TP Snake Bite

23
TINJAUAN PUSTAKA 1. INSIDEN Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan ular berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan terjadi di daerah ekstremitas dan 70% disebabkan oleh Rattlesnake. 2. JENIS-JENIS ULAR BERBISA Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Ciri-ciri ular tidak berbisa: 1. Bentuk kepala segiempat panjang 2. Gigi taring kecil 3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan Ciri-ciri ular berbisa: 1. Bentuk kepala segitiga 2. Dua gigi taring besar di rahang atas 3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring 1

description

Tinjauan pustaka

Transcript of TP Snake Bite

Page 1: TP Snake Bite

TINJAUAN PUSTAKA

1. INSIDEN

Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun gigitan ular

berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila

ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan

orang yang meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan

8000 kasus gigitan ular berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan terjadi di daerah

ekstremitas dan 70% disebabkan oleh Rattlesnake.

2. JENIS-JENIS ULAR BERBISA

Beberapa spesies ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun,

beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara

yang dikeluarkan saat merasa terancam.

Ciri-ciri ular tidak berbisa:

1. Bentuk kepala segiempat panjang

2. Gigi taring kecil

3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan

Ciri-ciri ular berbisa:

1. Bentuk kepala segitiga

2. Dua gigi taring besar di rahang atas

3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring

1

Page 2: TP Snake Bite

Gambar 1. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular

berbisa dengan bekas taring.

Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada

umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini

adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular

jali (Ptyas korros), ular serasah (Sibynophis geminatus) dan ular pohon. Ular berbisa

kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropidae,

atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh

anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus

candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).

Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang

atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili

pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk

mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung

dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah

(Calloselasma rhodostoma), ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris) dan ular hijau.

Hydropidae misalnya ular laut.

3. KOMPOSISI, SIFAT DAN MEKANISME KERJA BISA ULAR

Bisa (venom) adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan

2

Page 3: TP Snake Bite

ludah termodifikasi yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan

bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian

bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi

tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki

aktivitas enzimatik. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung

pada spesies ular, ukuran ular, jenis kelamin korban, usia korban, efisiensi mekanik

gigitan (satu atau dua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.

Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa

hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa

neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik,

yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. Tidak semua ular berbisa pada waktu

menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Gigitan dimana taring menembus kulit

namun tidak menimbulkan gejala keracunan bisa atau venerasi disebut dengan “gigitan

kering” atau dry bites, Hal ini dapat terjadi bila terjadi ketidakefisienan mekanik saat

taring menembus kulit pada sudut tertentu (atau menembus pakaian) atau retensi bisa

oleh ular tersebut.

Bisa ular mengandung toksin dan enzim yang berasal dari air liur, termasuk

enzim hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa. Bisa tersebut bersifat:

1. Neurotoksin: Seperti gigitan Bungarus fasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular

sendok), ular kobra dan ular laut. Neurotoksin paska sinaps seperti a-bungarotoxin

dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan

neurotoksin prasinaps seperti b-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin, dan notexin

merupakan phospholipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada

neuromuscular junction dan berakibat fatal karena paralisis otot, termasuk

kelumpuhan otot pernafasan.

2. Hematotoksik:

Seperti pada gigitan Trimeresurus albolaris (ular hijau) dan Ankistrodon

rhodostoma (ular tanah). Bersifat hemolitik melalui fosfolipase dan enzim lainnya,

menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin dan perdarahan karena

lisisnya sel darah merah oleh toksin.

3

Page 4: TP Snake Bite

3. Myotoksik: mengakibatkan rhabdomiolisis yang sering berhubungan dengan

haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan

hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel otot.

4. Kardiotoksik: merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot

jantung.

5. Cytotoksik: dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktif amin lainnya berakibat

terganggunya kardiovaskuler.

6. Cytolitik: zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrosis di jaringan pada

tempat gigitan.

4. GEJALA KLINIS

Kepada semua gigitan ular perlu dilakukan:

- Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,

riwayat penyakit sebelumnya.

- Pemeriksaan fisik: status umum dan local, serta perkembangannya setiap 12 jam.

Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang

terjadi dan memberikan gejala local dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

1. Gejala dan tanda-tanda lokal: tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal,

pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh,

infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili

Viperidae)

2. Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual,

hipersalivasi (ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur.

3. Gejala khusus gigitan ular berbisa menurut jenis toksinnya:

- Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak,

gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe,

hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID).

- Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernafasan, ptosis,

ophtalmoplegia, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan koma.

- Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.

- Sindom kompartmen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor, parestesi,

paralysis, pulselessness). Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari

4

Page 5: TP Snake Bite

amin biogenik, seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan pada

Viperidae.

4.1 Derajat Gigitan Ular

Derajat Gigitan Ular menurut Pharish:

1. Derajat 0: Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam, pembengkakan minimal,

diameter 1 cm.

2. Derajat I: Bekas gigitan 2 taring, bengkak dengan diameter 1-5 cm, tidak ada tanda-

tanda sistemik sampai 12 jam.

3. Derajat II: Sama dengan derajat I, disertai petechie, echimosis atau nyeri hebat

dalam 12 jam.

4. Derajat III: Sama dengan derajat I dan II, disertai syok dan distres nafas atau

petechie, echimosis seluruh tubuh.

5. Derajat IV: Gejala sangat cepat memburuk.

Menurut Schwatz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Derajat Venerasi Luka Nyeri Edema/Eritema Sistemik

0 0 + +/- < 3 cm dalam 12 jam 0

I +/- + + 3-12 cm dalam 12

jam

0

II + + +++ >12-25 cm dalam 12

jam

+ neurotoksik,

mual, pusing,

syok

III + + +++ >25 cm dalam 12

jam

++, petekie,

ekhimosis,

syok

IV +++ + +++ > ekstremitas ++ gagal ginjal

akut, koma,

perdarahan

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular:

Gigitan Elapidae

5

Page 6: TP Snake Bite

(misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral

snakes, mambas, kraits).

1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku

pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.

2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.

3. Setelah digigit ular

a. 15 menit: muncul gejala sistemik.

b. 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar

bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit

dingin, muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut. Kematian dapat

terjadi dalam 24 jam.

Gigitan Viperidae/Crotalidae

(misal: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo).

1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak

di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.

2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.

3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam

waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropidae

(misal: ular laut).

1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.

2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri

menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria

yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),

ginjal rusak, dan henti jantung.

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae

(misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)

6

Page 7: TP Snake Bite

1. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di

daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae

antivenin.

2. Anemia, hipotensi, trombositopeni.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG:

- Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu

perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, aPTT, D-dimer, uji

faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang.

- Pemeriksaan urin: hemauria, glikosuria, proteinuria (mioglobinuria).

- EKG.

- Foto dada.

6. PENATALAKSANAAN

Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:

A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan:

1. Pertolongan pertama harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular

sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Tujuan pertolongan pertama adalah

untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban,

menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit

serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa

korban ke tempat perawatan medis. Metode pertolongan yang dilakukan adalah

menenangkan korban yang cemas; imobilisasi bagian tubuh yang tergigit dengan

cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot

(pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam

aliran darah dan getah bening), pertimbangkan pressure-immobilisation pada

gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat

meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman

dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah

peningkatan penyerapan bisa.

7

Page 8: TP Snake Bite

3. Pengobatan gigitan ular. Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai

pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras

sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam),

pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian

antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti

manfaatnya.

4. Bila belum tersedia antibisa, ikatlah daerah proksimal dan distal dari daerah

tempat gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit

paska gigitan.

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut:

1. Penatalaksanaan jalan nafas.

2. Penatalaksanaan fungsi pernafasan.

3. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid.

4. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan. Terapi yang dianjurkan meliputi:

a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

Gambar 2. Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban.

b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis

dengan lebar ± 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling

bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang

terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus

8

Page 9: TP Snake Bite

kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak

terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat mengganggu

aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang

lebih berat.

5. Ambil 5-10 mL darah untuk pemeriksaan: waktu protrombin, APTT, D-dimer,

fibrinogen, Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K),

CK. Periksa waktu pembekuan, jika > 10 menit, menunjukkan kemungkinan

adanya koagulopati.

6. Hapus tempat gigitan dengan venom detection kit (apabila tersedia).

7. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular).

6.1 Anti Bisa Ular

Terapi ABU direkomendasikan jika pasien terbukti atau terduga gigitan ular mengalami

satu atau lebih tanda-anda berikut:

Gejala venomisasi sistemik

- Gangguan hemostasis: perdarahan sistemik spontan (klinis), koagulopati (20

WBC time atau tes laboratorium lain seperti waktu protrombin) atau

trombositopenia (<100 x 109/L atau 100000/cu mm)

- Tanda neurotoksik: ptosis, ophtalmoplegia eksternal, paralisis, dll. (klinis)

- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia jantung (klinis),

abnormalitas EKG.

- Acute Kidney Injury/renal failure: oliguria/anuria (klinis), peningkatan

kreatinin/urea darah (laboratorium).

- Haemoglobin/myoglobinuria: urine berwarna gelap kecoklatan (klinis), urine

dipstick, bukti hemolisis intravascular lainnya atau rhabdomiolisis menyeluruh

(nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, laboratorium).

- Bukti laboratorium lain yang menunjang adanya venomisasi sistemik.pat (

Gejala venomisasi local

- Pembengkakan local meliputi lebih dari setengah daerah gigitan (tanpa adanya

bukti penggunaan torniket) dalam 48 jam setelah gigitan. Bengkak akibat gigitan

pada jari (kaki dan terutama tangan).

9

Page 10: TP Snake Bite

- Penyebaran bengkak dengan cepat (misalnya melebihi pergelangan tangan atau

pergelangan kaki dalam beberpa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).

- Pembengkakan kelenjar getah bening yang mengaliri daerah yang tergigit.

ABU seharusnya diberikan secepatnya jika memenuhi indikasi. Ini dapat

membalikkan gejala venomisasi sistemik bahkan jika telah menetap selama beberapa

hari atau selama dua minggu atau lebih pada kasus abnormalitas hemostasis. Karena

itulah, tepat jika diberikan ABU selama bukti adanya gangguan koagulasi masih terjadi.

Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein, maka sifatnya adalah

antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat

polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa ular. Beri SABU (Serum

Anti Bisa Ular) polivalen 1 ml berisi:

1. 10-50 LD50 bisa Ankystrodon

2. 25-50 LD50 bisa Bungarus

3. 25-50 LD50 bisa Naya sputarix

4. Fenol 0,25% v/v.

Teknik Pemberian: 2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau

Dextrose 5% dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, maksimal 100 ml (20 vial). Ular

menginjeksikan dosis racun yang sama kepada dewasa maupun anak-anak, sehingga

dosis SABU anak-anak sama dengan dewasa. Infiltrasi local pada luka tidak dianjurkan.

SABU jangan diberikan secara intramuscular apabila dapat diberikan secara intravena.

SABU jangan diinjeksikan di daerah gluteal (kuadran luar atas pantat) karena

absorpsinya yang lambat dan tidak dapat diperhitungkan.

Tes hipersensitivitas pada kulit dan konjungtiva akan menunjukkan adanya

hipersensitivitas Tipe I yang diperantarai IgE terhadap protein kuda atau domba.

Namun, mayoritas reaksi cepat maupun lambat terhadap ABU merupakan akibat dari

aktivasi komplemen secara langsung dibandingkan Hipersensitivitas Tipe I yang

diperantarai IgE sehingga tes ini tidak dapat memprediksi. Selain itu, hal ini dapat

memperlambat terapi dan menimbulkan sensitisasi, sehingga tes ini seharusnya tidak

dilakukan.

10

Page 11: TP Snake Bite

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwatz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat Venerasi Luka NyeriEdema/

EritemaSistemik

Pemberian SABU

0 0 + +/- < 3 cm dalam

12 jam

0 Tidak diberikan

SABU; evaluasi

dalam 12 jam, jika

derajat meningkat,

beri SABU

I +/- + - 3-12 cm

dalam 12 jam

0

II + + +++ >12-25 cm

dalam 12 jam

+ neurotoksik,

mual, pusing,

syok

3-4 vial SABU

III + + +++ >25 cm dalam

12 jam

++, petekie,

ekhimosis, syok

5-15 vial SABU

IV +++ + +++ > ekstremitas ++ gagal ginjal

akut, koma,

perdarahan

Berikan

penambahan 6-8

vial SABU

Pedoman terapi lainnya menurut Luck:

- Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit.

- Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom. Jika

koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah

tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3

jam berikutnya, dan seterusnya. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat,

waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat diteruskan dan ulangi pemeriksaan

darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan hingga 2x24 jam untuk

mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang.

- Gangguan koagulasi berat: beri plasma fresh-frozen dan antivenom.

- Perdarahan: beri transfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,

transfusi.

- Hipotensi: beri infuse cairan kristaloid.

- Rhabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat.

11

Page 12: TP Snake Bite

- Monitor pembengkakan local setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau anggota

badan.

- Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi.

- Gangguan neurotoksik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan Sulfas

atropine.

- Beri tetanus propilaksis bila diperlukan. Intervensi pada luka (insisi dengan pisau

atau silet tidak steril) dan organisme yang berasal dari rongga mulut ular tertentu,

seperti Malayan pit viper, meningkatkan risiko infeksi bakteri sekunder. Kuman

yang terbanyak dijumpai adalah P. aeroginosa, Proteus sp., Clostridium sp., B

fragilis. Terapi profilaksis dapat diberikan antibiotika spectrum luas, misalnya

amoksisilin atau sepalosforin dan gentamisisn dosis tunggal serta metronidazole.

- Untuk mengurangi nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat-

obatan narkotik depresan.

6.2 Reaksi Terhadap ABU

Beberapa persen pasien mengalami reaksi cepat (dalam jangka waktu beberapa jam)

atau lambat (lebih dari 5 hari) setelah diberikan ABU. Risiko terjadinya reaksi ini

bergantung pada dosis, kecuali pada kasus jarang dimana telah terjadi sensitisasi

(Hipersensitivitas Tipe I yang diperantai IgE) oleh paparan sebelumnya terhadap serum

binatang, misal serum anti bisa ular, tetanus immunoglobulin atau rabies

immunoglobulin.

1. Reaksi anafilaksis cepat

Biasanya muncul dalam 10-180 menit setelah memulai pemberian ABU, pasien

mulai gatal (sering melebihi kulit kepala) dan timbul urtikaria, batuk kering,

demam, mual, muntah, kolik abdomen, diare, dan takikardia. Minoritas pasien

ini dapat mengalami reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa: hipotensi,

bronkospasm, dan angioedema. Reaksi fatal mungkin tidak dilaporkan karena

kematian akibat gigitan ular biasanya berhubungan dengan bisa ular dan pasien

mungkin tidak dimonitor dengan seksama setelah terapi.

2. Reaksi pirogenik (endotoksin)

Biasanya ejala berkembang 1-2 jam setelah terapi. Gejala meliputi menggigil

keras, demam, vasodilatasi dan penurunan drastis tekanan darah. Kejang demam

12

Page 13: TP Snake Bite

dapat terprovokasi pada anak-anak. Reaksi ini disebabkan oleh kontaminasi

pirogen selama proses pembuatan. Ini umum dilaporkan.

3. Reaksi lambat (serum sickness type)

Berkembang 1-12 hari (rata-rata 7 hari) setelah terapi. Gejala klinis meliputi

demam, mual, muntah, diare, gatal, urtikaria, nyeri sendi, nyeri otot,

limfadenopati, pembengkakan periartikular, multiple mononeuritis, proteinuria

dengan nefritis terkait kompleks imun, dan jarang, ensefalopati. Pasien yang

mengalami reaksi cepat dan diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih

sedikit kemungkinan mengalami reaksi lambat ini.

Terapi terhadap reaksi ABU:

1. Reaksi anafilaksis cepat dan reaksi pirogenik: Epinefrin (adrenalin) diberikan

secara intramuscular (pada paha lateral atas) dengan dosis awal 0.5 mg untuk

dewasa dan 0.01 mg/kgBB untuk anak-anak. Karena anafilaksis yang berat dan

mengancam jiwa dapat berkembang dengan sangat cepat, efinefrin (adrenalin)

seharusnya diberikan pada reaksi yang sangat awal, bahkan jika beberapa bintik

urtikaria muncul atau awal gejala gatal, takikardia atau gelisah. Dosis dapat

diulang setiap 5-10 menit jika kondisi pasien menurun.

Terapi tambahan: Setelah epinefrin (adrenalin), antihistamin penghambat H1

seperti chlorpheniramine maleat (dewasa 10 mg, anak-anak 0.2 mg/kgBB secara

intravena dalam beberapa menit) seharusnya diberikan diikuti dengan

hidrokortisone intravena (dewasa 100 mg, anak-anak 2 mg/kgBB).

Kortikosteroid tidak akan bekerja selama beberapa jam, namun dapat mencegah

berulangnya anafilaksis [level of evidence O]. Pada reaksi pirogenik, pasien juga

harus diturunkan suhu badannya secara fisik dan dengan antipiretik (misalnya

menggunakan parasetamol melalui mulut atau suppositoria). Cairan intravena

juga perlu diberikan untuk memperbaiki hipovolemia.

2. Terapi reaksi lambat (serum sickness type): Reaksi lambat (serum sickness type)

dapat berespon pada pemberian antihistamin oral selama 5 hari. Pasien yang

gagal berespon dalam 24-48 jam seharusnya diberikan prednisolone selama 5

hari. Dosis CTM: dewasa 2 mg setiap 6 jam, anak-anak 0.25 mg/kgBB/hari

13

Page 14: TP Snake Bite

dibagi dalam beberapa dosis. Prednisolone: dewasa 5 mg setiap 6 jam, anak-

anak 0.7 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi selama 5-7 hari.

14

Page 15: TP Snake Bite

DAFTAR PUSTAKA

1. Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East Asia

Region, Warel, David A. World Health Organization, 2010.

2. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer. Ditjen POM Depkes RI.

Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan

Makanan Republik Indonesia, 2002.

3. Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol. 28.

4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I.

Edisi V. Interna Publishing. Jakarta. 2010. Hal 280-3.

15