Sepsis

21
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada semua usia dan jenis kelamin. Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh yang intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. Bayi dan anak-anak immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang memiliki gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi bakteri. Infeksi tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk menghancurkan bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon inflamasi

description

sepsis

Transcript of Sepsis

Page 1: Sepsis

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin

dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis

merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada

semua usia dan jenis kelamin.

Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan

penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis

tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar

kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam

neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen

antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan

anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh

yang intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. Bayi dan anak-anak

immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang

memiliki gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi

bakteri. Infeksi tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk

menghancurkan bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon

inflamasi terhadap infeksi dapat membangkitkan gejala klinis yang bervariasi didefinisikan

sebagai sindrom sepsis.

Page 2: Sepsis

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau

lebih dari kriteria berikut:

1. Suhu > 38°C atau < 36°C

2. Denyut jantung >90 denyut/menit

3. Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis

dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat

bakteriemia.

Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan

hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:

1. Asidosis laktat

2. Oliguria

3. Atau perubahan akut pada status mental

Beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, bagian yang terpenting adalah dengan

memasukkan petanda biomelekuler yaitu procalcition (PCT) dan C-reactive protein (CRP),

sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi

dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction

(PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien

dengan stratifikasi gejala dan risiko yang individual.

Etiologi Sepsis

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 %

kasus, yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut

akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap

sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan

komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan

Page 3: Sepsis

jaringan, demam dan syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung

jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococcus

dan bakteri gram negatif lainnya menyebabkam sepsis. Selain itu jamur opoortunistik, virus (

dengue dan herpes ) atau protozoa ( Falciparum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan

sepsis, walaupun jarang.

Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus

substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.

Peptidogliksn diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.

Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman , misalnya α-hemolisin ( S.

Aurens ), E. coli hemolisin ( E. coli ) dapat merusak integritas membran sel imun secara

langsung.

Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram

negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan

sistem imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia.

LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi

yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut

faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor/ TNF) dan interleukin 1(IL-1), IL-6, dan IL-8

yang merupakan mediator kunci dan sering mengikat sangat tinggi pada penderita

immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

Patogenesis

Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin

proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin

proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan

mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1

reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau

represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin

proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.

` Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab

(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara

reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan

Page 4: Sepsis

imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram

negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.

Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh

monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian

ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal

dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC

kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell

receptor).

Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai

immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).

Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ merangsang

makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α merupakan sitokin

proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α dalam serum

penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel

pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1β sebagai

imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan

prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule-

1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi

oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan

adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:

1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-

selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif

2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang

mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada

endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel

3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang

melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas

yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya

endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak,

sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat

tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam

pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.

Page 5: Sepsis

     Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10

sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan fungsi APC.

IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat

lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.

Patofisiologi Syok Septik

Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang

melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan

berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana

terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi

kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi

berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat

sesluler pada berbagai organ.

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan

maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh

mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang

dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan

kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,

iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan

adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),

malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek

samping dari terapi yang diberikan.

Gejala Klinis Sepsis

Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti

lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus

digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi

lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan

pasien dengan granulositopenia.

Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:

1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa

Page 6: Sepsis

2. Koagulasi intravaskular

3. Gagal ginjal akut

4. Perdarahan usus

5. Gagal hati

6. Disfungsi sistem saraf pusat

7. Gagal jantung

8. Kematian

Diagnosis

Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang

cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status

hemodinamik.

Riwayat

Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah

pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:

1. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

2. Hipotensi, oliguria, atau anuria

3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

4. Perdarahan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan

inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum,

pelvis, dan genital. Pemeriksan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau

perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.

Laboratorium

Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea

darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,

elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang

terinfeksi harus dilakukan.

Page 7: Sepsis

Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga

menggunakan foto rontgen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar

puncture.

Temuan laboratorium lain :

Sepsis awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan

proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis

respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.

Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,

penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan

hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah,

terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik.

Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.

Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat

proses penyakit.

Komplikasi

1. Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome)

2. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC, disseminated intravascular coagulation)

3. Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)

4. Perdarahan usus

5. Gagal hati

6. Disfungsi sistem saraf pusat

7. Gagal jantung

8. Kematian

Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian

berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23%

untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC.

Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal

50%.

Page 8: Sepsis

Penatalaksanaan

Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:

1. Stabilisasi pasien langsung

Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU.

Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan

ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk

membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien

hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan

norepinefrin.

2. Pemberian antibiotik yang adekuat

Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan

pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan

lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi

pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan psien memburuk

adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida,

aminoglikosida, dan quinolon.

Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika

diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka

mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen

antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan

penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen

penyebab sepsis tersebut.

Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik

yang kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant

penicillin dengan gentamisin.

a. Golongan penicillin

- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua

dosis

- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari

b. Golongan penicillinase—resistant penicillin

Page 9: Sepsis

- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama

7-10 hari sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam

hal ini masing-masing dosis obat diturunkan setengahnya,

atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada

(Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).

- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.

c. Gentamycin

Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7

hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.

Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa

bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:

Bakteri Antibiotik Dosis

Escherichia coli Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya

dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan

per drip dalam 20-30 menit untuk

menghindari flebitis.

- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv

- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

Klebsiella,

Enterobacter

Gentamisin

Proteus mirabilis Ampisilin/sefalotin

Pr. rettgeri, Pr.

morgagni, Pr.

Vulgaris

Gentamisin

Mima-Herellea Gentamisin

Pseudomonas Gentamisin

Bacteroides Kloramfenikol/klindamisin

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi

Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya

untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau

potong jaringan yang gangren.

4. Pemberian nutrisi yang adekuat

Page 10: Sepsis

Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat

penting berupa makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari

omega-3 dan golongan nukluetida yaitu glutamin sedangkan

mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5. Terapi suportif

Eli Lily and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis

Phase III menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan

rekombinan, Zovant) menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis

dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat)

sebesar 19,4 %. Zovant merupakan antikoagulan.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang menggunakan

pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid sesuai dengan

kebutuhan dan kekurangan yang ada didalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada

saat itu (pengobatan suplementasi). Peggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah

terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low

doses corticosteroid >300 mg hydrocortisone / hari dalam keadaan septic shock.

Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan

septic shock.

Glukosa kontrol

Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami

dan yang mengalami diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai

dengan <150 mg/ dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam dan

dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari.

Mencegah terjadinya stress ulcer dapat diberikan profilaksis dengan

menggunakan H2 broker protonpan inhibitor.

Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana

tersedia di ICU.

Page 11: Sepsis

Pencegahan

Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-

negatif

Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita

leukimia

Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik

pada pasien luka bakar

Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah

pneumonia Gram-negatif nosokomial

Strerilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan

vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada

pasien neutropenia

Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian

besar infeksi berasal dari dalam (endogen)

Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)

vagina/rektum pada kehamilan 35-37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus

agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika positif untuk Strep Grup

B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi

Grup B sebesar 78%.

Penatalaksanaan Syok Septik

Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu

dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,

dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b)

circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.

Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena

sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5

ml/kgBB/jam.

1. Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat

disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi

Page 12: Sepsis

maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat

keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan

curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan

menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke

jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,

mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang

mengalami iskemia.

Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya

meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen

dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

2. Terapi cairan

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian

cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu

dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis

respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan

darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan

ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu

diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena

jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai

tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin

perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan

perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu

misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan

dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

3. Vasopresor dan inotropik

Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik

teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih

mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah

secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90

mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8

mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8

Page 13: Sepsis

mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat

digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8

mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase

(amrinon dan milrinon).

4. Bikarbonat

Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau

serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki

keadaan hemodinamik.

5. Disfungsi renal

Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration).

Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi

substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan

hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan

bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

6. Nutrisi

Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,

cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan

pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan

secara parenteral.

7. Kortikosteroid

Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi

insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan

keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali

selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan

mortalitas dibanding kontrol.

Page 14: Sepsis

Daftar Pustaka

Chen K dan Pohan H.T. 2009. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.

Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI.

Hermawan A.G. 2009. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.

Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina

Aksara.