Translate Jurnal Jiwa Part 1

7
1. PENDAHULUAN Masalah spiritual dan agama mendapat perhatian dalam penelitian kesehatan, dan sepertinya kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan kualitas hidup dan peningkatan kesehatan [1, 2]. Peran spiritualitas dan agama dalam kesehatan jiwa dan raga telah disebutkan dalam jurnal medis, psikiatri, psikologi, dan kedokteran behavior, dan bukti menunjukkan hubungan antara peningkatan kesehatan, spiritualitas dan keagamaan [3]. Contohnya, studi cohort dari Danish dengan 10800 pembaptis dan adven menunjukkan penurunan resiko kanker, COLD, penyakit jantung koroner, dan beberapa gangguan psikiatri [4]. Terlebih, spiritualitas dan agama telah dianggap sebagai komponen yang penting dalam hidup manusia yang menyertai terapi kesehatan mental [5]. Beberapa studi menyatakan bahwa orang spiritual dan religius mendapat keuntungan dari intervensi spiritual dan keagamaan yang terintegrasi [5], dan ada substansi dalam literatur mengenai bagaimana mengintegrasikan spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi [6, 7]. Contohnya, Rye dkk [8] meneliti efektivitas intervensi pengampunan yang sekuler dan religius. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan saat secara langsung membandingkan partisipan sekuler dan religius pada outcome primer dan sekunder. Telah dikemukakan pendekatan terapi yang berbeda dengan integrasi spiritualitas dan keagamaan [3, 9] dan psikoterapi dengan kelompok agama tertentu [10]. Integrasi faktor spiritual dan faktor religius tidak sepenuhnya dipahami. Sampai sekarang, kebanyakan studi empirik pada psikoterapi spiritual dan religius yang terintegrasi telah mengevaluasi efektivitas intervensi yang komplit, namun klarifikasi faktor-faktor spiritual dan religius, memisahkan psikoterapi spiritual dan religius terintegrasi dari tipe grup psikoterapi yang lain, masih belum terjawab. Integrasi spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi grup merupakan area yang masih kurang diteliti dibandingkan psikoterapi dengan individu [6, 7, 11]. Beberapa studi empiris tentang psikoterapi grup yang mengintegrasi

Transcript of Translate Jurnal Jiwa Part 1

1. PENDAHULUANMasalah spiritual dan agama mendapat perhatian dalam penelitian kesehatan, dan sepertinya kedua hal tersebut sangat berhubungan dengan kualitas hidup dan peningkatan kesehatan [1, 2]. Peran spiritualitas dan agama dalam kesehatan jiwa dan raga telah disebutkan dalam jurnal medis, psikiatri, psikologi, dan kedokteran behavior, dan bukti menunjukkan hubungan antara peningkatan kesehatan, spiritualitas dan keagamaan [3]. Contohnya, studi cohort dari Danish dengan 10800 pembaptis dan adven menunjukkan penurunan resiko kanker, COLD, penyakit jantung koroner, dan beberapa gangguan psikiatri [4]. Terlebih, spiritualitas dan agama telah dianggap sebagai komponen yang penting dalam hidup manusia yang menyertai terapi kesehatan mental [5]. Beberapa studi menyatakan bahwa orang spiritual dan religius mendapat keuntungan dari intervensi spiritual dan keagamaan yang terintegrasi [5], dan ada substansi dalam literatur mengenai bagaimana mengintegrasikan spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi [6, 7]. Contohnya, Rye dkk [8] meneliti efektivitas intervensi pengampunan yang sekuler dan religius. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan saat secara langsung membandingkan partisipan sekuler dan religius pada outcome primer dan sekunder. Telah dikemukakan pendekatan terapi yang berbeda dengan integrasi spiritualitas dan keagamaan [3, 9] dan psikoterapi dengan kelompok agama tertentu [10]. Integrasi faktor spiritual dan faktor religius tidak sepenuhnya dipahami. Sampai sekarang, kebanyakan studi empirik pada psikoterapi spiritual dan religius yang terintegrasi telah mengevaluasi efektivitas intervensi yang komplit, namun klarifikasi faktor-faktor spiritual dan religius, memisahkan psikoterapi spiritual dan religius terintegrasi dari tipe grup psikoterapi yang lain, masih belum terjawab.Integrasi spiritualitas dan agama ke dalam psikoterapi grup merupakan area yang masih kurang diteliti dibandingkan psikoterapi dengan individu [6, 7, 11]. Beberapa studi empiris tentang psikoterapi grup yang mengintegrasi spiritual dan keagamaan berfokus pada efektivitas dari keseluruhan intervensi [5]. Namun, cara studi-studi ini mengintegrasi faktor spiritual dan religius ke dalam psikoterapi grup dan yang mendasari hasilnya masih belum jelas.Kurangnya studi pada grup intervensi dengan integrasi spiritual dan agama cukup mengejutkan karena spiritualitas dan agama sering dikembangkan dan dipraktekkan dalam komunitas-komunitas orang yang memiliki keyakinan dan pemahaman yang sama dan karena agama adalah fenomena kelompok, salah satu bentuk paling awal dari sebuah kelompok yang besar [12]. Intervensi grup secara psikologis, yang menyatukan spiritualitas dan agama, mungkin lebih bermanfaat dari segi dinamika psikologi spiritualitas dan agama daripada intervensi individu. Studi mengindikasikan bahwa intervensi psikoterapi dalam bentuk grup lebih efisien dalam waktu, ekonomi, dan efektif meningkatankan coping skill dan kualitas hidup dan menurunkan distres psikologis dan fisik [13, 14].Pengetahuan berdasarkan penelitian mengenai faktor spiritual dan religius dan efeknya pada psikoterapi grup yang mengintegrasikan spiritualitas dan keagamaan dapat bermanfaat untuk kesehatan. Untuk itu kami melakukan penelitian sistematik dari literatur untuk menyelidiki studi psikoterapi grup berintegrasi spiritual dan keagamaan. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi secara kritis dan merangkum pengetahuan mengenai kompleksitas faktor spiritual dan faktor religius diintegrasikan ke dalam psikoterapi grup dan kemudian menyoroti isu-isu penting mengenai faktor spiritual dan religius yang masih belum dipecahkan dalam penelitian.2. Perspektif TeoriBeberapa studi menunjukkan bahwa spiritualitas seseorang dan/atau keyakinan dan praktek agama akan meningkat saat mengalami krisis personal seperti sakit atau masalah yang lain [15-17]. Studi juga telah mengungkapkan bagaimana spiritual dan agama sebagai suatu meaning-system, dibedakan dari meaning-system yang lain, mempunyai peran penting bagi orang yang mempunyai masalah [18-21]. Arti-fungsi spiritual dan agama bagi orang dalam krisis mungkin lebih penting dibandingkan sumber yang lain karena spritual dan agama membawa kepercayaan ke prinsip atau kekuatan yang lebih tinggi yang melampaui kehidupan manusia dan dapat memberikan pertolongan dan kenyamanan selama krisis. Arti-fungsi spiritual dan agama menawarkan arti dalam semua aspek kehidupan manusia dari lahir sampai mati dan terutama kehidupan setelah mati [18, 19]. Namun, bahkan di antara orang-orang spiritual dan religius, terdapat variasi antara pentingnya spiritual dan agama sebagai meaning-system. Bagi beberapa orang, spritualitas dan agama adalah pusat kehidupan mereka, dan bagi sebagian yang lain, spiritual dan agama memiliki peran kecil dalam kesejahteraan psikologisnya [3]. Untuk itu, pentingnya spiritual dan agama pada individu dapat mempengaruhi psikoterapi spiritual dan religius terintegrasi sebagai motivasi klien untuk terapi dan kepercayaan dalam terapi merupakan faktor penting untuk menentukan outcome terapi [22]. Kami akan menguraikan hal ini dengan mempresentasikan model faktor-faktor yang umum setelah mendefinisikan spiritualitas dan agama seperti yang diaplikasikan dalam jurnal.Merupakan hal yang menantang untuk menjelaskan spiritualitas dan agama dan untuk membedakan kedua konsep tersebut [23]. Definisi dan operasionalisasi konsep ini dalam studi empirik akan mempengaruhi fokus dan outcome studi, dan konsep yang kurang jelas akan menjadi sumber error.Terdapat perbedaan pendekatan untuk mempelajari spiritualitas dan agama, dan Zinnbauer dkk [24] membaginya dalam pendekatan tradisional dan modern. Pendekatan tradisional melihat agama sebagai konstruksi yang luas, dimana spiritualitas tidak terlepas dari agama namun lebih terintegrasi padanya dan dikarakteristikkan sebagai agama yang hidup atau ketakwaan [25]. Dalam pendekatan tradisional, keimanan personal dipertegas, dan agama dapat bersifat positif dan negatif. Sedangkan pendekatan modern melihat agama sebagai konstruksi yang sempit, bertentangan dengan spiritualitas. Pendekatan modern menganggap agama sebagai eksternal, instrumental, dan buruk, dimana spiritualitas dianggap personal, relasional dan baik [26]. Zinnbauer dkk [24] dan Pargament [26] mengkritik pendekatan tradisional yang tidak membedakan antara spiritualitas dan agama, dan mengkritik pendekatan modern karena mempertentangkan kedua konsep tersebut. Pargament [26] membahas problem pertentangan spiritualitas dan agama ini.Pargament mengkritik tiga hal. Pertama, mengenai tekanan antara kedua konsep tersebut, dimana banyak teori mempertegasnya namun kebanyakan penganut tidak mengalaminya. Survey di Amerika yang dilakukan oleh Zinnbauer dkk [27] menunjukkan bahwa saat dipaksa untuk memilih, 74% menganggap diri mereka sendiri sebagai orang religius dan spiritual, 19% merasa spiritual namun tidak religius, 4% merasa religius namun bukan spiritual, dan 3% tidak keduanya. Studi lintas budaya yang dilakukan Keller dkk [28] menunjukkan bahwa pola yang sama juga terlihat di Eropa. Oleh karena itu, perbedaan ini sebagai tanda bahwa penurunan agama lebih lazim terjadi pada akademisi daripada penganut [29].Kritik kedua Pargament mengenai dekontekstualisasi dari spiritualitas. Menurut definisi spiritualitas, kebanyakan pembuat teori menganggap bahwa dimensi spiritual dalam hidup masih hampa. Pargament berpendapat bahwa spiritualitas individu meningkat, berkembang, dan terbuka dalam konteks religius yang lebih besar, bahkan bila konteksnya telah ditolak. Banyak peneliti yang menyetujuinya. Sehingga, Moberg [30] mengkritisi kemungkinan evaluasi spiritualitas di dalam diri dan meminta peneliti untuk sadar-konteks dan menerapkan instrumen pengukuran yang bertarget pada kekhususan grup religius orang yang dibawah pengawasan.Kritik ketiga Pargament berhubungan dengan spiritualitas romantisasi sebagai hal positif, personal, dan berhubungan dengan perangai manusia. Menentang gagasan tersebut, Pargament menekankan bahwa dimensi spiritual dalam kehidupan dapat bersifat konstruktif dan destruktif [9]. Sependapat dengan hal itu, Koenig [31] berpendapat bahwa pemahaman positif dari spiritualitas ini mempengaruhi instrumen yang digunakan untuk mengukur spiritualitas; ukuran spiritualitas mengandung sifat psikologis positif atau pengalaman manusia. Spiritualitas akan selalu berkorelasi dengan kesehatan mental jika kesehatan mental positif dan nilai manusia menjadi definisi dari spiritualitas. Spiritualitas, diukur dengan pengukuran kesehatan mental yang baik, akan selalu berhubungan secara tautologi dengan kesehatan mental yang baik [31].Pentingnya definisi yang jelas dan konsep tersebut juga terlihat dalam studi empirik dan praktek klinik. Definisi yang kabur membuat ketidakjelasan tentang apa yang sebenarnya dipelajari dan diintegrasi dalam psikoterapi. Masalah tautologi akan mempengaruhi outcome dan dapat menjadi sumber error dalam studi. Selanjutnya, tanpa definisi yang jelas, psikologis dan terapis dalam praktek klinik bekerja tanpa guideline saat mereka berusaha menggabungkan spiritualitas dan religiusitas.Untuk studi ini, kami menerapkan definisi agama dan spiritual yang dikemukakan Pargament. Dia mendefinisikan agama sebagai pencarian signifikansi melalui cara yang berhubungan dengan hal-hal suci, dan spiritualitas sebagai pencarian hal suci. Definisi ini bersifat dinamis karena mereka menyatukan kekuatan motivasi dalam diri semua orang terhadap spiritualitas dan mereka memperhitungkan aspek positif dan negatifnya. Pargament percaya bahwa fungsi yang paling penting dari agama adalah spiritual di dalam alam. Terlepas dari banyaknya tujuan suatu agama, fungsinya yang paling penting adalah keinginan untuk membentuk hubungan dengan sesuatu atau seseorang yang dianggap suci.Pada artikel ini, perbedaan antara pendekatan tradisional dan modern, tiga poin kritik Pargament terhadap pendekatan modern dan kritik Koenig terhadap pengukuran tautologi akan digunakan untuk mengevaluasi definisi yang digunakan dalam studi dan outcome spiritual atau religius yang tersaji dalam studi.Untuk mengevaluasi secara kritis efek dari integrasi spiritualitas dan/atau religiusitas dalam grup psikoterapi, kami merasa adanya kebutuhan untuk memasukkan faktor psikologi yang lain, seperti faktor umum [22] psikoterapi, yang dapat berefek kepada outcome dari intervensi.Model medis telah mendominasi penelitian tentang psikoterapi. Model medis menekankan bahwa tujuan utama penelitian psikoterapi adalah untuk memeriksa efek terapi spesifik pada gangguan jiwa spesifik [32]. Model medis berasumsi bahwa ada penjelasan psikologis untuk gangguan mental pasien, dan ada mekanisme perubahan konsisten dengan penjelasan teori ini. Mekanisme perubahan ini kemudian memicu aksi terapi tertentu, dan aksi ini bertanggung jawab terhadap keuntungan psikoterapi. [33]Sebagai respon terhadap model medis, Duncan dkk [22] memperkenalkan the common factors models. Model ini menekankan adanya kerja kolaboratif dari terapis. Mereka berfokus pada terapis, klien, dan transaksi di antara mereka, dan struktur dari pengobatan yang ditawarkan [33]. Hubble dkk [34] membagi faktor umum ke dalam empat elemen. (1) Faktor klien dan ekstra terapetik, meliputi semua yang mempengaruhi peningkatan pengobatan, contohnya, kesiapan klien terhadap perubahan, kekuatan, sumber daya, level fungsi sebelum pengobatan, dukungan sosial network, status sosio-ekonomi, motivasi personal, dan peristiwa hidup. (2) Model dan teknik, meliputi keyakinan klien dan terapis dalam kekuatan restorasi dan kredibilitas terapi. (3) Faktor terapis, berhubungan dengan efektifitas orang yang menjadi terapis. Bukti menunjukkan bahwa terapis yang efektif menggunakan faktor-faktor umum untuk meraih outcome yang lebih baik. (4) Hubungan atau aliansi terapetik, berhubungan dengan kerjasama antara klien dan terapis untuk mencapai tujuan klien. Aliansi yang positif adalah salah satu prediktor outcome terbaik [34]. Berkebalikan dengan model medik, model faktor umum menganggap mekanisme perubahan adalah kompleks, sehingga suatu aksi terapetik sendiri tidak dapat menghasilkan outcome dari psikoterapi.Pada review ini, model medik dan model faktor umum dengan empat elemen yang disajikan Hubble dkk [34] akan digunakan untuk mengevaluasi dan membahas outcome, definisi, dan faktor spiritual atau religius pada psikoterapi grup.

3. TujuanUntuk secara sistematis meninjau literatur penelitian untuk menjawab pertanyan-pertanyaan berikut:(1) Bagaimana spiritualitas dan religiusitas didefinisikan?(2) Bagaimana faktor spiritual dan religius membentuk karakter dan berintegrasi dalam psikoterapi grup?(3) Bagaimana mengukur outcome dari psikoterapi grup dan apa hasilnya?