Studi Kasus Osteo

18
STUDI KASUS KASUS 1 OSTEOPOROSIS Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa fraktura pinggul. Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri, tidak minum alkohol, merokok. Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan codein 4 x 30 mg. Keluhan : nyeri masih terasa. PERTANYAAN: 1. Rekomendasi untuk nyeri yang masih dirasakan? 2. Jelaskan kontraindikasi dan peringatan untuk analgesik yang anda rekomendasikan! 3. Terapi adjuvan apa yang anda sarankan pada dokter untuk diberikan bersama analgesik tersebut 4. Parameter apa yang harus dimonitor? 5. Setelah operasi tulang pinggul, wanita ini ternyata didiagnosis osteoporosis, apa yang dimaksud osteoporosis? 6. Obat apa saja yang dapat menginduksi osteoporosis? 7. Jelaskan faktor risiko osteoporosis dan apa faktor risiko pasien ini? 8. Berikan saran anda untuk terapi nonfarmakologi!

Transcript of Studi Kasus Osteo

Page 1: Studi Kasus Osteo

STUDI KASUS

KASUS 1 OSTEOPOROSIS

Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa

fraktura pinggul. Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat

sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri, tidak minum

alkohol, merokok. Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x

1000 mg dan codein 4 x 30 mg. Keluhan : nyeri masih terasa.

PERTANYAAN:

1. Rekomendasi untuk nyeri yang masih dirasakan?

2. Jelaskan kontraindikasi dan peringatan untuk analgesik yang anda

rekomendasikan!

3. Terapi adjuvan apa yang anda sarankan pada dokter untuk

diberikan bersama analgesik tersebut

4. Parameter apa yang harus dimonitor?

5. Setelah operasi tulang pinggul, wanita ini ternyata didiagnosis

osteoporosis, apa yang dimaksud osteoporosis?

6. Obat apa saja yang dapat menginduksi osteoporosis?

7. Jelaskan faktor risiko osteoporosis dan apa faktor risiko pasien ini?

8. Berikan saran anda untuk terapi nonfarmakologi!

9. Jelaskan pilihan terapi untuk osteoporosis

JAWABAN:

1. Pasien mendapat terapi parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan

codein 4 x 30 mg untuk nyeri fraktura yang dialami namun nyeri

masih terasa. Untuk mengatasi nyeri yang masih terasa tersebut

direkomendasikan dengan mengganti parasetamol dengan obat

Page 2: Studi Kasus Osteo

analgesik golongan NSAID yaitu ibuprofen dengan dosis 1,2 gr

perhari atau 4 x 300 mg per hari (Martin, 2007).

2. Kontraindikasi dan perhatian untuk ibuprofen: NSAID harus

digunakan dengan hati-hati pada orang tua, pada pasien dengan

riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lain-yang

meliputi orang-orang yang terserang asma, angioedema, urtikaria

atau rhinitis yang telah dipicu oleh aspirin atau NSAID lainnya),

selama kehamilan dan menyusui. Pada pasien dengan kerusakan

ginjal, jantung, atau hati, pasien dengan gagal jantung parah, dan

pasien dengan ulkus peptikum sebelumnya (Martin, 2007).

3. Terapi adjuvant yang disarankan kepada dokter untuk diberikan

bersama dengan ibuprofen adalah dengan pemberian golongan

proton pump inhibitor yaitu omeprazole 1 x 20 mg/hari untuk

pencegahan ulkus sebagai efek samping dari penggunaan

ibuprofen (NSAID) (Martin, 2007).

4. Monitoring terapi

a. Monitoring Subjektif

Apakah pasien masih sering mengalami nyeri pada pinggang atau tidak.

b. Monitoring Objektif

Pemeriksaan ulang massa tulang.

c. Monitoring ESO (Efek Samping Obat)

Efek samping Ibuprofen : Gastric distress, kehilangan darah, diare, muntah,

pusing, ruam kulit dan kadang-kadang terjadi; ulserasi GI (Burns, 2008).

Efek samping Codein : insomnia (susah tidur), vertigo, sakit kepala, mual,

muntah, sembelit dengan dosis berulang, sedasi, dan palpitasi. Tidak dianjurkan

untuk pasien dengan hipersensitivitas dengan narkotika (Ehrenpreis, 2001).

Page 3: Studi Kasus Osteo

5. Osteoporosis merupakan gangguan tulang yang ditandai dengan penurunan masa

tulang dan kerusakan jaringan tulang sehingga dapat menyebabkan kerapuhan

tulang dan meningkatkan risiko patah tulang ( Wells, et al, 2009)

6. Obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya osteoporosis adalah

pemberian kortikosteroid oral (prednisone dengan dosis lebih

besar dari 7,5 mg/hari), pengganti hormone tiroid, beberapa obat

antiepilepsi (seperti fenitoin, fenobarbital), dan penggunaan

heparin dalam jangka panjang (lebih besar dari 15.000 samapai

30.000 unit setiap hari selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) (Burns,

2008).

7. Faktor resiko dari osteoporosis meliputi:

a) Factor genetik termasuk etnis KauKasia atau Asia, riwayat

keluarga osteoporosis atau patah tulang, dan kerangka tubuh

kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh yang rendah)

b) Gaya hidup atau faktor makanan termasuk gaya hidup dengan

dengan berolahraga minimal, merokok, konsumsi alkohol yang

berlebihan, paparan sinar matahari sedikit, asupan kalsium

yang rendah, intoleransi laktosa, asupan kafein yang tinggi,

asupan fosfor tinggi, asupan hewani yang tinggi, penurunan

berat badan lebis besar daripada 10% setelah usia 50, dan

anoreksia nervosa.

c) Factor ginekologi termasuk menarche akhir, operasi atau

menepouse alami dini, oophorectomy tanpa terapi pengganti

estrogen, nulliparity, dan amenore.

d) Penyakit kronis yang dapat meningkatkan risiko sindrom

termasuk hipertiroidisme, cushing, kanker tulang, dan diabetes

mellitus tipe I.

Page 4: Studi Kasus Osteo

e) Obat-obat yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis

termasuk kortikosteroid, suplemen tiroid, terapi heparin pada

dosis tinggi dalam jangka panjang, dan antikonvulsan.

(Burns, 2008)

Faktor resiko osteoporosis dari pasien adalah pasien merokok,

pasien telah berusia 77 tahun dimana telah memasuki masa

postmenepouse, pasien pernah terjatuh dan mengalami fraktur.

8. Terapi nonfarmakologi yang disarankan adalah pasien disarankan

untuk berhenti merokok, karena merokok dapat menyebabkan

kehilangan massa tulang dan meningkatkan terjadinya fraktur

dengan berbagai mekanisme. Mengurangi konsumsi kopi atau

tidak lebih dari 2 cangkir kopi. Diet yang seimbang dengan asupan

kalsium dan vitamin D yang dapat diperoleh dari berbagai sumber

makanan seperti susu rendah lemak, yogurt, es krim, keju, susu

kedelai, tahu, bayam, tuna, dan lain-lain. Mengkonsumsi suplemen

vitamin D dan kalsium untuk mencapai intake yang memadai.

Mencegah resiko jatuh dapat dengan menggunakan peralatan

bantu seperti tongkat untuk berjalan (Burns, 2008).

9. Pilihan terapi untuk osteoporosis

Dalam pemilihan terapi untuk osteoporosis, pilihan pertama

adalah dengan terapi pencegahan secara nonfarmakologi yaitu

dengan asupan nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin,

protein dan karbohidrat, mengkonsumsi suplemen kalsium dan

vitamin D untuk mencapai intake yang memadai, aktivitas fisik

yang optimal (seperti aerobic, melatih keseimbangan, melatih

otot), gaya hidup sehat dengan tidak merokok, meminimalkan

alcohol, dan kafein, mencegah jatuh dan trauma.

Menurut Dipiro (2005), dibagi algoritma terapi dapat di bagi menjadi dua yaitu:

Page 5: Studi Kasus Osteo

1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :

Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang

Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama

Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan

Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,

teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah

pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide

2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)

Populasi yang perlu pengukuran BMD :

Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun.

Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko

osteoporotis.

Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi.

Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD

termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun.

Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah

Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).

Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat

dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan,

maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin

Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis

sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel

kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab,

bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate

maka pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide,

Raloxifene dan Calcitonin.

Page 6: Studi Kasus Osteo

Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi

dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan

Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,

teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah

pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.

Berikut adalah algoritma terapi osteoporosis (Dipiro et al, 2005).

LANJUTAN KASUS 1 OSTEOPOROSIS

Untuk terapi osteoporosis diberikan : alendronate seminggu 1 x 70

mg, kalsium dan vitamin D, sehari 2 x 1 tablet.

PERTANYAAN:

1. Jelaskan mekanisme kerja alendronate!

2. Jelaskan efek samping alendronate!

3. Jelaskan interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan!

4. Apa saran anda untuk aturan pakai obat2 tersebut?

5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?

Page 7: Studi Kasus Osteo

6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran

anda tentang kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!

JAWABAN:

1. Mekanisme Kerja Alendronate

Alendronate merupakan obat golongan Bisphosphonates yang merupakan

first line therapy dalam mencegah patah tulang pinggul dan tulang belakang. Obat

ini juga paling sering diresepkan untuk terapi osteoporosis. Alendronate

menurunkan resorpsi tulang dengan mengikat matriks tulang dan menghambat

aktivitas osteoklas. Obat ini tetap dalam tulang dalam waktu lama dan dilepaskan

sangat lambat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan densitas mineral tulang,

yang merupakan penanda penting dari efek pengobatan. Penggunaan allendronate

untuk osteoporosis juga terkait dengan manfaat yang ditemukan dalam percobaan,

yang menunjukkan penurunan resiko fraktur yang lebih besar (Burns, 2008).

2. Efek Samping Alendronate

Efek samping yang di timbulkan oleh alendronat antara lain:

Pada saluran pencernaan : nyeri perut, dispepsia, diare atau sembelit adalah

efek samping yang paling sering. Kondisi esofagus yang parah seperti

esofagitis, erosi, ulserasi, pernah dilaporkan. Ulser peptik juga telah

dilaporkan.. Pasien harus disarankan untuk berhenti minum obat dan

menghubungi dokter apabila tdan mencari bantuan medis jika timbul gejala

seperti disfagia, nyeri yang semakin memburuk, nyeri saat menelan. Oleh

karena itu pasien dengan gangguan esophagus tidak disarankan untuk

pemberian obat ini, dan juga untuk pasien yang mengalami gangguan pada

saluran pencernaan atas.

Pada mata, seperti pembengkakak konjungtiva, pembengkakan pada kelopak

mata pernah dilaporkan.

Page 8: Studi Kasus Osteo

Pada jantung, seperti aritmia, dan atrial fibrillation pernah dilaporkan.

Mekanisme aritmia yang terjadi belum jelas, kemungkinan karena konsentrasi

kalsium serum.

Pada hati, seperti hepatitis dan kerusakan hepatoselular dan peningkatan enzim

hati.

Pada ginjal, gagal ginjal akut pernah dilaporkan.

Pada muscuskeletal, seperti gangguan sinovitis pernah dilaporkan

Pada mental, terjadinya halusinasi pernah dilaporkan.

Hipersensitivitas, dapat menimbulkan reaksi alergi tapi jarang, seperti

angiodema, uritikaria, pruritis.(Sweetman, 2009)

3. Interaksi Alendronate dengan Obat Lain dan Makanan

Konsumsi alendronate bersamaan dengan adanya makanan dan suplemen

kalsium akan menurunkan penyerapan dari alendronate (Burns, 2008). Selain itu

dapat pula terjadi interaksi obat antara alendronate dengan beberapa obat lainnya,

yaitu sebagai berikut :

Obat yang meningkatkan efek / toksisitas alendronate : ranitidine dan aspirin.

Obat yang mengurangi efek / toksisitas alendronate: seiring suplemen kalsium,

antasida.

Karena berbagai obat dapat menurunkan penyerapan alendronate, pasien harus

menunggu setidaknya 30 menit setelah minum obat sebelum mengkonsumsi

alendronate (Ehrenpreis, 2001).

4. Aturan Pakai obat dan Saran Terkait Pemberian Alendronat

Alindronate adalah aminobifosfat yang merupakan inhibitor poten resorpsi tulang

dan diberikan dalam pengelolaan osteoporosis baik sebagai agen tunggal ataupun

dengan vitamin D. alendronate digunakan untuk penyakit tulang paget. Selain itu

obat ini juga digunakan untuk pengobatan metastatis tulang dan hiperkalsemia yang

ganas. Alendronate diberikan oral sebagai garam natrium, tetapi dosis dinyatakan

dalam asam alendronic, alendronate 1,3 mg setara dengan sekitar 1 mg asam

Page 9: Studi Kasus Osteo

alendronic. Dosis yang biasa digunakan untuk pengobatan osteoporosisi pria dan

wanita adalah 10 mg perhari. Pascamenopause wanita dapat diberikan 5 mg setiap

hari untuk profilaksis atau 70 mg perminggu dan 35 mg perminggu untuk

profilaksis. Pria dengan osteoporosis dapat diobati dengan 70 mg perminggu.

Untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid

diberikan dosis 5 mg perhari. Wanita menopause yang tidak mengambil HRT harus

diberikan 10 mg perhari pada orang dewasa dengan tulang diseaseof paget dosis

biasa adalah 40 mg setiap hari selama 6 bulan. Pengobatan dapat diulang jika

diperlukan setelah selang waktu 6 bulan ( Sweetman,2009 ).

5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?

Pasien harus diintruksikan meminum alendronate satu kali seminggu dengan dosis

70 mg, dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit

sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat dapat mengiritasi

lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh

berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya untuk menghindari refluks aliran

kembali ke dalam esophagus. Kalsium dan vitamin D dapat diminum dua kali sehari

satu tablet, tidak diminum bersamaan dengan alendronat karena dapat menurunkan

absorbsi alendronat ( Sweetman,2009 ).

6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang

kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!

Teriparatide merupakan rekombinan hormon paratiroid manusia (1-34), adalah agen

anabolik pertama yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan osteoporosis. Obat ini

umumnya digunakan untuk pasien dengan osteoporosis moderat hingga yang parah.

Agen ini berbeda dari terapi antiresorptif, dalam hal ini merangsang aktivitas

osteoblastik untuk membentuk tulang baru dengan pemberian sekali sehari.

Teriparatide juga memiliki banyak aksi yang mirip dengan endogen hormon

Page 10: Studi Kasus Osteo

paratiroid, dan infus kontinyu sebenarnya merangsang aktivitas osteoklastik dan

meningkatkan resorpsi tulang. Dalam suatu studi, sifat pembentuk tulangnya

meningkatkan kepadatan mineral tulang pada tulang belakang dan pinggul masing-

masing sebesar 9% dan 3%. Setelah 21 bulan terapi, peningkatan ini menyebabkan

65% dan 35% penurunan patah tulang belakang dan nonvertebral (Burns, 2008).

Efek obat ini dalam meningkatkan Bone Mass Density (BMD) ketika digunakan

secara tunggal ditemukan lebih besar daripada bila digunakan dengan alendronate,

atau penggunaan alendronate tunggal. Namun efikasi dalam pencegahan patah

tulang yang kurang, menyebabkan obat ini digunakan sebagai lini kedua untuk

pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi terhadap bisphosphonates seperti

alendronate (Sweetman, 2009).

Dosis teriparatide adalah 20 mcg diberikan secara injeksi subkutan sekali

sehari. Obat ini tersedia dalam multipledose-prefilled dengan sistem pengiriman

pena. Efek samping yang umum termasuk mual, sakit kepala, kram kaki, pusing,

ketidaknyamanan pada tempat injeksi, dan hiperkalsemia. Osteosarcoma telah

diamati pada hewan uji, tetapi tidak ada kasus telah dilaporkan pada manusia.

Namun, ini menimbulkan kekhawatiran sehingga menyebabkan dimasukkannya

peringatan black box di label produk. Selain itu terdapat peringatan bahwa

teriparatide tidak boleh digunakan pada pasien dengan peningkatan risiko untuk

osteosarcoma, termasuk pasien dengan penyakit tulang paget, dimana dijelaskan

peningkatan fosfatase alkali, radiasi sebelum terapi melibatkan kerangka, dan / atau

anak-anak dan dewasa muda dengan epiphyses terbuka. Selain itu, teriparatide tidak

boleh digunakan pada pasien yang sebelumnya sudah ada hiperkalsemia atau terapi

radiasi tulang (Burns, 2008)

7. Saran untuk Penggunaan Teriparatide

Pada kasus ini penggunaan teriparatide sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini

dikarenakan melihat dari kondisi pasien yang tidak memiliki kontraindikasi

terhadap penggunaan alendronate, maka sebaiknya alendronate menjadi pilihan

pertama untuk pengobatan dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan walaupun

Page 11: Studi Kasus Osteo

teriparatide memiliki kemampuan untuk meningkatkan Bone Mass Density (BMD)

yang lebih besar ketika digunakan secara tunggal dibandingkan penggunaan

alendronate, namun efikasi dalam pencegahan patah tulang dari teriparatide lebih

rendah, sehingga obat ini umumnya digunakan sebagai lini kedua untuk pasien

osteoporosis. Selain itu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa teriparatide

meningkatkan resiko osteosarcoma yang telah diamati pada hewan uji, walaupun

belum ada kasus yang telah dilaporkan pada manusia. Kekhawatiran pasien

terhadap penggunaan obat ini juga terkait dengan biaya terapi yang besar dan

kebutuhan suntikan subkutan yang mempengaruhi kenyamanan pasien pada

penggunaan teriparatide (Burns, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J. C.

Rotschafer, and J. T. DiPiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & practice. New

York: The McGraw-Hill Companies.

Enrenpreis, S and E.D Enrenpreis. 2001. Clinician’s Handbook of Prescription Drugs.

USA: The McGraw-Hill Companies Inc.

Page 12: Studi Kasus Osteo

Martin, John. 2007. British National Formulary. London: Royal

Pharmaceutical Society of Great Britain.

Sweetman, Sean C. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Sixth edition.

London: Pharmaceutical Press.

Wells Barbara G., Joseph T. DiPiro., Terry L. Schwinghammer., and Cecily V. DiPiro.

2009. Pharmacotherapy Handbook, 7th Edition. The McGraw-Hill Companies,

Inc.: New York.