Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

36
1 TENTIR MODUL INFEKSI IMUNOLOGI 2012 Sumatif I – part I T-02 Immunologi Dasar Fitriana Nur Rahmawati T-03 Reaksi Hipersensitivitas Oviliani Wijayanti T-04 Farmakologi Hipersensitivitas Nila Purnama Sari T-06 Patogenesis Bakteri & Jamur Ayesya Nasta Lestari T-08 Pemeriksaan Mikrobiologi Zahra Suhardi T-11 Immunom0dulator & Antipiretik Lutfie T-12 Patogenesis Demam Evan Regar T-14 Pendekatan Klinis Demam Johny Bayu Fitantra T-02 IMUNOLOGI DASAR Selamat datang di kuliah pertama modul infeksi dan imunologi. Akhirnya setelah bermodul- modul, kuliah pertamanya bukan lagi kuliah anatomi :P. Tapi kuliah ini ga kalah penting lho, judulnya aja basic immunology, penting banget ni sebagai dasar buat memahami kuliah- kuliah imun berikutnya. Semangat semuanya! >_< ORGAN DAN JARINGAN LIMFATIK Di tubuh kita terdapat berbagai jaringan dan organ limfatik yang bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok: primer dan sekunder. Organ limfatik primer merupakan lokasi pembelahan stem cell menjadi sel imun dan tempat evolusi mereka menjadi sel yang imunokompeten. Yang tergolong ke dalam organ limfatik primer adalah sumsum tulang merah (di tulang pipih dan epifisis tulang panjang) dan timus. Stem cell di sumsum tulang merah akan berdiferensiasi menjadi sel B yang imunokompeten dan pre-sel T. Si pre-sel T ini harus bermigrasi dulu ke timus supaya bisa jadi imunokompeten kayak sel B. Sedangkan organ limfatik sekunder adalah lokasi di mana respon imun terjadi, contohnya adalah nodus limfa, limpa, dan MALT (Mucosa Associated Lymphoid Tissues). Kedua jenis organ limfatik tersebut berperan penting dalam menimbulkan respon imun apabila terdapat paparan antigen. RESPON IMUN Respon imun secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu respon imun bawaan dan adaptif. Respon tersebut merupakan pertahanan tubuh kita untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan dan penyakit. Imunitas Bawaan (Innate Imunity) Pertahanan pertama dari imunitas bawaan ini terdiri dari hambatan fisik dan kimia eksternal yang diperankan oleh kulit dan membrane mukosa. Tapi kalo pertahanan ini berhasil ditembus imunitas bawaan masih punya pertahanan kedua yaitu imunitas seluler yang terdiri dari fagosit (PMN&MN) dan sel NK serta imunitas humoral yang terdiri dari komplemen dan sitokin. Cara yang digunakan oleh pertahanan kedua ini dalam membasmi antigen-antigen adalah dengan fagositosis dan inflamasi. 1. Imunitas Seluler a. Sel NK Sekitar 5-10% limfosit di darah merupakan sel NK (Natural Killer). Selain itu sel ini juga terdapat di limpa, nodus limfa, dan sumsum tulang merah. Dilihat dari namanya

Transcript of Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

Page 1: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

1

TENTIR MODUL INFEKSI IMUNOLOGI 2012

Sumatif I – part I

T-02 Immunologi Dasar

Fitriana Nur Rahmawati

T-03 Reaksi Hipersensitivitas

Oviliani Wijayanti

T-04 Farmakologi

Hipersensitivitas

Nila Purnama Sari

T-06 Patogenesis Bakteri & Jamur

Ayesya Nasta Lestari

T-08 Pemeriksaan Mikrobiologi

Zahra Suhardi

T-11 Immunom0dulator &

Antipiretik

Lutfie

T-12 Patogenesis Demam

Evan Regar

T-14 Pendekatan Klinis Demam

Johny Bayu Fitantra

T-02 IMUNOLOGI DASAR

Selamat datang di kuliah pertama modul infeksi dan imunologi. Akhirnya setelah bermodul-

modul, kuliah pertamanya bukan lagi kuliah anatomi :P. Tapi kuliah ini ga kalah penting lho,

judulnya aja basic immunology, penting banget ni sebagai dasar buat memahami kuliah-

kuliah imun berikutnya. Semangat semuanya! >_<

ORGAN DAN JARINGAN LIMFATIK

Di tubuh kita terdapat berbagai jaringan dan organ limfatik yang bisa kita klasifikasikan

menjadi dua kelompok: primer dan sekunder. Organ limfatik primer merupakan lokasi

pembelahan stem cell menjadi sel imun dan tempat evolusi mereka menjadi sel yang

imunokompeten. Yang tergolong ke dalam organ limfatik primer adalah sumsum tulang

merah (di tulang pipih dan epifisis tulang panjang) dan timus. Stem cell di sumsum tulang

merah akan berdiferensiasi menjadi sel B yang imunokompeten dan pre-sel T. Si pre-sel T

ini harus bermigrasi dulu ke timus supaya bisa jadi imunokompeten kayak sel B. Sedangkan

organ limfatik sekunder adalah lokasi di mana respon imun terjadi, contohnya adalah nodus

limfa, limpa, dan MALT (Mucosa Associated Lymphoid Tissues). Kedua jenis organ limfatik

tersebut berperan penting dalam menimbulkan respon imun apabila terdapat paparan

antigen.

RESPON IMUN

Respon imun secara garis

besar dibagi menjadi dua

yaitu respon imun bawaan

dan adaptif. Respon tersebut

merupakan pertahanan

tubuh kita untuk mencegah

terjadinya kerusakan

jaringan dan penyakit.

Imunitas Bawaan (Innate Imunity)

Pertahanan pertama dari imunitas bawaan ini terdiri dari hambatan fisik dan kimia eksternal

yang diperankan oleh kulit dan membrane mukosa. Tapi kalo pertahanan ini berhasil

ditembus imunitas bawaan masih punya pertahanan kedua yaitu imunitas seluler yang

terdiri dari fagosit (PMN&MN) dan sel NK serta imunitas humoral yang terdiri dari

komplemen dan sitokin. Cara yang digunakan oleh pertahanan kedua ini dalam membasmi

antigen-antigen adalah dengan fagositosis dan inflamasi.

1. Imunitas Seluler

a. Sel NK

Sekitar 5-10% limfosit di darah merupakan sel NK (Natural Killer). Selain itu sel ini

juga terdapat di limpa, nodus limfa, dan sumsum tulang merah. Dilihat dari namanya

Page 2: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

2

juga udah ketahuan lah ya kalo sel ini bisa membunuh berbagai sel yang terinfeksi

bahkan juga sel tumor. Kerja dari sel NK berbeda apabila berhadapan dengan virus

dan mikroba. Ketika berhadapan dengan virus, ikatan antara sel NK dan sel targetnya

menyebabkan pelepasan granul yang berisi substansi toksik seperti perforin dan

granzyme. Perforin ini akan diinsersi ke membrane plasma sel target, terjadi perforasi

dan akhirnya lisis deh tu si selnya. Kalau granzyme kerjanya membuat si sel target

menjadi apoptosis. Apabila berhadapan dengan mikroba (sebelumnya si mikroba

harus ditangkep dulu sama makrofag), ikatan sel NK dengan makrofag menyebabkan

pelepasan IL-12. IL-12 ini akan menstimulasi sel NK untuk mengeluarkan IFN-γ yang

akhirnya membuat makrofag baru mau bekerja untuk membunuh mikroba yang sudah

terfagositosis.

Aksi sel NK dalam menghadapi virus (kiri) dan mikroba (kanan)

b. Fagositosis

Fagositosis adalah proses memakan mikroba atau partikel lain yang diperankan

oleh sel fagosit yaitu netrofil dan makrofag. Proses ini terdiri dari tiga langkah:

1) Rekruitmen dari leukosit ke tempat infeksi

Makrofag jaringan yang memfagosit mikroba akan berusaha memanggil bala

bantuan fagosit lain di dalam darah dengan cara mengeluarkan TNF dan IL-1.

Sitokin-sitokin tersebut akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi di endotel.

2) Pengenalan mikroba oleh fagosit

3) Proses fagositosis serta pembunuhan mikroba secara intraseluler

2. Imunitas Humoral

a. Komplemen

Sistem komplemen disusun dari kurang lebih 30 protein yang diproduksi di hati

dan ditemukan di darah serta jaringan di seluruh tubuh. Protein-protein ini dinamai

dengan protein C1 sampai C9. Seluruh protein ini awalnya inaktif dan baru aktif ketika

dibelah oleh enzim tertentu menjadi fragmen a dan b. Aktivasi ini bersifat kaskade

artinya satu reaksi akan memicu reaksi lainnya. Selain protein C tadi, ada juga protein

komplemen lain yang dinamakan faktor B, D, dan P.

Page 3: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

3

Aktivasi komplemen terjadi melalui tiga jalur:

1) Jalur Klasik

Dimulai ketika antibody berikatan dengan antigen, kompleks ini lalu mengikat dan

mangaktivasi C1. Secara langsung C3 ikut teraktivasi dan fragmen C3 akan

menginisiasi fagositosis, sitolisis, dan inflamasi.

2) Jalur Alternatif

Jalur ini tidak melibatkan antibodi, diinisiasi oleh interaksi kompleks lipid dan

karbohidrat di permukaan mikroba dan protein komplemen faktor B, D dan P.

Interaksi ini akan mengaktifkan C3.

3) Jalur Lectin

Pada jalur ini makrofag yang memakan mikroba akan melepaskan lektin yang

nantinya berikatan dengan mannose pada permukaan mikroba sehingga terjadi

aktivasi C3.

Inti dari ketiga jalur di atas kan mengaktivasi C3, nah setelah C3 ini teraktivasi secara

otomatis akan terjadi reaksi kaskade yang berujung pada fagositosis, sitolisis, dan

inflamasi.

1) C3 membelah menjadi C3a dan C3B

2) C3b berikatan dengan permukaan mikroba dan reseptor pada fagosit akan lebih

mudah mengenali serta menempel pada C3b. Proses ini disebut dengan

opsonisasi sehingga memudahkan terjadinya fagositosis.

3) C3b juga menginisiasi reaksi lainnya yang menyebabkan sitolisis. Pertama, C3b

membelah C5, lalu fragmen C5b berikatan dengan C6 dan C7 yang menempel

pada membrane plasma mikroba. Setelah itu C8 dan C9 juga ikut berikatan dan

bersama-sama membentuk

membrane attack complex.

Membran ini akan membuat kanal di

membrane plasma sehingga terjadi

sitolisis karena cairan ekstraseluler

masuk ke dalam sel mikroba.

4) Daritadi kita bahas yang fragmen b

mulu ni, fragmen a nya ke mana??

Ternyata baik fragmen C3a maupun

C5a sama-sama berikatan dengan

sel mast dan memicu pengeluaran

histamine. Histamin ini

meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah selama inflamasi.

C5a juga menarik fagosit ke tempat

terjadinya inflamasi (kemotaksis).

Gambar di bawah ini sebenernya sama aja, cuma lebih memperjelas gimana cara kerja

komplemen :

b. Sitokin

Dari gambar di sebelah sebenernya

udah cukup jelas sitokin-sitokin apa saja

yang berperan dalam imunitas bawaan:

1) IL-12 dikeluarkan oleh makrofag

dan memicu sel NK mengeluarkan

IFN-γ.

2) IFN-γ dikeluarkan sel NK dan

memicu aktivasi makrofag

3) TNF, IL-1 dan kemokin dikeluarkan

oleh makrofag dan memicu

rekruitmen neutrofil.

Page 4: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

4

IMUNITAS DIDAPAT (ADAPTIVE IMMUNITY)

Imunitas didapat merupakan kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap agen

invasive yang spesifik seperti bakteri, toksin, virus, dan benda asing. Substansi yang

dikenali sebagai sesuatu yang asing dan memicu respon imun disebut dengan antigen.

Imunitas didapat memiliki dua sifat yang membedakannya dari imunitas bawaan:

1. Spesifisitas untuk antigen termasuk juga kemampuan membedakan molekul diri

sendiri dan molekul asing.

2. Memori untuk antigen yang sebelumnya dihadapi sehingga saat antigen yang sama

menyerang, sistem imun ini akan menghadapinya dengan lebih cepat dan hebat.

Sama seperti imunitas bawaan, komponen imunitas didapat juga terdiri dari imunitas seluler

(sel T dan B) dan imunitas humoral (antibodi dan sitokin). Inget kan supaya bisa tumbuh

dewasa dan matang sel T harus keluar dulu dari sumsum tulang merah dan pergi ke timus.

Nah di timus inilah akan terjadi proses maturasi sehingga sel T bisa berubah menjadi

imunokompeten. Terdapat dua tipe sel T yang sudah matur yaitu sel T helper (sel T CD4)

dan sel T sitotoksik (sel T CD8).

Seleksi Klonal

Antigen yang masuk ke dalam tubuh biasanya akan berduplikasi sehingga jumlahnya

banyak sekali di dalam tubuh bahkan melebihi jumlah sel T dan B. Lalu bagaimana tentara-

tentara tubuh kita ini bisa menghadapi serangan antigen yang begitu banyak?? Jawabannya

adalah seleksi klonal yaitu suatu proses di mana limfosit berploriferasi dan berdiferensiasi

sebagai respon paparan antigen spesifik. Seleksi klonal ini terjadi di organ dan jaringan

limfatik sekunder makanya sewaktu kita sakit biasanya nodus limfa atau tonsil kita akan

membesar. Limfosit yang mengalami seleksi klonal ini nantinya akan membentuk dua

macam sel yaitu sel efektor dan sel memori. Sel efektor adalah sel yang berperang secara

langsung melawan antigen contohnya sel T helper aktif, sel T sitotoksik aktif, dan sel

plasma. Sedangkan sel memori ga berperan aktif dalam perang, tapi kalau antigen yang

sama masuk lagi ke tubuh dia bisa memicu respon yang lebih kuat dari invasi yang

pertama, contohnya sel T helper memori, sel T sitotoksik memori, dan sel B memori.

Antigen, Immunogen dan Hapten

Hmm kalau antigen sih pasti semua udah sering denger, tapi kok ada immunogen dan

hapten segala ya?? Jadi, antigen (antibody generator) adalah suatu molekul biologis (gula,

lipid, hormone) dalam bentuk makromolekul (protein, polisakarida, fosfolipid) yang

berikatan secara spesifik dengan antibody dan reseptor sel T. Kalau immunogen itu suatu

substansi makromolekul yang menstimulasi sel B untuk menghasilkan antibody spesifik.

Sedangkan hapten adalah suatu molekul kecil yang berikatan dengan makromolekul

(sebagai karier) sehingga nantinya dia bisa bersifat sebagai immunogen.

Antigen memiliki dua ciri penting yaitu immunogenisitas dan reaktivitas.

Immunogenisitas artinya kemampuan untuk memicu respon imun. Sedangkan reaktivitas

adalah kemampuan antigen bereaksi secara spesifik dengan antibody atau sel yang

dipicunya. Kalau antigen punya dua ciri di atas dia disebut dengan antigen yang komplit.

Sebenarnya tidak semua bagian dari antigen itu memicu respon imun, namun hanya

sebagian kecil bagian saja yang disebut dengan epitop.

Major Hisocompatibility Complex Antigens

MHC (Human Leukocyte Antigen/HLA) ini merupakan antigen yang berasal dari tubuh kita

sendiri, letaknya ada di membrane plasma semua sel (kecuali eritrosit) dan berbeda pada

setiap orang (kecuali kembar identik). Lalu buat apa tubuh kita memproduksi antigen?

Ternyata MHC ini diproduksi untuk membantu sel T mengenali antigen asing. Terdapat dua

tipe MHC, yaitu MHC I yang ada di semua sel kecuali eritrosit dan MHC II yang muncul

pada antigen precenting cells (APC).

Page 5: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

5

Jalur Pemrosesan Antigen

Ternyata proses pengenalan sel B dan sel T terhadap antigen itu berbeda. Sel B hanya bisa

mengenali dan mengikat antigen di limfa, cairan interstisial dan plasma darah (di luar sel).

Sedangkan sel T justru hanya bisa mengenali fragmen protein antigen yang telah diproses

dan dipresentasikan oleh MHC (di dalam sel).

Proses antigen eksogen

Antigen asing yang berada di luar sel disebut dengan antigen eksogen, misalnya bakteri,

toxin bakteri, parasit, cacing, pollen yang terhirup, debu, virus yang belum mengifeksi

badan sel. Antigen eksogen ini nantinya akan dipresentasikan oleh sel bernama antigen

presenting cell (APC). APC terdiri dari sel dendritik, makrofag, dan sel B. APC tersebut

biasanya bertugas di daerah-daerah rawan tempat masuknya antigen sepertii epidermis dan

dermis kulit (Langerhans), membran mukosa di traktus respiratori, gastrointestinal, traktus

urinari, traktus reproduksi, dan nodus limfa. Setelah APC ini bertemu dan mengikat antigen,

dia akan bermigrasi dari jaringan ke nodus limfa melalui pembuluh limfatik. Proses

presentasi antigen eksogen oleh APC terdapat pada gambar di bawah:

APC lalu masuk ke jaringan limfa dan mempresentasikan antigen di dalamnya ke sel T

untuk menginformasikan ke sel T bahwa ada benda asing masuk ke dalam tubuh dan aksi

perlawanan tubuh segera dimulai.

Proses antigen endogen

Kebalikan dari antigen eksogen, antigen endogen adalah antigen asing yang berada di

dalam sel, misalnya antigen yang berasal dari protein virus yang diproduksi setelah infeksi

virus, toxin dari bakteri intraselular, atau protein abnormal yang disintesis dari sel kanker.

Page 6: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

6

Imunitas Selular

Kebanyakan sel T berada dalam bentuk inaktif dan baru aktif ketika reseptor antigen yang

berada di permukaan sel T /T-cell reseptor (TCRs), mengenali dan mengikat fragmen

antigen asing spesifik yang dipresentasikan oleh kompleks antigen-MHC. Pengenalan

antigen juga dibantu oleh protein permukaan sel T, yaitu protein CD4 atau CD8

(koreseptor). Pengenalan antigen oleh TCR dengan protein CD4 atau CD8 adalah sinyal

pertama dalam aktivasi sel T. Namun, Sel T akan teraktivasi hanya jika dia berikatan

dengan atigen asing dan pada saat yang bersamaan menerima sinyal kedua, yang dikenal

dengan proses kostimulasi. Ada lebih dari 20 kostimulator, beberapa diantaranya adalah

sitokin, seperti IL2.

Aktivasi Sel T Helper

Kebanyakan dari sel T yang mempunyai CD4

berkembang menjadi sel T helper, sehingga

dikenal dengan sel T CD4. Sel T helper yang

inaktif mengenali fragmen antigen eksogen

yang berasosiasi dengan molekul MHC II pada

permukaan APC. Melalui bantuan protein CD4,

sel T berinterakasi satu sama lainnya,

kostimulasi beralangsung, dan sel T helper

teraktivasi.

Aktivasi Sel T Sitotoksik

Untuk sel T yang memiliki CD8 akan

berkembang menjadi sel T sitotoksik, sehingga

dikenal dengan sel T CD8. Sel T sitotoksik

mengenali komplek antigen MHC I pada

permukaan dari badan sel yang terinfeksi,

beberapa sel tumor, dan sel dari jaringan

transplan. Pengenalan ini memerlukan TCR dan

protein CD8 yang mempertahankan ikatan

dengan MHC-I. Untuk mengaktifkan sel T sitotoksik membutuhkan kostimulasi oleh IL-2

atau sitokin lainnya yang diproduksi oleh sel T helper yang aktif yang telah berikatan

dengan antigen yang sama. Untuk memaksimalkan aktivasi dari sel T sitotoksik dibutuhkan

presentasi antigen dengan molekul MHC-I dan MHC-II.

Sel T sitotoksik dalam menghancurkan sel target yang telah terinfeksi melalui dua

mekanisme, yaitu :

a) Sel T sitotoksik menggunakan reseptor yang ada dipermukaannya dan mengikat sel

target yang terinfeksi yang mengandung antigen mikroba yang berada pada

permukaanya. Sel T sitotoksik mengeluarkan granzim, protein enzim yang menginisiasi

apoptosis

b) Alternatif lainnya, sel T sitotoksis

melepaskan dua protein yang berasal

dari granulnya yaitu perforin dan

granulisin. Perforin berfungsi untuk

membuat channel di membran sel

target, sehingga cairan ekstraselular

masuk ke sel target dan menyebabkan

sitolisis. Sedangkan granulisin berfungsi

untuk menghancurkan mikroba dengan

membuat lubang di membran plasma.

Imunitas Humoral

Aktivasi sel B dimulai dengan ikatan antigen

dengan reseptor sel B (BCRs). Tadi udah

dijelasin kan kalau si sel B ini bisa mengenali

dan berikatan dengan antigen yang ada di

luar sel, namun ternyata respon sel B akan

lebih dahsyat kalo si antigen tadi diproses

dulu. Proses antigen di sel B terjadi melalui

beberapa cara, yaitu antigen masuk ke

dalam sel B, dan dihancurkan menjadi fragmen peptida dan berkombinasi dengan MHC II,

dan dipindahkan ke membran plasma sel B. Sel T helper mengenali kompleks antigen-MHC

II dan membawa kostimulasi yang diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel B. Sel T

helper memproduksi IL-2 dan sitokin lainnya yang berfungsi sebagai kostimulasi untuk

mengaktivasi sel B.

Sekali teraktivasi, sel B akan membentuk colonal selection. Sebagai hasilnya adalah formasi

dari klon sel B yang terdiri dari sel plasma dan sel B memori. Sel plasma mensekresikan

antibodi. Pada beberapa hari setelah terpajan antigen, sel plasma mensekresi ratusan

sampai jutaan antibodi setiap harinya selama 4-5 hari, sampai sel plasma mati. Kebanyakan

antibodi berjalan di dalam limfa dan darah ke tempat invasi. IL-4 dan IL-6 juga

memproduksi sel T helper yang menginduksi proliferasi, diferensiasi sel B di dalam sel

plasma, dan mensekresikan antibodi oleh plasma.

Antigen yang berbeda menstimulasi sel B yang berbeda berkembang menjadi sel plasma

dan sel B memori. Semua sel B hanya bisa mensekresikan satu jenis antibodi yang sejenis

dengan reseptor antigen yang sesuai dengan respon pertama sel B. Antibodi yang

diproduksi oleh klon sel plasma masuk ke dalam sirkulasi dan membentuk kompleks

antigen-antibodi dengan antigen yang menginisiasi peroduksinya.

Page 7: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

7

Antibodi

Antibodi merupakan suatu

glikoprotein spesifik atau disebut

dengan immunoglobulin/Ig

(gamma globulin) yang

berikatan dengan antigen serta

komplemen. Kebanyakan Ig

memiliki 4 rantai polipeptida, dua

merupakan rantai berat (H) dua

lainnya merupakan rantai ringan

(L). Kedua jenis rantai ini

dihubungkan dengan rantai

disulfide (S-S). Ujung dari masing-

masing rantai merupakan area

tempat ikatan antigen (lihat

gambar), sedangkan bagian

lainnya disebut dengan bagian

konstan. Ada juga yang

dinamakan Fc receptor, bagian ini

merupakan tempat ikatan

antibody dengan reseptor. Bagian

konstan dari rantai H berbeda dari

satu kelas antibody dengan kelas

lainnya makanya kita bisa membedakan IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE.

Antibodi ini memiliki 5 fungsi antara lain:

a. Netralisasi Antigen Netralisasi toksin bakteri dan mencegah penempelan virus ke

sel.

b. Opsonisasi dan Fagositosis Mikroba Antibodi akan berikatan dengan antigen

supaya fagosit lebih mudah mengenali dan menghancurkan antigen tersebut.

c. Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity Antibodi akan menempel pada sel

yang mengekspresikan antigen di permukaannya/parasit lalu akan mengundang sel Nk

maupun eosinofil untuk membunuh sel/parasit tersebut.

Page 8: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

8

d. Aktivasi Komplemen Sama dengan fungsi komplemen yang sudah dijelaskan di

sistem imun bawaan

Sitokin

Sitokin yang banyak berperan dalam sistem imun adaptif ini antara lain IL-2, IL-4, IL-5,

IFN-γ. Untuk fungsi-fungsinya sepertinya sudah sangat dijelaskan di dalam gambar :‟)

Imunitas Bawaan dan Adaptif terhadap Virus

Pada imunitas bawaan, sel yang terinfeksi oleh virus akan mengeluarkan interferon tipe 1

(alfa dan beta). IFN tersebut akan berikatan dengan sel lain yang belum terinfeksi dan

menginduksi sintesis protein antivirus yang mengganggu replikasi virus. Selain itu sel yang

terinfeksi virus juga akan mengundang sel NK untuk dihancurkan. Pada imunitas adaptif,

proteksi sel yang belum terinfeksi terjadi melalui peran antibody (inget kan fungsi

netralisasi dari antibody). Selain itu sel yang terinfeksi juga mengundang sel sitotoksik.

Page 9: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

9

RESPON IMUN PRIMER DAN SEKUNDER

Respon imun mempunyai suatu kekhasan yaitu adanya memori terhadap antigen spesifik

yang telah memicul respon imun di masa lampau. Salah satu cara untuk mengukur memori

immunologis ini adalah dengan menggunakan titer antibody. Ketika kontak pertama dengan

antigen terdapat sedikit peningkatan titer antibody, yang pertama muncul adalah IgM dan

diikuti IgG, lalu keduanya akan menurun. Ini disebut dengan respon primer. Ketika terdapat

paparan antigen yang sama titer antibody akan naik melebihi respon primer dan terutama

tersusun oleh IgG. Respon ini disebut dengan respon sekunder.

Hwaaa akhirnya selesai jugaa… Semoga bisa membantu ya teman-teman

Daftar pustaka :

1. Slide Kuliah Imunologi Dasar

2. Tortora

[Fitriana Nur Rahmawati]

T-03 IMMUNOPATOLOGI REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Heiho! Kali ini kita akan membahas tentang reaksi hipersensitivitas. Yak, sebelum masuk ke

hipersensitivitas, mari kita review sebentar mengenai sistem imun (lebih lengkapnya ada di

Imunologi Dasar PK). Tancap!

KOMPONEN SISTEM IMUN

Sistem imun adalah prajurit pelindung tubuh kita; alias jaringan, organ, dan proses

fisiologis yang bertugas mengidentifikasi substansi asing/abnormal dan mencegah

kerusakan yang mungkin ditimbulkannya. Mekanismenya ada yang nonspesifik dan spesifik.

Komponen yang berperan dalam masing-masing mekanisme pun berbeda, walaupun bisa

overlap juga. Bersamaan dengan imunitas spesifik, terdapat fungsi memori untuk

mempersiapkan tubuh melawan reinfeksi.

Imunitas nonspesifik (natural/innate immunity) adalah pasukan siap-siaga berprinsip

“senggol-bacok”, artinya siapapun pendatang yang mencurigakan akan disosor tanpa

tedeng aling-aling. Komponennya meliputi barrier epitel, surfaktan paru, fagosit (netrofil

dan makrofag), sel dendritik, sel NK, dan sistem komplemen.

Sementara itu, imunitas spesifik (acquired/adaptive immunity) cenderung lebih jaim

pada jumpa pertama. Jika antigen datang untuk kedua kali dan seterusnya, baru ia angkat

senjata. Komponen imunitas spesifik terdiri dari limfosit dan produknya, termasuk antibodi.

Imunitas spesifik terdiri atas 2 tipe, yaitu imunitas humoral (dimediasi sel B dan antibodi,

melawan mikroba ekstraselular dan toksin) dan imunitas selular (dimediasi sel T, melawan

mikroba intraselular).

Dalam pelaksanaannya, monosit/makrofag dan sel dendritik berperan dalam imunitas

nonspesifik maupun humoral. Sel dendritik merupakan antigen-presenting cells (APC)

terpenting. Makrofag juga berperan sebagai APC, di samping peran utamanya untuk

fagositosis.

Di slide ada pula peran-peran komplemen dan antibodi. Untuk lengkapnya silakan lihat

di PK Imunologi Dasar supaya pengetahuannya lebih sistematis (karena bahasan di slide PA

hanya sekilas dan kurang lengkap).

IMUNOPATOLOGI

Ketika para prajurit imun terusik, mereka justru dapat menyerang tuannya sendiri.

Gangguan keseimbangan mekanisme imun menimbulkan kelainan, disebut imunopatologi.

Terdapat 3 kategori utama, yaitu hipersensitivitas, imunodefisiensi, dan penyakit

autoimun.

Bahasan kita kali ini, yaitu hipersensitivitas, adalah respon berlebihan dan tidak pada

tempatnya terhadap antigen spesifik setelah pajanan berulang hingga menimbulkan

kerusakan jaringan. Secara umum, hipersensitivitas disebabkan ketidakseimbangan aktivitas

efektor sistem imun dengan mekanisme kontrolnya. Baik antigen eksogen maupun endogen

dapat mencetus reaksi ini. Penyakit hipersensitivitas kerap dihubungkan dengan faktor

genetik, misalnya gen HLA.

Page 10: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

10

Terdapat 4 tipe hipersensitivitas. Berikut gambaran umumnya:

Tipe Ig/Limfosit Patogenesis Penyakit Hipersensitivitas

I IgE

IgE + antigen berikatan dengan sel Mast degranulasi

histamin relaksasi otot polos kapiler (vasodilatasi), konstriksi otot polos saluran napas (bronkokonstriksi)

Urtikaria, asma, syok

Anafilaktik

II IgG, IgM

Antibodi bereaksi dengan antigen membran aktivasi komplemen, rekruitmen leukosit lisis membran

Ketidakcocokan golongan darah (transfusi)

Sitotoksik tergantung antibody (ADCC)

III IgG, IgM

Antibodi mengikat antigen partikel larut kompleks imun

di sirkulasi deposit aktivasi komplemen, rekruitmen leukosit lisis membran

Penyakit serum, glomerulonefritis akut, SLE

Kompleks imun

IV Limfosit T

Antigen menstimulasi CD4 sitokin aktivasi CD8

aktivasi makrofag nekrosis, sebukan limfosit, histiosit (epiteloid), datia

Tes Mantoux, tuberkel

Tipe lambat

HIPERSENSITIVITAS TIPE I: Anafilaksis/alergi/immediate type

Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi cepat dalam beberapa menit setelah kontak berulang

dengan antigen tertentu. Reaksi ini dikomandani sel TH2, IgE, dan sel Mast.

Berdasarkan lokasinya:

- Sistemik: setelah injeksi alergen/sengatan lebah, dapat menimbulkan syok;

- Lokal: di jalur masuk antigen (kontak/inhalasi/digesti); menimbulkan wheal

(semacam lepuhan), urtikaria, rhinitis alergi, konjungtivitis, asma bronkial, diare,

atau gastroenteritis alergi.

Patogenesis hipersensitivitas tipe I adalah sebagai berikut. Saat pajanan pertama, alergen

dipresentasikan oleh sel dendritik kepada sel T helper CD4 naif (sel perawan yang belum

tersensitisasi). Sel T helper kemudian menghasilkan sitokin IL-4 dan berdiferensiasi menjadi

sel TH2. Sel TH2 kemudian menghasilkan sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13 dengan fungsi sbb:

- IL-4 merangsang sel B untuk menghasilkan IgE dan mendukung proliferasi lebih

banyak sel TH2;

- IL-5 mengaktifkan eosinofil;

- IL-13 meningkatkan produksi IgE dan menstimulasi sel epitel untuk menyekresi

mukus.

Sel Mast dan basofil (terutama sel Mast) memiliki reseptor FcεRI yang berafinitas tinggi

terhadap porsi Fc IgE. IgE yang diproduksi massal tadi akan melekat pada permukaan sel

Mast. Antigen multivalen berikatan dengan beberapa IgE di sekitarnya, membentuk ikatan

silang (crosslink) antarreseptor. Ikatan ini mencetus transduksi sinyal, memicu perubahan

stabilitas membran, degranulasi mediator, serta pembentukan mediator baru oleh sel Mast.

Mediator yang berperan meliputi:

- Primer (preformed mediator

yang tersimpan dalam granul

sel Mast)

o Amin vasoaktif,

khususnya histamin.

Berefek kontraksi otot

polos, peningkatan

permeabilitas vaskular,

dan peningkatan produksi

mukus;

o Enzim, meliputi protease

netral (kimase, triptase)

dan hidrolase asam.

Menyebabkan kerusakan

jaringan, produksi kinin,

dan aktivasi komplemen;

o Proteoglikan, meliputi

heparin dan kondroitin

sulfat. Berfungsi

menyimpan amin ke

dalam granul.

o Agen kemotaktik,

meliputi eosinophil

chemotactic factor (ECF)

dan neutrophil

chemotactic factor (NCF).

- Sekunder (dipicu aktivasi

fosfolipase A2 dalam kaskade

asam arakidonat)

o Leukotrien. LC4, dan LD4 sebagai agen vasoaktif dan spasmogenik poten, LB4

sebagai agen kemotaktik untuk netrofil, eosinofil, monosit;

o Prostaglandin D, mediator yang paling banyak diproduksi. Menyebabkan

bronkospasme dan peningkatan sekresi mukus;

o Platelet-activating factor (PAF), menyebabkan agregasi platelet, pelepasan

histamin, bronkospasme, peningkatan permeabilitas vaskular, vasodilatasi,

Page 11: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

11

rekruitmen netrofil dan eosinofil, juga dalam kadar tinggi mengaktifkan sel radang.

Produksi PAF diinduksi fosfolipase A, tetapi PAF bukan produk metabolisme asam

arakidonat.

Efek-efek mediator di atas terangkum dalam gambar berikut:

Reaksi hipersensitivitas tipe I dibagi menjadi 2 fase, yaitu:

- Reaksi awal/cepat, terjadi dalam 5-30 menit setelah pajanan dan menghilang

dalam 60 menit. Ditandai vasodilatasi, kebocoran vaskular, sekresi glandular, dan

spasme otot polos. IgE meningkat tajam kemudian turun;

- Reaksi lanjut, terjadi 2-24 jam kemudian dan dapat membutuhkan berhari-hari

untuk pulih. Ditandai infiltrasi eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4+,

serta kerusakan jaringan (biasanya epitel mukosa). IgE yang sempat turun di akhir

reaksi awal meningkat lagi, tetapi tidak sebanyak reaksi awal.

Reaksi hipersensitivitas tipe I inilah yang berperan dalam alergi terhadap tungau debu,

makanan, dan sebagainya.

HIPERSENSITIVITAS TIPE II: Antibody-mediated type

Reaksi hipersensitivitas tipe II merupakan reaksi antibodi terhadap antigen di permukaan

sel/jaringan. Antibodi yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini adalah IgG dan IgM.

Antigen dapat agen intrinsik (komponen membran sel/matriks) ataupun ekstrinsik

(misalnya metabolit obat yang diadsorbsi membran sel/matriks).

Ada 3 mekanisme terjadinya kerusakan jaringan/disfungsi selular dalam reaksi

hipersensitivitas tipe II, yaitu:

- Complement-dependent reaction. Mekanisme dasarnya adalah opsonisasi dan

fagositosis. Opsonisasi (pembungkusan mikroba oleh protein imun untuk memudahkan

fagosit mengenalinya) diperantarai IgG. Fagosit (netrofil, monosit) memiliki FcγRI,

reseptor berafinitas tinggi terhadap porsi Fcγ dari IgG. Selain itu, IgM dan IgG pada

permukaan sel mengaktivasi sistem komplemen, khususnya C3 dan C4, via jalur klasik.

Produk aktivasi ini, terutama C3b, juga merupakan opsonin. Pengenalan opsonin ini

menginduksi fagositosis. Ditambah lagi, aktivasi komplemen membentuk membrane

attack complex yang merusak integritas membran dwilapis lipid sehingga menyebabkan

lisis osmotik sel. Contoh penyakitnya antara lain reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis,

anemia hemolitik autoimun, purpura trombositopenik, dan reaksi obat.

Page 12: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

12

- Antibody-dependent cytotoxicity (ADCC) diperantarai oleh sel NK, di samping

efektor lain seperti monosit, netrofil, dan eosinofil. ADCC berperan terhadap antigen

besar seperti parasit, tumor solid, dan cangkokan/transplantasi. Sel-sel efektor,

khususnya sel NK, memiliki reseptor CD16 untuk mengikat domain Cγ2 dan Cγ3 porsi

Fc IgG. Lisis sel terjadi tanpa fagositosis.

- Anti-receptor antibody. Yang satu ini cukup unik karena menyebabkan disfungsi

selular tanpa kerusakan struktural. Contohnya dapat kita lihat dalam miastenia gravis

dan penyakit Graves. Pada miastenia gravis, antibodi antireseptor asetilkolin

menghambat transmisi neuromuskular sehingga menyebabkan kelemahan otot. Pada

penyakit Graves, antibodi antireseptor TSH menghambat pengikatan TSH pada

reseptornya sekaligus menginduksi sel epitel kelenjar tiroid sehingga mengakibatkan

hipertiroidisme.

Jika antibodi terdeposisi di jaringan tetap (bukan di sel) seperti membran basal atau matriks

ekstraselular, terjadi inflamasi yang menyebabkan cedera jaringan. Deposit antibodi

mengaktifkan sistem komplemen, yang lalu menghasilkan:

- Agen kemotaktik (terutama C5a) rekruitmen leukosit pelepasan substansi

proinflamasi (prostaglandin, agen kemotaktik, peptida vasodilator) dan enzim

lisosomal (protease, ROS) inflamasi dan cedera jaringan;

- Anafilatoksin (C3a, C5a), berperan meningkatkan permeabilitas vaskular.

Penyakit yang didasari inflamasi ini antara lain glomerulonefritis (sindrom Goodpasture).

HIPERSENSITIVITAS TIPE III: Immune complex-mediated

Hipersensitivitas tipe III adalah reaksi oleh kompleks imun yang mengaktivasi komplemen

dan mediator dalam serum sehingga merusak jaringan. Pelakunya adalah IgG dan IgM yang

berikatan dengan antigen di sirkulasi, membentuk kompleks imun.

Berdasarkan lokasinya, kompleks imun digolongkan menjadi:

- Bersirkulasi. Kompleks imun berenang-renang dalam pembuluh darah dan

cenderung tidak menimbulkan efek;

- Terdeposit. Kompleks imun terdeposit di dinding pembuluh darah jaringan. Kalau

yang ini efeknya jelas, antara lain vaskulitis, nekrosis fibrinoid, dan infiltrasi sel

radang.

Reaksi hipersensitivitas tipe III dapat berlangsung lokal maupun sistemik. Reaksi lokal

(Arthus) menimbulkan area nekrosis jaringan terlokalisasi, umumnya di kulit. Contohnya

dapat dilihat ketika antigen disuntikkan secara intrakutan kepada pejamu yang telah

tersensitisasi. Antigen akan berdifusi ke dinding vaskular lokal dan diikat antibodi.

Presipitasi ini memicu timbulnya nekrosis fibrinoid dan trombosis yang dapat berujung pada

iskemi lokal.

Sementara itu, patogenesis reaksi sistemik terbagi menjadi 3 tahap sebagai berikut:

- Pembentukan kompleks imun. Sekitar 1 minggu setelah antigen masuk,

terbentuk antibodi spesifik yang lalu dilepaskan ke sirkulasi. Antibodi berikatan

dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks imun;

- Deposisi kompleks imun. Predileksinya antara lain glomerulus, sinovial, pleksus

koroid, dan korpus siliaris. Kalau dilihat, semua lokasi tersebut mengandung banyak

kapiler dan terjadi filtrasi plasma untuk menghasilkan cairan. Dengan demikian,

kompleks imun pun mudah “tersangkut” di dinding vaskular. Saat kadar antigen dan

antibodi mencapai titik imbang dalam sirkulasi, presipitasi kompleks imun mencapai

puncak. Deposisi dipengaruhi pula oleh berbagai faktor lain, di antaranya ukuran

kompleks imun, muatan elektrik, afinitas jaringan, dan faktor hemodinamik.

- Kerusakan jaringan. Sekitar 10 hari setelah antigen masuk, muncul reaksi radang

akut yang ditandai demam, urtikaria, arthralgia, pembesaran nodus limfe, dan

proteinuria. Secara patologi anatomis, ditemukan vasodilatasi, edema, dan nekrosis

yang didalangi komplotan fagosit, platelet, komplemen, dan faktor Hageman (faktor

XII dalam kaskade pembekuan darah).

Contohnya paling jelas terlihat pada penyakit serum akut.

Reaksi hipersensitivitas tipe III dibedakan menjadi bentuk akut jika disebabkan pajanan

antigen tunggal dalam dosis besar (misalnya pada penyakit serum akut dan

glomerulonefritis pascainfeksi streptokokus) serta kronik jika disebabkan pajanan antigen

berulang/berkepanjangan (misalnya pada SLE).

Page 13: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

13

Membran basal glomerulus tampaknya merupakan lokasi favorit. Ayo kita tengok apa saja

yang bisa terjadi di sini:

Kalau kita lihat, antigen yang nantinya diikat antibodi itu bisa berasal dari jaringan sendiri

(contohnya pada sindrom Goodpasture), membentuk sistem imun dulu di sirkulasi baru

tersangkut, atau nancep di jaringan dulu baru diikat. Penyakit yang melibatkan glomerulus

dan dibahas di slide adalah glomerulonefritis akut (GNA) pascastreptokokal. Biasanya terjadi

1-3 minggu pascainfeksi streptokokus β-hemolitik golongan A subtipe 1 dan 4 pada anak-

anak. Pemeriksaan serum ASTO (antistreptolisin titer O) meningkat, sedangkan kadar C3

menurun karena sudah banyak diaktivasi oleh kompleks imun menjadi C3a dan C3b.

HIPERSENSITIVITAS TIPE IV: Delayed/Cellular

Yeah, akhirnya sampai ke bahasan terakhir! Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi oleh sel T

tersensitisasi yang kemudian menyekresikan mediator hingga menimbulkan kerusakan

jaringan. Dari definisinya, jelaslah bahwa tersangka tunggalnya adalah limfosit T.

Limfosit T ini ternyata aktor bermuka 2, bisa menjadi helper maupun killer. Yang lebih

sering tampil adalah sel T helper (CD4+) yang menganut asas “tut wuri handayani”, alias

membantu pembunuhan dari belakang dengan mempersenjatai fagosit. Sel T CD4+ kerap

menjadi penyebab penyakit inflamasi kronik. Sementara itu, sel T sitotoksik (CD8+) lebih

frontal dan membunuh dengan kekuatan sendiri. Korbannya biasanya adalah sel terinfeksi

virus atau sel tumor.

Reaksi sel T CD4+ menginduksi delayed-type hypersensitivity (DTH) dan inflamasi

imun. Pelakunya adalah duo sel TH1 dan TH17. Kronologi kejadiannya adalah sebagai

berikut:

- Pertemuan pertama: sel T CD4+ naïf mengenali peptida antigen yang

dipresentasikan sel dendritik (APC) dan menghasilkan IL-2 untuk memproliferasi sel

T. Sitokin yang dihasilkan APC menentukan arah diferensiasi sel TH. IL-12

menginduksi diferensiasi menjadi TH1 dan IFN-γ membantu perkembangannya. IL-1,

IL-6, dan IL-23 berkerja sama dengan TNF-β (diproduksi banyak jenis sel)

menstimulasi diferensiasi menjadi sel TH17. Beberapa sel berdiferensiasi menjadi

pool sel T memori. Sampai sini hubungan sel T-antigen masih mesra.

- Pajanan berikutnya, sel T menjadi galak: sel TH1 mengenali peptida antigen dan

menyekresi sejumlah sitokin, terutama IFN-γ untuk mengaktivasi makrofag.

Makrofag ini dipersenjatai dengan kemampuan fagositosis yang meningkat, ekspresi

MHC-II yang lebih banyak, serta pengeluaran sitokin seperti TNF, IL-1, kemokin

(proinflamasi) dan IL-2 (umpan balik positif ke TH1) yang lebih poten.

- Di lain pihak, jika sel TH17 yang teraktivasi, mereka akan mendatangkan netrofil

(dan monosit) via sitokin IL-17, IL-22, dan kemokin. Pasukan leukosit ini akan

mencetus inflamasi. Di samping itu, TH17 juga menghasilkan IL-21 untuk

mengamplifikasi respon dirinya sendiri.

Secara morfologis, DTH menunjukkan gambaran akumulasi sel MN (sel T CD4+ dan

makrofag) di sekitar venula (perivascular cuffing). Pada antigen persisten (>2-3 minggu),

infiltrat perivaskular didominasi (pooling) makrofag yang dapat mengalami perubahan

morfologis menjadi sel epiteloid. Familiar? Yap, kita sedang membicarakan inflamasi

granulomatosa dengan gambaran khasnya, granuloma.

Penyakit DTH yang ngetop, apa coba? Ya, tentu saja TB. M. tuberculosis merupakan

parasit obligat intraselular dalam makrofag. Antigennya adalah dinding lipid (mikosida) yang

berperan sebagai ajuvan kuat. Ia merangsang sel T untuk menghasilkan TNF dan IFN-γ

untuk merekrut monosit ke jaringan. Monosit di jaringan (alias makrofag/histiosit) lalu

membentuk sel epiteloid dan akhirnya membentuk granuloma seperti cerita di atas.

Page 14: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

14

Lastly, kita punya reaksi sel T CD8+ yang menginduksi cell-mediated cytotoxicity.

Sel T sitotoksik yang tersensitisasi melepaskan kompleks mediator dari dalam granul.

Mediator tersebut antara lain perforin, granzim, protein serglisin, dan ligan Fas.

Perforin memfasilitasi pelesapan granzim dari kompleks. Granzim sendiri adalah protease

yang bertugas mengaktifkan kaspase sehingga menginduksi apoptosis sel target. Ligan Fas

adalah homolog TNF yang akan mengikat Fas pada sel target dan menginduksi apoptosis

juga. Di samping itu, sel T CD8+ juga menghasilkan sejumlah sitokin, terutama IFN-γ,

yang menginduksi inflamasi.

Referensi:

1. Slide kuliah Imunopatologi dr. Endang SR.

2. Robbins edisi 10.

3. Abbas edisi 5.

--oOo---oOo------oOo---oOo------oOo---oOo------oOo---oOo------oOo---oOo------oOo---oOo--

YAY selesai! Terima kasih kepada dr. Endang SR atas kuliahnya yang mencerahkan, juga

kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktunya membaca. Semoga ilmunya

bermanfaat. Mohon maaf atas semua kekurangan/kekeliruan. Ditunggu

masukan/kritik/saran/koreksinya. Semangat di station selanjutnya!

[Oviliani Wijayanti]

T-04 FARMAKOLOGI OBAT PADA REAKSI HIPERSENSITIVITAS

Kuliah yang dibawakan singkat, jelas dan padat ini sebenarnya lebih enak dihafal dengan

membaca slide, tapi bagi yang ingin penjelasan lebih lanjut silahkan membaca tentir ini.

Obat yang digunakan untuk mengatasi reaksi hipersensitvitas ini antara lain :

1. Antihistamin

2. Adrenalin

3. Glukokortikoid

4. Sodium cromoglicate & nedocromil

5. Seotonin(baik agonis maupun antigonis)

Keterangan :

I. ANTIHISTAMIN

we talk about histamine first.

Histamin didapatkan pada banyak jaringan, memiliki efek fisiologis dan patologis yang

kompleks melalui berbagai subtipe reseptor dan sering kali dilepaskan setempat, oleh

karena itu disebut juga sebagai autakoid (hormone lokal), contoh autakoid lainnya ialah

serotonin, prostaglandin, peptide endogen dan leukotrien. Pada awal abad ke 19, histamine

dapat diisolasi dari jaringan hati dan paru segar. Histamin dapat ditemukan pada berbagai

jaringan makanya diberi nama histamin(histos=jaringan).

Histamin merupakan amin biogenikketilamin, didapatkan pada tanaman maupun

jaringan hewan serta merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret sengatan

binatang. Histamin dibentuk dari asam amino L-histidin dengan cara dekarboksilasi oleh

enzim histidin dekarboksilase, dan memerlukan piridoksat fosfat sebagi kofaktor. Histamin

merupakan mediator yang penting pada :

- Reaksi alergi tipe segera(immediate hypersensitivity) dan reaksi inflamasi, sekresi asam

lambung, dan sebagai neurotransmitter dan neuromodulator.

Dimana disimpannya?

Histamin disimpan dalam bentuk terikat tidak aktif sebagai kompleks dalam granula

sekretori pada : sel mast dan basofil. Histamin non-sel mast didapatkan dari otak,

dimana histamin berfungsi sebagai neurotransmitter dalam berbagai fungsi otak

(ex:control neuroendokrin, regulasi kardiovaskular, regulasi panas, dan arousal. Hitamin

juga disimpan dan dilepaskan sel seperti enterokromafin di bagian fundus

lambung yang berfungsi untuk mengaktivasi sel parietal mukosa lambung untuk

memproduksi asam lambung. Histamin juga terdapat dalam jumlah besar di sel

epidermis dan mukosa usus.

Ada isitilah turn over (laju malih), yaitu lama waktu mulai dari pengosongan sampai

granul terisi histamin kembali. Ex: Kalau turn over nya lambat, apabila terjadi

penglepasan histamin(pengosongan) maka baru setelah beberapa minggu dapat terisi

Page 15: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

15

kembali, contohnya histamin yang disimpan dalam sel mast dan basofil tadi. Sedangkan

histamine yang disimpan di sel epidermis dan mukosa usus mempunya turn over yang

cepat.

Kapan dilepas??

Yaitu jika ada reaksi imunologi, zat kimia dan proses fisik seperti mekanik termal, termal

atau radiasi. Contoh zat kimia yang bersifat antigenik sehingga merangsang pelepasan

histamin antara lain beberapa surface active agents, ex. Deterjen, garam empedu; racun

dan endotoksin; media kontras,morfin, tubokurarin dll. Sedangkan akibat proses fisik

contohnya dapat dilihat pada cold urticaria & solar urticaria. Pada beberapa orang,

pendinginan dapat menyebabkan kemerahan lokal, flare, gatal2 dan edema.

Reseptor Histamin

Sekarang kita berbicara tentang reseptor histamin. Ada 4 tipe reseptor histamin yang

penjelasannya diringkas dalam tabel di bawah ini.

Reseptor H1,H2, dan H3 termasuk golongan G-protein couple receptor. Pada otak,

reseptor H1 dan H2 terletak pada membrane pascasinaptik dan reseptor H3 terutama

prasinaptik. Sedangkan reseptor H4 masih terus dalam penelitian.

Efek Histamin

Sistem saraf

Aktivasi H1 di ujung saraf sensoris nyeri & gatal

Aktivasi H3 di beberapa daerah di otak menghambat umpan balik pada

beberapa sistem organ, ex. Mengurangi pelepasan transmitter baik histamine,

norepinefrin, serotonin, dan asetilkolin

Kardivakular

Vasodilatasi(H1&H2) BP , kemerahan dan panas diwajah, sakit kepala.

Pada dosis tinggi hipotensi syok

Permeabilitas Kapiler (H1) permeabilitas kapiler protein dan cairan

plasma keluar ke ekstrasel edema & urtikaria

Tripel Response 3 tanda khas jika histamine disuntikkan intradermal pada

manusia red spot (bercak merah setempat), flare (kemerahan lebih terang

dengan bentuk tidak teratur dan menyebar ±1-3 cm disekitar bercak awal,

wheal (edema setempat)

Jantung kontraksi, frekuensi denyut jantung, dan automatisitas jantung

sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia.

Otot Polos

Bronkus

H1 Kontriksi, H2 dilatasi

Pada orang sehat bronkokonstriksi akibat histamin tidak begitu nyata, tapi

pada pasien asma bronchial dan penyakit paru lain efek ini sangat jelas

Otot Polos

GIT H1 Kontraksi (peristaltik usus ) diare

Otot Polos

Organ lain

Iris & traktus genitourinarius : kurang dipengaruhi

Pada uterus manusia : tidak menimbulkan efek oksitosik yang berarti

Histamin juga meningkatkan sekresi kelenjar lliur, pancreas, bronkus dan air

mata tapi umumnya efek ini lemah dan tidak tetap

Kelenjar

Eksokrin H2 sekresi asam lambung

Antihistamin

Sewaktu diketahui bahwa histamine memengaruhi banyak proses fisiologik dan

patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagoniskan efek histamine.

1. Antagonis Reseptor H1(AH1)

2 Tipe

Generasi 1 sedating mempunyai efek sedative(menyebabkan ngantuk)

Generasi 2 nonsedating tidak menyebabkan ngantuk

Page 16: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

16

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul

15-30 menit setelah pemberian oral(OOA=onset of actionwaktu yang dibutuhkan

mulai dari obat diminum sampai muncul efek yang diinginkan) ) dan mencapai kadar

maksimal setelah 1-2 jam(Tmaxwaktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar

maksimal di darah). Lama kerja obat AH1 generasi 1 setelah pemberian dosis tunggal

umumnya 4-6 jam sedangkan generasi 2 memiliki masa kerja yang lebih panjang,

sekitar 12-24 jam sehingga dapat diberikan hanya 1x/hari, ex: loratadin

(DOA=duration of action lama kerja obat). AH1 dimetabolisme terutama di hati oleh

enzim CYP3A4. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam

bentuk metabolitnya.

Indikasi

AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi, mabuk perjalan

dan kondisi lainnya, seperti terlihat pada tabel dibawah ini

Penyakit Alergi

Rinitis alergi dan Urtikaria efektif terhadap alergi yang disebabkan debu,

tetapi kurang efektif terhadap alergi yang disebabkan debu banyak dan kontak

lama(kalau kronik: lebih refrakter terhadap AH1). AH1 juga dapat digunakan

untuk pengobatan urtikaria dan angioderma, kadang2 dapat unutk dermatitis

atopik(tapi menyebabkan ngantukemang dibikin ngantuk supaya ga garuk2),

dermatitis kontak, dan gigitan seangga

Pemberian AH1 saja tidak efektif dalam mengatasi asma bronkhial . AH1

dapat mengatasi asma bronchial ringan bila diberikan sebagai profilaksis

Mabuk

Perjalanan

AH1 tertentu misalnya difenhidramin, prometazin, siklizin dan meklizin

dapat digunakan untuk mabuk perjalana udara, darat dan laut. Dahulu

digunakan skopolamin untuk mabuk perjalan berat dengan jarak dekat(kurang

dari 6 jam), tapi sekarang AH1 lebih banyak digunakan, karena efektif dengan

dosis relative kecil. Untuk mencegah mabuk perjalan sebaiknya diminum

setengah jam sebelum berangkat.

Gangguan

keseimbangan &

vertigo

AH1 efektif untuk 2/3 kasus vertigo, mual dan muntah. AH1 dapat juga

digunakan untuk mengobati meniere dan gangguan vestibular lain.

Hipnosis Efek samping hipnosis terutama oleh AH1 golongan etanolamin digunakan

untuk hipnotik.

Common cold Antagonis AH1 generasi 1 yang mempunyai efek antikolinergik lemah dapat

mengurangi rinorea

Efek Samping

Efek samping yang paling sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan pasien

yang dirawat di RS atau pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini menggangu

bagi pasien yang memerlukan kewaspadaan tinggi(ex: supir bus, pilot).Tapi obat2

seperti : Cetirizine, loratadin, desloratadine, fexofenadine, terfenadine, tidak

atau kurang menimbulkan sedasi karena sulit menembus BBB. Efek samping lain

yang mungkin timbul ialah : mulut kering, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan

berkurang,dll. Sedian antihistamin topikal dapat menyebabkan alergi. Pada

wanita hamil : obat-obat seperti hidroksizin, feksofenadin, dan

azelastinbersifat teratogenik, sedangkan yang nonteratogenik ialah:

klorfeniramin, difenhidramin, cetirizine, dan loratadin)

AH1 ternyata tidak hanya memblok reseptor histamin tapi juga reseptor

kolinergik, α-adrenergik, dan serotoin sehingga menimbulkan berbagai efek samping

seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Page 17: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

17

Interaksi Obat

Pemberian terfenadin atau astemizol dosis terapi bersama obat2 yang merupakan

inhibitor CYP3A4 seperti antifungal(ex: ketokonazol, itrakonazole) atau antibiotik

golongan makrolid (ex:eritromisin) dapat menghambat metabolisme

terfenadin/astemizol tersebut sehingga konsentrasinya dalam darah

meningkatterjadinya perpanjangan interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia

ventrikel(torsades de pointes) yang mungkin fatal. Karena interaksi yang

berbahaya tersebut ,maka terfenadin dan astemizol telah ditarik izin

pemasarannya dan digantikan dengan feksofenadin, yang merupakan hasil

karboksilasi terfenadin yang tidak toksik terhadap jantung.

Jika ingin meresepkan AH1 ini jangan lupa tanyakan apakah pasien peminum

alcohol atau tidak?? Sedang minum obat2 anxiolitik ga? hal ini penting karena

pemberian obat2 AH1 bersama dengan alcohol, obat sedative, hypnosis, dan anxiolitik

dapat menyebabkan peningkatan depresi SSP.

2. Antagonis Reseptor H2(AH2) AH2 bekerja menghambat sekresi asam lambung

dengan cara berkompetensi dengan histamin di situs berikatan dengan reseptor H2.

Burimamid dan metiamid merupakan AH2 yang pertama kali ditemukan, namun karena

toksik tidak digunakan di klinik. Dewasa ini, AH 2 yang dibukana ialah Simetidin,

Ranitidin, Famotidin, dan Nizatidin. (maaf sekali saudara2, AH2 tidak akan

dibahas lebih lanjut lg disini karena sudah pernah dipelajari di modul GI)

3. Antagonis Reseptor H3 & H4 masih dalam penelitian. Sampai saat ini belum ada

agonis maupun antagonisnya yang diizinkan untuk digunakan di klinik.

II. ADRENALIN

Adrenalin biasanya digunakan untuk pengobatan anafilaksis yang termasuk

kegawatdaruratan medisharus cepat ditangani dan tidak cukup hanya diberikan

dengan dengan antihistamin. Contoh:

- Karena pengeluaran histamin dan mediator lain(ex: serotonin dan leukotrien)

secara sistemik. Leukotrien(SRS-A) asma

- Vasodilatasi massifsyokkematian jika tidak ditangani segera

- Bronkokonstriksi asfiksia

-

Tatalaksana : kalau udah jumpa kondisi kayak gitu segera berikan Adrenalin 0,3-0,5

mg s.c

III. GLUKOKORTOKOID

Biasanya digunakan untuk reaksi hipersensitivas yang tidak berespon terhadap

AH1.

Contoh obat : Prednison, dexametasone, dll dibahas lebih lanjut di kuliah

farmako selanjutnya (K11)

IV. NATRIUM KROMOLIN & NEDOKROMIL

Salah satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara profilaksis, yaitu menghambat

produksi/pelepasan autakoid dari sel mast dan basofil yang telah disensitasi oleh

antigen spesifik.

Natrium Kromolin

Kromolin adalah obat yang dapat menghambat pelepasan histamine dari sel mast

paru dan tempat2 tertentu. Walaupun penggunaan kromolin terbatas, obat ini berharga

untuk profilaksis asma bronchial dan kasus atopic tertentu. Penggunaan utama

kromolin untuk terapi profilaksis serangan asma bronchial pada pasien asma

bronchial ringan sampai sedang. Penggunaan teratur selama lebih dari 2-3 bulan

mengurangi hiperaktivitas bronkus. Kromolin diindikasikan pula untuk rhinitis alergika

dan penyakit atopik pada mata.

Nedokromil

Struktur kimia, efek farmakodinamik dan efek sampingnya mirip kromolin.

nedokromil umumnya lebih efektif dari kromolin. Berbeda dengan kromolin yang boleh

diberikan pada semua umur yang diindikasikan untuk pasien asma yang berusia 12

tahun keatas.

V. SEROTONIN (baik Agonis maupun Antigonis)

Pada mamalia, serotonin disintesis dari triptofan dalam makanan yang mula2

mengalami hidroksilasi menjadi 5-hidroksitriptofan (5-HTP), dan kemudian mengalami

dekarboksilasi menjadi 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin).

Page 18: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

18

Reseptor 5-HT yang dikenal hingga saat ini adalah 5-HT1, 5-HT2, 5-HT3, dan 5-HT4.

Reseptor lainnya yang masih dalam penelitian adalah 5-HT5 hingga 5-HT7.

Sistem Saraf

Serotonin berfungsi sebagai neurotransmitter yang dilepaskan oleh saraf yang

tersebar luas di otak. Kadar serotonin relatif tinggi di hipotalamus dan otak tengah,

sedikit pada korteks serebri dan serebelum.

5-HT3 menimbulkan depolarisasi dengan manifestasi nyeri dan gatal, reflex

napas dan kardiovaskular

Aktivasi reseptor 5-HT pada ujung saraf vagalrefleks kemoreseptorbradikardi

& hipotensi

Aktivasi reseptor 5-HT di GIT dan pusat muntah di medulla reflex muntah

Sistem

Pernafasan Efek bronkokonstriksi lemah dan hiperventilasi

Kardivaskular

Vasokonstriksi (5-HT2) efek konstriksi arteri, vena dan venula kuat kecuali

pada otot jantung dan otot skeletal

Vasodilatasi (5-HT1) dengan cara melepaskan EDRF(endotehelium-derived

relaxing factor)&prostaglandin dari sel endotel relaksasi otot polos pembuluh

darah

Agregasi platelet5-HT2meningkatkan agregasi & mempercepat

penggumpalan darah

Respon Trifasik Tekanan darah :

Fase 1 respo kemoreseptor ↓ HR, CO, BP

Fase 2 vasokonstriksi ↑ BP

Fase 3 vasodilatasi pembuluh darah yang menyuplai otot skeletal

↓BP

Sistem GIT

Aktivasi reseptor 5-HT2 stimulasi kuat otot polos GIT ↑ tonus otot dan

persitaltik

Aktivasi reseptor 5-HT4 pada pada sistem saraf enterik efek

prokinetik(mempercepat pengosongan lambung)

Otot Skeletal Aktivasi reseptor 5-HT2 di membrane otot skleletal peran fisiologisnya belum

dipahami

Agonis dan Antagonis Serotonin

Obat yang akan dibahas kali ini hanya yang bekerja secara langsung(agonis/antagonis

reseptor serotonin). Sedangkan obat yang bekerja secara tidak langsung(bekerja pada

transporter,ex: fluoksetin, sertralin, dll) telah dibahas dalam obat2 psikotropika.

1. Agonis

Sumatriptan

Sumatriptan termasuk golongan Triptan(contoh lainnya: naratriptan, rizatriptan,

zolmitriptin), merupakan agonis reseptor 5-HT 1B/1D. Sumatriptan merupakan

obat golongan triptan yang pertama dikembangkan sebagai obat migren. Aktivasi

antimigren obat2 golongan triptan diduga berdasarkan efek vasokonstriksi

pembuluh darah kranial yang mengalami dilatasi sewaktu serangan dan

penghambat inflamasi neurogenik di duramater. Efek samping : parestesia,

asthenia, fatigue, flushing, nyeri di dada, leher dan rahang, mengantuk, pusing,

mual, dan berkeringat.

Tegaserod

Tegaserod merupakan agonis reseptor 5-HT4. Indikasi : pengobatan pada wanita

dengan IBS(irritable bowel syndrome). Efek samping utama : nyeri abdomen,

diare, mual serta sakit kepala.

Buspiron

Bekerja sebagai agonis parsial 5-HT1A di otak mempunyai efek anxiolitik

(sebenarnya merupakan obat yang mengurangi ansietas)

2. Antagonis

Ondansetron

Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif untuk pencegahan

dan pengobatan mual dan muntah yang berhubungan dengan operasi dan

pengobatan kanker dengan radioterapi dan sitostatika. Ondansetron juga

mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal rendah.

Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga terjadi konstipasi.

Ondansetron tidak selektif untuk pengobatan motion sickness.Efek samping :

konstipasi(keluhan umum), gejala lain sakit kepala, flushing, mengantuk, dll.

Siproheptadin

Siproheptadin merupakan antagonis AH1 dan serotonin(5-HT1) yang kuat.

Siproheptadin bermanfaat untuk pengobatan alergi kulit seperti dermatosis

pruritik yang tidak teratasi oleh histamin. Dapat juga digunakan untuk cold-

induced urticaria. Efek samping yang paling menonjol ialah mengantuk.

Metisergid

Metisergid tidak hanya memiliki efek antagonis terhadap 5-HT2A dan 5-HT2C,

tetapi juga memiliki aktivitas agonis parsial di pembuluh darah dan di SSP. Obat ini

digunakan untuk mencegah serangan migren dan sakit kepala vascular lainnya.

Ketansiren

Ketansiren merupakan prototip golongan antagonis serotonin. Ketansiren

merupakan penghambat reseptor 5-HT2 dan 5-HT1C.

Jika merasa ada yang ingin menambahkan, mengkoreksi kesalahan atau bertanya

silahkan post di milist ya. Sekian dan terimakasih

[Nila Purnama Sari]

Page 19: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

19

T-06 PATOGENESIS INFEKSI BAKTERI DAN JAMUR

Teman-teman semua, selamat datang di kuliah Mikrobiologi pada modul Infeksi-Imunologi ini.

Pertama-tama saya mau meminta maaf dulu karena sejujurnya waktu kuliah saya sedikit mengantuk

jadi tidak memahami keseluruhan kuliahnya, tapi saya tetap berusaha sebaik mungkin untuk

mempersembahkan tentir ini kepada kalian semua. Selamat menikmati!

Sebelum masuk ke materi utama, ada baiknya kita belajar dulu nih istilah-istilah umum

yang sangat berkaitan dengan bahasan ini, yang mungkin sebenernya udah sering kita pake

sehari-hari.

Patogenisitas: kemampuan mikroorganisme menyebabkan penyakit.

Virulensi: derajat patogenisitas

Faktor virulensi: kemampuan yang dipunyain sama si mikroorganisme ini nih, yang

kelak bakal ngebantu dia buat interaksi dengan host, biar diizinin masuk ke si host,

nempel di sel-sel host, nyolong nutrisi punyanya si host, sampe kabur pas mau diusir

sama sistem imunnya host. Kira-kira kayak tamu gak diundang yang sikapnya

nyebelin banget gitu ya.

Udah siapkah masuk ke materi utama? Eitttss...sabar dulu ya. Ternyata, mikroorganisme itu

gak semuanya jahat! Kalo semuanya jahat, kita bakal gampang banget kena penyakit loh

temen-temen. Jadi, mikroorganisme yang ada di tubuh kita itu dibagi jadi tiga, yaitu:

Flora normal: nah, ini nih mikroorganisme yang baik. Dia punya fungsi

penting buat hostnya, misalnya E.coli yang ngebantu pencernaan makanan,

S.aureus di kulit yang ngebantu pertahanan kulit terhadap mikroba patogen, dan

lain-lain. Di bawah ini ada tabel flora normal berdasarkan tempatnya:

Patogen: nah ini nih mikroorganisme yang bisa nimbulin penyakit di

hostnya. Sebenernya si mikroorganisme patogen ini mungkin gak jahat dari

aslinya loh. Dia ngerusak host karena itu bagian dari strateginya buat

multiplikasi di dalam tubuh hostnya, terus transmisi ke host lain. Nah, biar dia

bisa ngelakuin ini, mikroorganisme patogen punya sekumpulan gen yang ngumpul

di dalam genomnya, yang disebut pulau patogenisitas atau phatogenicity

island. Mikroorganisme patogen ini nantinya bakal ngelakuin transmisi

horizontal gen-gen terkait virulensi dengan sesamanya. Transmisi horizontal ini

diperantarai sama bakteriofage, plasmid, dan transposon.

Oportunistik: mikroorganisme yang cuma bikin penyakit kalo sistem imun hostnya

lagi error (immunocompromised).

Terkait dengan patogenesis mikrorganisme ini, ada beberapa postulat yang

dikemukakan Robert Koch di tahun 1890. Aslinya, pak dokter Koch ini cuma dokter

desa biasa loh, sampe dia dikasih mikroskop buat kado ulang tahun dan setelah meneliti,

akhirnya dia nemuin postulat-postulat berikut ini (oke, ini gak penting, skip aja kalo mau).

Yuk, kita langsung aja ke postulat-postulat canggihnya:

Mikroba harus ada di setiap penyakit

Mikroba harus bisa diisolasi dari host yang sakit dan ditumbuhkan di kultur

murni

Penyakit harus bisa menular kalo kultur murninya itu dipaparin ke host yang

sehat

Mikroba harus bisa recover kalo ketemu host yang udah pernah keinfeksi

Postulatnya pak dokter Koch ini udah dipake berpuluh-puluh tahun loh. Tapi seperti kata

orang “peraturan dibuat untuk dilanggar”, ternyata ada juga perkecualian buat

postulatnya nih. Apa aja yaa perkecualian itu? Silakan cek...

Mikroba nggak selalu bisa ditumbuhin di lab

Kofaktor, genetik, dan faktor imunologisnya host bisa berperan penting

Karena masalah etik, postulat Koch ini nggak bisa sepenuhnya dibuktikan

di penyakit atau mikroba yang cuma nyerang manusia (ya iyalah, ada gitu

yang mau ditularin penyakit dengan sengaja?). Contohnya AIDS yang kalo nyerang

manusia dan monyet manifestasi klinisnya beda.

Suatu penyakit bisa aja baru nongol beberapa tahun setelah infeksi. Contoh?

Yaa, lagi-lagi si AIDS.

Nah tadi kan kita udah belajar tentang patogen nih. Ternyata, meskipun patogen ini bisa

bikin sakit hostnya, ternyata manifestasi klinis yang terjadi pada tiap host bisa

beda-beda loh. Ada variasi yang luas mengenai keparahan penyakit. Contohnya, liat aja

kalo lagi musim sakit dan satu angkatan kena flu. Ada yang bersin-bersin terus di kelas, ada

yang cuma nyedot-nyedot hidung, macem-macem deh. Padahal mikroba penyebabnya bisa

Page 20: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

20

aja sama. Hal ini dikenal dengan nama the biologic response gradient. Nah, biologic

response gradient ini dipengaruhi banyak hal, yaitu dosis dan rute infeksi, umur, jenis

kelamin, keberadaan mikroba lain, status nutrisi, dan genetik.

(Taaa, kapan nih masuk ke bahasan utamanya?) Duh, sabar dikit yaa, ini bahasan terakhir

sebelum masuk ke patogenesisnya yang beneran kok. Jadi, infeksi itu sebelum berhasil

munculin manifestasi klinisnya di tubuh kita, harus ngelaluin berbagai macam proses dulu

nih. Ibaratnya artis Korea yang harus training bertahun-tahun dulu baru bisa debut. Nah,

prosesnya itu apa aja yaa? Yuk kita bahas satu-satu....

1. Entry

Entry adalah tahap ketika si mikroorganisme ini masuk ke tubuh. Rute masuknya

mikroorganisme macem-macem, bisa lewat kulit, membran mukosa (traktus GI atau

respi), plasenta, dan parenteral. Yang parenteral ini sebenernya bukan rute masuk

resmi, tapi rute masuk yang dibuat-buat. Misalnya, kalau kita nyuntik pake jarum yang

udah gak steril.

Berikut ini saya kasih tabel patogen yang masuknya lewat plasenta:

Pathogen Condition in Adults Effect on Embryo or Fetus

Toxoplasma gondii

Toxoplasmosis Abortion, epilepsy, encephalitis, microcephaly, mental retardation, blidness, anemia, jaundice, rash, pneumonia, diarrhea, hyporthermia, deafness

Treponema pallidum

Syphillis Abortion, multorgan birth defects, syphillis

Listeria monocytogenes

Listeriosis Granulomatosis infantiseptica, death

Cytomegalovirus Usually asymptomatic

Deafness, microcephaly, mental retardation

Parvovirus B19 Erythema infectiosum

Abortion

Lentivirus (HIV) AIDS Immunosuppresion (AIDS)

Rubivirus German measels Severe birth defects or death

Cara masuknya si mikroorganisme ke dalam tubuh kita tuh ada dua. Ingress adalah

kalo makhluk kecil imut-imut ini masuknya karena dihirup atau ditelan. Mereka gak

akan masuk ke dalam jaringan, cuma nempel di permukaan mukosa aja.

Sedangkan disebut penetration kalo masuknya dengan nerobos barrier epitel.

Nah, kok si barrier epitel ini bisa rusak? Oh, ternyata karena gigitan serangga, kulit

yang robek, atau invasi. Kalo pada mikroba yang masuknya lewat penetrasi ini, dia

biasanya butuh interaksi dengan reseptor spesifik di sel host.

2. Kolonisasi, Adhesi, Invasi

Di tahap ini, mulailah si mikroorganisme menyiapkan diri untuk hidup barunya di

dalam tubuh hostnya.

Di slide, ada pertanyaan nih, apa sih bedanya kolonisasi dan infeksi? Ternyata,

kalo kolonisasi itu, mikroorganismenya ada di tubuh, tapi dia gak nyebabin

gejala klinis, jadi fungsi hostnya cuma sebagai “carrier” aja. Sedangkan kalo

infeksi, dia beneran bikin gejala kayak demam, lesi, atau peningkatan jumlah

leukosit. Infeksi ini butuh treatment lho.

3. Aksi patogen

Tadi kan sempet disebut juga tentang reseptor di sel host. Nah, reseptor itu dibikinnya

dari apa sih sebenernya? Ups, ternyata dia adalah suatu glikoprotein yang

mengandung molekul gula, kayak galaktosa dan mannosa (tapi jangan coba dimakan

yaa). Meski dibilang reseptor spesifik antigen, mereka sesungguhnya reseptor baik yang

punya fungsi vital di tubuh. Tapi karena pengaruh si antigen jahat, mereka pun ditarik ke

pihak yang salah, akhirnya jadi reseptor buat agen infeksius deh T__T. Reseptor-reseptor

ini biasanya adanya cuma di sel-sel tertentu, yang unik buat masing-masing

infeksi, misalnya N.gonorrhoeae punya adhesin di fimbriae-nya yang bisa nempel di sel-sel

yang melapisi dinding vagina dan uretra. Cara buat ngelepasin reseptor dari si

mikroorganisme ini adalah dengan ngilangin kemampuannya buat bikin ligan, entah

dengan mutasi genetik atau karena paparan zat fisik/kimia tertentu. Kalo udah kayak gini,

jadi harmless deh.

Ada beberapa bakteri patogen yang nggak langsung nempel ke sel host, tapi interaksi satu

sama lain membuat sticky web yang terbuat dari bakteri dan polisakarida yang disebut

biofilm, yang kemudian bakal nempel di permukaan sel host. Contohnya, plak di gigi.

Patogenesis Infeksi Bakteri

Naaah, akhirnya masuk juga ke materi inti yang kita tunggu-tunggu! Di sini, kita bakal

berteman baik dengan seseorang bernama faktor virulensi. Udah disebutin kan di awal,

faktor virulensi itu yang memungkinkan mikroorganisme bisa ngelakuin tugasnya sebagai

patogen di tubuh manusia. Yuk, daripada kebanyakan cuap-cuap kita langsung cau aja.

1. Adhesi/penempelan

Adhesi atau penempelan adalah proses si bakteri ini nempelin dirinya sendiri ke

sel. Buat ngelakuin itu, dibutuhin faktor adhesi. Faktor adhesi ini ada dua, yaitu

struktur yang terspesialisasi dan ligan. Struktur terspesialisasi contohnya

adhesion disk di protozoa, batil pengisap, dan hook di helminthes. Sedangkan

ligan itu adalah lipoprotein dan glikoprotein permukaan, contohnya adhesin di

bakteri dan attachment protein di virus.

Karena sekarang kita lagi ngebahas patogenesis infeksi bakteri, ya kita bahasnya

faktor adhesi yang di bakteri dong. Nah, adhesin di bakteri bisa beda-beda tergantung

si bakteri ini gram negatif apa positif. Kalau negatif, faktor adhesinya antara pili

Page 21: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

21

(fimbriae), protein permukaan invasin, dan kapsul. Gram positif bisa punya

kapsul juga, tapi protein permukaannya namanya fibronektin.

2. Enzim ekstraseluler

- Hialuronidase dan kolagenase: mendegradasi molekul spesifik biar bakteri

bisa masuk ke jaringan yang lebih dalam.

- Koagulase: dia bikin darah ngendep, dengan harapan si bakteri bisa ngumpet di

dalam bekuan darah.

- Kinase: ada staphylokinase dan streptokinase yang fungsinya mencerna bekuan

darah. Mungkin kalo situasinya udah aman, bakterinya dilepasin dari tempat

persembunyiannya ya.

3. Toksin

Toksin ada dua, yaitu eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin terdiri atas

sitotoksin yang ngebunuh sel host secara umum atau ngerubah fungsinya,

neurotoksin yang kerjanya di sel saraf, dan enterotoksin yang kerja di sistem GI.

Kalo endotoksin itu berupa lipid A, yaitu bagian lipid di lipopolisakarida membran sel.

Untuk gambar-gambarnya, silakan liat sendiri di slide karena entah kenapa jadi

corrupt di laptop saya.

4. Faktor antifagosit

- Kapsul: disusun dari material yang emang secara normal ditemuin di tubuh,

contohnya polisakarida. Si kapsul ini gak memicu sistem imun.

- Zat kimia antifagosit: dia fungsinya buat mencegah fusi antara lisosom

dan vesikel fagositik, biar si bakteri masih bisa hidup di antara sel-sel fagosit.

Contohnya S.pyogenes punya protein M yang mencegah fagositosis dan ningkatin

virulensi.

5. Faktor invasi

Faktor invasi adalah mekanisme yang memungkinkan si bakteri menyerang

jalan masuk ke sel eukariot di permukaan mukosa. Beberapa faktor invasi tuh

dipunyain sama bakteri yang intraseluler obligat, tapi sebagian besar intraseluler

fakultatif. Tapi faktor spesifik di permukaan sel bakteri yang memperantarai invasi

belum diketahui secara pasti.

6. Siderophore

Siderophore itu molekul yang diproduksi bakteri buat ngambilin zat besi dari

hostnya. Soalnya semua organisme, gak terkecuali si bakteri, butuh banget zat besi

buat pertumbuhan dan metabolisme! Pengikatan zat besi ke siderophore ini

kuat banget, sampe zat besi yang udah diiket sama transferrin atau lactoferrin bisa

ditarik sama bakteri. Di bawah ini ada gambaran gimana bakteri dan hostnya rebutan

zat besi:

Sekarang kita masuk ke bahasan kedua terakhir dari patogenesis infeksi bakteri, yaitu

imunopatogenesis. Nah, apa sih si imunopatogenesis ini? Ups, ternyata gejala yang muncul

pas terjadi infeksi bakteri itu gak cuma dari bakterinya doang loh. Bisa juga karena respon

imun dan peradangan yang dipicu si bakteri. Contohnya bisa kita lihat di bawah ini:

Endotoksin: protein fase akut yang bisa nyebabin sindrom yang mengancam

nyawa, terkait sepsis dan meningitis.

Kerusakan jaringan karena neutrofil, makrofag, dan komplemen diinduksi

sel T CD4 dan makrofag di M.tuberculosis.

Protein M di S.pyogenes itu mirip banget sama jaringan di jantung, jadi dia

berinteraksi dengan antibodi antiprotein M dan bikin kerusakan jantung.

Kompleks imun yang dipendem di glomerulus ginjal bisa bikin

glomerulonefritis poststreptococcal.

Sudah selesaikah bahasan kita? Mm, sebenernya secara umum udah sih. Tapi sebagai

tanda cinta saya ke satu angkatan, saya bakal nambahin tabel ini, tentang tipe infeksi dan

perannya dalam transmisi.

Page 22: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

22

Type of Infection Host Defenses Microbial Evasion

Mechanism Examples

Respiratory Tract Mucociliary clearence Adhere to epithelial

cells, interfere with

ciliary action

Influenza virus,

pertusis

Alveolar macrophage Replicate in alveolar

macrophage

Legionella, M.tbc

Intestinal tract Mucus, peristaltis, acid,

bile

Adhere to epithelial

cells, resist acid, bile

Rotavirus,

Salmonella, Poliovirus

Liver Kuppfer cells and

endothelial cells

Localize in sinusoid,

bypass Kupffer cells

and endothelial cells

Hepatitis virus

Reproductive tract Flushing action of urine

and sexual secretions,

mucosal defenses

Adhere to

urethral/vaginal

epithelial cells

Gonococus,

Chlamydia

Urinary tract Flushing action of urine Adhere to

urethral/epithelial

cells

E.Coli

Reach urine from

tubular epithelium

Polyomavirus

Central Nervous

System

Enclosed in bony „box‟

of skull and vertebral

column

Reach CNS via nerves

or blood vessels that

enter skull or

vertebral column

Bacterial meningitis,

viral encephalitis

Patogenesis Infeksi Jamur (Mikosis)

Huff, masuk juga ke bahasan kedua, yaitu patogenesis infeksi jamur. Berhubung penulis

sudah ngantuk dan males cuap-cuap, langsung ke bahasan aja ya.

Sebelum masuk ke patogenesisnya, kita harus kenalan dulu nih sama klasifikasinya si jamur

ini. Ada klasifikasi yang berdasarkan patogenisitas dan ada yang berdasarkan tempat

bersarangnya. Kalau yang berdasarkan patogenisitas, ada mikosis endemik yang

merupakan patogen asli, dia bisa nyebabin infeksi sistemik yang serius dan biasanya

terbatas di area geografis tertentu. Sedangkan kalo mikosis oportunistik...udah tau

lah yaa, males ngebahas lagi nihh.

Kalo berdasarkan tempat bersarangnya, ada mikosis subkutan yang penyakitnya

melingkupi kulit, jaringan subkutan, dan limfatik. Kalo mikosis kutan dan superfisial,

dia cuma gaul di sekitar kulit dan struktur di kulit.

Pasien yang berisiko kena infeksi jamur antara lain pasien dengan gangguan imun, infeksi

HIV, leukopenia, abis dapet donor organ, terapi kanker, penggunaan obat antimikroba

spektrum luas, sama obat imunosupresan dan terapi steroid.

Ketemunya si fungi dengan kita gak boleh sembarangan loh, ada dua mekanisme yang

harus dipatuhi. Kalau mekanisme eksogen, si funginya hidup bahagia di lingkungan,

dan karena satu dan lain hal masuk deh ke tubuh manusia. Sedangkan mekanisme

endogen itu sumbernya dari flora normal.

Nah, sekarang kita ngomongin nih tentang gimana si fungi bisa masuk ke tubuh kita.

Sebenernya tubuh kita punya innate immunity yang bagus banget loh buat

ngelawan si fungi. Makanya itu, sebagian besar infeksi jamur biasanya ringan dan self-

limiting. Tapi kalo ada keadaan tertentu, misalnya gangguan keseimbangan flora

normal dan kerusakan barrier karena trauma atau benda asing, si fungi ini bisa

masuk dengan bebasnya ke tubuh kita, dan akhirnya bikin infeksi deh

Kalo si fungi udah dengan bebasnya masuk ke tubuh hostnya, apa yang akan kita lakukan?

Ups, tadi kan udah dibilang kalo innate immunity di badan kita bagus banget (siapa yang

udah lupa hayoooo?). Jadi, si neutrofil dengan enaknya bisa fagosit dan ngebunuh

fungi. Tapi kalo funginya kegedean jadi gabisa langsung dimakan, gimana dong? Fungi

yang udah masuk kan gabisa dipotong-potong ya? Akhirnya si sel-sel fagosit baris deh

di permukaan hifa, terus ngeluarin enzim lisosom buat ngerusak fungi. Eh, gimana

dengan imunitas adaptif? Perannya ternyata dikit doang. Sel T cuma gerak kalo funginya

persisten di dalam makrofag dan ga bisa dibunuh.

Parahnya kerusakan yang dihasilkan si fungi ini tergantung ukuran inokulum, virulensi,

kemampuan multiplikasi, dan adekuat/nggaknya pertahanan host.

Nah, sekarang kita ketemuan lagi deh sama teman baik kita selama di patogenesis infeksi

bakteri, yaitu faktor virulensi! Sebenernya saya agak bingung kenapa namanya faktor

virulensi, kenapa kalo di bakteri namanya gak faktor bakterilensi dan kalo di jamur faktor

fungilensi? Tapi yah bukan salah bunda mengandung (lupakan) jadi kita langsung masuk

aja ke faktor virulensinya si jamur apa aja....

1. Phenotypic switching

Phenotypic switching itu bagian tak terpisahkan yang sangat penting buat si jamur,

terkait kemampuannya buat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pas dia

nginvasi manusia. Dia bisa loh ngubah morfologi, komponen permukaan sel,

penampakan koloni, komponen biokimia, dan metabolisme, jadinya dia lebih virulen

Page 23: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

23

dan efektif deh infeksinya. Nah, phenotypic switching itu bisa beda-beda tergantung

sama spesies jamurnya, jadi kita liat dulu yukk...

- Candida albicans

Tadinya, si kandida ini punya koloni yang warnanya putih, oval, dan licin

(mungkin mirip sama yang kita liat di praktikum ya). Tapi kalo fenotipnya berubah

gini, koloninya jadi abu-abu dan kasar. Kenapa ya dia bisa berubah gini?

Ternyata, itu gara-gara sel yang opak ngehasilin aspartyl proteinase 1 dan

3 yang kurang virulen, sedangkan sel yang putih ngehasilin aspartyl

proteinase 2, jadi lebih virulen. Emang sih virulensinya nambah, tapi akibatnya

jadi jelek gitu ya penampilannya. Nah, kenapa dia bisa berubah gini? Diduga sih

gara-gara rearrangement kromosom dan regulasi SIR2-like (like a sir).

- Cryptococcus neoformans dan aspergillus fumigatus

Mereka bikin melanin warna abu-abu, coklat, atau item buat ngelindungin diri

mereka sendiri dari sinar UV, temperatur yang ekstrim, dan lain-lain.

2. Morphological dimorphism

Kemampuannya si fungi buat berubah-ubah morfologinya, dari yeast yang

uniseluler ke bentuk filamen namanya hifa dan pseudohifa. Canggih ya, berasa

power rangers gitu. Dan lagi-lagi ini dilakuin fungi buat melindungi diri dari godaan

setan yang terkutuk kondisi lingkungan kayak suhu lebih dari 37º C, pH > 7,

konsentrasi karbon dioksida 5,5%, dan adanya serum atau karbon yang

menstimulasi pertumbuhan hifa.

3. Adhesi dan molekul adhesi

Adhesi ini intinya sama sih kayak di bakteri, jadi gimana si fungi bisa nempel ke sel,

jaringan, atau proteinnya host, terus nyebar deh di dalem tubuh hostnya. Contohnya

si C.albicans yang punya reseptor di permukaan dinding selnya buat adhesi ke

sel epitel, endotel, protein serum, dan matriks protein ekstrasel. Dia juga bisa nempel

ke berbagai substrat superfisial dengan ngebentuk biofilm.

4. Enzim hidrolitik

Enzim hidrolitik ini contohnya protease, lipase, dan fosfolipase. Enzim-enzim ini

punya peran selain buat nutrisi juga bikin kerusakan jaringan, nyebar di dalam

tubuh manusia, ngambil zat besi dan ngelawan sistem imun host, sama

berkontribusi juga buat patogenisitas si fungi. Enzim hidrolitik yang dipunyain

masing-masing fungi bisa beda-beda loh. Apa aja yaa?

- C.albicans

Kandida punya fosfolipase buat hidrolisis ester atau gliserofosfolipid,

lipase buat hidrolisis ikatan ester mono-/di-/tri-asilgliserol, dan secreted

aspartyl proteinase (SAP). SAP ini punya keluarga loh, terdiri atas ayah, ibu,

dan anak sepuluh gen berbeda, SAP1-SAP10 yang tugasnya mengkode enzim

dengan fungsi dan karakter yang sama, tapi komponen molekulernya beda.

- C.neoformans

C.neoformans punya enzim protease dan fosfolipase yang berperan buat

nutrisi dan kerusakan jaringan. Fosfolipase juga punya peran lain yaitu

ningkatin adhesi ke epitel paru-paru.

- A.fumigatus

A.fumigatus punya enzim serin dan aspartic protease, metallo-proteinase,

dipeptidilpeptidase, dan fosfolipase yang semuanya bertugas memfasilitasi

diskusi kelompok kolonisasi paru dan jaringan lain.

5. Pembentukan kapsul

Yang disebutin di sini cuma C.neoformans. Dia punya kapsul polisakarida tebal yang

bisa nongol waktu dia nginfeksi paru. Kalo invasinya udah kelar, dia bakal ngalamin

rehidrasi, jadinya bikin kapsul baru dari glucuronoxylomannan (GXM) yang nempel di

dinding sel fungi lewat jembatan glukan.

6. Produksi manitol

Lagi-lagi, di sini yang jadi jawaranya cuma si C.neoformans. Dia banyak ngehasilin

hexitol d-mannitol yang bisa nyebabin meningoensefalitis. Manitol ini bertugas

ningkatin osmolalitas cairan di sekitarnya, jadi bikin edema otak dan nyegah

kerusakan oksidatif si fungi oleh PMN dan sel antioksidan.

7. Toksin

C.albicans sama C.neoformans udah dapet giliran masing-masing buat one-fungus

show, gimana dengan A.fumigatus? Nah, di sinilah aspergillus akhirnya punya

kesempatan jadi primadona, karena dia satu-satunya yang disebutin punya toksin.

Nah, toksinnya itu apa aja sih? Yuk, cekidot...

- Aflatoxin: sifatnya hepatotoksik dan karsinogenik. Ekspresinya dikode

banyak gen di bawah pengaruh lingkungan.

- Gliotoxin: inhibisi fagositosis oleh makrofag sama aktivasi dan proliferasi

sel T, induksi apoptosis makrofag, nurunin kemampuan geraknya silia di

saluran pernapasan, dan ngerusak lapisan epitel, jadinya si fungi ini nggak

gampang disingkirin dari hostnya.

- Resticotoxin: motong ikatan fosfodiester di rRNA 28S ribosom sel eukariot.

- Toksin imunosupresan: faktor penghambat konidia 14-kDa dan A.fumigatus

diffusible product (AfD).

- Fumitremorgin, fumagilin, fumagatin, helvolic acid: fungsinya buat

pirogenik, sitotoksik, dan memicu syok.

Yaaak, akhirnya selesai juga deh bahasan kita tentang patogenesis infeksi bakteri dan

jamur. Maaf yaa karena saya kebanyakan ngopas slide. Selamat belajar!

[Ayesya Nasta Lestari]

Page 24: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

24

T-08 INTEPRETASI HASIL PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

Pemeriksaan Mikrobio Tujuannya apa?

Mikrobiologi merupakan cabang pengetahuan yang mempelajari mikroorganisme.

Pemeriksaan mikrobiologi dalam aspek klinis itu tujuannya adalah…

1) untuk mendapatkan informasi akurat tentang ada tidaknya mikroorganisme pada

spesimen yang mungkin terkait dengan penyakit pasien.

2) terus, jika memang terbukti ada mikroorganisme yang terlibat, pemeriksaan

mikrobiologi juga dapat memeriksa kerentanan (susceptibility) si kuman tersebut

terhadap antimikroba, ini tentunya untuk tujuan terapi.

Kenapa pemeriksaan mikro itu penting sih?

Data dari pemeriksaan mirkobiologi itu nilainya signifikan banget, soalnya kalo memang

datanya bener, dengan informasi tersebut keadaan pasien bisa membaik. Tapi kalo datanya

salah, keadaan pasien bisa makin buruk!

Tahap-tahap dalam pemeriksaan mikrobiologi

Nah, pemeriksaan mikro ini bukan cuman sekedar periksa terus keluar hasilnya.

Pemeriksaan ini memiliki tahap-tahap penting yang harus dijalani sesuai prosedur karena

dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Tahap-tahap pemeriksaan mikro adalah pre-

analytical, analytical dan post-analytical. Bagan berikut ini menjabarkan komponen-

kompenen apa aja yang termasuk dari tahapan pemeriksaan mikro.

Kalo udah ngerti tahap-tahapnya, apa lagi nih yang penting? Ada beberapa hal yang

penting namun sering dianggap spele, yaitu:

- Jumlah pengambilan spesimen, metode transportasi dan alat pemeriksa

yang adekuat. Ini perlu diperhatikan, soalnya kalo salah-salah, hasil pemeriksaan

bisa gak valid.

- Komunikasi antara klinisi, perawat, sampe orang di lab juga harus efektif.

Biar ga terjadi kesalahan.

- Pengetahuan petugas-petugas yang terlibat dalam pemeriksaan mikro ini.

Misalnya kurir spesimen yang ga tau kalo spesimen dari CSF itu harus cepet-cepet di

kirim ke lab, terus dia santai-santai jadi telat. Ini bisa bikin hasilnya jadi invalid dan

merugikan pasien.

A. PENGAMBILAN SPESIMEN

Pengambilan spesimen itu ada beberapa ketentuan, yaitu:

i) fase akut misalnya ngambil di darah pas fase akut (demam), karena

bakterinya lagi banyak.

ii) sebelum terapi antibiotik kalo setelah antibiotik, kumannya udah banyak

yg ilang.

iii) tempat anatomis pengambilan spesimennya bener contohnya, kalo

jelas2 ada pasien sepsis dengan gejala klinis demam dan fistula di anus, berarti

ambil spesimennya di darah dan di fistula, bukan urin. Kan doi ga ada gejala ISK.

iv) teknik pengambilannya bener misalnya ada luka yang ditutupi pus,

ambilnya jgn pus doang, tapi dasar lukanya juga hrs keambil. Di pus itu ga ada

apa2nya soalnya.

v) kuantitas spesimen yang adekuat jumlah spesimen juga harus pas, kalo

ga malah ga bisa diperiksa.

vi) kontainernya yang sesuai cek dulu spesimen terkait butuh kontainer kyk

gimana, apa perlu yang sterile ato yang kering dan bersih aja cukup.

vii) transportasi yang sesuai ga boleh lama2, umumnya sih kalo nganter

spesimen ke lab itu harus di bawah 2 jam dalam suhu ruang.

viii) data-data penulisan informasi ini merupakan hal yang penting, dengan

begitu spesimen ga akan tertukar, dokter yang meriksa juga jelas, daninformasi

seperti gejala klinis dan riwayat antibiotik sangat membantu orang-orang di lab

dalam menjalankan pemeriksaan mikro.

a. Identitas pasien: nama ,umur, jenis kelamin, nomor kamar

b. Identitas klinisi: nama, alamat, nomor telepon

c. Spesimen: jenis, sumber, waktu pengambilan

d. Gejala klinis

e. Riwayat penggunaan antibiotik

f. Uji lab yang dibutuhkan

Pengambilan spesimen oleh si pasien sendiri

Nah, sekarang, ada saat-saat dimana pasiennya sendiri yang harus mengambil spesimen

dari tubuhnya. Misalnya spesimen kayak urin, sputum, feses dan semen. Gimana nih? Ada

yang perlu kita lakukan? Tentu ada!

Page 25: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

25

Selalu kasih instruksi gimana cara ambil spesimen yang benar. JANGAN

berasumsi kalo pasien udah tau. Walaupun ada poster instruksi (misalnya di toiletnya),

kita harus jelasin.

Berikut ini adalah beberapa poin tentang pengambilang spesimen:

Spesimen urin

o Kalo orangnya mampu midstream / clean catch

o Kalo ga bisa puncture supra pubic ato kateter juga bole

o Kalo bayi bisa pake urine collection bag, di tempelin di perineum-nya (ada di

gambar slide no. 10)

Swab

o Biasanya untuk spesimen di: traktus respiratorius, telinga luar, traktus genital, dan

mata.

o Ujung swab dapat berupa: kapas (tapi ini bisa bersifat toksik pada beberapa

bakteri) atau dacron (polyester).

o Dapat mengambil sebanyak 150 μL.

o Kelemahan: kalo ga cepet2, bisa kering dan bakterinya keburu mati.

(terutama bakteri anaerob)

o Kalo untuk luka sebaiknya jgn swab, tapi aspirat atau biopsi aja.

o Media transport harus dipilih dengan cermat untuk mencegah kematian

mikroba.

Spesimen pada traktus respiratorius

o Dapat berupa sputum (ajarin pasien gmn caranya dapetin sputum, jgn sampe

cuman ngeludah doang), swab tenggorok, bronchial washing, bronchoalveolar

lavage, aspirasi tracheal, etc.

Spesimen genital

Cewek:

o Pengambilan harus dilakukan oleh petugas ahli (ga ada cerita nyuruh pasien

ambil swab dari cervix nya sendiri, lulz bgt itu)

o HARUS pake speculum, TANPA lubrikan

o Tahap: 1) bersihin dulu mukus2 yang berlebih, 2) ambil spesimen di endocervix

pake swab kayak pas kkd.

Cowok:

o Masukkan swab ke dalam sekitar 2-4 cm dari orificium urethrae externa, lalu putar

swab nya selama 2-3 detik, baru tarik dan letakkan spesimen di media transport.

Lesi HSV

o Yang harus di ambil adalah cairan di dalam papulnya, jgn swab permukaan

papulnya doang.

Transport dan penyimpanan spesimen

Umumnya, 2 jam, tapi yang ideal itu kurang dari 30 menit.

Kalo memang lebih dari 2 jam, umumnya harus di suhu dingin, terutama spesimen

berikut: CSF untuk virus, telingan luar, feses, sputum, urin.

Tapi ada beberapa yang di suhu ruang juga cukup, misalnya: abses, lesi, luka, cairan

tubuh, CSF untuk bakteri, telinga dalam, genital, nasal, tenggorokan, jaringan.

B. SPESIMEN DARAH

Untuk spesimen darah, di pisah sama spesimen yang lain, soalnya bagian ini sangat di

tekankan oleh dr. Anis dan bahasannya juga agak lebih banyak.

Oke, yang pertama harus diingat adalah: spesimen darah untuk pemeriksaan kultur itu sulit,

hanya sekitar 30% yang memberi hasil (+) dan sisanya (−) dan kemungkinan besar itu

negatif palsu…

Faktor apa aja yang mempengaruhi kesuksesan pemeriksaan mikrobio dengan spesimen

darah?

Pastikan jenis bakterimia-nya

o Ada 3 yaitu: transient (jarang ada bakteri di darah), intermittent dan continuous

(biasanya sumber bakteri dekat aliran darah, misalnya katup jantung)

Tentukan metode pengambilan spesimen yang sesuai

Tentukan jumlah darah yang diperlukan

Page 26: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

26

Bagi spesimen darah tsb buat jadi 2-3 tabung (karena keperluaan pemeriksaan

yang berbeda-beda, missal: pemeriksaan jenis mikroba & pemeriksaan kerentanan

antibiotik)

Waktu kultur spesimen

Intepretasi

Kapan kita harus ambil spesimen dari darah?

Pas demam, soalnya bakteri lagi banyak pas fase akut.

Seberapa banyak volume darah yang diperlukan?

Ambil darah itu gapapa banyak-banyak asal batas wajar, ga boleh terlalu sedikit karena

malah akan sulit diperiksa.* Ini grafik hubungan persentase bakteri dan volume darah.

Makin banyak darah, makin banyak bakteri, bakin gampang meriksanya. Berikut ini grafik

hubungan persentase bakteri dan volume darah.

(*) Kalo pada bayi ga perlu ambil darah banyak-banyak soalnya ada > 1000 CFU

(colony forming unit) bakteri /mL.

Kalo di dewasa cuman < 30 CFU/mL makanya jumlah spesimennya harus banyak.

Antikoagulan

Untuk pengambilan spesimen darah, jangan pernah lupa antikoagulan. Tentunya berguna

agar darahnya ga menggumpal, kalo menggumpal, bakterinya sembunyi di gumpalan

tsb.Antikoagulan-nya apa yang oke? SPS (sodium poluanethol sulfonate). Yang lain-

lain misalnya heparin, EDTA dan citrate juga bisa tapi ga dianjurkan.

PENTING!!!

Kalo ada orang datang, demam karena bakterimia, terus kita ambil darahnya. Ini cukup ga

sih? TIDAK!

Orang yang bakterimia itu pasti punya suatu sumber di tubuhnya yang menyebabkan

bakteri bisa masuk ke sirkulasi. Misalnya orang yang mengidap fasciitis nekrotik dapat

mengalami bakterimia karena si bakteri bikin lesi parah di jaringan otot fascia dkk sehingga

bakteri dapat masuk ke sirkulasi. Jadi, kalo ada orang yang bakterimia, spesimen yang

harus di ambil ada dua yaitu darah DAN lokasi sumber bakteri (dalam kasus ini,

biopsi jaringan otot/fascia).

C. PENOLAKAN SPESIMEN

Harus dicamkan bahwa penolakan spesimen oleh orang lab adalah bukan suatu

pelecehan terhadap klinisi yang bersangkutan. Penolakan ini adalah semata-mata demi

validitas pemeriksan mikrobio, yang ujung-ujungnya untuk pasien juga, biar hasilnya dapat

membantu terapi, BUKAN karena si orang lab mau ngerjain dokternya.

D. INVESTIGASI MIKROBIOLOGI (TESTING)

Investigasi laboratorium mikrobiologi dapat berupa

- Pemeriksaan mikroskopik

Pewarnaan Gram

1) dapat menentukan ada bakteri ato ga

2) kalo ada, jenis bakterinya apa

3) dapat digunakan untuk hitung jumlah bakteri

- Kultur

- Tes kerentanan antimikroba

- Serologi (antigen & antibodi)

- Molekular (asam nukleat)

E. POST-ANALYTICAL PHASE

Final stage dari pemeriksaan mikro adalah post-analytical, yang terdiri dari komponen-

komponen berikut:

Transkripsi dan intepretasi hasil

Pengiriman hasil

Review hasil*

Tindakan yang diambil berdasarkan hasil

Page 27: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

27

(*) Hasil pemeriksaan perlu ditinjau lagi soalnya kadang-kadang ada bakteri yang dilaporin

padahal sebenernya itu flora normal. Misalnya: ternyata ditemukan Streptococcus viridans

dari spesimen traktus respiratorius atas, berarti dokternya ga perlu kasih antibiotik soalnya

itu adalah flora normal di traktus respi atas.

Terus kalo ternyata dari spesiemen ditemukan keberadaan bakteri-bakteri lain, coba

cek ulang, kemungkinan besar spesiemennya udah terkontaminasi, jadi hasilnya ga

valid.Tapi kita harus cek juga status imunitas pasien. Kalo pada pasien-pasien

immunocompromised, sering memiliki berbagai jenis bakteri di spesimen2 dari tubuhnya.

Hasil kultur urin

Hasilnya + ato bermakna jika:

- Kalo orang dengan simptom UTI, dengan bakteri 102 CFU/mL.

- Kalo orangnya asimtomatik, tapi ditemukan bakteri 105 CFU/mL.

Kalo di temukan Streptococcus grum B pada wanita hamil, mau berapa pun jumlah

CFU/mL nya, harus dilaporkan, soalnya bisa berdampak bahaya pada fetus.

Kalo pada pasien wanita ditemukan Streotococcus grup be sebanyak >50 CFU/mL

juga harus dilaporkan.

Hasil kultur darah

Kalo ada kontaminasi, hasilnya langsung (−) negatif! (kalo darah biasanya

terkontaminasi oleh: Bacillus spp, Corynebacterium spp, Propionibacterium acnes

atau coagulase(−) staphylococci).

Harus dari dua sumber yaitu darah dan lokasi sumber penyebaran bakteri. Bakteri

patogen umumnya ditandai oleh hasil yang merujuk pada satu jenis bakteri pada

kedua hasil. Tapi kalo hasilnya menunjukkan ada dua bakteri yang berbeda,

umumnya menandai adanya kontaminasi.

Pada pasien immunocompromised, dapat juga ditemukan bakteri-bakteri komensal

yang berubah sifat jadi patogen akibat imunnya turun.

Hasil uji kerentanan & resistensi

- Cara melaporkan hasil yang benar itu adalah dengan kode RIS.

RIS = Resistant, Intermediate, Susceptible pilih satu!

Cukup dengan mencantumkan salah satu dari kode RIS aja, misalnya kalo resisten

tingga tulis “R” aja, ato kalo rentan, tulisnya “S” aja.

Ga usah sotoy2an dan nulis “S+3” dihasil yang maksudnya si bakteri sangat rentan

terhadap antibiotiknya, itu malah cara yang SALAH dan misleading, sangat tidak

dianjurkan!

- Jangan lupa juga kenali hasil-hasil yang aneh menggunakan obat-obat indikator,

contohnya:

o MRSA (methicillin resistant Staphylococcus aureus) itu resisten terhadap

β-lactam, jadi kalo hasilnya ternyata rentan, berarti pemeriksaannya ngaco.

o Bakteri ESBL (Extended Spectrum β-lactamases) resisten terhadap

cephalosporin, ini juga kalo ternyata hasilnya rentan, berarti juga salah.

o Neisseria gonorrhoeae sudah mulai menunjukkan penurunan kerentanan

terhadap fluoroquinolones, jadi sebaiknya pake obat yang lain aja ya.

- MDRO (multiple drug resistant organism) yaitu bakteri yang resisten terhadap 1 atau

lebih golongan agen antimikroba, contohnya adalah:

o MRSA

o VRE vancomycin resistant enterococcus

o Bakteri Gram negatif: ESBL, Pseudomonas aeroginosa, etc.

o MDRSP multi drug resistant Streptococcus pneumoniae

o Lain-lain (coba cek slide kuliah no. 47 ya…)

Terus kalo ternyata kumannya MDRO kenapa?

o pengobatan pasien jadi terbatas, kita harus bener2 milih obat yang masih sensitif,

dan itu susah, mengingat si kuman udah banyak bgt resistensinya.

o Pasien cenderung harus dirawat di RS lebih lama yang ujunganya bakal berdampak

ke biaya RS nya yang mahal.

o Laju mortalitasnya tinggi.

F. PEMERIKSAAN ALTERNATIF: SEROLOGI DAN PCR

Ada beberapa hal yang menghambat proses pemeriksaan mikro seperti: ternyata si

mikroba itu sulit sekali di tumbuhkan di media kultur ato kalo pun bisa, tumbuhnya lama

banget ato fenotip suatu bakteri ga terlalu khas sehingga sulit untuk mengindentifikasi

bakteri patogennya. Jadi gimana cara mengatasinya? Dengan menggunakan metode

pemeriksaan serologi atau amplifikasi asam nukleat (PCR).

Pemeriksaan serologi

i) Deteksi antigen

- Metodenya tergantung dengan sifat kiwiawi dari antigen itu sendiri.

- Antigen dapat dikenali setelah berikatan dengan antibodi dan membentuk formasi

stabil.

ii) Deteksi antibodi

- IgM terdeteksi di fase awal infeksi, umumnya mengindikasikan infeksi aktif atau

baru.

- IgG umumnya menandakan adanya reaktivasi infeksi lama, imunisasi, atau

infeksi kronis.

Page 28: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

28

iii) Hasil negatif palsu dapat terjadi pada:

- pasien immunocompromised

- pasien yang mendapat terapi immunosuppressant

- neonatus jarang memperlihatkan respon yang jelas karena sistem imunnya belum

sempurna.

- Untuk beberapa penyakit (legionaries‟ disease), titer antibodi baru naik pada

beberapa bulan setelah infeksi akut.

iv) Hasil positif palsu

- Suatu antigen lain yang tidak terkait patogen memicu produksi antibodi.

- Reaktivasi organisme laten akibat dari infeksi organisme lain.

- Mendapat immunoglobulin secara intravena.

PCR

- Dapat digunakan untuk sekuen DNA yang spesifik

- Keuntungan: cepat

- Kekurangan: terlalu sensitif (dapat mendeteksi bakteri dengan konsentrasi rendah yang

biasanya bukan yang bersifat patogen, bahkan bisa mendeteksi bakteri yang udah

mati) intinya banyak banget bakteri yang bisa kedeteksi, jadi bingung mana yang

patogen.

-----

Yeeee selesai~ Oke kalo misalnya ada kesalahan pada tentir ini, harap langsung segera

diumumin di milis ya… Selamat belajar!

[Zahra Suhardi]

T- 11 IMMUNOMODULATOR DAN ANTIPIRETIK

IMUNOMODULATOR

Seperti namanya, obat ini bertugas untuk memodulasi (mengubah) sistem imun, baik

mensupresi (menekan) maupun menstimulasi (merangsang).

IMUNOSUPRESAN

Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons imun

seperti pencegah penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun, dan pencegahan

hemolisis Rhesus pada neonatus. Rata – rata semuanya bisa diberikan tunggal atau

kombinasi dengan obat lain.

1. Kortikosteroid

Farmakokinetik:

o Administrasi bisa per oral, intravena, intramuskular, atau inhalasi.

o Terikat pada globulin (90%) dan albumin (10%). Afinitas globulin tinggi tetapi

kapasitas ikatannya rendah. Hal sebaliknya terjadi pada albumin.

o Metabolisme di hati dan ginjal.

Farmakodinamik:

o Mekanisme kerja umum: mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

o Jalur kerja: Memasuki sel melewati membrannya secara difusi pasif berikatan

dengan reseptor spesifik di sitoplasma perubahan konformasi ke nukleus,

berikatan dengan kromatin transkripsi RNA sintesis protein efek.

o Efek kerja dan sampingan pada berbagai sistem organ, terutama pada dosis

besar jangka panjang:

Respon inflamasi dan imun mudah kena infeksi (ini doang

sebenarnya yang penting)

Page 29: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

29

Sistem cerna:

Deposisi glikogen hati + glukosa keluar dari hati + glukoneogenesis

+ utilisasi glukosa glukosa darah drastis diabetes mellitus

Katabolisme protein muscle wasting, hambatan pertumbuhan

Katabolisme tulang osteoporosis

Asam lambung ulkus peptikum

Sistem renal-adrenal:

Reabsorbsi Na+ retensi natrium diikuti air hipertensi, edema,

buffalo hump

Ekskresi K+ dan H+ hipokalemia

ACTH supresi adrenal

Perubahan mood psikosis

o Mekanisme kerja pada sistem imun:

Menghambat proliferasi sel limfosit T dan imunitas seluler

Menghambat ekspresi gen penyandi sitokin (IL-1, 2, 6, IFN α, TNF α)

Meningkatkan neutrofil yang bersirkulasi di darah, meredistribusi limfosit,

monosit, dan eosinofil (disebar ulang, jadi yang bersirkulasi jadi lebih

sedikit)

Anti inflamasi non spesifik dan Anti adhesi

Klasifikasi Kortikosteroid: (dari short ke long acting, makin kuat potensinya, makin

tidak menyebabkan retensi natrium, makin panjang waktu paruhnya)

o Short acting hidrokortison

o Intermediate acting prednison, prednisolon, metilprednisolon, triamsinolon

o Long acting betamethason, deksamethason.

Kontraindikasi:

o Absolut tidak ada

o Relatif (boleh, tapi harus sangat hati – hati, dan jangan sampai jangka panjang

dosis tinggi) DM, ulkus saluran cerna, infeksi berat.

2. Penghambat Kalsineurin: Siklosporin dan Takrolimus

Kalsineurin adalah enzim fosfatase bergantung kalsium yang berperan dalam

defosforilasi / aktivasi protein regulator di sitosol yang dapat mengaktifkan gen

yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2 dan reseptornya,

serta NFAT, yaitu faktor transkripsi yang dapat mengaktifkan sel T

Farmakodinamik:

o Siklosporin berikatan dengan cyclophillin di dalam sel + meningkatkan TGF β

menghambat kalsineurin.

o Takrolimus berikatan dengan reseptor immunophilin FKBP menghambat

kalsineurin.

Indikasi: pencegahan rejeksi transplantasi dan penyakit autoimun, misalnya

psoriasi, rheumatoid artritis (RA), dan sindrom nefrotik.

Efek Samping umum: Toksisitas (ginjal, saraf, hati), gangguan GIT (mual, muntah)

Efek Samping lain per obat:

o Siklosporin hirsutisme, hiperplasia gingival

o Takrolimus hiperglikemia

3. Agen Sitotoksik: Azathioprine, Methotrexate, Cyclophosphamide

Azathioprine

o Mekanisme kerja: sintesis purin proliferasi limfosit

o Indikasi: pencegahan rejeksi transplantasi dan autoimun (sama aja kaya yg tadi)

o Efek Samping: myelosupresi, gangguan GIT, infeksi

Methotrexate

o Mekanisme kerja: dihidrofolat reductase (normalnya kalau dihidrofolat

direduksi, akan terjadi sintesis DNA) sintesis purin dan thymidin fase S

(Sintesis) siklus sel limfosit T terganggu

o Indikasi: pencegahan rejeksi transplantasi dan autoimun, terutama psoriasis dan

RA. (lagi – lagi), biasanya dikombinasi dengan siklosporin.

o Efek Samping: myelotoksisitas, sirosis hati, gangguan GIT.

Cyclophosphamide

o Mekanisme kerja: alkilasi DNA menghambat terutama sel B

o Indikasi (dengan dosis kecil): autoimun (RA, nefrotik, SLE, Idiopathic

Thrombocytopenia Purpura)

o Efek Samping: sistisis hemoragik, pansitopenia, kardiotoksisitas.

4. Mycophenolate Mofetil (MMF)

Mekanisme kerja: inosine monofosfat dehidrogenase (sama, ini normalnya juga

enzim untuk sintesis DNA, khususnya purin) aktivasi limfosit B dan T

Indikasi: pencegahan rejeksi transplantasi, khususnya ginjal dan autoimun (RA,

nefritis lupus), biasanya dikombinasi dengan prednison.

Efek Samping: myelosupresi, gangguan GIT.

5. Antibodi Imunosupresif

Antibodi Poliklonal (ATG: Anti Thymocite Globulin)

o Mekanisme kerja: berikatan dengan permukaan sel T (CD 2,3,4) jumlah dan

fungsi kerja limfosit

Antibodi Monoklonal (Muromonab CD3 Anti CD3, OKT3)

o Mekanisme kerja: berikatan dengan CD3 (spesifik) kegagalan pengenalan

antigen.

Basiliximab dan Daclizumab

o Mekanisme kerja: pengikatan IL-2 ke limfosit yang teraktivasi aktivasi dan

proliferasi sel T

Page 30: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

30

Immunoglobulin Rh

o Farmakokinetik: diberikan intramuskular pada ibu 24 – 72 jam setelah persalinan

agar sirkulasi ibu bersih dari sel darah merah bayi.

o Mekanisme kerja: antibodi spesifik untuk antigen permukaan eritrosit bayi.

o Indikasi: ibu RH – dengan anak Rh +, agar tidak terbentuk antibodi terhadap

RH+ sehingga kalau anak ke 2 Rh+ lagi tetap aman.

o Sekilas info: Kenapa ya Rh bahaya kalau beda sedangkan golongan darah beda

santai aja? Karena ternyata Rh itu Ig G dan nembus plasenta, kawan – kawan,

dan golongan darah itu Ig M, jadinya aman dan ga nembus plasenta.

IMUNOSTIMULAN

Jadi, mekanisme kerja umumnya adalah meningkatkan fungsi sistem imun pada orang yang

mengalami imunokompresi, misalnya pada AIDS, infeksi kronik, maupun keganasan.

Namun, hingga saat ini, masih belum jelas efeknya, terlihat dari hasil kerjanya yang juga

masih lemah dan sifatnya yang non spesifik pada sel atau antibodi tertentu.

1. Isoprinosine

Mekanisme kerja : Meningkatkan fungsi sel NK, limfosit T, dan monosit.

2. Levamisole

Mekanisme kerja : Meningkatkan kerja imunitas selular

Indikasi : Kanker kolorektal dan penyakit Hodgkin

Efek samping : Agranulositosis

3. Sitokin

IL-2 (faktor pertumbuhan sel T)

o Mekanisme kerja: Aktivasi proliferasi dan diferensiasi sel T sitotoksik, T helper,

sel B, makrofag.

o Efek samping: Myelosupresi, hipotensi berat, edema paru, nefrotoksisitas.

Interferon (α,β,)

o Indikasi : Melanoma, Leukemia mielositik kronik, sarcoma Kaposi, infeksi

HCV kronik

o Efek samping: Myelosupresi, demam, menggigil, myalgia, depresi

Colony Stimulating Factors (CSF) Stimulating: akhiran -stim

o Granulocyte CSF, filgrastim cegah neutropenia akibat kemoterapi

o Granulocyte-Macrophage CSF, sagramostim mempercepat penyembuhan

setelah pencangkokan sumsum tulang.

ANTIPIRETIK

Mudah ditebak dari namanya, antipiretik berarti obat untuk menurunkan suhu pada orang

yang demam. Tapi, kalau dipakai ke orang normal, kerjanya ga efektif sehingga suhunya

ga bakal turun.

Mekanisme umum kerjanya adalah dengan memblok endotel hipotalamus untuk

mensekresikan prostaglandin, tepatnya PGE2. Adapun proses penghambatan ini dapat

tercapai melalui beberapa

cara, misalnya memakai

steroid untuk memblok

fosfolipase A2 dan NSAID

yang memblok

siklooksigenase. Namun, lagi

– lagi judulnya sama,

mencegah terbentuknya

PGE2.

Antipiretik yang umum

dipakai ada 4, yaitu:

1. Aspirin

Farmakodinamik

o Komponen penyusunnya asam asetil salisilat

o Mekanisme kerjanya blok sintesis PGE2

Farmakokinetik

o Absorbsi : berlangsung baik

o Metabolisme : di hati, hidrolisis asetil, jadinya bentuk asam salisilat

Dosis sebagai antipiretik:

o Anak : 10 mg/ kg BB tiap 4 – 6 jam (maksimal 3,6 gr/ hari)

o Dewasa : 325 – 650 mg tiap 4 – 6 jam

Obat Over the Counter (melewati serangan balik, boong deng: obat yang dijual

bebas tanpa perlu resep)

Efek Samping:

o Gangguan GI tract: nyeri abdominal, mual, dyspepsia, ulkus lambung /

duodenum, diare

o Inhibisi agregasi platelet darah jadi encer perdarahan jadi lebih lama

o Sindrom Reye ini jarang banget sebenarnya, biasanya terkena pada anak

yang dikasih aspirin tapi juga sedang terinfeksi virus koma, kejang, edema

serebral, gagal organ dan kematian.

Intoksikasi: salicylism, berupa muntah, hiperventilasi, vertigo, gangguan

pendengaran, dan tinnitus tinnitus biasanya muncul bila kadar asam salisilat di

plasma mencapai 200 – 450 μg/ml (dosis normalnya kalau dipakai jadi aspirin 60

μg/ml).

2. Ibuprofen

Derivat asam propionat

Dibandingkan aspirin: Efek analgesik dan antipiretik sama, tapi antiinflamasi lebih

jelek, efek samping di GIT lebih lemah

Obat bebas

Page 31: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

31

3. Methampyrone (dipyron, metamizole)

Derivat pyrazolon dengan efek antiinflamasi lemah

Indikasi:

o Analgesik dan antipiretik, bila obat – obat lain gagal

o Bila dibutuhkan administrasi parenteral (intravena), misalnya muntah terus jadi

susah dikasih oral. Dewasa ini, bisa dipakai PCT intravena.

Efek samping: agranulositosis, anemia aplastik, trombositopenia berat kan ya?

Jadinya obat ini sekarang jarang dipakai.

4. Paracetamol (acetaminophen)

Farmakodinamik

o Efek antiinflamasi sangat lemah, bahkan hampir gak ada

o Efek analgesik lumayan, jadi bisa dipakai buat atralgia

o Mekanisme kerja: inhibisi produksi PGE2 di area preoptik hipotalamus.

Farmakokinetik

o Absorbsi oral baik

o Metabolisme di hati

o Ekskresi melalui ginjal

o Metabolit penyusunnya: NAPQI (N-Acetyl-P-benzo-Quinone-Imine) kecil tapi

sangat reaktif dan karenanya, jadinya hepatotoksik dan nefrotoksik

o Waktu paruh 2 – 3 jam, bisa lebih cepat kalau dosisnya didobel.

Dosis:

o Dosis terapi : 3 – 4 x 500 mg/hari

o Dosis sangat tinggi : 10 – 15 gr / 150 – 250 mg / kg BB

Efek samping

o Sangat aman, bahkan untuk kehamilan

o Pada dosis terapi:

Biasanya aman tidak mempengaruhi sistem karsiovaskular, respirasi,

platelet, ataupun GIT.

o Pada dosis sangat tinggi, biasanya pada anak karena rasanya manis dan

mengenakkan, jadi jauhkan dari jangkauan anak – anak:

NAPQI meningkat deplesi glutation (GSH) pada tubuh nekrosis hati.

Pada kondisi ini, obat terpilihnya adalah N-Acetylcystein (diberikan tiap 24

jam).

Yap, demikianlah tentir kali ini. Cenderung copas slide dan hanya sedikit tambahan dari

dosennya(yang cenderung baca slide) ataupun beberapa pustaka karena menurut saya

slide pun sudah cukup menyiksa. Hmm, farmako.. ga bisa berkata banyak selain

hafalkanlah.

[Lutfie]

T-12 PATOGENESIS DEMAM

Kenapa sih demam yang merupakan satu gejala ini perlu dibuat dua kuliah tersendiri?

Jawabannya: demam adalah keluhan pasien yang sangat sering ketika datang ke

pusat layanan primer. Jadi, penting sekali buat temen-temen mengetahui apa itu

demam. Selain itu, demam bisa ditimbulkan oleh buanyak sekali kondisi (infeksi, toksin,

keganasan, kerusakan jaringan, dan lainnya). Tentir bagian ini merupakan dasar untuk

berlanjut ke pembahasan tentang demam berikutnya, yakni aspek klinis demam.

Jadi, apa itu demam? Demam merupakan respons tubuh fisiologis terhadap suatu

keadaan abnormal (penyakit, baik akibat infeksi maupun non-infeksi) yang ditandai dengan

kenaikan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal akibat stimulasi pirogen (senyawa

peningkat suhu) yang merangsang pusat regulasi suhu tubuh di hipotalamus. Untuk

memahami demam diperlukan pemahaman bagaimana tubuh mengendalikan

temperaturnya.

Mekanisme Termoregulasi

Tubuh manusia telah diciptakan dengan mekanisme penghasil kalor dan pembuangan kalor.

Mekanisme termoregulasi ini bermanfaat untuk menjaga suhu tubuh manusia dalam

rentang fisiologis. Sumber panas bagi tubuh dapat berasal dari produksi internal (misal:

metabolisme bahan makanan) serta lingkungan eksternal (panas udara luar). Sementara itu

keluaran panas menuju lingkungan luar membuang kalor di dalam tubuh. Keseimbangan

kedua proses ini menentukan kandungan kalor tubuh total, yang secara langsung

berkorelasi dengan suhu tubuh (core temperature).

Pusat integrasi termoregulatori di hipotalamus menerima masukan dari suhu kulit

(termoreseptor perifer) dan suhu inti (termoreseptor sentral di hipotalamus, bagian otak

lain, dan organ abdomen). Kedua masukan ini diintegrasikan untuk menghasilkan keluaran

berupa: (1) adaptasi behavioral, misalnya mengambil selimut dan meringkuk (<luas

permukaan tubuh); (2) motor neuron otot rangka menggigil; (3) SS simpatik

Page 32: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

32

vasokonstriksi pemb. darah kulit; dan (4)SS parasimpatik kelenjar keringat

berkeringat. Kesemuanya digunakan agar suhu tubuh mencapai suatu set-point tertentu.

Suhu tubuh normal: 36,2– 37,7 OC, menampilkan variasi diurnal (paling rendah

pagi hari, cenderung meningkat di sore-malam hari). Variasi diurnal terjadi akibat

adanya siklus hormonal seperti katekolamin dan hormon-hormon metabolik lain.

Karena adanya variasi diurnal demam adalah suhu >37,2OC di pagi hari atau>37,7OC

di sore hari.

Hipotermia: <35OC

Hiperpireksia: Demam ekstrem (>41,5OC). Pada umumnya tubuh manusia mampu

bertahan dalam kondisi demam, namun dalam kondisi hiperpireksia dapat terjadi

kerusakan sistem tubuh. Hiperpireksia sering terjadi pada pasien dengan infeksi

berat atau perdarahan intrakranial.

Pengukuran suhu dilakukan menggunakan termometer yang diletakkan di oral,

rektum (0,4OC lebih tinggi daripada pengukuran oral), dan membran timpani.

Bagaimana demam dapat terjadi?

Demam timbul akibat SUBSTANSIA PIROGEN (Yunani pyr: api, -gen: menghasilkan).

Pirogen dapat berasal dari dalam tubuh itu sendiri, disebut PIROGEN ENDOGEN (hampir

semua pirogen endogen merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh sel imun tubuh –

contoh: IL-1, IL-6, TNF-, IFN yang dihasilkan oleh sel fagosit), sedangkan yang berasal

dari luar tubuh adalah PIROGEN EKSOGEN (umumnya bagian dari komponen bakteri,

seperti LPS/lipopolisakarida/endotoksin yang merupakan bagian dari dinding bakteri gram

negatif; obat; atau toksin lain. Pirogen eksogen mungkin dapat dikenali sistem imun

sehingga menimbulkan respons imun dan pada akhirnya juga menghasilkan sitokin yang

juga berperan sebagai pirogen endogen). Pirogen endogen yang merupakan sitokin dapat

pula dihasilkan oleh penyakit inflamasi. Dengan demikian demam tidak eksklusif bagi

penyakit infeksi.

Pirogen di sirkulasi darah dapat mencapai endotel hipotalamus SSP. Di sana, pirogen

menginduksi produksi PGE2(prostaglandin E2) dengan cara mengaktivasi PLA2

(fosfolipase A2), COX-2 (siklooksigenase-2), serta prostaglandin E2 sintase dalam jalur

asam arakidonat. Secara spesifik, PGE2 beraksi melalui neuron preoptik dan nukleus

paraventrikular (PVN) yang berada di hipotalamus, kemudian akan meningkatkan kadar

cAMP, dan pada akhirnya terjadi peningkatan set-point suhu tubuh.

Dengan demikian, jika hipotalamus secara alamiah mengatur suhu tubuh manusia di sekitar

37OC, PGE2 meningkatkannya, sebut saja mencapai 39OC. Akibatnya, suhu 37OC dinilai oleh

tubuh terlalu rendah, sehingga tubuh melalui hipotalamus memodulasi sinyal saraf otonom

(ingat bahwa hipotalamus juga memiliki efek untuk memodulasi sistem simpatis dan

parasimpatis). Aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi pemb. darah

kulit ( pengeluaran panas lewat kulit). Selain itu terjadi peningkatan tonus otot

menggigilshivering thermogenesis. Pada bayi, jaringan lemak cokelat dapat diinduksi

oleh sistem simpatis untuk menghasilkan kalor melalui proses non-shivering

thermogenesis. Keseluruhan efek di atas adalah meningkatkan konten kalor dalam tubuh

sehingga mengakibatkan peningkatan suhu tubuh, agar suhu 39OC yang diatur oleh

hipotalamus dapat dicapai.

Melihat konsep demam diperantarai oleh imunitas tubuh, orang yang malnutrisi, orang tua,

orang dengan status imun lemah dapat saja tidak mengalami demam yang mana pada

orang normal penyakit tersebut membawa demam. Jadi hati-hati dengan orang dengan

karakteristik seperti ini!

Tabel di bawah ini merangkum penyebab demam dengan cara memicu pembentukan

pirogen endogen:

Golongan Contoh Agen

Mikroba Virus, bakteri, fungi, parasit

Toksin mikroba Endotoksin

Eksotoksin: enterotoksin, TSS (sindroma syok toksin),

eksotoksin toksin-1 streptokokus pirogenik, toksin eritrogenik

Sisa hancuran

mikroba

Peptidoglikan, peptida muramil, asam lipoteikoat, polimer

glukosa rhamnosa, lipoarabinomannan

Komponen imun

dan sitokin

Kompleks Ab-Ag, komponen komplemen (terutama C5a dan

C3a), produk limfosit (IL-2, IFN), sitokin pirogen (IL-1, TNF-)

Obat Eitokolanolon, bleomisin, penisilin (melalui limfosit – terjadi

pada orang yang sensitif)

Tumor (dapat menghasilkan sitokin pirogenik)

Apa untungnya suhu tubuh meningkat?

Demam dapat membantu melawan proses infeksi yang sedang terjadi.

Sebagaimana reaksi kimia lainnya, peningkatan suhu butuh meningkatkan kerja sistem

imun (fagositosis menjadi lebih aktif, produksi Ab lebih cepat dan meningkat, dan reaksi

lainnya). Demam dapat pula menurunkan kadar serum Fe, Zn, dan Cu yang sangat

diperlukan untuk replikasi bakterial. Demam juga dapat mencegah virus menularkan dari sel

yang terinfeksi ke sel sehat tetangganya dengan menginduksi autodestruksi pada sel

terinfeksi virus.

Page 33: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

33

Pola Demam

Tipe Penjelasan Contoh

Intermiten Suhu kemudian menjadi normal

dan siklusnya berulang

Abses, malaria falsiparum,

penyakit still

Remiten Suhu , kemudian dapat tidak sampai

normal, dan siklusnya berulang

TB, endokarditis, demam

tifoid

Relaps

Suhu , kemudian menjadi normal,

dan terjadi lagi beberapa hari

kemudiana

Demam relaps, bruselosis,

malaria tertiana/kuartana,

limfoma

Bifasik

Demam yang terjadi kembali hanya

sekali (kurva yang dihasilkan seperti

dua puncak, maka itulah dinmakan

bifasik)

Leptospirosis, dengue,

demam colorado tick,

koriomeningitis limfositik

Kontinu

Suhu terjadi dalam beberapa hari,

dengan variasi suhu harian tidak lebih

dari 1OC

Ensefalitis, demam obat,

slamonella, demam

fastitious

a dari catatan penulis melalui ucapan lisan dr. Khie Chen, dikatakan bahwa relaps dapat

dikatakan jika setelah suhu meningkat, terjadi fase penurunan suhu hingga mencapai

normal dan bertahan minimal 2 x 24 jam tanpa pemberian antipiretik, baru kemudian

demam muncul kembali. Jadi orang yang terkena penyakit kemudian demam, minum obat

penyembuh penyakit dalam 3 hari sembuh, lalu minggu depan panas lagi dapat dikatakan

demamnya relaps. Misalnya orang yang resisten terhadap obat antimalaria. Contoh lain:

orang dengan demam tifoid yang diterapi, dalam 5 hari suhu menjadi normal. Namun

karena pengobatan tidak adekuat, orang tersebut panas lagi.

Beberapa kasus penyakit dapat menimbulkan pola demam yang khas (grafik suhu tubuh

untuk kondisi di bawah ini bisa dilihat di slide):

Demam tifoid: meningkat perlahan-lahan, memuncak di sekitar minggu ke-2 dan

3, kemudian turun walaupun tidak sampai normal (remiten)

Malaria akibat P. vivax: malaria tersiana (demam hari pertama, kedua normal,

ketiga muncul lagi). Merupakan contoh demam intermiten.

Malaria akibat P. falciparum: malaria tropika, demam hari pertama, kedua turun

(tidak sampai normal), meningkat lagi di hari ketiga. Merupakan contoh demam

remiten.

Hepatitis akut: demam remiten. Terdapat fase preikterik (3-10 hari) dan fase

ikterik (7-21 hari atau lebih)

Jika demam, apa yang harus dilakukan

Karena demam merupakan gejala, dan bukan diagnosis, pasti ada mekanisme dasar

penyebab demamnya. Oleh karena itu demam harus dicari penyebabnya, dan sebab itulah

yang ditatalaksana. Pemberian antipiretik dapat menurunkan set-point hipotalamus sesaat

sehingga menurunkan suhu tubuh, namun jika penyebab utamanya tetap terjadi maka suhu

tubuh akan meningkat kembali. Dalam konteks ini, mengingat ada penyakit yang memiliki

pola demam tertentu, penggunaan antipiretik dapat mengacaukan pola diagnosis yang

dibentuk dari pola perubahan suhu seiring dengan berjalannya waktu. Parasetamol (dan

OAINS lain) serta kortikosteroid dapat digunakan sebagai antipiretik.

Biasanya jika suhu masih sekitar 38OC, kita tidak turunkan suhunya dengan antipiretik,

namun kita tatalaksana penyakit yang mendasarinya. Jika panas lebih tinggi lagi (misal 39-

40OC) dapat dilakukan kompres dingin. Jika panas terlalu tinggi, tentu saja ini berbahaya

dan diperlukan antipiretik. Pada orang-orang dengan faktor risiko tertentu seperti bayi,

orang dengan gangguan kardiovaskular, wanita hamil memerlukan kontrol suhu lebih ketat

(mungkin kenaikan suhu tertentu harus langsung diturunkan).

[Iseng] Apa itu hipertermia? Apakah berbeda dengan demam?

Secara klinis hipertermia mirip demam, dengan peningkatan suhu tubuh saat dilakukan

pengukuran. Namun, dasar patogenesis keduanya berbeda. Hipertermia tidak

melibatkan kenaikan set-point hipotalamus, karena hipertermia terjadi akibat mekanisme

pembuangan kalor tubuh tak berjalan dengan baik. Dengan demikian saat seseorang

mengalami hipertermia, sesungguhnya hipotalamusnya “tidak diperintahkan” untuk

meningkatkan suhu (bandingkan dengan demam). Contoh: ingat kasus AMOK modul

METEND. AMOK (heat-stroke) terjadi karena seseorang berolahraga di udara dengan

kelembaban tinggi, sehingga mekanisme perspirasi tidak berjalan baik (padahal perspirasi

dalam hal ini dominan untuk membuang kalor tubuh yang berlebih akibat olahraga).

Dengan demikian hipertermia, bukan demam, yang terjadi. Patogenesis hipertermia tidak

melibatkan pirogen sama sekali.

“Humanity has but three great enemies: Fever, famine and war; of theseby far the greatest,

by far the most terrible, is fever.”

William Osler

Referensi

1. Slide kuliah dr. Khie Chen

2. Harrison‟s Principles of Internal Medicine, 17th ed.

[Evan Regar]

Page 34: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

34

T-14 PENDEKATAN KLINIS DALAM PENATALAKSANAAN DEMAM

Demam merupakan kondisi peningkatan suhu tubuh di atas variasi sikardian normal. Hal

tersebut disebabkan oleh perubahan pusat pengatur panas yang terletak di hipotalamus

anterior. Secara normal, manusia berusia 18 sampai 40 tahun memiliki variasi suhu

36,8±0,4 ⁰C (98,2±0,7⁰F). Titik nadir, atau titik terendah suhu manusia terjadi pada pukul

06.00 pagi dengan suhu maksimal sebesar 37,2⁰C. Sementara, titik tertinggi atau zenith

terjadi pada pukul 16.00-18.00 dengan suhu tertinggi 37,7⁰C pada pukul 16.00. Secara

normal, dalam 24 jam, manusia memiliki selisih variasi suhu tubuh terendah dan tertinggi

sebesar 0,5⁰C. Namun, masih bisa diartikan sebagai normal meski perbedaannya mencapai

1⁰C pada titik nadir dan zenith.

Pirogen, substansi yang menyebabkan demam dapat berasal dari eksogen berupa

mikroorganisme, produknya atau toksin maupun endogen. Pirogen endogen dihasilkan oleh

tubuh sendiri yang secara umum merupakan respon terhadap stimulus yang seringkali

dipicu oleh infeksi dan inflamasi.

Sitokin-sitokin pirogenik seperti IL-1, TNF, IL-6 dan INF‟s nantinya akan menstimulus

hipotalamus anterior untuk menghasilkan PGE2 sehingga set point pengaturan panas naik.

Antipiretik bekerja dengan menghambat proses pembentukan PGE2 tersebut.

Dalam mendiagnosis demam, yang perlu kita perhatikan adalah riwayat, pola demam,

pemeriksaan fisik, tes laboratorium,serta respon dari usaha diagnosis dan terapi yang

dilakukan.

a. Riwayat

Dalam riwayat, yang perlu kita perhatikan tidak hanya demamnya saja, melainkan juga

di mana pasien tinggal (kondisi geografisnya), perjalanan, hewan peliharaan, orientasi dan

kelakukan seksual, penggunaan obat intravena, trauma, gigitan hewan, gigitan serangga,

transfusi, imunisasi, dan alergi obat atau hipersensitivitas. Riwayat sangat membantu untuk

mempersempit kemungkinan diagnosis seperti infeksi atau bukan infeksi. Jika pun infeksi,

kita dapat mengarah pada organisme tertentu dengan mengetahui riwayat tersebut.

Penggunaan obat (termasuk yang diminum tanpa pengawasan medis), termasuk prosedur

bedah dan implant, juga perlu diperhatikan. Selain itu, yang perlu diketahui pula adalah

etnis maupun riwayat keluarga berupa tuberkulosis, penyakit infeksi atau demam, artritis

atau penyakit kolagen vaskular, serta gejala yang tidak biasa pada keluarga (urtikaria,

demam dan poliserositis, nyeri tulang atau anemia).

Pola demam secara umum dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu:

Sustained fever: suhu tubuh terus menerus tinggi (di atas normal) dalam beberapa

hari (tingginya tidak terlalu bervariasi).

Intermittent fever: suhu tubuh naik turun dari hari ke hari, bervariasi dari

demamsuhu normaldemamsuhu normal.

Remittent fever: suhu naik turun dari hari ke hari. Berbeda dengan intermittent,

pada remittent fever suhu tidak pernah mencapai normal.

Relapsing fever: bisa dikatakan sebagai demam kambuhan. Pasien mengalami

demam selama beberapa hari, kemudian kembali normal selama beberapa hari,tetapi

kemudian suhu kembali naik. Demam ini mirip dengan intermittent, hanya saja fase

demam dan fase normalnya terjadi dalam beberapa hari.

b. Pemeriksaan Fisik

Setelah melakukan anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang teliti yang

sebaiknya dilakukan berulang secara teratur. Semua tanda fisik perlu diperhatikan karena

dapat relevan dengan gejala demam yang muncul. Selain itu, perlu dicermati pula keadaan

kulit, nodus limfa, mata, ujung kuku, sistem kardiovaskular, dada, abdomen, sistem

muskuloskeletal, dan sistem saraf. Dikatakan juga bahwa pemeriksaan rektal cukup penting

dan dapat mendesak. Penis, prostat, skrotum, dan testis sebaiknya diperiksa dengan hati-

hati. Jika perlu, kalau belum disunat, kulup penis perlu ditarik. Pemeriksaan pelvis secara

umum juga bisa dilakukan.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan di antaranya adalah

Hitung darah lengkap, hitung jenis, laju endap darah,

CRP (c-reactive protein)

Urinalisis, pemeriksaan tinja

Elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, tes fungsi hati, CPK (creatinin phosphokinase),

amilase, lipase

Radiologi (CXR, ultrasonografi abdominal, CT scan, echo)

Serologi (widal, serologi dengue, fungal, HIV, CMV)

Komplemen

Mikrobiologi (darah, kultur spesimen, PCR)

Pemeriksaan akumulasi cairan yang abnormal

Biopsi sumsum tulang belakang

Histopatologi

Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap respon dari usaha diagnostik dan terapi yang

dilakukan. Dalam tahap ini, tampilan klinis dan pemeriksaan laboratorium diperiksa

korelasinya. Selain itu, treatment empiris yang dilakukan juga perlu diperiksa apakah

berespon membaik atau tidak.

Dalam pendekatan klinis, kita perlu perhatikan apakah demam tersebut merupakan demam

akut atau berkepanjangan karena dapat membantu untuk mengarahkan ke faktor penyebab

yang harus ditangani. Jika terjadi kurang dari 2 minggu, demam termasuk akut. Infeksi

Page 35: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

35

sistemik yang dapat menyebabkan demam ini di antaranya adalah infeksi virus, malaria,

demam dengue, leptospirosis. Penyakit tadi biasanya menyebabkan demam sampai 1

minggu. Jika sampai 2 minggu, ada kemungkinan demam tersebut merupakan demam

tifoid. Infeksi organ fokal yang dapat dicurigai sebagai penyebab demam di antaranya

adalah pneumonia, pielonefritis, apendisitis, kolesistitis, abses liver,infeksi saluran kemih,

infeksi pelvis, dsb. (Dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dilakukan sebelumnya,

kita dapat mempersempit kemungkinan-kemungkinan di atas).

Disebut demam berkepanjangan apabila terjadi lebih dari 2 minggu. TB sistemik,

keganasan (limfoma, leukimia, mieloma), autoimun (rheumatoid arthritis, SLE), induksi

obat, metabolik, HIV dan malingering dapat bermanifestasi sebagai demam berkepanjangan

ini.

Contoh kasus pada kuliah ini adalah

Seorang pria, 23 tahun, pekerja kasar. Dia mengeluhkan demam tinggi sejak 5 hari yang

lalu. Selain itu, dia merasa sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Diare, batuk dan

bersin disangkal.

Secara umum, kita dapat membedakan penyebab demam ini sebagai demam akibat infeksi

dan non infeksi. Ciri khas yang dapat kita amati pada infeksi adalah onsetnya akut, suhu

tinggi, ada riwayat kontak atau eksposur, data epidemiologi dan demografi. Sementara

yang non infeksi onsetnya lama, suhu tidak terlalu tinggi, tidak ada kontak. Untuk

autoimun, secara demografi wanita lebih rentan terkena sedangkan keganasan lebih pada

orang tua.

Dari informasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa demam disebabkan oleh infeksi.

Namun, belum dapat dipastikan apakah oleh bakteri, virus atau parasit. Selain itu, kita

sudah mendapatkan data bahwa ada gejala pada gastrointestinal dan CNS, tetapi belum

pasti apakah sistem tersebut merupakan lokasi/fokal infeksi atau infeksi sistemik yang

menyebabkan sistem tersebut mendapatkan pengaruh. Maka dari itu, diperlukan

pemeriksaan laboratorium serta mengamati respon terhadap perawatan empiris untuk

menentukan diagnosis.

Demam Dengue/ Demam Dengue Hemoragik

Demam ini disebakan oleh flavivirus, khususnya virus dengue tipe 1-4. Patogenesisnya

dipengaruhi oleh virulensi virus, peningkatan non-neutralized antibodi dan infeksi heterolog

sekunder. Manifestasi dari infeksi ini berupa:

Untuk melakukan diagnosis penyakit ini, terdapat kriteria diagnosis menurut WHO tahun

1997 berupa demam akut selama 2-7 hari (biasanya bifasik), level platelet yang

rendah (<100.000/mm3) dan adanya kebocoran plasma. Rendahnya kadar platelet

didukung oleh manifestasi perdarahan, pemeriksaan tourniquet positif, ptekie, ekimosis,

purpura, perdarahan mukosa, hematoma mukosa, hematemesis dan melena.

Sedangkan kebocoran plasma dapat bermanifestasi pada peningkatan hematokrit >20%,

penurunan hematokrit >20% sesudah penatalaksanaan cairan, efusi pleura, ascites,

hiponatremia, dan hipoalbuminemia.

Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan manifestasi dari infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh

Salmonela enterica serotipe thyphi atau parathypi yang juga dikenal sebagai Salmonella

typhi. Manifestasi dari demam tifoid ini berupa demam dengan pola berjenjang naik. Selain

itu, terdapat gejala sakit kepala, myalgia, anoreksia, mual, muntah. Gangguan pada

abdominal dapat berupa konstipasi dan diare, yang jika parah dapat terjadi perdarahan dan

perforasi intestinal. Pembesaran liver dan limfa mungkin terjadi. Selain itu, pasien dapat

mengalami penurunan kesadaran menjadi apati, delirium atau koma. Lidah pasien nampak

bersalut. Juga, dapat terjadi bradikardi relatif dan rose spot.

Kriteria diagnostik dapat dibedakan menjadi definitif dan probable. Diagnostik definitif

berupa kultur empedu atau PCR Salmonella thypi positi, titer widal serology agglutinin O≥

1/640 atau titer H≥1/1280, serta peningkatan titer O dua kali atau lebih. Pasien baru bisa

Page 36: Tentir Modul Infeksi Imunologi Sum I Part I

36

disimpulkan mungkin mengalami demam tifoid apabila titer widal serology agglutinon O

hanya 1/320 atau titer H 1/640.

Malaria

Malaria disebabkan oleh plasmodium yang transmisinya melalui nyamuk anopheles. Ada

empat spesies protozoa ini yaitu Plasmodium falciparum, vivax, malariae dan ovale.

Infeksi dapat terjadi melalui transmisi oleh vektor nyamuk atau induksi melalui transfusi

darah, injeksi bahkan kongenital.

Gejala yang muncul di antaranya adalah trias malaria berupa demam, menggigil dan

berkeringat. Selain itu, seperti pada demam tifoid, penderita malaria dapat mengalami sakit

kepala, mual-muntah, diare dan myalgia. Karena biasanya bersifat endemik, biasanya

pasien memiliki riwayat bepergian ke daerah yang endemik dalam 1-4 minggu yang lalu

atau bahkan tinggal di daerah tersebut. Sesuai dengan jalur transmisinya, riwayat transfusi

serta riwayat malaria juga perlu dipastikan. Demam pada malaria dapat mencapai 37,5-

40⁰C. Juga dapat terjadi anemia, splenomegali, hepatomegali dan hilangnya kesadaran.

Diagnosis malaria berat dapat ditegakan jika ditemukan P.falciparum asexual pada

apusan darah dengan salah satu kondisi berikut.

Hilangnya kesadaran, konvulsi, koma

Anemia berat (Hb<5 g/dl atau hematokrit<15 dengan hitung parasit >10.000/ul

Gagal ginjal akut

Edema paru atau accute respiratory distress syndrome

Hipoglikemia

Syok

Perdarahan

Asidosis

Hemoglobinuria makroskopik

Hiperparasitemia >5% di area hipoendemic

Jaundice (bilirubin>3 mg/dl

Hiperpireksia

Ganggaun neurologis atau kelelahan

Diagnosis post mortem

[Johny Bayu Fitantra]