Sinusitis

40
STUDI KASUS II Pembimbing : Prof. dr. Supomo Sukardono, Sp. THT-KL (K) Disusun oleh : Fenny 2010-061-052 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya

Transcript of Sinusitis

Page 1: Sinusitis

STUDI KASUS II

Pembimbing : Prof. dr. Supomo Sukardono, Sp. THT-KL (K)

Disusun oleh :

Fenny 2010-061-052

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Periode September – Oktober 2011

Page 2: Sinusitis

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn S.

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Demangan GK1/134 Demangan Gondokusuma,

Yogyakarta

Suku bangsa : Jawa

Tanggal periksa : 20 September 2011

II. ANAMNESIS (autoanamnesis)

Keluhan Utama : sakit kepala yang bertambah berat sejak 7 hari sebelum

pasien datang ke rumah sakit

Keluhan Tambahan : hidung tersumbat, nyeri pada pipi kanan, ingus hijau

kental berbau dan kadang-kadang turun ke tenggorok

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala sudah

dirasakan sejak lama. Selain itu pasien juga mengalami nyeri pada pipi

sebelah kanan, hidung tersumbat, ingus yang hijau dan kental dan berbau serta

ingus yang turun ke tenggorok. Namun, pada tanggal 20 September, pasien

merasakan keluhan-keluhan tersebut bertambah berat. Riwayat trauma,

kemasukan benda asing pada hidung disangkal oleh pasien. Riwayat

perdarahan pada hidung disangkal oleh pasien

7 hari yang lalu, pasien pergi berobat ke Rumah Sakit Panti Rapih dan

dilakukan rontgen sinus paranasal dengan hasil sinusitis maksilaris dekstra

dan diberikan Azithromycin dihydrate, Tramadol dan PCT, serta Kalium

Diclofenac. Namun pasien tidak merasakan adanya perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Sinusitis maksilaris dekstra

Page 3: Sinusitis

Riwayat Penyakit Keluarga :

Diabetes melitus -, Hipertensi -, Asma -

Riwayat Pengobatan :

Pasien telah berobat namun tidak merasa ada perbaikan

III. HASIL PEMERIKSAAN

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital

Suhu : 37,00C

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Respirasi : 24 x/menit, teratur

Laju nadi : 88 x/menit, teratur-kuat-penuh

Pemeriksaan fisik :

o Inspeksi wajah

allergic shinner -, allergic crease –, adenoid face -, simetris.

o Pemeriksaan hidung

- inspeksi dan palpasi hidung luar : tidak tampak perdarahan dan

deformitas, tidak tampak massa.

- rinoskopi anterior : konkha tampak edema dan hipertrofi, tidak tampak

discharge, tidak tampak krusta, point of bleeding -/-.

- rinoskopi posterior : tidak dilakukan

Page 4: Sinusitis

o Pemeriksaan telinga

- inspeksi : pina dextra dan sinistra, kanalis akustikus eksterna, membran

timpani dalam batas normal

- palpasi : nyeri tekan tragus –

o Pemeriksaan mulut dan orofaring : tidak tampak kelainan (stomatitis -,

tonsil hipertrofi -/-, hiperemis -/-)

o Pemeriksaan leher : tidak terlihat dan tidak teraba adanya pembesaran

kelenjar getah bening

Tabel Gejala & Penyakit Hidung

I. KONGENITAL

Gejala penyakit Nasal Dermoid Nasal Glioma Encephalocele KasusTerdapat massa dalam cavum nasi

+ + + -

Massa dapat ditekan dan berdenyut

- - + -

Rhinorea + - + +Lubang pada sambungan osteokartilagenosa

+ - - -

Page 5: Sinusitis

II. INFLAMASIGejala penyakit Rhinitis vasomotor/alergi Sinusitis Kasus

Hidung tersumbat + + +Rhinorhea + -/+ +Post nasal drip - + +Memburuk pagi hari + -/+ -Memburuk dengan dingin, debu, asap, udara kering

+ -/+ -

Demam -/+ -/+ -Sakit kepala - + +Nyeri pada sinus yang terkena

_ + +

Gangguan penciuman +/- +/- -

III. INFEKSIGejala penyakit Rhinitis Atrofi (Ozaena) Rhinitis Simpleks Kasus

Hidung tersumbat + + +Rhinorhea + + +Bersin berulang - + -Nyeri kepala + -/+ +Demam + - -Gangguan penciuman + -/+ -Nafas berbau + - -Ingus mukopurulen + -/+ +

IV. TRAUMAGejala penyakit Deviasi Septum Hematom Septum Kasus

Hidung tersumbat + + +Nyeri kepala + - +Nyeri septum - + -Gangguan penciuman -/+ -/+ -Riwayat trauma + + -Septum bengkak - + -

V. NEOPLASMAGejala penyakit Tumor Sinus Ganas Tumor hidung dan sinus

paranasalKasus

Epitaksis + - -Hidung tersumbat -/+ -/+ +Gangguan penciuman -/+ -/+ -Rhinorea + + +Sekret berbau + - +Progresifitas/ meluas + + -Nyeri kepala -/+ + +

Page 6: Sinusitis

Deformitas hidung -/+ - -

VI. LAIN-LAINGejala penyakit Benda hidup/ Lintah Benda mati Kasus

Riwayat kemasukan korpal + + -Hidung tersumbat -/+ -/+ +Unilateral -/+ -/+ -Perdarahan hidung + -/+ -Discharge/rhinorhea + + +Bau busuk -/+ -/+ +Tampak benda asing + + -

IV. RESUME

Pasien datang dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala sudah dirasakan sejak

lama. Selain itu pasien juga mengalami nyeri pada pipi sebelah kanan, hidung

tersumbat, ingus yang hijau dan kental dan berbau serta ingus yang tertelan

melalui kerongkongan. Namun pada tanggal 20 September, pasien merasakan

keluhan-keluhan tersebut bertambah berat. Riwayat trauma, kemasukan benda

asing pada hidung disangkal oleh pasien. Riwayat perdarahan pada hidung

disangkal oleh pasien

7 hari yang lalu, pasien pergi berobat ke Rumah Sakit Panti Rapih dan

dilakukan rontgen sinus paranasal dengan hasil sinusitis maksilaris dekstra

dan diberikan Azithromycin dihydrate, Tramadol dan PCT, serta Kalium

Diclofenac. Namun pasien tidak merasakan adanya perbaikan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan: konkha tampak edema dan hipertrofi, tidak

tampak discharge pada rinoskopi anterior.

Dari pemeriksaan penunjang didapatkan: sinusitis maksilaris dekstra pada

rontgen sinus paranasal.

V. DIAGNOSIS KERJA

Rhinosinusitis maksilaris dextra

Page 7: Sinusitis

VI. PENATALAKSANAAN

Preventif :

o Mengedukasi pasien untuk tidak minum es dan makan makanan yang

bergizi

o Menjaga kesehatan gigi dan mulut

Kuratif :

o Konservatif : konsumsi multivitamin dan makanan yang

bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh

o Medikamentosa : Klindamisin (2 x 300 mg)

Kalium diklofenak (2 x 50 mg)

Adona (3 x 1 tablet)

Rhinoz (2 x 1 tablet)

o Tindakan : Kaak punctie

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanationam : dubia bonam

Page 8: Sinusitis

TINJAUAN PUSTAKA

EMBRIOLOGI DAN ANATOMI SINUS PARANASAL

Embriologi :

Sinus maksilaris merupakan sinus pertama yang berkembang, dimulai dari sebuah

tangkai sepanjang permukaan inferolateral lempeng ethmoid pada kapsul hidung pada

usia kehamilan 65 hari. Sifat pertumbuhan sinus ini adalah bifasik, yaitu akan mengalami

penghentian sementara sebelum memasuki usia tertentu, yaitu dengan periode waktu

sebagai berikut :

Periode 1 : selama 3 tahun pertama kehidupan

Periode 2 : mulai antara usia 7-12 tahun, selesai pada usia 18 tahun

Pertumbuhan berupa pneumatisasi yang meluas ke lateral hingga dinding lateral orbita,

dan ke arah inferior menginvasi prosesus alveolaris mengikuti erupsi gigi permanen

Sinus ethmoid mulai berkembang pada usia kehamilan 3 bulan. Bagian

anteriornya berasal dari evaginasi dari dinding lateral nasal pada meatus media sepanjang

perkembangan infundibulum ethmoid. Kemudian di akhir bulan ke-4 kehamilan, bagain

posterior ethmoid mulai berkembang dari pertumbuhan meatus superior ke arah luar.

Kemudian, sel-sel tersebut akan membesar hingga mencapai ukuran 2 × 4 × 2 mm untuk

bagian anterior and 4 × 5 × 2 mm untuk bagian posterior pada saat lahir.

Sinus frontalis mulai berkembang pada kehamilan usia 4 bulan sebagai bentukan

pelebaran menuju ke bagian atas dari sebagian besar sel ethmoid anterosuperior yang

berada pada area resesus frontalis. Sinus frontal tidak tampak pada gambaran radiografi

hingga usia 2 tahun. Sinus ini akan menginvasi tulang frontal pada usia 5 tahun dan

secara perlahan mencapai ukuran dewasa pada adolescent lanjut menjadi ukuran 17 × 28

× 27 mm dengan kandungan cairan 6-7 ml.

Sinus sphenoid terbentuk pada usia kehamilan 4 bulan sebgai pasangan evaginasi

dari mukosa di bagian superoposterior dari kavitas nasal, yang disebut juga sebgaai

resesus sphenoethmoidalis. Bentukan ini akan bertahan sebagai indetasi kecil pada tulang

sphenoid hingga usia 3 tahun ketika pneumatisasi mulai berlangsung.

Page 9: Sinusitis

Anatomi

Sinus ethmoid

Terletak pada rongga nasal superior, diipisahkan dengan orbita oleh lamina

papyraceae. Sebelah anterior terletak di depan dan di bawah perlekatan konka media

pada dinding nasal lateral, sedangkan daerah posteriornya terletak di belakang dan di atas

perlekatan konka media pada dinding nasal lateral. Vaskularisasi berasal dari cabang

nasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoid anterior-posterior, cabang arteri

oftalmika dari sistem karotis interna. Sementara, inervasinya berasal dari cabang nasal

posterior dari saraf maksilaris (saraf kranial V2) dan cabang ethmoidal anterior dan

posterior dari saraf oftalmika (saraf kranial V1).

Sinus Maksilaris

Sinus maksila (anthrum highmore) merupakan sinus terbesar dari sinus paranasal

lainnya. Sinus ini berbentuk piramida, dengan dasarnya dibentuk dari dinding lateral

rongga hidung dan bagian apeks mengarah ke prosessus zygomaticus. Bagian atap, yang

juga berfungsi sebagai dasar orbital, tersusun dari tulang-tulang tipis yang melintang

terhadap pusat nervus infraorbita. Sel Haller yang merupakan hasil pneumatisasi dari

kompleks ethmoid terhadap atap dari sinus maksila, terkadang dapat dikenali. Hal ini

penting karena sel ini berkembang menutupi sinus maksila atau infundibulum ethmoid.

Dinding anterior bersama dengan fossa canine memisahkan sinus dari kulit pipi. Dinding

posterior memisahkan sinus dari bagian dalam fosa infratemporal dan pterygomaksila.

Dasar sinus, yang lebarnya mencapai setengah dari lebar atap, terbentuk dari prosesus

alveolar dari maksila. Walaupun terletak 4 mm di atas rongga hidung anak-anak, pada

akhirnya menjadi 4-5 mm di bawah dasar rongga hidung dewasa. Molar pertama dan

kedua adalah gigi yang bisa mencapai sinus maksila. Dengan pneumatisasi yang meluas,

molar ketiga, bikuspid, dan gigi kaninus, dapat terpapar pada sinus maksila. Paparan akar

gigi ini dapat membahayakan neurovaskular bila dilakukan kuretase sinus. Infeksi dari

akar gigi tadi dan pengangkatan gigi tersebut dapat menyebabkan fistula oral-antral.

Dinding media sinus maksila merupakan dinding lateral hidung, dan terdiri dari ostium

sinus utama yang menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium

berlokasi di sebelah superior dari dinding media, biasanya setengah posterior

Page 10: Sinusitis

infundibulum, kurang lebih 9 mm sebelah posterior dari duktus lakrimalis. Batas

posterior ostium menyambung dengan lamina papyracea dari tulang ethmoid,

menyebabkan batas ostium ini menjadi batas lateral intranasal. Pada 15-405 kasus,

terdapat ostium asesori yang merupakan sebuah lubang pada membrane mukosa yang

menutupi tulang, yang disebut fontanel. Ostium asesori yang jarang terdapat pada anak-

anak dapat berada di sebelah superior maupun posterior dari prosesus uncinatus di atas

tempat insersi dari konka inferior.

Vaskularisasinya berasal dari cabang arteri dari maksilaris interna termasuk cabang

infraorbital dan lateral nasal dari sphenopalatina, palatina descenden, dan arteri alveolar

superior anterior-posterior sementara inervasinya berasal dari sensasi mukosa dari hidung

lateroposterior dan cabang alveolar superior dari saraf infraorbital, semua berasal dari

saraf kranial V2.

Sinus frontal

Sinus frontal berkembang dari sel ethmoid anterosuperior pada resesus frontal.

Resesus frontal merupakan struktur kompleks yang dapat menjadi berbagai bentuk.

Fungsi konka media sebagai dinding media dan lamina papyracea membentuk sebagian

besar dinding lateral. Dinding posterior, adalah bagian depan dari bula ethmoidalis

(disebut sebagai basal lamella kedua), sel nasi agger minimal, resesus frontal meluas.

Bila pneumatisasi pada daerah ini terjadi berlebihan, resesus frontal menjadi sempit dan

tampak seperti tubular.

Struktur sinus frontal dapat bervariasi antara masing-masing manusia. Tingginya

bervariasi antara 5-66 mm, dengan lebar 17-49 mm. septum intrasinus biasanya ada,

batas distal sinus menyebar membentuk pola irregular, menyebabkan mukosa sulit

diangkat ketika terjadi obliterasi sinus.dinding anterior merupakan dinding sinus terkuat

dan tebalnya dua kali lipat dibandingkan dinding posterior. Dinding posterior

memisahkan sinus frontal dari fosa kranii. Dasar sinus yang juga berfungsi sebagai atap

supraorbita, dan drainase ostium berlokasi di bagian posteromedial dasar sinus.

Infundibulum frontal merupakan area yang lebih sempit di dalam sinus yang mengarah

pada ostium. Kompleks resesus frontalis-ostium-sinus frontal berbentuk seperti jam pasir.

Vaskularisasinya berasal dari cabang supratoklear dan suborbital arteri oftalmika;

drainase vena ke dalam sinus kavernosus sementara inervasinya berasal dari sensasi

Page 11: Sinusitis

mukosa berasal dari cabang supratoklear dan supraorbital saraf frontalis (saraf kranial

V1).

Sinus sphenoid

Sinus sphenoid biasanya merupakan struktur asimetris berpasangan yang dibagi

oleh deviasi septum intersinus. Terdapat 3 tipe pneumatisasi sinus, yang pertama

digambarkan sebagai konka, muncul ketika Tipe pertama adalah konka, muncul ketika

perluasan sinus sphenoid sebelah posterios mencapai anterior dari sella tursika.

Pneumatisasi presellar terjadi ketika dinding posterior dari sinus sphenoid mencapai

anterior dari sella tursika. Pneumatisasi postsellar terjadi ketika sinus sphenoid melewati

batas sella tursika mencapai posterior pons dan membuat sella mengalami indentasi

superior pada sinus. Sinus sphenoid melewati pneumatisasi luas dan bisa mencapai

vomer, palatine, dan tulang maksila sampai sphenoid sepanjang lempeng pterygoid.

Tuberkel tulang mengelilingi saraf optikus menjadi pneumatisasi, menyebabkan

indentisasi anterosupeior pada atap sinus . sinus sphenoid eksternal dan lateral adalah

sinus kavernosa yang mana didalamnya dilewati berbagai struktur penting. Setiap sinus

sphenoid mengarah ke resesus sphenoethmoidal melalui lubang kecil. Lubang tersebut

berukuran 0,5-4 mm, 10 mm di atas lantai sinus, 30 derajat di atas lantai rongga nasal.

Batas sinus sphenoid sebelah superior berupa N.optikus, dan hipofisis, bagian

posterior dibatasi oleh pons sementara bagian eksternal dan lateral dibatasi oleh sinus

kavernosus, fisura orbita, arteri karotis, dan beberapa saraf kranial. Adapun

vaskularisasinya berasal dari cabang arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior

sementara persarafannya berasal dari saraf ethmoidalis posterior dari saraf kranial V1 dan

cabang nasal sfenopalatina saraf kranial V2.

Page 12: Sinusitis

Adapun beberapa fungsi dari sinus paranasal yang dikemukakan oleh berbagai

teori, di antaranya :

1. Humidifikasi dan menghangatkan aliran udara inspirasi

2. Membantu pengaturan tekanan intranasal

3. Meningkatkan area permukaan dari membrane olfaktorius

4. Membantu meringankan struktur tengkorak untuk mempertahankan

keseimbangan posisi kepala.

5. Mentransmisikan getaran terhadap suara yang terbentuk

6. Mengabsorbsi tekanan terhadap kepala

Page 13: Sinusitis

7. Berkontribusi terhadap perkembangan bentuk wajah

8. Bertindak sebagai rongga-rongga udara yang memiliki kegunaan tertentu

DEFINISI

Menurut PERHATI-KL 2007, rinosinusitis merupakan inflamasi hidung dan sinus

paranasal dengan rhinorrhea purulen > 7 hari, sumbatan hidung, nyeri muka, sakit

kepala, gangguan penghidu, demam. Sedangkan menurut European Position Paper

on Rinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007, definisi rinosinusitis secara klinis

adalah sebagai berikut5 :

Peradangan pada hidung dan sinus paranasal ditandai dengan 2 atau lebih gejala,

salah satunya dapat berupa sumbatan/obstruksi/kongesti hidung atau keluarnya

sekret dari hidung (nasal drip anterior maupun posterior): ±nyeri wajah, ±

penurunan kemampuan mencium dan juga meliputi hasil endoskopi berupa polip

dan/ atau sekret mukopurulen terutama dari meatus media dan/atau

edem/obstruksi terutama dari meatus media dan/atau hasil CT berupa : perubahan

mukosa dalam kompleks osteomeatal dan/atau sinus.

KLASIFIKASI

1. Berdasarkan durasi gejala yang timbul, rinosinusitis dapat dibagi menjadi :

Rinosinusitis akut jika gejala menetap selama 4 minggu atau kurang. Rinosinusitis

akut rekuren jika pasien dengan empat atau lebih episode per tahun dengan adanya

interval bebas penyakit. Rinosinusitis akut selanjutnya dapat dibedakan menjadi

rinosinusitis akut viral dan rinosinusitis akut bakterial. Sebagian besar rinosinusitis

akut dimulai dengan infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas, yang

kemudian meluas ke sinus paranasal dan diikuti dengan superinfeksi oleh bakteri.

Page 14: Sinusitis

Tabel 1. Definisi Rinosinusitis Akut

Rinosinusitis subakut jika gejala menetap selama 4-12 minggu,

Rinosinusitis kronik jika gejala menetap selama lebih dari 12 minggu.

Rinosinusitis kronik eksaseberasi akut adalah keadaan di mana gejala pasien tiba-tiba

memburuk pada pasien yang sudah didiagnosis sebagai rinosinusitis kronik, yang

akan kembali ke baseline symptomps setelah diberikan terapi.

Tabel 2. Definisi rinosinusitis kronik

2. Berdasarkan etiologinya, rinosinusitis dapat dibagi menjadi virus, bakteri dan fungi.

Rinosinusitis karena infeksi virus, misalnya virus influenza, parainfluenza,

adenovirus, rhinovirus, respiratory syncytial virus.

Rhinosinusitis karena bakteri, misalnya Streptococcus pneumoniae, H. influenza, M.

catarrhalis.

Page 15: Sinusitis

Rinosinusitis fungi dapat diklasifikasikan menjadi rinosinusitis invasif dan noninfasif.

Sinusitis fungi invasif, antara lain sinusitis fungi invasif fulminan akut, sinusitis fungi

invasif granulomatous, dan sinusitis fungi invasif kronis. Sedangkan sinusitis fungi

noninvasif, antara lain infestasi fungi saprofit, sinus fungus ball, rinosinusitis fungi

alergik.

E TIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

Penyebab rinosinusitis bersifat multifaktorial, dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor struktural.

Faktor genetik atau fisiologi yang berperan terhadap terjadinya rinosinusitis

antara lain hipereaktivitas jalan napas, sensitivitas terhadap aspirin, defisiensi

imun, keadaan hiperimunitas, penyakit keturunan, disfungsi silia, penyakit

granulomatus, dan gangguan autoimun.

Faktor lingkungan berhubungan dengan alergi misalnya rinitis alergi, rokok

dan bahan-bahan polusi, virus, bakteri, dan fungi. Virus lebih berperan

terhadap rinosinusitis pada anak yang usianya kurang dari tiga tahun. Virus

yang sering berhubungan dengan terjadinya rinosinusitis adalah virus

influenza, parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, respiratory syncytial virus.

Beberapa bakteri penyebab rinosinusitis akut, antara lain Streptococommon

coldus penumoniae, H. influenza,M. catarrhalis.

Faktor struktural dan anatomi juga berperan terhadap terjadinya rinosinusitis,

salah satunya kompleks osteomeatal, yaitu merupakan suatu struktur fisiologi

untuk mengalirkan sekret dari sinus frontal, maxilla, dan ethmoid anterior.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi rinosinusitis dapat dibedakan antara rinosinusitis akut dan kronik.

Rinosinusitis akut

Rinosinutis bakterial akut umumnya diawali dengan infeksi virus pada saluran

pernapasan atas. Alergi, trauma, dan faktor lingkungan lainnya turut menunjang

berlangsungnya inflamasi pada area nasal dan sinus paranasal. Hampir 50% common cold

Page 16: Sinusitis

disebabkan oleh human rhinovirus, sisanya dapat disebabkan oleh coronavirus, influenza

A dan B, adenovirus dan enterovirus. Human rhinovirus dan coronavirus tidak

menyebabkan kerusakan epitel secara langsung, tetapi virus influenza dan adenovirus

dapat menyebabkan kerusakan epitel nasal secara signifikan. Human rhinovirus

menginfeksi dengan cara memasuki hidung melalui duktus lakrimalis kemudian melekat

pada reseptor ICAM-1 di sel epithelial pada dinding posterior nasofaring. Perlekatan ini

akan menyebabkan meningkatnya produksi histamin, bradikinin, dan berbagai macam

sitokin lainnya seperti IL-1,IL-6,IL-8, TNF dan leukotrien c4.

Virus juga secara tidak langsung menekan kemampuan neutrofil, sel makrofag dan

fungsi sel limfosit. Adapun efek dari penekanan fungsi neutrofil adalah berkurangnya

fungsi fagositosis, kemotaktik, sekretorik, dan bakterisidal. Hal ini tentu saja mendukung

terjadinya pertumbuhan berlebihan dari bakteri-bakteri yang menetap di nasofaring,

seperti S. pneumonia dan H.influenzae. Dari sebuah studi yang dilakukan terhadap tikus

dengan infeksi RSV, ternyata ditemukan adanya kolonisasi bakteri H.influenzae yang

atipik maksimum 4 hari setelah infeksi RSV.

Adanya koloniasai bakteri ini juga akan meningkatkan produksi mediator-mediator

inflamasi dan mengaktifkan persarafan parasimpatis sehingga menghasilkan berbagai

manifestasi klinis dari rinosinusitis, seperti demam, myalgia, faringitis yang umumnya

membaik dalam 5 hari, yaitu setelah infeksi virusnya mengalami self limiting, sedangkan

kongesti nasal dan batuk cenderung akan bertahan hingga 2-3 minggu menandai adanya

superinfeksi oleh bakteri. Infeksi sekunder bakteri terhadap infeksi virus tentunya

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi imunitas tubuh yang cenderung

menurun karena infeksi virus, kolonisasi nasofaring dengan agen bakteri patogen seperti

S.pneumoniae dan berbagai kondisi lingkungan lainnya yang tentunya sangat mendukung

masuknya bakteri ke dalam kavitas sinus paranasal.

Rinosinusitis kronik

Penyebab rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial, dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor struktural.

1. Faktor genetik atau fisiologi yang berperan terhadap terjadinya rinosinusitis antara

lain hipereaktivitas jalan napas, sensitivitas terhadap aspirin, defisiensi imun, keadaan

hiperimunitas, penyakit keturunan, disfungsi silia, penyakit granulomatus, dan gangguan

Page 17: Sinusitis

autoimun. Hipereaktivitas jalan napas seperti asma memiliki hubungan yang kuat dengan

terjadinya CRS. Defisiensi imun dapat terjadi pada pasien human immunodeficiency virus

(HIV) dimana pasien mengalami level immunoglobulin (Ig) yang rendah dan deifisiensi

fungsi sel T. Penyakit keturunan seperti fibrosis kistik dan Sindroma Young terdapat

abnormalitas klirens mukosilia sinus sehingga dapat menimbulkan inflamasi dan edema

lokal mukosa.

Silia membutuhkan media cairan untuk dapat berfungsi secara normal. Oleh karena

itu, sekresi sinus dan hidung menjadi sangat penting untuk menunjang fungsi silia

tersebut. Lingkungan di mana silia berfungsi terdiri dari lapisan mukus yang tebal,

terbagi atas lapisan superficial dengan gel yang lengket dan di sebelah bawahnya dapat

ditemui lapisan serosa. Mukus nasal diproduksi baik oleh sel goblet yang tersebar merata

di antara sel-sel epitel kolumnar bersilia maupun oleh kelenjar mukus submukosal.

Perubahan dalam komposisi mukus, berkurangnya elastisitas atau meningkatkan

viskositas akan sedikt banyak mempengaruhi efektivitas silia dalam proses pembersihan

mukus intrabnasal dan intrasinus. Kavitas sinus yang diyakini bersifat steril pada stiap

orang dengan fungsi imun yang normal, tentunya akan beresiko menjadi media

pertumbuhan bakteri bila dijumpai akumulasi cairan yang berlebihan di dalamnya.

Komposisi mukus dapat dipengaruhi oleh perubahan dalam transport cairan dan

elektrolit, seperti yang berlangsung dalam kondisi dehidrasi ataupun pada kistik fibrosis.

Begitupula dengan jumlahnya yang dapat semakin meningkat karena iritan atau polutan

di jalan napas, atau distimulasi oleh allergen maupun paparan terhadap udara dingin.

Perubahan fungsi silia akan menyebabkan akumulasi cairan dan bakteri di dalam

sinus. Pembersihan oleh silia yang tidak efektif dapat disebabkan oleh melambatnya

motilitas silia, kehilangan kordinasi yang baik antar silia dalam pergerakannya, atau

hilangnya sel-sel bersilia dari epithelium nasal. Motilitas silia yang melambat dapat

disebabkan oleh berbagai hal, seperti udara dingin, siliotoksin yang dihasilkan oleh virus

maupun bakteri, sitokin dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Gangguan pembersihan

silia dapat bersifat congenital, seperti pada diskinesia silia primer. Terganggunya

koordinasi antar silia saat melakukan pembersihan dapat disebabkan oleh scar berisi

jaringan fibrosa yang terbentuk pada epitel nasal. Sementara itu, hilangnya sel-sel bersilia

dapat disebabkan oleh perlukaan pada epitel nasal oleh iritan jalan napas, polutan,

Page 18: Sinusitis

pembedahan (stripping dan scaring mukosa), penyakit kronik, toksin virus atau bakteri

yang akhirnya menyebabkan kematian sel, dan tingginya aliran udara intranasal.

2. Faktor lingkungan berhubungan dengan alergi misalnya rinitis alergi, rokok dan

bahan-bahan polusi, virus, bakteri, dan fungi. Virus lebih berperan terhadap rinosinusitis

pada anak yang usianya kurang dari tiga tahun. Virus dapat mengubah morfologi dan

fungsi sel epitelial nasal, dimana virus dapat masuk ke dalam sel, memperpendek silia,

mengurangi pergerakan silia, dan mengurangi kemampuan klirens mukosiliar. Bakteri

merupakan patogen primer ataupun patogen sekunder yang bersifat oportunistik. Bakteri

dapat mengaktifkan kaskade inflamasi secara langsung sehingga memicu terjadinya

respons imun.

3. Faktor struktural dan anatomi juga berperan terhadap terjadinya rinosinusitis.

Osteomeatal complex merupakan suatu struktur fisiologi untuk mengalirkan sekret dari

sinus frontal, maxilla, dan ethmoid anterior. Obstruksi sinus dapat terjadi karena variasi

anatomi seperti deviasi septum, jaringan parut post-operasi atau trauma sehingga

mengganggu aliran sinus, penyakit gigi-geligi yang merupakan sumber terjadinya

sinusitis maxilla persisten, benda asing. Hal tersebut dapat mengakibatkan obstruksi

ostium sehingga terjadi akumulasi cairan, menimbulkan suasana lembab dan lingkungan

yang kurang akan oksigen sehingga menjadi media yang ideal untuk pertumbuhan

patogen. Obstruksi pada ostium sinus dapat disebabkan oleh edema, polip hidung, dan

faktor-faktor struktural lainnya seperti konka bullosa yang prominen, kehadiran sel

Haller, deviasi septal, dan sinekia post operasi.

GEJALA DAN TANDA

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri tekanan

pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Ada

gejala sistemik juga seperti demam dan lesu.

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas

sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri

pada pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau di belakang kedua bola mata

menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis

frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan pada verteks, oksipital, belakang bola mata

Page 19: Sinusitis

dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan

telinga.

Gejala lain yang timbul adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post

nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Keluhan sinuitis kronik kadang tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-

kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala ini, antara lain sakit kepala kronik, post nasal

drip, batuk kronik, gangguan tenggorokkan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik

muara tuba eustachius, gangguan paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis

dan yang terpenting adalh serangan asma yang meningkat dan suli diobati. Pada anak,

mukus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

DIAGNOSIS

Anamnesis

Dari anamnesis, dapat ditanyakan mengenai gejala – gejala klinis yang

dialami pasien, berupa:

- Gambaran gejala yang dialami

- durasi munculnya gejala tersebut

- lokalisasi dari gejala

- faktor yang memperberat dan faktor yang memperingan gejala

- obat-obatan yang sudah diberikan

- riwayat alergi/atopi

Gejala bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan sumber sinusitis seperti:

1. Obstruksi hidung, sekret dari anterior maupun posterior hidung, bersin, kongesti

muka tidak dapat dilokalisir sumbernya.

2. Kehilangan kemampuan membau maupun mengecap bisa disebut sebagai

rinosinusitis difus dan kemungkinan berasal dari adanya polip.

3. Cacosmia dan nyeri wajah yang terlokalisir atau yang berasal dari anterior hidung

terutama berasal dari gangguan di gigi atau adanya benda asing.

Pemeriksaan fisis

1. Pemeriksaan sinus

Inspeksi: pembengkakan pada pipi, dahi, periorbital dapat terlihat.

Page 20: Sinusitis

Palpasi dan perkusi: nyeri ketika di palpasi di daerah dahi, periorbital, pipi.

2. Pemeriksaan mulut dan orofaring

Perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan gangguan di gigi dan untuk menilai

adanya postnasal drip

3. Rinoskopi anterior

Dilakukan di bawah pencahayaan yang baik, biasanya dilaksanakan sebelum

maupun sesudah pemberian dekongestan, sehingga dapat sekaligus menilai respon

tubuh terhadap dekongestan tersebut. Dilakukan untuk menilai hiperemis dari

mukosa, edema septum dan konka inferior, menilai adanya sekret mukopurulen.

4. Endoskopi

Terdapat dua macam endoskopi yaitu rigid dan fleksibel. Keuntungan dari

endoskopi rigid adalah dapat memungkinkan pemeriksa melihat dengan

pandangan yang luas dan jelas sekaligus bisa menggunakan instrument tambahan

dengan menggunakan tangan yang lain. Sedangkan keuntungan dari endoskopi

fleksibel adalah dapat digunakan untuk melihat secara luas dasar dari sinus

maksila dan sebelah lateral dari rongga sinus frontal. Endoskopi dilakukan dengan

menggunakan anestesi lokal dan dekongestan. Kemudian terdapat 3 tahap dalam

endoskopi sehingga pemeriksaan bisa dilakukan secara sistematis, yaitu :

Gambar : Pemeriksaan Fisis Rinosinusitis

Page 21: Sinusitis

1. Endoskopi menyusuri konka inferior, sepanjang dasar hidung ke arah

nasofaring.

Area yang bisa dilihat pada tahap ini meliputi: septum inferior, Krista maksila,

konka inferior, koana, orifisium tuba eustachius, fossa rossenmueller,

nasofaring.

2. Endoskopi menyusuri sebelah atas dari konka inferior dan sebelah medial dari

konka media untuk memeriksa septum superior, konka media dan superior,

fisura olfaktorius, recessus sphenoethmoidalis, ostium sinus sphenoid.

3. Endoskopi diarahkan pada meatus media untuk memeriksa struktur yang ada

di dalamnya.

Pemeriksaan penunjang

1. X-ray

Dapat ditemui gambaran berupa air fluid level pada sinus maxilla untuk infeksi

akut, sinusitis yang tidak sembuh setelah pemberian terapi, atau adanya gejala

sinus secara persisten tanpa adanya hasil endoskopi. X-ray kurang efektif karena

banyak terjdi false positif dan negatif.

2. CT scan

Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting digunakan karena melalui CT

scan pemeriksa bisa melihat anatomi tulang secara detail, mendapatkan gambaran

variasi anatomis, dan dapat digunakkan untuk membantu perencanaan preoperasi.

CT scan sangat sensitif dalam menunjukkan adanya penebalan mukosa dan

adanya cairan yang terperangkap dalam rongga sinus. Adapun penebalan mukosa

karena rinitis viral dapat menghilang dalam 2 minggu, sedangkan bila

dikarenakan infeksi bakteri, penebalan mukosa dapat menghilang lebih dari 1

bulan.

Page 22: Sinusitis

Gambar : Sinus Imaging from Water’s Projection

Biasanya potongan yang diambil adalah koronal dengan ketebalan 2-3 mm.

potongan aksial terkadang juga diambil untuk menilai variasi anatomis dari sinus

frontal dan kompleks sphenoethmoid. Penggunaan kontras secara intravena tidak

diperlukan kecuali untuk melihat kemungkinan tumor dan komplikasi dari

infeksi yang melibatkan orbita dan otak.

3. MRI

Membantu melihat penebalan mukosa dan adanya cairan dalam sinus paranasal,

tetapi prosedur ini pun tidak direkomendasikan untuk diterapkan secara rutin.

4. Punksi sinus maksilaris

Punksi ini dilakukan untuk mengambil sampel guna kultur bakteri. Prosedur ini

dilakukan melalui canine fossa atau pun meatus inferior. Prosedur ini tidak rutin

dilakukan dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien, kecuali pada pasien

yang memiliki komplikasi.

Page 23: Sinusitis

TATALAKSANA

a. Rinosinusitis Akut

Alogoritme tata laksana rinosinusitis akut pada dewasa oleh dokter umum

Dari bagan di atas, didapatkan bahwa tata laksana awal ditentukan oleh derajat keparahan

penyakitnya.

Pada kondisi yang ringan (hanya menderita common cold), maka terapi yang

diberikan hanya bersifat simptomatik seperti pemberian antipiretik, dekongestan,

nasal saline dan analgesik.

Pada kondisi yang moderate, maka dapat ditambahkan dengan steroid topikal

yang dievaluasi pemakaiannya dalam 48 jam. Bilamana tidak ditemui adanya

perbaikan klinis, maka dapat dipertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis THT-

KL.

Pada kondisi yang berat, maka selain steroid topikal, dapat ditambahkan

antibiotik. Bila dalam pemantauan 48 jam tidak ditemui adanya perbaikan klinis,

maka dapat dirujuk ke spesialis THT-KL.

Page 24: Sinusitis

Alogoritme tata laksana rinosinusitis akut pada dewasa oleh spesialis THT-KL

Pada saat dilakukan rujukan ke spesialis THT-KL, maka penegakkan diagnosis

rinosinusitis akut dapat ditambah dengan pemeriksaan fisis nasal (hiperemis, edema, dan

sekret berupa pus), oral (ditemukan sekret di bagaian posterior) dan eksklusi terhadap

adanya infeksi gigi geligi. Terkadang perlu dilengkapi dengan pemeriksaan endoskopi

nasal. Pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen dan CT scan tidak dianjurkan. Namun

CT-scan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika ditemui rinosinusitis dalam derjat

berat, pasien dalam keadaan imunosupresi dan sudah terdapat berbagai komplikasi yang

menyertai penyakitnya.

Adapun tata laksana yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :

Antibiotik oral jika ditemui manifestasi klinis dalam derajat sedang dan tidak

membaik dengan perawatan selama 14 hari sebelumnya. Pemberian antibiotik oral

akan lebih baik lagi jika disesuaikan dengan hasil kultur kuman.

Pemberian antbiotik IV, steroid lokal maupun manajemen pembedahan

dipertimbangkan bilamana ditemui adanya manifestasi klinis dalam derajat berat dan

tidak membaik dalam 48 jam perawatan sebelumnya.

Pemberian antibitoik IV dan bisa dipertimbangkan pembedahan jika sudah ditemui

manifestasi komplikasi. Dalam kondisi seperti ini, pasien harus dirawat di rumah

sakit.

Page 25: Sinusitis

b. Rinosinusitis Kronik

Tata laksana yang diberikan adalah penggunaan steroid topikal, bilas nasal dan

ditambahkan antihistamin bila ada riwayat alergi. Kemudian direevaluasi kembali

setelah 4 minggu. Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan rujukan ke spesialis

THT-Kl begitu juga bila dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi nasal dan

ternyata ditemukan adanya polip. Jika ditemui eksarserbasi akut pada rinusinusitis

kronik maka tata laksana yang digunakan sama seperti rinosinusitis akut. Berikut

merupakan bagan alogoritme tata laksana rinosinusitis kronik dengan ataupun

tanpa polip nasal oleh spesialis THT-KL.

Alogoritme tata laksana rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip nasal oleh dokter

umum maupun non spesialis THT-KL.

Page 26: Sinusitis

Algoritme tata laksana rinosinusitis kronik tanpa polip nasal oleh spesialis THT-KL

Algoritma tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip nasal oleh spesialis THT-KL

Page 27: Sinusitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

keenam. Jakarta: FKUI, 2007. hal 150-153.

2. Soekardono, S. Buku ajar Ringkas Ilmu Kesehatan THT-KL. Yogyakarta. 2011. Hal 41-44

3. Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery Otolaryngology 4 th ed.Lipincott

Wiliiams and Wilkins;2006.

4. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia:Sinusitis.2003-2007.

5. Richard M. Rosenfeld, MD, MPH. Clinical practice guideline: Adult sinusitis.

American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation

(2007) 137, S1-S31.

6. Sinus and Allergi Health Partnership. Executive Summary : Antimicrobial

treatment guidelines for acute bacterial rhinosinusitis. Otolaryngology– Head and

Neck Surgery;January 2004 : 130.

7. John Jacob Ballenger, MD. Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery 16 th

ed.BC Decker, 2003.