SSJ Dr Endang

download SSJ Dr Endang

of 11

description

SSJ Dr Endang

Transcript of SSJ Dr Endang

BAB IPENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit.1Sindrom ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1922 , ketika dokter anak Amerika Albert Mason Stevens dan Frank Chambliss Johnson melaporkan kasus 2 anak laki-laki berusia 7 dan 8 tahun dengan "erupsi generalis yang diikuti demam, peradangan mukosa mulut, dan konjungtivitis purulen yang berat". Namun kedua kasus telah salah didiagnosis oleh dokter perawatan primer sebagai campak hemoragik.2Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan karbamazepin. Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab tersering terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong.2,3,4Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%), karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.3 Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada pasiennya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini terjadi pada pasien.BAB IIISI

2.1 DefinisiSindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orificium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura.2Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1

2.2 EpidemiologiInsidens SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.3 SSJ dan NET merupakan penyakit yang jarang. Secara umum insidens SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan risiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap RSCM menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%.

2.3 EtiologiBerbagai factor mempengaruhi munculnya SSJ. Namun penyebab yang paling sering terjadi (lebih dari 50%) ialah alergi terhadap obat. Sebagian kecil disebabkan karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi.3Penyebab idiopatik dari SSJ didapati pada 25-50% kasus. Untuk alergi obat dan keganasan adalah yang paling sering terlibat sebagai etiologi pada orang dewasa dan usia lanjut. Sedangkan pada kasus pediatric lebih sering disebabkan karena penyakit infeksi.2 Alergi ObatAlergi obat tersering adalah golongan obat analgetik dan antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Beberapa obat juga telah dilaporkan memicu alergi obat antara lain, antibiotic (penisilin dan sulfa), antikonvulsan (fenitoin, karbamazepin, asam valproate, barbiturate), antiretroviral, allopurinol, TNF-alpha agonis (infliximab,dll), cocaine, pantoprazole, dan lain-lain2,3 Infeksi Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV, Coxsackievirus, influenza, hepatitis, mumps, lymphogranuloma venereum, rickettsia dan variola. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis, mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.2 ImunisasiTerkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B. Penyebab lain : Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma, Myeloma, dan Polisitemia Kehamilan dan Menstruasi Radioterapi.

2.4 PatogenesisSindroma Steven-Johnson sama dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut bergantung kepada target cell.Sasaran utama SSJ dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di demis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1, ICAM-2, dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF-alpha di epidermis meningkat32.5 Manifestasi KlinisSindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariaso dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadaran dapat menurun, pasien dapat sopor sampai koma. Sebelum muncul tanda jelas berupa lesi di kulit, SSJ dapat didahuli dengan gejala prodromal seperti demam tinggi, batuk, pilek, nyeri kepala, malaise, maupun arthralgia.3Pada SSJ terdapat ciri khas berupa trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orificium, dan kelainan mata. Kelainan kulitKelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.3

Gambar 1. Perhatikan kedua zona lesi target atipikal Gambar 2. Pengelupasan yang luas pada dan bula 5 punggung 5

Kelainan selaput lendir di orificiumKelainan mukosa yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang (8% dan 4%).Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna kehitaman yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus repiratorius bagian atas, dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat membuat pasien suka bernapas.3

Gambar 3. Awal pengelupasan kulit dengan daerah yang eritem keunguan.5

Kelainan mataKelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat juga beruoa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulcus kornea, iritis, dan iridosiklitis.3

Gambar 4. Seorang pasien dengan gangguan mata yang berat terkait dengan sindrom Stevens-Johnson. Neovaskularisasi kornea dan conjunctivalization dari permukaan mata.6

2.6 DiagnosisDasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat tersangka; dan gambaran klinis berupa trias lesi kulit, mukosa dan mata. Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada < 10% LPB, NET bila epidermolisis > 30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB.Untuk mengonfirmasi diagnosis, dapat dilakukan pemeriksaan biopsi. Infiltrat sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada pasien dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga dapat ditemukan antara lain:a. Infiltrate sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembukuh darah dermis superfisialb. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilarc. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuknya vesikel subepidermald. Nekrosis sel epidermale. Spongiosis dan edema inrasel di epidermisHasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakteri. Jika terdapat eosinofili kemungkinan karena alergi. Jika disangka penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.3,5,7,8

2.6 Diagnosis BandingDiagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya yang khas yakni terdapat trias kelainan seperti yang telah disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah dari SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Apabila terdapat epidermolisis maka diagnosisnya menjadi NET serta pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ.3

Gambar 5. Perbedaan tingkat keparahan penyakit92.7 PenatalaksanaanObat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan zat aditif lainnya. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umunya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat-inap. Pengggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang pasien SSJ yang berat, harus segera di rawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.3Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus.3Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan spiritus dengan kasa steril selama jam untuk menghindari kontaminasi.3Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.3Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan karena juga efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.3Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya dekstrose 5%, NaCl 9% dan laktat ringer berbanding 1 : 1 :1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.3Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.3Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan. Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan TEN yang dilakukan ialah :1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan TEN 40 mg sehari.2. Bila terdapat purpura generalisata.3. Jika terdapat leukopenia.Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat turun.3Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari iv.3Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim urea 10%. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata.3

2.8 KomplikasiKomplikasi yang tersering ialah bronkopneumonia, yang didapati sekitar 16% di antara seluruh kasus yang datang berobat. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/darah, gangguan elektrolit, dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.3

2.9 PrognosisJika kita bertindak tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosis menjadi lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian.Presentasi mortalitas di berbagai kota di Indonesia bervariasi. Dalam publikasi tahun 1994, angka kematian di RS Dr.Kariadi Semarang 14,6%, RS Dr.Soetomo Surabaya 5,1%, RS Dr.Sardjito Yogyakarta 7,0%, RS Wangaya Denpasar 9% dan RS Dr.Cipto Mangunkusumo 4%.3

BAB IIIKESIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit. Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan antara lain kortikosteroid, antibiotic, diet rendah garam dan tinggi protein, mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi dan juga transfuse darah jika diperlukan.Prognosisnya ditentukan ketepatan dan kecepatan dalam menanggulangi SSJ ini. Bila terdapat purpura yang luas , leukopeni serta komplikasi berupa bronkopneumoni, prognosisnya menjadi buruk.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.2. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. Didapat dari: http://emedicine.medscape.com/.3. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:163-5.4. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and Israel. J Am Acad Dermatol 2008, 58:25-32.5. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Medscape. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/.6. Foster CS. Stevens-Johnson Syndrome. Medscape. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview. 7. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease. 2010;5:39.8. Wolff, Klaus, et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine Seventh Edition Volumes 1 & 2. Amerika: The McGraw-Hill Companies, Inc.9. Anne S, Kosanam S, Prasanthi LN, Steven Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: A review. International Journal of Pharmacological Research. IJPR Volume 4 Issue 4: 2014.