Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban...

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hadas adalah istilah untuk hal-hal yang bisa menghalangi sahnya shalat seseorang atau dengan kata lain,hadas adalah kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan shalat jika berada dalam keadaan tersebut,atau shalatnya batal jika kondisi itu terjadi saat shalat. Dalam ilmu fikih,hadas dibagi menjadi dua macam yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil menyebabkan seseorang harus melaksanakan wudu untuk melaksanakan shalat. Sedangkan hadas besar menyebabkan seseorang melakukan mandi oleh orang Indonesia dinamai dengan mandi besar- juga wudu jika akan melaksanakan shalat. Junub,haid,dan nifas merupakan hal-hal yang menyebabkan hadas besar. Oleh karena itu,penting bagi umat islam mengetahui apa itu haid,nifas,dan istihadhah serta bagaimana cara bersuci dari hadas besar. 1.2 Masalah dan Pembatasan Masalah Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah masalah haid,nifas,dan istihadhah. Yang mana dalam pemaparannya nanti dibatasi pada definisi perbedaan antara haid,nifas,dan istihadhah; batas kapan seseorang bisa dianggap suci serta cara bersucinya; dan hukum bagi orang haid, nifas dan istikhadloh.

Transcript of Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban...

Page 1: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadas adalah istilah untuk hal-hal yang bisa menghalangi sahnya shalat seseorang

atau dengan kata lain,hadas adalah kondisi yang menyebabkan seseorang tidak dapat

melaksanakan shalat jika berada dalam keadaan tersebut,atau shalatnya batal jika

kondisi itu terjadi saat shalat.

Dalam ilmu fikih,hadas dibagi menjadi dua macam yaitu hadas kecil dan hadas

besar. Hadas kecil menyebabkan seseorang harus melaksanakan wudu untuk

melaksanakan shalat. Sedangkan hadas besar menyebabkan seseorang melakukan

mandi oleh orang Indonesia dinamai dengan mandi besar- juga wudu jika akan

melaksanakan shalat.

Junub,haid,dan nifas merupakan hal-hal yang menyebabkan hadas besar. Oleh

karena itu,penting bagi umat islam mengetahui apa itu haid,nifas,dan istihadhah serta

bagaimana cara bersuci dari hadas besar.

1.2 Masalah dan  Pembatasan Masalah

Pokok pembahasan dalam makalah ini adalah masalah haid,nifas,dan istihadhah.

Yang mana dalam pemaparannya nanti dibatasi pada definisi perbedaan antara

haid,nifas,dan istihadhah; batas kapan seseorang bisa dianggap suci serta cara

bersucinya; dan hukum bagi orang haid, nifas dan istikhadloh.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana definisi tentang Haid, Nifas dan Istikhadloh?

2. Kapan batasan waktu Haid, Nifas dan Istukhadloh dianggap suci?

3. Bagaimana cara bersuci dari Haid,Nifas dan Istikhadloh?

D.       Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami definisi tentang Haid, Nifas dan Istikhadloh.

2. Untuk mengetahui dan memahami waktu pembatasan bersuci dari Haid, Nifas dan

Istikhadloh.

3. Untuk mengetahui dan memahami cara bersuci dari Haid, Nifas dan istikhadloh.

Page 2: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HAID

2.1.1 Definisi haid

Haid adalah darah yang keluar dari dinding rahim seorang wanita apabila

telah menginjak masa baligh. Haid ini dijalani oleh seorang wanita pada masa-

masa tertentu, paling cepat satu hari satu malam dan paling lama lima belas hari.

Sedangkan yang normal adalah enam atau tujuh hari.

Sedangkan paling cepat masa sucinya adalah tiga belas atau lima belas

hari dan yang paling lama tidak ada batasnya. Akan tetapi, yang normal adalah

dua puluh tiga atau dua puluh empat hari.

Apabila seorang wanita hamil, dengan izin Alloh darah haid itu berubah

menjadi makanan bagi bayi yang tengah berada di dalam kandungannya. Oleh

sebab itu, wanita yang sedang hamil tidak mengalami masa haid. Setelah

melahirkan, dengan hikmah-Nya, Alloh SWT merubahnya menjadi air susu yang

merupakan makanan bagi bayi yang dilahirkan. Karena itu, sedikit sekali dari

kaum wanita menyusui yang mengalami masa haid. Setelah selesai masa

melahirkan dan menyusui, maka darah yang ada tidak berubah serta tetap berada

pada tempatnya, yang kemudian secara normal kembali keluar pada setiap

bulannya, yaitu berkisar antara enam atau tujuh hari (terkadang lebih atau kurang

dari hari-hari tersebut).

Dalam menjalani masa haid ini, wanita dikelompokkan menjadi tiga

kategori, yaitu : wanita yang baru menjalani masa haid, wanita yang telah terbiasa

menjalaninya dan wanita yang mengalami keluarnya darah istihadhah.

2.1.2 Wanita yang baru menjalani masa haid

Yaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu

ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan, hingga datang

masa suci. Apabila masa haid itu telah selesai dalam satu hari atau paling lama

lima belas hari, maka ia berkewajiban untuk mandi dan mengerjakan shalat.

Apabila setelah lima belas hari darah tersebut masih tetap mengalir keluar, maka

ia dianggap mengalami masa istihadhah. Pada saat itu, hukum yang berlaku

baginya adalah hukum wanita yang mengalami istihadhah.

Page 3: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Apabila darah haid itu berhenti di sekitar lima belas hari, lalu ia menngalir

lagi selama satu atau dua hari, kemudian berhenti lagi seperti semula, maka cukup

baginya mandi, lalu mengerjakan shalat. Selanjutnya, hendaklah ia meninggalkan

shalat pada setiap kali mengetahui darah haid itu mengalir.

Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang mengerjakan shalat,

sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh :

“ Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (Muttafaqun

Alaih)

2.1.3 Wanita yang Biasa Menjalani Masa Haid

Yaitu, wanita yang mempunyai hari-hari tertentu pada setiap bulannya

untuk menjalani masa haidnya. Pada hari-hari tersebut, ia harus meninggalkan

shalat, puasa, dan hubungan badan. Apabila ia melihat darah berwarna kekuning-

kuningan atau yang berwarna keruh setelah hari-hari haidnya tersebut, maka ia

tidak perlu menghitungnya sebagai darah atau haid. Hal ini sesuai dengan ucapan

Ummu Athiyah:

“Kami tidak memperhitungkan sama sekali darah yang berwarna

kekuning-kuningan atau yang berwarna keruh setelah lewat masa bersuci.” (HR.

Al-Bukhari)

Apabila ia melihat darah yang berwarna kekuning-kuninga dan yang

berwarna keruh itu pada saat tengah menjalani masa haid, maka darah tersebut

termasuk darah haid, sehingga ia belum diharuskan untuk mandi, melaksanakan

puasa dan shalat.

Sebagian dari para ulama berpendapat bahwa wanita yang menjalani haid

melebihi dari hari yang biasa dijalani setiap bulannya, maka hendaklah ia bersuci

selama tiga hari dan setelah itu laksanakan mandi serta krjakan shalat, selama

keluarnya darah tesebut tidak lebih dari lima belas hari. Karena, apabila melebihi

lima belas hari, maka dikategorikan sebagai wanita yang mengalami masa

istihadhah serta tidak perlu bersuci, akan tetapi cukup dengan melaksanakan

mandi dan menerjakan shalat.

Sebagian dari ulama yang lain berpendapat, bahwa keluarnya darah yang

melebihi kebiasaan masa haid itu tidak harus meninggalkan shalat karenanya,

kecuali jika terjadinya berulang-ulang, dua atau tiga kali. Sehingga pada saat itu,

masa haidnya berubah menjadi masa istihadhah. Ini merupakan pendapat yang

jelas dan lebih kuat (rajih).

Page 4: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

2.1.4 Wanita yang Mengalami Istihadhah

Yaitu, wanita yang mengeluarkan darah sebara terus-menerus melebihi

kebiasaan masa berlangsungnya haid.

Apabila sebelum mengalami istihadhah seorang wanita Muslimah sudah

menjalani haid yang menjadi kebiasaan pada setiap bulannya dan ia mengetahui

hari-hari yang biasa terjadi pada masa haidnya tersebut, maka ia harus

meninggalkan shalat selama masa haidnya berlangsung pada setiap bulannya.

Setelah selesai menjalani masa hidnya itu, ia harus mandi, mengerjakan shalat,

mengganti hutang puasanya danboleh berhubungan badan. Akan tetapi, jika ia

tidak mempunyai kebiasaan dari masa haid yang tetap dan lupa akan masa atau

jumlah hari berlangsungnya haidyang biasa dijalaninya, sedang darah yang

mengalir padanya itu berubah-ubah warnanya, terkadang hitam dan terkadang

merah, maka ketika darah yang keluar itu berwarna hitam, ia tidak perlu mandi,

mengerjakan shalat, puasa dan melakukan hubungan badan. Namun, ia

diharuskan mandi dan mengerjakan shalat setelah berhentinya darah hitam

tersebut, selama tidak lebih dari lima belas hari.

Sedang apabila darah yang keluar dapat dibedakan antara sebagian dengan

sebagian lainnya, maka ia diharuskan untuk meninggalkan shalat, puasa dan

berhubungan badan pada setiap bulannya selama berlangsungnya masa haid yang

pada umumnya dijalani oleh kaum wanita, yaitu enam atau tujuh hari. Setelah itu,

diwajibkan atasnya mandi dan mengerjakan shalat.

Wanita yang mengalami masa istihadhah harus berwudhu setiap kali akan

melaksanakan shalat. Kemudian memakai cawat (celama dalam atau pembalut

wanita) dan selanjutnya boelah mengerjakan shalat, walaupun darah masih tetap

mengalir. Di samping itu juga, tidak dianjurkan untuk berhubungan badan,

kecuali pada kondisi yang sangat mendesak. Dalil yang menjadi landasan

mengenai masalah ini adalah hadits dari Ummu Salamah:

“Bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah mengnai seseorang

wanita yang selalu mengeluarkan darah, maka Rasulullah bersabda: Hitunglah

berdasarkan bilangan malam dan hari hari masa haid pada setiap bulannya

berlangsungnya, sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya

itu. Maka tinggalkanlah shalat sebanyak bilangan haid yang biasa dijalaninya

setiap bulan. Apabila, ternyata melewati dari batas yang berlaku, maka

Page 5: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat (pembalut) dan mengerjakan shalat.”

(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’I dengan isnad hasan)

Hadits diatas ditujukan bagi wanita yang mengalami masa istihad-dhah

yang mempunyai kebiasaan masa haid teratur. Di samping ada juga hadits dari

Fathimah binti Abi Jahsyin, dimana ia pernah mengalami masa istihadhah dan

Rasulullah bersabda kepadanya:

“ Jika darah haid, maka ia berwarna hitam seperti diketahui banyak

wanita. Jika yang keluar darah seperti itu, maka tinggalkanlah shalat. Jika yang

keluar adalah darah lain (warnanya yakni darah istihadhah), maka berwudlulah

setelah mandi dan laksanakan shalat. Karena, darah tersebut adalah penyakit.”

(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Juga hadits Hamnah binti Jahsyin, dia menceritakan:

“ Aku pernah mengalami istihadhah, darah yang keluar itu sangat

banyak. Lalu aku datang kepada Nabi untuk meminta fatwa kepadanya. Maka

beliau bersabda: Sesungguhnya darah itu keliar akibat hentakan ari setan.

Jalanilah masa haidmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika

kamu telah melihat bahwa dirimu telah suci dan bersih, maka shalatlah pada dua

puluh empat atau dua puluh tiga berikutnya (pada masa suci) serta puasalah.

Cara seperti itu yang boleh kamu lakukan. Di samping itu, lakukanlah

sebagaimana yang dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa masa

haid setiap bulannya.” (HR. At-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)

Hadits ini ditujukan bagi wanita yang tidak mempunyai kebiasaan dari

masa haid yang teratur dan darah yang keluar dari dirinya pun tidak dapat

dibedakan.

2.1.5 Amalan yang Dilarang untuk Dikerjakan bagi Wanita yang Menjalani Masa

Haid

a. Shalat

Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan

shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Rasulullah :

“Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.”

(Muttafaqun Alaih)

Page 6: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Aisyah ia pernah bercerita:

“Kami pernah menjalani masa haid pada zaman Rasulullah, maka kami

diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.”

(Muttafaqun Alaih)

Ibnu Mundzir mengatakan: Para Ulama telah bersepakat untuk

menghapuskan kewajiban shalat bagi wanita yang tengah menjalani masa haid.

Menurut mereka, mengqadha shalat yang ditinggalkan selama masa haid itu

tidak diwajibkan. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi dalam hadits yang

diriwayatkan dari Fathimah binti Abi Hubaisy:

“ Apabila datang masa haidmu, maka tinggalkanlah shalat.” (HR.

Muttafaqun Alaih)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’adzah dimana ia bercerita:

“Aku pernah bertanya kepada Aisyah, bagaimana hukum wanita haid

yang mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat? Aisyah bertanya:

Apakah engkau wanita merdeka? Aku menjawab: Tidak, akan tetapi aku

hanya sekedar bertanya. Lalu Aisyah berkata: Kami pernah menjalani haid

pada masa Rasulullah, maka kami diperintahkan mengqadha puasa dan tidak

diperintahkan mengqadha shalat.” (Muttafaqun Alaih)

Lebih lanjut Aisyah mengatakan, bahwa hal itu ia sampaikan kepada

Mu’adzah, karena golongan Khawarij berpendapat; wanita yang mengalami

masa haid itu harus mengqadha shalatnya.

b. Puasa

Wanita Muslimah yang sedang menjalani masa haid tidak diperkenankan

untuk menjalankan ibadah puasa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah :

“Bukankah salah seorang diantara mereka (kaun wanita) apabila

menjalani masa haid tidak mengerjakan shalat dan tidak berpuasa? Para

sahabat wanita menjawab: Benar” (HR. Al-Bukhari)

Namun demikian, wanita yang menjalani masa haid berkewajiban

mengqadha puasa yang ditinggalkan setelah masa haidnya selesai. Ibnu

Mundzir pernah meriwayatkan bahwa wanita yang tengah menjalani masa haid

berkewajiban mengqadha puasa.

Page 7: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

c. Membaca Al-Qur’an

Bagi wanita yang menjalani masa haid diperbolehkan membaca Al-

Qur’an, akan tetapi tidak boleh menyentuh mushafnya. Di samping itu ada

pula hadits yang diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dari Ibnu Umar, yang

berstatus sebagai hadits marfu’:

“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan juga yang sedang dalam

junub tidak boleh sama sekali membaca Al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi)

Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Ismail

bin Iyyas, Hadits ini telah di sebutkan oleh Al-Aqili di dalam kitabnya yang

berjudul Adh-Dhu’afa Al-Kabir. Ia berkata: Telah diberitahukan kepada kami

oleh Abdullah bin Ahmad, ia mengatakan: Aku pernah mengemukakan sebuah

hadits kepada ayahku, bahwa kami diberitahu oleh Al-Fadhal bin Ziyad Ath-

Thasti, ia mengatakan: Kami telah diberitahu oleh Ismail bin Iyyas dari Musa

bin Uqbah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Nabi, dimana beliau bersabda:

“Wanita yang tengah menjalani masa haid dan junub tidak boleh sama

sekali membaca Al-Qur’an.”

Lalu ayahku berkata: “Hadits ini tidak dapat diterima, karena Ismail bin

Iyyas merupakan perawi yang ditolak.”

d. Menyentuh Al-Qur’an

Diharamkan bagi wanita yang sedang haid menyentuh Al-Qur’an. Hal

ini didasarkan pada firman Allah:

“Tidak menyentuhnya (Al-Qur’an), kecuali hamba-hamba yang

disucikan.” (Al-Waqiah:79)

Juga sabda Rasulullah:

“Janganlah kamu menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.”

(HR. Al-Atsram)

e. Berdiam diri dalam masjid

Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan masalah mandi, bahwa

wanita yang sedang haid tidak boleh berdiam diri di dalam masjid, dan

diperbolehkan jika hanya sekedar berlalu saja.

f. Thawaf

Wanita Muslimah juga diharamkan melakukan thawaf jika sedang

menjalani masa haid, sebagaimana sabda Nabi kepada Aisyah:

Page 8: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

“Kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji,

kecuali kmu tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-

benar dalam keadaan suci.” (Muttafaqun Alaih)

g. Berhubungan badan

Seorang istri Muslimah yang sedang haid tidak diperkenankan

bersetubuh selama hari-hari menjalani masa haidnya, sebagaimana firman

Allah:

“Karena itu, hendaklah kalian menjauhkan diri1) dari mereka pada

waktu haid dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka benar-

benar suci.” (Al-Baqarah:222)

h. Thalak

Menthalak istri yang sedang haid adalah haram. Karena, pelaksanaan

thalak semacam ini disebut sebagai thalak bid’ah ( thalak yang diharamkan).

i. Iddah dengan perhitungan bulan

Allah SWT berfirman:

“Hendaklah istri-istri yang di thalak dapat menahan diri (menunggu)

selama tiga kali quru.” (Al-Baqarah: 288)

Demikian juga dengan firman-Nya yang lain:

“Istri-istri yang tidak mengalami masa haid lagi (menopause) di antara

kalian, apabila merasa ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka

adalah tiga bulan. Begitu pula wanita-wanita yang tidak haid.” (Ath-

Thalaq:4)

Syarat iddah dengan perhitungan bulan adalah tidak haid, karena haid

dapat membatalkan kesucian. Sebagaimana kita ketahui bahwa keluarnya

darah itu menyebabkan seorang wanita berhadats dan jelas akan

mengakibatkan batalnya kesucian, sebagaimana halnya dengan kencing.

Hukum nifas sama dengan haid, baik itu yang menyangkut hal-hal yang

wajib, haram, maupun yang digugurkan. Dalam masalah ini, kami tidak

melihat adanya perbedaan pendapat. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat di

dalam masalah kewajiban membayar kafarat atas perbuatan menyetubuhi istri

yang sedang menjalani masa nifas, seperti halnya istri yang sedang haid.

Selain itu, juga diperbolehkan bercumbu selain pada bagian kemaluan. Karena,

nifas itu adalah darah haid yang tertahan karena proses kehamilan, lalu keluar

sebagai darah nifas dan ditetapkan hukumnya sama seperti haid, kecuali dalam

Page 9: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

masa perhitungan iddahnya. Sebab, iddah itu berdasarkan quru’, sedangkan

nifas tidak. Selain itu, juga karena iddah berakhir dengan adanya kehamilan.

Hal lain yang membedakannya dari haid adalah bahwa nifas tidak

menunjukkan seseorang telah mencapai usia baligh, sedangkan haid dapat

dijadikan sebagai petunjuk bagi balighnya seseorang. Karena, nifas itu tidak

akan terjadi sebelum adanya proses kehamilan.

j. Apabila darah haid berhenti, diperbolehkan bagi wanita Muslimah

mengerjakan shalat dan puasa. Akan tetapi, tidak diperbolehkan

terhadap selain dari keduanya kecuali setelah mandi

Secara umum, dapat dikatakan bahwa jika darah haid seorang wanita

Muslimah telah berhenti dan belum melaksanakan mandi, maka tidak berlaku

baginya empat hukum yang berkenaan dengan haid, yaitu:

1. Terhapusnya kewajiban shalat, karena pada saat itu masa haid masih

berlangsung.

2. Adanya halangan yang disebabkan oleh tidak sahnya taharah, karena haid.

3. Larangan mengerjakan puasa. Karena, kewajiban mandi setelah selesainya

masa haid tidak lagi melarang wanita untuk mengerjakan puasa.

4. Diperbolehkannya thalak. Karena, pengharamannya dimaksudkan untuk

memperpanjang masa iddah atau karena haid. Disamping itu, seluruh apa

yang diharamkan masih tetap berlaku. Karena, semuanya itu juga

diharamkan bagi orang yang tengah berada dalam kondisi junub, dimana

inilah yang terbaik.

k. Diperbolehkan bercumbu dengan istri yang sedang haid, akan tetapi

tidak boleh bersetubuh dengannya

Bercumbu dengan istri yang sedang haid pada bagian-bagian di atas

pusar dan di bawah lutut tetap diperbolehkan. Sedangkan bersenggama dengan

mereka sama sekali diharamkan.

Imam Ahmad memperbolehkan bercumbu pada bagian atas pusar dan di

bawah lutut. Sementara Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Imam Abu

Hanifah mengatakan: “Hal itu tidak di perbolehkan, karena Aisyah pernah

menceritakan bahwa, Rasulullah pernah menyuruhku memakai kain sarung

dan akupun memakainya. Lalu beliau mencumbuiku, sedang aku dalam

keadaan haid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Juga dari Abdullah bin Sa’ad

Al-Anshari, dimana ia pernah bertanya kepada Rasulullah, tentang bagian

Page 10: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

mana yang boleh dilakukan terhadap istri yang sedang haid? Beliau menjawab:

“Apa yang berada di atas kain” (HR. Baihaqi).

l. Kafarat bagi istri yang haid yang disetubuhi suaminya

Apabila istri yang disetubuhi itu tidak senang atau tidak mengetahuinya,

maka tidak ada kafarat (denda) baginya, sebagaimana sabda Rasulullah:

“Diberikan maaf bagi umatku atas kesalahan dan kelupaan serta apa-

apa yang dipaksakan kepada mereka.”

Akan tetapi, apabila ia merasa senang atasnya, maka ia harus membayar

setengah dinar emas murni dalam bentuk apapun dan menyerahkannya kepada

orang-orang miskin, seperti halnya pada ketentuan-ketentuan kafarat-kafarat

yang lain. Wallahu A’lam Bishshawab.

Hukum kafarat dalam masalah haid sama seperti hukum kafarat pada

nifas.

m. Wanita hamil tidak memiliki masa haid

Apabila wanita Muslimah yang sedang hamil mengeluarkan darah, maka

berarti itu merupakan darah kotor dan bukan darah haid. Demikian dikatakan

oleh Sa’id bin Al-Musayyib dan Al-Auza’I yang diriwayatkan dari Aisyah.

Yang benar menurut sumber dari Aisyah, apabila seorang wanita hamil

mengeluarkan darah, maka tidak diwajibkan atasnya mengerjakan shalat.

Yaitu apabila ia mengeluarkan darah pada satu atau dua hari sebelum

melahirkan. Karena yang dmikian itu merupakan darah darah nifas, sehingga

ia harus meninggalkan kewajiban shalat.

Sementara Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i berpendapat: “Darah

yang dikeluarkannya itu adalah darah haid.” Pendapat ini juga diriwayatkan

dari Az-Zuhri, Qatadah dan Ishaq. Karena, itu merupakan darah yang datang

secara tiba-tiba, sehingga menjadi darah haid seperti halnya wanita-wanita

yang tidak hamil.

Hukum nifas sama seperti hukum yang berlaku pada haid, baik

mengenai amalan yang diharamkan maupun amalan yang digugurkan. Dalam

masalah ini tidak ada perbedaan pendapat. Yang menjadi perbedaan adalah

mengenai kewajiban membayar kafarat atas persetubuhan yang dilakukan

terhadap istri yang sedang menjalani masa nifas, sebagaimana halnya wanita

yang sedang haid.

Page 11: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Walau demikian, diperbolehkan mencumbui istri hamil yang

mengeluarkan darah seperti ini pada bagian-bagian selain kemaluan. Karena,

darah yang keluar tersebut adalah darah haid yang terhenti karena kehamilan,

kemudian darah itu keluar, sehingga hukumnya tetap demikian. Kecuali dalam

masa iddah, karena iddah itu dihitung dengan quru’ sedangkan nifas tidak.

Selain itu, karena masa iddah menjadi selesai setelah proses kehamilan

berakhir.

n. Istri pada masa mengalami istihadhah yang disetubuhi suaminya

Bagi wanita yang mengalami istihadhah, ia diharuskan mandi sama

seperti mandinya wanita yang selesai dari menjalani masa haidnya dan

kemudian berwudhu pada setiap kali aka mengerjakan shalat. Demikian

menurut pendapat Imam Malik dan Asy-Syafi’i yang didasarkan riwayat

Aisyah, dimana ia bercerita:

“Fathimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasulullah seraya

bertanya: wahai Rasulullah, aku sedang mengalami istihadhah dan tidak

pernah suci, apakah aku harus meninggalkan shalatku? Nabi menjawab:

Sesungguhnya darah yang keluar itu adalah darah yang mengalir dari

pembuluh darah dan bukan darah haid. Sedang apabila datang waktu haidmu,

maka tinggalkan shalat dan apabila masa haidmu telah selesai, maka mandi

dan dirikan shalat.” (Muttafaqun Alaih)

Mengenai masalah ini penulis berpendapat, bahwa seorang istri yang

sedang mengalami istihadhah diperbolehkan berhubungan badan dengan

suaminya. Sedang untuk mengetahui darah yang keluar itu istihadhah atau

haid, wanita Muslimah dapat melihatnya dari perbedaan dua warna darah, haid

dan istihadhah. Akan tetapi, ia juga diperbolehkan untuk meninggalkan shalat

dan suaminya pun diperboleehkan untuk tidak menyetubuhinya.

Apabila ia tidak bisa membedakan antara kedua warna tersebut, maka

hendaklah ia melihat, apakah darah yang keluar mempunyai waktu tertentu,

sehingga ia boleh menahan diri selama masa itu berlangsung. Jika istihadhah

itu dimulai pada diri seorang Muslimah sejak awal dari masa haid pertamanya

berakhir dan darah itu terus mengalir, maka hendaklah ia menanyakan kepada

salah satu teman wanitanya.

Page 12: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

o. Apabila seorang wanirta lupa atas hari haidnya

Apabila seorang wanita Muslimah tidak ingat jumlah hari haidnya, maka

ia boleh mandi setelah enam atau tujuh hari dan selanjutnya boleh

mengerjakan shalat serta puasa. Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Dalam hal

ini, secara yakin dapat dikatakan, bahwa istri atau wanita tersebut tidak

sedang haid. Sementara terhadap hari-hari yang diragukannya itu, ia harus

mandi pada setiap akan mengerjakan shalat dan boleh berpuasa. Akan tetapi,

tidak boleh disetubuhi seaminya.” Adapun pendapat yang pertama adalah

lebih benar, karena sesuai dengan sabda Rasulullah:

“Sesungguhnya darah itu keluar akibat hentakan setan. Jalanilah haid

itu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Jika kamu telah

mendapati dirimu berada dalam keadaan bersih, maka shalatlah dua puluh

empat atau dua puluh tiga hari (siang malam), dan puasalah, begitulah yang

boleh kamu lakukan. Disamping itu, lakukanlah sebagaimana apa yang

dilakukan oleh wanita-wanita yang menjalani masa haid pada tiap bulannya.

Juga sebagaimana dia bersuci pada hari penghabisan dan masa haidnya.”

(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.At-Tirnidzi mengatakan bahwa hadits ini

berstatus hasan shahih)

Apabila seorang wanita mengeluarkan darah tidak pada masa haidnya

yang biasa terjadi dan ia mendapati jumlahnya lebih banyak, maka hendaknya

ia mandi janabah setelah darah itu berhenti. Karena, ada kemungkinan

keluarnya darah itu adalah sebagai masa haidnya.

p. Wanita yang baru menjalani masa haid

Wanita muslimah yang baru menjalani masa haidnya akan lebih berhati-

hati, dimana mereka sebaiknya menahan diri selama satu hari satu malam, lalu

mandi dan berwudhu pada setiap kali hendak mengerjakan shalat. Apabila

darah itu berhenti pada hari kelima belas, maka hendaklah ia mandi pada hari

berhenti mengalirnya darah tersebut. Demikianlah yang seharusnya dilakukan

pada masa haid kedua dan ketiga kalinya.

Jumlah hari dari masa haid yang dapat dijadikan sebagai kebiasaan untuk

ditetapkan adalah sekali. Yaitu, apabila seoran wanita biasa menjalani masa

haidnya itu tiga hari pada setiap bulannya. Lalu ia mendapati masa haidnya

berlangsung selama lima hari pada bulan yang lain, maka ketetapan dari masa

haidnya yang berlaku adalah tiga hari, seperti pada bulan yang pertama. Akan

Page 13: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

tetapi, apabila keluarnya darah haid itu sampai pada bulan yang ke tiga adalah

selama lima hari, maka yang menjadi ketentuan dari masa haidnya adalah lima

hari. Sdang apabila kebiasaan dari masa haidnya itu lima hari, kemudian di

tengah-tengah dari hari kelima tersebut ia mendapati satu hari keluar dan satu

hari yang lain berhenti, maka semuanya itu tetap terhitung sebagai masa haid,

sehingga selesai pda hari yang kelima. Adapun darah yang keluar setelah hari

kelima adalah istihadhah.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa seorang istri yang

mengalami masa istihadhah secara mutlak boleh disetubuhi oleh suaminya,

tanpa adanya syarat apapun. Ini merupakan pendapat mayoritas dari fuqaha.

Wanita yang mengalami istihadhah juga diharuskan berpuasa dan mengerjakan

shalat selama istihadhah itu berlangsung. Hal ini sebagaimana disebutkan di

dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abi bin Tsabit, dari ayahnya, dari

kakeknya, dari Nabi:

“Ia meninggalkan shalat selama hari haidnya, kemudian mandi,

berpuasa, dan mengerjakan shalat serta berwudhu pada setiap hendak

menunaikan shalatnya.” (HR. abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Sedangkan dari Aisyah, ia menceritakan:

“Fathimah binti Abi Jahsyin ia pernah datang kepada Nabi. Seraya

menceritakan apa yang tengah dialaminya. Maka Beliau bersabda: Mandilah,

kemudian berwudhu pada setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Abu

Dawud dan At-Tirmidzi)

Karena darah itu keluar melalui kemaluan sehingga membatalkan

wudhu, maka hukumnya sama dengan madzi. Akan tetapi yang lebih baik

adalah berwudhu ketika datang waktu shalat. Karena ada kemungkinan darah

tesebut dapat keluar sewaktu-waktu, hingga dapat membatalkan wudhu.

Sebab, hadats yang keluar melalui kemaluan dapat membatalkan wudhu.

q. Menjama’ antara dua shalat

Bagi wanita yang sedang mengalami istihadhah diperbolehkan menjama’

antara dua shalat dengan satu kali wudhu. Karena, Nabi pernah

memerintahkan kepada Hamnah binti Jahsy untuk menjama’ antara dua shalat

dengan satu kali bersuci. Hal ini di qiyaskan bagi para wainta yang mengalami

istihadhah.

Page 14: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

r. Usia minimal keluarnya darah haid

Usia terendah bagi seorang wanita untuk menjalani masa haid adalah 9

tahun. Oleh karena itu, apabila ada seorang wanita yang mengeluarkan darah

melalui kemaluannya sebelum usia tersebut, maka itu bukanlah darah haid.

Artinya, tidak berlaku pula baginya hukum-hukum yang berkenaan dengan

masalah haid. Karena tidak ada ketetapan hukum ynga mengatur bahwa

seorang wanita mampu menjalani masa haid sebelum usia tersebut. Telah

diriwayatkan dari Aisyah ra, di mana ia berkata: “Apabila seorang anak wanita

mencapai usia 9 tahun, maka ia sudah termasuk perempuan (memasuki usia

baligh). (HR. At-Tirmidzi)

s. Usia maksimal keluarnya darah haid

Usia maksimal seorang wanita dalam menjalani masa haidnya adalah 50

tahun. Oleh karena itu, apabila melihat keluarnya darah melalui kemaluannya

setelah usia 50 tahun maka dalam hal ini ada 2 penjelasan:

1. Hal itu dianggap sebagai proses sirkulasi darah yang mengalai kerusakan.

Karena Aisyah pernah menceritakan: “Apabila seorang waita telah

mencapai usia 50 tahun, maka ia udah tidak mengalami masa hiad lagi.

2. Apabila darah tersebut mengalir secara berulang-ulang. Maka ia termasuk

darah haid. Maka inilah yang paling benar. Sebab hal itu tidak jarang

ditemukan dikalangan kaum wanita. Sebagaimana diriwayatkan bahwa

Hindun binti Ubaidah bin Abdelillah bin Zam’ah melahirkan Musa bin

Abdellah bin Hasan bin Hasan bin Ali .ra pada usia 60 tahun.

Sementara Ibnu Bakar mengatakan bahwa wanita yang telah berusia 50

tahun tidak akan melahirkan, kecuali pada wanita-wanita bangsa arab dan

wanita yang telah berusia 60 tahun tidak akan melahirkan kecuali wanita

Quraish. Wanita non- arab merasa putus asa pada usia 50 tahun, sedangkan

wanita Arab masih melahirkan sampai pada usia 60 tahu karena mereka jauh

lebih kuat dari sisi fisik untuk melahirkan.

2.2 NIFAS

2.2.1 Definisi Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik

bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari)

yang disertai dengan rasa sakit.

Page 15: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang

wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan

batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai

kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas

minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya

tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman

37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang

wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu

adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian

yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum

sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut

kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan

berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti.

Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa

nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka

tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari)

itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk

dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam

hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang

telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan

berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari.

Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh

suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal

itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang

sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya

belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah

nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya

adalah hukum wanita mustahadhah.

Page 16: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80

hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd

Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna':

"Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit

sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas)”.

Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian,

apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia

segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak demikian, tetap

berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan

kewajiban.

2.2.2 Keguguran

Apabila janin yang berada di dalam kandungan seorang ibu keluar

sebelum waktunya (keguguran) dan sudah berbentuk manusia, maka darah yang

keluar setelahnya merupakan darah nifas. Sedang apabila janin yang keluar

setelahnya tidak dikategorikan sebagai darah nifas. Akan tetapi, dianggap

sebagai darah kotor yang tidak menghalangi wanita untuk mengerjakan shalat

dan juga puasa.

Waktu minimal bagi sebuah janin itu terbentuk menjadi manusia

sempurna adalah delapan puluh satu hari. Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah

bin Mas’ud ra, bahwa Rasululloh SAW pernah bersabda :

“Sesungguhnya sel sperma yang telah membuahi indung telur itu

berkumpul di dalam rahim ibu selama empat puluh hari. Kemudian ia menjadi

segumpal darah, lalu segumpal daging, dan diutus kepadanya malaikat yang

diperintahkan untuk ditetapkan baginya empat hal, yaitu rezeki, ajal, dan

amalnya dan apakah akan sengsara atau bahagia.”

Para ulama mengatakan : “Janin tidak mungkin berbentuk sebelum jumlah

hari tersebut. Yang pada umumnya terjadi adalah, bahwa pemberian bentuk itu

tidak akan terlihat sebelum 90 hari.”

Hendaklah wanita Muslimah mengetahui bahwa keguguran dalam proses

kehamilan, apabila terjadi setelah terbentuknya tubuh seperti jari, kuku, rambut

atau anggota tubuh lainnya, maka kandungan itu sudah menjadi anak dan darah

yang keluar karenanya dianggap sebagai nifas. Sedang apabila kandungan itu

mengalami keguguran sebelum terbentuknya anggota tubuh dan masih berupa

Page 17: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

segumpal darah atau segunpal daging, maka darah yang keluar karenanya tidak

dianggap sebagai darah nifas.

2.2.3 Masa berlangsungnya nifas

Tidak ada batas minimal dalam masalah nifas, yaitu bisa saja terjadi

dalam waktu yang singkat. Oleh kareba itu, apabila seorang wanita melahirkan,

lalu tidak lama kemudian darah nifasnya berhenti, maka ia berkewajiban

mengerjakan shalat, puasa dan ibadah lainnya seprti layaknya wanita yang

berada dalam keadaan suci. Sedangkan batas maksimalnya adalah 40 hari,

sesuai dengan hadits dari Ummu Salamah di atas.

Disunnahkan bagi wanita Muslimah untuk mandi setelah melahirkan baik

yang melahirkan dengan mengeluarkan darah maupun tidak. Demikian juga

apabila mengalami keguguran pada masa-masa kehamilan, meskipun waktunya

sangat sebentar.

2.2.4 Cara mengetahui kesucian

Seorang wanita Muslimah dapat mengetahui kesuciannya dengan cara

memasukkan kapas ke dalam kemaluannya, lalu mengeluarkannya kembali. Hal

ini dilakukan pada saat bangun dari tidur dan ketika hendak tidur. Yaitu untuk

mengetahui, apakah dirinya dalam keadaan suci atau tidak. Atau untuk

mendapatkan bukti, apakah masih ada yang keluar setelah ia bersuci.

2.2.5 Melahirkan Dua anak

Apabila wanita Muslimah melahirkan 2 anak (kembar), maka masa

nifasnya dimulai dari kelahiran anak pertama dan bukan pada anak yang kedua.

Sebagaiman Fathimah Az-Zahra ra yang pernah melahirkan sebelum

terbenamnya matahari (yaitu Hasan dan Husain), kemudian ia bersuci dari nifas

dan mandi setelah mengerjakan shalat Isya, tepat pada waktunya. Oleh karena

itu, dapat dikatakan, bahwa batas minimal dari nifas adalah waktu sekejap dan

batas maksimalnya adalah 40 hari.

2.2.6 Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa nifas

Amalan yang diharamkan bagi wanita pada masa haid diharankan pula

bagi wanita yang menjalani masa nifas, tanpa ada perbedaan di antara keduany,

kecuali hal-hal yang menyangkut thalak dan iddah

2.2.7 Amalan yang mubah dilakukan wanita haid dan nifas

a. Bercumbu pada bagian-bagian selain kemaluan

b. Berdzikir kepada Alloh SWT

Page 18: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

c. Ihram, wuquf di Arafah, semua amalan haji dan umrah kecuali thawaf di

sekeliling Ka’bah. Tidak dipperbolehkan bagi wanita yang sedang

menjalani masa haid serta nifas, kecuali setelah bersuci dan mandi. Hal ini

didasarkan pada sabda Rasululloh kepada Aisyah ra :

“kerjakanlah seperti orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali

melakukan thawaf di Ka’bah sehingga kamu bersuci.”(Muttafaqun Alaib)

d. Makan dan minum bersama. Hal ini seperti disebutkan di dalam hadits

riwayat dari Aisyah ra :

“Aku pernah minum air dalam keadaan haid dan memberikan sisanya

kepada nabi. Kemudian beliau meletakkan mulut beliau tepat pada bekas

mulutku dan meminum air tersebut (Imam Muslim)”

Selain itu, tidak dimakruhkan bagi wanita yang sedang menjalani

masa haid atau nifas untuk memasak, mencuci atau yang lainnya.

Berkenaan dengan hal ini, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud , di

mana dia menceritakan :

“Aku pernah bertanya kepada Rasululloh tentang makan bersama

istri yang sedang haid dan beliau pun menjawab : diperbolehkan makan

bersamanya.”(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik , bahwa orang-orang Yahudi

pada masa Rasululloh apabila mendapati istri mereka sedang haid, maka

mereka tidak mau nengajak makan bersama dan tidak pula menemaninya di

rumah. Lalu salah seorang sahabat wanita bertanya kepada Rosululloh,

mengenai hal tersebut dan beliau menjawab dengan bersabda :

“Perbuatlah segala sesuatu, kecuali berhubungan badan.”(HR.

Muslim)

2.2.8 Amalan yang boleh dilakukan wanita pada masa haid dan nifas

a. Mencukur rambut dan memotong kuku

b. Pergi ke pasar

c. Pergi mendengarkan ceramah agama dan belajar memahami Islam,

apabila hal tersebut tidak dilakukan di dalam masjid.

d. Berdzikir, bertasbih, bertahmid, dan membaca basmalah sebelum

makan minum.

e. Membawa hadits, fiqih, doa dan mengucapkan amin.

f. Membaca berbagai macam dzikir sebelum tidur

Page 19: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

g. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an.

2.2.9 Apabila masa nifas lebih dari empat puluh hari

Apabila seorang wanita menjalani masa nifas lebih dari 40 hari dan

bertepatan dengan kebiasaan masa haid, maka darah itu dianggap sebagai

darah haid. Akan tetapi, apabila tidak bertepatan dengan kebiasaan masa

haidnya, maka darah itu termasuk istihadhah dan tidak menghalanginya

untuk mengerjakan shalat maupun puasa. Berkenaan dengan ini, wanita

tersebut tidak perlu mengganti shalat yang ditinggalkan, akan tetapi cukup

hanya mengganti puasa yang ditinggalkannya (apabila terjadi pada bulan

Ramadhan).

2.2.10 Apabila melahirkan tetapi tidak mengeluarkan darah

Apabila seorang wanita melahirkan dan tidak melihat adanya darah

yang keluar, maka ia tetap berada dalam keadaan suci atau tidak menjalani

masa nifas. Karena, masa nifas adalah masa keluarnya darah setelah

melahirkan, sedang pada saat itu ia tidak mengeluarkannya. Untuk itu, ia

berkewajiban mandi.

Sebab proses melahirkan itu sendiri merupakan masa nifas, sehingga

ia tetap berkewajiban seperti halnya kewajiban yang melekat pada

pertemuan antara dua kemaluan (suami istri) meskipun tidak mengeluarkan

mani.

2.2.11 Apabila suci sebelum 40 hari

Apabila seorang wanita yang sedang menjalani masa nifas telah suci

sebelum 40 hari, maka ia diperbolehkan untuk mandi, menjalankan puasa

dan mengerjakan sholat. Akan tetapi disunnahkan untuk tidak berhubungan

badan dengan suaminya sebelum 40 hari berlalu, karena dikhawatirkan

nantinya akan keluar darah kembali, sehingga hubungan badan itu terjadi

pada saat nifas.

2.2.12 Apabila darah keluar kembali sebelum 40 hari

Apabila darah itu kembali keluar sebelum 40 hari, maka darah

tersebut termasuk darah nifas. Pada saat itu, ia tidak diperbolehkan

mengerjakan shalat maupun puasa. Setelah darah tersebut berhenti, maka ia

boleh melaksanakan mandi dan tidak perlu mengganti shalat yang dtelah

ditinggalkan, kecuali puasa.

Page 20: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

2.2.12 Apabila mengeluarkan darah setelah bersuci 15 hari

Apabila wanita Muslimah melihat darah keluar selama satu hari satu

malam, setelah bersuci pada hari ke lima belas (setelah masa nifasnya

selesai,ed.), maka yang keluar itu dianggap sebagai darah haid. Akan tetapi,

apabila darah yang keluar kurang dari satu hari satu malam, maka darah itu

dianggap sebagai darah kotor dan ia boleh mengerjakan shalat atau puasa.

Apabila ia mengeluarkan darah kembali setelah 2 atau 3 hari, maka

darah tersebut termasuk darah nifas. Sedang apabila mengeluarkan darah

dan pada keesokan hari suci, maka mengenai hal ini terdapat beberapa

pendapat : menurut para ulama Hanafi, keadaan seperti itu dianggap sebagai

nifas. Menurut para ulama Hanbali, keadaan seperti itu dianggap masa suci.

Menurut para ulama Asy-Syafi’i, apabila keluar tepat pada lima belas hari

atau lebih, maka ia dianggap suci dari masa nifas dan apabila sebelum dari

lima belas hari, maka masih dianggap sebagai masa nifas. Sedangkan

menurut para ulama Maliki, apabila berhentinya darah itu berlangsung

selama setengah bulan, maka hal itu dianggap sebagai masa suci. Adapun

darah yang keluar sesudahnya merupakan darah haid. Apabila kurang dari

setengah bulan, maka masih termasuk darah nifas. Diperkirakan masa

maksimal nifas itu adalah dijumlahkannya seluruh hari-hari dari keluarnya

darah dengan pemisahan hari-hari berhentinya, sehingga keluarnya darah

itu berjumlah 60 hari. Demikian akhir dari masa nifasnya. Pada hari-hari

berhentinya darah, wanita yang menjalani masa nifas ini berkewajiban

untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan oleh wanita yang tengah

berada dalam keadaan suci seperti shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.

2.2.13 Thalak dan iddahnya wanita pada masa nifas

Iddah itu berlaku terhitung sejak dijatuhkannya thalak, tanpa

dipengaruhi oleh masa nifas. Karena apabila thalak terjadi sebelum proses

melahirkan, maka masa iddah dari thalak berakhir dengan proses kelahiran,

baik menunggu kelahiran itu lama maupun sebentar dan tidak harus

menunggu masa nifas.

Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT:

“perempuan-perempuan yang hamil, masa iddah mereka adalah

sampai melahirkan.”(Ath-Thalaq:4)

Page 21: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Sedang apabila thalak itu terjadi setelah proses melahirkan, maka

seorang istri harus menunggu sampai datangnya masa haid berikutnya.

Page 22: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Permasalahan Pertama

Apabila seorang wanita muslimah mengeluarkan darah haid beberapa saat setelah

masuknya waktu shalat, yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan shalat, akan

tetapi ia belum sempat mengerjakannya, maka shalat itu tetap terhitung kewajibannya

dan ia harus mengqadhanya pada waktu yang lain (setelah ia suci).

Apabila sebelum masa haid menjelang ia masih memiliki kesempatan untuk

melakukan takbiratul ihram, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat yang

ditinggalkannya itu.

Apabila darah haid itu berhenti pada waktu shalat Ashar, maka ia berkewajiban

untuk mengqadha shalat Dzuhurnya. Atau apabila berhenti pada waktu shalat Isya, maka

ia berkewajiban untuk mengqadha shalat Maghribnya.

Ia tidak lagi dibebani kewajiban mengerjakan shalat, apabila telah sempat

mengerjakan satu raka’at penuh, sebelum masa haid menjelang. Ketika itu, ia

berkewajiban untuk mengerjakan shalat, baik kesempatan yang diperolehnya tersebut

berlangsung pada awal waktu maupun pada akhir shalatnya.

Apabila seorang wanita mengeluarkan darah haid pada sekitar satu raka’at dari

pelaksanaan shalatnya setelah tenggelam matahari, maka ia berkewajiban untuk

mengqadha shalat Maghrib, yaitu sekitar satu raka’at sebelum mengeluarkan haid.

3.2 Permasalahan ke dua

Apabila seorang wanita telah suci dari haid pada waktu sekitar satu raka’at dari

pelaksanaan shalat sebelum terbitnya matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha

shalat Subuhnya ketika sudah dalam keadaan suci. Karena, ia sempat memasuki waktu

shalat Subuh dalam keadaan suci dari haid untuk mengerjakan satu raka’at. Akan tetapi,

apabila waktu itu tidak mencukupi untuk mengerjakan satu raka’at penuh, seperti ia

mengeluarkan darah haid sesaat setelah waktu Maghrib, maka ia tidak berkewajiban

untuk mengerjakan shalat, sebagaimana sabda Nabi SAW:

“barangsiapa telah melakukan satu raka’at dari shalat pada waktunya, maka ia

telah mendapatkan shalat tersebut.”(Muttafaqun Alaih)

Page 23: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

Pengertian hadits di atas adalah bahwa orang yang mendapatkan waktu shalat

kurang dari satu raka’at, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat secara

penuh.

3.3 Permasalahan ke tiga

Barangsiapa tidak melakukan satu raka’at shalat Ashar setelah ia suci dari haid,

maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Dzuhur. Ini menurut pendapat Abu

Hanifah.

3.4 Wanita yang mengeluarkan darah sebelum melahirkan

Apabila wanita hamil yang mendekati masa kelahiran mengeluarkan darah, maka

darah tersebut termasuk nifas, di mana ia harus meninggalkan shalat dan puasa, sedang ia

hanya berkewajiban untuk mengqadha utang puasanya saja.

3.5 Wanita yang mengeluarkan darah ketika usia lima puluh tahun

Apabila seorang wanita Muslimah mengeluarkan darah ketika usianya mencapai

50 tahun, maka ia tidak perlu meninggalkan shalat dan puasa. Akan tetapi, ia perlu

mengqadha puasanya sebagai tindakan ihtiyathi (preventif). Sedang apabila ia

mengeluarkan darah setelah mencapai usia 60 tahun dan ia berkeyakinan bahwa itu

bukan darah haid, maka ia boleh mengerjakan puasa dan shalat serta tidak perlu

mengqadha puasanya.

Page 24: Web viewYaitu, wanita yang baru pertama kali mengeluarkan darah haid. Ketika itu ia berkewajiban meninggalkan shalat, puasa dan hubungan badan,

BAB IV

PENUTUP4.1 KESIMPULAN

Seorang wanita yang sedang menjalani masa haid ataupun nifas tidak berkewajiban

untuk menjalankan ibadah seperti puasa, shalat, ihram, dan ibadah-ibadah lainnya.

4.2 SARAN

Seorang wanita yang mengalami masa haid seharusnya mengingat kapan waktu mulai

dan berhenti hal ini bertujuan agar ia mengetahui apakah dia berkewaajiban mengqadha

sholatnya atau tidak. Selain itu, bagi wanita yang hamil seharusnya juga mengetahui hukum-

hukum tentang nifas.