Translate (1)

24

Click here to load reader

Transcript of Translate (1)

Page 1: Translate (1)

FISIOLOGI NERVUS FASIAL

PERTIMBANGAN ANATOMI

Trunkus nervus fasial terdiri dari kira-kira 10,000 serat saraf, sekitar 7000 di antaranya

merupakan serat saraf motorik yang bermyelin. Pembungkus nervus fasial terdiri dari beberapa

lapisan. Endoneurium, terletak amat dekat dengan lapisan sel-sel Schwan pada akson,

mengelilingi tiap serat saraf. Perineurium, merupakan lapisan antara yang mengelilingi grup

fasikulus, memberikan daya rentang pada saraf dan diyakini dapat berfungsi sebagai barir awal

terhadap penyebaran infeksi. Lapisan terluar dari saraf adalah epineurium. Lapisan terluar ini

meliputi vasa vasorum, yang memberikan suplai darah ke saraf.

Klasifikasi degenerasi nervus fasial

Jika nervus fasial mengalami kerusakan, berbagai variasi kerusakan bisa terjadi. Model

yang paling banyak dipakai untuk klasifikasi patologik kerusakan saraf adalah klasifikasi yang

dikenalkan mula-mula oleh Sunderland (gambar 67-11).

(1). Kerusakan derajat pertama, juga dikenal sebagai Neuropraxia, ditandai oleh blokade

aliran aksoplasma (axoplasm) dalam akson. Meskipun, suatu aksi potensial tidak

bisa diperkuat sepanjang tempat lesi terjadi, jika stimulus diaplikasikan di daerah

distal lesi bisa dikonduksikan dengan normal untuk menghasilkan respon bangkitan .

(2). Kerusakan derajat dua. Kerusakan tipe ini meliputi disrupsi aksonal dan myelin distal

dari lokasi lesi sebagai akibat dari progresi kerusakan derajat pertama. Kerusakan

tipe ini menghilangkan fungsi propagasi stimulus eksternal yang juga dikenal

sebagai degenerasi Wallerian pada akson.

Page 2: Translate (1)

(3). Kerusakan derajat tiga. Tipe ini mencakup disrupsi total pada akson, termasuk

myelin yang menyelubungi dan endoneurium pula.

(4). Kerusakan derajat empat. Kerusakan tipe ini meliputi disrupsi total dari perineurium.

(5). Kerusakan derajat lima. Kerusakan tipe ini mencakup disrupsi total epineurium.

(6).Kerusakan derajat enam. Kerusakan ini merupakan tambahan pada klasifikasi

Sunderland oleh penerbit-penerbit terakhir, mencakup pola observasi kerusakan

tumpul dan penetrasi pada saraf. Kerusakan tipe ini ditandai oleh fungsi normal

melalui beberapa fasikulus dan derajat kerusakan yang bervariasi (kerusakan derajat

pertama hingga derajat lima), dengan diferensialnya meliputi fasikulus di sepanjang

trunkus saraf.

Letak perhatian utama pada klasifikasi Sunderland adalah bahwa pemulihan aksonal

bergantung pada integritas dari elemen jaringan pengikat/penghubung pada trunkus saraf. Model

ini memprediksikan kemungkinan besar dari pemulihan menyeluruh pada inervasi periferal jika

tabung-tabung endoneurium tetap intak/utuh untuk menyokong inervasi ulang, seperti pada kasus

kerusakan derajat pertama dan kedua. Kebalikannya, kerusakan derajat ketiga atau lebih pada

model ini, menunjukkan meningkatnya kemungkinan kerusakan aksonal yang ireversibel dan

pola aberansi dari regenerasi saraf.

Suatu contoh untuk pertumbuhan ulang saraf yang abnormal ialah “airmata buaya”, atau

meningkatnya lakrimasi pada saat makan. Hal ini terjadi jika serat-serat eferen yang pada

normalnya diinervasi oleh nervus korda timpani menuju ke kelenjar submandibular dan

sublingual , mengalami misdireksi (arah yang salah) melalui saraf petrosus superfisial mayor ke

kelenjar lakrimasi. Hal ini menyebabkan inervasi parasimpatik pada kelenjar lakrimasi begitu

pula pada target normalnya, di kelenjar ludah.

Page 3: Translate (1)

Gambar 67-11. Model dari derajat kerusakan saraf dengan klasifikasi klinikopatologik.

Perubahan mikroanatomis pada kerusakan saraf kranial didemonstrasikan pada potongan

melintang. Potensi kemungkinan regenerasi aksonal di sepanjang lesi terutama dipengaruhi oleh

status elemen-elemen jaringan penghubungnya.

Page 4: Translate (1)

Lokasi kerusakan :

A-fasikulus normal

B- kerusakan derajat pertama-Neuropraksia

C-kerusakan derajat kedua

D-kerusakan derajat ketiga

Distal dari lokasi lesi

E-normal

F-kerusakan derajat pertama-normal fasikulus didistal

G-kerusakan derajat kedua-degenerasi Wallerian, menghasilkan kerusakan akson di distal

H-kerusakan derajat ketiga

Pengetesan kerusakan saraf

Transmisi abnormal dari impuls saraf dapat disebabkan oleh blokade fisiologis (tidak ada

degenerasi saraf) dan diskontinuitas aksonal dengan degenerasi Wallerian. Oleh karena

gambaran klinis paralisis fasial tidak dapat dibedakan antara blokade konduksi sederhana dengan

disrupsi aksonal, maka pemeriksa harus melakukan sejumlah prosedur tes yang didesain untuk

mendefinisikan tingkat/ derajat kerusakan saraf. (tabel 67-3).

Pada evaluasi awal pasien dengan paralisis wajah akut, klinisi hendaknya melakukan

upaya untuk mendeterminasi prognosis dari pemulihan begitu pula dengan penyebab paralisis.

Determinasi awal untuk prognosis pemulihan saraf bisa memungkinkan intervensi baik untuk

kerusakan saraf maupun untuk mengoptimalkan regenerasi.

Page 5: Translate (1)

Tes Topognostic

Baterai untuk tes Topognostik ditujukan untuk mendeterminasi tingkat kerusakan nervus

fasial dengan mengetes fungsi perifer nervus fasial. Hipotesis yang mendasari ialah bahwa

kerusakan nervus fasial pada lokasi tertentu akan mempengaruhi semua percabangan proksimal

dari lesi, dan menyisakan cabang distal dengan fungsi yang normal. Sebagai contoh, jika fungsi

pengeluaraan airmata hilang (tes Schirmer),maka lesi diasumsikan berada proksimal dari titik

dimana cabang nervus petrosus superfisial mayor keluar dari ganglion genikulatum. Tes

tambahan meliputi tes impedansi (atau immitance) [fungsi abnormal pada otot stapedius yang

mencerminkan kerusakan saraf di atas cabang motorik stapedius] dan sekresi ludah/ saliva dan

tes perasa (fungsi nervus korda timpani). Walaupun menarik pada teorinya, modalitas

topognostik seringkali memberikan informasi yang tidak konsisten untuk level kerusakan saraf,

sejak lesi pada saraf dapat mempengaruhi bagian motorik, sensorik dan otonomik saraf tersebut.

Sebagai contoh, tes lakrimasi Schirmer memperlihatkan tingkat akurasi hanya sebesar

60% dengan menggunakan stimulasi elektrik intraoperatif pada lokasi yang ditentukan pada

blokade konduksi saraf pada Bell’s Palsy. Akan tetapi, tes Schirmer tetap memberikan nilai

praktis untuk evaluasi produksi airmata dan kebutuhan untuk perawatan tambahan pada mata.

Tes Elektrofisiologi

Interpretasi dan validitas tes elektrofisiologi bergantung pada dua poin yang berhubungan

dengan fungsi serat saraf:

(1) Segmen serat-serat saraf demyelinisasi, mempertahankan kapasitas propagasi stimulus,

sekalipun dengan ambang batas yang lebih tinggi dibanding dengan serat saraf normal.

Serat yang utuh secara anatomis akan melanjutkan propagasi stimulus yang diterima,

dimana bagian yang mengalami disrupsi dan nantinya terdegenerasi tidak akan

melakukan fungsi tersebut.

Page 6: Translate (1)

(2) Dengan mengestimasi proporsi serat-serat motorik yang terdegenerasi, klinisi bisa

membedakan apakah sutau kelumpuhan bisa gagal untuk pulih dengan spontan dan bisa

menghasilkan sekuelae/ gejala sisa jangka panjang.

Idealnya, tes elektrofisiologi akan memberikan indeks keparahan kerusakan pada trunkus

saraf dengan merefleksikan proporsi dari serat-serat motorik yang mengalami kerusakan

melebihi kerusakan derajat pertama. Hubungan antara level pemulihan dengan temuan

elektrofisiologis awal menentukan nilai prognostik untuk identifikasi kelumpuhan wajah

pada pasien yang tidak bisa memperoleh pemulihan spontan yang memuaskan.

Tes ini hanya bisa mengakses derajat kerusakan secara tidak langsung pada saraf-saraf

fasial intratemporal oleh karena bagian dari saraf tersebut terletak seluruhnya dalam

tulang temporal, stimulasi elektrik proksimal dari lokasi blokade konduksi hanya

dimungkinkan bila saraf diaktivasi secara intrakranial. Untuk alasan ini, tes klinis untuk

fungsi nervus fasial bergantung pada ukuran stimulasi saraf distal dari foramen

stilomastoid. Bahkan dengan adanya kerusakan saraf yang parah, konduksi distal dari lesi

akan berlanjut hingga aksoplasma habis dan terjadi degenerasi Wallerian. Proses ini

memerlukan waktu 48-72 jam untuk meluas dari intratemporal ke segmen

ekstratemporal, sehingga tes stimulasi elektrik akan memberi hasil normal palsu selama

periode tersebut. Tes elektrofisiologi rutin gagal untuk mendeteksi konduksi saraf pada

saat hal ini terjadi , sehingga menunda diferensiasi neuropraksia dari degenerasi.

Tes Eksitabilitas Saraf

Tes Minimal Eksitabilitas saraf dengan stimulator saraf Hilger memberikan

metode yang cepat dalam pemeriksaan nervus kranial. Tes ini dindeks berdasarkan

ambang batas untuk aktivitas visual yang terdeteksi, yang dihasilkan oleh stimulasi

permukaan pada cabang nervus fasial. Tes ini merefleksikan meningkatnya ambang batas

untuk stimulasi neuromuskular yang dihasilkan oleh disrupsi akson dan degenerasi.

Intensitas stimulus terendah yang konsisten mengeksitasi semua percabangan pada sisi

yang tidak terlibat akan menunjukkan ambang batas normal. Perbedaan sekitar 2-3,5 mA

Page 7: Translate (1)

antara sisi terlibat dan yang tidak terlibat dianggap abnormal dan menandakan impending

denervasi (denervasi yang akan terjadi). Manfaat lainnya dari tes ini ialah kemudahan

dalam pemindahan alat dan minimnya ketidaknyamanan pasien bila dibanding tes lain

(misalnya tes stimulasi maksimal).

Kerugian tes ini adalah penilaian subyektif dari respon yang diukur, bergantung

pada deteksi visual pada sejumlah otot wajah yang terbatas. Sebagai tambahan, level

ambang batas untuk cabang perifer dewasa ini lebih rentan untuk aktivasi serat saraf yang

lebih besar dengan ambang batas rendah dan serat-serat tersebut lebih dekat pada

elektrode yang distimulus, sehingga mengekslusi proporsi serat-serat motor yang tidak

diketahui pada saat pemeriksaan.

Tes Stimulasi Maksimal

Tes stimulasi maksimal dapat digunakan untuk menentukan apakah degenerasi

saraf telah berlangsung pada kasus paralisis fasial akut. Tes ini mencakup impuls elektrik

transkutaneus yang didesain untuk mensaturasi saraf dengan aliran-aliran, mengaktivasi

semua serat-serat yang masih berfungsi. Respon pada sisi yang terlibat ditandai oleh (1)

sama dengan sisi kontrlateral, (2) berkurang sedikit/minimal (50% dari normal), (3)

banyak berkurang (<25% dari normal) atau (4) absen.

Bila respon banyak berkurang atau malah absen dalam 2 minggu pertama paralisis

klinik, maka ditemukan bahwa telah ada sekitar 75% kemungkinan pemulihan saraf fasial

yang tidak menyeluruh. Bila respon hilang seluruhnya dalam waktu 10 hari pertama,

maka pemulihan biasanya tidak menyeluruh dan bisa terjadi gejala sisa. Sebaliknya, bila

respon simetris dalam 10 hari pertama dari paralisis klinik ( paralisis yang tampak),

keadaan pemulihan menyeluruh ditemukan pada lebih dari 90% pasien yang dites.

Penggunaan tes stimulasi supramaksimal menyediakan sensitivitas dan konsistensi pada

tes bila digunakan pada awal terjadinya paralisis fasial akut. Akan tetapi, interpretasi dari

tes stimulasi maksimal tergantung pada evaluasi subjektif dari respon bangkitan yang

diamati secara visual.

Page 8: Translate (1)

Bangkitan Elektromyografi dan Elektroneuronografi

Sama dengan tes stimulasi maksimal, bangkitan Elektromyografi (EEMG) atau

elektroneuronografi (EnoG) memeriksa respon motorik wajah terhadap stimulus

supramaksimal. Berbeda dengan tes stimulasi maksimal, teknik EEMG merekam

kombinasi aksi potensial otot (CMAP) dengan meletakkan elektroda superfisial di

lipatan nasolabial. CMAP ditampilkan dengan grafik untuk analisis kuantitatif dan

dicetak untuk rekam medis (gambar 67-12). Respon berbentuk gelombang dianalisis

untuk perbandingan amplitudo puncak-ke-puncak di antara sisi normal dan sisi yang

terlibat.

Pasien dengan paralisis tidak utuh yang disebabkan oleh Bell’s palsy bervariasi

dalam pemulihan fungsi ke tingkat normal atau hampir normal dan tidak memerlukan

evaluasi EEMG. Kembalinya fungsi pergerakan wajah dalam waktu 3-4 minggu setelah

onset juga memprediksikan prognosis yang amat baik untuk pemulihan fungsional.

Dianjurkan pengambilan contoh EMG untuk aktivitas motorik dalam mendeteksi

imperseptif fungsi wajah secara visual.

Jika diperiksa semasa periode kritis, reduksi pada amplitudo respon EEMG pada sisi

yang terlibat bisa dipakai untuk merefleksikan persentasi serat-serat motorik nervus fasial

yang mengalami degenerasi. Hasil EEMG wajah yang paling dapat dipercaya adalah hasil

yang diperoleh pada fase awal dari akselerasi degenerasi terjadi (contoh pada 2-3 minggu

pertrama setelah onset paralisis oleh karena Bell’s palsy yang disebabkan oleh herpes

zoster otikus). Bila serat-serat neuropraksia menjadi “de-blokcked/ diblok-ulang” apakah

pada saat pemulihan atau nanti pada saat regenerasi akson perifer terjadi, stimulasi serat-

serat saraf tidak akan berjalan dengan sinkron/sama. Oleh karena serat-serat yang

berregenerasi tidak bisa bermuatan secara sinkron, maka respon menjadi tidak beraturan

dan nantinya akan hilang. Fenomena ini memperlihatkan jangka waktu terbatas dari

reliabilitas hasil EEMG yang mesti diperhitungkan dalam menginterpretasikan hasilnya.

Page 9: Translate (1)

EnoG amat bermanfaat pada awal perjalanan paralisis wajah. Lebih dari 50% pasien

dengan paralisis total menunjukkan ≥ 90% reduksi pada amplitudo CMAP daripada

respon yang memuaskan, pengembalian sempurna dari fungsi wajah. Bila hasil

memperlihatkan < 90 % denervasi (>10% amplitudo CMAP relatif terhadap sisi normal),

hal ini menunjukkan ketidak seragaman pemulihan fungsi .

Dianjurkan bahwa tes EEMG harus diulangi dengan basis tiap-selang-sehari untuk

mendeteksi degenerasi yang masih berlangsung di atas 90 % level kritis. Jangka waktu

untuk eksitabilitas elektrik yang tereduksi (contohnya kecepatan denervasi seperti yang

diperlihatkan pada tes yang berulang-ulang) dan derajat degradasi dari respon CMAP

(misalnya respon nadir) amat bermanfaat untuk memprediksi level tertinggi dari

pemulihan spontan. Jika Respon EEMG awal berkurang hingga ≤ 10% dari normal,

maka prognosisnya semakin memburuk. Beberapa ahli bedah telah mengadvokasi

dekompresi nervus kranial proksimal dari ganglion genikulatum jika level 90 % telah

terjadi, walaupun dekompresi ini perlu dilakukan dalam waktu 2 minggu dari onset

kelumpuhan wajah.

Page 10: Translate (1)

Elektromiografi

Respon Elektromiografi (EMG) merefleksikan potensial membran postsinapsis yang

terjadi baik yang diinisiasi pada hubungan neuromuskular dengan aktivasi yang volunter

(disadari) atau yang terjadi secara spontan di sepanjang membran otot. Potensial ini

mudah direkam oleh ujung jarum elektroda terbuka/telanjang (monopolar) atau yang

konsentris (coaxial) .

Respon motorik wajah yang terjadi secara sadar atau pun spontan bisa menolong dalam

mengenali kondisi unit motorik dengan teliti. Akan tetapi, hasil yang diperoleh dengan

tes pada setiap lapangan tunggal hendaknya disokong oleh tes di lapangan lain yang

berdekatan. Terdeteksinya Potensial dari tiap unit motorik pada 4 atau 5 grup otot dalam

3 hari pertama setelah onset paralisis akut dihubungkan dengan hasil yang memuaskan

pad lebih dari 90% pasien. Adanya potensial unit motorik dari 2 atau 3 grup otot

memprediksikan hasil yang memuaskan pada 87% pasien. Bila ada unit motorik apakah

yang dibatasi pada satu grup otot atau yang hilang/tidak terdeteksi,maka pemulihan yang

memuaskan hanya ditemukan pada 11% kasus.

Walaupun hasil diatas menyarankan peran awal EMG dalam menentukan prognosis

pemulihan fungsional, hasil lainnya malah menunjukkan bahwa penurunan potensial pada

EMG awal justru menuntun pemeriksa menuju ke arah yang salah. Minimnya unit

motorik yang tersisa mungkin menyatakan hasil yang memuaskan meskipun ada

kerusakan parah pada sebagian besar serat-serat saraf yang beresiko untuk degenerasi.

Bukti klinis dari hal ini dilaporkan sebagai hasil yang tidak memuaskan meskipun

potensial motorik volunter sebesar 38% pada pasien Bell’s palsy. Observasi

menunjukkan bahwa pemeriksaan EMG hendaknya dilakukan pada sedikitnya dua grup

otot untuk memeriksa dengan lebih teliti terhadap derajat denervasi yang terjadi.

Pada awal perjalanan paralisis wajah akut, aktivitas motorik wajah yang bertahan

mungkin bisa lolos dari inspeksi klinis dan bisa memberikan informasi tentang prognosis

bila dikombinasikan dengan tes-tes lainnya. Contohnya, aktivitas motorik subklinis yang

masih bisa dideteksi oleh EMG bisa menambah/menyokong hasil bangkitan

elektromyografi fase pada fase awal kelumpuhan wajah. Manfaat Pengamatan EMG

Page 11: Translate (1)

berkala terbatas pada deteksi degenerasi awal, sejak bukti elektrik degenerasi saraf

biasanya absen pada 10 hari pertama dari onset paralisis. Sepuluh hingga empatbelas hari

setelah onset paralisis klinis, rekaman EMG mencerminkan dinamisme potensial

istirahat dari elemen postsinapsis. Pada fase ini, membran otot, yang mengalami

pengurangan substansi “tropik”yang normalnya ditransportasi lewat akson, mengalami

perubahan sehingga potensial istirahat menjadi tidak stabil. Perubahan tersebut memicu

depolarisasi spontan yang direkam oleh EMG sebagai potensial fibrilasi. Perubahan

semacam ini dinterpretasikan sebagai indikator untuk denervasi yang persisten.

Hilangnya substansi aksonal dan terganggunya inervasi ulang menghasilkan potensial

fibrilasi selama elektrik membran postsinapsis tetap aktif . Dengan denervasi yang

persisten/menetap, rekaman EMG menunjukkan tidak ada aktivitas/diam dan ledakan

pendek dari muatan yang normalnya ditemukan pada insersi jarum menghilang pula.

Kebalikannya, inervasi ulang yang sukses menimbulkan potensial polifasik frekuensi

tinggi yang meningkat baik pada amplitudo maupun durasi dan menggantikan potensial

fibrilasi. Pada kasus langka/jarang, dari paralisis Bell’s palsy yang lama, evaluasi EMG

longitudinal mendeteksi degenerasi saraf yang persisten ataupun inervasi ulang.

Pemeriksaan nervus fasial dengan aktivasi sentral

Sebelumnya telah dipaparkan tentang tes elektrodiagnostik secara tidak langsung untuk

memeriksa derajat keparahan dari kerusakan saraf pada segmen nervus fasial

intratemporal. Banyak investigator telah menemukan prosedur tes alternatif yang mana

nervus fasial diaktivasi secara sentral terhadap lokasi lesi yang terlibat dalam tulang

temporal.

Page 12: Translate (1)

A. Konduksi antidromik

Tes via konduksi antidromik (retrograde) menyediakan alternatif terhadap tes

elektrodiagnostik pada serat-serat periferal yang mana secara teoritis, bisa

menghasilkan pemeriksaan langsung dan cepat dari fungsi nervus fasial. Aktivitas

elektrik dari tes ini diukur dengan menggunakan teknik lapangan-dekat dan lapangan-

jauh pada binatang (gambar 67-13) dan secara klinis dengan elektroda perekam yang

diletakkan pada telinga tengah. Teknik pengukuran dengan lapangan jauh

menunjukkan bahwa stimulasi antidromik mewakili suatu kumpulan aktivitas di

sepanjang facial pathway dan tidak tampak sebagai stimulasi nervus fasial di titik

spesifik pada segmen tulang temporal.

Gelombang F menunjukkan aktivitas pada otot-otot wajah yang diaktivasi secara

antidromik oleh neuron motorik dan tidak mengandung/terdiri dari komponen refleks.

Untuk tujuan elektrodiagnostik, gelombang F yang dibangkitkan oleh stimulasi

elektrik bisa direkam dengan jarum-jarum elektroda intramuskular. Respon ini

memiliki latensi panjang dan normalnya, memiliki amplitudo kecil, sehingga terbatas

dalam rentang dinamis dan nilai prognosisnya. Pada pasien Bell’s palsy, stimulasi

elektrik pada saraf biasanya menghasilkan respon gelombang F hanya setelah

dimulainya fase pemulihan.

B. Stimulasi Magnetik

Stimulasi magnetik transkranial menggunakan koil elektromagnetik untuk

menghasilkan aktivasi neuron. Metoda ini unik dalam dal intensitas stimulus yang

sedikit/minim diperkuat oleh jaringan yang terlibat. Fitur ini memungkinkan aktivasi

sentral via aplikasi aliran induksi transkranial. Penelitian pada binatang menunjukkan

bahwa stimulasi magnetik transkranial bisa digunakan untuk mengaktivasi nervus

fasial secara sentral, meskipun lokasi spesifik dari stimulasi ini sulit ditentukan.

Observasi menyarankan bahwa respon bangkitan agaknya dihasilkan dari eksitasi

pada nervus fasial intratemporal atau intrakranial dibanding via eksitasi korteks atau

pada batang otak.

Page 13: Translate (1)

Pengalaman klinis dengan stimulasi elektromagnetik pada keadaan patologik

termasuk Bell’s palsy, berhubungan dengan observasi pada lesi di intratemporal. Pada

11 pasien dengan onset Bells Palsy yang belum lama, tidak satupun yang

memperlihatkan bangkitan CMAP pada stimulasi magnetik ini. Kurangnya respon

tersebut disebabkan oleh adanya elevasi pada ambang batas yang berhubungan

dengan demyelinisasi segmental dan ketidakmamouan dari aliran yang dihasilkan

oleh lapangan elektromagnetik untuk mencapai ambang batas itu.

Perbaikan pada aplikasi dan interpretasi tes ini dalam menentukan prognosis lesi

nervus fasial masih menunggu pemahaman dari tempat aktivasi yang sebenarnya

pengembangan koil yang memfasilitasi aliran yang lebih fokus akan menyajikan

kemungkinan dari stimulasi lokasi spesifik pada traktus motorik nervus fasial sentral

dan pada segmen intrakranial nervus ini- pada lokasi yang proksimal dari tempat khas

kerusakan saraf pada kasus kelumpuhan wajah umumnya.

C. Refleks Trigeminofacial

Refleks mengedipkan mata bisa diperiksa secara klinis untuk mengakses segmen

eferen yang dikontribusikan oleh saraf kranial VII. Rekaman elektromiografi pada

refeleks trigeminofasial memungkinkan pemeriksaan kuantitatif terhadap konduksi

nervus fasial via aktivasi sentral di nukleus fasial. Teknik ini merekam aksi potensial

yang direfleksikan pada otot orbikularis okuli sebagai respon terhadap stimulus

elektrik yang diberikan pada area supraorbital (cabang V1). Respon di antara sisi

yang normal dan sisi yang terlibat/sakit dibandingkan untuk memperoleh

pemeriksaan kuantitatif dari refleks tersebut, sehingga memberi ukuran terhadap

integritas fungsional nervus fasial. Tes refleks trigeminofasial pada kelumpuhan

wajah akut terbatas pada respon kecil amplitudonya.

Bila respon refleks ini absen, menunjukkan kemungkinan kecil pemulihan dalam 2

bulan pertama setelah onset paralisis. Jika bertahan, respon awal R1 diprediksikan

akan pulih ke level normal dalam waktu 1 bulan pertama. Performa dari tes ini dalam

Page 14: Translate (1)

menyeleksi pasien dengan absen respon R1, dengan prognosis buruk jangka panjang,

masih perlu dievaluasi lebih lanjut.

Gambar 67-13. Representasi topografi dari rerata amplitudo dan latensi dari

bangkitan potensial neuron dari (A) genu fasial, (B) area dorsal dari nukleus fasial,

dan (C) nukleus pada eksperimental roden. Intensitas stimulus = 0.4mA, durasi = 100

µs, N= 100 stimuli untuk tiap percobaan.

Page 15: Translate (1)

Tabel 67-3. Tes-tes fungsi nervus Fasial.

Tes Ukuran Keuntungan Kerugian

Tes eksitabiltas

minimal

Intensitas stimulus terendah

yang secara konsisten

mengeksitasi semua

percabangan pada sisi yang

tidak terlibat

Portabel

Kenyamanan pasien

Mudah dilakukan

Subjektif

Tergantung pada

deteksi visual

Tes eksitabilitas

maksimal

Perbandingan respon pada

sisi wajah yang terlibat dan

yang tidak terlibat

Portabel

Kenyamanan pasien

Mudah dilakukan

Subjektif

Tergantung pada

deteksi visual

Page 16: Translate (1)

Elektroneuronografi

dan bangkitan

elektromiografi

(EMG)

Mengakses respon motorik

wajah dengan stimulus

supramaksimal

Merekam kumpulan aksi

potensial otot

Merefleksikan persentasi

serat-serat motorik pada

nervus fasial yang

mengalami degenerasi

< 90% denervasi –

prognosis pemulihan yang

amat baik

Pengulangan tiap selang

sehari untuk mendeteksi

degenerasi yang masih

berlangsung diatas level

kritis 90%

Berguna pada awal

perjalanan

kelumpuhan wajah

Sejumlah ukuran

bermanfaat dalam

memprediksi level

tertinggi pemulihan

spontan

Ketidaknyamanan

pasien

Elektromiografi Mengukur potensial

membran postsinapsis

Potensial unit motorik pada

5 grup otot dalam 3 hari

pertama setelah onset

dihubungkan dengan hasil

yang bagus pada > 90%

pasien

Karakterisasi yang

akurati untuk tiap

unit motorik

Kemungkinan

penurunan pada tes

awal

Kurangnya residu unit

motorik mencerminkan

hasil yang baik

disamping kerusakan

parah pada sebagian

besar serat-serat saraf

yang beresiko pula

untuk degenerasi

Page 17: Translate (1)

Konduksi antidromik

Stimulasi magnetik

Refleks

trigeminofasial

Gelombang F mewakili

aktivitas pada otot-otot

wajah yang dihasilkan oleh

aktivasi antidromik neuron

motorik

Pada Bell’s palsy,

gelombang F terlihat hanya

setelah fase pemulihan

dimulai

Koil elektromagnetik untuk

menghasilkan aktivasi

neuron

EMG merekam refleks

mengedip

Membandingkan respon

antara sisi yang terlibat

dengan sisi normal

Hilangnya respon refleks

R1 diasosiasikan dengn

kemungkinan kecil dari

pemulihan dalam waktu 2

bulan pertama setelah onset

kelumpuhan

Bisa menyajikan

pemeriksaan

langsung dan tidak

langsung dari fungsi

nervus fasial

Intensitas untuk

stimulus hanya

diatenuasi/diperkuat

minimal oleh

jaringan yang

terlibat

Mudah dilakukan

Rentang dinamis dan

nilai prognostik yang

terbatas

Penelitian primer pada

binatang saja

Kegunaan klinis yang

terbatas

Sulit dalam

menginterpretasi hasil

Dibatasi oleh kecilnya

respon amplitudo