang lebih sering dengan jumlah pakan perharinya tetap maka

tiap kali pakan menjadi sedikit dan dengan cara ini maka pakan tidak tertumpuk

pada suatu waktu saja tetapi merata sepanjang hari. Berdasarkan pemberian pakan

Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen pada udang yang berbeda dapat

dilihat perbedaan yaitu pada pemberian pakan 5 kali dimana pada larva udang

vannamei pada pemberian pakan 5 kali perkembangannya berada pada stadia

mysis 2 tetapi pada hasil penelitian Hafid (2016) pada larva udang windu dengan

pemberian pakan 5 kali perkembangannya berada pada stadia mysis 3. Hal ini

dapat dikatakan bahwa semakin tinggi frekuensi pemberian pakan maka

perkembangan larva udang vannamei semakin meningkat.

4.2. Sintasan Larva Udang Vannamei

Hasil penelitian tentang frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros

sp yang dipupuk cairan rumen dan tanpa cairan rumen pada larva udang vannamei

terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis.

Berdasarkan penelitian, pemberian pakan jenis Chaetoceros sp yang dipupuk

cairan rumen berpengaruh terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea

sampai mysis.

27

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5:

Gambar 5. Sintasan larva udang vannamei pada akhir penelitian

Berdasarkan gambar diatas, hasil penelitian tentang frekuensi pemberian

pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen terhadap sintasan

larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis, diperoleh sintasan tertinggi pada

perlakuan D (pemberian pakan 8 kali) yaitu 83%, kemudian disusul perlakuan C

(pemberian pakan 7 kali) yaitu 68%, kemudian disusul dengan perlakuan B

(pemberian pakan 6 kali) yaitu 54%, kemudian disusul dengan perlakuan A

(pemberian pakan 5 kali) yaitu 41%, dan sintasan terendah diperoleh pada

perlakuan E (pemberian pakan tanpa cairan rumen) yaitu 39%.

Berdasarkan hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup pada larva udang

vannamei selama penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi

pada perlakuan D (pemberian pakan 8 kali). Tingginya tingkat kelangsungan

hidup pada perlakuan D karena pakan yang diberikan sebanyak 8 kali lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dimana pakan alami diberikan dengan

selang waktu 3 jam sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi yang dapat menunjang

kelangsungan hidup udang dan mengurangi kondisi stress yang memungkinkan

0

20

40

60

80

100

A B C D E

SIN

TASA

N (

%)

PERLAKUAN

28

terjadinya kematian selama pemeliharaan. Menurut Rostini (2007), Pemberian

pakan yang berkualitas dalam jumlah yang cukup akan memperkecil presentase

larva kematian larva udang. Kebutuhan pakan dalam udang tercukupi dengan baik

seiring dengan berkembangnya stadia larva, karena itu pakan yang diberikan juga

lebih banyak. Semakin besarnya stadia dalam pertumbuhan udang maka pakan

yang dibutuhkan juga semakin banyak. Kandungan nutrisi dari pakan sangat

mempengaruhi tingkat kelulushidupan (Harefa, 1996). Pada perlakuan A,B,C dan

E memiliki kelangsungan hidup yang rendah karena masih kurangnya pakan yang

diberikan sehingga menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang tidak merata dan

terjadi kompetisi. Udang yang memiliki bobot tubuh lebih kecil akan kalah dalam

persaingan mendapatkan pakan, juga bisa disebabkan karena stress pada saat

penanganan. Selain itu kematian udang disebabkan adanya aktivitas moulting

untuk pertumbuhan. Pada saat moulting ketahanan tubuh udang akan melemah

dan nafsu makannya akan menurun sehingga udang akan lebih sering berdiam

didasar bak, dan pada saat ini dapat menyebabkan kanibalisme pada udang

vannamei yang sehat sehingga dapat menimbulkan kematian.

Haliman dan Adijaya (2004) menjelaskan bahwa moulting pada udang

ditandai dengan seringnya muncul udang ke permukaan air sambil meloncat-

loncat. Gerakan ini bertujuan untuk membantu melonggarkan kulit luar udang dari

tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri

karena cairan moulting yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk

mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada saat moulting berlangsung, otot

perut melentur, kepala membengkak, dan kulit luar bagian perut melunak. Dengan

29

sekali hentakan, kulit luar udang dapat terlepas. Moulting merupakan proses yang

rumit dimana tingkat kematiannya sulit dihindari.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan A

berbeda nyata terhadap perlakuan (B,C, dan D) tetapi tidak berbeda nyata pada

perlakuan E. Pada perlakuan B berbeda nyata terhadap perlakuan (A,D, dan E)

tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan C. Pada perlakuan C berbeda nyata

terhadap perlakuan (A,D, dan E) tetapi tidak berbeda nyata pada perlakuan B.

Pada perlakuan D berbeda nyata terhadap perlakuan (A,B,C, dan E). Sedangkan

pada perlakuan E berbeda nyata terhadap perlakuan (B,C, dan D) tetapi tidak

berbeda nyata terhadap perlakuan A.

Hal ini juga dapat dilihat pada hasil penelitian Amiruddin (2016) tentang

frekuensi pemberian pakan alami jenis Skeletonema sp yang dipupuk cairan

rumen terhadap sintasan larva udang vannamei stadia zoea sampai mysis dimana

kelangsungan hidup yang paling tertinggi diperoleh pada perlakuan D (6 kali

pemberian pakan) dengan sintasan 40% yang diduga karena pakan alami yang

diberikan memiliki selang waktu 4 kali jadi kebutuhan nutrisi dari zoea tersebut

terpenuhi untuk melakukan pertumbuhan dan perlakuan A, B, dan C merupakan

perlakuan yang memiliki kelangsungan hidup terendah dimana perlakuan A

(pemberian pakan 3 kali) dengan kelangsungan hidup 14%, perlakuan B

(pemberian pakan 4 kali) dengan kelangsungan hidup 6% dan perlakuan C

(pemberian pakan 5 kali) dengan kelangsungan hidup 0%.

Selain itu, juga dapat dilihat pada hasil penelitian Hafid (2016) tentang

frekuensi pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang dipupuk cairan rumen

30

terhadap sintasan larva udang windu stadia zoea sampai mysis dimana

kelangsungan hidup yang tertinggi diperoleh pada perlakuan D (6 kali pemberian

pakan) dengan sintasan 16%. Yuwono (2005) dalam Qamari (2013) menjelaskan

bahwa faktor yang mempengaruhi kelulushidupan organisme ditentukan oleh

ketersediaan pakan yang sesuai. Perlakuan A,B, dan C memperoleh kelangsungan

hidup yang lebih rendah dimana A (3 kali pemberian pakan) dengan kelangsungan

hidup 5% , B (4 kali pemberian pakan) dengan kelangsungan hidup 9% dan C (5

kali pemberian pakan) dengan kelangsungan hidup 13%.

4.3. Kualitas Air

Kualitas air yang sesuai bagi kehidupan organisme akuatik merupakan faktor

penting karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan

hidup organisme perairan. Cuzon et al. (2004) menyatakan faktor lingkungan

harus optimal bagi proses fisiologi udang vannamei. Selama penelitian, dilakukan

pengukuran kualitas air media pemeliharaan yang meliputi suhu,pH,DO dan

salinitas. Nilai parameter kualitas air media pemeliharaan dapat disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3. Kisaran parameter kualitas air media pemeliharaan larva udang vannamei

stadia zoea dan mysis setiap perlakuan selama penelitian.

Parameter Perlakuan

A B C D E

pH

Suhu (oC)

DO (ppm)

Salinitas

7,16-8,13

29-31

4,21-5,62

28

7,92-8,79

29-32

4,15-5,71

28

7,63-8,39

30-32

4,33-5,57

28

7,89-8,31

29-32

4,24-5,77

28

7,01-7,56

30-32

4,16-5,32

28

Sumber : Hasil pengukuran kualitas air 2017

Hasil pengukuran pH selama penelitian diperoleh kisaran antara 7,01-8,79.

Nilai ini menunjukkan bahwa pH air masih berada pada kisaran pH yang optimum

31

bagi larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purba (2012)

bahwa derajat keasaman (pH) air media pemeliharaan Larva udang vannamei

selama penelitian adalah 7,7 - 8,7. Kisaran pH tersebut masih layak bagi kegiatan

pembenihan udang vannamei serta mendukung pertumbuhan dan kelangsungan

hidup larva. Elovaara (2001) menambahkan bahwa untuk stadia larva pH yang

layak untuk udang vaname berkisar antara 7,8-8,4, dengan pH optimum 8,0.

Hasil pengukuran suhu selama penelitian diperoleh kisaran antara 29-34oC.

Nilai ini menunjukkan suhu air masih berada dalam kisaran yang normal yang

dapat ditolerir oleh larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan pendapat

Haliman dan Adijaya (2005), suhu optimal pertumbuhan larva udang antara 26-

32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi

metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses

metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan

mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi

menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan

kekurangan oksigen. Zweig et al (1999) dalam Suwoyo (2009) menambahkan

bahwa pertumbuhan udang optimal terjadi pada kisaran suhu 25-30oC, serta

berakibat kematian pada suhu di atas 35C. Menurut Dharmadi dan Ismail (1993),

temperatur yang cocok untuk pertumbuhan larva udang antara 25-32°C.

Hasil pengukuran DO (Dissolved Oxygen) selama penelitian diperoleh

kisaran antara 4,16-5,77. Kisaran ini masih dikategorikan baik bagi budidaya L.

vannamei, hal ini sesuai dengan pernyataan Fegan (2003) bahwa kosentrasi

oksigen terlarut selama pemeliharaan udang vaname berkisar antara 3-8 ppm.

32

Nilai tersebut menunjukan bahwa kandungan oksigen yang terdapat pada media

pemeliharaan masih optimal dan cukup baik dalam mendukung pertumbuhan

udang vaname. Kadar oksigen terlarut tersebut baik untuk pemeliharaan larva

udang vanamei. Kondisi oksigen terlarut yang baik untuk pembenihan udang

adalah minimal 3 mg/L (Manik dan Mintardjo, 1983).

Hasil pengukuran salinitas selama penelitian yaitu 28 ppt. Nilai ini tergolong

baik dan masih dalam batas toleransi larva udang vannamei. Xincai dan

Yongquan (2001) menjelaskan bahwa salinitas optimal untuk udang vaname

berkisar antara 5-35 ppt. Saoud et al. (2003), udang vaname dapat tumbuh pada

perairan dengan salinitas berkisar 0,5-38,3 ppt. Pengukuran salinitas selama

penelitian diperoleh hasil dengan kisaran 26 – 28 ppt. Kisaran tersebut baik untuk

kelangsungan hidup larva udang.

33

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa frekuensi

pemberian pakan alami jenis Chaetoceros sp yang berbeda yang dipupuk cairan

rumen pada setiap perlakuan memberikan efek yang berpengaruh nyata terhadap

perkembangan dan sintasan larva udang vannamei. Kelulushidupan tertinggi

terdapat pada perlakuan D (8 kali pemberian pakan) dengan sintasan rata-rata

83%.

5.2. Saran

Saran yang dapat saya berikan yaitu perlu dilakukan penelitian dengan

frekuensi pemberian pakan yang lebih tinggi untuk mengetahui frekuensi

pemberian pakan yang selayaknya untuk larva udang vannamei agar mendapatkan

sintasan yang optimal.

34

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin. 2016. Frekuensi Pemberian Pakan Alami jenis Skeletonema Sp yang

Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Sintasan Larva Udang Vannamei.

Makassar.

Amri, K dan Kanna, I. 2008. Budidaya Udang Vanname Secara Intensif dan

Tradisional. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anggorodi HR. 1979. Nutrisi Aneka Ternak . Jakarta.

Chanratchakool, P., F. Corsin and M. Briggs. 2005. Better Management Practices

(BMP) Manual for Black Tiger Shrimp (Penaues monodon) Hatcheries in

Vietnam. NACA, SUMA dan THUY SAN, 59 p.

Cuzon, G., A. Lawrence, G. Gaxiol, C. Rosa and J. Guillaume. 2004. Nutrition of

Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235:513-

551.

Darmadi dan A Ismail., 1993. Tinjauan Beberapa Faktor Penyebab Kegagalan

Usaha Budidaya Udang di Tambak. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil

Penelitian. Sub Balai Perikanan Budidaya Pantai, Bojonegoro – Serang,

Cilegon, 11 Maret 1993

Effendie, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor : Yayasan Pustaka

Nusantama

Elovaara AK. 2001. Shrimp Farming Manual, 400. Practical Technology For

Intensive Commercial Shrimp Production. United States Of America.

Fegan D F, 2003. Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) di Asia

Gold Coin Indonesia Specialities Jakarta.

Gallardo, G. Martinez, G. Palomino, A. Paredes, G. Gaxiola, G. Cuzon, R. P.

Islas. 2013. Replacement of Artemia franciscana Naupli by

Microencapsulated Diets: Effect on Development, Digestive Enzymes and

Body Consumption of White Shrimp Larvae. J.World. Aquat. Scienc. 44 (2):

187-197.

Ghufran, M. 2006. Pemeliharaan Udang Vanname. INDAH. Surabaya. Gramedia

Hafid. 2016. Frekuensi Pemberian Pakan Alami jenis Chaetoceros Sp yang

Dipupuk Cairan Rumen Terhadap Sintasan Larva Udang Vannamei.

Makassar

35

Haliman R.W, Adijaya DS. 2004. Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya.

Haliman, R.W. & Adijaya, D. (2005). Udang Vannamei, Pembudidayaan dan

Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya.

Jakarta

Haliman, W. R dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Harefa, F., 1996. Pembudidayaan Artemia Untuk Pakan Udang dan Ikan. PT.

Penebar Swadaya, Jakarta.

Isnansetyo, A. dan Kurniastuti. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan

Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Penerbit

Kanisus. Yogyakarta.

Manik, R. dan K. Mintardjo, 1983. Kolam Ipukan. Dalam Pedoman Pembenihan

Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian.

Jakarta.

Manoppo, Henky. 2011. Peran nukleotida sebagai imunostimulan terhadap respon

imun nonspesifik dan resistensi udang vaname (Litopenaeus vannamei).

IPB. Bogor

Rasyid, S.B., 1981. Pemanfaatan isi rumen sapi sebagai subtitusi sebagian ransum

basal terhadap performa ayam broiler. Laporan Penelitian, Universitas

Hasanuddin, Ujung Pandang. Hal.10-24

Rostini, Iis. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada

Skala Laboratorium. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu

Kelautan.Jatinangor

Saoud, I.P, D.A. Davis, D.B. Rouse. 2003. Suitability studies of inland well

waters for Litopenaeus vannamei culture. Aquaculture 217:373-383.

Subandiyono dan S. Hastuti. 2014. Beronang serta Prospek Budidaya Laut di

Indonesia. Lestari Media kreatif. Semarang.

Suhtanry, 1985. Kimia Pangan. Badan Kerja Sama Perguruan Negeri Indonesia

Bagian Timur, Makassar.

Wyban, J.A. dan Sweeney, J.A. 1991. Intensive Shrimp Production Technology.

The Oceanic Institute. USA.

36

Xincai, C., Yongquan, S., 2001. Shrimp Culture. China Internasional Training

Course on Technology of Marineculture (Precious Fishes). China : Yiamen

Municipal Sciense & Technology Commission.hlm.107-113.

Yuwono. 2013. Pandemi Resistensi Antimikroba: Belajar dari MRSA.

Departemen Mikrobiologi FK Unsri.

Zulkarnain, Muh Nur Fatih. 2011. Identifikasi Parasit yang Menyerang Udang

Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Dinas Kelautan Perikanan dan

Peternakan. Gresik.

Zweig. RD, Morton JD, Stewart MM. 1999. Source water quality for aquaculture.

A Guide for Assessment. Enviromentally and Socially Sustainable

Development. The World Bank Washington DC. U.S.A. 62 p.

37

L

A

M

P

I

R

A

N

38

Lampiran 1. Sintasan Larva Udang Vanname

Tabel 1 . Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-1

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 100 100 100 300 100

B= 6 kali 100 100 100 300 100

C= 7 kali 100 100 100 300 100

D= 8 kali 100 100 100 300 100

E=kontrol 100 100 100 300 100

Sumber : Data hasil olahan, 2017

Tabel 2. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-2

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 89 87 94 270 90

B= 6 kali 93 95 91 279 93

C= 7 kali 92 96 94 282 94

D= 8 kali 97 95 99 291 97

E=kontrol 87 88 95 270 90

Sumber : Data hasil olahan, 2017

39

Tabel 3. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-3

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 78 75 81 234 78

B= 6 kali 80 79 78 237 79

C= 7 kali 78 85 80 243 81

D= 8 kali 85 83 93 261 87

E=kontrol 72 76 80 228 76

Sumber : Data hasil olahan, 2017

Tabel 4. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-4

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 59 60 64 183 61

B= 6 kali 65 64 60 189 63

C= 7 kali 70 74 72 216 72

D= 8 kali 84 85 89 258 86

E=kontrol 56 59 65 180 60

Sumber : Data hasil olahan, 2017

40

Tabel 5. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-5

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 48 51 51 150 50

B= 6 kali 58 56 54 168 56

C= 7 kali 69 69 72 210 70

D= 8 kali 86 83 86 255 85

E=kontrol 49 45 50 144 48

Sumber : Data hasil olahan, 2017

Tabel 6. Presentase (%) sintasan larva udang vannamei stadia zoea-mysis selama

penelitian pada hari-6

Perlakuan

Ulangan

Jumlah

Rata-rata 1 2 3

A= 5 kali 39 42 42 123 41

B= 6 kali 55 54 53 162 54

C= 7 kali 69 68 67 204 68

D= 8 kali 80 84 85 249 83

E=kontrol 40 38 39 117 39

Sumber : Data hasil olahan, 2017

41

Lampiran 2. Analisis sidik ragam dan uji BNT

ANOVA

Ulangan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 104,400 4 26,100 2,966 ,074

Within Groups 88,000 10 8,800

Total 192,400 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Ulangan

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

A b -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968

c -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968

d -7,00000* 2,42212 ,016 -12,3968 -1,6032

e ,00000 2,42212 1,000 -5,3968 5,3968

B a 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968

c -1,00000 2,42212 ,688 -6,3968 4,3968

d -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968

e 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968

C a 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968

b 1,00000 2,42212 ,688 -4,3968 6,3968

d -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968

e 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968

D a 7,00000* 2,42212 ,016 1,6032 12,3968

b 4,00000 2,42212 ,130 -1,3968 9,3968

c 3,00000 2,42212 ,244 -2,3968 8,3968

e 7,00000* 2,42212 ,016 1,6032 12,3968

E a ,00000 2,42212 1,000 -5,3968 5,3968

b -3,00000 2,42212 ,244 -8,3968 2,3968

c -4,00000 2,42212 ,130 -9,3968 1,3968

d -7,00000* 2,42212 ,016 -12,3968 -1,6032

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

42

ANOVA

Ulangan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 212,400 4 53,100 3,963 ,035

Within Groups 134,000 10 13,400

Total 346,400 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Ulangan

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

A b -1,00000 2,98887 ,745 -7,6596 5,6596

c -3,00000 2,98887 ,339 -9,6596 3,6596

d -9,00000* 2,98887 ,013 -15,6596 -2,3404

e 2,00000 2,98887 ,519 -4,6596 8,6596

B a 1,00000 2,98887 ,745 -5,6596 7,6596

c -2,00000 2,98887 ,519 -8,6596 4,6596

d -8,00000* 2,98887 ,023 -14,6596 -1,3404

e 3,00000 2,98887 ,339 -3,6596 9,6596

C a 3,00000 2,98887 ,339 -3,6596 9,6596

b 2,00000 2,98887 ,519 -4,6596 8,6596

d -6,00000 2,98887 ,072 -12,6596 ,6596

e 5,00000 2,98887 ,125 -1,6596 11,6596

D a 9,00000* 2,98887 ,013 2,3404 15,6596

b 8,00000* 2,98887 ,023 1,3404 14,6596

c 6,00000 2,98887 ,072 -,6596 12,6596

e 11,00000* 2,98887 ,004 4,3404 17,6596

E a -2,00000 2,98887 ,519 -8,6596 4,6596

b -3,00000 2,98887 ,339 -9,6596 3,6596

c -5,00000 2,98887 ,125 -11,6596 1,6596

d -11,00000* 2,98887 ,004 -17,6596 -4,3404

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

43

ANOVA

Ulangan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1431,600 4 357,900 38,902 ,000

Within Groups 92,000 10 9,200

Total 1523,600 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Ulangan

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

A b -2,00000 2,47656 ,438 -7,5181 3,5181

c -11,00000* 2,47656 ,001 -16,5181 -5,4819

d -25,00000* 2,47656 ,000 -30,5181 -19,4819

e 1,00000 2,47656 ,695 -4,5181 6,5181

B a 2,00000 2,47656 ,438 -3,5181 7,5181

c -9,00000* 2,47656 ,005 -14,5181 -3,4819

d -23,00000* 2,47656 ,000 -28,5181 -17,4819

e 3,00000 2,47656 ,254 -2,5181 8,5181

C a 11,00000* 2,47656 ,001 5,4819 16,5181

b 9,00000* 2,47656 ,005 3,4819 14,5181

d -14,00000* 2,47656 ,000 -19,5181 -8,4819

e 12,00000* 2,47656 ,001 6,4819 17,5181

D a 25,00000* 2,47656 ,000 19,4819 30,5181

b 23,00000* 2,47656 ,000 17,4819 28,5181

c 14,00000* 2,47656 ,000 8,4819 19,5181

e 26,00000* 2,47656 ,000 20,4819 31,5181

E a -1,00000 2,47656 ,695 -6,5181 4,5181

b -3,00000 2,47656 ,254 -8,5181 2,5181

c -12,00000* 2,47656 ,001 -17,5181 -6,4819

d -26,00000* 2,47656 ,000 -31,5181 -20,4819

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

44

ANOVA

Ulangan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 2654,400 4 663,600 92,167 ,000

Within Groups 72,000 10 7,200

Total 2726,400 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Ulangan

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

A b -6,00000* 2,19089 ,021 -10,8816 -1,1184

c -10,00000* 2,19089 ,001 -14,8816 -5,1184

d -35,00000* 2,19089 ,000 -39,8816 -30,1184

e 2,00000 2,19089 ,383 -2,8816 6,8816

B a 6,00000* 2,19089 ,021 1,1184 10,8816

c -4,00000 2,19089 ,098 -8,8816 ,8816

d -29,00000* 2,19089 ,000 -33,8816 -24,1184

e 8,00000* 2,19089 ,004 3,1184 12,8816

C a 10,00000* 2,19089 ,001 5,1184 14,8816

b 4,00000 2,19089 ,098 -,8816 8,8816

d -25,00000* 2,19089 ,000 -29,8816 -20,1184

e 12,00000* 2,19089 ,000 7,1184 16,8816

D a 35,00000* 2,19089 ,000 30,1184 39,8816

b 29,00000* 2,19089 ,000 24,1184 33,8816

c 25,00000* 2,19089 ,000 20,1184 29,8816

e 37,00000* 2,19089 ,000 32,1184 41,8816

E a -2,00000 2,19089 ,383 -6,8816 2,8816

b -8,00000* 2,19089 ,004 -12,8816 -3,1184

c -12,00000* 2,19089 ,000 -16,8816 -7,1184

d -37,00000* 2,19089 ,000 -41,8816 -32,1184

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

45

ANOVA

ulangan

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 3738,000 4 934,500 186,900 ,000

Within Groups 50,000 10 5,000

Total 3788,000 14

Multiple Comparisons

Dependent Variable: ulangan

LSD

(I) Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

A b -13,00000* 1,82574 ,000 -17,0680 -8,9320

c -17,00000* 1,82574 ,000 -21,0680 -12,9320

d -42,00000* 1,82574 ,000 -46,0680 -37,9320

e 2,00000 1,82574 ,299 -2,0680 6,0680

B a 13,00000* 1,82574 ,000 8,9320 17,0680

c -4,00000 1,82574 ,053 -8,0680 ,0680

d -29,00000* 1,82574 ,000 -33,0680 -24,9320

e 15,00000* 1,82574 ,000 10,9320 19,0680

C a 17,00000* 1,82574 ,000 12,9320 21,0680

b 4,00000 1,82574 ,053 -,0680 8,0680

d -25,00000* 1,82574 ,000 -29,0680 -20,9320

e 19,00000* 1,82574 ,000 14,9320 23,0680

D a 42,00000* 1,82574 ,000 37,9320 46,0680

b 29,00000* 1,82574 ,000 24,9320 33,0680

c 25,00000* 1,82574 ,000 20,9320 29,0680

e 44,00000* 1,82574 ,000 39,9320 48,0680

E a -2,00000 1,82574 ,299 -6,0680 2,0680

b -15,00000* 1,82574 ,000 -19,0680 -10,9320

c -19,00000* 1,82574 ,000 -23,0680 -14,9320

d -44,00000* 1,82574 ,000 -48,0680 -39,9320

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

46

Lampiran 3. Dokumentasi selama penelitian

BIOGRAFI PENULIS

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 27

November 1995. Penulis merupakan anak pertama dari 3

bersaudara, dari Ayahanda Muhammad Amin Junubi dan

Ibunda Nurhafsah. Penulis memulai pendidikan formal

di TK Aisyiyah Bustanul Athfal Limbung Kabupaten

Gowa tahun 1999 dan tamat tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan ke

SDN Limbung Putra tahun 2001 dan tamat tahun 2007. Tingkat pendidikan

selanjutnya ditempuh pada SMP Negeri 1 Bajeng pada tahun 2007 dan tamat pada

tahun 2010, yang kemudian diteruskan ke SMA Negeri 1 Bajeng pada tahun 2010

hingga selesai pada tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2013 melanjutkan ke

jenjang perguruan tinggi sehingga pada bulan September 2013 diterima menjadi

mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar pada Fakultas Pertanian dengan

memilih Program Studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan sebagai bidang

keilmuan yang akan digeluti dimasa depan. Selama mengikuti perkuliahan,

penulis pernah melaksanakan magang budidaya di Balai Budidaya Laut Lombok.

Akhirnya setelah melakukan penelitian pada bulan Februari 2017 dengan

judul “ Frekuensi Pemberian Pakan Alami Jenis Chaetoceros sp yang Dipupuk

Cairan Rumen Terhadap Perkembangan dan Sintasan Larva Udang Vannamei

Stadia Zoea sampai Mysis” maka penulis berhasil mempertahankan karya ilmiah

tersebut sekaligus menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan berhak atas gelar

Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2017 dengan IPK 3,87 dengan masa studi 3

tahun 8 bulan.