Rth Surabaya
-
Upload
andhika-dwi-cahyani -
Category
Documents
-
view
9 -
download
1
Transcript of Rth Surabaya
2013
Disusun guna memenuhi tugas Klimatologi RegionalDosen : Dr. Ch. Muryani, S. Si., M. Sc.
Disusun oleh :ANDHIKA DWI CAHYANI
K5411005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUANG TERBUKA HIJAU SURABAYA
PENDAHULUAN
Hampir semua studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan
dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan
bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%,
termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan,
danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang
merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.
Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung
berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan
yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui
merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang,
harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan
melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga
komunitas pada level kota.
Di Surabaya, kebutuhan ruang terbuka hijau yang dicanangkan oleh
Pemerintah Daerah sejak tahun 1992 adalah 20 – 30%. Sementara kondisi
eksisting ruang terbuka hijau baru mencapai kurang dari 10% (termasuk ruang
terbuka hijau pekarangan). Hasil studi yang dilakukan oleh Tim Studi dari Institut
Teknologi 10 November Surabaya tentang Peranan Sabuk Hijau Kota Raya tahun
1992/1993 menyebutkan bahwa luas RTH berupa taman, jalur hijau, makam, dan
lapangan olahraga adalah + 418,39 Ha, atau dengan kata lain pemenuhan
kebutuhan RTH baru mencapai 1,67 m2/penduduk. Jumlah ruang terbuka hijau
tersebut sangat tidak memadai jika perhitungan standar kebutuhan dilakukan
dengan menggunakan hasil proyeksi Rencana Induk Surabaya 2000 saat itu yaitu
10,03 m2/penduduk.
Perkembangan kota Surabaya sebagai kota industri, perdagangan, maritim
dan pendidikan sesuai dengan arah yang tertuang dalam Master Plan Surabaya.
Pembangunan di sekitar industri dan perdagangan ditunjang dengan
pengembangan pelabuhan samudra, akan menciptakan percepatan pertumbuhan
kota Surabaya semakin tinggi.
Peningkatan semua aspek kegiatan dengan diikuti pertambahan
pendudukan kota yang cukup besar, pertambahan segala bentuk dan jenis
gangunan, semakin padatnya kendaraan bermotor di jalan kota, semuanya sangat
mempengaruhi tingkat klimatologi lingkungan kota. Kota Surabaya yang saat ini
berpenduduk sangat padat dan terkonsentrasi terutama di kawasan pusat kota,
menjadikan tingkat kenyamanan penghuni lingkungan kota menurun. Dengan
semakin padatnya lingkungan kota dan akibat pengotoran udara, akan
mempengaruhi suhu udara, radiasi matahari, kelembaban udara serta aliran
kecepatan angin lokal. Dampak dari keadaan yang demikian tersebut akan
menjadikan keseimbangan lingkungan kota berubah.
Oleh karena itu keberadaan dan optimasi ruang terbuka hijau kota sangat
dibutuhkan oleh warga kota Surabaya, maka diperlukan pengelolaan yang baik
dengan penghijauan yang terencana serta alami sesuai fungsi dan estetika kota
akan sangat berpengaruh dalam mewujudkan lingkungan kota yang berkelanjutan.
Sementara pihak menilai ruang luar dan ruang terbuka hijau kurang begitu
penting, bahkan sering dianggap sebagai “lahan nganggur”. Pemahaman tentang
pentingnya lapangan-lapangan terbuka bagi masyarakat umum kurang disadari
atau sementara pihak memang hanya melihat sisi bisnisnya saja, dengan alasan
nilai ekonomi lahan tersebut.
Nilai sosial, budaya, pendidikan, kejiwaan dan sebagainya kurang
mendapatkan porsi yang sewajarnya. Hal itu terlihat dari pengalaman yang terjadi
di kota-kota besar selama ini, banyak lapangan-lapangan terbuka yang strategis
lokasinya diubah menjadi fungsi lain, yang dianggap lebih produktif. Untuk
menciptakan kondisi runag terbuka hijau sesuai dengan harapan tersebut, tidak
hanya menjadi tugas maupun tanggung jawab Pemerintah Daerah, tetapi juga
memerlukan partisipasi atau dukungan dari seluruh masyarakat kota Surabaya.
PEMBAHASAN
Kondisi fisik dari suatu lingkungan perkotaan terbentuk dari tiga unsur
(dinamis) dasar yaitu pepohonan dan organisme di dalamnya, struktur (kondisi
sosial), dan manusia (Grey, 1996). Gunadi (1995) menjelaskan istilah Ruang
Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan.
Ruang Terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di
sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam
bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang
secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti
halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square.
Sedangkan ‘zona hijau’ bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian
air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/jejaring
listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah,
taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan
seterusnya. Zona hijau inilah yang kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau
(RTH).
Jika keliling Surabaya kini, kota ini menjadi lebih bersih dan asri. Ruas
jalan mulai diperhatikan penghijauannya. Inisiatif muncul dari pemerintah
maupun warga. Kekhawatiran terhadap perubahan iklim serta kondisi lingkungan
yang semakin tidak sehat memaksa kita untuk membenahi disana-sini. Akan
tetapi, upaya-upaya ini masih perlu digaungkan, agar memperhatikan lingkungan
alam tidak sekedar soal trend semata, melainkan kesadaran bersama untuk
mewujud nyatakan budaya baru ramah lingkungan.
Tiap ruas-ruas jalan mulai dihijaukan kembali. Berdasarkan Peraturan
Daerah Kota Surabaya nomor 03 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Surabaya pasal 35 ayat 1, proporsi luas ruang terbuka hijau
ditetapkan dan diupayakan secara bertahap sebesar 20% dari luas wilayah kota.
Luas wilayah seluruh Kota Surabaya 32.637,75 Ha artinya luasan yang harus
diperuntukkan ruang terbuka hijau sebesar 6.527,55 Ha. Berdasarkan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Surabaya 2013, kondisi eksisting ruang
terbuka hijau seluas 171,68 Ha. Luasan tersebut terdiri dari 103,29 Ha taman kota,
30,64 Ha lapangan olahraga, dan 37,75 Ha makam. Perlu upaya keras untuk
mewujudkan 6.247,47 Ha lahan sebagai ruang terbuka hijau.
Menurut Peraturan Daerah Kota Surabaya nomor 07 tahun 2002, tentang
pengelolaan ruang terbuka hijau disebutkan bahwa ruang terbuka hijau tak hanya
berupa hutan kota, melainkan kawasan hijau yang berfungsi sebagai pertamanan,
rekreasi, permakaman, pertanian, jalur hijau, dan pekarangan.
Dalam ruang terbuka hijau diwajibkan adanya kegiatan penghijauan yaitu
tentunya dengan budidaya tanaman sehingga terjadi perlindungan terhadap
kondisi lahan. Peraturan daerah itu menyebutkan dengan jelas bahwa pengelolaan
ruang terbuka hijau menjadi tanggungjawab tak hanya pemerintah, bahkan sektor
swasta, dan warga yang bertempat tinggal di Kota Surabaya.
Kota Surabaya sebagai pusat perekonomian sektor perdagangan sekaligus
menjadi ibu kota provinsi jawa timur merupakan wilayah yang memiliki intensitas
penggunaan lahan yang tinggi. Tingginya penggunaan lahan di Surabaya
dibandingkan daerah lain mengakibatkan RTH (Ruang Terbuka Hijau) sebagai
indikator kualitas lingkungan hidup terancam keberadaannya. Luas kota Surabaya
+ 374,36 km2 dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa
menjadikan kebutuhan akan ruang terbuka hijau juga besar. berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Departemen Pekerjaan Umum (1987), dan dari fungsi
RTH kota sebagai pemenuhan kebutuhan oksigen (Dahlan, 1998) kebutuhan ideal
RTH dalam master plan Kota Surabaya tahun 2000, yaitu 10,03 m² per jiwa.
Sedangkan kondisi yang sebenarnya RTH di Surabaya kurang dari
itu,sebagai contoh daerah Surabaya pusat, ketersediaan RTH kota di Surabaya
Pusat saat ini hanya seluas 20,77 Ha atau sekitar 0.014% saja dari luas wilayah
keseluruhan. Dengan jumlah penduduk mencapai 354.484 jiwa, maka penyediaan
RTH di Surabaya Pusat hanya 0,59 m2 untuk setiap penduduk. Mengapa
demikian ? ,adapun beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya ruang terbuka
hijau yaitu faktor keterbatasan lahan dan tingginya harga lahan, faktor
kepemilikan lahan yang bukan lahan milik Pemerintah, faktor pengawasan dan
pengendalian yang belum optimal, faktor perubahan fungsi penggunaan lahan,
faktor keterbatasan dana, faktor kurangnya kesadaran masyarakat, kurangnya
instrument kebijakan pemerintah dan faktor sedikitnya peruntukkan/zonasi RTH
di Surabaya itu sendiri.
Ruang terbuka hijau di Surabaya, kondisinya tidak jauh berbeda dengan
beberapa kota besar di Indonesia, di kawasan pusat kota umumnya terlihat lebih
terawat dibandingkan dengan ruang terbuka hijau yang berada di pinggir kota
ataupun yang jauh dari kawasan jalan protokol. Keadaan tersebut dapat dipahami
mengingat keterbatasan tenaga pemelihara maupun terbatasnya alokasi dana yang
tersedia. Ruang terbuka hijau kota di Surabaya dibedakan menurut fungsi dan
kegiatannya, antara lain :
1. Taman Monumen, merupakan ruang terbuka hijau yang diperuntukkan
sebagai perletakan monumen atau patung perjuangan. Hal demikian dapat
dipahami mengingat predikat kota Surabaya sebagai kota pahlawan. Taman
monumen yang paling menonjol adalah taman monumen Tugu Pahlawan,
disamping taman inseden Jembatan Merah Surabaya. Khusus taman
monumen Tugu Pahlawan telah dilakukan pembenahan atau
pembangunannya pada tahun 1991, meliputi kegiatan pengisian benda-benda
museum atau bersejarah.
2. Taman Jalur Hijau Jalan, merupakan ruang terbuka hijau yang terletak di
median jalan yang cukup lebar sehingga memungkinkan untuk dibuat jalan.
Taman tersebut bersifat pasif, karena memiliki keleluasaan yang cukup
seringkali dimanfaatkan oleh sebagian warga masyarakat sebagai tempat
kegiatan bermain sepak bola, yang pada akhirnya dapat mengganggu
kelancaran lalu lintas dan membahayakan keamanan lalu lintas.
3. Taman Rotonde, merupakan ruang terbuka hijau yang mempunyai luas
bervariasi, yang terletak dipersimpangan jalan atau sebagai pulau-pulau jalan.
Umumnya dapat dimanfaatkan sebagai taman pasif. Masalah yang dihadapi
taman rotonde terutama jika terjadi keramaian ataupun unjuk rasa yang saat
ini sedang marak, biasanya akan menjadi rusak.
4. Taman Lingkungan, adalah ruang terbuka hijau yang pada mumnya
dikelilingi jalan, dengan bentuk lahan persegi, bulat ataupun oval. Pada
umumnya taman lingkungan merupakan taman aktif yang dimanfaatkan
untuk berbagai kegiatan warga masyarakat untuk bersantai, olah raga, anak
bermain. Mengingat terbatasnya lapangan olah raga, seringkali taman
lingkungan menjadi ajang tempat bermain sepak bola.
5. Taman Bermain, lokasi dan bentuk umumnya sama dengan taman
lingkungan, hanya karena fungsinya dikhususkan untuk bermain anak-anak,
maka taman tersebut dilengkapi dengan elemen-elemen khusus untuk sarana
bermain anak.
6. Taman Kantor, merupakan ruang terbuka hijau yang tidak dapat dipisahkan
dengan keberadaan kantor mengingat taman tersebut menjadi satu kesatuan
dari kantor dan berfungsi sebagai ruang luar, sebagai contoh di taman surya
Surabaya.
7. Taman Stren/Bantaran Sungai, merupakan ruang terbuka hijau yang sangat
luas karena utamanya sebagai lahan pengaman berupa jalur hijau, sehingga
dapat dimanfaatkan sebagai taman rekreasi. Saat ini taman bantaran sungai
yang paling dikenal di Surabaya adalah taman Prestasi di jalan Ketabangkali
dan taman Monkasel di kawasan jembatan Gubeng.
8. Lapangan Olah raga, merupakan ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan
sebagai sarana atau tempat olah raga bagi warga kota. Di kawasan pinggiran
kota umumnya berasal dari tanah-tanah ex ganjaran di tingkat Kelurahan.
9. Taman Kampus, berfungsi sebagai ruang luar yang dapat dimanfaatkan
ebagai sarana rekreasi, olah raga, penghijauan dan pelestarian tanaman,
sebagai contoh kawasan kampus ITS memiliki potensi yang cukup besar bagi
perluasan ruang terbuka hijau dan sekaligus berfungsi sebagai media
pendidikan.
Ruang terbuka hijau yang secara ekologis berfungsi menunjang proses alam,
di dalam kerangka wilayah kota, secara lebih spesifik fungsi ekologis ruang
terbuka hijau adalah :
a. Di dalam proses alam fotosintesis, ruang terbuka hijau menghasilkan oksigen
yang diperlukan bagi makhluk hidup, sebaliknya makhluk hidup
mengeluarkan CO2 yang diperlukan tanam-tanaman.
b. Kawasan ruang terbuka hijau berfungsi sebagai pengatur kandungan tanah
bagi wilayah perkotaan yang padat bangunan agar kota tidak kekeringan
dengan cara mempertahankan level air tanah tidak terlalu dalam, sehingga
secara timbal balik tanam-tanaman dapat tumbuh dengan baik karena
ketersediaan air tanah tersebut.
c. Sebagai “radiator” bagi sirkulasi udara kota yang panas. Angin yang
berhembus melalui teduhnya kawasan terbuka hijau menjadi dingin, yang
pada gilirannya udara dingin itu mengalir menembus jaringan kota sehingga
suhu kota menjadi turun.
d. Dapat mengurangi erosi dan mengurangi banjir, karena daya serap air di
daerah ruang terbuka hijau lebih tinggi daripada daya serap air di wilayah
kota yang padat bangunan. Itulah proses alam yang diperlukan bagi sebuah
kota, dan hanya dapat terjadi di kawasan ruang terbuka hijau dengan
pepohonannya pada padat dan rindang.
Keseimbangan antara kepadatan kota dengan kawasan ruang terbuka hijau
yang mewadahi akan menciptakan lingkungan kota yang manusiawi, aman dan
nyaman dalam kaitannya dengan proses alam tersebut. Beberapa tempat, yang
secara fisiografis, geografis, memang sesuai untuk ruang terbuka hijau. Tempat-
tempat tersebut antara lain : bantaran sungai, terutama sungai besar, daerah-daerah
lapisan air (daerah-daerah cekung), jalur hijau sebagai pembatas jalan dua arah
dan sebagainya.
Surabaya sebagai kota metropolitan sekaligus ibukota Propinsi Jawa Timur
tak luput dari masalah kependudukan. Salah satu masalah kependudukan yang
kini melanda Surabaya adalah penggunaan lahan untuk tempat tinggal secara
ilegal, contohnya penggunaan lahan stren Kali Jagir serta kawasan pemukiman
sepanjang jalur rel kereta api.
Faktor ekonomi adalah faktor utama penyebab maraknya penggunaan lahan
ilegal untuk pemukiman di Surabaya. Pendapatan masyarakat yang rendah
memaksa mereka memanfaatkan lahan kosong milik pemerintah maupun swasta
sebagai tempat tinggal. Karena ketidakmampuan ekonomi sebagai penyebab
utama maraknya lahan ilegal untuk pemukiman di Surabaya, maka tak heran bila
pemukiman ilegal yang muncul cenderung berkembang menjadi pemukiman
kumuh.
Penggunaan lahan ilegal menimbulkan dampak lingkungan, serta materi.
Dampak lingkungan diantaranya terganggunya keindahan kota akibat
pembangunan pemukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata kota Surabaya.
Dampak lingkungan lain adalah terganggunya ekosistem akibat pembangunan
pemukiman ilegal tersebut. Contohnya pembangunan pemukiman ilegal di daerah
Ruang Terbuka Hijau (RTH) mengakibatkan terganggunya penyerapan air, hal ini
merupakan salah satu penyebab banjir. Contoh lain, pembangunan pemukiman
ilegal di stren kali dapat mengakibatkan abrasi yang membuat tanggul sungai
runtuh. Disamping itu pembangunan pemukiman ilegal juga mendatangkan
kerugian materi bagi negara akibat hilangnya tanah negara, serta usaha pencurian
sarana listrik, air, dan telepon untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Karena banyaknya dampak negatif yang muncul akibat pemukiman ilegal,
serta dalam rangka mewujudkan pembangunan infrastruktur kota Surabaya
sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) , maka
berbagai upaya penertiban telah dilakukan oleh pemerintah kota. Namun upaya
yang dilakukan pemerintah kota belum cukup efektif mengatasi masalah
penggunaan lahan untuk tempat tinggal secara ilegal. Misalnya hampir tidak ada
upaya penertiban secara berkala yang dilakukan oleh pemerintah kota sehingga
banyak penduduk ilegal yang mengaku telah bertahun-tahun bermukim di tempat
tinggalnya saat ini. Selain itu, jumlah penduduk yang ilegal ini terus bertambah.
Kekurangan dalam cara mengatasi masalah di atas masih ditambah lagi
dengan ketidak-konsistensian dalam upaya pemerintah dalam mengatasi masalah
penggunaan lahan secara ilegal. Di satu sisi pemerintah mengadakan penertiban
dan penggusuran terhadap penduduk ilegal, di sisi lain tersedia berbagai fasilitas
infrastruktur yang menunjang bagi penduduk ilegal, contohnya tersedia fasilitas
air bersih oleh PDAM, saluran telepon oleh Telkom, serta fasilitas listrik oleh
PLN. Kondisi ini seolah-olah mendukung penggunaan lahan tersebut untuk
pemukiman secara ilegal.
Upaya mengatasi penggunaan lahan ilegal untuk pemukiman di Surabaya
perlu segera dilaksanakan secara efisien dan terpadu untuk mencegah timbulnya
kerugian materi yang lebih besar, serta demi tercapainya rencana tata kota
Surabaya yang dapat mewujudkan keindahan kota. Hambatan lain adalah belum
adanya pemetaan mengenai pemukiman ilegal saat ini. Karenanya dalam
penulisan ilmiah ini yang menjadi acuan adalah peta Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Surabaya. Semua tempat pemukiman yang tidak sesuai
dengan RTRW Surabaya serta tidak dilengkapi surat kepemilikan yang sah
diasumsikan ilegal.
Fakta yang menarik perihal bangunan ilegal tersebut adalah banyak diantara
rumah-rumah tersebut yang telah dilengkapi fasilitas listrik, air bersih , serta
telepon. Hal ini tidak lazim mengingat rumah-rumah tersebut tidak memiliki
surat-surat kepemilikan yang sah sebagaimana yang dicantumkan dalam UUPA
No.5 tahun 1960 pasal 16.
Arah pembangunan infrastruktur diwujudkan melalui penguatan sistem
perencanaan infrastruktur kota, pengembangan sumber daya sungai; peningkatan
kualitas dan kuantitas air bersih, pengembangan sistem transportasi;
pengembangan perumahan dan permukiman, pengembangan pengelolaan energi;
pengembangan telematika perkotaan, dan peningkatan konsistensi pengendalian
pembangunan infrastruktur kota.
PENUTUP
Kurang lebih 70% wilayah Kota Surabaya menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) diperuntukkan sebagai lahan perumahan. Sekitar 25%
dipergunakan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengembangan wisata pantai,
serta lahan perdagangan. Sementara sisanya dipergunakan fasilitas lainnya seperti
jalan, industri, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dan fasilitas lainnya.
Penyebab munculnya pemukiman ilegal adalah faktor tingginya angka
urbanisasi di Surabaya yang diimbangi dengan ketidakmampuan ekonomi
masyarakat. Faktor penyebab lain adalah ketidaksadaran masyarakat akan hukum
dan lingkungan.
Fakta yang terdapat pada pemukiman ilegal di Surabaya antara lain :
rumah-rumah yang dibangun banyak yang tidak memenuhi standar kesehatan, dan
banyak diantara rumah-rumah tersebut yang telah dilengkapi fasilitas listrik, air
bersih, serta telepon akibat tidak adanya upaya penataan kota yang terpadu antara
Pemkot selaku pemegang kendali atas tataguna lahan dengan PDAM, PLN, dan
Telkom selaku penyedia fasilitas dasar.
Pemukiman ilegal memberikan dampak negatif berupa terganggunya
keindahan kota, karena pemukiman ilegal cenderung tidak tertata, serta
menimbulkan kerugian materi negara, karena itu keberadaan pemukiman ilegal
harus segera ditertibkan.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menertibkan penggunaan
lahan ilegal untuk perumahan diantaranya adalah Pembuatan peta tata Kota
Surabaya, inspeksi mendadak, dan mengamalkan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) No.5 tahun 1960 pasal 16 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria.
Dan Peraturan Pemerintah no17 tahun 1963 tentang pokok-pokok pelaksanaan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang perumahan presiden Republik
Indonesia.
Belum ada upaya yang terpadu dalam rangka penertiban pengunaan lahan
secara ilegal untuk perumahan. Pemkot nampak belum merasa perlu untuk
melibatkan pihak-pihak penyedia utilitas dasar kebutuhan masyarakat sebagai
mitra dalam mewujudkan rencana tata kota. Hal ini nampak dari belum adanya
hubungan antara Pemkot dengan Penyedia jasa utilitas masyarakat. Padahal
berdasarkan arah pembangunan kota Surabaya Sistem perencanaan pembangunan
infrastruktur kota dikuatkan dengan cara pengembangan perencanaan
pembangunan infrastruktur kota secara terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://green.kompasiana.com/penghijauan/2012/04/27/ruang-terbuka-hijau-
permasalahan-dan-solusinya-458789.html
di akses tanggal 11 Desember 2013 Pukul 18:55
2. http://green.kompasiana.com/penghijauan/2013/05/20/faktor-penyebab-
kurangnya-ruang-terbuka-hijau-di-surabaya-557634.html
di akses tanggal 11 Desember 2013 Pukul 19:01
3. Widjajanti, Wiwik Widyo. 2010. Keberadaan dan Optimasi Ruang Terbuka
Hijau Bahi Kehidupan Kota. Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya :
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.