Translate Anest
-
Upload
kepompong-kupukupu -
Category
Documents
-
view
13 -
download
0
description
Transcript of Translate Anest
Hal ini cukup untuk pasien dengan pembedahan mayor atau pasien yang menginap di rumah
sakit semalam. Bagaimanapun, pasien rawat jalan tidak dapat mentolerir adanya diplopia
residual, ketidakmampuan untuk sit-up tanpa ditolong, kelemahan, atau malaise. Untuk pasien
ini, criteria ketat (rasio TOF >0,9, kemampuan untuk mengatup pada pernapasan oral dan
pencegahan gejala sisa) dapat lebih sesuai.
VI. Kelainan yang mempengaruhi respon pada obat NMBDs
Beberapa penyakit, baik yang membatasi NMJ ataupun yang mempengaruhi sistem umum
lainnya, secara dramatis mempengaruhi kegunaan dan keamanan dari NMBDs. Secara umum,
transmisi pada NMJ tidak normal pada kelainan ini dan dapat terjadi perubahan ultrastruktural
dan biokimia pada nervus motoris, otot, maupun keduanya.
A. Luka bakar dan imobilisasi
1. Cedera thermal mempengaruhi cairan dan regulasi elektrolit, fungsi kardiovaskular
dan paru, metabolisme obat, dan fungsi dan struktur musculoskeletal
2. Pasien luka bakar dan banyak pasien yang mengalami imobilisasi (seperti yang
didapatkan di ruang ICU) mempunyai respon yang sangat besar pada agen
terdepolarisasi dan respon yang menurun pada agen nondepolarisasi. Pasien yang
terbakar menunjukkan adanya perubahan ultrastruktural dan biokimia pada sel otot
dan kontak neuromuscular. Pemberian SCh dapat berakibat dramatis, dan terkadang
fatal, hiperkalemi. Akibat ini dapat nampak pada satu tahun setelah trauma luka bakar
terjadi. Beberapa masalah serupa telah dilaporkan pada pasien yang mengalami
cedera berat atau cedera pada regio jaringan lemah yang luas.
B. Penyakit kritis
1. Prevalensi disfungsi NMJ pada penyakit kritis sangatlah tinggi. Range frekuensi
diagnosis dari 30% sampai 70% dan insidennya mencapai 76% dengan tes
elektrofisiologis yang lebih sensitive.
2. Miopati dari penyakit kritis adalah sebutan yang diberikan pada grup kolektif dari
kelainan yang dapat menyebabkan kelemahan pada pasien ICU. Patologi yang
mendasarinya cukup beragam, dimulai dari neuropati dan miopati murni sampai
kelainan transmisi neuromuscular. Sepsis dan kegagalan multiorgan umumnya
berhubungan dengan miopati dari penyakit kritis.
3. Kelemahan adalah manisfestasi umum dari smeua kelainan. Pada pasien yang kritis
kelemahan dapat menyebabkan ketergantungan pada ventilator dan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Gejala dan tanda lain dapat muncul termasuk reflex tendon
yang berubah, peningkatan kadar kreatinin kinase, dan perubahan elektrofisioogis
pada sistem saraf, otot, maupun keduanya.
4. Kortokosteroid, NMBDs, dan beberapa antibiotik dapat mencetuskan kelemahan
tubuh pada pasien ICU. Satu subtype dari miopati karena penyakit kritis, miopati
necrotizing akut, telah dihubungkan dengan pemberian NMBDs berulang, sering juga
pada pemberian bersamaan dengan kortikosteroid dosis tinggi. Pasien ini mengalami
kelemahan yang mendalam, peningkatan kadar serum kreatinin kinase, dan
penghematan potensi aksi dari nervus sensoris. Steroid dan NMBD terbatas sebaiknya
digunakan pada pasien dengan penyakit kritis secara bijaksana.
C. Miastenia gravis (MG)
1. MG adalah penyakit autoimun dengan prevalensi 1:20.000 pada populasi umum.
Umumnya terjadi pada pasien wanita dewasa muda.
2. Kehilangan AChR pada motor endplatepada MG diinduksi oleh antibodi
antireseptor yang meningkatkan degradasi reseptor junctional dan ekstrajunctional.
Antibodi ini dapat dideteksi pada 90% pasien MG, tetapi titer antibodi kurang
berhubungan dengan tanda klinis yang ada.
3. MG sering kali muncul dengan onset bertahap dari kelemahan faring atau ocular.
Seluruh otot dapat terkena. Penanda dari MG adalah kelemahan yang menjadi
semakin memburuk saat latihan / aktivitas.
4. Diagnosis didukung dengan riwayat klinis dan dikonfirmasi dengan peningkatan
kekuatan otot yang bersifat sementara setelah pemberian edrophonium IV 10 mg
(Tensilon test), dengan temuan karakteristik elektromiografi, dan sebagian besar
secara khusus dengan adanya antibody anti-AChR pada serum pasien.
5. Penatalaksanaan termasuk antikolinesterase (missal: piridostigmin), kortikosteroid,
obat-obat immunosupressan seperti azathioprine dan siklofosfamid, plasmaferesis,
dan thymectomy. Remisi dari penyakit ini merupakan hal yang umum setelah
dilakukannya thymectomy.
6. Perhatian khusus perlu diberikan pada pasien MG saat dilakukannya regional anestesi
atau general anestesi.
a. Penggunaan anestesi regional neuroaksial dihubungkan dengan relaksasi otot
skelet dan beberapa derajat kelemahan diafragma. Efek normal dari regional
anestesi ini sering kali menimbulkan kelemahan yang hanya bias secara parsial
ditangani dengan inhibitor kolinesterase. Oleh karena itu, pasien ini, dapat
menderita kelemahan respirasi yang mendalam bahkan ketika tidak ada induksi
dengan agen penghambat neuromuscular. Mereka memerlukan pengawasan
respirasi dengan hati-hati sepanjang anestesi dan pemulihannya.
b. Terapi antikolinesterase tidak boleh dihentikan sebelum pembedahan
c. Pasien umumnya resisten dengan agen depolarisasi, walaupun eliminasi SCh
dihambat oleh piridostigmin. Mereka juga sangat sensitive pada agen
nondepolarisasi. Baik agen kerja panjang seperti pankuronim dan kerja pendek
seperti cisatracurium dikaitkan dengan hambatan yang memanjang,
ketidakmempanan terhadap agen reversal, dan kelemahan pasca bedah yang jelas.
NMBDs lebih baik dihindari, jika memungkinkan.
d. Pengawasan dari derajat penghambat neuromuskular sangat dianjurkan,
meskipun pemulihan seutuhnya dari Train of Four (TOF) tidak menjamin
pemulihan dari otot pernapasan atas atau dari ventilasi.
e. Pembedahan dan pembiusan dapat menyebabkan serangan eksaserbasi dari
penyakit yang mendasarinya. Ventilasi pasca bedah mungkin diperlukan
bahkan setelah prosedur bedah minor.
D. Distrofi muscular adalah kelompok kelainan otot yang beragam yang ditandai dengan
kehilangan fungsi otot skeletal yang progresif. Duchenne muscular dystrophy adalah
kelainan yang paling umum dan yang paling berat. Gen mengkode protein yang
berhubungan dengan membran yang dikenal sebagai dystrophin yang sangat penting
untuk stabilitas membran otot. Kelainannya merupakan X-linked recessive dan secara
klinis menyerang pria. Perjalan klinisnya ditandai dengan degenerasi dan atropi otot
skelet tanpa adanya rasa nyeri, yang bermanifestasi sebagai kelemahan dimulai dari usia
5 tahun. Pada usia menanjak remaja, pasien umumnya dibatasi dengan kursi roda, dan
kematian biasanya muncul di usia 20-an dengan kegagalan jantung kongestif.
1. Kadar serum kreatinin kinase meningkat dan seiring dengan progresi dari
degenerasi muscular. Pada tahap akhir dari penyakit, kadar kreatinin kinase
mendekati nilai normal karena adanya kehilangan massa otot yang signifikan.
2. Jantung (disfungsi sistolik progresif dan penipisan ventrikel) dan otot polos
(hipomotilitas gastrointestinal dengan melambatnya pengosongan lambung)
dipengaruhi dengan berbagai stadium.
3. Meskipun difragma terbagi, kelemahan otot assesorius menghasilkan pola yang
terbatas pada tes fungsi paru. Karena batuk menjadi terganggu, pneumonia adalah
komplikasi yang sering terjadi.
4. SCh dapat menyebabkan rhabdomyolysis massif, hiperkalemi, dan kematian. Studi
yang melibatkan NMBDs menunjukkan hasil yang beragam. Karena intensitas dan
durasi dari efek obat sulit untuk diprediksi, agen kerja pendek lebih dianjurkan. Agen
inhalasi volatile, terutama halotan particular, dapat memperberat efek depresi
miokardial. Hipertermi malignan muncul dengan peningkatan frekuensi, tetapi tidak
ada tes prediksi yang baikuntuk pasien beresiko. Keterlambatan pengosongan
lambung dan batuk yang tidak efektif membuat pasien berisiko yang lebih besar
untuk regurgutasi dan aspirasi. Pada pasca bedah, pasien-pasien ini memerlukan
fisioterapi pulmonary agresif untuk meyakinkan eliminasi sekresi yang adekuat.
Opioid, yang mana lebih jauh menekan pernapasan dalam dan batuk, harus digunakan
secara berhati-hati.
E. Sindrom miotonik adalah sekumpulan kelainan yang ditandai dengan defek pada
relaksasi otot skelet setelah stimulasi. Kontraksi persisten merupakan konsekuensi dari
pelepasan kalsium yang tidak efektif dari sitoplasma ke reticulum sakoplasma. Distrofi
miotonik adalah sindrom yang paling umum terjadi pada kelompok kelainan ini.
1. Pasien dengan distrofi miotonik memiliki keterlibatan yang progresif dan
kemerosotan dari tulang, jantung, dan otot polos di sepanjang tubuh, dengan usaha
bernafas yang melemah, pola restriktif pada tes fungsi paru, motilitas gastrointestinal
yang menurun. Gejala lain termasuk katarak, abnormalitas konduksi jantung,
kebotakan, dan retardasi mental.
2. Anestesi regional, agen penghambat neuromuscular, dan peningkatan kedalaman dari
anestesi umum tidak meringankan rigiditas dari otot miotonik. Kehamilan
memperberatkondisi ini, dan operasi SC umumnya diindikasikan karena disfungsi
otot rahim. Pasien-pasien ini sangat merasa sensitive dengan efek depresi nafas dari
opioid, benzodiazepine, dan agen inhalasi. Opioid yang diberikan secara neuroaxial
yang memiliki efek minimal pada fungsi respirasi pada orang normal dapat memiliki
efek yang sangat besar pada pasien-pasien ini. Seperti pasien dengan Duchenne
muscular dystrophy, pasien ini sering mengalami aritmia jantung dan peningkatan
risiko untuk henti jantung selama anestesi umum.
BACAAN YANG DISARANKAN
1. Ali, HH Savarese JJ. Monitoring of neuromuscular function. Anesthesiology
1976;45:216-249
2. Baraka A. onset of neuromuscular block in myasthenic patients. Br J Anaesth
1992; 69:227-228
3. Baraka A, Taha S, Yazbeck V, et al. vecuronium block in the myasthenic patient.
Influence of anticholinesterase therapy. Anaesthesia 1993;48:558-590
4. Belmont MR, Lien CA, Quessy S, et al. the clinical neuromuscular pharmacology
of 51W89 in patient receiving nitrious oxide/opioid/barbiturate anaesthesia.
Anasthesiologu 1995;82:1139-1145
5. Berg H, roed J, Viby-Mogensen J, et al. Residual neuromuscular block is a risk
factor for postoperative pulmonary complications. A prospective, randomize and
blinded study of postoperative pulmonary complications after atracurium,
vecuronium, dan pancuronium. Acta Anaesthesial Scand 1997;41:1095-1103
6. Chiu JW, White PF. The pharmacoeconomics of neuromuscular blocking drugs.
Anesth analg 2000;90:S19-S23
7. Eriksson LI. The effect of neuromuscular blockade and volatile anesthetic on the
control of ventilation. Anesth anlog 1999;89:243-251
8. Eriksson LI, Sundaman E, Olsson R, et al. Fungctional assessment of the pharynx
at rest and during swallowing in partially paralyzed humans. Anesthesiology
1997;87:1035-1043
9. Ibebunjo C, Martyn JA. Fiber atrophy but not changes in acetylcoline receptor
expression, contributes to the muscle dysfunction after immobilization. Crit Care
Med 1999;27:275-285
10. Kim C, Fuke N, Martyn JA. Burn injury to rat increase nicotinic acetylcoline
receptors in the diaphragm. Aneasthesiology. 1988;68:401-406
11. Kopman AF, Yee SY. Neuman GG. Relationship of the Train-of-For fade ratio to
clinical signs and symptomps of residual paralysis in awake volunteers.
Anaesthesiology 1997;86:765-771.
12. Lin RC, Scheller RH. Mechanism of synaptic vesicle exocytosis. Annu Rev Cell
Dev Biol 2000;16:19-49
13. Martyn JA, Richtsfeld m. succinycoline-induced Hyperkalemia in Acquires
Phatologic States. Anesthesiology 2006;104:158-169
14. Martyn JA, Vincent A. A new twist to myopathy of critical illness.
Anesthesiology 1999;91:337-339
15. Murphy GS, Szokol JW. Monitoring neuromuscular blockade. Int Anesthesional
Clin 2004;42(2):25-40
16. Murphy GS, Szokol JW, et al. residual paralysis at the time of tracheal extubation.
Anest Analg 2005;100:1840-1845
17. Pino RM. Neuromuscular blocker studies of critically ill patients. Intensive Care
Med 2002;28:1695-1697