Ttlksna Non Farmako

download Ttlksna Non Farmako

of 4

Transcript of Ttlksna Non Farmako

Penatalaksanaan Tuberkulosis paru Non Farmakologi Pengobatan tuberkulosis mengalami beberapa tahapan yakni: Health Resort Era Setiap pasien tuberkulosis harus dirawat di sanatorium, yakni tempat-tempat yang berudara segar, sinar matahari yang cukup, suasana yang menyenangkan dan makanan yang bergizi tinggi. Bedrest Era bergizi tinggi. Usaha Pasien tidak perlu dirawat di sanatorium, tetapi cukup diberi istirahat setempat terhadap fisiknya saja, di samping makanan yang terhadap gejala yang timbul. Collapse Therapy Era Di sini cukup paru yang sakit saja yang diistirahatkan dengan melakukan pneumonia artifisial. Paru-paru yang sakit dibuang secara wedge resection, satu lobus atau satu bagian paru. Chemotherapy Era Di sini revolusi dalam pengobatan tuberkulosis, yakni dengan ditemukannya streptomisin suatu obat antituberkulosis mulai tahun 1944 dan bermacam-macam obat lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1964 dengan ditemukannya rifampisin terjadi semacam mini revolusi dalam kemoterapi terhadap tuberkulosis, karena jangka waktu pengobatan dapat dipersingkat menjadi 6-9 bulan. Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Terapi TB Paru Karena yang menjadi sumber penyebaran TB paru adalah penderita TB paru itu sendiri, pengontrolan efektif TB paru mengurangi pasien TB paru tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TB paru saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. pengobatan pada health resort and bedrest era, masih bersifat pemberantasan

A. Terapi WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TB paru jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung. Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB paru berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB paru. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB paru atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB paru, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TB paru yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TB paru yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini. Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TB paru biasanya gejala bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TB paru diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TB paru yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TB paru akan semakin sulit dilaksanakan. DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TB paru saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk

medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu : o Adanya komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TB paru. o Diagnosis penyakit TB paru melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis. o Pengobatan TB paru dengan paduan OAT jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat). o Tersedianya paduan obat anti-TB paru jangka pendek secara konsisten. o Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB paru sesuai standar. B. Imunisasi Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan.Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 7080 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontrolan TBC di AS. Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negaranegara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi

ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan. Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, sehingga masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. (Andi Utama-Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI dan Pemerhati Masalah Kesehatan)