TETANUS
-
Upload
wy-wawan-lismana -
Category
Documents
-
view
167 -
download
2
Transcript of TETANUS
TETANUS
1. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, bakteri ini merupakan basil gram
positif yang bersifat anaerob obligat, berbentuk batang lurus, ramping, panjangnya 2-
5 mikron dan lebarnya 0,4-0,5 mikron, dan dapat membentuk spora. Spora dari C.
tetani resisten terhadap sinar matahari, antiseptik, phenol dan agen kimia lainnya
serta bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama 10–15 menit.
Bakteri ini hidup di tanah terutama tanah yang tercemar tinja manusia dan binatang.
C. tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.(1)(2)(3)
Tetanospamin bersifat neurotoksik, toksin ini mula-mula akan menyebabkan kejang
otot dan saraf perifer setempat. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan. Tetanospamin
merupakan rantai polipeptida, ketika terjadi autolisis rantai ini dilepaskan membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi pengikatannya
dengan reseptor sel saraf dan masuknya kedalam sel, sedangkan rantai ringan
(50kDa) berperan dalam memblokir pelepasan neurotrasmiter.(3) Sedangkan
tetanolisin merupakan toksin yang dapat merusak jaringan yang masih hidup dan
mengoptimalkan kondisi untuk multiplikasi bakteri.(4)
2. EPIDEMIOLOGI
Tetanus merupakan penyakit yang terjadi hampir diseluruh dunia terutama negara-
negara yang beriklim tropis dan negara berkembang. Tetanus terjadi secara sporadis
dan menimpa individu yang mempunyai sistem imun yang lemah, individu dengan
imunitas parsial, dan bahkan individu yang imunitasnya normal akan tetapi gagal
mempertahankan sistem imun tubuhnya. Umumnya penyakit ini terjadi di daerah
pedesaan yang sebagin besar penduduknya petani. Pada negara-negara yang gagal
menjalankan program imunisasi yang komperhensif, tetanus terutama terjadi pada
neonates dan anak-anak. The World Health Organization (WHO) memperkirakan
1
bahwa pada tahun 1999, terdapat setidaknya 377.000 kematian akibat tetanus,
kebanyakan terjadi pada masa neonatus.(1) Angka tersebut tersebar terutama di
negara-negara berkembang. Negara-negara maju penyakit tetanus jarang dijumpai. Di
Amerika sendiri kasus tetanus sebagian besar terjadi akibat trauma akut seperti luka
tusuk, abrasi atau laserasi. Trauma atau luka baik luka yang berat atau ringan jika
tidak ditangai secara benar bisa menyebabkan tetanus. Pada tahun 1940an dilaporkan
kejadian kasus tetanus 300 sampai 600 per tahun di Amerika Serikat. Akan tetapi
sejak tahun 1976 kurang dari 100 kasus dilaporkan setiap tahun .(3)
Penyakit tetanus ini terjadi paling tinggi pada usia tua. Di Amerika dilakukan survey
serologis skala luas terhadap antibodi tetanus dan difteri pada tahun 1988-1994
menunjukkan 91% anak-anak usia 6-12 tahun terlindungi terhadap tetanus, persentase
tersebut menurun seiring bertambahnya usia, hanya 30% individu umur 70 tahun
keatas yang memiliki antibodi yang adekuat.(3)
3. PATOGENESIS
Penyakit tetanus terjadi melalui kontaminasi luka, baik luka terbuka, luka bakar, luka
bekas operasi dan pada bayi dapat melalui tali pusar. Kondisi anaerob pada jaringan
nekrotik semakin mendukung terjadinya infeksi bakteri C. tetani yang menyebabkan
penyakit tetanus ini.(3)(5) Bakteri C. tetani saat menginfeksi jaringan mengeluarkan 2
jenis toksin, yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanolisin merupakan toksin yang
dapat merusak jaringan yang masih hidup dan mengoptimalkan kondisi untuk
multiplikasi bakteri.(4)
Tetanospamin merupakan toksin yang dikeluarkan oleh baktri C. tetani yang bersifat
neurotoksin. Tetanospamin merupakan protein yang massa molekul 150kDa yang
dapat membelah menjadi rantai berat (100kDa) dan ringan (50kDa). (7) Toksin ini
mungkin mencangkup 5 % dari berat bakteri itu sendiri. Pada rantai berat ujung
karbosilnya berikatan pada membran saraf dan ujung aminonya memfasilitasi untuk
masuk ke dalam sel. Sedangkan rantai ringan mencegah pelepasan neurotransmiter
2
dari presinap. Kemudian tetanospamin akan tersebar dan terikat pada GD1b dan
GT1b pada membran ujung saraf lokal. (3)( 4)
Tetanospamin rantai ringan membelah sinaptobrevin yang merupakan protein
membran yang diperlukan untuk pengeluaran neurotransmiter. (3)(4) Toksin ini dapat
menyebrangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, untuk memblokir pelepasan
neurotransmiter inhibitor yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA). (7) Interneuron
yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, selain itu
neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama dan pelepasan asetilkolin ke
dalam celah neuromuskuler dikurangi. (3)(6)
Tidak terkendalinya aliran eferen dari saraf motorik akan menyebabkan spasme
muskuler dan kekakuan. Reflek inhibisi dari kedua kelompok otot antagonis hilang,
sedangkan otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara multan. Spasme otot
dapat menyebabkan nyeri dan dapat menyebabkan fraktur atau rupture tendon. Otot
rahang, wajah dan kepala pertama kali terpengaruh karena aksonnya pendek. (3)( 4)
4. MANIFESTASI KLINIK
Secara umum masa inkubasi dari infeksi bakteri C. tetani 4-10 hari, tetapi bisa lebih
pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ). Penyakit ini khas ditandai
dengan adanya tonik pada otot, yang biasanya dimulai dari daerah sekitar perlukaan.
Secara bertahap kejang tersebut akan melibatkan semua otot seran lintang sehingga
akan terjadi kejang tonik.(2)(6) Adanya rangsangan dari luar dapat memacu timbulnya
kekejangan. Kejang dapat bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap
selama 5-7 hari. Pada awalnya ketegangan terjadi terutama pada daerah rahang dan
leher, kemudian timbul gejala kesulitan dalam membuka mulut Kemudian
kekejangan otot berlanjut ke kaku kuduk, spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat, lengan
kaku dan biasanya kesadaran tetap baik. Karena kontraksi otot yang sangat kuat,
dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna
vertebralis ( pada anak ).(6)
3
Tetanus dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu tetanus generalisata, tetanus neonatrum,
tetanus lokal dan tetanus sefalik.(7) Tetanus generalisata atau tetanus umum
merupakan tetanus yang bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul
mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai, timbul secara
mendadak dengan kaku kuduk, mudah tersinggung, gelisah dan sakit kepala
merupakan manifestasi awal. Trismus yang menetap dapat menyebabkan ekspresi
wajah berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut
menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan
opistotonus. Selain itu dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot, menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini penderita berada
dalarn kesadaran penuh.(2)(3)(6)
Tetanus neonatrum merupakan tetanus pada bayi baru lahir yang mempunyai gejala
yang sama dengan tetanus umum, tetapi dapat berefek fatal jika tidak diterapi.
Tetanus ini terjadi pada saat persalinan yang tidak steril menggunakan alat-alat yang
terkontaminasi oleh bakteri C. tetani terutama saat pemotongan tali pusar.(3)(6) Gejala
awal muncul saat 2 minggu awal kehidupan bayi, ditandai dengan kesulitan dalam
menyusui,iritabilitas dan spasme.(3)
Tetanus lokal merupakan tetanus yang ditandai dengan rasa nyeri dan spasme otot
terbatas pada daerah sekitar luka. Gejalanya dapat bertahan berbulan-bulan tetapi
hanya bersifat ringan. Tetanus ini dapat menjadi tetanus umum namun dalam bentuk
yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.(2)(3)(6)
Tetanus sefalik merupakan tetanus yang jarang dijumpai, biasanya terjadi akibat luka
di kepala dan otitis media kronik.(2)(3)(6) Masa inkubasinya hanya 1-2 hari, dijumpai
trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, disfagia dan paralisis otot
ekstraokular dapat terjadi. Biasanya prognosisnya buruk.(3)
5. DIAGNOSIS
4
Untuk mendiagnosis tetatus dapat dilihat dari gejala-gejala klinis yang khas terjadi.
Diagnosis awalnya ditegakkan dari menganamesa pasien untuk mengetahui penyebab
terjadinya tetanus, seperti luka, trauma, infeksi dan mendapatkan gejala spesifik yang
dialami pasien.(5) Dari pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya kejang tetani, trismus,
dispagia, risus sardonicus, dan biasanya ketegangan awalnya terjadi pada daerah
mulut dan leher. Tes laboratorium dapat dilakukan dengan mengkultur secret luka
untuk menemukan bakteri C. tetani, tetapi sulit sekali mengisolasi bakteri ini. Tes lab
yang lainya seperti SGOT, CPK meninggi, dijumpai myoglobinuria, leukosit
meningkat, pemeriksaan cairan cerebrospinal menunjukkan hasil yang normal, enzim
otot meningkat dan elektomyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik.(2)(3)(6)
Diagnosis banding dapat berupa meningitis yaitu kejang yang terjadi, namun dapat
dibedakan berdasarkan hasil tes cairan serebrospinal. Trismus dapat pula terjadi pada
argina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi yang hebat dan pembesaran
kelenjar getah bening leher. Kondisi lain yang mungkin sama dengan tetanus seperti
rabies, ensefalitis dan proses intraabdominal akut.(2)(3)(6)
6. TERAPI
Terapi dilakukan untuk menghilangkan organismenya agar tidak mengeluarkan toksin
lebih lanjut, menghilangkan toksin yang ada dalam tubuh, dan menghilangkan efek
toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat.(3) Penatalaksaan umum dari penyakit
ini yaitu dengan merawat luka dengan baik, bersihkan dengan hati-hati dan dilakukan
debridemen (eksisi jaringan nekrotik) secara menyeluruh, irigasi luka, kompres luka
dengan hidrogen peroksida (H2O2), disekitar luka disuntikkan ATS, pemberiaan
antibiotika dapat dilakukan untuk membunuh bakterinya, pernafasan buatan atau
oksigen dan trachcostomi bisa diberikan bila diperlukan.(3)
Antibiotika
Pemberiaan antibiotika dimaksudkan untuk menghilangkan bakteri. Dapat diberikan
penisilin dengan dosis 1,2juta unit / hari selama 10 hari intramuskular, dosis pada
5
anak-anak 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam intramuskular diberikan selama 7-10 hari.(2)(6)
Jika penisilin menunjukkan efek antagonis terhadap GABA, dapat diberikan
metronidazol dengan dosis 500 mg tiap 6 jam atau 1 gr setiap 12 jam. Bila pasien
alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin, tetrasiklin, klorafenikol dan
klidamisin.(3)
Antitoksin
Antitoksin diberikan dengan maksud untuk menghilangkan efek toksin yang beredar
di dalam tubuh. Immunoglobulin tetanus manusia (TIG) segera diberikan dengan
dosis 3000-6000 unit intramuscular.(2)(3)(6) Antitoksin dari hewan dapat diberikan jika
tidak ada TIG dengan dosis 2000 unit dicampur dengan 200 cc NaCl fisiologis
intravena dan 2000 unit secara intramuskular pada daerah sebelah luar.(2)(6)
Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) pertama kali diberikan secara intramuskular
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda. Tetanus
toksoid harus dilanjutkan pemberiaannya sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai diberikan.( 2)(6)
Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan untuk menghilangkan kejang klonik yang hebat, muskular
dan laryngeal spasme beserta komplikasinya.(6)
JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Stupor, Koma
Berat badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50-100 mg/ 4 jam (IM) depresi pernapasan
Sumber :Tetanus Dr. KIKING RITARWAN
6
7. PENCEGAHAN
Seorang pasien tetanus yang sudah sembuh kemungkinan dapat terinfeksi lagi jika
terpapar bakteri untuk kedua kalinya karena toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak
mampu merangsang tubuh untuk membuat antitoksinnya.(6) Untuk itu diperlukan
pemberiaan vaksinasi toksoid baik pada pasien maupun intividu sehat. Imunisasi
dapat diberikan sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif( DPT atau DT ). Selain itu jika terjadi luka hendaknya dirawat dengan baik
untuk mencegah infeksi bakteri C. tetani.(2)(3)(6)
8. PROGNOSIS
Angka kematian akibat tetanus masih tinggi di negara berkembang. Tetapi dengan
penanganan ICU yang baik angka kematian dapat dikurangi.(3) Masa inkubasi, onset,
dan umur pasien merupakan indikator penting untuk menentukan prognosis pasien.
Pasien tetanus dengan gejala trismus dan spasme otot ringan biasanya sembuh dengan
baik. Pasien dengan trismus, dhyspagia, kejang, dan spasme otot intermiten biasanya
prognosisnya lumayan baik. Sedangkan prognosisnya buruk terjadi bila pasien
dengan konvulsi dan terjadinya gagal napas.(7)
RINGKASAN
Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang menghasilkan 2
eksotosin yaitu tetanospamin bersifat neurotoksik dan tetanolisin merupakan toksin
yang dapat merusak jaringan yang masih hidup . Tetanus terjadi secara sporadis dan
menimpa individu yang mempunyai sistem imun yang lemah, individu dengan
imunitas parsial, dan bahkan individu yang imunitasnya normal akan tetapi gagal
mempertahankan sistem imun tubuhnya. Penyakit tetanus terjadi melalui kontaminasi
luka, baik luka terbuka, luka bakar, luka bekas operasi dan pada bayi dapat melalui
tali pusar. Secara umum masa inkubasi dari infeksi bakteri C. tetani 4-10 hari tetapi
bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ).
7
Penyakit ini khas ditandai dengan adanya tonik pada otot, yang biasanya dimulai dari
daerah sekitar perlukaan. Tetanus dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu tetanus
generalisata, tetanus neonatrum, tetanus lokal dan tetanus sefalik. Untuk
mendiagnosis tetanus dapat dilihat dari gejala-gejala klinis yang khas terjadi. Terapi
dilakukan untuk menghilangkan organismenya agar tidak mengeluarkan toksin lebih
lanjut, menghilangkan toksin yang ada dalam tubuh, dan menghilangkan efek toksin
yang telah terikat pada sistem saraf pusat. Dalam terapi dapat diberikan antibiotika,
antitoksin, tetanus toksoid, dan antikonvulsan. Untuk mencegah penyakit tetanus
diperlukan pemberiaan vaksinasi toksoid baik pada pasien maupun intividu sehat.
Angka kematian akibat tetanus masih tinggi di negara berkembang. Tetapi dengan
penanganan ICU yang baik angka kematian dapat dikurangi
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. 2008. CLOSTRIDIUM TETANI. http://www.tiberias.or.id/main.php?id=49. Diakses tanggal 26 November 2009
2. Arditayasa, I Wayan. 2008. CLOSTRIDIUM TETANI. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa-078114135.pdf. diakses tanggal 26 November 2009
8
3. Aru W. Sudoyo, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteran Universitas Indonesia
4. Cook, Protheroe & Handel. 2001. Tetanus: a review of the literature. Br J Anaesth 2001;87: 177 87
5. Ratihrochmat. 2008. TETANUS. http://ratihrochmat.wordpress.com/2008/06/. Diakses tanggal 26 November 2009
6. Ritarwan, Kiking. 2008. Penyakit Saraf.
http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf. diakses tanggal 26
November 2009
7. Sherwood L. Gorbach, MD, et al. 2004. Infectious Disease Third Edition. USA: Lippincott William and Wilkins
9