Trauma Abdomen
-
Upload
ima-larose -
Category
Documents
-
view
56 -
download
8
Transcript of Trauma Abdomen
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.
Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Trauma juga mempunyai
dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik
dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang.1
Pada pasien trauma, bagaimana menilai abdomen merupakan salah satu hal penting dan
menarik. Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari kemungkinan
adanya perdarahan yang tersembunyi pada abdomen dan pelvis pada pasien trauma tumpul. Trauma
tajam pada dada diantara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi mengakibatkan cedera
intra abdominal. Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode apa yang terbaik sangat
ditentukan oleh mekanisme trauma, berat dan lokasi trauma, maupun status hemodinamik
penderita.2
Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap menjadi salah satu penyebab kematian
yang sebenarnya dapat di cegah. Sebaiknya jangan menganggap bahwa ruptur organ berongga maupun
perdarahan dari organ padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Hasil pemeriksaan
terhadap abdomen mungkin saja dikacaukan oleh adanya intoksikasi alkohol, penggunaan obat-
obat tertentu, adanya trauma otak atau medulla spinalis yang menyertai, ataupun adanya trauma
yang mengenai organ yang berdekatan seperti costa, tulang belakang, maupun pelvis. Setiap
pasien yang mengalami trauma tumpul pada dada. baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma visera atau trauma
vaskuler abdomen2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI ABDOMEN LUAR
A. Abdomen Depan
Batas abdomen adalah superior oleh garis antar papila mamae, inferior oleh ligamentum
inguinalis dan simfisis pubis, lateral oleh linea aksilaris anterior.
B. Pinggang
Berada antara garis aksilaris anterior dan garis aksilaris posterior, dari ruang interkostal
ke-6 di supeor sampai krista iliaka di inferior. Berbeda dengan dinding abdomen depan
yang tipis, otot-otot dinding abdomen di daerah pinggang tebal dan dapat merupakan
perintang terhadap luka tembus (khususnya luka tusuk).
C. Punggung
Bertempat di belakang garis aksilaris posterior dari ujung skapula sampai krista iliaka.
Sama dengan otot-otot dinding abdomen di samping, otot punggung dan paraspinal
bertindak sebagian sebagai perintang luka tembus.
2.2 ANATOMI ABDOMEN DALAM
A. Rongga Peritoneum
1. Rongga Peritoneal
Rongga peritoneal dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
A. Rongga Peritoneal Atas
Rongga peritoneal atas dilindungi oleh bagian bawah dari dinding thoraxyang mencakup
diafragma, hepar, liean, gaster, dan colon transversum.Bagian ini juga disebut sebagai
komponen thoracoabdominal dariabdomen. Pada saat diafragma naik sampai sela iga IV
pada waktuekspirasi penuh, setiap terjadi fraktur iga maupun luka tusuk tembus dibawah
garis intermammaria bisa mencederai organ dalam abdomen.
B. Rongga Peritoneal Bawah
Rongga peritoneal bawah berisikan usus halus, bagian colon ascendensdan colon
descendens, colon sigmoid, dan pada wanita, organ reproduksi internal
B. Rongga Pelvis
Berada di bagian bawah dari ruang retroperitoneum dan berisikan rektum, kandung
kemih, pembuluh-pembuluh iliaka, dan genitalia intema wanita. Sama seperti daerah
torakoabdominal, pemeriksaan untuk mengetahui cedera
C. Ruang Retroperitoneum
Meliputi aorta abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar dari duodenum, pankreas,
ginjal dan saluran kencing, kolon asenden dan kolon desenden.
2.3 MEKANISMA CEDERA
A. Trauma Tumpul (Blunt)
Shearing Injuries pada organ isi abdomen merupakan bentuk trauma yang dapat terjadi
bila suatu alat penahan (seperti sabuk pengaman jenis lap belt atau komponen sabuk
bahu) dipakai dengan cara yang salah. Penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan
bermotor juga dapat menderita cedera deceleration karena gerakan yang berbeda dari
bagian badan yang bergerak dan yang tidak bergerak, pada hati dan limpa yang sering
terjadi (organ bergerak) di tempat jaringan pendukung (struktur tetap) pada tabrakan
tersebut.2
Pada penderita yang dilakukan laparatomi oleh karena trauma tumpul (blunt injury),
organ yang paling sering cedera, adalah limpa (40% sampai 55%), hati (35% sampai
45%), dan hematoma retroperitoneum (15%).
B. Trauma Tembus
Luka tusuk dan luka tembak kecepatan-rendah menyebabkan kerusakan jaringan karena
laserasi atau terpotong. Luka tembak kecepatan-tinggi mengalihkan lebih banyak energi
kepada organ-organ abdomen, mempunyai efek pelubangan tambahan sementara
(temporary cavitation), dan peluru mungkin berguling atau pecah, sehingga
menyebabkan lebih banyak cedera lagi.
Luka tusuk melintas struktur abdomen di dekatnya dan paling umum mengenai hati
(40%), usus kecil (30%), diafragma (20%) dan usus besar (15%). Luka tembak
menyebabkan lebih banyak cedera dalam abdomen karena perjalanannya yang lebih
panjang di dalam tubuh dan juga berdasarkan energi kinetis yang lebih besar, dan dapat
mengenai usus kecil (50%), usus besar (40%), hepar (30%) dan struktur vaskuler
abdomen (25%).2’3
2.4 PENILAIAN
Pada penderita hipotensi secepatnya menentukan apakah ada cedera abdomen dan apakah itu
penyebabnya hipotensinya. Penderita yang normal hemodinamis tanpa tanda-tanda peritonitis
dapat dilakukan evaluasi yang lebih teliti untuk menentukan cedera spesifik yang ada (trauma
tumpul) atau apakah tanda-tanda peritonitis atau perdarahan terjadi selama suatu masa
pengamatan (trauma tembus).5
A. Riwayat Trauma
Bila memeriksa penderita yang menderita trauma tembus, informasi yang harus
diperoleh adalah antara lain saat terjadinya cedera, jenis senjata (pisau, pistol,
senapan, shotgun) , jarak dari penyerang (penting untuk luka tembakan, karena cedera
organ perut yang parah akan berkurang bila lewat jarak 2 meter), jumlah luka tusuk
atau tembakan yang kena, dan jumlah perdarahan yang diderita penderita di tempat
kejadian.
Keterangan penting yang harus diperoleh dari penderita yang menderita trauma
abdomen yang tumpul atau tembus, adalah besarnya dan lokasi rasa sakit di abdomen
dan apakah sakit ini diacu ke bahu.
B. Anamnesis
Anamnese yang teliti terhadap pasien yang mengalami trauma abdomen akibat
tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, jenis tabrakan,
berapa penyokoknya bagian kendaraan ke dalam ruang
penumpang, jenis pengaman yang dipergunakan, ada atau
tidak air bag, posisi pasien dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya.
Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi
maupun petugas emergensi jalanraya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-
luka yang ada maupun respons terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat
diberikan oleh petugas-petugas pra-rumah sakit.2
Bila meneliti pasien dengan trauma tajam, anamnese yang teliti harus diarahkan
pada waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau,pistol,
senapan), jarak dari pelaku, jumlah tikaman atau tembakan, dan jumlah perdarahan
eksternal yang tercatat di tempat kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus
diperoleh dari pasien mengenai hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri
abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke bahu. Selain itu pada luka tusuk dapat
diperkirakan organ mana yang terkena dengan mengetahui arah tusukan, bentuk pisau
dan cara memegang alat penusuk tersebut.1
C. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
1. Inspeksi
Bila dipasang pakaian Pneumatic Anti Shock Garment (PASG) dan penderitanya
hemodinamis stabil, segmen abdominal dikempeskan sambil tekanan darah
penderita dipantau dengan teliti. Penurunan tekanan darah sistolis lebih dari 5 mm
Hg adalah tanda untuk menambah resusitasi cairan sebelum meneruskan
pengempesan (deflasi). Perut depan dan belakang, dan juga bagian bawah dada
dan perineum, harus diperiksa untuk goresan, robekan, luka tembus, benda asing
yang tertancap, keluarnya omentum atau usus kecil, dan status hamil.2
2. Auskultasi
Ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang bebas
atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus (mengakibatkan
hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang
belakang atau panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera
di abdomen dalam, sehingga tidak-adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada
cedera intra-abdominal.2
3. Perkusi
Dapat menunjukkan adanya bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di
kuadran atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.2
4. Palpasi
Defans muskuler (involuntary guarding) adalah tanda yang andal dari iritasi
peritoneum. Tujuan palpasi adalah mendapatkan adanya dan menentukan tempat
dari nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi
ketika tangan yang menyentuh perut diangkat dengan tiba-tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.2
5. Evaluasi Luka Tembus
Sebagian besar kasus luka tembak ditangani dengan laparotomieksplorasi
karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%. Lukatembak yang
tangensial sering tidak betul-betul tangensial, dan traumaakibat ledakan bisa
mengakibatkan cedera intraperitoneal walaupun tanpaadanya luka masuk. Luka
tusukan pisau biasanya ditangani lebih selektif,akan tetapi 30% kasus mengalami
cedera intraperitoneal. Semua kasusluka tembak ataupun luka tusuk dengan
hemodinamik yang tidak stabilharus di laparotomi segera.
Bila ada kecurigaan bahwa luka tusuk yang terjadi sifatnyasuperfisial dan
nampaknya tidak menembus lapisan otot dinding abdomen,biasanya ahli bedah yang
berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka terlebih dahulu untuk
menentukan kedalamannya. Prosedur ini tidak dilakukan untuk luka sejenis diatas
iga karena kemungkinan pneumotoraks yang terjadi, dan juga untuk pasien
dengan tanda peritonitis ataupun hipotensi. Akan tetapi, karena 25-33% luka
tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum, laparotomi pada pasien
seperti ini menjadi kurang produktif. Dengan kondisi steril, anestesi local
disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai ditemukan ujungnya. Bila terbukti
peritoneum tembus, pasien mengaiami risiko lebih besar untuk cedera intra
abdominal, dan banyak ahli bedah menganggap ini sudah indikasi untuk
melaksanakan laparotomi. Setiap pasien yang sulit kita eksplorasi secara lokal
karena gemuk, tidak kooperatif maupun karena perdarahan jaringan lunak yang
mengaburkan penilaian kita harus dirawat untuk evaluasi ulang ataupun kalau
perlu untuk laparotomi.
6. Pemeriksaan lokal luka tusuk
Pada penderita tanpa peritonitis atau hipotensi maka pemeriksaan lokal pada luka
tusuk akan bermanfaat karena 25% sampai 33% dari luka tusuk di perut depan
tidak menembus peritoneum. Dengan kondisi steril, dan anestesia lokal, jalan luka
diikuti melalui lapis dinding abdomen. Bila ditemukan penetrasi melalui fasia
depan maka kemungkinan adanya cedera intraperitoneum akan lebih tinggi.
7. Menilai stabilitas pelvis
Tekanan dengan tangan pada tulang-tulang iliaka (atasnya tulang panggul) atau
puncak tulang panggul dapat membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang,
hal mana menandakan adanya fraktur pelvis (panggul) pada penderita yang
menderita trauma tumpul batang badan (blunt rtuncal trauma).
8. Pemeriksaan penis, perineal dan rektal
Adanya darah pada lubang uretra adalah tanda yang bermakna untuk
kemungkinan adanya cedera uretra. Pemeriksaan skrotum dan perineum untuk
menentukan apakah ada ekimosis atau hematoma yang juga menandakan cedera
yang sama.
Tujuan dari pemeriksaan colok dubur pada penderita yang menderita trauma
tumpul adalah menilai respon dari tonus sfinkter, posisi prostat (prostat letak
tinggi menandakan ruptur uretra), dan untuk menentukan apakah ada tulang
panggul yang patah. Pada penderita yang punya luka tembus, pemeriksaan colok
dubur digunakan untuk menilai respon dari otot sphinkter (dubur),
mengkonfirmasi adanya darah akibat perforasi, atau untuk memperoleh spesimen
tinja untuk pemeriksaan darah samar (tes darah samar yang positif menandakan
perforasi dari gastrointestinal bagian distal).
9. Pemeriksaan vagina
Robekan vagina dapat terjadi karena luka tembus atau fragmen tulang dari fraktur
tulang panggul.
10. Pemeriksaan pantat / Gluteal
Daerah pantat adalah dari puncak krista iliaka sampai lipatan pantat (ghueal fold).
Pada cedera tembus di daerah ini akan ditemukan cedera intra-abdominal yang
berat pada 50% kasus, termasuk cedera daerah dubur di bawah lipatan
peritoneum.
D. Intubasi
Bilamana problem airway, breathing,dan circulation sudah dilakukandiagnosis dan
terapi, sering dilakukan pemasangan kateter gaster dan urinesebagai bagian dari
resusitasi.
E. Pemasangan kateter
1. Gastric Tube
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi dilatasi gastrik yang akut, dekompresi
abdomen sebelum melakukan diagnostic peritoneal lavage, dan mengeluarkan isi
abdomen, sehingga mengurangi resiko aspirasi. Bila tidak ada sumber perdarahan
dari nasofaring atau orofaring maka adanya darah di dalam cairan gastrik
menandakan adanya cedera Esofagus atau bagian gastrointestinal bagian atas.
Hati - hati : Bila ada patah pada tulang muka yang berat atau diduga patah pada
dasar tengkorak, gastric tube harus dimasukkan melalui mulut untuk mencegah
masuknya melalui pelat kribriform ke dalam otak (Jangan pasang NGT pada
cedera wajah, pasanglah pipa orogastrik).
2. Kateterisasi Kandung Kemih
Tujuan adalah untuk menghilangkan retensi urin, dekompresi kandung kemih
sebelum melakukan diagnostic peritoneal lavage, dan pemantauan produksi urin
sebagai indeks perfusi jaringan. Kalau kateter dapat dimasukkan dengan mudah,
hematuria adalah tanda trauma pada bagian genito-urinaria.
Hati- hati : Pada keadaan-keadaan tidak-mampuan mengosongkan kandung
kemih, patah panggul yang tidak stabil, darah pada meatus, hematoma pada
skrotum atau diskolorasi pada perineum, atau prostat yang tinggi pada
pemeriksaan rektal, harus dilakukan pemeriksaan uretrogram untuk memastikan
uretra yang utuh sebelum memasukkan kateter. Uretra yang cedera dapat dikenal
pada saat primary maupun secondary survey dan memerlukan pemasangan tube
suprapubik (sistostomi)
F. Pengambilan sempel darah
Darah yang diambil sewaktu pemasangan jarum infus gunanya adalah menentukan
tipe darah. Pada pasien yang hemodinamiknya stabil adalah untuk penentuan tipe
dan crossmatch bagi yang hemodinamiknya tidak stabil. Bersamaan dengan itu
dilakukan juga pemeriksaan darah rutin, kalium + glukosa+ amylase (pada trauma
tumpul) dan juga kadar alkohol darah. Walaupun kadang tidak penting, dilakukan
juga pemeriksaan laboratorium tambahan pada pasien yang diketahui punya sakit
lain sebelumnya, ataupun pasien yang akan menjalani pemeriksaan Rontgen
dengan bahan kontras (terutama yodium) intravena
G. Pemeriksaan rontgen
1. Pemeriksaan ronsen untuk Trauma Tumpul
Pemeriksaan ronsen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multi trauma.
Pada penderita yang hemodinamik normal maka perneriksaan ronsen abdomen
dalam keadaan terlentang dan berdiri (sambil melindungi tulang punggung)
mungkin berguna untuk mengetahui udara ekstraluminal di retroperitoneum atau
udara bebas di bawah diafragma, yang keduanya memerlukan laparotomi segera.
Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)juga menandakan adanya cedera
retroperitoneum. Bila foto tegak dikontra-indikasikan karena nyeri atau patah
tulang punggung, dapat digunakan foto samping sambil tidur (left lateral
dicubitus) untuk mengetahui udara bebas intraperitoneal.
2. Skrining pemeriksaan ronsen untuk Trauma Tembus
Penderita yang hemodinamis abnormal dengan luka tembus di abdomen tidak
memerlukan pemerikssan ronsen
Kalau penderita hemodinamis normal dan mempunyai trauma tembus di atas
pusar atau diduga cedera torakoabdominal, foto ronsen toraks tegak berguna
untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumotoraks, atau untuk
menemukan adanya udara intraperitoneum. Setelah cincin atau clip penanda
dipasang pada semua tempat luka keluar masuk toraks, abdomen dan panggul
pada penderita yang hormal hemodinamis, dapat dibuat pemeriksaan ronsen
abdomen sambil tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara
retroperitoneum.
3. Studi kontras2’6
a. Uretrografi
Seharusnya dilakukan sebelum memasang kateter urin (indwelling) kalau
diduga adanya ruptur uretra. Uretrogramnya dilakukan dengan kateter urin no.
8 F yang dipasang di dalam meatal fossa dengan mengisi balon sampai 1%z -
2 ml. Sekitar 15 sampai 20 ml bahan kontras dimasukkan dengan sedikit
tekanan.
b. Sistografi
Diagnosis robekan kandung kencing intra- atau ekstraperitoneum dilakukan
dengan sistogram (aliran gravitasi). Sebuah reservoir bulat yang dihubungkan
dengan kateter urin digantung 15 cm di atas penderita, dan 300 ml kontras
yang larut dalam air dibiarkan mengalir ke kandung kemih. Proyeksi
anteroposterior, oblique, dan post drainage penting untuk dapat secara pasti
menentukan ada/tidaknya cedera. Sistografi harus mendahului foto intra
venous pyelogram (IVP) bila diduga ada cedera VU (ex : fraktur pelvis).
c. IVP atau urogram excretory
Suatu injeksi cepat dosis tinggi kontras renal ("IVP screening") sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan dosis 200 mg iodine/kgBB. Ini termasuk
injeksi bolus 100 ml (standar 1.5 ml/kgBB untuk orang yang beratnya 70 kg)
larutan iodine 60% yang dilakukan melalui dua semprit 50-m1 selama 30
sampai 60 detik. Kalau hanya bisa dapat larutan iodine 30%, dosis ideal
adalah 3.0 ml/kg. Visualisasi calyces ginjal harus nampak pada pelat rata
sinar-x dari perut 2 menit setelah injeksinya selesai. Non-fungsi sebelah
menandakan tidak adanya sebuah ginjal, trombosis, atau avulsion pembuluh
ginjal, atau kerusakan besar dari soft tissue, juga menandakan agar selanjutnya
dilakukan evaluasi radiologis dengan CT dengan kontras atau renal
arteriogram. Bila bisa dapat CT scanning, penderita yang hemodinamis
normal dengan diduga cedera intraabdonimal dan/atau retroperitoneum
sebaiknya dievaluasi dengan CT yang ditambah dengan kontras yang dapat
menentukan jenis cedera ginjal yang ada.
H. Studi Diagnostik Khusus dalam Trauma Tumpul2’6
1. Focused Assessment Sonography in Trauma (FAST)
Focused Assessment Sonography inTrauma adalah salah satu dari dua
pemeriksaan paling cepat untuk mengidentifikasi perdarahan atau potensi cedera
organ berongga. Pada FAST, teknologi USG digunakan oleh dokter terlatih untuk
mendeteksi adanya hemoperitoneum. USG merupakan pemeriksaan yang cepat,
noninvasive, akurat dan tidak mahal dalam mendiagnosis hemoperitoneum dan
dapat diulang apabila diperlukan.
Pemeriksaan USG untuk mengetahui adanya hemoperitoneum dapat dilakukan
dengan cepat. Lebih jauh lagi, USG dapat mendeteksi penyebab hipotensi
nonhipovolemik, yaitu tamponade jantung. Pemeriksaan diarahakan untuk
mencarikantung perikardial, fossa hepatorenal, fossa splenorenal, dan pelvis.
Setelah pemeriksaan awal, harus diadakan pemeriksaan kedua atau "kontrol"
setelah menunggu 30 menit. Pemeriksaan kontrol dapat mendeteksi
hemoperitoneum yang progresif pada penderita dengan perdarahan yang lambat
dan waktu interval pendek antara saat cedera sampai pemeriksaan pertama.
2. Diagnostic Peritoneal Lavage
Adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan cepat tetapi invasif, dan sangat
berperan dalam menentukan pemeriksaan berikut yang perlu dilakukan pada
penderita, dan dianggap 98% sensitif untuk perdarahan intra-peritoneum.
a. Perubahan sensorium - cedera kepala, intoksikasi alkohol, penggunaan obat
terlarang.
b. Perubahan perasaan - cedera jaringan syaraf tulang belakang
c. Cedera pada struktur berdekatan - tulang iga bawah, panggul, tulang belakang
dari pinggang ke bawah (lumbar spine).
d. Pemeriksaan fisik yang meragukan
e. Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan penderita - anestesia umum
untuk cedera yang lain dari abdomen, studi pemeriksaan ronsen yang lama
waktunya, seperti angiografi (penderita hemodinamis normal atau abnormal)
Kontraindikasi mutlak adalah adanya indikasi untuk laparotomi (celiotomy).
Kontraindikasi relatif adalah operasi abdomen sebelumnya, kegemukan yang
tidak sehat, cirhosis yang lanjut, dan koagulopati yang sudah ada sebelumnya.
Teknik infra-umbilikal, baik yang terbuka atau yang tertutup (Seldinger) dapat
dilakukan oleh dokter yang terlatih. Pada penderita dengan patah panggul atau
kehamilan yang tua, lebih disukai pendekatan supra-umbilikal terbuka mencegah
memasuki hematoma panggul atau merusak uterus yang membesar. Bila
ditemukan darah, isi usus, serat sayuran, atau cairan empedu (bile) melalui kateter
pencuci pada penderita yang hemodinamis abnormal, harus dilakukan laparotomi.
Kalau darah gross atau isi usus tidak tersedot, pencucian dilakukan dengan 1000
ml larutan lactate Ringer yang dipanasi. Dilakukan penekanan abdomen dan log
roll untuk meyakinkan pencampuran yang memadai dari isi abdomen dengan
cairan pencuci, setelah itu cairan yang keluar dikirim ke laboratorium untuk
analisa kuantitatif bila isi usus, serat sayuran, atau air empedu tidak terlihat. Tes
yang positif dan keperluan intervensi pembedahan diindikasi dengan >100.000
RBC/mm3, > 500 WBC/mm3, atau pewarnaan Gram yang positif karena adanya
bakteri-bakteri.
3. Computed Tomography (CT Scan)
Merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transpor penderita ke scanner,
pemberian kontras oral melalui mulut atau melalui gastric tube, pemberian
kontras intravena, dan scanning dari abdomen atas dan bawah, dan juga panggul.
Memberi informasi yang berhubungan dengan cedera organ tertentu dan tingkat
beratnya, mendiagnosis cedera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar
diakses melalui pemeriksaan fisik atau diagnostic peritoneal lavage.
Kontraindikasi relatif terhadap penggunaan CT meliputi penundaan karena
menunggu scanner, penderita yang tidak mau bekerjasama dan tidak dapat
ditenangkan dengan aman, atau alergi terhadap obat kontras bila tidak terdapat
kontras non-ionis.
Hati-hati : CT bisa gagal mendeteksi cedera usus (gastrointestinal), diafragma,
dan pankreas. Bila tidak ada cedera hepar atau lien, adanya cairan bebas di rongga
paru menandakan cedera pada usus dan/atau mesenterium, dan harus dilakukan
intervensi pembedahan dini.
2.5 Indikasi Laparotomi Pada Orang Dewasa2’8’9
A. Indikasi Berdasarkan Evaluasi Abdomen
1. Trauma tumpul abdomen dengan DPL positif atau ultrasound
2. Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun diadakan
resusitasi yang adekuat
3. Peritonitis dini atau yang menyusul
4. Hipotensi dengan luka abdomen tembus
5. Perdarahan dari gaster, dubur, atau daerah genitourinary akibat trauma tembus.
6. Luka tembak melintas rongga peritoneum atau retroperitoneum viseral /vaskular.
7. Eviscerasi (pengeluaran isi usus)
DPL USG CTKeuntungan Diagnosis cepat dan Diagnosis cepat; Paling spesifik
sensitif; tidak invasif dan untuk cedera;
akurasi 98% dapat diulang; akurasi 92%-98%akurasi 86%-97%
Kerugian Invasif, Tergantung operator, Membutuhkan biayasulit mengetahui distorsi gas usus dan dan waktu yang
cedera diafragma udara di bawah kulit. lebih lama, sulit
atau cedera retro- sulit mengetahui mengetahui cedera
Peritoneum cedera diafragma diafragma, usus danusus, pankreas Pancreas
B. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan ronsen
1. Udara bebas, udara retroperitoneum atau ruptur hemidiafragma setelah trauma
tumpul.
2. CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinalis, cedera kandung
kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah
setelah trauma tumpul atau tembus.
2.6 Diagnosa Spesifik
A. Trauma Tumpul
Hati, limpa dan ginjal adalah organ yang paling terkena pada trauma tumpul, walaupun
perforasi visera berongga, cedera tulang belakang lumbal, dan ruptur uterus bertambah
dengan penggunaan sabuk pengaman tidak tepat.
1. Diafragma
Hemidiafragma kiri lebih sering cedera (adalah robekan sepanjang 5 sampai 10 cm
dan meliputi hemidiafragma kiri posterolateral).
Pada saat dilakukan ronsen toraks yang mungkin nampak adalah terangkatnya atau
"blurring" (kaburnya) hemidiafragma, hemotoraks, bayangan gas abnormal yang
menyembunyikan hemidiafragma atau pipa gastrik (naso gastric tube) yang tampak
terletak di dada.
2. Duodenum
Cairan gaster yang mengandung darah atau udara retroperitoneum pada foto polos
abdomen harus menimbulkan kecurigaan adanya cedera ini Untuk penderita beresiko
tinggi perlu dilakukan foto kontras dari lambung-duodenum, atau pemeriksaan CT-
kontras-dobel.
3. Pankreas
Cedera pankreas paling sering akibat trauma langsung di epigastrium yang menekan
organ ini ke tulang belakang. Serum amilase yang normal bukan berarti tidak ada
trauma pankreas; sebaliknya, amilase dapat meningkat dari sumber non-pankreas.
Bahkan CT-kontras-dobelpun mungkin tidak menunjukkan tanda trauma pankreas
yang berarti bila dilakukan segera setelah cedera. Bila ada kecurigaan setelah CT
yang meragukan, ERCP (endoscopic retrograde cholatigiopancreatography) sito
mungkin dapat membantu.
4. Genitourinaria
Pukulan langsung di bagian belakang atau di pinggang akan dapat mengakibatkan
luka memar, hematoma atau diskolorasi (ecchymoses).
Efek deselerasi dapat menyebabkan trombosis dari arteri ginjal atau robekan pedikal
ginjal.
Dengan kedua cedera tersebut, IVP, CT atau arteriogram ginjal mungkin berguna
untuk diagnosis.
Bila ada ruptur uretra biasanya akan ditemukan patah tulang pelvis anterior. Ruptur
uretra dibagian dalam ruptur yang di atas (posterior) atau di bawah (anterior)
diafragma urogenital. Cedera uretra posterior biasanya terjadi pada penderita dengan
cedera multi-sistem dan patah panggul. Sebaliknya, cedera uretra anterior adalah
akibat dari straddle injury dan mungkin merupakan cedera yang terisolasi.
5. Usus halus
Umumnya terjadi akibat decelerasi yang mendadak dengan robekan dekat titik
fiksasi. Munculnya diskolorasi melintang bergaris di dinding abdomen (tanda sabuk
perigaman) atau adanya patah distraksi panggul (fraktur Chance) di pemeriksaan
ronsen harus waspada terhadap kemungkinan adanya cedera usus. Ultrasound dan CT
yang dini seringkali tidak mendiagnosis cedera yang samar-samar ini, dan DPL
adalah pilihan yang lebih baik bila terdapat discolorasi (ecchymoses) di dinding peru
BAB III
KESIMPULAN
Semua pasien trauma tumpul dengan hemodinamik yang tidak stabil harus segera dinilai
kemungkinan perdarahan intrabdominal maupun kontaminasi traktus gastrointestinal dengan
melakukan DPL (Diagnostic Peritoneal Lavage),ataupun FAST (Focused Assessment
Sonography in Trauma). Pasien peritonitis dengan hemodinamik normal bisa dinilai dengan CT
scan, dengan keputusan operasi didasarkan pada organ yang terkena dan beratnya trauma.
Semua pasien luka tusuk abdomen dan sekitarnya yang mengalami hipotensi, peritonitis
ataupun eviscerasi organ memerlukan laparotomi segera.Semua luka tembak yang menyeberang
rongga peritoneum ataupun bagianretroperitoneum dengan bagian pembuluh darah harus segera
di laparotomi.Pasien luka tusuk abdomen depan dengan gejala yang ringan, bila eksplorasi local
menunjukkan tembusnya peritoneum, dievaluasi dengan pemeriksaan fisik diagnostik berulang
ataupun DPL.
Penanganan trauma tumpul dan tajam pada abdomen antara lain mengembalikan fungsi vital dan
optimalisasi oksigenasi dan perfusi jaringan,menentukan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik
yang hati-hati dan diulang berkala, menentukan cara diagnostik yang khusus bila diperlukan,
tetap curiga bila ada cedera vaskular maupun retroperitoneal yang tersembunyi, dan
segeramenentukan bila diperlukan operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011,Bab 6; Trauma dan
Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter Edisi 7.
Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa AksaraPublisher, 2009,
Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk Factors and
Preventive Antibiotics.The American Surgeon 2002; 68: 29-35.
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice ManagementGuidelines for The
Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EASTPractice Management Guidelines Work
Group: Brandywine Hospital,2001, p; 2-27.
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.Committee on
Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:
8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of AbdominalTrauma: The
Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med 2003; 54: 1-15.
9. Sivit, C.J. Abdominal Trauma Imaging: Imaging Choices andAppropriateness.Pediatr
Radiol2009; 39: S158-S160