Studi Kasus Osteo
-
Upload
aditya-putra -
Category
Documents
-
view
104 -
download
1
Transcript of Studi Kasus Osteo
STUDI KASUS
KASUS 1 OSTEOPOROSIS
Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa
fraktura pinggul. Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat
sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri, tidak minum
alkohol, merokok. Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x
1000 mg dan codein 4 x 30 mg. Keluhan : nyeri masih terasa.
PERTANYAAN:
1. Rekomendasi untuk nyeri yang masih dirasakan?
2. Jelaskan kontraindikasi dan peringatan untuk analgesik yang anda
rekomendasikan!
3. Terapi adjuvan apa yang anda sarankan pada dokter untuk
diberikan bersama analgesik tersebut
4. Parameter apa yang harus dimonitor?
5. Setelah operasi tulang pinggul, wanita ini ternyata didiagnosis
osteoporosis, apa yang dimaksud osteoporosis?
6. Obat apa saja yang dapat menginduksi osteoporosis?
7. Jelaskan faktor risiko osteoporosis dan apa faktor risiko pasien ini?
8. Berikan saran anda untuk terapi nonfarmakologi!
9. Jelaskan pilihan terapi untuk osteoporosis
JAWABAN:
1. Pasien mendapat terapi parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan
codein 4 x 30 mg untuk nyeri fraktura yang dialami namun nyeri
masih terasa. Untuk mengatasi nyeri yang masih terasa tersebut
direkomendasikan dengan mengganti parasetamol dengan obat
analgesik golongan NSAID yaitu ibuprofen dengan dosis 1,2 gr
perhari atau 4 x 300 mg per hari (Martin, 2007).
2. Kontraindikasi dan perhatian untuk ibuprofen: NSAID harus
digunakan dengan hati-hati pada orang tua, pada pasien dengan
riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lain-yang
meliputi orang-orang yang terserang asma, angioedema, urtikaria
atau rhinitis yang telah dipicu oleh aspirin atau NSAID lainnya),
selama kehamilan dan menyusui. Pada pasien dengan kerusakan
ginjal, jantung, atau hati, pasien dengan gagal jantung parah, dan
pasien dengan ulkus peptikum sebelumnya (Martin, 2007).
3. Terapi adjuvant yang disarankan kepada dokter untuk diberikan
bersama dengan ibuprofen adalah dengan pemberian golongan
proton pump inhibitor yaitu omeprazole 1 x 20 mg/hari untuk
pencegahan ulkus sebagai efek samping dari penggunaan
ibuprofen (NSAID) (Martin, 2007).
4. Monitoring terapi
a. Monitoring Subjektif
Apakah pasien masih sering mengalami nyeri pada pinggang atau tidak.
b. Monitoring Objektif
Pemeriksaan ulang massa tulang.
c. Monitoring ESO (Efek Samping Obat)
Efek samping Ibuprofen : Gastric distress, kehilangan darah, diare, muntah,
pusing, ruam kulit dan kadang-kadang terjadi; ulserasi GI (Burns, 2008).
Efek samping Codein : insomnia (susah tidur), vertigo, sakit kepala, mual,
muntah, sembelit dengan dosis berulang, sedasi, dan palpitasi. Tidak dianjurkan
untuk pasien dengan hipersensitivitas dengan narkotika (Ehrenpreis, 2001).
5. Osteoporosis merupakan gangguan tulang yang ditandai dengan penurunan masa
tulang dan kerusakan jaringan tulang sehingga dapat menyebabkan kerapuhan
tulang dan meningkatkan risiko patah tulang ( Wells, et al, 2009)
6. Obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya osteoporosis adalah
pemberian kortikosteroid oral (prednisone dengan dosis lebih
besar dari 7,5 mg/hari), pengganti hormone tiroid, beberapa obat
antiepilepsi (seperti fenitoin, fenobarbital), dan penggunaan
heparin dalam jangka panjang (lebih besar dari 15.000 samapai
30.000 unit setiap hari selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) (Burns,
2008).
7. Faktor resiko dari osteoporosis meliputi:
a) Factor genetik termasuk etnis KauKasia atau Asia, riwayat
keluarga osteoporosis atau patah tulang, dan kerangka tubuh
kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh yang rendah)
b) Gaya hidup atau faktor makanan termasuk gaya hidup dengan
dengan berolahraga minimal, merokok, konsumsi alkohol yang
berlebihan, paparan sinar matahari sedikit, asupan kalsium
yang rendah, intoleransi laktosa, asupan kafein yang tinggi,
asupan fosfor tinggi, asupan hewani yang tinggi, penurunan
berat badan lebis besar daripada 10% setelah usia 50, dan
anoreksia nervosa.
c) Factor ginekologi termasuk menarche akhir, operasi atau
menepouse alami dini, oophorectomy tanpa terapi pengganti
estrogen, nulliparity, dan amenore.
d) Penyakit kronis yang dapat meningkatkan risiko sindrom
termasuk hipertiroidisme, cushing, kanker tulang, dan diabetes
mellitus tipe I.
e) Obat-obat yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis
termasuk kortikosteroid, suplemen tiroid, terapi heparin pada
dosis tinggi dalam jangka panjang, dan antikonvulsan.
(Burns, 2008)
Faktor resiko osteoporosis dari pasien adalah pasien merokok,
pasien telah berusia 77 tahun dimana telah memasuki masa
postmenepouse, pasien pernah terjatuh dan mengalami fraktur.
8. Terapi nonfarmakologi yang disarankan adalah pasien disarankan
untuk berhenti merokok, karena merokok dapat menyebabkan
kehilangan massa tulang dan meningkatkan terjadinya fraktur
dengan berbagai mekanisme. Mengurangi konsumsi kopi atau
tidak lebih dari 2 cangkir kopi. Diet yang seimbang dengan asupan
kalsium dan vitamin D yang dapat diperoleh dari berbagai sumber
makanan seperti susu rendah lemak, yogurt, es krim, keju, susu
kedelai, tahu, bayam, tuna, dan lain-lain. Mengkonsumsi suplemen
vitamin D dan kalsium untuk mencapai intake yang memadai.
Mencegah resiko jatuh dapat dengan menggunakan peralatan
bantu seperti tongkat untuk berjalan (Burns, 2008).
9. Pilihan terapi untuk osteoporosis
Dalam pemilihan terapi untuk osteoporosis, pilihan pertama
adalah dengan terapi pencegahan secara nonfarmakologi yaitu
dengan asupan nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin,
protein dan karbohidrat, mengkonsumsi suplemen kalsium dan
vitamin D untuk mencapai intake yang memadai, aktivitas fisik
yang optimal (seperti aerobic, melatih keseimbangan, melatih
otot), gaya hidup sehat dengan tidak merokok, meminimalkan
alcohol, dan kafein, mencegah jatuh dan trauma.
Menurut Dipiro (2005), dibagi algoritma terapi dapat di bagi menjadi dua yaitu:
1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :
Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang
Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama
Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah
pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide
2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Populasi yang perlu pengukuran BMD :
Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun.
Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko
osteoporotis.
Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi.
Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD
termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun.
Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah
Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).
Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat
dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan,
maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin
Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis
sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel
kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab,
bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate
maka pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide,
Raloxifene dan Calcitonin.
Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi
dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah
pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.
Berikut adalah algoritma terapi osteoporosis (Dipiro et al, 2005).
LANJUTAN KASUS 1 OSTEOPOROSIS
Untuk terapi osteoporosis diberikan : alendronate seminggu 1 x 70
mg, kalsium dan vitamin D, sehari 2 x 1 tablet.
PERTANYAAN:
1. Jelaskan mekanisme kerja alendronate!
2. Jelaskan efek samping alendronate!
3. Jelaskan interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan!
4. Apa saran anda untuk aturan pakai obat2 tersebut?
5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?
6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran
anda tentang kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!
JAWABAN:
1. Mekanisme Kerja Alendronate
Alendronate merupakan obat golongan Bisphosphonates yang merupakan
first line therapy dalam mencegah patah tulang pinggul dan tulang belakang. Obat
ini juga paling sering diresepkan untuk terapi osteoporosis. Alendronate
menurunkan resorpsi tulang dengan mengikat matriks tulang dan menghambat
aktivitas osteoklas. Obat ini tetap dalam tulang dalam waktu lama dan dilepaskan
sangat lambat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan densitas mineral tulang,
yang merupakan penanda penting dari efek pengobatan. Penggunaan allendronate
untuk osteoporosis juga terkait dengan manfaat yang ditemukan dalam percobaan,
yang menunjukkan penurunan resiko fraktur yang lebih besar (Burns, 2008).
2. Efek Samping Alendronate
Efek samping yang di timbulkan oleh alendronat antara lain:
Pada saluran pencernaan : nyeri perut, dispepsia, diare atau sembelit adalah
efek samping yang paling sering. Kondisi esofagus yang parah seperti
esofagitis, erosi, ulserasi, pernah dilaporkan. Ulser peptik juga telah
dilaporkan.. Pasien harus disarankan untuk berhenti minum obat dan
menghubungi dokter apabila tdan mencari bantuan medis jika timbul gejala
seperti disfagia, nyeri yang semakin memburuk, nyeri saat menelan. Oleh
karena itu pasien dengan gangguan esophagus tidak disarankan untuk
pemberian obat ini, dan juga untuk pasien yang mengalami gangguan pada
saluran pencernaan atas.
Pada mata, seperti pembengkakak konjungtiva, pembengkakan pada kelopak
mata pernah dilaporkan.
Pada jantung, seperti aritmia, dan atrial fibrillation pernah dilaporkan.
Mekanisme aritmia yang terjadi belum jelas, kemungkinan karena konsentrasi
kalsium serum.
Pada hati, seperti hepatitis dan kerusakan hepatoselular dan peningkatan enzim
hati.
Pada ginjal, gagal ginjal akut pernah dilaporkan.
Pada muscuskeletal, seperti gangguan sinovitis pernah dilaporkan
Pada mental, terjadinya halusinasi pernah dilaporkan.
Hipersensitivitas, dapat menimbulkan reaksi alergi tapi jarang, seperti
angiodema, uritikaria, pruritis.(Sweetman, 2009)
3. Interaksi Alendronate dengan Obat Lain dan Makanan
Konsumsi alendronate bersamaan dengan adanya makanan dan suplemen
kalsium akan menurunkan penyerapan dari alendronate (Burns, 2008). Selain itu
dapat pula terjadi interaksi obat antara alendronate dengan beberapa obat lainnya,
yaitu sebagai berikut :
Obat yang meningkatkan efek / toksisitas alendronate : ranitidine dan aspirin.
Obat yang mengurangi efek / toksisitas alendronate: seiring suplemen kalsium,
antasida.
Karena berbagai obat dapat menurunkan penyerapan alendronate, pasien harus
menunggu setidaknya 30 menit setelah minum obat sebelum mengkonsumsi
alendronate (Ehrenpreis, 2001).
4. Aturan Pakai obat dan Saran Terkait Pemberian Alendronat
Alindronate adalah aminobifosfat yang merupakan inhibitor poten resorpsi tulang
dan diberikan dalam pengelolaan osteoporosis baik sebagai agen tunggal ataupun
dengan vitamin D. alendronate digunakan untuk penyakit tulang paget. Selain itu
obat ini juga digunakan untuk pengobatan metastatis tulang dan hiperkalsemia yang
ganas. Alendronate diberikan oral sebagai garam natrium, tetapi dosis dinyatakan
dalam asam alendronic, alendronate 1,3 mg setara dengan sekitar 1 mg asam
alendronic. Dosis yang biasa digunakan untuk pengobatan osteoporosisi pria dan
wanita adalah 10 mg perhari. Pascamenopause wanita dapat diberikan 5 mg setiap
hari untuk profilaksis atau 70 mg perminggu dan 35 mg perminggu untuk
profilaksis. Pria dengan osteoporosis dapat diobati dengan 70 mg perminggu.
Untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid
diberikan dosis 5 mg perhari. Wanita menopause yang tidak mengambil HRT harus
diberikan 10 mg perhari pada orang dewasa dengan tulang diseaseof paget dosis
biasa adalah 40 mg setiap hari selama 6 bulan. Pengobatan dapat diulang jika
diperlukan setelah selang waktu 6 bulan ( Sweetman,2009 ).
5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?
Pasien harus diintruksikan meminum alendronate satu kali seminggu dengan dosis
70 mg, dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit
sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat dapat mengiritasi
lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh
berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya untuk menghindari refluks aliran
kembali ke dalam esophagus. Kalsium dan vitamin D dapat diminum dua kali sehari
satu tablet, tidak diminum bersamaan dengan alendronat karena dapat menurunkan
absorbsi alendronat ( Sweetman,2009 ).
6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang
kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!
Teriparatide merupakan rekombinan hormon paratiroid manusia (1-34), adalah agen
anabolik pertama yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan osteoporosis. Obat ini
umumnya digunakan untuk pasien dengan osteoporosis moderat hingga yang parah.
Agen ini berbeda dari terapi antiresorptif, dalam hal ini merangsang aktivitas
osteoblastik untuk membentuk tulang baru dengan pemberian sekali sehari.
Teriparatide juga memiliki banyak aksi yang mirip dengan endogen hormon
paratiroid, dan infus kontinyu sebenarnya merangsang aktivitas osteoklastik dan
meningkatkan resorpsi tulang. Dalam suatu studi, sifat pembentuk tulangnya
meningkatkan kepadatan mineral tulang pada tulang belakang dan pinggul masing-
masing sebesar 9% dan 3%. Setelah 21 bulan terapi, peningkatan ini menyebabkan
65% dan 35% penurunan patah tulang belakang dan nonvertebral (Burns, 2008).
Efek obat ini dalam meningkatkan Bone Mass Density (BMD) ketika digunakan
secara tunggal ditemukan lebih besar daripada bila digunakan dengan alendronate,
atau penggunaan alendronate tunggal. Namun efikasi dalam pencegahan patah
tulang yang kurang, menyebabkan obat ini digunakan sebagai lini kedua untuk
pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi terhadap bisphosphonates seperti
alendronate (Sweetman, 2009).
Dosis teriparatide adalah 20 mcg diberikan secara injeksi subkutan sekali
sehari. Obat ini tersedia dalam multipledose-prefilled dengan sistem pengiriman
pena. Efek samping yang umum termasuk mual, sakit kepala, kram kaki, pusing,
ketidaknyamanan pada tempat injeksi, dan hiperkalsemia. Osteosarcoma telah
diamati pada hewan uji, tetapi tidak ada kasus telah dilaporkan pada manusia.
Namun, ini menimbulkan kekhawatiran sehingga menyebabkan dimasukkannya
peringatan black box di label produk. Selain itu terdapat peringatan bahwa
teriparatide tidak boleh digunakan pada pasien dengan peningkatan risiko untuk
osteosarcoma, termasuk pasien dengan penyakit tulang paget, dimana dijelaskan
peningkatan fosfatase alkali, radiasi sebelum terapi melibatkan kerangka, dan / atau
anak-anak dan dewasa muda dengan epiphyses terbuka. Selain itu, teriparatide tidak
boleh digunakan pada pasien yang sebelumnya sudah ada hiperkalsemia atau terapi
radiasi tulang (Burns, 2008)
7. Saran untuk Penggunaan Teriparatide
Pada kasus ini penggunaan teriparatide sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini
dikarenakan melihat dari kondisi pasien yang tidak memiliki kontraindikasi
terhadap penggunaan alendronate, maka sebaiknya alendronate menjadi pilihan
pertama untuk pengobatan dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan walaupun
teriparatide memiliki kemampuan untuk meningkatkan Bone Mass Density (BMD)
yang lebih besar ketika digunakan secara tunggal dibandingkan penggunaan
alendronate, namun efikasi dalam pencegahan patah tulang dari teriparatide lebih
rendah, sehingga obat ini umumnya digunakan sebagai lini kedua untuk pasien
osteoporosis. Selain itu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa teriparatide
meningkatkan resiko osteosarcoma yang telah diamati pada hewan uji, walaupun
belum ada kasus yang telah dilaporkan pada manusia. Kekhawatiran pasien
terhadap penggunaan obat ini juga terkait dengan biaya terapi yang besar dan
kebutuhan suntikan subkutan yang mempengaruhi kenyamanan pasien pada
penggunaan teriparatide (Burns, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J. C.
Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New
York: The McGraw-Hill Companies.
Enrenpreis, S and E.D Enrenpreis. 2001. Clinician’s Handbook of Prescription Drugs.
USA: The McGraw-Hill Companies Inc.
Martin, John. 2007. British National Formulary. London: Royal
Pharmaceutical Society of Great Britain.
Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Sixth edition.
London: Pharmaceutical Press.
Wells Barbara G., Joseph T. DiPiro., Terry L. Schwinghammer., and Cecily V. DiPiro.
2009. Pharmacotherapy Handbook, 7th Edition. The McGraw-Hill Companies,
Inc.: New York.